Вы находитесь на странице: 1из 28

Latar Belakang / Pendahuluan / Penghantar

Saat ini dunia internasional tengah menyaksikan konflik akut yang terjadi
dalam skala besar di Suriah. Dunia seolah terdiam dengan berbagai pembantaian dan
kekerasan yang mematikan tersebut. Gelombang besar pengungsian, kemiskinan,
pengangguran, penculikan dan pemerkosaan semakin menambah panjang penderitaan
rakyat sipil tak berdosa yang setiap hari menjadi korban perang yang seolah tak
berujung.
Berdasarkan data The Syrian Observatory of Human Rights, korban tewas
akibat konflik Suriah sejak Maret 2011 sampai Maret 2014 telah mencapai 146.065
jiwa.1 Tidak hanya itu, konflik ini juga mengakibatkan semakin meningkatnya
jumlah . warga sipil yang mengungsi ke berbagai negara, seperti Turki, Lebanon dan
Yordania yang menurut UNHCR berjumlah 2.598.502 orang . 2 Konfik yang telah
menjadi tragedi kemanusiaan itu jelas menimbulkan tanggapan dari dunia
internasional. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Uni Eropa, Liga Arab dan negaranegara di dunia mengutuk kekerasan yang dilakukan rezim Bashar Assad terhadap
rakyat sipil di Suriah dan menuntut Bashar Assad untuk mundur karena telah
kehilangan legitimasi rakyatnya. Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama
mendesak Dewan Kemanan PBB (DK PBB) untuk mengeluarkan resolusi mengutuk
kekerasan di Suriah dan memberikan sanksi kepada rezim Assad. Namun, sampai saat
ini resolusi yang diusulkan DK PBB terkait kecaman, pemberian sanksi dan
penyidikan atas kejahatan perang belum membuahkan hasil dan masih mengalami
hambatan apalagi setelah kedua negara besar seperti Rusia dan Cina memveto resolusi
tersebut dengan alasan mencegah intervensi asing yang lebih luas di Suriah.
Sementara itu, Uni Eropa memberlakukan sanksi mencakup embargo
ekonomi, larangan penjualan senjata dan pencekalan tiga belas pejabat penting yang
berasal dari dalam lingkungan pemerintahan rezim. Sama halnya dengan PBB dan
Uni Eropa, negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab menangguhkan
keanggotaan Suriah dan melakukan pemberian sanksi berupa pencekalan kepada
pejabat senior Assad, pembekuan asset Suriah di negara-negara Arab dan
menghentikan aktivitas di bank besar Suriah. Liga Arab pada akhirnya mendukung
National Coalition for Syirian Revolutionary sebagai pemegang otoritas di Suriah
yang didekralasikan di Istanbul pada 15 September 2011. Serangkaian kecaman dan

1 Killed since beginning of the Syirian Revolution, http://syriahr.com/en/index.php?


option=com_news&nid=2332&Itemid=2&task=displaynews#.U_GAZ j-Szoo.
2 Stories From Syirian Refugees, http://data.unhcr.org/syrianrefugees/syria.php

sanksi pun diikuti oleh berbagai negara di dunia yang menolak kebrutalan rezim
Bashar Al Assad.
Upaya penyelesaian konflik melalui jalur mediasi pun sebenarnya sudah
dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, upaya tersebut tidak
membuahkan hasil setelah kedua belah pihak yang bertikai menolak untuk berdialog.
Rezim Bashar Assad mengklaim bahwa kelompok oposisi telah melakukan tindakan
terorisme dengan dukungan negara-negara Barat. Sementara kelompok oposisi
menolak berdialog, karena sikap politik rezim yang cenderung otoriter dan kerap
melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat sipil. Pernyataan kedua belah pihak
menunjukkan adanya kebuntuan dialog sejak awal antara rezim Assad dengan para
penentangnya.
Di tengah upaya damai yang dilakukan berbagai pihak, eskalasi konflik
dengan menggunakan kekerasan justru semakin meningkat sepanjang tahun 2013.
Disamping itu solusi yang ditawarkan Assad berupa reformasi dalam bidang politik,
amandemen kosntitusi dan pelaksanaan pemilu kerap diabaikan pihak oposisi yang
mengakibatkan terhambatnya rekonsiliasi nasional. Tragedi berdarah yang terjadi di
berbagai daerah berupa serangan senjata kimia yang menewaskan ribuan orang
mendorong dunia internasional untuk melakukan langkah-langkah berupa sanksi
terkait penggunaan senjata kimia. Dalam sidang DK PBB pada 11 September 2013,
AS mendesak DK PBB untuk melakukan intervensi militer terhadap basis-basis
kekuatan senjata kimia di Suriah. Kebijakan AS tersebut kontan menuai perdebatan
panjang diantara DK PBB dan juga negara-negara di dunia. Intervensi militer tidak
hanya dianggap dapat mengancam stabilitas keamanan kawasan tetapi juga dapat
menjadi penghambat rencana demokratisasi yang tengah berjalan di Timur Tengah.
Kasus Irak dan Afganistan dapat dijadikan contoh betapa intervensi yang melibatkan
kekuatan militer tidak hanya menguras dana yang begitu besar, tetapi juga memakan
waktu yang cukup lama dalam penyelesaian konflik itu sendiri.
Terlepas dari perdebatan yang tengah berlangsung, tulisan ini mencoba
menjelaskan kompleksitas konflik yang terjadi di Suriah baik dari isu konflik, dan
peran beberapa negara yang memilik kepentingan atas konflik ini. Diharapkan tulisan
ini juga dapat memberikan kontribusi informasi terkait konflik yang berkepanjangan
tersebut.3

3 Minoritas Kristen maupun Kurdi berkoalisi dalam pemerintahan rezim untuk menghindari

dominasi mayoritas Sunni yang dianggap merugikan

Dinamika Konflik Suriah


Suriah merupakan salah satu negara yang berada di kawasan strategis Timur
Tengah. Ferdinand Von Richtofen misalnya menyebut Suriah sebagai Jalur Sutera
karena letaknya yang strategis tidak hanya dalam jalur perdagangan barang, tetapi
juga dalam budaya dan jalur militer global. Letaknya yang strategis ditambah dengan
limpahan potensi kekayaan alam menjadikan Suriah sebagai negara yang
diperebutkan berbagai kekuatan politik regional dan global.
Sekitar 74 % mayoritas penduduk Suriah beragama Islam yang menganut
paham Ahlussunnah wal Jamaah (Sunni), kemudian Syiah Alawiyah (12%), Druze
(3%) dan sebagian kecil menganut Ismailiyyah yang merupakan salah satu cabang
dari aliran Syiah. Kelompok Syiah Alawiyah merupakan kelompok minoritas yang
berpengaruh dalam pemerintahan rezim Assad. Sementara itu sebagian besar
penduduknya sekitar 90% berasal dari keturunan Arab, diikuti 9% berasal dari suku
Kurdi dan kelompok minoritas Armenia, Sirkasian dan Turkmenistan. Beragamnya
aliran kepercayaan dan etnis yang berkembang menjadikan Suriah sebagai negara
yang rentan dengan konflik.
Pengaruh politik Syiah Alawiyah semakin mapan setelah rezim Assad
berkuasa melalui kudeta pada tahun 1970 dan berhasil menguasai dua kelembagaan
politik, yaitu angkatan bersenjata dan partai Bath yang menjadi satu-satunya partai
pendukung rezim Suriah. Selama masa kepemimpinannya Hafiz Assad kerap
melakukan

diskriminasi

dan

intimidasi

terhadap

lawan

politiknya

yang

mengakibatkan munculnya gerakan perlawanan dari kelompok lainnya terutama dari


kalangan mayoritas Sunni. Misalnya, pada tahun 1982 terjadi serangan terhadap kota
Hama yang mengakibatkan tewasnya ribuan aktivis Ikhwanul Muslimin.4 Disusul
pada tahun 1999, terjadi pemberontakan gerakan Latakia yang juga berakhir dengan
tewasnya ribuan rakyat sipil. 5Dari sini dapat dilihat bahwa konflik internal Suriah
yang terjadi pada masa Hafiz Assad tidak hanya akibat meruncingnya perbedaan
mazhab (sektarian) antara rezim yang didukung Syiah Alawiyah dengan Ikhwanul
Muslimin yang mayoritas Sunni tetapi juga faktor politik yang mencakup gaya
kepemimpinan diktator rezim Assad terhadap oposisi. Tuntutan perubahan politik
yang disuarakan pihak oposisi kerap dibalas dengan kekerasan oleh rezim Assad.
Pasca Hafiz Assad, kepemimpinan Bath Party beralih kepada anaknya Bashar
Assad yang mendapat dukungan sekte Alawiyyah. Terpilihnya Bashar Assad dalam
4 Raymond Hinnebusch, Modern Syirian Politics, Blackwell Publishing, 2007.
5 Ibid

pemilu 2000 pada mulanya dinilai dapat membawa perubahan di Suriah dengan
munculnya fenomena Damascus Spring pada tahun 2000-2001. Namun, gerakan
reformasi ini terhenti setelah rezim Assad kembali melakukan kediktatoran dan
diskriminasi politik dengan menangkap dan membunuh para aktivis pro perubahan.
Disamping itu, Kondisi ekonomi yang tidak stabil akibat embargo ekonomi AS sejak
2004 mendorong menculnya gerakan protes di berbagai daerah di Suriah.
Secara garis besar konflik internal berkepanjangan yang terjadi pada masa
Bashar Assad melibatkan dua kubu, yaitu pihak pemerintah rezim otoriter dan pihak
oposisi yang didukung kalangan Salafi dan Ikhwanul Muslimin. Dalam peta kekuatan
politik domestik Suriah, militer Assad memiliki ratusan ribu tentara dan menguasai
teknologi militer yang dikuasai divisi elite pendukung rezim yaitu Garda Republik
yang sebagian besar anggotanya berasal dari Syiah Alawiyyah, karenanya pasukan
loyalis rezim mempunyai keunggulan dalam konfrontasi militer langsung dengan
kelompok oposisi yang memiliki pasukan dan persenjataan terbatas.
Pada tahun 2005 terjadi perlawanan dari kelompok oposisi, namun berhasil
diredam Assad. Disamping itu Assad pun berhasil meminimalisir gejolak demonstrasi
dengan melakukan langkah-langkah perubahan, seperti liberalisasi ekonomi dan
reformasi politik terbatas. Langkah yang paling mendapat sambutan luas adalah
kebijakannya membebaskan tahanan politik. Sementara itu, kebijakan politik luar
negeri rezim tetap menolak penjajahan Israel atas Palestina serta menentang agresi
militer AS ke Irak pada tahun 2003. Kebijakan tersebut mengisolasi Suriah dari
kancah politik internasional seperti halnya Iran dan para non-state actors seperti
Hamas dan Hizbullah yang menentang kependudukan Israel di Palestina.
Kendati Assad telah melakukan reformasi politik secara terbatas, namun rezim
ini terus menekan dan menimbulkan perlawanan dari kelompok oposisi yang
kemudian memuncak pada tahun 2011 seiring dengan terjadinya fenomena Arab
Spring yang terjadi di beberapa negara Timur tengah. Gelombang Arab Spring di
Suriah dimulai dengan munculnya aksi protes warga di Daraa pada Maret 2011
menuntut mundurnya Presiden Assad, dibukanya kebebasan berpolitik dan reformasi
ekonomi. Protes tersebut dibalas rezim Assad dengan kekerasan yang mengakibatkan
jatuhnya korban. Pada 6 Juni 2011, terjadi serangan yang dilakukan pemberontak
hingga mengakibatkan tewasnya puluhan pasukan loyalis Assad di Jisr As Shughur.6

6 Timeline of International Rspons to Syiria Conflict, Global Centre For The Responsibility

to Protect, 2012.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa protes telah berubah menjadi konflik


bersenjata yang lambat laun semakin membesar. Sepanjang tahun 2011 sampai
pertengahan tahun 2013 telah terjadi beberapa kali pertempuran di beberapa daerah di
Suriah. Peta konflik yang dirilis Political Geography Now pada bulan Agustus 2013
menunjukkan semakin meluasnya konflik di Suriah.7

Gambar I . Peta Konflik Suriah


Sebagai respon sikap represif rezim Assad kelompok oposisi membentuk Al Jays Al
Hur (Free Syirian Army/FSA) di bawah komando Kolonel Riadh Assad. FSA
merupakan angkatan bersenjata pihak oposisi yang terdiri dari anggota eks- militer
Assad dan sukarelawan rakyat Sipil. Gerakan militer ini didukung oleh negara-negara
Arab yang mendapat dukungan senjata dan dana dari AS melalui Syirian Support
Group. Keberadaaan FSA memperuncing konflik antara kubu loyalis rezim dengan
kelompok oposisi. Sementara itu, upaya diplomatik internasional untuk melawan
rezim Assad terus dilakukan kelompok oposisi di pengasingan salah satunya dengan
mendirikan Syiria National Council (SNC) di bawah pimpinan Abdul Basith Saida,
seorang akademisi Kurdi. Dalam penyataannya di Istanbul SNC mengklaim akan
memperluas basis politik kelompok oposisi di tingkat internasional, mendukung
7 news.okezone.com

langkah-langkah

penggulingan Assad

melalui

intervensi

internasional

serta

perlindungan warga sipil di Suriah. Dalam perkembangannya SNC kemudian


melakukan koalisi dengan kelompok oposisi lainnya dan mendeklarasikan berdirinya
Syirian National Coalition for Revolutionary and Opposition Forces di Istanbul dan
mendapat dukungan dari beberapa negara di dunia.8 Kelompok oposisi lainnya adalah
The National Coordination Committee for Democratic Change (NCC) yang dipimpin
oleh Hassan Abdul Azhim. Berbeda dengan SNC, kelompok ini mendukung
perubahan rezim namun menolak intervensi militer asing. NCC bersedia berdialog
dengan kubu rezim Assad yang mendapat dukungan dari Rusia dan Cina. Mayoritas
kelompok ini adalah muslim Sunni dan mendukung terciptanya iklim demokrasi di
seluruh Suriah.
Sementara itu, muncul juga kelompok oposisi dari gerakan Islam radikal yang
juga menentang pemerintahan Bashar Al Assad, diantaranya Jabhat An Nushra atau
An Nushra Front dan Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS), keduanya merupakan
afiliasi dari gerakan Al Qaeda dibawah pimpinan Ayman Az Zawahiri. Berbeda
dengan FSA, SNC, NCC dan kelompok oposisi lainnya yang lahir dari gerakan lokal,
sementara gerakan Jabhat An Nushra dan ISIS merupakan gerakan transnasional yang
memiliki anggota dari luar Suriah. Kedua kelompok ini menjadi kekuatan baru dalam
dinamika konflik di Suriah, terutama setelah berhasil menguasai beberapa wilayah di
Suriah.
Berdasarkan peta konflik yang dirilis majalah The Economist, sebagian besar
wilayah di Suriah masih dikuasai loyalis Al Assad dan FSA, sementara itu, An Nushra
dan ISIS menguasai sebagian wilayah di Timur dan Utara, seperti Raqqah, Aleppo,
provinsi Idlib dan kota minyak Shadadeh.9 Kendati demikian, seluruh gerakan oposisi
di Suriah tidak bersatu dalam satu komando, tak jarang diantara kelompok-kelompok
tersebut saling berseberangan bahkan kerap terlibat konflik langsung antara satu
dengan yang lainnya. Pada 2013, Jabhat An Nushra menarik diri dari ISIS, karena
aksi radikal para anggotanya yang membantai kelompok Sunni. Dalam konteks politik
global saat ini, ISIS dianggap sebagai organisasi teroris yang mengancam keamanan
global. ISIS telah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan yang kuat dan efektif di

8 Raymond Hinnebusch, Modern Syirian Politics, Blackwell Publishing, 2007.


9 Why Bashar Assad is Still in Charge, http://www.economist.com/news/middle-east-and-

africa/21603470-rivalry-between-insurgents-helping-him-nowbut-may-eventually-underminehim.

Suriah, serta bertanggung jawab dalam setiap serangan dan pemberontakan di Utara
Suriah.10
Tabel 1. Aktor Internal Konflik
Rezim

Kelompok Oposisi

Kelompok Syiah Alawiyah

Syirian National Coalition (SNC)

Kristen Maronite

Free Syirian Army (FSA)

Druze

National Coordination Commite (NCC)


An Nushra Front
Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS)
Ahrar Asy-Syam

Konflik antar berbagai kekuatan politik yang terjadi di Suriah tersebut pada
akhirnya mendorong berbagai pihak baik dalam taraf domestik maupun internasional
untuk sepakat mewujudkan perdamaian. Dewan Keamanan PBB, Liga Arab bersedia
berdialog dengan rezim Al Assad mewujudkan peta perdamaian Suriah. Bahkan, Liga
Arab yang dipimpin Nabil Al Arabi berhasil mendesak Assad untuk melakukan
gencatan senjata dan reformasi di Suriah. Di sisi lain, AS dan negara-negara Uni
Eropa mengancam akan menutup kedutaan besarnya di Damascus dan memaksa
Assad untuk turun dari jabatannya. Desakan internasional tersebut menuntut rezim
untuk melakukan langkah reformasi yang di usulkan PBB dan Liga Arab. Pada
tanggal 26 Februari 2012 pemerintah Assad menyelenggarakan referendum guna
membentuk konstitusi baru dan menyelenggarakan pemilu yang memungkinkan
persaingan politik di luar partai Bath. Melalui referendum mayoritas rakyat Suriah
menyetujui konstitusi baru dan penyelenggaraan pemilu, namun referendum tidak
memiliki legitimasi karena rendahnya pemilih ditengah bentrokan yang masih
berlangsung.11
10 Syiria Civil Map War, http://www.polgeonow.com/2013/12/syria-civil-war-map-

december-2013-12.html.
11 Current Crisis in Syiria, www.studentsummit.cz/.../1354903402701NATO_Current-crisis-

in-Syria

Di bawah konstitusi baru pada tanggal 7 Mei 2012 diselenggarakan Pemilu


parlemen yang diharapkan mampu membuka kembali iklim demokrasi di Suriah.
Namun, pemilu terkesan sarat manipulasi dan tertutup dengan masih mendominasinya
loyalis Assad pada perolehan suara. Hasil pemilu menunjukkan partai Bath kembali
memperoleh 51% suara dari 90% kursi yang diperebutkan. Hasil ini jelas di tolak
oposisi yang membaikot Pemilu sejak awal. SNC mengkalim bahwa pemilu yang
dilaksanakan merupakan penghinaan terhadap demokrasi ditengah serangan yang
terus dilancarkan rezim Assad. Reformasi politik terbatas yang dijanjikan rezim Assad
kembali memaksa terjadinya protes. Tampaknya tidak ada solusi yang tepat bagi
kelompok oposisi selain Assad harus mundur. Pada akhirnya Pemilu yang
diselenggarakan tidak membawa perubahan di Suriah bahkan, pasca Pemilu presiden
Juni 2014 yang berhasil dimenangkan kembali oleh Bashar Al Assad, kekerasan
semakin meningkat. Selama beberapa hari berturut-turut terjadi serangan beruntun di
Damskus, Houla, Hama dan Aleppo yang menewaskan ribuan warga Suriah.
Menguatnya eskalasi konflik di Suriah menandakan kebuntuan dialog antara
rezim Assad, oposisi dan dunia internasional. Terdapat beberapa alasan terkait
semakin kompleksnya konflik di Suriah yang terjadi sejak tahun 2011 sampai saat ini.
Pertama, Perpecahan dan perselisihan yang dialami kubu oposisi terkait keterwakilan
di SNC menghambat upaya internasional untuk memperluas dukungan internasional.
Kelompok SNC menolak bekerjasama dengan kelompok liberal yang didukung AS
dan Arab Saudi. Perpecahan pun tidak hanya terjadi di kalangan elite SNC, tetapi juga
di lapangan antar pasukan oposisi. FSA tidak mau berkordinasi dengan pihak lain
seperti SNC maupun An Nushra Front karena dianggap tidak mewakili aspirasi
seluruh rakyat.
Kedua, konflik sektarian -walaupun tidak secara langsung- antara Syiah
Alawiyah pendukung Assad dengan Sunni yang diwakili Ikwanul Muslimin
menjadikan variabel tersendiri yang mempersulit perubahan di Suriah. Konflik
sektarian di Suriah memang telah berjalan sejak lama ketika rezim Al Assad berkuasa
di Suriah yang didukung kelompok Alawiyah. Diskriminasi dan intimidasi militer
Assad menanamkan benih perlawanan dari kelompok Sunni di Suriah.
Kedua, Kepentingan politik negara-negara besar di belakang Suriah
menjadikan konflik semakin tidak menentu. Sampai saat ini terdapat beberapa negara
yang tetap mendukung rezim Assad meskipun telah melakukan kejahatan perang.
Rusia, Cina dan Iran adalah sekutu dekat rezim Assad, bahkan sejak awal perang
dingin. Rusia merupakan pemasok senjata terbesar ke Suriah, berdasarkan data

Stockholm International Peace Research Institute sepanjang tahun 2007-2011


Rusia memasok senjata sebanyak 72 persen meliputi pesawat tempur, sistem
pertahanan udara dan rudal antikapal.12 Kendati tidak digunakan secara langsung
dalam konflik saat ini, pasokan senjata dari Rusia meningkatkan kemampuan
pertahanan Suriah terutama untuk mempertahankan diri dari intervensi militer asing.
Dukungan Rusia terhadap rezim Assad pun terlihat di PBB dimana Rusia kerap
memveto draft resolusi yang dikeluarkan DK PBB. Awal Februari 2012 misalnya,
Rusia menggunakan hak veto terhadap draf resolusi yang diusulkan AS dan negaranegara Barat. Rusia lebih memilih jalur diplomasi langsung dengan rezim Bashar Al
Assad ketimbang intervensi militer. Sementara itu, Cina adalah negara yang
mempunyai kepentingan ekonomi di Suriah disamping menjadi pemasok senjata
kedua terbesar setelah Rusia.13 Cina menganggap penting Suriah karena merupakan
salah satu eksportir utama minyak Cina setelah Arab Saudi dan Iran. Suriah juga
menjadi gerbang pintu masuk pasar ekspor komoditas Cina ke Timur Tengah.
Terakhir, keberadaan konflik politik regional dan peran negara-negara seperti
Iran, Israel dan negara-negara Arab di belakang Suriah turut memperparah konflik
tidak hanya di Suriah tetapi juga di Timur Tengah. Potensi konflik di Suriah memang
sangat terbuka berhubung Suriah berada di episentrum pertarungan politik kawasan.
Saat ini saja ada beberapa konflik yang bersinggungan dengan Suriah, konflik
Palestina - Israel yang dimulai sejak berdirinya negara Israel tahun 1948 sampai
sekarang, konflik Hizbullah dan Israel di Lebanon Selatan, serta isu nuklir Iran yang
menjadi

polemik

berkepanjangan.

Kedekatan

Suriah

dengan

negara-negara

pendukung seperti Iran menjadikan konflik semakin memanas. Suriah dan Iran adalah
dua negara yang menentang eksistensi Israel di Timur Tengah. Hubungan harmonis
kedua negara juga tampak dari eksistensinya mendukung Hizbullah yang merupakan
penentang utama Israel. Suriah bukan saja berkonfrontasi langsung dengan Israel
terkait kepemilikan Dataran Tinggi Golan, tetapi juga berperan penting dalam
terjadinya konflik antara Israel dan Lebanon. Jejaring kekuatan politik regional yang
berafiliasi dengan Suriah menjadikan konflik suriah semakin kompleks.
Dari uraian di atas terlihat begitu kempleksnya konflik Suriah yang tidak
hanya melibatkan kekuatan politik internal tetapi juga kekuatan-kekuatan regional dan
12 Rusia Pasok 72 Persen Senjata Ke Suriah, www.kompas.com, 19 Maret 2012
13 Sepanjang tahun 2003-2010 Cina memasok senjata kepada rezim Assad senilai 300 juta

dollar.

global yang mempunyai kepentingan di Suriah. Michael E Brown, seorang pakar ilmu
politik dan hubungan internasional, George Washington University, dalam bukunya
Nationalism and Ethnic Conflict pernah menyatakan bahwa konflik tidak hanya
disebabkan oleh perilaku elite internal semata tetapi meliputi banyak faktor dan
kepentingan seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya yang menjadikan suatu
wilayah rentan terhadap terjadinya konflik. 14 Kompleksitas konflik Suriah tercermin
dari terbaginya kekuatan politik kedalam dua poros yang saling bersaing dalam proxy
war (medan laga) di Suriah, yaitu kelompok Islam yang tergabung dalam barisan
oposisi mendapat dukungan AS, negara-negara Barat, Turki, Liga Arab, Suku Kurdi
dan kelompok Mujahidin di beberapa daerah di Suriah. Tujuan politik dari kubu ini
adalah menjatuhkan Assad dan mendirikan pemerintahan demokratis di Suriah
disamping mengganti dominasi partai Bath dengan pemerintahan yang dapat
bekerjasama dengan AS dan negara-negara Barat. Hal ini terlihat dari draf konstitusi
yang dibentuk oleh Syrian National Coalition for Revolutionary and Opposition
Forces yang antara lain berisikan dihapuskannya sistem politik partai tunggal dalam
pemilu Suriah disamping penghapusan sistem Sosialisme Arab yang sangat kental
dengan konstitusi Suriah di bawah kepemimpinan rezim partai Bath. Namun, peran
AS dalam pemaksaan demokrasi di Suriah mendapat kecaman berbagai pihak
terutama dengan kebijakan presiden Obama untuk melakukan intervensi militer ke
Surriah. Kebijakan yang memicu perdebatan tersebut tidak hanya pada level
internasional tetapi juga dalam dinamika politik AS itu sendiri dengan adanya faksi
dalam kongres AS.
Kedua, adalah kubu rezim Assad bersama Rusia, Cina, Iran, Hizbullah, milisi
Syiah Irak dan negara-negara blok komunis dengan strategi dan rencana untuk terus
mempertahankan pemerintahan rezim Assad dengan sistem sosialismenya. Sementara
itu, konflik Suriah disatu sisi menjadi persoalan tersendiri bagi Israel yang menjadi
sekutu AS. Kejatuhan Assad yang menjadi rival utama Israel akan mendorong
lahirnya pemerintahan baru di bawah pimpinan kelompok Ikhwanul Muslimin atau
Mujahidin yang menghambat kepentingan Israel. Di sisi lain konflik internal Suriah
juga dapat menjadi keuntungan bagi Israel baik secara politik maupun ekonomi. Israel
telah mengambil keuntungan untuk memantapkan cengkramannya di beberapa
wilayah Timur Tengah termasuk Dataran Tinggi Golan yang kaya akan sumber daya
alam. Yaron Ezhari, seorang analis politik Timur Tengah mengatakan bahwa konflik
14 Michael E Brown, Nationalism and Ethnic Conflict, 2001.

Suriah memberikan kesempatan kepada Israel untuk menguasai Dataran Tinggi Golan
yang sebelumnya dikuasai militer Suriah. Pada titik ini kita dapat melihat bahwa
konflik yang terjadi di Suriah bukan lagi menjadi persoalan domestik Suriah semata,
tetapi sudah menjadi persoalan global seiring munculnya kekuatan-kekuatan politik
baik regional maupun global yang mempunyai kepentingan di Suriah. Selama
berbagai kekuatan tidak mau keluar dari proxy war, besar kemungkinan konflik
Suriah tidak akan berakhir dalam waktu dekat.
Tabel 2. Aktor Eksternal Konflik Suriah
Pro-Rezim

Pro-Oposisi

Rusia

AS

Cina

Uni Eropa

Hisbullah

Liga Arab

Iran

Turki

Keterlibatan Rusia .
Konflik domestik ini berkembang menjadi konflik yang terinternasionalisasi
setelah Liga Arab mengajukan kasus ini ke Dewan Keamanan PBB. Dalam krisis ini,
banyak aktor internasional terlibat di antaranya Liga Arab dan anggota PBB. Konflik
yang telah berlangsung selama 21 bulan ini menjadi wacana penting dalam Dewan
Keamanan PBB saat ini. Sehingga, dalam menganalisis konflik ini, kronologis krisis
Suriah menjadi penting untuk diketahui.
Sampai saat ini, krisis di Suriah masih berlangsung dan menjadi semakin
kompleks. Presiden Bashar Al-Assad tidak akan mundur dari jabatannya dengan cara
yang diinginkan oleh pihak oposisi. Intervensi beberapa negara dalam kondisi politik
dalam negeri Suriah memperumit jalannya dialog antara pemerintah dan oposisi.
Negara-negara Liga Arab dan Barat yang mendukung pihak oposisi baik secara
diplomatik maupun suplai senjata menjadi poin kritis yang disampaikan oleh Rusia.
Dalam Dewan Keamanan PBB, Rusia telah berusaha untuk menyampaikan pesannya
agar menghormati kedaulatan yang dimiliki oleh tiap-tiap negara di dunia. Sehingga,
apa yang diperjuangkan oleh Rusia menjadi analisis yang mendalam karena setiap
kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh suatu negara pasti dilandasi oleh
kepentingan nasional yang ingin dicapai.

Rusia saat ini sedang berusaha membantu Suriah dalam menghadapi intervensi
pihak luar dengan cara memberikan hak veto atas resolusi yang ditawarkan oleh
Dewan Keamanan PBB untuk penyelesaian krisis Suriah.
Faktor-Faktor Keterlibatan Rusia dalam Konflik Suriah
Suriah merupakan partner tradisional Rusia sejak era Perang Dingin. Suriah
menyediakan beberapa poin penting untuk Rusia seperti akses ke Mediterania dalam
memudahkan jalur perdagangan bagi Rusia yang

tidak memiliki garis pantai

langsung. Krisis yang saat ini terjadi di Suriah merupakan kondisi yang tidak
menguntungkan bagi iklim investasi dan perdagangan Rusia. Peningkatan ekskalasi
krisis yang terjadi berkaitan langsung dengan keamanan struktur dan infrastruktur
fisik milik Rusia di Suriah. Sedangkan dalam hitungan jangka panjang terdapat
kemungkinan Presiden Bashar Al -Assad akan jatuh dan jika hal tersebut terjadi maka
kemungkinan besar Rusia akan kehilangan Suriah sebagai partner ekonomi potensial.
Penekanan lain terdapat pada pentingnya bagi Rusia untuk mempertahankan
pengaruh yang dimilikinya dan keinginan untuk kembali bermain sebagai great power
state. Pihak AS saat ini menginginkan terjadinya proses peralihan pemerintahan dari
Presiden Bashar Al-Assad ke pemerintahan transisi yang telah disusun dengan alasan
pemenuhan proses demokrasi. Jika Rusia berhasil mempertahankan Presiden Bashar
Al-Assad maka hal tersebut akan merujuk pada kondisi dimana Rusia bisa
mengimbangi pengaruh AS di Timur Tengah.
Dengan adanya penekanan tersebut, maka berikut adalah beberapa faktor yang
mendorong Rusia untuk terlibat dalam krisis Suriah:
1. Melindungi Investasi dan Aset Perdagangan
Disebutkan dalam NSC tahun 2000 bahwa kepentingan Rusia hanya akan bisa dicapai
dengan adanya perkembangan ekonomi yang mendukung. Russia's national interests
may only be realized based on sustainable economic development.15 Sehingga, dalam
satu dekade ini, Rusia dengan giat berusaha untuk mencapai kemapanan ekonomi.
Salah satu basis investasi dan perdagangan Rusia adalah Suriah.
Laporan SIPRI tahun 2012 memperlihatkan sebanyak 10% dari total ekspor
senjata Rusia dialokasikan ke Timur Tengah. Negara penerima di Timur Tengah
adalah Suriah dan Iran. Suriah saat ini menempati urutan kedua negara importir
senjata per tahun 2011 dan sebanyak sebanyak 78% dari jumlah impornya merupakan
pasokan dari Rusia. Permintaan senjata Suriah meningkat sebanyak 580% dari kuartal
tahun sebelumnya. Jumlah kontrak yang disepakati oleh Rusia dan Suriah mencapai
15 Presiden Of Russia, (Military Doctrine Of Russian Federation), 2010

angka USD 5 milyar. Sehingga, penting bagi Rusia untuk melindungi aset dan
investasinya di Suriah.
Selain kerjasama ekspor senjata, hubungan e kebijakan pasar bebas dan Suriah
yang sedang aktif menjalankan liberalisasi dalam kerangka untuk meningkatkan
perekonomian domestiknya. Sebanyak 90 infrastruktur dan fasilitas industri di Suriah
merupakan kerjasama dengan Rusia. Sedangkan sepertiga dari fasilitas pemrosesan
minyak berada di bawah bantuan Rusia. Dalam bidang industri, kerjasama Rusia dan
Suriah meliputi pengembangan minyak bumi dan gas alam, proyek konstruksi
pembangkit listrik, pangkalan militer, dan perbaikan infrastruktur beberapa industri
Suriah.
Berdasarkan Doktrin Pertahanan Rusia tahun 2010, disebutkan bahwa Rusia
harus melakukan kebijakan luar negeri jika menyangkut urusan perekonomian
mereka. Rusia menganggap jika suatu negara melakukan tindakan agresif terhadap
partner ekonomi mereka di luar negeri, maka Rusia merasa perlu mengambil tindakan
represif untuk menyelamatkan perdagangan mereka. Dalam doktrin tersebut juga
disebutkan tindakan tersebut berupa kebijakan luar negeri yang sifatnya melindungi.
Sehingga, Rusia bisa menggunakan kapabilitasnya dalam melindungi apa saja yang
dinilai sebagai investasinya, termasuk asetnya yang berada di Suriah. Jika Rusia
meningkatkan aktivitas militernya di beberapa wilayah yang merupakan aset Rusia,
hal tersebut adalah tindakan penangkalan. Seperti yang terjadi di pangkalan Tartus,
saat ini Rusia menempatkan personil tambahan untuk berjaga-jaga dan mengirimkan
dua kapal Rusia untuk mengevakuasi warga negaranya yang bekerja di Suriah.
Tindakan ini merupakan tindakan pencegahan jika suatu saat Suriah mengalami
kekacauan yang tidak bisa ditangani atau rezim yang didukung Rusia berhasil
dijatuhkan.
Setiap negara akan berusaha untuk melindungi apa yang dimilikinya baik itu
di dalam maupun di luar batas teritori wilayahnya. Usaha Rusia untuk melindungi
perdagangan dan asetnya di Suriah diimplementasikan dengan pengiriman dua kapal
perang yang berkapasitas untuk mengevakuasi warga negara Rusia dan peralatanperalatan yang dimiliki Rusia di Suriah. Tidak ada yang berlebihan dengan tindakan
ini, berdasarkan konsep yang diungkapkan oleh Rodee bahwa setiap negara harus
meningkatkan derajat perekonomiannya untuk memakmurkan dalam negeri. Dalam
hal ini, kebijakan bisa berupa meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi dengan
negara lain, melindungi modal yang ada di luar negeri, dan menjaga eksistensi

ekonomi domestik untuk bisa sejalan dengan ekonomi global. Rusia melindungi
ekonominya yang berada di Suriah sebagai bentuk antisipasi ketika nanti Suriah
mengalami kejatuhan, ekonomi Rusia tidak akan terpengaruh, jikapun berpengaruh
maka hanya akan menimbulkan sedikit fluktuatif yang tidak menyebabkan krisis bagi
Rusia.konomi antara Rusia dan Suriah merupakan komitmen Rusia yang mendukung
implementasi . kebijakan pasar bebas dan Suriah yang sedang aktif menjalankan
liberalisasi dalam kerangka untuk meningkatkan perekonomian domestiknya.
Sebanyak 90 infrastruktur dan fasilitas industri di Suriah merupakan kerjasama
dengan Rusia. Sedangkan sepertiga dari fasilitas pemrosesan minyak berada di bawah
bantuan Rusia. Dalam bidang industri, kerjasama Rusia dan Suriah meliputi
pengembangan minyak bumi dan gas alam, proyek konstruksi pembangkit listrik,
pangkalan militer, dan perbaikan infrastruktur beberapa industri Suriah.
Berdasarkan Doktrin Pertahanan Rusia tahun 2010, disebutkan bahwa Rusia
harus melakukan kebijakan luar negeri jika menyangkut urusan perekonomian
mereka. Rusia menganggap jika suatu negara melakukan tindakan agresif terhadap
partner ekonomi mereka di luar negeri, maka Rusia merasa perlu mengambil tindakan
represif untuk menyelamatkan perdagangan mereka. Dalam doktrin tersebut juga
disebutkan tindakan tersebut berupa kebijakan luar negeri yang sifatnya melindungi.
Sehingga, Rusia bisa menggunakan kapabilitasnya dalam melindungi apa saja yang
dinilai sebagai investasinya, termasuk asetnya yang berada di Suriah. Jika Rusia
meningkatkan aktivitas militernya di beberapa wilayah yang merupakan aset Rusia,
hal tersebut adalah tindakan penangkalan. Seperti yang terjadi di pangkalan Tartus,
saat ini Rusia menempatkan personil tambahan untuk berjaga-jaga dan mengirimkan
dua kapal Rusia untuk mengevakuasi warga negaranya yang bekerja di Suriah.
Tindakan ini merupakan tindakan pencegahan jika suatu saat Suriah mengalami
kekacauan yang tidak bisa ditangani atau rezim yang didukung Rusia berhasil
dijatuhkan.
Setiap negara akan berusaha untuk melindungi apa yang dimilikinya baik itu
di dalam maupun di luar batas teritori wilayahnya. Usaha Rusia untuk melindungi
perdagangan dan asetnya di Suriah diimplementasikan dengan pengiriman dua kapal
perang yang berkapasitas untuk mengevakuasi warga negara Rusia dan peralatanperalatan yang dimiliki Rusia di Suriah. Tidak ada yang berlebihan dengan tindakan
ini, berdasarkan konsep yang diungkapkan oleh Rodee bahwa setiap negara harus
meningkatkan derajat perekonomiannya untuk memakmurkan dalam negeri. 16 Dalam
16 Carlton Clymer Rodee, Carlton Clymer. Introduction to Political Science 3rd
Revised Edition.USA: McGraw Hill Higher Education. 1993.

hal ini, kebijakan bisa berupa meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi dengan
negara lain, melindungi modal yang ada di luar negeri, dan menjaga eksistensi
ekonomi domestik untuk bisa sejalan dengan ekonomi global. Rusia melindungi
ekonominya yang berada di Suriah sebagai bentuk antisipasi ketika nanti Suriah
mengalami kejatuhan, ekonomi Rusia tidak akan terpengaruh, jikapun berpengaruh
maka hanya akan menimbulkan sedikit fluktuatif yang tidak menyebabkan krisis bagi
Rusia. Menurut Daniel Treisman, pakar Rusia di UCLA, It's a significant economic
interest. We're talking about several billion dollars in contracts with Syria may be at
risk. 17Jika Presiden Bashar Al-Assad jatuh, tentu hal tersebut akan membahayakan
semua investasi Rusia yang ada di Suriah. Pergantian rezim di Suriah bisa
menyebabkan Rusia kehilangan kontrak dengan Suriah nantinya sebagai bentuk baru
peningkatan ekonomi melalui hubungan dengan Turki, Eropa, dan AS sebagai patron
pihak oposisi semasa krisis. Kekhawatiran ini bukan merupakan asumsi tanpa dasar
melihat bagaimana akhir perdagangan senjatanya dengan Libya pada masa Presiden
Moammar Khadafi. Rusia dan Libya menyepakati kontrak perdagangan senjata
dengan nilai sebanyak USD 4 milyar dalam rentang 2005-2010. 18 Setelah terjadi
pergantian rezim, Pemerintah Libya yang baru kemudian menyepakati kontrak
perdagangan senjata jangka panjang dengan Perancis menggantikan Rusia.
Pergantian rezim pemerintahan baru akan membawa babak baru dalam
hubungan perdagangan dan investasi Rusia dan Suriah. Aset investasi Rusia di
kompleks pemrosesan minyak dan gas menjadi poin kekhawatiran Rusia jika saja
pemerintah baru yang naik tidak berada dalam hubungan baik dengan Rusia. Rezim
baru tentu akan membuat kebijakan baru yang berbeda dari rezim sebelumnya melihat
hubungan Rusia dan Presiden Bashar Al-Assad. Perubahan kebijakan ini belum tentu
akan sama menguntungkannya seperti saat ini dan besar kemungkinan justru akan
merugikan Rusia sebagai oposisi dari patron pihak oposisi Suriah yaitu AS dan
aliansinya.
Dengan demikian, untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan seperti tadi
maka Rusia akan berusaha semaksimal mungkin mendukung Presiden Bashar AlAssad untuk tetap menjadi pemimpin Suriah saat ini karena jelas bahwa ada
kepentingan yang dilindungi Rusia. Bagi Rusia, Presiden Bashar Al-Assad telah

17 James OToole, CNN Money, Billions at Stakes As Russia Backs Syria,


http://money.cnn.com/2012/02/09/news/international/russia_syria/index.htm , 10
Februari 2012, diakses pada tanggal 9 Oktober 2016.
18 Dmitry Gorenburg, PONARS Eurasia Policy Memo No. 198 June 2012, hal. 2.

mewadahi kepentingan ekonomi Rusia dan bagi Suriah, Rusia bisa melindungi rezim
Assad dari intervensi internasional. Sehingga, hal ini menjadi sama-sama
menguntungkan

dan

pada

akhirnya

keduanya

akan

berusaha

mencapai

kepentingannya masing-masing melalui kerjasama seperti ini. Namun tidak menutup


kemungkinan akan terjadi perubahan arah kebijakan luar negeri Rusia terhadap Suriah
jika saja ada kepentingannya yang berubah atau melihat adanya kemungkinan
Presiden Bashar Al -Assad nanti tidak bisa bertahan. Bukan tidak mungkin jika Rusia
mengalihkan kebijakan luar negerinya ke pihak oposisi agar nantinya aset
perdagangan dan investasinya di Suriah bisa di-cover untuk menghindari kejatuhan
yang lebih parah.
Mempertahankan Pengaruh di Timur Tengah
Rusia menyebutkan dalam dokumen resmi keamanan dan militernya bahwa
salah satu ancaman nyata bagi Rusia adalah The danger of a weakening of Russia's
political, economic and military influence in the world. 12 Saat ini Rusia menganggap
bahwa yang terjadi di Suriah merupakan usaha pelemahan pengaruh yang dimilikinya
di dunia oleh beberapa negara Barat. Sehingga, dalam menghadapi masalah seperti
ini, pengerahan kekuatan baik secara militer maupun diplomatik akan dilakukan oleh
Rusia.
Saat Rusia menyadari pentingnya untuk hadir kembali di kawasan Timur
Tengah, negara-negara Arab menginginkan peran politis di sana. Pada akhirnya, Rusia
harus kembali merekonstruksi kebijakannya berdasarkan tujuan strategis yang tertulis
dalam dokumen resmi mengenai keamanan dan pertahanan Rusia. Pertama, Rusia
ingin mewujudkan perbatasan sebelah selatan yang aman termasuk kondisi domestik
negara yang berbatasan langsung dengan Rusia. Kedua, Rusia ingin membangun
hubungan yang baik dengan Islam. Ketiga, Rusia menginginkan akses ke Mediterania
mengingat kondisi geografis Rusia yang bersifat landlocked . Secara garis besar
tujuan strategis tersebut merupakan turunan dari tujuan besar yang ingin dicapai yaitu
bangkit dari keterpurukan tahun 1991 dan menaikkan posisi Rusia sebagai pemain
aktif di meja internasional. Pijakan pengaruh di kawasan Timur Tengah merupakan
prasyarat bagi Rusia untuk menjadi aktor penting dalam politik global. Beberapa
contoh jelas memperlihatkan bahwa Rusia ingin memperoleh kembali pengaruh di
kawasan Timur Tengah, misalnya memberikan senjata gratis untuk Palestinian
Authority, memberikan helikopter penyerang untuk Libanon, dan penghapusan utang
Suriah dan Libya.

Dari sudut pandang Rusia dapat dilihat bahwa kawasan Timur Tengah
memang penting dimana saat ini arena konflik internasional utama berada di Timur
Tengah. Ditambah dengan fakta bahwa kawasan Timur Tengah merupakan perbatasan
sebelah selatan Rusia yang bisa memberikan manfaat geopolitiknya. Bagi Rusia,
hubungan ekonomi dengan Timur Tengah, khususnya Suriah, dalam bentuk
perdagangan minyak atau senjata lebih bernilai politis. Hal ini bisa dibuktikan dengan
fakta keuntungan perdagangan senjata Rusia di Suriah tidak begitu besar atau mampu
mendongkrak kondisi ekonomi Rusia saat ini. Kehadiran Rusia dalam krisis di Suriah
lebih jelas terlihat dari sudut pandang politis-strategis, sehingga sangat jelas bahwa
keberadaan hubungan ekonomi Rusia dan Suriah lebih pada usaha Rusia untuk
kembali menjadi kekuatan yang diperhitungkan.
Rusia dan Suriah pernah mengalami pemutusan hubungan diplomatik selama
beberapa saat. Namun hal tersebut tidak mengubah konstelasi hubungan keduanya.
Sejak awal Rusia dan Suriah menjalin hubungan yang sifatnya lebih politis dibanding
ekonomis. Apa yang terjadi sekarang merupakan akumulasi serta keberlanjutan
hubungan politis tersebut walaupun banyak diikuti dengan tren hubungan ekonomi.
Dalam kaitannya dengan krisis Suriah, semua tindakan yang dilakukan oleh Rusia
bukan untuk melenggangkan kekuasaan sebuah rezim selama bertahun-tahun. Rusia
memiliki kekhawatiran jika Presiden Bashar Al-Assad turun, maka pengaruh yang
dimilikinya ikut menghilang. Ruslan Pukhov, analis pertahanan Rusia yang sekarang
menjabat sebagai Direktur CAST, berpendapat bahwa Suriah adalah satu-satunya
negara di Kawasan Timur Tengah yang mengikuti nasehat Rusia. Di sinilah Rusia bisa
menjalankan pengaruh tertentu yang nyata. Jelas, kekalahan Suriah berarti Rusia tidak
akan memiliki pengaruh di kawasan itu sama sekali. Hal ini memiliki nilai simbolik
untuk otoritas Rusia dan penetapan kebijakan luar negeri sebagai tanda bahwa Rusia
adalah negara great power.13 Rusia sadar sepenuhnya jika Rusia bertindak lunak
dalam menghadapi revolusi suatu negara dan membiarkan masuknya intervensi asing
baik melalui Dewan Keamanan atau ilegal, Rusia akan kehilangan pengaruhnya.
Hubungan yang terjalin antara Rusia dan Suriah merupakan hubungan yang
dinamis seiring dengan pergantian pemimpin dan pola hubungan internasional saat
itu. Bagi Rusia, Suriah adalah pertahanan yang paling penting untuk pijakannya di
Timur Tengah. Jika Suriah jatuh, maka Iran akan kehilangan pengaruh yang cukup
besar bersama dengan Rusia. Kejatuhan Suriah akan memberi satu kesimpulan bahwa
Rusia tidak mampu menjaga negara aliansinya yang berarti bahwa Rusia bukanlah
negara yang great power.

Arah politik Rusia yang ingin aktif sebagai aktor penting dalam politik global
mengharuskan Rusia untuk bisa mengembalikan dan mempertahankan pengaruhnya
melalui strateginya terkait krisis Suriah, sebagai aliansi terdekatnya. Lebih lanjut,
Andrei Klimov, Kepala Deputi Hubungan Luar Negeri Parlemen Rusia, mengatakan
bahwa Rusia menginginkan jalan keluar yang damai. Rusia tidak ingin
memperpanjang rezim yang saat ini berkuasa untuk beberapa dekade maupun abad
selanjutnya. Tugas Rusia adalah menemukan jalan damai secepatnya.
Dalam Doktrin Militer Rusia 2010, disebutkan bahwa terdapat wilayah dimana
Rusia telah memiliki kepentingan istimewa. Ini merupakan daerah asal negaranegara yang Rusia memiliki hubungan sejarah khusus dan terikat bersama sebagai
teman dan tetangga yang baik. Rusia akan memberi perhatian khusus untuk pekerjaan
Rusia di wilayah ini dan membangun hubungan bersahabat dengan negara-negara ini,
tetangga dekat Rusia. Berdasarkan poin di atas, maka tindakan yang dilakukan oleh
Rusia sebagai kebijakan terhadap Suriah menjadi jelas bahwa mereka melakukan
suatu kewajiban. Panduan kebijakan luar negeri yang telah jelas tertulis menjadi satu
bentuk analisis yang nyata. Rusia sedang dalam usaha untuk mencapai kepentingan
nasionalnya.
Menciptakan Stabilisasi Kawasan
Pangkalan Tartus di Suriah yang telah beroperasi sejak tahun 1963 menjadi
pangkalan yang cukup aktif terhitung meningkatnya konflik Suriah. Di pangkalan ini
terdapat kurang lebih 500 orang Rusia yang bekerja sebagai staf administasi, mekanis,
maupun angkatan bersenjata Rusia. Pangkalan Tartus dulunya merupakan pelabuhan
transit sekaligus depot suplai Rusia di Laut Mediterania. Bagi Rusia, pangkalan ini
adalah aset yang penting karena dinilai sangat strategis dan juga bersifat politis. Pihak
oposisi belum mengeluarkan pernyataan mengenai masa depan pangkalan ini jika
mereka berhasil menjatuhkan Presiden Bashar Al-Assad. Sehingga, Rusia merasa
sangat bergantung dengan Presiden Bashar Al-Assad saat ini terlebih mengingat
bahwa Rusia tidak pernah menyepakati kekuasaan yang didapat dari kejatuhan satu
otoritas kedaulatan yang utuh. Ketika Rusia tidak mampu mempertahankan Pangkalan
Tartus, maka Rusia akan gagal dalam memproyeksikan kekuatannya di Kawasan
Mediterania dan secara umum akan dinilai sebagai kegagalan seperti Libya.
Sedangkan di Suriah sendiri, kurang lebih 3000 orang Rusia telah menikah
dengan warga Suriah dan hidup menetap. Terdapat pula 100.000 lebih orang
Circassian14 yang merupakan pendukung Bashar Al-Assad. Penduduk ini banyak

tinggal di Homs, Damaskus, dan Aleppo. Sejak konflik di Suriah menjadi masalah
yang serius, banyak dari penduduk Circassian ini memilih mengungsi atau kembali ke
Rusia. Sedangkan di Rusia, daerah yang dihuni oleh orang Circassian adalah daerah
Republik Karbadino-Balkaria, Karachai-Cherkessia dan Adygea yang terletak di
bagian utara Pegunungan Kaukasus.
Pemerintah Rusia khawatir jika mereka membuka pintu, maka akan terjadi
destabilisasi kawasan. Bercermin pada pengalaman Chechnya, Rusia tidak ingin kasus
tersebut terulang. Sehingga saat ini, Rusia berusaha semampunya agar tidak terjadi
gelombang pengungsian di daerah asal orang Circassian. Menurut Andrei Klimov
krisis yang terjadi di Suriah merupakan hal yang berbahaya yang terjadi di pintu
Rusia. Rusia hanya ingin menghindari jenis agresi dari manapun. Sehingga, Rusia
akan mengerahkan semua kapabilitasnya dalam hal militer maupun politik untuk
menangkal ancaman tersebut.
Kejatuhan Suriah tentu akan membawa dampak yang besar bagi kawasan
Timur Tengah dan sekitarnya. Salah satu poin national security Rusia adalah
menciptakan yang stabil. Rusia menaruh kekhawatiran bahwa jika Suriah dibiarkan
terus tidak stabil atau bahkan jatuh, maka ketidak stabilan akan menyebar ke Rusia
melalui Chechnya dan Kaukasia Utara. Salah satu pihak yang tidak bisa disangkal
keberadaannya adalah kelompok teroris yang mengancam keamanan kawasan
tersebut. Kelompok teroris merupakan ancaman yang nyata bagi Rusia, dalam
dokumen NSC dan NSS, teroris dianggap sebagai ancaman bagi keamanan Rusia dan
harus segera dihentikan. Pengalaman Chechnya dan Kaukasia Utara menjadi pil pahit
yang harus ditelan oleh Rusia berkaitan dengan usahanya menjalin hubungan dengan
dunia Islam dan memerangi terorisme.
Keterlibatan Amerika Serikat
Kepentingan Amerika Serikat di Kawasan Timur Tengah
Perkara yang penting untuk diketahui ketika ingin melihat proses penyusunan
kebijakan luar negeri sebuah negara adalah kepentingan dari sebuah negara. Oleh
sebab itu, ketika kita ingin mengetahui tentang bagaimana proses penyusunan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Timur Tengah, maka yang penting
untuk kita pahami adalah kepentingan dari Amerika Serikat itu sendiri. Menurut
Bowman (2008:78), ada tiga kepentingan utama Amerika Serikat di Timur Tengah,
pertama dan yang dalam jangka panjang adalah kepentingan untuk mengamankan dan
tidak dirintanginya aliran minyak dari kawasan teluk Persia ke Amerika Serikat dan

negara-negara industri lainnya. Untuk mencapai kepentingannya tersebut maka


negara-negara Barat perlu untuk mengamankan cadangan minyak tersebut dari
gangguan teroris atau negara-negara musuh. Kepentingan kedua Amerika Serikat di
Timur Tengah yakni memastikan bahwa baik aktor negara maupun non-negara di
kawasan tersebut tidak mengembangkan, memperoleh, atau menggunakan senjata
pemusnah massal atau Weapon of Mass Destruction (Bowman, 2008 : 79). Saat ini
negara di Timur Tengah yang menjadi ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat
adalah Iran, dimana negara tersebut dengan bangganya memamerkan teknologi nuklir
yang mereka miliki dan melakukan Megaphone Diplomacy terhadap negara-negara
Barat yang menghalangi usaha mereka serta dengan gampangnya mengabaikan
resolusi dan sanksi yang diberikan PBB kepadanya. Meskipun disisi lain Amerika
Serikat memang tetap menjalin beberapa hubungan dengan Iran untuk menjaga
stabilitas kawasan Timur Tengah. Pola permusuhan yang dibangun Iran terhadap AS
adalah permusuhan dengan batas-batas tertentu. Amerika ingin rezim Iran tetap
berdiri, karena Amerika menginginkan isu nuklir tetap memanas, tetapi tidak sampai
pada tingkat hulu ledak nuklir dan tidak diselesaikan secara final. Iran hanya diberi
sanksi, tetapi Iran tetap eksis dan dibiarkan tetap menjadi suatu hal yang menakutkan
negara-negara Teluk sebagai batu pijakan bagi kelangsungan militer Amerika di
Teluk. Amerika juga memanfaatkan Iran untuk membangun perisai rudal di Turki, dan
di Eropa Tengah dengan alasan menangkal senjata nuklir Iran dan menjaga Eropa dari
nuklir Iran. Isu nuklir Iran juga dijadikan justifikasi peningkatan anggaran belanja
kementerian pertahanan AS.19
Kepentingan Amerika Serikat yang ketiga yakni membantu kawasan tersebut
agar tidak menjadi sarang, panggung aksi, ataupun pengekspor ekstrimis Islam yang
mengandalkan kekerasan (Bowman, 2008 : 80). Ekstrimisme Islam yang dimaksud
disini adalah kelompok-kelompok yang berusaha memperjuangkan tegaknya kembali
negara Islam. Mengapa Amerika Serikat membenci dan berusaha memberantas
ekstrimisme Islam, hal tersebut disebabkan karena mereka inilah yang melawan
Amerika Serikat secara terang-terangan dan melakukan aksi-aksi nekat yang dapat
membuat kekacauan dan akhirnya mengganggu kepentingan Amerika Serikat yang
lain seperti usaha bom bunuh diri yang dilakukan anggota Al-Qaeda di pabrik minyak
Abqaiq di Saudi Arabia (Bowman, 2008 : 79). Belum lagi ketakutan Amerika Serikat

19 Al-Waie, No. 159 Tahun XIV, 1-30 November 2013, hal. 22

jika sampai senjata pemusnah massal seperti teknologi nuklir jatuh ke tangan kaum
ekstrimis Islam, tentu akibat buruknya akan berlipat ganda.20
Untuk mengamankan kepentingan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah,
maka yang dilakukan Amerika Serikat adalah melakukan penempatan pasukan militer
sebanyak mungkin di kawasan tersebut (Bowman, 2008 : 81). Karena hanya dengan
menempatkan pasukan militer maka tiga kepentingan tersebut dapat tercapai.
Keberadaan militer Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah dapat dipergunakan
untuk melakukan pengawasan terhadap sumber-sumber minyak dari gangguan teroris
ataupun instabilitas domestik kawasan, serta dapat mengawasi pergerakan aktor-aktor
yang mengembangkan senjata nuklir seperti Iran, serta dengan keberadaan pasukan
tersebut dapat dipergunakan oleh Amerika Serikat untuk memburu para ekstrimisme
Islam, serta menghalau laju kebangkitan Islam sebagai ancaman ideologis global yang
baru pasca runtuhnya Komunisme.
Dalam rangka memuluskan kepentingan AS serta memperoleh izin untuk
menempatkan pasukan secara permanen di Timur Tengah, maka AS menjalin
kerjasama dengan beberapa negara di kawasan. Sejak tahun 1930-an AS telah
berusaha untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara Timur Tengah, seperti Arab
Saudi dan Iran (1953-1979). Pada masa awal kerjasama dengan negara-negara Timur
Tengah AS lebih memfokuskan pada upaya untuk meminimalisasi pengaruh dari Uni
Sovyet dengan cara mendukung dan memberi bantuan militer dan ekonomi bagi
pemerintahan yang anti-Soviet (Bowman, 2008 : 80). Namun, dalam perkembangan
selanjutnya keberadaan pasukan Amerika Serikat tidak memperoleh apresiasi yang
baik dari penduduk setempat dan pada kelanjutannya menjadi pemicu munculnya
gerakan-gerakan radikal. Atas dasar itu, keberadaan militer Barat di Timur Tengah
justru menjadi counterproductive karena memunculkan kemarahan bagi umat Islam
yang kemudian melakukan aktivitas Jihad yang ditujukan untuk mengusir Barat dari
Timur Tengah.21
Pada hakekatnya Amerika Serikat atau Barat yang didominasi oleh negara
maju merupakan negara-negara yang arogan serta cenderung bersikap superior,
mereka memiliki anggapan bahwa kelompok ekstrimis dan negara yang tidak
mengikuti arahan kebijakannya sebagai musuh. Tindakan atau kebijakan yang
dikeluarkannya tergolong berlebihan untuk mengamankan kepentingan dirinya di
20 http://muzainiyeh---fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-59281-MBP%20Timur%20Tengah-Kepentingan
%20Barat%20di%20Timur%20Tengah.html, diakses pada tanggal 9 Oktober 2016

21 http://muzainiyeh---fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-59281-MBP%20Timur%20Tengah-Kepentingan
%20Barat%20di%20Timur%20Tengah.html, diakses pada tanggal 9 Oktober 2016

sebuah negara serta seringkali melanggar asas-asas kedaulatan dan non-intervensi,


sebagaimana yang dilakukan terhadap Irak pada tahun 2003. Adapun kelompok
ekstrimis dan tindakan radikal yang terjadi di Timur Tengah, yang oleh Amerika
Serikat disebut sebagai terorisme sejatinya disebabkan oleh kebencian kaum pribumi
yang merasa tanahnya di okupasi oleh negara lain. Selain itu, kebudayaan Barat yang
menjunjung tinggi kebebasan tidak cocok jika dipertemukan dengan kebudayaan
Timur Tengah yang sangat agamis dan menjunjung tinggi kesucian. Timur Tengah
merupakan wilayah dimana tiga agama samawi berasal, oleh karena itu merupakan
tempat suci, sementara tentara Amerika Serikat banyak melakukan tindakan sesuka
hati dan tidak sesuai dengan tuntutan agama.22
Oleh sebab itu, menarik selanjutnya untuk kita kaji mengenai kerangka
kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Timur Tengah dalam rangka upaya
untuk menjelaskan sikap dari Amerika Serikat terhadap kebangkitan Islam. Mengingat
kelompok-kelompok penting di Amerika Serikat menyejajarkan ancaman Komunisme
Soviet dan ancaman Islam politik. Bahkan, Huntington menyatakan dalam bukunya
yang berjudul The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order bahwa
Amerika Serikat pasca perang dingin adalah negara yang sepertinya sedang mencari
musuh baru guna menguji coba kekuasaan, dan Islam menjadi pilihannya. Slogan
mereka, Ancaman Hijau menggantikan ancaman Merah23. Ditambah lagi dengan
fenomena yang tebaru di kawasan Timur Tengah yang disebut dengan peristiwa Arab
Spring, tentu fenomena ini menjadi sebuah hal yang juga meningkatkan kewaspadaan
Amerika Serikat terhadap Islam politik yang diusung oleh gerakan-gerakan yang
berusaha menyongsong kembali kebangkitan Islam.
Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat : Ideologi versus Politik Riil
Dalam konteks legalisme-moralisme keterlibatan peran budaya dan sejarah
sangat kuat dalam kecurigaan AS terhadap para Islamis, konteks pertimbangan yang
muncul dalam kebijakan luar negeri untuk domain ini lebih cenderung berbasis
ideologis yang didasarkan pada nilai-nilai mendasar yang dianut oleh Amerika
Serikat. Dalam konteks budaya terdapat nilai-nilai yang berperan penting dalam
membentuk sebagian besar persepsi para pembuat kebijakan. Atas dasar itu, maka,
kumpulan nilai, kepercayaan, sikap, tata cara dan gaya hidup yang dianut bersama
22 Ibid
23 Samuel P. Huntington, The Clash Civilizations and The Remaking of World Order
(Edisi Indonesia : Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia),
Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2003, Hal. xii

menjadi preferensi yang dipergunakan oleh para pemimpin Amerika dalam


merumuskan kebijakan luar negeri. Dalam kasus hubungan antara Barat dan Islam,
maka terdapat nilai-nilai dan prinsip hidup yang berbeda diantara mereka yang
dipengaruhi oleh pandangan hidupnya. Selain itu, persepsi budaya orang Amerika
cenderung menganggap bangsa Arab atau Muslim berbahaya, tidak dapat dipercaya,
tidak demokratis, barbar dan primitif. Sejak awal 1980-an, segala peristiwa di dunia
Muslim merupakan berita taumatis di Amerika Serikat. Seorang editor New York
Times menulis bahwa berkat politik internasional saat ini, satu bentuk rasialisme
etnis meraih tempat terhormat di AS : rasialisme terhadap orang Arab (Muslim).24
Pandangan rakyat Amerika terhadap umat Muslim ini mungkin saja berakar
dari sejarah religius negeri ini, dan bisa ditelusuri sampai ke konflik historis antara
umat Kristen dan Islam, sebuah pertikaian yang diturunkan dan dipopulerkan dari
generasi ke generasi melalui sejarah, sastra, cerita rakyat, media, dan wacana
akademis. Ketakutan akan kebangkitan Islam juga berakar pada sebuah pandangan
bahwa kaum islamis kelihatannya anti-demokrasi maka tidak terdapat kesamaan
dalam tujuan mereka. Diasumsikan juga bahwa kekuatan Islam bisa mengancam
perimbangan kekuatan antar negara, dan di dalam negeri mereka bersikap represif.
Dalam pandangan ini terkandung dua buah hipotesis : (1) Islam tidak sejalan dengan
demokrasi, dan (2) para Islamis terlahir sebagai perebut-kembali kekuasaan
(irredentist).25
Kerangka kebijakan luar negeri lainnya dari Amerika Serikat sebagaimana
dijelaskan sebelumnya adalah pragmatisme-realisme, berbeda dengan legalismemoralisme yang lebih menekankan pada aspek budaya dan sejarah. Maka,
pragmatisme-realisme lebih menekankan pada masalah politik dan pertahanankeamanan, dimana kedua aspek ini mungkin lebih berpengaruh ketimbang kedua
faktor sebelumnya, karena berdampak langsung pada persepsi para pemimpin AS
tentang kepentingan utama mereka. Ini termasuk perhitungan strategis Amerika dalam
peta Arab-Israel, rawannya akses terhadap minyak Teluk Persia, rentannya pertahanan
rezim-rezim Timur Tengah pro-Amerika dari serangan kaum Islamis, jatuhnya
komunisme Soviet, masa jeda terorisme, dan kemungkinan makin berkembangnya
senjata nuklir.
Sesungguhnya sudah sejak lama para elit pembuat kebijakan AS mewaspadai
potensi radikal dari terjadinya berbagai macam bentuk revolusi berikut dengan
24 Fawaz A. Gerges, op.cit, hal. 7
25 Ibid, hal 9-11

tantangan yang ditimbulkannya terhadap prinsip-prinsip ketertiban dan hak negara,


AS selalu menaruh kebencian terhadap peristiwa revolusi-revolusi yang menyimpang
dari norma-norma konstitusional, liberal, dan kapitalis Amerika. Tujuan kebijakan
luar negeri yang berbasis pada pragmatisme-realisme selalu terkait erat dengan
pencapaian stabilitas, yang sebagian dipahami sebagai suatu proses perubahan yang
teratur. Di sinilah ditemukan alasan bagi benturan Amerika dengan nasionalisme
revolusioner selama masa Perang Dingin dan kini dengan penggantinya dan ahli
warisnya Islam revolusioner.26
Para pengambil kebijakan AS memiliki ketakutan terhadap dampak-dampak
yang dapat ditimbulkan oleh kebangkitan Islam. Yang paling ditakuti oleh elit
kebijakan luar negeri Amerika adalah efek-efek pengguncangan oleh militan Islam
terhadap stabilitas dan keamanan negara-negara penghasil minyak di Teluk Persia
serta terhadap proses perdamaian Arab-Israel, dua tiang utama dalam kebijakan luar
negeri AS di kawasan Timur Tengah. Di hadapan Amerika Serikat kedua tiang
diplomasi tradisional Amerika ini terancam lebih besar oleh perlawanan Islam internal
dibanding oleh kekuatan-kekuatan luar. Selanjutnya, dalam benak banyak orang
Amerika, ancaman Islam ekstrimis makin berganda dengan adanya terorisme
internasional maupun domestik dan ketakutan terhadap bom nuklir Islam.
Secara umum ancaman politik Islam oleh para kelompok-kelompok penting di
Amerika Serikat disejajarkan dengan bahaya Komunisme Soviet yang merupakan
lawan ideologis baru bagi Amerika Serikat setelah runtuhnya Komunisme. Untuk itu,
para pejabat Amerika Serikat diminta untuk membendung (contain) dan bukannya
melunakkan (appease) sang musuh baru. Tetapi saran-saran terkait kebijakan
pembendungan yang bersifat mendahului (preemptive) ini bukan satu-satunya
topik debat publik di Amerika. Sekelompok intelektual, yang jumlahnya kecil tetapi
penting mempertanyakan ketepatan dan penerapan wacana dominan tentang Islam
politik di AS. Orang-orang dari kelompok ini tidak melihat aktivitas Islam sebagai
ancaman absolut tapi lebih sebagai tantangan berupa fenomena yang ambigius,
beragam, dan terpecah-pecah. Lebih lanjut lagi, beberapa pengamat Amerika melihat
para Islamis baru ini bahkan mungkin sedang memainkan peran politik yang
konstruktif dalam mereformasi dan meliberalkan masyarakat mereka, sama seperti
yang dilakukan para reformis Protestan di Eropa lima ratus tahun silam.27

26 Fawaz A. Gerges, op.cit ,hal 12


27 Ibid ,hal 14-15

Konteks Intelektual Kebijakan Luar Negeri AS : Antara Konfrontasionalis dan


Akomodasionis
Secara umum ketegangan dialektik antara pragmatisme-realisme dan
legalisme-moralisme yang terjadi dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat
terhadap Islam politik di kawasan Timur Tengah melahirkan sebuah debat kebijakan
yang vital dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Pandangan-pandangan berbeda para pembentuk opini serta akademisi terhadap Islam
politik mengerucut pada perbedaan kubu dalam panggung intelektualitas AS, yaitu
terbentuknya dua buah kubu yang saling bersaing yakni kubu Konfrontasionalis dan
kubu Akomodasionis.
Ada dua tema yang menjauhkan kubu akomodasionis dan konfrontasionalis.
Pertama, terkait dengan perkara optimisme melawan skeptisisme tentang prospek
demokrasi dalam masyarakat muslim, dan juga menyangkut pretensi-pretensi
demokratis kalangan Islamis. Kedua, menyangkut spekulasi tentang agenda politis
para Islamis begitu mereka meraih kekuasaan, apakah mereka akan bertindak seakan
merebut kembali kekuasaan yang pernah hilang, atau akankah realitas-realitas politik
mencairkan kobaran ideologis para Islamis dan melunakkan perilaku mereka terhadap
AS.28
Pada hakekatnya kedua kubu tersebut masih menyimpan kekhawatiran
terhadap Islam Politik, tetapi terdapat perlakuan yang berbeda dalam menyikapinya.
Kubu konfrontasionalis lebih menekankan pada sebuah interpretasi bahwa Islam
adalah Sang Musuh Baru dan merupakan ancaman yang bersifat monolitik dengan
berdasar pada aspek ideologi, budaya, dan sejarah AS. Sedangkan, kubu
akomodasionis menekankan pada sebuah interpretasi bahwa Islam merupakan
Tantangan Baru yang persepsi ancaman terhadapnya tidak bersifat monolitik,
melainkan melihat dunia Islam sebagai sesuatu yang lebih terkotak dan terpilah
dengan berdasarkan pada aspek politik dan pertahanan keamanan.
Kebanyakan konfrontasionalis memberikan label kepada aktivis Islam dengan
sebutan fundamentalisme Islam yang dalam anggapan mereka bahwa pada
praktiknya Islam dan demokrasi itu berlawanan. Para konfrontasionalis menganggap
Islam sebagai sebuah musuh ideologis yang sudah terlahir anti-demokrasi dan sangat
anti-barat, dan dalam berbagai hal menjadikan Barat sebagai sasaran. Gilles kepel dan

28 Ibid ,hal 26

Lewis lebih jauh menyatakan bahwa demokrasi liberal tidak selaras dengan
fundamentalisme Islam.29
Konfrontasionalis lebih jauh lagi meyakini bahwa persaingan antara Islam dan
Barat bukan cuma urusan materi dan kepentingan politik, tetapi pertarungan di antara
keduanya merupakan suatu perang budaya dan peradaban. Dalam sebuah artikel yang
terkenal, Huntington meyakini sangat pentingnya budaya dalam politik internasional :
Sumber konflik yang mendasar dalam dunia baru ini bukanlah bersifat ideologis dan
ekonomi. Hal yang membelah-belah umat manusia dan sekaligus merupakan sumber
konflik yang utama adalah kebudayaan. Perang peradaban akan mendominasi peta
politik global. Perselisihan-perselisihan yang paling penting, menurut Huntington,
akan terjadi sepanjang garis kebudayaan yang memisahkan Barat dari peradabanperadaban non-Barat : Di kedua sisi, interaksi antara Islam dan Barat dilihat sebagai
perang peradaban. Ia memprediksi bahwa perang dunia berikutnya adalah sebuah
perang antar peradaban.30
Konfrontasionalis mengklaim bahwa terdapat tali-tali politis di antara berbagai
gerakan Islam. Mereka yakin bahwa fundamentalis Islam membentuk jaringan
internasional yang terus berkembang. Sama-sama mesianis dan ideologis, ekstrimis
dan tegar, amat sangat memusuhi liberalisme Barat. Efek teori domino dianggap telah
terjadi.

Satu

dua

keberhasilan,

ujar

Jonathan

Paris,

dapat

mengubah

fundamentalisme Islam menjadi sebuah bola salju revolusioner yang bisa menembus
semua perbatasan ke arah suatu ummat yang lebih besar, atau mencapai kesatuan
untuk

melaksanakan

Jihad.

Satu-satunya

yang

dibutuhkan

adalah

suatu

kepemimpinan untuk menyatukan Muslim menjadi sebuah kekuatan politik Islam.


Dalam khasanah intelektual Islam disebut dengan negara Khilafah yang dipimpin oleh
seorang Khalifah.
Para konfrontasionalis melihat bahwa pertikaian yang terjadi dengan dunia
Muslim sekarang ini sebagai bagian dari konfrontasi yang lebih luas antara Barat yang
demokratis dan kawan-kawan sekularnya melawan apa yang mereka sebut sebagai
despotisme timur ataupun Islam ekstremis. Bukannya menciptakan sebuah dunia
yang lebih damai, keruntuhan Uni Soviet malah melahirkan sebuah perang budaya
yang lebih mematikan antara Islam dan Barat. Dalam perang peradaban ini, Amerika
Serikat tidak boleh hanya berdiam diri. Jawabannya adalah pertempuran dan
penumpasan, bukan perjanjian dan perlucutan senjata.
29 Ibid, hal 27
30 Huntington, The Clash of Civilizations, hal. 22

Sementara, kubu akomodasionis menolak deskripsi Islam yang digambarkan


para konfrontasionalis, penganut paham akomodasionis yakin bahwa baik di masa
lalu maupun sekarang, ancaman sebuah Islam yang monolitik selama ini adalah mitos
Barat yang berulang lagi, sebuah mitos yang jauh dari realitas sejarah Muslim.
Mereka memandang dunia Islam sebagai sebuah dunia yang lebih ter 31kotak dan
terpilah, bukan seperti yang seringkali dipahami; keragaman, dan bukannya kesatuan
yang abadi, merupakan faktor penentu utama dalam perumusan kebijakan luar negeri
Amerika Serikat terhadap Timur Tengah. Menurut pandangan mereka kelompok dan
gerakan-gerakan Islam secara internal mengalami keragaman yang selanjutnya
menuntut Amerika Serikat untuk mengapresiasi keragaman aktor-aktor Islam dan
gerakan-gerakannya,

dalam

rangka

mengetahui

dengan

pasti

alasan

yang

menyebabkan terjadinya persinggungan antara Islam dengan Barat, serta menanggapi


situasi tertentu dengan tanggapan yang berdasarkan pengetahuan dan nalar, bukan
dengan reaksi berasarkan prasangka semu belaka. Dalam konteks ini, nampaknya
Amerika ingin menjangkau kelompok-kelompok Islam yang lebih moderat dan mau
bersahabat dengan Barat.
Kaum akomodasionis menekankan kepada pejabat AS tentang pentingnya
menganut kebijakan-kebijakan yang lebih beragam nuansanya dengan membedakan
elemen-elemen pragmatis dalam gerakan-gerakan Islam dari aktivis-aktivis militan
yang lebih cenderung berbasis pada Ideologi. Para akomodasionis menganjurkan agar
AS secara berangsur-angsur melibatkan elemen-elemen pragmatis itu dalam proses
politik, mereka menyarankan untuk memarjinalkan aktivis-aktivis militan dengan cara
yang tidak memicu kekerasan.
Akomodasionis menekankan kritik pada wacana dominan mengenai Islam
Politik lebih didasarkan pada perhitungan serta kekhawatiran yang pragmatis dan
bukannya disebabkan alasan-alasan kekaguman atau rasa menghargai terhadap kaum
Muslim. Pelan tapi pasti, terkikisnya tatanan politik yang berlaku membuat para
akomodasionis merekomendasikan pendekatan inklusif, bukan eksklusif, yang bisa
mengamankan kepentingan AS dalam jangka waktu yang panjang. Dalam konteks ini
saran-saran kebijakan akomodasionis berakar dari realitas politik dan bukannya
sentimen ideologis. Akomodasionis tidak mengabaikan politik riil, melainkan mereka
tergerak untuk menjaga kepentingan nasional Amerika Serikat dengan landasan
politik dan pertahanan-keamanan. Artinya, mereka akan merangkul kelompok
moderat dan meminimalisasi pengaruh dari kelompok radikal.
31 Ibid, hal, 31-32, 39

Berdasarkan pada kerangka kebijakan luar negeri AS terhadap Islam Politik di


kawasan Timur Tengah sebagaimana yang dijelaskan diatas , maka terdapat tiga hal
yang mendasari posisi Amerika terhadap Islam politik. Pertama, AS tidak ingin
terlihat tak bersahabat bagi negara-negara Islam; sikap semacam ini dilandasi oleh
kekhawatiran bahwa sikap tak bersahabat bakal memperparah sikap mereka terhadap
Amerika. Alasan kedua, AS ragu-ragu untuk secara terbuka mendukung kelompok
Islam manapun kecuali jika menguntungkan bagi kepentingan regionalnya ataupun
kepentingan sekutunya. Alasan ketiga, di dalam lingkaran para pembuat kebijakan
luar negeri AS terdapat sebentuk ketidakyakinan tentang kemungkinan terjadinya
hubungan baik antara Islam dan demokrasi. Sehingga, bukannya memberikan
panduan kebijakan yang konkret, pernyataan-pernyataan resmi AS jadinya berbentuk
bahasa yang mendua dan bisa memunculkan beragam interpretasi, seputar apakah
Amerika menganggap Islam Politik sebagai Musuh Baru ataukah sebagai
Tantangan Baru. Memang benar, beberapa aktor-aktor gerakan Islam sangat
provokatif dan konfrontasionalis, tetapi disisi lain terdapat pula aktor-aktor Islam
yang moderat dan bersedia untuk berdiskusi dengan Amerika Serikat.

Вам также может понравиться