Вы находитесь на странице: 1из 28

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Ambulasi Dini


2.1.1 Defenisi Ambulasi Dini
Menurut Asmadi (2009: 122) ambulasi adalah kegiatan berjalan yang
menggunakan tubuh secara efisien, tidak banyak keluar tenaga, terkoordinasi, dan
dapat mempertahankan keseimbangan selama aktivitas. Ambulasi dini adalah cara
menggunakan tubuh yang tidak banyak menggunakan tenaga, terkoordinasi, dan
dapat mempertahankan keseimbangan selama aktivitas, Hidayat (2009:

203).

Ambulasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien
paska operasi dimulai dari bangun dan duduk disisi tempat tidur sampai pasien
turun dari tempat tidur, berdiri dan mulai belajar berjalan dengan bantuan alat
sesuai kondisi pasien, Fauzi (2010: 312).
2.1.2 Manfaat Ambulasi Dini
Ambulasi dini merupakan komponen penting dalam perawatan paska
operasi fraktur karena jika pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan
sama sekali tidak melakukan ambulasi pasien akan semakin sulit untuk mulai
berjalan. Menurut Asmadi (2009: 125) manfaat ambulasi dini adalah sebagai
berikut:
1) Menurunkan insiden komplikasi immobilisasi pasca operasi.
Komplikasi meliputi : sistem integumen, kerusakan integritas kulit seperti
abrasi dan dekubitus. Sistem kardiovaskuler meliputi penurunan kardiak reserve,
peningkatan beban kerja jantung, hipotensi ortostatik dan phlebotrombosis. Sistem
respirasi, penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi volunter maksimal,

penurunan ventilasi/perfusi setempat dan mekanisme batuk yang menurun. Sistem


pencernaan, anoreksia, konstipasi dan metabolisme. Sistem perkemihan, infeksi
saluran kemih. Sistem muskuloskeletal, penurunan massa otot, osteoporosis,
pemendekan serat otot dan kontraktur sendi.
2) Mengurangi komplikasi respirasi dan sirkulasi.
3) Mempercepat pemulihan peristaltik usus dan kemungkinan distensi abdomen.
6

4) Mempercepat proses pemulihan pasien pasca operasi.


5) Mengurangi tekanan pada kulit/dekubitus.
6) Penurunan intensitas nyeri.
7) Frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali normal.
2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini
Faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi dini pasien pasca operasi fraktur
6 282) adalah sebagai berikut:
ekstremitas bawah menurut Saputra (2013:

1) Pertumbuhan dan perkembangan


Pertumbuhan dan perkembangan adalah proses diseluruh kehidupan seseorang
dimana dia bergerak dari potensial untuk mencapai aktualisasi diri. Terhadap usia
dan perkembangan sistem muskuloskeletal dan saraf berpengaruh terhadap postur,
proporsi tubuh, massa tubuh, pergerakan, serta reflek tubuh seseorang, Saputra
(2013: 282).
2) Status Kesehatan
Status kesehatan adalah kondisi pasien dari badan, jiwa, dan sosial yang sehat
dan dapat bekerja secara normal. Gangguan pada sistem muskuloskeletal atau
sistem saraf, trauma, atau kecacatan dapat mengganggu pergerakan dan
mekanisme tubuh, Saputra (2013: 282).
Kesehatan adalah suatu hal yang kontinu, yang berada dari titik ujung sehat
walafiat sampai dengan titik pangkal sakit serius. Notoatmodjo (2012: 3 - 4)
mengklasifikasikan bentangan sehat-sakit menjadi tiga, yakni:

(1) Body movement, di mana seseorang masih bisa menggerakkan anggota


tubuhnya, walaupun dalam keadaan sakit.
(2) Mobility, di mana seseorang mampu melakukan kegiatan kemana saja
(mobilitas), walau belum/tidak dapat menjalankan tugas atau pekerjaan
utamanya.
(3) Major role activity, di mana seseorang masih mampu melakukan kegiatan
utamanya, sesuai dengan pekerjaan atau tugasnya.
3) Status Mental
Status mental menurut Saputra (2013: 282) adalah keadaan kejiwaan yang
dimiliki seseorang. Kondisi psikologis seseorang dapat mempengaruhi keinginan
seseorang bergerak. Kondisi depresi atau stres yang berkepanjangan dapat
menguras energi sehingga individu tidak antusias untuk melakukan aktivitas.
Kondisi ditandai dengan penurunan napsu makan, perasaan tidak bergairah, dan
pada akhirnya menyendiri.
4) Nutrisi
Nutrisi adalah substansi organik yang dibutuhkan organisme untuk fungsi
normal dari sistem tubuh, pertumbuhan, pemiliharaan kesehatan. Nutrisi tersebut
didapatkan dari makanan dan cairan yang selanjutnya diasimilasi oleh tubuh.
Nutrisi dibutuhkan untuk mempetahankan status kesehatan. Nutrisi yang tidak
adekuat dapat menyebabkan pelemahan otot sehingga aktivitas atau pergerakan
berkurang. Asupan nutrisi yang berlebihan dapat menyebabkan individu menjadi
mudah lelah sehingga pergerakannya terbatas. Saputra (2013: 282).
5) Situasi dan Kebiasaan
Kebiasaan adalah pengulangan sesuatu secara terus menerus yang tertanam
dalam jiwa atau tabiat. Individu dengan tingkat kesibukan tinggi secara tidak
langsung akan sering menggerakkan tubuhnya, sedangkan individu yang tidak

memiliki kesibukan yang tinggi akan lebih sedikit beraktivitas atau menggerakkan
tubuh, Saputra (2013: 283).
6) Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah nasihat, sikap, tindakan dan penerimaan keluarga
terhadap penderita sakit. Keterlibatan anggota keluarga dalam rencana asuhan
keperawatan pasien dapat memfasilitasi proses pemulihan. Ambulasi dapat
terlaksana tergantung dari kesiapan pasien dan keluarga untuk belajar dan
berpatisipasi dalam latihan, Saputra (2013: 283).
Ada 4 jenis dukungan keluarga menurut Jhonson (2010: 7), yaitu:
(1) Dukungan Informasional.
Keluarga berfungsi untuk menekan munculnya suatu stressor karena
informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus
pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan,
saran, petunjuk dan pemberian informasi.
(2) Dukungan Penilaian.
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan
menengahi masalah serta sebagai sumber validator identitas anggota keluarga,
diantaranya memberikan support, pengakuan, penghargaan dan perhatian.
(3) Dukungan Instrumental.
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit
diantaranya bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi,
tenaga dan sarana. Manfaat dukungan ini adalah mendukung pulihnya energi
atau stamina dan semangat yang menurun, selain itu individu merasa bahwa
ada perhatian atau kepedulian dari lingkungan terhadap seseorang yang
sedang mengalami kesusahan atau penderitaan.
(4) Dukungan emosional.

10

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan
serta membantu penguasaan terhadap emosi. Manfaat dari dukungan ini
adalah secara emosional menjamin nilai-nilai keingintahuan orang lain.
7) Pengetahuan
Pengetahuan adalah informasi yang telah diproses dan diorganisasikan untuk
memperoleh pemahaman. Seseorang memiliki pengetahuan yang lebih tentang
penggunaan mekanika tubuh akan terdorong untuk melakukan mekanika tubuh
dengan benar sehingga mengurangi tenaga yang dikeluarkan. Sebaliknya, orang
yang tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang mekanika tubuh akan berisiko
mengalami gangguan koordinasi, Saputra (2013: 283).
Pengetahuan secara kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan menurut
Notoatmodjo (2007: 144) yaitu:
(1) Tahu (know). Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Tau merupakan tingkat pengetahuan paling rendah.
(2) Memahami (comprehention). Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat
menginteprestasikan materi tersebut secara benar.
(3) Aplikasi (aplikasi). Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang jelas dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
(4) Analisis (analisysis). Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
suatu materi/suatu obyek kedalam komponen-komponen dalam satu struktur
organisasi dan ada kaitannya satu sama lain.
(5) Sintesis (syntesis). Merupakan suatu kemampuan untuk menghubungkan
bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain Sintesis
adalah kemampuan untuk menyusun formasi baru dari formulasi yang ada.
(6) Evaluasi (evaluation). Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu obyek atau materi.

11

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau kuesioner


yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden.

Kriteria pengukuran tingkat pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007:


146) adalah:
(1) Pengetahuan baik: bila jawaban benar 76 100 %.
(2) Pengetahuan cukup: bila jawaban benar 56 75 %.
(3) Pengetahuan kurang: bila jawaban benar < 56 %.
2.2.1 Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Pasca Operasi Fraktur Ekstremitas
Bawah
2.2.1.1 Latihan ambulasi menurut Hidayat (2009: 206 - 208)
1) Miring kiri miring kanan di atas tempat tidur (Hari pertama)
2) Duduk di atas tempat tidur (Hari kedua)
Prosedur kerja:
(1)

Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada

pasien.
(2)
Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan disamping badanya dengan
telapak tangan menghadap ke bawah.
(3) Berdirilah di samping tempat tidur dan letakkan tangan pada bahu pasien.
(4) Bantu pasien untuk duduk dan beri penopang atau bantal.
3) Turun dari tempat tidur, berdiri, kemudian duduk di kursi roda (Hari ketiga)
Prosedur kerja:
(1)
(2)
(3)
(4)

Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien.
Pasang kunci kursi roda.
Berdirilah menghadap pasien dengan kedua kaki merenggang.
Tekuk sedikit lutut dan pinggang Anda.

12

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

Anjurkan pasien untuk meletakkan kedua tangannya di bahu Anda.


Letakkan kedua tangan Anda di samping kanan dan kiri pinggang pasien.
Ketika kaki pasien menapak di lantai, tahan lutut Anda pada lutut pasien.
Bantu pasien berdiri tegak dan berjalan sampai ke kursi roda.
Bantu pasien duduk di kursi roda dan atur posisi agar nyaman.

4) Membantu pasien berjalan (Hari ketiga)


Prosedur kerja:
(1) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien.
(2) Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan disamping badan atau memegang
telapak tangan Anda.
(3) Berdirilah di samping pasien dan pegang telapak tangan dan lengan bahu
pasien.
(4) Bantu pasien berjalan.
2.3 Konsep Fraktur
2.3.1 Defenisi Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh kejadian yang mendadak dan di
luar perhitungan. Patah tulang biasanya disebabkan oleh karena trauma atau
kekuatan fisik dan dapat disebabkan oleh: kecelakaan lalu lintas, jatuh, tumor,
infeksi, osteoporosisi, olah raga, maupun beban yang berlebihan, Saryono (2008:
22). Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Penyebab fraktur meliputi pukulan langsung,
gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan kontraksi otot ekstrem, Suratun,
dkk (2008: 148).
Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang sering disebabkan
oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur dapat berupa

13

trauma langsung, misalnya yang sering terjadi benturan pada ekstremitas bawah
yang menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula dan juga dapat berupa trauma
tidak langsung misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang
klavikula atau radius distal patah, Suratun, dkk (2008: 148).
2.3.2 Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur menurut Saryono (2008: 22) dibagi menjadi dua yaitu:
1) Fraktur tertutup (closed) yaitu bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.
2) Fraktur terbuka (open/compound) yaitu bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
Fraktur terbuka terbagi tiga derajat yaitu:
1) Derajat I:
(1) Luka < 1 cm.
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka parah.
(3) Fraktur sederhana, tranversal, oblik atau kominutif fragmen.
(4) Kontaminasi minimal.
2) Derajat II:
(1) Laserasi > 1 cm.
(2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse.
(3) Fraktur kominutif sedang.
(4) Kontaminasi sedang.

3) Derajat III:
(1) Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot dan
neuro vascular.
(2) Kontaminasi tinggi.
Fraktur derajat III terbagi atas:
a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/flap/avulse; atau fraktur segmental/sangat kominutif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran
luka.

14

b. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpencar atau


kontaminasi masif.
(3) Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak, Saryono (2008: 22 - 23).
2.4 Fraktur Ekstremitas Bawah
Menurut Thomas (2011: 245) jenis-jenis fraktur pada bagian ekstremitas
bawah, antara lain sebgai berikut:
1) Fraktur Collum Femoris
Fraktur collum femoris adalah fraktur yang terjadi di sebelah proksimal linea
intertrochanterica pada daerah intrakapsular sendi panggul. Fraktur collum
femoris pada manula terjadi secara spontan atau disebabkan oleh trauma dengan
energi rendah. Populasi ini biasanya menderita osteoporosis senilis (Tipe II), yang
menyebabkan kelemahan baik pada tulang kortikal maupun trabekular collum
femoris dan merupakan predisposisi terjadinya fraktur. Pasien muda, perlu energi
yang tinggi untuk dapat menyebabkan fraktur collum femoris sehingga dislokasi
fraktur dan kerusakan aliran darah biasanya akan lebih besar pada kasus seperti
ini, Thomas (2011: 245 - 246).
2) Fraktur Intertrochanter
Fraktur intertrochanter adalah fraktur yang terjadi di antara trochanter major
dan minor sepanjang linea intertrochanterica, di luar kapsul sendi. Jatuh yang
terjadi pada seorang pasien osteoporosis senilis atau pasca menopause merupakan
kejadian yang terbanyak pada fraktur ini. Trauma berenergi tinggi menyebabkan
fraktur tipe ini pada pasien muda; pada keadaan ini, fraktur intertrochanter
biasanya menyertai fraktur corpus (shaft) femoris. Thomas (2011: 262).

15

3) Fraktur Subtrohanter Femur


Fraktur subtrohanter merupakan fraktur yang terjadi antara trohanter minor
dan di dekat sepertiga proksimal corpus femur. Fraktur dapat meluas ke proksimal
sampai daerah intertrochanter. Fraktur ini dapat disebabkan oleh trauma berenergi
tinggi pada pasien muda atau perluasan fraktur intertrochanter ke arah distal pada
pasien menula, Thomas (2011: 276).
4) Fraktur Corpus Femoris
Fraktur corpus femoris adalah fraktur diafisis femur yang tidak melibatkan
daerah artikular atau metafisis. Trauma energi tinggi seperti kecelakaan kendaraan
bermotor adalah penyebab terbanyak fraktur femur. Fraktur ini berhubungan
dengan trauma jaringan lunak yang berat dan pada saat yang bersamaan terjadi
luka terbuka.
Trauma energi rendah dan gaya tidak langsung juga dapat menyebabkan
fraktur pada manula yang tulangnya osteopenik atau melemah akibat tumor.
Cedera tulang patologis biasanya sebagai akibat gaya puntiran atau spiral dan
jarang disertai cedera jaringan lunak, Thomas (2011: 291).
5) Fraktur Femur Suprakondilar
Fraktur femur suprakondilar melibatkan aspek distal atau metafisis femur.
Daerah ini mencangkup 8-15 cm bagian distal femur dan fraktur ini sering
melibatkan permukaan sendi. Banyak sistem klasifikasi kompleks yang harus
dianjurkan untuk fraktur ini, dan semuanya mencoba untuk mendefinisikan
jumlah kominutif dan derajat dislokasi fragmen fraktur.

16

Sistem klasifikasi AO yang diperbeharui oleh Muller diterima secara luas.


Sistem ini mencangkup pembagian fraktur menjadi ekstraartikular (Tipe A),
unikondilar (Tipe B), dan bikondilar (Tipe C). Klasifikasi ini kemudian dibagi
menjadi subtipe 1-3 pada masing-masing kelompok. Derajat keparahan fraktur
semakin meningkat dan prognosisnya semakin buruk sejalan dengan peningkatan
tipe dari A ke C, serta dari 1 ke 3.
Pasien berusia muda, fraktur ini biasanya disebabkan oleh trauma berenergi
tinggi, seperti tertabrak mobil. Fraktur ini biasanya disertai cedera penyerta
lainnya. Pasien manula, fraktur ini biasanya disebabkan oleh trauma berenergi
rendah, seperti jatuh. Thomas (2011: 309 - 310).
6) Fraktur Patella
Fraktur patella diklasifikasikan menjadi fraktur dengan dislokasi atau tanpa
dislokasi/nondislokasi. Fraktur patella yang mengalami pergeseran sendikurang
dari 1-2 mm atau pemisahan fragmen fraktur kurang dari 3 mm, dianggap sebagai
fraktur nondislokasi. Fraktur patella juga dapat dideskripsikan sebagi fraktur
transversal, longitudinal, atau kominutif. Fraktur patella ekstraartikular juga
melibatkan kutub patella dan biasanya disebabkan oleh cedera avulsi.
Trauma langsung pada patella merupakan penyebab tersering fraktur patella.
Gaya tidak langsung akibat kontraksi kuat m. Quadriceps juga bisa menyebabkan
fraktur patella, Thomas (2011: 323).
7) Fraktur Plato Tibia

17

Fraktur plato tibia merupakan fraktur pada aspek proksimal atau metafisis os.
Tibia dan sering juga melibatkan permukaan sendi. Fraktur ini diklasifikasikan
menjadi enam tipe menurut Schatzker.
(1) Tipe I adalah fraktur baji (wedge) atau belah (split) plato tibia lateral.
(2) Tipe II adalah fraktur split depression plato lateral dan melibatkan cedera
sendi.
(3) Tipe III adalah fraktur depresi murni plato lateral yang juga melibatkan
cedera sendi.
(4) Tipe IV adalah fraktur split depression plato tibia medial, sering melibatkan
eminensia interkondiler dan ligamentum cruciatum terkait. Fraktur tipe ini
sering disertai dengan cedera sendi.
(5) Tipe V adalah fraktur bikondiler yang melibatkan kedua sisi palto. Tipe ini
dikenal sebagai fraktur terbalik (inverted Y fracture) dan biasanya disertai
dengan cedera sendi.
(6) Tipe VI adalah fraktur antara diafisis tibia proksimal dan metafisis.
Spina tibia terletak pada permukaan proksimal os. tibia. Fraktur spina tibia
diklasifikasikan dan ditangani secara berbeda fraktur plato tibia. Fraktur spina
tibia yang miring ke arah anterior tapi dasar frakturnya masih tetap melekat
dengan os. tibia diklasifikasikan menjadi tipe I bila derajat kemiringan frakturnya
ringan dan tipe II bila derajat kemiringannya besar. Fraktur spina tibia tipe III
spina tibia terlepas seluruhnya dari os. tibia, diklasifikasikan menjadi tipe III-A
bila fragmen frakturnya tidak berotasi dan tipe III-B bila disertai dengan rotasi.
Penanganannya meliputi pemasangan gips sepanjang kaki dalam posisi
ekstensi selama 6 minggu untuk tipe I, II, dan III-A. Semua raktur tipe III-B dan
tipe I, II, atau III-A yang tidak dapat dilakukan ekstensi penuh memerlukan

18

reduksi terbuka dan fiksasi interna, dan biasanya ditangani dengan lag screw
fragmen kecil.
Fraktur plato tibia paling sering terjadi akibat gaya ke arah medial, yang
menghasilkan deformitas valgus (bumper fracture klasik). Fraktur ini juga
dapat terjadi akibat gaya ke arah lateral (menyebabkan deformitas varus), gaya
kompresi aksial, atau kombinasi gaya aksial dengan gaya langsung ke arah medial
atau lateral. Pasien muda dengan tulang metafisis yang relatif kuat biasanya
mengalami fraktur split murni (tipe I). Pasien tua dengan tulang metafisis yang
relatif lemah, biasanya mengalami fraktur depresi. Thomas (2011: 336 - 338).
8) Fraktur Corpus Tibia
Fraktur corpus tibia adalah fraktur diafisis yang biasanya tidak melibatkan
persendian atau daerah metafisis. Trauma berenergi besar pada impaksi langsung
dapat mengakibatkan fraktur transversal atau kominutif yang sering menghasilkan
fraktur terbuka. Trauma tidak langsung berenergi rendah akibat puntiran (twisting)
saat kaki menapak pada tanah atau jatuh dari ketinggian, dapat mengakibatkan
fraktur berpola spiral atau oblique, Thomas (2011: 353).
9) Fraktur Plafond Tibia
Fraktur plafond (permukaan artikuler distal) tibia terjadi di permukaan
horizontal penanggung beban tibia distal. Fraktur malleolus medialis atau
lateralis mungkin dengan atau tanpa melibatkan plafond. Fraktur pilon adalah
farktur plafond dengan garis fraktur yang memanjang sampai supramalleolar
distal tibia, dengan atau tanpa disertai pergeseran, dapat bersifat kominutif luas
maupun impaksi.

19

Fraktur plafond tibia disebabkan oleh impaksi berenergi tinggi, biasanya


merupakan gaya deselerasi seperti yang terjadi saat jatuh dari ketinggian atau
kecelakaan kendaraan bermotor, Thomas (2011: 371).
10) Fraktur Pergelangan Kaki
Fraktur pergelangan kaki meliputi fraktur pada malleolus medialis dan
literalis maupun permukaan distal sendi os. tibia dan fibula. Fraktur pergelangan
kaki meliputi:
(1)
(2)
(3)
(4)

Fraktur malleolus lateral tunggal (ekstraartikular).


Fraktur bimalleolar (intraartikular).
Fraktur malleolus medialis (intraartikular).
Fraktur bimalleolar ekuivalen (intraartikular), fraktur pada malleolus

lateralis disertai dengan sisi medial celah pergelangan kaki yang melebar.
(5) Fraktur trimalleolus (intraartikular), melibatkan malleolus medialis dan
literalis dan aspek posterior plafond tibia.
Fraktur pergelangan kaki dapat merobek sindesmosis distal antara tibia dan
fibula. Semua fraktur pergelangan kaki melibatkan cedera ligamen. Gaya yang
relatif lemah, akibat pergerakan seperti tergelincir atau memutar pergelangan
kaki, merupakan penyebab utama fraktur pergelangan kaki. Gaya berenergi tinggi
langsung atau tidak langsung, seperti yang terjadi ketika kecelakaan kendaraan
bermotor, juga dapat menyebabkan fraktur pergelangan kaki.
Pola cedera pergelangan kaki tergantung pada posisi kaki saat kejadian
cedera, bisa supinasi maupun pronasi. Kombinasi antara posisi kaki dan gaya
perusak memberikan pola tertentu fraktur pergelangan kaki. Empat gaya perusak
yang paling sering (sesuai frekuensinya) adalah supinasi/rotasi eksterna,
pronasi/rotasi eksterna, supinasi/adduksi, dan pronasi/rotasi abduksi. Pergerakan

20

tubuh dengan kaki menapak akan mengakibatkan memperberat cedera. Puntiran


akan mengakibatkan rotasi eksterna. Jatuh pada satu sisi akan menghasilkan
cedera adduksi atau abduksi, Thomas (2011: 390 - 392).
11) Fraktur Talus
Fraktur hindfoot adalah fraktur yang melibatkan calcaneus dan talus. Fraktur
talus meliputi fraktur collum talus, corpus talus, atau caput talus, dan juga fraktur
osteokondral dan fraktur prosesus lateralis.
Fraktur corpus dan collum talus biasanya diakibatkan oleh cedera energi
tinggi seperti yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor. Fraktur caput dan
aspek posterior talus biasanya terjadi akibat dari pembebanan aksial. Fraktur
osteokondral dan prosesus lateralis dapat terjadi bersamaan dengan sprain
pergelangan kaki atau sprain subtalar dan fraktur. Thomas (2011: 414).
12) Fraktur Calcaneus
Fraktur hindfoot adalah fraktur yang melibatkan calcaneus (os. kalsis)
ataupun talus beserta prosesusnya. Fraktur calcaneus bersifat intraartikular,
melibatkan sendi subtalar dan kadang-kadang sampai sendi kalkaneokuboid.
Fraktur non artikular calcaneus biasanya melibatkan bagian posterior calcaneus
yang berbentuk paruh; posterior beak (bagian posterior os. calcaneus yang
meliputi tempat inseri dari tendon Achilles) dan dapat disertai atau tanpa
melibatkan cedera tendon Achilles.
Fraktur calcaneus (os. kalsis) sering terjadi diakibatkan oleh benturan yang
mendadak dan berkecepatan tinggi pada tumit, seperti pada kecelakaan kendaraan
bermotor. Thomas (2011: 432 - 433).

21

13) Fraktur Midfoot


Farktur midfoot melibatkan sendi tarsometatarsal (Lisfranc), os. cuneiforme,
naviculare (scaphoid), dan cuboid. Cedera terjadi pada sendi tarsometatarsal
dapat dengan atau tanpa disertai fraktur basis metatarsal dan didekripsikan lebih
jauh sebagai homolateral (bila melibatkan subluksasi metatarsal pada satu arah
yang sama), isolated (dengan pergeseran satu atau dua metatarsal) atau divergen
(pergeseran pada bidang sagital maupun koronal. Ada berbagai fraktur tulang
naviculare (scaphoid) meliputi avulsi korteks, fraktur tuberositas (yang biasa
melibatkan tendon tibialis posterior), fraktur korpus, dan fraktur tekan (stress
facture).
Tiga penyebab tersering fraktur midfoot adalah cedera akibat puntiran kaki
depan, pembebanan aksial pada kaki yang terfiksasi, dan remuk. Cedera puntiran
sering terjadi saat kecelakaan kendaraan bermotor ketika kaki dipaksa abduksi
atau ketika kaki depan terfiksasi sedangkan midfoot dan hindfoot terpuntir
disekitarnya, seperti ketika kaki terperangkap dalam anak tangga. Beban aksial
pada kaki yang terfiksasi dapat terjadi pada satu dari dua cara: kompresi aksial
ekstrinsik pada tumit, seperti ketika jatuh dengan kaki yang sangat dorsofleksi,
atau pergelangan kaki equinus ekstrim dengan beban aksial dari berat badan,
seperti yang terjadi saat turun dari pelana kuda. Impaksi langsung yang dapat
meremukkan dorsum kaki biasanya terjadi pada kecelakaan industri. Pada cedera
ini, klinisi harus benar-benar teliti mengevaluasi kaki akan adanya sindrom
kompartemen dan cedera pada arteria dorsal pedis, Thomas (2011: 451 - 453).
14) Fraktur Forefoot

22

Fraktur ferefoot adalah fraktur yang melibatkan ibu jari atau jari-jari kaki
lainnya (falangs), metatarsal, atau tulang-tulang sesamoid. Fraktur falangs atau
fraktur metatarsal bisa berupa fraktur intraartikular atau ekstraartikular. Fraktur
falangs atau metatarsal dapat melibatkan kolum dan korpus. Fraktur ini juga
melibatkan sendi Lisfranc. Fraktur metatarsal diklasifikasikan sebagi fraktur stabil
dan tidak stabil. Konfigurasi tidak stabil biasanya melibatkan fraktur multipel
metatarsal yang kominutif, fraktur dengan pergeseran ataupun fraktur lain yang
melibatkan metatarsal pertama. Fraktur ini dapat mengalami komplikasi sindrom
kompartemen kaki atau pengelupasan kulit.
Fraktur korpus metatarsal kelima proksimal memiliki eponim fraktur Jones.
Fraktur ini sering dikacaukan dengan fraktur apofiseal pada basis metatarsal
kelima. Fraktur sesamoid meliputi terbelahnya atau fragmentasi dari satu atau dua
tulang kecil yang terdapat tendon fleksor hallusis longus. Tulang ini penting
karena perannya dalam distribusi beban ferefoot.
Fraktur falangs proksimal pertama disebabkan oleh trauma langsung atau
akibat mekanisme avulsi, seperti ketika ibu jari kaki tersangkut kaki meja atau
kaki kursi. Fraktur falangs jari kaki lainnya biasanya diakibatkan oleh trauma
langsung.
Fraktur metatarsal pertama sampai metatarsal keempat biasanya diakibatkan
oleh trauma langsung. Fraktur metatarsal kedua sampai kelima dapat juga terjadi
sebagai akibat cedera puntiran. Fraktur tekan diafisis umumnya terjadi pada
metatarsal kedua sampai keempat dan umumnya disebabkan oleh trauma
berulang.

Fraktur avulsi apofisis proksimal dan korpus proksimal metatarsal

23

kelima dapat terjadi setelah cedera inversi pada pergelangan kaki ketika sedang
plantarfleksi, Thomas (2011: 474 - 475).
2.5 Tahap Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan patah tulang adalah proses biologis dan terjadi secara
alami pada setiap patah tulang. Tahapan penyembuhan fraktur menurut Saryono
(2008: 26) adalah sebagi berikut:
1) Haematom: adanya perdarahan disekitar patah tulang karena terputusnya
pembuluh darah tulang dan periost.
(1) Dalam 24 jam mulai pembekuan darah dan haematom. 24 jam suplai darah
ke ujung fraktur meningkat.
(2) Haematom ini mengelilingi fraktur dan tidak dapat diabsorbsi selama proses
penyembuhan tersebut berubah dan berkembang menjadi granulasi.
2) Proliferasi sel:
(1) Sel-sel dari lapisan dalam periosteum berpaliferasi pada sekitar fraktur.
(2) Sel ini menjadi prekusor dari osteoblast, osteogenesis berlangsung terus,
lapisan periosteum melebihi tulang.
(3) Beberapa hari di periosteum meningkat dengan fase granulasi membentuk
collar di ujung fraktur.
3) Pembentukan callus:
(1) Dalam 6-10 hari setelah fraktur, jaringan granulasi berubah dan terbentuk
callus.
(2) Terbentuk kartilago dan matrik tulang berasal dari pembentukan callus.
(3) Callus menganyam massa tulang dan kartilago sehingga diameter tulang
melebihi normal. Ini melindungi fragmen tulang tapi tidak memberikan
kekuatan, sementara itu meluas melebihi garis fraktur.
4) Ossification/fase penyatuan klinis: terjadi penulangan atau osifikasi yang
menyebabkan callus fibrosa menjadi callus tulang.
(1) Callus yang menetap menjadi tulang kaku karena adanya penumpukan garam
kalsium dan bersatu di ujung tulang.

24

(2) Proses ossifikasi dimulai dari callus bagian luar, kemudian bagian dalam dan
berakhir pada bagian tengah.
(3) Proses ini terjadi selama 3-10 minggu.
5) Konsilodasi dan remodelling: terjadi penggantian sel tulang secara berangsurangsur yang mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan tarikan yang
bekerja pada tulang. Kekuatan callus ini sama dengan kekuatan tulang biasa.
(1) Terbentuknya tulang yang bersal dari callus dapat dibentuk dari aktivitas
osteoblast dan osteoklas.
Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur menurut Saryono (2008: 27)
adalah sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Immobilisasi fragmen tulang.


Kontak fragmen tulang maksimal.
Vaskularisasi darah yang memadai.
Nutrisi yang baik.
Latihan beban pada tulang panjang.
Hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.
Faktor yang dapat menghambat penyembuhan fraktur menurut Saryono

(2008: 27 - 28) :
1) Trauma lokal ekstensif.
2) Kehilangan tulang.
3) Immobilisasi tidak optimal.
4) Adanya rongga atau jaringan diantara fragmen tulang.
5) Infeksi.
6) Keganasan lokal.
7) Penyakit tulang metabolik.
8) Radiasi tulang.
9) Usia.
10) Kortikosteroid.
Penyebab tidak menyambungnya fraktur (Nonuion) menurut Saputra (2012:
408) adalah sebagi berikut:
1) Destruksi jaringan lunak secara berlebihan pada saat terjadi luka dan pada
waktu tindakan reduksi terbuka.

25

2) Fraktur yang mengakibatkan perdarahan yang buruk seperti collum femoris,


3)
4)
5)
6)
7)

skafoid, dan talus.


Immobilisasi yang tidak adekuat.
Interposisi jaringan lunak di antara fragmen-fragmen.
Infeksi.
Distraksi fraktur yang berlebihan.
Keadaan defisiensi seperti skorbut.

2.6 Terapi Aktivitas Ambulasi Dini Pada Pasien Pasca Operasi Fraktur
Ekstremitas Bawah Berdasarkan Letak Frakturnya.
1) Fraktur Collum Femoris
Pasien dilatih untuk menggulingkan diri ke sisi yang sehat dan kemudian
bangun sendiri dari tempat tidur. Pasien yang tidak bisa melakukannya, pasien
dilatih untuk mendorong diri menggunakan ekstremitas atasnya dan bangun
secara perlahan dari tempat tidur. Bantal harus diletakkan di antara lutut untuk
mencegah gerakan adduksi dan rotasi internal, serta kemungkinan dislokasi
prostesis dan tekanan pada tempat fraktur, Thomas (2011: 252).

2) Fraktur Intertrochanter
Penanggungan beban yang dapat ditoleransi pada ekstremitas yang sakit,
pasien dapat menggunakan ekstremitas tersebut untuk transfer dari tempat tidur ke
kursi. Saat transfer, pasien biasanya duduk pada sisi tempat tidur yang sama
dengan sisi tungkai yang fraktur. Tungkai yang sakit kemudian dijuntaikan dari
tempat tidur, dan pasien duduk. Pasien yang tidak mampu melakukannya, dapat
digunakan pengangkat tungkai. Transfer ini dilatih menggunakan pengangkat
tungkai untuk menyangga tungkai yang sakit dan mengayunkannya ke sisi tempat
tidur untuk mencapai posisi duduk. Lengan kemudian digunakan untuk
mendorong diri dari tempat tidur atau kursi ke posisi berdiri (bukan menggapai

26

walk walker tergelincir). Alat bantu seperti crutch atau walker dapat digunakan
sebagai penyokong ketika pasien berdiri. Pasien yang tidak boleh menanggung
beban, transfer stand pivot pada kaki yang sehat dapat dilatih. Tempat tidur
ditinggikan dapat membantu mengurangi tekanan pada panggul. Pasien dapat juga
menggunakan tungkai yang sehat untuk transfer jika pasien tidak merasa nyaman
atau mengalami nyeri pada sisi yang sakit, Thomas (2011: 267).
3) Fraktur Subtrochanter Femur
Penanggungan beban diperbolehkan sesuai toleransi bila korteks medial telah
pulih. Fraktur kominutif, pasien hanya diperbolehkan toe-touch weight bearing
dan diinstruksikan berjalan dengan gaya berjalan tiga titik menggunakan crutch.
Walker atau crutch harus digunakan sebagai penyangga dan penstabil selama
pemindahan. Pasien diajari untuk naik turun tangga menggunakan crutch; pasien
manula harus menggunakan pegangan samping bersama dengan tongkat quad
dengan dasar yang lebar, Thomas (2011: 282).
4) Fraktur Corpus Femoris
Mobilitas di atas tempat tidur, pasien diinstruksikan untuk berguling ke salah
satu sisi tempat tidur dan menggunakan ekstremitas atas untuk mendorong tegak
ke posisi duduk. Penanggungan beban sudah diperbolehkan, pasien dapat
menggunakan tungkainya yang sakit untuk menanggung beban minimal saat
berpindah antara tempat tidur dan kursi dengan bantuan. Pasien yang tidak
diperbolehkan menanggung beban diinstruksikan berpindah dengan berdiri
bersandar menggunakan crutch, Thomas (2011: 298).
5) Fraktur Femur Suprakondilar

27

Pasien diinstruksikan untuk transfer stand/pivot menggunakan crutch atau


walker, tanpa penanggungan beban. Thomas (2011: 315).
6) Fraktur Patella
Pasien diinstruksikan untuk berguling ke satu sisi tempat tidur dan bangkit ke
posisi duduk dari posisi telentang dengan mendorong badanya menggunakan
ekstremitas atas. Seiring penanggungan beban penuh diperkenalkan, pasien dapat
melakukan transfer ambulasi menggunakan ekstremitas yang sakit. Awalnya, alat
bantu seperti tongkat penyangga (crutch) atau alat bantu jalan (walker) dapat
digunakan sebagai penyokong selama transfer karena pasien mungkin merasa
nyeri dan kesakitan, Thomas (2011: 327).

7) Fraktur Plato Tibia


Pasien tidak boleh melakukan penanggungan beban pada sisi yang terkena dan
diinstruksikan menggunakan crutch untuk transfer, Thomas (2011: 343).
8) Fraktur Corpus Tibia
Pasien harus diajari cara menggunakan crutch atau walker, untuk pindah dari
tempat tidur ke kursi atau sebaliknya. Pasien yang tidak diperbolehkan untuk
menggunakan beban, harus diajarkan untuk melakukan stand/pivot transfer,
Thomas (2011: 361).
9) Fraktur Plafond Tibia
Pasien diinstruksikan untuk melakukan stand/pivot transfer tanpa di bolehkan
menanggung beban, menggunakan crutch/walker, Thomas (2011: 378).
10) Fraktur Pergelangan Kaki

28

Pasien diajarkan stand/pivot transfer menggunakan alat bantu seperti tongkat


penyangga, tanpa menanggung beban pada ekstremitas yang sakit, Thomas (2011:
402).
11) Fraktur Talus
Pasien diajari stand/pivot transfer tanpa menanggung beban dari tempat
tidur ke kursi, dan sebaliknya. Pasien memerlukan alat bantu seperti crutch atau
walker untuk transfer dan ambulasi, Thomas (2011: 420).
12) Fraktur Calcaneus
Pasien diajari stand/pivot transfer tanpa menanggung beban dari tempat
tidur ke kursi, dan sebaliknya. Pasien memerlukan alat bantu seperti crutch atau
walker untuk transfer dan ambulasi, Thomas (2011: 439).
13) Fraktur Midfoot
Pasien diajarkan untuk stand/pivot transfer menggunakan alat bantu seperti
tongkat penyangga, tanpa menanggung beban pada ekstremitas yang sakit,
Thomas (2011: 459).
14) Fraktur Forefoot
Pasien diajarkan untuk stand/pivot transfer menggunakan alat bantu seperti
tongkat penyangga, tanpa menanggung beban pada ekstremitas yang sakit,
Thomas (2011: 485).

32

2.7 Penelitian Terkait


1) Ririn Purwanti & Wahyu Purwaningsih (2012)
Judul:
Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Post Operasi Fraktur Humerus Di RSUD
Dr. Moewardi
Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pasien yang
telah dilakukan operasi fraktur
humerus yang di ruang rawat
inap bedah di RSUD Dr.
Moewardi sebanyak 150 pada
bulan Januari-Desember 2011

Tindakan yang diberikan


Pada penelitian ini pasien post
operasi fraktur humerus diberikan
latihan Range Of Motion (ROM)
sebanyak 9 kali.

Hasil Penelitian
Bedasarkan hasil uji statistik
wilcoxon math pair test, dapat
diketahui nilai z hitung sebesar
4,940 dengan angka signifikan (p)
0,000 dari hasil tersebut akan
dibandingkan dengan z tabel
untuk taraf signifikansi 5% yaitu
sebesar 1,96. Bedasarkan hasil
tersebut diketahui z hitung
(4,940)> z tabel (1,96) dan angka
signifikan (p) < 0,05 sehingga ada
pengaruh signifikan latihan ROM
aktif terhadap kekuatan otot pada
pasien post operasi fraktur
humerus di RSUD Dr. Moewardi.

Uji Statistik yang di gunakan


Jenis penelitian yang digunakan
yaitu
jenis
penelitian
kuantitatif. Desain penelitian
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah Pre
Eksperimen Design dengan
rancangan One Group Pre-Post
Test

32

33

2) Joko Prayitno & Dwi Susi Haryati (2011)


Judul:
Hubungan Ambulasi Dini Terhadap Aktifasi Peristaltik Usus Pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Dengan
Anestesi Umum Di Ruang Mawar II RS. Dr Moewardi Surakarta Tahun 2011.
Populasi Penelitian
Jumlah sampel yang dipakai pada
penelitian ini adalah 25 sampel
dikarenakan teknik samplingnya
menggunakan total sampling.

Tindakan yang diberikan


Pada penelitaian ini pasien post
operasi fraktur eksteremitas
bawah dilatih ambulasi dini

Hasil Penelitian
Hasil penelitian berdasarkan
output
korelasi
kendalls
(ambulasi) terlihat angka 1,000
menunjukkan korelasi yang
sangat kuat dan output korelasi
kendalls tau_b (peristaltic usus)
terlihat
angka
0,941
menunjukkan korelasi yang
sangat kuat, pada baris sig. (2tailed) terlihat angka 0,000 oleh
karena probabilitas < 0,05,
berarti hubungan ambulasi dini
dan peristaltik usus adalah
signifikan pada taraf kepercayaan
95 %, sehingga Ha diterima.

Uji Statistik yang di gunakan


Jenis penelitian ini adalah
korelasi dengan desain cross
sectional yaitu jenis penelitian
yang
menekankan
waktu
pengukuran atau observasi
data variabel indevenden dan
devenden hanya satu kali pada
satu saat, jadi tidak ada tindak
lanjut.

3
3

34

2.8 Kerangka Konseptual


Kerangaka konseptual penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien paska operasi fraktur
ekstremitas bawah. Menurut Saputra (2013: 282) faktor yang mempengaruhi
ambulasi dini adalah faktor pertumbuhan dan perkembangan, faktor status
kesehatan, faktor status mental, faktor nutrisi, faktor situasi dan kebiasaan, faktor
dukungan sosial dan faktor pengetahuan.
Penelitian ini meneliti faktor status kesehatan pasien, faktor dukungan
sosial, faktor pengetahuan dan faktor yang paling dominan.

Faktor yang
mempengaruhi:
1) Status kesehatan
2) Dukungan keluarga
3) Pengetahuan

4) Pertumbuhan dan
perkembangan
5) Status mental
6) Nutrisi
7) Situasi dan kebiasaan

Keterangan gambar:

Ambulasi dini
1) Pasien miring kiri
miring kanan.
2) Duduk
3) Duduk di samping
tempat tidur
4) Belajar
keseimbangan
berdiri
5) Belajar berjalan

Dilaksanakan
Tidak di laksanakan

: Diteliti
: Tidak diteliti
: Berpengaruh
Gambar 2.1 Kerangka penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
ambulasi dini pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.

35

2.7 Hipotesis
Biasanya hipotesis menunjukan pada hubungan antara dua atau lebih
variabel. Apabila peneliti setuju dengan pendapat ini, maka mereka hanya perlu
bervikir akan menggunakan hipotesis atau tidak dalam penelitiannya jika
penelitian tersebut hanya mengandung satu variabel. Pengertian ini sebaiknya
tidak dibalik dengan berkesimpulan bahwa semua peneliti yang hanya
mengandung satu variabel saja dalam penelitiannya boleh juga mereka
mengajukan hipotesis. Diawal suatu proses penelitian dikatakan bahwa peneliti
dihadapkan pada suatu problema yang inin dicarikan pemecahannya dengan
menggumpulkan banyak informasi melalui peneliti itu. Agar perhatian peneliti
hanya terfokus pada inmasi yang di perlukan saja maka ia mencoba menyusun
berbagai alternatif pemecahan atau penjelasan untuk problema yang di miliki
kemudian berusaha mencari informasi melalui peneliti untuk memperkuat dan
mencari bukti-bukti bahwa pemecahan yang ia pikirkan tersebut sudah benar.
Dalam hal ini peneliti diuji kemampuannya untuk menebak secara ilmiah dan
logis tentang pemecahan problema yang di miliki tersebut. Tebakan pemecahan
atau jawaban yang di usulkan inilah yang biasa disebut dengan istilah hipotesis
(Prof. Dr. Suharsimi Arikunto 2010:43).
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian. Pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih variabel
yang diharapkan bisa menjawab pertayaan dalam penelitian. Setiap hipotensi
terdiri dari suatu unit atau bagian dari permasalahan, Nursalam (2011: 56).

36

Mengetahui signifikasi (p) dari suatu hasil statistik (Hypothesis test), maka
kita dapat menentukan tingkat signifikansi: (p) 0,05 (1 kemungkinan untuk 20);
0,01 (1 untuk 100) dan 0,001 (1 untuk 1000). Sering digunakan signifikansi level
0,05. Signifikansi ini maka kita dapat menentukan apakah hipotesis akan diterima
atau ditolak (jika p < 0,005), Nursalam (2011: 58).
2.5.1 Tipe Hipotesis
1) Hipotesis nol (H0) adalah hipotesis yang digunakan unttuk pengukuran statistik
dan interpretasi hasil statistik. Hipotesis nol dapat sederhana atau kompleks
dan bersifat sebab atau akibat.
2) Hipotesis alternatif (Ha/H1) adalah hoptesis penelitian. Hipotesis ini yang
menyatakan adanya suatu hubungan, pengaruh, dan perbedaan antara dua atau
lebih variabel. Hubungan, perbedaan, dan pengaruh tersebut dapat sederhana
atau kompleks, dan bersifat sebab-akibat, Nursalam (2011: 59).
Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini sebagai berikut:
Ha1 : Ada pengaruh status kesehatan pasien terhadap pelaksanaan ambulasi dini
pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.
Ha2 : Ada pengaruh dukungan sosial terhadap pelaksanaan ambulasi dini pasien
pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.
Ha3 : Ada pengaruh pengetahuan pasien terhadap pelaksanaan ambulasi dini
pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah.

Вам также может понравиться