Вы находитесь на странице: 1из 80

MAKALAH 1

Makalah Sindrom Stevens Johnson


BAB I
PENDAHULLUAN
A. LATAR BELAKANG
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk
yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama
selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai
nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih
ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM).
B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini agar mahasiswa keperawatan sebagai calon perawat
dapat mengetahui dan memahami tentang penyakit / gangguan system integumen Sindrom
Steven Jhonson dan mengetahui penanganan dan penatalaksanaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium
dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit
berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

B.

ETIOLOGI
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapaT dianggap

1.
a.
b.
c.
d.
e.
f.

sebagai penyebab adalah:


Alergi obat secara sistemik
penisilin, analgetik, arti piuretik
Penisilline dan semisentetiknya
Sthreptomicine
Sulfonamida
Tetrasiklin
Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan

g.
h.
i.
j.
2.
3.
4.

paracetamol)
Kloepromazin
Karbamazepin
Kirin Antipirin
Tegretol
Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
Neoplasma dan faktor endokrin
Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
TANDA DAN GEJALA
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons
sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam
tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

Kelainan kulit

Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan mata

1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat
memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya
pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis
dan iridosiklitis.

C. PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit
T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi :
1.
2.
3.
4.
5.

Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan


Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat
Kegagalan termoregulasi
Kegagalan fungsi imun
Infeksi

D. PATHWAY
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik
dan makanan
Masuk ke dalam tubuh
Sel B dan plasma cel
Antigen berikatan dengan antibodi (Ig M dan Ig G)
Komplek imun
Deposit pembuluh darah
Mengaktifkan komplemen & degranulasi sel mast
Neutrofil tertarik kedaerah infeksi
Kerusakan jaringan
kapiler/ organ

inflamasi

Kerusakan

akumulasi neutrofil
submukosa : lidah reaksi radang

merangsang

peningkatan

nociseptor

permeabilitas

mengirim

diorbital

vaskuler
ggn menelan

kelainan kulit

intake in adekuat

& eritema

impuls

respon

inflamasi
Ggn nutrisi

inflmasi dermal
>Keb tubuh

diterima

& epidermal

Ggn integritas
Kulit

Ggn rasa nyaman :


Kelemahan fisik
Sensori : penglihatan

B. KOMPLIKASI
1. Bronkopneumonia (16%)
2. sepsis
3. kehilangan cairan/darah
4. gangguan keseimbangan elektrolit
5. syok
6. kebutaan gangguan lakrimasi
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium :

reseptor diotak eksudat &

diinterpretasi
nyeri

(konjungtivitis)

merangsang cairan

mata
ggn fungsi mata
Nyeri

Ggn persepsi

Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan
diagnosa.
Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal
atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan
kemungkinan infeksi bakterial berat.
Pemeriksaan elektrolit
Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat
dilakukan
B. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
C. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.
D. PENATALAKSANAAN
a.

Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40
mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara
tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam
beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason
65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi
baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5
mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg
sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan.
Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan
pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi
hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi
hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi
protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg
untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

b.

Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan
kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan

bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.


c. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu

dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.

d. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Data Subyktif

Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan /

sulit menelan.
b. Data Obyektif
Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering

didapatkan purpura.
Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di

faring
Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
c. Data Penunjang
Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di
epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM,
IgA.
E. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
c. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
d. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
e. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
F. Intervensi
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
Kriteria Hasil :

Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh.


Intervensi :
a.

asional

Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang
terjadi.
: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan
intervensi yang tepat
b. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.

ional

: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap
udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
c. Jaga kebersihan alat tenun.
Rasional

: untuk mencegah infeksi

d. Kolaborasi dengan tim medis.


Rasional

: untuk mencegah infeksi lebih lanjut

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan


Kriteria Hasil :
Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi :
a. Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai.
Rasional : memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan
dan dapat memperbaiki pemasukan.
b. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
Rasional : membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan
c. Hidangkan makanan dalam keadaan hangat.
Rasional : meningkatkan nafsu makan
d. Kerjasama dengan ahli gizi.
Rasional : kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan
berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.
3. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit

Kriteria Hasil :
Melaporkan nyeri berkurang
Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya.
Rasional : nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan
b. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit.

Rasional :

meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum


c. Pantau TTV.
Rasional : metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat
d. Berikan analgetik sesuai indikasi.
Rasional : menghilangkan rasa nyeri
4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
Kriteria Hasil :
Klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi :
a. Kaji respon individu terhadap aktivitas.
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang
dimiliki klien.
Rasional : energi yang dikeluarkan lebih optimal
c. Jelaskan pentingnya pembatasan energi.
Rasional : energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
d. Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien.
Rasional

: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga

5. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis


Kriteria Hasil :

Kooperatif dalam tindakan


Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
Intervensi :

a.

Kaji dan catat ketajaman pengelihatan


Rasional
: Menetukan kemampuan visual
b. Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
Rasional

: Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.

c. Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan.


Rasional

: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.

d. Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.


Rasional

:Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens
dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat
menentukan penyebabnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


2. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
3. Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
4. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3, jilid 2. Media
Aesculapius : Jakarta
5. Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2.
Jakarta: EGC.
6. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth,
edisi 8, volume 3. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
7. Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
8. Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.

CONTOH MAKALAH KEDUA

- Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada
klien sindrom steven johnson.
-

Tujuan Khusus

Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :

Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian padaklien dengan sindrom steven


johnson.

Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sindrom steven


johnson.

Mampu membuat rencana keparawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.

Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan keperawatan


pada anak dengan sindrom steven johnson.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan
dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang
sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput
mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis
Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).
Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme (EM).Sekarang
sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun
yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari setengah
kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab adalah:
a) Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

Penisilline dan semisentetiknya

Sthreptomicine

Sulfonamida

Tetrasiklin

Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan


paracetamol)

Kloepromazin

Karbamazepin

Kirin Antipirin

Tegretol

b)

Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

c)

Neoplasma dan faktor endokrin

d)

Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

e)

Makanan

C. Manifestasi Klinis
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat
berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka
dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak
rata.Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya.Kulit
lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada
banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang terpengaruh

sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa
orang, kuku dan rambut rontok.
Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah
kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi
efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.
Gejala awal termasuk :
o ruam
o lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
o bengkak pada kelopak mata, atau mata merah
o konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola
mata)
o demam terus-menerus atau gejala seperti flu
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat.Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai
koma.Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
a)

Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga terjadi purpura.Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata.
b)

Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul
oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah
sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam terbentuk
pseudomembran.Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang
tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esopfagus.Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

c)

Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis
kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis
dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,
misalnya: nefritis dan onikolisis.
Komplikasi :
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara
seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
lakrimasi.
D. Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh
kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan
keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan
sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang
dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat
dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen
hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian
serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801
frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar
suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk
mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing
dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut
(Corwin, 2000: 72).

Reaksi Hipersensitif Tipe IV


Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan.
Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya.
E. Pemeriksaan laboratorium
a.
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan
diagnosis.
b.
CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau
leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi
bakteri.
c.

Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20

Tes lainnya:

Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit
gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal

Adanya nekrosis sel epidermis

Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular

F. DIAGNOSA
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman
serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.Biopsi
kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa
kasus-kasus atipik.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis
hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk dari pada SSJ.
G. Penatalaksanaan

Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan


cairan berat dan mesti diterapi sebagai pasien SSJ sama dengan pasien luka bakar.

Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi elektrolit.

Luka kulit diobati sebagai luka bakar.

Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.

Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan suportif.Mengobati lesi pada mulut


dangan mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa nyeri.daerah
yang mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan kompres salin atau burrow
solution

Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi.Obat
penyebab harus dihentikan.

Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.

Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS.
Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan
lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan
analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.
Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang
terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine
lotion.Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat
menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat
lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang
berhasil.
Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam
mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain
diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan
tetap hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris
harus dikonsultasikan secepatnya,
Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang
kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan
mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan
pulang dari rumah sakit.

Kortikosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40
mg sehari.Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara
tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.

Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.Pasien steven-Johnson berat harus segera
dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan
harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan
Cl).Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi efek katabolik
dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan
nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat
badan).

Antibiotik

Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan


kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan
bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

Infus dan tranfusi darah

Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.

Topikal

Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
H. Pengobatan SSJ/TEN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai
penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.
Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit
rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien
SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan
spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan
dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik
diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.Obat nyeri,
misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN. Beberapa


dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi
manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan
sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan
sistem kekebalan yang sudah lemah.
a.

Prognosis

Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka
kematian sekitar 5%.Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala
SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan.Outcome
lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian
Pathway
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan
makanan
Reaksi alergi tipe III

Terbentuknya kompleks antigen dan antibody


Terpangkap dalam jaringan kapiler

Mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast

Kerusakan jaringan kapiler/organ

Akumulasi neutrofil

Reaksi alergi tipe IV

Sel tak aktif, kontak

kembali dengan antigen

Melepas limfosit dan sitotoksin

Reaksi radang

Kelainan kulit dan eritema

Inflamasi dermal dan epidermal

Gangguan integritas kulit

Nyeri

Kelainan selaput

lendir dari ofisiun

Kesulitan menelan

Intake in adekuat

Kelemahan fisik

< Nutrisi dari kebutuhan

Gangguan intoleransi
aktivitas
Mata

G3 Persepsi sensori: penglihatan


Konjungtifitis
ASUHAN KEPERAWATAN

1.

Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal

KH:
Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh

Intervensi:
a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang
terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan
dan melakukan intervensi yang tepat
b.

Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut

Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi
terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
c.

Jaga kebersihan alat tenun

Rasional: untuk mencegah infeksi

d.

Kolaborasi dengan tim medis

Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut

2.

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan

KH:
Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan

Intervensi:
a.

Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai

Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi


dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan
b.

Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering


Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan

c.

Hidangkan makanan dalam keadaan hangat


Rasional: meningkatkan nafsu makan

d.

Kerjasama dengan ahli gizi

Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan


metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.

3.

Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit

KH:
a.

Melaporkan nyeri berkurang

b.

Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks

Intervensi:

a.

Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya

Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan
jaringan
b.

Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum

c.

Pantau TTV
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat

d.

Berikan analgetik sesuai indikasi

Rasional: menghilangkan rasa nyeri

4.

Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik

KH:
klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
a.

Kaji respon individu terhadap aktivitas


Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-

hari.
b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang
dimiliki klien
Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal
c.

Jelaskan pentingnya pembatasan energy


Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh

d.

Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien


Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga

5.

G3 Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis

KH :

Kooperatif dalam tindakan

Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen

Intervensi:
a.

Kaji dan catat ketajaman pengelihatan

Rasional: Menetukan kemampuan visual


b.

Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.

Rasional: Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.


c.

Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:

Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.


d.

Orientasikan thd lingkungan.

Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien.

Berikan pencahayaan yang cukup.

Letakan alat-alat ditempat yang tetap.

Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.

Hindari pencahayaan yang menyilaukan.

Gunakan jam yang ada bunyinya.

e.

Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.

Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.


BAB III
PENUTUP
a.

Kesimpulan

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson merupakan hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan
sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan
keganasan.Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
b.

Saran

Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok
mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman teman sesama
mahasiswa. Selain itu penyakit osteosarkoma ini sangat berbahaya dan kita sebagai host
harus bisa menerapkan pola hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar.2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Price dan Wilson.1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius

BAB I
PENDAHULUAN
I.

Latar belakang

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi


mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de FriessingerRendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Etiologi SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun
pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor
penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat,
sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik

(udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit
T yang spesifik.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu
dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa
eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria
klinis.Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis
dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi
pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai
oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh
obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS
dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda
dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
Gambar 1.Perbedaan Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal
Necrolysis
Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan
penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis makalah Asuhan Keperawatan sindrom
steven johnson.

2. Tujuan
- Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada
klien sindrom steven johnson.
-

Tujuan Khusus

Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :

Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian padaklien dengan sindrom steven


johnson.

Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sindrom steven


johnson.

Mampu membuat rencana keparawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.

Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan keperawatan


pada anak dengan sindrom steven johnson.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan
dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang
sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput
mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis
Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).
Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme (EM).Sekarang
sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun
yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari setengah
kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab adalah:
a) Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

Penisilline dan semisentetiknya

Sthreptomicine

Sulfonamida

Tetrasiklin

Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan


paracetamol)

Kloepromazin

Karbamazepin

Kirin Antipirin

Tegretol

b)

Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

c)

Neoplasma dan faktor endokrin

d)

Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

e)

Makanan

C. Manifestasi Klinis
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat
berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka
dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak
rata.Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya.Kulit
lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada
banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang terpengaruh
sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa
orang, kuku dan rambut rontok.
Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah
kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi
efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.
Gejala awal termasuk :
o ruam
o lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

o bengkak pada kelopak mata, atau mata merah


o konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola
mata)
o demam terus-menerus atau gejala seperti flu
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat.Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai
koma.Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
a)

Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga terjadi purpura.Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata.
b)

Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul
oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah
sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam terbentuk
pseudomembran.Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang
tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esopfagus.Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
c)

Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis
kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis
dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,
misalnya: nefritis dan onikolisis.
Komplikasi :
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara
seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
lakrimasi.
D. Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh
kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan
keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan

sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang
dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat
dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen
hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian
serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801
frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar
suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk
mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing
dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut
(Corwin, 2000: 72).

Reaksi Hipersensitif Tipe IV


Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan.
Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya.
E. Pemeriksaan laboratorium
a.
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan
diagnosis.
b.
CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau
leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi
bakteri.
c.

Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20

Tes lainnya:

Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit
gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal

Adanya nekrosis sel epidermis

Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular

F. DIAGNOSA
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman
serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.Biopsi
kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa
kasus-kasus atipik.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis
hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk dari pada SSJ.
G. Penatalaksanaan

Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan


cairan berat dan mesti diterapi sebagai pasien SSJ sama dengan pasien luka bakar.

Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi elektrolit.

Luka kulit diobati sebagai luka bakar.

Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.

Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan suportif.Mengobati lesi pada mulut


dangan mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa nyeri.daerah
yang mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan kompres salin atau burrow
solution

Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi.Obat
penyebab harus dihentikan.

Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.

Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS.
Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan
lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan
analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.
Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang
terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine
lotion.Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat
menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat
lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang
berhasil.
Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam
mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain
diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan
tetap hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris
harus dikonsultasikan secepatnya,
Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang
kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan
mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan
pulang dari rumah sakit.

Kortikosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40
mg sehari.Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara
tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.Pasien steven-Johnson berat harus segera
dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan
harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan
Cl).Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi efek katabolik
dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan
nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat
badan).

Antibiotik

Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan


kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan
bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

Infus dan tranfusi darah

Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.

Topikal

Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
H. Pengobatan SSJ/TEN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai
penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.
Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit
rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien
SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan
spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan
dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik
diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.Obat nyeri,
misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN. Beberapa
dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi
manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan
sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan
sistem kekebalan yang sudah lemah.
a.

Prognosis

Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka
kematian sekitar 5%.Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala
SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan.Outcome
lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian
Pathway
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan
makanan
Reaksi alergi tipe III

Terbentuknya kompleks antigen dan antibody


Terpangkap dalam jaringan kapiler

Mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast

Kerusakan jaringan kapiler/organ

Akumulasi neutrofil

Reaksi alergi tipe IV

Sel tak aktif, kontak

kembali dengan antigen

Melepas limfosit dan sitotoksin

Reaksi radang

Kelainan kulit dan eritema

Inflamasi dermal dan epidermal

Gangguan integritas kulit

Nyeri

Kelainan selaput

lendir dari ofisiun

Kesulitan menelan

Intake in adekuat

Kelemahan fisik

< Nutrisi dari kebutuhan

Gangguan intoleransi
aktivitas
Mata

G3 Persepsi sensori: penglihatan


Konjungtifitis
ASUHAN KEPERAWATAN

1.

Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal

KH:
Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh

Intervensi:
a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang
terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan
dan melakukan intervensi yang tepat
b.

Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut

Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi
terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
c.

Jaga kebersihan alat tenun

Rasional: untuk mencegah infeksi


d.

Kolaborasi dengan tim medis

Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut

2.

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan

KH:
Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan

Intervensi:
a.

Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai

Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi


dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan
b.

Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering


Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan

c.

Hidangkan makanan dalam keadaan hangat


Rasional: meningkatkan nafsu makan

d.

Kerjasama dengan ahli gizi

Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan


metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.

3.

Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit

KH:
a.

Melaporkan nyeri berkurang

b.

Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks

Intervensi:
a.

Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya

Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan
jaringan
b.

Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum

c.

Pantau TTV
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat

d.

Berikan analgetik sesuai indikasi

Rasional: menghilangkan rasa nyeri

4.

Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik

KH:
klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
a.

Kaji respon individu terhadap aktivitas


Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-

hari.
b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang
dimiliki klien
Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal
c.

Jelaskan pentingnya pembatasan energy


Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh

d.

Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien


Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga

5.

G3 Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis

KH :

Kooperatif dalam tindakan

Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen

Intervensi:
a.

Kaji dan catat ketajaman pengelihatan

Rasional: Menetukan kemampuan visual

b.

Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.

Rasional: Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.


c.

Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:

Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.


d.

Orientasikan thd lingkungan.

Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien.

Berikan pencahayaan yang cukup.

Letakan alat-alat ditempat yang tetap.

Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.

Hindari pencahayaan yang menyilaukan.

Gunakan jam yang ada bunyinya.

e.

Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.

Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.


BAB III
PENUTUP
a.

Kesimpulan

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson merupakan hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan
sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan
keganasan.Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
b.

Saran

Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok
mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman teman sesama
mahasiswa. Selain itu penyakit osteosarkoma ini sangat berbahaya dan kita sebagai host
harus bisa menerapkan pola hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar.2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Price dan Wilson.1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius

SINDROM STEVEN-JOHNSON

SINDROM STEVEN-JOHNSON

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi


mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.

Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema


eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-

kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang


sering dipakai sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja.

Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang
tua. Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan.

Tidak terdapat kecenderungan rasial terhadap SSJ walaupun terdapat


laporan yang menghubungkan kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA
tertentu.

Penyebab

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan
respons imun terhadap obat.

Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus,


jamur, bakteri, parasit),

obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,


kontraseptif),

makanan (coklat),

fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),

lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).

Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson


Infeksivirus
jamur
bakteri
parasit

Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia


koksidioidomikosis, histoplasma
streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium
tuberculosis, salmonela
malaria

Obat

salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin,


digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin,
analgetik/antipiretik

Makanan

Coklat

Fisik

udara dingin, sinar matahari, sinar X

Lain-lain

penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)

Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan


sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21
hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka
hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari
satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai
hubungan kausal.

Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan


salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.

Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi
berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang
terhadap obat-obatan penyebab.

PATOFISIOLOGI

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang
disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan
antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type
hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh
limfosit T yang spesifik.

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan


endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam
sirkulasi.

Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang


dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks
imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab
(misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul
akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel
yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa,
serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan
reaksi inflamasi yang terjadi.

Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator
yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan
klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat
aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.

Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit


yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

GEJALA KLINIK

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise,


batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia
yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.

Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada
hampir seluruh tubuh.

Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta


berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal,
muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal,
daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta
hemoragis merupakan gambaran utama.

Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,


kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan
perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa
okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler
yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa
bulan sampai 31 tahun.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan


laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap
kelainan yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata,
serta hubungannya dengan faktor penyebab.

Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan
pada mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ .

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan


faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan
yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi
(hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED),
pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4,
kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat
lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan


keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala


perdarahan.

Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis
terdapat peninggian eosinofil.

Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit
menurun, dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.

Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di


epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis,
pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah
dermis superfisial.

Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3,


dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik
maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang
dari 24 jam.

DIAGNOSIS BANDING

Nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa


tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.

Erythema Multiforme

Burns, Chemical

Burns, Ocular

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Toxic Epidermal Necrolysis

Burns, Thermal

Dermatitis, Exfoliative

Toxic Shock Syndrome

PENATALAKSANAAN

Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ. Pasien
yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan

cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai
secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit
dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik
dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut
diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin.

Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan


gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian
antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman
dari sediaan lesi kulit dan darah.

Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis


awal 1 mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6
jam, setelah itu diturunkan berangsur-angsur dan bila mungkin diganti
dengan prednison per oral. Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai
terapi SSJ masih kontroversial. Beberapa mengganggap bahwa
penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan
yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat


menghentikan progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total 3 gr/kgBB
selama 3 hari berturut-turut (1 gr/kgBB/hari selama 3 hari).

Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal. Kulit
dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan
larutan Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat
dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan
tetes mata dengan antiseptik.

Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab)
harus segera dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling
umum seperti riwayat penggunaan obat-obatan terakhir, serta
hubungannya dengan perkembangan penyakit terutama terhadap episode
SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ.

Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji


resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin


hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3
tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3
kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia
anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1
kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan


alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena,
diberikan 2 kali/hari.

PROGNOSIS
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan
berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis
lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan
oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta
sepsis.
DAFTAR PUSTAKA

McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reactions. Immunolo


and Allergy Clin North Am 2004;24:399-423.

Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity


syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.

Gruchalla R. : Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000;


105 : S637-44.

Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding
within epidermal keratinocytes in sulfonamide-induced cutaneous drug
reactions. J Invest Dermatol 2000; 114 : 116473.

Yawalkar N, Egli F, Hari Y. Infiltration of cytotoxic T cells in drug-induced


cutaneous eruptions. Clin Exp Allergy 2000; 30 : 847-55.

Yawalkar N, Shrikhande M, Hari Y. Evidence for a role for IL-5 and eotaxin in
activating and recruiting eosinophils in drug-induced cutaneous eruptions.
J Allergy Clin Immunol 2000; 106 : 1171-76.
o

French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens Johnson


syndrome: our current understanding. Allergol
Int. Mar 2006;55(1):9-16. [Medline].

Hallgren J, Tengvall-Linder M, Persson M, et al. Stevens-Johnson


syndrome associated with ciprofloxacin: a review of adverse
cutaneous events reported in Sweden as associated with this drug. J
Am Acad Dermatol. Nov 2003;49(5 Suppl):S267-9. [Medline].

Metry DW, Lahart CJ, Farmer KL, Herbert AA. Stevens-Johnson


syndrome caused by the antiretroviral drug nevirapine. J Am Acad
Dermatol. Feb 2001;44(2 Suppl):354-7. [Medline].

Mockenhaupt M, Messenheimer J, Tennis P, et al. Risk of StevensJohnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in new users of
antiepileptics. Neurology. Apr 12 2005;64(7):1134-8. [Medline].

Hebert AA, Bogle MA. Intravenous immunoglobulin prophylaxis for


recurrent Stevens-Johnson syndrome. J Am Acad
Dermatol. Feb 2004;50(2):286-8. [Medline].

Ball R, Ball LK, Wise RP, et al. Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis after vaccination: reports to the vaccine
adverse event reporting system. Pediatr Infect Dis
J. Feb 2001;20(2):219-23. [Medline].

Bastuji-Garin S, Fouchard N, Bertocchi M, et al. SCORTEN: a


severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis. J Invest
Dermatol. Aug 2000;115(2):149-53. [Medline].

Bianchine JR, Macaraeg PV, Lasagna L, et al. Drugs as etiologic


factors in the Stevens-Johnson syndrome. Am J
Med. Mar 1968;44(3):390-405. [Medline].

Brett AS, Philips D, Lynn AW. Intravenous immunoglobulin therapy


for Stevens-Johnson syndrome. South Med J. Mar 2001;94(3):3423. [Medline].

Cohen B. The many faces of erythema multiforme. Contemp


Pediatr. 1994;11:19-39.

Cunha BA. Antibiotic side effects. Med Clin North


Am. Jan 2001;85(1):149-85. [Medline].

Darmstadt GL, Lane A. Vesiculobullous disorders. In: Nelson WE, et


al, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 15th ed. Philadelphia, Pa: WB
Saunders; 1996:1850-2.

French LE, Trent JT, Kerdel FA. Use of intravenous immunoglobulin in


toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: our
current understanding. Int Immunopharmacol. Apr 2006;6(4):5439. [Medline].

Frieden IJ. Hypersensitivity reactions. In: Rudolph AM, et


al. Rudolphs Pediatrics. 20th ed. Stamford, Conn: Appleton &
Lange; 1996:906-8.

Makalah ke 3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


Sindrom Stevens-Johnson (SJS) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom
mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema
bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai
purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum
bervariasi dari baik sampai buruk.(Hamzah,2002)
SJS merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel,
bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lender serta
mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari SJS saat ini belum diketahui namun ditemukan
beberapa hal yang memicu timbulnya SJS seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme
terjadinya sindroma pada SJS adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya.
Seperti pada kasus kematian pasien di RS St Carolus dan terakhir yang di laporkan dari Jawa
Timur , secara sepintas tampak sebagai SJS. SJS muncul biasanya tidak lama setelah obat
disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tak berhubungan
lansung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif
sangat sukar diramal, paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang
tak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat
ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika SJS akan membutuhkan
waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang definisi, etiologi, fisiologi, epidemiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosa steven johnson syndrome.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan referat ini bertujuan untuk:
1. Memahami definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan dan prognosis steven Johnson syndrome.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
1. Memenuhi salah satu persayaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Malang RSUD Kanjuruhan Kepanjen Malang.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengacu kepada beberapa
literatur.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi SJS


Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsimukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata
disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger- Rendu, eritema
eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom mukokutaneo- okular,
dermatostomatitis, dll. Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua
dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut
tidak dapat menentukan penyebabnya (Adithan,2006).
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai
kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis. SJS dikenal
pula sebagai eritem multiformis mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran
mukosa. Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata,
vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat
berkembang menjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan
dapat berlanjut menjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat
potensial menjadi penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu
dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa
eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis.
Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari
spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca
infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh
blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat
dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk.

2.2 Etiologi SJS


Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama
antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk
yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang paling umum adalah
nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami
segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun
pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor
penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat,
sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik
(udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan)
(Mansjoer, 2002; Siregar, 2004).

Sindrom Stevens Johnson dapat disebabkan oleh karena :


1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks,
influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-Barr, atau sejenisnya),
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib,
sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfonamide, fenitoin, azitromisin, modafinil,
lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin),
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma), atau
4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang jarang
dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven Johnson juga mungkin
disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat
terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotic dan
sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS,
eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide
(antibiotik), penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin
dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko
dari terjadinya SJS.

2.3 Faktor predisposisi SJS


Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3 kasus persatu juta
penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.
Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan.
Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2004).

2.4 Patofisiologi SJS


Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit
T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi (Carroll, 2001) :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat

3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa
didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di
mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga
terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik,
dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa
sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir,
mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat
penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik (Ilyas,
2004).

2.5 Manifestasi klinis SJS


SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa
demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia
yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien
mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian
meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas,
sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila
digosok.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada
banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh
sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa
orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006).
Pada SJS dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata. Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka
bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat
besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap
infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada umumnya yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berupa
demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok.
Pada sindrom ini terlihat adanya tris kelainan berupa:
1. Kelainan kulit

2. Kelainan selaput lender di orifisium


3. Kelainan mata

1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lender di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul
oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%)
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan
yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam dan tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas, dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar/ tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus; yang tersering adalah konjungtivitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus
kornea, iritis, dan iridosiklitis.

Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi
efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala
awal termasuk (Mansjoer, 2002) :

Ruam

Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh
tubuh.

Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah.
Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran

mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra.
Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.

Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.

Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam

kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,


iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa
okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan
kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun. Bila kita
mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru mulai memakai obat baru,
segera periksa ke dokter.

terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :


1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

2.6 Diagnosa SJS


Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman
serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi
kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bias membantu diagnosa
kasus-kasus atipik (Siregar, 2004; Adithan, 2006).

2.7 Diagnosis Banding SJS


Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :

1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN.
SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit
ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena
(Siregar, 2004).
3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan
yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila
diangkat timbul perdarahan (Wijana, 1993).

2.8 Pemeriksaan penunjang SJS


1. Pemeriksaan laboratorium :
1. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam diagnose
selain pemeriksaan biopsy.
2. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal
atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih dapat
mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.
3. Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan
panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
4. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.
5. Pemeriksaan elektrolit.
6. Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.
7. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi
dapat dilakukan.
2. Imaging studies :
1. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
3. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnose
(Adithan, 2006).

2.9 Penatalaksanaan SJS


Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai
penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang dengan
SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka

bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS
biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis
luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan
kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan bila
dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri, misalnya morfin,
juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN. Beberapa
dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi
manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan
sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada ODHA
dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. Pada umumnya penderita SJS datang dengan
keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :

Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian


selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak
bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,
namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan
nyawa.

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat
(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 312 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,


berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,
4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam
proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).

Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :

Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis
setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan
pada bola mata.

Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya
perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).

2.10 Komplikasi SJS


Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:

Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan

Gastroenterologi Esophageal strictures

Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina

Pulmonari pneumonia

Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder

Infeksi sitemik, sepsis

Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002).

Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari, dengan
ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya perlukaan
di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa, yang
dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat
menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion,
trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat
berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah
dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana
komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea
dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat
dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek
epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada
kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita
menurun ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasi di atas akan menimbulkan
komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau
infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan
panoftalmitis yang pada akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata
(Viswanadh, 2002).

2.11 Prognosis SJS


SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan
kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan
5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang
baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan
total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3
minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang
lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis (Adithan, 2006; Siregar, 2004).

Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka
kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala
SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome
lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian.

Perbedaan Eritema Multiformis, Steven-Johnsons Syndrome, dan Toxic Epidermal


Necrolysis

BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena
penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun
terhadap obat.
Patogenesis SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayedtype hypersensitivity reactions, tipe IV). Manifestasi SJS pada mata dapat berupa
konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron,
kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea
yang dapat menyebabkan kebutaan.
Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2 yaitu Toxic Epidermolysis
Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) dan konjungtivitis
membranosa atau pseudomembranosa.

Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi cairan dan
elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum
berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa
menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga
yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

DAFTAR PUSTAKA
Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of
Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: www.jipmer.edu

Anonym. 2010. Doctorology Indonesia Steven Johnson Syndrome. http. www. Steven
Johnson syndrome. Diakses tanggal 21 agurtus 2010.

Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142

Hamzah M. Sindrom Steven Johnson ; ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keempat.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:147-149

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta
Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media
Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC.
Jakarta. 2004. hal 141-142.

Bahan

Sindrom stevens-Johnson
Diposkan oleh Darman Rasyid Baido di 19:12 Senin, 03 Januari 2011 Label:
Artikel ilmu penyakit kulit dan kelamin

Oleh

: dr Mochtar

Hamzah SpKK

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
Defenisi
Sindrom
stevens-Johnson
merupakan sindrom yang
mengenai
kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum
bervariasi dari ringan sampai
berat. Kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.

Sinonim

Berbagai sinonim dipakai untuk penyakit ini, diantaranya yaitu


ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutanea-okuler,
eritema multiformis tipe hebra, eritema bulosa maligna. Meskipun
demikian yang umum digunakan ialah sindrom stevens-johnson.

Etiologi

Etiologi yang pasti belum diketahui. ada anggapan bahwa sindrom


ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut eritema
multifome mayor. Salah satu penyebabnya ialah alergi obat biasanya
secara sistemik pada beberapa kasus yang datang berobat disangka
penyebabnya ialah penisilin dan semisintetiknya, streptomisin,
sulfonamida, tetrasiklin, antipiretik/analgetik (misalnya : derifat
salisil/pirazolon,metamizol,
metampiron
dan
parasetamol),
klorpromasin, karbamazepin, kinin antipirin, tegretol dan jamu.
Selain itu berbagai penyebab dikemukakan oleh beberapa kepustakaan
lain misalnya infeksi oleh bakteri, virus, jamur dan parasit.atau
keadaan lain sepertimisalnya neoplasma, pascavaksinasi, radiasi da
makanan.

Patogenesis

Patogenesisnya belum jelas disangka disebabkan oleh reaksi alergi


tipe III dan IV. Reaksi tipe
III terjadi akibat tebentuknya
kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikro-presipitasi sehingga
terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
netrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi
akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan
antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang.

Gejala klinis

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan


umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok. Pada
sindrom
ini
terlihat
adanya
trias
kelainan
berupa
a.
Kelainan
kulit.
b.
Kelainan
selaput
lendir
di
orifisium.
c. Kelainan mata.

a.

Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping
itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat
kelainannya generalisata.

b.

Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa
mulut (100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat
genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%).

Kelainannya berupa vesikel da bula yang cepat memecah hingga


menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat
terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah
krusta yang berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga

terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus.


Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar/tidak dapat
menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan
sukar bernapas.

c.

Kelainan
mata
Kelainan mata, merupakan 80 % diantara semua kasus, yang
tersering ialah konjugtivitis kataralis. Selain itu juga dapat
berupa konjugtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea,
iritis dan iridosiklitis.Disamping trias kelianan terebut dapat pula
terdapat kelainan lain, misalnya nefritis dan onikolisis.

Komplikasi
Komplikasi yang paling tersering ialah bronkopneumonia, yang
didapati sejumlah 16% diantara seluruh kasus yang datang berobat.
Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan/darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan
karena gangguan lakrimasi.

Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat
leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi. Kalau terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya
karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.

Histopatologi

Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme,


berfariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis
epidermal yang menyeluruh, kelainan berupa :
1.

Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah


dermis superfisial.

2.

Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.

3.

Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel

subepidermal.
4.

Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.

5.

Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

Imunologi

Beberapa kasus menunjukkan deposit IgM dan C3 di pembuluh darah


dermal superfisial dan pada pembuluh darah yang mengalami kerusakan.
Pada sebagian besar kasus terdapat kompleks imun yang mengandung
IgG, IgM, IgA secara tersendiri atau dalam kombinasi.

Diagnosis banding

Sebagai diagnosis banding ialah nekrolisis epidermal toksik


(N.E.T). Penyakit ini sangat mirip dengan sindrom Stevens-Johnson.
Pada N.E.T terdapat epidermolisis yang menyeluruh yang tidak
terdapat pada sindrom Stevens-Johnson. Perbedaan lain biasanya
keadaan umum pada N.E.T lebih buruk.

Pengobatan

Jika keadaan umum penderita sindrom Stevens-Johnson


baik dan
lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison 30-40 mg
sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus
diobati secara tepat dan cepat. Penggunaan obat kortikoseroid
merupakan tindakan live-saving. Biasanya digunakan deksametason
secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Pada
umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari. Agar lebih
jelas maka berikut ini akan diberikan contoh seorang penderita
Stevens-Johnson yang berat harus segera dirawat-inap dan diberikan
deksametason 6 x 5 mg inravena. Biasanya setelah beberapa hari (2-3
hari), masa krisis telah teratasi, keadaan umum membaik dan tidak
timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi.
Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5
mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet
krtikosteroid, misalnya prednison, yang diberikan keesokan harinya
dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi
10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kirakira 10 hari.

Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul


miliaria kristalina yang yang sering disangka sebagai lesi baru dan
dosis
kortikosteroid
dinaikkan
lagi,
yang
seharusnya
tetap
diturunkan.

Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu maka imunitas penderita


akan berkurang, karena itu harus diberikan antibiotik untuk mencegah
terjadinya infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan
kematian. Antibiotik yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan
alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak atau
sedikit nefrotoksik.Obat yang memenuhi sayarat tersebut misalnya
siprofloksasin 2 x 400 mg i.v dan klindamisisn 2 x 600 mg i.v
sehari. Biasanya digunakan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. Untuk
mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin
garam dan tinggi protein. Kecuali itu juga diberikan obat anabolik
dan KCL 3 x 500 mg sehari, jika terjadi penurunan K.

Hal
yang
perlu
diperhatikan
ialah
mengatur
keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena penderita sukar
atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan
kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
berupa glukosa 5 % dan larutan darrow.

Jika dengan terapi di atas belum tampak perbaikan dalam 2-3 hari,
maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut, terlebih-lebih pada kasus yang disertai purpura yang
luas dan leukopenia. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
ditambahkan vit C 500 mg atau 1000 mg sehari I.V dan hemostatik.
Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Untuk lesi di
mulut dapat diberikan kenalogin orabase. Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat dierikan sofratulle ataukrim sulfadiazin perak.

Prognosis

Kalau kita bertindak cepat dan tepat maka prognosisnya cukup


memuaskan.
Bila
terdapat
purpura
yang
luas
dan
leukopenia
prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat
bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan kematian. Dalam
kepustakaan angka kematian berkisar antara 5-15 %.

Kepustakaan

1. Matondang, O.S : Alergi Obat. Naskah lengkap KPPIK-XX, 136-141


( F.K.U.I, Jakarta 1979).
2. Arnold, H.L ; Odom, R.B and James, W.D. : Andrews Disease of
the skin. Clinical Dermatology; 8 th ed, pp. 136-138 ( W.B
Saunders Co, Philadelphia,1990)
3. Adhi Djuanda dan Zulkarnain Makarin : Sindroma StevensJohnson. Maj. Kedokt.Indon 11/12. 511 (1974)
4. Moschella, S.L : Hypersensitivity and miscellaneous
inflammatory disorders in Moschella, S.L.; Pillbury, D.M and
Hurley H.J. s: dematology vol 1; pp 387-390 ( W.B Saunders Co,
Philadelphia 1975)

Sumber artikel : Buku ilmu penyakit kulit dan kelamin yang


ditebitkan oleh bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin fakultas
kedokteran Universitas Indonesia.

BAHAN

Steven Johnson Syndrome (SJS)

BATASAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan
gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias
kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata
disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor,
eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular,
dermatostomatitis, dll.
PATOFISIOLOGI
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan

dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab


timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit),
obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin,
digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar
matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan,
kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas
walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas
tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan
IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type
hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi
oleh limfosit T yang spesifik.
GEJALA KLINIK/Symptom
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam,
malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal
otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan
kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di :
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara
simetris pada hampir seluruh tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan
dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam
1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran
mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah
vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan
krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada
kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan
kebutaan.
Cedera
mukosa
okuler

merupakan
faktor
pencetus
yang
menyebabkan
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan
kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai
dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
DIAGNOSA
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis
terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa,
demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan
darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah
dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat
dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat
meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya
kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.
Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana
manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk
daripada SSJ.

PENGOBATAN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang
dicurigai sebagai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah
pemburukan.
Orang dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat
dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk
menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan
membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit
dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi
harus diberikan melalui infus untuk mendorong pemulihan. Antibiotik diberikan
bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat antinyeri,
misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN.
Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid takaran tinggi dalam
beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggapan bahwa obat ini
sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekan sistem kekebalan tubuh, sehingga

meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan
yang sudah lemah.
Garis Dasar
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah reaksi terhadap obat yang mempengaruhi
kulit dan selaput mukosa. Nekrolisis epidermis toksik (TEN) adalah versi SJS yang
lebih gawat. Kedua reaksi ini dapat sangat gawat, dan harus segera diobati
dengan sangat hati-hati untuk menghindari kematian.
Penyebab utama SJS untuk Odha adalah nevirapine, yang menimbulkan reaksi ini
pada kurang lebih 1,5% penggunanya. Kotrimoksazol juga dapat menyebabkan
SJS, walaupun jarang.
Bila kita mengalami gejala SJS (ruam, terutama yang mempengaruhi selaput
mukosa, dan demam), dalam beberapa minggu setelah kita mulai pakai obat
tersebut, penting kita segera periksa ke dokter.

PENATALAKSANAAN
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah :

Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara


parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil
biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan
darah.
Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal
1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg
BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang
signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid
menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal.
Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan
dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk

usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.


Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk
usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun :
5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian
antibiotik topikal.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan


Burowi.
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada
lesi kulit.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang
menimbulkan
alergi,
berspektrum
luas,
bersifat
bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena,
diberikan 2 kali/hari.
PROGNOSIS
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan
penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian
berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih l

Bahan
Sindrom Steven Jhonson Penyakit Mengerikan
Unearthly |Posted by unearthly at: 23:29| Labels: penyakit mengerikan |

Sindrom Steven Jhonson atau dalam bahasa inggris Stevens-Johnson


sindrom
(SJS)
adalah
suatu
kumpulan
gejala
klinis
erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit

vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum


berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema
eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

Ada kesepakatan dalam literatur medis yang Stevens-Johnson syndrome (SJS)


dapat dianggap sebagai bentuk yang lebih ringan Toxic epidermal necrolysis
(TEN). Toxic epidermal necrolysis disebut juga sebagai sindrom Lyell. Beberapa
penulis menganggap bahwa ada suatu tumpang tindih antara dua sindrom
(biasanya antara 10% dan 30% dari pelepasan kulit).

Konjungtivitis di SJS

Penyakit tersebut kadang-kadang disebabkan oleh suatu reaksi terhadap obatobatan tetapi lebih sering merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap
infeksi (paling sering disebabkan oleh Herpes simpleks) dan relatif jinak.
Meskipun SJS dan TEN juga dapat disebabkan oleh infeksi, tapi survey
membuktikan efek samping obat merupakan faktor utama penyebab Sindrom ini.
Konsekuensi mereka berpotensi lebih berbahaya daripada erythema multiforme.
Erythema multiforme sendiri adalah Suatu kondisi kulit yang tidak diketahui
etiologi, mungkin dimediasi oleh pengendapan kompleks imun (kebanyakan IgM)
di microvasculature superfisial kulit dan selaput lendir mulut yang biasanya
mengikuti suatu infeksi atau obat yg di atas eksposur.

Erythema multiforme

"Eritema multiforme mayor" (Stevens-Johnson syndrome); yang menyerupai "erythema


multiforme"

Untungnya Secara Epidemiologi SJS merupakan kondisi langka, dengan


melaporkan insiden sekitar 2,6 per juta orang per tahun.

Patofisiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya :

Infeksi virus, jamur, bakteri, parasit

obat salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,


kontraseptif

Makanan coklat

fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X

lain-lain penyakit polagen, keganasan, kehamilan

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan
oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan
IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions,
tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.

Genetika
Beberapa orang Asia Timur mengkaji (Han Cina, Thailand), carbamazepine dan
fenitoin ternyata memicu SJS adalah sangat terkait dengan HLA-B * 1502 (HLAB75), sebuah HLA-B serotipe serotipe yang lebih luas HLA-B15. Sebuah
penelitian di Eropa menunjukkan bahwa gen penanda hanya relevan bagi orangorang Asia Timur. Berdasarkan temuan Asia, penelitian serupa dilakukan di
Eropa yang menunjukkan 61% dari allopurinol-induced SJS / TEN pasien
membawa HLA-B58 (B * 5.801 alel - fenotipe frekuensi di Eropa biasanya 3%).
Satu studi menyimpulkan "bahkan ketika alel HLA-B berperilaku sebagai faktor
risiko yang kuat, seperti allopurinol, mereka tidak cukup dan tidak perlu
menjelaskan penyakit."

Gejala

Klinik/Symptom

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi
dalam
derajat
berat
dan
kombinasi
gejala
tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di :

Kulit seperti terbakar berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara
simetris pada hampir seluruh tubuh.

Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta


berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal,
muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal,
daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta
hemoragis merupakan gambaran utama.

Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,


kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan

perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa


okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler
yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa
bulan sampai 31 tahun.

Prognosis
SJS yang tepat (dengan kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh yang
terlibat) memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Risiko kematian dapat
diperkirakan menggunakan skala SCORTEN, yang membutuhkan sejumlah
indikator prognostik memperhitungkan. Hasil-hasil lainnya termasuk kerusakan
organ / kegagalan, menggaruk kornea dan kebutaan. Skala SCORTEN sendiri
adalah
skalayang
mengukur
tingkat
keparahan
penyakit.
Ada 7 skala SCORTEN, dalam 7 Skala SCORTEN tersebut faktor risiko independen
untuk kematian tinggi secara nilai sistematis untuk menentukan tingkat
kematian untuk pasien tertentu.

Faktor risiko
Usia
Tingkat keganasan
Detak jantung (denyut/menit)
Serum BUN (mg/dL)

<40 tahun

> 40 tahun

tidak

ya

<120

> 120

<27

> 27

Detached or compromised body surface

<10%

> 10%

Serum bikarbonat (mEq / L)

> 20

<20

Serum glukosa (mg / dL)

<250

> 250

Semakin banyak faktor risiko yang ada, semakin tinggi nilai SCORTEN, dan
semakin tinggi angka kematian, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut:

Tidak ada faktor-faktor risiko

Mortality rate Mortalitas

0-1 0-1

3.2% 3,2%

22

12.1% 12,1%

33

35.3% 35,3%

44

58.3% 58,3%

5 or more 5 atau lebih

>90% > 90%

Diagnosa
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis
terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa,
demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan
darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah
dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat
dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat
meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya
kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.
Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.
DIAGNOSIS

BANDING

Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana

manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk
daripada SSJ.

Perawatan
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat
sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :

Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji


resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,


kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat
dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap
steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5
mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.
Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun
: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan
kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan


alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena,
diberikan 2 kali/hari.

SJS merupakan dermatologi darurat. Semua obat harus dihentikan, terutama


yang dikenal untuk menyebabkan reaksi SJS. Pasien dengan didokumentasikan
Mycoplasma infeksi bisa diobati dengan lisan macrolide atau lisan doxycycline.
Pada awalnya, pengobatan ini mirip dengan yang untuk pasien dengan luka
bakar panas, dan hanya dapat mendukung (misalnya cairan infus dan
nasogastric atau parenteral makan) dan gejala (misalnya analgesik mulut untuk
bilasan mulut maag). Dermatologists dan ahli bedah cenderung tidak setuju
tentang
apakah
kulit
harus
didebride.

Di balik pengobatan tersebut, tidak ada pengobatan untuk SJS yang diterima.
Pengobatan dengan kortikosteroid adalah kontroversial. Awal studi retrospektif
menunjukkan bahwa peningkatan rumah sakit kortikosteroid tetap dan tingkat
komplikasi. Tidak ada uji acak dari kortikosteroid untuk SJS, dan dapat dikelola
dengan
sukses
tanpa
mereka.
Agen-agen lain telah digunakan, termasuk cyclophosphamide dan siklosforin,
tetapi tidak menemukan titik terang keberhasilan terapi. Infus imunoglobulin
(IVIG) perawatan telah menunjukkan beberapa janji dalam mengurangi panjang
dan meningkatkan reaksi gejala. Langkah-langkah umum lainnya yang
mendukung termasuk penggunaan nyeri topikal anestesi dan antiseptik,
memelihara lingkungan yang hangat, dan intravena analgesik. Sebuah dokter
mata harus segera berkonsultasi, sebagai SJS sering menyebabkan pembentukan
jaringan parut di dalam kelopak mata yang menyebabkan gangguan kornea
vascularization dan visi, serta sejumlah masalah okular lain. Juga, program
terapi fisik harus dilakukan setelah pasien dipulangkan dari rumah sakit.

Вам также может понравиться