Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium
dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit
berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
B.
ETIOLOGI
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapaT dianggap
1.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
2.
3.
4.
paracetamol)
Kloepromazin
Karbamazepin
Kirin Antipirin
Tegretol
Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
Neoplasma dan faktor endokrin
Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
TANDA DAN GEJALA
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons
sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam
tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
Kelainan kulit
Kelainan mata
1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat
memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya
pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis
dan iridosiklitis.
C. PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit
T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi :
1.
2.
3.
4.
5.
D. PATHWAY
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik
dan makanan
Masuk ke dalam tubuh
Sel B dan plasma cel
Antigen berikatan dengan antibodi (Ig M dan Ig G)
Komplek imun
Deposit pembuluh darah
Mengaktifkan komplemen & degranulasi sel mast
Neutrofil tertarik kedaerah infeksi
Kerusakan jaringan
kapiler/ organ
inflamasi
Kerusakan
akumulasi neutrofil
submukosa : lidah reaksi radang
merangsang
peningkatan
nociseptor
permeabilitas
mengirim
diorbital
vaskuler
ggn menelan
kelainan kulit
intake in adekuat
& eritema
impuls
respon
inflamasi
Ggn nutrisi
inflmasi dermal
>Keb tubuh
diterima
& epidermal
Ggn integritas
Kulit
B. KOMPLIKASI
1. Bronkopneumonia (16%)
2. sepsis
3. kehilangan cairan/darah
4. gangguan keseimbangan elektrolit
5. syok
6. kebutaan gangguan lakrimasi
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium :
diinterpretasi
nyeri
(konjungtivitis)
merangsang cairan
mata
ggn fungsi mata
Nyeri
Ggn persepsi
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan
diagnosa.
Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal
atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan
kemungkinan infeksi bakterial berat.
Pemeriksaan elektrolit
Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat
dilakukan
B. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
C. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.
D. PENATALAKSANAAN
a.
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40
mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara
tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam
beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason
65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi
baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5
mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg
sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan.
Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan
pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi
hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi
hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi
protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg
untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
b.
Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan
kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.
d. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Data Subyktif
Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan /
sulit menelan.
b. Data Obyektif
Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering
didapatkan purpura.
Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di
faring
Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
c. Data Penunjang
Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di
epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM,
IgA.
E. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
c. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
d. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
e. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
F. Intervensi
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
Kriteria Hasil :
asional
Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang
terjadi.
: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan
intervensi yang tepat
b. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.
ional
: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap
udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
c. Jaga kebersihan alat tenun.
Rasional
Kriteria Hasil :
Melaporkan nyeri berkurang
Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya.
Rasional : nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan
b. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit.
Rasional :
a.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens
dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat
menentukan penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada
klien sindrom steven johnson.
-
Tujuan Khusus
Mampu membuat rencana keparawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.
A. Pengertian
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan
dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang
sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput
mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis
Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).
Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme (EM).Sekarang
sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun
yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari setengah
kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab adalah:
a) Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
Sthreptomicine
Sulfonamida
Tetrasiklin
Kloepromazin
Karbamazepin
Kirin Antipirin
Tegretol
b)
c)
d)
e)
Makanan
C. Manifestasi Klinis
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat
berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka
dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak
rata.Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya.Kulit
lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada
banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang terpengaruh
sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa
orang, kuku dan rambut rontok.
Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah
kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi
efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.
Gejala awal termasuk :
o ruam
o lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
o bengkak pada kelopak mata, atau mata merah
o konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola
mata)
o demam terus-menerus atau gejala seperti flu
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat.Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai
koma.Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
a)
Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga terjadi purpura.Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata.
b)
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul
oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah
sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam terbentuk
pseudomembran.Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang
tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esopfagus.Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
c)
Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis
kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis
dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,
misalnya: nefritis dan onikolisis.
Komplikasi :
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara
seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
lakrimasi.
D. Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh
kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan
keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan
sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang
dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat
dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen
hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian
serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801
frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar
suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk
mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing
dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut
(Corwin, 2000: 72).
Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20
Tes lainnya:
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit
gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
F. DIAGNOSA
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman
serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.Biopsi
kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa
kasus-kasus atipik.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis
hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk dari pada SSJ.
G. Penatalaksanaan
Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.
Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi.Obat
penyebab harus dihentikan.
Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS.
Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan
lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan
analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.
Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang
terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine
lotion.Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat
menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat
lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang
berhasil.
Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam
mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain
diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan
tetap hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris
harus dikonsultasikan secepatnya,
Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang
kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan
mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan
pulang dari rumah sakit.
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40
mg sehari.Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara
tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.Pasien steven-Johnson berat harus segera
dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan
harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan
Cl).Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi efek katabolik
dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan
nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat
badan).
Antibiotik
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.
Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
H. Pengobatan SSJ/TEN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai
penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.
Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit
rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien
SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan
spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan
dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik
diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.Obat nyeri,
misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.
Prognosis
Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka
kematian sekitar 5%.Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala
SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan.Outcome
lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian
Pathway
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan
makanan
Reaksi alergi tipe III
Akumulasi neutrofil
Reaksi radang
Nyeri
Kelainan selaput
Kesulitan menelan
Intake in adekuat
Kelemahan fisik
Gangguan intoleransi
aktivitas
Mata
1.
KH:
Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh
Intervensi:
a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang
terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan
dan melakukan intervensi yang tepat
b.
Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi
terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
c.
d.
2.
KH:
Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi:
a.
c.
d.
3.
KH:
a.
b.
Intervensi:
a.
Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan
jaringan
b.
Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum
c.
Pantau TTV
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat
d.
4.
KH:
klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
a.
hari.
b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang
dimiliki klien
Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal
c.
d.
5.
KH :
Intervensi:
a.
e.
Kesimpulan
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson merupakan hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan
sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan
keganasan.Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
b.
Saran
Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok
mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman teman sesama
mahasiswa. Selain itu penyakit osteosarkoma ini sangat berbahaya dan kita sebagai host
harus bisa menerapkan pola hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar.2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Price dan Wilson.1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar belakang
(udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit
T yang spesifik.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu
dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa
eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria
klinis.Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis
dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi
pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai
oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh
obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS
dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda
dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
Gambar 1.Perbedaan Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal
Necrolysis
Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan
penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis makalah Asuhan Keperawatan sindrom
steven johnson.
2. Tujuan
- Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada
klien sindrom steven johnson.
-
Tujuan Khusus
Mampu membuat rencana keparawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.
A. Pengertian
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan
dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang
sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput
mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis
Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).
Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme (EM).Sekarang
sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun
yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari setengah
kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab adalah:
a) Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
Sthreptomicine
Sulfonamida
Tetrasiklin
Kloepromazin
Karbamazepin
Kirin Antipirin
Tegretol
b)
c)
d)
e)
Makanan
C. Manifestasi Klinis
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat
berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka
dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak
rata.Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya.Kulit
lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada
banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang terpengaruh
sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa
orang, kuku dan rambut rontok.
Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah
kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi
efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.
Gejala awal termasuk :
o ruam
o lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga terjadi purpura.Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata.
b)
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul
oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah
sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam terbentuk
pseudomembran.Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang
tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esopfagus.Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
c)
Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis
kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis
dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,
misalnya: nefritis dan onikolisis.
Komplikasi :
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara
seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
lakrimasi.
D. Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh
kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan
keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan
sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang
dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat
dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen
hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian
serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801
frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar
suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk
mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing
dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut
(Corwin, 2000: 72).
Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20
Tes lainnya:
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit
gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
F. DIAGNOSA
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman
serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.Biopsi
kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa
kasus-kasus atipik.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis
hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk dari pada SSJ.
G. Penatalaksanaan
Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.
Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi.Obat
penyebab harus dihentikan.
Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS.
Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan
lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan
analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.
Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang
terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine
lotion.Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat
menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat
lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang
berhasil.
Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam
mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain
diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan
tetap hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris
harus dikonsultasikan secepatnya,
Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang
kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan
mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan
pulang dari rumah sakit.
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40
mg sehari.Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara
tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.Pasien steven-Johnson berat harus segera
dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan
harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan
Cl).Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi efek katabolik
dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan
nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat
badan).
Antibiotik
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.
Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
H. Pengobatan SSJ/TEN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai
penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.
Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit
rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien
SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan
spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan
dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik
diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.Obat nyeri,
misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN. Beberapa
dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi
manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan
sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan
sistem kekebalan yang sudah lemah.
a.
Prognosis
Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka
kematian sekitar 5%.Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala
SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan.Outcome
lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian
Pathway
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan
makanan
Reaksi alergi tipe III
Akumulasi neutrofil
Reaksi radang
Nyeri
Kelainan selaput
Kesulitan menelan
Intake in adekuat
Kelemahan fisik
Gangguan intoleransi
aktivitas
Mata
1.
KH:
Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh
Intervensi:
a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang
terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan
dan melakukan intervensi yang tepat
b.
Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi
terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
c.
2.
KH:
Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi:
a.
c.
d.
3.
KH:
a.
b.
Intervensi:
a.
Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan
jaringan
b.
Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum
c.
Pantau TTV
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat
d.
4.
KH:
klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
a.
hari.
b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang
dimiliki klien
Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal
c.
d.
5.
KH :
Intervensi:
a.
b.
e.
Kesimpulan
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson merupakan hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan
sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan
keganasan.Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.
b.
Saran
Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok
mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman teman sesama
mahasiswa. Selain itu penyakit osteosarkoma ini sangat berbahaya dan kita sebagai host
harus bisa menerapkan pola hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
SINDROM STEVEN-JOHNSON
SINDROM STEVEN-JOHNSON
Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang
tua. Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan.
Penyebab
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan
respons imun terhadap obat.
makanan (coklat),
Obat
Makanan
Coklat
Fisik
Lain-lain
Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi
berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang
terhadap obat-obatan penyebab.
PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang
disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan
antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type
hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh
limfosit T yang spesifik.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator
yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan
klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat
aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.
GEJALA KLINIK
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada
hampir seluruh tubuh.
DIAGNOSIS
Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan
pada mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ .
Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis
terdapat peninggian eosinofil.
Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit
menurun, dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.
DIAGNOSIS BANDING
Erythema Multiforme
Burns, Chemical
Burns, Ocular
Burns, Thermal
Dermatitis, Exfoliative
PENATALAKSANAAN
Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ. Pasien
yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan
cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai
secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit
dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik
dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut
diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin.
Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal. Kulit
dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan
larutan Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat
dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan
tetes mata dengan antiseptik.
Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab)
harus segera dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling
umum seperti riwayat penggunaan obat-obatan terakhir, serta
hubungannya dengan perkembangan penyakit terutama terhadap episode
SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ.
PROGNOSIS
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan
berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis
lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan
oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta
sepsis.
DAFTAR PUSTAKA
Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding
within epidermal keratinocytes in sulfonamide-induced cutaneous drug
reactions. J Invest Dermatol 2000; 114 : 116473.
Yawalkar N, Shrikhande M, Hari Y. Evidence for a role for IL-5 and eotaxin in
activating and recruiting eosinophils in drug-induced cutaneous eruptions.
J Allergy Clin Immunol 2000; 106 : 1171-76.
o
Mockenhaupt M, Messenheimer J, Tennis P, et al. Risk of StevensJohnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in new users of
antiepileptics. Neurology. Apr 12 2005;64(7):1134-8. [Medline].
Ball R, Ball LK, Wise RP, et al. Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis after vaccination: reports to the vaccine
adverse event reporting system. Pediatr Infect Dis
J. Feb 2001;20(2):219-23. [Medline].
Makalah ke 3
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa
didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di
mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga
terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik,
dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa
sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir,
mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat
penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik (Ilyas,
2004).
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lender di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul
oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%)
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan
yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam dan tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas, dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar/ tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus; yang tersering adalah konjungtivitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus
kornea, iritis, dan iridosiklitis.
Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi
efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala
awal termasuk (Mansjoer, 2002) :
Ruam
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh
tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah.
Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran
mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra.
Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam
1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN.
SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit
ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena
(Siregar, 2004).
3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan
yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila
diangkat timbul perdarahan (Wijana, 1993).
bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS
biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis
luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan
kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan bila
dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri, misalnya morfin,
juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN. Beberapa
dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi
manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan
sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada ODHA
dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. Pada umumnya penderita SJS datang dengan
keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat
(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 312 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,
4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam
proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis
setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan
pada bola mata.
Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya
perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).
Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
Pulmonari pneumonia
Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari, dengan
ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya perlukaan
di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa, yang
dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat
menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion,
trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat
berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah
dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana
komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea
dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat
dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek
epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada
kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita
menurun ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasi di atas akan menimbulkan
komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau
infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan
panoftalmitis yang pada akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata
(Viswanadh, 2002).
Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka
kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala
SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome
lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian.
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena
penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun
terhadap obat.
Patogenesis SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayedtype hypersensitivity reactions, tipe IV). Manifestasi SJS pada mata dapat berupa
konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron,
kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea
yang dapat menyebabkan kebutaan.
Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2 yaitu Toxic Epidermolysis
Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) dan konjungtivitis
membranosa atau pseudomembranosa.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi cairan dan
elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum
berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa
menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga
yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
DAFTAR PUSTAKA
Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of
Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: www.jipmer.edu
Anonym. 2010. Doctorology Indonesia Steven Johnson Syndrome. http. www. Steven
Johnson syndrome. Diakses tanggal 21 agurtus 2010.
Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142
Hamzah M. Sindrom Steven Johnson ; ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keempat.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:147-149
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta
Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media
Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC.
Jakarta. 2004. hal 141-142.
Bahan
Sindrom stevens-Johnson
Diposkan oleh Darman Rasyid Baido di 19:12 Senin, 03 Januari 2011 Label:
Artikel ilmu penyakit kulit dan kelamin
Oleh
: dr Mochtar
Hamzah SpKK
Sinonim
Etiologi
Patogenesis
Gejala klinis
a.
Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping
itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat
kelainannya generalisata.
b.
c.
Kelainan
mata
Kelainan mata, merupakan 80 % diantara semua kasus, yang
tersering ialah konjugtivitis kataralis. Selain itu juga dapat
berupa konjugtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea,
iritis dan iridosiklitis.Disamping trias kelianan terebut dapat pula
terdapat kelainan lain, misalnya nefritis dan onikolisis.
Komplikasi
Komplikasi yang paling tersering ialah bronkopneumonia, yang
didapati sejumlah 16% diantara seluruh kasus yang datang berobat.
Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan/darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan
karena gangguan lakrimasi.
Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat
leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi. Kalau terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya
karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.
Histopatologi
2.
3.
subepidermal.
4.
5.
Imunologi
Diagnosis banding
Pengobatan
Hal
yang
perlu
diperhatikan
ialah
mengatur
keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena penderita sukar
atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan
kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
berupa glukosa 5 % dan larutan darrow.
Jika dengan terapi di atas belum tampak perbaikan dalam 2-3 hari,
maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut, terlebih-lebih pada kasus yang disertai purpura yang
luas dan leukopenia. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
ditambahkan vit C 500 mg atau 1000 mg sehari I.V dan hemostatik.
Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Untuk lesi di
mulut dapat diberikan kenalogin orabase. Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat dierikan sofratulle ataukrim sulfadiazin perak.
Prognosis
Kepustakaan
BAHAN
BATASAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan
gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias
kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata
disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor,
eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular,
dermatostomatitis, dll.
PATOFISIOLOGI
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan
merupakan
faktor
pencetus
yang
menyebabkan
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan
kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai
dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
DIAGNOSA
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis
terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa,
demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan
darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah
dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat
dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat
meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya
kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.
Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana
manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk
daripada SSJ.
PENGOBATAN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang
dicurigai sebagai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah
pemburukan.
Orang dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat
dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk
menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan
membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit
dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi
harus diberikan melalui infus untuk mendorong pemulihan. Antibiotik diberikan
bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat antinyeri,
misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN.
Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid takaran tinggi dalam
beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggapan bahwa obat ini
sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekan sistem kekebalan tubuh, sehingga
meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan
yang sudah lemah.
Garis Dasar
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah reaksi terhadap obat yang mempengaruhi
kulit dan selaput mukosa. Nekrolisis epidermis toksik (TEN) adalah versi SJS yang
lebih gawat. Kedua reaksi ini dapat sangat gawat, dan harus segera diobati
dengan sangat hati-hati untuk menghindari kematian.
Penyebab utama SJS untuk Odha adalah nevirapine, yang menimbulkan reaksi ini
pada kurang lebih 1,5% penggunanya. Kotrimoksazol juga dapat menyebabkan
SJS, walaupun jarang.
Bila kita mengalami gejala SJS (ruam, terutama yang mempengaruhi selaput
mukosa, dan demam), dalam beberapa minggu setelah kita mulai pakai obat
tersebut, penting kita segera periksa ke dokter.
PENATALAKSANAAN
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah :
Bahan
Sindrom Steven Jhonson Penyakit Mengerikan
Unearthly |Posted by unearthly at: 23:29| Labels: penyakit mengerikan |
Konjungtivitis di SJS
Penyakit tersebut kadang-kadang disebabkan oleh suatu reaksi terhadap obatobatan tetapi lebih sering merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap
infeksi (paling sering disebabkan oleh Herpes simpleks) dan relatif jinak.
Meskipun SJS dan TEN juga dapat disebabkan oleh infeksi, tapi survey
membuktikan efek samping obat merupakan faktor utama penyebab Sindrom ini.
Konsekuensi mereka berpotensi lebih berbahaya daripada erythema multiforme.
Erythema multiforme sendiri adalah Suatu kondisi kulit yang tidak diketahui
etiologi, mungkin dimediasi oleh pengendapan kompleks imun (kebanyakan IgM)
di microvasculature superfisial kulit dan selaput lendir mulut yang biasanya
mengikuti suatu infeksi atau obat yg di atas eksposur.
Erythema multiforme
Patofisiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya :
Makanan coklat
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan
oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan
IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions,
tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Genetika
Beberapa orang Asia Timur mengkaji (Han Cina, Thailand), carbamazepine dan
fenitoin ternyata memicu SJS adalah sangat terkait dengan HLA-B * 1502 (HLAB75), sebuah HLA-B serotipe serotipe yang lebih luas HLA-B15. Sebuah
penelitian di Eropa menunjukkan bahwa gen penanda hanya relevan bagi orangorang Asia Timur. Berdasarkan temuan Asia, penelitian serupa dilakukan di
Eropa yang menunjukkan 61% dari allopurinol-induced SJS / TEN pasien
membawa HLA-B58 (B * 5.801 alel - fenotipe frekuensi di Eropa biasanya 3%).
Satu studi menyimpulkan "bahkan ketika alel HLA-B berperilaku sebagai faktor
risiko yang kuat, seperti allopurinol, mereka tidak cukup dan tidak perlu
menjelaskan penyakit."
Gejala
Klinik/Symptom
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi
dalam
derajat
berat
dan
kombinasi
gejala
tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di :
Kulit seperti terbakar berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara
simetris pada hampir seluruh tubuh.
Prognosis
SJS yang tepat (dengan kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh yang
terlibat) memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Risiko kematian dapat
diperkirakan menggunakan skala SCORTEN, yang membutuhkan sejumlah
indikator prognostik memperhitungkan. Hasil-hasil lainnya termasuk kerusakan
organ / kegagalan, menggaruk kornea dan kebutaan. Skala SCORTEN sendiri
adalah
skalayang
mengukur
tingkat
keparahan
penyakit.
Ada 7 skala SCORTEN, dalam 7 Skala SCORTEN tersebut faktor risiko independen
untuk kematian tinggi secara nilai sistematis untuk menentukan tingkat
kematian untuk pasien tertentu.
Faktor risiko
Usia
Tingkat keganasan
Detak jantung (denyut/menit)
Serum BUN (mg/dL)
<40 tahun
> 40 tahun
tidak
ya
<120
> 120
<27
> 27
<10%
> 10%
> 20
<20
<250
> 250
Semakin banyak faktor risiko yang ada, semakin tinggi nilai SCORTEN, dan
semakin tinggi angka kematian, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut:
0-1 0-1
3.2% 3,2%
22
12.1% 12,1%
33
35.3% 35,3%
44
58.3% 58,3%
Diagnosa
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis
terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa,
demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan
darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah
dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat
dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat
meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya
kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.
Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.
DIAGNOSIS
BANDING
manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk
daripada SSJ.
Perawatan
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat
sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5
mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.
Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun
: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan
kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
Di balik pengobatan tersebut, tidak ada pengobatan untuk SJS yang diterima.
Pengobatan dengan kortikosteroid adalah kontroversial. Awal studi retrospektif
menunjukkan bahwa peningkatan rumah sakit kortikosteroid tetap dan tingkat
komplikasi. Tidak ada uji acak dari kortikosteroid untuk SJS, dan dapat dikelola
dengan
sukses
tanpa
mereka.
Agen-agen lain telah digunakan, termasuk cyclophosphamide dan siklosforin,
tetapi tidak menemukan titik terang keberhasilan terapi. Infus imunoglobulin
(IVIG) perawatan telah menunjukkan beberapa janji dalam mengurangi panjang
dan meningkatkan reaksi gejala. Langkah-langkah umum lainnya yang
mendukung termasuk penggunaan nyeri topikal anestesi dan antiseptik,
memelihara lingkungan yang hangat, dan intravena analgesik. Sebuah dokter
mata harus segera berkonsultasi, sebagai SJS sering menyebabkan pembentukan
jaringan parut di dalam kelopak mata yang menyebabkan gangguan kornea
vascularization dan visi, serta sejumlah masalah okular lain. Juga, program
terapi fisik harus dilakukan setelah pasien dipulangkan dari rumah sakit.