Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENCAIRAN BATUBARA


Coal liquefaction adalah terminologi yang dipakai secara umum mencakup
pemrosesan batubara menjadi BBM sintetik (synthetic fuel). Pendekatan yang mungkin
dilakukan untuk proses ini adalah: pirolisis, pencairan batubara secara langsung (Direct
Coal Liquefaction-DCL) ataupun melalui gasifikasi terlebih dahulu (Indirect Coal
Liquefaction-ICL). Secara intuitiv aspek yang penting dalam pengolahan batubara menjadi
bahan bakar minyak sintetik adalah: efisiensi proses yang mencakup keseimbangan energi
dan masa, nilai investasi, kemudian apakah prosesnya ramah lingkungan sehubungan
dengan emisi gas buang, karena ini akan mempengaruhi nilai insentiv menyangkut tema
tentang lingkungan. Undang-Undang No.2/2006 yang mengaatur tentang proses pencairan
batubara.
Efisiensi pencairan batubara menjadi BBM sintetik adalah 1-2 barrel/ton batubara 4).
Jika diasumsikan hanya 10% dari deposit batubara dunia dapat dikonversikan menjadi
BBM sintetik, maka produksi minyak dunia dari batubara maksimal adalah beberapa juta
barrel/hari. Hal ini jelas tidak dapat menjadikan batubara sebagai sumber energi alternativ
bagi seluruh konsumsi minyak dunia.
Walaupun faktanya demikian, bukan berarti batubara tidak bisa menjadi jawaban
alternativ energi untuk kebutuhan domestik suatu negara. Faktor yang menjadi penentu
adalah: apakah negara itu mempunyai cadangan yang cukup dan teknologi yang dibutuhkan
untuk meng-konversi-kannya. Jika diversivikasi sumber energi menjadi strategi energi
suatu negara, pastinya batubara menjadi satu potensi yang layak untuk dikaji menjadi salah
satu sumber energi, selain sumber energi terbarukan
Tetapi perlu kita ingat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mempertimbangkannya
tidaklah tanpa batas, karena sementara negara-negara lain sudah melakukan kebijakankebijakan konkret domestik maupun luar negeri untuk mengukuhkan strategi energi untuk
kepentingan negaranya.

2.2 PERKEMBANGAN TEKNOLOGI LIQUIFIKASI


Pengembangan produksi bahan bakar sintetis berbasis batu bara pertama kali
dilakukan di Jerman tahun 1900-an dengan menggunakan proses sintesis Fischer-Tropsch
yang dikembangkan Franz Fisher dan Hans Tropsch. Pada 1930, disamping menggunakan
metode proses sintesis Fischer-Tropsch, mulai dikembangkan pula proses Bergius untuk
memproduksi bahan bakar sintesis. Sementara itu, Jepang juga melakukan inisiatif
pengembangan teknologi pencairan batubara melalui proyek Sunshine tahun 1974 sebagai
pengembangan alternatif energi pengganti minyak bumi.
Pada 1983, NEDO (the New Energy Development Organization), organisasi yang
memfokuskan diri dalam pengembangan teknologi untuk menghasilkan energi baru juga
berhasil mengembangkan suatu teknologi pencairan batubara bituminous dengan
menggunakan tiga proses, yaitu solvolysis system, solvent extraction system dan direct
hydrogenation to liquefy bituminous coal.
Cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik, bahkan
setengahnya merupakan batubara dengan kualitas rendah, seperti: sub-bituminous coal dan
brown coal. Kedua jenis batubara tersebut lebih banyak didominasi oleh kandungan air.
Peneliti Jepang kemudian mulai mengembangkan teknologi untuk menjawab tantangan ini
agar kelangsungan energi di Jepang tetap terjamin, yaitu dengan mengubah kualitas
batubara yang rendah menjadi produk yang berguna secara ekonomis dan dapat
menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah lingkungan. Dikembangkanlah proses
pencairan batubara dengan nama Brown Coal Liquefaction Technology (BCL).
2.3 MACAM_MACAM PROSES LIQUIFIKASI
1. Fisher Tropsch proses
Fisher Tropsch adalah sintesis CO/H2 menjadi produk hidrokarbon atau disebut
senyawa hidrokarbon sintetik/ sintetik oil. Sintetik oil banyak digunakan sebagai bahan
bakar mesin industri/transportasi atau kebutuhan produk pelumas (lubricating oil).

Gambar 1. Diagram Alir Fischer-Troops Proses


Gambar 1 menunjukkan diagram alir blok dari proses FT sintesis. Plant gasifikasi
terdiri dari teknologi proses dan unit yang mendukung penanganan batubara yaitu coal
handling and feed preparation, heat recover, syncgas cleanup and conditioning, Sulfur
recovery. Syngas bersih meninggalkan unit gasifikasi dikirim ke unit sintesis FT , di
mana syngas bersih diubah menjadi produk utama yaitu lilin, kondensat hidrokarbon,
tail gas, dan air. Lilin dikirim ke unit upgrade untuk hydrocracking dengan penambahan
hidrogen, di mana ia dipecah menjadi molekul-molekul kecil heavy hidrokarbon liquid.
Sedangkan unit Hidrogen recovery digunakan untuk mengekstrak sejumlah hidrogen
yang diperlukan dari tail gas untuk proses hydrocracking, Produk reaksi, bersama-sama
dengan produk dari bagian upgrade, difraksinasi menjadi produk akhir yaitu diesel,
nafta, dan berakhir ringan lainnya, tergantung pada campuran produk yang diinginkan.
Katalis
Katalis dipertimbangkan untuk Fischer-Tropsch didasarkan pada logam transisi
besi, kobalt, nikel dan ruthenium. Pengembangan katalis FT sebagian besar telah
difokuskan pada preferensi untuk alkana linear dengan berat molekul tinggi dan
produksi bahan bakar diesel. Di antara katalis ini, umumnya diketahui bahwa:

Nikel (Ni) cenderung untuk memhasilkan pembentukan metana, seperti dalam


proses Methanation; sehingga umumnya tidak diinginkan

Besi (Fe) adalah biaya yang relatif rendah dan memiliki tinggi aktivitas air-gasshift, dan karena itu lebih cocok untuk rasio hidrogen / karbon monoksida (H2 /

CO) syngas yang lebih rendah seperti yang berasal dari gasifikasi batubara
Cobalt (Co) lebih aktif, dan umumnya lebih disukai daripada ruthenium (Ru)

karena biaya yang sangat tinggi dari Ru


Dibandingkan dengan besi, Co memiliki aktivitas air-gas-shift jauh lebih
sedikit, dan jauh lebih mahal.

Mengingat kendala ini, katalis FT tersedia secara komersial yang baik berbasis
kobalt atau besi. Selain logam aktif, katalis Fe setidaknya biasanya berisi sejumlah
promotor, termasuk kalium dan tembaga, serta pengikat luas permukaan yang tinggi /
mendukung seperti silika dan / atau alumina.
Hanya besi katalis FT saat ini digunakan secara komersial untuk mengkonversi
syngas batubara yang diturunkan ke FT cairan, yang melekat kemampuan pergeseran
gas air diberikan Fe katalis untuk meningkatkan rasio H2/CO dari syngas yang
diturunkan dari batubara, dengan demikian meningkatkan hasil produk hidrokarbon
dalam sintesis FT . Katalis Fe dapat dioperasikan di kedua suhu tinggi (300-350 C)
dan suhu rendah (220-270 C), sedangkan katalis Co hanya digunakan dalam kisaran
suhu rendah. Hal ini merupakan konsekuensi dari suhu yang lebih tinggi yang
menyebabkan pembentukan metana lebih, yang lebih buruk bagi Co dibandingkan
dengan Fe.
Katalis Co 230 kali lebih mahal daripada Fe tetapi merupakan alternatif yang
berguna untuk katalis Fe dalam FT sintesis karena menunjukkan aktivitas pada tekanan
sintesis yang lebih rendah, sehingga biaya katalis yang lebih tinggi dapat diimbangi
dengan biaya operasi yang lebih rendah. Tingkat deposisi kokas lebih tinggi untuk
katalis Fe dibandingkan katalis Co. Akibatnya, katalis Co memiliki daya tahan lebih
lama.
2. Bergius Proses
One of the main methods of direct conversion of coal to liquids by hydrogenation
process is the Bergius process.

In this process, coal is liquefied by mixing it with hydrogen gas and heating the
system (hydrogenation). Dry coal is mixed with heavy oil recycled from the
process. Catalyst is typically added to the mixture. The reaction occurs at between 400
C (752 F) to 5,000 C (9,030 F)and 20 to 70 MPa hydrogen pressure. The reaction
can be summarized as follows:
nC + (n+1)H2

CnH2n +2

In this process, the finely powdered coal is completed keen on a paste through
heavy oil and a catalyst powder (tin or nickel oleate) is mixed with it. The paste is
pumped along with hydrogen gas into the converter, where the synthetic paste is heated
to 400 - 450C under a pressure of 200 - 250 atm.
During this process hydrogen combines with coal to form saturated higher
hydrocarbons, which experience additional decay at superior temperature to acquiesce
combination of lesser hydrocarbons

Gambar 2. Diagram alir Proses Liquefikasi Bergius


3. NEDO Proses
Pada 1983, NEDO (the New Energy Development Organization), organisasi yang
memfokuskan diri dalam pengembangan teknologi untuk menghasilkan energi baru
juga berhasil mengembangkan suatu teknologi pencairan batubara bituminous dengan
menggunakan tiga proses, yaitu solvolysis system, solvent extraction system dan direct
hydrogenation to liquefy bituminous coal sebagaimana terlihat di Gambar 1.

Selanjutnya ketiga proses tersebut terintegrasi dalam proses NEDOL (NEDO


Liquefaction), suatu proses pencairan batubara yang dikembangkan oleh NEDO,
dengan tujuan untuk mendapatkan hasil pencairan yang lebih tinggi.
Seiring dengan berjalannya waktu, Peneliti NEDO mengidentifikasi bahwa
cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik, bahkan setengahnya
merupakan batubara dengan kualitas rendah, seperti: sub-bituminous coal dan brown
coal. Kedua jenis batubara tersebut lebih banyak didominasi oleh kandungan air.
Peneliti Jepang kemudian mulai mengembangkan teknologi untuk menjawab
tantangan ini agar kelangsungan energi di Jepang tetap terjamin, yaitu dengan
mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang berguna secara
ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah lingkungan.
Dikembangkanlah proses pencairan batubara dengan nama Brown Coal Liquefaction
Technology (BCL)

Gambar 3. Pengembangan Batubara Cair pada Proses NEDO Liquefaction


(NEDOL)
4. Pencairan batubara metode langsung (Direct Coal Liquefaction)

Pencairan batubara metode langsung atau dikenal dengan Direct Coal LiquefactionDCL,dikembangkan cukup banyak oleh negara Jerman dalam menyediakan bahan
bakar pesawat terbang. Proses ini dikenal dengan Bergius Process, baru mengalami
perkembangan lanjutan setelah perang dunia kedua.DCL adalah proses hydro-craacking
dengan bantuan katalisator. Prinsip dasar dari DCL adalah meng-introduksi-an gas
hydrogen kedalam struktur batubara agar rasio perbandingan antara C/H menjadi kecil
sehingga terbentuk senyawa-senyawa hidrokarbon rantai pendek berbentuk cair. Proses
ini telah mencapai rasio konversi 70% batubara (berat kering) menjadi sintetik cair.
Bagian dari plant metode DCL ini terdiri dari tahap coal cleaning
dan

preparation

(membuang

ash

dalam

batubara),

grinding

(penghalusan ukuran, dan drying (pengeringan), coal liquefaction


(tahap pencairan batubara), ekstraksi padatan dan cairan, serta
recycle gas hidrogen. Batubara yang telah dikeringkan kemudian
dihaluskan ukurannya dan kemudian dilikuifikasi pada temperature
750-800oF dan tekanan 3200 psig. Kondisi yang sulit tersebut
mendorong proses craking dari batubara untuk menghasilkan liquid
dan gas hidrokarbon. Pada umumnya 2 stage system ebulating-bed
reactor digunakan dengan feed dan tambahan intermediate dari
hydrogen. Fraksi berat dari liquid produk yang mengandung solid
mineral dari batubara dipisahkan dari nafta dan produk distilat yang
kemudian

dikirim

menuju

unit

pemisahan

liquid-solid

untuk

diekstraksi dari solid dengan pelarut superkritis. Fraksi liquid berat


kemudian direcycle menuju liquefaction reactor untuk dikonversi
menjadi produk ringan. Hasil Eksraksi dapat berperan sebagai
hidrogen donor yang berfungsi sebagai pelarut dalam proses
liquifikasi batubara direaktor. Gas dikeluarkan langsung dari reaktor
dan fraksinasi produk likuifikasi kemudian dikirim menuju hidrogen
dan hydrocarbon gas recovery. Hidrogen yang terecovery direcyle
kembali ke reaktor likuifikasi atau dikirim ke upgarding produk. Gas
plant merecover campuran butane dan propane sebagai produk yang

dapat dijual dan menghasilkan fuel gas (metana dan etana) yang
dapat digunakan dalam proses pemanasan dan pembangkit tenaga
listrik.
Hydrogen production- Hidrogen dihasilkan dari gasifikasi sebagian
feed batubara dan ekstraksi ash, yang masih mengandung residu
karbon. Plant ini terdiri dari unit pembersihan syngas (syngas clean
up) , water-gas shift, dan pemurnian hidrogen untuk menghasilkan
hidrogen dengan kemurnian yang tinggi sehingga dapat digunakan
sebagai feed dalam proses likuifikasi yang terjadi di dalam reaktor.
Sebuah unit pemisahan udara (air separation plant) diperlukan untuk
menghasilkan

oksigen

murni

untuk

proses

gasifikasi.

Sebagai

alternatif, gas alam dapat dipakai sebagai penghasil gas hidrogen


menggunakan steam methane reforming atau parsial oksidasi. Harga
dan ketersediaan dari gas alam memberikan pilihan terbaik dari
generasi hidrogen.
Product

Upgrading

Pada

umumnya

direct

liquid

kurang

berkualitas jika digunakan sebagai feed langsung untuk tahap


pemurnian

petroleum.

Oleh

karena

itu,

nafta

dan

distillate

hidrotreater digunakan untuk meng-upgrade komponen tersebut agar


lebih berkualitas. Pengotor sulfur, nitrogen, dan oksigen didalam raw
coal liquid akan dibuang dari proses dan komponen seperti olefin
serta aromatik akan dijenuhkan dan kemudian sebagian lainnya akan
dicracking.

Gambar 4. Diagram alir Direct Coal Liquefication


Pada tahun 1994 proses DCL kembali dikembangkan sebagai komplementasi dari
proses ICL terbesar setelah dikomersialisasikan oleh Sasol Corp.Tahun 2004 kerjasama
pengembangan teknologi upgrade (antara China Shenhua Coal Liquefaction Co. Ltd.
dengan West Virginia University) untuk komersialisasi DCL rampung, untuk kemudian
pembangunan pabrik DCL kapasitas dunia di Inner Mongolia. Dalam Phase pertama
pabrik ini akan dihasilkan lebih dari 800.000 ton bahan bakar cair pertahunnya. Berikut
ini komposisi dari Shenhua DCL plant, Inner Mongolia :
Tabel 1. Komposisi oil products yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
Komposisi

Jumlah

Diesel

591.900

Naptha

174.500

LPG

70.500

Liquid Ammonia

8.300

Total

845.300

5. Indirect Liquefaction
Suatu blok diagram alir untuk sebuah plant indirect liquefaction
yang memanfaatkan sintesis Fisher-Tropsch untuk menghasilkan
bahan bakar liquid. Komponen utama dari plant ini adalah :
Syngas Production Bagian ini terdiri dari coal handling, drying
dan grinding yang kemudian diikuti dengan gasifikasi. Unit pemisahan
udara menyediakan oksigen untuk gasifier. Syngas cleanup terdiri
dari proses hydrolysis, cooling, sour-water stripping, acid gas

removal, dan sulfur recovery. Gas dibersihkan dari komponen sulfur


dan komponen lain yang tidak diinginkan sampai pada level yang
terendah untuk melindunginya dari downstream catalysts. Panas
yang dipindahkan pada gas-cooling step direcover sebagai steam,
dan digunakan secara internal untuk mensuppli kebutuhan power
plant. Proses sour-water stripping akan menghilangkan ammonia
yang dihasilkan dari nitrogen yang ada pada batubara. Sulfur dalam
batubara akan dikonversikan menjadi hydrogen sulfide (H 2S) dan
carbonyl

sulfide

(COS).

Proses

hidrolisis

digunakan

untuk

mengkonversikan COS dalam syngas menjadi H 2S, yang direcover


pada acid-gas removal step dan dikonversikan menjadi elemental
sulfur pada sebuah Claus sulfur plant. Sulfur yang diproduksi
biasanya dijual sebagai low-value byproduct.
Synthesis Gas Conversion Bagian ini terdiri dari water-gas shift, a
sulfur guard bed, synthesis-gas conversion reactors, CO2 removal,
dehydration dan compression, hydrocarbon dan hydrogen recovery,
autothermal reforming, dan syngas recycle. A sulfur guard bed
dibutuhkan untuk melindungi katalis konversi gas sintesis yang
dengan mudah diracuni oleh trace sulfur pada cleaned syngas. Clean
synthesis gas dipindahkan untuk mendapatkan hydrogen/carbon
monoxide ratio yang diinginkan, dan kemudian secara katalitik
dikonversikan menjadi bahan bakar gas.
Dua cara utama melibatkan konversi ke hight-quality diesel dan
distillate menggunakan Fischer-Tropsch route, atau konversi ke highoctane gasoline menggunakan proses metanol menjadi gasoline
(MTG) . Fischer-Trosch (F-T) syntesis menghasilkan spektrum dari
hidrokarbon paraffin yang ideal untuk diesel dan bahan bakar.
Katalis yang digunakan dalam Fischer-Trops adalah besi atau
cobalt. Keuntungan katalist besi dengan cobalt berlebih untuk

mengkonversi

coal-derived

syngas

yang

mana

besi

memiliki

kemampuan mengaktivasi reaksi water-gas shift dan secara internal


mengatur low H2/CO ratio dari coal derived syngas yang diperlukan
dalam reaksi Fischer-Trops. Jenis reactor yang digunakan dalam reaksi
F-T adalah fixed-bed tubular reactor dan teknologi ini diaplikasikan di
Shells Malaysian GTL. Sasol juga mengkomersialisasikan teknologi
CTL di Afrika Selatan yang menggunakan Fixed bed reactor,
circulating-fluidized bed dan fixed-fluidized bed reactor. Syngas dan
produk F-T yang tidak terkonversi harus dipisahkan setelah langkah
sintesis F-T. CO2 dapat dipisahkan dengan menggunakan teknik
absorbsi. CO2 dengan kemurnian tinggi biasanya dibuang langsung ke
udara bebas.
Proses

pendinginan

digunakan

untuk

memisahkan

air

dan

hidrokarbon ringan (terutama metana, etana, dan propane) dari


produk liquid hydrocarbon yang dihasilkan pada proses sintesis F-T.
Gas hidrokarbon ringan dan gas sintesis yang tidak terkonversi
dikirim ke proses hydrogen recovery.Purge dari fuel gas digunakan
untuk menyuplai bahan bakar pada proses CTL. Akhirnya sisa gas
dialirkan

ke

autothermal

reforming

plant

untuk

mengkonversi

hidrokarbon ringan menjadi syngas untuk direcycle ke reaktor F-T.


Product Upgrading - FT liquid dapat dimurnikan menjadi LPG,
gasoline, dan bahan bakar diesel. Pilihan lain adalah melalui partial
upgrading

seperti

yang

ditunjukkan

dari

gambar

2.4

untuk

menghasilkan F-T syncrude. Kandungan wax yang tinggi di raw F-T


liquid memerlukan hidroprosessing untuk membuat syncrude yang
dapat dialirkan melalui pipa . Pilihan upgrading minimum termasuk
hidrotreating dan hidrocracking dari F-T wax. Produk yang dihasilkan
adalah F-T LPG dan F-T syncrude, yang dapat dikirim ke conventional

petroleum refinery untuk difraksinasi menghasilkan produk yang


dapat diolah lebih lanjut

Gambar 5. Diagram Alir Indirect Liquefication Coal


6. Brown Coal Liquefaction Technology (BCL)
Teknologi yang mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang
berguna secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah
lingkungan.
Langkah pertama adalah memisahkan air secara efisien dari batubara yang
berkualitas rendah. Langkah kedua melakukan proses pencairan di mana hasil produksi
minyak yang dicairkan ditingkatkan dengan menggunakan katalisator, kemudian
dilanjutkan dengan proses hidrogenasi di mana heteroatom (campuran sulfur-laden,
campuran nitrogen-laden, dan lain lain) pada minyak batubara cair dipisahkan untuk
memperoleh bahan bakar bermutu tinggi, kerosin, dan bahan bakar lainnya. Kemudian
sisa dari proses tersebut (debu dan unsur sisa produksi lainnya) dikeluarkan.

Gambar 6. Alur Pemrosesan Batubara Cair melalui Proses Brown Coal Liquefaction
(BCL) Technology
Yang menjadikan proses DCL sangat bervariasi adalah beberapa faktor dibawah:
a. Pencapaian dari sebuah proses DCL sangat tergantung daripada jenis feedstock /
(spesifikasi batubara) yang dipergunakan, sehingga tidak ada sebuah sistem
yang bisa optimal untuk digunakan bagi segala jenis batubara.
b. Jenis batubara tertentu mempunyai kecenderungan membentuk lelehan (caking
perform), sehingga menjadi bongkahan besar yang dapat membuat reaktor
kehilangan tekanan dan gradient panas terlokalisasi (hotspot). Hal ini biasanya
diatasi dengan mencampur komposisi batubara, sehingga pembentukan lelehan
dapat dihindari.
c. Batubara dengan kadar ash yang tinggi lebih cocok untuk proses gasifikasi
terlebih dahulu, sehingga tidak terlalu mempengaruhi berjalannya proses.
d. Termal frakmentasi merupakan phenomena yang terjadi dimana serpihan
batubara mengalami defrakmentasi ukuran hingga berubah menjadi partikelpartikel kecil yang menyumbat jalannya aliran gas sehingga menggangu
jalannya keseluruhan proses. Hal ini dapat diatasi dengan proses pengeringan
batubara terlebih dahulu sebelum proses konversi pada reaktor utama (Lihat
skema Brown Coal Liquefaction di bawah).

e. Spesifikasi batubara yang dipergunakan, sehingga tidak ada sebuah sistem yang
bisa optimal untuk digunakan bagi segala jenis batubara.
2.4 LANDASAN UJI COBA PILOT PLANT SCALE
Landasan dalam mengembangkan ujicoba produksi (pilot scale) proses pencairan
batubara adalah:
1. Produk liquid oil yang dihasilkan harus mencapai lebih dari 50%
2. Proses pengoperasian harus berjalan dengan kontinuitas lebih daripada 1500 jam.
3. Tahapan proses deashing harus mencapai kadar ash (abu) < 500 ppm.
4. Optimalisasi/pengembangan proses pengeringan (dewatering) baru.
2.5 KELEBIHAN BATUBARA CAIR
1. Harga produksi lebih murah, yaitu setiap barel batu bara cair membutuhkan biaya
produksi yang tidak lebih dari US$15 per barel. Bandingkan dengan biaya produksi
rata-rata minyak bumi yang berlaku di dunia saat ini yang mencapai US$23 per
barel.
2. Jenis batu bara yang dapat dipergunakan adalah batu bara yang berkalori rendah
(low rank coal), yakni kurang dari 5.100 kalori, yang selama ini kurang diminati
pasaran.
3. Setiap satu ton batu bara padat yang diolah dalam reaktor Bergius dapat
menghasilkan 6,2 barel bahan bakar minyak sintesis berkualitas tinggi. Bahan ini
dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti bahan bakar pesawat jet ( jet fuel),
mesin diesel (diesel fuel), serta gasoline dan bahan bakar minyak biasa.
4. Teknologi pengolahannya juga lebih ramah lingkungan. Dari pasca produksinya
tidak

ada proses pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2. Kalaupun

menghasilkan limbah (debu dan unsur sisa produksi lainnya), masih dapat
dimanfaatkan untuk bahan baku campuran pembuatan aspal. Bahkan sisa gas
hidrogen masih laku dijual untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar.
5. Bila teknologi dan biaya produksi batu bara cair tersebut dianggap tidak kompetitif
lagi, perusahaan dapat berkonsentrasi penuh memperoduksi gas hidrogen dan tenaga

listrik yang masih memiliki prospek sangat cerah. Karena dengan memanfaatkan
Panel Surya berteknologi tinggi ( Photovoltaic), energi matahari yang mampu
ditangkap adalah 100 kali lipat dibandingkan dengan panel biasa. Setiap panel dapat
menghasilkan daya sebesar satu megawatt, dengan biayanya hanya US$ 5 atau 100
kali lebih murah dibandingkan dengan menggunakan instalasi panel suryayang
biasa.
2.6 KEKURANGAN BATUBARA CAIR
1. Keekonomian
Harga minyak bumi sangat fluktuatif, sehingga seringkali investor ragu untuk
membangun kilang pencairan batubara. Batubara cair akan ekonomis jika harga
minyak bumi di atas US $35/bbl.
2. Investasi Awal Tinggi
Biaya investasi kilang pencairan batubara komersial, cukup mahal .
3. Merupakan Investasi Jangka panjang
Break Even Point (BEP) baru dicapai setelah 7 tahun beroperasi, sedangkan
tahap pembangunan memakan waktu 3 tahun.

2.7 PROSPEK BATUBARA CAIR DI MASA DEPAN


Melihat kondisi kelangkaan energi minyak bumi dimasa depan, China melakukan
inisiatif langkah-langkah konkrit melakukan penelitian dan pengembangan teknologi
pencairan batu bara. Sementara itu NEDO, sebagai bagian dari program kerjasama
Internasional telah melakukan instalasi peralatan pencairan batubara di China pada 1982
sebagai bagian dari uji coba pencairan batu bara China, termasuk melakukan eksplorasi
katalis untuk proses pencairan batubara serta pengembangan kemampuan sumber daya
manusia. Sejak tahun 1987, pemerintah China telah menawarkan NEDO untuk melakukan
uji kelayakan lokasi pabrik pencairan batubara di Provinsi Heilongjiang dengan
memanfaatkan batubara Yilan. Sebaliknya, dengan mempertimbangkan sebagai negara

importir minyak bumi dimasa depan, pada tahun 1992 pemerintah Indonesia telah meminta
bantuan kerjasama Internasional kepada NEDO untuk melakukan penelitian dan
pengembangan brown coal. Inisiatif tersebut ditindaklanjuti tahun 1994 dengan
menandatangani memorandum kerjasama antara NEDO bersama dengan BPPT (Badan
Pengkajian Penerapan Teknologi) untuk penelitian dan pengembangan teknologi pencairan
brown coal di Indonesia sebagai persiapan untuk komersialisasi pabrik pencairan batubara
cair.
2.8 PROSPEK BATUBARA CAIR DI INDONESIA
Di Indonesia sendiri, pengembangan batu bara cair mulai direspon setelah
pemerintah mengeluarkan Inpres No. 2/ 2006 tentang batubara yang dicairkan. Salah satu
investor yang tertarik adalah Sugiko MOK Energy yang bernisiatif untuk membangun
pabrik pemrosesan batubara cair di Sumatera Selatan. Sugico MOK Energy merupakan
perusahaan patungan antara PT. Sugico Graha (perusahaan tambang batubara di Indonesia
yang memiliki areal penambangan batubara di Sumatera Selatan) dan Mok Industries LLC
asal Amerika (perusahaan yang memiliki Teknologi Solar Energy yang paling murah dan
efisien di dunia).
Proses produksi batu bara cair yang dilakukan oleh Sugico MOK adalah
menggunakan sistem hidrogenasi yang memanfaatkan energi matahari. Dengan inovasi
Photovoltaic, energi panas matahari yang ditangkap melalui solar cell diubah menjadi
energi listrik, yang menghasilkan daya pada setiap panelnya sebesar satu megawatt dengan
jangka waktu 1 jam dan biaya tidak lebih dari US$ 5 per barel. Energi listrik yang
dihasilkan ada dua macam, yaitu arus listrik yang bersifat bolak- balik (AC) sehingga dapat
dimanfaatkan untuk penerangan serta keperluan lainnya, dan arus listrik yang searah (DC)
atau yang digunakan untuk air (H2O). Dalam proses ini air akan diubah menjadi oksigen
dan hidrogen. Unsur hidrogen tersebut akan dimanfaatkan dalam proses hidrogenasi, yang
mengubah batubara padat menjadi cair. Proses hidrogenasi ini dilakukan dalam reaktor
Bergius. Setiap satu ton batubara padat yang diolah dalam reaktor ini akan menghasilkan
6,2 barel BBM sintesis berkualitas tinggi. Direncanakan pada tahun 2011 kapasitas

produksi batubara cair yang dihasilkan pabrik Sugico MOK sekitar 20 ribu barel batu bara
cair per hari.
2.8.1

INVESTASI BATUBARA CAIR


Saat ini telah tercatat 11 perusahaan batu bara telah menandatangani kesepakatan

membentuk konsorsium untuk berpartisipasi dalam program pencairan batubara di


Indonesia yang diperkirakan menelan investasi hingga US$ 9,6 Miliar. Konsorsium itu
merupakan business to business yang terdiri dari perusahaan Jepang dan Indonesia. Di
antara perusahaan yang akan terlibat, adalah PT Adaro Indonesia, PT Jorong Barutama
Gestron, PT Berau Coal, PT Bumi Resources, PT DH Power, PT Bayan Resources, PT
Ilthabi Bara Utama, PT Rekayasa Industri, PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero)
Tbk., PT Pertamina (Persero), AES Asia & Middle East. Konsorsium itu akan bekerja sama
dengan sejumlah institusi dari Jepang yakni METI, NEDO, JBIC, JCOAL, Kobe Steel Ltd,
dan Sojitz. Teknologi batubara cair yang digunakan adalah brown coal liquefaction (BCL)
dari Jepang.
Diperkirakan untuk pembangunan pabrik pencairan batu bara berkapasitas 13.500
barel per hari, dibutuhkan investasi hingga US$ 1,3 miliar per pabrik. Pendanaan yang
setara dengan Rp 11,7 triliun, dengan kurs Rp 9.000 per dolar Amerika Serikat. Kepala
Balitbang Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Nenny Sri Utami mengatakan,
hingga 2025 sedikitnya dibutuhkan tujuh pabrik untuk mencapai target pemanfaatan batu
bara cair sebanyak dua persen. Hasil produk batu bara yang dicairkan berupa bahan bakar
cair pengganti bahan bakar minyak yang akan distandarkan dengan BBM.
Kepala Pusat Riset dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bukin Daulay, mengatakan program pencairan
batubara tersebut akan dijalankan dalam tiga tahapan. Pertama, tahap pembangunan kilang
untuk semi komersial pada 2009 berkapasitas 13.500 barel per hari dengan nilai investasi
US$1,3 miliar. Kedua, pembangunan kilang tambahan dengan kapasitas yang sama dengan
nilai investasi US$800 juta, sehingga pada 2017 diperkirakan kapasitas mencapai 27.000

barel. Ketiga, adalah pembangunan kilang komersial sebanyak enam unit dengan total
investasi diperkirakan US$9,6 miliar
Mengenai pembiayaan program, Bukin menuturkan Pemerintah Jepang telah
berkomitmen memberikan hibah US$110 juta untuk PSU ( process supporting unit).
Sedangkan dana yang berasal dari pinjaman 60% akan didanai oleh pinjaman Japan Bank
for International Cooperation (JBIC). Direktur Divisi 2 Departemen Keuangan
Internasional JBIC, Shin Oya, membenarkan komitmen pinjaman tersebut. Dan sebagai
garansi, JBIC menginginkan sisa dana yang dibutuhkan dari pinjaman berasal dari bank
komersial, baik berasal dari bank swasta Jepang maupun dari Indonesia sebagai private
guarantee
.

Вам также может понравиться