Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada
tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa
Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke
Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan
No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa
Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama
seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku
Nana berusia 15 tahun.
Pada 2 Mei 1964, melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106,
Tjoet Njak Dien ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sebagai
penghargaan terhadap jasa-jasanya yang besar. Makamnya kemudian dipugar dan
dibangun sebuah meunansah (mushala) di dekatnya.
TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat
taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian
dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah
keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu
Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang
bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien
memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain
diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah
tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal
yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya.
Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya,
Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat
dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan.
Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan
benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.
Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862
dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan
pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang
membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatanperbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang
mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje,
1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan
2
tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya
berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis
depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu
Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien
mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi
pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan
pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah
hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan.
Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan
Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap
kaum kafir Belanda.
Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi
pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang
menyala-nyala berserulah ia, "Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh!
Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka
menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama
Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang
serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang
serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?" (Szekely
Lulofs, 1951:59).
Bertahun-tahun peperangan kian berkecamuk. Karena keunggulan Belanda dalam
hal persenjataan dan adanya pengkhianatan satu per satu benteng pertahanan Aceh
berjatuhan, termasuk Kuta (benteng) Lampadang. Karena terdesak Tjoet Njak Dien
beserta keluarganya terpaksa mengungsi. Pada sebuah pertempuran di Sela Glee
Tarun, Teuku Ibrahim Lamnga gugur, yang konon karena penghianatan Habib
Abdurrahman.
MESKI kematian suaminya menimbulkan kesedihan yang dalam bagi Tjoet Njak
Dien, tapi ini tak membuatnya murung dan mengurung diri. Sebaliknya, semangat
juangnya kian berkobar. Sebagai seorang janda yang masih muda dengan seorang
anak, ia tetap ikut bergerilya melawan Belanda. Menurut orang yang dekat
dengannya, Tjoet Njak Dien pernah bersumpah hanya akan menikah dengan orang
yang turut membantunya melawan Belanda.
Kehadiran seorang figur seperti Teuku Umar yang juga adalah pemimpin
perjuangan yang gagah berani, sangatlah berarti bagi rencana perjuangan Tjoet Njak
Dien. Meski masih saudara sepupu, dia baru bertemu dengan Teuku Umar saat
3
Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua
belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, "Ya Allah
ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada
kafir".
Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan
Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah
ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.
Penempatan Tjoet Njak Dien di Kutaraja mengundang kedatangan para pengikutnya.
Karena khawatir masih bisa menggerakkan semangat perjuangan Aceh, Tjoet Njak
Dien terpaksa dijatuhi hukuman pengasingan ke Pulau Jawa, yang berrati
mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.
Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing,
sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff
mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin
perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes
Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai
sektor.
Menjelang akhir hidupnya, di Sumedang, di daerah yang sangat asing baginya, Tjoet
Njak Dien masih juga berperang dalam pertempuran lain, yakni perlawanan
terhadap penjajahan kebodohan. Allahu Akbar. (Ida S. Widayanti/ Suara
Hidayatullah)*