Вы находитесь на странице: 1из 18

Mengapa Kami Menolak Reklamasi Teluk Benoa

BEM PM Universitas Udayana 24 July, 2014 Artikel


Latar Belakang
Bali adalah sebuah pulau di sebelah timur pulau Jawa dan di sebelah barat
pulau Lombok. Terdiri atas beberapa pulau, yaitu Pulau Bali, Pulau Nusa
Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Serangan,
dan Pulau Menjangan. Luas wilayah Pulau Bali secara keseluruhan 5.632,86
km2 dan jumlah penduduknya kurang lebih 3, 7 4 juta jiwa (Badan Pusat
Statistik Provinsi Bali, 2012).
Bali adalah ikon pariwisata Indonesia di mata dunia. Bali merupakan pusat
pariwisata di Indonesia dan juga sebagai salah satu daerah tujuan wisata
terkemuka di dunia. Bali dikenal para wisatawan karena memiliki potensi
alam yang amat indah antara lain, iklim yang tropis, hutan yang hijau,
gunung, danau, sungai, sawah serta pantai indah dengan beragam pasir
putih dan hitam. Selain itu, Bali lebih dikenal juga karena perpaduan alam
dengan manusia serta adat kebudayaannya yang unik, yang berlandaskan
pada konsep keserasian dan keselarasan yang telah mewujudkan suatu
kondisi estetika yang ideal dan bermutu tinggi.
Meskipun Bali sebuah pulau kecil yang luasnya hanya 0,29% dari luas
Nusantara (5.632,86 km2), namun memiliki semua unsur lengkap di
dalamnya, mulai dari empat buah danau, ratusan sungai, gunung dan
kawasan hutan yang membentang di pesisir utara dari barat ke timur.
Wisatawan mancanegara yang berulang kali menghabiskan liburan di Pulau
Seribu Pura tidak pernah merasa bosan dan jenuh, karena selalu
menemukan suasana baru serta atraksi yang unik dan menarik untuk
dinikmati.
Bali memang tiada hari tanpa alunan suara gamelan mengiringi olah gerak
tari, sehingga menjadi denyut nadi. Puspa ragam ekspresi seni tari itu tersaji
dalam ritual keagamaan, tampil dalam upacara adat, peristiwa sosial sekuler
maupun sebagai tontonan wisatawan. Di Bali sendiri terdapat sekitar 1.400
desa adat dengan masyarakatnya yang terkenal ramah. Semua hal itu
memberikan nilai lebih sehingga Bali kembali dinobatkan sebagai daerah
tujuan (destinasi) wisata terbaik (Island Destination Of The Year) dalam
ajang China Travel & Meeting Industry Awards 2013. Penghargaan ini
dipandang sebagai salah satu wujud pengakuan masyarakat internasional
terhadap Bali yang berhasil mengelola industri pariwisata dan Meetings,
Incentives, Conference and Exhibition (MICE) kelas dunia (antaranews.com).
Bali telah menerima puluhan penghargaan tingkat internasional dari
berbagai lembaga publikasi dan negara lain. Sebagian besar penghargaan

yang diterima oleh Bali adalah terutama dalam hal keunikan dan keindahan
alam Bali yang tiada duanya di dunia.

Melihat Kondisi Bali Saat Ini


Pariwisata sudah menjadi nafas dan urat nadi bagi Bali. Ini terjadi karena
pariwisata dijadikan sebagai tulang punggung ekonomi, akan tetapi
pariwisata bagai pisau bermata dua. Pariwisata memang penuh paradoks
dan ironi. Terlebih dengan pemanfaatan kebudayaan sebagai modal utama
dalam pengembangan pariwisata. Seringkali dikatakan pariwisata sebagai
senjata kapitalis untuk menghancurkan budaya itu sendiri namun tidak
sedikit juga dikatakan sebagai wahana pelestari budaya.
Pariwisata di Bali adalah pariwisata budaya, yang mengekpos budaya Bali
sebagai produk utama. Interaksi panjang antara orang Bali dan wisatawan
telah menghasilkan akulturasi, membuat orang Bali hidup dalam dua dunia,
dunia tradisional dan dunia pariwisata. Namun sejajar dengan pergeseran
arti Pariwisata Budaya, kita juga menyaksikan pergeseran dalam urutan
prioritas. Hal yang kini lebih diperhatikan pemangku kebijakan adalah
bagaimana memanfaatkan budaya demi pariwisata, bukan lagi menilai
dampak pariwisata terhadap kebudayaan mereka.
Banyaknya vila dan hotel yang melanggar sempadan pantai dan jalur hijau,
menunjukkan bahwa para pemangku kebijakan belum memahami konsep
pembangunan pariwisata yang sudah dibuat sejak pertengahan tahun 1970.
Bali jika bercermin dari hasil penelitian dan pengkajian SCETO, konsultan
pariwisata dari Prancis tahun 1975, di Pulau Bali maksimal dibangun 24.000
kamar hotel berbintang untuk menjaga daya dukung Bali. Namun
kenyataannya di Bali kini telah dibangun 55.000 kamar hotel berbintang atau
dua kali lipat daya dukung Bali (antaranews.com). Tahun 2012, jumlah
kunjungan wisatawan ke Bali mencapai 2.893.074 orang (PHRI Bali, 2013).
Kendati angka kunjungan cukup besar, namun tingkat hunian kamar (THK)
hotel di Bali, bisa dikatakan fluktuatif. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati,
Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali,
mengatakan kunjungan wisatawan tidak diikuti dengan meningkatnya
tingkat hunian ini disebabkan menurunnya length of stay atau lama tinggal
dan jumlah kamar yang meningkat sehingga supply dan demand tidak
seimbang.
Begitu pula halnya dengan pembangunan vila di tengah sawah yang ada di
Bali. Tentu saja hal tersebut akan berdampak pada pemotongan jalur air. Air
yang seharusnya untuk subak serta pertanian pada akhirnya habis untuk
puluhan hingga ratusan vila di satu tempat. Namun yang terlihat dewasa ini
bukanlah moratorium pembangunan vila dan hotel, melainkan eksploitasi

pariwisata secara berlebihan sehingga bermuara pada alih fungsi lahan


hijau.
Filosofi Tri Hita Karana seakan tidak lagi menjadi pedoman utama dalam
pembangunan pariwisata di Bali. Wisatawan mancanegara pada dasarnya
datang berlibur ke Bali untuk melihat alam dan budaya masyarakat Bali yang
tidak dapat dijumpai di negara asal mereka. Wisatawan datang untuk
melihat sistem subak, sawah terasering, serta pemandangan alam yang
begitu luar biasa. Di era otonomi daerah ini, para pemangku kebijakan di Bali
seyogyanya tidak hanya memikirkan pendapatan asli daerah (PAD) semata,
yang salah satunya diperoleh dari pemberian izin pembangunan hotel, vila
dan rumah makan di lokasi-lokasi yang seharusnya tetap dibiarkan hijau.
Arya Dhyana, seorang ekonom alumnus UGM berpendapat
bahwakondisi Bali saat ini dapat diibaratkan dengan kapal layar yang
terpaksa berlayar dengan kondisi penumpang penuh sesak, bahkan terdapat
beberapa lubang di dasar kapalnya. Jika hal tersebut tidak cepat diperbaiki,
tentu akan menyebabkan kapal tersebut tenggelam. Bali saat ini dengan
kepadatan penduduk 690 jiwa/km2 (bps.go.id). Ini akibat Bali diserbu
pendatang yang melihat peluang ekonomi lebih baik dibandingkan dengan
daerah mereka. Dengan penduduk (penumpang) yang penuh sesak,
ditambah pesatnya pembangunan yang dipicu dan dipacu oleh industri
pariwisata, tentu saja menimbulkan beberapa permasalahan, ibarat lubanglubang kecil di dasar kapal ini.
Kini Bali dihadapkan pada proyek Reklamasi Teluk Benoa yang menuai pro
dan kontra di kalangan masyarakat. Desain reklamasi ini sendiri ternyata
sudah dibuat pada tahun 2007 lalu. Pembuat desain reklamasi pulau ini,
yakni Tilke Engineers & Architects, merupakan sebuah perusahaan kelas
dunia asal Jerman yang didirikan tahun 1983. Perusahaan ini biasa
menangani desain untuk berbagai proyek di berbagai belahan dunia seperti
proyek hotel di Bahrain, di Shanghai Cina, dan berbagai proyek di belahan
dunia lainnya (beritabali.com). Namun sejatinya, proyek reklamasi tentu
akan berdampak pada lingkungan, ekonomi, sosial dan roh dari pariwisata
Bali, yakni Pariwisata Budaya.

Definisi Reklamasi
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka
meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan
dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau
drainase (UU No 27 Thn 2007).
Pengertian reklamasi lainnya adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan
kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair

menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan


pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang
lebar, ataupun di danau. Pada dasaranya reklamasi merupakan kegiatan
merubah wilayah perairan pantai menjadi daratan. Reklamasi dimaksudkan
upaya merubah permukaan tanah yang rendah (biasanya terpengaruh
terhadap genangan air) menjadi lebih tinggi (biasanya tidak terpengaruh
genangan air). (Wisnu Suharto dalam Maskur, 2008).
Sesuai dengan definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan
kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan
bermanfaat. Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk kawasan
pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek
wisata. Dalam perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu
langkah pemekaran kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kotakota
besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian
pesat tetapi mengalami kendala dengan semakin menyempitnya lahan
daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke
arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan
baru. (http//www.lautkita.org)
Dalam konteks pengembangan wilayah, reklamasi kawasan pantai ini
diharapkan akan dapat meningkatkan daya tampung dan daya dukungan
lingkungan (environmental carrying capacity) secara keseluruhan bagi
kawasan tersebut. Reklamasi dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat
sumberdaya lahan yang ditinjau dari sudut lingkungan dan social ekonomi
dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU 27, 2007).
Hal ini umumnya terjadi karena semakin tingginya tingkat populasi manusia,
khususnya di kawasan pesisir, sehingga perlu dicari solusinya. Ensiklopedi
Nasional Indonesia, 1990, Tujuan reklamasi yaitu untuk memperbaiki daerah
atau areal yang tidak terpakai atau tidak berguna menjadi daerah yang
dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia antara lain untuk
lahan pertanian, perumahan, tempat rekreasi dan industri.

Babak Baru Reklamasi Teluk Benoa


Lahirnya Perpres No. 51 tahun 2014 di akhir Mei tahun ini seolah menjadi
babak baru dalam perjuangan menjaga Bali dari reklamasi. Bagaimana
tidak, dalam Perpres ini wilayah Teluk Benoa yang dulunya merupakan zona
L3 atau konservasi (Perpres No. 45 tahun 2011) ,kini masuk dalam zona P
atau penyangga. Dalam zona ini terdapat kegiatan kegiatan yang di
perbolehkan seperti kegiatan kelautan, perikanan, pariwisata,
pengembangan ekonomi, pemukiman bahkan penyelenggaraan reklamasi.
Pada Intinya penerbitan Perpres No. 51 Tahun 2014 ini menghapuskan pasalpasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi

sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat 5 Perpres No. 45 Tahun


2011. Serta mengubah kawasan konservasi perairan pesisir Teluk Benoa
menjadi zona penyangga, yang secara tegas di muat dalam pasal 63A ayat
(2) Perpres No. 51 tahun 2014 yang berakibat pada dapat di reklamasiya
teluk benoa (pasal 101A Perpres No. 51 tahun 2014). Bahkan luas wilayah
yang dapat di reklamasipun telah di tentukan, yakni maksimal seluas 700
hektar.
Selain klausul yang mengijinkan kegiatan revitalisasi termasuk
penyelenggaraan reklamasi, Perpres No. 51 tahun 2014 juga mengurangi
luasan kawasan konservasi perairan dengan menambahkan frasa sebagian
pada pasal 55 Perpres No. 51 tahun 2014. Lahirnya Perpres No. 51 tahun
2014 ini seolah menjadi jalan bebas hambatan untuk di langsungkanya
reklamasi di Teluk Benoa.

MENGAPA KAMI MENOLAK REKLAMASI?


1. TELUK BENOA ADALAH KAWASAN KONSERVASI, TIDAK UNTUK DI
REKLAMASI : DAMPAKNYA TERHADAP EKOLOGI
Pada Pasal 55 ayat (5) Perpres No. 45 Tahun 2011 sebelum diubah menjadi
Perpres No. 51 Tahun 2014 disebutkan bahwa salah satu kawasan
konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yakni kawasan
konservasi perairan di perairan kawasan Sanur, perairan kawasan
Serangan, perairan kawasan Teluk Benoa yang sebagian di Kecamatan
Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, perairan kawasan Nusa Dua Badung, dan perairan
kawasan Kuta. Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (3) Perpres No. 122 Tahun 2012
tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan
bahwa Reklamasi tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi dan alur
laut. Selain itu, dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)
Bali No. 16 Tahun 2009 soal sempadan pantai untuk laut diatur 100 meter.
Jika kita selaku masyarakat Bali sudah menyepakati Perda RTRWP yang
menyatakan sempadan pantai untuk laut yakni 100 meter untuk dapat
melakukan aktifitas pembangunan, lalu yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana dengan pembangunan jika dilakukan di tengah laut? Hal ini
menjadi bukti bahwa terjadi inkonsistensi pemerintah baik pusat maupun
daerah dalam mengambil kebjikan yang terkait dengan lingkungan.
Tentu sudah sangat jelas bahwa Teluk Benoa yang merupakan kawasan
konservasi tidak layak untuk direklamasi. Namun perubahan Perpres No. 45
Tahun 2011 menjadi Perpres No. 51 Tahun 2014 mengubah Teluk Benoa
untuk tidak lagi dinyatakan sebagai kawasan konservasi, melainkan sebagai
zona P. Sesuai dengan pasal 63A ayat (1) Perpres No. 51 Tahun 2014
menyebutkan bahwa Zona P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56

merupakan zona perairan pesisir dengan karakteristik kawasan teluk yang


berhadapan dengan Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3 di Kawasan
Teluk Benoa, yang menjaga fungsi Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3
sebagai kawasan Pemanfaatan umumyang potensial untuk kegiatan
kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata,
pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama. Pada
pasal 63A ayat (2) Perpres No. 51 Tahun 2014 menyatakan Zona P
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan di perairan pesisir Teluk
Benoa yang berada di sebagian Kecamatan Denpasar Selatan, Kota
Denpasar dan sebagian Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.
Upaya masyarakat Bali menolak reklamasi Teluk Benoa yang nantinya
mendatangkan bencana ekologi bagi kawasan Bali khususnya di kawasan
pantai timur, sepertinya akan menemui jalan yang terjal. Pihak pemerintah,
khususnya pemerintah pusat tampaknya tetap akan berjalan dengan
rencananya melakukan reklamasi untuk keperluan pembangunan
infrastruktur ekonomi. Pemerintah pusat berdalih bahwa kondisi eksisting
Kawasan Teluk Benoa sudah tidak seluruhnya memenuhi kriteria sebagai
kawasan konservasi perairan, dimana secara faktual telah ada perubahan
fisik antara lain jalan tol, jaringan pipa migas, maupun pelabuhan
internasional Benoa. Selain itu, terjadinya pendangkalan, menjadi salah satu
pertimbangan bahwa Kawasan Benoa tersebut tidak lagi tepat untuk
dikatakan sebagai kawasan konservasi. Khusus keberadaan jalan tol layang
diatas kawasan pantai, telah mengubah dinamika ekosistem pantai di
Kawasan Teluk Benoa, sehingga diperlukan penyesuaian peruntukan ruang.
Kawasan Teluk Benoa dinilai dapat dikembangkan sebagai kawasan
pengembangan kegiatan ekonomi serta sosial budaya dan agama, dengan
tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi Taman Hutan Raya Ngurah Rai
dan pelestarian ekosistem kawasan sekitarnya, termasuk tanaman bakau
(mangrove), serta keberadaan prasarana dan sarana infrastruktur di
Kawasan Teluk Benoa.
Jika kita berpikir flashback terkait reklamasi Serangan sebagai acuan untuk
merefleksi pikiran kita terhadap dampak reklamasi, yang dirasakan saat ini
oleh warga Serangan yakni mereka tidak lagi sepenuhnya menggantungkan
sumber penghidupan dari hasil laut karena ikan-ikan konsumsi sudah
menghilang dari perairan Serangan. Begitu pula dengan predikat Pulau
Serangan sebagai Pulau Penyu akan tinggal kenangan lantaran satwa penyu
sudah sangat jarang mendarat di Serangan untuk bertelur. Pulau Serangan
sudah menjadi satu daratan dengan pulau-pulau kecil sebelumnya, sehingga
tidak ada lagi pantai yang landai, alami dan aman untuk habitat Penyu
bertelur. Reklamasi tersebut tentu tidak memiliki tujuan yg jelas.
Berdasarkan kajian pakar Hidrologi dari Universitas Udayana, I Nyoman
Sunarta, reklamasi Teluk Benoa tentu akan menimbulkan bencana ekologis.
Alasannya jika reklamasi tetap dilaksanakan, maka akan terjadi perubahan

arus air laut di sekitar perairan tersebut. Dampak paling nyata yang dapat
dirasakan adalah semakin memperparah terjadinya abrasi di sejumlah
pantai di sekitar Teluk Benoa. Indonesia Maritime Institute (IMI) menegaskan,
reklamasi di Teluk Benoa berpotensi merusak ekosistem terumbu karang
yang selain sebagai penopang kehidupan jutaan biota laut, juga menjadi
andalan wisata bahari di Pulau Bali, jika reklamasi dilakukan maka tentu
sedimentasi yang ditimbulkan akan mematikan terumbu karang dan biota
lainnya. Teluk Benoa dikelilingi oleh daratan Tanjung Benoa dan Pulau
Serangan, kemudian bila latar belakang reklamasi yang diutarakan untuk
menjaga Bali dari bahaya tsunami atau gelombang pasang, tentunya tidak
beralasan karena yang akan lebih dahulu dihantam oleh tsunami (bila benar
terjadi) adalah dua pulau tersebut yaitu daratan Tanjung Benoa dan Pulau
Serangan. Selain itu, kawasan Teluk Benoa juga merupakan Green Nature
Garden, yang berarti bahwa mangrove hanya dapat tumbuh di kawasan
tersebut.
Jadi, pelanggaran tata ruang Provinsi Bali yang memberikan ijin reklamasi
kepada PT. Tirta Wahani Bali Internasional (PT. TWBI) seharusnya dituntaskan
melalui penegakan hukum, bukanlah melalui revisi perpres. Pengakuan yang
menyatakan kondisi Teluk Benoa oleh pemerintah pusat yang tidak lagi
sesuai untuk kawasan konservasi seharusnya diikuti penyelamatan atau
rehabilitasi ekosistem tanpa diikuti dengan pembangunan akomodasi
pariwisata secara masif yang tentunya akan menimbulkan dampak
kerusakan lingkungan yang lebih besar. Yang terjadi saat ini membuktikan
bahwa pemerintah tidak lagi berkomitmen dalam menjaga kelestarian
lingkungan. Jika Teluk Benoa tetap direklamasi, maka dapat dipastikan
bahwa Bali akan semakin mengalami penurunan kualitas lingkungan.

2. BALI TIDAK LAGI MENJADI PARIWISATA BUDAYA SEUTUHNYA


Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan dan pengembangan yang cukup signifikan, namun harus diakui
bahwa persebaran kegiatan pariwisata di Indonesia belum merata.
Meningkatnya pariwisata di Bali, misalnya, tidaklah berarti bahwa seluruh
desa di pulau Bali itu telah tersentuh dan dapat menikmati manfaat dari
kegiatan pariwisata tersebut. Hal ini sangat terkait dengan potensi dan
infrastruktur yang ada dan berkaitan langsung dengan pariwisata, seperti:
akomodasi, jasa transportasi, pelayanan (service), seni dan atraksi, termasuk
lingkungan sosiokulturalnya. Oleh karena itu, masyarakat dari desa-desa
yang secara sosio-kultural berbeda cenderung menunjukkan keterlibatan
yang berbeda pula dalam rangka kegiatan pariwisata.
Landasan yuridis pengembangan pariwisata di daerah Bali adalah
PerdaNomor 3 tahun 1974 juncto Perda Nomor 3 tahun 1991 yang
menetapkan bahwakonsep pengembangan pariwisata di Bali adalah

pariwisata budaya. Pariwisatabudaya merupakan jenis kepariwisataan yang


dalam pengembangannyamenggunakan kebudayaan daerah (Bali) yang
dijiwai oleh nilai-nilai agamaHindu sebagai potensi daerah yang paling
dominan, yang di dalamnyamenyiratkan satu cita-cita akan adanya
hubungan timbal balik antara pariwisata dengan kebudayaan sehingga
keduanya dapat meningkat secara serasi, selaras,dan seimbang.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengklaim keberadaan pulau reklamasi
akan menjadi destinasi wisata baru. Konsep pariwisata budaya mutlak
diimplementasikan dalam membangun dan mengembangkan kawasan dan
atraksi wisata di kawasan tersebut. Kejenuhan wisatawan asing atas atraksi
dan obyek wisata yang ada saat ini, wajib diantisipasi untuk 5 sampai 10
tahun ke depan.
Dalam sebuah teori public finance setiap kebijakan publik pasti akan
menimbulkan dampak negatif yang disebut eksternalitas. Jika eksternalitas
yang ditimbulkan terjadi pada budaya Bali, maka akan sulit untuk diukur,
diidentifikasi serta diminimalisir. Perspektif reklamasi yang selama ini dikenal
hanyalah dalam arti harfiah bahwa reklamasi adalah menguruk laut dengan
tanah sehingga daratan menjadi lebih luas, namun sisi lain sebuah reklamasi
juga berarti menguruk tatanan dan budaya sebuah masyarakat. Reklamasi
ibarat katalis yang mempercepat reaksi pengeroposan sendi-sendi budaya
Bali.
Reklamasi tentu berdampak terhadap kehidupan adat istiadat beragama di
Bali khususnya di daerah Teluk Benoa. Salah satu contoh yang dapat diambil
yakni rentetan upacara pemakaman di Bali untuk umat Hindu adalah
mengembalikan jasad manusia ke lima unsur pembentuknya, salah satunya
adalah air yang dilambangkan dengan membuang hasil pembakaran jenazah
ke laut. Jika reklamasi ini benar dilaksanakan dapat dibayangkan penduduk
lokal yang biasanya melaksanakan upacara ngaben harus mendapat ijin
khusus dari pemilik hotel ataupun resort untuk menyelesaikan rentetan
upacara itu akibat wilayah tersebut sudah diprivatisasi. Ataupun jika tidak,
maka ada usaha lebih yang harus dilakukan untuk berpindah tempat ke
pantai lain yang tentunya mobilisasi yang melibatkan banyak orang ini
membutuhkan biaya lebih.
Pada hakekatnya, Bali tidak memerlukan wisata artifisial atau buatan, tetapi
yang lebih penting yakni pengembangan pariwisata budaya yang tentunya
menjadi roh pariwisata yang ada di Bali. Bali memang tidak boleh menutup
mata terhadap kemajuan yang dialami pariwisata negara-negara tetangga,
seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Namun Pemerintah tidak
seharusnya hanya menyerahkan kepada investor dalam perencanaan
pengembangan pariwisata sehingga harus menempatkan investasinya di
wilayah yang merugikan baik dari segi aspek lingkungan, budaya, sosial dan
ekonomi bagi kelangsungan Bali ke depan. Pembangunan di Bali harus
senantiasa berlandaskan konsep Tri Hita Karana sehingga mampu menjaga

keharmonisan jangka panjang yang mampu dirasakan oleh generasi penerus


Bali nantinya. Pengembangan pariwisata diharapkan dapat lahir langsung
dari inisiatif Desa Pakraman maupun krama banjar melalui pengembangan
desa wisata melalui dukungan penuh dari pihak pemerintah sehingga
manfaatnya dapat menyentuh masyarakat secara langsung. Karena
wisatawan datang ke Bali adalah untuk mencari otentisitas (keaslian) dari
kebudayaan Bali itu sendiri.

3. REKLAMASI TIDAK UNTUK MENSEJAHTERAKAN RAKYAT


Pemerintah pusat menyatakan bahwa perubahan Perpres Sarbagita
dimaksudkan untuk menyesuaikan dinamika dan perubahan tujuan
pembangunan perekonomian nasional, khususnya yang terkait dengan
rencana percepatan pembangunan di Bali, yang merupakan bagian dari
rencana Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguan Ekonomi
Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Dalam hal lapangan kerja, dibangunnya
akomodasi pariwisata dan fasilitas umum akan memberikan peluang
lapangan kerja bagi masyarakat Bali dalam 5 sampai 10 tahun mendatang.
Diperkirakan sekitar 200.000 lapangan kerja baru akan tersedia serta akan
terjadi peningkatan PAD Bali dari pajak hotel-hotel yang akan dibangun di
kawasan tersebut yang ditegaskan oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika.
Pada dasarnya pariwisata dengan segala aktivitasnya memang telah mampu
memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi perubahan masyarakat
baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Hal itu menuntut adanya
perhatian yang lebih dari para pengambil kebijakan sektor pariwisata untuk
mempertimbangkan kembali pola pengembangan kawasan wisata agar
masyarakat sekitar lebih dapat merasakan manfaatnya. Sekaligus menjadi
catatan, bahwa faktor kemanusiaan dan entitas budaya lokal tidak boleh
diabaikan, artinya kehidupan masyarakat tidak boleh tercabut dari akar
budayanya hanya karena adanya penekanan segi
komersial dari tourism. Jangan sampai penekanan pada aspek ekonomi
mengabaikan dimensi lain seperti dimensi ketahanan sosial budaya, karena
perkembangan mutakhir dari dunia kepariwisataan adalah beralihnya minat
wisatawan dari massive tourism ke etnic tourism, wisata-wisata unik yang
sangat peduli pada karakter asli masyarakat setempat.
Dr. Indah Widiastuti, ST, MT selaku dosen Program Studi Pembangunan ITB
menyebutkan bahwa dalam etika pembangunan dan keadilan, pembangunan
tidak hanya cukup mengandalkan indikator PAD, terdapat indikator lain
seperti angka kematian dan harapan hidup. Jika azas keadilan tidak
mendapat perhatian serius maka perekonomian tetap tidak dapat tumbuh
seperti yang diharapkan. Prinsip keadilan yang mungkin sering diabaikan
dapat menimbulkan permasalahan sosial yang serius berupa perubahan
beberapa norma yang ada di masyarakat. Ketimpangan sosial semakin

melebar merupakan dampak serius akibat kurangnya rasa keadilan di


masyarakat. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan, 2 (dua)
prinsip keadilan, yaitu setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan
dasar yang paling luas dan pengaturan ketimpangan sosial agar setiap orang
merasa diuntungkan harus senantiasa diperhatikan.
Jika hanya melihat dari perhitungan normatif terkait dengan keuntungan di
bidang ekonomi, tindakan pemerintah untuk menyetujui reklamasi ini dirasa
tidak tepat. Daerah Teluk Benoa yang telah ditetapkan sebagai kawasan
konservasi dalam Perpres No. 45 tahun 2011 sebelum diubah menjadi
Perpres No. 51 tahun 2014 menjadi salah satu tempat mata pencaharian
nelayan setempat. Daratan baru yang akan dibuat tentunya akan
mengorbankan kehidupan para nelayan tersebut, tidak ada lagi daerah
tangkapan ikan yang mudah dijangkau. Akibatnya jika terus dibiarkan,
perubahan struktur masyarakat dengan profesi nelayan pun terjadi, dimana
dengan tantangan yang begitu sulit untuk menangkap ikan, tidak menutup
kemungkinan bahwa tidak ada lagi warga sekitar yang ingin melaut. Pasarpasar ikan tradisional disekitar wilayah tersebut juga terancam punah. Tidak
ada lagi ikan segar yang dapat diperjualbelikan. Tingginya harga jual ikan
oleh nelayan di wilayah Benoa akibat peningkatan biaya untuk melaut
mendorong terjadinya kebangkrutan nelayan setempat. Jika mereka yang
terancam secara langsung akibat dampak dari reklamasi ini memiliki modal
(keahlian khusus ataupun biaya) untuk ikut ambil bagian di bidang
pariwisata, maka hal tersebut tentunya tidak akan menjadi beban bagi
pemerintah daerah. Umpan balik negatif dengan meningkatnya
pengangguran akibat nelayan berhenti melaut harus mendapat perhatian
khusus dalam pengambilan keputusan mengenai reklamasi ini. Termasuk
keturunan dari nelayan-nelayan tersebut yang belum tentu mampu
mengenyam pendidikan seperti yang diharapkan pemerintah daerah
sehingga dapat diserap oleh industri pariwisata sangat mungkin
meningkatkan angka kemiskinan di daerah tersebut. Ancaman peningkatan
pengganguran ini sudah tentu memicu terjadinya angka kriminalitas yang
tinggi. Mereka yang semula berpenghasilan cukup untuk kebutuhan pangan
harus bersaing keras baik oleh sesama ataupun kaum pendatang (dari luar
pulau Bali) yang mencoba mengadu nasib di Pulau Dewata ini. Sehingga bisa
jadi berwisata di Bali tidak seaman dan senyaman sebelumnya.
Dalam era globalisasi ini, daerah manapun di dunia ini tidak akan pernah
luput dari pembangunan, baik itu pembangunan infrastruktur negara
maupun pembangunan di berbagai sektor kehidupan, namun yang menjadi
catatan penting dalam perencanaan dan realisasi percepatan pembangunan
ini hendaknya dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian adat dan istiadat
yang ada di Bali. Pemerataan pembangunan di Bali adalah salah satu
indikator untuk memberikan kontribusi dalam hal penyediaan lapangan
pekerjaan baru dan peningkatan pendapatan asli daerah di daerahnya
masing-masing. Jangan sampai percepatan pembangunan hanya berfokus

pada beberapa tempat khususnya Bali Selatan yang pada akhirnya akan
semakin menambah kesenjangan antar masyarakat khususnya dari aspek
ekonomi. Pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan harus dikedepankan
sebagai embrio pembangunan ekonomi berkelanjutan sesuai dengan pasal
33 UUD 1945.

4. REKLAMASI BUKAN SOLUSI TERHADAP PERMASALAHAN ALIH


FUNGSI LAHAN DAN KEPADATAN PENDUDUK
Sudah menjadi sejarah dalam proses pembangunan di Bali, bahwa laju
pembangunan sarana kepariwisataan berbanding lurus dengan lajunya arus
alih fungsi lahan sawah. Pada tahun 1980an, kasus yang sama pernah
terjadi. Dalam era itu, pembangunan kepariwisataan sedang di-push.
Tercatat laju alih fungsi lahan sawah pada saat itu seketika melompat
menjadi lebih dari 1.000 ha/tahun. Sementara itu, dengan metode analisis
spasial, tim Litbang Kompas (2013) mencatat bahwa, di mana ada
pembangunan kawasan wisata, maka di kawasan itulah berkembang
kawasan kumuh. Jadi, ada hubungan yang kuat antara pembangunan
pariwisata dengan kawasan kumuh di Bali. Analogi inilah yang terjadi antara
pembangunan kawasan wisata (reklamasi) dengan alih fungsi lahan sawah
(Bali Express).
Guru Besar Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Windia, MS menegaskan
bahwa setiap pembangunan kawasan wisata akan mendorong orang untuk
bekerja di sana, termasuk masuknya kaum migran. Kondisi ini akan
mendorong pembangunan fisik lainnya, seperti pembangunan warung, toko,
restoran, perumahan, hotel kecil, dan berbagai sarana prasarana lainnya.
Pembangunan fisik sebagai akibat dari multiplier-efect pembangunan
(reklamasi) inilah yang mendorong alih fungsi lahan sawah. Bahwa kehadiran
migran di Bali sudah menjadi rahasia umum. Saat ini, pertumbuhan
penduduk di Badung dan Denpasar naik sekitar 3-5 persen pertahun.
Kenaikan itu, 50 persen disebabkan karena kedatangan migran. Kenapa
migran datang ke Bali? Tentu saja karena di Bali ada pembangunan
pariwisata. Kalau pembangunan pariwisata di Bali tidak dihentikan
(sementara), maka migran akan semakinbanyak berdatangan. Migran yang
beranak pinak akan memangsa lahan sawah di Bali. Itulah sebabnya,
pembangunan pariwisata telah menjadi kanibal bagi sektor pertanian. Oleh
karenanya, seperti tidak masuk akal kalau dikatakan bahwa penggunaan
reklamasi yang akan dimanfaatkan sebagai sarana kepariwisataan, akan
dapat menghentikan/mengendalikan alih fungsi lahan sawah di Bali. Justru
sebaliknya yang akan terjadi.
Pemberian subsidi mutlak harus diberikan oleh pemerintah kepada para
petani agar mampu mengolah lahannya untuk budidaya pertanian, bukan
mengalihfungsikan lahannya pada bisnis yang dinilai lebih menguntungkan.

Baik dalam bentuk peringanan pajak (PBB), subsidi harga gabah maupun
menyangkut modal usaha tani untuk pembelian sarana produksi dan
alat/mesin pertanian demi meningkatkan gairah dalam mengembangkan
usaha tani serta memperoleh produktivitas yang lebih tinggi lagi. Petani
sudah saatnya memiliki harapan yang membanggakan dalam aktivitasnya
sebagai petani karena pada kenyataannya saat ini menunjukan bahwa
profesi tani memang benar-benar mulai dikesampingkan oleh generasi
muda. Tentu yang kita harapkan bersama yakni perkembangan
pertumbuhan pariwisata yang sejajar (tanpa saling mengorbankan) dengan
perkembangan pertanian dalam kawasan subak yang ada di Bali. Karena
pada dasarnya, kedua hal tersebut dapat menjadi suatu simbiosis
mutualisme dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali tanpa
mengusik sedikitpun nilai-nilai Budaya yang terkandung di dalamnya.

Implementasi Kebijakan Penataan Wilayah Pesisir


Written By Tasrif Landoala on Sabtu, 05 Oktober 2013 | 22.25

Kebijakan penataan ruang wilayah pesisir pada dasarnya ditempuh untuk


memenuhi tujuan-tujuan sebagai berikut: Mewujudkan pembangunan berkelanjutan
pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan
kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota
sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung;
Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya
(inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman
alam (natural hazards) lainnya; Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis
esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada
wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan
sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management)
(Darwanto, 2000).
Menurut Nurlia (1999), hal-hal yang perlu dilakukan dalam penataan ruang
kelautan dan pesisir adalah sebagai berikut :
1. Pengenalan kondisi pemanfaatan ruang laut dan pesisir yang ada mencakup
kegiatan analisis sumberdaya di laut, batasan wilayah laut dimana suatu wilayah
atau negara mempunyai wewenang, analisis pendekatan teknologi yang mungkin
dibutuhkan dalam pengembangan sumberdaya yang ada, identifikasi sektor-sektor
dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya kelautan, identifikasi kesepakatan
nasional dan konvensi internasional mengenai pemanfaatan ruang laut serta
analisis hubungan fungsional secara sosial ekonomi antara pemanfaatan ruang laut
dan udara.
2. Pengenalan dimensi spasial pembangunan suatu daerah meliputi analisis tujuan
dan sasaran makro pembangunan daerah, analisis pola ekonomi ruang darat dan
laut yang sesuai untuk mewujudkan tujuan pembangunan serta analisis skenario

pembangunan laut dalam konstelasi pengembangan ruang darat dan laut secara
menyeluruh dan pemilihan alternatif yangada.

Penjabaran pola pembangunan ruang laut, kawasan-kawasan pesisir dan


kawasan konservasi di laut dan pantai. Untuk mencapai pembangunan wilayah
pesisir dsn lautan secara optimal dan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut secara terpadu (Integrated
Coastal

and

Marine

Zone

Management).

Pada

dasarnya

arahan

kebijakan

pembangunan sumebrdaya wilayah pesisir dan laut meliputi empat aspek kutama
yaitu (1) aspek teknis dan sosial, (2) aspek sosial ekonomi dan budaya, (3) aspek
sosial politik, dan (4) aspek hukum serta kelembagaan termasuk pertahanan dan
keamanan.
Implementasi kebijakan menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994)
ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle
adalah bahwa kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek
individual dan biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan.
Tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu,
yang dapat dilihat pada isi dan konteks kebijakannya.
Secara sederhana tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan
arah agar tujuan kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan
pemerintah. Karena itu, hal ini akan menyangkut penciptaan sistem pelaksanaan
kebijakan yang juga merupakan alat khusus yang disusun untk mencapai tujuan
khusus. Dengan demikian, kebijakan adalah suatu pernyataan tujuan secara luas,
sasaran dan cara-cara, yang ekmudian diterjemahkan kedalam program-program
tindakan yang dimaksudkann untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam
kebijakan (Wibawa, 1994).
Selanjutnya

Salusu

(2005)

menyatakan

bahwa

implementasi

adalah

seperangkat kegiatan yang dilakukan menyusul suatu keputusan. Suatu keputusan


selalu dimaksudkan untuk mencapai sasaran tertentu, guna merealisasikan
pencapaian sasaran itu, sehingga diperlukan serangkaian aktivitas. Jadi dapat
dikatakan bahwa implementasi adalah operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna
mencapai sasaran tertentu.

Menurut Abdullah (1988), pengertian dan unsur-unsur pokok dari proses


implementasi adalah sebagai berikut :
1. Proses implementasi program (kebijakan) adalah rangkaian tindak lanjut (setelah
sabuah program atau kebijakan diterapkan), yang terdiri atas pengambilan
keputusan, langkah-langkah strategis maupun operasional yang ditempuh guna
mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi kenyataan guna mencapai
sasaran dari program yang ditetapkan semula.
2. Proses implementasi dalam kenyataan sesungguhnya dapat berhasil, kurang
berhasil ataupun gagal sama sekali, ditinjau dari sudut hasil yang dicapai atau out
come, karena dalam proses tersebut turut bermain dan terlibat sebagai unsur yang
pengaruhnya dapat bersifat mendukung maupun menghambat pencapaian sasaran
program.
3. Dalam proses implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting
dan mutlak yaitu: (1) adanya program/kebijakan yang dilaksanakan; (2) target
group yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan
menerima manfaat dari program tersebut, perubahan atau peningkatan; dan (3)
unsur

pelaksana

(implementer)

baik

organisasi

maupun

perorangan

yang

bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan pengawasan dari implementasi


tersebut.

Jones (1991) mengemukakan pendapat tentang pilar implementasi sebagai


berikut :
1. Pengorganisasian; yakni penataan kembali sumberdaya unit-unit serta metode
untuk menjalankan program.
2. Interpretasi; yakni aktivitas menafsirkan agar program menjadi rencana dan
pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan.
3. Aplikasi; yaitu memberikan kelengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran, atau
aktivitas lainnya sesuai dengan tujuan program.

Ada beberapa strategi yang harus ditempuh dalam proses implementasi,


strategi tersebut meliputi: (a) persiapan implementasi, dan (b) implementasi
program. Persiapan implementasi meliputi rencana program, pengumpulan data,
sentralisasi

atau

desentralisasi

keputusan

penentuan

agen-agen

pelaksana,

sedangkan implementasi program ada yang bersifat spasial atau sektoral.


Dalam proses implementasi ada banyak kenyataan yang dihadapi yang ikut
mempengaruhi keberhasilan program yaitu: (1) karakteristik lingkungan dimana
program tersebut dilaksanakan, (2) aparat pelaksana program menyangkut
keterampilan, pengetahuan, komitmen dan loyalitas, (3) otoritas yang berlaku
dalam program, (4) dukungan masyarakat, dan (5) sistem administrasi yang berlaku
dalam program (Keban, 1994).
Allison

dalam

Tangkilisan

(2003)

dalam

menilai

konteks

implementasi

kebijakan, menampilkan tiga model pembuatan keputusan untuk implementasi


yaitu: aktor rasional, proses organisasional, dan model politik birokrasi. Kedua dan
ketiga model ini berfokus pada prosedur operasi standar (Standard Operating
Procedure/SOP) dan politik birokrasi secara berurutan dan telah memberi banyak
perhatian untuk pembuatan keputusan. Pendekatan dilakukan sesuai dengan
kondisi lingkungan masing-masing intitusi, namun tetap berfokus pada pentingnya
faktor dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, penekanan terhadap faktor
tersebut

adalah

bagaimana

faktor-faktor

domian

tersebut

mempengaruhi

implementasi secara khusus.


Mempelajari

masalah

implementasi

kebijakan

berarti

berusaha

untuk

memahami apa kenyataan yang terjadi sesudah program diberlakukan atau


dirumuskan, yakni peristiwa dan kegiatan terjadi setelah proses pengesahan
kebijakan, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu
pada masyarakat. Beberapa model dalam pengkajian implementasi kebijakan,
dikemukakan sebagai berikut (Pressman dan Wildavsky, 1984): implementation
problem approach, mengemukakan dua pertanyaan pokok, yaitu: (i) hal-hal apa saja
yang merupakan prasyarat bagi suatu implementasi yang berhasil? (ii) apa saja
yang merupakan penghambat utama terhadap berhasilnya implementasi program?.
Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dapat dirumuskan empat faktor atau
variabel yang merupakan prasyarat penting guna berhasilnya implementasi, yaitu :

1. Komunikasi menjadi penting karena suatu program hanya dapat dilaksanakan


dengan baik apabila jelas bagi pelaksana. Hal ini menyangkut penyampaian
informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang dibutuhkan.
a. Sumberdaya; meliputi: staf yang cukup dalam arti jumlah dan mutu, informasi yang
dibutuhkan

guna

pengambilan

keputusan,

kewenangan

yang

cukup

untuk

melaksanakan tugas serta fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.


b. Sikap birokrasi dan pelaksanaan; sikap dan komitmen para birokrasi terhadap
program khususnya bagi implementasi dari suatu program dalam hal ini aparatur
birokrasi.
c. Struktur birokrasi; adanya suatu SOP yang mengatur tata aliran pekerjaan program.
Apabila tidak ada SOP maka akan sulit mencapai hasil yang memuaskan karena
penyelesaian masalah yang timbul akan bersifat ad-hoc. Dengan demikian,
penyelesaian masalah tanpa pola yang baku.
2. Transactional model, merupakan suatu model yang memadai karena cukup
komprehensif sifatnya, sbagai kerangka pemikiran guna memahami masalah yang
dihadapi dalam proses pelaksanaan pembangunan. Pada prinsipnya model ini
bertolak dari pandangan bahwa guna memahami berbagai masalah pada tahap
pelaksanaan suatu rencana atau kebijakan, keterikatan antara perencanaan dan
implementasi tak dapat diabaikan. Proses perencanaan itu sendiri tidak dapat
dilihat sebagai suatu proses terpisah dari pelaksanaan. Pada tahap implementasi
berbagai kekuatan akan berpengaruh baik faktor yang mendorong maupun
menghambat pelaksanaan program.
3. Faktor-faktor untuk dipertimbangkan dalam implementasi (Chuse dalam Abdullah,
1988) mengemukakan bahwa hambatan dalam proses implementasi program yang
terkait dengan masyarakat dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:
a. Masalah yang timbul karena kebutuhan operasional yang melekat pada progam itu
sendiri.
b. Masalah yang timbul dalam kegiatan dengan sumberdaya yang dibutuhkan guna
pelaksanaan program.

c. Masalah lain yang timbul karena keterikatan dengan organisasi lainnnya untuk
memberikan dukungan, bantuan dan persetujuaan guna melaksanakan program
tersebut.

Вам также может понравиться