Вы находитесь на странице: 1из 12

KEBAKARAN HUTAN

Kebakaran hutan atau lahan adalah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat
fisik dan atau hayatinya yang menyebabkan kurang berfungsinya hutan atau lahan dalam
menunjang kehidupan yang berkelanjutan sebagai akibat dari penggunaan api yang tidak
terkendali maupun faktor alam yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan atau
lahan.
Penyebabnya di antaranya :
1. Aktivitas manusia yang menggunakan api di kawasan hutan dan lahan sehingga
menyebabkan bencana kebakaran
2. Faktor alam yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
3. Jenis tanaman yang sejenis dan memiliki titik bakar yang rendah serta hutan yang
terdegradasi menyebabkan semakin rentan terhadap bencana kebakaran.
4. Angin yang cukup besar dapat memicu dan mempercepat menjalarnya api.
5. Topografi yang terjal semakin mempercepat dan merembetnya api dari bawah ke atas.
Kebakaran hutan dan lahan sebagian besar dipengaruhi oleh faktor manusia yang sengaja
melakukan pembakaran dalam rangka penyiapan lahan. Di samping itu juga bisa terjadi
kebakaran dalam rangka penyiapan lahan. Di samping itu juga bisa terjadi kebakaran akibat
kelalaian, serta faktor alam. Kebakaran terjadi karena adanya bahan bakar, oksigen dan panas.
Kerusakan lingkungan akibat kebakaran antara lain berupa hilangnya flora dan fauna serta
terganggunya ekosistem. Bahkan dapat menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana,
pemukiman serta korban jiwa manusia. Dampak lebih lanjut akibat asap yang ditimbulkan
pada kesehatan manusia terutama gangguan pernafasan serta gangguan aktivitas kehidupan
sehari-hari antara lain terganggunya lalu lintas udara, air dan darat.
Kajian bahaya:

Monitoring titik api serta menetapkan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.

Prediksi cuaca untuk mengetahui datangnya musim kering/kemarau.

Pemetaan daerah rawan bahaya kebakaran berdasarkan kejadian masa lalu dan
meningkatnya aktivitas manusia untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu kawasan.

Pemetaan daerah tutupan lahan serta jenis tanaman sebagai bahan bakaran.

Pemetaan tata guna lahan.

Gejala dan peringatan dini:

Adanya aktivitas manusia menggunakan api di kawasan hutan dan lahan.

Ditandai dengan adanya tumbuhan yang meranggas.

Kelembapan udara rendah

Kekeringan akibat musim kemarau yang panjang.

Peralihan musim menuju ke kemarau.

Meningkatnya migrasi satwa keluar habitatnya.

Parameter :

Luas areal yang terbakar (hektar)

Luas areal yang terpengaruh oleh kabut asap (hektar)

Fungsi kawasan yang terbakar (Taman Nasional, Cagar Alam, Hutan Lindung, dll).

Jumlah penderita penyakit saluran pernafasan atas (ISPA).

Menurunnya keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.

Menurunnya fungsi ekologis.

Tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan.

Komponen yang terancam :

Kerusakan ekologis yang mempengaruhi sistem penunjang kehidupan.

Hilangnya potensi kekayaan hutan.

Tanah yang terbuka akibat hilangnya tanaman sangat rentan terhadap erosi saat musim
hujan sehinga akan menyebabkan longsor di daerah hulu dan banjir di daerah hilir.

Penurunan kualitas kesehatan masyarakat untuk daerah yang luas di sekitar daerah
kebakaran.

Turunnya pendapatan pemerintah dan masyarakat akibat terganggunya aktivitas


ekonomi.

Musnahnya aset negara dan sarana, prasarana vital.

Pemetaan Rawan bencana dan risiko bencana

Istilah yang terkait dalam tulisan ini adalah bencana (hazard/disaster), kerawanan
(vulnerability) dan risiko (risk). Pengertian dari bencana, bencana, dan risiko perlu
diformulasikan agar terdapat konsistensi dalam penggunaan dan pembahasannya.

Bencana (hazard) adalah suatu peristiwa di alam atau di lingkungan buatan manusia
yang berpotensi merugikan kehidupan manusia, harta, benda atau aktivitas bila
meningkat menjadi bencana. Banyak definisi tentang bencana(Lundgreen, 1986;
Carter, 1992; UNDP/UNDRO, 1992; Sutikno, 1994; Bakornas PBP, 1998). Lundgreen
(1986) mendefinisikan bencana sebagai peristiwa/kejadian potensial yang merupakan
ancaman terhadap kesehatan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat atau fungsi
ekonomi masyarakat atau kesatuan organisasi pemerintahan yang lebih luas. Bencana
alam oleh Carrara (1984) dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh proses
alam atau proses alam yang dipicu oleh aktivitas manusia, dan merupakan salah satu
unsur dalam penilaian risiko bencana. Sementara menurut UNDP/UNDRO (1992)
yang dimaksud dengan bencana adalah semua fenomena atau situasi yang berpotensi
menimbulkan kerusakan atau kehancuran pada manusia, jasa, dan lingkungan.
Menanggapi banyaknya definisi tentang bencana Carter (1992) menyimpulkan bahwa
sebagian besar definisi bencana (hazard) mencerminkan karakteristik: i) gangguan
terhadap kehidupan normal, ii) efek terhadap manusia, seperti menjadi korban,
luka/cacat, gangguan kesehatan, iii) efek terhadap struktur sosial, dan iv) kebutuhan
masyarakat.

Kerawanan (vulnerability) adalah tingkat kemungkinan suatu objek bencana yang


terdiri dari masyarakat, struktur, pelayanan atau daerah geografis mengalami
kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana atau kecenderungan sesuatu benda
atau mahluk rusak akibat bencana(Sutikno, 1994; UNDP/UNDRO, 1992). Pada
elemen kerentanan terdapat elemen intangibles, pada umumnya tidak diperhitungkan
karena sulit perhitungannya, dan kebanyakan elemen tangible. Tingkat kerentanan
bencana menurut dapat dinilai secara relatif berdasarkan macam dan besaran elemen
bencana yang besarnya dinyatakan dengan skala numerik.

Risiko (Risk) merupakan perkiraan kerugian atau kehilangan akibat suatu bencana
terhadap elemen yang menghadapi risiko di masa depan dalam suatu periode waktu
tertentu (UNDP/UNDRO, 1992). Risiko suatu daerah atau suatu objek terhadap suatu
jenis

dapat

diperhitungkan

tingkatannya.

Perhitungan

risiko

umumnya

mempertimbangkan jenis dan besaran kehilangan atau kerugian. Parameter umum


yang digunakan adalah biaya ekonomi, karena semua tipe kerugian dapat
dikonversikan ke dalam biaya ekonomi. Efek yang dianggap sebagai biaya ekonomi
disebut kerugian tangible (dapat diperhitungkan/dinilai), sedang yang tidak dapat
dikonversikan ke dalam nilai uang disebut kerugian intangible.

Parameter yang digunakan untuk penilaian tingkat bencana alam dan parameter dasar
penilaian untuk identifikasi elemen yang rawan terhadap bencana dan kerugian yang
dinilai dalam analisis risiko bencana secara kualitatif tertera laporan UNDP/UNDRO
(1992)

Analisa Data Geospasial untuk Pemetaan Rawan Bencana


Disadari pula bahwa banyak daerah di Indonesia yang rawan terhadap lebih dari satu
jenis bencana, misalnya daerah yang rawan terhadap gempa bumi umumnya juga
rawan terhadap bencana longsoran. Berkaitan dengan variasi kerawanan bencananya
tersebut sekaligus membantu dalam menentukan skala prioritas penanggulangan
bencana diperlukan identifikasi macam bencana sebagai bagian dari proses pemetaan
rawan bencana dan resiko bencana. Flax dkk (2002) menggambarkan selain identikasi
bencana terdapat proses lain dalam pemetaan rawan bencana dan resiko terhadap
bencana alam yaitu, analisa bencana, analisa fasilitas infrastruktur, analisa sosial,
analisa lingkungan, analisa ekonomi, dan kegiatan mitigasi

Pemetaan Kerawanan Kebakaran Hutan


Berbagai model dikembangkan untuk pemetaan kerawanan kebakaran hutan (Chuvico
dan Salas, 1996; Darmawan dkk, 2001). Secara ringkas terbagi tiga yaitu: model
berdasarkan pemilihan senstif index atau pembobotan dan skoring atas faktor
penyebab kebakaran hutan, berdasarkan regresi analysis, dan berdasarkan standard
index.

Pemetaan resiko kebakaran hutan


Kajian risiko kebakaran hutan sebetulnya mirip dengan kajian bencana yang lain,
yang membedakan adalah faktor penyebab, tingkat bencana dan elemen yang terkena
menghadapi risiko. Analisa resiko kebakaran tergantung pada lokasinya apakah di
hutan lindung atau di areal perkebunan.

Risiko = nilai indikator x nilai faktor x nilai komponen ekonomi dan atau lingkungan.
R=ixfxk

Dimana : R = risiko
i = indikator
f = faktor
k = komponen

Pengertian Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan atau lahan adalah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat
fisik dan atau hayatinya yang menyebabkan kurang berfungsinya hutan atau lahan dalam
menunjang kehidupan yang berkelanjutan sebagai akibat dari penggunaan api yang tidak
terkendali maupun faktor alam yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan atau
lahan.
Penyebab Kebakaran Hutan

1. Aktivitas manusia yang menggunakan api di kawasan hutan dan lahan sehingga
menyebabkan bencana kebakaran
2. Faktor alam yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
3. Jenis tanaman yang sejenis dan memiliki titik bakar yang rendah serta hutan yang
terdegradasi menyebabkan semakin rentan terhadap bencana kebakaran.
4. Angin yang cukup besar dapat memicu dan mempercepat menjalarnya api.
5. Topografi yang terjal semakin mempercepat dan merembetnya api dari bawah ke atas.

6. Ulah manusia yang sengaja melakukan pembakaran dalam rangka penyiapan lahan. Di
samping itu juga bisa terjadi kebakaran akibat kelalaian, serta faktor alam.
7. Kebakaran terjadi karena adanya bahan bakar, oksigen dan panas.
Dampak dari Kebakaran Liar
Dampakyang ditimbulkan dari kebakaran liar antara lain:

Menyebarkan emisi gas karbon dioksida ke atmosfer


Terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman karena kebakaran, terjebak asap atau
rusaknya habitat. Juga dapat menyebabkan banyak spesies endemik/khas di suatu
daerah yang punah

Menyebabkan banjir selama beberapa minggu di saat musim hujan dan kekeringan di
saat musim kemarau.
Kekeringan yang ditimbulkan dapat menyebabkan terhambatnya jalur pengangkutan
lewat sungai dan menyebabkan kelaparan di daerah-daerah terpencil.
Kekeringan juga akan mengurangi volume air waduk pada saat musim kemarau yang
mengakibatkan terhentinya pembangkit listrik (PLTA) pada musim kemarau.
Musnahnya bahan baku industri perkayuan. Akibatnya perusahaan perkayuan terpaksa
ditutup karena kurangnya bahan baku dan puluhan ribu pekerja menjadi
penganggur/kehilangan pekerjaan.
Meningkatnya jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan
kanker paru-paru. Hingga dapat menyebabkan kematian. Polusi asap ini juga bisa
menambah parah penyakit para penderita TBC/asma.
Asap yang ditimbulkan menyebabkan gangguan di berbagai segi kehidupan
masyarakat antara lain pendidikan, agama dan ekonomi
Musnahnya bangunan, mobil, sarana umum dan harta benda lainnya.
Gejala dan Peringatan Dini:
Adanya aktivitas manusia menggunakan api di kawasan hutan dan lahan.
Ditandai dengan adanya tumbuhan yang meranggas.
Kelembapan udara rendah

Kekeringan akibat musim kemarau yang panjang.


Peralihan musim menuju ke kemarau.
Meningkatnya migrasi satwa keluar habitatnya
UpayaSebelum Kebakaran Hutan
Jangan melakukan pembakaran untuk melakukan pembukaan lahan.
Tatacara pembukaan lahan tanpa bakar, dengan cara berikut ini:
Tebanglah pohon dan semak belukar pada lahan yang ingin anda gunakan untuk
berkebun,
Potong-potong/cacah pohon/ranting/semak tersebut dan sebarkan kesekeliling lahan anda.
Jangan gunakan bahan kimia untuk mematikan pohon/semak.
Biarkan sisa semak dan pepohonan yang telah anda cacah tersebut mengering selama
lebih kurang sebulan. Bila memungkinkan siramlah air kesegala penjuru lahan anda untuk
membantu mempercepat proses pembusukan.
Tanamlah bibit anda disela-sela batang pohon/potongan ranting/ semak tersebut. Hal
tersebut sangat berguna sebagai pupuk bagi tanaman anda.
Bangunlah sumur di lahan anda sehingga anda tidak akan kesulitan mencari air
seandainya terjadi kebakaran yang tidak terkendali di lahan ataupun diluar lahan anda.
Bila memungkinkan, galilah parit disekeliling lahan anda, minimal disekeliling rumah
anda dengan dalam/lebar minimal 30/30 centimeter. Periksalah menjelang musim
kemarau agar tidak terjadi pendangkalan. Parit ini sangat berguna untuk mencegah api
memasuki lahan/daerah rumah anda.
Ajak tetangga dan warga kampung anda untuk membuat sistem peringatan sederhana
apabila terjadi kebakaran, seperti kentongan.

Upaya Saat Terjadi Kebakaran Hutan


1.
2.
3.
4.
5.

Identifikasi
Pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket)
Monitoring dan Evaluasi
Rehabilitasi
Penegakan hukum

Upaya Setelah Terjadi Kebakaran Hutan


1. Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran
2. Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta melakukan
pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga dan I dan II;
3.
Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui
PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA tk I dan
SATLAK kebakaran hutan dan lahan;
4. Membersihkan hutan dari sisa-sisa ranting yang hangus terbakar

5. Mengolah tanah agar tanah menjadi gembur


6. Melakukan penanaman hutan kembali / penghijauan

Strategi Mitigasi dan upaya pengurangan bencana kebakaran hutan


1.

Kampanye dan sosialisasi kebijakan pengendalian kebakaran lahan dan hutan.

2. Peningkatan masyarakat peduli api.


3. Peningkatan penegakan hukum.
4. Pembentukan pasukan pemadaman kebakaran khususnya untuk penanganan kebakaran
secara dini.
5. Pembuatan waduk di daerahnya untuk pemadaman api
6. Pembuatan skat bakar, terutama antara lahan, perkebunan, pertanian dengan hutan.
7. Hindarkan pembukaan lahan dengan cara pembakaran.
8. Hindarkan penanaman tanaman sejenis untuk daerah yang luas.
9. Melakukan penanaman kembali daerah yang telah terbakar dengan tanaman yang
heterogen.
10. Partisipasi aktif dalam pemadaman awal kebakaran di daerahnya.
11. Pengembangan teknologi pembukaan lahan tanpa membakar (pembuatan kompos, briket
arang dll).

12. Kesatuan persepsi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan.


13. Penyediaan dana tanggap darurat untuk penanggulangan kebakaran lahan dan hutan.
14. Pengelolaan bahan bakar secara intensif untuk menghindari kebakaran yang lebih luas.

Regulasi Pembakaran Lahan Simpang Siur ?

Pembukaan lahan baru dituding sebagai biang keladi dari kasus kebakaran lahan dan hutan
yang menyebabkan bencana kabut asap di Indonesia. Untuk itu kalangan pengusaha
perkebunan meminta agar pemerintah merevisi aturan mengenai legalitas pembakaran lahan
yang saat ini regulasinya tidak dipahami semua pihak.

Sebagai solusi mengatasi kasus dugaan pembakaran lahan, Direktur Eksekutif Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Fadhil Hasan menyarankan, perlu adanya revisi
Undang-undang (UU) Nomor 32 tahun 2009, Pasal 69 tentang Lingkungan Hidup.
Dalam Undang-undang itu diperbolehkan petani membakar lahan maksimal dua hektare.
Pasal tersebut adalah peyebab sulitnya melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan
pembakaran hutan di tanah air, tuturnya dalam keterangan tertulis, Senin (28 September
2015)
Menurut Fadhil, jika UU itu tidak direvisi, pemerintah akan dianggap menyetujui salah satu
penyebab adanya kebakaran hutan di Indonesia.
GAPKI secara tegas telah menjalankan kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar (Zero
Burning) dan memiliki Standar Operating Procedure (SOP) Kesiapsiagaan Tanggap Darurat
Kebakaran Kebun dan Lahan. Perusahaan perkebunan juga memiliki sistem deteksi dini dan
penanggulangan kebakaran melalui Tim Kesiapsiagaan Tanggap Darurat inti (TKTD). Semua
ini menelan investasi yang besar, tambahnya.

Kesimpulan
Paperini telah membahas tentang metodologi pemetaan rawan bencana dan pemetaan
resiko bencana dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan teknologi sistem

informasi geografis.
Diperlukan kesatuan aktivitas antara pemetaan rawan bencana dan pemetaan resiko
bencana untuk wilayah terkena bencana di Indonesia. Bagi semua tipe bencana, kriteria

penentuan tingkat risiko bencana dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:


a. risiko tinggi
b. risiko sedang
c. risiko rendah
Integrasi teknologi penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis sangat membantu
dalam penyusunan pemetaan rawan bencana dan resiko bencana.

Sumber:
http://josafatino.blogspot.co.id/2013/10/makalah-kebakaran-hutan.html

https://groups.yahoo.com/neo/groups/lingkungan/conversation/topics/15546
http://mdarmawan-kenkyu.blogspot.co.id/2008/01/pemetaan-rawan-bencanadan-resiko.html

Вам также может понравиться