Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
OLEH:
Arie Ikhwan Saputra
PROGRAM MEGISTER
JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA
2014
Pendahuluan
Indonesia termasuk Negara yang mempunyai cadangan batu bara cukup
besar yaitu 36,5 milyard ton atau sebanyak 3,1 % dari seluruh cadangan di dunia.
Perincian cadangan tersebut adalah 67,9 % terdapat di Sumatra, 31 % terdapat di
Kalimantan dan sisanya tersebar di tempat yang lain. Dari jumlah tersebut yang
memenuhi kualitas baku mutu emisi kurang dari 10%, sedangkan sisanya 90%
tidak memenuhi baku mutu emisi (BME). Apabila batu bara tidak memenuhi
kualitas baik, dimanfaatkan sebagai bahan bakar, maka akan menghasilkan emisi
SO2 melebihi BME yang diijinkan. Berdasarkan Kep Men LH No. 13 tahun 1995,
bahwa BME 2000 yang diijinkan untuk emisi SO 2 adalah 750 mg/m3. Emisi SO2
hasil pembakaran fosil seperti minyak/batu bara dengan kadar belerang tinggi
akan membahayakan kehidupan manusia, karena emisi gas buang tersebut
melebihi BME dan dapat menimbulkan hujan asam.
Sebagai sumber energi, selain digunakan sebagai bahan bakar untuk
industri, batubara digunakan sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU). PLTU batubara memiliki dua reputasi yang bertolak
belakang, di satu sisi dapat memproduksi listrik secara murah dibanding dengan
pembangkit listrik lainnya, namun di sisi lain PLTU batubara merupakan sumber
pencemar lingkungan. Meskipun PLTU batubara saat ini telah menggunakan alat
pembersih endapan untuk membersihkan partikel-partikel kecil dari asap
pembakaran, namun senyawa-senyawa SO2 masih dapat dengan bebas naik
melewati cerobong dan terlepas ke udara bebas. Kedua gas tersebut akan bereaksi
dengan uap air di udara dan membentuk asam sulfat (H2SO4). Gas SO 2 jatuh
bersama air hujan sehingga mengakibatkan hujan asam.
Penggunaan batubara sebagai bahan bakar utama pada boiler tidak akan
pernah lepas dari permasalahan emisi SO2. Sekalipun yang digunakan adalah
batubara dengan kualitas terbaik (kandungan sulfur rendah), emisi sulfur dioksida
pasti akan terbentuk. Kita ambil contoh jika batubara yang digunakan pada sebuah
boiler PLTU 640MW memiliki kandungan sulfur 5%, dan PLTU ini akan
membutuhkan batubara sebanyak 260 ton per jamnya pada beban penuh. Maka
dapat kita hitung dengan mudah, emisi sulfur dioksida yang terbuang tiap jam
dapat mencapai 13 ton. Tentu jumlah ini sungguh luar biasa besarnya, dan akan
sangat berbahaya jika SO2 dengan jumlah tersebut dibuang begitu saja ke udara
tanpa ada sebuah perlakuan khusus agar lebih ramah lingkungan.
Secara umum pengolahan emisi SO2 dari bahan bakar batu bara dapat
dilakukan dengan tiga cara yaitu; pengendalian sebelum pembakaran (pre
combustion), pada saat pembakaran (combustion), dan setelah pembakaran (post
combustion). Pengolahan sebelum pembakaran dapat dilakukan dengan cara
mengganti batu bara berkadar belerang tinggi dengan batu bara berkadar belerang
rendah, pencucian batu bara dengan cara fisika maupun kimia dan mencampurkan
dengan kadar belerang yang ber-beda. Pengendalian pada saat pembakaran dilakukan dengan menginjeksikan batu kapur ke dalam boiller. Pengendalian emisi
setelah pembakaran dapat dilakukan dengan Limestone Wet Scrubbing System.
Limestone Wet Scrubbing System Saat ini banyak digunakan pada pabrik
kertas, industri bahan kimia, ataupun pembangkit listrik tenaga uap untuk
menghilangkan Sulfur dioksida (SO2) dan polutan lainnya pada aliran gas buang.
Polutan yang tidak dikehendaki dihilangkan dengan melewatkan gas tersebut
dengan bahan liquid/cairan yang mengandung sorben. Sorben yang paling umum
adalah Ca(OH)2 dan kapur CaCO3.
II.
Dilematis PLTU
Menurut Sugiyono (2003), dari keseluruhan pembangkit listrik yang ada di
Indonesia, batu bara memiliki peranan yang cukup tinggi yakni sebesar 34,5%
disusul gas bumi sebesar 30,4%. Berikutnya adalah tenaga diesel sebesar 21%,
tenaga air 10,9% dan panas bumi sebesar 3,2%. Hal menarik yang terakhir
dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi krisis listrik di Indonesia adalah
pembangunan PLTU batubara 10.000 MW. Disatu sisi krisis listrik akan
tertanggulangi,
namun
disisi
lain
pembangunan
PLTU
batubara
akan
menimbulkan dampak yang luar biasa bagi lingkungan. Isu lingkungan ini
bukanlah hal yang baru, pada konferensi PBB tahun 1972 di Swedia tentang
lingkungan dibahas mengenai bagaimana mencari keseimbangan kebutuhan
ekonomi, sosial dan lingkungan. Bagi banyak negara berkembang isu ini
merupakan hal yang sangat krusial.
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara saat ini menjadi sangat
penopang krisis listrik. Tetapi juga batubara sebagai bahan bakar akan
menimbulakan efek berupa emisi pencemar. Emisi-emisi yang dihasilkan dapat
berupa SO2, NO2, CO, CO2, VHC (Volatine Hydrocarbon) dan SPM (Suspended
Particulate Matter). Polusi ini akan menyebar dari sumbernya melalui proses
dispersi dan deposisi, yang dapat menurunkan kualitas udara, tanah dan air.
Polutan-polutan yang dihasilkan energi fosil yang berakibat buruk bagi
kesehatan manusia dan lingkungan. Berikut adalah dampak yang dihasilkan oleh
polutan tersebut :
SOX adalah sumber gangguan paru-paru dan berbagai penyakit
pernapasan.
NOX , yang bersama SOX menyebabkan fenomena hujan asam.
Fenomena hujan asam ini berakibat buruk bagi industri peternakan dan
pertanian.
COX membentuk lapisan yang menyelebungi permukaan bumi dan
menimbulkan efek rumah kaca (green house effect). Efek rumah kaca
menyebabkan pergeseran keadaan cuaca.
Partikel debu yang mengandung unsur radioaktif yang berbahaya jika
terhisap masuk ke paru-paru. Terdapat pula logam berat seperti Pb, Hg, Ar,
Ni, Se yang kadarnya jauh dari ambang batas khususnya yang berada
disekitar pembangkit listrik tenaga uap.
III.
A.
Absorbsi
Proses Absorbsi
Proses absorpsi adalah sutuu proses dimana campuran gas dikontakkan
dengan larutan kimia tertentu dalam suatu alat. Tujuan dari proses absorbsi ini
adalah untuk memindahkan komponen tertentu dari fase gas ke fase cair.
Penerapan proses absorpsi ini banyak sekali dijumpai di industri misalnya untuk
menghilangkan suatu gas dari campuran gas lainnya.
B.
Telah diketahui bahwa SO2 dapat bereaksi dengan air membentuk asam
sulfit, dan mekanisme reaksi yang terjadi pada saat gas SO 2 di absorpsi oleh air
adalah sebagai berikut:
Tahap Pertama :
Diffusi gas SO2 dari fasa gas ke fasa larutan
SO2 SO:
Tahap Kedua :
Reaksi antara SO2 dengan air membentuk asam sulfit
SO2 + H2O H2SO3
Tahap Ketiga :
Reaksi ionisasi Asam Sulfit menjadi ion H+ dan HSO3H2SO3 H+ + HSO3
Tahap Keempat:
Reaksi ionisasi bisulfit menjadi ion H+ dan SO3
H2SO3 2H+ + SO3
C.
Peralatan absorbsi
Untuk mendapatkan laju absorpsi yang makin besar perlu ditunjang
dengan alat yang dapat mernberikan kontak yang baik antara gas dengan larutan.
Untuk tujuan ini dapat digunakan beberapa alat absorpsi gas, misalnya Packed
Colum, Plate Colum dan Spry Colum. Akan tetapi untuk gas yang mempunyai
kelarutan yang rendah seperti gas SO 2 akan lebih baik menggunakan absorbsi
packed colum, karena kontak yang diberikan oleh alat ini lebih
baik jika
Ada tiga tahap yang berhubungan dengan penyerapan gas seperti yang
terlihat pada Figure 2.1. Gambar ini menunjukkan kontaminan gas dari sulfur
dioksida berdifusi ke permukaan gas dan cairan dari sebagian besar fase gas.
Molekul gas berpindah dengan cepat ke fase cair di seluruh permukaan pada tahap
kedua. Molekul ini kemudian menyebar ke bagian besar cairan dalam tahap akhir
(Joseph et al. 1998).
Prinsip penyerapan ini diatur oleh garis keseimbangan seperti ditunjukkan
pada Figure 2.2. Garis kesetimbangan diplot berdasarkan data kelarutan polutan
yang diperoleh pada kondisi ekuilibrium.
Ada garis kesetimbangan tiga ditunjukkan pada Figure 2.2. Setiap baris
memiliki temperatur yang meningkat dari sudut kanan bawah ke pojok kiri atas.
Penyerapan akan terjadi jika suatu koordinat (x, P) terletak di atas garis
kesetimbangan pada suhu tertentu. Ini berarti akan ada perpindahan massa dari
gas ke cair. Perpindahan massa akan berhenti jika koordinat tersebut terletak pada
garis keseimbangan.
Equilibrium kelarutan sistem gas cair dapat dinyatakan oleh Hukum
Henry. Ekspresi hukum Henry diberikan dalam persamaan (2.2).
Ada dua tipe Flue Gas Desulphurization yang umum digunakan, yaitu tipe
basah (Wet Flue Gas Desulphurization) dan tipe kering (Dry Flue Gas
Desulphurization). Untuk yang tipe basah, FGD menggunakan bahan baku air
sebagai media penyerap emisi sulfur. Flue gas yang keluar dari tungku, dialirkan
ke sistem Flue Gas Desulphurisation (FGD) dan disemprot dengan menggunakan
air sehingga terjadi reaksi kimia berikut:
SO2 + H2O H+ + HSO3Proses selanjutnya adalah proses oksidasi. Dengan menggunakan oksidation air
blower, udara dari atmosfer dimasukkan ke dalam tangki larutan campuran antara
air laut dengan hasil dari reaksi kimia sebelumnya. Pada fase ini terjadi reaksi
kimia berikut:
HSO3- + O2 HSO4dan pada akhir proses, terjadi reaksi kimia secara alami di naturalisation basin,
yaitu:
HSO4- + HCO3- SO42+ + H2O + CO2
IV.
Diketahui:
Aliran dari gas buang 5.000 ft3/menit pada T = 49oC dan Tekanan = 1 atm
Konsentrasi SO2 masuk adalah 0,30%
Asumsikan nilai multiplier empiris c = 6
Aliran Liquid adalah L = 1,5 L/min
Packing dengan 1 Berl Saddles
HTU = 14 ft
Efesiensi yang diharapkan adalah 95 %
Hitung Tinggi dan diameter Tower.
Mulailah dengan mencari Yin dan Yout:
0,30% mol SO2 per mol udara Yin = 3 x 10-3 mol SO2/mol udara
Setiap 1 mol udara beratnya 28,8 g = 28,8 x 10-3 kg
Yin = 3 x 10-3 /28.8 x 10-3 = 0,104 mol SO2 /kg udara
Pengurangan 95% =Yout= 5% dari Yin Yout= 5.21 x 10-3 mol SO2/kg udara
Selanjutnya menempatkan laju alir gas di unit yang diperlukan (volume per waktu
massa per waktu)
Pada 49oC = 322,15 K dan 1 atm, volume satu mol udara RT/p = 0,0264 m3,
sesuai dengan kepadatan 0.0288 kg / 0.0264 m3 = 1.09 kg/m3
Laju aliran gas 5.000 ft3/min = 141,58 m3/min x 1.09 kg/m3 V = 154,322
kg/min
Sekarang, kita dapat menentukan jumlah minimum liquid yang dibutuhkan:
Pada suhu dan tekanan yang umum dalam operasi scrubber, kesetimbangan SO2
dicapai ketika fraksi gas sekitar 36 kali fraksi cair. Berdasarkan hukum Henrys
Law
Y=mX
Oleh karena itu, nilai m adalah 36.
Lmin =
Y out
m
1
V =
1+ c
Y
36
( 0.95 ) 154,322 kg/min)= 753,97
1+6
kg/min
Dari ini mengikuti debit cairan yang sebenarnya yang akan digunakan
L=2 Lmin = 1,5 Lmin x 753,97 kg/min = 1130,95 kg/min
1
N=
=2,71
1
0.1
G y F p x
=0.060
g ( x y ) y
Barl Saddles 1 memiliki nilai Fp=65
0.80 0.1
G2y ( 65 )
)(
4A
A= d 2
d=
=1,93meter