Вы находитесь на странице: 1из 7

BAB IV

PEMBAHASAN
4.1. Data Kelompok (Sesuai tempat: Cekdam/Ciparanje/Expedca)
Tabel 1. Data kelompok 3
pH

Kecerahan
Atas kebawah Bawah keatas
19,4
17,8

8,4

lokasi di Expedca
DO

CO2

Suhu

48,98

25o C

4.3 Pembahasan Kelompok (Expedca)


A. Suhu
Dari hasil pengamatan yang dilakukan kelompok 3, suhu air pada kolam budidaya di Expedca
bernilai 25o C. Nilai ini dapat dianggap wajar, karena suhu air yang kami amati merupakan
suhu air pada bagian inlet kolam. Dimana suhu air pada bagian ini dipengaruhi oleh air yang
mengalir atau masuk dari saluran air, dalam hal ini kolam budidaya di Expedca
mengandalkan aliran air dari irigasi.
B.

Kadar pH

Kadar pH merupakan salah satu parameter kimia untuk mengetahui tingkat pencemaran atau
kualitas air pada suatu ekosistem atau lingkungan. Kadar pH yang terkandung dalam sumber
air dapat beragam sesuai dengan tempatnya masing-masing. Alat yang digunakan dalam
pengukuran ini adalah pH meter. Suatu sample dikategorikan asam, netral, atau basa. Derajat
pH yaitu 0 hingga 14. Sederhananya termasuk asam jika pH <7, termasuk netral jika =7 dan
termasuk basa jika pH >7 hingga 14. Air sungai atau kolam yang kondisinya alami dan belum
tercemar memiliki rentangan pH 6,5-8,5. Karena pencemaran, pH air dapat menjadi lebih
rendah dari 6,5 atau lebih tinggi dari 8,5.
Setelah dilakukan pengamatan oleh kelompok 3 di perairan kolam budidaya di Expedca
didapatkan Ph sebesar 8,4, hal ini menunjukan perairan di Expedca cenderung bersifat basa.
Penyebab ketidakstabilan tersebut ialah kandungan bahan-bahan organik yang biasanya
menyebabkan kondisi air lebih asam. Kapur juga bisa menjadikan kondisi air menjadi basa.
Selain itu, kadar pH bersifat basa terjadi pada pemerataan suplai oksigen dalam siklus air,
proses tersebut dapat mengurangi kandungan karbondioksida. Kegiatan manusia yang
berkaitan dengan pembuangan limbah dapat menjadikan kandunan alkalanitas meningkat,
dan berarti akan semakin basa. Jadi, perbedaan pH tersebut tergantung dengan bahan
pencemarannya. Perbedaan yang terjadi pada pH mempunyai arti penting bagi kehidupan air.
Nilai pH yang sangat rendah yang berati sangat asam atau nilai yang sangat tinggi atau sangat
basa tidak cocok dengan kehidupan kebanyakan organisme.

C.

Transparansi Cahaya

Kecerahan adalah ukuran transporansi perairan yang ditentukan secara visual dengan
mengunakan secchi disk satuan untuk nilai kecerahan dari suatu perairan dengan alat tersebut
adalah satuan meter (Effendi, 2003dalam kiki, 2011). Kecerahan merupakan tingkat penetrasi
cahaya matahari yang dinyatakan dengan satuan panjang. Alat yang biasa digunakan untuk
mengukur tingkat kecerahan air adalah sechi disk , yaitu berupa pirigan yang diberi warna
hitam putih dan dihubungkan dengan tali pegangan yang mempunyai garis-garis skala. Pada
perairan tambak, kecerahan erat dikaittanya dan berbanding terbalik dengan jumlah
fitoplankton didalamnya ( Morindro, 2008).
Menurut Akrimi dan Subroto (2002) menyatakan bahwa kecerahan air berkisar
antara 40 85 cm, tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Kecerahan pada musim
kemarau berkisar 40 85 cm dan pada musim hujan antara 60 80 cm. Kecerahan air
dibawah 100 cm tergolong tingkat kecerahan rendah. Kecerahan sangat penting dalam
kehidupan ekosistem perairan terutama ikan (Erikarianto, 2008
Waktu yang tepat untuk melakukan pengukuran transparansi cahaya adalah
pada waktu siang hari (Effendi, 2003), dikarenakan intensitas cahaya matahari yang masuk ke
perairan sedang tinggi.
Dari data yang diperoleh oleh kelompok 3 di perairan kolam budidaya Expedca, dapat
diketahui bahwa transparansi cahaya tertinggi berada di titik tengah dengan kisaran 19,4 cm ,
sedangkan transparansi cahaya terendah berada di titik inlet dengan kisaran 17,8 cm. Data
data yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti bahan organik yang
terlarut di perairan, kekeruhan, intensitas cahaya matahari, tanaman yang tumbuh di sekitar
perairan, luas perairan, waktu pengamatan dan ketelitian praktikan dalam menggunakan
secchi disc.
D.

Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan parameter mutu air yang penting karena nilai oksigen terlarut
dapat menunjukan tingkat pencemaran atau tingkat pengelolaan limbah. Oksigen terlarut
akan menentukan kesesuaian suatu jenis air sebagai sumber kehidupan biota di suatu daerah.
Pengukuran oksigen terlarut dan karbondioksida lebih baik diterapkan dalam mengkaji
masalah polusi air daripada dalam menentukan mutu sanitasi karena parameter DO dapat
dengan cepat menentukan tingkat polusi air ( Sunu, 2001).
Dari data yang kami peroleh pada outlet perairan di kolam budidaya Expedca sebesar
48,98, kadar oksigen terlarut menunjukkan kadar paling tinggi bila dibandingkan dengan titik
tengah dan inlet kolam. Hal ini dikarenakan banyaknya tumbuhan air yang ada disekitar
outlet kolam, tumbuhan tersebut melakukan proses fotosintesis pada siang hari saat kami
tepat melakukan praktikum, sehingga kadar oksigen yang terlarut cukup tinggi. Selain
banyaknya tumbuhan air, faktor lain juga dapat disebabkan karena adanya arus air yang
terdapat pada outlet menuju saluran air. Titik outlet merupakan bagian permukaan yang

paling luar dari kolam tersebut sehingga kadar oksigen terlarut yang tinggi juga karena
adanya proses difusi antara air dengan udara bebas.
Bila dibandingkan dengan kolam Ciparanje dan Expedca,titik outlet di Ciparanje juga
memiliki kadar oksigen yang tertinggi pula. Dikarenakan outlet Ciparanje berdekatan dengan
saluran air dan adanya arus yang merupakan faktor banyaknya jumlah oksigen terlarut. Selain
itu banyaknya tumbuhan air pada titik outlet juga menyebabkan banyak jumlah oksigen
terlarut terjadi.
Sementara dari keseluruhan data kadar oksigen terlarut, data tertinggi adalah pada siang hari
pukul 11.00 sampai pukul 13.00 WIB. Hal ini terjadi karena oksigen terlarut mengalami
puncak proses fotosintesis, karena aktivitas fotosintesis tumbuhan menghasilkan pertambahan
jumlah oksigen terlarut, yang mencapai maximum pada sore hari dan mencapai titik
minimum pada pagi hari (titik kritis bagi organisme aguatik). Sehingga pada saat siang hari
oksigen terlarut sangat banyak dikarenakan sinar matahari yang optimal digunakan untuk
proses fotosintesis.
E.

Karbondioksida bebas

Karbondioksida (CO2) dari udara selalu bertukar dengan karbondioksida yang ada di air.
Pada air yang tenang pertukarannya sedikit, sehingga proses yang terjadi adalah difusi. Pada
perubahan warna yang terjadi saat praktikum, karbondioksida dalam suatu perairan tidak
lepas dari pengaruh parameter seperti oksigen terlarut, alkalinitas, cahaya, pH dan
sebagainya. Yang semakin tinggi karbondioksida, maka oksigen yang dibutuhkan bertambah.
Konsentrasi karbondioksida sangat erat pula hubungannya dengan konsentrasi oksigen
terlarut dalam suatu perairan.
Perubahan warna yang sama saat penitrasi terhadap sampel yang memiliki organisme dengan
sampel yang tidak memiliki organisme terjadi disebabkan oleh adanya konsentrasi
karbondioksida yang tinggi yang menginterfensi pengangkutan hemoglobin dalam darah
terhadap oksigen (Efendi, 2003).
Nilai penitrasi yang pertama dengan larutan H2SO4 sebesar 2,5 ml dan penitrasi yang kedua
dengan larutan yang sama yaitu H2SO4 sebesar 2,8 ml. Perbedaan volume penitrasi tersebut
karena pengaruh organisme dalam air yang dapat mengatur besar kecilnya konsentrasi
karbondioksida bebas dalam perairan.
Permasalahan yang ada dalam perairan adalah terjadinya peningkatan kadar karbondioksida
terlarut. Hal ini berpengaruh terhadap aktivitas organisme yang ada di dalam utamanya
persaingan dalam proses respirasi. penanggulangan yang dapat dilakukan ialah dengan cara
pengaturan sirkulasi air dengan teratur. Kadar karbondioksida yang berlebih dapat diatasi
dengan melakukan penggantian air secara rutin dan teratur.
F.

Alkalinitas

Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air tuntuk menetralkan asam atau kuantitas anion di
dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen.Alkalinrtas juga diartikan sebagai

kapasitas penyangga terhadap perubahan pH perairan. Secara khusus, alkalinitas sering


disebut sebagai besaran yang menunjukkan kapasitas menyangga dari ion bikarbonat, dan
sampai tahap terlentu terhadap ion karbonat dan hidroksida dalam air. Semakin
tinggialkalinitas maka kemampuan air untuk menyanggalebih tinggi sehingga fluktuasi pH
perairan semakinrendah. Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuanppm (mg/l) kalsium
karbonat (Yulfiperius, 2004).
Fungsi utama alkalinitas adalah sebagai penyangga fluktuasi pH air. Semakin tinggi
alkalinitas maka kemampuan air untuk menyangga lebih tinggi sehingga fluktuasi pH
semakin rendah. Alkalinitas dan kesadahan selain berfungsi sebagai penyangga pH, ternyata
melalui kalsiumnya penting dalam memperlahankan kepekaan membransel dalam jaringan
saraf dan otot (Smith, 1982).
Bikarbonat yang terdapat pada perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi berperan sebagai
penyangga perairan terhadap perubahan pH yang drastis. Jika basa kuat ditambahkan
kedalam perairan maka basa tersebut akan bereaksi dengan asam karbonat membentuk garam
bikarbonat dan akhirnya menjadi karbonat. Jika asam ditambahkan kedalam perairan maka
asam tersebut akan digunakan untuk mengonversi karbonat menjadi bikarbonat dan
bikarbonat menjadi asam karbonat. Hal ini dapat menjadikan perairan dengan nilai alkalinitas
total tinggi tidak mengalami perubahan pH secara drastis. Penyebab yang mempengaruhi
terjadinya penurunan pH salah satunya yaitu terhadap bahan organik dimana akibat pH yang
kurang stabil maka konsentrasi total alkalinitas juga akan terpengaruh. Hal ini disebabkan
karena pada keadaan asam banyak tersedia ion hidrogen bebas yang kemudian hidrogen
bebas tersebut akan membentuk senyawa asam dengan mengikat basa-basa bebas seperti
karbonat maupun bikarbonat yang merupakan unsur pembentuk total alkalinitas air, akibatnya
menurunkan konsentrasi total alkalinitas (Cole,1988).

G.

BOD

Bedasarkan data yang telah didapatkan, perairan Expedca memiliki kadar BOD dalam
perairannya sebanyak 6,78 mg/l. Dengan itu, perairan expedca sudah dipastikan termasuk
kategori perairan yang cukup bersih dan belum terlalu tercemar.
Pada praktikum ini, percobaan yang dilakukan yaitu pengujian BOD (Biochemical
Oxygen Demand) dan DO (Dissolved Oxygen). Percobaan ini bertujuan untuk menghitung
nilai baik BOD maupun DO dari sampel air tawar (Expedca) dan menentukan apakah air
tersebut tercemar atau tidak.
Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) adalah suatu
analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang
benar-benar terjadi di dalam air sedangkan angka BOD adalah jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua zat organik
yang terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air. Melalui kedua cara
tersebut dapat ditentukan tingkat pencemaran air lingkungan sedangkan nilai DO yang

biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini menunjukan jumlah oksigen (O2) yang tersedia
dalam suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut
memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air
tersebut telah tercemar. Jika BOD suatu air tinggi maka dissolved oxygen (DO) menurun
karena oksigen yang terlarut tersebut digunakan oleh bakteri (Mukono, 2006).
Perlakuan awal pada percobaan ini yaitu menimbang botol winkler kosong dan botol winkler
yang telah diisi air untuk mendapatkan volume botol winkler yang sebenarnya. Selama
penimbangan, botol winkler harus kering agar volume yang terukur tepat. Selain itu, untuk
botol winkler yang digunakan untuk pengujian DO, botol harus ditutup dengan tutup botol
agar tidak terdapat gelembung udara yang dapat mempengaruhi kandungan oksigen pada
sampel.
Kemudian menambahkan larutan MnSO4.H2O dalam botol yang berisi sampel, penambahan
MnSO4 ini berfungsi untuk mengikat oksigen menjadi Mn(OH)2 yang kemudian akan
teroksidasi menjadi MnO2 berhidrat. Selanjutnya menambahkan larutan alkali-iodida-azida
dengan cara yang sama yaitu memasukkan ujung pipet ke dalam larutan agar tidak terjadi
percikan dan pereaksi tidak keluar dari botol karena larutan ini sangat beracun. Penambahan
pereaksi alkali-iodida-azida ini berfungsi sebagai katalisator karena zat organik sangat sukar
bereaksi kemudian larutan di biarkan beberapa saat hingga terbentuk endapan cokelat.
Setelah terbentuk endapan cokelat, larutan kemudian dipindahkan kedalam gelas kimia
kemudian menambahkan larutan asam sulfat pekat (H2SO4) yang berfungsi untuk
melarutkan endapan.
Setelah endapan larut, dilanjutkan dengan menitrasi larutan dengan menggunakan natrium
tiosulfat (Na2S2O3) hingga larutan berwarna kuning kemudian menabahkan indikator
amilum (kanji) hingga berwarna ungu kehitaman. Indikator kanji ini berfungsi sebagai
indikator yang mengikat ion-ion yang ada pada larutan alkali-iodida-azida karena warna ungu
kehitaman kompleks patiiod berperan sebagai uji kepekaan terhadap iod. Kepekaan itu lebih
besar dalam larutan sedikit asam dari pada dalam larutan netral dan lebih besar dengan
adanya ion iodida. Kemudian titrasi dilanjutkan hingga warna ungu kehitaman itu hilang
(Mershaly, 2010).
Selain itu, dilakukan juga titrasi sebagai perbandingan. Setelah perhitungan, didapat kadar
DO sebesar 48,98. Metode winkler ini lebih analitis, teliti, dan akurat dalam menganalisi
oksigen terlarut (DO) dibandingkan dengan alat DO meter. Namun hal yang perlu
diperhatikan dalam titrasi iodometri adalah penentuan titik akhir titrasi, standarisasi larutan,
dan penambahan indicator amilumnya. Dengan mengikuti prosedur yang tepat dan
standarisasi secara analitis, akan diperoleh hasil penentuan oksigen terlarut yang lebih akurat.
Sedangkan cara DO meter, harus diperhatikan suhu dan salinitas sampel yang akan diperiksa
(Mershaly, 2010).

Faktor yang mempengaruhi hasil BOD adalah :

Sampel biological yang dipakai

pH jika tidak dekat dengan aslinya (netral)

Temperatur jika selain 200C (680F)

Keracunan sampel

Waktu inkubasi

Berdasarkan data yang telah didapatkan, perairan cekdam memiliki kadar BOD dalam
perairannya sebanyak 6,78 mg/l. Dengan itu, perairan cekdam sudah dipastikan termasuk
kategori perairan yang belum tercemar
H.

Total Ammonia (NH4-N) Perairan

Amonia (NH4+) pada suatu perairan berasal dari urin dan feses yang dihasilkan oleh ikan.
Kandungan amonia ada dalam jumlah yang relatif kecil jika dalam perairan kandungan
oksigen terlarut tinggi. Sehingga kandungan amonia dalam perairan bertambah seiring
dengan bertambahnya kedalaman. Pada dasar perairan kemungkinan terdapat amonia dalam
jumlah yang lebih banyak dibanding perairan di bagian atasnya karena oksigen terlarut pada
bagian dasar relatif lebih kecil (Welch, 1952 dalam Setiawan, 2006). Menurut Jenie dan
Rahayu (1993) dalam Marlina (2004), konsentrasi amonia yang tinggi pada permukaan air
akan menyebabkan kematian ikan yang terdapat pada perairan tersebut. Toksisitas amonia
dipengaruhi oleh pH yang ditunjukkan dengan kondisi pH rendah akan bersifat racun jika
jumlah amonia banyak, sedangkan dengan kondisi pH tinggi hanya dengan jumlah amonia
yang sedikit akan bersifat racun. Selain itu, pada saat kandungan oksigen terlarut tinggi,
amonia yang ada dalam jumlah yang relatif kecil sehingga amonia bertambah seiring dengan
bertambahnya kedalaman (Welch, 1952 dalam Setiawan, 2006).
Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/liter. Kadar amonia bebas
yang tidak terionisasi pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,2 mg/liter. Jika kadar
amonia bebas lebih dari 0,2 mg/liter, perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Kadar
amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal
dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off) pupuk pertanian. Kadar amonia yang
tinggi juga dapat ditemukan pada dasar danau yang mengalami kondisi tanpa oksigen atau
anoxic (Effendi, 2003).
Menurut Boyd (1990), amonia dapat meningkatkan kebutuhan oksigen pada insang dan
jaringan tubuh yang mengalami kerusakan, dan menurunkan kemampuan darah dalam
membawa oksigen. Dalam kondisi kronik, peningkatan amonia dapat menyebabkan
timbulnya penyakit dan penurunan pertumbuhan. Pescod (1973) menyarankan agar
kandungan amonia dalam suatu perairan tidak lebih dari 1 mg/l, yaitu agar kehidupan ikan
menjadi normal.

Penelitian dalam hal ini membahas jumlah total ammonia dalam beberapa perairan yakni
pada tiga stasiun yaitu cekdam bagian inlet, tengah dan outlet. Berdasarkan hasil penelitian,
diperoleh Cekdam daerah outlet yang paling tinggi total ammonianya, yaitu 8,6 mg/l dan
yang paling rendah di Expedca daerah tengah yaitu 0,8 mg/l. Jika dilihat dari data tersebut,
semua hasil pengukuran menunjukkan jumlah total ammonia > 0,2 mg/l. Berarti di Cekdam
menunjukkan kadar ammmonia yang sangat tinggi dan hal ini bisa bersifat toksik bagi
beberapa jenis ikan.
Dengan diperolehnya kadar ammonia yang sangat tinggi disemua tempat, berarti semua
tempat tersebut terindikasi adanya pencemaran bahan organik, pencemaran ini bisa berasal
dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off) pupuk pertanian.
Jika dilihat dari data, rata-rata kadar ammonia paling tinggi diperoleh dibagian outlet, seperti
pada outlet Ciparanje 5,834 mg/l dan outlet Cekdam yang nilai total ammonianya paling
tinggi dibandingkan yang lainnya. Hal ini bisa dikarenakan air mengalir menuju outelt,
otomatis semua kotoran ikan, limbah dan lain sebagainya terbawa ke daerah tersebut
sehingga di daerah outletlah diperolehnya kadar ammonia paling tinggi.
I.

Produktivitas Primer (Net Primary Productivity)

Untuk mengetahui kondisi kesuburan suatu perairan dapat dilihat dari pengukuran
produktivitas primer dari perairan tersebut dengan meninjau dari segi aktivitas hasil
fotosintesis dan keterkaitannya dengan parameter fisik, kimia dan biologi perairan tersebut.
Produktivitas primer merupakan kecepatan produksi zat organik yang diawali dengan
konversi energi cahaya matahari menjadi zat-zat organik melalui proses fotosintesis
(Campbell,2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas primer adalah cahaya,
nutrient, dan suhu. Selain ketiga faktor tersebut jenis fitoplankton juga berperan dalam
mendukung produktivitas primer perairan. Kemudian cahaya juga berpengaruh dimana
cahaya matahari tergantung waktu (harian, musiman, tahunan).
Praktikum dilakukan pada kolam budidaya cekdam bagian outlet. Dari hasil pengamatan pada
pukul 10.00-12.00 WIB pada perairan outlet diperoleh oksigen terlarut sebelum inkubasi (IB)
sebesar 1,8 mg/l. Setelah dimasukkan dan didiamkan di dalam kolam selama tiga jam, maka
diperoleh hasil pada botol gelap setelah inkubasi (DB) nilai DO sebesar 2,74 mg/l, dan botol
terang (LB) sebesar 2,4 mg/l. Nilai DO pada botol sebelum inkubasi lebih besar dari pada
kedua botol gelap dan terang setelah inkubasi, hal ini terjadi karena pada siang hari intensitas
cahaya matahari terpenuhi, terjadi proses fotosintesis sehingga mampu menghasilkan
produksi bahan organik dengan bantuan energi matahari. Sedangkan pukul 15.00 WIB sinar
matahari mulai berkurang sehingga fotosintesis yang terjadi hanya sedikit. Begitupun nilai
DO pada botol terang lebih besar daripada botol gelap, hal ini dapat disebabkan karena
pengaruh pita rekat hitam yang ditempel dan dililitkan pada botol gelap dapat mempengaruhi
intensitas cahaya yang masuk ke dalamnya. Karena intensitas cahaya yang masuk dapat
membantu terjadinya aktivitas fotosintesis sehingga menghasilkan oksigen terlarut. Sehingga
kadar oksigen pada botol terang jauh lebih banyak dari botol gelap. Faktor cahaya yang
menurun maka produktivitas primernya pun juga akan menurun (Wetzel,1975).

Вам также может понравиться