Вы находитесь на странице: 1из 12

TUGAS STASE MATA

OLEH
ANASTASIA L. SELASA
1208011003
ENDOFTALMITIS
1. Definisi
Endoftalmitis adalah peradangan berat yang terjadi pada seluruh jaringan
intraocular, yang mengenai dua dinding bola mata, yaitu retina dan koroid
tanpa melibatkan sklera dan kapsula tenon, yang biasanya terjadi akibat
adanya infeksi.
2. Etiologi
Penyebab endoftalmitis dapat dibagi menjadi:
a. Endogen
Endoftalmitis endogen terjadi akibat penyebaran bakteri, jamur ataupun
parasit dari fokus infeksi di dalam tubuh, yang menyebar secara
hematogen

ataupun

akibat

penyakit

sistemik

lainnya,

misalnya

endocarditis.
b. Eksogen
Endoftalmitis eksogen dapat terjadi akibat trauma tembus atau infeksi
sekunder/komplikasi yang terjadi pada tindakan pembedahan yang
membuka bola mata, reaksi terhadap benda asing dan trauma tembus bola
mata. Bakteri gram positive menyebabkan 56-90% dari seluruh kasus
endoftalmitis. Beberapa kuman penyebabnya dalah staphylococcus
epidermidis, staphylococcus aureus, dan spesies streptococcus. Bakteri
gram negatif seperti pseudomonas, escherichia coli dan enterococcus
dapat ditemukan dari trauma tembus bola mata.
c. Endoftalmitis fakoanafilaktik merupakan endoftalmitis unilakteral ataupun
bilateral yang merupakan reaksi uvea granulomaosa terhadap lensa yang
mengalami ruptur. Endoftalmitis fakoanafilaktik merupakan suatu
penyakit autoimun terhadap jaringan tubuh (lensa) sendiri, akibat jaringan
tubuh tidak mengenali jaringan lensa yang tidak terletak di dalam kapsul.
Pada tubuh terbentuk antibodi terhadap lensa sehingga terjadi reaksi

antigen

antibodi

yang

akan

menimbulkan

gejala

endoftalmitis

fakoanafilaktik.
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis endoftalmitis dapat diketahui dari gejala subjektif dan
objektif yang didapatkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik :
a. Subyektif
Secara umum, gejala subjektif dari endoftalmitis adalah:
Fotofobia
Nyeri pada bola mata
Penurunan tajam penglihatan
Nyeri kepala
Mata terasa bengkak
Kelopak mata bengkak, merah, kadang sulit untuk dibuka.
Adanya riwayat tindakan bedah mata, trauma tembus bola mata disertai
dengan atau tanpa adanya penetrasi benda asing perlu diperhatikan karena

adanya kemungkinan penyebab eksogen.


Mengenai penyebab endogen maka penderita perlu di anamnesis
mengenai ada atau tidaknya riwayat penyakit sistemik yang dideritanya.
Penyakit yang merupakan predisposisi terjadinya endoftalmitis di
antaranya adalah diabetes melitus, AIDS dan SLE yang dapat
dihubungkan dengan imunitas yang rendah. Sedangkan beberapa penyakit
infeksi

yang

dapat

menyebabkan

endoftalmitis

endogen

akibat

penyebarannya secara hematogen adalah meningitis, endokorditis, infeksi

saluran kemih, infeksi paru-paru dan pielonefritis.


untuk endoftalmitis fakoanafilaktik, dapat ditanyakan tentang adanya
riwayat segala subjektif katarak yang diderita pasien sebelumnya.

b. Obyektif
Kelainan fisik yang ditemukan berhubungan dengan struktur bola mata
yang terkena dan derajat infeksi/peradangan. Pemeriksaan yang dilakukan
adalah pemeriksaan luar, slit lamp dan funduskopi kelainan fisik yang
dapat ditemukan dapat berupa:
Udem Palpebra Superior
Reaksi konjungtiva berupa hiperemis dan kemosis
Injeksi siliar dan injeksi konjungtiva
Udem Kornea

Kornea keruh
keratik presipitat
Bilik mata depan keruh
Hipopion
Kekeruhan vitreus
Penurunan refleks fundus dengan gambaran warna yang agak pucat
ataupun hilang sama sekali.

4. Penatalaksanaan
1. Antibiotik yang sesuai dengan organisme penyebab.
2. Steroid secara topikal, konjungtiva, intravitreal, atau secara sistematik,
yang digunakan untuk pengobatan semua jenis endoftalmitis.
3. Sikloplegia tetes dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, stabilisasi
aliran darah pada mata dan mencegah terjadinya sinekia.
4. Tindakan Vitrektomi.
Keadaan visus yang buruk pada endoftalmitis, dikarenakan virulensi
mikroorganisme penyebab yang memiliki enzim proteolitik dan produk toksin
yang dapat merusak retina, serta kemampuan multiplikasi yang cepat, juga jarak
antara ditegakkannya diagnosis sampai pada saat terapi diberikan. Oleh karena itu
pengobatan ditujukan bukan untuk memperbaiki visus, tapi untuk mengatasi
proses inflamasi yang terjadi, serta membatasi infeksi agar tidak terjadi penyulit
dan keadaan yang lebih berat.
Teknik pengobatan pada endoftalmitis adalah dengan secepatnya memulai
pemberian antibiotik empiris yang sudah terbukti efektif terhadap organisme
spesifik yang diduga secara intravitreal dengan dosis dan toksisitas yang
diketahui. Pada endoftalmitis yang disebabkan oleh bakteri, terapi obat-obatan

secara intraviteral merupakan langkah pertama yang diambil. Pemberian antibiotik


dilakukan secepatnya bila dugaan endoftalmitis sudah ada, dan antibiotik yang
sesuai segera diberikan, bila hasil kultur sudah ada. Antibiotik yang dapat
diberikan dapat berupa antibiotik yang bekerja terhadapa membran set, seperti
golongan penicilin, Cephalosporin dengan antibiotik yang dapat menghambat
sintesa protein dengan reseptor ribosomal, seperti golongan Chloramphenicol,
Aminoglycosida.
Terapi steroid pada penyakit mata adalah untuk mengurangi inflamasi yang
disertai eksudet dan untuk mengurangi granulasi jaringan. Kedua efek ini penting
untuk endoftalmitis, karena dasar dari endoftalmitis adalah inflamasi, dimana
prognosis visusnya dipengaruhi oleh inflamasi yang terus berlanjut. Sampai saat
ini pemberian kortikosteroid pada endoftalmitis masih kontroversi walaupun
sudah banyak penelitian menunjukkan hasil yang memuaskan dari pemberian
Dexamethason dalam menghambat reaksi inflamasi dan reaksi imun abnormal
yang dapat menimbulkan kerusakan luas pada mata. Dexamethason dapat
diberikan secara intravitreal dengan dosis 400ug dan 1 mg secara intraokular
sebagai profilaksis.
Pemberian Sikloplegik dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri,
stabilisasi aliran darah pada mata, mencegah dan melepas sineksia serta
mengistirahatkan iris dan benda siliar yang sedang mengalami infeksi.
Pada kasus yang berat dapat dilakukan Vitrektomi Pars Plana, yang bertujuan
untuk mengeluarkan organisme beserta produk toksin dan enzim proteolitiknya
yang berada dalam vitreous, meningkatkan distribusi antibiotik dan mengeluarkan
membran siklitik yang terbentuk, yang potensial menimbulkan ablasi, serta
mengembalikan kejernihan vitreous

HIFEMA

1. Definisi
Hifema didefinisikan sebagai keberadaan sel darah merah di kamera okuli
anterior (anterior chamber). Apabila keberadaan sel darah merah sangat
sedikit sehingga hanya terbentuk suspensi sel-sel darah merah tanpa
pembentukan lapisan darah, keadaan ini disebut sebagai mikrohifema.
2. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hifema terbagi menjadi tiga yakni:
1. Hifema traumatik
2. Hifema iatrogenik
3. Hifema spontan
Hifema traumatik merupakan jenis yang tersering, yang merupakan hifema
akibat terjadinya trauma pada bola mata. Trauma yang terjadi pada umumnya
disebabkan oleh benda tumpul, misalnya bola, batu, projektil, mainan anak-anak,
pelor mainan, paint ball, maupun tinju. Trauma tumpul yang menghantam bagian
depan mata misalnya, mengakibatkan terjadinya perubahan bola mata berupa
kompresi diameter anteroposterior serta ekspansi bidang ekuatorial. Perubahan ini
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intraokular secara transien yang
mengakibatkan terjadinay penekanan pada struktur pembuluh darah di uvea (iris
dan badan silier). Pembuluh darah yang mengalami gaya regang dan tekan ini
akan mengalami ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan (camera oculi
anterior).
Hifema iatrogenik adalah hifema yang timbul dan merupakan komplikasi dari
proses medis, seperti proses pembedahan. Hifema jenis ini dapat terjadi
intraoperatif maupun postoperatif. Pada umumnya manipulasi yang melibatkan
struktur kaya pembuluh darah dapat mengakibatkan hifema iatrogenik.
Hifema spontan sering dikacaukan dengan hifema trauma. Perlunya
anamnesis tentang adanya riwayat trauma pada mata dapat membedakan kedua
jenis hifema. Hifema spontan adalah perdarahan bilik mata depan akibat adanya
proses neovaskularisasi, neoplasma, maupun adanya gangguan hematologi.

1. Neovaskularisasi, seperti pada diabetes melitus, iskemi, maupun sikatriks.


Pada kondisi ini, adanya kelainan pada segmen posterior mata (seperti
retina yang mengalami iskemi, maupun diabetik retinopati) akan
mengeluarkan faktor tumbuh vaskular (misal: VEGF) yang oleh lapisan
kaya pembuluh darah (seperti iris dan badan silier) dapat mengakibatkan
pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Pembuluh darah
yang baru pada umumnya bersifat rapuh dan tidak kokoh, mudah
mengalami ruptur maupun kebocoran. Kondis ini meningkatkan
kerentanan terjadinya perdarahan bilik mata depan.
2. Neoplasma, seperti retinoblastoma dan melanoma maligna pada umumnya
juga melibatkan neovaskularisasi seperti yang telah dijelaskan pada poin
pertama.
3. Hematologi, seperti leukemia, hemofilia, penyakit Von Willebrand yang
mana terjadinya ketidakseimbangan antara faktor pembekuan dan faktor
anti-pembekuan. Dengan demikian terjadi proses kecenderungan berdarah.
4. Penggunaan obat-obatan yang mengganggu sistem hematologi, seperti
aspirin dan warfarin.
3. Manifestasi Klinis
Pada umumnya pasien mengeluhkan penurunan tajam penglihatan, sakit
kepala, fotofobia, serta menjelaskan riwayat trauma atau percideraan pada
mata. Percideraan yang dikeluhkan umumnya diakibatkan oleh benda tumpul.
Tanda yang dapat ditemukan adalah keberadaan darah yang dapat terlihat
melalui kornea. Keberadaan hifema perlu ditentukan derajatnya (berdasarkan
klasifikasinya) serta warna hifema yang terbentuk. Pada komunitas khusus
(seperti kaum Hispanik maupun orang kulit hitam ras Afro-Amerika perlu
dieksplorasi mengenai anemia sel sabit sebab hifema pada seorang dengan sel
sabit dapat menunjukkan perburukan yang cepat akibat ertirosit sabit
mengoklusi trabekula dengan lebih efektif dan menyebabkan peningkatan
tekanan intraokular yang lebih berbahaya dan akut.
Klasifikasi hifema berdasarkan keberadaan darah di kamera okuli anterior
adalah sebagai berikut:

Grade

Keberadaan darah di Kamera

Okuli Anterior (COA)


Kurang dari 1/3

1/3 sampai

Lebih dari

Total (Penuh)

4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hifema sangat bergantung kepada derajat hifema, komplikasi
yang terjadi, serta respons pasien terhadap pengobatan. Demikian pula hal-hal
inilah yang menjadi parameter dalam menentukan apakah pasien perlu dirawat
atau hanya berobat jalan saja. Untuk kasus ringan, penatalaksanaan dapat
meliputi terapi konservatif, seperti:
1. Membatasi aktivitas pasien
2. Melakukan penutupan mata dengan eye patch atau eye cover
3. Melakukan elevasi kepala 30-45o. Adapun maksud dari elevasi kepala
adalah untuk membuat darah mengumpul di bagian inferior dari COA dan

tidak menghalangi tajam penglihatan. Posisi ini juga mempermudah dalam


evaluasi harian COA tentang resorpsi hifema sehingga dapat menunjukkan
kemajuan pengobatan. Selain itu posisi ini merupakan posisi optimal
dalam mencegah kontak sel-sel darah merah dengan korena dan trabekula
Fontana.
4. Memberikan sedasi, terutama pada pasien pediatri yang hiperaktif. Hal ini
juga sesuai dengan poin pertama.
5. Pemberian analgesik, apabila dirasakan nyeri yang ringan dapat diberikan
asetaminofen, atau nyeri yang cukup berat dapat diberikan kodein. Hindair
penggunaan aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS, NSAID)
sebab dapat menimbulkan perdarahan dan berisiko menyebabkan
perdarahan sekunder.
6. Pemantauan berkala (setiap hari) tentang tajam penglihatan, tekanan
intraokular, serta regresi hifema.
Tujuan terapi sesuai dengan komplikasi yang mungkin terjadi. Untuk
mengatasi peningkatan tekanan intraokular, dapat dilakukan pemberian
antiglaukoma topikal, seperti timolol (antagonis reseptor beta), latanoprost
(analog prostaglandin), serta brimonidin (agonis reseptor 2 tipe perifer).
Kesemua agen ini bertujuan untuk mengurangi produksi akueous humor dan
dapat membantu menurunkan tekanan intraokular. Apabila masih tinggi, dapat
dicobakan pemberian inhibitor enzim karbonat-anhidrase (CAI) topika..
Tekanan yang belum terkontrol mengindikasikan pemberian agen lain, yakni
CAI sistemik (melalui oral), yakni asetazolamid dengan dosis 20 mg/kg/hari
terbagi dalam empat dosis. Hal ini terutama digunakan apabila tekanan masih
di atas 22 mmHg. Pilihan terakhir apabila tekanan masih tinggi adalah
pemberian agen osmotik (seperti manitol IV 1,5 g/kg dalam larutan 10% 2 kali
sehari atau 3 kali sehari apabila tekanan sangat tinggi), atau pemberian gliserol
per oral. Hal ini penting apabila tekanan intraokular tetap di atas 35 mmHg
meskipun hal-hal di atas telah dicobakan pada pasien.
Untuk mencegah perdarahan seknder, dapat diberikan asam aminokaproat /
ACA yang merupakan agen anti-plasmin. Plasmin merupakan enzim yang

melisiskan bekauan darah sehingga dapat mengakibatkan perdarahan ulang.


Asam aminokaproat yang pertama kali diteliti menggunakan dosis 100 mg/kg
dan diberikan setiap 4 jam (dengan maksimal 30 g setiap hari) melalui oral.
Agen ini diberikan selama 5 hari dan terbukti secara klinis sangat menurunkan
kejadian perdarahan sekunder, dibandingkan dengan pemberian plasebo.
Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa asam aminokaproat 50 mg/kg juga
sama efektifnya dengan pemberian 100 mg/kg. Pemberian asam aminokaproat
terutama diindikasi pada hifema dengan kurang dari 75% COA sebab pada
kondisi yang lebih dari ini mencegah lisis dari bekuan darah dianggap tidak
efektif dalam mencegah terjadinya perdarahan sekunder.
Pasien diindikasikan rawat inap jika:
1. Pasien mengalami hifema derajat II atau lebih, sebab berpotensi terjadinya
2.
3.
4.
5.

perdarahan sekunder
Merupakan sickle cell trait
Terjadi trauma tembus okuli
Pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan
Pasien yang memiliki riwayat glaukoma

Dalam pasien rawat, perlu dilakukan pemantauan secara intensif seperti tajam
penglihatan, tekanan intraokular, serta resolusi hifema. Selain itu perlu pula diamati
apakah terdapat indikasi bedah pada pasien. Pasien akan menjalani bedah apabila
terdapat:
1. Corneal blood staining
2. Riwayat sickle cell trait, dengan tekanan intraokular di atas 24 mmHg
lebih dari 24 jam
3. Hifema dengan derajat lebih dari 50% COA selama 9 hari atau lebih. Hal
ini perlu dilakukan pembedahan agar tidak terjadi sinekia anterior,
meskipun sudah mendapatkan terapi medik secara maksimal
4. Hifema total, dengan tekanan intraokular lebih dari 50 mmHg selama 4
hari atau lebih meskipun sudah mendapatkan terapi medik secara
maksimal
5. Hifema total atau hifema dengan derajat >75% COA, dengan tekanan
intraokular lebih dari 25 mmHg selama lebih dari 6 hari meskipun sudah
mendapatkan terapi medik secara maksimal

Вам также может понравиться