Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Publikasi Database
PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI KEWILAYAHAN BERBASIS SPASIAL
DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH
PENANGGUNG JAWAB
Ir. Arifin Rudiyanto M.Sc, Ph.D
TIM PENYUSUN
Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D; Awan Setiawan, SE, MM, ME
Yudianto, ST, MT, MPP; Uke Mohammad Hussein, S.Si. MPP;
Supriyadi, S.Si, MTP; Rudi Alfian, SE; Agung Widodo, SP, MIDEC
Fidelia Silvana, SP, M.Int.Econ & F; Septaliana Dewi Prananingtyas, SE, M.Bus,Ec
Anang Budi Gunawan, SE; Ika Retna Wulandary, ST.
TENAGA AHLI
Bambang Waluyanto; Moch Rum Alim; Nana Mulyana; Aziz Faizal Fachrudin;
Setya Rusdianto; Tri Supriyana; Nur Farida Panglipuring Tyas.
TIM PENDUKUNG
Bimo Fachrizal Arvianto, S.Si; Anna Astuti; Eni Arni; Sapto Mulyono;
Slamet Supriyanto; Dwi Santi Satkawati; Cecep Supriyadi; Donny Yanuar.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan buku Publikasi yang
berjudul Analisis Kesenjangan Antar Wilayah 2011 dari kegiatan
Pengelolaan Data dan Informasi Kewilayahan Berbasis Spasial
Mendukung Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah.
Penyusunan Buku Analisis Kesenjangan Antardaerah ini dimaksudkan untuk
menyajikan informasi tentang perkembangan hasil pembangunan daerah sebagai
kelanjutan dari publikasi sejenis tahun sebelumnya. Data yang digunakan dalam
publikasi ini bersumber dari informasi yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik,
Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian/ Lembaga dan sumber data
lainnya.
Informasi yang disajikan dalam buku ini dibagi menjadi 3 bagian yang
meliputi: Bagian Pertama, berisi uraian yang menjadi latar belakang penyusunan
buku ini, dan penjelasan sistematika penyajian buku. Bagian Kedua, berisi uraian
Metodologi dan Analisis Kesenjangan Antardaerah, Bagian ketiga berisi uraian
kesenjangan perekonomian antardaerah, bagian keempat, berisi uraian
Kesenjangan Kesejahteraan Masyarakat Antarwilayah, bagian kelima berisi uraian
kesenjangan analisis Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Bagian Keenam berisi
uraian implikasi kebijakan.
Informasi kesenjangan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan
pemahaman terhadap kondisi dan perkembangan kesenjangan di Indonesia dilihat
dari beberapa aspek yang dibahas. Dengan demikian melalui informasi dari hasil
analisis kesenjangan ini diharapkan dapat menjadi benchmarking, sehingga kondisi
atau kinerja tiap daerah bisa diperbandingkan dengan daerah yang lain. Selanjutnya
berdasarkan informasi kesenjangan antardaerah ini diharapkan dapat memberikan
orientasi terhadap berbagai kebijakan dan program pengurangan kesenjangan
antardaerah.
Kami mengucapkan terimakasih atas segala dukungan berbagai pihak dalam
penyusunan dan penerbitan buku ini. Kami sangat menghargai kritik dan saran dari
berbagai pihak guna menyempurnakan publikasi ini pada edisi yang mendatang.
Jakarta, Desember 2011
Direktur Pengembangan Wilayah
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
ii
DAFTAR ISI
1.
2.
3.
4.
5.
PENDAHULUAN
1
2
7
9
10
13
13
14
20
27
29
29
31
32
33
35
36
37
39
39
39
41
43
43
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
3
3
45
46
48
iii
5.2.5.
6.
51
53
IMPLIKASI KEBIJAKAN
55
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2.
Tabel 3.1.
13
14
17
18
19
Tabel 3.6.
20
Tabel 3.7.
21
21
22
23
23
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 20052009 di Wilayah Jawa-Bali
24
Tabel 3.2.
Tabel 3.3.
Tabel 3.4.
Tabel 3.5.
Tabel 3.8.
Tabel 3.9.
Tabel 3.10.
Tabel 3.11.
Tabel 3.12.
Tabel 3.13.
Tabel 3.14.
Tabel 3.15.
Tabel 3.16.
Tabel 3.17.
Tabel 3.18.
Tabel 3.19.
24
25
25
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 20052009 di Wilayah Sulawesi
26
26
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 20052009 di Wilayah Maluku, Nustra dan Papua
27
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Tabel 3.20.
Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
28
27
33
29
Tabel 4.3.
Disparitas IPM Antar Kab.kota Disetiap Provinsi di Wilayah JawaBali Tahun 2005dan 2009
Tabel 4.4.
36
37
38
43
44
Tabel 5.3.
52
Tabel 5.4.
53
Tabel 4.5.
Tabel 4.6.
Tabel 5.1.
Tabel 5.2.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar3.1.
13
Gambar 3.2.
Gambar 3.3.
20
31
Gambar 4.1.
Gambar 4.2.
Gambar 4.3.
Gambar 4.4.
Gambar 4.5.
Gambar 4.6.
Gambar 5.1.
Gambar 5.2.
Gambar 5.3.
Komponen
Pembentuk
IPM
32
34
35
36
38
41
41
42
(Pempro
Pemkab/Pemkot)
Gambar 5.4.
43
Gambar 5.3.
Rasio
Belanja Pegawai Terhadap Total BelanjaAgregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota
45
46
47
48
49
50
Gambar 5.4.
Gambar 5.5.
Gambar 5.6.
Gambar 5.7.
Gambar 5.8.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
vii
Gambar 5.9.
Gambar 5.10.
Gambar 5.10.
Gambar 5.11.
Gambar 5.12.
Daya
51
51
54
55
55
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
viii
PENDAHULUAN
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
1.2.
Sistematika Penyajian
Buku ini menyajikan data dan informasi yang terkait dengan kesenjangan antarwilayah,
dengan lingkup informasi mengenai beberapa teori pembangunan dan kesenjangan
antarwilayah, serta informasi mengenai hasil analisis kesenjangan dilihat dari perspektif
perekonomian daerah, kesejahteraan masyarakat, serta kemampuan keuangan daerah.
Rincian dari informasi tersebut disajikan dalam 6 Bab, dengan gambaran singkat dari setiap
bab adalah sebagai berikut: BAB I, berisi mengenai latar belakang dari penyajian buku
analisis kesenjangan antarwilayah; BAB II, berisi mengenai metodologi pendekatan untuk
melihat kesenjangan antarwilayah dalam aspek perekonomian daerah, analisis
kesejahteraan masyarakat, analisis kemampuan keuangan antar wilayah, serta metode
penyajian kesenjangan antarwilayah. BAB III, berisi mengenai hasil analisis
perekonomian daerah, BAB IV, berisi mengenai hasil analisis kesenjangan
kesejahteraan masyarakat, BAB V, berisi mengenai hasil analisis kesenjangan
kemapuan keuangan daerah, dan BAB VII, berisi uraian mengenai implikasi kebijakan
yang diperlukan untuk merespon adanya kesenjangan antarwilayah.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Kesenjangan berarti suatu gambaran terhadap fakta (kondisi) yang tidak homogen, yang
di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang membutuhkan perhatian. Atas dasar
pengertian tersebut, nalaisis kesenjangan antarwilayah dimaksudkan untuk memberi
gambaran fakta-fakta perbedaan perkembangan kondisi hasil pembangunan
antarwilayah, juga terkandung informasi mengenai perbandingan antarwilayah dan
informasi adanya gap (kesenjangan) antaradaerah yang maju dan tertinggal.
Peta kesenjangan antarwilayah ini dibangun melalui pendekatan pengolahan dan teknik
penyajian data, sehingga dapat memberi gambaran fakta kesenjangan antarwilayah.
Berdasarkan temuan fakta kesenjangan ini, selanjutnya diharapkan dapat menjadi dasar
dalam menentukan isu dan permasalahan strategis yang perlu direspon melalui
kebijakan dan program pembangunan.
Bertitik tolak dari fakta kesenjangan tersebut, melalui publikasi analisis kesenjangan
antarwilayah ini, akan menyajikan beberapa fakta kesenjangan antarwilayah yang
meliputi:
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Pendapatan Perkapita =
Data yang digunakan untuk mengolah variabel ini berasal dari buku PDRB
Kabupaten dan Kota serta Kabupaten dalam Angka.
2. Perhitungan Indeks:
a) Theil Indeks merupakan analisis dekomposisi regional (regional decomposition
analysis), kesenjangan dalam provinsi (within provinces inequality) dan
ketimpangan antar provinsi atau between provinces inequality .
Misalkan penduduk dikelompokkan secara eksklusif menurut provinsi dan
kabupaten, maka indeks Theil dan L didefinisikan sebagai:
Dimana:
Yij
Yij
nij
Indeks Theil dan L bisa didekompisisi menjadi komponen dalam grup dan antar
grup sebagai berikut:
Ketimpangan total = Ketimpangan dalam grup + ketimpangan antar grup
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Dimana:
Yi adalah pendapatan total di provinsi, Y adalah rata-rata pendapatan di provinsi i, dan
ni adalah jumlah penduduk di provinsi i. Tw dan Lw adalah komponen dalam grup dari
indeks Theil dan L dan didefinisikan sebagai rata-rata tertimbang komponen dalam grup
Ti dan Li, penimbangnya adalah proporsi pendapatan untuk Theil dan proporsi
penduduk untuk L. TB dan LB adalah komponen antar grup dari indeks Theil dan L,
yang murni mengukur ketimpangan karena perbedaan rataan pendapatan antar provinsi.
b. CVw(CV Williamson)
Indeks Williamson merupakan pendekatan untuk mengukur derajat ketimpangan
antar wilayah berdasarkan PDRB perkapita. Formula ini pada dasarnya sama dengan
coefficient of variation (CV) biasa dimana standar deviasi dibagi dengan rataan.
Williamson (1965) memperkenalkan CV ini dengan menimbangnya dengan proporsi
penduduk, yang disebut CVw. Formulanya adalah sebagai berikut:
Dimana:
CVw =Weighted coefficient of variation
ni = Penduduk di daerah i
n = Penduduk total
Yi = PDRB perkapita di daerah i
Y= Rata-rata PDRB perkapita untuk semua daerah
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Tinggi
Tinggi
Kuadran II
Daerah Maju tetapi
Tertekan (high income
but low growth)
Kuadran I
Daerah Cepat Maju
dan Cepat-Tumbuh
(high growth and high
income)
Rendah
Kuadran III
Daerah Relatif
Tertinggal (low growth
and low income).,
Kuadran IV
Daerah sedang
Berkembang (high
growth but low income)
Daerah yang maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I). Kuadran ini merupakan
kuadran daerah dengan laju pertumbuhan PDRB yang lebih besar dibandingkan
pertumbuhan daerah yang menjadi acuan atau secara nasional dan memiliki
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
pertumbuhan PDRB per kapita yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB
per kapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional.
2.
Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II). Daerah yang berada pada kuadran ini
memilikinilai pertumbuhan PDRB yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
PDRBdaerah yang menjadi acuan atau secara nasional, tetapi memiliki
pertumbuhan PDRBper kapita yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB
per kapita daerahyang menjadi acuan atau secara nasional .
3.
Daerah yang masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran III). Kuadran ini
merupakan kuadran untuk daerah yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB yang
lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara
nasional,tetapi pertumbuhan PDRB per kapita daerah tersebut lebih kecil
dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan
atau secara nasional.
4.
Daerah relatif tertingggal (Kuadran IV). Kuadran ini ditempati oleh daerah yang
memilikinilai pertumbuhan PDRB yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional dan sekaligus pertumbuhan
PDRBper kapita yang lebih kecil dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita
daerah yang menjadi acuan atau secara nasional.
Data digunakan untuk mengolah variabel ini berasal dari Susenas tahun 1996
dan 1999 dan hasil olahan Biro Pusat Statistik tahun 1996 dan 1999.
2) Rata-rata Pengeluaran per Kapita Riil yang Disesuaikan (Adjusted Real per
Capita Expenditure)
Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil
yang telah disesuaikan.Data yang ditampilkan merupakan hasil pengolahan Biro
Pusat Statistik (BPS), terutama berdasarkan data Susenas.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
X(2)
X(3)
X(i)maks =
X(i)min
Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X(i) disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2.2
Analisis Kesenjangan kesejahteraan antarwilayah
Komponen IPM
(=X(i))
Angka Harapan Hidup
Angka Melek Huruf
Rata-rata lama sekolah
Konsumsi per kapita yang
disesuaikan
Nilai
Maksimum
Nilai
Minimum
85
100
15
a)
732.720
c)
1332.720
25
0
0
b)
300.000
d)
900.000
Catatan
Standar UNDP
Standar UNDP
Standar UNDP
UNDP menggunakan
PDB/kapita riil yang
disesuaikan
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
10
pendekatan pengolahan dan teknik penyajian data. Penyajian dengan cara ini
diharapkan akan lebih memberikan informasi yang lebih utuh baik secara kuantitatif
maupun dimensi ruangnya. Dalam Profil Kesenjangan Kesejahteraan Masyarakat
Antarwilayah ini lingkup unit-unit yang akan diperbandingkan dipilih sedemikian rupa
sehingga akan menunjukkan:
1. Kesenjangan antarwilayah
Kesenjangan bentuk ini adalah komparatif antarwilayah (kabupaten/kota) yang
disajikan dalam suatu pengamatan yang agregat terhadap seluruh
kabupaten/kota yang ada di wilayah Indonesia.
2. Kesenjangan antarwilayah dalam kelompok terdefinitif (cluster pada
integrasi spasial, provinsi, pulau, dsb.)
Dalam bentuk ini kesenjangan dilihat dalam suatu lingkup wilayah yang
terdefinitif seperti kesenjangan antarwilayah dalam lingkup satu provinsi, satu
pulau, dan lainnya.Misalnya kesenjangan antarwilayah (kabupaten/kota) dalam
suatu provinsi, kesenjangan antarwilayah (kabupaten/kota) di Pulau Jawa, dan
sebagainya.
Untuk menggambarkan keberbandingan melalui pendekatan di atas, akan disajikan
melalui format sebagai berikut:
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
11
BOKS 1.
KETERANGAN SALIB SUMBU
Kuadran II
10.00
VARIABEL 2
9.00
8.00
Kuadran I
Nilai Rata-rata Variabel 1
11.00
7.00
6.00
Kuadran IV
Kuadran III
0.00
20.00
40.00
VARIABEL 1
60.00
80.00
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
12
KESENJANGAN PEREKONOMIAN
ANTARWILAYAH
2005
0.25
0.27
Sumatera
1.51
4.07
1.93
10
Kalimantan
Sumatera
1.45
9.13
4.61
2.12
23.03
Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Sulawesi
60.11
59.39
Nusa Tenggara
Maluku
Maluku
Papua
Papua
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
13
81,746
88,920
82,080
47,816
5,225
4,808
0
25,000
50,000
75,000
100,000
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
14
PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 52,336 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 10,100
ribu/jiwa, kabupaten/kota dengan PDRB perkapita terbesar terdapat di Kota Batam,
Kab.Bintan, Kota Tanjung Pinang dan PDRB terrendah terdapat di Padang Kabupaten
Lingga. Sementara disparitas terrendah di tunjukan dengan rendahnya selisih nilai
PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, disparitas terrendah
terdapat di Provinsi Jambi dan Bengkulu dengan perbadingan PDRB perkapita tertinggi
di Provinsi Jambi sebesar Rp. 17,875 ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah sebesar
Rp. 7,886 ribu/jiwa. Kabupaten/kota dengan PDRB perkapita terbesar terdapat di
Tanjung Jabung Barat, Kota Sungai Penuh, dan Kota Jambi dan PDRB terrendah
terdapat di Kabupaten Tebo dan Muaro Jambi. Sementara untuk PDRB perkapita
tertinggi di Provinsi Bengkulu sekitar Rp. 14,984 ribu/jiwa dan terrendah sebesar Rp.
4.093 ribu/jiwa, Kabupaten/kota dengan PDRB perkapita terbesar terdapat di Kota
Bengkulu dan Rejang Lebong, Kepahiang dan PDRB terrendah terdapat di Kabupaten
Kaur, Seluma. Perbandingan PDRB perkapita kabupaten/kota di tiap provinsi disajikan
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1.
Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Sumatera
Wilayah
Aceh
Sumatera
Utara
Sumatera
Barat
Riau
Jambi
Sumatera
Selatan
Bengkulu
Lampung
Tahun
Keterangan
Max.
15.207
Min.
3.411
Perubahan
11.796
Tertinggi
Lhokseumawe, Nagan
Raya, Banda Aceh
Terendah
Simeulue, Aceh Singkil,
Kota Subulusallam
2009**
29.403
4.644
24.759
Banda Aceh,
Lhokseumawe, Nagan
Raya
Kab.Asahan, Deli
Serdang, Kota Tanjung
Balai, Kota Binjai
2005
24.163
4.474
19.689
2009**
37.270
6.141
31.129
2005
16.555
5.375
11.180
24.941
9.099
15.842
2009**
2005
28.887
11.780
17.107
2009**
63.986
21.802
42.184
2005
10.658
4.551
6.107
2009**
17.875
7.886
9.989
2005
12.856
4.325
8.531
2009**
22.311
7.738
14.573
2005
10.148
2.761
7.387
2009**
14.984
4.093
10.891
Kaur, Seluma
2005
8.561
3.690
4.871
2005
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
15
Bangka
Belitung
Kepulauan
Riau
2009**
20.477
6.302
14.175
2005
22.533
10.139
12.394
2009**
33.277
10.139
23.138
2005
42.043
7.397
34.646
Lingga
10.100
42.236
2009**
52.336
Lingga
Jawa Barat
Jawa
Tengah
DI
Yogyakarta
Jawa
Timur
Tahun
2005
Max.
126.766
Min.
10.305
Selisih
116.461
2009**
222.549
16.292
206.257
2005
28.336
4.395
23.941
2009**
38.655
6.905
31.750
2005
26.275
2.717
23.558
2009**
36.240
4.283
31.957
2005
15.495
5.550
9.945
2009**
22.892
5.656
17.236
2005
121.228
3.245
117.983
Keterangan
Tertinggi
Jakarta Pusat, Jakarta
Utara, Jakarta Selatan
Jakarta Pusat, Jakarta
Utara, Jakarta Selatan
Bekasi, Kota Cirebon,
Kota Bandung, Kota
Cimahi
Bekasi, Kota Cirebon,
Kota Bandung
Kudus, Kota Semarang,
Cilacap
Kudus, Kota Semarang,
Cilacap
Kota Yogyakarta, Kab.
Sleman
Kota Yogyakarta, Kab.
Sleman
Kota Kediri, Kota
Surabaya, Kota Malang
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Terendah
Jakarta Barat, Kep
Seribu
Jakarta Barat,Kep
Seribu
Majalengka,
Tasikmalaya,
Kuningan
Kuningan,
Majalengka,
Tasikmalaya
Kebumen, Tegal,
Gerobogan
Kebumen, Tegal,
Gerobogan
Kulon Progo, Bantul
Kulon Progo, Bantul
Trenggalek,
Pamekasan, Pacitan
16
Banten
Bali
2009**
202.335
3.245
199.090
2005
39.971
4.209
35.762
2009**
57.229
5.783
51.446
2005
17.981
5.852
12.129
2009**
30.350
9.477
20.873
Trenggalek,
Pamekasan, Pacitan
Lebak, Kab.
Tangerang
Lebak, Kab.
Tangerang
Bangli, Karang Asem
Bangli, Karang Asem
Tahun
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Min.
Keterangan
Selisih
2005
13.752
3.532
10.220
2009**
19.744
4.941
14.803
2005
19.809
6.417
13.392
2009**
23.690
9.379
14.311
2005
19.662
4.187
15.475
2009**
29.746
5.945
2005
68.499
2009**
135.165
Tertinggi
Terendah
Sekadu, Melawi
Gunung Mas,
Kapuas, Pulang Pisau
23.801
8.224
60.275
12.545
122.620
Nunukan, Penajam
Paser Utara
Nunukan, Penajam
Paser Utara
Sekadu, Melawi
Gunung Mas,
Kapuas, Pulang Pisau
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
17
Tahun
Sulawesi
Utara
2005
14.298
5.212
9.086
2009**
23.647
7.097
16.550
2005
2009**
9.768
17.834
3.191
4.794
6.577
13.040
2005
24.274
3.124
21.150
11.116
3.248
7.868
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Tenggara
Gorontalo
Sulawesi
Barat
2009**
2005
2009**
2005
2009**
2005
2009**
27.031
19.694
4.725
8.918
6.149
10.229
Min.
5.241
Selisih
21.790
6.091
13.603
4.905
4.013
2.764
3.779
7.035
1.961
2.370
3.194
Tertinggi
Keterangan
Pahuwato, Kota
Gorontalo, Bone
Bolango
Mamuju Utara,
Mamasa
Mamuju Utara,
Mamuju, Majene
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Terendah
Kepulauan Sangihe,
Kepulauan Talaud,
Bolaang Mangondow
Bolaang Mangondow
Selatan Kutamobagu
Buol, Banggai Kepulauan,
Tojo Una una
Buol, Banggai Kepulauan,
Tojo Una una
Tana Toraja, Gowa,
Jeneponto
Polewali Mandar
Mamasa
18
Di wilayah Maluku, Nustra, dan Papua perkembangan disparitas PDRB perkapita setiap
provinsi antara tahun 2005 dan 2009 rata-rata menunjukan kecenderungan semakin
melebar. Kecuali Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Papua menunjukan kecenderungan
menurun, namun kedua provinsi tersebut memiliki disparitas paling tinggi diantara
provinsi lainnya dengan nilai PDRB perkapita tertinggi terdapat di Mimika. PDRB
perkapita tertinggi di Nusa Tenggara Barat mencapai sebesar Rp. 128,262 ribu/jiwa dan
terrendah Rp. 4,789 ribu/jiwa, PDRB perkapita tertinggi di Nusa Tenggara Barat
terdapat di Kabupaten Sumbawa Barat, Kota Mataram, Dompu, Sumbawa, dan PDRB
perkapita terrendah di Lombok Tengah, Lombok Timur. Untuk PDRB perkapita
tertinggi di Papua mencapai sebesar Rp. 295,051 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 1,553
ribu/jiwa, PDRB perkapita tertinggi di Papua terdapat di Kabupaten Mimika, Boven
Digul, Kota Jayapura, dan PDRB perkapita terrendah di Yahukimo, Nduga, Lanny Jaya.
Sementara disparitas terrendah terdapat di Provinsi Maluku Utara dengan perbadingan
PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 10,796 ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah
sebesar Rp. 3,305 ribu/jiwa, dengan PDRB perkapita terrendah di Kabupaten
Halmahera Barat, Kepulauan Sula. Perbandingan PDRB perkapita kabupaten/kota di
tiap provinsi disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5.
Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Maluku,
Nus Tenggara dan Papua
Wilayah
Nusa
Tenggara
Barat
Nusa
Tenggara
Timur
Maluku
Tahun
Papua Barat
Min.
Selisih
99.512
2.974
47.415,82
2009**
128.262
4.789
36.020,13
9.623
1.968
4.671,25
7.764
1.908
4.227,94
2005
2009**
2005
2005
2009**
2005
2009**
Papua
Max.
2005
2009**
Maluku Utara
2005
2009**
13.452
3.031
5.388,32
10.942
2.757
4.575,61
10.796
3.305
3.898,31
6.635
11.759
2.226
4.480
17.464
7.134
295.051
1.553
254.141
935
3.591,83
4.227,94
4.575,61
74.002,34
66.307,24
Tertinggi
Keterangan
Sumbawa Barat,
Mataram, Dompu
Sumbawa Barat,
Kota Mataram,
Dompu, Sumbawa
Mimika, Boven
Digul, Kota Jayapura
Mimika, Boven
Digul, Kota Jayapura
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Terendah
Lombok Barat,
Lombok Timur,
Lombok Tengah
Lombok Tengah,
Lombok Timur
Lembata, Manggarai
Sumba Barat Daya,
Manggarai Timur
19
2005
0,191
0,206
0,397
48,10
51,90
2006
0,189
0,206
0,395
47,80
52,20
2007
0,186
0,207
0,393
47,44
52,56
2008
0,179
0,216
0,395
45,39
54,61
2009
0,182
0,218
0,400
45,54
54,46
2005
2006
2007
2008
2009
T-within prov
0.191
0.189
0.186
0.179
0.182
T-between prov
0.206
0.206
0.207
0.216
0.218
Thail Indeks_Nasional
0.397
0.395
0.393
0.395
0.4
CVw_Nasional
0.817
0.816
0.818
0.842
0.843
CVw
0.85
0.845
0.84
0.835
0.83
0.825
0.82
0.815
0.81
0.805
0.8
Ketimpangan wilayah diukur dengan Theil Indeks dari PDRB perkapita dalam kurun
waktu lima tahun terakhir (2005-2009), menunjukan kesenjangan antar wilayah di
Indonesia semakin meningkat. Dari Tabel 3.6 dan Gambar 3.3, diperlihatkan nilai
Theil Indeks tahun 2005-2009 sekitar 0,4 dan juga ditunjukan dengan nilai CVw
berkisar antara 0,817-0,843. Jika didekomposisi tingkat kesenjangan antar wilayah
lebih besar di akibatkan oleh besarnya kontribusi ketimpangan antar provinsi
dibandingkan ketimpangan dalam provinsi, dimana pada tahun 2009 ketimpangan
antar provinsi (between provinces inequality) menyumbang sekitar 54,46 persen
terhadap ketimpangan total, dan disebabkan oleh ketimpangan dalam provinsi atau
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
20
within provinces inequality, menyumbang sekitar 45,54 persen, jika dilihat dalam kurun
waktu lima tahun tingkat ketimpangan nasional lebih disebabkan oleh tingkat
ketimpangan antar provinsi, sementara untuk ketimpangan dalam provinsi menunjukan
perkembangan yang semakin membaik. Ketimpangan dalam provinsi berarti
ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam masing-masing provinsi.
Dari Tabel 3.7 tecatat, provinsi yang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya
ketimpangan antarprovinsi tahun 2009 adalah provinsi DKI Jakarta, Riau, Kepulauan
Riau, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Bangka Belitung, sementara kontribusi
terbesar yang mendorong ketimpangan dalam provinsi, adalah provinsi DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Papua. Dari table tersebut dapat dilihat,
bahwa angka (-) menunjukan wilayah tersebut memiliki kontribusi terhadap
pengurangan ketimpangan wilayah, sebaliknya angka (+) menunjukan wilayah tersebut
berkontribusi terhadap meningkatnya ketimpangan wilayah.
Tabel 3-7 :
Theil Indeks dari PDRB Perkapita (ADHB) Menuru Pulau Tahun 2005 dan 2009
Wilayah
P. Sumatera
P. Jawa-Bali
P. Kalimantan
P. Sulawesi
Tipe
Kesenjangan
T-within pulau
T-between pulau
T-within prov
T-between pulau
T-within prov
T-between pulau
T-within prov
2005
2006
2007
2008
2009
0,004
0,003
0,003
0,004
0,005
0,198
0,203
0,200
0,210
0,203
0,006
0,140
0,005
0,026
0,005
0,005
0,141
0,006
0,026
0,005
0,010
0,138
0,006
0,024
0,005
0,012
0,139
0,007
0,026
0,005
0,019
0,138
0,007
0,024
0,005
T-between pulau
-0,023
-0,023
-0,023
-0,022
-0,021
T-within prov
0,191
0,189
0,186
0,179
0,182
T-within prov
T-between pulau
T-between pulau
0,037
-0,002
0,206
0,034
-0,005
0,206
0,035
-0,004
0,207
0,024
-0,010
0,216
0,027
-0,008
0,218
Tabel 3.8:
IW dan Theil Indeks PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2009.
PROVINSI
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
Dki. Jakarta
Jawa Barat
WI intra prov
2005
0,411
0,445
0,371
0,300
0,259
0,384
0,399
0,264
0,309
0,507
0,576
0,620
2009**)
0,516
0,238
0,314
0,329
0,240
0,407
0,405
0,360
0,318
0,446
0,601
0,581
T-between prov
T-within prov
2005
2009**)
2005
2009**)
-0,0030
-0,0032
-0,0019
0,0213
-0,0033
-0,0067
-0,0022
-0,0110
0,0013
0,0151
0,2860
-0,0249
-0,0022
-0,0074
-0,0017
0,0394
-0,0029
-0,0060
-0,0024
-0,0092
0,0005
0,0106
0,2947
-0,0280
0,0003
0,0038
-0,0064
0,0009
0,0003
0,0016
0,0003
0,0006
0,0002
0,0022
0,0245
0,0227
0,0004
0,0028
-0,0065
0,0021
0,0003
0,0020
0,0003
0,0012
0,0002
0,0016
0,0264
0,0210
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
21
-0,0473
-0,0037
-0,0072
-0,0028
-0,0019
-0,0060
-0,0065
-0,0041
0,0002
0,0001
0,0294
-0,0016
-0,0029
-0,0101
-0,0026
-0,0015
-0,0016
-0,0022
-0,0014
-0,0005
0,0149
-0,0472
-0,0041
-0,0046
-0,0055
-0,0020
-0,0065
-0,0072
-0,0049
-0,0005
-0,0022
0,0320
-0,0017
-0,0026
-0,0089
-0,0023
-0,0016
-0,0016
-0,0022
-0,0015
-0,0006
0,0102
0,0168
0,0008
0,0646
0,0093
0,0009
0,0085
0,0006
0,0007
0,0003
0,0004
0,0033
0,0006
0,0002
0,0036
0,0004
0,0000
0,0000
0,0003
0,0000
0,0001
0,0280
0,0147
0,0007
0,0655
0,0087
0,0010
0,0063
0,0005
0,0007
0,0002
0,0012
0,0054
0,0006
0,0003
0,0032
0,0004
0,0000
0,0000
0,0003
0,0000
0,0001
0,0199
Jika diperbandingkan tingkat kesenjangan wilayah pulau selama kurun waktu 2005
sampai 2009 (Tabel 3.9), menunjukan tingkat kesenjangan wilayah pulau rata-rata
kecenderungan meningkat, kecuali untuk wilayah kecenderungan menurun, untuk
wilayah Sumatera dari tahun 2005-2007 menunjukan tingkat kesenjangan menurun,
namun pada tahun 2008 dan hingga akhir 2009 tingkat kesenjangan meningkat.
Sebaliknya kondisi kesenjangan di Wilayah Jawa-Bali, Kalimantan dan Wilayah
Maluku-Nustra-Papua kecenderungan semakin melebar, hal ini diperlihatkan dengan
nilai CVw tahun 2008 lebih besar disbanding tahun 2004. Jika diperbandingkan
antarpulau, tingkat kesenjangan tertinggi terjadi di wilayah Jawa-Bali yaitu dengan
kisaran nilai CVw sebesar 0,92-0,94 dan tingkat kesenjangan terrendah di wilayah
Sulawesi dengan kisaran nilai CVw 0,16-0,23.
Tabel 3.9:
CVw dari PDRB Perkapita Non Migas (ADHK) Menurut Pulau Tahun 2005 dan 2009
Wilayah
Sumatera
Jawa-Bali
Kalimantan
Sulawesi
Nustra-Maluku-Papua
Nasional
2005
0,21
0,71
0,13
0,16
0,23
0,82
2006
0,21
0,70
0,13
0,16
0,27
0,82
2007
0,20
0,70
0,13
0,16
0,25
0,82
2008
0,21
0,73
0,14
0,14
0,26
0,84
2009**
0,22
0,73
0,14
0,13
0,26
0,84
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
22
2005
0,004
0,006
0,010
37,88
62,12
2006
0,003
0,005
0,008
38,86
61,14
2007
0,003
0,010
0,012
20,67
79,33
2008
0,004
0,012
0,016
25,14
74,86
2009
0,005
0,019
0,023
19,71
80,29
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
Sumatera
2005
0,411
0,445
0,371
0,300
0,259
0,384
0,399
0,264
0,309
0,507
0,215
2006
0,454
0,263
0,352
0,303
0,243
0,388
0,402
0,279
0,306
0,491
0,213
WI intra prov
2007 2008*)
0,464
0,484
0,253
0,247
0,341
0,334
0,311
0,329
0,239
0,230
0,394
0,404
0,402
0,401
0,301
0,341
0,301
0,324
0,478
0,478
0,204
0,209
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
2009**)
0,516
0,238
0,314
0,329
0,240
0,407
0,405
0,360
0,318
0,446
0,222
23
Kondisi ketimpangan wilayah di Jawa-Bali antara dari tahu 2005 sampai 2009
menunjukan kecenderungan semakin meningkat (Tabel 3.12), hal ini diperlihatkan
dengan nilai Theil indeks dan nilai CVw tahun 2009 lebih besar dibandingkan tahun
2005, dengan perhitungan PDRB perkapita tanpa migas. Ketimpangan di Wilayah
Jawa-Bali tahun 2009 lebih akibatkan oleh adanya ketimpangan antarprovinsi
dibandingkan ketimpangan dalamprovinsi, dimana ketimpangan antar provinsi
(between provinces inequality) menyumbang rata-rata 59.54 persen terhadap
ketimpangan total. Sedang ketimpangan dalam provinsi (within provinces inequality)
menyumbang sebesar 40.46 persen.Ketimpangan dalam provinsi berarti ketimpangan
pendapatan antar kabupaten/kota dalam masing-masing provinsi. Wilayah yang
berkontribusi besar terhadap ketimpangan dalam provinsi tahun 2009 adalah Provinsi
Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat, sementara ketimpangan antar
provinsi adalah DKI Jakarta.
Tabel 3.12:
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Jawa-Bali
Tipe Kesenjangan
2005 2006 2007 2008 2009
T-within provinsi
0,140 0,141 0,138 0,139 0,138
T-between Provinsi
0,198 0,203 0,200 0,210 0,203
Total
0,338 0,344 0,338 0,349 0,341
T-within prov (%)
41,32 40,93 40,74 39,87 40,46
T-between prov (%)
58,68 59,07 59,26 60,13 59,54
2005
0,576
0,620
0,757
0,425
1,245
0,811
0,392
0,706
2006
0,580
0,615
0,735
0,416
1,265
0,810
0,387
0,696
WI intra prov
2007 2008*)
0,570
0,596
0,604
0,590
0,733
0,731
0,412
0,408
1,250
1,253
0,799
0,805
0,391
0,397
0,705
0,727
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
2009**)
0,601
0,581
0,719
0,400
1,267
0,821
0,428
0,730
24
Kondisi ketimpangan wilayah di Kalimantan dari tahun 2005 sampai 2009 menunjukan
kecenderungan semakin meningkat, hal ini diperlihatkan dengan nilai Theil indeks dan
CVw tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan tahun 2005, yaitu tahun 2005 Thail indeks
sebesar 0,030 dan tahun 2009 sebesar 0,032. Ketimpangan di Wilayah Kalimantan
lebih diakibatkan oleh adanya ketimpangan antar provinsi dibandingkan ketimpangan
dalam provinsi, dimana ketimpangan antar provinsi (between provinces inequality)
menyumbang rata-rata 76.67 persen terhadap ketimpangan total, sementara
ketimpangan dalam provinsi (within provinces inequality) menyumbang sebesar 23.33
persen. Kontribusi ketimpangan dalam provinsi terhadap ketimpangan wilayah
Kalimantan dari tahun 2005 sampai 2009 kecenderungan meningkat, sementara
ketimpangan antarprovinsi menunjukan kecenderungan menurun. Ketimpangan dalam
provinsi berarti ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam masing-masing
provinsi. Wilayah yang berkontribusi besar terhadap ketimpangan antar dan dalam
provinsi adalah Provinsi Kalimantan Timur.
Tabel 3.14:
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut ProvinsiTahun 2005-2008 di Kalimantan
Tipe Kesenjangan
T-within provinsi
T-between Provinsi
Total
T-within prov (%)
T-between prov (%)
Sumber: diolah 2011
2005
0,005
0,026
0,030
15,64
84,36
2006
0,006
0,026
0,031
17,84
82,16
2007
0,006
0,024
0,030
21,19
78,81
2008
0,007
0,026
0,033
21,90
78,10
2009
0,007
0,024
0,032
23,33
76,67
2005
0,335
0,262
0,432
0,479
0,126
2006
0,314
0,256
0,426
0,561
0,128
WI intra prov
2007 2008*)
0,313
0,317
0,227
0,205
0,434
0,427
0,546
0,601
0,132
0,142
2009**)
0,313
0,206
0,425
0,613
0,141
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
25
dalam provinsi berarti ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam masingmasing provinsi. Wilayah yang berkontribusi besar terhadap ketimpangan dalam
provinsi adalah Provinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 3.16:
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Sulawesi
Tipe Kesenjangan
T-within prov
T-between prov
Total
T-within prov (%)
T-between prov (%)
2005
2006
2007
2008
2009
0,005
0,005
0,005
0,005
0,005
-0,023 -0,023 -0,023 -0,022 -0,021
-0,018 -0,017 -0,018 -0,017 -0,016
-29,15 -29,50 -28,81 -30,06 -30,14
129,15 129,50 128,81 130,06 130,14
Seperti halnya ditunjukan dengan nilai CVw dengan perhitungan tanpa migas tahun dari
tahun 2005 sampai 2009, ketimpangan di Wilayah Sulawesi menunjukan
kecenderungan menurun, hal ini diperlihatkan dengan nilai CVw tahun 2005 sebesar
0.158 menurun menjadi 0.131 pada tahun 2009. Sementara ketimpangan dalam
provinsi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo menunjukan kecenderungan
menurun, sementara di Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah terlihat
kecenderungan semakin melebar (Tabel 3.17).
Tabel 3.17:
CVw dari PDRB Perkapita Menurut ProvinsiTahun 2005-2009 di Wilayah Sulawesi
PROVINSI
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi
2005
0,372
0,225
0,621
0,390
0,232
0,160
0,158
WI intra prov
2006 2007 2008*)
0,375 0,377
0,378
0,236 0,246
0,257
0,613 0,607
0,579
0,400 0,415
0,389
0,233 0,236
0,213
0,144 0,155
0,156
0,157 0,157
0,144
2009**)
0,395
0,265
0,528
0,350
0,192
0,138
0,131
Ketimpangan wilayah di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, tahun 2005 sampai 2009
kecenderungan semakin meningkat (Tabel 3.18), hal ini diperlihatkan dengan nilai
CVw semakin besar dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai CVw tahun 2005 sebesar
0.232 menurun menjadi 0.261 pada tahun 2009. Ketimpangan wilayah di Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua lebih besar diakibatkan oleh ketimpangan dalam provinsi
dibandingkan ketimpangan antar provinsi. Wilayah yang berkontribusi besar terhadap
ketimpangan antar provinsi adalah Provinsi Papua, sementara ketimpangan dalam
provinsi adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Papua. Dengan analisis CVw, nilai
CVw wilayah Nusa Tenggara dan Maluku dengan perhitungan tanpa migas
menunjukan ketimpangan semakin melebar dari tahun 2005-2009, sementara untuk
wilayah Papua ketimpangan semakin menurun.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
26
Tabel 3.18:
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Maluku, Nustra dan Papua.
Tipe Kesenjangan
T-within prov
T-between prov
Total
T-within prov (%)
T-between prov (%)
2005
2006
2007
2008
2009
0,037
0,034
0,035
0,024
0,027
-0,002 -0,005 -0,004 -0,010 -0,008
0,036
0,029
0,030
0,014
0,019
104,82 117,42 114,57 170,32 139,94
-4,82 -17,42 -14,57 -70,32 -39,94
Tabel 3.19:
CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Maluku, Nustra dan Papua
PROVINSI
2005
2006
NTB
2,303
2,246
NTT
0,505
0,561
Maluku
0,570
0,578
Maluku Utara
0,271
0,256
Papua Barat
0,213
0,218
Papua
2,678
2,575
Nustra-Maluku-Papua
0,232
0,266
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS
WI intra prov
2007
2,401
0,492
0,582
0,262
0,214
2,524
0,252
2008*)
1,959
0,442
0,572
0,257
0,206
2,240
0,261
2009**)
2,009
0,448
0,564
0,288
0,207
2,270
0,261
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
27
kabupaten/kota di di tingkat nasional atau pulau. Berdasarkan nilai rata-rata PDRB per
kapita dan pertumbuhan PDRB untuk tiap kabupaten/kota dalam kurun waktu tahun
2004-2008, beserta rata-ratanya untuk seluruh kabupaten/kota di tingkat nasional atau
pulau, dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 3.20.
Posisi Kuadran Kabupaten/kota Berdasarkan nilai acuan rata-rata kabupaten/kota pada
Tingkat Nasional dan Pulau 2004-2008
WILAYAH
Sumatera
Jawa-bali
Nustra
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
INDONESIA
Rata-rata
Pertumb
uhan
PDRB
(;04-08)
(%)
Rata-rata
Pertumbu
han PDRB
(;04-08)
(Rp.000)
4,9
8.059
5,0
3,7
Kab/
Kota
%
Kab/
Kota
Kab/
Kota
7.645
16
11,6
22
%
Kab
/Ko
ta
15,9
3.971
6,9
3,4
4,9
14.206
4,6
2.743
5,8
8,6
5,2
POSISI KUADRAN
II
III
18
11,1
29,4
4.730
17
8.455
7.730
14,4
53
5
3
4,0
24,1
19
56
5,9
15,9
7,1
7,1
48
Kab/
Kota
16
11
11,5
Kab
/
Kota
69
5,6
24,6
31
%
Kab
/Ko
ta
22,5
0,4
19
17
176
44,8
29,6
27,5
29,4
60,7
8,3
46
29
22
6
7
183
IV
%
Kab/
Kota
50,0
36,8
65,5
53,7
31,9
35,3
25,0
39,8
Nilai rata-rata PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB setiap kabupaten/kota
terhadap nilai acuan rata-rata kabupaten/kota pada tingkat nasional, terbagi komposisi
sebanyak berikut:
Sebanyak 53 kabupaten/kota (11,5%) tergolong daerah yang cepat maju dan
cepat tumbuh (high growth and high income),
Sebanyak 48 kabupaten/kota (10,4%) tergolong daerah daerah maju tapi
tertekan (high income but low growth),
Sebanyak 176 kabupaten/kota (38,3%) tergolong daerah relatif tertinggal (low
growth and low income).
Sebanyak 53 kabupaten/kota (39,8%),tergolong daerah berkembang cepat (high
growth but income).
Berdasarkan gambaran hasil analisis di atas, gambaran kesenjangan
antarkabupaten/kota di Indonesia dapat ditunjukkan oleh masih tingginya daerah yang
berada pada kuadran III, yaitu kabupaten/kota yang tergolong relatif tertinggal (38,3%).
Sementara berdasarkan nilai rata-rata PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB setiap
kabupaten/kota terhadap nilai acuan rata-rata kabupaten/kota pada tingkat pulau,
tingginya kesenjangan dapat ditunjukkan oleh kabupaten/kota di wilayah Papua yang
mencapai 60,7% berada di Kuadran III, dan berikutnya di Pulau Jawa sebesar 44,8%.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
28
KESENJANGANKESEJAHTERAAN
MASYARAKATANTARWILAYAH
JawaBali
Nusa
Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
NASIONAL
KATEGORI
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
2005
73,6
68,8
4,8
76,1
68,4
7,7
63,6
62,4
1,2
73,2
66,2
7,0
74,2
65,7
8,5
69,2
67,0
2,2
64,8
62,1
2,7
76,1
62,1
14,0
2006
73,8
69,4
4,4
76,3
69,1
7,2
64,8
63,0
1,8
73,4
67,1
6,3
74,4
67,1
7,3
69,7
67,5
2,2
66,1
62,8
3,3
76,3
62,8
13,5
TAHUN
2007
74,6
69,8
4,8
76,6
69,3
7,3
65,4
63,7
1,6
73,8
67,5
6,2
74,7
67,7
7,0
70,0
67,8
2,1
67,3
63,4
3,9
76,6
63,4
13,2
2008
75,1
70,3
4,8
77,0
69,7
7,3
66,2
64,1
2,0
74,5
68,2
6,4
75,2
68,6
6,6
70,4
68,2
2,2
68,0
64,0
4,0
77,0
64,0
13,0
2009
75,6
70,9
4,7
77,4
70,1
7,3
66,6
64,7
1,9
75,1
68,8
6,3
75,7
69,2
6,5
71,0
68,6
2,3
68,6
64,5
4,1
77,4
64,5
12,8
PROVINSI
Riau
Lampung
DKIJakarta
Banten
NTT
NTB
Kaltim
Kalbar
Sulut
Sulbar
Maluku
Malut
PapuaBarat
Papua
DKIJakarta
Papua
Riau
KET.
Convergen
Convergen
Divergen
Convergen
Convergen
divergen
Divergen
Convergen
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
29
Provinsi DKI Jakarta sebesar 76,1 (2005) dan 77,4 (2009)dengan IPM terrendah di
Provinsi Papua sebesar 62,1 (2005) dan 64,5 (2009).
Disparitas IPM antarwilayah pulau, tertinggi terdapat di wilayah Jawa Bali yaitu
sebesar 7,3, dengan arah perkembangan convergen selama periode 2005-2009.
Disparitas terrendah terdapat di Pulau Nusa Tenggara sebesar 2, namun menunjukkan
arah perkembangan divergen, yaitu dari disparitas sebesar 1,2 pada tahun 2005 menjadi
2 pada tahun 2009. Perkembangan disparitas yang stagnan (tetap) terdapat di wilayah
Sumatera, dan Maluku.Gambaran selengkapnya, lihat Tabel 4.1.
Indeks komponen IPM yang meliputi Indeks Kesehatan menurut data Umur Harapan
Hidup, Indeks Pendidikan menurut data Angka Melek Huruf dan Rata-Rata Lama
Sekolah, dan Indeks Daya Beli menurut data Pengeluaran Riil Perkapita Disesuaikan.
Untuk melihat komponen yang berpengaruh terhadap nilai IPM antarprovinsi, secara
umum menunjukkan kontribusi tertinggi berasal dari indeks pendidikan, kemudian
indeks kesehatan dan terrendah berasal dari indeks hidup layak (lihat Gambar 4.1.).
Namun, terdapat provinsi-provinsi yang memiliki komposisi berbeda, yaitu pada
kelompok provinsi-provinsi sebagai berikut:
1. Kelompok provinsi yang menunjukkan kontribusi indeks pendidikan dan
kesehatan relatif sama, sementara indeks hidup layak memberikan kontribusi
yang rendah, yaitu terdapat diProvinsi Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali, Sulawesi Selatan. Pada daerah ini membutuhkan akselerasi dalam
peningkatan daya beli masyarakat untuk mengurangi ketimpangan nilai indeks
antar komponen pembentuk IPM.
2. Kelompok provinsi yang menunjukkan kontribusi tertinggi pada indeks
pendidikan, sementara indeks kesehatan dan indeks hidup layak menunjukkan
indeks relatif sama. Kelompok ini terdapat di Provinsi NTB dan Kalimantan
Selatan.Pada daerah ini membutuhkan akselerasi peningkatan derajat kesehatan
dan daya beli masyarakat untuk mengurangi ketimpangan nilai indeks antar
komponen pembentuk IPM.
3. Kelompok provinsi yang menunjukkan kontribusi indeks harapan hidup
tertinggi, kemudian berikutnya indeks pendidikan, dan indeks hidup layak.
Kelompok ini terdapat di Provinsi Papua.Pada daerah ini membutuhkan
akselerasi dalam peningkatan daya beli dan tingkat pendidikan masyarakat
untuk mengurangi ketimpangan nilai indeks antar komponen pembentuk IPM.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
30
Gambar: 4.1.
Perbandingan Nilai Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi, Tahun 2009.
PAPUA
PAPUABARAT 100.0
MALUKU
ACEH
SUMUT
SUMBAR
RIAU
JAMBI
MALUKU
80.0
SULBAR
SUMSEL
BENGKULU
GORONTALO
60.0
LAMPUNG
SULTRA
SULSEL
KEP.BABEL
40.0
KEPRI
SULTENG
DKIJAKARTA
SULUT
JAWABARAT
KALTIM
JAWATENGAH
KALSEL
DI
KALTENG
KALBAR
NTT
NTB
BALI
JAWATIMUR
BANTEN
IndeksHarapanHidup(IHH)
IndeksPendidikan(IP)
IndeksHiduplayak(IHL)
IHHNasional
IPNasional
IHLNasional
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
31
84.0
83.4
84.4
83.3
80
75
77.1
72.7
73.9
71.3
73.8
73.8
63.5
60
75.6
73.3
73.4
70
65
81.8
81.1
63.3
65.3
74.4
72.6
74.0
72.5
63.0
84.0
81.6
80.2
79.6
73.8
72.5
72.9
70.9
74.6
72.5
64.5
62.0
61.7
57.8
74.5
78.9
73.7
71.8
65.1
62.7
59.5
55
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
50
ACEH
SUMATERA SUMATERA
UTARA
BARAT
Series1
RIAU
IHHNasional
JAMBI
IPNasional
IHLNasional
KEP.
BANGKA
BELITUNG
KEP.RIAU
IPMNasional
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
32
Tabel 4.2.
Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Sumatera
Tahun 2005 dan 2009
PROVINSI
NAD
SUMUT
SUMBAR
RIAU
JAMBI
SUMSEL
BENGKULU
LAMPUNG
BABEL
KEPRI
KATEGORI
TAHUN2005
KAB/KOTA
KotaBandaAceh
Simeulue
KotaPematang
Siantar
NiasSelatan
KotaPadang
DharmasRaya
KotaPekanBaru
IPM
77,0
67,6
TAHUN2009
KAB/KOTA
KotaBandaAceh
GayoLues
77,2
KotaPematangSiantar
66,3
77,9
68,4
77,9
NiasSelatan
KotaPadang
KepulauanMentawai
KotaPekanBaru
MAX
MIN
IPM
74,7
65,2
MAX
75,8
MIN
MAX
MIN
MAX
63,9
76,3
64,5
75,9
MIN
68,6
RokanHilir
72,0
RokanHilir
MAX
74,1
KotaJambi
75,8
KotaJambi
MIN
68,8
Bungo
71,2
TanjungJabungTimur
MAX
73,6
KotaPalembang
75,8
KotaPalembang
MIN
65,0
MusiRawas
67,3
MusiRawas
MAX
MIN
MAX
76,3
63,6
74,5
KotaBengkulu
Seluma
KotaMetro
77,3
66,5
76,0
KotaBengkulu
Seluma
KotaMetro
MIN
66,0
LampungBarat
68,8
LampungBarat
MAX
73,9
75,4
KotaPangkalPinang
MIN
MAX
MIN
63,0
76,5
68,4
66,5
77,5
67,9
BangkaSelatan
KotaBatam
KepulauanAnambas
KotaPangkal
Pinang
BangkaSelatan
KotaBatam
Natuna
2005
9,5
DISPARITAS
2009
KETERANGAN
Disparitas1Tinggi
9,4
Divergen
11,9
10,9
11,8
9,4
7,3
5,9
5,3
4,6
8,6
8,5
12,6
10,8
8,5
7,2
10,9
8,9
8,2
9,6
DisparitasTinggi
Convergen
DisparitasTinggi
Convergen
Disparitas
Rendah
Convergen
Disparitas
Rendah
Dinvergen
Disparitas
Sedang
Divergen
DisparitasTinggi
Convergen
Disparitas
Rendah
Convergen
Disparitas
Sedang
Convergen
DisparitasTinggi
Divergen
KatagoriangkadisparitasditentukanberdasarkanpendekatanquartiledarinilaidisparitasIPMdi33provinsi,dengankategori
(rendah=disparitas4,27,6),(sedang=7,79,2),(tinggi=9,312,0),dansangattinggi>12.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
33
Gambar 4.3.
Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Jawa Bali.
100
95
90
85
80
75
70
65
60
55
90.2
81.1
80.1
77.4
71.7
77.1
75.4
71.6
76.175.5
75.273.974.5
72.1
71.1
65.8
63.9
62.1
61.8
82.1
80.379.6
64.7
78.9
71.573.7
70.1
71.8
66.3
61.8
62.9
62.7
IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM
DKIJAKARTA
JAWABARAT
Series1
JAWATENGAH
IHHNasional
DIYOGYAKARTA
JAWATIMUR
IPNasional
BANTEN
IHLNasional
BALI
IPMNasional
IPM
77,9
67,6
77,1
63,0
76,0
64,3
77,7
69,3
75,1
TAHUN2005
KAB/KOTA
KotaJakartaSelatan
Kep.Seribu
KotaDepok
Indramayu
KotaSurakarta
Brebes
KotaYogyakarta
GunungKidul
KotaBlitar
IPM
79,3
70,5
78,8
67,4
77,5
67,7
79,3
70,2
77,0
TAHUN2009
KAB/KOTA
KotaJakartaSelatan
Kep.Seribu
KotaDepok
Indramayu
KotaSurakarta
Brebes
KotaYogyakarta
GunungKidul
KotaBlitar
MIN
55,0
Sampang
58,7
Sampang
MAX
MIN
MAX
MIN
73,9
66,0
75,2
63,3
KotaTangerang
Serang
KotaDenpasar
Karangasem
75,0
67,5
77,6
66,1
KotaCilegon
Lebak
KotaDenpasar
Karangasem
PROVINSI KATEGORI
DKI
JABAR
JATENG
DIY
JATIM
BANTEN
BALI
DISPARITA
2005 2009
KETERANGAN
10,2 8,7 DisparitasSedang
Convergen
8,4
9,1 DisparitasSedang
Divergen
Convergen
7,9
7,5 DisparitasSedang
Convergen
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
34
84.3
82.9
76.8
74.8
76.7
74.4
75.1
IP
IHL
64.4
63.5
62.7
IPM
KALIMANTANBARAT
Series1
64.1
63.3
62.5
78.9
73.7
71.8
69.3
68.8
69.1
IHH
80.4
IHH
IP
IHL
IPM
KALIMANTANTENGAH
IHHNasional
IHH
IP
IHL
IPM
KALIMANTANSELATAN
IPNasional
IHH
IP
IHL
IPM
KALIMANTANTIMUR
IHLNasional
IPMNasional
KATEGORI
MAX
MIN
MAX
MIN
MAX
MIN
MAX
MIN
IPM
69,5
61,9
77,0
69,3
73,0
64,3
76,1
69,2
TAHUN2005
KAB/KOTA
KotaPontianak
Sambas
KotaPalangkaRaya
PulangPisau
KotaBanjarBaru
Balangan
KotaBalikpapan
KutaiBarat
IPM
72,4
64,5
78,0
71,2
74,4
66,1
77,9
71,1
TAHUN2009
KAB/KOTA
KotaPontianak
Sambas
KotaPalangkaRaya
PulangPisau
KotaBanjarBaru
Balangan
KotaBalikpapan
TanaTidung
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
2005
7,6
7,7
8,7
6,9
DISPARITA
2009 KETERANGAN
7,9 DisparitasSedang
Divergen
6,8 DisparitasRendah
Convergen
8,4 DisparitasSedang
Convergen
6,8 DisparitasRendah
Convergen
35
85.9
85.0
80.0
81.4
74.7
75.7
75.0
70.7
70.0
65.0
79.8
78.6
78.5
68.9
62.6
61.8
74.5
70.9
71.0
69.5
69.2
60.0
73.7
71.8
69.2
63.7
59.0
78.9
74.1
71.0
69.8
60.4
62.5
62.7
55.0
50.0
IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM
SULAWESIUTARA
Series1
SULAWESI
TENGAH
IHHNasional
SULAWESI
SELATAN
SULAWESI
TENGGARA
IPNasional
GORONTALO
IHLNasional
SULAWESIBARAT
IPMNasional
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
36
Tabel 4.5.
Disparitas IPM Antar Kabupaten/Kota Disetiap Provinsi di Wilayah Sulawesi
Tahun 2005 dan 2008
PROVINSI
KATEGORI
SULUT
SULTENG
SULSEL
SULTRA
GORONTALO
SULBAR
MAX
IPM
76,3
MIN
71,6
TAHUN2005
KAB/KOTA
KotaManado
BolaangMongondow
IPM
77,8
TAHUN2009
KAB/KOTA
KotaManado
2005
70,0
BolaangMongondowSelatan
KotaPalu
BanggaiKepulauan
76,0
KotaPalu
67,2
BanggaiKepulauan
KotaMakasar
Jeneponto
78,2
KotaMakasar
64,5
Jeneponto
KotaKendari
Wakatobi
75,3
KotaKendari
66,6
Bombana
72,4
KotaGorontalo
68,0
Boalemo
70,8
66,6
Mamasa
PolewaliMamasa
MAX
73,6
MIN
64,7
MAX
76,6
MIN
60,9
MAX
73,4
MIN
63,0
MAX
70,4
MIN
65,9
KotaGorontalo
Boalemo
MAX
MIN
67,5
63,3
Mamasa
PolewaliMamasa
DISPARITAS
2009 KETERANGAN
4,7
7,8
8,9
8,8
15,6
13,7
10,3
8,7
4,5
4,4
4,2
4,2
Disparitas
Sedang,
Divergen
Disparitas
Sedang,
Convergen
Disparitas
SangatTinggi
Convergen
Disparitas
Sedang
Convergen
Disparitas
Rendah,
Convergen
Disparitas
Rendah
84.6
83.0
79.4
73.3
70.4
70.3
68.4
66.6
64.7
64.2
61.3
56.1
71.0
67.8
57.9
72.3
68.6
65.0
72.0
68.6
55.1
54.4
78.9
73.7
64.5 71.8
56.4
62.7
IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM
NUSATENGGARA NUSATENGGARA
BARAT
TIMUR
Series1
IHHNasional
MALUKU
MALUKUUTARA
IPNasional
PAPUABARAT
IHLNasional
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
PAPUA
IPMNasional
37
Kategori disparitas IPM tinggi sampai sangat tinggi merupakan gambaran tingginya
kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarkabupaten/kota di setiap provinsi.di
wilayah Nusa Tenggara, maluku dan Papua. Disparitas sangat tinggi terdapat seluruh
provinsi wilayah Nusa Tengara dan wilayah Papua. Kondisi disparitas IPM terbesar
terdapat di Provinsi Papua dengan disparitas IPM sebesar 27,1. Perkembangan
disparitas IPM tersebut sebagian besar menunjukkan arah divergen, kecuali di Provinsi
Papua Barat yang menunjukkan arah convergen.
Kesenjangan pencapaian IPM antara kabupaten/kota di setiap provinsi diwilayah Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua dilihat dari disparitas IPM (selisih IPM tertinggi dan
terrendah), secara umum menunjukkan perkembangan divergen, kecuali di Provinsi
Papua Barat menunjukan perkembangan convergen dari 14,2 pada tahun 2005 menjadi
12,8 pada tahun 2009. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Papua yakni sebesar 27,4
(tahun 2009) antara Kota Jayapura dan Kabupaten Ndunga, sementara disparitas
terrendah di Provinsi Maluku Utara sebesar 9,5, yakni antara Kota Ternate dan
Kabupaten Halmahera Barat.
Tabel 4.6.
Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Nusa Tenggara, Maluku
dan Papua, Tahun 2005 dan 2009
MAX
MIN
MAX
NTT
MIN
MALUKU MAX
MIN
MAX
MALUKU
UTARA
MIN
IPM
69,4
57,8
74,5
59,6
76,2
64,8
74,2
64,9
TAHUN2005
KAB/KOTA
KotaMataram
LombokBarat
KotaKupang
SumbaTimur
KotaAmbon
SeramBagianTimur
KotaTernate
HalmaheraBarat
IPM
71,8
58,4
76,9
59,8
78,2
66,2
76,1
66,6
TAHUN2009
KAB/KOTA
KotaMataram
LombokUtara
KotaKupang
SumbaTengah
KotaAmbon
MalukuBaratDaya
KotaTernate
HalmaheraBarat
PAPUA MAX
BARAT
MIN
MAX
PAPUA
MIN
74,3
60,1
72,1
46,9
KotaSorong
TelukWondama
KotaJayapura
Peg.Bintang
76,8
64,1
75,2
47,7
KotaSorong
RajaAmpat
KotaJayapura
Nduga
PROVINSI
KATE
GORI
NTB
DISPARITAS
2005 2009
KETERANGAN
DisparitasSangat
11,6 13,4 Tinggi(Divergen)
14,9
17,1
DisparitasSangat
Tinggi(Divergen)
11,4
12,0
DisparitasTinggi
Divergen
9,3
9,5
DisparitasTinggi
(Divergen)
14,2
12,8
Disparitassangat
tinggi,(convergen)
25,2
27,4
DisparitasSangat
Tinggi(Divergen)
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
38
ANALISISPENDAPATANDANBELANJADAERAH
Analisis agregat provinsi, kabupaten dan kota menunjukkan rasio kemandirian daerah
seluruh pemda di suatu provinsi. Penghitungannya dilakukan dengan menjumlahkan
PAD seluruh pemda pada satu provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan
untuk wilayah yang sama. Dari perhitungan tersebut diperoleh potret rasio PAD
terhadap pendapatan seluruh (lihat Gambar5.1.).
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
39
60
50
40
30
20
10
53
32
24
8
17 14 15
12 15 13 12
19 22 22
11 12
16
16 16
9 8
28
13
10
13
8 7 5 10
19
9
20
Aceh
SumateraUtara
SumateraBarat
Riau
Jambi
SumateraSelatan
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
KalimantanBarat
KalimantanTengah
KalimantanSelatan
KalimantanTimur
SulawesiUtara
SulawesiTengah
SulawesiSelatan
SulawesiTenggara
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
BangkaBelitung
Gorontalo
KepulauanRiau
PapuaBarat
SulawesiBarat
Gambar : 5.1.
Rasio PAD Terhadap APBD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
PAD/APBD(TotalSeProvinsi)
PAD/APBDTotalSeProvinsi(Nasional)
Dari Gambar,tampak bahwa DKI Jakarta memiliki rasio PAD yang paling tinggi, yaitu
sebesar 53%, jauh lebih tinggi dibandingan rasio PAD agregat pada lingkup nasional
sebesar 20%. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat memiliki rasio PAD terrendah yaitu
sebesar3%. Hal ini menunjukkan bahwa, DKI Jaya memiliki kemandirian daerah yang
paling baik dibandingkan provinsi-provinsi yang lain, dan sebaliknya, Provinsi Papua
Barat menunjukkan tingkat kemandirian yang paling rendah. Tingginya tingkat
kemandirian di Provinsi DKI tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD
khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah, sedangkan rendahnya tingkat
kemandirian di Provinsi Papua Barat disebabkan oleh rendahnya pajak daerah dan retribusi
daerah di wilayah tersebut.
2.
Pada Gambar6.2. nampak bahwa rasio kemandirian tertinggi untuk seluruh pemerintah
kabupaten (pemkab) dan pemerintah kota (pemkot) antarprovinsi terdapat di Provinsi
Bali yaitu sebesar 25% sedangkan kemandirian terrendah adalah di pemkab dan pemkot
di Provinsi Papua Barat dan Lampung masing-masing sebesar 3%. Kemandirian untuk
pemerintah provinsi, tertinggi dicapai oleh Pemprov Jawa Barat sebesar 72% dan
terrendah dimiliki oleh pemda provinsi Papua Barat 3% .
Gambar 5.2.
Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Se Provinsi, Tahun 2010
80
60
40
20
72 68
65
51
44
50 53
48
39
70
50
40 38
40
13
5 7 7 8 5 6 5 3
68
60
54
11 10 13 11
36 33
55
40
27
31
9
5 5 6
4 4 8 6
25
30
27
21
19 16
14
13 14
8 6
7 5 4 74 9
33 4
25
11
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar
46
PAD/APBDProvinsi
PAD/APBDKab/Kota
Sumber:APBD2010(Diolah)
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
40
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
60.00
Bengkulu
40.00
Banten
Lampung
20.00
MalukuUtara
DKIJakarta
Papua
JawaBarat
57.07
Maluku
JawaTengah
NTT
DIYogyakarta
NTB
Bali
Sultra
Sulsel
Sulteng
JawaTimur
Sulut
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
RuangFiskalAgregat(Pemprov+Pemkab/Pemkot)
RatarataRuangFiskalAgregat(Pemprov+Pemkab/Pemkot)
Sumber:DataSIKD,DJPK
laporan Fiscal Policy for Growth and Development (World Bank, 2006) dinyatakan bahwa ruang fiskal
(fiscal space) tersedia, jika pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya tanpa mengancam
solvabilitas fiskal (fiscal solvency). Stephen S. Heller (IMF Policy Discussion Paper, 2005)
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
41
Tabel: 5.1.
Ruang Fiskal Agregat (Pemprov + Pemkab/Pemkot) Menurut 5 Provinsi Tertinggi dan
Terrendah, Tahun 2010.
Ruang Fiskal Agregat (Pemprov + Pemkab/Pemkot)
No.
Tertinggi
Terrendah
Papua Barat
77,9
Jawa Tengah
43,0
Papua
75,6
Bali
45,0
Kaltim
74,9
Sumbar
45,4
Maluku Utara
67,1
DI Yogyakarta
45,8
DKI Jakarta
65,7
Lampung
46,1
Pada Gambar 5.3 dan Tabel 5.1, Dari keseluruhan provinsi, Provinsi Papua Barat
mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 77,9%. Hal ini dapat disebabkan oleh
besarnya penerimaan Provinsi Papua Barat yang terutama diperoleh dari dana transfer
dan dana Penyesuaian + Otonomi Khusus. Dengan demikian, Provinsi Papua Barat,
serta provinsi lainnya (Papua, Kalimantan Timur, Maluku Utara dan DKI Jakarta)
mempunyai ruang yang cukup luas dalam memenuhi kebutuhan daerahnya untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Sebaliknya, Provinsi Jawa Tengah
merupakan daerah yang memiliki ruang fiskal terrendah yaitu sebesar 43,0%. Dengan
demikian, Provinsi Bengkulu harus pandai memilih belanja yang tepat dalam
memanfaatkan ruang fiskal yang ada untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
2. Agregat Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi dan Pemerintah Provinsi
Ruang fiskal seluruh pemkab dan pemkot di setiap provinsi dan ruang fiskal
pemerintah provinsi dapat digambarkan pada Gambar 5.4, dan Tabel 5.2.
Gambar : 5.4
Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot dan Pemprov, Tahun 2010
Aceh
Sulbar
PapuaBarat 100.00
Kepri
80.00
Gorontalo
Kep.Babel
Banten
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
60.00
Bengkulu
40.00
MalukuUtara
Lampung
20.00
Papua
DKIJakarta
Maluku
JawaBarat
NTT
JawaTengah
NTB
DIYogyakarta
Bali
Sultra
Sulsel
Sulteng Sulut
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
KaltimKalsel
RuangFiskalPemprov.
RatarataRuangFiskalPemprov
RuangFiskalPemkab/Pemkot
RatarataRuangFiskalPemkab/Pemkot
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
42
Tabel : 5.2.
Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot dan Pemprov Menurut 5 Provinsi Tertinggi dan Terrendah,
Tahun 2010
No
Terrendah
Tertinggi
Terrendah
Papua
71,2
Jawa Tengah
35,8
Papua Barat
91,36
Bengkulu
58,61
Papua Barat
70,9
Bali
37,1
Papua
88,85
NTT
59,32
Kaltim
70,5
DI Yogyakarta
37,7
Kepri
87,99
Sulut
61,69
DKI Jakarta
65,7
Lampung
40,2
Kaltim
87,57
Maluku
63,96
Maluku Utara
64,3
Sumbar
41,2
Aceh
85,57
NTB
64,25
Dari hasil analisis ini, ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di
Provinsi Papua sebesar 71,2%, Papua Barat (70,9%) dan Kalimantan Timur (70,5%),
dan terrendah di provinsi Jawa Tengah sebesar 35,8%, Bali (37,1%) dan
DI.Yogyakarta (37,7%). Sementara untuk ruang fiskal pemerintah provinsi, tertinggi
terdapat di Papua Barat sebesar 91.36%, Papua (88.85%) dan Kepulauan Riau
(87,99%), dan untuk kelompok terrendah adalah Provinsi Bengkulu sebesar 58,61%,
NTT (59,32%) dan Sulawesi Utara (61,69%).
Tinggi ruang fiskal di wilayah Papua dan Kalimantan Timur, serta Kepulauan Riau
sesuai dengan gambaran di atas, disebabkan oleh tingginya dana transfer, serta dana
Otsus untuk pemerintah daerah diwilayah Papua. Ruang fiskal terrendah terdapat pada
kabupaten dan kota Jawa Tengah, Bali dan DI. Yogyakarta disebabkan tingginya
pendapatan yang bersifat earmarked serta belanja wajib, khususnya belanja pegawai.
Rendahnya ruang fiskal dapat juga dikontribusi oleh pendapatan daerah yang rendah,
disisi lain pendapatan DAU sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai.
Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota pada lingkup nasional, rata-rata rasio
belanja pegawai terhadap total belanja daerah adalah 44%. Rasio belanja pegawai
agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 12
provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 21 provinsi yang lain
memiliki rasio belanja pegawai yang lebih diatas rata-rata nasional. Sementara terdapat
sebanyak 9 provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai lebih dari 50,0%. Hal ini
berarti bahwa pada daerah-daerah tersebut, belanja daerahnya masih didominasi oleh
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
43
belanja pegawai.Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Prov.
Kalimantan Timur dan Papua Barat yaitu masing-masing sebesar 27%, sedangkan
provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Prov. DI. Yogyakarta dan
Jawa Tengah dengan rasio sebesar 57%.
Gambar : 5.3.
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total BelanjaAgregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
belanjapegawai/totalbelanja
51 50
41
45 45
37
50
belanjapegawai/totalbelanjaAgregat(Nasional)
57 57
55
48
37
50
51 49 51 49 52
45
36
42
51
50
47
43
38
29
36
47
44
37
27
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DI
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar
27
56
Tingginya porsi belanja pegawai tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit
provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk
jenis-jenis belanja selain belanja pegawainya.. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan
program dan kegiatan daerah di luar belanja pegawai yang bisa didanai, khususnya
yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
44
Gambar 5.4.
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
Se-Provinsi, Tahun 2010
61
64 65
61 60
57
56
54
54 53 55 51
54
53
53
49 47
48
46
44
43
50
42
41
41
41
41
38 38
37
37
37 34
37
35
35
35
35
34
32
31
30
29
27
27
27
26 26
26 26
26
25
25
23
20
20
19
26
18 18
16
15
15
11
60 57
55
56
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar
70
60
50
40
30
20
10
belanjapegawai/totalbelanjaPemprov
belanjapegawai/totalbelanjaPemkab/PemkotSeProvinsi
belanjapegawai/totalbelanjaPemprov(Nasional)
belanjapegawai/totalbelanjaPemkab/pemkot(Nasional)
5.2.2. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja Daerah
Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi
belanja daerah terhadap pembayaran gaji pegawai PNSD. Semakin besar rasionya maka
semakin besar belanja daerah yang dibelanjakan untuk membayar gaji pegawai daerah
dan sebaliknya, semakin kecil angka rasionya maka semakin kecil belanja daerah yang
dipergunakan untuk membayar gaji pegawai daerah.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
45
Gambar 5.5.
Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota Se Provinsi, Tahun 2010
19
44 42 47
38
33
27
18
25
14
58 56
52
52
43
36
31
17
21
26
19
23
49 49 50 46
41
33
21 22
16
12
29
22
26 26
48
48
39
31 32 32
34
28
20
12
49
47
3331 34
29
14 15
10 8
16
45
21
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar
11
23
60 59
57
52 51 51
70
60
50
40
30
20
10
BelanjaPegawaiTidakLangsungTerhadapTotalBelanjaDaerahPemprov
BelanjaPegawaiTidakLangsungTerhadapTotalBelanjaPemkab/pemkot
belanjapegawaiTidakLangsung/totalbelanjaPemprov(Nasional)
belanjapegawaiTidakLangsung/totalbelanjaPemkab/pemkot(Nasional)
Rasio belanja pegawai tidak langsung pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi
terhadap belanja daerahnya memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja
pegawai tidak langsung adalah 45% dari belanja daerah. Sebanyak 19 provinsi
memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang lebih besar dari rata-rata. Dari
Grafik 3.6 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Jawa Tengah
memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang tertinggi yaitu 60%, sedangkan
pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Kalimantan Timur memiliki rasio terrendah
dengan angka sebesar 22%. Masih banyaknya provinsi yang memilikibelanja pegawai
tidak langsung relatif tinggi, perlu mendapatkan perhatian karena itu berarti mayoritas
daerah membelanjakan lebih dari 45,0% untuk belanja pegawai tidak langsung dan
sisanya baru dibagi oleh bermacam jenis belanja lainnya.
Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap belanja daerah pemerintah provinsi
memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung adalah
21% belanja daerah. Berdasarkan angka rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung
tersebut, sebanyak 16 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari angka tersebut.
Selanjutnya, Gambar 5.4 memperlihatkan bahwa Pemprov Bengkulu memiliki rasio
tertinggi sebesar 38%, sedangkan yang terrendah, adalah Pemprov Papua Barat,
memiliki rasio sebesar 8%.
5.2.3. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah
Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah
yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja Modal sendiri ditambah belanja barang
dan jasa, merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar
negeri. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, semakin baik pengaruhnya
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
46
24
18 20
31
28
27
21
19
14
14
26
24 23
14
25
19
16
20
29
33
30
20
24
27
31
21
22
10
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar
9 8
25
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
47
Gambar 5.7.
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten
dan Kota se-Provinsi
45 41
40
41
40
42
35
30
25
23
22
20
15
8 8
10
5
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar
belanjaModal/totalbelanjaPemprov
belanjaModal/totalbelanjaPemkab/PemkotseProvinsi
belanjaModal/totalbelanjaPemprov(Nasional)
belanjaModal/totalbelanjaPemkab/Pemkot(Nasional)
3. Pemerintah Provinsi
Profil rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerahnya dapat
dilihat pada Gambar 5.7. Sebanyak 16 provinsi memiliki rasio belanja modal pemprov
lebih besar dari rata-rata (23%), sedangkan 17 provinsi memiliki rasio belanja modal
pemprov terhadap belanja pegawai yang lebih kecil dari rata-rata. Gambar 5.7,
memperlihatkan kisaran rasio antara 8% hingga 42% dengan rasio tertinggi terdapat di
Pemprov. Kepulauan Riau dan terrendah di Pemprov. Jawa Tengah dan Jawa Timur
masing-masing sebesar 8%.
5.2.4. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk
Rasio belanja modal perkapita menunjukkan seberapa besar belanja yang dialokasikan
pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk. Rasio belanja
modal perkapita memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi karena
belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah
dalam meningkatkan perekonomian penduduknya dari pembangunan infrastruktur yang
dikeluarkan.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
48
PapuaBarat
Kaltim
Papua
DKIJakarta
MalukuUtara
Kalteng
Kepri
Kep.Babel
Riau
Aceh
Maluku
Sultra
Kalsel
Sulut
Gorontalo
Jambi
Bengkulu
Sulteng
Sumsel
Sumbar
Sulbar
Kalbar
NASIONAL
NTT
Sulsel
Sumut
NTB
Bali
Banten
Lampung
JawaTimur
JawaBarat
DIYogyakarta
JawaTengah
433
99
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
(Rp.000/Kapita)
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
49
Gambar: 5.9.
Perimbangan Sumber Pendapatan dari DBH + Daya Penyesuaian dan Otsus
dengan Belanja Modal.
25000000.00
20000000.00
DKI Jakarta
Kaltim
15000000.00
Riau
10000000.00
Papua
Sumsel
Aceh
5000000.00
Papua Barat
0.00
Sulbar
0.00
Jawa Timur
Jawa Tengah
Kepri
Kep. Babel
Jawa Barat
Banten
Sulteng
Sulsel
Sumut
Kalteng
NTB NTT
2000000.00
4000000.00
6000000.00
8000000.00
10000000.00
12000000.00
14000000.00
Dana Bagi Hasil pajak/bukan pajak + dana penyesuaian dan Otsus (Juta Rp.)
Gambar 5.10. menunjukkan rasio belanja modal perkapita pemerintah kabupaten dan
kota se-provinsi. Secara nasional rata-rata rasio belanja modal kabupaten dan kota seprovinsi adalah Rp. 322,49 Ribu. Pemkab dan Pemkot Se-Provinsi yang memiliki rasio
belanja modal perkapita lebih tinggi dari rata-rata sebanyak 23 provinsi, sedang yang
dibawah rata-rata sebanyak 10 provinsi. Papua Barat memiliki rasio belanja modal
perkapita tertinggi yaitu sebesar Rp2,6 juta sedangkan yang terrendah adalah Pemkab
dan Pemkot se-Prov. Jawa Tengah dengan rasio Rp. 84.000/ kapita.
Gambar : 5.10.
Rasio Belanja Modal perkapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
BelanjaModalPerkapitaPemkab/Pemkot
2,610
Kaltim
PapuaBarat
Papua
Kalteng
MalukuUtara
Maluku
Riau
Kep.Babel
DKIJakarta
Kepri
Sultra
Sulut
Kalsel
Gorontalo
Bengkulu
Sulteng
Jambi
Sumsel
Sumbar
Kalbar
NTT
Aceh
Sulsel
NASIONAL
Sulbar
Sumut
NTB
Bali
Lampung
JawaTimur
Banten
JawaBarat
DIYogyakarta
JawaTengah
322
84
BelanjaModalPerkapitaPemprov
1,178
PapuaBarat
DKIJakarta
Aceh
Kaltim
Kepri
Kep.Babel
Papua
Maluku
Kalteng
Riau
Kalsel
Sulbar
Sultra
Jambi
Sumsel
Sumbar
NASIONAL
Gorontalo
Bengkulu
Sulut
Sulteng
Kalbar
Maluku
Bali
Banten
Sumut
NTT
NTB
DI
Lampung
Sulsel
JawaBarat
JawaTimur
JawaTengah
111
15
RibuRp/Kapita
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
500
1,000
1,500
RibuRp/Kapita
50
3. Pemerintah Provinsi
Rasio Belanja Modal perkapita pemerintah provinsi ditunjukkan pada Gambar 5,9.
Rasio belanja modal perkapita pemerintah provinsi memiliki rata-rata nasional sebesar
Rp110,70 Ribu/Kapita.Sebanyak 17 pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal
terhadap jumlah penduduk di bawah rata-rata nasional, dan sebanyak16 provinsi yang
memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Pemerintah Provinsi yang memiliki rasio
belanja modal perkapita tertinggi adalah Pemprov. Papua Barat, yaitu sebesar Rp
1.177, 97 Ribu/ kapita sedangkan yang terrendah adalah Pemprov.Jawa Tengah Rp.
14,53 Ribu / kapita.
5.2.5. Perbandingan Kualitas Pendapatan dan Belanja Pemerintah Antarprovinsi
Berdasarkan gambaran perbandingan proporsi pendapatan dan belanja pemerintah
antarprovinsi seperti diuraikan pada sub sebelumnya, kualitasnya dapat diindikasikan
melalui indikator kemandirian daerah, Rasio belanja pegawai dan belanja PNSD
terhadap total belanja, serta rasio belanja modal terhadap total belanja. Dengan
melakukan pengkategorian berdasarkan nilai terhadap rasio rata-rata nasional untuk
setiap indikator, dapat diidentifikasi kategori Tinggi (T) dan Rendah (R).Penjelasan
dari setiap indikator dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Indikator Pendapatan Dan Belanja Pemerintah
No
INDIKATOR
KATEGORI
KETERANGAN
Tinggi (T)
Rendah (R)
Tinggi (T)
Rendah (R)
Tinggi (T)
Rendah (R)
Tinggi (T)
Rendah (R)
5
Rasio belanja Modal thd total
belanja di banding rata-rata
nasional
Tinggi (T)
Rendah (R)
Berdasarkannilai rasio setiap provinsi pada indicator yang dinilai, dapat diidentifikasi
kategori setiap indicator untuk setiap provinsi, lihat Tabel 5.3. Untuk memudahkan
dalam membedakan kualitas pendapatan dan belanja pada setiap provinsi, setiap
kategori yang diberi Blok warna Abu-abu menunjukkan kualitas kemampuan
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
51
keuangan, dan kualitas belanja relatif rendah dan sebaliknya menunjukkan kualitas
relatif baik.
Berdasarkan nilai agregat (pemerintah provinsi dan kabupaten/kota) untuk setiap
provinsi, kualitas pendapatan dan belanja relatif rendah meliputi Provinsi Sumut,
Sumbar, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,
NTT, NTB, dan Sulawesi Barat. Kualitas pendapatan dan belanja relatif jrendah pada
kelompok ini, untuk pemerintah provinsi terdapat di Provinsi Bengkulu, Kalimantan
Barat, NTT dan NTB, sementara untuk pemerintah kabupaten/kota terdapat di Provinsi
Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Jawa tengah, Sulawesi Selatan, NTB. NTT, dan
Sulawesi Barat.
Tabel: 5.1.
Matriks Penilaian Kualitas Pendapatan dan Belanja Antarprovinsi
PEMERINTAH
KABUPATEN/KOTA
Rasiobelanjapegawaitidaklangsung
thdtotalbelanja
RasiobelanjaModalthdtotalbelanja
BelanjaModalPerkapita
RuangFiskal
RasioPADThdAPBD
Rasiobelanjapegawaithdtotalbelanja
Rasiobelanjapegawaitidaklangsung
thdtotalbelanja
RasiobelanjaModalthdtotalbelanja
BelanjaModalPerkapita
RuangFiskal
RasioPADThdAPBD
Rasiobelanjapegawaithdtotalbelanja
Rasiobelanjapegawaitidaklangsung
thdtotalbelanja
RasiobelanjaModalthdtotalbelanja
BelanjaModalPerkapita
Aceh
T
R
SumateraUtara
T
T
SumateraBarat
R
T
Riau
R
R
Jambi
R
R
SumateraSelatan
T
T
Bengkulu
R
R
Lampung
R
T
DKIJakarta
R
T
JawaBarat
T
T
JawaTengah
T
T
DIYogyakarta
R
T
JawaTimur
T
T
KalimantanBarat
R
R
KalimantanTengah
T
R
KalimantanSelatan
R
T
KalimantanTimur
T
R
SulawesiUtara
R
R
SulawesiTengah
R
R
SulawesiSelatan
T
T
SulawesiTenggara
R
R
Bali
R
T
NTB
R
R
NTT
R
R
Maluku
R
R
Papua
T
R
MalukuUtara
R
R
Banten
T
T
BangkaBelitung
T
R
Gorontalo
R
R
KepulauanRiau
T
R
PapuaBarat
T
R
SulawesiBarat
T
R
Sumber: Hasil Pengolahan Data APBD 2010.
AGREGATSEPROVINSI
Rasiobelanjapegawaithdtotalbelanja
RasioPADThdAPBD
Provinsi
RuangFiskal
PEMERINTAHPROVINSI
R
R
R
R
T
T
T
T
T
R
R
T
R
T
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
T
R
T
R
R
T
R
R
R
R
R
T
R
T
R
T
T
T
R
R
T
R
T
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
T
R
R
R
R
T
R
R
R
T
R
T
T
T
T
R
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
R
R
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
R
T
T
T
T
R
R
T
R
R
R
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
R
R
R
R
R
R
R
R
T
T
R
T
R
T
T
R
R
R
R
T
T
T
T
R
T
R
R
R
R
T
T
T
T
R
T
R
T
R
R
R
T
T
T
R
T
T
T
T
R
T
T
T
R
R
R
T
T
R
T
T
T
T
R
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
R
R
R
T
R
T
R
R
T
T
T
T
R
R
R
T
T
R
T
T
T
T
R
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
R
R
R
T
R
T
R
R
T
R
R
R
T
T
T
R
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
T
T
R
T
R
R
R
T
T
T
R
T
T
T
T
R
T
R
T
T
T
T
T
R
T
R
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
T
R
R
T
T
T
T
R
T
T
T
T
R
T
R
R
T
R
T
R
R
T
R
R
R
R
T
T
T
T
R
R
R
R
R
R
R
T
T
T
R
T
R
T
T
T
R
R
R
R
R
R
R
R
T
T
R
T
T
R
R
R
R
R
R
R
R
T
R
R
R
R
R
T
R
R
R
R
R
R
T
T
R
T
T
T
T
R
T
T
T
T
T
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
R
R
R
T
R
T
R
R
T
R
T
T
R
T
R
T
T
R
T
T
T
T
T
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
R
R
R
T
R
T
R
R
T
T
R
R
T
T
T
R
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
T
T
R
T
R
R
R
T
T
T
R
T
T
T
T
R
T
R
T
T
T
T
T
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
T
T
R
T
R
R
R
T
T
T
R
T
T
T
T
R
R
R
R
R
R
R
R
R
T
T
R
T
R
R
R
R
R
R
R
R
R
T
R
R
R
R
R
T
R
R
T
R
R
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
52
5.3. Perimbangan
Indeks
Komponen
denganBelanja Pemerintah
Pembentuk
IPM
DKI JAKARTA
80.00
SULUT
JAWA TENGAH
RIAU
KALTENG
BALI
75.00
SULSEL
KALTIM
KEPRI
JAWA TIMUR
LAMPUNG
JAWA BARAT
KEP. BABEL
SUMBAR
JAMBI
PAPUA
ACEH
SULBAR
PAPUA BARAT
MALUKU
70.00
KALBAR
NTT
SULTENG
BANTEN
65.00
GORONTALO
MALUKU UTARA
KALSEL
NTB
60.00
0.00
200000.00
400000.00
600000.00
800000.00
1000000.00
Pada Gambar 5.11, tampak perimbangan Indeks Pendidikan (IP) dengan belanja
pemerintah bidang pendidikan. Pada gambar tersebut terdapat sebanyak 8 provinsi
yang berada pada kelompok Indeks Pendidikan rendah dan dukungan belanja
pemerintah bidang pendidikan yang rendah pula, yaitu Provinsi NTT, NTB, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, dan
Provinsi Bali.
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
53
Gambar 5.11.
Perimbangan Indeks Hidup Layak dengan belanja pemerintah bidang Pendidikan.
95.00
DKI JAKARTA
90.00
Indeks Pendidikan
SULUT
85.00
MALUKU
SUMUT
SUMBAR
BENGKULU
MALUKU UTARA
BANTEN
SUMSEL
80.00
SULTENG
JAWA BARAT
JAMBI
GORONTALO
D I YOGYAKARTA
KALTIM
KEPRI
ACEH
RIAU
KALTENG
KEP. BABEL
KALSEL
PAPUA BARAT
SULTRA
BALI
JAWA TENGAH
SULSEL
75.00
JAWA TIMUR
KALBAR
SULBAR
NTT
70.00
NTB
PAPUA
65.00
250000.00
500000.00
750000.00
1000000.00
1250000.00
1500000.00
Pada Gambar 5.12, tampak perimbangan Indeks Hidup Layak (IHL) yang
menunjukkan daya beli masyarakat dengan belanja pemerintah bidang ekonomi. Pada
gambar tersebut terdapat sebanyak 3 provinsi yang berada pada kelompok IHL rendah
dan dukungan belanja pemerintah bidang ekonomi yang rendah pula, yaitu Provinsi
NTT, Lampung, Bengkulu dan Gorontalo. Sementara terdapat sebanyak 6 provinsi
yang memiliki IHL rendah, namun memiliki belanja pemerintah bidang ekonomi
tinggi, yaitu di provinsi Papua Barat, Maluku Utara, Papua, Aceh, Maluku, Sulawesi
Tenggara.
Gambar 5.12.
Perimbangan Indeks Hidup Layak dengan belanja pemerintah bidang Ekonomi.
D I YOGYAKARTA
66.00
RIAU
KEPRI
JAWA TIMUR
KEP. BABEL
NTB
64.00
JAWA TENGAH
SULBAR
JAWA BARAT
SULUT
62.00
BANTEN
KALTENG
JAMBI
BALI
KALTIM
SULSEL
DKI JAKARTA
SULTENG
BENGKULU
GORONTALO
60.00
LAMPUNG
SULTRA
MALUKU
58.00
ACEH
PAPUA
NTT
56.00
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
54.00
0.00
300000.00
600000.00
900000.00
1200000.00
1500000.00
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
54
IMPLIKASIKEBIJAKAN
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
55
Ketiga,
Keempat, peran penganggaran yang dituangkan dalam APBD suatu daerah memegang
peranan sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun faktanya setiap daerah tidak
memiliki kemampuan keuangan yang memadai, serta pengelolaan belanja
pembangunan yang efektif untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Gambaran kondisi keuangan daerah
berdasarkan beberapa indikator dapat dijelaskan sebagai berikut:
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
56
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
57
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
58
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
59