Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Tari Baksa Kembang termasuk jenis tari klasik, yang hidup dan
berkembang di keraton Banjar, yang ditarikan oleh putri-putri keraton.
Lambat laun tarian ini menyebar ke rakyat Banjar dengan penarinya
galuh-galuh Banjar. Tarian ini dipertunjukkan untuk menghibur keluarga
keraton dan menyambut tamu agung seperti raja atau pangeran . Setelah
tarian ini memasyarakat di Tanah Banjar, berfungsi untuk menyambut
tamu pejabat-pejabat negara dalam perayaan hari-hari besar daerah atau
nasional. Disamping itu pula tarian Baksa Kembang dipertunjukkan pada
perayaan pengantin Banjar atau hajatan misalnya tuan rumah
mengadakan selamatan. Tarian ini memakai hand propertis sepasang
kembang Bogam yaitu rangkaian kembang mawar, melati, kantil dan
kenanga. Kembang bogan ini akan dihadiahkan kepada tamu pejabat dan
isteri, setelah taraian ini selesai ditarikan.
Asal muasal Tari Radap Rahayu adalah ketika Kapal Perabu Yaksa yang
ditumpangi Patih Lambung Mangkurat yang pulang lawatan dari Kerajaan
Majapahit, ketika sampai di Muara Mantuil dan akan memasuki Sungai
Barito, kapal Perabu Yaksa kandas di tengah jalan. Perahu menjadi oleng
dan nyaris terbalik. Melihat ini, Patih Lambung Mangkurat lalu memuja
Bantam yakni meminta pertolongan pada Yang Maha kuasa agar kapal
dapat diselamatkan. Tak lama dari angkasa turunlah tujuh bidadari ke atas
kapal kemudian mengadakan upacara beradap-radap. Akhirnya kapal
tersebut kembali normal dan tujuh bidadari tersebut kembali ke
Kayangan. Kapal melanjutkan pulang ke Kerajaan Dwipa. Dari cerita ini
lahirlah Tari Radap Rahayu ( anonim ). Tarian ini sangat terkenal di
Kerajaan Banjar karena dipentaskan setiap acara penobatan raja serta
pembesar-pembesar kerajaan dan juga sebagai tarian penyambut tamu
kehormatan yang datang ke Banua Banjar, upacara perkawinan, dan
upacara memalas banua sebagai tapung tawar untuk keselamatan. Tarian
ini termasuk jenis tari klasik Banjar dan bersifat sakral.Dalam tarian ini
diperlihatkan para bidadari dari kayangan turun ke bumi untuk
memberikan doa restu serta keselamatan . Gerak ini diperlihatkan pada
gerakan awal serta akhir tari dengan gerak terbang layang. Sayair lagu
Tari Radap Rahayu diselingi dengan sebuah nyanyian yang isi syairnya
mengundang makhluk-makhluk halus ( bidadari ) ketika ragam gerak
Tapung Tawar, untuk turun ke bumi. Jumlah penari Radap Rahayu selalu
menunjukkan bilangan ganjil, yaitu : 1,3,5,7 dan seterusnya. Tata Busana
telah baku yaitu baju layang. Hiasan rambut mengggunakan untaian
kembang bogam. Selendang berperan untuk melukiskan seorang bidadari,
disertai cupu sebagai tempat beras kuning dan bunga rampai untuk doa
restu dibawa para penari di tangan kiri. Seiring lenyapnya Kerajaan
Dwipa, lenyap juga Tari Radap Rahayu. Tarian tersebut kembali digubah
oleh seniman Kerajaan Banjar bernama Pangeran Hidayatullah. Namun
kembali terlupakan ketika berkecamuknya perang Banjar mengusir
penjajah Belanda. Pada tahun 1955 oleh seorang Budayawan bernama
Kiayi Amir Hasan Bondan membangkitkan kembali melalui Kelompok Tari
yang didirikannya bernama PERPEKINDO ( Perintis Peradaban dan
Kebudayaan Indonesia) yang berkedudukan di Banjarmasin. Sampai saat
ini PERPEKINDO masih aktif mengembangkan dan melestarikan Tari Radap
Rahayu.
UPACARA ADAT
Lima balian (tokoh adat) yang memimpin upacara ritual ,berlari kecil
sambil membunyikan gelang hiang (gelang terbuat dari tembaga
kuningan) mengelilingi salah satu tempat pemujaan sambil membaca
mantra, Dihadiri warga Dayak sekitarnya.
Prosesi adat ini dikenal dengan Aruh Baharin, pesta syukuran yang
dilakukan gabungan keluarga besar yang berhasil panen padi di
pahumaan (perladangan) . Upacara Adat Aruh Baharin, Pesta yang
berlangsung tujuh hari itu terasa sakral karena para balian yang
seluruhnya delapan orang itu setiap malam menggelar prosesi ritual
pemanggilan roh leluhur untuk ikut hadir dalam pesta tersebut dan
menikmati sesaji yang dipersembahkan.
Baras hanyar (beras hasil panen) belum bisa dimakan sebelum dilakukan
Aruh Baharin. Ibaratnya, pesta ini kami bayar zakat seperti dalam Islam,
kata Narang.
RUMAH ADAT
Konon kabarnya, rumah adat Kalimantan Selatan ini sudah ada sejak abad
16, tepatnya pada masa pemerintahan Pangeran Samudera atau yang
dikenal juga dengan nama Sultan Suriansyah. Di awal masa
pembuatannya, rumah adat Banjar ini dilengkapi dengan konstruksi
sedrhana berbentuk segi-empat yang cenderung memanjang dari depan
ke balakang. Namun, seiring berjalannya waktu, rumah adat Banjar ini
kemudian dimodifikasi sesuai kebutuhan si pemilik dengan menambahkan
bagian rumah di samping kiri dan kanan. Adapun istilah yang digunakan
untuk rumah adat Banjar yang ditambahkan bagian tertentu tersebut
adalah disumbi. Padamulanya, rumah adat Banjar ini hanya bisa
dijumpai di lingkungan kraton Banjar. Namun lama kelamaan, kita
masyarakat juga turut membangun rumah dengan mengadopsi bangunan
di lingkungan istana tersebut hingga persebarannya hampir merata
bahkan hingga ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Sama seperti rumah adat lainnya, pembuatan rumah adat Banjar juga
tidak sembarangan utamanya konstruksi fiksik rumah. Bahan-bahan yang
digunakan berpadu dengan kepercayaan yang dianut serta faktor fisik
tanah di wilayah kerajaan Banjar saat itu. Penjelasan detilnya sebagai
berikut:
Pondasi, tiang juga tongkat pada rumah Banjar haruslah tinggi sebab
tanah Banjar dahulu cenderung berawa. Kayu yang digunakan idealnya
adalah kayu Galam atau yang disebut juga dengan nama Kayu Kapur
Naga.
Bagian lantai pada rumah adat Banjar ini dikenal juga dengan istilah
Lantai Jarang. Ia umumnya terletak di Surambi Muka, Ruang Padu dan
juga Anjung Jurai.
Atap pada rumah Banjar merupakan signatur yang paling menonjol. Atap
ini merupakan perlambang kekuasaan. Ia dibuat membumbung tinggi ke
langit.
Selain nilai-nilai islami, pada rumah Banjar juga masih dijumpai nilai
filosofis, antara lain:
Payung. Secara sepintas, atap pada rumah adat Kalimantan Selatan ini
juga mirip paying. Dahulu, paying dianggap sebagai simbol orientasi
kekuasaan. Ia juga merupakan perlambang kebangsawanan. Dahulu,
payung kuning bahkan dianggap sebagai salah satu perangkat kerajaan
yang tak boleh hilang dalam berbagai acara adat.
Tawing Halat. Dalam rumah adat Kalimantan Selatan ini Anda juga bisa
menjumpai Tawing Halat atau dinding pemisah yang membagi dua
ruangan semi private dan privat. Hal ini dimaksudkan agar raja bisa
melihat dengan jelas tetamunya sedangkan tamu hanya bisa menerka
keadaan raja di ruang semi privat tersebut.
Ketiga jenis busana adat pengantin ini memiliki asal-usul perbedaan yang
jauh, baik dari sisi wujud, assesoris, warna, tata cara pemakaian, maupun
makna simbolnya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan terciptanya
ketiga busana tersebut. Terlepas dari kontroversi yang ada, perbedaan-
perbedaan ini menunjukkan bahwa leluhur Banjar memiliki daya cipta
yang kaya. Busana adat pengantin Banjar menjadi ciri identitas
kebudayaan orang Banjar yang berkepribadian terbuka terhadap
perkembangan zaman (Depdikbud Nasional, 1985/1986; Samani dkk,
2005).
Berbeda dengan jenis yang pertama, busana adat pengantin jenis baamar
galung pancaran matahari, dipercaya telah diciptakan oleh leluhur Banjar
pada abad ke 17-18 M. Busana pengantin jenis ini dipercaya sebagai
busana Banjar kedua yang dipengaruhi kebudayaan Hindu dan Islam. Hal
ini dikarenakan pada abad tersebut Islam mulai masuk ke wilayah Banjar
(Kawang Yoedha, tanpa tahun; Alfani Daud, 1997; Idwar Saleh, 1958; Tim
Haeda, 2009).
Sementara itu, busana adat pengantin jenis babajukun galung pacinan
dipercaya telah tercipta pada abad ke 19 M. Busana jenis ketiga ini
dipengaruhi oleh budaya Arab dan Tiongkok, hal ini terlihat dari wujud
busana dan nama pacinan. Pada abad tersebut, suku Arab dan Cina
banyak bermukim di Banjar dan berbaur dengan masyarakat asli Banjar.
Dalam kehdiupan bermasyarakat terjadi akulturasi perilaku diantara
sesama penduduk Banjar (Kawang Yoedha, tanpa tahun; Alfani Daud,
1997; Idwar Saleh, 1958).
Dari semua jenis busana adat pengantin Banjar di atas, jenis baamar
galung pancaran matahari adalah yang paling populer dan digemari
masyarakat, karena wujudnya yang tampak mewah dan wibawa jika
dipakai, apalagi saat ini sudah dimodifikasi dengan tambahan assesoris
modern, seperti mahkota yang dibuat mewah. Meskipun demikian, sebuah
keluarga Banjar yang akan menggelar pernikahan, biasanya akan memilih
salah satu dari tiga jenis busana tersebut (Kawang Yoedha, tanpa tahun).
Nilai-nilai
1. Simbol. Nilai ini tampak dari beragam hiasan yang memenuhi tiga
jenis busana adat pengantin Banjar. Simbol ular naga pada mahkota
misalnya, dianggap orang Banjar sebagai simbol tingginya derajat
pemakainya, karena naga dipercaya sebagai raja ular. Ular lidi
menyimbolkan kecerdikan namun tetap rendah hati. Burung garuda
paksi sedang terbang melayang menyimbolkan ketangkasan. Bunga
mawar melambangkan keberanian, melati melambangkan kesucian,
dan melati yang kuncup melambangkan bahwa pengantin
perempuan masih gadis (perawan). Sementara itu, binatang
halilipan melambangkan sifat rendah hati, jujur, tidak akan
mengganggu orang lain kecuali jika diganggu lebih dahulu. Semua
simbol-simbol ini dimaksudkan agar kedua mempelai (juga semua
orang) mengambil maknanya lalu mengaplikasikan pada dirinya.
2. Seni. Nilai ini tercermin jelas dari wujud ketiga busana adat
pengantin yang diciptakan begitu indah dan detil. Sebuah hasil
karya yang indah, detil, dan terlihat mewah tentunya membutuhkan
kreatifitas seni yang tinggi, tanpa itu semua, maka busana-busana
tersebut tidak akan menjadi busana adat. Nilai seni ini juga terlihat
dari beragam hiasan yang menempel pada busana, mahkota, dan
ikat pinggang yang semuanya terlihat mewah dan semakin membuat
elegan pemakainya. Pemakaian warna dan benang emas menjadikan
busana-busana tersebut terlihat mahal dan megah.
3. Filosofis. Nilai ini terekam dari makna simbol yang terdapat pada
ketiga jenis busana adat. Dari nilai inilah masyarakat Banjar
meletakkan busana adat pengantin mereka sangat berharga
sehingga mereka menggunakannya untuk perhelatan upacara
pernikahan. Dalam konteks ini, nilai filosofis menjadi penguat dan
pendorong masyarakat Banjar dengan hasil budaya leluhur mereka.
4. Pelestarian budaya. Sebagai sebuah hasil karya leluhur, maka
menggunakan busana adat pengantin dalam setiap perhelatan
pernikahan merupakan sebuah upaya nyata terhadap pelestarian
budaya. Hal ini sepertinya telah dilakukan oleh para generasi muda
Banjar yang peduli terhadap budaya mereka, yaitu dengan
memodifikasi busana adat pengantin mereka namun tetap tidak
meninggalkan unsur aslinya.
5. Identitas dan solidaritas sosial dan budaya. Busana adat pengantin
Banjar adalah satu penanda identias kebudayaan Banjar. Dengan
menggunakan busana adat dalam pernikahan, secara imajinatif
menjadikan orang Banjar merasa memiliki identitas sosial dan
budaya yang kuat dan berbeda dengan suku bangsa lain di negeri.
Melalui imajinasi ini, jika sesama orang Banjar bertemu dalam
sebuah acara kebudayaan atau pernikahan Banjar, maka akan
menambah rasa solidaritas mereka antarsesama orang Banjar.
Dalam konteks ini, busana adat telah menjadi media positif bagi
persatuan dan kesatuan masyarakat. Hal ini tinggal menjadi tugas
budayawan dan pemerintah Banjar untuk memanfaatkannya.
SENJATA TRADISIONAL
Senjata Bujak Beliung
MAKANAN TRADISIONAL
Iwak Basamu
Iwak Wadi
Jadi secara garis besar Iwak Wadi berasala dari seorang Pak Haji yang
bernama H. Wadi yang tiap tahun menunaikan ibadah haji ke tanah suci
Mekkah. beliau sendiri berasal dari daerah Kalua (termasuk Kabupaten
Tabalong). Ketika menunaikan haji, beliau meninggal dunia dan
dikuburkan di tanah suci. Ketika kuburannya dibongkar kembali (sudah
jadi kebiassan disana untuk mencari identitas si mayyit), jasad belia tidak
hancur. Setelah dicari tahu apa pekerjaan beliau selama hidup, ternyata
beliau memunyai usaha berjualan iwak wadi. Mulai saat itu iwak wadi
disukai oleh orang.