Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
Disusun oleh:
dr. Dina Fitri Fauziah
Dokter Internship
Pendamping:
dr. Matruzi
dr. Elsa Sri Fadila
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut atau relatif (Soewondo, 2009).
B. Epidemiologi
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden ketoasidosis
diabetik sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur, sedangkan
untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4 per 1000 pasien DM per tahun
(Soewondo, 2009). Sumber lain menyebutkan insiden ketoasidosis diabetik sebesar 4,68/1000 pasien DM per tahun (Chiasson, 2003). Ketoasidosis diabetik dilaporkan bertanggung
jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika Serikat
(Umpierrez, 2002).
Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden ketoasidosis
diabetik di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang
rendah. Laporan insiden ketoasidosis diabetik di Indonesia umumnya berasal dari data rumah
sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2 (Soewondo, 2009). Angka kematian pasien dengan
ketoasidosis diabetik di negara maju kurang dari 5% pada banyak senter, beberapa sumber
lain menyebutkan 5-10%, 2-10%, atau 9-10% (Soewondo, 2009).
C. Etiologi
Semua kelainan pada ketoasidosis diabetik disebabkan oleh kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif yang berkembang dalam beberapa jam atau hari. Pada pasien DM yang telah
diketahui sebelumnya disebabkan oleh kekurangan pemberian kebutuhan insulin eksogen
atau karena peningkatan kebutuhan insulin akibat keadaan atau stres tertentu.
Stress tersebut dapat berupa :
a. Infeksi
b. Kelainan vaskuler (infark miokard akut)
c. Kelainan endokrin (hipertyroidisme, sindroma chusing)
d. Trauma
e. Kehamilan
f. Stres emosional
g. Peningkatan hormone kontrainsulin (epinefrin, kortisol, glukagon)
14
D. Patofisiologi
Ketoasidosis diabetik merupakan suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut
atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan
growth hormon); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
meningkatkan lipolisis dan produksi benda keton (Soewondo, 2009).
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya ketoasidosis diabetikar substrat
nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari
peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat karboksilase/PEPCK, fruktose
1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan
patogenesis utama yang bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien
dengan ketoasidosis diabetik (Gotara & Budiyasa, 2010).
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan ketoasidosis diabetikar keton yang tinggi
menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan
glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia.
Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi benda keton telah dipelajari selama ini.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator
menyebabkan aktivasi hormon lipase yang sensitive pada jaringan lemak. Peningkatan
aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty
acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis pada
hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai
prekursor utama dari ketoasid (Gotara & Budiyasa, 2010).
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya
distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon menurunkan
ketoasidosis diabetikar malonyl coenzyme A (CoA) dengan cara menghambat konversi
piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama yang
dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyltransferase I (CPT I), enzim untuk transesterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl
camitine, yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan
untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi.
Peningkatan aktivitas fatty acyl CoA dan CPT I pada ketoasidosis diabetik mengakibatkan
peningkatan ketongenesis (Gotara & Budiyasa, 2010).
15
lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan factor pencetus
yang paling sering. Infeksi yang paling sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan
pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien tak mengalami
demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan kemungkinan kolesistitis,
iskemia usus, appendicitis, diverticulitis, ayau perforasi usus. Bila pasien tidak menunjukkan
respon yang baik terhadap pengobatan ketoasidosis diabetik, maka perlu dicari kemungkinan
infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal) (Soewondo, 2009).
F. Diagnosis
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien ketoasidosis diabetik terdiri dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas,
status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus
dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan (Gotara & Budiyasa, 2010).
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari,
perubahan metabolik yang khas untuk ketoasidosis diabetik biasanya tampak dalam jangka
waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau
berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi ketoasidosis diabetik tanpa gejala
atau tanda ketoasidosis diabetik sebelumnya (Soewondo, 2009).
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia,
penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan
akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul,
takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien
ketoasidosis diabetik menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi. Perhatian lebih
harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena menunjukkan prognosis yang lebih
buruk. Demikian pula pasien dengan abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan
akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih
lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan asidosis
metabolic (Gotara & Budiyasa, 2010).
17
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ketoasidosis diabetik bersifat multifaktorial sehingga memerlukan
pendekatan terstruktur oleh dokter dan paramedis yang bertugas. Prinsip-prinsip pengelolaan
ketoasidosis diabetik ialah :
1. Penggantian cairan dan garam yang hilang
2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati dengan pemberian
insulin
3. Mengatasi stres sebagai pncetus ketoasidosis diabetik
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta
penyesuaian pengobatan.
Terapi ketoasidosis diabetik yaitu:
1. Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan ketoasidosis diabetik adalah terapi cairan (Alberti,
2004). Terapi insulin hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya
dengan terapi cairan saja akan membuat ketoasidosis diabetikar gula darah menjadi lebih
rendah. Studi menunjukkan bahwa selama empat jam pertama, lebih dari 80% penurunan
ketoasidosis diabetik gula darah disebabkan oleh rehidrasi (Trachtenbarg, 2005). Oleh karena
itu, hal penting pertama yang harus dipahami adalah penentuan difisit cairan yang terjadi.
Ada dua keuntungan rehidrasi pada ketoasidosis diabetik: memperbaiki perfisi
jaringan dan menurunkan hormone kontraregulator insulin. Bila konsentrasi glukosa kurang
dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%).
18
2. Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis ketoasidosis diabetik dan
rehidrasi yang memadai. Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah
diagnosis ketoasidosis diabetik ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai. Pemakaian
insulin akan menurunkan ketoasidosis diabetikar hormon glukagon, sehingga menekan
produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan
asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan (Soewondo,
2009). Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus intravena,
intramuskular, ataupun subkutan. Sejak pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan
ketoasidosis diabetik dengan drip insulin intravena dosis rendah mulai digunakan dan
menjadi popular. Cara ini dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin,
menurunkan ketoasidosis diabetikar glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat
menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan
hipokalemia lebih sedikit (Gotara & Budiyasa, 2010).
Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada
ketoasidosis diabetik yang disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan ADA menganjurkan
insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan. Jika tidak terdapat hipokalemia
(K < 3,3mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB, diikuti dengan infus kontinu
0,1 u/kgBB/jam (5-7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu
untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat mengakibatkan aritmia jantung
(Umpierrez, 2002).
Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan kecepatan 50-75
mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih tinggi. Jika gula darah tidak menurun
sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status
hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai
penurunan gula darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai 250
mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05-0,1 u/kgBB/jam (3-6 u/jam), dan tambahkan infus
dextrose 5-10% (Umpierrez, 2002).
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus disesuaikan
untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik. Pada kondisi klinik
pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu
(0,4-0,6 iu)/kgBB yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi
19
secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara intramuskular atau
subkutan 0,1 iu/kgBB/jam, selanjutnya protokol penatalaksanaannya sama seperti pemberian
drip intravena (Soewondo, 2009).
3. Natrium
Penderita dengan ketoasidosis diabetik kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang
rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100
mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada
kadar yang diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah. Kadar
natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena
normal saline memiliki kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu
disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular sehingga akan
meningkatkan kadar natrium. Serum natrium yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l
memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45% (Gotara & Budiyasa, 2010).
4. Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah kadar kalium serum
kurang dari 5, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20-30 mEq kalium (2/3
KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk memelihara kadar kalium serum
dalam range normal 4-5mEq. Kadang-kadang pasien KAD mengalami hipokalemia yang
signfikan. Pada kasus tersebut, penggantian kalium harus dimulai dengan terapi KCl 40
mEq/l, dan terapi insulin harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari
aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan (Umpierrez, 2002).
5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Mengetahui bahwa asidosis berat
menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak diinginkan, tampaknya cukup bijaksana
menentukan bahwa pada pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat
ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam.
Pada pasien dengan pH 6,9-7,0, 50mmol natrium bikarbonat dicampur dalam 200 ml cairan
fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak diperlukan
jika pH > 7,0. Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium serum,
oleh karena itu pemberian kalium harus terus diberikan secara intravena dan dimonitor secara
20
berkala. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi
harus diulangi setiap 2 jam jika perlu (Umpierrez, 2002).
sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi cepat, dengan kejang, inkontinensia,
perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan respirasi. Meskipun mekanisme edema serebri
belum diketahui, tampaknya hal ini merupakan akibat dari masuknya cairan ke susunan saraf
pusat lewat mekanisme osmosis, ketika osmolaritas plasma menurun secara cepat saat terapi
KAD. Oleh karena terbatasnya informasi tentang edema serebri pada orang dewasa, beberapa
rekomendasi diberikan pada penanganannya, antara lain penilaian klinis yang tepat
dibandingkan dengan bukti klinis. Pencegahan yang tepat dapat menurunkan risiko edema
serebri pada pasien risiko tinggi, diantaranya penggantian cairan dan natrium secara bertahap
pada pasien yang hiperosmolar dan penambahan dextrose untuk hidrasi ketika kadar gula
darah mencapai 250 mg/dl (Umpierrez, 2002).
Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak dapat sebagai
komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan koloid osmotik yang
merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan penurunan compliance paru.
Pasien dengan KAD yang mempunyai gradient oksigen alveolo-arteriolar yang lebar yang
diukur pada awal pemeriksaan analisa gas darah atau dengan ronki pada paru pada
pemeriksaan fisik tampaknya mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru
(Umpierrez, 2002).
Tabel 2. Komplikasi Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik
BAB II
BORANG PORTOFOLIO KASUS
No. ID dan Nama Peserta
No. ID dan Nama Wahana
Topik
Tanggal (kasus)
Nama Pasien
MF
No. RM :
Tanggal Presentasi
19 Oktober 2016
Pendamping :
027593
dr. Matruzi & dr. Elsa
Sri Fadila
Ruang Konfrens RSUD Adnaan WD Payakumbuh
Tempat Presentasi
Objektif Presentasi
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Pasien laki-laki, usia 17 tahun, datang dengan keluhan badan lemas dan muntah Deskripsi
muntah.
Tujuan
Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan ketoasidosis diabetikum.
Bahan
Tinjauan Pustaka
Riset
Kasus
Audit
Bahasan
Cara
Diskusi
Presentasi dan Diskusi
E-mail
Pos
Membahas
Data Pasien
Nama : MF
No. Registrasi : 027593
Nama RS : RSUD Adnaan WD Payakumbuh
Telp :
Terdaftar sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Gambaran Klinis:
-
Pemeriksaan Sistemik
- Turgor kulit
: Baik
- Kulit dan kuku : Ikterik (-), pucat (-), sianosis (-)
- Mata
: Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, Pupil isokor 2mm/2mm,
RC +/+
- Leher
: Kaku kuduk (-)
- Kelenjar getah bening
Leher
: tidak teraba pembesaran KGB
Aksila
: tidak teraba pembesaran KGB
Inguinal
: tidak teraba pembesaran KGB
- Toraks
Paru
Inspeksi
: simetris kiri dan kanan
Palpasi
: fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi
: sonor
Auskultasi
: vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/Jantung
Inspeksi
: ictus cordis tak terlihat
Palpasi
: ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi
: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi
: irama murni, teratur, bising (-)
- Abdomen
Inspeksi
: tidak membuncit
Palpasi
: supel, tidak teraba massa, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+)
Perkusi
: timpani
Auskultasi
: bising usus (+) normal
- Ekstremitas
: akral hangat, refilling kapiler < 2s, edem -/PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (30 September 2016)
-
Hb
: 15,5 gr%
Leukosit
: 56.900/mm3
Hematokrit : 45%
Trombosit : 335.000/mm3
GDR
: Hi (di IGD) 353 mg% (di labor IGD)
Na
: 135 mEq/L
K
: 5,4 mEq/L
Cl
: 89 mEq/L
Urinalisa :
Protein urin : ++
Reduksi urin : +++
Leukosit urin : +
Eritrosit urin : ++
Benda keton : ++
TATALAKSANA
-
O2 2 L/
24
FOLLOW UP
Jumat, 30 September 2016 (Visite Sp.PD di Cempaka 2)
S/ Badan lemas (+), muntah (+)
O/ TD : 155/70
A/ Ketoasidosis Diabetikum
P/ - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Drip Insulin sesuai protap sampai GDR 200 mg%
- Jika GDR 200 mg%, lanjut sliding scale / 6 jam
GDR 200 250 Inj. Novorapid 5 unit
GDR 250 300 Inj. Novorapid 10 unit
GDR 300 350 Inj. Novorapid 15 unit
GDR 350 Inj. Novorapid 20 unit
- Inj. Levemir 1 x 10 unit (malam) Stop
- Diet MLDD
- Cek KK lengkap besok
- Th/ lain lanjut
Jumat, 30 September 2016, Pukul 16.00 WIB (DU)
S/ Sesak (+)
O/ TD : 155/70
GDR : High
A/ Ketoasidosis Diabetikum
P/ Konsul dr. Wit, Sp.PD via telepon, advis:
Rawat ICU
- Drip Insulin sesuai protap
- Cek GDR/jam
- Bila GDR < 200 sebanyak 3x sliding scale / 6 jam
- Th/ lain lanjut
Jumat, 30 September 2016, Pukul 16.20 WIB (Visite Sp.PD di ICU)
S/ Sesak (+), Mual (+)
O/ TD : 155/70
GDR : High
A/ Ketoasidosis Diabetikum
P/ - Drip Insulin sesuai protap
25
Cek GDR/jam
Bila GDR < 200 sebanyak 3 x sliding scale / 6 jam
Bicnat 3 x 1 tab
Th/ lain lanjut
Amlodipin 1 x 10 mg
Candesartan 1 x 8 mg
Inj. Furosemid 1 amp (extra)
Th/ lain lanjut
Puasa sementara
Th/ lain lanjut
S/ Pusing (+)
O/ TD : 110/60, Nadi : 105 x/, Nafas : 20 x/
GDR terakhir 156
A/ Ketoasidosis Diabetikum
P/ - Aff sliding scale
KSR 1 x 1 tab
Levofloxacin tab 1 x 500 mg
Inj. Ondansetron Ganti Domperidon tab 3 x 1 (k/p)
Inj. OMZ Ganti OMZ tab 1 x 1
Bisa pindah ruang rawat biasa
Konsul gizi
Th/ lain lanjut
Alprazolam 1 x 0,5 mg
Th/ lain lanjut
Obat pulang:
Inj. Novorapid 3 x 20 unit
Inj. Levemir 1 x 12 unit (malam)
Levofloxacin 1 x 500 mg
OMZ 1 x 1 tab
Domperidon 3 x 1 tab (k/p)
Amlodipin 1 x 10 mg
Candesartan 1 x 8 mg
Alprazolam 1 x 0,5 mg
PCT 3 x 500 mg (k/p)
Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis ketoasidosis diabetikum
2. Tatalaksana ketoasidosis diabetikum
3. Pencegahan berulangnya ketoasidosis diabetikum
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
29
Subjektif :
Seorang laki-laki berusia 17 tahun datang ke IGD dengan keluhan badan terasa lemas
sejak 1 hari SMRS. OS juga mengalami mual dan muntah sejak 1 hari SMRS, dengan
frekuensi sering. Demam (-). OS telah dikenali menderita DM tipe I sejak 1 tahun yang
lalu. OS rutin kontrol ke Poli Penyakit Dalam dan mendapatkan pengobatan berupa
suntik insulin. Namun 2 hari ini obat tidak digunakan. Sebelumnya OS juga telah
pernah dirawat beberapa kali karena keluhan yang sama. Rawatan terakhir sekitar 3
bulan yang lalu.
Objektif :
Dari pemeriksaan fisik ditemukan KU pasien tampak lemas, dengan kesadaran
somnolen. Tekanan darah 155/70, nadi 100x/menit, nafas 26x/menit, suhu 36,3oC, dan
SpO2 100%. Dari pemeriksaan kepala, leher, thoraks, dan ekstrimitas tidak ditemukan
kelainan, namun ditemukan nyeri tekan epigastrium pada pemeriksaan abdomen.
Kelainan lainnya yang ditemukan adalah dari pemeriksaan laboratorium yang
menunjukkan GDR High, leukosit 56.900, protein urin ++, leukosit urin +, reduksi urin
+++, eritrosit urin ++, dan benda keton ++.
Assesment (penalaran klinis) :
Telah dilaporkan suatu kasus seorang pasien laki-laki berusia 17 tahun dengan
diagnosis kerja ketoasidosis diabetikum. Dasar diagnosis tersebut pada pasien adalah
dari anamnesis pasien di IGD yang diketahui bahwa pasien mengalami keluhan badan
lemas dan muntah-muntah dengan riwayat DM Tipe I serta pengobatan yang terputus.
Diagnosis ini semakin diperkuat dengan temuan laboratorium yang memperlihatkan
GDR High dan benda keton urin positif 2 (++). Faktor pemicu terjadinya KAD pada
pasien ini kemungkinan adalah karena faktor adanya infeksi yang dibuktikan dengan
leukosit yang tinggi. Namun sumber infeksi pada pasien ini tidak dapat ditentukan.
Faktor lainnya adalah karena terputusnya obat. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya
peningkatan gula darah secara signifikan hingga menyebabkan kondisi KAD.
Plan :
1. Diagnosis
Amlodipin 1 x 10 mg
Candesartan 1 x 8 mg
Inj. Furosemid 1 amp (extra)
Levofloxacin tab 1 x 500 mg
Inj. Ondansetron Ganti Domperidon tab 3 x 1 (k/p)
Inj. OMZ Ganti OMZ tab 1 x 1
Alprazolam 1 x 0,5 mg
Konsul gizi
Obat Pulang
Edukasi:
DAFTAR PUSTAKA
Alberti KGM. 2004. Hyperglycemic Crises in Diabetes. Diabetes Care. American Diabetes
Association.
Chiasson JL dkk. 2003. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis and the
Hyperglycemic Hyperosmolar State. CMAJ 2003 Apr 1. NCBI.
Goetara W, Budiyasa DGA. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetikum. Jurnal
Penyakit Dalam Vol. 11 No. 2. Denpasar: FK Universitas Udayana.
Soewondo P. 2000. Ketoasidosis Diabetik. Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Simposium.
Trachtenberg DE. 2005. Diabetic Ketoacidosis. Am Fam Physician.
Umpierrez. 2002. Diabetic Ketoacidosis and Hyperglicemic Hyperosmolar Syndrome.
Diabetes Spectrum. American Diabetes Association.
32