Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Paru
Paru merupakan organ pernapasan yang terletak di dalam rongga dada, tepatnya di dalam
rongga pleura, di samping kanan dan kiri mediastinum. Paru berbentuk konus dengan apeks
yang tumpul pada bagian superior dan basal paru di bagian inferior. Apeks paru terletak
sekitar 1 inci (2,5 cm) di atas os. clavicula pada bagian anterior dan sejajar dengan vertebra
torasika pertama pada sisi posterior. Bagian basalnya terletak tepat di atas diafragma, yaitu
sekitar level vertebra torasika VIII atau IX pada inspirasi maksimal. Bagian anterior, lateral
dan posterior paru berbatasan dengan dinding toraks. Bagian paru yang menghadap ke
dinding thoraks ini berbentuk konveks dan disebut sebagai facies costalis. Bagian medial
paru yang berbatasan dengan mediastinum berbentuk konkaf dan disebut sebagai facies
mediastinalis.1
Paru terbagi menjadi paru kanan dan kiri. Paru kanan berukuran sedikit lebih besar
daripada paru kiri. Batas anterior paru kanan di mulai di belakang sendi sternoklavikular dan
mencapai linea mediana pada ketinggian angulus sterni. Batas paru ini terus ke bawah
melalui belakang sternum hingga level sternokondralis ke enam. Paru kanan kemudian mulai
melengkung ke lateral dan sedikit inferior, memotong iga ke enam di linea midklavikularis
dan memotong iga ke delapan di linea midaksilaris. Batas ini kemudian menuju ke posterior
dan medial pada ketinggian prosesus spinosus vertebra torasik ke sepuluh. Batas anterior paru
kiri hampir sama dengan batas anterior paru kanan, tetapi pada level kartilago iga ke empat,
18
paru kiri berdeviasi ke lateral karena terdapat jantung pada bagian tersebut. Batas bawah paru
kiri lebih inferior bila dibandingkan dengan paru kanan karena di sisi kanan tubuh terdapat
hepar.1
Pada facies mediastinalis, terdapat struktur yang disebut sebagai hilum pulmonis, yaitu
suatu tempat masuknya bronkus, pembuluh darah, dan saraf serta tempat keluarnya vena
pulmonaris yang membentuk radix pulmonis. Di sekitar hilum, terdapat cekungan-cekungan
yang merupakan cetakan organ tubuh yang berada di sekitar paru. Pada facies mediastinalis
paru kanan terdapat gambaran vena brachiocephalica, vena cava superior, vena cava inferior,
jantung, vena azygos, dan esofagus. Pada facies mediastinalis paru kiri terdapat gambaran
arkus aorta, aorta descenden, arteri subklavia, jantung (cardial notch), dan esofagus.1
Paru dilapisi oleh lapisan membran serosa yang disebut pleura. Pleura terdiri atas lapisan
visceral dan parietal. Pleura parietalis adalah lapisan pleura yang menempel pada dinding
19
dada, meliputi permukaan torakal diafragma, permukaan lateral mediastinum serta meluas
sampai ke pangkal leher untuk membatasi permukaan bawah membrana suprapleura pada
apertura torakis. Pleura visceralis adalah lapisan pleura yang meliputi seluruh permukaan luar
paru dan meluas ke dalam fissura interlobaris. Antara pleura parietalis dan pleura visceralis
terdapat celah yang dikenal sebagai rongga pleura yang berisi sedikit cairan pleura yang
memungkinkan pleura bergerak satu dengan yang lainnya dengan gesekan minimal. Rongga
yang dibentuk oleh pleura kanan dan pleura kiri merupakan sebuah kompartemen yang
terpisah. Hal ini bertujuan untuk membatasi agar kelainan atau penyakit pada salah sisi
rongga pleura tidak meluas ke sisi lainnya. Lapisan pleura di inferior hilus membentuk suatu
struktur yang menyokong paru yang dikenal sebagai ligamentum pulmonale. Lapisan pleura
parietalis dan pleura visceralis di inferior paru berhimpitan dan membentuk suatu struktur
yang dikenal sebagai sulcus costofrenikus.1
Paru kanan terbagi menjadi tiga lobus, yaitu lobus superior, lobus medial dan lobus
inferior. Antara lobus yang satu dengan lobus yang lain dipisahkan oleh fissura. Antara lobus
superior dan lobus inferior, terdapat fissura obliqus yang berjalan dari pinggir inferior ke arah
posteroseuperior menyilang facies costalis dan facies mediastinalis hingga sekitar 2,5 inci
dari apeks paru. Antara lobus medial dan lobus superior terdapat fissura horizontalis yang
berjalan horizontal setinggi kartilago costa IV dan bertemu dengan fissura obliqus di linea
midaxilaris. Paru kiri terbagi menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan lobus inferior. Lobus
superior dan lobus inferior dipisahkan oleh fissura obliqus.1
20
Paru dapat dibagi lebih lanjut menjadi beberapa segmen yang berbentuk piramid dengan
lobus menghadap ke arah radix pulmonis. Pembagian ini dilakukan berdasarkan bronkus
tersier (bronkus segmentalis) yang mensuplai bagian tersebut. Bronkus tersier selalu disertai
oleh satu arteri segmentalis yang merupakan cabang dari arteri pulmonalis, pembuluh limfe
dan saraf otonom. Antara segmen yang satu dan segmen yang lain dibatasi oleh jaringan ikat
dan di dalam jaringan ikat tersebut terdapat vena segmentalis yang merupakan pembuluh
darah balik dari paru. Paru kanan dan paru kiri dapat dibagi menjadi 10 segmen.1
Adapun pembagian segmen paru kanan dan paru kiri adalah sebagai berikut1:
a. Paru kanan
Lobus Superior : - Segmentum apicale
- Segmentum posterior
- Segmentum anterior
Lobus Medial
: - Segmentum laterale
- Segmentum mediale
Lobus Inferior
: - Segmentum superior
- Segmentum basal medial
- Segmentum basal anterior
- Segmentum basal lateral
- Segmentum basal posterior
21
b. Paru kiri
Lobus Superior
Lobus Inferior
: - Segmentum apicale
- Segmentum posterior
- Segmentum anterior
- Segmentum lingulare superior
- Segmentum lingulare inferior
: - Segmentum superior
- Segmentum basal medial
- Segmentum basal anterior
- Segmentum basal lateral
- Segmentum basal posterior
Segmen segmen paru terdiri atas lobulus lobulus yang dipisahkan oleh jaringan ikat.
Setiap lobulus berhubungan dengan bronkiolus yang berasal dari percabangan bronkus
tersier. Di dalam lobulus tersebut terdapat unit unit yang lebih kecil yang disebut sebagai
sacus alveolus yang terdiri dari beberapa alveolus. Sacus alveolus sendiri merupakan
kelanjutan dari duktus alveolus yang berasal dari bronkiolus terminal dan bronkiolus
resporatorius. Duktus alveolus tersusun atas selapis epitel pipih, sedangkan bronkiolus
respiratorius tersusun atas selapis epitel kuboid.1
Di dalam paru kanan dan kiri terdapat kurang lebih 300 juta alveolus dengan diameter
tiap alveoli sekitar 250 m. Dinding alveolus dibentuk oleh 2 tipe sel pneumosit. Pneumosit
tipe I merupakan sel epitel ipih yang menyusun 90% dari permukaan alveoli dan menjadi
tempat difusi oksigen. Pneumosit tipe II merupakan sel epitel kuboid yang memproduksi
surfaktan yang berfungsi menjaga agar alveolus tidak kolaps. Di sekitar alveoli terdapat
pembuluh kapiler. Alveoli bersama dengan pembuluh kapiler membentuk suatu struktur yang
disebut sebagai membran respiratorius. Sistem pertahanan tubuh yang utama pada alveolus
adalah makrofag yang berada di permukaan sel epitel. Makrofag sendiri bersirkulasi ke
limfonodus terdekat atau bercampur bersama mukus ke bronkiolus terminal untuk kemudian
dikeluarkan melalui faring.1
22
Bronkus, jaringan ikat paru dan pleura visceralis mendapat suplai darah dari arteri
bronchiales yang merupakan cabang dari aorta descendens. Pembuluh darah balik dari paru
adalah vena segmentalis yang bermuara ke vena pulmonales. Terdapat 2 vena pulmonales
pada setiap hilus yang kemudian bermuara ke atrium kiri jantung.1,2,3,4
Pembuluh limfe paru berasal dari plexus superficialis dan plexus profundus. Pembuluh
limfe ini tidak ditemui pada alveoli. Plexus superficialis terletak di bawah pleura visceral
sepanjang permukaan paru dan mengalirkan cairannya ke arah hilum pulmonalis melalui nodi
bronkopulmonalis. Plexus profunfus berjalan sepanjang bronki dan arteri pulmonalis untuk
kemudian bermuara di nodi intrapulmonalis yang terletak di dalam substansi paru kemudian
masuk ke dalam nodi bronkopulmonalis sebelum akhirnya mengalir ke hilum pulmonalis.
Semua cairan limfe paru meninggalkan hilum pulmonalis mengalir ke nodi trakeobronkiales
dan kemudian masuk ke dalam trunkus limfatikus bronkomediastinalis.1
3.2 Tuberculosis
3.2.1 Definisi
Tuberkulosis (Tb) adalah infeksi bakteri Mycobaterium tuberculosis. Kuman Tb
merupakan kuman gram negatif berbentuk batang. Kuman tersebut masuk tubuh
melalui udara pernafasan yang masuk ke dalam paru, kemudian menyebar dari paru
ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran
nafas atau penyebaran langsung ke tubuh lainnya23.
23
3.2.2
Epidemiologi
Tuberkulosis (Tb) hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah diterapkan sejak tahun
1995 di banyak negara.5
Menurut laporan WHO dalam Global Tuberculosis Control 2013, pada tahun 2012
terdapat 8,6 juta kasus Tb. Indonesia berada pada peringkat ke lima negara dengan beban
Tb tertinggi di dunia.6 Pada tahun 2012 tercatat sejumlah 450.000 kasus Tb telah
ditemukan dan lebih dari 170.000 diantaranya terdeteksi BTA positif. Dengan demikian,
Case Detection Rate untuk Tb BTA+ adalah 70 per 100.0007.
24
Sekitar 75% pasien Tb adalah kelompok usia paling produktif secara ekonomi
(15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien Tb dewasa akan kehilangan waktu kerjanya
sekitar 3-4 bulan, hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah
tangganya sekitar 20-30 %. Jika ia meninggal maka akan kehilngan pendapatan sekitar
15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, Tb juga memberikan dampak buruk
lainnya secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Perubahan
demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur
kependudukan menjadi pengaruh besar terhadap penyebaran kasus Tb, selain itu juga
dipengaruhi oleh masalah kesehatan lain seperti gizi buruk, merokok, diabetes, dan
pandemi HIV/AIDS. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan resiko kejadian Tb
secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman Tb terhadap obat anti
Tb (Multi Drug Resistance) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil
disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya
epidemiologi Tb yang sulit ditangani.5
3.2.3
25
memfasilitasi
respon imun
delayed-type
hypersensitivity
(DTH) dan
mengaktifkan sel limfosit T sitolitik (Tc, Cytolitic T lymphocytes = CTLs CD8+) untuk
memfasilitasi sitolisis seluler. Sel Th1 CD4+ dan sel TCLs CD8+ berproliferasi
menjadi sel Th1 CD4+ dan TCLs CD 8+ spesifik, yang mempunyai memori
imunologi8-12.
Sitokin yang dikeluarkan sel Th1 CD4 + memacu perubahan edotel sehingga
memudahkan ekstravasasi sel monosit dan neutrofil. Neutrofil dan monosit yang
mengalir dalam sirkulasi menempel pada molekul adhesi sel endotel dan bergerak
keluar dari vaskuler menuju jaringan paru terinfeksi. Monosit yang masuk jaringan
paru berubah menjadi makrofag, bersama dengan neutrofil memfagosit Mtb di tempat
DTH8-12.
IFN- yang diproduksi sel Th1 CD4+ mengaktifkan makrofag yang sudah
mengandung M. tuberculosis agar lebih aktif berperan sebagai sel efektor dengan
mengeluarkan produk toksik (oksigen reaktif intermediet dan oksida nitrat) utnuk
memusnahkan mikroorganisme disertai sedikit kerusakan jaringan yang tidak
berarti.11,12
4
26
Penegakkan Diagnosis
Diagnosis infeksi M.tuberculosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis sputum pasien dan kultur, pemeriksaan radiologi, histopatologis, kultur
sumsum tulang, dan pembesaran limfonodi atau hati. Pemeriksaan dahak mikroskopik
minimal 2 kali dan paling tidak satu spesimen harus berasal dari dahak pagi.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah tes tuberkulin 14. Gambaran klinis
terdiri dari gejala seperti batuk berdarah yang berlanjut selama tiga minggu atau lebih,
demam terutama pada sore hari, penurunan berat badan, dan keringat basah kuyup di
malam hari.
27
Hasil BTA
+ - -
Hasil BTA
+ - -
Antibiotik non-OAT
Foto thoraks dan pertimbangan
dokter
Tidak ada
perbaikan
Ada
perbaikan
Pemeriksaan dahak
mikroskopis
Hasil BTA
TUBERCULOSIS
Hasil BTA
-- -
+++
++-
+--
hari kedua
Pagi
: Dahak dikumpulkan pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur, pot
BTA negatif
1+
28
3.2.5
2+
3+
Pemeriksaan Penunjang
29
3.2.6
Diagnosis Banding
1. Asma Bronkiale
2. Efusi Pleura
3. Hemothorax
4. Pneumothorax
5. Bronkiektasis
6. Abses Paru
3.2.7
Pengobatan
Semua pasien Tb yang belum pernah diobati harus diberi panduan obat lini pertama:
1) Fase awal: 2 bulan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
2) Fase lanjutan: 4 bulan isoniazid dan rifampisin, atau
3) Pemberian isoniazid dan etambutol selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak
direkomendasikan untuk pasien Tb dengan HIV/AIDS karena mudah terjadi
kegagalan pengobatan atau kambuh15,16.
Di Indonesia, untuk orang dewasa, digunakan dua macam panduan OAT, yaitu OAT
kategori-1 dan OAT kategori-2. Kategori-1 diberikan kepada semua pasien baru, dan
kategori-2 diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya, yaitu pada
pasien kambuh, pasien gagal, atau pasien dengan pengobatan setelah terputus (default). Dosis
OAT yang diberikan anjuran untuk mengikuti anjuran internasional dan dalam kombinasi
dosis tetap (KDT)17.
30
Berat Badan
(kg)
minggu RH (150/150)
30-37
2 tablet 4 KDT
2 tablet 2 KDT
38-54
3 tablet 4 KDT
3 tablet 2 KDT
55-70
4 tablet 4 KDT
4 tablet 2 KDT
71
5 tablet 4 KDT
5 tablet 2 KDT
Selama 56 hari
Selama 28 hari
Selama 20 minggu
30-37
2 tablet 4 KDT
38-54
3 tablet 4 KDT
55-70
4 tablet 4 KDT
71
5 tablet 4 KDT
Pada pengobatan dengan OAT, kasus gagal (failure) adalah pasien yang hasil
pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan. Pada kasus gagal maka pengobatan dilanjutkan dengan menggunaka
OAT Kategori-217.
Pasien Tb yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi selama minimal dua tahun
setelah sembuh untuk mengetahui adanya kekambuhan. Evaluasi dilakukan terhadap sputum
BTA dan foto thoraks. Evaluasi foto thoraks dilakukan pada bulan 6,12, dan 24 untuk
membantu menilai kemungkinan terjadinya kekambuhan dan menyingkirkan kemungkinan
penyebab lainnya18.
3.2.8
Indikasi Rawat
Pasien Tb perlu dilihat keadaan klinisnya, bila baik dan tidak ada indikasi
rawat, pasien diperbolehkan pulang. Pasien yng dapat mencukupi kebutuhan makanan
bergizi, dan vitamin (bila perlu) biasanya cukup dengan rawat jalan saja. Selain OAT
diperlukan pula pengobatan simptomatis / suportif untuk meningkatkan daya tahan
tubuh atau gejala17.
31
Indikasi rawat inap pada pasien Tb antara lain apabila disertai gejala seperti
batuk berdarah massif, keadaan umum yang buruk, pneumothoraks, emphyema, efusi
pleura massif/bilateral, sesak nafas berat (bukan karena efusi pleura), dan keadaan
yang mengancam nyawa; seperti Tb paru milier dan meningitis Tb17.
3.2.9
Komplikasi
1.
Perdarahan gastrointestinal masif
2.
Ensepalopati
3.
Edema paru dan efusi pleura
4.
Kematian
3.2.10 Prognosis
Pengobatan awal secara signifikan meningkatkan kemungkinan prognosis
jangka panjang positif. Pasien Tb harus mematuhi regimen obat yang diresepkan,
jadwal pengobatan, dan dosis. Banyak orang merasa lebih baik beberapa minggu
setelah memulai pengobatan, namun bakteri Tb masih sangat aktif dalam tubuh.
Penghentian pengobatan saat ini dapat mengakibatkan resistan terhadap obat Tb.
Resistensi terhadap obat Tb akan jauh lebih sulit untuk mengobati dan membawa
resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan non-resisten terhadap obat Tb. Orang
dengan Tb yang tidak diobati memiliki prognosis yang jauh lebih buruk daripada yang
diobati. Sekitar 50% orang dengan Tb yang tidak diobati meninggal dalam waktu 5
tahun.19
32
3.3 Pneumonia
3.3.1 Definisi
Pneumonia adalah penyakit infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA), infeksi ini
dapat mengenai parenkim paru, bagian distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus respiratori dan alveoli, serta meimbulkn konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas.1 Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang
disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan
dan lain-lain) disebut pneumonitis.21
3.3.2
Epidemiologi
Influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. Hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001 menyebutkan bahwa penyakit infeksi
saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di
RSUP H. Adam Malik Medan 53,8% kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi
nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia
komuniti dengan angka kematian antara 20-35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat
keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.21,22
3.3.3
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri,
virus, dan jamur. Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh patogen yang berasal dari
saluran napas atas. Di Indonesia, telah dilakukan beberapa penelitian mengenai etiologi
pneumonia. Berbagai teknik pengambilan sampel dilakukan mulai dari secara noninvasif
yaitu dibatukkan (dahak), atau dengan cara invasif yaitu aspirasi transtorakal, aspirasi
transtrakeal, dan sikatan bronkus. Hasil penelitian-penelitian tersebut, seperti yang dirangkum
dalam Konsesus Pneumonia, menunjukan bahwa penyebab tersering dari pneumonia
komuniti adalah Streptococcus pneumonia, dan Streptococcus viridans. Beberapa bakteri lain
yang sering ditemukan dalam kasus pneumonia komuniti adalah Mycoplasma pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Chlamydia pneumoniae, Legionella sp., serta Respiratory Syncytial
Virus (RSV).23,24
Patogen penyebab pneumonia nosokomial (HAP maupun VAP) berbeda dengan
pneumonia komuniti. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman yang bukan
MDR seperti Streptococcus pneumonia, Streptococcus sp., Haemophilus influenzae,
33
34
3.3.4
Faktor Resiko
Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia antara
lain, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
3.3.5
Klasifikasi Pneumonia
b.
Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang terjadi selama
atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama penderita
dirawat di rumah sakit. Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit
mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya. Demikian pula halnya dengan
penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan menderita pneumonia. 29
c.
Berdasarkan penyebab
a. Pneumonia tipikal, dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
35
Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
melalui
barrier
anatomi
dan
mekanisme
terhadap
masuknya
36
37
patogen yang berproliferasi tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan 3 faktor yaitu kondisi
individu, utamanya imunitas (humoral dan seluler), jenis mikroorganisme patogen yang
menyerang pasien, dan lingkungan sekitar yang berinteraksi satu sama lain. Ketiga faktor
tersebut akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya
penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris, serta prognosis dari pasien.28,30
Penyebab pneumonia dapat masuk melalui inhalasi, terjadi pada infeksi virus,
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,52,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi
proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil
sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung
konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret
(0,001-1,1 ml) dapat menyebabkan infeksi pada parenkim paru. 30
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis
eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN
mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian difagositosis.27,31
38
3.3.7
Gambaran Klinis
Gejala khas adalah demam tinggi mendadak, menggigil, berkeringat, batuk (baik non
produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah),
sakit dada karena pleuritis dan sesak.10 Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik
didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan
konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub,
serta gejala sistemik berupa nausea, vomiting, malaise, headache, myalgia.31
3.3.8
Penegakkan Diagnosis
39
40
Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks PA atau lateral merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi
dengan air broncogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto
toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan
petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan
infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering
menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.21
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih
dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 2025% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia,
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.21,22
3.3.9
Tatalaksana
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan
ada tidaknya factor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
mikroorganisme pathogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin.
Yang termasuk dalam faktor modifikasis adalah:
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
41
42
43
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak ada
perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat yang
telah diberikan dan bakteri penyebabnya, seperti dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 11. Evaluasi pengobatan pneumonia
3.3.10 Komplikasi
a. Pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi.
b. Pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru dan
infark miokard akut.
c. ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrom)
d. Komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial
e. Sepsis
f. Gagal pernafasan, syok, gagal multiorgan
g. Penjalaran infeksi (abses otak, endokarditis)
h. Abses paru
i. Efusi pleura
3.3.11 Prognosis
Pada umumnya prognosis pneumia baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Faktor-faktor yang
memengaruhi prognosis antara lain usia, pengggunaan antibiotik dalam waktu yang lama,
44
Extremes of age, mengenai lebih dari 1 lobus, jumlah WBC kurang dari 5000/l, dan
penyakit komorbid yang menyertai. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi
prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia
komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di
rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society of America (IDSA) angka
kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan
kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%.
Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti
dengan peningkatan risiko kelas.21,23