Вы находитесь на странице: 1из 28

1

BAB I
PENDAHULUAN
Keganasan sel plasma dikenal sebagai neoplasma monoklonal yang
berkembang

dari

lini

sel

B,

terdiri

dari

multiple

makroglobulinemia Waldemstrom amiloidosis primer

myeloma

(MM),

dan penyakit rantai

berat. Neoplasma monoklonal dikenal dengan banyak nama antara lain adalah
gamopatia monoklonal, paraproteinemia, diskrasia sel plasma dan disproteinemia.
Penyakit ini biasanya disertai produksi imunoglobulin atau fragmen-fragmennya
dengan satu penanda idiopatik, yang ditentukan oleh regio variabel identik dalam
rantai ringan dan berat. Istilah paraprotein, protein monoklonal atau komponen M,
meunjukkan adanya komponen yang eletrofoetik homogen ini dalam serum dan
urin. Paraprotein dapat merupakan imunoglobulin lengkap, biasanya tipe IgG atau
Costa, jarang juga tipe IgD atau IgE. Rantai ringan ini oleh ginjal dapat cepat
dieksresi dan karena itu terutama dapat ditunjukkan dalam urin (protein Bence
Jones) (Sudoyo, 2010).
Penyakit multiple myeloma menyumbang sekitar 1% dari penyakit
neoplastik dan 13% dari kanker hematologi. Di negara-negara barat, angka
kejadian dalam setahun adalah 5-6 kasus per 100.000 orang. Usia penderita
multiple myeloma adalah 37% kurang dari 65 tahun sebesar 26% usia 65-74 tahun
dan usia lebih dari 74 tahun sebesar 37% (Antoni dan Kenneth, 2011), sedangkan
di Indonesia masih belum banyak dilaporkan dan di Bagian Patologi Klinik FK
USU/RSUP H. Adam Malik dan RSU Tembakan Deli Medan kasus MM didapat
hanya 10 kasus selama kurang lebih 15 tahun (Aman, 2005).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi dan Fisiologi
Lokasi predominan multiple myeloma mencakup tulang-tulang seperti
vertebra, costa, calvaria, pelvis, dan femur. Awal dari pembentukan tulang terjadi
di bagian tengah dari suatu tulang, bagian ini disebut pusat-pusat penulangan
primer. Sesudah itu tampak pada satu atau kedua ujung-ujungnya yang disebut
pusat-pusat penulangan sekunder (Besa, 2011).
Bagian-bagian dari perkembangan tulang panjang adalah sebagai berikut
(Rolland, 2008):
1. Diafisis
Diafisis merupakan bagian dari tulang pannjang yang dibentuk oleh pusat
penulangan primer dan merupakan korpus dari tulang
2. Metafisis
Metafisis merupakan bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir
batang (diafisis)
3. Lempeng epifisis
Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak,
yang akan menghilang pada tulang dewasa
4. Epifisis
Epifisis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder.

Gambar 2.1 Bagian-Bagian Perkembangan Tulang


Dikutip dari Baron, 2008

Kerangka terdiri dari berbagai tulang dan tulang rawan. Tulang adalah jaringan
ikat yang bersifat kaku dan membentuk bagian terbesar kerangka, serta
merupakan jaringan penunjang tubuh utama. Tulang rawan (cartilago) adalah
sejenis jaringan ikat yang bersifat lentur dan membentuk bagian kerangka
tertentu.
Tulang berguna untuk (Moore dan Agur, 2013) :
1.
2.
3.
4.

Melindungi struktur vital


Menopang tubuh
Mendasari gerak secara mekanis
Membentuk sel darah (sumsum tulang merah adalah tempat dibentuknya
sel darah merah, beberapa limfosit, sel darah putih granulosit dan

trombosit)
5. Menimbun berbagai mineral (kalsium, fosfor, dan magnesium).
Sel Darah yang Normal
Kebanyakan sel darah berkembang dari sel-sel di sumsum tulang yang
disebut sel induk (stem cells). Sumsum tulang adalah bahan lembut di tengah
sebagian besar tulang. Sel induk dewasa menjadi berbagai jenis sel darah. Setiap
jenis memiliki tugas khusus (National Cancer Institue, 2008) :

1. Sel darah putih membantu melawan infeksi. Ada beberapa jenis sel darah
putih.
2. Sel darah merah membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh.
3. Trombosit membantu pembekuan darah yang bentuk pengendalian
perdarahan.
Sel plasma adalah sel darah putih yang membuat antibodi. Antibodi
merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Mereka bekerja dengan bagianbagian lain dari sistem kekebalan tubuh untuk membantu melindungi tubuh dari
kuman dan zat berbahaya lainnya. Setiap jenis sel plasma membuat antibodi yang
berbeda (National Cancer Institue, 2008).
II.2 Definisi Multiple Myeloma
Multiple Myeloma (MM) adalah suatu jenis kanker sel plasma yang ditandai
dengan proliferasi klonal sel plasma ganas dalam sumsum tulang mikro, protein
monoklonal dalam darah atau urin, dan disfungsi organ terkait (Antoni dan
Kenneth, 2011).
Pada kanker, sel-sel baru terus dibentuk meskipun tidak dibutuhkan, dan selsel tua atau rusak tidak dihancurkan seperti seharusnya. Sel-sel baru membelah
lagi dan lagi, membuat sel lebih dari normal. Sel-sel yang berlebihan ini
membentuk jaringan massa yang disebut tumor. Ketika sel-sel mieloma telah
menyebar dan mengenai beberapa tulang maka disebut mieloma multipel.
Penyakit ini juga dapat merusak jaringan dan organ, seperti ginjal. Sel-sel
myeloma membuat antibodi yang disebut protein M dan protein lainnya. Protein
ini dapat mengumpulkan dalam darah, urin, dan organ (National Cancer Institue,
2008).
Berbagai jenis dan subtipe myeloma yang berbeda. Ini didasarkan pada jenis
immunoglobulin (protein) yang diproduksi oleh sel myeloma. Biasanya, berbagai
imunoglobulin memiliki fungsi-fungsi yang berbeda dalam tubuh. Setiap protein
imunoglobulin terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Ada lima jenis
rantai protein berat: G, A, D, E, dan M. Ada dua jenis rantai protein ringan: kappa
() dan lambda ( atau L). Tipe myeloma (dilakukan dengan tes yang disebut
"immunofoxation" [IFE]) mengidentifikasi kedua rantai berat dan ringan. Pada

sekitar 60% pasien, komponen M adalah IgG, 20-25% IgA, dan 15-20% adalah
IgM, IgD, atau IgE (Durie, 2013 dan Kumar, 2007).

Gambar 2.2 Struktur Immunoglobulin


Dikutip dari Durie, 2013

II.3 Epidemiologi
Penyakit multiple myeloma menyumbang sekitar 1% dari penyakit
neoplastik dan 13% dari kanker hematologi. Di negara-negara barat, angka
kejadian dalam setahun adalah 5-6 kasus per 100.000 orang. Usia penderita
multiple myeloma adalah 37% kurang dari 65 tahun sebesar 26% usia 65-74 tahun
dan usia lebih dari 74 tahun sebesar 37% (Antoni dan Kenneth, 2011).
II.4 Etiologi
Penyebab pasti terjadinya mieloma multipel belum diketahui. Namun
demikian, berdasarkan penelitian terdapat beberapa faktor risiko yang dapat
meningkatkan kemungkinan seseorang terkena multiple myeloma (National
Cancer Institue, 2008) :
1. Usia di atas 65 tahun. Semakin tua umur seseorang maka akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya multiple myeloma
2. Ras. Angka kejadian multiple myeloma paling tinggi pada ras African
American, dan paling rendah pada Asian American
3. Laki-laki. Penderita mieloma laki-laki lebih banyak daripada perempuan.

4. Riwayat terjadinya monoclonal gammopathy of undetermined significance


(MGUS). MGUS merupakan bentuk jinak dimana sel plasma yang
abnormal membentuk protein M.
5. Riwayat keluarga yang terkena multiple myeloma
6. Faktor-faktor lain seperti paparan radiasi, zat, atau infeksi virus tertentu.
Namun demikian, jika seseorang memiliki satu atau lebih faktor risiko tidak
berarti akan terkena multiple myeloma. Kebanyakan orang-orang yang memiliki
beberapa faktor risiko tidak berkembang menjadi kanker (Durie, 2013).
Faktor genetik juga mungkin berperan pada orang-orang yang rentan
untuk terjadinya perubahan yang menghasilkan proliferasi sel plasma yang
memproduksi protein M seperti pada MGUS. Dalam sel mana terjadi transformasi
maligna tepatnya terjadinya belum jelas. Dapat ditunjukkan sel limfosit B yang
agak dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan sumsum tulang, yang
dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma. Terjadinya onkogen yang paling
penting diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai dewasa ini atau
bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri. Beragam perubahan kromosom telah
ditemukan pada pasien myeloma seperti delesi 13q14, delesi 17q13, dan
predominan kelainan pada 11q (Sudoyo, 2010 dan Fauci, et all, 2008).
II.5 Patofisiologi
Tahap patogenesis pertama pada perkembangan myeloma adalah munculnya
sejumlah sel plasma clonal yang secara klinis dikenal MGUS (monoclonal
gammanopathy

of

undetermined

significance).

Pasien

dengan

MGUS

tidak memiliki gejala atau bukti dari kerusakan organ, tetapi memiliki 1% resiko
progresi menjadi myeloma atau penyakit keganasan yang berkaitan (Belch, 2007).
Perkembangan sel plasma maligna mungkin merupakan suatu proses multi
langkah, diawali dengan adanya serial perubahan gen yang mengakibatkan
penumpukan sel plasma malignan, adanya perkembangan perubahan di
lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan sistem imun untuk
mengontrol penyakit. Dalam proses multi langkah ini melibatkan di dalamnya
aktivasi onkogen seluler, hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan
gangguan regulasi gen sitokin (Sudoyo, 2010).

Keluhan dan gejala pada pasien MM berhubungan dengan ukuran masa


tumor, kinetik pertumbuhan sel plasma dan efek fisikokimia, imunologik dan
humoral produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini, seperti antara lain
para protein dan faktor pengaktivasi osteoklastik (osteoclastic activating
factor/OAF). Pada waktu timbul gejala klinik jumlah total sel plasma ditaksir 10 11
atau 1012 (Sudoyo, 2010).
Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi, seperti
hipervolemia, hiperviskositas, diatesis hemoragik dan krioglobulinemia. Karena
pengendapan rantai ringan, dalam bentuk amiloid atau sejenis, dapat terjadi
terutama gangguan fungsi ginjal dan jantung. Faktor pengaktif osteoklas (OAF)
seperti IL 1-, limfotoksin dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung jawab
atas osteolisis dan osteoporosis yang demikian khas untuk penyakit ini. Karena
kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang dapat
menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Konsentrasi
imunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat menurun dan fungsi
sumsum tulang yang menurun dan netropenia yang kadang-kadang ada
menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi (Sudoyo, 2010).
Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena hiperkalsemia, adanya
deposit mieloid pada glomerulus, hiperurisemia, infeksi yang rekuren, infiltrasi sel
plasma pada ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat
yang berlebihan, sedangkan anemia disebabkan oleh karena tumor menyebabkan
penggantian sumsum tulang dan inhibisi secara langsung terhadap proses
hematopoisis, perubahan megaloblastik akan menurunkan vitamin B12 dan asam
folat (Sudoyo, 2010).

II.6 Diagnosis Multiple Myeloma


II.6.1 Gambaran Klinis

Myeloma dibagi menjadi asimptomatik myeloma dan simptomatik atau


myeloma aktif, bergantung pada ada atau tidaknya organ yang berhubungan
dengan myeloma atau disfungsi jaringan, termasuk hiperkalsemia, insufisiensi
renal, anemia, dan penyakit tulang. Gejala yang umum pada multiple myeloma
adalah lemah, nyeri pada tulang dengan atau tanpa fraktur ataupun infeksi.
Anemia terjadi pada sekitar 73% pasien yang terdiagnosis. Lesi tulang
berkembang pada kebanyakan 80% pasien. Pada suatu penelitian, dilaporkan 58%
pasien dengan nyeri tulang. Kerusakan ginjal terjadi pada 20 sampai 40% pasien
(Palumbo, 2008 dan Durie, 2013).
Fraktur patologis sering ditemukan pada multiple myeloma seperti fraktur
kompresi vertebra dan juga fraktur tulang panjang (contoh: femur proksimal).
Gejala-gejala yang dapat dipertimbangkan kompresi vertebra berupa nyeri
punggung, kelemahan, mati rasa, atau disestesia pada ekstremitas. Imunitas
humoral yang abnormal dan leukopenia dapat berdampak pada infeksi yang
melibatkan

infeksi

seperti

gram-positive

organisme

(eg,

Streptococcus

pneumoniae, Staphylococcus aureus) dan Haemophilus influenzae (Ki Yap, 2010)

Tabel 2.1 Gejala Klinis Terkait Myeloma


Dikutip Dari Durie, 2013

Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan kelainan spesifik. Kadangkadang terdapat nyeri lokal bagian-bagian tulang. Panjang tubuh penderita MM
yang lanjut dapat menyebabkan banyak menurun karena infraksi vertebra
(Sudoyo, 2010).
1. Nyeri : terutama nyeri tulang-tulang karena fraktur kompresi pada tempat
osteopeni atau karena lesi litik tulang, biasanya tulang punggung. Keadaan
ini disebabkan oleh aktivitas berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast
(OAF) seperti IL-1, TNF- dan atau IL-6. Faktor-faktor ini juga
menghambat aktivitas osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal dapat juga

10

disebabkan oleh tekanan tumor medulla spinalis dan saraf-saraf yang


keluar dari medulla spinalis.
2. Gejala anemia: letargi, kelemahan, dispnea, pucat takhikardia
3. Infeksi berulang : berkaitan dengan kekurangan produksi antibodi, dan
pada penyakit lanjut karena netropeni
4. Nefropati : fungsi ginjal terganggu bila kapasitas absorpsi dari rantai berat
haus (lelah) yang akan menyebabkan nefritis interstisial dengan rantai
berat.

Penyebab

kedua

nefropati

adalah

hiperkalsemia

dengan

hiperkalsiuria, yang menyebabkan prerenal azotemia. Hiperkalsemia dapat


menyebabkan penimbunan di tubulus renal, yang menyebabkan nefritis
interstisial. Penyebab gagal ginjal karena pecahan antibodi abnormal
(protein Bence-Jones) merusak ginjal. Penyebab lain gagal ginjal pada
MM adalah seringnya menggunakan antiinflamassi nonsteroid untuk
mengatasi nyeri pada MM.
5. Kecenderungan perdarahan abnormal : protein mieloma mengganggu
fungsi trombosit dan faktor pembekuan : trombositopenia terdapat pada
penyakit lanjut.
6. Kadang-kadang terdapat makroglossia,carpal turnel syndrome dan diare
yang disebabkan amiloid
7. Sindrom Hiperviskositas terjadi pada kurang lebih 10% pasien MM di
mana viskositas plasma sudah 4 kali viskositas plasma normal yang
menyebabkan kelainan pada sirkulasi sehingga mengakibatkan disfungsi
organ serebral, paru, ginjal, mata, kulit, jari tangan, jari kaki, hidung dan
organ-organ lain, biasanya berupa trombois dengan purpura, perdarahan,
kelainan penglihatan, gejala SSP dan neuropati, dan payah jantung. Ini
diakibatkan polimerisasi imunoglobulin abnormal dan agak khusus terjadi
bila ini IgA, IgM, atau IgD.
8. Neuropati : umumnya disebabkan oleh kompresi pada medulla spinalis
atau saraf kepala. Polineuropati dapat terjadi oleh karena adanya endapan
amiloid pada perineuronal atau perivaskuler (vasa nervorum), tetapi dapat
juga karena osteoslerotik myeloma. kadang-kadang merupakan bagian dari
sindrom POEM (polineuropati, organomegali, endokrinopati, monoklonal
gammopati dan perubahan kulit) (Sudoyo, 2010).
II.6.2 Pemeriksaan Laboratorium

11

Beberapa

pemeriksaan

darah

dapat

dilakukan

untuk

membantu

mendiagnosis penyakit ini, pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosa


penyakit ini adalah elektroforesis protein serum dan imunoelektroforesis, yaitu
pemeriksaan darah untuk menemukan dan menentukan antibodi abnormal yang
merupakan tanda khas dari mieloma multipe. Antibodi ini ditemukan pada sekitar
85% penderita (Besa, 2011).
Pasien

dengan

multiple

myeloma,

Elektroforesis

air

kemih

dan

imunoelektroforesis bisa digunakan untuk menemukan adanya protein BenceJones, pada sekitar 30-40% penderita (Bea, 2011). Dan pada apusan darah tepi,
didapatkan adanya formasi Rouleaux. Selain itu pada pemeriksaan darah rutin,
anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 80% kasus. Jumlah
leukosit umumnya normal, namun dapat juga ditemukan pancytopenia, koagulasi
yang abnormal dan peningkatan LED (Besa, 2011 dan Fauci, 2008)

Tabel 2.2 Gejala dan Pemeriksaan Laboratorium Multiple Myeloma


Dikutip dari Durie, 2013

II.6.3 Pemeriksaan Radiologi


1) Foto polos X-ray
Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi litik multiple,
berbatas tegas, punch out, dan bulat pada calvaria, vertebra, dan pelvis.

12

Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di
rongga medulla , mengikis tulang, dan secara progresif menghancurkan tulang
kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien myeloma, dengan sedikit
pengecualian, mengalami demineralisasi difus. Pada beberapa pasien, ditemukan
gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi (Besa, 2011 dan Kumar,
2007).
Saat timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah mengalami
kelainan tulang. Film polos memperlihatkan (Ronald, 2013 dan Healy, 2011):
1. Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama
vertebra yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan
myeloma. Hilangnya densitas vertebra mungkin merupakan tanda
radiologis satu- satunya pada myeloma multiple. Fraktur patologis sering
dijumpai.
2. Fraktur kompresi pada corpus vertebra, tidak dapat dibedakan dengan
osteoprosis senilis.
3. Lesi-lesi litik punch out lesion yang menyebar dengan batas yang jelas,
lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.
4. Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks, menghasilkan massa
jaringan lunak.
5. Temuan pencitraan klasik di MM adalah satu atau lebih lesi osteolitik
fokus terlihat pada radiografi.
6. Walaupun semua tulang dapat terkena, tetapi dari survei yang dilakukan,
distribusi MM terdapat pada tulang vertebra 66%, tulang rusuk 45%,
tengkorak 40%, scapula dan clavicula 40%, panggul 30% , dan tulang
panjang 25%.

13

Gambar 2.3 Foto skull lateral yang menggambarkan sejumlah lesi litik
(osteolitik) punch out lesion yang khas pada calvaria, yang merupakan karakteristik
dari gambaran multiple myeloma dan lesi osteolitik fokal pada foto humerus
Dikutip dari Healy, 2011

Gambar 2.4 Radiografi lateral dari tulang belakang lumbar. Gambar ini
menunjukkan kelainan bentuk tubuh vertebral L4 yang dihasilkan dari
plasmacytoma
Dikutip dari Mulligan, 2014

14

2) CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada myeloma serta menilai
risiko fraktur pada tulang yang kerusakannya sudah berat. Diffuse osteopenia
dapat memberi kesan adanya keterlibatan myelomatous sebelum lesi litik sendiri
terlihat. Pada pemeriksaan ini juga dapat ditemukan gambaran sumsum tulang
yang tergantikan oleh sel tumor, osseous lisis, destruksi trabekular dan korteks.
Namun, pada umumnya tidak dilakukan pemeriksaan kecuali jika adanya lesi
fokal (Besa, 2008 Ki Yap, 2010, Berquist, 2007.)

Gambar 2.5 CT Scan sagital T1 gambaran weighted pada vertebra lumbalis


menunjukkan adanya infiltrasi difus sumsum yang disebabkan oleh multiple myeloma
Dikutip dari Berquist, 2007

15

Gambar 2.6 Lytic expansile mass dari C5. Pada CT Scan tranversal C5 menunjukkan
adanya perluasan massa jaringan lunak (expansile soft-tissue mass) pada sepanjang sisi
kanan Vertebra Cervikal 5 dengan kerusakan tulang terkait.
Dikutip dari Angtuaqo, 2004

3) MRI
MRI potensial digunakan pada multiple myeloma karena modalitas ini baik
untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit
myeloma berupa suatu intensitas bulat , sinyal rendah yang fokus di gambaran
T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2. Besa, 2011, Kumar,
2010, Berquist, 2007)
Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola
menyerupai myeloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun
tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple myeloma seperti
pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk
menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna
untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang
(Besa, 2011, Berquist, 2007)

16

Gambar 2.7 Foto potongan sagital T1 weighted-MRI pada lumbar-sakral memperlihatkan


adanya diffusely mottled marrow yang menunjukkan adanya diffuse involvement pada
sumsum tulang dengan multiple myeloma. Juga didapatkan gambaran fraktur kompresi
pada seluruh vertebra yang tervisualisasi. Pada V-T10 terdapat adanya focal mass-like
lesion yang menunjukkan suatu plasmacytoma.
Dikutip dari Berquist, 2007

4) Radiologi Nuklir
Myeloma merupakan penyakit yang menyebabkan overaktifitas pada
osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir mengandalkan aktifitas osteoblastik
(formasi tulang) pada penyakit dan belum digunakan rutin, pemeriksaan ini
menggunakan radiofarmaka Tc-99m senyawa kompleks fosfat yang diinjeksikan
secara intravena. Tingkat false negatif skintigrafi tulang untuk mendiagnosis
multiple

myeloma tinggi. Scan dapat positif pada radiograf normal,

membutuhkan pemeriksaan lain untuk konfirmasi (Besa, 2011 dan Berquist,


2007).

17

Gambar 2.8 FDG PET scan pada pasien multiple myeloma dengan difuse yang berat
disertai focal disease.
Dikutip dari Hanrahan, 2009

II.6.4 Patologi Anatomi


Pada pasien multiple myeloma , sel plasma berproliferasi di dalam
sumsum tulang. Sel-sel plasma memiliki ukuran yang lebih besar 2 3 kali dari
limfosit, dengan nuklei eksentrik licin (bulat atau oval) pada kontur dan
memiliki halo perinuklear. Sitoplasma bersifat basofilik (Besa, 2011).

18

Gambar 2.9 Aspirasi sumsum tulang memperlihatkan sel-sel plasma multiple myeloma. Tampak
sitoplasma berwarna biru, nukleus eksentrik, dan zona pucat perinuclear (halo)
Dikutip dari (Besa, 2011)

Gambar 2.10 Biopsi sumsum tulang menunjukkan lembaran sel-sel plasma ganas pada multiple
myeloma
Dikutip dari Besa, 2011

Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosis multiple myeloma pada


pasien yang memiliki gambaran klinis multiple myeloma dan penyakit jaringan
konektif, metastasis kanker, limfoma, leukemia, dan infeksi kronis telah
dieksklusi adalah sumsum tulang dengan >10% sel plasma atau plasmasitoma
dengan salah satu dari kriteria berikut (Sudoyo, 2010):
1. Protein monoclonal serum (biasanya >3g/dL)
2. Protein monoclonal urine
3. Lesi litik pada tulang
Sistem Derajat Multiple Myeloma

19

Saat ini ada dua derajat multiple myeloma yang digunakan yaitu Salmon
Durie system yang telah digunakan sejak 1975 dan the International Staging
System yang dikembangkan oleh the International Myeloma Working Group dan
diperkenalkan pada tahun 2005 (Sudoyo, 2010).
Salmon Durie Staging (Sudoyo, 2010):
a) Stadium I
1. Level hemoglobin lebih dari 10 g/dL Level kalsium kurang dari 12 mg/dL
2. Gambaran radiograf tulang normal atau plasmositoma soliter
3. Protein M rendah (mis. IgG < 5 g/dL, Costa < 3 g/dL, urine < 4g/24 jam)
b) Stadium II
1. Gambaran yang tidak sesuai untuk stadium I maupun stadium III
c) Stadium III
1. Level hemoglobin kurang dari 8,5 g/dL Level kalsium lebih dari 12 g/dL
2. Gambaran radiologi penyakit litik pada tulang
3. Nilai protein M tinggi (mis. IgG >7 g/dL, Costa > 5 g/dL, urine > 12 g/24
jam)
d) Subklasifikasi A meliputi nilai kreatinin kurang dari 2 g/dL
e) Subklasifikasi B meliputi nilai kreatinin lebih dari 2 g/dL
International Staging System untuk multiple myeloma:
a) Stadium I
1.
2.
3.
4.
5.

2 mikroglobulin 3,5 g/dL dan albumin 3,5 g/dL CRP 4,0 mg/dL
Plasma cell labeling index < 1%
Tidak ditemukan delesi kromosom 13
Serum Il-6 reseptor rendah
durasi yang panjang dari awal fase plateau

b) Stadium II
1. Beta-2 microglobulin level >3.5 hingga <5.5 g/dL, atau
2. Beta-2 microglobulin <3.5g/dL dan albumin <3.5 g/dL

20

c) Stadium III
1. Beta-2 microglobulin >5.5 g/dL

II.7 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis multiple myeloma seringkali jelas karena kebanyakan
pasien memberikan gambaran klinis khas atau kelainan hasil laboratorium,
termasuk trias berikut (Sudoyo, 2010):
1. Protein M serum atau urin (99% kasus)
2. Peningkatan jumlah sel plasma sumsum tulang
3. Lesi osteolitik dan kelainan abnormal lain pada tulang.
Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding multiple myeloma adalah
malignant lymphoma, karsinoma metastasis, monoclonal gammopathies of
uncertain origin, dan amiloidosis (Shah, 2013 dan Richardson, 2008).
Perbedaan pasien MGUS (benign monoclonal gammanophaty) dengan
pasien yang mengalami MM sulit bila pada awalnya ditemukan protein M. pada
pasien asimtomatik, protein M < 3g/dL, kurang dari 10% plasma sel sumsum
tulang, tidak ditemukan lesi osteolitik, anemia , hiperkalsemia, atau gangguan
ginjal merupakan ciri dari MGUS (Richardson, 2008).
Pada pasien asimptomatik dengan nilai protein M lebih dari 3 g/dL dan sel
plasma sumsum tulang lebih dari 10% sesuai untuk diagnosis smoldering
myeloma. Pada pasien asimptomatik dengan protein M lebih dari 3g/dL dan
monoclonal light chain pada urine, MM lebih dipertimbangkan (Richardson,
2008).
Perbedaan antara amiloidosis dan MM sulit karena keduanya merupakan
gangguan proliferative sel plasma dengan gejala-gejala berbeda tetapi gambaran
yang tumpang tindih. Pada amiloidosis , proporsi sel plasma sumsum tulang
biasanya kurang dari 20%, tidak ditemukan lesi osteolitik, dan jumlah protein
bence Johnson sedang (Richardson, 2008).
Pada pasien tanpa komponen protein M dalam serum maupun urine, tetapi
ditemukan lesi osteolitik, suatu metastase kanker seperti hipernefroma, sebaiknya

21

diekslusi sebelum diagnosis nonsecretory myeloma dipertimbangkan. Pada pasien


dengan gejala konstitusional , lesi osteolitik yang tersebar, komponen protein M
sedang, dan kurang dari 10% sel plasma sumsum tulang, metastase kanker dengan
MGUS harus diekslusi (Richardson, 2008).
Delapan puluh persen penyebaran tumor ganas ke tulang disebabkan oleh
keganasan primer payudara, paru, prostat, ginjal dan kelenjar gondok. Penyebaran
ini ternyata ditemukan lebih banyak di tulang skelet daripada ekstremitas. Bone
Survey atau pemeriksaan tulang-tulang secara radiografik konvensional adalah
pemeriksaan semua tulang-tulang yang paling sering dikenai lesi-lesi metastatik
yaitu skelet ekstremitas bagian proksimal. Sangat jarang lesi megenai sebelah
distal siku atau lutut. Bila ada lesi pada bagian tersebut harus dipikirkan
kemungkinan multiple myeloma (Richardson, 2008).
Gambaran radiologik dari metastasis tulang terkadang bisa memberi
petunjuk dari mana asal tumor. Sebagian besar proses metastasis memberikan
gambaran lytic yaitu bayangan radiolusen pada tulang. Sedangkan gambaran
"blastic" adalah apabila kita temukan lesi dengan densitas yang lebih tinggi dari
tulang sendiri. Keadaan yang lebih jarang ini kita temukan pada metastasis dari
tumor primer seperti prostat, payudara, lebih jarang pada karsinoma kolon, paru,
pankreas. Sedangkan pada multiple myeloma ditemukan gambaran lesi litik
multiple berbatas tegas, punch out, dan bulat. Selain gambaran radiologik,
ditemukannya proteinuri Bence Jones pada pemeriksaan urin rutin dapat
menyingkirkan adanya metastasis tumor ke tulang (Richardson, 2008).

22

Gambar 2.11 Foto pelvic pada metastasis tumor payudara ke tulang memberikan gambaran
osteolytic.
Dikutip dari Weber, 2006

Gambar 2.12 Foto pelvic pada multiple myeloma menunjukkan adanya multiple lytic lesions
pada sepanjang pelvis dan femur
Dikutip dari Ki Yap, 2010

II.8 Penatalaksanaan Multiple Myeloma


Pada umumnya, pasien membutuhkan penatalaksanaan karena nyeri pada
tulang atau gejala lain yang berhubungan dengan penyakitnya. Regimen awal
yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara thalidomide dan
dexamethasone. Kombinasi lain berupa agen nonkemoterapeutik bartezomib
dan lenalidomide sedang diteliti. Bartezomib yang tersedia hanya dalam bentuk
intravena merupakan inhibitor proteosom dan memiliki aktivitas yang bermakna
pada myeloma. Lenalidomide , dengan pemberian oral merupakan turunan dari
thalidomide (Palumbo, 2010 dan Fauci, et all, 2008)
Pada pasien yang berusia 65 tahun atau lebih muda, kemoterapi dosis tinggi
dengan transplantasi sel induk tetap menjadi standar perawatan yang terkait
dengan berkurangnya perkembangan penyakit dan kelangsungan hidup secara
keseluruhan. Setelah pemberian terapi awal (terapi induksi) terapi konsolidasi
yang optimal untuk pasien berusia kurang dari 70 tahun adalah transplantasi stem
sel autolog. Radioterapi terlokalisasi dapat berguna sebagai terapi paliatif nyeri
pada

tulang

atau

untuk mengeradikasi

tumor pada

fraktur patologis.

23

Hiperkalsemia dapat diterapi

secara

agresif,

imobilisasi

dan

pencegahan

dehidrasi. Bifosfonat mengurangi fraktur patologis pada pasien dengan penyakit


pada tulang (Wengi, 2008 dan Avigan, 2014)

Gambar 2.13 Pendekatan penatalaksanaan pada pasien baru terdiagnosis multiple


myeloma
Dikutip dari Shah, D. et all, 2014 dan Palumbo, 2011

Pengobatan yang bisa dilakukan antara lain:


1. Terapi untuk mengatasi nyeri, antara lain bisa dengan terapi penyinaran
pada tulang yang terkena
2. Penderita harus tetap aktif. Tirah baring yang berkepanjangan bisa
mempercepat terjadinya osteoporosis dan menyebabkan tulang mudah
patah. Aktivitas yang dilakukan tidak boleh yang membebani, seperti lari
atau mengangkat beban berat karena tulang yang rapuh
3. Mengatasi infeksi yang terjadi

24

4. Minum air dalam jumlah yang cukup. Penderita yang memiliki protein
Bence-Jones di dalam air kemihnya harus minum air yang cukup untuk
mengencerkan air kemih dan mencegah dehidrasi, yang bisa menyebabkan
terjadinya gagal ginjal
5. Transfusi darah, jika mengalami anemia berat
6. Kemoterapi, bisa dilakukan untuk memperlambat perkembangan penyakit
dengan menghancurkan sel plasma yang abnormal. Namun kemoterapi
juga bisa ikut merusak sel yang normal, karena itu sel darah perlu dipantau
dan dosis kemoterapi disesuaikan jika jumlah sel darah putih dan
trombosit terlalu banyak berkurang
II.9 Prognostik Multiple Myeloma
Meskipun rara-rata pasien multiple myeloma bertahan kira-kira 3 tahun,
beberapa pasien yang mengidap multiple myeloma dapat bertahan hingga 10
tahun tergantung pada tingkatan penyakit (Vickery, 2011)
Berdasarkan derajat stadium menurut Salmon Durie System , angka ratarata pasien bertahan hidup sebagai berikut (Besa, 2011):
1.
2.
3.
4.

Stadium I > 60 bulan


Stadium II , 41 bulan
Stadium III , 23 bulan
Stadium B memiliki dampak yang lebih buruk.
Berdasarkan klasifikasi derajat penyakit menurut the International staging

system maka rata-rata angka bertahan hidup pasien dengan multiple myeloma
sebagai berikut (Besa, 2011):
1. stadium I , 62 bulan
2. stadium II, 44 bulan
3. Stadium III, 29 bulan.

25

DAFTAR PUSTAKA
Aman, K.A. 2005. Profil Penderita Multiplr Myeloma di Bagian Patologi Klinik
FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Medan
Angtuaco, Edgardo J.C, M.D, et al. 2004. Multiple Myeloma: Clinical Review and
Diagnostic Imaging. Departement of Radiology and the Myeloma Institute,
University

of

Arkansas,

[online].

http://radiology.rsna.org/content/231/1/11.full.pdf+html. Diakses pada tangggal 20


November 2014
Avigan, D. and Rosenblatt, J. 2014. Current Treatment for Multiple Myeloma.
The New England Journal of Medicine, (online). N Engl J Med 371;10. Nejm.org

26

Baron, Rolland, DDS,PhD. 2008. Anatomy and Ultrastructure of Bone


Histogenesis, Growth and Remodelling. Endotext-The most accesed source
endocrinology

for

medical

professionals,

[online].

http://www.endotext.org/parathyroid/parathyroid1/parathyroid1.html.

Diakses

pada tanggal 20 November 2014


Belch, Andrew R,MD, et al. 2007. Multiple Myeloma Patient Handbook.
Multiple Myeloma Canada, [online]. http://myeloma.org/pdfs/PHCanada.pdf.
Diakses pada tanggal 17 November 2014
Berquist, Thomas H. 2007. Musculoskeletal Imaging Companion. Lippincott
Williams & Wilkins.
Besa, Emmanuel C, M.D. 2011. Multiple Myeloma. Medscape Reference, [online]
http://emedicine.medscape.com/artiicle/204369-overview. Diakses pada tanggal
19 November 2014
Durie, G.M. 2013. Multiple Myeloma Cancer of the Bone Marrow. International
Myeloma Foundation. USA
Fauci, Braunwald, Kasper, et al. : 2008. Plasma Cell Disorder in Harrisons
Principles of Internal Medicine 17th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
US
Hanrahan, J. Christopher, et all. 2010. Current Consept in the Evaluation of
Multiple Myeloma eith MR Imaging and FDG PET/CT. RSNA Radio Graphics,
[online]. http://pubs.rsna.org/doi/full/10.1148/rg.301095066. Diakses pada tanggal
18 November 2014
Healy, C. F, et all. 2011. Multiple Myeloma: A Review of Imaging Features and
Radiological

Techniques.

Hindawi

Publishing

http://www.hindawi.com/journals/bmr/2011/583439/.

Corporation
Diakses

[online].

tanggal

18

November 2014.
J Sundar, et al. 2011. Multiple Myeloma and Other Plasma Cell Dyscrasias.
www.cancernetwork.com

27

Ki

Yap,

Dr.

Multiple

Myeloma.

2010.

Radiopaedia.org,

[online].

http://radiopaedia.org/articles/multiple-myeloma-1. Diakses pada tanggal 20


November 2014
Kumar, et all. 2007. Buku Ajar Patologi Ed.7 Vol.2. EGC. Jakarta
National Cancer Institute. Multiple Myeloma. Medicine Net. 2008
Palumbo, Antonio
Progress Multiple

M.D.

and

Anderson,Kenneth

Myeloma. The

New

England

M.D.

2011. Medical

Journal

[online].

of

Medicine,

2011;364:1046-60

http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra1011442. Diakses pada tanggal 17


November 2014
Richardson, Paul, Teru Hideshima, Kenneth C. Anderson. 2008. Multiple
Myeloma and Related Disorders in : Clinical Oncology 3 rd ed. Philadelpia.
Elsevier Churcill Livingstone.
Ronald, C. Walker et all. 2013. Imaging of Multiple Myeloma and Related Plasma
Cell

Dyscrasias.

JNM

Journals

[online].

http://jnm.snmjournals.org/content/53/7/1091.long. Diakses tanggal 18 November


2014.
Shah,

et

all.

2014.

Multiple

Myeloma.

Medscape,

[online].

http://emedicine.medscape.com/article/204369-overview. Diunduh pada tanggal


18 November 2014)
Sudoyo et all. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil.III Ed.V. Jakarta. Interna
Publishing
Weber, Kristy, MD. 2006. Rounds 2: Treatment of Metastatic Bone. The Johns
Hopkins Arthritis Center, [online]. http://www.hopkins-arthritis.org/physiciancorner/cme/rheumatology- rounds/metastatic_bone_disease_rheumrounds2.html.
diakses pada tanggal 21 November 2014
Wenqi, Jiang. 2008. Mieloma Multipel. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI.

28

Вам также может понравиться