Вы находитесь на странице: 1из 68

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Publikasi Database
PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI KEWILAYAHAN BERBASIS SPASIAL
DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH

ANALISIS KESENJANGAN ANTAR WILAYAH


PENGARAH
Ir. Max H. Pohan, CES, MA

PENANGGUNG JAWAB
Ir. Arifin Rudiyanto M.Sc, Ph.D

TIM PENYUSUN
Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D; Awan Setiawan, SE, MM, ME
Yudianto, ST, MT, MPP; Uke Mohammad Hussein, S.Si. MPP;
Supriyadi, S.Si, MTP; Rudi Alfian, SE; Agung Widodo, SP, MIDEC
Fidelia Silvana, SP, M.Int.Econ & F; Septaliana Dewi Prananingtyas, SE, M.Bus,Ec
Anang Budi Gunawan, SE; Ika Retna Wulandary, ST.
TENAGA AHLI
Bambang Waluyanto; Moch Rum Alim; Nana Mulyana; Aziz Faizal Fachrudin;
Setya Rusdianto; Tri Supriyana; Nur Farida Panglipuring Tyas.
TIM PENDUKUNG
Bimo Fachrizal Arvianto, S.Si; Anna Astuti; Eni Arni; Sapto Mulyono;
Slamet Supriyanto; Dwi Santi Satkawati; Cecep Supriyadi; Donny Yanuar.

Komentar, saran dan kritik dapat disampaikan ke :


Direktorat Pengembangan Wilayah
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta Pusat 10310
Telp/Fax. (021) 3193 4195

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan buku Publikasi yang
berjudul Analisis Kesenjangan Antar Wilayah 2011 dari kegiatan
Pengelolaan Data dan Informasi Kewilayahan Berbasis Spasial
Mendukung Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah.
Penyusunan Buku Analisis Kesenjangan Antardaerah ini dimaksudkan untuk
menyajikan informasi tentang perkembangan hasil pembangunan daerah sebagai
kelanjutan dari publikasi sejenis tahun sebelumnya. Data yang digunakan dalam
publikasi ini bersumber dari informasi yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik,
Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian/ Lembaga dan sumber data
lainnya.
Informasi yang disajikan dalam buku ini dibagi menjadi 3 bagian yang
meliputi: Bagian Pertama, berisi uraian yang menjadi latar belakang penyusunan
buku ini, dan penjelasan sistematika penyajian buku. Bagian Kedua, berisi uraian
Metodologi dan Analisis Kesenjangan Antardaerah, Bagian ketiga berisi uraian
kesenjangan perekonomian antardaerah, bagian keempat, berisi uraian
Kesenjangan Kesejahteraan Masyarakat Antarwilayah, bagian kelima berisi uraian
kesenjangan analisis Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Bagian Keenam berisi
uraian implikasi kebijakan.
Informasi kesenjangan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan
pemahaman terhadap kondisi dan perkembangan kesenjangan di Indonesia dilihat
dari beberapa aspek yang dibahas. Dengan demikian melalui informasi dari hasil
analisis kesenjangan ini diharapkan dapat menjadi benchmarking, sehingga kondisi
atau kinerja tiap daerah bisa diperbandingkan dengan daerah yang lain. Selanjutnya
berdasarkan informasi kesenjangan antardaerah ini diharapkan dapat memberikan
orientasi terhadap berbagai kebijakan dan program pengurangan kesenjangan
antardaerah.
Kami mengucapkan terimakasih atas segala dukungan berbagai pihak dalam
penyusunan dan penerbitan buku ini. Kami sangat menghargai kritik dan saran dari
berbagai pihak guna menyempurnakan publikasi ini pada edisi yang mendatang.
Jakarta, Desember 2011
Direktur Pengembangan Wilayah

Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc, Ph.D

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

ii

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

DAFTAR ISI

1.

2.

3.

4.

5.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


1.2. Sistematika Penyajian

1
2

METODOLOGI ANALISIS KESENJANGAN


ANTARWILAYAH

2.1. Analisis Kesenjangan Perekonomian Antarwilayah


2.1.1. Metode Analisis Pendapatan Regional
2.1.2. Metode Analisis Kesenjangan Berdasarkan Pola dan Struktur
Pertumbuhan Ekonomi.

2.2. Analisis Kesenjangan kesejahteraan antarwilayah


2.3. Analisis Pendapatan dan Belanja Daerah
2.4. Metode Penyajian Kesenjangan.

7
9
10

KESENJANGAN PEREKONOMIAN ANTARWILAYAH

13

3.1. Kesenjangan Pendapatan Regional


3.1.1. Disparitas PDRB Perkapita Antarprovinsi.
3.1.2. Indeks Kesenjangan Regional

13
14
20

3.2. Kesenjangan Berdasarkan Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi

27

KESENJANGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT


ANTARWILAYAH

29

4.1. Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarprovinsi


4.2. Kesenjangan Kesejahteraan Masyarakat Antar Kabupaten/Kota
4.2.1. Wilayah Sumatera
4.2.2. Wilayah Jawa Bali
4.2.3. Wilayah Kalimantan
4.2.4. Wilayah Sulawesi
4.2.5. Wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua

29
31
32
33
35
36
37

ANALISIS PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

39

5.1. Analisis Pendapatan Daerah


5.1.1. Rasio Kemandirian Daerah
5.1.2. Kesenjangan Ruang Fiskal Daerah

39
39
41

5.2. Analisis Belanja Daerah


5.2.1. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
5.2.2. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total
Belanja Daerah
5.2.3. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah
5.2.4. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk

43
43

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

3
3

45
46
48
iii

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

5.2.5.

6.

Perbandingan Kualitas Pendapatan dan Belanja Pemerintah


Antarprovinsi

51

5.3. Perimbangan Indeks Komponen Pembentuk IPM denganBelanja


Pemerintah

53

IMPLIKASI KEBIJAKAN

55

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

iv

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

DAFTAR TABEL
Tabel 2.2.

Analisis Kesenjangan kesejahteraan antarwilayah

Tabel 3.1.

Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di


Wilayah Sumatera

13

Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di


Wilayah Jawa-Bali

14

Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di


wilayah Kalimantan

17

Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di


Wilayah Sulawesi

18

Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di


Wilayah Maluku, Nusa Tenggara dan Papua

19

Tabel 3.6.

Kesenjangan PDRB Perkapita Tahun 2005 sampai 2009

20

Tabel 3.7.

Theil Indeks dari PDRB Perkapita (ADHB) Menuru Pulau Tahun


2005 dan 2009

21

IW dan Theil Indeks PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun


2005 dan 2009

21

PDRB Perkapita Non Migas (ADHK) Menurut Pulau Tahun 2005


dan 2009

22

Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005


dan 2009 di Wilayah Sumatera

23

CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009di


Wilayah Sumatera

23

Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 20052009 di Wilayah Jawa-Bali

24

Tabel 3.2.
Tabel 3.3.
Tabel 3.4.
Tabel 3.5.

Tabel 3.8.
Tabel 3.9.
Tabel 3.10.
Tabel 3.11.
Tabel 3.12.
Tabel 3.13.

Tabel 3.14.
Tabel 3.15.
Tabel 3.16.
Tabel 3.17.
Tabel 3.18.
Tabel 3.19.

CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2008 di


Wilayah Jawa-Bali

24

Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut ProvinsiTahun 20052008 di Kalimantan

25

CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009 di


Wilayah Kalimantan

25

Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 20052009 di Wilayah Sulawesi

26

CVw dari PDRB Perkapita Menurut ProvinsiTahun 2005-2009 di


Wilayah Sulawesi

26

Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 20052009 di Wilayah Maluku, Nustra dan Papua

27

CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Tabel 3.20.

Posisi Kuadran Kabupaten/kota Berdasarkan nilai acuan rata-rata


kabupaten/kota pada Tingkat Nasional dan Pulau 2004-2008

Tabel 4.1.

Tabel 4.2.

28

Perkembangan Disparitas IPM Antarprovinsi pada Setiap Wilayah


di Wilayah Maluku, Nustra dan Papua

27

Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah


Sumatera Tahun 2005 dan 2009

33

Pulau, pada Tahun 2005-2009

29

Tabel 4.3.

Disparitas IPM Antar Kab.kota Disetiap Provinsi di Wilayah JawaBali Tahun 2005dan 2009

Tabel 4.4.

Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah


Kalimantan Tahun 2005 dan 2009

36

Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah


Sulawesi Tahun 2005 dan 2008

37

Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah


Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, Tahun 2005 dan 2009

38

Ruang Fiskal Agregat (Pemprov + Pemkab/Pemkot) Menurut 5


Provinsi Tertinggi dan Terrendah, Tahun 2010

43

Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot dan Pemprov Menurut 5 Provinsi


Tertinggi dan Terrendah, Tahun 2010

44

Tabel 5.3.

Indikator Pendapatan Dan Belanja Pemerintah

52

Tabel 5.4.

Matriks Penilaian Kualitas Pendapatan dan Belanja Antarprovinsi

53

Tabel 4.5.
Tabel 4.6.
Tabel 5.1.
Tabel 5.2.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

vi

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

DAFTAR GAMBAR
Gambar3.1.

Distribusi Nilai PDRB Menurut Pulau Tahun 2005 dan 2010,


(dalam persen)

13

Gambar 3.2.

Perbandingan PDRB Perkapita (ADHB) dengan Migas dan


Tanpa Migas Antarprovinsi, Tahun 200914

Gambar 3.3.

Nilai CVw dan T-Indek Kesenjangan PDRB Perkapita Tahun


2005 sampai 2009

20

Perbandingan Nilai Indeks


Antarprovinsi, Tahun 2009

31

Gambar 4.1.
Gambar 4.2.
Gambar 4.3.
Gambar 4.4.
Gambar 4.5.
Gambar 4.6.
Gambar 5.1.
Gambar 5.2.
Gambar 5.3.

Komponen

Pembentuk

IPM

Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi


di Wilayah Sumatera

32

Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi


di Wilayah Jawa Bali

34

Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi


di Kalimantan

35

Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi


di Wilayah Sulawesi

36

Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi


di Wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan papua

38

Rasio PAD Terhadap APBD Agregat Provinsi, Kabupaten dan


Kota

41

Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Se


Provinsi, Tahun 2010

41

Ruang Fiskal Agregat


Antarprovinsi, Tahun 2010

42

(Pempro

Pemkab/Pemkot)

Gambar 5.4.

Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot dan Pemprov, Tahun 2010

43

Gambar 5.3.

Rasio
Belanja Pegawai Terhadap Total BelanjaAgregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota

45

Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Pemerintah


Provinsi dan Kabupaten/Kota Se-Provinsi, Tahun 2010

46

Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja


Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Se Provinsi, Tahun
2010

47

Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat


Provinsi, Kabupaten dan Kota

48

Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah


Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

49

Rasio Belanja Modal perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten


dan Kota

50

Gambar 5.4.
Gambar 5.5.

Gambar 5.6.
Gambar 5.7.
Gambar 5.8.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

vii

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Gambar 5.9.
Gambar 5.10.
Gambar 5.10.
Gambar 5.11.
Gambar 5.12.

Perimbangan Sumber Pendapatan dari DBH


Penyesuaian dan Otsus dengan Belanja Modal

Daya
51

Rasio Belanja Modal perkapita Pemerintah Kabupaten dan Kota


se-Provinsi

51

Perimbangan Indeks Harapan Hidup dengan belanja pemerintah


bidang kesehatan

54

Perimbangan Indeks Hidup Layak dengan belanja pemerintah


bidang Pendidikan

55

Perimbangan Indeks Hidup Layak dengan belanja pemerintah


bidang Ekonomi

55

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

viii

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kesenjangan antarwilayah di Indonesia menjadi signifikan karena adanya keragaman
potensi sumber daya alam, letak geografis, kualitas sumber daya manusia, ikatan etnis
atau politik. Keberagaman ini dapat menjadi sebuah keunggulan dalam satu sisi, namun
disisi lain dapat berpotensi menjadi sumber instabilitas sosial dan politik nasional.
Untuk itu, maka penyelenggaraan pembangunan secara terencana dan berorientasi
terhadap pengurangan kesenjangan antarwilayah menjadi sangat penting untuk
dilakukan.Pemahaman secara komprehensif terhadap persoalan kesenjangan tersebut
perlu menjadi acuan dalam perumusan perencanaan pembangunan, sehingga dapat
mendukung upaya pemerataan pembangunan di Indonesia.
Ketidakseimbangan perekonomian antar daerah di Indonesia harus dianggap
sebagai masalah serius dalam perekonomian nasional dan dalam masalah inilah
seharusnya desentralisasi bisa memberikan kontribusi yang paling signifikan.
Walaupun, desentralisasi juga berpotensi membuat disparitas semakin parah apabila
tidak ada kebijakan khusus yang memprioritaskan upaya mengurangi kesenjangan
itu sendiri. Kesenjangan perekonomian antara daerah sendiri adalah gejala alamiah
yang terjadi di hampir semua wilayah di dunia, termasuk di negara maju. Italia,
misalnya, mempunyai kesenjangan perekonomian yang besar antara wilayah utara
dan wilayah selatan. Cina yang mempunyai pertumbuhan ekonomi spektakuler
praktis bergantung pada pertumbuhan wilayah pantai
timurnya.
Di
Amerika
Serikat, orang pasti bisa merasakan adanya kesenjangan besar antara wilayah
pantai barat dan timur, dengan wilayah selatan. Yang lebih ekstrim lagi, perekonomian
Asia Timur (termasuk Asia Tenggara) yang dianggap sebagai wilayah dengan
pertumbuhan ekonomi paling pesat, ternyata terkonsentrasi
di
satu
wilayah
metropolitan, Tokyo, serta perekonomian Thailand yang terkonsentrasi di metropolitan
Bangkok.
Meskipun tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, kesenjangan antar daerah tetap harus
diupayakan untuk dikurangi. Salah satu prinsip dasar yang harus dipegang para
pengambil kebijakan adalah bahwa kesenjangan perekonomian antar daerah masih
dapat ditoleransi sejauh tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional dan
tidak menciptakan ketidakmerataan pendapatan yang luar biasa dalam masyarakat.
Dengan kata lain, upaya melakukan redistribusi pendapatan masyarakat haruslah
mendapatkan prioritas utama dibandingkan redistribusi perekonomian daerah. Satu hal
lagi yang harus dilakukan dalam upaya mengurangi kesenjangan perekonomian antar
daerah adalah mengurangi jarak antara daerah terkaya dengan daerah termiskin,
melalui upaya khusus untuk mengangkat daerah termiskin secara signifikan.
Untuk memberikan orientasi dalam upaya mengurangi kesenjangan tersebut, diperlukan
data dan informasi objektif, serta teknik pengolahan data tertentu sehingga dapat
memberi gambaran adanya kesenjangan antarwilayah. Informasi yang dikembangkan
dalam anlisis kesenjangan ini mencakup dimensi internal dan eksternal. Dimensi
internal memberikan gambaran tentang keadaan di dalam tiap daerah, sedangkan

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

dimensi eksternal menggambarkan posisi relatif keadaan daerah terhadap daerah


lainnya. Dengan demikian informasi ini mengandung sifat benchmarking, sehingga
kondisi atau kinerja tiap daerah bisa diperbandingkan dengan daerah yang lain. Lebih
lanjut juga diharapkan bisa diketahui corak keadaan tiap daerah atau kelompok daerah.
Atas dasar hal tersebut di atas, maka Direktorat Pengembangan Wilayah berinisiatif
menyusun Buku Analisis Kesenjangan Antarwilayah. Melalui berbagai temuan dari
hasil anlisis kesenjangan ini diharapkan dapat memberikan alternatif dalam penguatan
perencanaan yang berbasis wilayah.

1.2.

Sistematika Penyajian

Buku ini menyajikan data dan informasi yang terkait dengan kesenjangan antarwilayah,
dengan lingkup informasi mengenai beberapa teori pembangunan dan kesenjangan
antarwilayah, serta informasi mengenai hasil analisis kesenjangan dilihat dari perspektif
perekonomian daerah, kesejahteraan masyarakat, serta kemampuan keuangan daerah.
Rincian dari informasi tersebut disajikan dalam 6 Bab, dengan gambaran singkat dari setiap
bab adalah sebagai berikut: BAB I, berisi mengenai latar belakang dari penyajian buku
analisis kesenjangan antarwilayah; BAB II, berisi mengenai metodologi pendekatan untuk
melihat kesenjangan antarwilayah dalam aspek perekonomian daerah, analisis
kesejahteraan masyarakat, analisis kemampuan keuangan antar wilayah, serta metode
penyajian kesenjangan antarwilayah. BAB III, berisi mengenai hasil analisis
perekonomian daerah, BAB IV, berisi mengenai hasil analisis kesenjangan
kesejahteraan masyarakat, BAB V, berisi mengenai hasil analisis kesenjangan
kemapuan keuangan daerah, dan BAB VII, berisi uraian mengenai implikasi kebijakan
yang diperlukan untuk merespon adanya kesenjangan antarwilayah.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

METODOLOGI ANALISIS KESENJANGAN


ANTARWILAYAH

Kesenjangan berarti suatu gambaran terhadap fakta (kondisi) yang tidak homogen, yang
di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang membutuhkan perhatian. Atas dasar
pengertian tersebut, nalaisis kesenjangan antarwilayah dimaksudkan untuk memberi
gambaran fakta-fakta perbedaan perkembangan kondisi hasil pembangunan
antarwilayah, juga terkandung informasi mengenai perbandingan antarwilayah dan
informasi adanya gap (kesenjangan) antaradaerah yang maju dan tertinggal.
Peta kesenjangan antarwilayah ini dibangun melalui pendekatan pengolahan dan teknik
penyajian data, sehingga dapat memberi gambaran fakta kesenjangan antarwilayah.
Berdasarkan temuan fakta kesenjangan ini, selanjutnya diharapkan dapat menjadi dasar
dalam menentukan isu dan permasalahan strategis yang perlu direspon melalui
kebijakan dan program pembangunan.
Bertitik tolak dari fakta kesenjangan tersebut, melalui publikasi analisis kesenjangan
antarwilayah ini, akan menyajikan beberapa fakta kesenjangan antarwilayah yang
meliputi:

Kesenjangan perekonomian antarwilayah


Kesenjangan kesejahteraan antarwilayah
Kesenjangan kemampuan fiskal antarwilayah
Keseimbangan antara kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat
dengan kemampuan fiskal daerah

2.1. Analisis Kesenjangan Perekonomian Antarwilayah


Untuk merepresentasikan pendapatan regional, digunakan parameter output regional
(pendekatan produksi) yang sangat terkait dengan area tertentu, dalam hal ini
kabupaten/kota digunakan sebagai satuan terkecil.Data yang digunakan ialah Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut kabupaten/kota. Dalam hal ini, PDRB
menunjukkan total nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh perekonomian suatu
daerah (kabupaten/kota) selama satu tahun. Data yang digunakan berasal dari regional
account menurut kabupaten/kota yang mulai dipublikasikan oleh BPS secara konsisten
sejak tahun 1993. Selanjutnya digunakan nilai PDRB per kapita untuk menunjukkan
nilai output dibagi jumlah penduduk di area tersebut. Semakin tinggi nilai PDRB per
kapita berarti semakin tinggi kekayaan daerah (region prosperity) di daerah tersebut,
dengan kata lain nilai PDRB per kapita dianggap merefleksikan tingkat kekayaan
daerah.
2.1.1. Metode Analisis Pendapatan Regional
Metode analisis kesenjangan regional dapat ditunjukkan berdasarkan perhitungan
disparitas PDRB Perkapita antarwilayah, perhitungan indeks Theil, indeks L dan CVw
(CV Williamson). Indeks Theil dan L bisa didekomposisi, dimana kesenjangan total
sama dengan penjumlahan dari kesenjangan dalam grup dan kesenjangan antar grup.
Sementara yang terakhir, CVw (CV Williamson)terkenal dan populer digunakan untuk

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

mengukur kesenjangan pendapatan regional, khususnya pendapatan dalam pengertian


indikator PDRB per kapita.
1. Pendapatan per Kapita
Pendapatan per kapita didekati dari angka PDRB (Produk Domestik Regional
Bruto) per kapita, yaitu perhitungan PDRB di suatu kabupaten/kota dibagi oleh
populasi kabupaten/kota tersebut. Formulasi untuk menghitung pendapatan per
kapita adalah:

Pendapatan Perkapita =

Nilai PDRB Kabupaten/Kota


Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota

Data yang digunakan untuk mengolah variabel ini berasal dari buku PDRB
Kabupaten dan Kota serta Kabupaten dalam Angka.
2. Perhitungan Indeks:
a) Theil Indeks merupakan analisis dekomposisi regional (regional decomposition
analysis), kesenjangan dalam provinsi (within provinces inequality) dan
ketimpangan antar provinsi atau between provinces inequality .
Misalkan penduduk dikelompokkan secara eksklusif menurut provinsi dan
kabupaten, maka indeks Theil dan L didefinisikan sebagai:

Dimana:
Yij

Total pendapatan di provinsi i, grup j

Total pendapatan untuk Indonesia ( Yij)

Yij

Rata-rata pendapatan di provinsi i, grup j

Rata-rata pendapatan untuk Indonesia

nij

penduduk di provinsi i, grup j

Total penduduk Indonesia ( nij)

Indeks Theil dan L bisa didekompisisi menjadi komponen dalam grup dan antar
grup sebagai berikut:
Ketimpangan total = Ketimpangan dalam grup + ketimpangan antar grup

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Dimana:
Yi adalah pendapatan total di provinsi, Y adalah rata-rata pendapatan di provinsi i, dan
ni adalah jumlah penduduk di provinsi i. Tw dan Lw adalah komponen dalam grup dari
indeks Theil dan L dan didefinisikan sebagai rata-rata tertimbang komponen dalam grup
Ti dan Li, penimbangnya adalah proporsi pendapatan untuk Theil dan proporsi
penduduk untuk L. TB dan LB adalah komponen antar grup dari indeks Theil dan L,
yang murni mengukur ketimpangan karena perbedaan rataan pendapatan antar provinsi.
b. CVw(CV Williamson)
Indeks Williamson merupakan pendekatan untuk mengukur derajat ketimpangan
antar wilayah berdasarkan PDRB perkapita. Formula ini pada dasarnya sama dengan
coefficient of variation (CV) biasa dimana standar deviasi dibagi dengan rataan.
Williamson (1965) memperkenalkan CV ini dengan menimbangnya dengan proporsi
penduduk, yang disebut CVw. Formulanya adalah sebagai berikut:

Dimana:
CVw =Weighted coefficient of variation
ni = Penduduk di daerah i
n = Penduduk total
Yi = PDRB perkapita di daerah i
Y= Rata-rata PDRB perkapita untuk semua daerah
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

2.1.2. Metode Analisis Kesenjangan Berdasarkan Pola dan Struktur


Pertumbuhan Ekonomi.
TipologiKlassen juga merupakan salah satu alat analisis ekonomi regional yang
digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi
suatu daerah.Pada pengertian ini, TipologiKlassen dilakukan dengan membandingkan
pertumbuhan ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah yang menjadi
acuan atau nasional dan membandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah dengan
PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau PDB per kapita (secara nasional).
Melalui Analisis TipologiKlassenini selain dapat dapat digunakan untuk
mengidentifikasi posisi perekonomian suatu daerah dengan memperhatikan
perekonomian daerah yang diacunya, dan mengidentifikasi sektor, subsektor, usaha,
atau komoditi unggulan suatu daerah, juga dapat memberi gambaran adanya
kesenjangan antarwilayah berdasarkan posisi perekonomian yang dimiliki suatu daerah
terhadap perekonomian nasional maupun daerah yang diacunya.
Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, pengguna analisis tipologiKlassenakan
mendapatkan manfaat sebagai berikut:
1.Dapat membuat prioritas kebijakan daerah berdasarkan keunggulan sektor, subsektor,
usaha, atau komoditi daerah yang merupakan hasil analisis tipologiKlassen.
2. Dapat menentukan prioritas kebijakan suatu daerah berdasarkan posisi perekonomian
yang dimiliki terhadap perekonomian nasional maupun daerah yang diacunya.
3. Dapat menilai suatu daerah baik dari segi daerah maupun sektoral.
TipologiKlassen menghasilkan empat klasifikasi dengan karakteristik yang berbeda
sebagai berikut.
Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi
Rendah

Tinggi

Rata-rata PDRB Perkapita

Tinggi

Kuadran II
Daerah Maju tetapi
Tertekan (high income
but low growth)

Kuadran I
Daerah Cepat Maju
dan Cepat-Tumbuh
(high growth and high
income)

Rendah

Kuadran III
Daerah Relatif
Tertinggal (low growth
and low income).,

Kuadran IV
Daerah sedang
Berkembang (high
growth but low income)

Penjelasan dari matriks di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:


1.

Daerah yang maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I). Kuadran ini merupakan
kuadran daerah dengan laju pertumbuhan PDRB yang lebih besar dibandingkan
pertumbuhan daerah yang menjadi acuan atau secara nasional dan memiliki

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

pertumbuhan PDRB per kapita yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB
per kapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional.
2.

Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II). Daerah yang berada pada kuadran ini
memilikinilai pertumbuhan PDRB yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
PDRBdaerah yang menjadi acuan atau secara nasional, tetapi memiliki
pertumbuhan PDRBper kapita yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB
per kapita daerahyang menjadi acuan atau secara nasional .

3.

Daerah yang masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran III). Kuadran ini
merupakan kuadran untuk daerah yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB yang
lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara
nasional,tetapi pertumbuhan PDRB per kapita daerah tersebut lebih kecil
dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan
atau secara nasional.

4.

Daerah relatif tertingggal (Kuadran IV). Kuadran ini ditempati oleh daerah yang
memilikinilai pertumbuhan PDRB yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional dan sekaligus pertumbuhan
PDRBper kapita yang lebih kecil dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita
daerah yang menjadi acuan atau secara nasional.

2.2. Analisis Kesenjangan kesejahteraan antarwilayah


Saat ini penggunaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development
Index (HDI) sebagai indikator kesejahteraan memperoleh penerimaan secara luas di
seluruh dunia, bahkan telah memperoleh penerimaan pada tingkat daerah.Oleh sebab
itu, penelitian ini menggunakan indeks pembangunan manusia sebagai acuan untuk
menentukan tingkat kesejahteraan dalam bentuk ranking kesejahteraan suatu negara
atau daerah.Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah publikasi Badan
Pusat Statistik, baik data Survei Sosial Ekonomi Nasional, Produk Domestik Regional
Bruto maupun data lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pola perkembangan dan kesenjangan
antarwilayah dengan menggunakan IPM sebagai indikator utama. Deskripsi tentang
pola perkembangan dan kesenjangan antarwilayah sangat penting untuk memahami
daerah-daerah yang perlu memperoleh perhatian khusus dalam perumusan
kebijakan.Selain itu, penelitian ini juga menganalisis keterkaitan pola perkembangan
kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut dengan variabel-variabel pembentuk IPM
dan variabel-variabel lain yang relevan.Berbagai studi telah memperluas eksplorasi
dengan memperhitungkan berapa lama yang diperlukan oleh suatu negara atau suatu
daerah untuk mencapai tingkat kesejahteraan tertentu.
Salah satu motivasi yang melatarbelakangi penelitian ini adalah bagaimana bisa
menyampaikan dan menyebarkan informasi tentang perkembangan dan kesenjangan
kesejahteraan secara luas.Oleh sebab itu, indikator kesejahteraan yang digunakan harus
mudah dipahami, komunikatif dan merangsang keterlibatan dalam pembahasan.Hal ini
dianggap penting karena perencanaan pembangunan dewasa ini umumnya
menggunakan pendekatan partisipatif. Dengan pertimbangan tersebut, penelitian ini
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

menggunakan formulasi sederhana, nilai maksimum dan minimum, serta rata-rata


hitung, serta tabel dan grafik yang diharapkan bisa membantu kejelasan informasi
mengenai perkembangan dan kesenjangan kesejahteraan masyarakat daerah di
Indonesia.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan suatu indikator komposit tunggal yang
diharapkan mampu merangkum beberapa dimensi utama pembangunan manusia yang
dinilai mencerminkan status kemampuan dasar penduduk.Dimensi-dimensi utama itu
adalah dimensi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Indikator dan variabel yang menyusun Indeks Pembangunan Manusia ini adalah
variabel-variabel yang menunjukan kualitas sumber daya manusia dalam beberapa
dimensi-dimensi utama yaitu dimensi ekonomi, dimensi kesehatan, dan dimensi
pendidikan, yaitu sebagai berikut:
Indikator Ekonomi

: Variabel yang dipakai dalam indikator ini adalah


Konsumsi/kapita disesuaikan (ribuan rupiah).

Indikator Kesehatan : Variabel yang dipakai dalam indikator ini adalah


Angka Harapan Hidup (tahun).
Indikator Pendidikan : Variabel yang dipakai dalam indikator ini adalah
Angka Melek Huruf (%) dan Rata-rata Lama Sekolah
(tahun).
Angka Harapan Hidup pada Waktu Lahir (Life Expectancy at Birth)
Angka harapan hidup pada waktu lahir adalah suatu perkiraan rata-rata
lamanya hidup sejak lahir (dalam tahun) yang akan dicapai oleh penduduk.
Data yang digunakan berasal dari olahan BPS tahun 1996 dan 1999.
Angka Melek Huruf (Literacy Ratio)
Angka melek huruf adalah ukuran persentase penduduk usia sepuluh tahun
ke atas yang bisa membaca dan menulis. Formula yang digunakan untuk
menghitung angka melek huruf adalah sebagai berikut.

Angka Melek Huruf =

Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bisa Baca Tulis


X 100%
Jumlah Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas

Data digunakan untuk mengolah variabel ini berasal dari Susenas tahun 1996
dan 1999 dan hasil olahan Biro Pusat Statistik tahun 1996 dan 1999.
2) Rata-rata Pengeluaran per Kapita Riil yang Disesuaikan (Adjusted Real per
Capita Expenditure)
Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil
yang telah disesuaikan.Data yang ditampilkan merupakan hasil pengolahan Biro
Pusat Statistik (BPS), terutama berdasarkan data Susenas.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Sumber Data yang digunakan dalam penyusunan Indeks Pembanguanan


Manusia ini adalah data dari Susenas olahan Biro Pusat Statistik (BPS).
Rumus penghitungan IPM dapat disajikan sebagai berikut:
IPM = 1/3 [X(1) + X(2) + X (3)]
Keterangan:
X(1)

Indeks harapan hidup

X(2)

Indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) +1/3 (indeks rata-rata


lama sekolah)

X(3)

Indeks standar hidup layak

Indeks komponen IPM merupakan perbandingan antara selisih nilai suatu


indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai maksimum dan nilai
minimum indikator tersebut. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut:
Indeks X(i) = [ X(i) - X(i)min] / [ X(i)maks - X(i)min]
Keterangan:
X(i)

Indikator ke-i (i =1,2,3)

X(i)maks =

Nilai maksimum X(i)

X(i)min

Nilai minimum X(i)

Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X(i) disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2.2
Analisis Kesenjangan kesejahteraan antarwilayah
Komponen IPM
(=X(i))
Angka Harapan Hidup
Angka Melek Huruf
Rata-rata lama sekolah
Konsumsi per kapita yang
disesuaikan

Nilai
Maksimum

Nilai
Minimum

85
100
15
a)
732.720
c)
1332.720

25
0
0
b)
300.000
d)
900.000

Catatan
Standar UNDP
Standar UNDP
Standar UNDP
UNDP menggunakan
PDB/kapita riil yang
disesuaikan

2.3. Analisis Pendapatan dan Belanja Daerah


Terdapat beberapa macam metode biasa digunakan untuk menganalisis pendapatan dan
belanja daerah. Melalui Analisis kesenjangan ini akan dilakukan analisis sebagai
berikut:

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

1. Rasio Kemandirian Daerah


Rasio kemandirian dapat ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan.
Rasio PAD terhadap total penpatan memiliki makna kemandirian, yaitu semakin
besar angka rasio PAD maka kemandirian daerah semakin besar. Dengan demikian,
daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik adalah daerah yang memiliki
rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah.
2. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Rasio ini memperlihatkan rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah. Semakin
tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk
belanja pegawai dan begitu sebaliknya semakin kecil angka rasio belanja pegawai
maka semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai
APBD. Belanja pegawai yang dihitung dalam rasio ini melipui belanja pegawai
langsung dan belanja pegawai tidak langsung.
3. Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah
Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah mencerminkan
porsi belanja daerah terhadap pembayaran gaji pegawai PNSD. Semakin besar
rasionya maka semakin besar belanja daerah yang dibelanjakan untuk membayar
gaji pegawai daerah dan sebaliknya, semakin kecil angka rasionya maka semakin
kecil belanja daerah yang dipergunakan untuk membayar gaji pegawai daerah.
4. Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah
Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja
daerah yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja Modal sendiri ditambah
belanja barang dan jasa, merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta,
rumah tangga, dan luar negeri. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya,
semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin
rendah angkanya, semakin buruk pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.
5. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk
Rasio belanja modal perkapita menunjukkan seberapa besar belanja yang
dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk.
Rasio belanja modal perkapita memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan
ekonomi karena belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang
menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk
menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan perekonomian
penduduknya dari pembangunan infrastruktur yang dikeluarkan.

2.4. Metode Penyajian Kesenjangan.


Kesenjangan berarti suatu gambaran terhadap fakta (kondisi) yang tidak homogen, yang
di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang membutuhkan perhatian.Atas dasar
pengertian tersebut, penyusunan profil kesenjangan antarwilayah dimaksudkan untuk
memberi gambaran fakta-fakta perbedaan perkembangan kondisi hasil pembangunan
antarwilayah, juga terkandung informasi mengenai perbandingan antarwilayah yang
maju dan tertinggal.
Kondisi kesenjangan antarwilayah ini akan dilakukan melalui pendekatan analisis data
dengan perhitungan indeks yang sudah lajim digunakan, dan dibangun melalui

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

10

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

pendekatan pengolahan dan teknik penyajian data. Penyajian dengan cara ini
diharapkan akan lebih memberikan informasi yang lebih utuh baik secara kuantitatif
maupun dimensi ruangnya. Dalam Profil Kesenjangan Kesejahteraan Masyarakat
Antarwilayah ini lingkup unit-unit yang akan diperbandingkan dipilih sedemikian rupa
sehingga akan menunjukkan:
1. Kesenjangan antarwilayah
Kesenjangan bentuk ini adalah komparatif antarwilayah (kabupaten/kota) yang
disajikan dalam suatu pengamatan yang agregat terhadap seluruh
kabupaten/kota yang ada di wilayah Indonesia.
2. Kesenjangan antarwilayah dalam kelompok terdefinitif (cluster pada
integrasi spasial, provinsi, pulau, dsb.)
Dalam bentuk ini kesenjangan dilihat dalam suatu lingkup wilayah yang
terdefinitif seperti kesenjangan antarwilayah dalam lingkup satu provinsi, satu
pulau, dan lainnya.Misalnya kesenjangan antarwilayah (kabupaten/kota) dalam
suatu provinsi, kesenjangan antarwilayah (kabupaten/kota) di Pulau Jawa, dan
sebagainya.
Untuk menggambarkan keberbandingan melalui pendekatan di atas, akan disajikan
melalui format sebagai berikut:

Grafik, berisi ilustrasi hasil pengolahan data tabular seperti perankingan


kabupaten dan kota berdasarkan olahan suatu variabel. Grafik ini juga untuk
menggambarkian nilai-nilai ekstrim seperti grafik 10 kabupaten/kota tertinggi dan
10 kabupaten/kota terrendah dan mengambarkan perbandingan antara
kabupaten/kota tertinggi dengan kabupaten terrendah seperti grafik perbandingan
10 kabupaten/kota tertinggi dengan 10 kabupaten/kota terrendah.

Diagram Pencar (Scatter Plot), berisi pemetaan kondisi dan kedudukan


kota/kabupaten dilihat dari dua atau tiga aspek variabel yang saling terkait dan
dinilai mampu memberikan makna yang lebih berarti.lihat Box 1.

Tabular dan perankingan yaitu penyajian data-data dengan menggunakan tabel


yang merupakan hasil penghitungan baik dengan menggunakan teknik analisis
statistik deskriptif maupun teknik analisis lain yang relevan, dilengkapi dengan
peringkat kota/kabupaten dalam skala nasional dan provinsi berdasarkan variabel
yang diolah yang mengukur keterbandingan antar kabupaten/kota.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

11

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

BOKS 1.
KETERANGAN SALIB SUMBU

Kuadran II

10.00

VARIABEL 2

9.00

8.00

Kuadran I
Nilai Rata-rata Variabel 1

11.00

Nilai Rata-rata Variabel 2

7.00

6.00

Kuadran IV

Kuadran III
0.00

20.00

40.00
VARIABEL 1

60.00

80.00

Variabel 1 merupakan variabel yang dipertimbangkan sebagai faktor yang berpengaruh


terhadap variabel 2, dan variabel 2 dapat merupakan variabel output, outcome atau
impact.
Kuadran I: merupakan kelompok provinsi yang berada di atas rata-rata niai variabel 1
dan 2.
Kuadran II: merupakan kelompok provinsi yang berada di atas rata-rata variabel 2, dan
berada di bawah rata-rata variabel 1.
Kuadran III: merupakan kelompok provinsi yang berada di bawah rata-rata niai
variabel 1 dan 2.
Kuadran IV: merupakan kelompok provinsi yang berada di bawah rata-rata variabel 2,
dan berada di atas rata-rata variabel 1.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

12

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

KESENJANGAN PEREKONOMIAN
ANTARWILAYAH

3.1. Kesenjangan Pendapatan Regional


Perekonomian nasional masih terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera, hampir >70
persen nilai PDRB terkonsentarasi di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera seperti disajikan
pada Gambar 3.1. Perkembangan nilai PDRB dalam periode 2005-2009 (BPS 2010),
kontribusi Wilayah Jawa-Bali terhadap pembentukan PDB Nasional tahun 2005
mencapai 60,11 persen dan 59,39 persen tahun 2010. Sementara untuk wilayah
Sumatera sekitar 22,12 persen (2005) meningkat pada tahun 2010 menjadi 23,03
persen. Sedangkan kontribusi paling rendah adalah dari wilayah Maluku hanya sekitar
0,27 persen (2005) dan 0,25 persen (2010). Jika dilihat nilai PDRB antarprovinsi tahun
2010, menunjukan tingkat kesenjangan yang cukup tinggi antarprovinsi, hal ini
ditunjukan dengan adanya gap PDRB tertinggi dan terredah antar provinsi, nilai PDRB
tertinggi di Provinsi DKI Jakarta (Rp. 862.158.910,75 juta), Jawa Tengah (Rp.
444.396.468,19 juta), Jawa Barat (Rp. 770.660.479,99 juta), Jawa Timur (Rp.
778.455.772,46 juta), Riau (Rp. 342.691.448,53 juta), dan nilai PDRB terrendah adalah
Provinsi Maluku Rp. 8.084.807,44 juta). Maluku Utara (RP. 5.387.443,93 juta), dan
Gorontalo (Rp. 8.056.514,92 juta). Lampiran 1.
Gambar 3.1.
Distribusi Nilai PDRB Menurut Pulau Tahun 2005 dan 2010, (dalam persen)
Share PDRB terhadap PDB (persen)

Share PDRB terhadap PDB (persen)


2010**)

2005

0.25

0.27

Sumatera

1.51
4.07

1.93

10

Jawa & Bali


22.12

Kalimantan

Sumatera

1.45
9.13

4.61

2.12
23.03

Nusa Tenggara

Kalimantan
Sulawesi

Sulawesi
60.11

Jawa & Bali

59.39

Nusa Tenggara

Maluku

Maluku

Papua

Papua

Sumber: BPS 2010

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

13

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

3.1.1. Disparitas PDRB Perkapita Antarprovinsi.


Kesenjangan perekonomian antarwilayah dapat digambarkan dari output regional
berdasarkan PDRB perkapita. Kesenjangan pendapatan antar provinsi menunjukan
angka cukup tinggi atau disparitas cukup tinggi, diakibatkan adanya nilai PDRB
perkapita dibeberapa provinsi yang jauh lebih besar dari rata-rata PDB perkapita
nasional, diantaranya adalah PDRB perkapita di Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Riau,
dan Kepulauan Riau. Sebaliknya beberapa provinsi dengan PDRB perkapita sangat
rendah, meliputi Provinsi Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Maluku,dan Gorontalo.
Tingginya PDRB perkapita di Kalimantan Timur dan Riau disebabkan wilayah tersebut
memiliki sumber daya alam yang berlimpah seperti minyak dan gas bumi, bahan
tambang, dan sumberdaya hutan. Di Kepulauan Riau disebabkan adanya Kota Batam
yang merupakan pusat kegiatan industri dan perdagangan antar Negara. Sementara
DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan sektor industri, jasa dan perdagangan.
Gambar 3.2.
Perbandingan PDRB Perkapita (ADHB) dengan Migas
dan Tanpa Migas Antarprovinsi, Tahun 2009
Kaltim
DKI
Riau
Kepri
Papua
NASIONAL
Kep. BaBel
Papua
Sumsel
Jatim
Sumut
Kalteng
Aceh
Bali
Sumbar
Jabar
Jambi
Kalsel
Sulut
Banten
Sulteng
Sulsel
Kalbar
Sultra
Jateng
DIY
Lampung
NTB
Bengkulu
Sulbar
Gorontalo
Maluku
NTT
Malut

81,746
88,920
82,080

47,816

5,225
4,808
0

25,000

50,000

75,000

PDRB Perkapita Tanpa Migas 2009**


PDRB Perkapita dengan Migas 2009**
Sumber: Data PDRB, Data BPS

100,000

Perkembangan disparitas setiap


provinsi
berdasarkan
PDRB
perkapita dengan migas dan tanpa
migas tahun 2005 dan 2009 rata-rata
menunjukan
kecenderungan
semakin melebar. Seperti disajikan
pada Gambar 3.1, ditunjukan bahwa
tingginya
kesenjangan
PDRB
perkapita
antarprovinsi
karena
adanya gap yang cukup tinggi antara
PDRB perkapita tertinggi dan
Terrendah, PDRB perkapita tanpa
migas tertinggi terdapat di Provinsi
Kalimantan Timur, DKI Jakarta,
Riau
dan
Kepulauan
Riau,
sedangkan
PDRB
perkapita
terrendah terdapat di Maluku, Nusa
Tenggara Timur, dan Maluku Utara.
Berdasarkan Tabel 3.1, terlihat
tingkat perbandingan disparitas
tahun 2009 antarprovinsi di lingkup
pulau, disparitas tertinggi terdapat di
Provinsi Kepulauan Riau dan Riau
yang di tunjukan dengan tingginya
selisih nilai PDRB perkapita
tertinggi dan terendah di provinsi
tersebut, PDRB perkapita tertinggi
di Provinsi Riau tahun 2009
mencapai sebesar Rp. 63.986
ribu/jiwa dan terrendah Rp. 21.802
ribu/jiwa dengan PDRB perkapita
tertinggi terdapat Pelalawan, Siak,
Kuantan Singingi, dan terrendah di
Kabupaten Kampar, Kota Dumai, di
Provinsi Kepulauan Riau dengan

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

14

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 52,336 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 10,100
ribu/jiwa, kabupaten/kota dengan PDRB perkapita terbesar terdapat di Kota Batam,
Kab.Bintan, Kota Tanjung Pinang dan PDRB terrendah terdapat di Padang Kabupaten
Lingga. Sementara disparitas terrendah di tunjukan dengan rendahnya selisih nilai
PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, disparitas terrendah
terdapat di Provinsi Jambi dan Bengkulu dengan perbadingan PDRB perkapita tertinggi
di Provinsi Jambi sebesar Rp. 17,875 ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah sebesar
Rp. 7,886 ribu/jiwa. Kabupaten/kota dengan PDRB perkapita terbesar terdapat di
Tanjung Jabung Barat, Kota Sungai Penuh, dan Kota Jambi dan PDRB terrendah
terdapat di Kabupaten Tebo dan Muaro Jambi. Sementara untuk PDRB perkapita
tertinggi di Provinsi Bengkulu sekitar Rp. 14,984 ribu/jiwa dan terrendah sebesar Rp.
4.093 ribu/jiwa, Kabupaten/kota dengan PDRB perkapita terbesar terdapat di Kota
Bengkulu dan Rejang Lebong, Kepahiang dan PDRB terrendah terdapat di Kabupaten
Kaur, Seluma. Perbandingan PDRB perkapita kabupaten/kota di tiap provinsi disajikan
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1.
Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Sumatera
Wilayah
Aceh

Sumatera
Utara

Sumatera
Barat

Riau

Jambi

Sumatera
Selatan

Bengkulu

Lampung

Tahun

Disparitas (ribu Rp)

Keterangan

Max.
15.207

Min.
3.411

Perubahan
11.796

Tertinggi
Lhokseumawe, Nagan
Raya, Banda Aceh

Terendah
Simeulue, Aceh Singkil,
Kota Subulusallam

2009**

29.403

4.644

24.759

Banda Aceh,
Lhokseumawe, Nagan
Raya
Kab.Asahan, Deli
Serdang, Kota Tanjung
Balai, Kota Binjai

Ubussalam, Aceh Jaya,


Simeulue

2005

24.163

4.474

19.689

2009**

37.270

6.141

31.129

Batu Bara, Labuhan Batu


Selatan, dan Deli Serdang

Pakpak Bharat dan


Tapanuli Tengah

2005

16.555

5.375

11.180

Pesisir Selatan, Solok


Selatan, Pasaman

24.941

9.099

15.842

Kota Padang, Kota


Pariaman, Kota Swah
Lunto
Kota Padang, Kota
Pariaman, Kep. Mentawai

2009**
2005

28.887

11.780

17.107

Pelalawan, Siak, Kuantan


Singingi

Kampar, Kota Dumai

2009**

63.986

21.802

42.184

Pelalawan, Siak, Kuantan


Singingi

Kampar, Kota Dumai

2005

10.658

4.551

6.107

Tanjung Jabung Barat,


Kota Jambi, Kerinci

Tebo dan Muaro Jambi

2009**

17.875

7.886

9.989

Tebo dan Muaro Jambi

2005

12.856

4.325

8.531

Tanjung Jabung Barat,


Kota Sungai Penuh, dan
Kota Jambi
Kota Palembang, Musi
Banyuasin

2009**

22.311

7.738

14.573

Kota Palembang, Musi


Banyuasin

2005

10.148

2.761

7.387

Kota Bengkulu, Rejang


Lebong, Kepahiang

2009**

14.984

4.093

10.891

Kota Bengkulu dan Rejang


Lebong, Kepahiang

Kaur, Seluma

2005

8.561

3.690

4.871

Kota Bandar Lampung,


Tulang Bawang, Lampung
Utara

Way Kanan, Lampung


Barat

2005

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Pakpak Bharat dan


Tapanuli Tengah

Pesisir Selatan, Solok


Selatan, Pasaman

Ogan Komering Ulu


Timur, Ogan Komering
Ulu Selatan
Ogan Komering Ulu
Timur, Ogan Komering
Ulu Selatan
Kaur, Seluma

15

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Bangka
Belitung

Kepulauan
Riau

2009**

20.477

6.302

14.175

Kota Bandar Lampung,


Tulang Bawang, Lampung
Utara
Bangka Barat, Belitung
Timur, Bangka Tengah

Way Kanan, Lampung


Barat

2005

22.533

10.139

12.394

2009**

33.277

10.139

23.138

Bangka Barat, Belitung


Timur, Bangka Tengah

Bangka, Bangka Selatan

2005

42.043

7.397

34.646

Lingga

10.100

42.236

Kota Batam, Kab.Bintan,


Kota Tanjung Pinang
Kota Batam, Kab.Bintan,
Kota Tanjung Pinang

2009**

52.336

Bangka, Bangka Selatan

Lingga

Sumber: BPS Thaun 2010


Keterangan: **) angka sangat sementara

Di wilayah Jawa-Bali, perkembangan disparitas PDRB perkapita setiap provinsi antara


tahun 2005 dan 2009, menunjukan kecenderungan semakin melebar. Berdasarkan
Tabel 3.2, terlihat jika diperbandingkan tingkat disparitas tahun 2009 antarprovinsi di
lingkup pulau, disparitas tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur
yang di tunjukan dengan tingginya selisih nilai PDRB perkapita tertinggi dan terendah
di provinsi tersebut, PDRB perkapita tertinggi di Provinsi DKI Jakarta mencapai
sebesar Rp. 222,549 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 16,292 ribu/jiwa, dengan nilai tertinggi
terdapat di Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan dan PDRB perkapita terrendah
Jakarta Barat, Kep Seribu. PDRB perkapita tertinggi di Provinsi Jati Tengah mencapai
sebesar Rp. 202.335 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 3,245 ribu/jiwa, dengan nilai tertinggi
terdapat di Kota Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang dan PDRB perkapita terrendah
Trenggalek, Pamekasan, . Sementara disparitas terrendah di tunjukan dengan rendahnya
selisih nilai PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, disparitas
terrendah terdapat di Provinsi DI Yogyakarta dengan perbadingan PDRB perkapita
tertinggi sebesar Rp. 22,892 ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah sebesar Rp. 5,656
ribu/jiwa, dengan nilai tertinggi terdapat di Kota Yogyakarta, Kab. Sleman dan PDRB
perkapita terrendah Kulon Progo, Bantul. Perbandingan PDRB perkapita
kabupaten/kota di tiap provinsi disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2.
Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Jawa-Bali
Wilayah
DKI
Jakarta

Jawa Barat

Jawa
Tengah

DI
Yogyakarta

Jawa
Timur

Tahun

PDRB Perkapita (Ribu Rp.)

2005

Max.
126.766

Min.
10.305

Selisih
116.461

2009**

222.549

16.292

206.257

2005

28.336

4.395

23.941

2009**

38.655

6.905

31.750

2005

26.275

2.717

23.558

2009**

36.240

4.283

31.957

2005

15.495

5.550

9.945

2009**

22.892

5.656

17.236

2005

121.228

3.245

117.983

Keterangan
Tertinggi
Jakarta Pusat, Jakarta
Utara, Jakarta Selatan
Jakarta Pusat, Jakarta
Utara, Jakarta Selatan
Bekasi, Kota Cirebon,
Kota Bandung, Kota
Cimahi
Bekasi, Kota Cirebon,
Kota Bandung
Kudus, Kota Semarang,
Cilacap
Kudus, Kota Semarang,
Cilacap
Kota Yogyakarta, Kab.
Sleman
Kota Yogyakarta, Kab.
Sleman
Kota Kediri, Kota
Surabaya, Kota Malang

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Terendah
Jakarta Barat, Kep
Seribu
Jakarta Barat,Kep
Seribu
Majalengka,
Tasikmalaya,
Kuningan
Kuningan,
Majalengka,
Tasikmalaya
Kebumen, Tegal,
Gerobogan
Kebumen, Tegal,
Gerobogan
Kulon Progo, Bantul
Kulon Progo, Bantul
Trenggalek,
Pamekasan, Pacitan

16

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Banten

Bali

2009**

202.335

3.245

199.090

2005

39.971

4.209

35.762

2009**

57.229

5.783

51.446

2005

17.981

5.852

12.129

2009**

30.350

9.477

20.873

Kota Kediri, Kota


Surabaya, Kota Malang
Kota Tanggerang,
Banten
Kota Tanggerang,
Banten
Kab. Badung, Kota
Denpasar
Kab. Badung, Kota
Denpasar

Trenggalek,
Pamekasan, Pacitan
Lebak, Kab.
Tangerang
Lebak, Kab.
Tangerang
Bangli, Karang Asem
Bangli, Karang Asem

Sumber: BPS Thaun 2010


Keterangan: **) angka sangat sementara

Di wilayah Kalimantan, perkembangan disparitas PDRB perkapita seluruh provinsi


antara tahun 2009 dan 2009, menunjukan kecenderungan semakin melebar. Disparitas
tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang di
tunjukan dengan tingginya selisih nilai PDRB perkapita tertinggi dan terendah di
provinsi tersebut, PDRB perkapita tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur mencapai
sebesar Rp. 135,165 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 12,545 ribu/jiwa, PDRB perkapita
tertinggi di Kalimantan Timur berada di Kutai Timur, Bontang, Kutai Kartanegara dan
PDRB perkapita terrendah di Nunukan, Penajam Paser Utara. PDRB perkapita tertinggi
di Provinsi Kalimantan Selatan mencapai sebesar Rp. 29,746 ribu/jiwa dan terrendah
Rp. 5,945 ribu/jiwa dengan PDRB perkapita tertinggi di Kalimantan Selatan berada di
Kota Baru, Tanah Bambu, Balangan, Tabalong dan PDRB perkapita terrendah di Hulu
Sungai tengah, Hulu Sungai Utara. Sementara disparitas terrendah terdapat di Provinsi
Kalimantan Tengah dengan perbadingan PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 23,690
ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah sebesar Rp. 9,379 ribu/jiwa, dengan PDRB
perkapita terrendah di Kabupaten Gunung Mas, Kapuas, Pulang Pisau, Murung Raya,
dan Barito Timur. Perbandingan PDRB perkapita kabupaten/kota di tiap provinsi
disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3.
Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di wilayah Kalimantan
Wilayah

Tahun

PDRB Perkapita (Ribu Rp.)


Max.

Kalimantan
Barat

Kalimantan
Tengah

Kalimantan
Selatan

Kalimantan
Timur

Min.

Keterangan

Selisih

2005

13.752

3.532

10.220

2009**

19.744

4.941

14.803

2005

19.809

6.417

13.392

2009**

23.690

9.379

14.311

2005

19.662

4.187

15.475

2009**

29.746

5.945

2005

68.499

2009**

135.165

Tertinggi

Terendah

Kota Pontianak, Kab.


Pontianak, Kota
Singkawang
Kota Pontianak, Kab.
Pontianak, Kota
Singkawang
Kab. Sukamara, Murung
Raya, Seruyan

Sekadu, Melawi

Kab. Sukamara, Murung


Raya, Seruyan,
Kotawaringin Timur
Kota Baru, Tanah Bambu,
Balangan

Gunung Mas,
Kapuas, Pulang Pisau

23.801

Kota Baru, Tanah Bambu,


Balangan, Tabalong

Hulu Sungai tengah,


Hulu Sungai Utara

8.224

60.275

12.545

122.620

Kutai Timur, Kota Bontang,


Kab. Berau
Kutai Timur, Bontang,
Kutai Kartanegara

Nunukan, Penajam
Paser Utara
Nunukan, Penajam
Paser Utara

Sekadu, Melawi

Gunung Mas,
Kapuas, Pulang Pisau

Hulu Sungai tengah,


Hulu Sungai Utara

Sumber: BPS Tahun 2010


Keterangan: **) angka sangat sementara

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

17

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Di wilayah Sulawesi, perkembangan disparitas PDRB perkapita seluruh provinsi antara


tahun 2005 dan 2009, menunjukan kecenderungan semakin melebar. Keceuali Provinsi
Sulawesi Selatan kecenderungan menurun. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara yang di tunjukan dengan tingginya selisih nilai
PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, PDRB perkapita tertinggi di
Sulawesi Selatan mencapai sebesar Rp. 27,031 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 5,241
ribu/jiwa, PDRB perkapita tertinggi di Sulawesi Selatan terdapat di Kabupaten Luwu
Timur, Kota Makasar, Pangkajene, dan PDRB perkapita terrendah di Tana Toraja,
Gowa, Jenepon. PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, PDRB
perkapita tertinggi di Sulawesi Utara mencapai sebesar Rp. 23,647 ribu/jiwa dan
terrendah Rp. 7,097 ribu/jiwa, PDRB perkapita tertinggi di Sulawesi Utara terdapat di
Kabupaten Kota Bitung , Kota Manado, Kota Tomohon, Minahasa Tenggara, dan
PDRB perkapita terrendah di Bolaang Mangondow Selatan Kutamobagu. Sementara
disparitas terrendah terdapat di Provinsi Sulawesi Barat dengan perbadingan PDRB
perkapita tertinggi sebesar Rp. 10,229 ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah sebesar
Rp. 7,035 ribu/jiwa, dengan PDRB perkapita terrendah di Kabupaten Mamasa.
Perbandingan PDRB perkapita kabupaten/kota di tiap provinsi disajikan pada Tabel
3.4.
Tabel 3.4.
Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Sulawesi
Wilayah

Tahun

Sulawesi
Utara

2005

14.298

5.212

9.086

2009**

23.647

7.097

16.550

2005
2009**

9.768

17.834

3.191
4.794

6.577

13.040

2005

24.274

3.124

21.150

11.116

3.248

7.868

Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Tenggara
Gorontalo

Sulawesi
Barat

2009**
2005
2009**
2005
2009**

2005
2009**

PDRB Perkapita (Ribu Rp.)


Max.

27.031
19.694
4.725
8.918
6.149

10.229

Min.

5.241

Selisih

21.790

6.091

13.603

4.905

4.013

2.764

3.779
7.035

1.961

2.370
3.194

Tertinggi

Keterangan

Kota Bitung, Kota


Manado,

Kota Bitung , Kota


Manado, Kota
Tomohon, Minahasa
Tenggara
Kota Palu, Parigi
Moutong

Kota Palu, Kab.


Morowali, Parigi
Mautong
Luwu Timur, Kota
Makasar, Pangkajene
Luwu Timur, Kota
Makasar, Pangkajene

Kolaka, Kolaka Utara,


Kota Kendari
Kolaka, Kolaka Utara,
Kota Kendari
Pahuwato, Kota
Gorontalo

Pahuwato, Kota
Gorontalo, Bone
Bolango
Mamuju Utara,
Mamasa
Mamuju Utara,
Mamuju, Majene

Sumber: BPS Tahun 2010, Keterangan: **) angka sangat sementara

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Terendah

Kepulauan Sangihe,
Kepulauan Talaud,
Bolaang Mangondow
Bolaang Mangondow
Selatan Kutamobagu
Buol, Banggai Kepulauan,
Tojo Una una
Buol, Banggai Kepulauan,
Tojo Una una
Tana Toraja, Gowa,
Jeneponto

Tana Toraja, Gowa,


Jeneponto
Wakatobi, Buton
Wakatobi, Buton

Gorontalo, Bone Bolango


Gorontalo Utara

Polewali Mandar

Mamasa

18

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Di wilayah Maluku, Nustra, dan Papua perkembangan disparitas PDRB perkapita setiap
provinsi antara tahun 2005 dan 2009 rata-rata menunjukan kecenderungan semakin
melebar. Kecuali Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Papua menunjukan kecenderungan
menurun, namun kedua provinsi tersebut memiliki disparitas paling tinggi diantara
provinsi lainnya dengan nilai PDRB perkapita tertinggi terdapat di Mimika. PDRB
perkapita tertinggi di Nusa Tenggara Barat mencapai sebesar Rp. 128,262 ribu/jiwa dan
terrendah Rp. 4,789 ribu/jiwa, PDRB perkapita tertinggi di Nusa Tenggara Barat
terdapat di Kabupaten Sumbawa Barat, Kota Mataram, Dompu, Sumbawa, dan PDRB
perkapita terrendah di Lombok Tengah, Lombok Timur. Untuk PDRB perkapita
tertinggi di Papua mencapai sebesar Rp. 295,051 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 1,553
ribu/jiwa, PDRB perkapita tertinggi di Papua terdapat di Kabupaten Mimika, Boven
Digul, Kota Jayapura, dan PDRB perkapita terrendah di Yahukimo, Nduga, Lanny Jaya.
Sementara disparitas terrendah terdapat di Provinsi Maluku Utara dengan perbadingan
PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 10,796 ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah
sebesar Rp. 3,305 ribu/jiwa, dengan PDRB perkapita terrendah di Kabupaten
Halmahera Barat, Kepulauan Sula. Perbandingan PDRB perkapita kabupaten/kota di
tiap provinsi disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5.
Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Maluku,
Nus Tenggara dan Papua
Wilayah
Nusa
Tenggara
Barat
Nusa
Tenggara
Timur
Maluku

Tahun

Papua Barat

Min.

Selisih

99.512

2.974

47.415,82

2009**

128.262

4.789

36.020,13

9.623

1.968

4.671,25

7.764

1.908

4.227,94

2005
2009**
2005

2005
2009**
2005

2009**
Papua

Max.

2005

2009**
Maluku Utara

PDRB Perkapita (Ribu Rp.)

2005
2009**

13.452

3.031

5.388,32

10.942

2.757

4.575,61

10.796

3.305

3.898,31

6.635

11.759

2.226
4.480

17.464

7.134

295.051

1.553

254.141

Sumber: BPS Tahun 2008


Keterangan: *) angka sementara; **) angka sangat sementara

935

3.591,83
4.227,94
4.575,61

74.002,34
66.307,24

Tertinggi

Keterangan

Sumbawa Barat,
Mataram, Dompu

Sumbawa Barat,
Kota Mataram,
Dompu, Sumbawa

Sumba Barat, Kota


Kupang, Ngada

Kota Kupang, Ngada


Kota Ambon,
Maluku Tenggara
Barat,

Kota Ambon, Kota


Tual, Kepulauan Aru
Halmahera Tengah,
Halmahera Timur,
Halmahera Tengah,
Halmahera Timur,
Kaimana, Sorong,
Fakfak, Teluk
Bintuni
Fakfak, Teluk
Bintuni, Kaimana

Mimika, Boven
Digul, Kota Jayapura

Mimika, Boven
Digul, Kota Jayapura

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Terendah

Lombok Barat,
Lombok Timur,
Lombok Tengah
Lombok Tengah,
Lombok Timur

Lembata, Manggarai
Sumba Barat Daya,
Manggarai Timur

Seram Bagian Barat,


Maluku Tengah, Seram
Bagian Timur
Seram Bagian Barat,
seram Bagian Timur

Halmahera Barat, Kep


Sula
Halmahera Barat,
Kepulauan Sula

Sorong Selatan, Teluk


Wondama
Sorong Selatan, Raja
Empat
Asmat, Pegunungan
Bintan, Yahukimo
Yahukimo, Nduga,
Lanny Jaya

19

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

3.1.2. Indeks Kesenjangan Regional


Pengukuran kesenjangan regional melalui pendekatan indeks akan digunakan
berdasarkan analisis Theil indeks, dan CVw (CV Williamson). Indeks Theil dan L bisa
didekomposisi, dimana ketimpangan total sama dengan penjumlahan dari ketimpangan
dalam grup dan ketimpangan antar grup. Sementara yang terakhir, CVw digunakan
untuk mengukur ketimpangan pendapatan regional, khususnya pendapatan dalam
pengertian indikator PDRB per kapita.
Tabel 3.6 :
Kesenjangan PDRB Perkapita Tahun 2005 sampai 2009.
Tipe Kesenjangan
T-within prov
T-between prov
Total
T-within prov (%)
T-between prov (%)

2005
0,191
0,206
0,397
48,10
51,90

2006
0,189
0,206
0,395
47,80
52,20

2007
0,186
0,207
0,393
47,44
52,56

2008
0,179
0,216
0,395
45,39
54,61

2009
0,182
0,218
0,400
45,54
54,46

Sumber: diolah 2011


Gambar 3.3 :
Nilai CVw dan T-Indek Kesenjangan PDRB Perkapita Tahun 2005 sampai 2009
T-Indeks
0.45
0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0

2005

2006

2007

2008

2009

T-within prov

0.191

0.189

0.186

0.179

0.182

T-between prov

0.206

0.206

0.207

0.216

0.218

Thail Indeks_Nasional

0.397

0.395

0.393

0.395

0.4

CVw_Nasional

0.817

0.816

0.818

0.842

0.843

CVw
0.85
0.845
0.84
0.835
0.83
0.825
0.82
0.815
0.81
0.805
0.8

Ketimpangan wilayah diukur dengan Theil Indeks dari PDRB perkapita dalam kurun
waktu lima tahun terakhir (2005-2009), menunjukan kesenjangan antar wilayah di
Indonesia semakin meningkat. Dari Tabel 3.6 dan Gambar 3.3, diperlihatkan nilai
Theil Indeks tahun 2005-2009 sekitar 0,4 dan juga ditunjukan dengan nilai CVw
berkisar antara 0,817-0,843. Jika didekomposisi tingkat kesenjangan antar wilayah
lebih besar di akibatkan oleh besarnya kontribusi ketimpangan antar provinsi
dibandingkan ketimpangan dalam provinsi, dimana pada tahun 2009 ketimpangan
antar provinsi (between provinces inequality) menyumbang sekitar 54,46 persen
terhadap ketimpangan total, dan disebabkan oleh ketimpangan dalam provinsi atau

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

20

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

within provinces inequality, menyumbang sekitar 45,54 persen, jika dilihat dalam kurun
waktu lima tahun tingkat ketimpangan nasional lebih disebabkan oleh tingkat
ketimpangan antar provinsi, sementara untuk ketimpangan dalam provinsi menunjukan
perkembangan yang semakin membaik. Ketimpangan dalam provinsi berarti
ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam masing-masing provinsi.
Dari Tabel 3.7 tecatat, provinsi yang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya
ketimpangan antarprovinsi tahun 2009 adalah provinsi DKI Jakarta, Riau, Kepulauan
Riau, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Bangka Belitung, sementara kontribusi
terbesar yang mendorong ketimpangan dalam provinsi, adalah provinsi DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Papua. Dari table tersebut dapat dilihat,
bahwa angka (-) menunjukan wilayah tersebut memiliki kontribusi terhadap
pengurangan ketimpangan wilayah, sebaliknya angka (+) menunjukan wilayah tersebut
berkontribusi terhadap meningkatnya ketimpangan wilayah.
Tabel 3-7 :
Theil Indeks dari PDRB Perkapita (ADHB) Menuru Pulau Tahun 2005 dan 2009
Wilayah
P. Sumatera
P. Jawa-Bali

P. Kalimantan
P. Sulawesi

P. NT, Maluku dan


Papua
NASIONAL

Tipe
Kesenjangan
T-within pulau

T-between pulau
T-within prov

T-between pulau
T-within prov

T-between pulau
T-within prov

2005

2006

2007

2008

2009

0,004

0,003

0,003

0,004

0,005

0,198

0,203

0,200

0,210

0,203

0,006
0,140
0,005
0,026
0,005

0,005
0,141
0,006
0,026
0,005

0,010
0,138
0,006
0,024
0,005

0,012
0,139
0,007
0,026
0,005

0,019
0,138
0,007
0,024
0,005

T-between pulau

-0,023

-0,023

-0,023

-0,022

-0,021

T-within prov

0,191

0,189

0,186

0,179

0,182

T-within prov

T-between pulau

T-between pulau

0,037

-0,002
0,206

0,034

-0,005
0,206

0,035

-0,004
0,207

0,024

-0,010
0,216

0,027

-0,008
0,218

Sumber: diolah Bappenas 2011, Data PDRB Kab/kota BPS

Tabel 3.8:
IW dan Theil Indeks PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2009.
PROVINSI
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
Dki. Jakarta
Jawa Barat

WI intra prov

2005

0,411
0,445
0,371
0,300
0,259
0,384
0,399
0,264
0,309
0,507
0,576
0,620

2009**)
0,516
0,238
0,314
0,329
0,240
0,407
0,405
0,360
0,318
0,446
0,601
0,581

T-between prov

T-within prov

2005

2009**)

2005

2009**)

-0,0030
-0,0032
-0,0019
0,0213
-0,0033
-0,0067
-0,0022
-0,0110
0,0013
0,0151
0,2860
-0,0249

-0,0022
-0,0074
-0,0017
0,0394
-0,0029
-0,0060
-0,0024
-0,0092
0,0005
0,0106
0,2947
-0,0280

0,0003
0,0038
-0,0064
0,0009
0,0003
0,0016
0,0003
0,0006
0,0002
0,0022
0,0245
0,0227

0,0004
0,0028
-0,0065
0,0021
0,0003
0,0020
0,0003
0,0012
0,0002
0,0016
0,0264
0,0210

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

21

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011


Jawa Tengah
0,757
0,719
Di Yogyakarta
0,425
0,400
Jawa Timur
1,245
1,267
Banten
0,811
0,821
Bali
0,392
0,428
NTB
2,303
2,009
NTT
0,505
0,448
Kalimantan Barat
0,335
0,313
Kalimantan Timur
0,262
0,206
Kalimantan Selatan
0,432
0,425
Kalimantan Timur
0,479
0,613
Sulawesi Utara
0,372
0,395
Sulawesi Tengah
0,225
0,265
Sulawesi Selatan
0,621
0,528
Sulawesi Tenggara
0,390
0,350
Gorontalo
0,232
0,192
Sulawesi Barat
0,160
0,138
Maluku
0,570
0,564
Maluku Utara
0,271
0,288
Papua Barat
0,213
0,207
Papua
2,678
2,270
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS

-0,0473
-0,0037
-0,0072
-0,0028
-0,0019
-0,0060
-0,0065
-0,0041
0,0002
0,0001
0,0294
-0,0016
-0,0029
-0,0101
-0,0026
-0,0015
-0,0016
-0,0022
-0,0014
-0,0005
0,0149

-0,0472
-0,0041
-0,0046
-0,0055
-0,0020
-0,0065
-0,0072
-0,0049
-0,0005
-0,0022
0,0320
-0,0017
-0,0026
-0,0089
-0,0023
-0,0016
-0,0016
-0,0022
-0,0015
-0,0006
0,0102

0,0168
0,0008
0,0646
0,0093
0,0009
0,0085
0,0006
0,0007
0,0003
0,0004
0,0033
0,0006
0,0002
0,0036
0,0004
0,0000
0,0000
0,0003
0,0000
0,0001
0,0280

0,0147
0,0007
0,0655
0,0087
0,0010
0,0063
0,0005
0,0007
0,0002
0,0012
0,0054
0,0006
0,0003
0,0032
0,0004
0,0000
0,0000
0,0003
0,0000
0,0001
0,0199

Jika diperbandingkan tingkat kesenjangan wilayah pulau selama kurun waktu 2005
sampai 2009 (Tabel 3.9), menunjukan tingkat kesenjangan wilayah pulau rata-rata
kecenderungan meningkat, kecuali untuk wilayah kecenderungan menurun, untuk
wilayah Sumatera dari tahun 2005-2007 menunjukan tingkat kesenjangan menurun,
namun pada tahun 2008 dan hingga akhir 2009 tingkat kesenjangan meningkat.
Sebaliknya kondisi kesenjangan di Wilayah Jawa-Bali, Kalimantan dan Wilayah
Maluku-Nustra-Papua kecenderungan semakin melebar, hal ini diperlihatkan dengan
nilai CVw tahun 2008 lebih besar disbanding tahun 2004. Jika diperbandingkan
antarpulau, tingkat kesenjangan tertinggi terjadi di wilayah Jawa-Bali yaitu dengan
kisaran nilai CVw sebesar 0,92-0,94 dan tingkat kesenjangan terrendah di wilayah
Sulawesi dengan kisaran nilai CVw 0,16-0,23.
Tabel 3.9:
CVw dari PDRB Perkapita Non Migas (ADHK) Menurut Pulau Tahun 2005 dan 2009
Wilayah
Sumatera
Jawa-Bali
Kalimantan
Sulawesi
Nustra-Maluku-Papua
Nasional

2005
0,21
0,71
0,13
0,16
0,23
0,82

2006
0,21
0,70
0,13
0,16
0,27
0,82

Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS

2007
0,20
0,70
0,13
0,16
0,25
0,82

2008
0,21
0,73
0,14
0,14
0,26
0,84

2009**
0,22
0,73
0,14
0,13
0,26
0,84

Kondisi ketimpangan wilayah di Sumatera antara tahun 2005-2009 kecenderungan


meningkat, seperti diperlihatkan dengan nilai Theil Indeks dari PDRB perkapita dengan
perhitungan tanpa migas menurun dari tahun 2004 ke tahun 2008 (Tabel 3.10), yaitu
tahun 2005 sebesar 0,01 dan tahun 2009 sebesar 0,023. Ketimpangan di Wilayah
Sumatera tahun 2005 lebih akibatkan oleh besarnya kontribusi ketimpangan

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

22

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

antarprovinsi (between provinces inequality) dibandingkan ketimpangan dalam


provinsi, dimana ketimpangan antar provinsi menyumbang sebesar rata-rata 62.12
persen terhadap ketimpangan total. Sedang sisanya yang 37.88 persen, disebabkan oleh
ketimpangan dalam provinsi (within provinces inequality). Seperti halnya pada tahun
2008, ketimpangan di wilayah Sumatera persen disebabkan oleh ketimpangan antarprovinsi
dibanding ketimpangan dalam provinsi. Ketimpangan antarprovinsi berkontribusi
sebesar 80.29 persen, sementara ketimpangan dalam provinsi tercatat sebesar 19.71
persen. Ketimpangan dalam provinsi berarti ketimpangan pendapatan antar
kabupaten/kota dalam masing-masing provinsi. Wilayah yang kontribusi besar terhadap
ketimpangan antar provinsi adalah Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka
Belitung, sementara ketimpangan dalam provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, dan Riau.
Tabel 3.10.
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi
Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Sumatera
Tipe Kesenjangan
T-within provinsi
T-between Provinsi
Total
T-within prov (%)
T-between prov (%)
Sumber: diolah 2011

2005
0,004
0,006
0,010
37,88
62,12

2006
0,003
0,005
0,008
38,86
61,14

2007
0,003
0,010
0,012
20,67
79,33

2008
0,004
0,012
0,016
25,14
74,86

2009
0,005
0,019
0,023
19,71
80,29

Kesenjangan ekonomi antar provinsi menurut analisis CVw, menunjukan kondisi


kesenjangan wilayah antarprovinsi di Sumatera kecenderungan menurun dari tahun
2005-2007, namun pada tahun 2008-2009 kesenjangan cenderung meningkat. Hal
tersebut diperlihatkan dengan nilai CVw semakin menurun dari tahun 2005 sdengan
nilai CVw sebesar 0,215 dan tahun 2007 sebesar 0,204, namun pada tahun 2008
meningkat menjadi 0,209 dan hingga akhir 2009 sebesar 0.222. Sementara ketimpangan
dalam provinsi di Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau menunjukan ketimpangan
menurun dari tahun 2005-2009, sementara untuk provinsi lainnya kecedenderungan
semakin melebar (Tabel 3.11).
Tabel 3.11:
CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009di Wilayah Sumatera
PROVINSI

Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
Sumatera

2005
0,411
0,445
0,371
0,300
0,259
0,384
0,399
0,264
0,309
0,507
0,215

2006
0,454
0,263
0,352
0,303
0,243
0,388
0,402
0,279
0,306
0,491
0,213

Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS

WI intra prov
2007 2008*)
0,464
0,484
0,253
0,247
0,341
0,334
0,311
0,329
0,239
0,230
0,394
0,404
0,402
0,401
0,301
0,341
0,301
0,324
0,478
0,478
0,204
0,209

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

2009**)
0,516
0,238
0,314
0,329
0,240
0,407
0,405
0,360
0,318
0,446
0,222

23

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Kondisi ketimpangan wilayah di Jawa-Bali antara dari tahu 2005 sampai 2009
menunjukan kecenderungan semakin meningkat (Tabel 3.12), hal ini diperlihatkan
dengan nilai Theil indeks dan nilai CVw tahun 2009 lebih besar dibandingkan tahun
2005, dengan perhitungan PDRB perkapita tanpa migas. Ketimpangan di Wilayah
Jawa-Bali tahun 2009 lebih akibatkan oleh adanya ketimpangan antarprovinsi
dibandingkan ketimpangan dalamprovinsi, dimana ketimpangan antar provinsi
(between provinces inequality) menyumbang rata-rata 59.54 persen terhadap
ketimpangan total. Sedang ketimpangan dalam provinsi (within provinces inequality)
menyumbang sebesar 40.46 persen.Ketimpangan dalam provinsi berarti ketimpangan
pendapatan antar kabupaten/kota dalam masing-masing provinsi. Wilayah yang
berkontribusi besar terhadap ketimpangan dalam provinsi tahun 2009 adalah Provinsi
Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat, sementara ketimpangan antar
provinsi adalah DKI Jakarta.
Tabel 3.12:
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Jawa-Bali
Tipe Kesenjangan
2005 2006 2007 2008 2009
T-within provinsi
0,140 0,141 0,138 0,139 0,138
T-between Provinsi
0,198 0,203 0,200 0,210 0,203
Total
0,338 0,344 0,338 0,349 0,341
T-within prov (%)
41,32 40,93 40,74 39,87 40,46
T-between prov (%)
58,68 59,07 59,26 60,13 59,54

Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS

Kesenjangan ekonomi antar provinsi menurut analisis CVw, menunjukan kondisi


kesenjangan wilayah antarprovinsi di Jawa-Bali kecenderungan meningkat, hal tersebut
diperlihatkan dengan nilai CVw dari tahun 2005 sampai 2009 terus meningkat setiap
tahunnya, nilai CVw tahun 2005 sebesar 0,706 dan tahun 2009 sebesar 0,730.
Sementara ketimpangan dalam provinsi di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
dan Jawa Timur menunjukan kecenderungan menurun, sedangkan untuk provinsi DKI
Jakarta, Banten dan Bali terlihat kecedenderungan semakin melebar (Tabel 3.13).
Tabel 3.13:
CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2008
di Wilayah Jawa-Bali
PROVINSI
DKI. Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Di Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Jawa-Bali

2005
0,576
0,620
0,757
0,425
1,245
0,811
0,392
0,706

2006
0,580
0,615
0,735
0,416
1,265
0,810
0,387
0,696

Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS

WI intra prov
2007 2008*)
0,570
0,596
0,604
0,590
0,733
0,731
0,412
0,408
1,250
1,253
0,799
0,805
0,391
0,397
0,705
0,727

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

2009**)
0,601
0,581
0,719
0,400
1,267
0,821
0,428
0,730

24

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Kondisi ketimpangan wilayah di Kalimantan dari tahun 2005 sampai 2009 menunjukan
kecenderungan semakin meningkat, hal ini diperlihatkan dengan nilai Theil indeks dan
CVw tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan tahun 2005, yaitu tahun 2005 Thail indeks
sebesar 0,030 dan tahun 2009 sebesar 0,032. Ketimpangan di Wilayah Kalimantan
lebih diakibatkan oleh adanya ketimpangan antar provinsi dibandingkan ketimpangan
dalam provinsi, dimana ketimpangan antar provinsi (between provinces inequality)
menyumbang rata-rata 76.67 persen terhadap ketimpangan total, sementara
ketimpangan dalam provinsi (within provinces inequality) menyumbang sebesar 23.33
persen. Kontribusi ketimpangan dalam provinsi terhadap ketimpangan wilayah
Kalimantan dari tahun 2005 sampai 2009 kecenderungan meningkat, sementara
ketimpangan antarprovinsi menunjukan kecenderungan menurun. Ketimpangan dalam
provinsi berarti ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam masing-masing
provinsi. Wilayah yang berkontribusi besar terhadap ketimpangan antar dan dalam
provinsi adalah Provinsi Kalimantan Timur.
Tabel 3.14:
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut ProvinsiTahun 2005-2008 di Kalimantan
Tipe Kesenjangan
T-within provinsi
T-between Provinsi
Total
T-within prov (%)
T-between prov (%)
Sumber: diolah 2011

2005
0,005
0,026
0,030
15,64
84,36

2006
0,006
0,026
0,031
17,84
82,16

2007
0,006
0,024
0,030
21,19
78,81

2008
0,007
0,026
0,033
21,90
78,10

2009
0,007
0,024
0,032
23,33
76,67

Kesenjangan ekonomi antar provinsi menurut analisis CVw, menunjukan kondisi


kesenjangan wilayah antarprovinsi di Kalimantan kecenderungan meningkat, hal
tersebut diperlihatkan dengan perkembangan nilai CVw tahun tahun 2005 sampai 2009
rata-rata meningkat setiap tahunnya. Sementara ketimpangan dalam provinsi di
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat menunjukan kecenderungan
menurun, sementara di Provinsi Kalimantan Timur terlihat kecenderungan semakin
melebar (Tabel 3.15).
Tabel 3.15:
CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009 di Wilayah Kalimantan
PROVINSI
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan

2005
0,335
0,262
0,432
0,479
0,126

Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS

2006
0,314
0,256
0,426
0,561
0,128

WI intra prov
2007 2008*)
0,313
0,317
0,227
0,205
0,434
0,427
0,546
0,601
0,132
0,142

2009**)
0,313
0,206
0,425
0,613
0,141

Ketimpangan wilayah di Sulawesi antara tahun 2005 sampai 2009 menunjukan


kecenderungan meningkat seperti diperlihatkan dengan nilai Theil indeks dari tahun
2005 sampai 2009. Theil indeks total 2005 sebesar -0,018 menjadi -0,016 di tahun
2009. Ketimpangan di Wilayah Sulawesi lebih diakibatkan karena tingginya tingkat
ketimpangan dalam provinsi dibandingkan ketimpangan antarprovinsi. Ketimpangan

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

25

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

dalam provinsi berarti ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam masingmasing provinsi. Wilayah yang berkontribusi besar terhadap ketimpangan dalam
provinsi adalah Provinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 3.16:
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Sulawesi

Tipe Kesenjangan
T-within prov
T-between prov
Total
T-within prov (%)
T-between prov (%)

2005
2006
2007
2008
2009
0,005
0,005
0,005
0,005
0,005
-0,023 -0,023 -0,023 -0,022 -0,021
-0,018 -0,017 -0,018 -0,017 -0,016
-29,15 -29,50 -28,81 -30,06 -30,14
129,15 129,50 128,81 130,06 130,14

Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS

Seperti halnya ditunjukan dengan nilai CVw dengan perhitungan tanpa migas tahun dari
tahun 2005 sampai 2009, ketimpangan di Wilayah Sulawesi menunjukan
kecenderungan menurun, hal ini diperlihatkan dengan nilai CVw tahun 2005 sebesar
0.158 menurun menjadi 0.131 pada tahun 2009. Sementara ketimpangan dalam
provinsi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo menunjukan kecenderungan
menurun, sementara di Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah terlihat
kecenderungan semakin melebar (Tabel 3.17).
Tabel 3.17:
CVw dari PDRB Perkapita Menurut ProvinsiTahun 2005-2009 di Wilayah Sulawesi
PROVINSI

Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi

2005
0,372
0,225
0,621
0,390
0,232
0,160
0,158

Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS

WI intra prov
2006 2007 2008*)
0,375 0,377
0,378
0,236 0,246
0,257
0,613 0,607
0,579
0,400 0,415
0,389
0,233 0,236
0,213
0,144 0,155
0,156
0,157 0,157
0,144

2009**)
0,395
0,265
0,528
0,350
0,192
0,138
0,131

Ketimpangan wilayah di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, tahun 2005 sampai 2009
kecenderungan semakin meningkat (Tabel 3.18), hal ini diperlihatkan dengan nilai
CVw semakin besar dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai CVw tahun 2005 sebesar
0.232 menurun menjadi 0.261 pada tahun 2009. Ketimpangan wilayah di Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua lebih besar diakibatkan oleh ketimpangan dalam provinsi
dibandingkan ketimpangan antar provinsi. Wilayah yang berkontribusi besar terhadap
ketimpangan antar provinsi adalah Provinsi Papua, sementara ketimpangan dalam
provinsi adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Papua. Dengan analisis CVw, nilai
CVw wilayah Nusa Tenggara dan Maluku dengan perhitungan tanpa migas
menunjukan ketimpangan semakin melebar dari tahun 2005-2009, sementara untuk
wilayah Papua ketimpangan semakin menurun.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

26

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Tabel 3.18:
Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Maluku, Nustra dan Papua.
Tipe Kesenjangan
T-within prov
T-between prov
Total
T-within prov (%)
T-between prov (%)

2005
2006
2007
2008
2009
0,037
0,034
0,035
0,024
0,027
-0,002 -0,005 -0,004 -0,010 -0,008
0,036
0,029
0,030
0,014
0,019
104,82 117,42 114,57 170,32 139,94
-4,82 -17,42 -14,57 -70,32 -39,94

Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS

Tabel 3.19:
CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Maluku, Nustra dan Papua
PROVINSI

2005
2006
NTB
2,303
2,246
NTT
0,505
0,561
Maluku
0,570
0,578
Maluku Utara
0,271
0,256
Papua Barat
0,213
0,218
Papua
2,678
2,575
Nustra-Maluku-Papua
0,232
0,266
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS

WI intra prov
2007
2,401
0,492
0,582
0,262
0,214
2,524
0,252

2008*)
1,959
0,442
0,572
0,257
0,206
2,240
0,261

2009**)
2,009
0,448
0,564
0,288
0,207
2,270
0,261

3.2. Kesenjangan Berdasarkan Pola dan Struktur Pertumbuhan


Ekonomi.
Berdasarkan hasil analisis tipologi Klassen yang menggambarkan pola dan struktur
pertumbuhan ekonomi setiap kabupaten/kota diperoleh empat karateristik pola dan
struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda, yaitu: daerah cepat-maju dan cepattumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low
growth), daerah berkembang cepat (high growth but low income), dan daerah relatif
tertinggal (low growth and low income).
Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah kabupaten/kota dalam kajian ini adalah
sebagai berikut: (1) daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh, daerah yang memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding nilai ratarata acuan (nasional/ pulau); (2) daerah maju tapi tertekan, daerah yang memiliki
pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah
nilai rata-rata acuan (nasional/ pulau); (3) daerah berkembang cepat, daerah yang
memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan per kapita lebih rendah
dibanding nilai rata-rata acuan (nasional/ pulau); (4) daerah relatif tertinggal adalah
daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapat per kapita yang lebih
rendah dibanding nilai rata-rata acuan (nasional/ pulau). Dikatakan tinggi apabila
indikator di suatu kabupaten/kota lebih tinggi dibandingkan rata-rata seluruh
kabupaten/kota di tingkat nasional atau pulau, dan digolongkan rendah apabila
indikator di suatu kabupaten/kota lebih rendah dibandingkan rata-rata seluruh

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

27

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

kabupaten/kota di di tingkat nasional atau pulau. Berdasarkan nilai rata-rata PDRB per
kapita dan pertumbuhan PDRB untuk tiap kabupaten/kota dalam kurun waktu tahun
2004-2008, beserta rata-ratanya untuk seluruh kabupaten/kota di tingkat nasional atau
pulau, dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 3.20.
Posisi Kuadran Kabupaten/kota Berdasarkan nilai acuan rata-rata kabupaten/kota pada
Tingkat Nasional dan Pulau 2004-2008
WILAYAH

Sumatera
Jawa-bali
Nustra

Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua

INDONESIA

Rata-rata
Pertumb
uhan
PDRB
(;04-08)
(%)

Rata-rata
Pertumbu
han PDRB
(;04-08)
(Rp.000)

4,9

8.059

5,0
3,7

Kab/
Kota

%
Kab/
Kota

Kab/
Kota

7.645

16

11,6

22

%
Kab
/Ko
ta
15,9

3.971

6,9

3,4

4,9

14.206

4,6

2.743

5,8
8,6

5,2

POSISI KUADRAN
II
III

18

11,1

29,4

4.730

17

8.455

7.730

14,4

53

5
3

4,0

24,1

19

56

5,9

15,9

7,1

7,1

48

Kab/
Kota

16

11

11,5

Kab
/
Kota
69

5,6

24,6

31

%
Kab
/Ko
ta
22,5

0,4

19
17

176

44,8
29,6
27,5
29,4
60,7

8,3

46
29
22

6
7

183

IV
%
Kab/
Kota
50,0
36,8
65,5
53,7
31,9
35,3
25,0

39,8

Nilai rata-rata PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB setiap kabupaten/kota
terhadap nilai acuan rata-rata kabupaten/kota pada tingkat nasional, terbagi komposisi
sebanyak berikut:
Sebanyak 53 kabupaten/kota (11,5%) tergolong daerah yang cepat maju dan
cepat tumbuh (high growth and high income),
Sebanyak 48 kabupaten/kota (10,4%) tergolong daerah daerah maju tapi
tertekan (high income but low growth),
Sebanyak 176 kabupaten/kota (38,3%) tergolong daerah relatif tertinggal (low
growth and low income).
Sebanyak 53 kabupaten/kota (39,8%),tergolong daerah berkembang cepat (high
growth but income).
Berdasarkan gambaran hasil analisis di atas, gambaran kesenjangan
antarkabupaten/kota di Indonesia dapat ditunjukkan oleh masih tingginya daerah yang
berada pada kuadran III, yaitu kabupaten/kota yang tergolong relatif tertinggal (38,3%).
Sementara berdasarkan nilai rata-rata PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB setiap
kabupaten/kota terhadap nilai acuan rata-rata kabupaten/kota pada tingkat pulau,
tingginya kesenjangan dapat ditunjukkan oleh kabupaten/kota di wilayah Papua yang
mencapai 60,7% berada di Kuadran III, dan berikutnya di Pulau Jawa sebesar 44,8%.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

28

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

KESENJANGANKESEJAHTERAAN
MASYARAKATANTARWILAYAH

4.1. Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarprovinsi


Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarwilayah, serta arah perkembangannya
dapat diindikasikan dari nilai disparitas IPM, beserta tren nilai disparitas dalam periode
tertentu. Peningkatan IPM yang diikuti oleh disparitas IPM antarwilayah yang semakin
berkurang disebut sebagai perkembangan IPMconvergen, atau mengindikasikan arah
perkembangan berkurangnya kesenjangan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain,
peningkatan IPM yang diikuti disparitas IPM yang makin melebar(meningkat) disebut
sebagai perkembangan divergen, atau mengindikasikan arah perkembangan
meningkatnya kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarwilayah.Gambaran
kesenjangan IPM tersebut dapat dilihat dari kesenjangan antarprovinsi pada lingkup
nasional, wilayah pulau, dan kesenjangan antar kabupaten/kota pada setiap provinsi.
Tabel 4.1.
Perkembangan Disparitas IPM Antarprovinsi pada Setiap Wilayah Pulau, pada Tahun 2005-2009.
WILAYAH
(PULAU)
Sumatera

JawaBali
Nusa
Tenggara
Kalimantan

Sulawesi

Maluku

Papua

NASIONAL

KATEGORI
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM
IPMMax
IPMMin
DisparitasIPM

2005
73,6
68,8
4,8
76,1
68,4
7,7
63,6
62,4
1,2
73,2
66,2
7,0
74,2
65,7
8,5
69,2
67,0
2,2
64,8
62,1
2,7
76,1
62,1
14,0

2006
73,8
69,4
4,4
76,3
69,1
7,2
64,8
63,0
1,8
73,4
67,1
6,3
74,4
67,1
7,3
69,7
67,5
2,2
66,1
62,8
3,3
76,3
62,8
13,5

TAHUN
2007
74,6
69,8
4,8
76,6
69,3
7,3
65,4
63,7
1,6
73,8
67,5
6,2
74,7
67,7
7,0
70,0
67,8
2,1
67,3
63,4
3,9
76,6
63,4
13,2

2008
75,1
70,3
4,8
77,0
69,7
7,3
66,2
64,1
2,0
74,5
68,2
6,4
75,2
68,6
6,6
70,4
68,2
2,2
68,0
64,0
4,0
77,0
64,0
13,0

2009
75,6
70,9
4,7
77,4
70,1
7,3
66,6
64,7
1,9
75,1
68,8
6,3
75,7
69,2
6,5
71,0
68,6
2,3
68,6
64,5
4,1
77,4
64,5
12,8

PROVINSI
Riau
Lampung

DKIJakarta
Banten

NTT
NTB

Kaltim
Kalbar

Sulut
Sulbar

Maluku
Malut

PapuaBarat
Papua

DKIJakarta
Papua
Riau

KET.

Convergen

Convergen

Divergen

Convergen

Convergen

divergen

Divergen

Convergen

Perkembangan IPM Nasional pada periode 2005-2009 menunjukkan tren meningkat,


dan diikuti penurunan disparitas IPM antarprovinsi. Perkembangan disparitas IPM
menunjukkan arah convergen, yaitu dari disparitas IPM pada tahun 2005 sebesar 14,
berkurang menjadi 12,8 pada tahun 2009, yaitu merupakan selisih dari IPM tertinggi di

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

29

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Provinsi DKI Jakarta sebesar 76,1 (2005) dan 77,4 (2009)dengan IPM terrendah di
Provinsi Papua sebesar 62,1 (2005) dan 64,5 (2009).
Disparitas IPM antarwilayah pulau, tertinggi terdapat di wilayah Jawa Bali yaitu
sebesar 7,3, dengan arah perkembangan convergen selama periode 2005-2009.
Disparitas terrendah terdapat di Pulau Nusa Tenggara sebesar 2, namun menunjukkan
arah perkembangan divergen, yaitu dari disparitas sebesar 1,2 pada tahun 2005 menjadi
2 pada tahun 2009. Perkembangan disparitas yang stagnan (tetap) terdapat di wilayah
Sumatera, dan Maluku.Gambaran selengkapnya, lihat Tabel 4.1.
Indeks komponen IPM yang meliputi Indeks Kesehatan menurut data Umur Harapan
Hidup, Indeks Pendidikan menurut data Angka Melek Huruf dan Rata-Rata Lama
Sekolah, dan Indeks Daya Beli menurut data Pengeluaran Riil Perkapita Disesuaikan.
Untuk melihat komponen yang berpengaruh terhadap nilai IPM antarprovinsi, secara
umum menunjukkan kontribusi tertinggi berasal dari indeks pendidikan, kemudian
indeks kesehatan dan terrendah berasal dari indeks hidup layak (lihat Gambar 4.1.).
Namun, terdapat provinsi-provinsi yang memiliki komposisi berbeda, yaitu pada
kelompok provinsi-provinsi sebagai berikut:
1. Kelompok provinsi yang menunjukkan kontribusi indeks pendidikan dan
kesehatan relatif sama, sementara indeks hidup layak memberikan kontribusi
yang rendah, yaitu terdapat diProvinsi Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali, Sulawesi Selatan. Pada daerah ini membutuhkan akselerasi dalam
peningkatan daya beli masyarakat untuk mengurangi ketimpangan nilai indeks
antar komponen pembentuk IPM.
2. Kelompok provinsi yang menunjukkan kontribusi tertinggi pada indeks
pendidikan, sementara indeks kesehatan dan indeks hidup layak menunjukkan
indeks relatif sama. Kelompok ini terdapat di Provinsi NTB dan Kalimantan
Selatan.Pada daerah ini membutuhkan akselerasi peningkatan derajat kesehatan
dan daya beli masyarakat untuk mengurangi ketimpangan nilai indeks antar
komponen pembentuk IPM.
3. Kelompok provinsi yang menunjukkan kontribusi indeks harapan hidup
tertinggi, kemudian berikutnya indeks pendidikan, dan indeks hidup layak.
Kelompok ini terdapat di Provinsi Papua.Pada daerah ini membutuhkan
akselerasi dalam peningkatan daya beli dan tingkat pendidikan masyarakat
untuk mengurangi ketimpangan nilai indeks antar komponen pembentuk IPM.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

30

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Gambar: 4.1.
Perbandingan Nilai Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi, Tahun 2009.

PAPUA
PAPUABARAT 100.0
MALUKU

ACEH

SUMUT
SUMBAR
RIAU
JAMBI

MALUKU

80.0

SULBAR

SUMSEL
BENGKULU

GORONTALO

60.0
LAMPUNG

SULTRA
SULSEL

KEP.BABEL

40.0

KEPRI

SULTENG

DKIJAKARTA

SULUT

JAWABARAT

KALTIM

JAWATENGAH

KALSEL
DI

KALTENG
KALBAR
NTT

NTB

BALI

JAWATIMUR
BANTEN

IndeksHarapanHidup(IHH)

IndeksPendidikan(IP)

IndeksHiduplayak(IHL)

IHHNasional

IPNasional

IHLNasional

Berdasarkan Gambar 4.1, dapat diketahui provinsi-provinsi yang memiliki indeks


komponen pembentuk IPM di bawah indeks nasional, serta tingginya ketimpangan antar
indeks komponen pembentuk IPM, atau ketimpangan terhadap nilai indeks nasional.
Misalnya tampak jelas tingginya ketimpangan pada indeks pendidikan di Provinsi
Papua, indeks kesehatan di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan, serta indeks daya
beli masyarakat di provinsi Papua Barat, Maluku Utara, Papua, dan NTT dibanding
dengan provinsi lainnya yang lebih maju, dan dengan masing-masing nilai indeks
nasional.
4.2.Kesenjangan Kesejahteraan Masyarakat Antar Kabupaten/Kota
Kondisi disparitas IPM antar kabupaten/kota disetiap provinsi memiliki rentang yang
lebih lebar, atau memiliki kesenjangan lebih tinggi dibanding dengan disparitas IPM
antarprovinsi. Paling ekstrim dapat ditunjukkan dari disparitas IPM antarkabupaten/kota
di tingkat nasional (tahun 2009) sebesar 32,1, yaitu antar IPM Kota Jakarta Selatan
sebesar 79 dengan IPM Kabupaten Nduga di Provinsi Papua sebesar 47,5.
Untuk perbandingan disparitas antar kabupaten/kota di setiap provinsi Antarwilyah
(pulau/kepulauan besar), menunjukkan besaran dan arah perkembangan disparitas yang
beragam.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

31

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

4.2.1. Wilayah Sumatera


Berdasarkan perbandingannilai antar indeks komponen pembentuk IPM disetiap
provinsi di wilayah Sumatera, secara umum menunjukkan nilai tertinggi pada Indeks
Pendidikan (IP), kemudian indeks Harapan Hidup IIHH)danterrendah pada Indeks
Hidup Layak(IHL). Diseluruh Provinsi diwilayah Sumatera menunjukkan indeks
pendidikan di atas indeks nasional (78,9)., provinsi yang berada di bawah indeks
Harapan Hidup (IHH) nasional(73,7) meliputi Provinsi Aceh, Jambi, dan Kep. Bangka
Belitung.
Gambar 4.2.
Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Sumatera.
90
85

84.0

83.4

84.4

83.3

80
75

77.1
72.7

73.9
71.3

73.8
73.8

63.5

60

75.6
73.3

73.4

70
65

81.8

81.1

63.3

65.3

74.4
72.6

74.0
72.5

63.0

84.0

81.6

80.2

79.6
73.8
72.5

72.9
70.9

74.6
72.5
64.5

62.0

61.7

57.8

74.5

78.9
73.7
71.8

65.1

62.7

59.5

55
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM
IHH
IP
IHL
IPM

50

ACEH

SUMATERA SUMATERA
UTARA
BARAT

Series1

RIAU

IHHNasional

JAMBI

SUMATERA BENGKULU LAMPUNG


SELATAN

IPNasional

IHLNasional

KEP.
BANGKA
BELITUNG

KEP.RIAU

IPMNasional

Kesenjangan pencapaian IPM antara kabupaten/kota di setiap provinsi diwilayah


Sumatera dilihat dari disparitas IPM (selisih IPM tertinggi dan terrendah), secara umum
menunjukkan perkembangan convergen, kcuali di Provinsi Kepulauan Riau
menunjukkan perkembangan divergen yang disebabkan pemekaran Kabupaten
Anambas dari Kabupaten Induk Natuna. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi
Sumatera Utara dan Bengkulu masing-masing sebesar 10,9 dan 10,8, sementara
disparitas terrendah di Provinsi Jambi sebesar 4,6, yakni antara Kota Jambi dan
Kabupaten Tanjung Timur.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

32

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Tabel 4.2.
Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Sumatera
Tahun 2005 dan 2009
PROVINSI
NAD
SUMUT
SUMBAR
RIAU

JAMBI

SUMSEL
BENGKULU
LAMPUNG

BABEL
KEPRI

KATEGORI

TAHUN2005
KAB/KOTA
KotaBandaAceh
Simeulue
KotaPematang
Siantar
NiasSelatan
KotaPadang
DharmasRaya
KotaPekanBaru

IPM
77,0
67,6

TAHUN2009
KAB/KOTA
KotaBandaAceh
GayoLues

77,2

KotaPematangSiantar

66,3
77,9
68,4
77,9

NiasSelatan
KotaPadang
KepulauanMentawai
KotaPekanBaru

MAX
MIN

IPM
74,7
65,2

MAX

75,8

MIN
MAX
MIN
MAX

63,9
76,3
64,5
75,9

MIN

68,6

RokanHilir

72,0

RokanHilir

MAX

74,1

KotaJambi

75,8

KotaJambi

MIN

68,8

Bungo

71,2

TanjungJabungTimur

MAX

73,6

KotaPalembang

75,8

KotaPalembang

MIN

65,0

MusiRawas

67,3

MusiRawas

MAX
MIN
MAX

76,3
63,6
74,5

KotaBengkulu
Seluma
KotaMetro

77,3
66,5
76,0

KotaBengkulu
Seluma
KotaMetro

MIN

66,0

LampungBarat

68,8

LampungBarat

MAX

73,9

75,4

KotaPangkalPinang

MIN
MAX
MIN

63,0
76,5
68,4

66,5
77,5
67,9

BangkaSelatan
KotaBatam
KepulauanAnambas

KotaPangkal
Pinang
BangkaSelatan
KotaBatam
Natuna

2005
9,5

DISPARITAS
2009
KETERANGAN
Disparitas1Tinggi
9,4
Divergen

11,9

10,9

11,8

9,4

7,3

5,9

5,3

4,6

8,6

8,5

12,6

10,8

8,5

7,2

10,9

8,9

8,2

9,6

DisparitasTinggi
Convergen
DisparitasTinggi
Convergen
Disparitas
Rendah
Convergen
Disparitas
Rendah
Dinvergen
Disparitas
Sedang
Divergen
DisparitasTinggi
Convergen
Disparitas
Rendah
Convergen
Disparitas
Sedang
Convergen
DisparitasTinggi
Divergen

4.2.2. Wilayah Jawa Bali


Perbandingan nilai antar indeks komponen pembentuk IPM disetiap provinsi di wilayah
Jawa Bali, secara umum menunjukkan nilai tertinggi pada Indeks Pendidikan (IP),
kemudian indeks Harapan Hidup IIHH)dan terrendah pada Indeks Hidup Layak(IHL).
Sebagian provinsi diwilayah Jawa Bali menunjukkan indeks pendidikan di bawah
indeks nasional (78,9), yaitu di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Provinsi
yang berada di bawah indeks Harapan Hidup (IHH) nasional(73,7) meliputi Provinsi
Jawa Barat dan Banten, sementara provinsi dengan IHL di bawah IHL Nasional (62,7)
adalah di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Berdasarkan gambaran keragaman nilai antar indeks antarprovinsi, menunjukkan
adanya perbedaan kontribusi dari setiap indeks pembentuk IPM di setiap provinsi di
wilayah Jawa Bali.Misalnya di wilayah DKI Jakarta, walaupun memiliki indeks
pendidikan tertinggi namun masih memiliki indeks IHL yang relatif rendah.Di provinsi
Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Bali menunjukkan IHH lebih tinggi dibanding dengan
IP.
1

KatagoriangkadisparitasditentukanberdasarkanpendekatanquartiledarinilaidisparitasIPMdi33provinsi,dengankategori
(rendah=disparitas4,27,6),(sedang=7,79,2),(tinggi=9,312,0),dansangattinggi>12.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

33

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Gambar 4.3.
Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Jawa Bali.
100
95
90
85
80
75
70
65
60
55

90.2
81.1

80.1

77.4
71.7

77.1
75.4
71.6

76.175.5

75.273.974.5

72.1

71.1
65.8

63.9

62.1

61.8

82.1

80.379.6

64.7

78.9
71.573.7

70.1

71.8

66.3
61.8

62.9

62.7

IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM
DKIJAKARTA

JAWABARAT

Series1

JAWATENGAH

IHHNasional

DIYOGYAKARTA

JAWATIMUR

IPNasional

BANTEN

IHLNasional

BALI

IPMNasional

Kesenjangan pencapaian IPM antara kabupaten/kota di setiap provinsi diwilayah Jawa


Bali dilihat dari disparitas IPM (selisih IPM tertinggi dan terrendah), secara umum
menunjukkan perkembangan convergen, kecuali di Provinsi DI Yogyakarta
menunjukan perkembangan divergen dari 8,4 pada tahun 2005 menjadi 9,1 pada tahun
2009. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Timur yakni antara Kota Blitar dan
Kabupaten Sampang, sementara disparitas terrendah di Provinsi Banten sebesar 7,5,
yakni antara Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak.
Tabel 4.3.
Disparitas IPM Antar Kab.kota Disetiap Provinsi di Wilayah Jawa-Bali Tahun 2005dan 2009
MAX
MIN
MAX
MIN
MAX
MIN
MAX
MIN
MAX

IPM
77,9
67,6
77,1
63,0
76,0
64,3
77,7
69,3
75,1

TAHUN2005
KAB/KOTA
KotaJakartaSelatan
Kep.Seribu
KotaDepok
Indramayu
KotaSurakarta
Brebes
KotaYogyakarta
GunungKidul
KotaBlitar

IPM
79,3
70,5
78,8
67,4
77,5
67,7
79,3
70,2
77,0

TAHUN2009
KAB/KOTA
KotaJakartaSelatan
Kep.Seribu
KotaDepok
Indramayu
KotaSurakarta
Brebes
KotaYogyakarta
GunungKidul
KotaBlitar

MIN

55,0

Sampang

58,7

Sampang

MAX
MIN
MAX
MIN

73,9
66,0
75,2
63,3

KotaTangerang
Serang
KotaDenpasar
Karangasem

75,0
67,5
77,6
66,1

KotaCilegon
Lebak
KotaDenpasar
Karangasem

PROVINSI KATEGORI
DKI
JABAR
JATENG
DIY
JATIM
BANTEN
BALI

DISPARITA
2005 2009
KETERANGAN
10,2 8,7 DisparitasSedang
Convergen

14,1 11,4 DisparitasTinggi


Convergen

11,6 9,8 DisparitasTinggi


Convergen

8,4
9,1 DisparitasSedang
Divergen

20,1 18,3 Disparitassangat


Tinggi

Convergen
7,9
7,5 DisparitasSedang
Convergen

11,9 11,5 DisparitasTinggi


Convergen

Berdasarkan disparitas IPM tersebut, perkembangan yang perlu memperoleh perhatian


khusus dalam rangka mengurangi kesenjangan kesejahteraan masyarakat
antarkabupaten/ kota di setiap provinsi, adalah di Jawa Timur dengan angka disparitas
IPM sebesar 18,3, walaupun menunjukkan arah perkembangan convergen dibanding
tahun 2005.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

34

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

4.2.3. Wilayah Kalimantan


Perbandingan nilai antar indeks komponen pembentuk IPM disetiap provinsi di wilayah
Kalimantan, secara umum menunjukkan nilai tertinggi pada Indeks Pendidikan (IP),
kemudian indeks Harapan Hidup (IHH)dan terrendah pada Indeks Hidup Layak(IHL).
Sebagian besar provinsi diwilayah Kalimantan menunjukkan indeks pendidikan di atas
indeks nasional (78,9), kecuali di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi yang berada di
bawah indeks Harapan Hidup (IHH) nasional(73,7) adalah Provinsi Kalimantan Selatan,
sementara provinsi dengan IHL di bawah IHL Nasional (62,7) adalah di Provinsi
Kalimantan Barat.
Gambar 4.4.
Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Kalimantan.
90.0
85.0
80.0
75.0
70.0
65.0
60.0
55.0
50.0

84.3

82.9
76.8

74.8

76.7

74.4

75.1

IP

IHL

64.4

63.5

62.7

IPM

KALIMANTANBARAT

Series1

64.1

63.3

62.5

78.9
73.7
71.8

69.3

68.8

69.1

IHH

80.4

IHH

IP

IHL

IPM

KALIMANTANTENGAH

IHHNasional

IHH

IP

IHL

IPM

KALIMANTANSELATAN

IPNasional

IHH

IP

IHL

IPM

KALIMANTANTIMUR

IHLNasional

IPMNasional

Kesenjangan pencapaian IPM antara kabupaten/kota di setiap provinsi diwilayah


Kalimantan dilihat dari disparitas IPM (selisih IPM tertinggi dan terrendah), secara
umum menunjukkan perkembangan convergen, kecuali di Provinsi Kalimantan Barat
menunjukan perkembangan divergen dari 7,6 pada tahun 2005 menjadi 7,9 pada tahun
2009. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan yakni antara Kota
Banjar Baru dan Kabupaten Balangan, sementara disparitas terrendah di Provinsi
Kalimantan Tengah sebesar 6,8, yakni antara Kota Palangkaraya dan Kabupaten Pulang
Pisau.
Tabel 4.4.
Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Kalimantan
Tahun 2005 dan 2009
PROVINSI
KALBAR
KALTENG
KALSEL
KALTIM

KATEGORI

MAX
MIN
MAX
MIN
MAX
MIN
MAX
MIN

IPM
69,5
61,9
77,0
69,3
73,0
64,3
76,1
69,2

TAHUN2005
KAB/KOTA
KotaPontianak
Sambas
KotaPalangkaRaya
PulangPisau
KotaBanjarBaru
Balangan
KotaBalikpapan
KutaiBarat

IPM
72,4
64,5
78,0
71,2
74,4
66,1
77,9
71,1

TAHUN2009
KAB/KOTA
KotaPontianak
Sambas
KotaPalangkaRaya
PulangPisau
KotaBanjarBaru
Balangan
KotaBalikpapan
TanaTidung

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

2005
7,6

7,7

8,7

6,9

DISPARITA
2009 KETERANGAN
7,9 DisparitasSedang
Divergen

6,8 DisparitasRendah
Convergen

8,4 DisparitasSedang
Convergen

6,8 DisparitasRendah
Convergen

35

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

4.2.4. Wilayah Sulawesi


Perbandingan nilai antar indeks komponen pembentuk IPM disetiap provinsi di wilayah
Sulawesi, secara umum menunjukkan nilai tertinggi pada Indeks Pendidikan (IP),
kemudian indeks Harapan Hidup (IHH)dan terrendah pada Indeks Hidup Layak(IHL).
Sebagian besar provinsi diwilayah Sulawesi menunjukkan indeks pendidikan di bawah
indeks nasional (78,9), yaitu di Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo dan Sulawesi Barat. Provinsi yang berada di bawah indeks Harapan Hidup
(IHH) nasional(73,7) adalah Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo
dan Sulawesi Barat, sementara provinsi dengan IHL di atas IHL Nasional (62,7) adalah
di Provinsi Sulawesi Selatan.
Gambar 4.5.
Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Sulawesi.
90.0

85.9

85.0
80.0

81.4
74.7

75.7

75.0

70.7

70.0
65.0

79.8

78.6

78.5

68.9
62.6

61.8

74.5

70.9
71.0

69.5
69.2

60.0

73.7
71.8
69.2

63.7
59.0

78.9

74.1
71.0
69.8

60.4

62.5

62.7

55.0
50.0
IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM
SULAWESIUTARA

Series1

SULAWESI
TENGAH

IHHNasional

SULAWESI
SELATAN

SULAWESI
TENGGARA

IPNasional

GORONTALO

IHLNasional

SULAWESIBARAT

IPMNasional

Kesenjangan pencapaian IPM antara kabupaten/kota di setiap provinsi diwilayah


Sulawesi dilihat dari disparitas IPM (selisih IPM tertinggi dan terrendah), secara umum
menunjukkan perkembangan convergen, kecuali di Provinsi Sulawesi Utara
menunjukan perkembangan divergen dari 4,7 pada tahun 2005 menjadi 7,8 pada tahun
2009. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan yakni antara Kota
Makassar dan Kabupaten Jeneponto, sementara disparitas terrendah di Provinsi
Sulawesi Barat sebesar 4,2, yakni antara Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Polewali
Mamasa.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

36

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Tabel 4.5.
Disparitas IPM Antar Kabupaten/Kota Disetiap Provinsi di Wilayah Sulawesi
Tahun 2005 dan 2008

PROVINSI

KATEGORI

SULUT
SULTENG
SULSEL
SULTRA
GORONTALO
SULBAR

MAX

IPM
76,3

MIN

71,6

TAHUN2005
KAB/KOTA
KotaManado
BolaangMongondow

IPM
77,8

TAHUN2009
KAB/KOTA
KotaManado

2005

70,0

BolaangMongondowSelatan

KotaPalu
BanggaiKepulauan

76,0

KotaPalu

67,2

BanggaiKepulauan

KotaMakasar
Jeneponto

78,2

KotaMakasar

64,5

Jeneponto

KotaKendari
Wakatobi

75,3

KotaKendari

66,6

Bombana

72,4

KotaGorontalo

68,0

Boalemo

70,8
66,6

Mamasa
PolewaliMamasa

MAX

73,6

MIN

64,7

MAX

76,6

MIN

60,9

MAX

73,4

MIN

63,0

MAX

70,4

MIN

65,9

KotaGorontalo
Boalemo

MAX
MIN

67,5
63,3

Mamasa
PolewaliMamasa

DISPARITAS
2009 KETERANGAN

4,7

7,8

8,9

8,8

15,6

13,7

10,3

8,7

4,5

4,4

4,2

4,2

Disparitas
Sedang,
Divergen
Disparitas
Sedang,
Convergen
Disparitas
SangatTinggi
Convergen
Disparitas
Sedang
Convergen
Disparitas
Rendah,
Convergen
Disparitas
Rendah

4.2.5. Wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua


Perbandingan nilai antar indeks komponen pembentuk IPM disetiap provinsi di wilayah
Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki kondisi yang berbeda. Hal ini dapat
ditunjukkan dari indeks komponen yang paling berpengaruh terhadap nilai IPM di
masing-masing provinsi.Rendahnya IPM di Provinsi NTB sangat dipengaruhi oleh
rendahnya indeks Harapan Hidup (IHH), sementara Indeks Hidup Layak (IHL) banyak
mempengaruhi terhadap rendahnya IPM di Provinsi NTT. IPM di provinsi Maluku dan
Maluku Utara secara umum memiliki indeks komponen IPM yang relatif sama, dan
sedikit lebih tinggi untuk di provinsi Maluku. Gambaran kondisi IPM dan komponen
pembentuknya di wilayah Papua menunjukkan perbedaan komponen yang
mempengaruhi, yaknitingginya IPM di provinsi Papua Barat dibanding Provinsi Papua
disebabkan oleh tingginya indeks Pendidikan.
Gambar 4.6.
Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Nusa
Tenggara, Maluku dan papua.
90
85
80
75
70
65
60
55
50

84.6

83.0
79.4

73.3
70.4
70.3
68.4
66.6
64.7
64.2
61.3
56.1

71.0
67.8
57.9

72.3
68.6
65.0

72.0
68.6
55.1

54.4

78.9
73.7
64.5 71.8

56.4

62.7

IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM
NUSATENGGARA NUSATENGGARA
BARAT
TIMUR

Series1

IHHNasional

MALUKU

MALUKUUTARA

IPNasional

PAPUABARAT

IHLNasional

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

PAPUA

IPMNasional

37

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Kategori disparitas IPM tinggi sampai sangat tinggi merupakan gambaran tingginya
kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarkabupaten/kota di setiap provinsi.di
wilayah Nusa Tenggara, maluku dan Papua. Disparitas sangat tinggi terdapat seluruh
provinsi wilayah Nusa Tengara dan wilayah Papua. Kondisi disparitas IPM terbesar
terdapat di Provinsi Papua dengan disparitas IPM sebesar 27,1. Perkembangan
disparitas IPM tersebut sebagian besar menunjukkan arah divergen, kecuali di Provinsi
Papua Barat yang menunjukkan arah convergen.
Kesenjangan pencapaian IPM antara kabupaten/kota di setiap provinsi diwilayah Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua dilihat dari disparitas IPM (selisih IPM tertinggi dan
terrendah), secara umum menunjukkan perkembangan divergen, kecuali di Provinsi
Papua Barat menunjukan perkembangan convergen dari 14,2 pada tahun 2005 menjadi
12,8 pada tahun 2009. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Papua yakni sebesar 27,4
(tahun 2009) antara Kota Jayapura dan Kabupaten Ndunga, sementara disparitas
terrendah di Provinsi Maluku Utara sebesar 9,5, yakni antara Kota Ternate dan
Kabupaten Halmahera Barat.
Tabel 4.6.
Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Nusa Tenggara, Maluku
dan Papua, Tahun 2005 dan 2009

MAX
MIN
MAX
NTT

MIN
MALUKU MAX

MIN
MAX
MALUKU
UTARA
MIN

IPM
69,4
57,8
74,5
59,6
76,2
64,8
74,2
64,9

TAHUN2005
KAB/KOTA
KotaMataram
LombokBarat
KotaKupang
SumbaTimur
KotaAmbon
SeramBagianTimur
KotaTernate
HalmaheraBarat

IPM
71,8
58,4
76,9
59,8
78,2
66,2
76,1
66,6

TAHUN2009
KAB/KOTA
KotaMataram
LombokUtara
KotaKupang
SumbaTengah
KotaAmbon
MalukuBaratDaya
KotaTernate
HalmaheraBarat

PAPUA MAX
BARAT
MIN
MAX
PAPUA
MIN

74,3
60,1
72,1
46,9

KotaSorong
TelukWondama
KotaJayapura
Peg.Bintang

76,8
64,1
75,2
47,7

KotaSorong
RajaAmpat
KotaJayapura
Nduga

PROVINSI

KATE
GORI

NTB

DISPARITAS
2005 2009
KETERANGAN
DisparitasSangat
11,6 13,4 Tinggi(Divergen)
14,9

17,1

DisparitasSangat
Tinggi(Divergen)

11,4

12,0

DisparitasTinggi
Divergen

9,3

9,5

DisparitasTinggi
(Divergen)

14,2

12,8

Disparitassangat
tinggi,(convergen)

25,2

27,4

DisparitasSangat
Tinggi(Divergen)

Berdasarkan angka dan arah perkembangan disparitas IPM antarkabupaten/ kota di


setiap provinsi di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, diperlukan perhatian
khusus dalam rangka mengurangi kesenjangan kesejahteraan masyarakat.Upaya
percepatan dalam aspek pendidikan, kesehatan dan peningkatan daya beli masyarakat
masih perlu terus ditingkatkan khususnya pada daerah-daerah yang memiliki IPM
rendah.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

38

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

ANALISISPENDAPATANDANBELANJADAERAH

5.1. Analisis Pendapatan Daerah


APBD dialokasikan untuk melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan kemampuan
pendapatannya, serta didukung oleh pembiayaan yang sehat untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah yang diikuti dengan pemerataan pembangunan.
Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan potensi
penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah
Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan publik dalam jumlah
yang mencukupi dan juga berkualitas. Selanjutnya melalui belanja yang berkualitas
diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.
Namun demikian, kenyataan yang dihadapi dalam pengelolaan keuangan publik, selalu
terjadi kendala penganggaran, yang tercermin dari banyaknya kebutuhan yang
dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Dengan demikian,
prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati
kendala penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, melalui analisis keuangan APBD
diharapkan mampu memberikan informasi yang berguna dalam memotret kondisi
keuangan APBD baik dari sisi pendapatan dan belanja.
Di sisi pendapatan, analisis kesehatan keuangan APBD akan melihat aspek kemandirian
daerah dan ruang fiskal (fiscal space), sementara dari sisi belanja daerah akan meliputi
rasio belanja pegawai terhadap total belanja, rasio belanja pegawai tidak langsung
terhadap total belanja, rasio belanja modal per total belanja, dan rasio belanja modal per
jumlah penduduk. Semua rasio tersebut menunjukkan kecenderungan pola belanja
daerah, apakah suatu daerah cenderung mengalokasikan dananya untuk belanja yang
terkait erat dengan upaya peningkatan ekonomi, seperti belanja modal, atau untuk
belanja yang sifatnya untuk pendanaan aparatur, seperti belanja pegawai tidak langsung.
5.1.1. Rasio Kemandirian Daerah
Berdasarkan data APBD tahun 2010, rasio kemandirian dapat ditunjukkan oleh rasio
PAD terhadap total pendapatan. Rasio PAD terhadap total penpatan memiliki makna
kemandirian, yaitusemakin besar angka rasio PAD maka kemandirian daerah semakin
besar. Dengan demikian, daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik adalah
daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah.
1.

Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Analisis agregat provinsi, kabupaten dan kota menunjukkan rasio kemandirian daerah
seluruh pemda di suatu provinsi. Penghitungannya dilakukan dengan menjumlahkan
PAD seluruh pemda pada satu provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan
untuk wilayah yang sama. Dari perhitungan tersebut diperoleh potret rasio PAD
terhadap pendapatan seluruh (lihat Gambar5.1.).

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

39

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

60
50
40
30
20
10

53
32
24
8

17 14 15

12 15 13 12

19 22 22
11 12

16

16 16
9 8

28
13

10

13

8 7 5 10

19
9

20

Aceh
SumateraUtara
SumateraBarat
Riau
Jambi
SumateraSelatan
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
KalimantanBarat
KalimantanTengah
KalimantanSelatan
KalimantanTimur
SulawesiUtara
SulawesiTengah
SulawesiSelatan
SulawesiTenggara
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
BangkaBelitung
Gorontalo
KepulauanRiau
PapuaBarat
SulawesiBarat

Gambar : 5.1.
Rasio PAD Terhadap APBD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

PAD/APBD(TotalSeProvinsi)

PAD/APBDTotalSeProvinsi(Nasional)

Dari Gambar,tampak bahwa DKI Jakarta memiliki rasio PAD yang paling tinggi, yaitu
sebesar 53%, jauh lebih tinggi dibandingan rasio PAD agregat pada lingkup nasional
sebesar 20%. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat memiliki rasio PAD terrendah yaitu
sebesar3%. Hal ini menunjukkan bahwa, DKI Jaya memiliki kemandirian daerah yang
paling baik dibandingkan provinsi-provinsi yang lain, dan sebaliknya, Provinsi Papua
Barat menunjukkan tingkat kemandirian yang paling rendah. Tingginya tingkat
kemandirian di Provinsi DKI tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD
khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah, sedangkan rendahnya tingkat
kemandirian di Provinsi Papua Barat disebabkan oleh rendahnya pajak daerah dan retribusi
daerah di wilayah tersebut.

2.

Agregat Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi dan Pemerintah Provinsi

Pada Gambar6.2. nampak bahwa rasio kemandirian tertinggi untuk seluruh pemerintah
kabupaten (pemkab) dan pemerintah kota (pemkot) antarprovinsi terdapat di Provinsi
Bali yaitu sebesar 25% sedangkan kemandirian terrendah adalah di pemkab dan pemkot
di Provinsi Papua Barat dan Lampung masing-masing sebesar 3%. Kemandirian untuk
pemerintah provinsi, tertinggi dicapai oleh Pemprov Jawa Barat sebesar 72% dan
terrendah dimiliki oleh pemda provinsi Papua Barat 3% .
Gambar 5.2.
Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Se Provinsi, Tahun 2010
80

60
40
20

72 68

65
51

44

50 53

48
39

70
50
40 38

40

13
5 7 7 8 5 6 5 3

68
60

54

11 10 13 11

36 33

55
40

27

31

9
5 5 6
4 4 8 6

25

30

27
21
19 16
14
13 14
8 6
7 5 4 74 9
33 4
25

11

Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar

46

PAD/APBDProvinsi

PAD/APBDKab/Kota

Sumber:APBD2010(Diolah)

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

40

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

5.1.2. Kesenjangan Ruang Fiskal Daerah


Ruang fiskal2 dapat didefinisikan sebagai ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran
pemerintah untuk menyediakan sumber daya tertentu dalam rangka mencapai suatu
tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi keuangan pemerintah. Ruang fiskal
diantaranya dapat dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan
penurunan kewajiban pembayaran utang. Selain itu, efektivitas penggunaan anggaran di
suatu daerah juga menunjang terciptanya ruang fiskal yang cukup memberi ruang
dalam pembangunan suatu daerah.
Ruang fiskal diperoleh dari pendapatan umum setelah dikurangi pendapatan yang
sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) serta belanja yang sifatnya mengikat
seperti belanja pegawai dan belanja bunga. Dengan demikian, perencanaan dan
penganggaran yang dituangkan dalam APBD suatu daerah memegang peranan sangat
penting. Pemerintah daerah diharapkan memiliki terobosan untuk memanfaatkan ruang
fiskal yang ada guna memacu pertumbuhan ekonomi.
Gambar 5.3.
Ruang Fiskal Agregat (Pempro + Pemkab/Pemkot) Antarprovinsi, Tahun 2010
Aceh
Sulbar 100.00
PapuaBarat
80.00
Kepri
Gorontalo
Kep.Babel

Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel

60.00

Bengkulu

40.00

Banten

Lampung

20.00

MalukuUtara

DKIJakarta

Papua

JawaBarat
57.07

Maluku

JawaTengah

NTT

DIYogyakarta

NTB
Bali
Sultra
Sulsel
Sulteng

JawaTimur

Sulut

Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim

RuangFiskalAgregat(Pemprov+Pemkab/Pemkot)
RatarataRuangFiskalAgregat(Pemprov+Pemkab/Pemkot)

Sumber:DataSIKD,DJPK

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota


Ruang fiskal agregat per provinsi menunjukkan persentase ruang fiskal seluruh pemda
(pemprov + Pemkab/Pemkot) pada suatu provinsi. Dari keseluruhan ruang fiskal
provinsi di seluruh Indonesia, rata-rata nasionalnya adalah sebesar 57,07%. Terdapat
13 provinsi yang berada diatas rata-rata nasional, dan sisanya sebanyak 20 provinsi
memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata nasional.

laporan Fiscal Policy for Growth and Development (World Bank, 2006) dinyatakan bahwa ruang fiskal
(fiscal space) tersedia, jika pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya tanpa mengancam
solvabilitas fiskal (fiscal solvency). Stephen S. Heller (IMF Policy Discussion Paper, 2005)

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

41

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Tabel: 5.1.
Ruang Fiskal Agregat (Pemprov + Pemkab/Pemkot) Menurut 5 Provinsi Tertinggi dan
Terrendah, Tahun 2010.
Ruang Fiskal Agregat (Pemprov + Pemkab/Pemkot)

No.

Tertinggi

Terrendah

Papua Barat

77,9

Jawa Tengah

43,0

Papua

75,6

Bali

45,0

Kaltim

74,9

Sumbar

45,4

Maluku Utara

67,1

DI Yogyakarta

45,8

DKI Jakarta

65,7

Lampung

46,1

Pada Gambar 5.3 dan Tabel 5.1, Dari keseluruhan provinsi, Provinsi Papua Barat
mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 77,9%. Hal ini dapat disebabkan oleh
besarnya penerimaan Provinsi Papua Barat yang terutama diperoleh dari dana transfer
dan dana Penyesuaian + Otonomi Khusus. Dengan demikian, Provinsi Papua Barat,
serta provinsi lainnya (Papua, Kalimantan Timur, Maluku Utara dan DKI Jakarta)
mempunyai ruang yang cukup luas dalam memenuhi kebutuhan daerahnya untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Sebaliknya, Provinsi Jawa Tengah
merupakan daerah yang memiliki ruang fiskal terrendah yaitu sebesar 43,0%. Dengan
demikian, Provinsi Bengkulu harus pandai memilih belanja yang tepat dalam
memanfaatkan ruang fiskal yang ada untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
2. Agregat Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi dan Pemerintah Provinsi
Ruang fiskal seluruh pemkab dan pemkot di setiap provinsi dan ruang fiskal
pemerintah provinsi dapat digambarkan pada Gambar 5.4, dan Tabel 5.2.
Gambar : 5.4
Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot dan Pemprov, Tahun 2010
Aceh
Sulbar
PapuaBarat 100.00
Kepri
80.00
Gorontalo
Kep.Babel
Banten

Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel

60.00

Bengkulu

40.00

MalukuUtara

Lampung

20.00

Papua

DKIJakarta

Maluku

JawaBarat

NTT

JawaTengah

NTB

DIYogyakarta

Bali
Sultra
Sulsel
Sulteng Sulut

JawaTimur
Kalbar
Kalteng
KaltimKalsel

RuangFiskalPemprov.

RatarataRuangFiskalPemprov

RuangFiskalPemkab/Pemkot

RatarataRuangFiskalPemkab/Pemkot

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

42

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Tabel : 5.2.
Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot dan Pemprov Menurut 5 Provinsi Tertinggi dan Terrendah,
Tahun 2010
No

Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot


Tertinggi

Terrendah

Ruang Fiskal Pemprov


%

Tertinggi

Terrendah

Papua

71,2

Jawa Tengah

35,8

Papua Barat

91,36

Bengkulu

58,61

Papua Barat

70,9

Bali

37,1

Papua

88,85

NTT

59,32

Kaltim

70,5

DI Yogyakarta

37,7

Kepri

87,99

Sulut

61,69

DKI Jakarta

65,7

Lampung

40,2

Kaltim

87,57

Maluku

63,96

Maluku Utara

64,3

Sumbar

41,2

Aceh

85,57

NTB

64,25

Dari hasil analisis ini, ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di
Provinsi Papua sebesar 71,2%, Papua Barat (70,9%) dan Kalimantan Timur (70,5%),
dan terrendah di provinsi Jawa Tengah sebesar 35,8%, Bali (37,1%) dan
DI.Yogyakarta (37,7%). Sementara untuk ruang fiskal pemerintah provinsi, tertinggi
terdapat di Papua Barat sebesar 91.36%, Papua (88.85%) dan Kepulauan Riau
(87,99%), dan untuk kelompok terrendah adalah Provinsi Bengkulu sebesar 58,61%,
NTT (59,32%) dan Sulawesi Utara (61,69%).
Tinggi ruang fiskal di wilayah Papua dan Kalimantan Timur, serta Kepulauan Riau
sesuai dengan gambaran di atas, disebabkan oleh tingginya dana transfer, serta dana
Otsus untuk pemerintah daerah diwilayah Papua. Ruang fiskal terrendah terdapat pada
kabupaten dan kota Jawa Tengah, Bali dan DI. Yogyakarta disebabkan tingginya
pendapatan yang bersifat earmarked serta belanja wajib, khususnya belanja pegawai.
Rendahnya ruang fiskal dapat juga dikontribusi oleh pendapatan daerah yang rendah,
disisi lain pendapatan DAU sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai.

5.2. Analisis Belanja Daerah


5.2.1. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Rasio ini memperlihatkan rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah. Semakin
tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk
belanja pegawai dan begitu sebaliknya semakin kecil angka rasio belanja pegawai maka
semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai APBD.
Belanja pegawai yang dihitung dalam rasio ini melipui belanja pegawai langsung dan
belanja pegawai tidak langsung.
1.

Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota pada lingkup nasional, rata-rata rasio
belanja pegawai terhadap total belanja daerah adalah 44%. Rasio belanja pegawai
agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 12
provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 21 provinsi yang lain
memiliki rasio belanja pegawai yang lebih diatas rata-rata nasional. Sementara terdapat
sebanyak 9 provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai lebih dari 50,0%. Hal ini
berarti bahwa pada daerah-daerah tersebut, belanja daerahnya masih didominasi oleh

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

43

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

belanja pegawai.Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Prov.
Kalimantan Timur dan Papua Barat yaitu masing-masing sebesar 27%, sedangkan
provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Prov. DI. Yogyakarta dan
Jawa Tengah dengan rasio sebesar 57%.
Gambar : 5.3.
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total BelanjaAgregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
belanjapegawai/totalbelanja
51 50
41

45 45
37

50

belanjapegawai/totalbelanjaAgregat(Nasional)

57 57

55
48
37

50

51 49 51 49 52

45
36

42

51

50

47

43

38
29

36

47

44

37
27

Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DI
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar

27

56

Tingginya porsi belanja pegawai tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit
provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk
jenis-jenis belanja selain belanja pegawainya.. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan
program dan kegiatan daerah di luar belanja pegawai yang bisa didanai, khususnya
yang mendukung pertumbuhan ekonomi.

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi dan Pemerintah Provinsi


Gambar5.3. memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota seprovinsi terhadap total belanjanya, dan rasio belanja pegawai pemerintah provinsi
terhadap total belanjanya. Dari gambar tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja
pegawai pemkab dan pemkot se-provinsi dengan rata-rata sebesar 50%, yang berada di
atas 50% meliputi sebanyak 19 provinsi. Dengan demikian, rata-rata pemerintah
kabupaten dan kota se-provinsi sebagian besar mengalokasikan lebih dari setengah
belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Pemerintah kabupaten dan
kota se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki rasio belanja pegawai
terbesar yaitu sebesar 65%, sedangkan yang memiliki rasio belanja pegawai terhadap
belanja daerah terkecil adalah pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Kalimantan
Timur dengan rasio sebesar 30%.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

44

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Gambar 5.4.
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
Se-Provinsi, Tahun 2010

61

64 65

61 60
57
56
54
54 53 55 51
54
53
53
49 47
48
46
44
43
50
42
41
41
41
41
38 38
37
37
37 34
37
35
35
35
35
34
32
31
30
29
27
27
27
26 26
26 26
26
25
25
23
20
20
19
26
18 18
16
15
15
11
60 57

55

56

Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar

70
60
50
40
30
20
10

belanjapegawai/totalbelanjaPemprov
belanjapegawai/totalbelanjaPemkab/PemkotSeProvinsi
belanjapegawai/totalbelanjaPemprov(Nasional)
belanjapegawai/totalbelanjaPemkab/pemkot(Nasional)

Rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di Indonesia memiliki persentase rata-rata


sebesar 26%. Sebanyak 16 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih tinggi
dibandingkan rata-rata rasio tersebut. Gambar 5.3. memperlihatkan bahwa pemerintah
provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar adalah Pemprov Bengkulu
dengan rasio sebesar 42%, sedangkan pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja
pegawai terkecil adalah Pemprov Papua Barat yang sebesar 11%. Grafik tersebut
menunjukkan bahwa rasio belanja pegawai pemerintah provinsi relatif lebih rendah
daripada rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi.

5.2.2. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja Daerah
Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi
belanja daerah terhadap pembayaran gaji pegawai PNSD. Semakin besar rasionya maka
semakin besar belanja daerah yang dibelanjakan untuk membayar gaji pegawai daerah
dan sebaliknya, semakin kecil angka rasionya maka semakin kecil belanja daerah yang
dipergunakan untuk membayar gaji pegawai daerah.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

45

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Gambar 5.5.
Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota Se Provinsi, Tahun 2010

19

44 42 47
38

33
27
18

25
14

58 56

52

52

43
36

31
17

21

26

19

23

49 49 50 46

41

33

21 22
16
12

29

22

26 26

48

48

39
31 32 32

34
28
20

12

49

47
3331 34
29

14 15

10 8

16

45
21

Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar

11

23

60 59

57

52 51 51

70
60
50
40
30
20
10

BelanjaPegawaiTidakLangsungTerhadapTotalBelanjaDaerahPemprov
BelanjaPegawaiTidakLangsungTerhadapTotalBelanjaPemkab/pemkot
belanjapegawaiTidakLangsung/totalbelanjaPemprov(Nasional)
belanjapegawaiTidakLangsung/totalbelanjaPemkab/pemkot(Nasional)

Rasio belanja pegawai tidak langsung pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi
terhadap belanja daerahnya memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja
pegawai tidak langsung adalah 45% dari belanja daerah. Sebanyak 19 provinsi
memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang lebih besar dari rata-rata. Dari
Grafik 3.6 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Jawa Tengah
memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang tertinggi yaitu 60%, sedangkan
pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Kalimantan Timur memiliki rasio terrendah
dengan angka sebesar 22%. Masih banyaknya provinsi yang memilikibelanja pegawai
tidak langsung relatif tinggi, perlu mendapatkan perhatian karena itu berarti mayoritas
daerah membelanjakan lebih dari 45,0% untuk belanja pegawai tidak langsung dan
sisanya baru dibagi oleh bermacam jenis belanja lainnya.
Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap belanja daerah pemerintah provinsi
memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung adalah
21% belanja daerah. Berdasarkan angka rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung
tersebut, sebanyak 16 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari angka tersebut.
Selanjutnya, Gambar 5.4 memperlihatkan bahwa Pemprov Bengkulu memiliki rasio
tertinggi sebesar 38%, sedangkan yang terrendah, adalah Pemprov Papua Barat,
memiliki rasio sebesar 8%.
5.2.3. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah
Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah
yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja Modal sendiri ditambah belanja barang
dan jasa, merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar
negeri. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, semakin baik pengaruhnya

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

46

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin buruk


pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Gambar 5.6 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat
provinsi, kabupaten dan kota. Rasio rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan
kota(Nasional) sebesar 22%. Berdasarkanrasio nasional tersebut, sebanyak 18 provinsi
sudah memiliki rasio di atas rata-rata nasional, sedangkan 15 provinsi berada di bawah
rata-rata. Provinsi yang memiliki rasio terrendah adalah Prov. DI. Yogyakarta sebesar
8%, sedangkan rasio tertinggi terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur sebesar 39%.
Kondisi di atas menunjukkan sebagian besar provinsi di Indonesia masih
menganggarkan belanja modal dengan proporsi yang kecil, yaitu dibawah 50%. Itu
berarti bahwa sebagian daerah masih belum memberikan perhatian yang cukup untuk
mendorong pertumbuhan ekonominya.
Gambar 5.6.
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
belanjaModal/totalbelanjaAgregatSeProvinsi
belanjaModal/totalbelanjaAgregatSeProvinsi(Nasional)
39
32
26

24
18 20

31

28

27

21

19
14

14

26

24 23

14

25

19

16

20

29

33

30
20

24

27

31
21

22

10

Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar

9 8

25

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi


Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan oleh Gambar 5.6
memperlihatkan bahwa secara rata-rata nasional rasio belanja modal terhadap belanja
daerah untuk pemkab/pemkot adalah sebesar 22%. Sebanyak 17 provinsi memiliki rasio
belanja modal pemkab/pemkot lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 16
provinsi memiliki rasio belanja modal pemkab/pemkot terhadap belanja pegawai yang
lebih kecil dari rata-rata. Provinsi Kalimantan Timur memiliki rasio belanja modal yang
terbesar yaitu sebesar 41%, sedangkan pemerintah kabupaten dan kota di Prov.DI
Yogyakarta memiliki rasio terkecil yaitu 8%.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

47

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Gambar 5.7.
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten
dan Kota se-Provinsi
45 41
40

41

40

42

35

30
25

23
22

20
15
8 8

10

5
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKIJakarta
JawaBarat
JawaTengah
DIYogyakarta
JawaTimur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
MalukuUtara
Banten
Kep.Babel
Gorontalo
Kepri
PapuaBarat
Sulbar

belanjaModal/totalbelanjaPemprov
belanjaModal/totalbelanjaPemkab/PemkotseProvinsi
belanjaModal/totalbelanjaPemprov(Nasional)
belanjaModal/totalbelanjaPemkab/Pemkot(Nasional)

3. Pemerintah Provinsi
Profil rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerahnya dapat
dilihat pada Gambar 5.7. Sebanyak 16 provinsi memiliki rasio belanja modal pemprov
lebih besar dari rata-rata (23%), sedangkan 17 provinsi memiliki rasio belanja modal
pemprov terhadap belanja pegawai yang lebih kecil dari rata-rata. Gambar 5.7,
memperlihatkan kisaran rasio antara 8% hingga 42% dengan rasio tertinggi terdapat di
Pemprov. Kepulauan Riau dan terrendah di Pemprov. Jawa Tengah dan Jawa Timur
masing-masing sebesar 8%.
5.2.4. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk
Rasio belanja modal perkapita menunjukkan seberapa besar belanja yang dialokasikan
pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk. Rasio belanja
modal perkapita memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi karena
belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah
dalam meningkatkan perekonomian penduduknya dari pembangunan infrastruktur yang
dikeluarkan.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

48

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota


Grafik 3.17 yang menunjukkan rasio belanja modal perkapita seluruh provinsi (agregat
provinsi, kabupaten dan kota) memperlihatkan bahwa rata-rata rasio belanja modal
perkapita adalah Rp. 433,19 Ribu. Terdapat11 provinsi yang memiliki rasio belanja
modal perkapita lebih rendah dari rata-rata nasional, dan 22 provinsi memiliki rasio
belanja modal perkapita lebih tinggi dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota.
Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah Prov. Papua
Barat yaitu sebesar Rp. 3,4 juta, sedangkan yang terrendah adalah Prov. Jawa Tengah
sebesar Rp. 92,53 Ribu.
Gambar : 5.8.
Rasio Belanja Modal perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
3,423

PapuaBarat
Kaltim
Papua
DKIJakarta
MalukuUtara
Kalteng
Kepri
Kep.Babel
Riau
Aceh
Maluku
Sultra
Kalsel
Sulut
Gorontalo
Jambi
Bengkulu
Sulteng
Sumsel
Sumbar
Sulbar
Kalbar
NASIONAL
NTT
Sulsel
Sumut
NTB
Bali
Banten
Lampung
JawaTimur
JawaBarat
DIYogyakarta
JawaTengah

433

99

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

(Rp.000/Kapita)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi


Rasio belanja modal perkapita pemkab dan pemkot se-Provinsi mencerminkan besaran
belanja modal yang dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota
di setiap provinsi. Dari data APBD terlihat bahwa provinsi-provinsi yang
menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata adalah
provinsi yang memiliki potensi SDA yang besar dan atau memperoleh dana
perimbangan yang besar dari pusat terutama DBH SDA + dana Penyesuaian dan
Otonomi Khusus. Hal ini dapat ditunjukkan dari 10 Provinsi dengan Rasio Belanja
Modal tertinggi, sebanyak 6 provinsi berada pada kuadran I dari Gambar 5.9 yang
menunjukkan Perimbangan Sumber Pendapatan dari DBH + Daya Penyesuaian dan Otsus
dengan Belanja Modal.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

49

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Gambar: 5.9.
Perimbangan Sumber Pendapatan dari DBH + Daya Penyesuaian dan Otsus
dengan Belanja Modal.
25000000.00

Belanja Modal (Juta Rp.)

20000000.00

DKI Jakarta

Kaltim

15000000.00

Riau

10000000.00

Papua
Sumsel
Aceh

5000000.00

Papua Barat

0.00

Sulbar
0.00

Jawa Timur

Jawa Tengah

Kepri
Kep. Babel

Jawa Barat

Banten
Sulteng

Sulsel
Sumut
Kalteng

NTB NTT
2000000.00

4000000.00

6000000.00

8000000.00

10000000.00

12000000.00

14000000.00

Dana Bagi Hasil pajak/bukan pajak + dana penyesuaian dan Otsus (Juta Rp.)

Gambar 5.10. menunjukkan rasio belanja modal perkapita pemerintah kabupaten dan
kota se-provinsi. Secara nasional rata-rata rasio belanja modal kabupaten dan kota seprovinsi adalah Rp. 322,49 Ribu. Pemkab dan Pemkot Se-Provinsi yang memiliki rasio
belanja modal perkapita lebih tinggi dari rata-rata sebanyak 23 provinsi, sedang yang
dibawah rata-rata sebanyak 10 provinsi. Papua Barat memiliki rasio belanja modal
perkapita tertinggi yaitu sebesar Rp2,6 juta sedangkan yang terrendah adalah Pemkab
dan Pemkot se-Prov. Jawa Tengah dengan rasio Rp. 84.000/ kapita.
Gambar : 5.10.
Rasio Belanja Modal perkapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
BelanjaModalPerkapitaPemkab/Pemkot
2,610

Kaltim
PapuaBarat
Papua
Kalteng
MalukuUtara
Maluku
Riau
Kep.Babel
DKIJakarta
Kepri
Sultra
Sulut
Kalsel
Gorontalo
Bengkulu
Sulteng
Jambi
Sumsel
Sumbar
Kalbar
NTT
Aceh
Sulsel
NASIONAL
Sulbar
Sumut
NTB
Bali
Lampung
JawaTimur
Banten
JawaBarat
DIYogyakarta
JawaTengah

322

84

1,000 2,000 3,000

BelanjaModalPerkapitaPemprov
1,178

PapuaBarat
DKIJakarta
Aceh
Kaltim
Kepri
Kep.Babel
Papua
Maluku
Kalteng
Riau
Kalsel
Sulbar
Sultra
Jambi
Sumsel
Sumbar
NASIONAL
Gorontalo
Bengkulu
Sulut
Sulteng
Kalbar
Maluku
Bali
Banten
Sumut
NTT
NTB
DI
Lampung
Sulsel
JawaBarat
JawaTimur
JawaTengah

111

15

RibuRp/Kapita

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

500

1,000

1,500

RibuRp/Kapita

50

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

3. Pemerintah Provinsi
Rasio Belanja Modal perkapita pemerintah provinsi ditunjukkan pada Gambar 5,9.
Rasio belanja modal perkapita pemerintah provinsi memiliki rata-rata nasional sebesar
Rp110,70 Ribu/Kapita.Sebanyak 17 pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal
terhadap jumlah penduduk di bawah rata-rata nasional, dan sebanyak16 provinsi yang
memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Pemerintah Provinsi yang memiliki rasio
belanja modal perkapita tertinggi adalah Pemprov. Papua Barat, yaitu sebesar Rp
1.177, 97 Ribu/ kapita sedangkan yang terrendah adalah Pemprov.Jawa Tengah Rp.
14,53 Ribu / kapita.
5.2.5. Perbandingan Kualitas Pendapatan dan Belanja Pemerintah Antarprovinsi
Berdasarkan gambaran perbandingan proporsi pendapatan dan belanja pemerintah
antarprovinsi seperti diuraikan pada sub sebelumnya, kualitasnya dapat diindikasikan
melalui indikator kemandirian daerah, Rasio belanja pegawai dan belanja PNSD
terhadap total belanja, serta rasio belanja modal terhadap total belanja. Dengan
melakukan pengkategorian berdasarkan nilai terhadap rasio rata-rata nasional untuk
setiap indikator, dapat diidentifikasi kategori Tinggi (T) dan Rendah (R).Penjelasan
dari setiap indikator dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Indikator Pendapatan Dan Belanja Pemerintah
No

INDIKATOR

Ruang Fiskal Daerah

Rasio PAD Thd APBD


dibanding Rata-rata Nasional

Rasio belanja pegawai thd total


belanja di banding rata-rata
nasional
Rasio belanja pegawai tidak
langsung thd total belanja di
banding rata-rata nasional

KATEGORI

KETERANGAN

Tinggi (T)
Rendah (R)
Tinggi (T)
Rendah (R)

Kemandirian daerah Tinggi


Kemandirian daerah Rendah
Kemandirian daerah Tinggi
Kemandirian daerah Rendah
Porsi dana untuk belanja program
dan kegiatan daerah relatif rendah
Porsi dana untuk belanja program
dan kegiatan daerah relatif tinggi
Porsi belanja daerah terhadap
pembayaran gaji pegawai PNSD
relatif tinggi
Porsi belanja daerah terhadap
pembayaran gaji pegawai PNSD
relatif tinggi
Porsi belanja modal untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi
relatif tinggi
Porsi belanja modal untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi
relatif rendah

Tinggi (T)
Rendah (R)
Tinggi (T)
Rendah (R)

5
Rasio belanja Modal thd total
belanja di banding rata-rata
nasional

Tinggi (T)
Rendah (R)

Berdasarkannilai rasio setiap provinsi pada indicator yang dinilai, dapat diidentifikasi
kategori setiap indicator untuk setiap provinsi, lihat Tabel 5.3. Untuk memudahkan
dalam membedakan kualitas pendapatan dan belanja pada setiap provinsi, setiap
kategori yang diberi Blok warna Abu-abu menunjukkan kualitas kemampuan

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

51

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

keuangan, dan kualitas belanja relatif rendah dan sebaliknya menunjukkan kualitas
relatif baik.
Berdasarkan nilai agregat (pemerintah provinsi dan kabupaten/kota) untuk setiap
provinsi, kualitas pendapatan dan belanja relatif rendah meliputi Provinsi Sumut,
Sumbar, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,
NTT, NTB, dan Sulawesi Barat. Kualitas pendapatan dan belanja relatif jrendah pada
kelompok ini, untuk pemerintah provinsi terdapat di Provinsi Bengkulu, Kalimantan
Barat, NTT dan NTB, sementara untuk pemerintah kabupaten/kota terdapat di Provinsi
Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Jawa tengah, Sulawesi Selatan, NTB. NTT, dan
Sulawesi Barat.
Tabel: 5.1.
Matriks Penilaian Kualitas Pendapatan dan Belanja Antarprovinsi
PEMERINTAH
KABUPATEN/KOTA

Rasiobelanjapegawaitidaklangsung
thdtotalbelanja

RasiobelanjaModalthdtotalbelanja

BelanjaModalPerkapita

RuangFiskal
RasioPADThdAPBD

Rasiobelanjapegawaithdtotalbelanja

Rasiobelanjapegawaitidaklangsung
thdtotalbelanja

RasiobelanjaModalthdtotalbelanja

BelanjaModalPerkapita

RuangFiskal

RasioPADThdAPBD

Rasiobelanjapegawaithdtotalbelanja

Rasiobelanjapegawaitidaklangsung
thdtotalbelanja

RasiobelanjaModalthdtotalbelanja

BelanjaModalPerkapita

Aceh
T
R
SumateraUtara
T
T
SumateraBarat
R
T
Riau
R
R
Jambi
R
R
SumateraSelatan
T
T
Bengkulu
R
R
Lampung
R
T
DKIJakarta
R
T
JawaBarat
T
T
JawaTengah
T
T
DIYogyakarta
R
T
JawaTimur
T
T
KalimantanBarat
R
R
KalimantanTengah
T
R
KalimantanSelatan
R
T
KalimantanTimur
T
R
SulawesiUtara
R
R
SulawesiTengah
R
R
SulawesiSelatan
T
T
SulawesiTenggara
R
R
Bali
R
T
NTB
R
R
NTT
R
R
Maluku
R
R
Papua
T
R
MalukuUtara
R
R
Banten
T
T
BangkaBelitung
T
R
Gorontalo
R
R
KepulauanRiau
T
R
PapuaBarat
T
R
SulawesiBarat
T
R
Sumber: Hasil Pengolahan Data APBD 2010.

AGREGATSEPROVINSI

Rasiobelanjapegawaithdtotalbelanja

RasioPADThdAPBD

Provinsi

RuangFiskal

PEMERINTAHPROVINSI

R
R
R
R
T
T
T
T
T
R
R
T
R
T
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
T
R
T
R
R
T
R
R
R

R
R
T
R
T
R
T
T
T
R
R
T
R
T
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
T
R
R
R
R
T
R
R
R

T
R
T
T
T
T
R
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
R
R
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
R
T
T
T

T
R
R
T
R
R
R
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
R
R
R
R
R
R
R
R
T
T
R
T
R
T
T
R

R
R
R
T
T
T
T
R
T
R
R
R
R
T
T
T
T
R
T
R
T
R
R
R
T
T
T
R
T
T
T
T
R

T
T
T
R
R
R
T
T
R
T
T
T
T
R
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
R
R
R
T
R
T
R
R
T

T
T
T
R
R
R
T
T
R
T
T
T
T
R
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
R
R
R
T
R
T
R
R
T

R
R
R
T
T
T
R
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
T
T
R
T
R
R
R
T
T
T
R
T
T
T
T
R

T
R
T
T
T
T
T
R
T
R
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
T
R
R
T
T
T
T
R
T
T
T
T
R

T
R
R
T
R
T
R
R
T
R
R
R
R
T
T
T
T
R
R
R
R
R
R
R
T
T
T
R
T
R
T
T
T

R
R
R
R
R
R
R
R
T
T
R
T
T
R
R
R
R
R
R
R
R
T
R
R
R
R
R
T
R
R
R
R
R

R
T
T
R
T
T
T
T
R
T
T
T
T
T
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
R
R
R
T
R
T
R
R
T

R
T
T
R
T
R
T
T
R
T
T
T
T
T
R
R
R
T
T
T
T
T
T
T
R
R
R
T
R
T
R
R
T

T
R
R
T
T
T
R
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
T
T
R
T
R
R
R
T
T
T
R
T
T
T
T
R

T
R
T
T
T
T
T
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
T
T
R
T
R
R
R
T
T
T
R
T
T
T
T
R

R
R
R
R
R
R
R
R
T
T
R
T
R
R
R
R
R
R
R
R
R
T
R
R
R
R
R
T
R
R
T
R
R

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

52

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

5.3. Perimbangan
Indeks
Komponen
denganBelanja Pemerintah

Pembentuk

IPM

Perkembangan Indeks komponen pembentuk IPM yang meliputi : Indeks Harapan


Hidup (IHH), Indeks Pendidikan (IP), dan Indeks Hidup Layak (IHL) memiliki kaitan
erat dengan dukungan alokasi pendanaan pemerintah. Berdasarkan struktur APBD
menurut fungsi dibedakan dalam 11 kelompok belanja, dan yang dianggap memiliki
kaitan langsung dengan perkembangan indeks komponen pembentuk IPM tersebut
adalah belanja bidang kesehatan, bidang pendidikan dan belanja bidang ekonomi.
Pada Gambar 5.10, tampak perimbangan Indeks Harapan Hidup dengan belanja
pemerintah bidang kesehatan. Pada gambar tersebut terdapat sebanyak 9 provinsi yang
berada pada kelompok Indeks Harapan Hiduprendah dan dukungan belanja pemerintah
bidang kesehatan yang rendah pula, yaitu Provinsi NTB, Banten, Sulawesi Tengah,
Kalimantan Barat, NTT, Maluku, dan Sulawesi Barat.
Gambar 5.10.
Perimbangan Indeks Harapan Hidup dengan belanja pemerintah
bidang kesehatan.
D I YOGYAKARTA

DKI JAKARTA

80.00
SULUT
JAWA TENGAH

RIAU

KALTENG

Indeks Harapan Hidup

BALI

75.00

SULSEL

KALTIM

KEPRI

JAWA TIMUR
LAMPUNG
JAWA BARAT

KEP. BABEL

SUMBAR

JAMBI

PAPUA
ACEH

SULBAR

PAPUA BARAT

MALUKU

70.00

KALBAR

NTT

SULTENG
BANTEN

65.00

GORONTALO
MALUKU UTARA

KALSEL

NTB

60.00
0.00

200000.00

400000.00

600000.00

800000.00

1000000.00

Belanja Pemerintah Bidang Kesehatan (Rp/ Kapita)

Pada Gambar 5.11, tampak perimbangan Indeks Pendidikan (IP) dengan belanja
pemerintah bidang pendidikan. Pada gambar tersebut terdapat sebanyak 8 provinsi
yang berada pada kelompok Indeks Pendidikan rendah dan dukungan belanja
pemerintah bidang pendidikan yang rendah pula, yaitu Provinsi NTT, NTB, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, dan
Provinsi Bali.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

53

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Gambar 5.11.
Perimbangan Indeks Hidup Layak dengan belanja pemerintah bidang Pendidikan.
95.00

DKI JAKARTA

90.00

Indeks Pendidikan

SULUT

85.00

MALUKU

SUMUT

SUMBAR
BENGKULU

MALUKU UTARA

BANTEN

SUMSEL

80.00

SULTENG

JAWA BARAT

JAMBI

GORONTALO

D I YOGYAKARTA

KALTIM

KEPRI

ACEH

RIAU

KALTENG

KEP. BABEL
KALSEL
PAPUA BARAT

SULTRA
BALI

JAWA TENGAH
SULSEL

75.00
JAWA TIMUR

KALBAR

SULBAR

NTT

70.00
NTB

PAPUA

65.00
250000.00

500000.00

750000.00

1000000.00

1250000.00

1500000.00

Belanja Pemerintah Bidang Pendidikan (Rp/ Kapita)

Pada Gambar 5.12, tampak perimbangan Indeks Hidup Layak (IHL) yang
menunjukkan daya beli masyarakat dengan belanja pemerintah bidang ekonomi. Pada
gambar tersebut terdapat sebanyak 3 provinsi yang berada pada kelompok IHL rendah
dan dukungan belanja pemerintah bidang ekonomi yang rendah pula, yaitu Provinsi
NTT, Lampung, Bengkulu dan Gorontalo. Sementara terdapat sebanyak 6 provinsi
yang memiliki IHL rendah, namun memiliki belanja pemerintah bidang ekonomi
tinggi, yaitu di provinsi Papua Barat, Maluku Utara, Papua, Aceh, Maluku, Sulawesi
Tenggara.
Gambar 5.12.
Perimbangan Indeks Hidup Layak dengan belanja pemerintah bidang Ekonomi.
D I YOGYAKARTA

66.00

RIAU

KEPRI
JAWA TIMUR

KEP. BABEL

NTB

64.00
JAWA TENGAH

SULBAR

JAWA BARAT

SULUT

62.00
BANTEN

KALTENG

JAMBI
BALI

Indeks Hidup Layak

KALTIM

SULSEL

DKI JAKARTA

SULTENG

BENGKULU

GORONTALO

60.00

LAMPUNG
SULTRA

MALUKU

58.00

ACEH
PAPUA

NTT

56.00
MALUKU UTARA

PAPUA BARAT

54.00
0.00

300000.00

600000.00

900000.00

1200000.00

1500000.00

Belanja Pemerintah Bidang Ekonomi (Rp./ kapita)

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

54

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

IMPLIKASIKEBIJAKAN

Berdasarkan hasil analisis kesenjangan antarwilayah menunjukkan berbagai hal dengan


implikasi kebijakan penting, yaitu mengenai perlunyadukungan dalampenguatan
formulasi perencanaan pembangunan melalui pengembangan informasi mengenai
perkembangan kesenjangan antarwilayah, dan dukungan kebijakan dalammerespon
persoalan berbagai temuan dari hasil analisis kesenjangan antarwilayah.Dukungan
kebijakan dalam penguatan perencanaan pembangunan tersebut, khususnya dalam
pemahaman terhadap persoalan kesenjangan antarwilayah yangdapat diindikasikan dari
beberapa temuan tingginya disparitas antarwilayah, tren kesenjangan yang cenderung
meningkat (divergen), rendahnya keterkaitan antara kekayaan daerah dengan
kesenjahteraan masyarakat, serta rendahnya kemampuan fiskal daerah pada beberapa
daerah yang relatif tertinggal. Kondisi ini tentunya perlu memperoleh perhatian serius
dan dipantau perkembangannya, agar tidak memicu instabilitas dan gejolak sosial yang
tidak diharapkan. Disisi lain, hal ini dapat menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan
dan program pembangunan yang tepat dalam rangka mewujudkan pemerataan
pembangunan antarwilayah di Indonesia.
Beberapa fakta dari kesenjangan antarwilayah, secara umum dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
Pertama, Beberapa provinsi yang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya
kesenjangan perekonomian antarprovinsi di Indonesia, yaitu provinsi DKI
Jakarta, Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur yang memiliki PDRB
perkapita tinggi, sebaliknya beberapa provinsi dengan PDRB perkapita
sangat rendah, terdapat di Provinsi Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur,
Maluku, Gorontalo. Hal ini tidak terlepas dari eksploitasi sumber daya alam
yang berlimpah seperti minyak dan gas bumi, bahan tambang, dan
sumberdaya hutan yang dimiliki Provinsi Kalimantan Timur dan Riau. Di
Kepulauan Riau disebabkan adanya Kota Batam yang merupakan pusat
kegiatan industri dan perdagangan antar Negara. DKI Jakarta merupakan
pusat kegiatan sektor industri, jasa dan perdagangan. Sementara menurut
derajat ketimpangan antar wilayah berdasarkan PDRB perkapita menurut
Theil Indeks kesenjangan di tingkat nasional lebih disebabkan akibat
tingginya kesenjangan antarprovinsi (54,46 %) dibandingkan kesenjangan
dalam provinsi (45,54 %). Kondisi kesenjangan (indeks Williamson) di
Wilayah Jawa-Bali, Kalimantan dan Wilayah Maluku-Nustra-Papua
kecenderungan semakin melebar, hal ini diperlihatkan dengan nilai CVw
tahun 2009 lebih besar dibanding tahun 2005, dan tingkat kesenjangan
tertinggi terjadi di wilayah Jawa-Bali. Tingkat kesenjangan di Wilayah
Sumatera (Indeks Theil) lebih diakibatkan karena tingginya kesenjangan
antarprovinsi, yaitu menyumbang sekitar 80,29 persen, Kesenjangan di
wilayah Jawa-Bali didikibatkan oleh tingginya kesenjangan antarprovinsi
(59,54 %), Kesenjangan di wilayah Kalimantan lebih diakibatkan oleh
tingginya kesenjangan antarprovini (76,67 %), kesenjangan di Wilayah

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

55

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Sulawesi dan wilayah Nustra-Maluku-Papua lebih diakibatkan oleh


tingginya kesenjangan dalam provinsi.
Kedua,

Ketiga,

Perkembangan IPM Nasional pada periode 2005-2009 menunjukkan tren


meningkat, dan diikuti penurunan disparitas IPM antarprovinsi. Namun
perkembangan disparitas IPM antarprovinsi dan antarkabupaten/kota disetiap
provinsi memiliki arah perkembangan yang berbeda, yaitu:

Perkembangan disparitas IPM antarprovinsi menunjukkan arah


convergen, yaitu dari disparitas IPM pada tahun 2005 sebesar 14,
berkurang menjadi 12,8 pada tahun 2009, yaitu selisih dari IPM tertinggi
di Provinsi DKI Jakarta sebesar 76,1 (2005) dan 77,4 (2009) dengan IPM
terrendah di Provinsi Papua sebesar 62,1 (2005) dan 64,5 (2009).

Kesenjangan kesejahteraan masyarakat berdasarkan disparitas IPM antar


kabupaten/kota pada lingkup nasional juga ditentukan oleh perkembangan
kesejahteraan kota-kota di DKI Jakarta dengan nilai IPM tinggi dan
kabupaten-kabupaten di wilayah Papua dengan nilai IPM rendah.
Sementara untuk disparitas IPM antarkabupaten/kota di setiap provinsi,
kategori sangat tinggi terdapat di Provinsi papua sebesar 27,4, dan
memiliki arah perkembangan disparitas meningkat (divergen). Disparitas
IPM sangat tinggi dengan perkembangan divergen juga terjadi di Provinsi
NTB, NTT dengan disparitas masing-masing sebesar 13,7 dan 17,1.
Disparitas IPM sangat tinggi, namun memiliki arah perkembangan
convergen terdapat di Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Papua
Barat masing-masing dengan disparitas sebesar 18,3, 13,7 dan 12,8.

fakta menunjukkan bahwa kaitan antara tingkat output perekonomian di suatu


wilayah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang
bersangkutan sangat lemah.Tingginya kekayaan daerah tidak secara
signifikan diikuti oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi pula.Jadi,
terdapat kegagalan untuk merefleksikan kekayaan daerah ke dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat.Hal ini merefleksikan penduduk asli
(indigenous people) tidak merasakan manfaat dari kekayaan daerah yang ada
disekitar mereka.Hal ini secara jelas tercermin dari kasus beberapa kabupaten
di atas seperti Mimika, Kutai Timur, Sumbawa Barat. Sebagaimana di
ketahui, di sekitar enclave pembangunan berbasiskan kelimpahan
sumberdaya alam atau kantong-kantong eksploitasi (minyak-gas,
pertambangan lainnya, hutan, perkebunan, dan lain lain) ditemukan adanya
kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dan terlupakan ditengah
hiruk-pikuk pengerukan sumberdaya alam di sekitar mereka. Mereka
umumnya adalah penduduk asli daerah yang bersangkutan.

Keempat, peran penganggaran yang dituangkan dalam APBD suatu daerah memegang
peranan sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun faktanya setiap daerah tidak
memiliki kemampuan keuangan yang memadai, serta pengelolaan belanja
pembangunan yang efektif untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Gambaran kondisi keuangan daerah
berdasarkan beberapa indikator dapat dijelaskan sebagai berikut:

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

56

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

kemandirian daerah DKI Jakartaberada pada posisi paling tinggi


dibandingkan provinsi-provinsi yang lain, dan sebaliknya Provinsi Papua
Barat menunjukkan tingkat kemandirian paling rendah. DKI Jakarta
memiliki rasio PAD sebesar 53%, sementara Provinsi Papua Barat
memiliki rasio PAD sebesar 3%. Hal ini menunjukkan bahwa, tingginya
tingkat kemandirian di Provinsi DKI tersebut disebabkan oleh tingginya
sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah,
sedangkan rendahnya tingkat kemandirian di Provinsi Papua Barat
disebabkan oleh rendahnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah
tersebut.

Ruang Fiskal menggambarkan besarnya pendapatan yang masih bebas


digunakan oleh daerah untuk mendanai program/kegiatan sesuai
kebutuhannya. Ruang fiskal di wilayah Papua dan Kalimantan Timur,
serta Kepulauan Riau yang termasuk kategori tinggi, disebabkan oleh
tingginya dana transfer, serta dana Otsus untuk pemerintah daerah
diwilayah Papua. Sementara itu, rendahnya ruang fiskal untuk
pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah, Bali dan DI. Yogyakarta,
serta untuk pemerintah provinsi yang terdapat di Provinsi Bengkulu,
NTT dan Sulawesi Utara disebabkan tingginya pendapatan yang bersifat
earmarked serta belanja wajib, khususnya belanja pegawai. Rendahnya
ruang fiskal dapat juga dikontribusi oleh pendapatan daerah yang
rendah, disisi lain pendapatan DAU sebagian besar digunakan untuk
belanja pegawai.

Rasio belanja pegawai terhadap total belanja, sebanyak 17 pemerintah


provinsi dan 19 pemerintah kabupaten/kota memiliki rasio di atas ratarata nasional, denganRasio tertinggi untuk pemerintah provinsi adalah
Provinsi Bengkulu sebesar 42% dan terrendah di Provinsi Papua Barat
sebesar 11%, sementara tertinggi untuk pemerintah kabupaten/kota
adalah Provinsi DIY (65%) dan terrendah di provinsi Kalimantan
Timur (30%). Berdasarkan rasio belanja pegawai tidak langsung (untuk
gaji PNSD) terhadap total belanja sebanyak 16pemerintah provinsi dan
19 pemerintah kabupaten/kota memiliki rasio di atas rata-rata nasional,
dengan rasio tertinggi untuk pemerintah provinsi adalah Provinsi
Bengkulu sebesar 38% dan terrendah di Provinsi Papua Barat sebesar
8%, sementara untuk pemerintah kabupaten/kota, sementara untuk
pemerintah kabupaten/kota, tertinggi di Provinsi Jawa Tengah (60%)
dan terrendah di Provinsi Kaliman Timur (22%).

Rasio belanja modal terhadap total belanja, sebanyak 17 pemerintah


provinsi dan 16 pemerintah kabupaten/kota memiliki rasio di bawah
rata-rata nasional, dengan rasio tertinggi di Provinsi Bengkulu sebesar
42% dan terrendah di Provinsi Papua Barat sebesar 11%. Berdasarkan
rasio belanja pegawai tidak langsung (untuk gaji PNSD) terhadap total
belanja sebanyak 16 pemerintah provinsi dan 19 pemerintah
kabupaten/kota memiliki rasio di atas rata-rata nasional, dengan rasio
tertinggi di Provinsi Bengkulu sebesr 38% dan terrendah di Provinsi
Papua Barat sebesar 8%.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

57

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

Berdasarkan beberapa fakta di atas, maka beberapa kebijakan yang diperlukan


diantaranya meliputi:
1. Diperlukan optimalisasi potensi sumberdaya lokal melalui pengembangan ekonomi
lokal untuk terus ditingkatkan, serta meningkat keterkaitan ekonomi daerah-daerah
tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan.
2. Diperlukan adanya terobosan-terobosan dalam pembangunan perekonomian
daerah, yaitu diantaranya melalui pengembangan pola kerjasama para aktor
regional antar daerah otonom yang bertetangga, berdasarkan kebersamaan atau
kepentingan tertentu untuk menemukan titik win-win solution, yaitu melalui
pengembangan Regional Management.
3. Afirmative yang lebih konkrit untuk meningkatkan pelayanan publik di bidang
pendidikan, kesehatan, serta meningkatkan akses masyarakat terhadap sarana dan
prasarana perekonomian di daerah-daerah tertinggal,terutama di daerah-daerah
yang memiliki disparitas tinggi dan memiliki perkembangan divergen. bagi
kabupaten/kota dengan kenaikan IPM rendah, kemampuan fiskal tinggi nilai IPM
rendah, intervensi kebijakan yang diperlukan adalah upaya memperkuat kapasitas
pemerintah daerah melalui pembenahan tata pemerintahan. Daerah dengan IPM
rendah dankemampuan fiskal rendah diperlukan intervensi kebijakan memperkuat
kemampuan fiskal daerah melalui pengalokasian Dana Alokasi Khusus, Dekon-TP,
serta sumber pendanaan lain yang sah, namun secara bersamaan perlu juga
dilakukan pembenahan tata pemerintahan.
4. Percepatan pembangunan kedepan perlu dilakukan dengan pendekatan
kewilayahan. Pendekatan pengembangan wilayah ini, tentunya diselenggarakan
dengan memerhatikan potensi, peluang keunggulan sumber daya, baik darat
maupun laut, serta dayadukung lingkungan. Optimalisasi percepatan dilakukan
dengan pendekatan kewilayahan, diharapkan terbangun strategic regional
development yang mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi wilayah,termasuk
percepatan pembangunan di daerah tertinggal.Hal ini tentunya sangat menuntut
adanya kesungguhan pemerintah dan peran aktif dari sektor-sektor terkait dalam
mendukung percepatan pembangunan,termasuk dunia usaha dan partisipasi
masyarakat.
5. Pemerintah daerah perlu melakukan pergeseran dari alokasi anggaran administrasi
yang terlalu besar menuju penerapan kebijakan pemberian layanan masyarakat dan
berpihak pada masyarakat miskin. Jumlah pengeluaran saat ini untuk kebutuhan
administrasi pemerintahan terlalu tinggi dan ini menunjukkan penggunaan sumber
daya yang tidak efisien. Ada ruang yang begitu besar untuk melakukan perbaikan
dalam pemanfaatan sumber-sumber daya publik. Penggunaan anggaran sebesar 5
sampai 10 persen untuk kepentingan administrasi seharusnya merupakan target
pemerintah daerah.
6. Stimulus berupa kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang
kondusif sangatlah diharapkan. Sektor riil seperti perdagangan dan
perkembangan usaha kecil dan menengah yang selama ini masih belum
optimal, harus diberi dukungan kebijakan dari pemerintah. Terkait dengan
iklim investasi di suatu daerah, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan.
Yang pertama adalah kelompok kebijakan pemerintah yang memengaruhi biaya
seperti pajak, beban regulasi dan pungli, korupsi, infrastruktur, biaya operasi, dan
investasi perusahaan, dan yang kedua, kelompok yang mempengaruhi risiko yang

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

58

Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011

terdiri dari stabilitas makroekonomi, prediktibilitas kebijakan, hak properti,


kepastian kontrak, dan hak untuk mentransfer keuntungan.
7. Strategi pembangunan yang efektif perlu mempertimbangkan keragaman wilayah.
Daerah yang memiliki tingkat PDRB yang rendah memperoleh manfaat relatif
lebih tinggi dari alokasi dana DAU terlepas dari kemiskinandan pendapatan fiskal
mereka. Di sisi lain, daerah yang mempunyai PDRB yang tinggi dan pendapatan
fiskal yang juga tinggi menerima pendapatan bagi hasil yang relatif lebih
tinggidari pemerintah pusat dan DAU pemerintah pusatyang relatif lebih rendah.
Analisis
pengelompokan
kabupaten/kota
seperti
ini
menunjukkan
keragamansituasi yang akan diketahui sendiri oleh kabupaten/kota terutama
mengenai hal-hal seperti angka kemiskinan, kondisiekonomi, dan kapasitas fiskal
mereka. Keragaman ini sudah seharusnya diperhitungkan dalam penyusunan
strategi pembangunan daerah.

Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

59

Вам также может понравиться