Вы находитесь на странице: 1из 2

Inilah cuplikan kisah masa laluku.

Barangkali aku dan adikku, Firza, akan menjadi orang kali


pertama yang pernah diusir ayah sendiri di kota ini. Dulu, kami hidup dalam kehangatan keluarga. Tapi
ketentraman itu musnah semenjak ibu meninggal karena terkena serangan jantung. Kejadian itu masih
terekam jelas dan mungkin takkan pernah bisa terlupakan. Menangis, hal itulah yang selalu kami lakukan
saat teringat kejadian itu, terutama saat melihat foto ibu selagi ia masih hidup mendekapnya hingga
terlelap dalam tidur.
Terhitung tiga bulan setelah Ibu meninggal, Ayah menikah lagi karena kasihan pada kami. Ibu tiri
kami sangat baik ketika ada Ayah. Tapi, ketika Ayah tak ada di rumah, Ibu tiriku berubah seketika. Yang
biasanya ia sangat baik pada kami, ketika tak ada Ayah ia menyiksa kami dengan memaksa bekerja
seolah pembantu yang tak berdaya. Dan naasnya, ketika Ayah kembali pulang, ia malah menuduh kami
selalu memaksanya bekerja seperti yang ia lakukan. Ayah pun murka lalu mengusir kami dengan paksa.
Kini aku tinggal di rumah gubuk yang berada di kolong jembatan bersama Firza. Setiap hari sinar
sang surya menerobos masuk ke celah-celah dinding bambu rumah, hingga Firza harus mengorbankan
poster Nikita Willy kesayangan untuk menutupinya.
Sang surya sudah tinggi menjulang. Seperti biasa, kami pergi mencari uang dengan membawa gitar
tua. Meski sesekali melukai jari-jariku, aku berhutang budi padanya. Karenanya kami bisa menyambung
hidup..
Di tengah perjalanan, di Mall, Restoran, juga di Alun-alun kota, banyak anak-anak yang dimanja
ibunya dengan membelikan apa yang mereka mau. Kami hanya menatap kosong dari kejauhan. Bila saja
Ibu masih hidup, kami pasti juga dimanjakan seperti mereka. Tapi semua itu sudah tak mungkin, mengingat
ibu telah tidak bersama kami lagi.
Di dekat rambu lalu lintas, tepat di samping mobil mewah yang aku tak tahu apa namanya, kupetik
gitar tuaku. Firza pun bernyanyi mengiringi alunannya. Tak lama berselang setelah satu lagu Firza
nyanyikan, pengemudi mobil itu memberikan uang lewat jendela mobil yang tak sepenuhnya terbuka.
Sinar sang surya masih saja tak bosan-bosannya membakar kulit. kami masih saja terus mengamen
dari satu tempat ke tempat yang lain. Ketika aku tengah asyik memetik gitar tuaku, Firza yang bernyanyi
tiba-tiba berhenti. Aku tercengang, segera kulemparkan pandanganku ke arahnya. Ia sangat lunglai dan
seketika itu hidungnya berleleran darah. Kupapah tubuhnya lalu membawanya pulang. karena aku takut
sesuatu yang tak diinginkan menimpanya. Kubaringkan tubuh mungil itu perlahan, lalu berbisik di gendang
telinganya sebentar lagi kakak akan membawa nasi untukmu. Kemudian aku pergi membeli nasi agar ia
lekas sembuh dan bisa menemaniku lagi mencari uang.
Nasi itu sudah ada di tanganku. Tapi, penjual nasi itu merampasnya kembali lantaran uang yang
kubayar tak cukup. Aku khawatir Firza kelaparan dan sakitnya bertambah parah. Aku pulang dengan
tangan hampa, otakku dipenuhi rasa takut. Kuhampiri tubuh mungil itu lalu kuberkata, Za, maafin kakak,
ya. Kakak tak bisa membawakan nasi untukmu. Uang hasil kita mengamen tak cukup untuk membeli nasi.
Gak papa, Kak. Firza tahu keadaan kita. Tapi, maafin Firza juga ya, kak, bila Firza pergi meninggalkan
kakak dan menyusul ibu lebih dulu. Firza tak kuat lagi, tubuh Firza terasa sangat panas.
Mendengarnya aku terbelalak. Kuraba keningnya. Sangat panas. Semakin lama tubuhnya bertambah
panas. Aku bingung tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tak punya uang untuk membawanya ke
rumah sakit. Rasa gelisah, takut kehilangan, semua bercampur aduk dalam benakku. Kugendong tubuh
mungil itu ke luar rumah untuk mencari bantuan. Aku bingung menentukan arah ke mana aku harus

mencari bantuan. Kucari ke arah utara, tapi tak kutemukan. Aku beringsut ke arah barat. Lagi-lagi tak
kutemukan. Ke sana ke mari aku sudah mencari, tapi tak satu pun kutemukan bantuan.
Kucoba membawanya ke rumah Ayah. Mungkin Ayah mau membantu. Dengan tergopoh-gopoh, aku
pergi ke sana. Kulihat Ayah sedang duduk santai di beranda rumah. Bergegas kuhampiri lalu memberi tahu
tentang Firza yang sedang sakit keras. Mendengarnya, ayah terbelalak. Segera Ayah membopongnya
untuk dibawa ke rumah sakit. Tapi, Ibu tiriku tiba-tiba datang dan mencegah Ayah. Ayah pun tunduk akan
perintahnya. Entah mengapa, aku tak mengerti.
Bergegas kugendong tubuh mungil itu pergi mencari bantuan lain. Aku punya ide untuk
membawanya ke rumah sakit. Soal biaya kupikirkan nanti setelah ia sembuh. Tapi sebelum aku sampai di
rumah sakit, tangan Firza yang melekat di leherku tiba-tibat terlepas. Ia pun terjatuh. Aku berhenti. Segera
kupangku tubuh mungil itu. Ia sangat lunglai, raut wajahnya sangat pucat. Kulekatkan telingaku ke
dadanya. Tak satu pun detak jantung yang menggendang di telingaku. Kucoba membangunkannya. Ia tak
juga bangun. Kuelus-elus helai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Mungkin dengan kasih sayangku
ia bisa terbangun, tapi harapanku tak terkabul. Ia tak juga bangun. Aku meronta, seketika ada yang
meleleh dari mataku. Aku tersungkur tak kuasa melihat Firza yang telah pergi meninggalkanku untuk
selamanya.
Kini, aku hidup sebatang kara. Dengan berat hati harus kuterima kehilangan orang yang begitu
berharga dalam hidupku untuk yang kedua kalinya. Rasa gelisah, senang maupun sedih yang biasa
dilewati bersama, kini tinggal kenangan yang seringkali menyakitiku dalam sepi. Aku hanya bisa tawakkal
pada-Nya dengan terus bersabar dan bermunajat penuh harap agar ibu dan adikku, akan selalu berada
dalam limpahan cahaya-Nya. Cahaya di atas cahaya yang tak ada satu pun sinar yang mampu
menandinginya.

Вам также может понравиться