Вы находитесь на странице: 1из 68

IDENTITAS PASIEN

Nama

: An. I

Nomor RM

: 885786

Jenis Kelamin
Umur

: Laki-laki
: 15 tahun

Tempat Tanggal Lahir


Alamat

: Garut, 8 Agustus 2001


: Kp. Cohojog, Kec. Cisurupan

Agama

: Islam

Suku Bangsa

: Sunda

Kewarganegaraan

: Indonesia

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Pelajar

Status

: Belum menikah

MRS

: 30 Agustus 2016

KRS

: 02 September 2016

Ruangan

: Kamar 3 Gedung Zamrud

ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis, Tanggal 01 September 2016 , Jam 15:00 WIB,
di Gedung Kecubung.
ANAMNESA KHUSUS
Keluhan utama

: Sesak Nafas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke RSUD dr.Slamet Garut dengan keluhan sesak nafas
sejak 2 bulan yang lalu. Sesak timbul terutama bila pasien beraktivitas
dan sesak napas berkurang bila pasien beristirahat.

Sesak dirasakan

hilang timbul dan memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
(SMRS) sehingga pasien datang ke Rumah Sakit (RS). Pasien mengaku
akhir-akhir ini sering cepat lelah dan jika tidur harus 2-3 bantal. Pasien
juga mengaku sering terbangun saat tidur malam karena sesaknya timbul.
Keluhan disertai dada berdebar pada sebelah kiri dan perut terasa penuh
1

disertai nyeri dan semakin membesar sejak 1 minggu SMRS. Pasien juga
mengaku adanya batuk berdahak yang hilang timbul sejak kurang lebih 2
bulan, namun dahaknya susah untuk dikeluarkan. Pasien juga merasakan
adanya pusing. Pasien tidak mengalami BAB mencret, namun mengalami
mual. Buang air kecil dirasakan lancar, tidak ada keluhan. Nafsu makan
pasien sama seperti biasa. Keluhan bengkak pada pergelangan kaki dan
tangan pernah dirasakan, tetapi sudah mulai berkurang. Pasien menyukai
makanan yang mengandung banyak minyak seperti gorengan. Riwayat
merokok di sangkal. Riwayat mengkonsumsi alkohol disangkal. Riwayat
minum obat setelan disangkal. Sebelumnya pasien pernah mengalami
keluhan yang sama seperti ini namun pasien baru memeriksa keadaannya
lagi sekarang. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan diakui sejak
enam bulan yang lalu sudah tidak kontrol.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :

Riwayat
Riwayat
Riwayat
Riwayat
Riwayat
Riwayat
Riwayat

penyakit dengan keluhan yang sama diakui pasien


darah tinggi disangkal
penyakit jantung diakui pasien
merokok dan minum alkohol disangkal
kencing manis disangkal
penyakit pernapasan (asma) disangkal
sakit ginjal disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama
RIWAYAT ALERGI
Tidak ada riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan, cuaca tertentu,
dan debu.
KEADAAN SOSIAL EKONOMI
Pasien tinggal bersama ibu, ayah dan kedua kakaknya di sebuah rumah
dengan kondisi yang cukup baik.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis

Tekanan darah

: 110/50 mmHg

Heart Rate

: 100x/menit (ireguler)

Frekuensi nafas

: 28x/menit

Suhu

: 36,4

Kepala dan Leher


Kepala
Mata

: normocephal
: mata cekung (-), udem palpebra (-), konjungtiva
anemis (-), hiperemis (-), sklera ikterik (-)

Hidung

: pernafasan cuping hidung (-), deviasi septum (-),


sekret (-)

Mulut

: sianosis (-), bibir kering (-), lidah t.a.k, mukosa


hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang

Telinga

: pendengaran baik, sekret (-) serumen (+) tuli (-)


lubang lapang

Leher

: JVP 5+2 cm H20, KGB tidak teraba, trakea berada


di tengah

Kulit

: sawo matang, jaringan parut (-), edema (-).

Ikterus (-)
Thorax:
Paru-Paru
Inspeksi

: Hemitoraks simetris pada keadaan statis dan dinamis,


tidak tampak adanya sikatrik, massa dan fraktur pada
kedua hemitoraks.

Palpasi
Perkusi

: Fremitus taktil dan vokal dextra = sinistra


: Sonor mulai ICS I-ICS IV

Auskultasi : Vesikuler mulai ICS I - IV, kemudian vesikuler melemah


dan mulai menghilang di ICS V, Ronki (+) Wheezing (-)
Jantung:
Inspeksi

: ictus cordis terlihat di linea midclavicula ICS V sinistra

Palpasi

: ictus cordis teraba di linea midclavicula ICS V sinistra

Perkusi
Batas jantung kiri : linea aksilaris anterior ICS V sinistra
Batas jantung kanan

: linea midclavicula ICS V dextra

Batas atas jantung

: linea parasternalis ICS III

Auskultasi

: Bunyi jantung S1 = S2 murni regular


Murmur ( + ) Gallop S3 ( + )

Abdomen:
Inspeksi

: simetris

Palpasi

: nyeri tekan (+) di kuadran tengah atas, Nyeri lepas (-)

Perkusi

: Timpani seluruh lapang abdomen

Auskultasi : BU (+) 12x/menit di 4 kuadran


Ekstremitas
Superior

: udem -/-, sianosis -/-, teraba dingin -/-

Inferior

: udem -/-, sianosis -/-, teraba dingin -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Tanggal 30 Agustus 2016 22:07
1. Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Lekosit
Trombosit
Eritrosit

11.3
37
9,440
258,000

g/dl
%
/mm3
/mm3

13.0-18.0
40-52
3,800-10,600
150,000-

4.88

juta/mm3

440,000
3.5-6.5

2. Kimia Klinik
Protein Total
Albumin
AST (SGOT)
ALT (SGPT)
Ureum
Kreatinin
Glukosa
Darah

7.69
3.72
42
23
27
0.9
103

g/dL
g/dL
U/L
U/L
mg/dl
mg/dl
mg/dl

6.6-8.7
3.5-5
s/d 37
s/d 40
15-50
0.7-1.3
<140

g/dL

3.5-5

Sewaktu

Tanggal 01 September 2016 10:44


1. Kimia Klinik
Albumin

4.11

EKG

Kesan :
Irama : sinus
Aksis : normal
Gelombang P : terdapat gelombang P yang sesungguhnya
Radiologi
-

Tidak ada data

Skor Farmingham untuk pasien ini :


Kriteria Mayor :
Paroxysmal nocturnal dyspneu (+)
Distensi vena leher (-)
Ronkhi paru (-)
Kardiomegali (-)
Edema paru akut (-)
Gallop S3 (+)
Peninggian tekanan vena jugularis (-)
Refluks hepatojugular (-)
6

Kriteria Minor

Edema ekstremitas (-)

Batuk malam hari (+)

Dispneu deffort (+)

Hepatomegali (-)

Efusi pleura (-)

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal (-)

Takikardi (>120 x/menit) (-)

DIAGNOSA AKHIR
CHF Fc II-III et causa mitral regurgitasi, et causa mitral stenosis et causa
reumatoid heart disease (RHD sq) dengan asites

PEMERIKSAAN YANG DIANJURKAN

Echocardiography

(prosedur

diagnostik

yang

menggunakan

gelombang suara ultra untuk mengamati struktur jantung dan


pembuluh darah, serta menilai fungsi jantung).

RENCANA PENGELOLAAN
Non Farmakologis :
-

Istirahat (posisi setengah duduk)

Oksigen 2-4 liter

Farmakologis :
-

IVFD

Asering

15

gtt

x/m.

Makro.

ISDN

(isosorbit

dinitrat)

tab

5mg 3x1 p.o.

Farsix amp 1x1 i.v.

Digoksin tab 2x1/2 p.o.

Spiranolakton tab 100 mg 1x1

KSR (kalium klorida) tab 1x1

p.o.
-

Ranitidin amp 25mg 2x1 i.v.

p.o.
-

Laxadin syr. 3xCI p.o.

Ceftriaxon 1gr 1x1 i.v.


7

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

Quo ad sanactionam

: dubia ad bonam

RESUME

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas, timbul terutama

bila beraktivitas dan berkurang bila beristirahat sejak 1 minggu sebelum


masuk rumah sakit (SMRS). Lalu sering cepat lelah dan jika tidur harus 2-3
bantal. Keluhan disertai dada berdebar pada sebelah kiri dan perut yang
semakin membesar disertai nyeri sejak 1 minggu SMRS. Batuk berdahak
(+) tetapi dahak sulit keluar, pusing (+). BAB dan BAK dalam batas
normal, mual (+). Riwayat penyakit jantung (+). Pada tanda generalis
tidak ditemukan kelainan. Mata, leher. Pada paru terdengar adanya ronki.
Pada jantung terdengar adanya murmur dan gallop S3.
Follow Up:

Tanggal

01 September 2016

Sesak masih dirasakan saat kedinginan.


Batuk juga masih dirasakan pasien. Perut
terasa makin kembung. BAB lancar, BAK
lancar.

Pusing

sudah

pasien.
-

O:

Keadaan -

umum
- Kesadaran
- Tekanan

Tampak sakit sedang

Compos mentis

100/80 mmHg

tidak

dirasakan

darah

100 x/menit

- Nadi

30 x/ menit

- Pernapasan

36,4 0C

- Temperatur

93 %

- Saturasi

oksigen
- Keadaan
spesifik
- Kepala
- Mata
- Hidung
- Mulut
- Leher
- Thorax:

Normocephal

Conjungtiva anemis (-/-)

Sklera ikterik (-/-)

Pernapasan cuping hidung (-)

Sianosis per oral (-)

JVP (5+2) cmH2O

Pembesaran KGB (-)

A : bunyi jantung S1-S2 reguler, murmur


(+), gallop (+)

- Jantung

vesikuler normal kanan=kiri, ronkhi (+),


wheezing (-)

- Paru

A : bising usus (+) normal

- Abdomen

Massa (-), Ascites (+), nyeri tekan di ulu


hati (+)

- Ekstremitas
-A

Edema (-), Sianosis (-), akral hangat (+)

CHF fc III ec. MR

MS

RHD sq

-P
-

Dengan Ascites

O2 2-4 liter

IVFD Asering 15 gtt x/m. Makro.

Farsix amp 1x1 i.v.

Ranitidin amp 25mg 2x1 i.v.

ISDN (isosorbit dinitrat) tab 10mg 3x1


p.o.

- Rencana

Digoksin tab 1x1/2 p.o.

KSR (kalium klorida) tab 1x1 p.o.

Ceftriaxon 1gr 1x1 i.v.

Laxadin syr. 3xC1

Thorax photo

EKG ulang

Pemeriksa albumin ulang

Tanggal

02 September 2016

Pasien sudah tidak merasakan sesak.


Batuk berdahak masih dirasakan pasien.
Perut kembung sudah sedikit berkurang.

O:

Keadaan -

umum
- Kesadaran
- Tekanan
darah
- Nadi
- Pernapasan
- Temperatur

Tampak sakit sedang

Compos mentis

100/80 mmHg

110 x/menit

22 x/ menit

36,7 0C

97 %

- Saturasi
oksigen
- Keadaan
spesifik
- Kepala
- Mata
- Hidung
- Mulut
- Leher
- Thorax:

Normocephal

Conjungtiva anemis (-/-)

Sklera ikterik (-/-)

Pernapasan cuping hidung (-)

Sianosis per oral (-)

JVP (5+2) cmH2O

Pembesaran KGB (-)

A : bunyi jantung S1-S2 reguler, murmur


(+), gallop (+)

- Jantung

vesikuler normal kanan=kiri, ronkhi (-),


wheezing (-)

- Paru

A : bising usus (+) normal

- Abdomen

Massa (-), Ascites (+), nyeri tekan (-)

Edema (-), Sianosis (-), akral hangat (+)

CHF fc III ec. MR

MS

AF

- Ekstremitas
-A

RHD sq

-P

Dengan ascites

O2 2-4 liter

IVFD Asering 15 gtt x/m. Makro.

Farsix amp 1x1 i.v.

Ranitidin amp 25mg 2x1 i.v.

ISDN (isosorbit dinitrat) tab 10mg 3x1


p.o.

Digoksin tab 1x1/2 p.o.

KSR (kalium klorida) tab 1x1 p.o.

Ceftriaxon 1gr 1x1 i.v.

Laxadin syr. 3xC1

Spironolakton 100mg 1x1 p.o

PEMBAHASAN KASUS

PERMASALAHAN
1. Apakah diagnosa pada kasus ini sudah benar ?
- Diagnosis pasien ini adalah CHF karena menurut anamnesis di

dapatkan pasien merasa jantung berdebar-debar dan nyeri ulu hati. Selain
itu terdapat sesak yang mengganggu aktivitas pasien. Dari kriteria
Framingham didapatkan adanya 2 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Pasien mengakui bahwa memiliki keluhan yang sama sebelumnya dan
terdapat riwayat penyakit jantung. Di katakan CHF Fc III karena pasien
sudah merasa sesak jika melakukan aktivitas sehari-hari yang biasanya
dilakukan merasa sesak namun berkurang saat istirahat dan juga dada
berdebar. Dari hasil pemeriksaan fisik di dapatkan murmur dan gallop S3.

Dikatakan mitral regurgitasi karena saat auskultasi terdengar bising pada


sistolik. Dikatakan mitral stenosis karena saat auskultasi terdengar juga
bising pada diastolik. Dikatakan penyakit jantung rematik karena terdapat
kelainan pada katup mitral. Maka etiologi dari CHF FC III pada pasien ini
adalah mitral regurgitasi, mitral stenosis, dan penyakit jantung rematik.
2. Bagaimana penanganan kasus ini?
-

O2 2-4 liter
Infus Asering 15 gtt/menit
Hindari pengunaan infus

yang mangandung laktat

seperti RL agar tidak menambah beban cairan pada pasien.


Cairan infus yang dapat di pilih adalah asering atau NaCL
yang berperan penting dalam memelihara tekanan osmosis
-

darah dan jaringan.


Ranitidin 25 mg 2x1amp/iv
Menghambat kerja histamin seara kompetitif pada

reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung


Spironolacton 100mg 2x1/iv
Spironolacton mempotensi thiazide atau diuretika kuat

dengan cara melawan kerja aldosdetrone


Digoxin 1x1/2 PO
Digoksin merupakan prototipe glikosida jantung yang
berasal dari digitalis lanata. Mekanisme kerja digoksin ada 2
cara yaitu efek langsung dan tidak langsung. Manfaat
digoksin adalah mengobati detak jantung cepat dan tidak
teratur, seperti fibrilasi atrium dan atrial flutter. Digoxin
mengendalikan detak jantung dan meningkatkan kekuatan
serta efisiensi jantung sehingga sirkulasi darah menjadi lebih

baik.
Farsix 1x1/iv
Farsik (furosemide) adalah derivat asam antranilat yang

efektif sebagai diuretik


ISDN 10mg 1x1 PO
Isosorbide dinitrate adalah jenis vasodilator. Obat ini
mengendurkan pembuluh darah, meningkatkan persediaan
darah dan oksigen ke jantung. Obat ini digunakan untuk
mencegah sakit di dada.

KSR 1x1 PO
Mengandung

KCl

untuk

mengobati

dan

mencegah

hypokalemia yaitu efek samping yang ditimbulkan pada


-

penggunaan farsix
Ceftriaxon 1gr 1x1 (i.v.)
Clopidogrel adalah obat golongan antiagregasi trombosit
atau antiplatelet yang bekerja secara selektif menghambat
ikatan Adenosine Di-Phosphate (ADP) pada reseptor ADP di
platelet,

yang

sekaligus

dapat

menghambat

aktivasi

kompleks glikoprotein yang dimediasi oleh ADP, yang dapat


-

menimbulkan penghambatan terhadap agregasi platelet.


Laxadyn syr. 3xCI PO
Obat yang digunakan untuk mengatasi ketidakteraturan
irama jantung. Obat ini bekerja dengan cara mengembalikan
irama jantung yang tidak normal, misalnya terlalu lambat atau
cepat, kepada irama jantung yang normal.

3. Bagaimana prognosis pada kasus ini?


-

Prognosis

Ad vitam

: Dubia ad bonam

Ad functionam

: Dubia ad bonam

Ad sanationam

: Dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA
-

1. Gagal Jantung Kongestif

1.1. Defenisi Gagal Jantung Kongestif

Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis

berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa

darah

untuk

memenuhi

kebutuhan

metabolisme

jaringan

atau

kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik


secara

abnormal.

Penamaan

gagal

jantung

kongestif

yang

sering

digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan.1
Gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung

untuk

mempertahankan curah jantung (Caridiac Output = CO) dalam memenuhi


kebutuhan metabolisme tubuh. Apabila tekanan pengisian ini meningkat
sehingga mengakibatkan edema paru dan bendungan di sistem vena,
maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif
adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat
untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi.2, 3
-

1.2. Etiologi Gagal Jantung Kongestif

meliputi

Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif


gangguan

kemampuan

konteraktilitas

jantung,

yang

menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal.


Tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah
kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah
jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah
jumlah darah yang dipompa pada setiap konteraksi tergantung pada tiga
faktor: yaitu preload, konteraktilitas, afterload.
-

Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding


langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya
regangan serabut otot jantung.

Konteraktillitas mengacu pada perubahan kekuatan konteraksi


yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan
panjang serabut jantung dan kadar kalsium

Afterload mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang harus


dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan
yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol.
-

Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini

terganggu, maka curah jantung berkurang.3

- Disfungsi miokard (kegagalan miokard)


-

Miokard tidak mampu berkontraksi dengan sempurna stroke

volume dan cardiac output menurun.


- Disebabkan oleh :
a) Primer

1. Aterosklerosis : iskemia miokard, infark miokard


2. Kardiomiopati, miokarditis, presbikardia
3. Defisiensi vitamin ( gangguan nutrisi )
b) Sekunder :

Seringkali terjadi bersama-sama atau sebagai akibat kenaikan

beban tekanan, beban volume dan kebutuhan metabolisme yang


meningkat atau gangguan pengisian jantung
- Beban ventrikel yang berlebihan (ventricular overload)
1. Beban tekanan berlebihan ke dalam ventrikel pada waktu kontraksi
(sistolik) dalam batas tertentu masih dapat diatasi oleh kemampuan
kontraktilitas miokard ventrikel.
2. Beban tekanan sistolik yang berlebihan diluar kemampuan ventrikel
(afterload) hambatan pengosongan ventrikel menurunkan curah
ventrikel (ventrikel output) atau isi sekuncup.
-

Contoh : stenosis aorta, koarktasio aorta, hipertensi, stenosis

pulmonal
- Beban volume berlebihan (abnormal volume overload)
1. Beban isian ke dalam ventrikel yang berlebihan pada waktu diastolik
dalam batas tertentu masih dapat ditampung oleh ventrikel (preload
yang meningkat).
2. Preload berlebihan dan melampaui kapasitas ventrikel volume dan
tekanan pada akhir diastolik dalam ventrikel meningkat.

3. Prinsip Starling : curah jantung mula-mula akan meningkat sesuai


dengan besarnya regangan otot jantung, tetapi bila beban terus
bertambah sampai melampaui batas tertentu, maka curah jantung
akan menurun kembali.
- Contoh :
- - AI/AR (beban volume ventrikel kiri)
- - MI/MR (beban volume ventrikel kiri)
- - TI/TR (beban volume ventrikel kanan)
- - Transfusi berlebihan
- - Hipervolemia sekunder
- Hambatan

Pengisian

Darah

ke

Ventrikel

(Restriction

of

Ventricular Filling)
- Gangguan aliran darah untuk masuk ke dalam ventrikel atau gangguan
aliran balik vena (hambatan venous return) pengeluaran atau output
ventrikel berkurang curah jantung menurun
- Contoh :
Primer: gangguan distensi diastolik, misalnya : perikarditis

konstriktif, kardiomiopati restriktif, tamponade jantung


Sekunder: menurunnya daya tampung ventrikel sehingga

tekanan pada fase akhir diastolik meningkat, misalnya: stenosis


mitral, stenosis trikuspid
-

1.2.1. Gagal Jantung Kiri


-

Kongestif paru terjadi pada venterikel kiri, karena venterikel

kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan
tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan
paru. Manifestasi klinis yang dapat terjadi meliputi dispneu, batuk, mudah

lelah, denyut jantung cepat (takikardi) dengan bunyi S3, kecemasan dan
kegelisahan.
-

1.2.2. Gagal Jantung Kanan


-

Bila venterikel kanan gagal memompakan darah, maka yang

menonjol adalah kongestif visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi
karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah
dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang
secara normal kembali dari sirkulasi vena.
-

Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas

bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan pitting edema,


pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar), distensi
vena jugularis (vena leher), asites (penimbunan cairan di dalam rongga
peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia dan lemah.
-

1.3. Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan kelainan struktural jantung, dibagi menjadi :

Klasifikasi

kelainan struktural jantung


STADIUM A

Memiliki risiko tinggi untuk -

Tidak terdapat batasan dalam

berkembang

melakukan

jantung.

berdasarkan -

menjadi

Tidak

gagal

terdapat

gangguan

struktural

atau

fungsional

jantung,

tidak

terdapat tanda atau gejala.


STADIUM B

Telah

terbentuk

struktur

jantung

berhubungan
perkembangan

Klasifikasi

berdasarkan

kapitas fungsional (NYHA)


KELAS I
aktifitas

fisik.

Aktifitas fisik sehari-hari tidak


menimbulkan

kelelahan,

palpitasi atau sesak nafas.


-

KELAS II

penyakit -

Terdapat

batasan

aktifitas

yang

ringan. Tidak terdapat keluhan

dengan

saat istirahat, namun aktifitas

gagal

fisik

sehari-hari

menimbulkan

jantung, tidak terdapat tanda

kelelahan, palpitasi atau sesak

atau gejala.
STADIUM C

nafas.
KELAS III

Gagal

jantung

simtomatik
dengan

yang -

berhubungan

penyakit

struktural

Terdapat

batasan

bermakna.

Tidak

keluhan

jantung yang mendasari

saat

aktifitas

aktif
terdapat

istirahat,
fisik

tetapi
ringan

menyebabkan

kelelahan,

palpitasi atau sesak.


KELAS IV

STADIUM D

Penyakit jantung struktural -

Tidak dapat melakukan aktifitas

lanjut

fisik

serta

jantung

gejala

gagal

yang

sangat

bermakna

saat

istirahat

walaupun

sudah

mendapat

terapi

medis

maksimal

(refrakter).
-

1.4. Patofisiologi Gagal Jantung

gejala

tanpa
saat

meningkat
aktifitas.

keluhan.

Terdapat

istirahat.

Keluhan

saat

melakukan

Penurunan kontraksi venterikel akan diikuti penurunan curah

jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan


penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang
mekanisme kompensasi neurohurmoral. Vasokonteriksi dan retensi air
untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah, sedangkan
peningkatan preload akan meningkatkan kontraksi jantung melalui hukum
Starling. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload,
dan hipertensi disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban
jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dengan
demikian

terapi

menurunkan

gagal

afterload

jantung

adalah

venodilator

dan

dengan
diuretik

vasodilator
untuk

untuk

menurunkan

preload, sedangkan motorik untuk meningkatkan kontraktilitas miokard.2


- 1.5. Diagnosis
anamnesis,

Diagnosis

gagal

pemeriksaan

jantung

jasmani,

kongestif

dibuat

elektrokardiografi,

berdasarkan
foto

toraks,

ekokardiografi-Doppler dan kateterisasi. Diagnosis gagal jantung kongestif


dapat pula ditegakkan menggunakan kriteria Framingham dibawah ini :
-

KRITERIA MAYOR

Paroxysmal

Dyspneu
Distensi Vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian
tekanan

Nocturnal

Edema ekstremitas
Batuk Malam Hari
Dyspnea deffort
Hepatomegali
Efusi Pleura
Penurunan Kapasitas Vital 1/3

dari normal
Takikardia

Vena

Jugularis
Refluks hepatojugular
*Diagnosis gagal jantung kongestif tegak apabila memenuhi minimal 1
kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

KRITERIA MINOR

1.6. Pemeriksaan Penunjang


- Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung,

pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan.


1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin
-

Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea

nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga


dilakukan pemeriksaan gula darah, profil lipid. Pemeriksaan darah
lengkap, elektrolit, urea, kreatinin, gula darah, albumin, enzim hati
dan INR merupakan pemeriksaan awal pada HF. Analisa gas darah
arteri (Astrup) diperiksa pada semua pasien dengan GJA yang berat.
Pemeriksaan non infasif seperti oksimetri dapat menggantikan data
Astrup terutama pada pasien yang sulit diakses arteri.
2. Elektrokardiogram (EKG)
-

Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari

EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel


hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave).
EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi
diastolik pada LV.
-

Abnormalitas

- -

Penyebab

Sinus

- -

Gagal

Takikardia

Sinus

- -

Bradikardia

jantung -

Pemeriksaan

anemia,

laboratorium

demam,

- -

klinis,

hipertiroidisme
Obat penyekat B, -

Evaluasi terapi obat,

anti

Pemeriksaan

sindroma
Atrial

Penilaian

dekompesasi,

aritmia,

hipotiroidisme,

Implikasi Klinis

sinus

akut
Hipertiroidisme,

Takikardia

infeksi,

Futer

jantung,

laboratorium

gagal

Perlambat
AV,

konversi

elekroversi,

konduksi
medik,
ablasi

Fibrilasi
-

Aritmia

- -

Ventrikel

Iskemia

/ - -

Infark

dekompensasi,

kateter, antikoagulasi

infark miokard
Iskemia,
infark, -

Pemeriksaan

kardiomiopati,

laboratorium,

miokarditis,

latihan

hypokalemia,

pemeriksaan

hipomagnesemia,

angiografi

overdosis digitalis
Penyakit jantung -

ICD
Ekokardiografi,

koroner

troponin,

tes
beban,
perfusi,
coroner,

Angiografiikoroner,
-

Gelombang Q

- -

Infark,

revaskularisasi
Ekokardiografi,

kardiomiopati
hipertrofi,
-

Hipertrofi

- -

ventrikel kiri

LBBB,

preexitasi
Hipertensi,
penyakit

angiografi coroner

- katup

Ekokardiografi,
doppler

aorta,
kardiomiopati
-

Blok

Atrioventrikular

hipertrofi
Infark
miokard, -

Evaluasi

intoksikasi

obat,

obat,

miokarditis,

penggunaan

pacu

jantung,

penyakit sistemik

sarkoidosis,
-

Mikrovoltase

penyakit Lyme
Obesitas,
emfisema,

efusi

Ekokardiografi,
rontgen toraks

perikard,
-

Durasi
0,12

QRS

> -

detik

dengan
morfologi LBBB

amiloidosis
Disinkroni elektrik -

Ekokardiograf,

dan mekanik

CRT-D

CRT-P,

LBB

Lef

Bundle

Branch

Block;

ICD

Implantable

Cardioverter Defbrillator
-

CRT-P= Cardiac Resynchronizaton Therapy-PACEImaker; CRT-D


= Cardiac Resynchronization Therapy-Defbrillator
3. Radiologi
-

Ro thorax dilakukan untuk evaluasi kelainan tambahan paru

(infeksi, tanda kongesti) maupun jantung (bentuk dan ukuran) dan


kongesti paru. Juga diperlukan untuk konfirmasi dignosis, dan tindak
lanjut untuk evaluasi adanya perbaikan atau perburukan. CT scan
dan scintigrafi toraks dilakukan untuk mengetahui emboli paru atau
penyakit paru lainnya serta Ekokardiografi Transesofageal dan MRI
untuk menyingkirkan diseksi aorta di centre yang memiliki fasilitas.
4. Ekokardiografi
-

Pemeriksaan

ekokardiografi

dilakukan

untuk

evaluasi

perubahan fungsi dan struktur jantung pada gagal jantung akut


pada seperti pada sindrom koroner akut. Hal penting yang dinilai
dengan ekokardiografi : fungsi ventrikel kiri dan kanan, keadaan
katup, perikard, komplikasi mekanik dari infark miokard dan adanya
massa dijantung (jarang), tekanan arteri pulmonal, dan curah
jantung. Pemeriksaan ini dilakukan bila pasien stabil untuk transfer.
5. Treadmill test
-

Treadmill test memiliki kemampuan terbatas dalam diagnosis

gagal jantung, meskipun demikian seseorang dengan kapasitas fisik


maksimal pada pemeriksaan treadmill dan tidak dalam terapi gagal
jantung dapat disingkirkan dalam diagnosis gagal jantung. Aplikasi
utama pemeriksaan treadmill pada gagal jantung adalah untuk
menilai fungsi, kemajuan terapi dan stratifikasi prognosis.
-

1.7. Penatalaksanaan

- Penatalaksanaan
penalaksanaan

penderita

secara

non

dengan

gagal

farmakologis

dan

jantung

secara

meliputi

farmakologis.

Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk


mengurangi

gejala

dan

memperbaiki

prognosis,

meskipun

penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya


kondisi.

Non farmakologi :
a Anjuran Umum
-

Edukasi

terangkan

hubungan

keluhan,

gejala

dengan

pengobatan
-

Aktivasi social dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan


seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi
yang masih bisa dilakukan.

Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

Vaksinasi terhadap infeksi influenza dan pneumokokus bila


mampu.

Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat,


penggunaan hormone dosis rendah masih dapat dianjurkan.

b Tindakan Umum
-

Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal


jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah
cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada
gagal jantung ringan).

Hentikan rokok

Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada


yang lainnya.

Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama


20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).

Istirahat

baring

eksaserbasi akut.

pada

gagal

jantung

akut,

berat

dan

Farmakologi

Diuretik.

Kebanyakan

pasien

dengan

gagal

jantung

membutuhkan paling sedikit diuretik reguler dosis rendah.


Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila
respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan,
berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik
dengan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan
dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien
dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional

IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.


ACE
inhibitor
bermanfaat
untuk
menekan

aktivitas

neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan


disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan
dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis

yang efektif.
Beta blocker bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama
beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal
jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang
digunakan

carvedilol,

bisoprolol

atau

metaprolol.

Biasa

digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan

diuretik.
Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada

intoleransi terhadap ACE ihibitor.


Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal
jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang
dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE

inhibitor, beta blocker.


Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi
atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu
diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat

emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus

intrakardiak dan aneurisma ventrikel.


Antiaritmia tidak direkomendasikan
asimptomatik

atau

aritmia

untuk

ventrikel

pasien

yang

yang

menetap.

Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang


mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron
dapat

digunakan

digunakan

untuk

untuk

terapi

terapi

aritmia

aritmia
atrial

atrial
dan

dan
tidak

tidak
dapat

digunakan untuk mencegah kematian mendadak.


Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.

1.8. Prognosis
-

Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah

sangat berkembang, tetapi

prognosisnya masih tetap jelek, dimana

angka mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan


gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan
progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel
kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan
sangat

terbatas

(konsumsi

oksigen

maksimal

<

10

ml/kg/menit),

insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang


meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah
mendadak. Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler,
beberapa diantaranya merupakan akibat infark miokard akut atau
bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah akibat
gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang
mengalami gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan
memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat cermat.
-

2. Demam Reumatik

2.1. Definisi
Demam

reumatik

merupakan

suatu

penyakit

inflamasi

sistemik non supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen


atau kelainan jaringan ikat. Proses reumatik ini merupakan reaksi
peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung,
sendi dan sistem saraf pusat.4
-

Demam reumatik merupakan suatu penyakit peradangan yang


berkembang sebagai suatu komplikasi dari suatu infeksi Streptokokus
beta hemolitikus grup A di faring yang tidak mendapatkan pengobatan
atau mendapatkan pengobatan yang kurang adekuat.5

2.2. Etiologi

Terdapat bukti-bukti yang mendukung adanya hubungan

antara infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus -hemolyticus


grup A dengan demam reumatik akut serta penyakit jantung rematik.
Sebanyak

2/3

dari

pasien

yang

menderita

demam

rematik

akut,

mempunyai riwayat infeksi saluran nafas bagian atas beberapa minggu


sebelumnya, dan angka insidens dari demam reumatik akut hampir sama
dengan infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A. Pasien dengan
demam reumatik akut hampir selalu mempunyai hasil serologi yang
menunjukan adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A baru-baru
ini. Titer antibodi pasien-pasien tersebut lebih tinggi dibandingkan pasienpasien dengan infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A tanpa diikuti
demam reumatik akut. Wabah faringitis oleh Streptococcus -hemolyticus
grup A pada kelompok-kelompok masyarakat yang tertutup seperti di
asrama dan pangkalan militer, dapat pula diikuti oleh wabah demam
reumatik akut. Terapi antimikroba yang digunakan untuk mengeliminasi
Streptococcus -hemolyticus grup A dari faring dapat pula mencegah
episode awal dari demam reumatik akut, dan sebagai upaya jangka
panjang,

pengobatan

profilaksis

yang

diberikan

untuk

mencegah

terjadinya faringitis oleh Streptococcus -hemolyticus grup A kembali,


juga dapat mencegah kekambuhan dari demam rematik akut.6
-

Streptococcus -hemolyticus grup A merupakan bakteri kokus

gram-positif, yang sering berkolonisasi di kulit dan orofaring. Bakteri ini


dapat

menimbulkan

penyakit-penyakit

supuratif,

seperti

faringitis,

impetigo, selulitis, miositis dan pneumonia. Streptococcus -hemolyticus


grup A juga dapat menimbulkan penyakit-penyakit non-supuratif seperti
demam reumatik, post-streptokokus glomerulonefritis akut. Streptococcus
-hemolyticus grup A mengeluarkan toksin sitolitik yaitu streptolisin S dan
O. Dari kedua jenis toksin ini, streptolisin O menimbulkan titer antibodi
yang cukup tinggi dan persisten sehingga menjadi marker berguna untuk
mendeteksi adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A dan
komplikasinya yang bersifat non-supuratif.7
-

Hubungan pasti antara infeksi Streptococcus -hemolyticus

grup A dengan timbulnya demam reumatik tidak jelas, tetapi terdapat


dugaan

dimana

bakteri

ini

mempermainkan

sistem

imun

tubuh.

Streptococcus -hemolyticus grup A memiliki protein yang serupa dengan


protein yang ditemukan pada jaringan-jaringan tertentu tubuh manusia.
Oleh sebab itu, sel sistem imun yang biasanya menyerang bakteri
Streptococcus -hemolyticus grup A dapat memperlakukan jaringanjaringan tubuh tersebut, terutama jaringan jantung, persendian, kulit dan
sistem saraf pusat, sebagai suatu agen infeksi. Reaksi sistem imun inilah
yang menyebabkan proses peradangan.4
-

dapat

Tidak semua serotipe Streptococcus -hemolyticus grup A


menyebabkan

demam

reumatik.

Terdapat

suatu

konsep

rhematogenicity dari terinfeksinya penyakit ini. Serotipe Streptococcus hemolyticus grup A tertentu (M tipe 1, 3, 5, 6, 18, 24) sering diisolasikan
dari pasien dengan demam reumatik akut dibandingan serotipe lainnya.4
-

Seperti yang telah terurai diatas, demam reumatik dipercaya

timbul akibat suatu respon autoimun, namun patogenesis pastinya masih


belum jelas. Demam reumatik hanya timbul pada anak-anak dan remaja

yang sebelumnya telah menderita faringitis oleh Streptococcus hemolyticus grup A, dan hanya infeksi faring tersebut yang dapat
mencetuskan atau mereaktivasi demam reumatik.4
-

Sedangkan yang dimaksud dengan penyakit jantung reumatik

adalah kelainan jantung yang terjadi akibat demam reumatik atau


kelainan karditis reumatik. Yang penting dari demam reumatik adalah
kemampuannya menyebabkan katup-katup jantung menjadi fibrosis, yang
akan menimbulkan gangguan hemodinamik dengan penyakit jantung
yang kronis dan berat. Penyakit demam reumatik dapat mengakibatkan
gejala sisa (squele) yang amat penting pada jantung sebagai akibat berat
ringannya karditis selama serangan akut demam reumatik. Dari beberapa
penelitian tentang insidens karditis dan PJR yang menetap adalah akibat
kekambuhan demam reumatik dan PJR sebelumnya 6-14%.4
-

2.3.
-

Faktor Resiko

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya demam


reumatik adalah:

Riwayat keluarga. Beberapa orang memiliki gen yang membuat

mereka menjadi lebih rentan untuk terkena demam reumatik.


Serotipe Streptococcus -hemolyticus grup A. Beberapa strain
tertentu

lebih

berperan

dalam

timbulnya

demam

reumatik

dibandingkan strain lainnya.


Faktor-faktor lingkungan. Resiko penting yang juga berperan dalam
terjadinya

demam

reumatik

berhubungan

dengan

kepadatan

penduduk, sanitasi yang buruk, dan kondisi-kondisi lain yang dapat


mempermudah

transmisi

cepat

atau

paparan

berulang

dari

Streptococcus -hemolyticus grup A.8


2.4.
-

Epidemiologi
Evolusi

dari

demam

reumatik

sungguh

menakjubkan.

Angka

kejadian penyakit ini pada awal abad ke-20 sangat tinggi (100-200 kasus

per 100.000 penduduk di Amerika Serikat pada tahun 1900 dan 50 per
100.000 pada tahun 1940). Dulu demam reumatik merupakan salah satu
penyebab terbesar dari kematian pada anak-anak dan remaja, dan
penyebab penyakit jantung didapat pada dewasa muda. Hingga awal
tahun 1980 terjadi penurunan tajam sekitar 0,5 per 100.000 di Amerika
Serikat. Sejak saat itu, telah terjadi wabah demam reumatik di beberapa
daerah. Di Eropa telah terjadi penurunan serupa dari angka kejadian
demam reumatik dan telah menjadi penyakit yang jarang ditemui.
Penjelasan dari penurunan tajam dari insidensi demam reumatik akut dan
penyakit jantung reumatik di Amerika Serikat dan negara-negara maju
lainnya

tidak jelas. Menurut sejarah, demam reumatik akut telah

dikaitkan dengan kemiskinan, terutama didaerah-daerah perkotaan.


Kemungkinan penyebab dari penurunan tersebut pada era sebelum
tersedianya antibiotik, adalah karena perbaikan kondisi lingkungan hidup.
Beberapa

penelitian

menunjukan

bahwa

berbagai

manifestasi

dari

kemiskinan, kepadatan, yang sangat berperan dalam penyebaran infeksi


Streptococcus -hemolyticus grup A, adalah yang paling berkaitan dengan
insidensi demam reumatik akut. Penurunan insidensi demam reumatik
akut di negara-negara maju pada 4 dekade terakhir ini juga disebabkan
karena

ketersediaan

penggunaan

pelayanan

antibiotik.

Terapi

kesehatan
antibiotik

yang
untuk

memadai

dan

faringitis

oleh

Streptococcus -hemolyticus grup A penting perannya dalam pencegahan


serangan awal dan juga pencegahan terhadap kekambuhannya. Sebagai
tambahan,

penurunan

tersebut

juga

menunjukan

prevalensi

strain

Streptococcus -hemolyticus grup A yang bersifat reumatogenik menjadi


non-reumatogentik.6, 7
-

Di negara-negara berkembang, demam reumatik merupakan suatu


epidemik dan menetap sebagai penyebab utama dari penyakit jantung
didapat. Penyakit ini juga merupakan penyebab utama dari kematian
kelompok usia dibawah 50 tahun, dan insidensi annual dari demam
reumatik adalah 100-200 kali lebih besar dibanding di negara-negara
maju. Demam reumatik biasanya terjadi pada anak-anak usia 5-15
tahun. Jarang terjadi sebelum usia 3 tahun dan 92% kasus terjadi

hingga usia 18 tahun.

Demam reumatik merupakan komplikasi dari

infeksi

-hemolyticus

Streptococcus

grup

pada

orang

yang

terpredisposisi. Kurang dari 2-3% dari orang yang sebelumnya sehat


terkena demam reumatik yang diikuti faringitis streptokokus. Demam
reumatik tidak terjadi setelah pioderma streptokokus.5
Prevalensi demam reumatik di Indonesia belum diketahui

secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan


menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung reumatik berkisar 0,3
sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat
diperkirakan bahwa prevalensi demam reumatik di Indonesia pasti lebih
tinggi

dari

angka

tersebut,

mengingat

penyakit

jantung

reumatik

merupakan akibat dari demam reumatik.4


-

2.5.

Patogenesis
-

Hubungan patogenik antara infeksi saluran napas bagian atas

oleh Streptococcus -hemolyticus grup A dengan demam reumatik akut


masih belum jelas. Salah satu rintangan terbesar dari usaha untuk
memahami patogenesis demam reumatik akut dan penyakit jantung
reumatik adalah tidak terdapatnya binatang percobaan. Banyak teori dari
demam reumatik akut dan penyakit jantung reumatik yang telah
diusulkan, namun hanya 2 yang dapat dipertimbangkan yaitu the
cytotoxicity theory dan teori imunologik.7
-

The cytotoxicity theory berpendapat bahwa suatu toxin dari

Streptococcus -hemolyticus grup A terlibat dalam patogenesis demam


reumatik akut dan penyakit jantung reumatik. Toksin ini akan beredar
melalui pembuluh darah dan mempengaruhi sistem tubuh lainnya.
Streptococcus -hemolyticus grup A memproduksi berbagai enzim yang
bersifat sitotoksik untuk sel jantung mamalia, seperti streptolisin O, yang
mempunyai efek sitotoksik langsung terhadap sel mamalia dalam kultur
jaringan. Pendukung terbanyak dari teori cytotoxicity berpusat pada
enzim ini.

Namun, salah satu masalah utama dari hipotesis ini adalah

ketidakmampuannya untuk menjelaskan periode laten antara faringitis


oleh Streptococcus -hemolyticus grup A dengan onset dari demam
reumatik akut.7
Teori imunologik menyatakan adanya suatu immune-mediated

patogenesis untuk demam reumatik akut dan penyakit jantung reumatik.


Munculnya teori ini oleh karena adanya persamaan manifestasi klinik dari
demam reumatik akut dengan penyakit-penyakit lain yang disebabkan
oleh proses imunopatogenik dan adanya periode laten antara infeksi
Streptococcus -hemolyticus grup A dengan demam reumatik akut. Teori
ini menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh sistem imun tubuh
yang bertindak tidak sesuai. Sel imun tubuh (antibody), yang dibuat
secara spesifik untuk mengenali dan menghancurksn agen penyebab
penyakit yang memasuki tubuh dalam hal ini, Streptococcus hemolyticus grup A. Antibodi ini mampu mengenali bakteri ini karena
bakteri ini mengandung marker spesifik sebagai tanda pengenal yang
disebut antigen. Determinan antigenik antara komponen Streptococcus hemolyticus Grup A (protein M, membran protoblas, karbohidrat dinding
sel grup A, kapsul hialuronat) dan jaringan spesifik mamalia (jantung,
otak, persendian) serupa. Sebagai contoh, beberapa M protein (M1, M5,
M6, M19) berbagi epitop dengan tropomiosin dan miosin pada manusia.
Oleh

karena

adanya

persamaan

antara

antigen

Streptococcus

hemolyticus grup A dan antigen sel-sel tubuh tertentu, maka antibodi


tersebut dapat salah mengenali dan menyerang sel tubuh sendiri.7
-

Infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus -

hemolyticus

grup

terpredisposisi.

Usaha

adalah

pencetus

terakhir

untuk

utama

dari

menerangkan

individu

yang

suspektabilitas

pejamu terhadap kuman ini adalah gen respon imun yang ditemukan
pada sekitar 15% seluruh populasi. Respon imun yang dicetuskan oleh
kolonisasi Streptococcus -hemolyticus grup A di faring meliputi: (1)
sensitisasi dari limfosit B oleh antigen streptokokus. (2) pembentukan
antibodi

antistreptokokus.

(3)

pembentukan

kompleks

imun

yang

mengalami reaksi silang dengan antigen sarkolema jantung. (4) respon


inflamasi dari miokardium dan katup jantung.7
-

2.6.

Gejala Klinis
-

Karena tidak terdapatnya manifestasi klinis dan temuan

laboratorium yang patognomik untuk demam rematik akut, T. Ducket


Jones, pada tahun 1944, mengusulkan pedoman untuk mendiagnosis
demam reumatik akut dan untuk mencegah overdiagnosis. Kriteria Jones,
yang telah direvisi pada tahun 1992 oleh American Heart Association,
dibuat dengan maksud untuk mendiagnosis serangan pertama dari
demam reumatik akut dan bukan untuk serangan ulangan. Terdapat 5
kriteria mayor dan 4 kriteria minor dan persyaratan absolut (mikrobiologik
atau serologik) dari bukti adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus
Grup A baru-baru ini. Diagnosis dari demam rematik akut akut dapat
ditegakan dari kriteria Jones jika seorang pasien memenuhi 2 kriteria
mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor serta memenuhi
persyaratan absolut. Meskipun dengan aplikasi ketat dari kriteria Jones,
overdiagnosis atau underdiagnosis dari demam rematik akut masih dapat
terjadi.4
-

Ada tiga keadaan dimana diagnosis demam reumatik akut

dapat dibuat tanpa penetapan ketat dari kriteria Jones. Korea mungkin
timbul sebagai manifestasi klinis satu-satunya dari demam reumatik akut.
Keadaan yang sama mirip dengan seorang pasien yang dengan karditis
dan baru datang berobat pertama kali berbulan-bulan setelah onset
demam reumatik. Beberapa pasien dengan serangan ulangan dapat
memenuhi kriteria Jones, beberapa lainnya tidak.8
-

Manifestasi mayor. Terdapat 5 kriteria mayor. Adanya 2

kriteria mayor dengan bukti (mikrobiologik atau serologik) dari infeksi


Streptococcus -hemolyticus Grup A sebelumnya memenuhi kriteria Jones.
-

1. Poliartritis Migran.
-

Artritis timbul pada 75% pasien dengan demam reumatik akut dan
sering melibatkan sendi-sendi besar, terutama sendi lutut, pergelangan
kaki, pergelangan tangan, dan siku. Keterlibatan tulang belakang,
sendi-sendi kecil dari tangan dan kaki, atau sendi panggul sangat
jarang. Persendian yang terkena rematik secara umum ditandai oleh
adanya

nyeri,

pembengkakan,

kemerahan,

teraba

panas,

dan

keterbatasan gerak aktif; bahkan jika bersinggungan dengan sprei


menimbulkan perasaan tidak enak. Nyeri ini dapat berlanjut dan dapat
tampak tidak sesuai dengan temuan klinis lainnya. Keterlibatan sendi
pada demam reumatik akut bersifat migratory atau berpindah-pindah,
sendi yang mengalami peradangan yang sangat berat dapat menjadi
normal dalam waktu 1-3 hari tanpa pengobatan, sementara sendi-sendi
lainnya mulai meradang. Sehingga dapat ditemukan artritis yang saling
tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang bersamaan.
Keluhan ini dapat menetap hingga berminggu-minggu (2-4 minggu).
Artritis monoartikuler jarang terjadi kecuali jika terapi anti-inflamasi
diberikan sejak awal sehingga mencegah progresifitas dari poliartritis
migran.
-

Jika seorang anak dengan demam dan artritis dicurigai menderita


demam reumatik akut, biasanya akan membantu jika pemberian
salisilat ditunda dan pasien diobservasi untuk poliartritis. Respon
dramatis terhadap dosis salisilat yang kecil pun adalah salah satu
karakteristik untuk artritis dan tidak adanya respon itu menandakan
diagnosis alternatif yang lain. Rematik artritis tidak menyebabkan
deformitas dan kerusakan sendi jangka panjang 9 Cairan sinovial pada
demam rematik akut biasanya mengandung 10.000-100.000 sel darah
putih/mm3 dengan sel dominan neutrofil, protein sebanyak 4 g/dL,
kadar glukosa yang normal dan terjadi pembentukan gumpalan musin.
Akhir-akhir ini artritis merupakan manifestasi awal dari demam
reumatik akut dan terdapat hubungan sementara dengan tingginya
titer antibodi dari Streptococcus -hemolyticus Grup A. Ada hubungan

yang jelas antara beratnya artritis dengan beratnya keterlibatan


jantung.
2. Karditis
-

Karditis merupakan manifestasi klinik demam reumatik yang paling


berat

karena

mengakibatkan

merupakan
kematian

satu-satunya
penderita

manifestasi

pada

menyebabkan kelainan katup sehingga

fase

terjadi

akut

yang

dapat

dan

dapat

penyakit jantung

reumatik. Diagnosis karditis reumatik dapat ditegakan secara klinis


berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau
perubahan sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) pankarditis, dan
gagal

jantung

kongestif.

Pankarditis

adalah

peradangan

aktif

miokardium, perikardium dan endokardium. Miokarditis dan atau


perikarditis tanpa bukti adanya endokarditis jarang disebabkan oleh
penyakit jantung reumatik. Kebanyakan kasus melibatkan kerusakan
pada katup mitral atau kombinasi dari katup mitral dan aorta.
Kerusakan pada katup aorta saja atau kerusakan katup sebelah kanan
sangat jarang. Sedangkan efek jangka panjang dari kerusakan jantung
yang lebih berat merupakan akibat dari kerusakan katup ini.
-

Pada beberapa anak dengan peradangan jantung tidak menunjukan


adanya gejala klinis, dan riwayat peradangan sebelumnya baru
diketahui bertahun-tahun kemudian saat kerusakan jantung telah
terjadi. Beberapa anak akan merasakan jantungnya berdebar-debar.
Sedangkan lainnya akan mengeluh nyeri pada dada yang disebabkan
oleh peradangan selaput yang menyelimuti jantung (perikarditis).
Kegagalan jantung dapat terjadi, dan menyebabkan anak tersebut
menjadi cepat lelah dan sesak nafas, dengan mual, muntah, nyeri
perut atau batuk kering.

Reumatik karditis akut biasanya ditandai dengan danya takikardia


dan murmur jantung, dengan atau tanpa bukti danya keterlibatan
miokardium atau perkardium. Bising jantung merupakan manifestasi
karditis reumatik yang seringkali muncul pertama kali, sementara

tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya


baru timbul pada keadaan yang lebih berat. Bising pada demam
reumatik dapat berupa bising pansistol didaerah apeks (regurgitasi
mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan
bising mid-diastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul
akibat adanya dilatasi ventrikel kiri. Selain itu, reumatik karditis ringan
hingga berat dapat menyebabkan kardiomegali dan penyakit jantung
kongestif dengan hepatomegali dan edema perifer dan pulmonal.
Penemuan

ekokardiografi

meliputi

effusi

perikardium,

penurunan

kontraktilitas ventrikular, dan regurgitasi aorta dan atau mitral. Hasil


ekokardiografi yang menunjukan adanya suatu regurgitasi katup tanpa
diserta bukti auskultasi tidak cukup untuk memenuhi kriteria Jones
untuk karditis.
-

Karditis timbul pada 50-60% kasus demam reumatik akut. Serangan


ulangan demam reumatik akut pada pasien yang sebelumnya terkena
karditis pada serangan pertama kemungkinan untuk terkena karditis
lagi pada serangan ulangan sangat tinggi. Dampak utama dari
reumatik karditis adalah penyakit katup yang bersifat kronik progresif,
khususnya

stenosis

katup,

yang

mungkin

akan

membutuhkan

penggantian katup dan dapat merupakan suatu predisposisi timbulnya


endokarditis terinfeksi.4
-

3. Korea Sydenhem
-

Korea sydenham terjadi pada 10-15% pasien dengan demam


reumatik akut dan biasanya bermanifestasi sebagai suatu gangguan
gerakan yang bersifat tiba-tiba, tidak disadari, tidak berirama, klonik
dan tanpa tujuan serta perilaku neurologik yang terisolasi dan halus.
Emosi yang labil, inkoordinasi, kinerja sekolah yang buruk, gerakan tak
terkendali, dan wajah meringis, yang dicetuskan oleh stress dan hilang
dengan tidur merupakan ciri-ciri dari kelainan ini. Gerakan tersentaksentak dan tak terkendali ini mempunyai onset yang tersembunyi dan

membahayakan, tetapi biasanya baru timbul setelah gejala lainnya


telah menghilang, dan menetap hingga berbulan-bulan (4-8 bulan)
sebelum dikenali. Gerakan ini melibatkan seluruh otot-otot tubuh
kecuali otot mata. Biasanya dimulai dengan ekstremitas atas lalu
menyebar ke ekstremitas bawah dan wajah. Korea sering bersifat
unilateral. Masa laten dari infeksi akut Streptococcus -hemolyticus
Grup A menjadi korea lebih lama dibanding menjadi artritis atau
karditis dan dapat mencapai berbulan-bulan. Pemeriksaan klinis yang
dapat dilakukan untuk memperoleh ciri-ciri dari korea meliputi (1)
demonstrasi dari milkmaids grip (pemeras susu) yaitu kontraksi
irreguler dari otot-otot tangan sambil memeras jari pemeriksa, (2)
gerakan menyendok dan pronasi dari tangan saat lengan penderita di
ekstensikan, (3) gerakan seperti cacing dari lidah saat dijulurkan, (4)
pemeriksaan tulisan tangan untuk menilai gerakan motorik halus.
Diagnosis ditegakan berdasarkan temuan klinis dengan bukti yang
mendukung adanya antibodi Streptococcus -hemolyticus Grup A.
Namun, pada pasien dengan periode laten yang lama dari sejak
timbulnya infeksi Streptococcus -hemolyticus Grup A, kadar antibodi
kemungkinan telah menurun hingga kadar normal. Meskipun penyakit
akut ini menyedihkan, korea jarang, bahkan hampir tidak pernah
terdapat gejala sisa yang permanen. Korea syndenham merupakan
satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat
dianggap sebagai petanda adanya demam reumatik meskipun tidak
ditemukan kriteria lain.4
4. Eritema Marginatum.
-

Eritema marginatum merupakan ruam yang jarang (<3% pasien


dengan demam reumatik akut) namun khas pada demam reumatik
akut. Ini meliputi lesi makular, eritematous dan serpiginous (menyebar,
progresif) dengan bagian tengah yang pucat, namun tidak gatal. Terjadi
terutama di bagian trunkus dan ekstremitas, tetapi tidak mengenai
wajah. Kelainan ini dapat berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke
bagian tubuh lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan

memucat jika ditekan. Tanda mayor ini hanya ditemukan pada kasus
yang berat.

Gambar 1. Eritema Marginatum

5. Nodul Subkutan.
-

Nodul subkutan sangat jarang terjadi (<1% pasien dengan demam


reumatik akut) dan meliputi nodul-nodul keras berdiameter kurang
lebih 1 cm sepanjang permukaan ekstensor dari tendon dekat
prominen tulang, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis, tidak
terasa nyeri dan mudah digerakan.

Terdapat hubungan secara

signifikan antara munculnya nodul-nodul ini dengan penyakit jantung


reumatik.
-

Manifestasi Minor.

1) Riwayat demam reumatik sebelumnya. Ini dapat digunakan


sebagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik
sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria objektif yang
sama. Akan tetapi, riwayat demam reumatik atau penyakit jantung
reumatik inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali
tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya,
atau bahkan tidak terdiagnosis.
2) Arthralgia. Arthralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih
tanpa disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala
minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan

periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang


lazim terjadi pada anak-anak normal. Arthralgia tidak dapat
digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai
sebagai kriteria mayor.
3) Demam. Demam pada demam reumatik adalah ringan, meskipun
ada

kalanya

mencapai

39C,

terutama

jika

terdapat

artritis.

Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu suatu demam


derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan
petanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada
begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti
diagnosis banding yang bermakna.
4) Peningkatan kadar reaktan fase akut. Berupa kenaikan laju
endap darah kadar protein C-reaktif serta leukositosis merupakan
indikator non spesifik dari peradangan atau infeksi. Ketiga tanda
reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam reumatik,
kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang
ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat
pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein Creaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami
kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar
protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun
apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan
adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan.
5) Interval P-R yang memanjang. Biasanya menunjukan adanya
keterlambatan

abnormal

sistem

konduksi

pada

nodus

arterioventrikel dan sering juga dijumpai pada demam reumatik,


perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam reumatik.
Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan pertanda yang
memadai adanya karditis reumatik.
-

Bukti yang mendukung

Titer

antistreptolisin

(ASTO)

merupakan

pemeriksaan

diagnostik standard untuk demam reumatik, sebagai salah satu

bukti yang mendukung adanya infeksi streptokokus. Titer ASTO


dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang
dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak pada usia diatas 5
tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70-80% kasus demam
reumatik akut. Infeksi streptokokus juga dapat dibuktikan dengan
melakukan biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada 50%
kasus demam reumatik akut. Bagaimanapun biakan yang negatif
tidak

dapat

mengesampingkan

kemungkinan

adanya

infeksi

streptokokus akut.
2.7.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Kultur tenggorokan. Pengambilan sampel dengan cara mengusap
kedua tonsil dan laring bagian posterior kemudian dibiak dalam
medium

agar

darah

domba,

untuk

melihat

adanya

infeksi

Streptococcus -hemolyticus grup A. Koloni yang terbentuk pada


medium

biakan

dapat

diperiksa

dengan

latex

agglutination,

florescent antibody assay, koagulasi atau teknik presipitasi untuk


membuktikan adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A.
kultur tenggorokan untuk Streptococcus -hemolyticus grup A
biasanya

memberikan hasil

negatif

saat

gejala

dari

demam

reumatik atau penyakit jantung reumatik telah muncul. Usahakan


untuk dapat mengisolasikan bakteri sebelum pemberian terapi
antibiotik untuk membantu mengkonfirmasikan diagnosis faringitis
oleh Streptococcus -hemolyticus grup A dan dapat ditentukan

serotip jenis apa jika berhasil.


Rapid antigen detection test. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi
antigen dari Streptococcus -hemolyticus grup A secara cepat,
sehingga diagnosis dapat segera ditegakan dan terapi antibiotik
dapat

segera

diberikan

saat

pasien

masih

berada

dikamar

pemeriksaan dokter. Spesifisitas dari pemeriksaan ini lebih dari

95%, namun sensitivitasnya hanya 60-90%. Oleh karena itu,

pengambilan kultur tenggorokan dianjurkan.


Antibodi antistreptokokus. Tanda-tanda

klinik

dari

demam

reumatik dimulai saat tingkat antibodi antistreptokokus mencapai


puncaknya. Oleh karena itu, pemeriksaan ini berguna untuk
mengkonfirmasi

apakah

sebelumnya

pernah

terinfeksi

oleh

Streptococcus -hemolyticus grup A. Antibodi antistreptokokus ini


terutama berguna pada pasien dengan manifestasi klinis korea
karena ini merupakan satu-satunya tanda diagnostik. Sensitifitas
terhadap infeksi yang baru terjadi dapat ditingkatkan dengan
memeriksa beberapa jenis antibodi. Untuk memeriksa apakah
terjadi peningkatan titer antibodi maka pemeriksaan dilakukan
dengan jarak 2 minggu. Antibodi antistreptokokus ekstraseluler
yang paling sering diperiksa adalah antistreptolisin O (ASO) dan
anti-Dnase B, antihialuronidase, antistreptokinase, antistreptokokal
esterase,

dan anti-nicotinamide adenine dinucleotide (anti-NAD).

Tes antibodi terhadap komponen seluler antigen Streptococcus hemolyticus grup A meliputi antistreptococcal polusaccharide,
antiteicholic acid antibody, dan anti-M protein antibody. Secara
umum,

antibodi

terhadap

antigen

streptokokus

ekstraseluler

meningkat selama bulan pertama setelah infeksi dan membentuk


gambaran plateau selama 3-6 bulan sebelum kembali ke kadar
normal setelah 6-12 bulan. Saat titer ASO mencapai puncaknya 2-3
minggu setelah onset demam rematik), sensitifitas pemeriksaan ini
sebesar 80-85%. Anti-Dnase B mempunyai sensitifitas sedikit lebih
tinggi

(90%)

glomerulonefritis

untuk
akut.

memastikan

demam

Antihialuronidase

pada

reumatik
pasien

atau

demam

reumatik dengan titer ASO yang normal sering abnormal, dapat


muncul

terlebih

dahulu,

dan

menetap

lebih

lama

dibanding

peningkatan titer ASO selama demam reumatik.


Acute-phase reactants: C-reactive protein dan lanju endap darah
meningkat pada penderita demam reumatik oleh karena proses
inflamasi dari penyakit tersebut. Kedua pemeriksaan ini memiliki

sensitifitas yang tinggi namun spesifitas yang rendah terhadap

demam reumatik.
Heart reactive

penderita dengan demam reumatik akut.


Rapid detection test for D8/17: Teknik immunofluorescence ini

antibodies:

Tropomiosin

meningkat

pada

dapat mengidentifikasi B-cell marker D8/17 bernilai positif 90% pada


penderita

demam

reumatik

dan

dapat

berguna

untuk

mengidentifikasi seseorang yang beresiko terkena demam reumatik.


b. Pencitraan
Foto thoraks
Kardiomegali, kongesti pulmonal, dan temuan lainnya
yang berkaitan dengan kegagalan jantung terlihat pada foto thoraks
seseorang dengan demam reumatik. Saat pasien tersebut demam
dan menunjukan distres pernapasan, foto thoraks membantu
membedakan

antara

gagal

jantung

kongestif

dan

reumatik

pneumonia.
Ekokardiografi
Pada

penderita

penyakit

jantung

reumatik

akut,

ekokardiografi mengidentifikasi dan menilai insufisiensi katup dan


disfungsi ventrikel.
c. EKG
-

Sinus takikardi sering ditemukan bersamaan dengan

penyakit jantung reumatik. Dapat juga disertai dengan blok


jantung derajat I, II atau III. Pada penderita yang disertai
perikarditis akut, akan ditemukan ST elevasi yang terlihat pada
lead II, III, aVF dan V4-V6. Penyakit jantung reumatik juga dapat
menyebabkan flutter atrium, takikardi atrium multifokal, atau
fibrilasi atrium dari penyakit katup mitral kronik dan dilatasi
atrium. Katerisasi jantung tidak diindikasikan untuk demam
reumatik akut.
d. Pemeriksaan Histologi
Pemeriksaa patologi anatomi terhadap katup yang
mengalami insufisiensi dapat ditemukan lesi verrucous pada
garis

penutupan.

Ashcoff

bodies

(fokus

perivaskuler

yang

merupakan kolagen eosinofil yang dikelilingi limfosit, sel plasma,


dan makrofag) ditemukan di perikardium, regio perivaskular dari
miokardium,

dan

endokardium.

Ashcoff

bodies

tampak

granulomatous dengan fokus sentral fibrinoid yang pada akhirnya


akan digantikan oleh nodul-nodul jaringan parut.
2.8.

Diagnosis
-

Seperti

yang

telah

dijelaskan

diatas,

diagnosis

demam

reumatik lazim ditegakan berdasarkan kriteria Jones. Kriteria Jones


memuat kelompok mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan
manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan
selanjutnya, kriteria

ini

kemudian

diperbaiki

oleh

American

Heart

Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus


sebelumnya.4
-

Tabel 1. Kriteria Jones (yang diperbaiki) untuk diagnosis


demam reumatik

Kriteria Mayor
o Karditis
o Poliartritis
o Korea
o Eritema marginatum
o Nodulus subkutan
Kriteria Minor
Klinik
o Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
sebelumnya
o Artralgia
o Demam
Laboratorium
o Peningkatan kadar reaktan fase akut (protein C reaktif, laju
endap darah, leukositosis)
o Interval P-R yang memanjang
Ditambah

Tanda-tanda yang mendukung adanya infeksi streptokokus sebelumnya: kenaikan titer


antistreptolisin O (ASTO) atau antibodi antistreptokokus lainnya, biakan usapan

Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan

2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus


sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam reumatik.
Tanpa dukungan bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis
demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam
reumatik dengan manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham
atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam reumatik
baru muncul setelah masa laten yang lama dari infeksi streptokokus.4
-

Perlu diingat kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya


sebagai

suatu

pedoman

dalam

menentukan

diagnosis

demam

reumatik. Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan


terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis maupun
underdiagnosis.4
-

3. Mitral Regurgitasi
-

3.1. Definisi
-

Suatu keadaan di mana terjadi refluks darah dari ventrikel kiri

ke atrium kiri pada saat sistolik karena katup mitral tidak menutup dengan
baik. Regurgitasi mitral adalah suatu keadaan di mana terdapat aliran
darah balik dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri pada saat sistol, akibat
tidak dapat menutupnya katup mitral secara sempurna. Dengan demikian
aliran darah saat sistol akan terbagi dua, disamping ke aorta yang
seterusnya ke aliran darah sistemik sebagai fungsi utama, juga akan
masuk ke atrium kiri. Akan tetapi daya pompa jantung jadi tidak efisien
dengan berbagai tingkat klinisnya, mulai dari yang asimptomatis sampai
gagal jantung berat. Dari segi prosesnya terjadi mitral regurgitasi dapat
dibagi menjadi mitral regurgitasi akut, transient atau bersifat sementara,
dan kronik.9, 10
-

Katup mitral terdiri dari empat komponen utama yaitu:

a. anulus katup mitral. Terdiri

dari bagian yang kaku (fixed) yang

berhubungan dengan annulus katup aorta. Terdiri dari jaringan


fibrosa dan merupakan bagian dari pangkal katup mitral bagian
anterior. Bagian annulus mitralis yang lain yaitu bagian yang
dinamik, bagian yang terbesar dan tempat pangkal dari daun katup
mitral bagian posterior.
b. Kedua daun katup. Terdiri dari daun katup anterior dan posterior,
keduanya asimetris. Celah dari kedua katup ini disebut komisura,
bagian antero medial dan postero lateral.
c. Chordae tendinea. Terdiri dari dua berkas, berpangkal pada
muskulus papilaris. Berkas chordae tendinea ini menempel pada
masing-masing daun katup, yang berfungsi untuk menopang daun
katup mitral dalam berkoaptasi. Setiap berkas chorda terdiri dari
beberapa serabut yang flexible.
d. Muskulus papillaris. Terdiri dari dua buah, tempat berpangkal kedua
chordae tendinea, dan berhubungan langsung dengan dinding
ventrikel

kiri.

Berfungsi

untuk

menyanggah

kedua

chordae.

Muskulus papillaris adalah bagian dari endokardium yang menonjol,


satu di medial, dan satu lagi di dinding lateral.
-

Kelainan pada apparatus mitral ini pada keadaan regurgitasi bisa

saja hanya satu dari empat komponen tadi, misalnya pada anulus yang
melebar, pada penyakit jantung degeneratif seperti penyakit jantung
koroner, namun bisa saja mengenai dua atau lebih, seperti katup mitral
memendek, mengapur dan kelainan pada chordae, fusi dan memendek
seperti pada penyakit jantung rematik. Pada akut infark, dapat terjadi
muskulus papilaris.4
-

3.2. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, insufisiensi atau regurgitasi mitral

dapat

di

bagi

atas

Rheumatik

dan

non

rheumatik

(degeneratif,

endocarditis, penyakit jantung koroner, penyakit jantung bawaan, trauma


dan lain sebagainya). Di negara berkembang, termasuk Indonesia,
penyebab terbanyak insufisiensi Mitral adalah demam reumatik yang

meninggalkan kerusakan menetap dari sisa fase akut (sequel), sekitar


30% penderita telah mempunyai riwayat demam reumatik yang jelas.

9, 10,

11, 12

Etiologi regurgitasi mitral sangat banyak, erat hubungannya dengan


klinisnya MR akut atau MR kronik.

MR akut secara garis besar ada tiga bentuk:

a. MR primer akut non iskemia yang terdiri dari:


Ruptur korda spontan
Endokarditis infektif
Degerasi miksomatous dari valvular
Trauma
Hipovolemia pada mitral valve prolapse (MVP)
b. MR karena iskemia akut
MR yang terjadi akibat iskemia akut, maka akan terjadi gangguan
fungsi ventrikel kiri, annular geometri atau gangguan fungsi muskulus
papillaris, satu atau keduanya. Selanjutnya timbul edema paru, syok
dan kematian. Namun apabila hanya satu muskulus papillaris yang
ruptur, biasanya walau klinisnya berat namun kemungkinan masih bisa
diatasi. Ruptur muskulus papillaris pada infark akut biasanya timbul
antara hari kedua sampai hari kelima, klinisnya berat biasanya perlu
tindakan operasi. MR juga bisa timbul sebagai kelanjutan dari infark
akut, dimana terjadi remodeling miokard, gangguan fungsi muskulus
papillaris dan dilatasi annulus, gangguan koaptasi katup mitral,
selanjutnya timbul MR.
c. MR akut sekunder pada kardiomiopati. Pada kardiomiopati terdapat
penebalan dari miokard yang tidak proporsional dan bisa asimetris,
yang berakibat kedua muskulus papillaris berubah posisi akibatnya
tdiak berfungsi dengan sempurna, selanjutnya penutupan katup
mitral tidak sempurna.

MR kronik

MR

kronik

dapat

berlangsung secara

terjadi

pada

penyakit

jantung

vulvular

slowly progressive", seperti pada

yang

penyakit

jantung rematik. Dapat juga terjadi sebagai konsekuensi lesi akut


seperti

perforasi

katup

atau

ruptur

korda

yang

tidak

pernah

memperlihatkan gejala-gejala akut, namun dapat diadaptasi sampai


timbul bentuk kronis dari MR.

a. MR karena reumatik
Biasanya disertai juga dengan stenosis mitral berbagai tingkatan dan
fusi dari commisura, hanya sekitar 10% kasus rematik mitral murni
MR tanpa ada stenosis. MR berat karena rheuma yang memerlukan
tindakan operasi masih sering ditemukan pada negara-negara yang
sedang berkembang, tetapi sudah jarang dinegara-negara maju.
Biasanya lesi reumatik dapat berupa retraksi fibrosis pada apparatus
valvuler, yang mengakibatkan koaptasi dari katup mitral tidal berfungsi
secara sempurna. Pada kasus-kasus MR yang mengalami koreksi

operasi, terdapat 3-40% karena atas dasar reumatik.


b. MR degeratif
Yang paling sering penyebabnya adalah mitral valve prolapse (MVP),
dimana terjadi gerakan abnormal dari daun katup mitral ke dalam
atrium kiri saat sistol, diakibatkan oleh tidak adekuatnya sokongan dari
korda, memanjang atau ruptur dan terdapat jaringan valvular yang
berlebihan. Di negara-negara maju, lesi MVP merupakan lesi yang
terbanyak didapatkan, 20-70% dari kasus-kasus MR yang mendapat

tindakan koreksi dengan operasi.


c. MR karena endocarditis infective
infective endocarditis dapat menyebabkan destruksi dan perforasi

dari daun katup.


d. MR karena iskemia atau MR fungsional
Timbul sebagai akibat adanya disfungsi muskulus papillaris yang
bersifat transient atau permanen akibat adanya iskemia kronis. Iskemia
kronik dan MR fungsional dapat juga terjadi akibat dilatasi ventrikel kiri,

aneurisma ventrikel, miokardiopati atau miokarditis.


e. Penyebab lain MR kronik
Masih sangat banyak, walaupun sangat jarang ditemukan, seperti
penyakit jaringan ikat (connective tissue disorders), seperti sindrom

marfan, sindrom antikardiolipin, sindrom SLE dan lain-lain.4


3.3. Patofisiologi
-

Insuffiesiensi mitral akibat reumatik terjadi karena katup tidak bisa

menutup sempurna saat sistole. Perubahan-perubahan katup mitral


tersebut adalah kalsifikasi, penebalan dan distorsi daun katup. Hal ini
mengakibatkan koaptasi yang tidak sempurna saat sistole. Selain itu
pemendekan korda tendinae mengakibatkan katup tertarik ke ventrikel
terutama bagian posterior dan dapat juga terjadi dilatasi anulus dan
ruptur korda tendinae. Selama fase sistole terjadi, aliran regurgitasi ke
atrium kiri yang mengakibatkan gelombang yang tinggi di atrium kiri,
sedangkan aliran ke aorta berkurang. Saat diastole, darah mengalir dari
atrium kiri ke ventrikel kiri. Darah dari atrium kiri tersebut berasal dari
paru-paru melalui vena pulmonalis dan juga darah regurgitasi yang
berasal dari ventrikel kiri waktu sistole sebelumnya. Ventrikel kiri cepat
distensi, apeks bergerak ke bawah secara mendadak menarik katup,
kordan dan otot papillaris. Pada insuffisiensi mitral kronik, regurgitasi
sistolik ke atrium kiri dan vena pulmonalis dapat di toleransi tanpa
meningkatnya tekanan di baji dan aorta pulmonalis.10, 13, 14, 15
-

3.4.
-

Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita tidak diketahui adanya riwayat demam

reumatik. Sebelumnya regurgitasi mitral dapat di tolerir dalam jangka


waktu yang lama tanpa keluhan jantung. Sering kali keluhan sesak nafas
dan lekas lelah merupakan keluhan awal yang secara berangsur-angsur
berkembang menjadi ortopnoe, paroksismal nocturnal dipsnoe dan edema
perifer. Insuffisiensi mitral lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan
stenosis mitral karena tekanan paru akan lebih rendah. Pada palpasi,
tergantung pada derajat regurgitasinya, mungkin didapatkan aktivitas
jantung kiri yang meningkat akibat kelebihan beban ventrikel kiri. Pada
auskultasi akan terdengar bising pada sistolik yang bersifat meniup
(blowing di apek) menjalar ke aksila dan mengeras saat ekspirasi. Bunyi

jantung pertama melemah, katup tidak menutup sempurna pada akhir


diastole dan pada saat tersebut, tekanan atrium dan ventrikel sama.9, 10, 15
-

Pasien MR berat akut hampir semuanya simtomatik. Pada beberapa

kasus dapat diperberat oleh timbul secara tiba-tiba. Kadang ruptur korda
ditandai oleh adanya nyeri dada, orthopnea, paroxysmal nocturnal
dispnea dan rasa capai kadang ditemukan pada MR akut. Dari anamnesis
juga kemungkinan dapat diperoleh perkiraan etiologi dari MR akut. MR
akut akibat iskemia berat, dapat diperkirakan pada kasus dengan syok
atau gagal jantung kongestif pada pasien dengan infark akut.
3.5.
-

Penatalaksanaan

Terapi medikamentosa
Terapi MR akut adalah secepatnya menurunkan volume regurgitan,
yang seterusnya akan mengurangi hipertensi pulmonal dan tekanan
atrial serta meningkatkan strok volume. Vasodilator arterial seperti
sodium nitroprusid merupakan terapi utama, dapat mengurangi
resistensi valvuler, meningkatkan aliran pengeluaran dan bersamaan
dengan ini akan terjadi juga pengurangan dari aliran regurgitasi. Pada
saat bersamaan dengan berkurangnya volume ventrikel kiri dapat
membantu perbaikan kompetensi katup mitral. Sodium nitroprusid
diberikan secara intravena, sangat bermanfaat karena half life sangat
pendek, sehingga mudah dititrasi apalagi bila diberikan dengan
pemasangan Swan-Ganz catheter. Pada pasien MR berat dengan
hipotensi sebaiknya pemberian sodium nitroprusid harus dihindari.
Intra Aortic Ballon Counter Pulsation dapat dipergunakan untuk
memperbaiki mean arterial blood pressure, dimana diharapkan dapat
mengurangi afterload dan meningkatkan forward output (pengeluaran
darah

dari

ventrikel

kiri).

Penggantian

katup

dipertimbangkan sesudah hemodinamik stabil.

mitral

baru

bisa

Terapi

medikamentosa

pada

MR

kronik,

prevensi

terhadap

endokarditis infektif pada MR sangat penting. Pada usia muda dengan


MR karena penyakit jantung reumatik harus mendapat profilaksis
terhadap demam reumatik. Untuk pasien atrial fibrilasi perlu diberikan
digoksin dan atau beta blocker untuk kontrol frekuensi detak jantung.
Antikoagulan oral harus diberikan pada pasien dengan atrial fibrilasi.
Penyekat beta merupakan obat pilihan utama pada sindrom MVP,
dimana sering ditemukan keluhan berdebar dan nyeri dada. Diuretika
sangat bermanfaat untuk kontrol gagal jantung dan untuk kontrol
keluhan utama sesak napas. ACE inhibitor dilaporkan bermanfaat pada
MR

dengan

disfungsi

ventrikel

kiri,

memperbaiki

survival

dan

memperbaiki simptom.
-

Terapi dengan Operasi


Ada dua pilihan yaitu rekonstruksi dari katup mitral dan pergantian
katup mitral. Ada beberapa pendekatan dengan rekonstruksi valvular
ini, tergantung dari morphologi lesi dan etiologi MR dapat berupa
valvular repair misalnya MVP, annuloplasty, memperpendek korda dan
sebagainya. Sebelum rekonstruksi ataupun sebelum replacement perlu
penilaian aparatus mitral secara cermat dan performance dari ventrikel
kiri. Namun kadang saat direncanakan rekonstruksi, sesudah dibuka
ternyata harus diganti.

Penggantian katup mitral, dipastikan apabila dengan rekonstruksi


tidak mungkin dilakukan. Apabila diputuskan untuk penggantian maka
pilihan adalah apakah pakai katup mekanikal dimana ketahanan dari
valve

mechanical

ini

sudah

terjamin

namun

terdapat

risiko

tromboemboli dan harus minum antikoagulan seumur hidup atau katup


bioprotese dimana umur valve sulit diprediksi, namun tidak perlu pakai
antikoagulan lama. Tindakan dilakukan sebelum terjadinya disfungsi
ventrikel kiri karena bersifat irreversible walau sudah diganti.
-

4. Mitral Stenosis
- 4.1. Definisi
Stenosis mitral merupakan suatu keadaan dimana gangguan pada
katup mitral yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan pada
atrium kiri dimana yang akan menghasilkan hipertensi pulmoner, edema
paru, dan gagal jantung kanan. Kelainan struktur mitral ini menyebabkan
gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri
pada saat diastol. Kondisi dimana yang menyebabkan manifestasi klinis
umumnya ketika pembukaan katup mitral pada saat diastol berkurang + 2
cm2 Stenosis mitral merupakan suatu proses progresif kontinyu dan
penyakit seumur hidup. Merupakan penyakit a disease of plateaus yang
pada mulanya hanya ditemui tanda dari stenosis mitral yang kemudian
dengan kurun waktu (10-20 tahun) akan diikuti dengan keluhan, fibrilasi
atrium dan akhirnya keluhan disabilitas.16, 17

- Gambar 2. Stenosis Mitral


-

4.2. Etiologi
-

Stenosis mitral secara dominan terjadi karena adanya kelainan

katup organik dan jarang disebabkan oleh kelainan katup yang bersifat
fungsional dimana katup mitral secara anatomi normal tetapi fungsi
terganggu. Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat
reaksi yang progesif dari demam rematik oleh infeksi streptokokus. Sekitar
90% stenosis mitral disebabkan demam rematik atau penyakit jantung

rematik. Penyebab lain walaupun jarang dapat juga stenosis mitral


kongenital,

deformitas

parasut

mitral,

vegetasi

systemic

lupus

erythematosus (SLE), karsinosis sistemik, deposit amiloid, akibat obat


fenfluramin/phetermin, rhematoid arthritis (RA), serta kalsifikasi annulus
maupun

daun

katup

pada

usia

lanjut

akibat

proses

degeneratif.

Endokarditis infektif dan kalsifikasi annulus katup mitral terjadi kurang


lebih 3%. Dari penyakit jantung katup ini 60% dengan riwayat demam
rematik, sisanya menyangkal. Selain daripada itu 50% pasien dengan
karditis rematik akut tidak berlanjut sebagai penyakit jantung katup
secara klinik.16, 17
4.3. Gambaran Patologi
Katup mitral terdiri dari struktur kompleks yang dinamakan
kompleks mitral yaitu meliputi katup, anulus, kordae, muskulus papilaris
dan sebagian dinding ventrikel kiri. Pada stenosis mitral gambaran
karakteristik adalah penebalan dan fusi dari komisura serta struktur
kordae. Akibat fusi komisural, terjadi hambatan pembukaan katup
sehingga membentuk kubah (doming). Akibat penebalan yang diawali
pada bagian ujung katup, terlihat gambaran seperti tangkai stik Hockey
pada katup anterior mitral yang sedang terbuka. Pada stenosis mitral
akibat demam rematik akan terjadi proses peradangan (valvulitis) dan
pembentukkan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini
akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi
komisura, fusi serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses
tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari aparatus mitral yang
normal.mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan
(fish mouth) atau lubang kancing (button hole). Fusi dari komisura akan
menimbulkan penyempitan dari orifisium primer, sedangkan fungsi korda
mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder. Pada endokarditis
rematik, daun katup dan khorda akan mengalami sikatrik dan kontraktur
bersamaan dengan pemendekkan korda sehingga menimbulkan penarikan
daun katup menjadi bentuk funnel shaped.16, 17, 18

- Gambar 3. Spesimen Katup Mitral Rematik (a,b dan c) dan Katup


Mitral Normal Postmortem (d)
4.4. Derajat Stenosis Mitral
-

- Derajat

ringannya

stenosis

mitral

dapat

dinilai

berdasarkan

hubungan antara gradien dan luasnya area katup serta waktu pembukaan
katup mitral (tabel 2) dan berdasarkan luas areanya katup mitral derajat
stenosis mitral sebagai berikut:
1. Minimal : bila area > 2,5 cm2
2. Ringan : bila area 1,42,5 cm2
3. Sedang : bila area 11,4 cm2
4. Berat : bila area < 1,0 cm2
-

Hubungan Antara Gradien dan Luasnya Area Katup Serta Waktu

Pembukaan Katup Mitral


- Derajat
- A2-O2
Stenosis
- Ringan
- Sedang
-

Berat

> 110 msec > 80 110 -

msec
- < 80 msec

Area

> 1,5 cm2


> 1 dan < -

1,5 cm2
- < 1 cm2

Gradien
< 5 mmHg
5-10 mmHg
> 10 mmHg

Tabel 2. Hubungan Antara Gradien dan Luasnya Area Katup Serta


Waktu Pembukaan Katup Mitral. A2-O2: Waktu antara penutupan katup
aorta dan pembukaan katup mitral.

4.5. Patofisiologi
-

Pada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm 2.

Bila area orifisium katup ini berkurang sampai 2 cm 2, maka diperlukan


upaya aktif atrium kiri berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran
transmitral yang normal tetap terjadi. Stenosis mitral berat terjadi bila
pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm 2. Dengan adanya
stenosis

mitral,

terjadi

penurunan

laju

pada

saat

diastolik

dan

berkelanjutan pada keseluruhan diastol hingga akhir diastol, keadaan ini


menyebabkan tekanan pada atrium kanan lebih tinggi daripada tekanan
pada ventrikel kiri. Pada tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan atrium kiri
sebesar 25 mmHg untuk mempertahankan cardiac output yang normal.
Pada stenosis mitral ringan gejala yang muncul biasanya dicetuskan oleh
faktor yang meningkatkan tekanan atrium kiri secara dramatis. Beberapa
keadaan antara lain latihan, stres emosi, infeksi, kehamilan dan fibrilasi
atrium dengan respons ventrikel cepat. Apabila area mitral < 1 cm 2 yang
berupa stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktivitas.
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
stenosis mitral. Pada awalnya kenaikan tekanan atau hipertensi pulmonal
terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan atrium kiri. Demikian pula
terjadi perubahan pada vaskular paru berupa vasokontriksi akibat bahan
neurohumoral seperti endotelin atau perubahan anatomik yaitu remodel
akibat

hipertrofi

hypertension).

tunika

Kenaikan

media
resistensi

dan

penebalan

arteriolar

paru

intima
ini

(reactive

sebenarnya

merupakan mekanisme adaptif untuk melindungi paru dari kongesti.


Dengan

meningkatnya

hipertensi

pulmonal

ini

akan

menyebabkan

kenaikan tekanan dan volume akhir diastol, regurgitasi trikuspid dan

pulmonal sekunder, dan seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan


kongesti sistemik.16, 17, 19

- Gambar 4. Patofisiologi Mitral Stenosis


-

4.6. Manifestasi Klinis


1. Dispnea dan Cepat Lelah
Gejala klasik pada stenosis mitral adalah dispnea dan cepat
lelah selama aktivitas atau dalam keadaan yang membuat sinus
takikardi seperti hipertiroidisme, hipovolemia, anemia, demam,
stress emosional, kehamilan, dan paparan agen simpatomimetik.
Pada perjalanan penyakit yang sudah parah dapat mengeluhkan
sesak nafas saat istirahat. Pasien yang cenderung mengembangkan
atrial fibrilasi dan hilangnya kontraksi atrium dan disinkronisasi
dengan kontraksi ventrikel kiri selama setiap siklus jantung dapat
memperburuk sesak nafas saat aktivitas atau bahkan istirahat,
terutama pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.
2. Gagal Jantung Kongestif
Stenosis mitral menjadi lebih berat, peningkatan tekanan
atrium kiri menyebabkan kongesti dari pembuluh darah paru.
Edema paru umumnya bermanifestasi dengan adanya sesak nafas.
Pada stadium awal, edema paru dapat terjadi hanya pada
aktivititas, dan setelah terjadi secara progesif, edema paru terjadi

pada saat istirahat. Terkadang edema paru akut dapat terjadi pada
saat aktivitas. Tanda lain pada gagal jantung kiri termasuk
ortopnoe, dan paroxysmal nocturnal dyspnea. Pada stadium lanjut
stenosis mitral dimana terjadinya remodeling dari pembuluh darah
paru yang bersifat ireversibel dapat menyebabkan peningkatan
tekanan arteri pulmonal dan resistensi pembuluh darah paru.
Kemudian terjadi gagal jantung kanan ketika hipertrofi jantung
kanan tidak dapat beradaptasi lama terhadap tekanan yang tinggi
pada arteri pulmonal dan ventrikel kanan. Gejala pada gagal
jantung

kanan

termasuk

intoleransi

aktivitas,

sesak

nafas,

pembengkakan abdomen, dan edema pada ekstremitas bawah.


3. Hemoptisis
Ketika stenosis mitral berat dapat menyebabkan hipertensi
pulmonal yang berat, dengan sedikit kejadian terjadi ruptur pada
vena

bronkial

terjadinya

dan

menyebabkan

hemoptisis

diantaranya

hemoptisis.
sputum

Penyebab
pada

lain

serangan

paroksismal nokturnal dipsnea, sputum seperti karat (pink frothy)


oleh karena edema paru yang jelas, infark paru, dan bronkitis kronis
oleh karena edema mukosa bronkus. Di Indonesia sering ditemukan
dan didiagnosa secara keliru sebagai tuberkulosis paru pada
awalnya.
4. Emboli Sistemik
Emboli sistemik terjadi pada 10-20% pasien dengan stenosis
mitral dengan distribusi 75% serebral, 33% perifer dan 6% viseral.
Risiko embolisasi tergantung umur dan ada tidaknya fibrilasi
atrium. Sepertiga dari kejadian emboli terjadi dalam 3 bulan dari
fibrilasi atrium, sedangkan dua pertiga terjadi dalam 1 tahun. Jika
embolisasi terjadi dengan irama sinus, harus dipertimbangkan
suatu endokarditis infektif.16, 17
-

4.7. Diagnosis

Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
1. Pulsasi Arteri

Pada stenosis mitral berat, ketika volume pada jantung berkurang akan
diikuti dengan penurunan pulsasi arteri sebaliknya ketika volume
jantung besar akan diikuti dengan peningkatan pulsasi arteri.

2. Irama
Pada stadium awal stenosis mitral, pasien memiliki irama sinus normal.
Pada stadium sedang sampai berat, terjadi peningkatan tekanan atrium
kiri dan fibrosis jaringan atrium yang menyebabkan aritmia pada
atrium, umumnya akan menjadi atrial fibrilasi dimana suara jantung

terdengar cepat dengan irama ireguler.


3. Opening Snap
Opening snap disebabkan oleh terbuka daun katup mitral secara tibatiba selama diastol ventrikel kiri, dimana daun katup masih relatif
elastis. Ini tidak dapat dideteksi jika daun katup terjadi kalsifikasi berat
dan gerakannya terbatas. Untuk mendengarkan opening snap yang
baik dapat dilakukan pada pinggang jantung tetapi dapat juga didengar

pada apeks jantung.


4. Diastolic Rumble Murmur (Rumbel diastol)
Rumbel diastol atau bising diastolik kasar pada stenosis mitral terjadi
karena adanya aliran turbulensi yang melewati katup mitral. Murmur ini
merupakan murmur dengan nada kecil dan terdengar baik pada apeks
dengan menggunakan corong pada stetoskop ketika pasien dengan
posisi lateral dekubitus kiri. Murmur diastolik dapat juga terdengar
secara jelas setelah aktivitas, meskipun ditemukan takikardi pada

waktu pengisian saat diastol.


5. Bunyi jantung 1 Keras
Penutupan pada daun katup mitral dengan kalsifikasi dan kelenturan
yang minimal dapat memberikan bunyi jantung 1 yang keras.
6. Menemukan Tanda-Tanda Hipertensi Pulmonal
Suara keras pada penutupan katup pulmonal dapat terdengar pasien
dengan hipertensi pulmonal yang belum jelas. Maka dapat juga
terdengar sistolik murmur pada regurgitasi trikuspid. Jika terdapat
hipertrofi ventrikel kanan, ventrikel kanan mungkin sudah dapat
dipalpasi. Disfungsi sistolik pada ventrikel kanan dapat ditemukan
hepatomegali, edema perifer dan asites.16

4.8. Pemeriksaan Penunjang

1. Elektrokardiografi (EKG)
Irama dapat sinus atau atrial fibrilasi. Terlihat adanya gelombang P
atau P mitral pada lead II dan III dengan atau tanpa adanya gelombang
P biphasic pada lead V1 yang mencerminkan adanya pembesaran
atrium kiri (Left Atrial Enlargement). Jika terdapat pembesaran ventrikel
kanan dan gagal jantung kanan, dapat terlihat sebagai deviasi aksis
kiri, inkomplit right bundle branch block dan R yang tinggi pada V 2 atau
S yang dalam pada lead V6. Pembesaran atrium kanan ditemukan

dengan tingginya amplitudo > 2,5 mm pada gelombang P di lead II.


2. Pemeriksaan Foto Toraks
Gambaran klasik dari foto toraks adalah pembesaran atrium kiri serta
pembesaran arteri pulmonalis (terdapat hubungan yang bermakna
antara besarnya pembuluh darah dan resistensi vaskular pulmonal).
Edema intersisial berupa garis kerley terdapat pada 30% pasien
dengan tekanan atrium < 20 mmHg, pada 70% bila tekanan atrium kiri

> 20 mmHg.
3. Ekokardiografi Droppler
Ekokardiografi merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan
spesifik untuk diagnosis stenosis mitral. Dengan ekokardiografi dapat
dilakukan evaluasi struktur dari katup, pliabilitas dari daun katup,
ukuran dari area katup dengan planimetri (mitral valve area) struktur
dari aparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi ventrikel.
Sedangkan dengan doppler dapat ditentukan gradien dari mitral, serta
ukuran dari area mitral dengan cara mengukur pressure half time
terutama bila struktur katup sedemikian jelek karena kalsifikasi,
sehingga pengukuran dengan planimetri tidak dimungkinkan. Selain
daripada itu dapat diketahui juga adanya regurgitasi mitral sering
menyertai stenosis mitral. Derajat berat ringannya stenosis mitral
berdasarkan

eko

doppler

ditentukan

antara

lain

oleh

gradien

transmitral, area katup mitral, serta besarnya tekanan pulmonal.


4. Katerisasi
Sebelum adanya ekokardiografi, katerisasi merupakan standar baku
untuk

diagnosis

dan

menentukan

berat

ringan

stenosis

mitral.

Walaupun demikian pada keadaan tertentu masih dikerjakan setelah


suatu prosedut eko yang lengkap. Saat ini katerisasi dipergunakan

secara primer untuk suatu prosedur pengobatan intervensi non bedah


yaitu valvulotomi dengan balon.
-

16, 17

4.9. Tatalaksana

Modifikasi Gaya Hidup (Lifestyle)


- Pasien dengan stenosis mitral derajat

sedang

sampai

berat

seharusnya dianjurkan untuk menghindari aktivitas yang berat dan


dengan demikian dapat mengurangi risiko takikardia. Pasien juga
seharusnya diberitahu untuk mengkonsumsi diet rendah garam untuk
menghindari retensi cairan dan pencegahan terjadinya dari edema
paru.
Medikamentosa
1. Pencegahan Sekunder Demam Rematik
Sejak demam rematik rekuren dihubungkan

dengan

progesifitas dari stenosis mitral, pencegahan sekunder dengan


terapi antimikroba direkomendasikan dan durasi terapi berdasarkan
usia setiap individual, tingkat awal keterkaitan dengan jantung, dan
risiko infeksi rekuren. Benzathine penisilin G intramuskular (1,2 juta
unit setiap 4 minggu) direkomendasikan pada banyak kasus.
2. Fibrilasi Atrium
Prevalensi 30-40%, akan muncul akibat hemodinamik yang
bermakna karena hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian
ventrikel serta frekuensi ventrikel yang cepat. Pada keadaan ini
pemakaian digitalis merupakan indikasi, dapat dikombinasikan
dengan penyekat beta atau antagonis kalsium. Penyekat beta atau
anti aritmia juga dapat dipakai untuk mengontrol frekuensi jantung,
atau keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya fibrilasi atrium
paroksismal.
3. Pencegahan Embolisasi Sistemik
Antikoagulan warfarin sebaiknya dipakai pada stenosis mitral
dengan fibrilasi atrium atau irama sinus dengan kecenderungan
pembentukan trombus untuk mencegah fenomena tromboemboli.
4. Gagal Jantung Kongestif
Pemberian diuretik dikombinasikan dengan retriksi garam
digunakan untuk mengobati edema paru. Dalam pengontrolan
gagal

jantung

vasodilator.

kanan

secara

bersamaan

dapat

ditambahkan

Terapi Intervensional
- Terapi mekanikal harus dipertimbangkan ketika area katup mitral <
1,5 cm2 atau ketika indeks katup mitral < 0,6 cm 2/m2. Sebagai
tambahan gejala pada gagal jantung kongestif NYHA kelas III/IV yang
sulit disembuhkan dengan medikamentosa yang optimal, intervensi
invasif seharusnya dapat dipertimbangkan.
1. Valvotomi Mitral Balon Perkutan (Balloon Mitral Valvotomy
Percutan)
Valvotmi balon perkutan dipersiapkan untuk individu dengan
kelenturan katup dengan kalsifikasi minimal dan adanya regurgitasi
mitral atau tidak dan dapat dipertimbangkan pada individu dengan
kandidat operasi yang jelek dengan morfologi katup buruk. Ini juga
dapat digunakan secara aman pada ibu hamil. Penilaian mengenai
sesuai tidaknya untuk dilakukan tindakan ini salah satunya dengan
penilaian

skor

Wilkins

dengan

menggunakan

ekokardiografi.

Parameter skoring ini meliputi penilaian dalam hal gerakan katup,


ketebalan katup, derajat kalsifikasi katup dan derajat fusi kordae
katup mitral. Skor maksimal adalah 16 dengan nilai <8 berarti
angka keberhasilan baik, sedangkan skor >10 menunjukkan angka
keberhasilan yang kurang baik. Komplikasi yang paling ditakuti dari
tindakan ini adalah regurgitasi mitral yang berat, yang terjadi 210% kasus ketika katup terkalsifikasi berat robek.

Gambar 5. Skor Wilkins

Gambar 6. Valvotomi Mitral Balon Perkutan


2. Operasi Komisurotomi (Commissurotomy Surgical)
-

Operasi komisurotomi dapat dilakukan dengan cara terbuka

dan tertutup. Angka mortalitas operasi ini sekitar 2-5% pada


sebagian perbaikan dan penggantian katup mitral. Dibandingkan
dengan intervensi perkutan, operasi ini dikaitkan dengan angka
morbiditas yang tinggi, rawat inap yang lama, dan lamanya
penyembuhan.
3. Penggantian Katup Mitral (Mitral Valve Replacement)
Jika katup mitral terkalsifikasi dengan berat atau komisurotomi
tidak dapat meningkatkan orifisium area mitral dengan cukup,
penggantian katup mitral merupakan suatu indikasi. Skor Wilkins
dengan < 8 dan setidaknya regurgitasi mitral derajat sedang
merupakan risiko faktor yang indipenden untuk dilakukannya
operasi setelah valvotomi balon. Pemilihan katup bioprostetik
dengan katup mekanik berdasarkan pada usia pasien, adanya
kondisi kormobiditas, dan kemampuan untuk patuh dengan terapi
oral antikoagulan. Katup mekanik disediakan pada pasien usia
muda untuk menghindari percepatan kalsifikasi katup bioprostetik,
khususnya seseorang yang ketergantungan hemodialisa. Pada
perempuan dalam usia subur untuk keinginan hamil, katup
bioprostetik selalu dipilih untuk menghindari embriopati yang
diinduksi oleh warfarin.16, 17

Gambar 6. Katup Bioprostetik

Gambar 8. Katup Mekanikal


4.10. Prognosis
Prognosis dari stenosis mitral yang belum diperbaiki sangat

berhubungan dengan kelas NYHA gagal jantung kongestif pada saat


diagnosis. Angka mortalitas 10 tahun pada pasien yang asimtomatik
berkisar < 20%. Pasien dengan NYHA kelas II dan III mempunyai angka
mortalitas 40%, dan pasien dengan NYHA kelas IV mendekati angka 8085%. Berkisar 60-70% pada pasien dengan stenosis mitral derajat berat
meninggal

karena

gagal

jantung

kongestif,

20-30%

karena

tromboembolisme sistemik, dan 1-5% karena infeksi. Apabila timbul


fibrilasi atrium prognosisnya kurang baik (25% angka harapan hidup 10
tahun) dibandingkan pada kelompok irama sinus (46% angka harapan
hidup 10 tahun). Risiko terjadinya emboli arterial secara bermakna
meningkat pada fibrilasi atrium.16, 17
-

KESIMPULAN

sebagai

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung


pompa

tidak

mampu

memenuhi

kebutuhan

darah

untuk

metabolisme jaringan. Definisi gagal yaitu relatif terhadap kebutuhan


metabolik tubuh, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa
jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik
pada fungsi miokardium, gagal miokardium umumnya mengakibatkan
gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda
atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam
fungsi pompanya.
-

Dari kasus kali ini diagnosis fungsional yaitu CHF. Hal didasarkan
pada kriteria Framingham

minimal satu

kriteria minor yaitu:

Kriteria mayor:
1. Paroksismal nocturnal dispneu

kriteria mayor dan dua

2. Distensi vena leher


3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop s3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular

Kriteria minor:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital
7. Takikardi (> 120 x/menit)

Pada pasien ini didapatkan dua kriteria mayor. Pertama terdapatnya


paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua,dari hasil
pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran
jantung. Hal yang sama juga didapatkan dari hasil rontgen yang
menyatakan bahwa pada pasien terdapat kardiomegali. Sedangkan
untuk kriteria minor didapatkan terdapatnya dispnue deffort dan batuk
kering pada malam hari yang didapatkan dari hasil anamnesis. Oleh
karena itu pada pasien ini kami simpulkan diagnosis fungsionalnya
adalah CHF.

Diagnosis etiologi yaitu RHD (Rheumatic Heart Disease). Diagnosis


ini ditegakkan berdasarkan kriteria Jones yang dimodifkasi oleh AHA,
yaitu:

1.
2.
3.
4.
5.

Kriteria mayor:

poliartritis
karditis
korea
nodul subkutaneus
eritema marginatum

- Kriteria minor:
1. klinis: suhu tinggi
2. sakit sendi : atralgia
3. riwayat pernah menderita DR/PJR
-

Dari kriteria di atas, ditemukan kriteria mayor yaitu karditis dimana


ditemukannya bising sistolik pada katup jantung dan os mengeluh
dadanya berdebar-debar. Untuk kriteria minor ditemukan adanya nyeri
pada persendian yang berpindah-pindah. Mulai dari persendian pada
lutut, bahu dan siku. Kriteria minor kedua yaitu pasien sering
mengalami demam tinggi yang hilang timbul, flu, dan batuk yang
berulang-ulang sejak kecil. Dari gejala di atas dapat ditegakkan
diagnosis bahwa pasien menderita RHD.
-

Diagnosis anatomi ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik

di mana pada auskultasi jantung terdengar sistolik murmur pada katup


mitral jantung yang disebabkan adanya regurgitasi katup mitral.
-

Gejala klasik pada stenosis mitral adalah dispnea dan cepat

lelah selama aktivitas atau dalam keadaan yang membuat sinus takikardi
seperti hipertiroidisme, hipovolemia, anemia, demam, stress emosional,
kehamilan, dan paparan agen simpatomimetik. Pada perjalanan penyakit
yang sudah parah dapat mengeluhkan sesak nafas saat istirahat. Pasien
yang cenderung mengembangkan atrial fibrilasi dan hilangnya kontraksi
atrium dan disinkronisasi dengan kontraksi ventrikel kiri selama setiap
siklus jantung dapat memperburuk sesak nafas saat aktivitas atau bahkan
istirahat, terutama pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.
-

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, Arief. Kapita Selekta Kedokteran 1. Jakarta: EGC. 2001


2. Kabo & Karim. EKG dan Penanggulangan beberapa Penyakit Jantung
untuk Dokter Umum. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002
3. Bare BG., Smeltzer SC. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC. 2001
4. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009.

5. Weil-Olivier

C.

Rheumatic

Fever.

[internet].

Available

http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-RF.pdf. 2004.
6. Kisworo.
Demam
Rematik.
[internet].
Available

from
from

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09DemamRematik116.pdf/09De
mamRematik116.pdf . 1997.
7. Behrman, Klegman, Arvin. Rheumatic Fever in: Nelson Text Book of
Pediatrics, 17th edition. USA. 2006
8. Chin TK. Pediatric Rheumatic Fever. [internet]. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview . 2010
9. Manurung, D. Penyakit jantung valvular, penyakit katup mitral dan
tricuspid. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam ed.2. 1991.
10.

M. Yusak. Insuffiensiensi mitral. Dalam: Buku ajar Kardiologi.

Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1996.


11.

Sokolow M. Valvular hearth disease in clinical cardiology ed. 6.

Lange. 1993.
12.

Schlant, RC. Mitral valve disease. In: The hearth. Ed.8. 1990.

13.

Saenz A. Hopkins C. Valvular hearth disease. In: Quick

reference to cardiovascular disease. Terjemahan: Petrus Andrianto.


EGC. Jakarta. 1995.
14.

Goldstein

JA.

Valvular

hearth

disease.

In:

Essential

of

Cardiovascular medicine. Ed.1.Physician.1994.


15.

Braunwald, E. Valvular hearth disease In: Horrisons principles

of internal medicine. McGraw Hill. 1991.


16.

Elizabeth D. Mitral Stenosis. Dalam: Crawford MH. Current

Diagnosis and Treatment Cardiology. Edisi ke-4. New York: McGrawHill Education, 2014. Hal 425-46
17.
Indrajaya T, Ali G. Stenosis Mitral. Dalam: Setiati S, Alwi Idrus,
Aru WS, Marcellus SK, Bambang S, Ari FS. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing, 2014. Hal 117179
18.

Kuncoro Ario S. Pemeriksaan Stenosis Mitral Akibat Proses

Rheumatik Dengan Ekokardiografi. Jurnal Kardiologi Indonesia. 2010;


31: Hal 62-65
19.
Neema PK. Pathophysiology of Mitral Valve Stenosis. MAMC
Journal of Medicine Sciences. 2015; 1: Hal 25-27

20.

Dinati, Lucia Kris & Suciadi, Leonardo Paskah. Stratifikasi

Risiko dan Strategi Manajemen Pasien dengan Fibrilasi Atrium.


Majalah Kedokteran Indonesia. 2009.
21.
PERHIMPUNAN
DOKTER
SPESIALIS

KARDIOVASKULAR

INDONESIA. PEDOMAN TATA LAKSANA FIBRILASI ATRIUM. Penerbit:


Centra Communications. 2014.
22. Yansen, Ignatius & Yuniadi, Yoga. Tata Laksana Fibrilasi Atrium:
Kontrol Irama atau Laju Jantung. Jakarta. 2013.

Вам также может понравиться