Вы находитесь на странице: 1из 5

BAB III

PEMBAHASAN
III.1 Kasus
Rilda Amanda, salah satu pasien Rumah Sakit Siloam Karawaci, yang
meninggal setelah mendapat suntikan buvanest spinal 0,5 persen heavy ternyata
sempat menerima dua kali suntikan obat tersebut saat menjalani operasi
caesarnya. "Informasi yang saya dapat, Rilda dua kali mendapat suntikan obat itu.
Pertama, saat akan operasi; dan kedua, saat operasi berjalan," kata R, salah
seorang keluarga Rilda, Rabu (18/2/2015). Ia menambahkan, suntikan pertama
dilakukan saat memulai operasi dan Rilda masih dalam kondisi sadar. Setelah
disuntik, Rilda sempat mengeluh gatal kepada dokter. Melihat reaksi pasien yang
masih sadar dan ada keluhan saat operasi

sedang berjalan, dokter kembali

menyuntikkan obat yang sama. Setelah proses caesar selesai, Rilda akhirnya
masuk ICU setelah kejang-kejang dan meninggal pada 12 Februari 2015 atau
sekira 24 jam sejak penyuntikan dilakukan.
Sebelumnya diberitakan, Humas RS Siloam Karawaci, Heppi Nurfianto,
membenarkan adanya dua pasien rumah sakit tersebut yang meninggal pekan lalu.
Satu berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dijelaskan bahwa untuk pasien
laki-laki merupakan pasien urologi. Sementara pasien perempuan merupakan
pasien melahirkan dengan tindakan caesar.
Tindakan dilakukan sesuai prosedur, namun setelah disuntik buvanest
spinal 0,5 persen heavy oleh dokter terjadi hal di luar perkiraan, pasien mengalami
gatal-gatal, kejang, hingga akhirnya kami masukkan ke ICU, dan meninggal 24
jam pasca-penyuntikan.
III.2 Pembahasan Kasus
1. Penyebab
Kasus diatas merupakan salah satu dari kasus medication error yang
melibatkan banyak pihak diataranya dokter, farmasis, Pihak Rumah Sakit dan
PBF (PT. Kalbe Farma). Penyebab utama dari kasus ini adalah kurangnya

ketelitian dari PT. Kalbe Farma dalam memproduksi sediaan dengan label
Buvanest Spinal, yang kemudian diketahui mengandung asam tranexamat
Kesalahan diatas termasuk dalam Kesalahan obat karena komposisi sediaan
dimana Pemberian suatu sediaan kepada pasien dengan komposisi yang dari
yang diorder oleh dokter. Selain PBF, pihak Rumah Sakitjuga ikut terlibat
sebagai penyebabnya. Melalui investigasi berupa wawancara yang melibatkan
dokter dan tenaga medis, serta pemeriksaan dokumen, ditemukan bahwa tidak
ada penyimpangan Standard Operation Procedure yang dilakukan pihak RS
Siloam.. Apoteker juga perlu melakukan double check terhadap permintaan
resep atau terhadap identitas pasien sebelum memberikan/menyerahkan obat.
2. Akibat
Karena terjadi medication error tersebut, pasien mengalami gatal-gatal,
kejang, hingga akhirnya kami masukkan ke ICU, dan meninggal 24 jam
pasca-penyuntikan.
3. Pencegahan
Kejadian medication error dapat dihindari baik oleh industri farmasi, regulator
(Badan POM), tenaga kesehatan atau pasien/masyarakat itu sendiri.
a. Kewajiban Industri Farmasi
Pada tataran industri farmasi, selama proses pengembangan produk,
pemegang izin edar/Marketing Authorization Holder (MAH) harus
mempertimbangkan berbagai hal yang dapat menimbulkan medication
error. Pertimbangan tersebut mencakup perubahan yang signifikan yang
dapat meningkatkan risiko medication error, misalnya perubahan kekuatan
sediaan, bentuk sediaan, komposisi, metode pembuatan, rute administrasi,
perbedaan populasi pasien atau perbedaan indikasi, dan desain kemasan.
Dalam hal desain kemasan, pencegahan dapat dilakukan dengan
memperhatikan

penamaan,

pengemasan

dan

pelabelan

dengan

menghindari look alike dan sound alike (LASA) atau mirip secara tulisan
maupun pengucapan.
b. Tugas Regulator
Sebagai pusat farmakovigilans di Indonesia, Badan POM mendapatkan
laporan MESO, baik dari industri farmasi maupun dari tenaga kesehatan
yang diberikan secara sukarela. Kualitas laporan yang diberikan sangat
penting, agar dapat dilakukan evaluasi dan analisis kausalitas yang tepat
antara produk dan efek samping. Seluruh kejadian yang dicurigai sebagai

efek samping harus dilaporkan sesegera mungkin, termasuk efek samping


obat akibat medication error. Dengan adanya laporan tersebut, pusat
farmakovigilans akan mampu mendeteksi, mengidentifikasi, menganalisis
dan mengklasifikasikan medication error, serta menemukan akar penyebab
terjadinya medication error.
c. Tanggung Jawab Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien
menerima resep dan pengobatan yang tepat tanpa kesalahan. Pemberi
resep memiliki peran penting dalam menentukan pengobatan yang tepat
bagi pasien, berdasarkan indikasi yang dijelaskan

dalam informasi.

Apoteker berperan penting dalam memverifikasi ketepatan pengobatan


untuk pasien dan mengidentifikasi potensi terjadinya medication error
sebelum obat tersebut diberikan kepada pasien. Penulisan label aturan
pakai (etiket) dengan jelas dapat menghindari medication error. Saat
penyerahan obat, apoteker perlu melakukan konseling terhadap pasien
pada saat penyerahan/pemberian obat, serta melakukan double check
terhadap permintaan resep atau terhadap identitas pasien sebelum
memberikan/menyerahkan obat.
d. Tindakan Pasien/Masyarakat
Pencegahan medication error dapat dilakukan oleh pasien atau
pendamping pasien. Pasien perlu bertanya kepada tenaga kesehatan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengobatan yang sedang
dijalaninya, misalnya kegunaan obat, cara aturan pakai. Hal lain yang
dapat dilakukan adalah dengan selalu membaca etiket atau informasi obat
dalam kemasan sebelum menggunakan obat, senantiasa menyimpan obat
beserta etiket atau informasi obat tersebut, tidak memisahkan obat dari
kemasan aslinya, serta menyimpan secara terpisah obat-obat yang
digunakan sebagai obat luar.
4. Penanggulangan
a. Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menyatakan pihak Rumah Sakit
(RS) Siloam juga mendapat sanksi atas kasus tersebut. Nila memastikan,
jajaran direksi RS Siloam telah mendapat teguran dari Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM).

b. Pada tangga 15 dan 16 Februari 2015, Badan POM telah melakukan


pemeriksaan terkait pemenuhan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
dan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) terhadap produsen injeksi
Buvanest Spinal 0,5% Heavy, yaitu Industri Farmasi PT Kalbe Farma,
Tbk. dan jalur distribusinya, yaitu Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT.
Enseval

Putra

Megatrading,

Tbk.

serta

melakukan

monitoring

farmakovigilans ke Siloam Hospital Lippo Village Karawaci.


c. Pimpinan/Apoteker Penanggung Jawab Industri Farmasi PT Kalbe Farma,
Tbk. untuk melakukan penghentian distribusi dan melakukan penarikan
kembali injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy seluruh batch serta
melaporkan hasilnya kepada Badan POM
d. Pada Tanggal 2 Maret 2015 Badan POM telah memberikan sanksi
administratif dengan menerbitkan Surat Keputusan Kepala Badan POM
tentang pembatalan izin edar Injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy
produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. dan diinstruksikan untuk
memusnahkan semua persediaan obat.

Вам также может понравиться