Вы находитесь на странице: 1из 15

STUDI PENDEKATAN MODEL GENETIK ENDAPAN LOGAM DASAR

Proses dan aktifitas geologidapat menimbulkan terbentuknya batuan dan


jebakan mineral. Yang dimaksud dengan jebakan mineral adalah endapan bahan bahan atau material baik berupa mineral atau batuan yang mempunyai arti
ekonomis (D. Sudrajat M, 1982).
Secara umum mineral logam didefinisikan sebagai mineral yang
mengandung satu jenis logam atau beberapa asosiasi logam ( metalic mineral
). Apabila kandungan logam pada suatu jenis mineral cukup besar yang terikat
secara kimia dengan unsur lain dan daripadanya dapat diambil satu atau lebih
unsur logam secara ekonomis, maka mineral ini disebut mineral bijih ( ore
mineral ).
Dari distribusi unsur logam dan jenis jenis mineral yang terdapat dalam
kulit bumi, menunjukkan bahwa hanya berapa unsur logam dan mineral saja yang
mempunyai persentase relatif besar. Karena pengaruh proses dan aktivitas geologi
yang berlangsung dalam waktu relatif lama, persentase unsur unsur logam dan
mineral mineral tersebut dapat bertambah. Faktor penyebab bertambahnya
persentase kadar tersebut sehingga menghasilkan kadar minimum ekonomis
disebut faktor pengayaan ( Enrichment factor ) atau concentration factor.
Faktor ini disebabkan oleh beberapa proses yang mempengaruhinya, antara lain
oleh proses pelapukan dan transfortasi atau proses ubahanoleh pengaruh larutan
magma sisa.
Klasifikasi Endapan Mineral
Atas dasar fakta dan data data yang diperoleh dari penemuan
berbagaijenis endapan mineralkhususnya mineral logam, telah banyak dilakukan
usaha usaha pengklsifikasian dengan tujuan mempermudah cara eksplorasi suatu
jebakan mineral.
Memasuki abad ke 20, beberapa klsifikasi endapan mineral telah diajukan oleh
beberapa ahli. Secara umum pengklasifikasian ini didasarkan atas genesa atau
proses kejadian, serta hubungan terhadap lokasi tempat pembentukkannya.
Lindgren (1911), mengklasifikasikan endapan mineral secara genetik dengan
pertimbangan bahwa kebanyakan endapan mineral dibentuk oleh reaksi
physicochemichal dalam larutan magma sisa yang banyak mengandung unsur
unsur volatil dan gas. Karena proses phsycochemichal ini maka akan terbentuk
kelompok endapan mineral tersendiri, sehingga dapat dibedakan dengan
kelompok yang terbentuk oleh konsentrasi mekanik. Kedua kelompok ini
selanjutnya merupakan dasar pembagian utama dari klasifikasi yang disusunnya
dan secara praktis dia menganggap bahwa semua endapan mineral merupakan
hasil dari konsentrasi kimia ( tabel 1). Pada tahun 1922, Lindgren menunjukkan
kekurangan dari klasifikasi tersebut seperti yang disajikan pada tabel 2.

Tabel 1. Klasifikasi endapan mineral secara genetik (Lindgren, 1911)


DEPOSITS BY MECHANICAL PROCESS
T ( Co )
P
DEPOSITS BY CHEMICAL PROCESS
A. IN SURFACE WATERS
1. By Reaction
07
Medium
2. Evaporation

High
B. IN BODIES OF ROCKS

1. Concentration of substances contained


within rocks
a. By Weathering
0 100
b. By Ground Waters
0 100
Medium
c. By Metamorphism
0 400
Medium
2. By Introduced substance
High
a. Without igneous activity
0 100
1. By ascending water
Medium
a. Epithermal deposit
50 200
b. Mesothermal deposit
100 300
Medium
c. Hypothermal deposit
300 500
High
2. By dierect igneous emanation
High
a. Pyrometasomatic emanation
500 600
b. Sublimates
100 600
High
C. IN MAGMA BY DIFERENTIATION
Low
1. Magmatic deposit
700 1500
Medium
2. pegmatites

High

Tabel 2. Klasifikasi genetik endapan mineral didasarkan pada erupsi batuan beku
(Lindgren, 1922).
HYDROTHERMAL EMANATION DEPOSITS
MAGMATIC
DEPOSITS
DEPOSITS
Epithermal
Sublimates
1. Orthotectic
Mesothermal
Exudation veins surface type
a. Defferentiation on
Hypotermal
Pyrometasomatic deposits
in situ
Exudation veins deep-seated
b. Injected
type
2. Pneumatolitic
a. Defferentiation on
in situ
b. Injected
Schneiderhorn ( 1932 ), membuat klasifikasi genetik endapan mineral berdasarkan
hasil revisi dari beberapaklasifikasi yang telah ada, sehingga lebih sempurna dan
mengandung arti lebih luas dibandingkan dengan klasifikasi yang telah ada
sebelumnya ( tabel 3 )
Tabel 3. Klasifikasi genetik ( Schneiderhorn, 1932 )

A. MAGMATIC ROCK AND ORE DEPOSIT


I. INTRUSI MAGMATIC
a. Intrusive rock and liquid magmatic deposits
b. Liquid magmatic pneumatolytic
c. Pneumatolytic
1. Pegmatite veins
2. Pneumatolytic veins and impregnations
3. Contact pneumatolytic
d. Pneumatolytic hydrothermal
e. Hydrothermal
B. SEDIMENTARY DEPOSITS

II.EXTRUSIVE MAGMATIC
a. Extrusive hydrothermal
b. Exhaltion

1. Weathered zone ( oxidation enrichment )


2. Placer
3. Residual
4. Biochemical inorganic
5. Salt
6. Fuels
7. Dessending ground water deposits
C. METAMORPHIC DEPOSITS
Thermal cantac metamorphism
Metamorphosed ore deposits
Metamorphic rocks
Rarely formed metamorphic deposits

Alan M. Bateman (1951), dalam bukunya The Formation of minerals membagi


mineral sebagai bahan galian atas dasar genesanya, dimana merupakan suatu
usulan klasifikasi berdasarkan cara terjadinya atau proses pembentukannya (tabel
4). Klasifikasi tersebut masih banyak dipergunakan hingga kini dab
dianggapsebagai klasifikasi yang lebih modern.
Tabel 4. Klasifikasi genetik endapan mineral ( Bateman, 1951).
PROCESS
DEPOSITS
EXAMPLES
1.
MAGMATIC 1. Early Magmatic
CONCENTRATION
a. Desseminated Diamond pipes
crystalization
Chromite deposit
b. Segregation
Kiruna Magnetite
c. Injection
2. Late Magmatic
Taberg magnetite
a. Residual liquid Adirondack
segregation
magnetite,pegmatites
b. Residual liquid Insiwa sulphides
injection
Vlackfontein, S A Africa
c. Immiscible liquid

segregation
d. Immiscible liquid
injection
2. SUBLIMATION
Sublimates
Sulphur
3.
CONTACT Contact Metasomatic
Cornwall
magnetite,
METASOMATIC
Morenci.
Iron, coper, gold
4. HYDROTHERMAL 1. Cavity Filling ( Open
Space Deposites )
a. Fissure veins
Pachuea Mexico
b. Shear zone deposit Otago, New Zealand
c. Stockworks
Quartz hill, Colo
d. Lader veins
Morning Star, Australia
e. Saddle reefs
Bendigo Australia
f. Tension crack Wisconsin Pb + Zn
filling (Pitches and
flats)
2. Breccia Fillings
a. Volcanic
b. Tectonic
c. Collapse

5. RELACEMENT

6. SEDIMENTATION
7. EVAPORATION

3. Solution Cavity
Filling
a. Caves and
channels
b. Cash veins
4. Pore Space Fillings
5. Vesicular Fillings
Replacement
a. Massive
b. Lode fissure
c. Disseminated
Sedimentary
Evaporated
a. Marine
b. Lake
c. Ground Water

8. RESIDUAL AND
MECHANICAL
CONCENTRATION
9.
MECHANICAL Placers
CONCENTRATION
a. Stream

Bassick pipe, cole


Moscot, tenn, Zn
Bisbee, Ariz
Wisconsin-Illinois Pb and
Zn
Upper Mississipi valey
Pb and Zn
Red bed copper
Lake superior coper

Bisbee copper
Kirkland lake gold
Prophry copper
Iron,
magnesium,
phosphates
Gypsum, salt, potash
Sodium carbonate, borate
Chile nitrates

California placers

b. Beach
c. Eluvial
d. Eolian
10. SURFICAL OXI Oxidized Supergene
DATION AND Sulphide
SUPERGENE
ENRICMENT
11.METAMORPHISM a. Metamorphosed
Deposits
b. Metamorphic
Deposits

Nome, Alaska, gold


Dutch East Indiestin
Australian gold
Chuquicamata, chile
Ray, Ariz, Copper
Rammelsberg, germany
Graphite, asbestos
Talk,
soapstone,
sillimanite group, garnet.

Genesa Endapan Logam


Berdasarkan hasil hasil penyelidikan dalam usaha pencarian endapan
mineral, diketahui bahwa suatu endapan mineral dijumpai pada tempat tempat
tertentu dengan kondisi geologi tertentu pula. Hal ini sangat berhubungan dengan
genesa atau proses kejadian.
Proses geologi yang berlangsung secara menerus dan berulang ulang
sering diikuti dengan pembentukan jebakan mineral, dimana kondisi dan tempat
tempat tertentu pembentukan jebakan mineral terutama mineral logam bisa lebih
efektif dan bernilai ekonomis.
Pada umumnya keberadaan endapan logam dijumpai berhubungan dengan
jalur jalur metalogen. Jalur jalur metalogen tersebut pada dasarnya merupakan
jalur busur magmatisme yang pembentukannya sangat dikontrol oleh aktivitas
tektonik.
Indonesia yang terletak pada posisi silang antara dua benua yaitu benua
Australia dan benua Asia, serta dua samudera yaitu samudera India dan samudera
Pasifik, merupakan suatu zona yang labil. Aktivitas tektonik global yang
berlangsung berupa pergerakan lempeng pasifik ke arah Barat mendekati lempeng
Asia, serta pergerakkan lempeng Hindia Australia ke arah Utara mendekati
lempeng Asia. Pergerakan tektonik lempeng ini menyebabkan terbentuknya
penjajaran busur magmatisme dan aktivitas vulkanik disepanjang batas pertemuan
lempeng lempeng tersebut.
Tercatat sebanyak 128 buah gunungapi aktif berada di Indonesia atau
kurang lebih 13% dari seluruh gunungapi aktif didunia, hal ini menunjukkan
bahwa wilayah Indonesia termasuk dalam jalur tektonik magmatisme aktif. Jika
dilihat pada perkembangan jalur tektonik Indonesia seperti yang digambarkan
oleh Westernveld,1952, maka jalur tersebut menunjukkan kesamaan dengan jalur
metalogen di Indonesia. Adanya kesamaan tersebut merupakan petunjuk bahwa
keberadaan jalur metalogen yang merupakan jalur jalur mineralisasi, sangat
berhubungan atau berasosiasi dengan jalur tektonik yang merupakan salah satu
pengontrol terjadinya aktivitas vulkanik-magmatisme di sepanjang jalur zona
subduksi.
Hubungan Tektonik Lempeng Dengan Pembentukkan Endapan Logam

Variasi gerakkan arus konveksi pada lapisan astenolit mengakibatkan


terjadinya tiga jenis pola gerakan lempeng bumi. Ketiga gerakan tersebut meliputi
gerakan konvergen, divergen dan transform.
Sehubungan dengan proses pembentukan endapan logam, maka pola
gerakan yang paling penting menurut Sillitoe (1972) dan Batemen (1979) adalah
gerakan konvergen. Pola gerakan konvergen menyebabkan terjadinya gerakan
saling mendekati antara dua buah lempeng yang umumnya disertai oleh suatu
benturan, penekukan palung, serta banyak menyebabkan terjadinya gempa bumi
dan gunungapi benua. Benturan benturan lempeng tersebut umumnya
membentuk zona subduksi yang terutama terjadi antara lempeng samudera dan
lempeng kontinen. Proses ini diikuti oleh peleburan sebagian (partial melting)
lempeng samudera akibat pengaruh temperatur dan tekanan yang sangat tinggi.
Proses peleburan lempeng tersebut kemudian menghasilkan magma kalk alkalin
yang banyak mengandung unsur unsur logam.
Pada prinsipnya aktivitas tektonik tersebut sangat berhubungan dengan
pembentukan busur magmatisme disepanjang jalur zona subduksi. Aktivitas
magmatisme di sepanjang zona ini umumnya membentuk litologi yang
didominasi oleh batuan vulkanik dan plutonik kalk alkalin. Pembentukan batuan
batuan tersebut sering pula diikuti oleh terjadinya mineralisasi yang intensif,
cukup luas dan bernilai ekonomis. Asosiasi mineral mineral logam yang sering
dijumpai atau terbentuk pada daerah busur magmatik antara lain tembaga (Cu),
Besi (Fe), Molibdenum (Mo), Timah hitam (Pb), Emas (Cu), Perak (Ag), Arsen
(As) dan lain lain.
Pola tektonik yang menggambarkan hubungan antara pembentukan
jebakan logam dengan zona subduksi di perlihatkan pada gambar....... Hal 175
Kandungan logam didalam magma kalk-alkalin umumnya berasal dari
kerak samudera yang terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah endapan
sedimen dasar laut yang banyak mengandung logam, sedang lapisan dibawahnya
adalah lapisan mafik yang terdiri dari lapisan basal dan gabro.
Sebagai contoh dari proses pembentukkan jebakan logam dalam
hubungannya dengan pergerakan konvergen ialah terjadinya benturan antara
benua Amerika dan lempeng pasifik disepanjang bagian barat Amerika yang
dimulai sejak zaman Kapur. Benturan ini menyebabkan terbentuknya rantai
vulkanik sepanjang jalur subduksi yang terbentuk dan sekaligus membentuk
jebakan logam tembaga porfiri. Sedang pada bagian barat pasifik juga terjadi
subduksi akibat gerakan lempeng Eurasia ke arah Timur dan membentuk endapan
logam tembaga porfiri di sepanjang barat pasifik termasuk kepulauan Salamon,
Papua New Guinea, Jepang dan lain lain. Sementara itu gerakan relatif lempeng
Eurasia dan Afrika membentuk juga endapan logam tembaga porfiri di Iran,
Pakistan dan Turki. Gambar ( hal 178).
Genesa Endapan Logam karena Larutan Magma
Pada umumnya jenis endapan logam terbentuk karena proses mineralisasi
yang diakibatkan oleh aktivitas magma. Pembentukan mineral tersebut terjadi
baik pada batuan beku sebagai induknya maupun pada batuan samping yang ikut
terpengaruh karena proses magmatisme tersebut.

Selama pergerakan magma kepermukaan maka proses proses seperti


difensiasi, asimilasi dan kristalisasi akan berlangsung seiring dengan perubahan
temperatur pada tubuh magma yang kemudian diikuti oleh proses pembekuan.
Jenis jenis batuan beku yang terbentuk masing masing dicirikan oleh
komposisi mineral yang berbeda sesuai dengan komposisi magma dan temperatur
pembekuannya. Karena proses diferensiasi magma yang terjadi, maka jenis dan
komposisi mineral yang terbentuk bisa terdiri dari berbagai macam mineral logam
maupun non logam.
Proses pembentukan jebakan mineral loga karena diferensiasi
magma,secara umum digambarkan oleh Alan M. Bateman (1951) dalam tiga
stadium sebagai berikut :
1. Stadium likwido magmatis ( > 600o ) :
Stadium ini merupakan awal pembentukan mineral mineral baik logam maupun
non logam yang dicirikan oleh terjadinya pemisahan unsur unsur kurang volatil
berupa mineral mineral silikat. Karena penurunan temperaturyang berlangsung
menerus, maka terbentuklah mineral mineral berikutnya yang dicirikan oleh
unsur unsur lebih volatil pada kondisi tekanan yang semakin besar. Jebakan
mineral yang terbentuk pada stadium ini disebut jebakan magmatis.
2. Stadium Pegmatitis pneumatolitis ( 600oC 450oC ) :
Pada stadium ini terjadi pemisahan yang luar biasa dari unsur unsur volatil
larutan magma sisa pada kondisi tekanan yang cukup besar. Larutan magma sisa
ini sebagian menerobos batuan yang telah ada melalui rekahan dan kemudian
membentuk jebakan pegmatitis. Setelah temperatur mulai menurun (550oC
450o), akumulasi gas mulai membentuk mineral. Pada penurunan temperatur
selanjutnya ( 450o ), volume unsur volatil semakin menurun dan kemudian
membentuk endapan mineral yang disebut jebakan pneumatolitis.
3. Stadium hidrotermal ( < 450oC ) :
Pada stadium terakhir ini keadaan larutan magma sisa sangat encer, tekanan gas
menurun dengan cepat dan setelah temperatur mencapai titik kritik air (372 oC),
mulailah terbentuk jebakan hidrotermal. Proses pembentukan mineral pada
stadium ini berlangsung terus hingga mencapai tahap akhir pembekuan semua
larutan magma sisa ( 100oC 500oC ).
Alterasi dan Mineralisasi
Beberapa model genetik endapan mineral terutama endapan logam yang
telah diajukan oleh ahli geologi pertambangan, kesemuanya untuk menjelaskan
proses dan karakteristik suatu jebakan. Pada dasarnya semua model yang diajukan
tersebut menekankan hubungan antara terjadinya intrusi plutonik dan endapan
bijih yang terbentuk serta berdasarkan pada model megmatik hidrotermal.
Lowell dan Guilbert (1970), membuat suatu model genetik endapan
tembaga porfiri dan asosiasi logam sulfida berdasarkan penyelidikan terhadap
urutan zona alterasi mineralisasi di San Manuel Kalamazo dan mencatatkan
bahwa pada sebagian besar endapan bijih terdapat hubungan yang sangat erat
antara batuan induk, tubuh bijih dan batuan samping. Hal ini terlihat dari adanya
hubungan dan asosiasi antara urutan zona alterasi dan mineralisasi yang terjadi
baik pada tubuh intrusi sebagai batuan induk atau batuan sumber (source rock)
maupun pada batuan samping (wall rock).

Zona Alterasi hidrotermal dapat terbagi menjadi 5 Zona berdasarkan


kumpulan mineral ubahannya, yaitu :
1. Zona Potasik ("Potassic Zone)
Zona potasik merupakan zona alterasi yang berada pada bagian dalam
suatu sistem hidrotermal dengan kedalaman bervariasi yang umumnya lebih dari
beberapa ratus meter. Zona alterasi ini dicirikan oleh mineral ubahan berupa biotit
sekunder, K Feldspar, kuarsa, serisit dan magnetite. Mineral logam sulfida berupa
pirit dan kalkopirit dengan perbandingan 1:1 hingga 3:1, bentuk endapan dapat
juga dijumpai dalam bentuk mikroveinlet serta dalam bentuk menyebar
(disseminated).
Pembentukkan biotiti sekunder ini dapat terbentuk akibat reaksi antara mineral
mafik terutama hornblende dengan larutan hidrotermal yang kemudian
menghasilkan biotit, feldspar maupun pyroksin.
Selain biotisasi tersebut mineral klorit muncul sebagai penciri zona ubahan
potasik ini. Klorit merupakan mineral ubahan dari mineral mafik terutama
piroksin, hornblende maupun biotit, hal ini dapat dilihat bentuk awal dari mineral
piroksin terlihat jelas mineral piroksin tersebut telah mengalami ubahan menjadi
klorit. Pembentukkan mineral klorit ini karena reaksi antara mineral piroksin
dengan larutan hidrotermal yang kemudian membentuk klorit, feldspar, serta
mineral logam berupa magnetit dan hematit.
Alterasi ini diakibat oleh penambahan unsur pottasium pada proses metasomatis
dan disertai dengan banyak atau sediktnya unsur kalsium dan sodium didalam
batuan yang kaya akan mineral aluminosilikat. Sedangkan klorit, aktinolite, dan
garnet kadang dijumpai dalam jumlah yang sedikit. Mineralisasi yang umumnya
dijumpai pada zona ubahan potasik ini berbentuk menyebar dimana mineral
tersebut merupakan mineral mineral sulfida yang terdiri atas pyrite maupun
kalkopirit dengan pertimbangan yang relatif sama.
Bentuk endapan berupa hamburan dan veinlet yang dijumpai pada zona potasik
ini disebabkan oleh pengaruh matasomatik atau rekristalisasi yang terjadi pada
batuan induk ataupun adanya intervensi daripada larutan magma sisa (larutan
hidrotermal) melalui pori-pori batuan dan seterusnya berdifusi dan mengkristal
pada rekahan batuan.
2. Zona Alterasi Serisit (Phlic Zone)
Zona alterasi ini biasanya terletak pada bagian luar dari zona potasik.
Batas zona alterasi ini berbentuk circular yang mengelilingi zona potasik yang
berkembang pada intrusi. Zona ini dicirikan oleh kumpulan mineral serisit dan
kuarsa sebagai mineral utama dengan mineral pyrite yang melimpah serta
sejumlah anhidrit. Mineral serisit terbentuk pada proses hidrogen metasomatis
yang merupakan dasar dari alterasi serisit yang menyebabkan mineral feldspar
yang stabil menjadi rusak dan teralterasi menjadi serisit dengan penambahan
unsur H+, menjadi mineral phylosilikat atau kuarsa. Dominasi endapan dalam
bentuk veinlet dibandingkan dengan endapan yang berbentuk hamburan
kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya pengaruh metasomatik yang lebih
mengarah ke proses hidrotermal. Hal ini disebabkan karena zona ini semakin
menjauh dari pusat intrusi serta berkurangnya kedalaman sehingga interaksi

membesar dan juga diakibatkan oleh banyaknya rekahan pada batuan sehingga
larutan dengan mudah mengisinya dan mengkristal pada rekahan tersebut,
mineralisasi yang intensif dijumpai pada vein kuarsa adalah logam sulfida berupa
pirit, kalkopirit dan galena.
3. Zona Alterasi Propilitik (Prophylitic Zone)
Zona ini berkembang pada bagian luar dari zona alterasi yang dicirikan
oleh kumpulan meneral epidot maupun karbonat dan juga mineral klorit. Alterasi
ini dipengaruhi oleh penambahan unsur H + dan CO2. Mineral logam sulfida berupa
pyrite mendominasi zona ini dimana keterdapatannya dijumpai mengganti
fenokris piroksin maupun hornblende, sedangkan kalkopirit jarang dijumpai.
Karakteristik dari zona ubahan ini yaitu dijumpai kumpulan mineral ubahan yang
umumnya berupa klorit dan epidot serta dijumpainya mineral ubahan serisit dan
kuarsa, lempung dan karbonat dalam jumlah yang sedikit. Mineral karbonat
dijumpai sebagai mineral ubahan yang berasal dari ubahan mineral mafik maupun
ubahan mineral plagoklas yang kaya akan unsur Ca, bentuk endapan umumnya
dijumpai dalam bentuk veinlet disebabkan pengisian rekahan oleh larutan sisa
magma yang melewati batuan tersebut, dimana rekahannya merupakan zona yang
lemah yang merupakan media tempat larutan tersebut mengalir yang kemudian
mengalami pembekuan dan pengkristalan.
4. Zona Argilik (Argillic Zone)
Zona ini terbentuk karena rusaknya unsur potasium, kalsium dan
magnesium menjadi mineral lempung. Zona ini dicirikan oleh kumpulan mineral
lempung, kuarsa, dan karbonat. Unsur potasium, kalsium dan magnesium dalam
batuan terubah menjadi monmorilonit, illit, hidromika dan klorit. Diatas zona
argillic kadang terbentuk advanced argillit yang tersusun atas mineral diaspore,
kuarsa atau silika amorf korondum dan alunit yang terbentuk pada kondisi asam
yang tinggi. Logam sulfida yang biasanya terbentuk pada zona ini berupa pirit
namun kehadirannya tidak seintensif pada zona serisit dimana bentuk veinlet ini
hadir pada bagian luar dalam suatu sistem alterasi hidrotermal.
5. Zona Alterasi Skarn
Alterasi ini terbentukl akibat kontak antara batuan sumber dengan batuan
karbonat, zona ini sangat dipengaruhi oleh komposisi batuan yang kaya akan
kandungan mineral karbonat. Pada kondisi yang kurang akan air, zona ini
dicirikan oleh pembentukan mineral garnet, klinopiroksin dan wollastonit serta
mineral magnetit dalam jumlah yang cukup besar, sedangkan pada kondisi yang
kaya akan air, zona ini dicirikan oleh mineral klorit.,tremolit aktinolit dan kalsit
dan larutan hidrotermal.
Proses pembentukkan skarn akibat urutan kejadian Isokimia
metasomatisme retrogradasi. Dijelaskan sebagai berikut :
Isokimia merupakan transfer panas antara larutan magama dengan batuan
samping, prosesnya H2O dilepas dari intrusi dan CO2 dari batuan samping yang
karbonat. Proses ini sangat dipengaruhi oleh temperatur,komposisi dan tekstur
host rocknya (sifat konduktif).

Metasomatisme, pada tahap ini terjadi eksolusi larutan magma kebatuan samping
yang karbonat sehingga terbentuk kristalisasi pada bukaan bukaan yang dilewati
larutan magma.
Retrogradasi merupakan tahap dimana larutan magma sisa telah menyebar pada
batuan samping dan mencapai zona kontak dengan water falk sehingga air tanah
turun dan bercampur dengan larutan.

BAB II
GEOLOGI REGIONAL
II.1. Geomorfologi Regional
Secara morfologi, Lembar Poso dapat dibagi menjadi 5 satuan : dataran rendah,
dataran tinggi, perbukitan, pegunungan dan daerah kras. Dataran rendah terdapat
di dekat muara S. Puna, S. Poso, S. Sumara, S. Morowali, S. La, di utara Teluk
Tomori, daerah disekitar Taripa, dan sekitar Tomata. Satuan ini berdongak antara
nol dan puluhan meter di atas muka laut. Satuan ini umumnya merupakan daerah
pemukiman dan pertanian, kecuali sekitar Morowali yang merupakan cagar alam.
Dataran tinggi terdapat terpisah-pisah di bagian barat, tengah dan timur Lembar.
Di bagian barat satuan ini terdapat di Gintu, Doda, Wuasa, Sadoa, Palolo, Kuloni,
Toro, Labua, hulu S. Sopa, dan sekitar D. Lindu. Di bagian tengah, merupakan
dataran pada jalur tepi barat dan utara D. Poso, sedangkan dibagian timur terdapat
di daerah Bau. Berdongak lebih dari 600 m di atas muka laut, umumnya
merupakan daerah pertanian yang subur dengan banyak pemukiman.
Perbukitan terdapat di bagian utara dan tengah selatan Lembar. Di utara
terbentang di dua daerah : memanjang utara selatan dari Pabengko sampai D.

Poso, dan memanjang barat timur dari Tagolu sampai Betaua, menerus sampai
Bongkakoi. Di bagian tengah selatan, dekat Taripa ke timur sampai Era. Daerah
perbukitan berdongak antara 200 600 m di atas muka laut. Daerah pegunungan
menempati bagian terbesar. Di barat meliputi deret pegunungan Tokolekaju,
Tineba, dan Tokodoro. Pegunungan Tokolekaju memanjang utara selatan dari
Pontana sampai Gintu, berdongak antara 1000 2356 m di atas muka laut.
Pegunungan Tineba berarah baratlaut tenggara, dari Bora sampai Sedoa,
berdongak antara 1000 2610 m di atas muka laut. Pegunungan Tokodoro
memanjang utara selatan, dari Tokodoro sampai Kamba, berdongak antara 1000
2500 m di atas muka laut. Di bagian tengah terdapat pegunungan Pompangeo
dengan dongak antara 700 2500 m. di bagian timur terdapat pegunungan
memanjang utara selatan, dari Marowo sampai Tambayoli, berdongak antara
700 2000 m di atas muka laut, puncaknya ada yang mencapai lebih dari 2000 m
seperti G. Tambosisi (2438 m) dan G. Katopasa (2835 m).
Daerah kras menempati bagian tengah dan timur Lembar. Di bagian tengah,
memanjang utara selatan dari dekat Poso sampai Ratadana dan dari dekat
Malino ke seletan sampai Beteleme. Di bagian timur morfologi kras berkembang
secara setempat seperti di G. Tamisari, Betauwa, Tongku, serta di hulu S. Tongku,
hulu S. Bongkakoi, dan S. Borneang. Berdongak antara beberapa meter sampai
2300 m di atas muka laut. Daerah ini tercirikan oleh permukaan yang kasar,
berbusut dan berlereng tajam, dengan dolina dan lubang langgah.
Sungai di Lembar Poso sebagian besar mengalir ke utara menuju ke Teluk
Tomini, selebihnya mengalir ke Teluk Tomori di timur, dan Selat Makassar di
barat. Sungai yang besar adalah S. Poso, S. Koro, dan S. La. Pada umumnya
lurus ; karena pengikisan ke bawah kuat, lembah umumnya berbentuk V. Hanya
beberapa sungai yang alirannya berliki-liku, terutama di dekat muara. Secara
umum aliran di daerah ini berpola denritik, sebagian berpola siku-siku dan kisi.
Pola denritik di temukan pada system S. Wuna, S. Sausu, S. Owaingkaia, S. Puna,
S. Poso, S. Tongko, S. La, S. Sumara, S. Tojo, S. Masologi, S. Pancuma, dan S.
Bongka. Pola siku-siku pada system S. Koro dan S. Malei, dan pola kisi
ditemukan pada system S. Tongko, S. Malei, S. Bombalo, dan S. Taliba. Beberapa
sungai terkendalikan oleh struktur seperti S. Koro, S. Puna, S. Kamba, dan S. La.
II.2. Stratigrafi Regional
Berdasarkan kumpulan batuan, struktur dan biostratigrafi, secara regional geologi
Lembar Poso termasuk Mandala Geologi Sulawesi Barat, Mandala Geologi
Sulawesi Timur dan Mandala Batur Banggai-Sula. Ketiga Mendala Geologi
tersebut bersentuhan secara tektonik satu dengan yang lain. Mendala Geologi
Sulawesi Barat dicirikan oleh batuan gunungapi dan granit Tersier yang
menerobos sedimen flysch Mesozoikum, dari runtuhan sedimen pinggiran benua
Sundaland. Mendala Geologi Sulawesi Timur dicirikan oleh himpunan batuan
malihan, ultramafik, mafik, dan batuan sedimen pelagos Mesozoikum.
Sedangkan, mendala Batur Banggai-Sula dicirikan oleh batuan sedimen pinggiran
benua klastika, sedimen karbonat Mesozoikum dan Tersier Awal.
Di Mendala Geologi Sulawesi Barat batua tertua adalah Formasi Latimojong
(Kls), yang tersusun oleh endapan Flysch terdiri dari perselingan serpih, filit,

batusabak, batupasir wake dengan sisipan rijang radiolaria, breksi dan lava
terbreksikan, serta kuarsit. Rijang dan serpih mengandung fosil radiolaria ynag
menunjukkan umur Kapur Akhir. Satuan ini tertindih secara tak selaras oleh
batuan sedimen tipe molasa Pliosen, dibagian selatan (Lembar Malili) satuan ini
tertindih tak selaras oleh Formasi Toraja yang berumur Eosen Pliosen. Pada kala
Oligosen, terjadi kegiatan gunungapi bawah laut yang menghasilkan lava bantal,
breksi lava, dan tufa yang bersusun basa sampai menengah. Kegiatan ini
berlangsung terus sampai Miosen Tengah (Tmtv, Tmrt), yang sebagian muncul ke
atas permukaan laut (kegiatan gunungapi darat). Kegiatan gungapi ini diikuti oleh
kegiatan magma yang menghasilkan batuan terobosan granit (Tpkg) yang
umurnya berkisar dari Miosen Akhir hingga Plistosen (Simandjuntak,1982 dalam
Simandjuntak dkk,1991).
Di Mendala Geologi Sulawesi Timur, Batuan tertua adalah ofiolit, yang terdiri
dari dari harzburgit, dunit, piroksenit, ilherzolit, wehrlit, serpentinit, gabro, diabas,
dan diorit. Umurnya diperkirakan tidak lebih tua dari Kapur, sedangkan
pengalihtempatannya terjadi pada Miosen Tengah. Di bagian barat terdapat Lajur
Metamorf Sulawesi Tengah (Kompleks Pompangeo) yang terdiri dari berbagai
jenis sekis hijau, diantaranya sekis hornblende, sekis mika dan sekis glaukofan;
serta genes kuarsit, fillit, serpentinit, pualam, dan batugamping terdaunkan. Umur
batuan ini diduga lebih tua dari Jura Akhir. Di atas ofiolit diendapkan Kelompok
batuan sedimen pelagos (Formasi Matano), yang terdiri dari rijang radiolarian,
kalsilutit, argilit, batulempung napalan dan serpih. Batuan ini diperkirakan
berumur Kapur. Di atas Formasi Matano diendapkan Formasi Lerea. Sedimen
klastika pasca orogenesa Neogen (Kelompok Molasa Sulawesi) diendapkan tak
selaras di atas ofiolit dan batuan malihan. Dalam kelompok sedimen klastika kasar
ragam molasa ini termasuk Formasi Bongka (Tmpb), Formasi Tomata (Tmpt),
Formasi Puna (Tpps), dan Formasi Poso (Tppl) yang berumur Miosen Akhir
sampai Pliosen.
Di Mendala Batur Banggai-Sula, batuan tertua adalah Formasi Tolaka (TRtl)
berumur Trias, yang terdiri dari batugamping, napal, bersisipan serpih, batupasir
dan breksi konglomeratan. Formasi Nanaka (Jns) yang berumur Jura terdiri dari
batupasir kuarsa, konglomerat, serpih dengan sisipan batubara. Hubungan satuan
ini dengan Formasi Tokala tidak jelas. Satuan ini secara tak selaras tertindih oleh
Formasi Tetambahu (Jtl) yang berumur Jura Atas dan terdiri dari perselingan
batugamping, napal dan batupasir dengan sisipan kalsilutit rijangan. Batuan
Mesozoikum tersebut tertindih tak selaras oleh endapan batur karbonat (Formasi
Larea dan Formasi Salodik) yang berumur Eosen Oligosen.
Di beberapa tempat endapan permukaan yang terdiri dari endapan danau (Ql) serta
endapan sungai, rawa dan pantai (Qal) menindih tak selaras batuan di bawahnya.
Batuan ini tersebar luas di daerah utaraTeluk Bone dan selatan Danau Poso.
II.2. Struktur Geologi Regional
Geologi Lembar Poso memperlihatkan bahwa daerah ini merupakan tempat
persentuhan 3 mendala Geologi. Batuan ultramafik dan mafik dianggap berasal
dari lempeng kerak samudera. Batuan ini bersama sedimen pelagos Mesozoikum
dikelompokkan menjadi Lajur Ofiolit Sulawesi Timur. Lajur ini bersama Lajur

Metamorfik Sulawesi Tengah membentuk Mandala Geologi Sulawesi Timur.


Mendala Geologi Sulawesi Barat terdiri dari pinggiran benua dan busur
gunungapi Sundaland, yang diwakili oleh Formasi Latimojong (Kapur Akhir) dan
batuan alas serta batuan gunungapi dan plutonik tersier. Batur banggai-Sula
diwakili oleh sedimen pinggiran benua berumur Trias hingga Paleogen.
Struktur dan geologi daerah ini memperlihatkan cirri komplek tubrukan suatu
pinggiran benua yang aktif. Berdasarkan struktur, runtuhan batuan, biostratigrafi
dan umur, daerah ini dapat dibagi menjadi 2 domain, yakni
Alohton, termasuk Batur Banggai Sula, Lajur Ofiolit dan metamorfik.
Autohton, termasuk Mendala Geologi Sulawesi Barat dan kelompok Molasa
Sulawesi.
Batuan Alohton sudah mengalami beberapakali pencenanggaan sebelum
penempatan sekarang.
Struktur penting diantaranya, sesar, lipatan, kekar dan perdaunan. Jenis
sesar yang dapat dikenali ialah sesar sungkup, sesar turun, sesar jurus mendatar.
Sistem sesar Palu-Koro merupakan sesar utama berarah baratlaut-tenggara dan
menunjukkan gerakan mendatar mengiri. Diduga sesar ini masih hidup sampai
sekarang (Tjia,1973;Ahmad, 1975 dalam Simandjuntak 1991).
Sesar ini bersatu dengan sesar Matano di lembar Malili (Simandjuntak,1982
dalam Simandjuntak 1991), dan diduga dimulai sejak Oligosen, serta bersambung
pula dengan Sesar Sorong di Irian Jaya sehingga merupakan satu sistem sesar
pergantian (transcurrent).
Sesar sungkup Berarah Utara-selatan terdapat di daerah barat lembar dan
merupakan garis pemisah antara Mendala Sulawesi Barat dan Mendala Sulawesi
Timur. Sesar ini diduga terjadi pada Miosen Tengah sebagai akibat gerakan
Mendala Banggai-Sula kearah barat. Disamping sesar ini Lajur Metamorfik
tersesarsungkupkan diatas Formasi Latimojong dan batuan vulkanik serta granis
tersier di Mendala Sulawesi Barat. Sesar serupa terdapat juga di bagian tengah dan
timur Lembar, melibatkan batuan ultramafik dengan sedimen pelagos, dan
memperlihatkan struktur sisik.
Sesar lain yang lebih kecil berupa sesar ikutan tingkat pertama, kedua dan ketiga,
yang terbentuk selama dan/atau sesudah sesar regional, terdapat di Lembar ini.
Dalam sedimen Mesozoikum, kelompok batuan Malih dan kelompok Ofiolit,
terdapat sesar yang telah giat berulangkali. Jelas terlihat pada foto udara dan citra
landsat, betapa pola sesar pada umumnya sangat erat hubungannya dengan sesar
utama. Dalam batuan malih dan sedimen Mesozoikum ditemukan baik sesar
berukuran besar maupun kecil.
Lipatan yang terdapat didaerah ini dapat digolongkan dalam 3 jenis:
lipatan lemah dan terbuka, lipatan tertutup, dan lipatan tumpang tindih
(superimposed fold). Pada lipatan jenis pertama, kemiringan lapisan landai,
biasanya kurang dari 30.Lipatan ini berkenbang dalam batuan sedimen Neogen,
biasanya dengan sumbu lipatan bergelombang lemah dan berarah baratdayatimurlaut.
Jenis lipatan tertutup, baik yang bersifat tangkup maupun tidak, kemiringan
lapisan berkisar dari 50 sampai tegak, bahkan ada lapisan yang terbalik. Lipatan
ini biasanya terdapat dalam batuan sedimen Mesozoikum. Sumbu lipatan pada

umumnya tidak beraturan, sekalipun ada yang berarah utara-selatan. Nampaknya


lipatan ini terbentuk pada kala Oligosen atau lebih tua dan kemudian diperkuat
lagi pada pencenanggaan (deformasi). Berikutnya (Miosen Tengah dan PliPlistosen). Pada batuan malihan Komplek Pompangeo dan sedimen malih, lipatan
jenis ini terbentuk dalam ukuran besar, dibeberapa tempat berkembang menjadi
liptan rebah dengan sumbu lipatan umunya berarah hampir utara-selatan pula.
Jenis lipatan ketiga, berkembang baik dalam beberapa batuan malihan
kompek Pompangea dan di dalam batuan serpentin terdaunkan. Lipatan fasa
pertama dalam batuan malihan tidak dapat diamati lagi, diduga lipatan ini telah
terlipat kembali oleh pencenanggaan pada Miosen Tengah, kemungkinan juga
dalam pencenanggaan sebelum tubrukan Miosen Tengah. Lipatan ini mengalami
pencenanggaan lagi pada Plio-Plistosen dan membentuk lipatan fasa ke-empat(F4)
yang tertunda, dengan sumbu berarah baratlaut-tenggara seperti yang terdapat
pada batuan sedimen muda. Dalam batuan ini sumbu lipatan perdaunan fasa
ketiga berarah hampir utara-selatan.
Kekar terdapat hampir dalam semua jenis batuan dan nampaknya terjadi
dalam beberapa fasa. Dalam batuan tua, kekar-kekar berkembang lebih hebat dari
pada dalam batuan muda. Di dalam batuan sedimen, pola dan arah kekar dapat
dibedakan atas ac, b dan diagonal.
Sejarah geologi, pembentukan cekungan dan pengendapan sedimen,
pencenanggaan dan pemalihan, kegiatan gunungapi dan magma serta proses
pemineralan, sangat erat hubungannya dengan perkembangan tektonik sejak
Paleozoikum hingga sekarang.
Di Mendala Banggai-sula, pada zaman Trias, Formasi Tokala diendapkan
di dalam cekungan paparan benua. Kemudian pada Jura secara tak selaras
diendapkan Formasi Tetambahu dan Formasi Nanaka dalam lingkungan darat
hingga laut.
Pada Kala Eosen, sedimen karbonat (formasi Salodik) diendapkan dalam
cekungan di tepi benua yang kini berupa Mendala Geologi Banggai-sula.
Di bagian barat, dalam cekungan laut-dalam, pengendapan sedimen pelagos
dimulai sejak Jura (formasi Lamusa)atau mungkin lebih tua. Pada waktu itu
diendapkan batuan sedimen yang kemudian termalihkan menjadi Komplek
Pompangeo. Pengendapan sedimen pelagos itu menerus hingga Kapus Akhir dan
membentuk Formasi Matano.
Pada zaman Kapur, dalam kaitan dengan pemekaran benua Pangea, kerak
samudra purba bergerak kea rah barat dan menunjam di bawah kerak samudra di
daerah busur gunungapi, Jalur penunjaman ditandai dengan batuan bancuh
(mlange)
di
wasuponda
(simandjuntak,1982
dalam
Simandjuntak
1991).Bersamaan dengan fasa tektonik ini diduga terjadi pula pencenanggaan dan
pemalihan batuan di Mendala Geologi Sulawesi Timur. Pencenanggaan ini
mengahasilkan lipatan fasa pertama(F1), sesar fasa pertama(S1) dan kekar fasa
pertama(K1) dalam sedimen Mesozoikum dan pemalihan kelompok Pompangeo.
Pada Kapur Atas hinggga Eosen, didalam cekungan rumpang-parit-busur di barat
jalur penunjaman diendapkan sedimen jenis flisch (formasi Latimojong).
Pengendapan satuan ini disusul oleh pengendapan Formasi Toraja pada Kala
Eosen, dan kegiatan gunungapi Lamasi(Simandjuntak,1981 dalam Simandjuntak

1991). Kegiatan gunungapi berlangsung dalam lingkungan bawah-laut dan


berlanjut hingga Miosen (batuan gunungapi rampi dan Tineba), kemudian disusul
oleh kegiatan magma yang menghasilkan terobosan granit Kambuno pada Kala
Miosen Akhir hingga Plostosen. Satuan ini sekarang merupakan penciri Mendala
Geologi Sulawesi Barat.
Pada Kala Oligosen, benua kecil Banggai-sula bergerak kea rah barat bersama
terjadinya penyesaran mendatar. Sesar sorong yang menerus ke Sesar Matano dan
Palu-Koro, dalam bnetuk awal merupakan sesar pergantian. Bersamaan dengan
fasa tektonik ini terjadi pencenanggaan yang mengahasilkan lipatan fasa kedua
(F2) dan sesar fasa kedua (S2) dalam batuan tua di ketiga mendala geologi diatas.
Diperkirakan, pada fasa tektonik ini perdaunan mulai terlipat dalam batuan
malihan Komplek Pompangeo serta pengkekaran fasa kedua (K2) dalam batuan.
Pada Miosen Tengah, di bagian barat lajur penunjaman busur luar
tersesarsungkupkan di atas rumpang parit busur. Sementara itu bagian timur
Mendala Geologi Sulawesi mencuati (obdusted) benua kecil Banggai-sula yang
bergerak kearah barat. Fasa tektonik ini mengakibatkan ketiga mendala geologi
tersebut aling bersentuhan. Batuan dalam ketiga mendala mengalami
pencenanggaan kuat dan menghasilkan lipatan fasa ketiga (F3), sesar fasa ketiga
(S3) serta kekar fasa ketiga (K3). Dalam pada itu perdaunan dalam batuan
malihan terlipat kembali untuk kedua kalinya. Sesar Palu-Koro giat kembali,
mungkin dengan gerakan turun.
Pada Akhir Miosen Tengah hingga Pliosen batuan klastik tipe molasa
(formasi Tomata, Formasi Bongka, Formasi Puna, Formasi Napu dan Formasi
Poso) diendapkan dalam lingkungan laut dangkal dan terbuka, sebagian dalam
sekungan tertutup, dan sebagian lagi berupa endapan darat. Bersamaan dengan
pengendapan ini, di bagian barat Lembar pada Mendala Geologi Sulawesi Barat
terjadi penerobosan batuan granit yang menyebbkan mineralisasi antara lain emas,
pirolit dan kalkopirit.
Pada Plio-Plistosen prose pencenanggaan dan penerobosan granit yang
menerus pada Mendala Geologi Sulawesi Barat, terjadi di seluruh daerah. Fasa
tektonik menghasilkan lipatan fasa keempat (sesar fasa keempat (S4), kekar fasa
keempat (K4), dan perlipatan perdaunan fasa ketiga dalam batuan malihan. Sesar
pada umunya berupa sesar bongkah yang menyebabkan terbentuknya berbagai
cekungan kecil, dangkal dan tertutup, dan di dalamnya diendapkan batuan
sedimen klastik kasar dan batugamping terumbu (formasi Luwuk). Setelah itu
seluruh daerah terangkat, dan mulailah pembentukn bentangalam yang sekarang.
Pada bagian tertentu, endapan danau, sungai, rawa dan pantai berlangsung terus
hingga sekarang.

Вам также может понравиться