Вы находитесь на странице: 1из 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wacana tentang hakikat manusia sebagai makhluk sosial tidak
banyak didiskusikan, kecuali oleh sedikit filsuf. Ibnu Sina, misalnya,
hanya membahas hakikat masyarakat sebagai jembatan menuju
filsafatnya tentang kenabian.1 Sebelumnya, al-Farabi, telah membahas
hakikat masyarakat dalam teorinya tentang negara utama.2 Mengkaji
hakikat masyarakat, di tengah kelangkaannya dalam kajian Filsafat
Islam,

menjadi

menyempurnakan

menarik

untuk

pengetahuan

dari

dilakukan,
Filsafat

selain

Islam,

juga

untuk
untuk

menemukan kesinambungan wacana dalam Filsafat Islam yang sering


diduga oleh banyak orang bahwa Filsafat Islam telah berhenti
berkembang sesudah kehadiran aliran teosofi transendental.
Selain itu, secara praktis, kajian tentang hakikat masyarakat
diperlukan untuk sebuah upaya membangun ulang peradaban Islam.
Terkait

dengan

membangun

peradaban,

ada

sebuah

fenomena

menarik di akhir abad ke-20 ketika civil society menjadi wacana


maupun

gerakan.

Kemudian

wacana

tentang

pendidikan

multkulturalisme yang menimbulkan fenomena konflik etnis, sosial


budaya yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat multikultural.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, tulisan ini mencoba
menemukan perkembangan filsafat Islam kontemporer melalui kajian
filsafat sosial dengan mengambil kasus wacana civil society dan
wacana multikulturalisme dalam pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
1 Abd al-Wahid Wafa, Al-Madinah al-Fadilah, (Kairo: Alam al-Kutub, 1973), 13-16.

2 Ahmad Baso, Islam dan Civil Society di Indonesia: dari Konservatisme menuju Kritik
dalam Tashwirul Afkar, No. 7, 2000, 18-19.

1. Bagaimana penjelasan tentang wacana Civil Society ?


2. Bagaimana penjelasan wacana Civil Society di Indonesia ?
3. Bagaimana penjelasan wacana Civil Society dalam Pendidikan
Islam ?
4. Bagaimana penjelasan tentang wacana Multikulturalisme ?
5. Bagaimana penjelasan wacana Mutikultural di Indonesia ?
6. Bagaimana penjelasan wacana Multikulturalisme dalam Pendidikan
Islam ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan tentang wacana Civil
Society ?
2. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan wacana Civil Society di
Indonesia ?
3. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan wacana Civil Society
dalam Pendidikan Islam ?
4. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan tentang wacana
Multikulturalisme ?
5. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan wacana Mutikultural di
Indonesia ?
6. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan wacana
Multikulturalisme dalam Pendidikan Islam ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Civil Society
Istilah civil society adalah istilah yang tren dikalangan para pengamat proses
demokrasi di Indonesia. Konsep civil society dalam pandangan Muhammad AS. Hikam
dapat dirunut akar intelektualnya pada empat pemikiran. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Pemikiran yang memandang civil society sebagai sistem kenegaraan.
2. Pemikiran yang menganggap civil society sebagai antitesa terhadap negara.
3. Pemikiran yang menyatakan civil society sebagai sebuah elemen ideologi

kels

dominan.
4. Pemikiran yang mengandung civil society sebagai kekuatan penyeimbang bagi
kekuatan Negara.
Dalam konteks Indonesia, wacana civil society sering diungkapkan dengan istilah
yang berbeda. Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, dan Mulyadhi Kartanegara
misalnya, telah menggunakan tema masyarakat madani untuk menyebut istilah civil
society. Adapun Mansour Fakih lebih suka menggunakan istilah masyarakat sipil,
sebagai istilah yang lebih mengena bagi terjemahan dari civil society.
Persoalan-persoalan seperti demokrasi, hubungan antara warga negara dan negara,
hak asasi manusia, pluralisme, lingkungan hidup, perburuan, kewanitaan, dan lain-lain
sebagainya merupakan beberapa persoalan kemanusiaan yang bersifat universal. Semua
itu, menurut Amin Abdullah, perlu dimasukan kedalam wilayah pemikiran keagamaan,
karena kalam atau teologi bukan melulu berarti ilmu tentang ketuhanan, melainkan lebih
dari itu, secara akademik ilmiah, kalam juga harus berbicara tentang wilayah kesadaran
eksistensial manusia.3
Civil Society memiliki karakteristik antara lain :
1. Free Public Sphere, adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana
mengemukakan pendapat.
2. Demokratis, adalah satu entitas yang menjadi penegak wacana Civil Society, dimana
dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya.
3 Muhammad Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman
Kontemporer, Cet. I, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 20.

3. Toleran, adalah pengembangan dari Civil Society untuk menunjukkan aktivitas yang
dilakukan oleh orang lain.
4. Pluralisme, adalah pentalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban,
bahkan pluralisme merupakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check
and balance).
5. Keadilan sosial, adalah untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang
proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam segala aspek
kehidupan.4
Civil Society pada satu pihak berarti juga masyarakat madani, yang terinspirasi
oleh kehidupan Rasul Muhammad di kota Madinah.Untuk mendukung pernyataan ini,
Azyumardi Azra dengan mengikut sertakan pemikir cendekiawan dan pengamat politik
muslim, tentang kesesuian ajaran-ajaran Islam dengan masyarakat madani (Civil
Society). Pada intinya disepakati bahwa Islam mendorong penciptaan masyarakat
madani. Nabi Muhammad sendiri telah mencontohkan secara aktual perwujudan
masyarakat madani itu, ketika mendirikan dan memimpin negara Madinah. Fakta ini
tidak hanya dalam piagam (konstitusi) Madinah, namun juga pergantian nama dari
Yastrib menjadi Madinah, yang tentu saja merupakan salah satu Cognote istilah
Madani.5
Demikian juga kesamaan arti antara Civil Society dengan masyarakat madani, yang
di klaim oleh kelompok Islam modernis di Indonesia. 6 Lebih lanjut dikatakan masyarakat
madani telah muncul sejak jaman Nabi SAW. dan diyakini mampu melenyapkan sekatsekat primordial yang pada waktu itu sangat tidak mungkin untuk dihilangkan.
Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi merupakan manivestasi dari keinginan untuk
4 Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta : ICCe
UIN, 2003), 247-250.

5 Azyumardi Azra, Meunuju Masyarakat Madani, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), 3.

6 Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society, (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2002), 3

menghargai perbedaan kemanusiaan. Bahkan kelompok Al-Washliyah menganggap


konsep masyarakat Madani jauh lebih unggul dibanding dengan Civil Society yang
sekuler karena konsep Barat. Sementara masyarakat madani mengandung makna dan
sifat spiritual.7
Paradigma dengan wacana masyarakat Madani ini dilatarbelakangi oleh konsep
kota ilahi, kota peradaban, atau masyarakat kota. Disisi lain pemaknaan masyarakat
Madani yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib al-Attas, ahli sejarah dan peradaban Islam
dari Malaysia, secara difinitif berarti 2 komponen makna, yaitu masyarakat kota dan
masyarakat yang beradab. Dengan membandingkan karakteristik-karakteristik Civil
Society pada tatanan masyarakat modern dengan masyarakat yang dibangun dan
dikomandani oleh Rasul di Madinah, nota bene berdasarkan Islam, adalah mempunyai
kesamaan roh atau jiwa egalitarian serta mempunyai kesamaan tujuan yaitu
kesejahteraan sosial. Untuk kasus Indonesia, Civil Society cenderung dipegangi oleh
muslim tradisional, sementara kelompok modernis menggunakan istilah masyarakat
madani.
Wacana civil society hingga sekarang ini senantiasa dilakukan dalam konteks
demokratisasi. Oleh karena itu, menurut Rahardjo muncul beberapa asumsi seputar
hubungan civil society dengan demokrasi, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Demokrasi baru dapat berkembang, apabila civil society menjadi kuat
2. Demokrasi hanya dapat berlangsung apabila peranan negara dikurangi, tanpa
mengurangi efektivitas dan efisiensi melalui pertimbangan dan pembagian kerja
yang saling memperkuat melalui pertimbangan dan pembagian kerja yang saling
memperkuat antara masyarakat dengan negara
3. Demokrasi dapat berkembang dengan meningkatkan kemandirian atau independensi
civil society dari tekanan dan kooptasi Negara.8
Civil society dalam konteks masyarakat madani, mengacu ke kehidupan
masyarakat yang berkualitas yakni kesediaan individu-individu untuk menerima
berbagai pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Ini berarti, tidak ada satu

7 Ibid, 3-4

8 Nurcholish Madjid, Wacana Masyarakat Madani: Ironi Mencari Rumah Demokrasi,


Jawa Pos, Tanggal 07 Juni 1997, hal. 4.

pihak mana pun, termasuk pemerintah, yang berhak memaksakan kehendak dan
kemauannya sendiri.
Kehadiran wacana masyarakat madani di dunia Muslim pada akhir abad ke-20
dan awal abad ke-21 telah mengisi kelangkaan kajian filsafat sosial dalam Filsafat Islam.
Fenomena ini mendorong suatu penelitian yang mempertanyakan apa masyarakat
madani dan apa kontribusinya bagi filsafat pendidikan. Melalui penelitian historis, data
dikumpulkan dengan metode dokumentasi dan dianalisis dengan metode analisis domain
dan metode reflektif. Penelitian menemukan bahwa masyarakat madani secara institusi
adalah lawan dari masyarakat alami (barbar dan primitif), bukan lawan masyarakat
agama, yang bertanggungjawab membangun tata sosial dan menjaga kepentingan umum,
dan dibangun di atas sekumpulan nilai-nilai dasar.
Perangkat nilai dasar itu mencakup keadaban, penghargaan terhadap perbedaan,
manajemen konflik dan kontrol sosial secara damai, otonomi dan kemandirian, serta
solidaritas sosial. Karena itu, hubungan sosial dalam masyarakat madani dilakukan
dengan mengakui hak-hak individu dan komunal, menghargai persamaan manusia dan
peningkatan martabatnya, hidup berdampingan penuh toleransi dan solidaritas,
menghargai perbedaan dan mengelola konflik secara damai melalui dialog, tanpa klaim
kebenaran dan diskriminasi, mengawasi jalannya administrasi publik dan menjaga
pemerintahan yang akuntabel, serta mengatur urusan-urusan publik secara otonom dan
mandiri, melampaui batas-batas kesukuan melalui hukum tertulis dan konvensi.
Kontribusi wacana terhadap filsafat pendidikan adalah bahwa pendidikan itu pada
hakikatnya mewarisi nilai-nilai dasar Islam kepada warga masyarakat agar mereka
berkembang menjadi masyarakat Muslim yang beradab yang pada gilirannya
bertanggungjawab juga untuk membangun tata sosial yang otonom dan mandiri dan
menjaga kepentingan umum, penuh solidaritas sosial.
B. Civil Society di Indonesia
Perkenalan istilah Civil Society di Indonesia di import oleh Arief Budiman dari
Australia, kemudian berkembang menjadi wacana di seminar-seminar nasional di tahuntahun 80-an dan 90-an. Kepolitikan Orde Baru oleh Abd Aziz Thaba diklasifikasikan
dalam tiga kategori, ketika dihadapkan dengan kebijakan Islam. Pertama : hubungan

yang bersifat antagonistik (1966-1981), kedua; hubungan yang bersifat resiprokal-kritis


(1982-1985) dan ketiga; hubungan yang bersifat akomodatif.9
Penilaian pemerintahan Orba oleh banyak intelektual dikatakan otoriter[18], untuk
itu diperlukan pemikiran-pemikiran kritis terhadap kecenderungan politik Orde Baru.
Khususnya LSM-LSM. Kalangan intelektual ini, yang kerap disebut Muslim
Transformis melihat politik Orde Baru dari sudut pandang pemikiran kritis dan teori
ketergantungan, dan pada waktu yang sama mengagendakan pemberdayaan masyarakat
untuk bisa terlibat dalam proses-proses politik dan kenegaraan. Perkembangan gagasan
Civil Society di kalangan muslim berlangsung ketika orientasi baru gerakan Islam yang
berpihak pada pemberdayaan masyarakat tengah memperoleh tempat yang kuat. Karena
itu mereka menerima gagasan Civil Society sebagai bagian dari agenda perjuangan, untuk
mengatasi masalah-masalah sosial-politik yang dihadapi oleh muslim Indonesia.10
Sejak paruh kedua dekade 1980-an terjadi perubahan-perubahan politik, periode ini
oleh Thaba dikategorikan hubungan antara Islam dan negara yang bersifat akomodatif
yang signifikan, yakni sebagai pendorong proses demokratisasi dan perkembangan
masyarakat madani. Kalangan muslim yang sebelumnya berada pada margin politik,
mulai masuk ke tengah kekuasaan. Pada saat yang sama, proses demokratisasi
kelihatannya menemukan momentum baru, beberapa katup bagi ekspresi dan eksperimen
demokrasi yang selama ini tertutup, mulai terbuka. Pada perjalanan berikutnya, Pasca
Mei 1998, bukti perubahan dari politik represi dan regimentasi yang menandai era
Suharto berakhir, digantikan dengan politik yang lebih bebas dan lebih demokratis. Era
politik asas tunggal Pancasila telah tamat, partai-partaipun bermunculan dengan
menggunakan asas lain termasuk asas agama.11
Percepatan sosialisasi wacanan Civil Society di Indonesia disebabkan beberapa
faktor :
1. Gencarnya penggunaan istilah Civil Society oleh berbagai kalangan, baik
intelektual, aktivis LSM, maupun kalangan pemerintah
9 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press,
1966), 240

10 Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society,............, 78

11 Azyumardi Azra, Meunuju Masyarakat Madani,.........., 5

2. Banyak publikasi, baik buku, jurnal, majalah atau surat kabar.


3. Semakin terbukanya kebebasan menyampaikan pendapat, terutama sesudah
runtuhnya Orba.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh kelompok Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, potensi Civil Society di kalangan muslim perkotaan,
ada tiga varian kelompok yang memberikan respon terhadap Civil Society. Pertama,
kelompok Tradisionalis (NU), memberikan respon positif seperti yang dikatakan oleh
KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) jika Indonesia ingin menjadi modern, maka
Ormas-ormas Islam harus menuju satu titik, yaitu Civil Society. Kedua, respon dari
Muhammadiyah, oke-oke saja karena Civil Society merupakan bagian dari modernitas,
sejalan dengan cita-cita Muhammadiyah. Ketiga, respon kalangan modernis garis keras
atau yang biasa disebut modernis formalis, mereka dengan tegas menolak konsep Civil
Society hanya karena bersumber dari Barat. Fuad Amsari (ICMI Surabaya) berkomentar
Konsep-konsep yang datang dari Barat harus diwaspadai. Pada umumnya konsepkonsep ini bukan hanya tidak sejalan dengan Islam, tetapi juga cenderung merusak sendisendi Islam. Konsep Gender, misalnya, . Dalam Islam, sebuah negara yang dipimpin
oleh perempuan, maka negara itu akan menuai kehancuran. Keempat, respon dari M.
Abdurrahman (Persatuan Islam) bahwa Civil Society yang dipahami masyarakat,
dengan tegas ia menyatakan bahwa persis secara organisatoris, sudah merealisasikan
konsep Civil Society (musyawarah) dalam pemilihan ketua umum dan pengurusnya.12
Oleh peneliti disimpulkan bahwa pemahaman Civil-Society oleh kalangan muslim
Indonesia belumlah komprehensif dan menyeluruh sehingga perlu adanya intensitassosialisasi. Lebih jauh dikatakan, secara umum mereka memahami Civil Society melalui
bacaan mass media dan seminar-seminar. Untuk itu informasi Civil Society yang mereka
serap tidak lengkap, bahkan tergolong terburu-buru dan terkesan sepotong-sepotong.
Memperhatikan respons tokoh-tokoh masyarakat terhadap konsep Civil Society, tidak
terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa organisasi-organisasi sosial keagamaan memiliki
potensi besar dalam pengembangan Civil Society di Indonesia. Hal ini karena tokohtokoh masyarakat tersebut umumnya cukup akomodatif terhadap ide-ide yang
terkandung dalam konsep Civil Society.13
Lain halnya, Azra memberikan komentar miring pasca lengsernya Suharto, mulai
terbukanya Kran Demokrasi, sehingga melahirkan banyak partai, tidak harus dan
12 Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society,............, 294

identik dengan demokratisasi-lebih didorong oleh Euforia politik setelah tertindas selama
lebih 30 tahun. Hampir seluruh partai tidak menawarkan hakekat demokrasi dan
pemulihan ekonomi, tapi mereka terlibat dalam polemik dan kontra versi karena egoisme
dan provinsialisme politik para elite. Sikap merasa benar sendiri, kurang toleran, kurang
menghormati visi dan, persepsi politik pihak lain. Kenyataan ini tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip Civility (keadaban) yang merupakan karakter utama masyarakat madani,
lebih lanjut Azra mengungkapkan sampai dengan tahun 1999

peristiwa-peristiwa

kerusuhan yang terjadi di Ambon, Sambas, Irian Jaya dan Aceh merupakan bukti
Viability dan ketidakpuasan politik penguasa sebelumnya.14
Dari kajian-kajian tersebut di atas tentang Civil Society masih sebatas wacana,
secara aplikatip masih harus menunggu waktu (entah kapan) dapat berpijak di bumi
nusantara ini. Memang satu pihak dalam internal ormas keagamaan sebagian karakter
Civil Society ini sudah teraplikasikan, misalnya musyawarah dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat. Namun ketika berhadapan dengan negara maka Civil Society masih menjadi
renungan kita bersama.

C. Civil Society dalam Pendidikan Islam


Civil society dalam perspektif pendidikan Islam adalah sebuah potensi besar yang
sesungguhnya dimiliki pendidikan Islam dalam pemberdayaan pendidikan rakyat secara
keseluruhan. Dalam konteks ini, pendidikan Islam dapat menjadi sebuah wahana
pendidikan kritis (critical education) bagi rakyat, membebaskan lapisan terbawah
masyarakat dari keterbelakangan dan kemiskinan. Di sini, pendidikan Islam dapat
menjadi lembaga pendidikan penting dalam penanaman dan penumbuhan pendidikan
demokrasi (democracy education), yang singkatnya secara substantif menyangkut
sosialisasi, diseminasi dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya dan praktik
demokrasi melalui pendidikan, maka nilai-nilai dan pengertian-pengertiannya harus
dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan kita. Kita harus mulai dengan
sungguh-sungguh memikirkan untuk membiasakan anak didik dan masyarakat pada

13 Ibid, 298

14 Azyumardi Azra, Meunuju Masyarakat Madani, .............., 6

umumnya kepada perbedaan pendapat dan tradisi pemilihan terbuka untuk menentukan
pimpinan, membuat keputusan-keputusan dan menetapkan kebijakan-kebijakan.
Pendidikan yang berbasiskan masyarakat (community-based education), adalah
dengan ikut sertanya masyarakat di dalam penyelenggaraan dan pengelolaan
pendidikannya, maka pendidikan tersebut betul-betul berakar di dalam masyarakat dan di
dalam kebudayaan. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan yang berfungsi
untuk membudayakan nilai-nilai masyarakat Indonesia baru dapat memenuhi fungsinya
dan semestinya hal ini dijadikan sinyal positif bagi manajemen pendidikan Islam, bahwa
peluang mengelola hubungan lembaga pendidikan Islam dengan masyarakat semakin
luas. Kontribusi wacana terhadap filsafat pendidikan adalah bahwa pendidikan itu pada
hakikatnya mewarisi nilai-nilai dasar Islam kepada warga masyarakat agar mereka
berkembang menjadi masyarakat Muslim yang beradab yang pada gilirannya
bertanggungjawab juga untuk membangun tata sosial yang otonom dan mandiri dan
menjaga kepentingan umum, penuh solidaritas sosial.
Dalam era reformasi dewasa ini dan sejalan dengan gelombang demokratisasi di
dunia dan di Indonesia maka kita berbicara mengenai tuntutan hak rakyat termasuk
pendidikan. Demokrasi hanya akan lahir dan berkembang apabila rakyat diberdayakan
dan masyarakat ikut serta di dalam memberdayakan diri sendiri. Apabila kita berbicara
mengenai pendidikan Islam maka kita akan membicarakan mengenai pesantren dan
madrasah. Menurut para pakar pendidikan Islam pesantren yang telah hidup dan berada
di dalam budaya Indonesia sejak jaman prasejarah yang kemudian dilanjutkan pada masa
Hindu-Budha dan diteruskan pada masa kebudayaan Islam. Madrasah adalah bentuk
pendidikan klasikal yang masuk ke Indonesia sejalan dengan arus modernisasi Islam.
Pesantren adalah suatu sistem kehidupan yang lahir dan dibesarkan dalam suatu
masyarakat. Pesantren telah lahir di dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh sebab itu
pesantren sebenarnya dikelola oleh masyarakat yang memilikinya. Meskipun di dalam
perkembangannya pengelolaan pesantren banyak ditentukan oleh para kiai sebagai
pemiliknya, namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan pesantren telah ditopang dan
dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya. Apabila dewasa ini kita berbicara
mengenai inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola oleh
masyarakat (community-based management (CBM). Sudah tentu prinsip-prinsip
manajemen modern perlu diterapkan di dalam pola pendidikan yang berdasarkan
manajemen masyarakat.
Apabila kita teliti kekuatan dari pendidikan pesantren dan
madrasah

justru

disitulah

pula

terletak

kelemahannya.

Dalam
10

perjalanan sejarah, sistem pendidikan pesantren dan madrasah telah


terlempar dari mainstream pendidikan baik pada masa kolonial, masa
pendudukan Jepang, maupun pada masa kemerdekaan. Kelemahannya
terletak kepada keunikannya bahwa pesantren dan madrasah tumbuh
dari bawah, dari masyarakat sendiri. Di dalam pertumbuhannya
tersebut yang hidup dari kemampuan sendiri di tengah-tengah
masyarakat yang miskin sudah tentu perkembangan pendidikan
pesantren dan madrasah berada di dalam kondisi yang serba sulit. Di
dalam menghadapi tuntutan dunia modern karena standar-standar
tertentu diperlukan maka pengelolaan pendidikan pesantren dan
madrasah

perlu

disesuaikan

agar

lebih

peka

menyerap

dan

meningkatkan kemampuan dari lembaga tersebut di dalam kehidupan


global yang penuh persaingan.
Sungguhpun terdapat kekuatan dan kelemahan dari sistem
pendidikan pesantren dan madrasah, tentunya tidak dapat kita
generalisasikan.

Sebagai

ilustrasi

bagaimana

lahir

dan

berkembangnya Pondok Pesantren Tebuireng yang berkembang di


tengah-tengah kemajuan teknologi di sekitar pabrik gula di desa Cukir
sekitar Jombang. Menyadari akan kemajuan ilmu dan teknologi,
Pondok Pesantren Gontor sangat kreatif dan adaptif untuk menyerap
nilai-nilai yang baru tanpa meninggalkan ciri khas dari pendidikan
pesantren. Ternyata kekuatan pesantren dapat dilestarikan apabila
dikelola dengan cara-cara yang inovatif dan kreatif serta sensitif
terhadap tuntutan perubahan.
Salah satu komponen dari pelaksanaan yang berhasil ialah
pengelolaan. Pengelolaan pada dasarnya berarti bagaimana menjaga,
mengarahkan, mengevaluasi, dan menyesuaikan rencana-rencana
yang telah disusun rapi agar visi dan misi yang telah ditetapkan dapat
dicapai secara bertahap. Pengelolaan pendidikan Islam menjadi lebih
kompleks oleh sebab dia bukan hanya berkenaan dengan masalahmasalah intern kelembagaan dan kepemimpinan pendidikan Islam,
juga seperti yang telah menghadapi berbagai masalah dualisme dan
dikotomi

pendidikan

dalam

kaitan

dengan

pembinaan

sistem

11

pendidikan nasional, dan sekaligus menghadapi gelombang perubahan


globalisasi.
Dengan adanya kecenderungan untuk memanfaatkan kekuatan
pendidikan Islam yang berbasis pada masyarakat, maka terdapat
suatu

ruangan

yang

terbuka

bagi

pengembangan

inovasi

dan

kreativitas. Sebenarnya pengembangan kedua komponen tersebut


telah merupakan bagian dari pendidikan pesantren dan madrasah.
Community-based education management dalam pendidikan Islam
bukanlah suatu hal yang baru. Yang baru mungkin berupa penyesuaian
kembali asas-asas pengelolaan yang lebih berdimensi keluar dan
berdimensi global. Di dalam hal ini diperlukan suatu kerja sama yang
erat

antara

lembaga

pendidikan

dengan

masyarakat

yang

menggunakan pemimpin-pemimpin in-formal untuk menggerakkan


masyarakat ke arah visi yang modern. School-based management
yang dikenal di dalam sistem pendidikan pesantren maupun madrasah
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pengelola
serta para guru untuk mengembangkan kemampuan inovasinya serta
kreativitasnya. Coba kita lihat misalnya masalah akreditasi yang kini
ditentukan dari atas seharusnya muncul dari kebutuhan masyarakat
itu sendiri. Lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Pondok Gontor
atau Tebuireng tidak memerlukan akreditasi seperti yang kita kenal
dewasa ini. Ada atau tidaknya akreditasi kedua pondok pesantren
yang sangat progresif tersebut dengan sendirinya

memperoleh

akreditasi dari masyarakat. Inilah sistem akreditasi yang sebenarnya.


Telah kita lihat betapa pendidikan Islam mempunyai profil yang
sangat beragam dengan berbagai tingkat mutu serta kekuatannya
masing-masing. Boleh dikatakan masing-masing lembaga pendidikan
tersebut

berdiri

sendiri-sendiri.

Memang

ada

usaha

atau

kecenderungan masyarakat untuk menegerikan madrasah yang ada.


Menurut pendapat penulis kecenderungan tersebut merupakan suatu
langkah

mundur.

Dengan

adanya

keinginan

masyarakat

untuk

menegerikan madrasah-madrasah swasta berarti mereka melepaskan


otonomi lembaga pendidikannya meskipun penegerian madrasahmadrasah tersebut bukan berarti suatu yang negatif. Barangkali yang
12

dibutuhkan ialah perlunya dibangun suatu jaringan kerja sama yang


lebih baik antara madrasah-madrasah, baik yang dikelola oleh negara
maupun oleh swasta.
Dewasa ini telah selesai diadakan pemetaan sekolah (school
mapping) yang akan sangat berguna bagi usaha peningkatan mutu
pendidikan

madrasah.

Dengan

networking

tersebut

juga

dapat

dibangun suatu educational management information system (EMIS)


yang

akan

pemanfaatan

sangat

berguna

di

sumber-sumber

dalam

belajar

pengelolaan

sehingga

termasuk

sumber-sumber

tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Di dalam kaitan ini pula


perlu

dibangun

suatu

kerja

sama

dengan

pendidikan

tinggi

(universitas/IAIN) di daerah agar antara pendidikan tinggi, menengah,


dan dasar terdapat suatu kerja sama yang saling menguntungkan
demi untuk pembangunan daerah. Di dalam kaitan ini barangkali kita
dapat mengambil pengalaman dari pelaksanaan Land-grant College di
Amerika Serikat.
Melalui Undang-Undang

No.

22

tahun

1999

kepengurusan

pendidikan dan kebudayaan diserahkan kepada daerah bahkan kepada


kabupaten. Hal ini mempunyai implikasi yang sangat jauh di dalam
pengelolaan

pendidikan

yang

lebih

dekat

kepada

kebutuhan

masyarakat dan daerah. Pendidikan Islam yang telah dilaksanakan


melalui pondok-pondok pesantren dan madrasah adalah sebenarnya
merupakan pelaksanaan otonomi pendidikan. Oleh sebab itu sudah
tiba

masa

bagi

menyempurnakan

kita

untuk

lebih

pengalaman-pengalaman

mengembangkan
pengelolaan

dan

otonomi

pendidikan sebagaimana yang telah dilaksanakan di pondok-pondok


pesantren dan madrasah. Kajian mengenai pengalaman-pengalaman
tersebut bukan hanya bermanfaat bagi pengembangan pendidikan
Islam tetapi juga bagi pengembangan pendidikan nasional yang lebih
merakyat.
D. Multikulturalisme
Pengertian multikulturalisme secara etimologi yaitu, merupakan kata sifat yang
dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata, yaitu multi dan culture. Secara umum, kata
multi berarti banyak, ragam atau aneka. Sedangkan kata culture dalam bahasa Inggris
13

memiliki beberapa makna, yaitu kebudayaan, kesopanan, dan pemeliharaan.15 Secara


terminologi, bahwa multikulturalisme merupakan pengakuan akan martabat manusia
yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.16
Secara sederhana multikutural berarti keragaman budaya. Menurut para pegiatnya,
Multikulturalisme merupakan wacana, sebagai alternatif dari pluralisme, bahkan mereka
menyebutkan bahwa multikulturalisme merupakan pluralisme sosiologis dan tidak masuk
kedalam ranah teologis. Akan tetapi pandangan ini merupakan pembelaan yang mereka
ciptakan agar pandangan multikulturalisme tidak bertentangan dengan doktrin agamaagama, padahal mereka meyakini bahwa sumber kebenaran itu tidak satu tapi banyak
(plural). mereka meyakini bahwa semua kebenaran agama-agama adalah sama dan
setara, oleh karena itu pandangan multikulturalisme pada dasarnya bukan hanya
mengamini Sehingga pluralisme sosiologis bahkan telah masuk ke ranah teologis.17
Sedangakan pendidikan multikulturalisme, sebagaimana yang disampaikan oleh
Ainurrafiq Dawam bahwa, ia merupakan proses pengembangan seluruh potensi manusia
yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman
budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).18 Sejalan dengan pengertian tersebut, Muhaemin
El-Mahady menambahkan bahwa, pendidikan multikultural adalah pendidikan tentang
keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.19

15 John M. Echols & Hasan Shadily, An English-Indonesian Dictionary (Jakarta:Gramedia


Pustaka Utama, 1988), 159.

16 Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Pustakan Pelajar, 2011), 175.

17 Prof. Samsul Arifin, M.Si. Studi Agama, PerspektifSosial dan Isu-Isu Kontemporer,
(Malang. Universitas Muhammadiyah Malang. 2009), 67

18 Ngainun Naim. Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: ArRuzz


Media Group, 2008), 50

19 Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural,............176.

14

Pendidikan multikultural memiliki dua definisi, pertama: menekankan esensi


pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial dan
ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang
kompleks dan beragam (plural) secara kultur. Kemudian definisi kedua adalah merefleksi
pentingnya budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status sosial, dan ekonomi. Pada
umumnya pendidikan multikultural (Multicultural Education) merupakan respon
terhadap perkembangan keragaman yang mencakup seluruh siswa tanpa membedakan
gender, etnic, ras, budaya, strata sosial, agama, dan khususnya perkembangan keragaman
populasi sekolah.20
Sejarah munculnya pendidikan multikulturalisme, diwacanakan pertama kali di
Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh gerakan yang
menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari
gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik diskriminasi di tempat-tempat kerja, dan di
lembaga-lembaga pendidikan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap
kelompok minoritas. Karena ketika itu hanya dikenal satu kebudayaan, yaitu kebudayaan
kulit putih beragama Kristen. Adapun golongan-golongan lainnya yang ada dalam
masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak
mereka.21
Dapat dipahami bahwa sebenarnya multikulturalisme adalah sebuah konsep
dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman,
perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, agama. 22 Selanjutnya, yang
melatar belakangi munculnya gagasan, dan wacana mengenai pendidikan multikultural
adalah adanya penyeragaman dalam berbagai aspek kehidupan yang dipraktekkan oleh
pemerintah orde baru. Pemerintah mengabaikan terhadap perbedaan yang ada, baik dari
segi suku, bahasa, ras, agama, maupun budayanya. Sehingga semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, hanya terlihat semanagt ke-Ika-annya daripada ke-Bhineka-annya.
20 Ibid, 177.

21 Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dalam Makalah yang
diseminarkan pada Simposium International ke-3, (Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002), 1

22 Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural,.......91.

15

Keberagaman latar belakang individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada


keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, guna menyempurnakan pemahaman, bahwa pendidikan
multikulturalisme, Secara garis besar memiliki karakter-karakter tersendiri, diantaranya,
Pertama: pendidikan multikulturalisme berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan
keadilan,

kedua:

pendidikan

multikultural

berorientasi

kepada

kemanusiaan,

kebersamaan dan kedamaian, serta ketiga: pendidikan multikultural mengembangkan


sikap mengakui, menerima, dan menghargai keragaman budaya. 23 Kemudian pendidikan
multikulturalisme tidak lepas dari permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu:
politik, demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja, HAM, hak budaya
komuniti, dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral. Pada tataran aplikasi,
faham multikulturalisme mulai dihembuskan, dengan mengkonstruksi kembali
kebudayaan nasional Indonesia yang dapat menjadi integrating forse yang mengikat
seluruh keragaman etnis dan budaya.24
E. Mutikultural di Indonesia
Indonesia

termasuk

negara

yang

mencoba

memperbaiki

konsepnya dalam menghadapi keragaman agama dan budayanya. Jika


sebelumnya, konsep homogeneisasi (penyeragaman) yang mirip
dengan melting pot-nya Amerika Serikat diutamakan, maka Indonesia
saat

ini

menempatkan

memperhatikan

semua

pokok-pokok

agama
tentang

secara

sejajar.

Dengan

multikulturalisme

dan

dihubungkan dengan kondisi negara Indonesia saat ini, kiranya


menjadi

jelas

bahwa

multikulturalisme

perlu

dikembangkan

di

Indonesia, karena justru dengan gagasan inilah kita dapat memaknai


keragaman agama di Indonesia. Konsep ini dapat memperkaya konsep
kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional di
negara kita.

23 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2011),

24 Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural,.......98.

16

Satu hal yang harus diamalkan bahwa gagasan multikulturalisme


menghargai

dan

menghormati

hak-hak

sipil,

termasuk

hak-hak

kelompok minoritas. Tapi, sikap ini tetap memperhatikan hubungan


antara

posisi

negara

Indonesia

sebagai

negara

religius

yang

berdasarkan Pancasila. Negara Indonesia tidak membenarkan dan


tidak mentolerir adanya pemahaman yang anti Tuhan (atheism).
Negara Indonesia juga tidak mentolerir berbagai upaya yang ingin
memisahkan agama dari negara (secularism). Mungkin kedua hal ini
menjadi ciri khas multikulturalisme di negara asalnya seperti Amerika
Serikat dan Eropa. Tapi, ketika konsep ini diterapkan di Indonesia,
harus disesuaikan dengan konsep negara dan karakteristik masyarakat
Indonesia yang religius. Singkatnya, multikulturalisme yang diterapkan
di Indonesia adalah multikulturalisme religius.
Dalam mewujudkan kerukunan dan kebersamaan dalam pluralitas
dan multikultural agama, surah al-Nahl ayat 125 menganjurkan dialog
dengan baik. Dalam dialog, seorang muslim hendaknya menghindari
mengklaim dirinya sebagai orang yang berada dalam pihak yang
benar, tapi dengan menunjukkan bukti sehingga orang lain bisa
melihat

kenyataan

dimaksudkan

untuk

akan
saling

kebenaran
mengenal

islam.
dan

Dialog
saling

tersebut
menimba

pengetahuan tentang agama kepada mitra dialog. Dialog tersebut


dengan sendirinya akan memperkaya wawasan kedua belah pihak
dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan
landasan untuk hidup rukun dalam kehidupan bermasyarakat.
Maraknya gagasan multikulturalisme disertai dengan penyebaran
isu pendahuluan banyaknya peristiwa bentrokan dan konflik horizontal
ditengah

masyarakat.

Berbagai

pihak

kemudian

menyuarakan

gagasan ini lebih keras dan diimplementasikan lebih dini dalam


kurikulum pendidikan. Jika ditelisik lebih jauh, penanaman paham
multikulturalisme, apalagi dalam ranah Pendidikan Agama Islam.
Sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang mendalam.
Sebab, dalam perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu
ditelaah secara kritis.

17

Tetapi dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara yang baik


tentulah harus memiliki sikap dan mental Multikulturalisme. Karena
dalam kehidupan kita sebagai manusia dan sebagai hamba Allah
selalu berdampingan dengan perbedaan disekitar kita. Agar tidak
tercipta suatu perpecahan dalam perbedaan agama,ras,suku maupun
paham atau pemikiran. Kaum muslim yang baik adalah kaum muslim
yang mau menghargai perbedaan yang ada pada Saudaranya. Dan
kaum muslim di Indonesia haruslah menjunjung tinggi sikap dan
mental toleransi & multikulturalisme. Karena Indonesia merupakan
Negara yang memiliki ribuan suku,ras,budaya. Serta pemeluk agama
yang berbeda-beda. Mengingat semboyan Negara Indonesia, Bhineka
Tunggal Ika, Berbeda-beda tetap satu jua. Dengan demikian sikap dan
mental multikulturalisme sudah ditanamkan sejak dulu kala. Agar
masyarakat

Indonesia

bisa

hidup

berdampingan

walau

banyak

perbedaan. Agar kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berjalan


dengan harmonis.
F. Multikulturalisme dalam Pendidikan Islam
Dalam konteks Islam, yang tidak begitu menonjolkan aspek diskriminasi radikal di
dalam kelas, meskipun ada pemisahan antara kelas laki-laki dan wanita, itu hanya
dilakukan sebagai tindakan antisipasi terhadap pelanggaran moral baik dalam pandangan
Islam dan kultur masyarakat. Jadi, pemisahan kelas tersebut bukanlah tindak
diskriminatif. Oleh karena itu, pendidikan Islam multikultural di sini diartikan sebagai
sistem pengajaran yang lebih memusatkan perhatian kepada ide-ide dasar Islam yang
membicarakan betapa pentingnya memahami dan menghormati budaya dan agama orang
lain.25
Pendidikan Islam multikultural juga dapat dipahami sebagai proses pendidikan
yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan, berorientasi kepada
kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian, serta mengembangkan sikap mengakui,
menerima dan menghargai keragaman berdasarkan al-Quran dan hadis. 26 Karena secara

25 Sangkot Sirait dalam Nizar Ali (eds.), Antologi Pendidikan Islam


(Yogyakarta: Idea Press, 2010), 169.

18

normatif, al-Quran sendiri sudah menegaskan bahwa manusia memang diciptakan


dengan latar belakang yang beragam. Hal ini ditegaskan dalam QS. al-Hujurat:13
Artinya: Hai Manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling mengenal...
Sementara itu, Amin Abdullah menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah
paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan
tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain,
penekanan utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya. 27 Paradigma
pembangunan pendidikan kita yang sentralistik telah melupakan keragaman yang
sekaligus kekayaan dan potensi yang dimiliki oleh bangsa ini. Perkelahian, kerusuhan,
permusuhan, munculnya kelompok yang memiliki perasaan bahwa hanya budayanyalah
yang lebih baik dari budaya lain adalah buah dari pengabaian keragaman tersebut dalam
dunia pendidikan. Oleh karena itu, Amin Abdullah sebagai seorang ilmuwan yang
konsisten dalam mengembangkan pendidikan Islam mencoba melakukan rekonstruksi
paradigma pendidikan Islam yang nantinya dapat dijadikan dasar bagi pengembangan
sistem pendidikan nasional.
Ada kesesuaian antara nilainilai multikultural dalam perspektif Barat dengan nilainilai multikultural dalam perspektif Islam. Meskipun demikian, sember kebenaran dari
nilai-nilai multikultural tersebut berbeda. Jika nilai-nilai multikultural dalam perspektif
Barat bersumber dari fisafat dan bertumpu pada hak-hak asasi manusia, maka nilai-nilai
multikultural dalam perspektif Islam bersumber dari wahyu.
Karakteristik

Nilai multikultural

Nilai multikultural

Berprinsip pada

perspektif Barat
Demokrasi, kesetaraan

perspektif Islam
Al-Musyawarah,

demokrasi, kesetaraan

dan keadilan

musawah dan al-adl

dan keadilan
Berorientasi pada

Kemanusiaan,

Hablum min an-nas,

al-

26 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Telaah terhadap Kurikulum


Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
19.
27
Ngainun Naim. Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi,............, 125
19

kemanusiaan,

kebersamaan, dan

altaaruf, al-taawun dan

kebersamaan dan

kedamaian

al-salam

kedamaian
Mengembangkan sikap

Toleransi, empati,

Al-taaddudiyat, al-

mengakui, menerima dan

simpati,

tanawwu,

menghargai keragaman

dan solidaritas sosial

al-tasamuh, al-rahmah,
alafw dan al-ihsan

Landasan pendidikan Islam multikultural dapat digolongkan sebagai berikut:


pertama, landasan pendidikan multikultural yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan
dan keadilan ditemukan keberadaannya dalam alQuran Q.S al-Syura: 38,
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan
kepada mereka.
Selanjutnya dalam Q.S al-Hadid: 25
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al
kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan
Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal
Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.
Dan pada Q.S al-Araf: 181
Artinya: Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang
memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka
menjalankan keadilan.
Doktrin Islam tentang prinsip demokrasi (al-musyawarah), kesetaraan (almusawah), dan keadilan (al-adl) di atas telah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW untuk
mengelola keragaman kelompok dalam masyarakat Madinah. Peristiwa tersebut sangat
20

populer dengan sebutan Piagam Madinah. Piagam ini menetapkan seluruh pendidikan
Madinah memeroleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan.
Pendidikan masih diyakini sebagai wahana transformasi social. Kepercayaan yang
demikian berlanjut pada upaya pemharuan dalam ruang lingkup pendidikan dalam
membangun wawasan multikultural bukanlah hal yang mudah, terlebih dikalangan
pemeluk agama yang boleh dikatakan masih terlalu sempit dan menyesakkan dada dalam
keagamaan mereka. Untuk itu upaya menanamkan kesadaran multikulturalis harus
dimulai sejak dini mungkin. Memberikan pandanagn yang lebih mengarah pada sikap
toleransi, ramah terhadap perbedaan melaui institusi pendidikan sangatlah efektif.
Tentunya langkah ini memuat berbagai macam tindakan yang berimplikasi pada berbagai
macam orientasi dalam lingkup pendidikan. Dan dalam hal ini juga perlu didukung
kesadaran para tenaga didik untuk lebih kreatif dan jangan sampai terjebak pada pola
penyampaian materi keagamaan yang cenderung mengarah pada kesadaran negativedistruktif dan violence.
Ada beberapa orientasi dalam rangka membagun wawasan multikulturalisme
dalam lingkup pendidikan berbasis keagamaan. Pertama adalah orientasi muatan, dalam
hal ini pada hakekatnya adalah menerjemahkan pandangan dunia pluralistic dan
multikulturalistik kedalam praktik dan teori pendidikan. Kedua, pendekatan kontributif.
Adalah pendidikan paling sedikit keterlibatannya dalam revolusi pendidikan, terutama
pendidikan multikultural. Pendelatan ini dilakukan dengan cara menyeleksi teks-teks
wajib atau anjuran dengan aktifitas tertentu seperti hari libur.
Ketiga, Pendekatan aditif, dalam program berorientasi muatan ini mengambil
bentuk penambahan muatan-miuatan, konsep-konsep, tema-tema dan perspektif ke dalam
kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya. Keempat, pendekatan transformative, yang
secara actual perupaya merubah struktur kurikulum dalam mendorong siswa-siswa untuk
melihat dan meninjau kembali konsep-konsep,tema-tema dan problem-problem lama,
kemudian memperbaharui pemahaman dari berbagai perspektif dari sudut pandang etnik.
Dengan demikian cukup memberikan ruang kreatifitas bagi peserta didik untuk
beragumentasi berdasarkan pandangan suku budaya dan tata nilai yang berbeda sehingga
menjadi proses latihan untuk menjadi berbeda dan merasa nyaman.
Kelima, pendekatan aksi social. Pendekatan ini tidak hanya menekankan pada sisi
pemahaman siswa terhadap isu-isu, tema-tema tetapi siswa mampu secara professional
dilatih untuk memecahkan masalah dengan kemampuan yang dimilikinya. Orientasi
siswa, siswa mejadi orientasi terpenting, karena pada hakekatnya siswa merupakan
21

subyek sekaligus obyek pendidikan. Seorang siswa akan mendengar, mengamati dan
mempelajari apa yang di dengar, di lihat dan diperagakan orang dewasa. Termasuk apa
yang diperagakan seorang guru, akan membawa pada pengendapan sikap melalui
pembiasaan dan latihan. Disini siswa sudah mulai dikenalkan kepada keragaman dalam
lingkungan sekolah, termasuk keragaman aliran keagamaan ataupun sekte dalam agama.
Sebagai langkah awal adalah bagaimana seorang pendidik mengevaluasi awal
menyangkut pemahaman dan pengetahuan pruralitas keyakinan, aliran, latar belakang
social, ras dan budaya, sehingga memudahkan bagi seorang pengajar untuk lebih bisa
memperlakukan dan mengamati secara jelas perilaku masing- masing siswa yang
memiliki latar belakang yang berbeda. Para siswa juga dilatih untuk dapat bisa hidup
berdampingan dengan nyaman bersama teman yang berbeda. Dengan melalui pembuatan
kelompok belajar yang berbeda latar belakang, ras, agama, budaya, dan social. Jika
dalam proses penyampaian materi pelajaran dalam pembelajaran mencerminkan suatu
praktik-praktik keagamaan.
Muatan social, adalah tidak hanya kemudian selesai dalam ranah pendidikan dalam
pengertian institusi pendidikan semata, penguasaan atas pemahaman multikulturalisme
dan terbatas pada penguatan kemampuan akademik dengan penguasaan wacana dan
pengetahuan tersebut. Tetapi membangun wawasan multikultural mampu berdampak dan
memberi pengaruh pada perilaku toleransi atas perbedaan cultural, ras, agama dan
berbagai macam ragam perbedaan yang akan terjadi dalam setiap perjumpaan social
yang tidak hanya terbatas pada lingkungan pendidikan dalam arti sempit, tetapi dalam
pengertian yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada lingkungan pendidikan dalam arti
institusi pendidikan baik formal atau non formal. Selain itu juga perlu dibangun
kesadaran untuk mendialokan perbedaan lewat forum- forum bebas dengan penuh
kearifan menuju perdamaian dan kedamaian.
Dengan usaha diatas, membangun kesadaran yang multikulturalis tidak hanya
berhenti pada sebatas toleransi, memandang perbedaan itu sebagai suatu sikap toleransi
tetapi juga adanya sikap yang lebih apresiatif terhadap upaya memajukan dan
mengembangkan budaya lainnya.

22

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian makalah tersebut maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Bahwa Civil Society berasal dari Eropa Barat dan menyebar ke
penjuru negara-negara lain dengan respon sosial politik yang berbeda,
namun

mempunyai

kesamaan

tujuan

yaitu

pemberdayaan

masyarakat. Pengertian Civil Society adalah sebuah ruang publik yang


memberikan kebebasan kepada individu, kelompok untuk berekspresi,
menghormati

pluralisme,

terjalinnya

keseimbangan

antara

masyarakat dan negara, sesuai dengan norma-norma yang berlaku.


Hubungan Civil Society dengan Islam, bahwa tujuan keduanya
adalah mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup bernegara
(bermasyarakat). Hal ini diperlukan saling pengertian antara negara
dan masyarakat mengerti hak-hak dan kewajiban-kewajiban masingmasing.

Prospek

Civil Society di

Indonesia,

kemungkinan

kecil

terlaksana, jika usaha-usaha perbaikan dalam segala lini kehidupan


tidak ditata secara benar, sebab secara mendasar Civil Society akan
jalan, jika negara dalam keadaan baik. Civil society dalam perspektif
pendidikan Islam adalah sebuah potensi besar yang sesungguhnya
dimiliki pendidikan Islam dalam pemberdayaan pendidikan rakyat
secara

keseluruhan.

Dengan

kedekatannya

kepada

masyarakat

Muslim, pendidikan Islam merupakan potensi dalam pembentukan civil


society, masyarakat madani, pada tingkat akar kaum Muslimin.
Sedangkan pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk
melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan,
kegagalan, dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Pendidikan
multikultural di dasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam
23

pendidikan. Sedangkan dalam doktrin islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik,


ras, dan lain sebagainya dalm pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang
membedakannya adalah ketaqwaan mereka kepada Allah SWT. Dalam islam, pendidikan
multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan islam terhadap ilmu
pengetahuan dan tidak ada perbedaan diantara manusia dalam bidang ilmu.
Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang
mengubah perspektif monokultural yang esensial penuh prasangka dan diskriminatif ke
perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap
terbuka. Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural
menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap gempita
lagu nyaring tentang kurikulum berbasis kompetensi, harus menyelinap dalam
rasinalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan ini dan itu,
tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban.
Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang
beragam tersebut.
B. Saran
Dalam kehidupan seseorang seharusnya tidak terfokus pada satu atau dua buku
bacaan untuk memperoleh informasi atau ilmu tetapi harus membaca beberapa literatur
yang terpercaya dan disertai penjelasan dari tokoh-tokoh ilmuwan terkenal yang memberi
penjelasan lebih. Dan penjelasan isi dari makalah ini yaitu singkat dan padat dan itu masih
perlu penjelasan lebih lanjut, karena di dalamnya tentu masih belum sempurna atau masih
banyak kekurangan. Untuk penulisaan yang serupa hendaknya dilakukan perbaikan dan
penyempurnaan agar diperoleh hasil yang lebih baik dan lebih sempurna.

24

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Amin, 2000. Dinamika Islam Kultural: Pemetaan


Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Cet. I, (Bandung: Mizan)
Aly,

Abdullah,

2011.

Pendidikan

Islam

Multikultural

di

Pesantren,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar)


Arifin,

Samsul,

2009.

Studi

Agama,

PerspektifSosial

dan

Isu-Isu

Kontemporer, (Malang. Universitas Muhammadiyah Malang)


Azra, Azyumardi, 2000. Menuju Masyarakat Madani, (Bandung : Remaja
Rosdakarya)
Baso,

Ahmad,

2000.

Islam

dan

Civil

Society

di

Indonesia:

dari

Konservatisme menuju Kritik (Tashwirul Afkar, No. 7)


Echols, John M. & Hasan Shadily, 1988. An English-Indonesian Dictionary
(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama)
Madjid, Nurcholish, 1997, Wacana Masyarakat Madani: Ironi Mencari
Rumah Demokrasi, (Jawa Pos, Tanggal 07 Juni)
Mahfud,

Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Pustakan

Pelajar)
Naim, Ngainun, 2008. Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi,
(Yogyakarta: ArRuzz Media Group)
Prasetyo,

Hendro, Ali Munhanif, dkk, 2002. Islam dan Civil Society,

(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama)


Sirait, Sangkot, 2010. Antologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Idea Press)
25

Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,


dalam Makalah yang diseminarkan pada Simposium International ke3, (Denpasar Bali, 16-21 Juli)
Thaba, Abdul Aziz, 1966. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru
(Jakarta: Gema Insani Press)
Tim ICCE UIN, 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, (Jakarta : ICCe UIN)
Wafa, Abd al-Wahid, 1973. Al-Madinah al-Fadilah, (Kairo: Alam al-Kutub)

26

Вам также может понравиться