Вы находитесь на странице: 1из 9

1

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Penuaan dan kerutan pada kulit akibat paparan sinar ultra violet yang
berkepanjangan merupakan salah satu masalah yang menjadi perhatian saat
ini. Paparan sinar ultra violet yang terjadi secara terus menerus dapat
menimbulkan suatu keadaan kerusakan pada struktur dan fungsi dari kulit
sehingga mempercepat terjadinya proses penuaan pada kulit oleh sebab itu
proses ini disebut penuaan dini kulit atau disebut juga dengan photoaging
(Fisher et al., 2002; Rabe et al., 2006).
Delapan puluh persen dari penuaan di wajah berkaitan dengan paparan
sinar matahari (Baumann, 2006). Mekanisme ikatan spectrum cahaya matahari
dapat menimbulkan photoaging pada manusia, dari hipotesis dinyatakan
bahwa sinar UV merangsang MMPs (matriks metalloproteinase) yang
berperan dalam photoaging dimana MMPs merupakan suatu endopeptidase
yang menghancurkan struktur protein seperti kolagen dan elastin dalam
jaringan ikat (Young, 2000). Sebagai pertahanan dan perlindungan dari
paparan radikal bebas seperti sinar ultra violet, tubuh secara alami membuat
antioksidan antara lain superoksid dismutase (SOD), katalase, glutathione.
Perlindungan alami tersebut terkadang tidak cukup kuat, untuk itu diperukan
tambahan perlindungan antioksidan dari luar tubuh baik yang oral maupun
topikal.
Astaxanthin merupakan pigmen karotenoid yang dapat ditemukan pada
hewan-hewan yang hidup di air seperti ikan salmon, udang, lobster, maupun
dalam telur ikan. Pada beberapa hewan air, astaxanthin memiliki peranan
biologis yang cukup penting salah satunya sebagai proteksi dari oksidasi asam
lemak yang tidak jenuh, perlindungan dari efek paparan sinar ultra violet,
respon imun, pigmentasi dan peningkatan reproduksi. Beberapa
mikroorgansime memiliki kandungan tinggi astaxanthin seperti kelompok alga
hijau yang diyakini memiliki kandungan astaxanthin tertinggi di alam. dapat
mengakumulasi lebih dari 30 gram astaxanthin per kg biomasa (Olaizola and
Huntley, 2003). Astaxanthin memiliki potensi sebagai antioksidan lebih kuat
dari golongan karotenoid lain seperti vitamin E, karena memiliki gugus
hidroksil (OH) dan keton(C=O) pada gugus terminalnya yang membuat
astaxanthin menjadi lebih polar dan mampu menjadi bentuk ester (Goto et al.,
2001; Lyons dan OBrien, 2002). Astaxanthin melindungi tubuh terhadap
proses peroksidasi lipid dan kerusakan yang diakibatkan oleh proses oksidasi
yang terjadi pada membrane sel dan jaringan tubuh (Furr dan Clark, 1997;
Winarsi, 2007).
Dari penelitian yang dilakukan Lyons dan OBrien (2002) yang
menggunakan kultur fibroblast menunjukkan bahwa astaxanthin pada dosis 10

M mampu memberikan efek perlindungan terhadap paparan sinar ultra violet


A secara signifikan, dibandingkan dosis lebih kecil yaitu 10 nm dan 100 nm.
Sedangkan penellitian Suganuma et al (2009) menggunakan kultur fibroblast
menunjukkan bahwa astaxanthin berperan sebagai antioksidan yang poten
terhadap induksi MMP-1 oleh sinar ultra violet A, dimana pada konsentrasi 48 M memberikan efek inhibisi lebih besar terhadap MMP-1 daripada
terhadap skin fibroblast elastase.
Penelitian yang dilakukan oleh Guerin et al., (2003) menunjukkan bahwa
astaxanthin yang terdapat pada Haematococcus pluvialis memiliki tingkat
keuntungan yang tinggi dalam penerapannya terhadap kesehatan. Melalui
penelitiannya, disimpulkan bahwa aktivitas antioksidan yang kuat pada
astaxanthin memungkinkan adanya peningkatan terhadap kesehatan dan
perbaikan kondisi jaringan tubuh pada manusia. Oleh karena itu perlu
dilakukan suatu penelitian tentang kemampuan astaxanthin sebagai
antioksidan topikal untuk melindungi kulit dari kerusakan akibat pajanan sinar
ultra violet yang akan dilakukan secara in vitro pada kultur fibroblast.
Sehingga diharapkan nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam
kehidupan sehari-harinya.
1.2 Rumusan masalah
a. Bagaimana pengaruh penggunaan astaxanthin gel secara in vitro pada
kultur fibroblast yang dipapar dengan sinar UV terhadap penurunan
ekspresi MMPs-1?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui pengaruh pemberian astaxanthin gel secara in vitro pada
kultur fibroblast yang dipapar dengan sinar UV terhadap penurunan
ekspersi MMPs-1
1.4 Luaran yang diharapkan
a. Kelanjutan ke PKM-Kewirausahaan yang memberikan alternative olahan
bernilai ekonomis dari astaxanthin pada Haematococcus pluvialis sebagai
bahan antioksidan alami pada kulit
b. Publikasi artikel penelitian dalam jurnal ilmiah nasional
1.5 Manfaat penelitian
a. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat berupa
alternatif bahan antioksidan alami berupa astaxanthin yang berasal dari
alga hijau
b. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah dan lembaga
kesehatan mengenai pemanfaatan alga hijau sebagai antioksidan alami
sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis alga hijau

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Astaxanthin
Astaxanthin merupakan pigmen karotenoid yang dapat ditemukan pada
hewan-hewan yang hidup di air seperti ikan salmon, udang, lobster, maupun
dalam telur ikan. Pada beberapa hewan air, astaxanthin memiliki peranan
biologis yang cukup penting salah satunya sebagai proteksi dari oksidasi asam
lemak yang tidak jenuh, perlindungan dari efek paparan sinar ultra violet,
respon imun, pigmentasi dan peningkatan reproduksi. Beberapa
mikroorgansime memiliki kandungan tinggi astaxanthin seperti kelompok alga
hijau yang diyakini memiliki kandungan astaxanthin tertinggi di alam. Dapat
mengakumulasi lebih dari 30 gram astaxanthin per kg biomasa (Olaizola and
Huntley, 2003). Astaxanthin (3,3-dihydroxy ,carotene-4,4-dione)
sebagai antioksidan carotenoid, memiliki aktifitas antioksidan 40 kali lipat
lebih tinggi dari beta carotene dan 550 kali lipat lebih efektif dari vitamin E
(Marcello et al.,2007).
Secara umum, molekul astaxanthin serupa dengan molekul -karoten
tetapi struktur molekul astaxanthin memiliki gugus hidroksil (OH) dan keton
(C=O) pada gugus terminalnya. Meskipun perbedaan struktur tersebut kecil
namun memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat kimiawi dan biologis
astaxanthin yaitu pada kemampuannya untuk menjadi bentuk ester, menjadi
lebih polar, dan memiliki potensinya sebagai antioksidan yang kuat. Hal inilah
yang menjelaskan mengapa potensi antioksidan astaxanthin lebih kuat
dibandingkan -caroten dan vit E (Goto dkk., 2001; Lyons dan OBrien, 2002;
Guerin, dkk., 2003). Selain itu juga menyebabkan astaxanthin memiliki
aktifitas dan mekanisme perlindungan yang lebih tinggi dan tidak dimiliki
oleh antioksidan lainnya.
Astaxanthin yang termasuk dalam golongan karotenoid melindungi tubuh
dari kerusakan oksidatif melalui suatu mekanisme tertentu . Meredam singlet
oksigen melalui mekanisme fisik, dimana energi yang berlebih dari singlet
oksigen akan di transfer ke struktur karotenoid yang kaya akan elektron untuk
kemudian diubah menjadi panas. Selain itu juga bereaksi dengan radikal
lainnya untuk mencegah dan menghentikan reaksi berantai (Tinkler et al.,
1994).
2.2 Haematococcus pluvialis
Haematococcus pluvialis adalah spesies ganggang hijau yang termasuk ke
dalam filum Chlorophyta. Haematococcus pluvialis dikenal karena
kemampuannya memproduksi astaxanthin. Spesies ini akan memproduksi

astaxanthin dalam cekaman stress pada kondisi lingkungan yang minim akan
nutrisi, kadar garam tinggi paparan sinar yang cukup tinggi, dan kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan.
Klasifikasi Haematococcus pluvialis :
Kingdom : Viridiplantae
Phylum

: Chlorophyta

Kelas

: Chlorophyceae

Ordo

: Chlamydoonadales

Famili

: Haematococcaceae

Genus

: Haematococcus

Spesies

: Haematococcus pluvialis

2.3 Sinar Ultraviolet


Radiasi sinar ultra violet adalah suatu spektrum dari cahaya dengan
panjang gelombang yang berkisar antara 100 nm - 400 nm, dihasilkan oleh
sinar matahari atau dari lampu buatan. Berdasarkan batasan dari Commision
Innternationale de lEclairage (CIE) sinar ultra violet terdiri dari ultra violet A
(UVA) dengan panjang gelombang 315400 nm, ultra violet B (UVB) dengan
panjang gelombang 280315 nm, dan ultra violet C (UVC) dengan panjang
gelombang 100280 nm. UVA dibagi lagi menjadi UVA I (340 -400 nm) dan
UVA II (320-340 nm) (Young, 2000).
Paparan sinar UV dari matahari dapat memicu pembentukan radikal bebas
pada kulit. Radikal bebas yang terbentuk akan menyebabkan menurunnya
kinerja enzim untuk mempertahankan fungsi sel, merusak protein dan asam
amino yang merupakan struktur utama kolagen dan elastin. Radiasi sinar ultra
violet memiliki rentangan yang luas dalam efek akut yang ditimbulkannya.
Efek yang ditimbulkan selain sunburn inflammation (erythema) dan tanning
(melanogenesis) juga dapat mengakibatkan DNA photodamage,
immunosupresi, dan sintesis vitamin D. Sedangkan paparan kronik dari sinar
matahari dapat memicu terjadinya photoaging dan lebih jauh lagi dapat
memicu terjadinya kanker kulit seperti squamous cell ca, basal cell ca, dan
melanoma maligna (Young, 2000).

2.4 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa pemberi electron (electron donor) yang
mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh.
Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada
senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut
dapat dihambat. Antioksidan berfungsi melindungi zat lainnya dari kerusakan
karena reaksi oksidasi yang dipicu oleh ROS dan radikal bebas. ROS dan
radikal bebas ini memicu terjadinya proses degenerasi (Pham-huy et al.,
2008).
Secara umum antioksidan dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu
antioksidan enzimatis dan antioksidan non enzimatis. Antioksidan enzimatis
antara lain adalah enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation
peroksidase. Sedangkan antioksidan non enzimatis dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu antioksidan non enzimatis yang larut lemak (seperti tokoferol,
karotenoid, flavonoid, dan quinon) dan antioksidan non enzimatis yang larut
dalam air (asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein
pengikat heme). Kedua golongan antioksidan tersebut bekerja sama untuk
memerangi aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh, sehingga terjadinya stress
oksidatif dapat dihambat oleh kerja antioksidan tersebut.
Secara alami kulit bergantung pada antioksidan untuk melindungi dari
ROS yang dihasilkan oleh sinar matahari maupun proses metabolisme normal.
Antioksidan enzimatis dan non enzimatis akan berinteraksi untuk memberikan
perlindungan, termasuk di sini adalah vit E, coenzyme Q10, askorbat,
karotenoid, superoksid dismutase, katalase, dan glutation peroksidase. Namun
oleh karena paparan ultra violet yang berlebihan, mengakibatkan terjadi
deplesi pada suplai antioksidan tersebut, terbentuklah suatu keadaan stress
oksidatif. Untuk itu diperlukan juga antioksidan yang diaplikasikan secara
topikal untuk menambah cadangan antioksidan kulit. Pada keganasan kulit
seperti basal sel ca, ditemukan kadar karotenoid yang rendah, sehingga
diperkirakan antioksidan ini sangat penting pada pertahanan kulit terhadap
radiasi UV dan photokarsinogenesis (Rabe dkk., 2006).

BAB III. METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan tempat penelitian
Waktu penelitian dilakukan selama 4 minggu. Tempat penelitian berada di
Laboratorium 3 dan 4 Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3.2 Alat dan bahan penelitian
1. Alat
Peralatan yang digunakan untuk penelitian adalah Laminar Air Flow
cabinet, Inkubator CO2, mikroskop binokuler, Elisa Reader (Bio Rad 680
XR), solar stimulator UVB, alat Sentrifuge 1500 rpm, Tissue Culture
Flask (TCF), cawan petri kecil dan besar, 96 Well Plated 8x12 (96
sumuran), tabung sentrifuge 15 ml, conicle tube Eppendorff beserta
raknya, pipet mikro (ukuran 20 l, 50-200 l, 100-1000 l), Bilik hitung
Neubauer, timbangan, skalpel, pinset, dan gunting.

2. Bahan
Gel Astaxanthin, Kit MMPs-1, Kultur fibroblast, media RPMI 1640
(dengan glutamine, tanpa sodium bicarbonate), Fetal Bovine Serum (FBS),
penicillin streptomycin, dan fungisone, Phospat Buffer Saline (PBS),
Trypsin, pelarut organic DMSO 0,025%
3.3 Cara kerja
1. Pembuatan kultur fibroblast

Kulit preputium penis yang telah disiapkan sebagai kultur primer


dimasukkan ke dalam medium komplit, kemudian disimpan satu hari
dalam lemari pendingin dengan suhu 4 C kemudian dipotong-potong
dengan ukuran 3-4 cm yang prosesnya dilakukan di dalam Laminar Air
Flow cabinet. Potongan-potongan tersebut dimasukkan dalam cawan petri
dan ditutup dengan cover glass dan diberi label. Kultur primer tersebut
kemudian ditumbuhkan dalam inkubator CO2 dengan suhu 37oC.
2. Pengelompokan sampel
Sel fibroblast yang telah siap untuk diberikan perlakuan dibagi menjadi 3
kelompok dengan variasi dosis astaxanthin dan penyinaran UV yaitu :
-Kelompok 1: tanpa perlakuan apapun, sebagai kontrol.
-Kelompok 2:dengan perlakuan penyinaran UV dosis bervariasi 25mJ/cm,
50 mJ/cm, dan 100 mJ/cm.
-Kelompok 3:dengan variasi dosis penyinaran UV 25 mJ/cm, 50mJ/cm,
dan 100 mJ/cm yang sebelumnya telah diberikan
astaxanthin dengan variasi dosis 3 M, 5 M, dan 7 M.
3. Uji MMP-1
Empat puluh delapan jam setelah perlakuan penyinaran, supernatant dari
masing masing kelompok tersebut dikumpulkan, ekspresi MMP-1 dinilai
dengan menggunakan kit MMP-1 human MMP-1enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA)
3.4 Pengambilan data
Kultur fibroblast yang telah diberi perlakuan pada tiap kelompok masingmasing diolah dalam uji MMP-1 agar didapatkan data mengenai aktivitas
astaxanthin yang telah diujikan pada kultur fibroblast yang telah disinari sinar
ultraviolet selama 48 jam.
3.5 Analisis data
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian
yang digunakan adalah posttest only control group design (Campbell dan
Stanley, 1963). Rancangan ini digunakan pada penelitian yang dilakukan
secara in vitro. Penelitian in vitro, dilakukan dengan menggunakan kultur sel

fibroblast, dimana sel fibroblast diberikan bahan astaxanthin gel dengan


variasi dosis 3 M, 5M, dan 7M dan selanjutnya diberikan penyinaran
dengan variasi dosis 25 mJ/cm, 50 mJ/cm2, dan 100 mJ/cm. Supernatan dari
kultur sel fibroblast dikumpulkan setelah 48 jam dan ekspresi MMP-1 diamati
dengan menggunakan MMP-1 Human enzyme-linked immunorbent assay
(ELISA) kit. Data pada penelitian in vitro kemudian akan dianalisis komparasi
dengan Anova test.

DAFTAR PUSTAKA
Baumann, L. 2006. Cosmetic and Skin Care in Dermatology. Dermatology in
General Medicine. Mc graw-Hill Book co.
Fisher, G.J., Kang, S., Varani, J., Csorgo, Z.B., Wan, Y., Datta, S., Voorhees, J.J.
2002. Mechanism of Photoaging and Chronological Skin Aging. Arch
Dermatol. Department of Dermatology, University of Michigan, Ann
Arbor. Vol 138: p. 1462-1470
Furr, H.C., Clark, R.M. 1997. Intestinal Absorption and Tissue Distribution of
Carotenoid. Journal of Nutritional and Biocemistry. Vol 8: 364-377.
Goto, S. Kogure, K. Abe, K. 2001. Efficient Radical Trapping at The Surface and
Inside the Phospholipids Membrane is Responsible for Highly Potent
Antioxidant Activity of The Carotenoid Astaxanthin. Biochem, Biophys,
Act. Vol.1521: 251-258
Guerin, M., Huntley, M.E., Olaizola, M. 2003. Haematococcus Astaxanthin:
Application for Human Health and Nutrition. Trends in Biotechnology. Vol
2: 210-216
Lyons, Nicole M., Obrien, Nora. M. 2002. Modulatory effect of an Algal Extract
Containing Astaxanthin on UVA-Irradiated Cells in Culture. Journal of
dermatological Science. Vol 30: 73-84.

Marcello S, Monica Z, Marco B, Donatella F, Giancarlo F. 2007. Lutein,


Zeaxanthin and astaxanthin protect against DNA damage in SK-N-SH
human neuroblastoma cells induced by reactive nitrogen species. Journal
of photochemistry and photobiology. Vol 88: 1-10.
Olaizola, M. and Huntley, M.E. 2003. Recent advances in commercial production
of astaxanthin from microalgae. In Biomaterials and Bioprocessing Science
Publishers
Pham-Huy, L.A., He, H., Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidant in
Disease and Health. International Journal of Biomedical Science. Vol 4:
89-96.
Rabe, J.H., Mamelak, A.J., Mc Elgunn, P., Morison, W.L., Sauder, D.N. 2006.
Photoaging : Mechanism and Repair, Continuing Medical Education.
American Academy of Dermatology, Inc. p.1-19.
Suganuma, K,. Nakajima, H, Ohtsuki, M. Imokawa, G. 2009. Astaxanthin
Attenuates the UVA-Induced up-regulations of Matrix Metalloproteinase-1
and Skin Fibroblast Elastase in Human Dermal Fibroblast. Journal of
Dermatological Science.
Tinkler, J.H., Bohm, F., Scalch,W., Truscott, T.G. 1994. Dietary Carotenoid
Protect Human Cells from Damage. Journal Photochemical Photobiology.
Vol 26: 283-285.
Young, A.R. 2000. Acute and Chronic Effect of Ultraviolet Radiation on the Skin,
Dermatology. Mc Graw-Hill Book Co.

Вам также может понравиться