Вы находитесь на странице: 1из 12

Etika Dakwah

Etika Dan Tanggung Jawab Dalam Dakwah


Rima Rahmatunnisa
Bimbingan Konseling Islam
E-Mail : rahmatunnisa@student.uinsgd.ac.id
Abstrak
Dalam setiap agama, dakwah merupakan suatu bagian yang memang harus ada di dalamnya.
Dan dalam setiap kegiatan termasuk kegiatan dakwah pasti memiliki aturan atau batasan yang
disebut dengan etika dalam berdakwah. Etika merupakan salah satu bagian yang memang harus
ada. Tak hanya etika, dalam setiap kegiatan juga pasti ada sekelompok orang atau mungkin
seseorang yang bertanggung jawab dalam kegiatan tersebut. Etika dakwah disini merupakan
poin-poin penting yang dijadikan acuan dalam usaha mengatur dan membatasi perilaku
seseorang termasuk seorang dai, mengapa seorang dai harus belajar tentang etika dakwah?
Begitupun tanggung jawa. Dalam hidup setiap manusia pasti mempuyai tanggung jawab yang
memang harus
mereka
penuhi
selama
hidup
di
dunia
ini.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dakwah dalam Islam merupakan tugas yang sangat mulia, yang juga merupakan tugas
para nabi dan rasul, juga merupakan tanggung jawab setiap muslim. Dakwah bukanlah
pekerjaan yang mudah, semudah membalikkan telapak tangan, juga tidak dapat dilakukan
oleh sembarangan orang. Seorang dai harus mempunyai persiapan-persiapan yang
matang baik dari segi keilmuan ataupun dari segi budi pekerti. Sangat susah untuk
dibayangkan bahwa suatu dakwah akan berhasil jika seorang dai tidak mempunyai ilmu
pengetahuan yang memadai dan tingkah laku yang buruk, baik secara pribadi
maupunsosial. Seorang dai sebagai juru dakwah adalah salah satu faktor dalam kegiatan
dakwah yang menempati posisi yang sangat penting dalam menentukan berhasil atau
tidaknya kegiatan dakwah. Setiap muslim yang hendak menyampaikan dakwah khususnya
seorang dai seyogianya memiliki kepribadian yang baik untuk menunjang keberhasilan
dakwahnya. Dalam makalah ini akan penulis sampaikan tentang etika dai dalam
berdakwah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Pendakwah adalah orang yang melakukan dakwah. Ia disebut dai. dalam ilmu komunikasi
pendakwah adalah komunikator yaitu orang yang menyampaikan pesan komunikasi
(massage) kepada orang lain. Karena dakwah bisa melalui tilisan, lisan, perbuatan, mak
penulis keislaman, penceramah islam, mubaligh, guru mengaji, pengelola panti asuhan
islam dan sejenisnya termasuk pendakwah. Pendakwah bisa bersifat individu ketika
dakwah yang dilakukan secara perorangan dan bisa juga kelompok atau kelembagaan

ketiga
dakwah
digerakkan
oleh
sebuah
kelompok
atau
organisasi.
Secara ideal, pendakwah adalah orang mukmin yang menjadikan islam sebagai agamanya,
al-Quran sebagai pedomannya, Nabi Muhammad Rasulullah SAW sebagai pemimpin dan
teladan baginya, ia benar-benar mengamalkannya dalam tingkah laku dan perjalanan
hidupnya, kemudian ia menyampaikan islam yang meliputi akidah, syariah, dan akhlak
kepada
seluruh
manusia.
Manusia yang bagaimana dan seperti apakah yang memiliki tanggung jawab dalam
berdakwah?. Lalu mengapa Etika merupakan satu bagian yang memang harus dijadikan
sebagai landasan dalam berperilaku oleh seorang dai ? lantas siapakah di dunia ini yang
mendapat tanggung jawab untuk berdakwah. Makalah ini secara detil membahas mengenai
mengapa seorang daI harus mengatahui dan belajar etika dalam berdakwah dan siapakah
orang yang memang memiliki tanggung jawab dalam berdakwah?.
Kata kunci: etika berdakwah, tanggung jawab, dai.

Pendahuluan
Dalam agama dakwah merupakan suatu bagian yang memang harus ada. Akan tetapi,
agama sendiri memerlukan suatu keterampilan etika agar dapat memberikan orientasi dan bukan
sekedar indoktrinasi.[1] Hal ini dikarenakan empat alasan. Pertama, orang agamapun berharap
agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas mendengar bahwa tuhan memerintahkan sesuatu, ia
juga ingin mengerti mengapa tuhan memerintahkannya. Etika dapat membantu dalam menggali
rasionalitas moralitas agama. Kedua, sering kali ajaran moral yang termuat dalam wahyu
mengizinkan interpretasi-interpretasi yang saling berbeda dan bahkan bertentangan. Ketiga,
bagaimana agaman harus bersikap terhadap masalah-masalah moral yang secara langsung sama
sekali tidak disinggung dalam wahyu mereka ( misalnya masalah bayi tabung ). Etika dapat
memantu untuk menerapkan ajaran moral agama itu pada masalah moral baru
tersebut.Keempat, perbedaan antara etika dan ajaran moral adalah bahwa etika mendasarkan diri
pada argumentasi rasional semata-mata, sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh karena
itu ajaran moral agama hanya terbuka bagi mereka yang mengakui wahyunya. Mengingat setiap
agama mempunyai wahyunya sendiri, ajaran moral agama tidak memungkinkan sebuah dialog
moral antaragama. Padahal dialog itu sangat penting dalam rangka pembangunan suatu
masyarakat yang adil dan makmur. Karena etika tidak berdasarkan wahyu , melainkan samatamata berdasarkan pertimbangan nalar yang terbuka bagi setiap orang dari semua agama dan
pandangan dunia memungkinkan dialog moral antara agama dan pandangan-pandangan dunia.
Dengan demikian etika dapat merintis kerja sama antara mereka dalam usaha pembangunan
masyarakat.
Etika sendiri memiliki peran penting bagi dai yang bertugas membangun masyarakat
agar masyarakat tersebut dapat hidup damai, sejahtera dan bahagia sesuai dengan syariat Islam.
Lalu siapa yang memiliki tanggung jawab dalam berdakwah tersebut ? dai yang bagaimanakah

yang memiliki tanggung jawab berdakwah untuk membangun suatu ummat agar menjadi
ummat yang kaffah ?

Etika
Etika dakwah secara sempit dapat dirumuskan sebagai tatakrama adab dan kesopanan
dalam berdakwah baik dalam tampilan, tutur kata maupun tindakan atau bisa juga dijelaskan
sebagai salah satu bidang kajian yang mempelajari nilai-nilai perbuatan yang berkaitan dengan
perilaku dai yang berdasarkan nilai tersebut ditentukan sifat perbuatan perilaku dai dengan nilai
baik atau buruk. Sedangkan secara luas pengertian etika dakwah dirumuskan sebagai manifestasi
dari ethos, yaitu ilmu yang mempelajari aspek-aspek mendalam dari perbuatan dakwah,
keputusan-keputusan mendalam dalam tindakan dakwah, keharusan-keharusan dalam dakwah,
pertanggung jawaban moral dalam dakwah, sehingga melahirkan suatu pengetahuan yang
bermanfaat dalam membangun akhlak dakwah.
Menurut Ki Hajar Dewantara, etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan
keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran
dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang
dapat merupakan perbuatan. Etika bersifat humanistis dan anthropocentris, yakni berdasarkan
pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain, etika adalah aturan atau
pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
Selain itu juga etika dakwah dapat dirumuskan melalui pendekatan filosofis, teologis,
deskriptif dan praktis. Secara filosofis, etika dakwah adalah cabang filsafat yang berupaya
mempersoalkan secara kritis perbuatan-perbuatan dakwah, bagaimana seharusnya berdakwah
dan apa yang harus dimiliki pelaku dakwah. Secara teologis, etika dakwah berarti tanggap
keimanan dan keyakinan atas wahyu dan melahirkan perbuatan dakwah, sedangkan secara
praktis etika dakwah mengacu kepada implementasi dakwah sesuai dengan keyakinan, tuntunantuntunan dan aturan-aturan yang berlaku.
Menurut Enjang AS dan Aliyudin (2009) menyebutkan, etika dakwah adalah pemikiran
sistematis yang berusaha mengerti mengapa, atau atas dasar apa seorang dai harus hidup dan
bertindak menurut norma-norma tertentu.
Etika dakwah, dalam sistem dakwah merupakan suatu kerangka yang bertujuan : (1) agar
para pelaku dakwah atau yang sedang berusaha menjadi atau menekuni profesi dakwah dapat
memahami dan menjaga nilai-nilai kebaikan sebagai standar, patokan, tolok ukur perbuatan
dalam berdakwah. (2) para pelaku dakwah mampu menganalisis baik dan buruknya pebuatan
dakwah secara kritis dan mendalam, (3) para pelaku dakwah dapat melakukan evaluasi secara
normatif baik buruknya perbuatan dakwah, dan (4) para pelaku dakwah terdorong untuk
berusaha menjadikan nilai-nilai yang utama mendarah-daging pada dirinya dan dapat

membentuk karakter, warak, tabeat serta kepribadian pelaku dakwah sesuai dengan tuntutan
moral dan ajaran agama.
Tanggung Jawab
Di dalam Islam, dakwah merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
pemeluknya, sesuai dengan tingkat kemampuan dan keahliannya baik secara individu maupun
kelompok. Dasarnya setiap muslim dan muslimah diwajibkan untuk mendakwahkan Islam
kepada orang lain, baik muslin maupun non muslim.
Dalam filsafat, pengertian taggung jawab adalah kemampuan manusia yang yang
menyadari bahwa seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi. Perbuatan tidak
bertanggung jawab, adalah perbuaan yang didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran yang
seharusnya dilakukan tetapi tidak dilakukan juga.
Sebuah tanggung jawab tak akan lepas dari kebebasan, tugas dan kewajiban. Kebebasan,
ruang kebebasan yang diberikan oleh masyarakat kepada kita haruslah diisi dengan sikap dan
tindakan. Kita sendirilah yang menentukan sikap. Itulah tanggung jawab kita. Maka antara
kebebasan dan tanggung jawab terdapat hubungan yang sangat erat. Diantaranya:Pertama,
keputusan dan tindakan yang kita ambil harus dipertanggung jawabkan sendiri. Kita tidak dapat
melemparkan tanggung jawab kepada orang lain begitu saja. Kedua, tidak setiap keputusan dapat
disebut bertanggung jawab. Kita harus dapat mempertanggung jawabkannnya terhadap nilainilai kemanusiaan yang sebenarnya, terhadap tugas yang menjadi kewajiban kita, dan terhadap
harapan orang lain yang telah berharap pada kita. Jadi ruang kebebasan yang kita miliki tidak
boleh kita isi dengan sewenang-wenang, melainkan harus diisi secara bermakna.
Ketiga, mari kita lihat apa yang terjadi jika seseorang tidak bertanggung jawab. Tidak
mau bertanggung jawab berarti: melihat dan mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan
tanggung jawabnya, apa yang paling bernilai, akan tetapi tidak melakukannya. Mengapa ia tidak
mau bertanggung jawab? Karena dirasakannya terlalu berat, acuh tak acuh, malas dan tidak mau
berusaha, tidak mau susah, takut bahaya, takut merasa malu karena ada yang tidak setuju, takut
konfrontasi, atau sedang sentimen, tersingggung, tidak dapat mengatasi hawa nafsu dan emosi.
Dengan kata lain, orang yang menolak untuk bertanggung jawab adalah orang yang mengalah
terhadap dorongan-dorongan dan hambatan-hambatan irasional yang dirasakannya.
Maka hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab dapat dirumuskan demikian:
makin seseorang tidak mau bertanggung jawab, maka makin sempit wawasannya dan makin
lemah dia. Sempit karena ia semakin memperhatikan kepentingan dan perasaanya sendiri dari
pada tanggung jawabnya yang objektif. Lemah karena ia semakin tidak kuat untuk melakuka apa
yang dinilainya sebagai tanggung jawabnya. Dan sebaliknya, semakin ia bersedia untuk
bertanggung jawab, semakin ia terbuka pada tantangan kehidupan zaman dan masyarakat, ia juga
semakin kuat menentukan dirinya sendiri, hambatan-hambatan irasional di luar dan di dalamnya
semakin tidak dapat menghambatnya dalam penentuan diri. Apa yang dinilai sebagai paling baik

dan paling penting akan dilakukan. Maka makin bertanggung jawab, makin bebas. Tanggung
jawab dapat diartiken kehati-hatian terhadap kata hatinya dan terhadap orang lain.
Tugas dan kewajiban dakwah, dalam pengertian luas adalah tanggung jawab setiap
muslim. Kapan, dimanapun, apapun posisi, jabatan, profesi dan keahliannya. Tugas dan
tanggung jawab adalah tuntutan kehidupan yang tak bisa dielakkan. Setiap manusia yang brilian
tidak akan pernah lari darinya sekalipun ia tahu bahwa tugas itu amat melelahkan dan banyak
bahkan terkadang lebih banyak dari waktu yang tersedia. Malah, tanggung jawab itu sering tidak
dapat dituntaskan sehingga pelu dilanjut oleh yang lain. Karena ia datang terus menerus seiring
berjalannya waktu. Semakin bergulir semakin banyak tugas dan tanggung jawab yang mesti
dipikul. Ia muncul dan terus muncul sesuai dengan tuntutan zamannya. Terlebih lagi tanggung
jawab terhadap dakwah ( masuliyatud dawah).
Itu karena dakwah adalah sebuah pekerjaan yang akan menghantarkan ketinggian dan
kekuatan umat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran :110
NGZ. uyz >pB& My_z& $Y=9tbrD's? $ryJ9$
$/ cqygYs?ur `tx6ZJ9$# tbqZBs?ur !$$/ 3 qs9urtB#u
@dr& =tG69$# tb%s3s9#Zyz Ng9 4 NgZiB
cqYBsJ9$#NdsY2r&ur tbq)x9$#
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.
Dakwah ini pula yang akan menyebabkan kebahagiaan yang hakiki, di dunia maupun di
akhirat (Q.S Ali Imran:104). Sekalipun tanggung jawab selalu datang, namun kader dakwah
tidaklah boleh mengeluh, menyerah dan kecewa terhadapnya. Kader harus selalu memandang
bahwa tanggung jawab merupakan sesuatu yang dapat memuliakan dirinya sendiri meski ia
kesulitan untuk memikulnya. Sehingga bila telah selesai menunaikan satu tanggung jawab, ia
perlu menyiapkan diri untuk segera melaksanakan tugas barunya. Sebagaimana firman Allah
SWT:
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain.[2] (Q.S Al-Insyrah:7)
Tugas pendakwah adalah mengajak manusia menuju agama Allah. Tugas ini merupakan
salah satu ibadah yang agung, manfaatnya menyangkut orang lain. Bahkan dakwah menuju
agama Allah merupakan perkataan yang paling baik. Allah SWT berfirman dalam Q.S
Fushshilat: 33
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan
amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
Dakwah mengajak kepada agama Allah merupakan tugas para nabi, maka cukuplah
sebagai kemuliaan bahwa para dai mengemban tugas para nabi. Tugas dakwah antara

lain :Pertama, bersungguh-sungguh dan tekun (al jiddiyah wal muazhibah). Kesungguhan
adalah modal utama untuk dapat menunaikan setiap tugas. Dan kesungguhan merupakan indikasi
dari sikap yang penuh tanggung jawab. Ia pun cerminan dari keimanan dan keyakinan yang kuat
akan pertemuannya dengan Sang Rabbul Izzati sehinnga melahirkan peerilaku siap dan sedia
menunaikan suatu tugas yang diamanahkan kepadanya. Dari sinilah, akan diukur seberapa besar
kesiapan dan kesediaan yang berdampak pada kepuasan masyarakat akan pelayanan dan
penunaian tanggung jawab tersebut. Bila melihat sederetan tugas tersebut di atas, kita temukan
bahwa tugas tersebut betul-betul tidak sepele. Tugas dan tanggung jawab itu tidak boleh
dianggap main-main. Apalagi harapan yang dimiliki banyak orang teramat tinggi. Mereka
berharap bahwa kader dakwah pasti dapat memikul tugas itu dan dapat memberikan pengaruh
kebaikan yang dirasakan oleh umat.
Kedua, aktivitas yang berkesinambungan (istimariyatul amal). Karena waktu senantiasa
berjalan tak kenal henti, amalpun tak boleh berhenti. Memang suatu tugas dikira sudah selesai
namun ternyata masih ada setumpuk tugas lainnya yang sedang menunggu untuk diselesaikan.
Gambaran yang sering di gambarkan orang adalah bergeraknya amal ini bagai deburan ombak di
lautan yang datang silih-berganti dengan deburan ombak lainnya kadang ombak besar kadang
ombak kecil. Bila amal tersebut dilakukan bak ombak tadi niscaya amal datang susul-menyusul
dan tidak akan pernah mati. Oleh kreatifitas amal perlu digesahkan kepada seluruh lapisan kader
sehinnga mereka bisa menciptakan berbagai amal yang variatif.
Ketiga, kedisiplinan terhadap manhaj (indhibatul manhajiyah). Manhaj merupakan rambu
perjalanan dakwah ini. Ia bagaikan denah yang menunjukan arah dan apa yang mesti dilakukan.
Karena itu, setelah selesai satu tugas perlu melihat kembali apa ayng telah digariskan oleh
manhaj dakwah tentang tugas-tugas ke depan. Keempat, keteladanan dan arahan ( al qudwah wat
taujih). Komunitas suatu masyarakat kadang akan mudah terbentuk bila memiliki cermin jernih
yang menjadi panutan bagi yang lain. Karena panutan bagai mercusuar yang akan mengarah dan
juga menjadi ukuran atau kiblat mereka. Di sinilah pentingnya keteladanan antara satu dengan
yang lain. Keteladanan dalam ubudiyah, ijtimaiyah, muamalah maupun keteladanan dalam
amal siyasi. Tentu, keteladanan yang dimaksud adalah bahwa seluruh kader menjadi contoh bagi
yang lain. Apalagi seluruh elemen masyarakat menjadi penilai. Mereka tentu ingin panutannya
menjadi seperti cermin jernih tanpa goresah.
Etika Dan Tanggung Jawab Dalam Dakwah
Etika dalam dakwah, mengapa etika ada dalam kegiatan dakwah dan mengapa seorang dai
harus memiliki etika ketika dakwah? Mengapa etika masuk kedalam suatu disiplin ilmu yang
memang ada dan harus dipelajari? Apa urgensi sebuah etika dakwah?
Ada beberapa alasan penting mengapa kita khususnya seorang dai harus mempelajari etika
dakwah. Pertama, Islam sebagai agama yang benar dan mulia mutlak harus didakwahkan secara
baik dan benar. Sebab baik dan buruknya citra agama Islam sangat tergantung pada pelaku dan

cara mendakwahkannya. Betapa ruginya jika Islam sebagai agama yang mulia menjadi kotor,
keji dan jorok karena kepicikan para pelaku dakwah yang mendakwahkannya.
Islam diakui sebagai agama yang sejalan dengan kebutuhan dasar manusia (fitrahnya),
menawarkan konsepsi kehidupan yang lebih baik dari konsep-konsep manapun. Contohnya dari
aspek teologi Islam memiliki konsep yang jelas tentang tuhan, syurga atau akhirat, semua realitas
iu tidak harus nampak secara inderawi saat di dunia ini, sebab penampakan realiatas ghaib
tersebut hanya akan menyebabkan reduksi makna dari keberadaanya.
Sementara ini, mungkin ada orang yang berpendapat bahwa umat Islam menyembah Kabah.
Pandangan tersebut menunjukan kepicikannya, sebab umat Islam tidak pernah menyembah
kabah, buktinya ketika sholat bacaan yang orang muslim baca tidak sedikitpun ada yang
menyanjung bahkan memiliki keterkaitan makna dengan kabah. Posisi kabah dalam praktek
ibadah sholat umat Islam hanyalah panduan arah kiblat, yang dengan itu tampak keseragaman,
kebersamaan dan etos persatuan.
Keunggulan Islam yang sesuai dengan tuntutan fitrah, juga dapat dilihat dari sistem berpikirnya
yang sangat proporsional, seimbang antara pengunaan potensi pikir (tafakkur) dengan potensi
qalbu (tadzakkur). Penggunaan potensi pikir dengan melibatkan panca indera dan akal manusia
untuk mempelajari gejala-gejala alam fisik melahirkan hukum-hukum kausalitas (ilmu
pengetahuan kealaman), demikian juga penggunaan potensi qalbu dengan melibatkan ketajaman
intuisi dan kejernihan ruh untuk pencerahan rasa dan tanggap batin melahirkan sejumlah
inspirasi dan pemahaman.
Berdasarkan pemahaman tersebut, Islam menjadi landasan, tuntunan, tolok ukur normatif (baikburuk, benar-salah) dalam semua bentuk perilaku dan termasuk di dalamnya perilaku dakwah.
Secara ethos harus dibangun berdasarkan spirit dan motif ajaran Islam.
Kedua, dakwah itu harus sukses. Kendatipun kesuksesan itu bukan wewenang sepenuhnya di
tangan manusia, tapi sekurang-kurangnya atas dasar prinsip rasionalitas dan ilmiah, kesuksesan
itu bisa diupayakan dan diperjuangkan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara
mewujudkan kesuksesan itu. Ini memerlukan renungan historis-empiris, sebab kiat kesuksesan
itu bisa lahir dari abstraksi pengalaman berupa hasil pemikiran manusia dalam sepanjang sejarah
pemikiran. Mungkin orang pernah berpikir bagaimana caranya agar ia menggapai kesuksesan,
kemudian ia mengingat-ingat pengalamannya seraya mengatakan ada banyak pengalaman
keberhasilan yang dapat dipelajari diberbagai bidang. Contohnya, jika ia berpengalaman dalam
bidang kepemimpinan, jika sebagai seorang pemimpin ingin sukses, maka jadilah ia manusia
yang tahu aturan, dan taat aturan, tahu visi dan misi serta mampu menggerakkan potensi-potensi.
Demikian pula dengan berbagai pengalaman sukses dalam dakwah, ia akan menyodorkan buah
berharga, jika seseorang ingin sukses menjadi guru dakwah maka ia penting memiliki kriteriakriteria moral, kompetensi, skill atau keahlian. Dan tugas pokok para juru dakwah adalah
mengembangkan wawasan, merawat spiritual, senantiasa memelihara kecerdasan emosi,
meningkatkan kualitas mental, siapakah yang berkepentingan dengan kesuksesan dakwah?

menurut Hajir Tajiri dan Drs. Enjang As (2009) menyebutkan, bahwa bukanlah tuhan yang
berkepentingan dalam dakwah sebab itu tidak berpengaruh kepada kemulyaan tuhan, melainkan
para dai baik individu maupun kolektif melalui organisasi dakwah. Feedback positif dari
dakwah yang sukses adalah akan mengharumkan nama-nama dari pelaku dakwah itu sendiri.
Ketiga, dalam dakwah ada nilai yang harus dipatuhi dan ditegakkan. Dakwah merupakan bentuk
amalan keagamaan dan termasuk pada wilayah pengabdian (dedication) baik dari segi pesan
dakwah yang disampaikan, kemunculan para dainya, media dan metodenya serta sisi tujuan
yang ingin dicapainya, menjadi simbol yang syarat nilai kebajikan, kesalehan dan
kemaslahatan. Keempat, dalam dakwah harus memperhatikan situasi dan kondisi. Bahwa
dakwah merupakan aktivitas kemanusiaan yaitu sebuah interaksi yang dinamis antara subjek dan
objek dakwah dalam masyarakat, dalam prosesnya tidak bisa mengabaikan struktur sosial dan
kondisi sosial budaya masyarakat. Masyarakat bukan kondisi nihil budaya, bahkan tegak dan
hancurnya masyarakat sangat bergantung pada budaya itu yakni adanya seperangkat aturan,
nilai-nilai, norma, kebiasaan yang dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh masyarakat. Ketika
perangkat nilai itu tidak ada atau tidak lagi dijunjung tinggi dan dipatuhi karena nilainya
dianggap rendah, mustahil manusia bisa hidup harmonis tanpa ketakutan, sebaliknya timbul
kecemasan dan keputusasaan, kekecewaan, tidak ada lagi pengertian dan komunikasi.
Secara faktual, kehadiran juru dakwah merupakan agen yang akan melakukan perubahan di
masyarakat, tidak jarang kehadirannya menimbulkan sikap khawatir, terlebih kehadiran dai
tertentu yang belum pernah dikenal sebelumnya, apalagi ketika dai tanpa mengenal metedologi
dan etika dakwah, langsung mengajak sesuai kehendaknya terutama yang bersinggungan dengan
masalah budaya. Kondisi masyarakat tiba-tiba menjadi resah setelah menerima materi dakwah,
menjadi tidak nyaman, atau masyarakat tiba-tiba tidak menyukai. Masyarakat itu umumnya
merindukan kedamaian, kenyamanan dan kebahagiaan. Tidak ada sekelompok masyarakatpun
yang menghendaki hidupnya penuh persaan terancam. Fakta ini bersipat universal dalam arti
tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, kehidupan zaman tradisional dengan zaman modern,
kehidupan dengan masyarakat homogen maupun pada masyarakat yang heterogen. Bahkan para
analisis sosial menyebutkan khususnya pada masyarakat heterogen tali perekat sosial umumnya
lebih rasional, maka kondisi ini menuntut profil dai berkualifikasi rasional.
Nampaknya kehadiran etika dakwah mutlak diperlukan, sebab hanya bidang etikalah yang dapat
menimbang dan menilai secara kritis berbagai ketimpangan dakwah. Etika dakwah dapat menilai
perilaku, sikap, karakter, tabeat sebagai wujud pertanggung jawaban moral atau setiap usaha dan
gerak yang telah dilakukan. Seberapa benarkah sebuah model dakwah yang dilakukan seseorang
atau organisasi tertentu, apa dasar argumentasinya, sejalankah argumentasi yang diberikan
dengan prinsip-prinsip dasar dalam berdakwah, selain itu etika dakwah juga mampu memberikan
pandangan-pandangan moral lainyang lebih rasional.
Etika memberi dai orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan
sehari-hari. Itu berarti etika membantu dai untuk mengambil sikap dan tindakan secara tepat

dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu dai dalam mengambil keputusan
tentang tindakan apa yang perlu ia lakukan. Etika dakwah tentu memiliki peran yang besar dalam
mempersiapkan kader dai yang etis-profesional. Paradigmanya memang didesain untuk
membangun kader-kader dai yang memiliki nila-nilai moral yang betul-betul cerminan dari
dirinya, tidak hanya di depan madunya melainkan sudah tertanam kuat dalam dirinya.
Lalu siapakah yang mendapat tugas dan kewajiban dalam menyampaikan dakwah ? dai yang
seperti apakah yang memang memiliki tanggung jawab dalam menyampaikan dakwah? Apakah
dakwah hanya tugas para Nabi saja?
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia[3]. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir.
Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhamma SAW menyampaikan apa yang telah diturunkan
kepadanya tanpa menghiraukan besarnya tantangan di kalangan Ahli Kitab, orang musyrik dan
orang-orang fasik. Ayat ini menganjurkan kepada Nabi Muhammad SAW agar tidak perlu takut
menghadapi gangguan dari mereka dalam membentangkan rahasia keburukan tingkah laku
mereka itu karena Allah SWT menjamin akan memelihara Nabi Muhammad SAW dari gangguan
tersebut, baik dalam masa sebelum hijrah oleh kaum Quraisy maupun sesudah hijrah oleh
Yahudi.
Apa yang telah diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW adalah amanat yang wajib
disampaikan seluruhnya kepada manusia.hal ini menunjukan bahwa tugas menyampaikan
amanat adalah kewajiban Rasul. Tugas menyampaikan tersebut tidak boleh ditunda meskipun
penundaan dilakukan untuk menunggu kesanggupan manusia untuk menerimanya karena masa
penundaan itu dapat dianggap sebagai suatu tindakan penyembunyian terhadap amanat Allah
SWT.
Ayat di atas memang mengandung makna bahwa perintah atau tanggung jawab dalam dakwah
ada pada diri Rasul SAW. Namun di dalam ayat lain dijelaskan bahwa dakwah tak hanya
tanggung jawab seorang Rasul saja apalagi dijaman sekarang ini, dimana kita hidup setelah para
Rasul tiada, lalu jika tanggung jawab dalam dakwah adalah tugas Rasul, bagaimana dengan nasib
dakwah itu sendiri ketike tak ada Rasul seperti jaman sekarang ini?
Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 104:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[4] merekalah orang-orang yang beruntung.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa pada dasarnya, setiap Muslim diwajibkan untuk mendakwahkan
Islam kepada orang lain, baik muslim maupun non muslim sesuai dengan kemampuannya.
Tersebarnya Islam di muka bumi ini dan akhirnya sampai kepada kita sehingga kita menjadi
seorang muslim merupakan bukti dari dilaksanakannya dakwah Islamiyah dengan baik. Sebagai

bagian dari tanda syukur kita, maka tugas tanggung jawab dakwah juga harus kita emban
bersama-sama. Karena dakwah secara hukum menjadi tanggung jawab dan kewajiban yang harus
diemban oleh setiap muslim, bukan hanya kewajiban dari orang-orang yang selama ini kita sebut
sebagai ustadz, kiyai, ulama, atau mubaligh semata.
Dijadikannya dakwah sebagai kewajiban atas individu muslim karena dakwah memiliki
kedudukan yang sangat tinggi dan penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat
muslim tentunya. Melalui dakwah dapat disampaikan dan dijelaskan ajaran Islam kepada
masyarakat sehingga mereka menjadi tahu mana yang haq dan mana yang bathil. Bahkan juga
memiliki keberpihakan kepada segala bentuk yang haq dengan segala konsekuensinya dan
membenci yang bathil sehingga menjadi umat yang selalu berusaha untuk menghindari yang
bathil tersebut.
Banyak sekali dalil yang merujuk pada pernyataan wajibnya melaksanakan tugas dakwah,
sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S Ali Imran :110
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.
Dakwah merupakan upaya merenkontruksi masyarakat yang masih mengandung unsur
kejahiliyahan menjadi masyarakat yang Islami. Ini berarti bahwa dakwah merupakan upaya
melakukan penyebaran dan pengamalan akidah dan akhlak Islami dalam seluruh sektor
kehidupan manusia. Untuk itu keterlibatan setiap muslim dalam dakwah menjadi suatu
keharusan, sesuai dengan potensi yang dimiliki individu masing-masing. Terbentuknya pribadi
yang Islami, keluarga yang Islami, dan masyarakat yang Islami merupakan target yang ingin
dicapai dalam dakwah. Target ini memerlukan dukungan setiap muslim, apalagi dakwah itu
bukanlah hanya dalam bentuk ceramah dan khutbah.
Tegasnya apapun potensi dan kemampuan yang dimiliki, semua itu dapat digunakan untuk
kepentingan dakwah, termasuk informasi, komunikasi dan teknologi. Tujuannya tidak lain
adalah, dakwah ilaa Allah.. yakni kembali atau dekat dengan Allah Dengan demikian
menjadi jelaslah, bahwa dakwah merupakan kewajiban yang harus diemban oleh setiap kita,
yang mengaku muslim agar terwujud kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, baik yang
terkait dengan masalah kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan, maupun masyarakat dan
bangsa.
Sehingga jelaslah bahwa dakwah bukanlah hanya tugas dan tanggung jawab para nabi seperti
yang selama ini kita ketahui. Bahkan Al-Quran dengan sangat jelas memaparkan bahwa dakwah
adalah kewajiban setiap individivu, tugas setiap orang untuk menyampaikan amanat dan untuk
menyamapaikan kebajikan (amar maruf dan nahu munkar).
Di dalam Islam, dakwah merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
pemeluknya, sesuai dengan tingkat kemampuan dan keahliannya baik secara

individu maupun kelompok. Dasarnya setiap muslim dan muslimah diwajibkan


untuk mendakwahkan Islam kepada orang lain, baik muslin maupun non muslim.
Dalam filsafat, pengertian taggung jawab adalah kemampuan manusia yang yang
menyadari bahwa seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi. Perbuatan
tidak bertanggung jawab, adalah perbuaan yang didasarkan pada pengetahuan dan
kesadaran yang seharusnya dilakukan tetapi tidak dilakukan juga.
Sebuah tanggung jawab tak akan lepas dari kebebasan, tugas dan kewajiban.
Kebebasan, ruang kebebasan yang diberikan oleh masyarakat kepada kita haruslah
diisi dengan sikap dan tindakan. Kita sendirilah yang menentukan sikap. Itulah
tanggung jawab kita. Maka antara kebebasan dan tanggung jawab terdapat
hubungan yang sangat erat. Diantaranya:Pertama, keputusan dan tindakan yang
kita ambil harus dipertanggung jawabkan sendiri. Kita tidak dapat melemparkan
tanggung jawab kepada orang lain begitu saja. Kedua, tidak setiap keputusan dapat
disebut bertanggung jawab. Kita harus dapat mempertanggung jawabkannnya
terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya, terhadap tugas yang menjadi
kewajiban kita, dan terhadap harapan orang lain yang telah berharap pada kita. Jadi
ruang kebebasan yang kita miliki tidak boleh kita isi dengan sewenang-wenang,
melainkan harus diisi secara bermakna.
Ketiga, mari kita lihat apa yang terjadi jika seseorang tidak bertanggung jawab.
Tidak mau bertanggung jawab berarti: melihat dan mengetahui apa yang menjadi
kewajiban dan tanggung jawabnya, apa yang paling bernilai, akan tetapi tidak
melakukannya. Mengapa ia tidak mau bertanggung jawab? Karena dirasakannya
terlalu berat, acuh tak acuh, malas dan tidak mau berusaha, tidak mau susah, takut
bahaya, takut merasa malu karena ada yang tidak setuju, takut konfrontasi, atau
sedang sentimen, tersingggung, tidak dapat mengatasi hawa nafsu dan emosi.
Dengan kata lain, orang yang menolak untuk bertanggung jawab adalah orang yang
mengalah terhadap dorongan-dorongan dan hambatan-hambatan irasional yang
dirasakannya.
Maka hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab dapat dirumuskan
demikian: makin seseorang tidak mau bertanggung jawab, maka makin sempit
wawasannya dan makin lemah dia. Sempit karena ia semakin memperhatikan
kepentingan dan perasaanya sendiri dari pada tanggung jawabnya yang objektif.
Lemah karena ia semakin tidak kuat untuk melakuka apa yang dinilainya sebagai
tanggung jawabnya. Dan sebaliknya, semakin ia bersedia untuk bertanggung jawab,
semakin ia terbuka pada tantangan kehidupan zaman dan masyarakat, ia juga
semakin kuat menentukan dirinya sendiri, hambatan-hambatan irasional di luar dan
di dalamnya semakin tidak dapat menghambatnya dalam penentuan diri. Apa yang
dinilai sebagai paling baik dan paling penting akan dilakukan. Maka makin
bertanggung jawab, makin bebas. Tanggung jawab dapat diartiken kehati-hatian
terhadap kata hatinya dan terhadap orang lain.

Tugas dan kewajiban dakwah, dalam pengertian luas adalah tanggung jawab setiap
muslim. Kapan, dimanapun, apapun posisi, jabatan, profesi dan keahliannya. Tugas
dan tanggung jawab adalah tuntutan kehidupan yang tak bisa dielakkan. Setiap
manusia yang brilian tidak akan pernah lari darinya sekalipun ia tahu bahwa tugas
itu amat melelahkan dan banyak bahkan terkadang lebih banyak dari waktu yang
tersedia. Malah, tanggung jawab itu sering tidak dapat dituntaskan sehingga pelu
dilanjut oleh yang lain. Karena ia datang terus menerus seiring berjalannya waktu.
Semakin bergulir semakin banyak tugas dan tanggung jawab yang mesti dipikul. Ia
muncul dan terus muncul sesuai dengan tuntutan zamannya. Terlebih lagi tanggung
jawab terhadap dakwah ( masuliyatud dawah).

Daftar Pustaka
AS Enjang, dkk., 2009, Etika Dakwah. Widya padjajaran.
http://irfanjurnalis.blogspot.com/2013/05/tafsir-ayat-dakwah-kewajiban-berdakwah.html 10/7/20
14 09:24http://masoedabidin.wordpress.com/2009/05/31/tanggung-jawab-dakwah-setiapmuslim/11/1/2014 07:27
http://tulisendw.blogspot.com/2010/05/makalah-tentang-tugas-dan-kewajiban.html.
11/1/2014
12:13
http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/etika-dakwah.html 10/31/2014 04:37
Magnis-Suseno Franz, dkk., 1996, Etika Sosial Buku Panduan Mahasiswa PB I PB VI. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Mufid Muhamad., 2009, Etika dan filsafat komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group
Nata Abuddin., 2013, Akhlak Tasawuf danKarakter Mulia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Poedjawijatna., 1996, Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: PT RINEKA CIPTA
Yani Ahmad., 2008, Bekal Menjadi Khatib dan Mubaligh. Jakarta: Al QALAM

Вам также может понравиться