Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
pedesaan
di
Proyek
Surveilans
Gizi
Bangladesh
(2003-2006)
diikutsertakan dalam analisis. Beban ganda pada ibu dan anak (MCDB) dan
hubungannya dengan karakteristik individu dan rumah tangga ditentukan dengan
menggunakan model regresi logistik.
Hasil: MCDB ditemukan pada 11% dan 4% dari rumah tangga di pedesaan
Indonesia dan Bangladesh, secara berturut-turut. Ibu dengan perawakan pendek
[Indonesia (OR: 2.32; IK 95% CI: 2.25, 2.40); Bangladesh (OR: 2.11; IK 95%:
1.96, 2.26), dan usia tua merupakan prediktor kuat terhadap MCDB. Karakteristik
anak seperti usia yang lebih besar dan berjenis kelamin perempuan berkaitan
dengan peningkatan kemungkinan MCDB, sementara sedang menjalani masa
menyusui yaitu mendapatkan ASI merupakan faktor protektif terhadap MCDB
[Indonesia (OR: 0.84; IK 95%: 0.81, 0.84); Bangladesh (OR: 0.55; IK 95%: 0.52,
O.58)]. Ukuran keluarga yang besar dan pengeluaran rumah tangga per kapita per
minggu yang lebih tinggi bersifat prediktif untuk MCDB (OR: 1.34; IK 95%:
1.28, 1.40); Bangladesh (OR: 1.94; IK 95%: 1.77, 2.12)].
Kesimpulan: Beban ganda tidak bersifat eksklusif hanya untuk area perkotaan.
Kebijakan dan intervensi di masa yang akan datang harus dapat mengatasi berat
badan kurang dan berat badan lebih secara bersamaan baik di pedesaan maupun
perkotaan dalam lingkungan negara berkembang.
PENDAHULUAN
Diperkirakan sebanyak 1.5 milyar orang dewasa memiliki berat badan lebih
di seluruh dunia (1), dengan kecenderungan terbaru yang menunjukkan
pergeseran prevalensi dari negara-negara dengan pendapatan tinggi ke negara
dengan pendapatan menengah ke bawah (2-4). Sebagai akibatnya, negara-negara
berkembang saat ini dihadapkan dengan beban ganda malnutrisi (5), yang ditandai
dengan adanya koeksistensi keadaan gizi kurang dan gizi lebih secara bersamaan
(6). Penelitian telah melaporkan fenomena ini di dalam negara yang sama (7-9),
dalam rumah tangga yang sama (10-12), dan pada pasangan ibu-dan anak (5, 1315). Adanya beban ganda ini mengancam stabilitas ekonomi dan kesehatan lebih
lanjut pada negara-negara yang memang telah mengalami keterbatasan sumber
daya ini.
MCDB4, yang umumnya didefinisikan sebagai ibu dengan berat badan lebih
yang berpasangan dengan anak dengan gizi kurang, menjadi suatu hal
dikhawatirkan karena gizi kurang dan gizi lebih diduga berjalan melalui jalur
kausalitas yang independen dan biasanya telah diperlakukan sebagai masalah
kesehatan yang berbeda (12-14). Kekurangan gizi pada anak berhubungan dengan
peningkatan risiko kematian anak dan kognisi yang buruk (16), yang dapat
menyebabkan peningkatan risiko PTM dan obesitas di masa dewasa (16-19).
Beberapa mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan hubungan antara
kekurangan pada anak dan obesitas pada masa dewasa. Kekurangan gizi pada
masa kanak-kanak telah dikaitkan dengan peningkatan risiko konsentrasi glukosa
yang tinggi, tekanan darah yang tinggi, dan kerentanan yang lebih tinggi untuk
meningkatkan penumpukan lemak sentral, dan profil lipid yang membahayakan
yang semuanya dihubungkan dengan PTM di masa dewasa (19021). PTM
menyebabkan sekitar dua-per tiga kematian secara global dan diyakini merupakan
hambatan utama untuk mencapai Millenium Development Goals pada tahun 2015
tanpa tindakan yang bersifat komprehensif dari negara.
(9, 26, 27). Singkatnya, kedua sistem surveilans didasarkan pada kerangka kerja
konseptual UNICEF mengenai penyebab malnutrisi (28). Informasi yang relevan
dikumpulkan dari rumah tangga yang memiliki anak berusia < 5 tahun baik di
area perkotaan atau pedesaan. Metode pengambilan sampel berkelompok
multitahap bertingkat atau stratified multistage cluster digunakan untuk
mengidentifikasi rumah tangga yang memenuhi persyaratan baik pada NSS
maupun NSP. Skema pengambilan sampel dirancang untuk mewakili Indonesia
dan Bangladesh, baik secara nasional maupun secara bagian. Di Indonesia, data
pedesaan dikumpulkan tiap 3 bulan dari provinsi Lampung, Banten, Jawa Barat,
Jawa tengah, Jawa timur, Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat. Di
Bangladesh, data dikumpulkan setiap 2 bulan. Data pedesaan dikumpulkan dari 4
kecamatan masing-masing dari 6 bagian, yaitu Barisal, Chittagong (termasuk
Chittagong Hill Tracts), Dhaka, Khulna, Rajshahi, dan Sylhet. Sebuah rumah
tangga didefinisikan sebagai sekelompok individu yang memakan makanan yang
berasal dari dapur yang sama, dan rumah tangga baru dipilih pada tiap putaran
kedua survei. Analisis ini mencakup sebanyak 415.443 rumah tangga pedesaan
yang berpartisipasi dalam NSS dari tahun 2000 hingga 2003 (n=247.126) dan
dalam NSP dari tahun 2003 hingga 2006 (n=168.317).
Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data di Indonesia dan di Bangladesh dilakukan
dengan cara yang sama. Responden yang memenuhi persyaratan pada masingmasing rumah tangga yang terpilih dikunjungi di rumah mereka oleh tim lapangan
yang terdiri dari 2 orang, yang melakukan wawancara dan melakukan pengukuran
antropometri. Persetujuan tertulis didapatkan dari masing-masing responden.
Orang tua atau wali memberikan persetujuan untuk anak yang berusia di bawah 5
tahun. Wawancara dan penilaian dilakukan hanya setelah persetujuan didapatkan.
Dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur, ibu dari anak atau
pengasuh lainnya diminta untuk memberikan informasi mengenai usia anak, jenis
kelamin, morbiditas anak pada minggu terakhir, vaksinasi, status pemberian ASI,
dan asupan makanan. Data ibu yang terdiri atas usia, pendidikan, morbiditas,
(m)2. Mengingat tujuan kami berupa memberi masukan mengenai kebijakan dan
strategi intervensi, ibu dengan berat badan lebih: dikelompokkan sebagai IMT
(dalam kg/m2) 23 untuk mencapai mereka yang berisiko tinggi untuk mengalami
PTM (9, 32). MCDB didefinisikan sebagai koeksistensi anak dengan keadaan
stunting atau bertubuh pendek dan ibu dengan berat badan lebih dalam rumah
tangga yang sama. Analisis ini hanya mengikutsertakan anak yang berusia paling
kecil (usia 6-59 bulan) dari tiap rumah tangga yang terpilih. Anak yang berusia <
6 bulan dan wanita dengan IMT < 12 atau > 50 dieksklusikan dari analisis (9, 15).
Semua analisis dibobotkan sesuai dengan ukuran populasi dan disesuaikan untuk
rancangan pengambilan sampel multi-tahap berkelompok pada NSS dan NSP.
Pengeluaran per kapita rumah tangga per minggu digunakan sebagai
indikator utama SES. Pengeluaran mingguan untuk unsur makanan biji-bijian
ditambahkan ke unsur makanan bukan-biju-bijian. Harga atau nilai moneter dalam
bentuk beras yang dihasilkan, yang diterima dalam bentuk pembayaran bagi
tenaga kerja, atau sebagai harga untuk jumlah yang dikonsumsi oleh rumah tangga
ditambahkan pada perhitungan pengeluaran untuk makanan biji-bijian. Jumlah
pengeluaran rumah tangga untuk unsur bukan makanan, seperti pendidikan dan
perumahan, juga dihitung. Selanjutnya, total jumlah pengeluaran mingguan untuk
semua unsur bukan makanan, makanan biji-bijian, dan makanan bukan-biji-bijian
dijumlahkan dan dibagi dengan ukuran rumah tangga untuk memperkirakan
pengeluaran per kapita mingguan rumah tangga total. Ukuran rumah tangga
didapatkan dari hitungan sederhana jumlah anggota rumah tangga. Setelah itu
dibentuk nilai kuintil pengeluaran per kapita mingguan. Rincian tambahan
mengenai perhitungan pengeluaran rumah tangga dijelaskan di bagian lain (33).
Statistika deskriptif digunakan untuk menguji distribusi penuh dari variabel.
Dengan menggunakan nilai batas yang sesuai, dibentuk variabel kategorikal untuk
pendidikan ibu (tidak menjalani pendidikan formal, sekolah dasar, sekolah
menengah, atau > sekolah menengah); tinggi ibu (< 145, 145- 149.9, atau 150
cm; ibu dengan perawakan pendek, < 145 cm); urutan kelahiran (1-3, atau 4);
ukuran keluarga (2-3, 4-6, atau 7); tempat buang air besar (kakus
terbuka/tertutup atau lainnya); dan sumber air keran (keran, pompa tangan, sumur,
atau lainnya). Analisis dilakukan secara terpisah untuk pedesaan Indonesia dan
Bangladesh. Untuk menentukan faktor-faktor yang berkaitan dengan MCDB,
analisis bivariat dilakukan untuk kesemua faktor risiko dengan menggunakan uji
chi square. Faktor risiko awalnya dipilih berdasarkan hubungan faktor-faktor
tersebut yang telah diketahui dengan gizi ibu dan anak, sebagaimana yang telah
tercermin dalam kerangka pikir konseptual UNICEF mengenai penyebab
malnutrisi. Penyebab-penyebab ini meliputi karakteristik anak seperti karakteristik
demografi, morbiditas, berat badan, asupan makanan, pemberian ASI dan status
vaksinasi; karakteristik ibu meliputi usia, pendidikan, morbiditas, riwayat
reproduksi, kebersihan pribadi, praktik pengasuhan anak, dan penggunaan
tembakau; komposisi rumah tangga; pengeluaran; dan indikator lingkungan,
dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya. Hanya karakteristik anak, ibu dan
rumah tangga yang menunjukkan hasil yang berhubungan secara signifikan
dengan MCDB dalam analisis bivariat (p <0.06) yang dimasukkan dalam model
regresi logistik berganda. Model regresi logistik yang terpisah dikembangkan
untuk Indonesia dan Bangladesh, dengan MCDB sebagai variabel dependen, dan
prediktor yang berpotensi sebagai variabel independen. OR dan IK 95% yang
bersesuaian dihitung dengan signifikansi statistik yang didefinisikan sebagai p <
0.05. Semua analisis dilakukan dengan manggunakan Perangkat Lunak Statistik
Predictive analytics (PASW, versi 18.0; SPSS Inc).
Hasil
Indonesia
Rerata ( SE) usia ibu yang diikutsertakan dalam analisis adalah 28.0 0.01
tahun (Tabel 1). Sebagian besar ibu tidak mendapatkan pendidikan atau hanya
menjalani pendidikan dasar (64%), dan ~ 17 % memiliki perawakan pendek.
Rerata ( SE) IMT adalah 22 0.01dan 32% dari ibu dalam keadaan berat badan
lebih. Rerata (SE) usia anak adalah 25.3 (0.3) bulan dengan diwakili oleh kedua
jenis kelamin secara sebanding. Sekitar 37% dari anak-anak bertubuh pendek, dan
sebagian besar sedang dalam masa menyusui dengan ASI. Dua per tiga dari anak-
anak (66%) telah mendapatkan kapsul vitamin A dosis tinggi dalam 6 bulan
terakhir, dan sekitar > 7% mengalami diare pada minggu terakhir.
Pasangan ibu dengan berat badan lebih dan anak yang bertubuh pendek
teramati pada 11% dari rumah tangga di pedesaan Indonesia (Tabel 2). Secara
lebih spesifik, sebanyak 5.3% rumah tangga memiliki anak bertubuh pendek yang
bersamaan dengan ibu yang memiliki IMT sebesar 23 24.9. Sekitar 6% dari
populasi di Indonesia memiliki anak yang bertubuh pendek dalam rumah tangga
yang sama dengan ibu yang memiliki IMT 25. Berat badan lebih ditemukan
juga pada 21% populasi lainnya.
Beberapa karakteristik ibu, anak dan rumah tangga berhubungan dengan
MCDB (Tabel 3). Dalam analisis multivariat, ibu dengan perawakan pendek dan
berusia tua merupakan prediktor kuat untuk kejadian MCDB, sementara tingkat
pendidikan yang lebih tinggi bersifat protektif terhadap MCDB. Karakteristik
anak, seperti usia yang lebih besar dan urututan kelahiran yang lebih tinggi dan
berjenis kelamin perempuan, berhubungan dengan peningkatan kemungkinan
untuk mengalami MCDB, sementara sedang dalam masa menyusui dengan ASI
pada saat wawancara berhubungan dengan kemungkinan mengalami MCDB yang
lebih rendah. Ukuran keluarga yang besar dan pengeluaran rumah tangga per
kapita mingguan yang lebih tinggi secara positif berhubungan dengan MCDB
(Tabel 4).
Bangladesh
Rerata (SE) usia ibu adalah 27.0 0.02 tahun (Tabel 1). Sekitar 70% dari
ibu tidak mendapatkan pendidikan atau menjalani pendidikan dasar, dan 14%
berperawakan pendek. Rerata (SE) IMT adalah 19.8 0.01, dan sebanyak 12%
dalam keadaan berat badan lebih. Rerata (SE) usia anak adalah 30.1 0.04
bulan, dan sekitar setengahnya (52%) adalah laki-laki. Sekitar 42% dari anak-anak
bertubuh pendek, dan 96% dalam masa menyusui dengan ASI pada saat
wawancara. Hampir dua per tiga (64%) dari anak-anak telah mendapatkan kapsul
vitamin A dosisi tinggi pada 6 bulan terakhir, dan sebanyak 18% mengalami diare
pada 2 minggu terakhir (Tabel 1).
(36%), Uzbekistan (26%), China (15%), dan India (6%) (4). Peningkatan
prevalensi berat badan lebih ini mungkin merupakan akibat dari persegeran gaya
makan dan gaya hidup dengan peningkatan akses ke makanan-makanan yang
padat energi. Selain itu, penggunaan alat-alat bermesin di area pedesaan (yaitu,
menggunakan kendaraan bermotor untuk melakukan pekerjaan pertanian) telah
berkontribusi terhadap berkurangnya aktivitas fisik di negara-negara berkembang
(38). Sama halnya pula, tubuh pendek anak terdokumentasi dengan baik di
negara-negara berkembang (14, 39, 40), dan bukti yang ada menyatakan bahwa
keadaan ini bisa lebih tinggi di lingkungan pedesaan (5, 36). Di Asia khususnya,
sebanyak 31% dari anak-anak yang berusia di bawah 5 tahun bertubuh pendek,
dan diperkirakan sebanyak 16 negara telah melaporkan prevalensi anak bertubuh
pendek sebesar 40% (41). Konsekuensi kesehatan bagi ibu dengan berat badan
lebih dan anak dengan tubuh pendek cukup besar (16, 20, 42, 43).
Baik di Indonesia dan Bangladesh, karakteristik ibu seperti usia, tinggi
badan, dan tingkat pendidikan sangat berhubungan dengan risiko MCDB. Terlebih
lagi, ibu dengan perawakan pendek meningkatkan risiko MCDB di kedua negara.
Hasil ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Schieri dkk (44), yang melaporkan
bahwa penambahan BMI secara signifikan lebih tinggi pada wanita-wanita
berperawakan pendek. Penelitian yang relevan menunjukkan bahwa ibu dengan
perawakan pendek, yang mencerminkan malnutrisi pada awal kehidupan,
berhubungan dengan risiko untuk mengalami disproporsi sefalopelvis pada saat
melahirkan dan memiliki anak yang bertubuh pendek (44, 45). Anak yang
bertubuh pendek, berikutnya juga dikaitkan dengan peningkatan risiko obesitas
dan penyakit kronis di masa dewasa (45). Secara khusus, Victora dkk (16)
menyatakan bahwa pertambahan berat badan pasca melahirkan dengan cepat
berhubungan dengan tingginya konsentrasi glukosa, tekanan darah, dan profil
lipid yang berbahaya. Siklus antar-generasi ibu berperawakan pendek dan anak
yang bertubuh pendek membantu untuk menjelaskan hubungan antara ibu dengan
perawakan pendek dan MCDB.
Dalam sampel yang diperoleh dari Indonesia, pendidikan ibu yang lebih
tinggi bersifat protektif terhadap MCDB. Hubungan ini menguatkan temuan
Rumah tangga dimana anak diberikan ASI pada saat wawancara lebih
berkemungkinan kecil untuk memiliki pasangan ibu-anak yang bertentangan,
yang memperkuat gagasan bahwa pemberian ASI mempengaruhi status nutrisi
baik pada ibu dan anak (47). Pemberian SI menimbulkan kemungkinan yang lebih
besar bagi anak-anak untuk memenuhi kebutuhan gizi harian mereka; oleh karena
itu, mereka memiliki prevalensi bertubuh pendek yang lebih rendah. Outcome
kesehatan ibu juga telah dihubungkan dengan pemberian ASI, dengan risiko
kelebihan berat badan pada ibu yanag berbanding terbalik dengan pemberian ASI.
Beberapa penjelasan yang memungkinkan telah diajukan, termasuk gagasan
bahwa pemberian ASI meningkatkan pengeluaran kalori dari ibu. Kami mengakui
bahwa temuan ini terutama dapat berlaku pada anak-anak yang berusia di bawah
24 bulan. Di Indonesia dan Bangladesh, sebanyak 87% dan 96% anak berusia 623 bulan, berturut-turut, dalam keadaan mendapatkan ASI pada saat wawancara.
Meskipun tidak disajikan, analisis logistik multivariat diteliti dengan sampel yang
telah distratifikasi (6-23 bulan dibandingkan 24-59 bulan) dan temuannya sama
dengan yang disajikan dalam artikel ini.
Karakteristik rumah tangga, termasuk ukuran keluarga dan SES, juga
merupakan faktor penting yang diteliti dalam analisis ini. Khususnya, SES yang
lebih tinggi yang diukur dengan pengeluaran rumah tangga mingguan secara
signifikan berhubungan dengan MCDB. Temuan kami sama dengan yang
dilaporkan oleh kepustakaan lain (11, 14) yang melaporkan bahwa beban ganda
rumah tangga lebih berkemungkinan ada pada rumah tangga dengan kuintil yang
lebih besar. Pengeluaran terhadap jumlah makanan total, makanan bukan bijibijian, dan makanan biji-bijian juga diteliti (data tidak ditampilkan). Kelebihan
berat badan pada ibu paling banyak ditemukan pada rumah tangga dengan kuartil
pengeluaran yang paling tinggi untuk makanan total, makanan bukan biji-bijian
dan makanan biji-bijian. Tubuh pendek dan pengeluaran memiliki hubungan yang
terbalik. Hasil ini sesuai dengan gagasan bahwa terdapat hubungan positif yang
kuat antara SES dan berat badan lebih di negara-negara yang kurang maju (4),
karena mereka yang berada dalam kuintil yang lebih besar mungkin telah
meningkatkan asupan kalorinya dan memiliki perilaku sedentari. Hal ini
mendukung gagasan bahwa Indonesia dan Bangladesh berada pada fase awal dari
transisi ekonomi dan gizi.
Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini harus dipertimbangkan. Pertama,
ini merupakan analisis cross sectional yang meneliti prediktor untuk MCDB,
sehingga hubungan sebab akibatnya tidak dapat ditegakkan. Kedua, meskipun
rendahnya variasi makanan yang ditandai dengan malnutrisi mikronutrien dapat
meningkatkan risiko MCDB (48), asupan diet ibu dan anak-anak tidak
dipertimbangkan. Prediktor terhadap obesitas ibu, seperti riwayat aktivitas fisik,
berat badan sebelum kehamilan dan berat badan saat hamil tidak tersedia. Jumlah
penelitian yang tidak memadai membatasi kami untuk mempertimbangkan jumlah
paritas, frekuensi pemberian ASI, atau usia dimana makanan tambahan dimulai
pada analisis multivariat. Namun, kepustakaan (49, 50) menyatakan bahwa
pengaruh penambahan berat badan pasca persalinan mungkin hanya minimal
dalam
sampel
kami.
Meskipun
merupakan
variabel
penting
untuk
perhatian
pada
kepentingan
untuk
mempertimbangkan
definisi
malnutrisi yang luas. Temuan ini menunjukkan bahwa MCDB tidak bersifat
eksklusif pada lingkungan perkotaan saja dan bahwa perawakan pendek ibu
mungkin merupakan faktor risiko yang kuat, sementara peran pendidikan orang
tua membutuhkan penelitian lebih lanjut. Temuan ini memperkuat bukti mengenai
hubungan antara faktor-faktor ekonomi dan malnutrisi, serta menyatakan bahwa
kebijakan dan intervensi di masa yang akan datang perlu untuk mengatasi
malnutrisi baik di area pedesaan maupun perkotaan.