Вы находитесь на странице: 1из 16

GEOGRAFI BAB 2

Oleh : Galang Ihsan R


Kelas : XI IPS 3/11
TARIAN TRADISIONAL

Tari Baksa Kembang

Tari Baksa Kembang termasuk jenis tari klasik, yang hidup dan
berkembang di keraton Banjar, yang ditarikan oleh putri-putri keraton.
Lambat laun tarian ini menyebar ke rakyat Banjar dengan penarinya
galuh-galuh Banjar. Tarian ini dipertunjukkan untuk menghibur keluarga
keraton dan menyambut tamu agung seperti raja atau pangeran . Setelah
tarian ini memasyarakat di Tanah Banjar, berfungsi untuk menyambut
tamu pejabat-pejabat negara dalam perayaan hari-hari besar daerah atau
nasional. Disamping itu pula tarian Baksa Kembang dipertunjukkan pada
perayaan pengantin Banjar atau hajatan misalnya tuan rumah
mengadakan selamatan. Tarian ini memakai hand propertis sepasang
kembang Bogam yaitu rangkaian kembang mawar, melati, kantil dan
kenanga. Kembang bogan ini akan dihadiahkan kepada tamu pejabat dan
isteri, setelah taraian ini selesai ditarikan.

Sebagai gambaran ringkas, tarian ini menggambarkan putri-putri remaja


yang cantik sedang bermain-main di taman bunga. Mereka memetik
beberapa bunga kemudian dirangkai menjadi kembang bogam kemudian
kembang bogam ini mereka bawa bergembira ria sambil menari dengan
gemulai. Tari Baksa Kembang memakai Mahkota bernama Gajah Gemuling
yang ditatah oleh kembang goyang, sepasang kembang bogam ukuran
kecil yang diletakkan pada mahkota dan seuntai anyaman dari daun
kelapa muda bernama halilipan.

Tari Baksa Kembang biasanya ditarikan oleh sejumlah hitungan ganjil


misalnya satu orang, tiga orang, lima orang dan seterusnya. Dan tarian ini
diiringi seperangkat tetabuhan atau gamelan dengan irama lagu yang
sudah baku yaitu lagu Ayakan dan Janklong atau Kambang Muni.
Tarian Baksa Kembang ini di dalam masyarakat Banjar ada beberapa
versi , ini terjadi setiap keturunan mempunya gaya tersendiri namun
masih satu ciri khas sebagai tarian Baksa Kembang, seperti Lagureh,
Tapung Tali, Kijik, Jumanang. Pada tahun 1990-an, Taman Budaya
Kalimantan Selatan berinisiaf mengumpul pelatih-pelatih tari Baksa
Kembang dari segala versi untuk menjadikan satu Tari Baksa Kembang
yang baku. Setelah ada kesepakatan, maka diadakanlah workshoup Tari
Baksa Kembanag dengan pesertanya perwakilan dari daerah Kabupaten
dan Kota se Kalimantan Selatan. Walau pun masih ada yang menarikan
Tari Baksa Kembang versi yang ada namun hanya berkisar pada keluarga
atau lokal, tetapi dalam lomba, festival atau misi kesenian keluar dari
Kalimantan Selatan harus menarikan tarian yang sudah
dibakukan.SUMBER: Lembaga Pendidikan Tari Sanggar Kambang Tigarun
Banjarbaru Kalsel.

TARI RADAP RAHAYU

Asal muasal Tari Radap Rahayu adalah ketika Kapal Perabu Yaksa yang
ditumpangi Patih Lambung Mangkurat yang pulang lawatan dari Kerajaan
Majapahit, ketika sampai di Muara Mantuil dan akan memasuki Sungai
Barito, kapal Perabu Yaksa kandas di tengah jalan. Perahu menjadi oleng
dan nyaris terbalik. Melihat ini, Patih Lambung Mangkurat lalu memuja
Bantam yakni meminta pertolongan pada Yang Maha kuasa agar kapal
dapat diselamatkan. Tak lama dari angkasa turunlah tujuh bidadari ke atas
kapal kemudian mengadakan upacara beradap-radap. Akhirnya kapal
tersebut kembali normal dan tujuh bidadari tersebut kembali ke
Kayangan. Kapal melanjutkan pulang ke Kerajaan Dwipa. Dari cerita ini
lahirlah Tari Radap Rahayu ( anonim ). Tarian ini sangat terkenal di
Kerajaan Banjar karena dipentaskan setiap acara penobatan raja serta
pembesar-pembesar kerajaan dan juga sebagai tarian penyambut tamu
kehormatan yang datang ke Banua Banjar, upacara perkawinan, dan
upacara memalas banua sebagai tapung tawar untuk keselamatan. Tarian
ini termasuk jenis tari klasik Banjar dan bersifat sakral.Dalam tarian ini
diperlihatkan para bidadari dari kayangan turun ke bumi untuk
memberikan doa restu serta keselamatan . Gerak ini diperlihatkan pada
gerakan awal serta akhir tari dengan gerak terbang layang. Sayair lagu
Tari Radap Rahayu diselingi dengan sebuah nyanyian yang isi syairnya
mengundang makhluk-makhluk halus ( bidadari ) ketika ragam gerak
Tapung Tawar, untuk turun ke bumi. Jumlah penari Radap Rahayu selalu
menunjukkan bilangan ganjil, yaitu : 1,3,5,7 dan seterusnya. Tata Busana
telah baku yaitu baju layang. Hiasan rambut mengggunakan untaian
kembang bogam. Selendang berperan untuk melukiskan seorang bidadari,
disertai cupu sebagai tempat beras kuning dan bunga rampai untuk doa
restu dibawa para penari di tangan kiri. Seiring lenyapnya Kerajaan
Dwipa, lenyap juga Tari Radap Rahayu. Tarian tersebut kembali digubah
oleh seniman Kerajaan Banjar bernama Pangeran Hidayatullah. Namun
kembali terlupakan ketika berkecamuknya perang Banjar mengusir
penjajah Belanda. Pada tahun 1955 oleh seorang Budayawan bernama
Kiayi Amir Hasan Bondan membangkitkan kembali melalui Kelompok Tari
yang didirikannya bernama PERPEKINDO ( Perintis Peradaban dan
Kebudayaan Indonesia) yang berkedudukan di Banjarmasin. Sampai saat
ini PERPEKINDO masih aktif mengembangkan dan melestarikan Tari Radap
Rahayu.

UPACARA ADAT

Upacara Adat Aruh Baharin

Lima balian (tokoh adat) yang memimpin upacara ritual ,berlari kecil
sambil membunyikan gelang hiang (gelang terbuat dari tembaga
kuningan) mengelilingi salah satu tempat pemujaan sambil membaca
mantra, Dihadiri warga Dayak sekitarnya.
Prosesi adat ini dikenal dengan Aruh Baharin, pesta syukuran yang
dilakukan gabungan keluarga besar yang berhasil panen padi di
pahumaan (perladangan) . Upacara Adat Aruh Baharin, Pesta yang
berlangsung tujuh hari itu terasa sakral karena para balian yang
seluruhnya delapan orang itu setiap malam menggelar prosesi ritual
pemanggilan roh leluhur untuk ikut hadir dalam pesta tersebut dan
menikmati sesaji yang dipersembahkan.

Upacara Adat Aruh Baharin, Prosesi berlangsung pada empat tempat


pemujaan di balai yang dibangun sekitar 10 meter x 10 meter. Prosesi
puncak dari ritual ini terjadi pada malam ketiga hingga keenam di mana
para balian melakukan proses batandik (menari) mengelilingi tempat
pemujaan. Para balian seperti kerasukan saat batandik terus berlangsung
hingga larut malam dengan diiringi bunyi gamelan dan gong.

Untuk ritual pembuka, disebut Balai Tumarang di mana pemanggilan roh


sejumlah raja, termasuk beberapa raja Jawa, yang pernah memiliki
kekuasaan hingga ke daerah mereka.

Selanjutnya, melakukan ritual Sampan Dulang atau Kelong. Ritual ini


memanggil leluhur Dayak, yakni Balian Jaya yang dikenal dengan sebutan
Nini Uri. Berikutnya, Hyang Lembang, ini proses ritual terkait dengan raja-
raja dari Kerajaan Banjar masa lampau.

Para balian itu kemudian juga melakukan ritual penghormatan Ritual


Dewata, yakni mengisahkan kembali Datu Mangku Raksa Jaya bertapa
sehingga mampu menembus alam dewa. Sedangkan menyangkut kejayaan
para raja Dayak yang mampu memimpin sembilan benua atau pulau
dilakukan dalam prosesi Hyang Dusun.

Pada ritual-ritual tersebut, prosesi yang paling ditunggu warga adalah


penyembelihan kerbau. Kali ini ada 5 kerbau. Berbeda dengan
permukiman Dayak lainnya yang biasa hewan utama kurban atau sesaji
pada ritual adat adalah babi, di desa ini justru hadangan atau kerbau.

warga dan anak-anak berebut mengambil sebagian darah hewan itu


kemudian memoleskannya ke masing-masing badan mereka karena
percaya bisa membawa keselamatan. Daging kerbau itu menjadi santapan
utama dalam pesta padi tersebut.

Baras hanyar (beras hasil panen) belum bisa dimakan sebelum dilakukan
Aruh Baharin. Ibaratnya, pesta ini kami bayar zakat seperti dalam Islam,
kata Narang.

Sedangkan sebagian daging dimasukkan ke dalam miniatur kapal naga


dan rumah adat serta beberapa ancak (tempat sesajian) yang diarak balia
untuk disajikan kepada dewa dan leluhur.Menjelang akhir ritual, para
balian kembali memberkati semua sesaji yang isinya antara lain ayam,
ikan bakar, bermacam kue, batang tanaman, lemang, dan telur. Ada juga
penghitungan jumlah uang logam yang diberikan warga sebagai bentuk
pembayaran pajak kepada leluhur yang telah memberi mereka rezeki.

Selanjutnya, semua anggota keluarga yang menyelenggarakan ritual


tersebut diminta meludahi beberapa batang tanaman yang diikat menjadi
satu seraya dilakukan pemberkatan oleh para balian. Ritual ini merupakan
simbol membuang segala yang buruk dan kesialan.

Akhirnya sesaji dihanyutkan di Sungai Balangan yang melewati kampung


itu. Bagi masyarakat Dayak, ritual ini adalah ungkapan syukur dan
harapan agar musim tanam berikut panen padi berhasil baik.

lokasi terletak sekitar 250 kilometer utara Banjarmasin ,Desa Kapul,


Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. (Aruh
Baharin, Pesta Padi Dayak Halong kompas.com)

RUMAH ADAT

Rumah Adat Banjar


Mendengar nama rumah Bubungan Tinggi, Anda juga harus siap dengan
istilah rumah Banjar/Rumah Ba'anjung. Keduanya merujuk pada
rumah adat Kalimantan Selatan. Disebut rumah Banjar, sebab memang
mayoritas suku di Kalimantan Selatan adalah suku Banjar. Rumah yang
mereka diami ini tersebar di seluruh wilayah Kalimantan Selatan. Oleh
sebab itu ia dinobatkan sebagai rumah adat provinsi tersebut. Adapun
istilah Rumah Bubungan Tinggi mengacu pada bentuk rumah adat itu
sendiri yang memang bagian atamnya tinggi dan lancip hingga
membentuk sudut 45 derajat.

Konon kabarnya, rumah adat Kalimantan Selatan ini sudah ada sejak abad
16, tepatnya pada masa pemerintahan Pangeran Samudera atau yang
dikenal juga dengan nama Sultan Suriansyah. Di awal masa
pembuatannya, rumah adat Banjar ini dilengkapi dengan konstruksi
sedrhana berbentuk segi-empat yang cenderung memanjang dari depan
ke balakang. Namun, seiring berjalannya waktu, rumah adat Banjar ini
kemudian dimodifikasi sesuai kebutuhan si pemilik dengan menambahkan
bagian rumah di samping kiri dan kanan. Adapun istilah yang digunakan
untuk rumah adat Banjar yang ditambahkan bagian tertentu tersebut
adalah disumbi. Padamulanya, rumah adat Banjar ini hanya bisa
dijumpai di lingkungan kraton Banjar. Namun lama kelamaan, kita
masyarakat juga turut membangun rumah dengan mengadopsi bangunan
di lingkungan istana tersebut hingga persebarannya hampir merata
bahkan hingga ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Sama seperti rumah adat lainnya, pembuatan rumah adat Banjar juga
tidak sembarangan utamanya konstruksi fiksik rumah. Bahan-bahan yang
digunakan berpadu dengan kepercayaan yang dianut serta faktor fisik
tanah di wilayah kerajaan Banjar saat itu. Penjelasan detilnya sebagai
berikut:

Pondasi, tiang juga tongkat pada rumah Banjar haruslah tinggi sebab
tanah Banjar dahulu cenderung berawa. Kayu yang digunakan idealnya
adalah kayu Galam atau yang disebut juga dengan nama Kayu Kapur
Naga.

Kerangka rumah pada rumah Banjar memakai ukuran tradisional depa


yang ganjil sebab dipercaya memiliki unsur magis dan sakral. Bagian
tersebut antara lain susuk yang terbuat dari kayu ulin, Gelagar yang
terbuat dari belangiran juga dammar putih, lantai yang disusun dari papan
kayu ulin dengan ketebalan 3 cm, rangka pintu juga jendela yang terbuat
dari papan juga balokan kayu ulin dan lain-lain.

Bagian lantai pada rumah adat Banjar ini dikenal juga dengan istilah
Lantai Jarang. Ia umumnya terletak di Surambi Muka, Ruang Padu dan
juga Anjung Jurai.

Dinding rumah Banjar disusun dengan posisi papan berdiri dengan


demikian dibutuhkan Balabad dan juga Turus Tawing agar bisa menempel.

Atap pada rumah Banjar merupakan signatur yang paling menonjol. Atap
ini merupakan perlambang kekuasaan. Ia dibuat membumbung tinggi ke
langit.

Sama seperti rumah adat lainnya di Nusantara, rumah adat Kalimantan


Selatan ini juga menyimpan sistem nilai tersendiri. Dahulu, Suku Dayak
yang telah memeluk islamlah yang kemudian dikenal dengan nama Suku
Banjar. Oleh karena itu, pengaruh agama islam pada rumah suku ini cukup
kental. Simak saja pada ukiran di badan rumah yang melambangkan
persaudaraan, kesuburan dan persatuan. Jika Anda jeli, Anda juga bisa
menjumpai ukiran kalimat Syahadat, Salawat, nama-nama Khalifah serta
potongan ayat Al-quran pada bagian tertentu dari rumah Banjar. Meski
demikian, bukan hal yang mustahil bagi kita untuk menjumpai rumah
Banjar dengan pengaruh agama Hindu dan Buddha yang masih kental.

Selain nilai-nilai islami, pada rumah Banjar juga masih dijumpai nilai
filosofis, antara lain:

Dwitunggal semesta, yakni kepercayaan bahwa rumah adalah tempat yang


sakral sebab dewata juga ikut tinggal mendiami tempat tersebut. Meski
samar, namun unsur-unsur ini masih teraca dengan jelas. Silahkan saja
simak keberadaan ukiran naga yang samar-samar pada badan rumah. Ia
merupakan perlambang alam bawah. Sementar itu, ukiran burung
Enggang Gading melambangkan alam atas.

Pohon hayat. Rumah Banjar identik dengan atapnya yang membumbung


tinggi. Ia merupakan perlambang pohon Hayat yang menjulang ke langit.
Pohon Hayat sendiri adalah simbol kosmis yakni cerminan dari berbagai
dimensi yang menyatukan semesta.

Payung. Secara sepintas, atap pada rumah adat Kalimantan Selatan ini
juga mirip paying. Dahulu, paying dianggap sebagai simbol orientasi
kekuasaan. Ia juga merupakan perlambang kebangsawanan. Dahulu,
payung kuning bahkan dianggap sebagai salah satu perangkat kerajaan
yang tak boleh hilang dalam berbagai acara adat.

Simetris. Ini merupakan perlambang dari kehidupan yang seimbang.


Rumah Banjar dibuat simetris untuk menunjukan sistem pemerintahan
kerajaan Banjar yang seimbang.

Kepala-Badan-Kaki. Adapun bentuk dari rumah Banjar atau rumah


Bubungan Tinggi menggambarkan manusia yang dibagi ke dalam 3 bagian
besar yakni kepala, badan dan kaki. Adapun bagian anjungan sebelah
kanan dan kiri mewakili bagian tangan kanan dan kiri manusia.

Tata Ruang. Rumah adat Bubungan Tinggi khususnya dalam lingkup


kerajaan dibagi ke dalam beberapa bagian. Salah satu bagiannya adalah
ruangan semi publik yakni serambi atau yang dalam ejaan lokal disebut
Surambi. Ruangan ini berjenjang dengan kronologis pertama surmabi
muka, surambi sambutan dan surambi pamedangan yang berbatasan
langdung dengan pintu utama rumah (Lawang Hadapan). Memasuki
bagian rumah adat, akan dijumpai juga hirearkis yang sama yakni adanya
lantai yang berjenjang antara lain Penampik Kecil, Penampik Tengah dan
Penampuk Besar. Masing-masing lantai ini mencerminkan status sosial di
Banjar pada masanya. Hiriarkis ini merupakan lambang tata karma yang
kental.

Tawing Halat. Dalam rumah adat Kalimantan Selatan ini Anda juga bisa
menjumpai Tawing Halat atau dinding pemisah yang membagi dua
ruangan semi private dan privat. Hal ini dimaksudkan agar raja bisa
melihat dengan jelas tetamunya sedangkan tamu hanya bisa menerka
keadaan raja di ruang semi privat tersebut.

Denah Cacak Burung. Merupakan denah pada rumah Banjar yang


membentuk simbol tambah (+). Ia merupakan potongan poros-poros
bangunan arah muka menuju belakang serta arah kanan menuju kiri. Jika
dikaji, pola ini sama dengan Cacak Burung yang memang dianggap sacral.
PAKAIAN ADAT

Pakaian Adat Pengantin Banjar "BAGAJAH GAMULING BAULAR LULUT"

Suku Banjar di Kalimantan Selatan terdiri dari tiga subetnis berbeda,


yakni Pahuluan, Batang Banyu, dan Kuala. Ketiga subetnis ini disebut
dengan orang Banua dan dikenal memiliki kreasi kebudayaan yang unik
dan penuh makna, salah satunya tercermin dalam busana adat pengantin
(Samani dkk, 2005; Depdikbud Nasional, 1985/1986). Baik di kampung
maupun di kota, busana adat pengantin Banjar masih digunakan dalam
perhelatan pernikahan mereka. Meskipun busana adat tersebut telah
mengalami penambahan mode dan assesoris, namun realitas ini
mencerminkan bahwa orang Banjar masih peduli dalam menjaga tradisi
leluhur mereka.

Menurut sejarahnya, secara umum busana adat pengantin Banjar terdiri


dari tiga jenis, yaitu bagajah gamuling baular lulut, baamar galung
pancaran matahari, dan babajukun galung pacinan. Akan tetapi secara
khusus, sebagian orang menyebut ada empat jenis, yaitu dengan
tambahan babaju kubaya panjang. Busana jenis keempat ini merupakan
perkembangan busana adat pengantin Banjar di era modern, dan biasanya
dengan tambahan jilbab untuk pengantin perempuannya (Kawang Yoedha,
tanpa tahun; Depdikbud Nasional, 1985/1986).

Ketiga jenis busana adat pengantin ini memiliki asal-usul perbedaan yang
jauh, baik dari sisi wujud, assesoris, warna, tata cara pemakaian, maupun
makna simbolnya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan terciptanya
ketiga busana tersebut. Terlepas dari kontroversi yang ada, perbedaan-
perbedaan ini menunjukkan bahwa leluhur Banjar memiliki daya cipta
yang kaya. Busana adat pengantin Banjar menjadi ciri identitas
kebudayaan orang Banjar yang berkepribadian terbuka terhadap
perkembangan zaman (Depdikbud Nasional, 1985/1986; Samani dkk,
2005).

Busana adat pengantin jenis bagajah gamuling baular lulut menurut


sejarah diciptakan leluhur Banjar sekitar abad ke 15-16 M (Masehi) dan
diangggap sebagai busana adat pengantin yang pertama. Busana adat
jenis ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu yang tercermin dari
pengantin laki-laki yang hanya bertelanjang dada. Busana jenis yang sama
juga dapat dilihat dari daerah Jawa, Bali, Dayak, atau Lombok. Dalam
sejarahnya, daerah-daerah tersebut juga mendapatkan pengaruhi
kebudayaan Hindu (Kawang Yoedha, tanpa tahun; Idwar Saleh, 1958).

Berbeda dengan jenis yang pertama, busana adat pengantin jenis baamar
galung pancaran matahari, dipercaya telah diciptakan oleh leluhur Banjar
pada abad ke 17-18 M. Busana pengantin jenis ini dipercaya sebagai
busana Banjar kedua yang dipengaruhi kebudayaan Hindu dan Islam. Hal
ini dikarenakan pada abad tersebut Islam mulai masuk ke wilayah Banjar
(Kawang Yoedha, tanpa tahun; Alfani Daud, 1997; Idwar Saleh, 1958; Tim
Haeda, 2009).
Sementara itu, busana adat pengantin jenis babajukun galung pacinan
dipercaya telah tercipta pada abad ke 19 M. Busana jenis ketiga ini
dipengaruhi oleh budaya Arab dan Tiongkok, hal ini terlihat dari wujud
busana dan nama pacinan. Pada abad tersebut, suku Arab dan Cina
banyak bermukim di Banjar dan berbaur dengan masyarakat asli Banjar.
Dalam kehdiupan bermasyarakat terjadi akulturasi perilaku diantara
sesama penduduk Banjar (Kawang Yoedha, tanpa tahun; Alfani Daud,
1997; Idwar Saleh, 1958).

Dari semua jenis busana adat pengantin Banjar di atas, jenis baamar
galung pancaran matahari adalah yang paling populer dan digemari
masyarakat, karena wujudnya yang tampak mewah dan wibawa jika
dipakai, apalagi saat ini sudah dimodifikasi dengan tambahan assesoris
modern, seperti mahkota yang dibuat mewah. Meskipun demikian, sebuah
keluarga Banjar yang akan menggelar pernikahan, biasanya akan memilih
salah satu dari tiga jenis busana tersebut (Kawang Yoedha, tanpa tahun).

Pemilihan busana biasanya didasarkan pada kesukaan, biaya yang mereka


mampu, serta pola pikir mereka (ada yang mau sederhana dan ada yang
mau mengkikuti adat seluruhnya). Menurut para perias, pemilihan ini
dapat terjadi karena perbedaan selera masyarakat. Selain itu, hal ini
justru memudahkan orang Banjar yang ingin menikah, karena mereka
memiliki banyak pilihan busana adat yang bagus-bagus dan bersahaja
(Samani dkk, 2005).

Nilai-nilai

Keunikan dan keanggunan busana adat pengantin Banjar, Kalimantan


Selatan, sarat akan nilai-nilai penting dalam kehidupan orang Banjar,
antara lain:

1. Simbol. Nilai ini tampak dari beragam hiasan yang memenuhi tiga
jenis busana adat pengantin Banjar. Simbol ular naga pada mahkota
misalnya, dianggap orang Banjar sebagai simbol tingginya derajat
pemakainya, karena naga dipercaya sebagai raja ular. Ular lidi
menyimbolkan kecerdikan namun tetap rendah hati. Burung garuda
paksi sedang terbang melayang menyimbolkan ketangkasan. Bunga
mawar melambangkan keberanian, melati melambangkan kesucian,
dan melati yang kuncup melambangkan bahwa pengantin
perempuan masih gadis (perawan). Sementara itu, binatang
halilipan melambangkan sifat rendah hati, jujur, tidak akan
mengganggu orang lain kecuali jika diganggu lebih dahulu. Semua
simbol-simbol ini dimaksudkan agar kedua mempelai (juga semua
orang) mengambil maknanya lalu mengaplikasikan pada dirinya.
2. Seni. Nilai ini tercermin jelas dari wujud ketiga busana adat
pengantin yang diciptakan begitu indah dan detil. Sebuah hasil
karya yang indah, detil, dan terlihat mewah tentunya membutuhkan
kreatifitas seni yang tinggi, tanpa itu semua, maka busana-busana
tersebut tidak akan menjadi busana adat. Nilai seni ini juga terlihat
dari beragam hiasan yang menempel pada busana, mahkota, dan
ikat pinggang yang semuanya terlihat mewah dan semakin membuat
elegan pemakainya. Pemakaian warna dan benang emas menjadikan
busana-busana tersebut terlihat mahal dan megah.
3. Filosofis. Nilai ini terekam dari makna simbol yang terdapat pada
ketiga jenis busana adat. Dari nilai inilah masyarakat Banjar
meletakkan busana adat pengantin mereka sangat berharga
sehingga mereka menggunakannya untuk perhelatan upacara
pernikahan. Dalam konteks ini, nilai filosofis menjadi penguat dan
pendorong masyarakat Banjar dengan hasil budaya leluhur mereka.
4. Pelestarian budaya. Sebagai sebuah hasil karya leluhur, maka
menggunakan busana adat pengantin dalam setiap perhelatan
pernikahan merupakan sebuah upaya nyata terhadap pelestarian
budaya. Hal ini sepertinya telah dilakukan oleh para generasi muda
Banjar yang peduli terhadap budaya mereka, yaitu dengan
memodifikasi busana adat pengantin mereka namun tetap tidak
meninggalkan unsur aslinya.
5. Identitas dan solidaritas sosial dan budaya. Busana adat pengantin
Banjar adalah satu penanda identias kebudayaan Banjar. Dengan
menggunakan busana adat dalam pernikahan, secara imajinatif
menjadikan orang Banjar merasa memiliki identitas sosial dan
budaya yang kuat dan berbeda dengan suku bangsa lain di negeri.
Melalui imajinasi ini, jika sesama orang Banjar bertemu dalam
sebuah acara kebudayaan atau pernikahan Banjar, maka akan
menambah rasa solidaritas mereka antarsesama orang Banjar.
Dalam konteks ini, busana adat telah menjadi media positif bagi
persatuan dan kesatuan masyarakat. Hal ini tinggal menjadi tugas
budayawan dan pemerintah Banjar untuk memanfaatkannya.

SENJATA TRADISIONAL
Senjata Bujak Beliung

Keris adalah salah satu senjata tradisonal diKalimantan Selatan.


Ukurannya paling panjang lebih kurang 30cmdan matanya terlogam
lainnya. Senjata buat dari besi dicampur logam lainnya. Senjata lainnya
adalah anak mandau, bujak (sejenis tombak), sumpitan, dan beliung.

MAKANAN TRADISIONAL

Iwak Basamu

Hampir sama dengan Manday dalam cara pembuatannya, tapi


pembuatannya berbahan dasar Ikan Haruan (Ikan Gabus), Ikan Pepuyu,
Ikan Mangki, dan Ikan Sepat. Pembuatannya yaitu ikan yang telah
dibersihkan dan diberi garam seperi Manday, ikan diberi samu (beras yang
disangrai dan ditumbuk halus namun masih berbentuk). Ikan didiamkan
beberapa waktu, beberapa bulan bahkan tahunan, semakin lama semakin
asin rasanya. Dimasak biasanya dengan bawang goreng.

Iwak Wadi

Pembuatannya sama persis dengan Manday yaitu pengawetan dengan


menggunakan uyah bacurai (garam tanpa yodium). Tahan untuk beberapa
tahun. Iwak Wadi sendiri mempunyai sejarah yang panjang. Sejarahnya
begini, " arkian habarnya tumatan bahari , nang ngaran urang banjar
terkenal merantau sampai ka arab saudi, banyak urang banjar nang alim,
sampai manjadi imam di masjidil haram, tutih pang hebatnya urang
banjar, memang pada setiap musim haji, bajurut nusia datang ka makkah,
mamanuhi panggilan nabi Iberahim, tiada katinggalan juha nang bangaran
H.Wadi' tutih satiap tahun balabuh ka makkah, tumataan Kalua hidin
batulak bakapal, akhirnya sampai juha katanah haramain, makkah
madinah, konon kabarnya H.wadi' tutih naik haji nang ka 40 kalinya
hudah, umur sasain tuha, awak sasain lamah, atas kahandak Allah nang
kuasa, maninggal juha H.wadi' di Makkah, akhirnya sampai juha habar
hidin kakampung bahwa hidin talah tiada, berselang babarapa tahun
kamudian, makam H. wadi' tutih digali kambali oleh urang arab. memang
sudah manjadi kabiasaan disana, makam nang sudah bertahun-tahun akan
selalu digali dan dicari sesuatu nang ajaib,. katika itu, samua mayat nang
dikubur beberapa tahun nang lalu , kembali digali dan digali, dari sakian
ribu mayit nang dikubur, didapati hanya satu nang kada hancur,
"masyaAllah, Subhanallah", jar urang arab, kamudian dicarilah identity
sang mayit tersebut. didapati dikantung baju hidin nang masih utuh,
salambar KTP dgn nama : H. Wadi' asal Kalua, Kalimantan Selatan,
Indonesia, katika itu gemparlah seluruh negri arab , didapati ada sang
mayit nang puluhan tahun masih utuh kada sing hancuran, setelah
dilakukan salidik punya salidik, nangapa gerangan amalan si mayit itu,
hingga jasadnya kada sing hancuran, ternyata didapati fakta bahwa beliau
urang Kalua, Kalimantan Selatan nang gawian hidin saumur hidupnya
tiada lain dan tiada bukan bausaha IWAK WADIK itulah asalnya kanapa
jadi iwak wadi' tuti dikatujui urang,......."
(http://mypbm.forumotion.com/pahabaran-nang-puga-f3/ada-apa-
sabanarnya-dibalik-rahasia-iwak-wadi-iwak-wadik-t404.htm).

Jadi secara garis besar Iwak Wadi berasala dari seorang Pak Haji yang
bernama H. Wadi yang tiap tahun menunaikan ibadah haji ke tanah suci
Mekkah. beliau sendiri berasal dari daerah Kalua (termasuk Kabupaten
Tabalong). Ketika menunaikan haji, beliau meninggal dunia dan
dikuburkan di tanah suci. Ketika kuburannya dibongkar kembali (sudah
jadi kebiassan disana untuk mencari identitas si mayyit), jasad belia tidak
hancur. Setelah dicari tahu apa pekerjaan beliau selama hidup, ternyata
beliau memunyai usaha berjualan iwak wadi. Mulai saat itu iwak wadi
disukai oleh orang.

Вам также может понравиться