Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
10
membran
terhadap
Cl
dan
K,
yang
akhirnya
11
Eksitasi
terjadi
melalui
beberapa
neurotransmitter
dan
12
13
lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini
mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk
berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh
cenderung untuk mudah terangsang ( hiperexcitable ) karena mudah
rusaknya
dari
interneuron
penghambat
Widjaja,
2004;
b.
c.
d.
e.
f.
14
g.
h.
15
jam untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Kejang yang berulang serial dalam
rentang waktu 24 jam dianggap kejang episode tunggal dan diagnosis epilepsi
belum bisa ditegakkan ( Berg dkk., 2012 ).
2.4.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, kelainan kongenital, dan gangguan neurologi. pemeriksa
harus memastikan bahwa kejang tidak ada pencetus yang jelas, seperti demam,
gangguan elektrolit, dan gangguan metabolik lainnya. Adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, asimetri ukuran anggota tubuh dapat menunjukkan
awal gangguan pertumbuhan otak. gambaran dismorfik pada muka, tanda-tanda
tertentu pada bagian tubuh seperti hemangioma, nodul, makula, warna pucat dan
sebagainya untuk melihat sindroma epilepsi tertentu ( Hauser dan Nelson, 2013 ).
2.4.3 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan pada penderita epilepsi, jika
fasilitas tersedia yaitu EEG dan neuroimaging ( CT scan kepala tanpa atau dengan
kontras atau MRI ).
2.4.3.1 Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG digunakan untuk membantu membedakan tipe kejang dan
sindrom epilepsi. Pemeriksaan EEG dapat membantu menentukan OAE dan
prognosis penderita ( Smith, 2005 ). Gelombang yang normal ditemukan adalah
gelombang irama dasar sesuai dengan usia anak. Perkembangan normal otak
ditunjukkan dengan perubahan gelombang irama dasar mulai dari 3-4 siklus/detik
pada usia 4 bulan, 5 siklus/detik pada usia 6 bulan, 6-7 siklus/detik pada usia 9-18
16
bulan, 7-8 siklus/detik pada usia 2 tahun, 9 siklus/detik pada usia 7 tahun, dan 1011 siklus/detik pada 10-15 tahun ( Chabolla dan Cascino, 2005 ). Gelombang
yang dapat ditemukan pada penderita epilepsi umum idiopatik spike atau
polyspike dan bangkitan gelombang lambat 3-5 detik/siklus dengan aktivitas otak
normal dan sering dengan fotosensitivitas. Penderita dengan epilepsi tipe absanse
memberikan gambaran EEG gelombang spike yang sinkron 3 siklus/detik.
Epilepsi mioklonus memberikan gambaran EEG polyspike dan interiktal EEG
biasanya normal atau pada 15-40% kasus menunjukkan gelombang ritmik delta di
occipital. Pasien epilepsi absanse juvenil menunjukkan gelombang polyspike dan
spike dengan frekuensi diatas 3 siklus/detik dan tidak didapatkan gelombang
ritmik delta di occipital. Epilepsi mioklonik juvenil menunjukkan gambaran
letupan singkat gelombang polyspike pada iktal dan interiktal ( Smith, 2005 ).
2.4.3.2 Pencitraan ( neuroimaging )
Pemeriksaan MRI kepala merupakan pencitraan pilihan terbaik pada epilepsi.
MRI kepala dengan atau tanpa kontras dapat menemukan etiologi epilepsi seperti
neoplasma otak, ensefalitis autoimun, leukomalasia serebral dan sebagainya. pada
keadaan fasilitas MRI tidak tersedia, pemeriksaan CT scan kepala tanpa atau
dengan kontras dapat dilakukan, meskipun memberikan hasil yang tidak sebaik
MRI kepala ( Kuzniecky, 2005 ).
2.5 Pengobatan Epilepsi
Pengobatan penderita dengan epilepsi dibagi menjadi pemberian obat anti
epilepsi, pembedahan, dan diit ketogenik.
17
lamotrigin,
levetiracetam,
clobazam,
clonazepam,
nitrazepam,
mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berespon terhadap
monoterapi. Tujuan pemberian OAE dalam epilepsi adalah menghilangkan kejang
dengan efek samping obat yang minimal ( Wibowo dan Gofir, 2008 ).
18
2.5.2 Pembedahan
Sebagian kecil kasus epilepsi tidak dapat dikontrol kejangnya dengan obatobat antiepilepsi yang biasa digunakan. Saat ini terapi dengan pembedahan
merupakan bagian penting dalam tatalaksana pasien epilepsi. Pemilihan pasien
untuk tindakan operasi memerlukan pertimbangan yang sangat ketat. Tindakan
pembedahan hanya tepat untuk epilepsi fokal yang berasal dari satu fokus yang
jelas pada otak, seperti epilepsi lobus temporalis dengan tingkat keberhasilan yang
beragam ( Kelly dan Chung, 2011 ).
2.5.3 Diet ketogenik
Diet ketogenik merupakan salah satu pilihan untuk epilepsi yang sulit
dikontrol kejangnya dengan obat antiepilepsi. Diet ketogenik ini merupakan upaya
lain disamping obat dan pembedahan. Widler adalah orang pertama yang
memperkenalkan diet ini pada tahun 1920. Diet ketogenik adalah pemberian diet
tinggi lemak, rendah protein dan karbohidrat. Dengan diet ini 40-67% anak
mengalami perbaikan dalam frekuensi serangan ( Sirven dkk., 1999 ).
2.6 Patofisiologi Gangguan Kognitif dan Perilaku pada Epilepsi.
Kemampuan plastisitas neuron otak memungkinkan sistem saraf pusat untuk
belajar berbagai keahlian dan mengingat informasi, untuk mengorganisasi
jaringan otak sebagai respon stimulasi lingkungan, dan menyembuhkan diri dari
cedera otak dan tulang belakang ( Johnston, 2009 ). Plastisitas neuron dapat
meningkatkan perkembangan otak dan biasanya dapat beradaptasi, tetapi kadangkadang dapat juga maladapsi dan menyebabkan gangguan neurologis pada
beberapa situasi. Mekanisme dasar pada plastisitas neuron adalah neurogenesis,
19
programmed
cell
death,
dan
activity-dependent
synaptic
plasticity
( Rakic, 2000 ). Stimulasi berulang dari sinap saraf dapat menyebabkan long-term
potentiation ( LTP ) dan long-term depression ( LTD ) dari neurotransmitter.
Perubahan ini berhubungan dengan perubahan fisik dari sirkuit dendrit spinal dan
neuronal. produksi berlebihan sinap pada
perkembangan
setelah kelahiran
reseptor N-methyl-D-aspartate
( NMDA ). Hal ini memicu aktivasi calcium-dependent kinase dan jalur sinyal
yang lainnya menghasilkan peningkatan transkripsi gen dan trafficking reseptor
yang menghasilkan koneksi sinap yang cepat dan kuat. Hal ini dikenal sebagai
20
long-term potentiation ( LTP ) dan menjadi dasar selular dari proses belajar.
Plastisitas sinaptik bergantung pada berbagai macam protein yang apabila
mengalami gangguan akan menyebabkan autisme dan epilepsi. seperti contohnya
CDKL5 pada west syndrome, methyl-CpG binding protein 2
( MeCP2 ) pada
Eksitabilitas
abnormal pada
perkembangan otak
Gangguan pada
plastisitas sinaptik
Epilepsi
Penurunan kognitif
Epileptogenesis
Gangguan perilaku
Gambar 2.6 Epilepsi dan gangguan belajar dan perilaku dapat terjadi dari
eksitabilitas abnormal dan gangguan plastisitas pada otak yang sedang
berkembang ( Brooks-Kayal, 2011 ).
.
2.7 Efek Kejang dan Epileptogenesis pada Perkembangan Otak
Epileptogenesis merupakan proses yang berlangsung beberapa bulan sampai
beberapa tahun pada manusia setelah terjadinya pencetus awal seperti kejang
demam kompleks, atau trauma kepala, prosesnya berlangsung sangat cepat
termasuk aktivasi saluran ion, perubahan post-translational, dan immediate early
genes. Selanjutnya setelah beberapa hari sampai minggu terjadi peristiwa
transkripsi, kematian neuronal, dan imflamasi. setelah beberapa minggu, bulan,
dan tahun terjadi pertumbuhan , reorganisasi jaringan , neurogenesis, dan gliosis.
21
yang
dan
22
panjang. Pada tikus yang mengalami kejang demam lama saat awal kehidupan
menunjukkan kerusakan pada fungsi place-cell yang berkorelasi dengan defisit
memori spasial pada tes behavioral ( McCabe dkk., 2001; Porter dan BrooksKayal, 2004 ).
Kejang yang muncul saat awal kehidupan dapat mengubah fungsi sistem
neurotransmiter dan sifat neuronal yang penting untuk belajar dan memori.
GABA merupakan neurotransmitter inhibisi utama di otak
merupakan
dan GABA-A
inhibisi akan berefek pada fungsi belajar. Peningkatan fungsi reseptor GABA-A
dengan benzodiazepine merusak LTP dan formasi memori. dan GABAA subunit
reseptor memegang peranan kunci regulator periode kritis pada plastisitas
kortikal dan hipokampal-dependen memori spasial ( Brooks-Kayal, 2011 ).
Perubahan
pada gangguan belajar dan behavioral setelah kejang pada awal kehidupan.
Glutamat merupakan neurotransmiter primer di otak dan aktivitasnya dimediasi
oleh berbagai variasi subtipe reseptor termasuk NMDA dan non-NMDA ( AMPA
dan kainate ) , reseptor ionotropik, dan reseptor metabotropik. Kekurangan
subtipe reseptor AMPA dan NMDA setelah kejang lama menyebabkan gangguan
belajar ( Mongillo dkk., 2003; Riedel dkk., 2003; Yasuda dkk., 2003; Schmitt
dkk., 2005 ).
Hipoksia pada awal kehidupan menginduksi kejang dan menghasilkan efek
cepat postranskripsional pada subunit reseptor AMPA ( GluR ) fosforilasi,
termasuk peningkatan fosforilasi pada kedua sisi GluR1 dan GluR2 yang
23
24
dari berbagai
25
terjadi pada tiga tahun pertama kehidupan. Semakin muda onset epilepsi
berhubungan secara signifikan terhadap gangguan kognitif dan behavioral.
Kejang
dapat
mengganggu
mekanisme
belajar
dan
memori
pada
26
27
28
29
kognitif, walaupun sudah tidak ditemukan lagi kejang secara klinis ( Passat,
1999; Tuchman, 2012 ).
5. Abnormalitas struktur otak
Salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan fungsi kognitif pada pada
penderita epilepsi adalah abnormalitas struktur otak. Quantitative MRI
volumetrics biasanya digunakan untuk mengetahui karakteristik dan bentuk
kelainan otak pada penderita epilepsi dewasa, khususnya pada epilepsi lobus
temporal. Pemeriksaan pada anak yang berhubungan dengan volume otak
pada penderita epilepsi masih sangat jarang. Penelitian pada anak dengan
epilepsi kronis menunjukkan adanya abnormalitas pada serebrum, serebelum,
dan hipokampus ( Hermann dan Seidenberg, 2007 ).
Pada penelitian Saute dkk. (2014) melaporkan anak dengan epilepsi dan
comorbid attention deficit hyperactivity disorder ( ADHD ) menunjukkan
penipisan difus pada lobus frontal, parietal, dan temporal, dengan penurunan
volume batang otak dan struktur subkortikal ( kaudatus bilateral, thalamus
kiri, dan hipokampus kanan ), abnormalitas anatomi ini nampak jelas pada
pasien
epilepsi
yang
sebelumnya
sudah
mengalami
gangguan
30
31
Untuk skala motorik kasar pada tes ini akan dinilai pusat kontrol dan
mobilitas pada posisi terlentang, telungkup, duduk, dan posisi berdiri sesuai
dengan tahapan umur anak. Skala resepsi visual, akan dinilai kemampuan anak
dalam memproses pola visual, diskriminasi dan memori visual. Kemampuan
visual ini melibatkan organisasi visual, pengurutan visual dan kesadaran
pemisahan visual termasuk konsep posisi, bentuk dan ukuran. Motorik halus, yang
diukur adalah kemampuan memadukan kemampuan visual dengan motorik. Item
skala ini melibatkan diskriminasi visual dan kontrol terhadap gerakan motorik.
Pada sektor bahasa reseptif diukur kemampuan anak untuk memproses input
bahasa. Kemampuan primer yang tercakup dalam skala ini adalah komprehensi
audio dan memori audio. Kemampuan ini melibatkan organisasi auditorik,
pengurutan dan penggunaan konsep spasial. Sedangkan bahasa ekspresif akan
dinilai kemampuan anak untuk menggunakan bahasa secara produktif.
Kemampuan primernya terletak pada kemampuan berbicara dan formasi bahasa
termasuk kemampuan untuk memverbalisasi konsep ( Mullen, 1995 ).