Вы находитесь на странице: 1из 13

Prediktor beban ganda malnutrisi pada ibu dan anak di Pedesaan

Indonesia dan Bangladesh


Abstrak
Latar Belakang: Saat ini banyak negara-negara berkembang yang menghadapi
beban ganda malnutrisi, yang didefinisikan sebagai koeksistensi anak dengan
keadaan stunting atau bertubuh pendek dan ibu dengan berat badan lebih dalam
rumah tangga yang sama.
Tujuan: Penelitian ini berusaha untuk memperkirakan prevalensi beban ganda
malnutrisi dan untuk mengidentifikasi karakteristik ibu, anak dan rumah tangga
yang terkait di pedesaan Indonesia dan Bangladesh.
Rancangan: Sebanyak 247.126 rumah tangga pedesaan yang berpartisipasi dalam
sistem Surveilans Gizi Indonesia (2000-2003) dan sebanyak 168.317 rumah
tangga

pedesaan

di

Proyek

Surveilans

Gizi

Bangladesh

(2003-2006)

diikutsertakan dalam analisis. Beban ganda pada ibu dan anak (MCDB) dan
hubungannya dengan karakteristik individu dan rumah tangga ditentukan dengan
menggunakan model regresi logistik.
Hasil: MCDB ditemukan pada 11% dan 4% dari rumah tangga di pedesaan
Indonesia dan Bangladesh, secara berturut-turut. Ibu dengan perawakan pendek
[Indonesia (OR: 2.32; IK 95% CI: 2.25, 2.40); Bangladesh (OR: 2.11; IK 95%:
1.96, 2.26), dan usia tua merupakan prediktor kuat terhadap MCDB. Karakteristik
anak seperti usia yang lebih besar dan berjenis kelamin perempuan berkaitan
dengan peningkatan kemungkinan MCDB, sementara sedang menjalani masa
menyusui yaitu mendapatkan ASI merupakan faktor protektif terhadap MCDB
[Indonesia (OR: 0.84; IK 95%: 0.81, 0.84); Bangladesh (OR: 0.55; IK 95%: 0.52,
O.58)]. Ukuran keluarga yang besar dan pengeluaran rumah tangga per kapita per
minggu yang lebih tinggi bersifat prediktif untuk MCDB (OR: 1.34; IK 95%:
1.28, 1.40); Bangladesh (OR: 1.94; IK 95%: 1.77, 2.12)].
Kesimpulan: Beban ganda tidak bersifat eksklusif hanya untuk area perkotaan.
Kebijakan dan intervensi di masa yang akan datang harus dapat mengatasi berat

badan kurang dan berat badan lebih secara bersamaan baik di pedesaan maupun
perkotaan dalam lingkungan negara berkembang.
PENDAHULUAN
Diperkirakan sebanyak 1.5 milyar orang dewasa memiliki berat badan lebih
di seluruh dunia (1), dengan kecenderungan terbaru yang menunjukkan
pergeseran prevalensi dari negara-negara dengan pendapatan tinggi ke negara
dengan pendapatan menengah ke bawah (2-4). Sebagai akibatnya, negara-negara
berkembang saat ini dihadapkan dengan beban ganda malnutrisi (5), yang ditandai
dengan adanya koeksistensi keadaan gizi kurang dan gizi lebih secara bersamaan
(6). Penelitian telah melaporkan fenomena ini di dalam negara yang sama (7-9),
dalam rumah tangga yang sama (10-12), dan pada pasangan ibu-dan anak (5, 1315). Adanya beban ganda ini mengancam stabilitas ekonomi dan kesehatan lebih
lanjut pada negara-negara yang memang telah mengalami keterbatasan sumber
daya ini.
MCDB4, yang umumnya didefinisikan sebagai ibu dengan berat badan lebih
yang berpasangan dengan anak dengan gizi kurang, menjadi suatu hal
dikhawatirkan karena gizi kurang dan gizi lebih diduga berjalan melalui jalur
kausalitas yang independen dan biasanya telah diperlakukan sebagai masalah
kesehatan yang berbeda (12-14). Kekurangan gizi pada anak berhubungan dengan
peningkatan risiko kematian anak dan kognisi yang buruk (16), yang dapat
menyebabkan peningkatan risiko PTM dan obesitas di masa dewasa (16-19).
Beberapa mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan hubungan antara
kekurangan pada anak dan obesitas pada masa dewasa. Kekurangan gizi pada
masa kanak-kanak telah dikaitkan dengan peningkatan risiko konsentrasi glukosa
yang tinggi, tekanan darah yang tinggi, dan kerentanan yang lebih tinggi untuk
meningkatkan penumpukan lemak sentral, dan profil lipid yang membahayakan
yang semuanya dihubungkan dengan PTM di masa dewasa (19021). PTM
menyebabkan sekitar dua-per tiga kematian secara global dan diyakini merupakan
hambatan utama untuk mencapai Millenium Development Goals pada tahun 2015
tanpa tindakan yang bersifat komprehensif dari negara.

Meskipun penelitian ini bersifat terbatas, peningkatan prevalensi MCDB


telah teramati di negara-negara yang sedang berada di tengah proses transisi gizi
mereka (2, 5, 22). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa MCDB sangat
berikatan dengan faktor-faktor ekonomi (11, 15). MCDB juga telah dikaitkan
dengan usia ibu yang lebih tua (14), ibu dengan perawakan pendek (15), dan
jumlah anggota keluarga yang lebih banyak (12-4). Namun, sebagian besar
penelitian mengenai MCDB sebelumnya telah difokuskan pada area-area
perkotaan, dan hubungannya masih belum diselidiki secara memadai pada area
pedesaan dari negara-negara dengan pendapatan yang rendah, dimana bukti
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi individu dengan berat badan lebih
dan pergeseran pola diet (9,19).
Di Pedesaan Bangladesh dan Indonesia, tingginya prevalensi kemiskinan
dan gizi kurang telah terdokumentasi dengan baik (23). Namun, kedua negara
juga memperlihatkan tingginya tingkat mortalitas akibat penyakit kardiovaskular
dan tingginya jumlah perkiraan kasus-kasus diabetes (24). Peningkatan prevalensi
individu dengan berat badan lebih dan PTM diwujudkan dalam meningkatnya
biaya yang dihabiskan untuk perawatan kesehatan di Bangladesh dan Indonesia, 2
negara dengan populasi area pedesaan yang besar (23-25). Analisis ini berupaya
untuk menentukan prevalensi MCDB di pedesaan Bangladesh dan Indonesia.
Karakteristik anak, ibu, dan rumah tangga yang berhubungan dengan MCDB juga
diselidiki dengan menggunakan data surveilans gizi yang representatif secara
nasional dari masing-masing negara. Memahami prevalensi dan prediktorprediktor MCDB pada populasi-populasi ini akan memungkinkan untuk
memberikan masukan mengenai pengembangan kebijakan dan strategi intervensi
yang dapat dilakukan.
Subjek dan Metode
Data
Selama hampir 2 dekade, NSS Indonesia dan NSP Bangladesh telah
dilakukan bersama-sama oleh HKI dan oleh pemerintah Indonesia dan
Bangladesh, secara berturut-turut. Rincian NSS dan NSP dijelaskan di bagian lain

(9, 26, 27). Singkatnya, kedua sistem surveilans didasarkan pada kerangka kerja
konseptual UNICEF mengenai penyebab malnutrisi (28). Informasi yang relevan
dikumpulkan dari rumah tangga yang memiliki anak berusia < 5 tahun baik di
area perkotaan atau pedesaan. Metode pengambilan sampel berkelompok
multitahap bertingkat atau stratified multistage cluster digunakan untuk
mengidentifikasi rumah tangga yang memenuhi persyaratan baik pada NSS
maupun NSP. Skema pengambilan sampel dirancang untuk mewakili Indonesia
dan Bangladesh, baik secara nasional maupun secara bagian. Di Indonesia, data
pedesaan dikumpulkan tiap 3 bulan dari provinsi Lampung, Banten, Jawa Barat,
Jawa tengah, Jawa timur, Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat. Di
Bangladesh, data dikumpulkan setiap 2 bulan. Data pedesaan dikumpulkan dari 4
kecamatan masing-masing dari 6 bagian, yaitu Barisal, Chittagong (termasuk
Chittagong Hill Tracts), Dhaka, Khulna, Rajshahi, dan Sylhet. Sebuah rumah
tangga didefinisikan sebagai sekelompok individu yang memakan makanan yang
berasal dari dapur yang sama, dan rumah tangga baru dipilih pada tiap putaran
kedua survei. Analisis ini mencakup sebanyak 415.443 rumah tangga pedesaan
yang berpartisipasi dalam NSS dari tahun 2000 hingga 2003 (n=247.126) dan
dalam NSP dari tahun 2003 hingga 2006 (n=168.317).
Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data di Indonesia dan di Bangladesh dilakukan
dengan cara yang sama. Responden yang memenuhi persyaratan pada masingmasing rumah tangga yang terpilih dikunjungi di rumah mereka oleh tim lapangan
yang terdiri dari 2 orang, yang melakukan wawancara dan melakukan pengukuran
antropometri. Persetujuan tertulis didapatkan dari masing-masing responden.
Orang tua atau wali memberikan persetujuan untuk anak yang berusia di bawah 5
tahun. Wawancara dan penilaian dilakukan hanya setelah persetujuan didapatkan.
Dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur, ibu dari anak atau
pengasuh lainnya diminta untuk memberikan informasi mengenai usia anak, jenis
kelamin, morbiditas anak pada minggu terakhir, vaksinasi, status pemberian ASI,
dan asupan makanan. Data ibu yang terdiri atas usia, pendidikan, morbiditas,

riwayat reproduksi, kebersihan pribadi, status merokok, dan konsumsi alkohol


dikumpulkan. Dilakukan pengumpulan informasi mengenai karakteristik rumah
tangga seperti komposisi makanan, praktik pertanian, pengeluaran, dan indikator
SES lainnya, lingkungan, dan indikator kesehatan. Variabel tarif harga
dikumpulkan dalam nilai Taka Bangladesh atau Rupiah Indonesia.
Pengukuran antropometri, termasuk tinggi/panjang dan berat anak dan ibu
dilakukan dengan mengikuti prosedur standar (29). Berat diukur dengan
menggunakan Alat Penimbang Berat Badan (TANITA Corporation) dengan
tingkat ketelitian hingga mendekati 0.1 kg. Tinggi/panjang diukur dengan
ketelitian hingga mendekati 0.1 cm dengan menggunakan papan pengukur
panjang badan dan tinggi badan. Usia pasien diverifikasi dengan menggunakan
kartu imunisasi atau catatan rumah. Jika informasi ini tidak tersedia, ingatan ibu
atau kalender acara lokal digunakan untuk mendapatkan usia anak.
Staf lapangan yang mengumpulkan data berasal dari lembaga swadaya
masyarakat dan dilatih oleh HKI sebelum tiap putaran pengumpulan data. Tim
pemantauan dari HKI mengawasi staf lapangan selama pengumpulan data. Untuk
memastikan reliabilitas data, sebanyak 5-10% dari data wawancara dan data
antropometri dikumpulkan ulang pada hari berikutnya. Tidak adanya respon atau
penolakan untuk berpartisipasi bersifat minimal (~3%) untuk kedua sistem
surveilans, yang menyatakan bahwa sampel yang didapatkan dapat mewakili atau
bersifat representatif dari Indonesia dan Bangladesh. Protokol penelitian ini
mematuhi prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Deklarasi Helsinki (30) dan
disetujui oleh komite peninjau etik Departemen Kesehatan, Pemerintah Indonesia
dan Konsil Penelitian Kedokteran Bangladesh. Analisis data sekunder telah
disetujui oleh dewan peninjau institusional Fakultas Kedokteran Universitas Johns
Hopkins.
Analisis Statistik
Stunting atau bertubuh pendek didefinisikan sebagai skor z untuk tinggi terhadap
usia sebesar < -2 SD menurut standar pertumbuhan WHO (31) di perangkat lunak
AnthroPlus 2009. IMT ibu dihitung sebagai perbandingan berat badan (kg)/ tinggi

(m)2. Mengingat tujuan kami berupa memberi masukan mengenai kebijakan dan
strategi intervensi, ibu dengan berat badan lebih: dikelompokkan sebagai IMT
(dalam kg/m2) 23 untuk mencapai mereka yang berisiko tinggi untuk mengalami
PTM (9, 32). MCDB didefinisikan sebagai koeksistensi anak dengan keadaan
stunting atau bertubuh pendek dan ibu dengan berat badan lebih dalam rumah
tangga yang sama. Analisis ini hanya mengikutsertakan anak yang berusia paling
kecil (usia 6-59 bulan) dari tiap rumah tangga yang terpilih. Anak yang berusia <
6 bulan dan wanita dengan IMT < 12 atau > 50 dieksklusikan dari analisis (9, 15).
Semua analisis dibobotkan sesuai dengan ukuran populasi dan disesuaikan untuk
rancangan pengambilan sampel multi-tahap berkelompok pada NSS dan NSP.
Pengeluaran per kapita rumah tangga per minggu digunakan sebagai
indikator utama SES. Pengeluaran mingguan untuk unsur makanan biji-bijian
ditambahkan ke unsur makanan bukan-biju-bijian. Harga atau nilai moneter dalam
bentuk beras yang dihasilkan, yang diterima dalam bentuk pembayaran bagi
tenaga kerja, atau sebagai harga untuk jumlah yang dikonsumsi oleh rumah tangga
ditambahkan pada perhitungan pengeluaran untuk makanan biji-bijian. Jumlah
pengeluaran rumah tangga untuk unsur bukan makanan, seperti pendidikan dan
perumahan, juga dihitung. Selanjutnya, total jumlah pengeluaran mingguan untuk
semua unsur bukan makanan, makanan biji-bijian, dan makanan bukan-biji-bijian
dijumlahkan dan dibagi dengan ukuran rumah tangga untuk memperkirakan
pengeluaran per kapita mingguan rumah tangga total. Ukuran rumah tangga
didapatkan dari hitungan sederhana jumlah anggota rumah tangga. Setelah itu
dibentuk nilai kuintil pengeluaran per kapita mingguan. Rincian tambahan
mengenai perhitungan pengeluaran rumah tangga dijelaskan di bagian lain (33).
Statistika deskriptif digunakan untuk menguji distribusi penuh dari variabel.
Dengan menggunakan nilai batas yang sesuai, dibentuk variabel kategorikal untuk
pendidikan ibu (tidak menjalani pendidikan formal, sekolah dasar, sekolah
menengah, atau > sekolah menengah); tinggi ibu (< 145, 145- 149.9, atau 150
cm; ibu dengan perawakan pendek, < 145 cm); urutan kelahiran (1-3, atau 4);
ukuran keluarga (2-3, 4-6, atau 7); tempat buang air besar (kakus
terbuka/tertutup atau lainnya); dan sumber air keran (keran, pompa tangan, sumur,

atau lainnya). Analisis dilakukan secara terpisah untuk pedesaan Indonesia dan
Bangladesh. Untuk menentukan faktor-faktor yang berkaitan dengan MCDB,
analisis bivariat dilakukan untuk kesemua faktor risiko dengan menggunakan uji
chi square. Faktor risiko awalnya dipilih berdasarkan hubungan faktor-faktor
tersebut yang telah diketahui dengan gizi ibu dan anak, sebagaimana yang telah
tercermin dalam kerangka pikir konseptual UNICEF mengenai penyebab
malnutrisi. Penyebab-penyebab ini meliputi karakteristik anak seperti karakteristik
demografi, morbiditas, berat badan, asupan makanan, pemberian ASI dan status
vaksinasi; karakteristik ibu meliputi usia, pendidikan, morbiditas, riwayat
reproduksi, kebersihan pribadi, praktik pengasuhan anak, dan penggunaan
tembakau; komposisi rumah tangga; pengeluaran; dan indikator lingkungan,
dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya. Hanya karakteristik anak, ibu dan
rumah tangga yang menunjukkan hasil yang berhubungan secara signifikan
dengan MCDB dalam analisis bivariat (p <0.06) yang dimasukkan dalam model
regresi logistik berganda. Model regresi logistik yang terpisah dikembangkan
untuk Indonesia dan Bangladesh, dengan MCDB sebagai variabel dependen, dan
prediktor yang berpotensi sebagai variabel independen. OR dan IK 95% yang
bersesuaian dihitung dengan signifikansi statistik yang didefinisikan sebagai p <
0.05. Semua analisis dilakukan dengan manggunakan Perangkat Lunak Statistik
Predictive analytics (PASW, versi 18.0; SPSS Inc).
Hasil
Indonesia
Rerata ( SE) usia ibu yang diikutsertakan dalam analisis adalah 28.0 0.01
tahun (Tabel 1). Sebagian besar ibu tidak mendapatkan pendidikan atau hanya
menjalani pendidikan dasar (64%), dan ~ 17 % memiliki perawakan pendek.
Rerata ( SE) IMT adalah 22 0.01dan 32% dari ibu dalam keadaan berat badan
lebih. Rerata (SE) usia anak adalah 25.3 (0.3) bulan dengan diwakili oleh kedua
jenis kelamin secara sebanding. Sekitar 37% dari anak-anak bertubuh pendek, dan
sebagian besar sedang dalam masa menyusui dengan ASI. Dua per tiga dari anak-

anak (66%) telah mendapatkan kapsul vitamin A dosis tinggi dalam 6 bulan
terakhir, dan sekitar > 7% mengalami diare pada minggu terakhir.
Pasangan ibu dengan berat badan lebih dan anak yang bertubuh pendek
teramati pada 11% dari rumah tangga di pedesaan Indonesia (Tabel 2). Secara
lebih spesifik, sebanyak 5.3% rumah tangga memiliki anak bertubuh pendek yang
bersamaan dengan ibu yang memiliki IMT sebesar 23 24.9. Sekitar 6% dari
populasi di Indonesia memiliki anak yang bertubuh pendek dalam rumah tangga
yang sama dengan ibu yang memiliki IMT 25. Berat badan lebih ditemukan
juga pada 21% populasi lainnya.
Beberapa karakteristik ibu, anak dan rumah tangga berhubungan dengan
MCDB (Tabel 3). Dalam analisis multivariat, ibu dengan perawakan pendek dan
berusia tua merupakan prediktor kuat untuk kejadian MCDB, sementara tingkat
pendidikan yang lebih tinggi bersifat protektif terhadap MCDB. Karakteristik
anak, seperti usia yang lebih besar dan urututan kelahiran yang lebih tinggi dan
berjenis kelamin perempuan, berhubungan dengan peningkatan kemungkinan
untuk mengalami MCDB, sementara sedang dalam masa menyusui dengan ASI
pada saat wawancara berhubungan dengan kemungkinan mengalami MCDB yang
lebih rendah. Ukuran keluarga yang besar dan pengeluaran rumah tangga per
kapita mingguan yang lebih tinggi secara positif berhubungan dengan MCDB
(Tabel 4).
Bangladesh
Rerata (SE) usia ibu adalah 27.0 0.02 tahun (Tabel 1). Sekitar 70% dari
ibu tidak mendapatkan pendidikan atau menjalani pendidikan dasar, dan 14%
berperawakan pendek. Rerata (SE) IMT adalah 19.8 0.01, dan sebanyak 12%
dalam keadaan berat badan lebih. Rerata (SE) usia anak adalah 30.1 0.04
bulan, dan sekitar setengahnya (52%) adalah laki-laki. Sekitar 42% dari anak-anak
bertubuh pendek, dan 96% dalam masa menyusui dengan ASI pada saat
wawancara. Hampir dua per tiga (64%) dari anak-anak telah mendapatkan kapsul
vitamin A dosisi tinggi pada 6 bulan terakhir, dan sebanyak 18% mengalami diare
pada 2 minggu terakhir (Tabel 1).

Di pedesaan Bangladesh, MCDB teramati pada ~ 4% dari rumah tangga


(Tabel 2). Sekitar 2% dari populasi memiliki anak yang bertubuh pendek yang
bersamaan dengan ibu yang memiliki IMT sebesar 23-24.9. Totalnya, sebanyak
~12% dari ibu pada sampel yang menjalani survei dalam keadaan BB lebih.
Dalam analisis multivariat, tubuh pendek ibu dan usia yang lebih tua
berhubungan dengan peningkatan kemungkinan untuk mengalami MCDB (Tabel
4). Lebih tingginya pendidikan ibu juga bersifat prediktif untuk MCDB.
Karakteristik anak, seperti berusia lebih besar dan berjenis kelamin perempuan,
dapat bersifat prediktif MDCB, sementara menjalani pemberian ASI pada saat
wawancara bersifat protektif terhadap MCDB. Ukuran keluarga yang lebih besar
dan lebih besarnya pengeluaran rumah tangga per kapita mingguan berhubungan
dengan peningkatan kemungkinan MCDB (Tabel 4).
Pembahasan
Dalam analisis ini, kami meneliti prevalensi dan prediktor MCDB di
pedesaan Indonesia dan Bangladesh. Berdasarkan pengetahuan kami, artikel ini
adalah yang pertama yang menyajikan kecenderungan adanya koeksistensi gizi
kurang dan gizi lebih secara eksklusif di daerah pedesaan, di lingkungan negara
berkembang dengan menggunakan set data yang representatif secara nasional.
Hasil kami mengesankan bahwa prevalensi MCDB lebih tinggi dari
perkiraan sebelumnya, terutama di Indonesia. Di Indonesia dan Bangladesh,
kepustakaan sebelumnya memperkirakan prevalensi beban ganda rumah tangga
sebesar 11% (11) dan 2% (14), secara berturut-turut. Namun, penelitian ini
menggunakan sampel yang lebih kecil dari penelitian yang dilakukan di area
perkotaan. Khususnya di pedesaan negara-negara Asia, prevalensi MCDB
diperkirakan sebesar ~ 1 6 % dari populasi (5). Secara keseluruhan, temuan
kami menegaskan hasil sebelumnya bahwa berat badan lebih pada wanita dewasa
(4, 9, 34, 35) dan tubuh pendek pada anak (5, 36, 37) juga ada di lingkungan
pedesaan. Berat badan lebih pada wanita dewasa di Asia terdokumentasi dengan
baik di beberapa negara-negara berkembang (24). Kecenderungan ini terutama
juga terdokumentasi di beberapa populasi pedesaan Asia, termasuk Kazakhstan

(36%), Uzbekistan (26%), China (15%), dan India (6%) (4). Peningkatan
prevalensi berat badan lebih ini mungkin merupakan akibat dari persegeran gaya
makan dan gaya hidup dengan peningkatan akses ke makanan-makanan yang
padat energi. Selain itu, penggunaan alat-alat bermesin di area pedesaan (yaitu,
menggunakan kendaraan bermotor untuk melakukan pekerjaan pertanian) telah
berkontribusi terhadap berkurangnya aktivitas fisik di negara-negara berkembang
(38). Sama halnya pula, tubuh pendek anak terdokumentasi dengan baik di
negara-negara berkembang (14, 39, 40), dan bukti yang ada menyatakan bahwa
keadaan ini bisa lebih tinggi di lingkungan pedesaan (5, 36). Di Asia khususnya,
sebanyak 31% dari anak-anak yang berusia di bawah 5 tahun bertubuh pendek,
dan diperkirakan sebanyak 16 negara telah melaporkan prevalensi anak bertubuh
pendek sebesar 40% (41). Konsekuensi kesehatan bagi ibu dengan berat badan
lebih dan anak dengan tubuh pendek cukup besar (16, 20, 42, 43).
Baik di Indonesia dan Bangladesh, karakteristik ibu seperti usia, tinggi
badan, dan tingkat pendidikan sangat berhubungan dengan risiko MCDB. Terlebih
lagi, ibu dengan perawakan pendek meningkatkan risiko MCDB di kedua negara.
Hasil ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Schieri dkk (44), yang melaporkan
bahwa penambahan BMI secara signifikan lebih tinggi pada wanita-wanita
berperawakan pendek. Penelitian yang relevan menunjukkan bahwa ibu dengan
perawakan pendek, yang mencerminkan malnutrisi pada awal kehidupan,
berhubungan dengan risiko untuk mengalami disproporsi sefalopelvis pada saat
melahirkan dan memiliki anak yang bertubuh pendek (44, 45). Anak yang
bertubuh pendek, berikutnya juga dikaitkan dengan peningkatan risiko obesitas
dan penyakit kronis di masa dewasa (45). Secara khusus, Victora dkk (16)
menyatakan bahwa pertambahan berat badan pasca melahirkan dengan cepat
berhubungan dengan tingginya konsentrasi glukosa, tekanan darah, dan profil
lipid yang berbahaya. Siklus antar-generasi ibu berperawakan pendek dan anak
yang bertubuh pendek membantu untuk menjelaskan hubungan antara ibu dengan
perawakan pendek dan MCDB.
Dalam sampel yang diperoleh dari Indonesia, pendidikan ibu yang lebih
tinggi bersifat protektif terhadap MCDB. Hubungan ini menguatkan temuan

sebelumnya (14) yang menunjukkan bahwa pasangan ibu-anak yang bertentangan


ini secara signifikan lebih berkemungkinan kecil untuk terjadi dalam rumah
tangga yang ibunya telah menjalani beberapa jenis pendidikan formal relatif
terhadap rumah tangga yang ibunya tidak menjalani pendidikan formal. Di sisi
lain, di pedesaan Bangladesh, tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi
berhubungan dengan peningkatan risiko MCDB. Bukti menunjukkan bahwa
hubungan antara pendidikan dan obesitas di dalam lingkungan negara berkembang
bersifat rumit dan mungkin bahkan berbeda-beda dalam negara yang sama (46).
Hasil yang bertentangan mengenai pendidikan terkait dengan obesitas pada wanita
mengesankan bahwa pendidikan tradisional primer dan sekunder mungkin tidak
memadai untuk mengurangi risiko MCDB, namun lebih menekankan bahwa
pendidikan khusus mengenai nutrisi dan praktik pemberian makanan pada anak
mungkin merupakan strategi intervensi yang lebih efektif untuk mengurangi
MCDB pada populasi pedesaan.
Beberapa karakteristik penting pada anak dikaitkan dengan peningkatan
kemungkinan MCDB, termasuk usia yang lebih besar, lahir di urutan yang
kesekian, dan berjenis kelamin perempuan. Lebih tingginya prevalensi anak
perempuan yang bertubuh pendek telah dilaporkan di bagian lain (15, 36). Lee
dkk (15) melaporkan bahwa rumah tangga dengan anak yang bertubuh pendek
dan ibu dengan berat badan yang lebih, sebagian besar (55.3%) memiliki anak
perempuan. Selain status gizi, kemiskinan, ketidakadilan atau ketidaksetaraan, dan
status sosial merupakan salah satu dari faktor-faktor sosial yang mungkin dapat
berkontribusi terhadap tubuh pendek. Sebuah analisis mengenai indikator gizi
secara global menunjukkan bahwa mungkin terdapat perbedaan dalam hal
pemberian makan dan pengasuhan anak perempuan dibandingkan dengan anak
laki-laki, yang menyebabkan peningkatan prevalensi tubuh pendek pada anak
perempuan (36). Hal ini dapat berakar dari hubungan kekuasaan dan norma sosial
yang menghidupkan perilaku dan kebiasaan diskriminatif pada anak perempuan.
Peningkatan prevalensi tubuh pendek pada anak perempuan dapat menjelaskan
hubungan mengenai anak perempuan yang berkemungkinan yang lebih tinggi
untuk mengalami MCDB dalam sampel ini.

Rumah tangga dimana anak diberikan ASI pada saat wawancara lebih
berkemungkinan kecil untuk memiliki pasangan ibu-anak yang bertentangan,
yang memperkuat gagasan bahwa pemberian ASI mempengaruhi status nutrisi
baik pada ibu dan anak (47). Pemberian SI menimbulkan kemungkinan yang lebih
besar bagi anak-anak untuk memenuhi kebutuhan gizi harian mereka; oleh karena
itu, mereka memiliki prevalensi bertubuh pendek yang lebih rendah. Outcome
kesehatan ibu juga telah dihubungkan dengan pemberian ASI, dengan risiko
kelebihan berat badan pada ibu yanag berbanding terbalik dengan pemberian ASI.
Beberapa penjelasan yang memungkinkan telah diajukan, termasuk gagasan
bahwa pemberian ASI meningkatkan pengeluaran kalori dari ibu. Kami mengakui
bahwa temuan ini terutama dapat berlaku pada anak-anak yang berusia di bawah
24 bulan. Di Indonesia dan Bangladesh, sebanyak 87% dan 96% anak berusia 623 bulan, berturut-turut, dalam keadaan mendapatkan ASI pada saat wawancara.
Meskipun tidak disajikan, analisis logistik multivariat diteliti dengan sampel yang
telah distratifikasi (6-23 bulan dibandingkan 24-59 bulan) dan temuannya sama
dengan yang disajikan dalam artikel ini.
Karakteristik rumah tangga, termasuk ukuran keluarga dan SES, juga
merupakan faktor penting yang diteliti dalam analisis ini. Khususnya, SES yang
lebih tinggi yang diukur dengan pengeluaran rumah tangga mingguan secara
signifikan berhubungan dengan MCDB. Temuan kami sama dengan yang
dilaporkan oleh kepustakaan lain (11, 14) yang melaporkan bahwa beban ganda
rumah tangga lebih berkemungkinan ada pada rumah tangga dengan kuintil yang
lebih besar. Pengeluaran terhadap jumlah makanan total, makanan bukan bijibijian, dan makanan biji-bijian juga diteliti (data tidak ditampilkan). Kelebihan
berat badan pada ibu paling banyak ditemukan pada rumah tangga dengan kuartil
pengeluaran yang paling tinggi untuk makanan total, makanan bukan biji-bijian
dan makanan biji-bijian. Tubuh pendek dan pengeluaran memiliki hubungan yang
terbalik. Hasil ini sesuai dengan gagasan bahwa terdapat hubungan positif yang
kuat antara SES dan berat badan lebih di negara-negara yang kurang maju (4),
karena mereka yang berada dalam kuintil yang lebih besar mungkin telah
meningkatkan asupan kalorinya dan memiliki perilaku sedentari. Hal ini

mendukung gagasan bahwa Indonesia dan Bangladesh berada pada fase awal dari
transisi ekonomi dan gizi.
Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini harus dipertimbangkan. Pertama,
ini merupakan analisis cross sectional yang meneliti prediktor untuk MCDB,
sehingga hubungan sebab akibatnya tidak dapat ditegakkan. Kedua, meskipun
rendahnya variasi makanan yang ditandai dengan malnutrisi mikronutrien dapat
meningkatkan risiko MCDB (48), asupan diet ibu dan anak-anak tidak
dipertimbangkan. Prediktor terhadap obesitas ibu, seperti riwayat aktivitas fisik,
berat badan sebelum kehamilan dan berat badan saat hamil tidak tersedia. Jumlah
penelitian yang tidak memadai membatasi kami untuk mempertimbangkan jumlah
paritas, frekuensi pemberian ASI, atau usia dimana makanan tambahan dimulai
pada analisis multivariat. Namun, kepustakaan (49, 50) menyatakan bahwa
pengaruh penambahan berat badan pasca persalinan mungkin hanya minimal
dalam

sampel

kami.

Meskipun

merupakan

variabel

penting

untuk

dipertimbangkan, berat lahir anak tidak diikutsertakan dalam analisis multivariat


karena tidak signifikan secara statistik saat didalami dalam analisis bivariat.
Terakhir, definisi operasional beban ganda dapat berbeda-beda. MCDB,
sebagaimana yang didefinisikan dalam analisis ini, mungkin juga kurang
sebanding dengan definisi di negara-negara dan konteks lainnya.
Meskipun terdapat keterbatasan ini, menilai faktor risiko utama terhadap
anak yang bertubuh pendek dan ibu yang dengan berat badan lebih merupakan
langkah yang sangat penting dalam mengembangkan program intervensi gizi yang
menargetkan kedua paradoks malnutrisi yang bersifat ekstrim ini. Analisis ini
menarik

perhatian

pada

kepentingan

untuk

mempertimbangkan

definisi

malnutrisi yang luas. Temuan ini menunjukkan bahwa MCDB tidak bersifat
eksklusif pada lingkungan perkotaan saja dan bahwa perawakan pendek ibu
mungkin merupakan faktor risiko yang kuat, sementara peran pendidikan orang
tua membutuhkan penelitian lebih lanjut. Temuan ini memperkuat bukti mengenai
hubungan antara faktor-faktor ekonomi dan malnutrisi, serta menyatakan bahwa
kebijakan dan intervensi di masa yang akan datang perlu untuk mengatasi
malnutrisi baik di area pedesaan maupun perkotaan.

Вам также может понравиться