Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu produk unggulan pertanian Indonesia setelah
sawit dan karet dengan produksi 13,7% dari total produksi kakao dunia
(Departemen Pertanian, 2005). Daerah penghasil kakao di Indonesia sebagian
besar terdapat di Pulau Sulawesi dan di Propinsi Sumatera Utara, namun industri
pengolahan kakao banyak terdapat di Pulau Jawa (Departemen Perindustrian,
2007). Industri mengolah biji kakao menjadi berbagai macam produk setengah
jadi dan olahan. Bubuk, lemak, bungkil dan pasta adalah produk setengah jadi
atau produk antara (intermediate) yang dihasilkan dari pengolahan sekunder biji
kakao (Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008). Produk antara tersebut
kemudian diolah lagi menjadi beragam jenis produk komersil, seperti permen
cokelat (praline), cokelat batangan dengan berbagai tambahan rasa dan macammacam kue cokelat.
Cokelat merupakan hasil olahan dari biji tanaman kakao (Theobroma cacao)
yang dapat dijadikan makanan ataupun minuman. Cokelat menjadi salah satu rasa
yang paling populer di dunia, selain sebagai cokelat batangan yang paling umum
dikonsumsi, cokelat juga menjadi bahan minuman hangat dan dingin. Oleh karena
itu, cokelat dapat dikonsumsi oleh banyak masyarakat dunia. Cokelat merupakan
jenis makanan yang bergizi yang mengandung beberapa komponen seperti 15%
lemak, 6% protein, 17% karbohidrat, 15% kalori, beberapa vitamin dan mineral
yang diperlukan. Proses pembuatan cokelat melalui beberapa proses diantaraya:
penyortiran, penyangraian, pemisahan kulit, alkalisasi, pencampuran, conching,
tempering dan pencetakan.
Salah satu cara untuk memperbaiki mutu cokelat adalah dengan cara
tempering yaitu proses yang melibatkan serangkaian tahapan pemanasan,
pendinginan, dan pengadukan dengan kecepatan rendah. Proses tempering dapat
meningkatkan titik leleh (Bolliger et al, 1999). Selain proses tempering,
kestabilan cokelat olahan juga ditentukan oleh proses mixing dan conching yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya perubahan warna dan timbulnya fat bloom
pada coklat yang dihasilkan.
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Malvales
Suku
: Sterculiaceae
Genus
: Theobroma
Spesies
: Theobroma cacao L.
berwarna
ungu
pada
waktu
basah.
Jika
cukup
biji buahnya tipis-tipis, berwarna jingga dan rasanya kesat dan pahit.
3. Trinitario.
masak,
Karakteristik
Jumlah biji/100g
Kadar air, % (b/b) maks
Berjamur, % (b/b) maks
Tak terfermentasi, (b/b) maks
Berserangga, hampa, berkecambah,
% (b/b) maks
6.
Biji pecah, % (b/b) maks
7.
Benda asing, % (b/b) maks
8.
Kemasan kg, netto/karung
Sumber : SNI 01-2333-2000
Mutu I
80-85
7,5
3
Mutu II
86-100
7,5
4
Mutu III
>110
7,5
4
3
0
62,5
3
0
62,5
3
0
62,5
diperoleh
dari
pengolahan
biji
buah,
fermentasi, perendaman
dan
pencucian,
pengeringan
dan
bukan
ungu.
Fermentasi
akan
mempermudah
pengeringan
dan
menghancurkan lapisan pulp yang mendekat pada biji. Pada proses fermentasi
lembaga di dalam biji kakao juga akan mati (Nuraeni, 1995).
Beberapa macam produk dapat dihasilkan dari kakao, baik yang berasal
dari kulit, pulp maupun dari biji. Kulit kakao dapat dijadikan kompos, pakan
ternak, substrat budidaya jamur, ekstraksi theobromin, dan bahan bakar. Secara
garis besar, biji kakao dapat diolah menjadi tiga olahan akhir, yaitu lemak kakao,
bubuk kakao dan permen atau makanan cokelat yang dalam pengolahannya
saling tergantung satu dengan yang lainnya (Wahyudi, T., dkk, 2008).
Biji Kakao adalah bahan utama pembuatan bubuk kakao (coklat), bubuk
kakao adalah bahan dalam pembuatan kue, es krim, makanan ringan, susu dll.
atau dalam bahasa keseharian masyarakat kita menyebutnya coklat. Karakter
rasa coklat adalah gurih, dengan aroma yang khas sehingga disukai banyak
orang khususnya anak-anak dan remaja (Nuraeni, 1995).
2.3 Pengolahan Biji Kakao
Dari biji kakao dapat dihasilkan berbagai produk setengah jadi dan olahan.
Bubuk, lemak, bungkil dan pasta adalah produk antara (intermediate) yang
dihasilkan dari pengolahan sekunder biji kakao. Sedang bubuk kakao merupakan
produk antara yang paling banyak dikenal dan digunakan oleh masyarakat
(Misnawi, 2004). Tahapan pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi
(pasta, lemak, dan bubuk coklat) dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Persiapan bahan/ Penyotiran
Persiapan bahan dimulai dari tahap pemisahan biji kakao yang akan diolah
dari biji biji muda, kotoran dan benda benda asing lain, serta melindungi alat
alat pengolahan dari benda benda yang membahayakan, seperti: logam logam.
Pembersihan biji kakao umumnya dilakukan secara mekanis, namun di tingkat
petani umumnya dilakukan secara manual.
Untuk mendapatkan hasil pengolahan yang optimal, maka syarat mutu
bahan bak sebaiknya menggunakan biji kakao yang telah difermentasi secara
sempurna, bebas dari jamur, ukuran biji yang seragam. Fermentasi tidak hanya
bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan mematikan biji, namun
terutama juga untuk memperbaiki dan membentuk citarasa coklat yang enak dan
menyenangkan serta mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji (Widyotomo et al.,
2004).
b. Penyangraian
dengan
menggunakan mesin pemasta, dan proses pelumatan dengan alat penghalus pasta
atau refiner untuk menghasilkan kehalusan pasta dengan ukuran partikel <20 m
. Proses pelumatan ini dilakukan secara berulang ulang, dimana pasta yang
dihasilkan pada proses ini dapat langsung digunakan sebagai bahan baku untuk
berbagai jenis makanan, roti,kue atau permen coklat (Ruku, 2008).
2.4 Produk Olahan Coklat
2.4.1 Pasta Coklat
Pasta coklat atau cocoa mass atau cocoa paste dibuat dari biji kakao kering
melalui beberapa tahapan proses sehingga biji kakao semula padat menjadi bentuk
cair atau semi cair. Pasta coklat dapat diproses lebih lanjut menjadi lemak dan
bubuk coklat yang merupakan bahan baku pembuatan prosuk makanan dan
minuman.
Pecahan pecahan inti biji hasil penyangraian didinginkan dan dilumatkan
(dihaluskan). Proses pelumatan dilakukan dua atau tiga tingkat, diawali dengan
menggunakan mesin pelumat tipe silinder atau pemasta kasar, kemudian diikuti
dengan pelumatan lanjut dengan silinder berputar sampai diperoleh pasta coklat
dengan kehalusan tertentu. Selam proses pelumatan, suhu pasta dikontrol
sedemikian rupa sehingga proses sangrai lanjut fase cair tidak berlangsung.
Setelah proses pelumatan selesai, pasta yang terbentuk disimpan dalam wadah
yang higienis (Ruku, 2008).
2.4.2 Lemak Kakao
Lemaka kakao yang diperoleh dengan cara mengepres partikel partikel biji
kakao. Rendemen lemak yang diperoleh dari pengempaan sangat dipengaruhi
suhu, inti biji, kadar air, ukuran partikel inti biji, kadar protein inti biji, tekanan
kempa dan waktu pengempaan. Lemak kakao akan relatif mudah dikempa pada
suhu antara 40-5C, kadar air <4% dan ukuran partikel < 75 m . Pengempaan
dilakukan dalam tabung dengan tekanan hidrolik sampai 40 atmyang dapat
digerakkan dengan mesin atau secara manual (Ruku, 2008)..
Lemak kakao merupakan lemak nabati alami yang mempunyai sifat unik
yaitu tetap cair pada suhu dibawah titik bekunya,bersifat plastis, kandungan
senyawa lemak padat relatif tinggi, warna putih kekuningan dan mempunyai bau
khas coklat (Mulato et al ., 2002). Lemak kakao banyak diolah untuk produk
makanan setelah dicampur dengan pasta, gula dan bahan bahan lainnya. Lemak
kakao juga banyak dipakai sebagai bahan baku industri farmasi dan kosmetika
(Ruku, 2008)..
2.4.3 Bubuk Coklat
Bubuk coklat atau cocoa powder diperoleh melalui proses penghalusan
bungkil (cocoa cake) hasil pengempaan. Bungkil inti biji hasil pengempaan
dihaluskan dengan alat penghalus (breaker). Untuk memperoleh ukuran fraksi
yang seragam, setelah penghalusan diakukan pengayakan. Biji kakao relatif sulit
dihaluskan dibandingkan biji biji dari produk pertanian lainnya, karena
pengaruh kadar lemak. Lemak yang tersisa di dalam bubuk akan meleleh saat
dihaluskan karena gesekan dan menyebabkan komponen peralatan penghalus
tidak dapat bekerja secara optimal (Ruku, 2008).
6. thickness meter
7. ballmill refiner
8. mesin conching
9. wadah stainlessteel
10. pengaduk
11. cetakan
12. termometer
13. kamera
3.1.2 Bahan
1. biji kakao
2. pasta kakao komersil
3. lemak kakao
4. susu full cream
5. lesitin
6. fine sugar
7. vanili
8. soda kue
dan
dilakukan
pendinginan.
Pendinginan
bertujuan
untuk
3.2.2
Pemastaan
Nib
Penimbangan
3.2.4
Coklat
Pasta kakao,lemak kakao,susu full cream,fine sugar,
lesitin,vanili,soda kue
penimbangan
pemasukan pasta kakao, lemak kakao, susu full
cream, dan fine sugar ke dalam ball mill refiner
100
90
Biji
Utuh
Dibelah
Pembeda
Warna
Aroma
Tekstur
Warna
Kakao Sangrai
Coklat pucat
Over roasting
Keras tapi rapuh
Coklat gelap
Gambar
4.1.2
Pemisahan Kulit
Berat Akhir
Berat Awal
Kulit Biji
28.06
90 gr
Berat Awal
50 gram
4.1.3
Nib
54.13
Efisiensi
0.73/50*100=1,46%
Pemastaan
Berat Awal
Berat Pasta
50 gr
37.26
Ukuran
Ukuran Partikel
Partikel
85m
Pasta Komersial
4m
4.1.4 Coklat
a. Ukuran Partikel
Waktu Ball Mill
0,5
2
Jam ke4
6
Ukuran Partikel
25m
15m
8m
6,2m
250C
3,6
300C
1,8
350C
2,5
n
Warna
Rasa
Aroma
Tekstur
Kecepatan
3,5
3,6
3,1
3,3
2
2,4
2,6
2,4
2,8
3
3,2
3,1
Leleh
38,94
28,49
34,46
(sekon)
Gambar
Gambar
4.2 Pembahasan
4.2.1 Penyangraian
250C
300C
350C
3,7
1,7
3,6
3,3
3,4
3,1
3,2
3,5
3,6
3,2
2,1
2,7
2,8
2,2
42,24
36,34
33,93
terlalu tinggi karena biji kakao yang disangarai dalam kapasitas kecil yaitu 100
gram.
4.2.2 Pemisahan Kulit
Pada praktikum pemisahan kulit dilakukan untuk memisahkan kulit biji dan
daging biji (nib). Pemisahan kulit dilakukan dengan menggunakan mesin
winnowing. Dari hasil praktikum didapat bahwa biji kakao yang telah disangrai
memiliki berat 90 gram dan kemudian pemisahan kulit biji diperoleh 28.06 dan
nib diperoleh sebesar 54.13. Becket (2000) menjelaskan, Proses pemisahan nib
dari biji dilakukan setelah biji disangrai dan mengalami proses tempering. Biji
kakao ini dimasukkan ke dalam mesin pemecah kulit. Mesin ini digunakan untuk
proses pemisahan kulit biji kakao menjadi nib sekaligus memperkecil ukuran dari
kakao tersebut. Efisiensi pemisahan kulit yang tersisa dari biji kakao didapatkan
sebesar 1,46%. Berdasarkan penyataan Becket (2000), bahwa pemisahan
dikatakan baik bila kulit yang terikut maksimal 1,75%. Dari hal tersebut maka
efisiensi pada praktikum menunjukkan bahwa pemisahan kulit dengan mesin
winnowing telah diproses secara baik.
4.2.3 Pemastaan
Berdasarkan praktikum pemastaan biji kakao, diperoleh data bahwa dari 50
gram biji kakao didapat berat pasta biji kakao sebesar 37.26. Dan dilakukan
pengukuran partikel pasta biji kakao dengan menggunakan thickness meter
diperoleh sebesar 85m, hal ini menunjukkan bahwa ukuran partikel pasta biji
kakao pada praktikum lebih besar daripada ukuran partikel pasta komersial yaitu
sebesar 4m. Ukuran partikel pasta biji kakao menunjukkan kelembutan atau
partikel kehalusan pada adonan coklat tersebut. Menurut Ruku (2008), agar biji
kakao dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman, maka keping
biji yang semua berbentuk butiran padat kasar harus dihancurkan dengan mesin
penggiling sampai ukuran tertentu (< 20 m ) dan menjadi bentuk pasta kental
atau serbuk. Proses penghancuran ini sangat menentukan kehalusan partikel coklat
dalam makanan. Proses penghancuran atau pemastaan kakao dilakukan dalam dua
tahap, yaitu; penghancuran untuk merubah biji kakao padat menjadi pasta dengan
kehalusan butiran > 40 m
pelumatan dengan alat penghalus pasta atau refiner untuk menghasilkan kehalusan
pasta dengan ukuran partikel <20 m .
berulang ulang, dimana pasta yang dihasilkan pada proses ini dapat langsung
digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai jenis makanan, roti,kue atau
permen coklat (Ruku, 2008). Pasta komersil memiliki ukuran partikel yang sesuai
karena telah dilakukan pengolahan secara teknologi modern sehingga pemastaan
menghasilkan ukuran yang baik.
4.2.4 Proses Pembuatan Coklat
a. Ukuran partikel
Pada pengolahan cokelat dilakukan beberapa tahapan proses yang akan
mempengaruhi karakteristik cokelat yang dihasilkan. Dalam praktikum cokelat,
didapat hasil pengukuran partikel pada ball mill refiner pada suhu 0.5, 2, 4, dan 6
jam secara berturut turut yaitu 25m, 15m, 8m, 6,2m. Hal ini,
menunjukkan bahwa waktu refiner cokelat akan mempengaruhi ukuran partikel
cokelat. Semakin lama waktu refiner, semakin lembut tekstur coklat yang
dihasilkan. Proses pelembutan dilakukan dengan menggunakan refiner yang
terdiri dari beberapa roll besi yang berputar dan hasil mixer dilewatkan pada roll
tersebut sehingga diperolah adonan yang sangat halus hingga ukuran partikel
terbesar 25m (Siswoputranto, 1985).
b. Kenampakan
4
4
3.6
3.5
1.8
2
1.5
1
2.5
2.5
rataan respon positif
3.7
0.5
0
suhu tempering
1.7
yang
mengalami
fat
blooming
tidak
berarti
rusak.
Tetapi fat blooming dapat dianggap sebagai jamur oleh konsumen yang kurang
mengerti atau memahami. Fat blooming juga dipengaruhi oleh adanya tempering
yang salah atau tidak lengkap sehingga kristal lemak yang terbentuk tidak stabil
(Ketaren, 1986). Selain itu juga karena kurang atau tidak ada emulsifier yang
berfungsi untuk mengikat atau mendistribusikan bahan-bahan yang digunakan
dalam pembuatan cokelat. Fat blooming merupakan salah satu hal yang tidak
diinginkan terjadi pada cokelat. Fat blooming ditandai oleh adanya perubahan
warna dan timbulnya lemak pada permukaan permen cokelat (Minifie,1999).
Untuk mencegah terjadinya fat blooming tersebut maka dilakukan proses
tempering dengan baik. Proses tempering dilakukan untuk memperoleh lemak
yang stabil. Lesitin yang ditambahkan berfungsi untuk mengikat lemak dan
komponen lain dalam bahan sehingga dapat mencegah terjadinya fat blooming.
Arafat, (2003) menyatakan bahwa lesitin juga dapat berfungsi untuk menjaga
stabilitas lemak dalam adonan sehingga lemak tidak mudah keluar.
Pada penyimpanan suhu dingin dan tempering dengan 250C tidak terjadi fat
blooming atau tidak terbentuknya gumpalan lemak pada permukaan cokelat. Hal
ini karena proses tempering yang sudah benar, lemak kakao terdispersi
(menyebar) secara merata dan adanya lesitin sebagai emulsifier. Emulsifier ini
digunakan untuk mengikat atau menyimpan lemak pada cokelat sehingga lemak
tidak mudah keluar atau pindah (migrasi)ke permukaan cokelat. Lesitin memiliki
sifat emulsif terhadap lemak. (Minifie, 1999).
c. Warna
4
3.5
2 2
3.2
2.5
2.5
1.5
3.6
3.5
0.5
0
suhu tempering
2.1
Gambar 2. Uji organoleptik warna pada penyimpanan suhu ruang dan suhu
dingin dengan suhu tempering 250C, 300C, 350C
Warna produk pangan adalah salah satu sifat organoleptik yang terdapat
pada produk pangan. Berdasarkan uji organoleptik warna, dapat diketahui bahwa
penyimpanan suhu ruang dengan suhu tempering 250C, 300C, 350C nilai rata
rata secara berturut turut yaitu : 3.5, 2, 2.8. Sedangkan pada penyimpanan suhu
dingin (kulkas) diperoleh rata- rata suhu tempering 25 0C, 300C, 350C secara
berturut- turut yaitu : 3.6, 3.2, 2.1. Hal ini dikarenakan panelis menyukai warna
coklat yang dihasilkan sempurna dengan coklat yang dilakukan tempering 250C
pada penyimpanan suhu dingin. dibandingkan warna coklat yang dihasilkan pada
suhu 300C, dan 350C. Cokelat yang dihasilkan tempering 250C memiliki warna
coklat yang tidak buram dan mengkilap. Hal ini dikarenakan adanya penambahan
bahan yang digunakan seperti gula dan lesitin. Lesitin memberikan kesan yang
mengkilap pada cokelat yang dihasilkan. Selain itu coklat dengan tempering suhu
tinggi tidak cocok untuk coklat karena akan mempengaruhi warna yang
dihasilkan. Selain itu, warna akan berpengaruh sangat nyata pada proses
tempering. Minifie (1999) menjelaskan bahwa, Proses tempering bertujuan untuk
mencegah terjadinya perubahan warna dan timbulnya semacam jamur atau fat
bloom pada coklat yang dihasilkan dengan mencegah terbentuknya kristal
tertentu pada minyak coklat yang terkandung pada coklat itu sendiri.
d. Rasa
4
3.6
3.3
3.5
2.7
2
3.5
2.4
2.5
1.5
3 3
0.5
0
suhu tempering
Gambar 3. Uji organoleptik rasa pada penyimpanan suhu ruang dan suhu
dingin dengan suhu tempering 250C, 300C, 350C
Berdasarkan gambar 3, dapat diketahui bahwa nilai rata- rata yang diperoleh
pada penyimpanan suhu ruang dengan suhu tempering 250C, 300C, 350C secara
berturut turut yaitu 3.6, 2.4, 3 sedangkan pada penyimpanan suhu dingin yaitu
3.3, 3.5, 2.7. Dari data tersebut menunjukkan berdasarkan kesukaan panelis
memiliki tingkat kesukaan yang berbeda beda. Rasa manis adalah sifat rasa
yang mempengaruhi cita rasa keseluruhan cokelat (Wahyudi, 2008). Rasa manis
pada coklat dengan perbedaan perlakuan seharusnya memiliki rasa manis dengan
nilai rataan sama karena penggunaan resep yang sama. Perbedaan nilai rataan
respon positif tersebut dipengaruhi oleh perasaan panelis atau kepekaan panelis.
Respon yang relatif seragam tersebut disebabkan karena bahan pada coklat yaitu
fine sugar sama jumlahnya satu dapat dikatakan satu resep pembuatan, sehingga
tidak ada yang terlalu mempengaruhi adanya perubahan rasa.
e. Aroma
4
3.5
3.2
3.1
2.8
3
2.5
rataan respon positif
3.6
2.8
2
1.5
3.4
0.5
0
suhu tempering
Gambar 3. Uji organoleptik aroma pada penyimpanan suhu ruang dan suhu
dingin dengan suhu tempering 250C, 300C, 350C
Aroma suatu produk sangat berpengaruh terhadap selera konsumen yang
berkaitan dengan indera penciuman sehingga menimbulkan keinginan untuk
mengkonsumsinya. Aroma yang enak akan menggugah selera, sedangkan aroma
yang tidak enak akan menurunkan selera konsumen untuk mengkonsumsi produk
tersebut. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapat bahwa rata rata
aroma coklat pada penyimpanan suhu ruang dengan suhu tempering 25 0C, 300C,
350C secara berturut turut yaitu adalah 3.1, 2.6, 3.2 dan untuk penyimpanan
suhu dingin yaitu 3.4, 3.6, 2.8. Dari data tersebut menunjukkan bahwa aroma yang
disukai panelis pada penyimpanan suhu ruang adalah coklat dengan tempering
suhu 350C. Sedangkan pada suhu dingin, panelis lebih menyukai coklat dengan
tempering suhu 300C. Hal ini disebabkan karena lemak kakao yang digunakan,
Menurut Farmer (1994), komposisi lemak yang tepat pada bahan pangan akan
mempengaruhi keseimbangan dari beberapa reaksi pembentukan flavour secara
keseluruhan dari makanan. Proses yang berpengaruh dalam pembentukan aroma
adalah proses conching Faridah (2008) menjelaskan bahwa proses setelah
penghalusan atau refiner dilanjutkan conching yang bertujuan untuk memperoleh
tekstur dan aroma coklat. Hasil dari proses conching kemudian di tempering,
dengan melewatkan adonan pada proses pendinginan dan pemanasan kembali.
f. Tekstur
4
3.5 3.3
3.1 3 3.1
5
3.2
2.4
2.5
2.2
0.5
0
suhu tempering
Gambar 4. Uji organoleptik tekstur pada penyimpanan suhu ruang dan suhu
dingin dengan suhu tempering 250C, 300C, 350C
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data dari hasil rata
rata bahwa tekstur coklat pada penyimpanan suhu ruang dengan suhu tempering
250C, 300C, 350C secara berturut turut yaitu 3.3, 2.4, 3.1 sedangkan pada suhu
dingin diperoleh data 3.1, 3.2, 2.2. Tesktur coklat pada suhu ruang dengan
tempering yang dilakukan pada suhu 250C, memiliki tesktur coklat yang disukai
panelis. Sedangkan pada suhu dingin, panelis lebih menyukai tekstur coklat pada
suhu 300C. Tekstur coklat dipengaruhi oleh proses tempering pada suhu yang
berbeda beda. Menurut Faridah (2008) tempering bertujuan untuk membentuk
salah satu jens kristal yang terdapat pada lemak cokelat. Cara yang paling umum
adalah pertama-tama memanaskan cokelat sampai bersuhu lebih dari 45C untuk
melelehkan keenam jenis kristal. Melalui proses thermal ini, struktur cokelat akan
leleh. Pendinginan cepat menjadi suhu 26-27C akan menyebabkan pembentukan
polimorf stabil dan tidak stabil menjadi kristal. Suhu dipertahankan pada titik ini
untuk meratakan pembentukan kristal secara menyeluruh pada campuran pasta
dan untuk
kembali menjadi 30-32C untuk melelehkan semua kristal yang tidak stabil.
Tempering akan membentuk kristal cokelat yang lebih stabil. Ketika melakukan
proses tempering, cokelat dipertahankan agar dalam keadaan kering oleh karena
itu dibutuhkan proses conching sebelum dilakukan tempering. Cokelat dengan
penyimpanan pada suhu dingin lebih memiliki tekstur yang keras dibanding
dengan cokelat yang disimpan pada suhu ruang. Menurut Susanto (1994), bahwa
cokelat memiliki dua sifat utama yang perlu diperhatikan yaitu flavour dan
tekstur. Cokelat memiliki cita rasa yang khas, tekstur berbentuk padat pada suhu
kamar, cepat meleleh di mulut, menjadi cair dan terasa lembut di lidah
g. Kecepatan leleh
45
38.94
40
42.24
33.93
28.49
30
rataan respon positif
36.34
34.46
35
25
20
15
10
5
0
suhu tempering
penyimpanan suhu ruang dengan suhu 250C, 300C, 350C secara berturut turut
yaitu 38.94, 28.49, 34.457 sekon. Sedangkan kecepatan leleh pada suhu dingin
secara berturut turut yaitu 42.24, 36.34, 33,92 sekon. Titik leleh cokelat berupa
kisaran suhu tertentu saat cokelat mencair seluruhnya. Titik leleh awal adalah
suhu saat terjadi tetesan pertama lemak. Kecepatan leleh pada suhu kamar sangat
cepat daripada suhu dingin. Hal ini dikarenakan, pengaruh lemak kakao pada
penambahan cokelat. Menurut Toro-Vazquez (2000), menyatakan bahwa karakter
kristal lemak pada coklat batang juga dipengaruhi oleh komponen lain selain
lemak yang terdapat campuran. Proses tempering merupakan proses untuk
pengaturan ikatan kristal pada lemak kakao. Setelah pemanasan lemak struktur
ikatan masing terlepas sesuai dengan jenis kristal lemak dan akan membentuk
ikatan polimorphis dan . Bentuk , adalah bentuk yang paling diinginkan
oleh industri kakao karena memiliki titik leleh 29,5-36C dan paling stabil pada
suhu ruang (Talbot, 1999).
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum yang telah ditentukan maka dapat disimpulkan
bahwa :
DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2008. Kakao. Jakarta : SNI 2323-2008
Arafat, 2003. Beberapa Produk Olahan Biji Kakao (Theobroma cacao L.).
Makassar: Universitas Hasanuddin,
dan
Lemak
Pangan.