Вы находитесь на странице: 1из 17

BAB 2.

PEMBAHASAN
2.1

Definisi
Malnutrisi adalah masalah utama di dunia berkembang.

Marasmus adalah malnutrisi energi-protein yang berat. Anakanak

tampak

jelas

memiliki

berat

badan

kurang

dengan

pengecilan otot dan tak ada lemak. Tidak disertai edema.


Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat
(Depkes RI, 2000). Malnutrisi energi protein (MEP) adalah bentuk
malnutrisi yang disebabkan asupan protein dan energi yang tidak
adekuat,
Marasmus

seperti
adalah

pada

kondisi

bentuk

MEP

kelaparan
berat

dan

akibat

anoreksia.

protein

dan

energi(kalori) yang tidak adekuat dalam diet. Keadaan ini


menyebabkan anak kecil menjadi sangat kurus dengan otot
menciut, pertumbuhan terhambat, kulit keriput, dan rambut
rontok. Keadaan ini jarang dijumpai dalam masyarakat Eropa dan
Amerika Utara yang maju, tapi masih sering ditemukan di negara
berkembang ketika terjadi kelaparan.Marasmus adalah suatu
bentuk malgizi protein energi karena kelaparan, semua unsur
diet kurang. Marasmus terjadi karena masukan kalori yang tidak
adekuat, penyakit usus menahun, kelainan metabolik atau infeksi
menahun seperti tuberkulosis (Arisman, 2004).
Marasmus adalah kekurangan kalori dalam diit yang
berlangsung lama yang akan menimbulkan gejala undernutrition
yaitu pertumbuhan kurang atau terhenti, anak masih menangis
walaupun telah mendapat minum/ susu, sering bangun waktu
malam, konstipasi/ diare, jaringan bawah kulit menghilang, kulit
keriput, lemak pipi menghilang sehingga seperti wajah orang tua

(Mansjoer, 2000). Marasmus adalah malnutrisi energi protein


berat yang disebabkan oleh defisiensi makanan sumber energi
(kalori) dapat terjadi bersama/ tanpa disertai defisiensi protein
(Betz, 2002). Marasmus adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh kekurangan kalori protein (Suriyadi, 2001).
Dari berbagai penertian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa marasmus adalah suatu penyakit malnutrisi energi protein
berat akibat dari kurang mendapat masukan makanan dalam
waktu lama yang ditandai dengan penurunan berat badan dan
atropi

jaringan tubuh

secara

bertahap terutama

subkutan

sehingga anak tampak lebih tua denagn kulit keriput dan turgor
kulit menurun.

Gambar 2.2.1 anak dengan marasmus


2.2

Epidemiologi
Kurang Energi Protein paling sering ditemukan di negara-negara sedang

berkembang. Hal ini dapat dipahami karena marasmus sering berhubungan


dengan keadaan kepadatan penduduk dan higiene yang kurang di daerah
perkotaan yang sedang membangun dan serta terjadinya krisis ekonomi. Penderita
KEP banyak ditemukan balita penderita KEP berjenis kelamin perempuan
daripada laki-laki (60,20% : 39,80%). . Sedangkan Agustina Lubis dkk. (1997)
menemukan prevalensi laki-laki : perempuan adalah 1 : 4.; menurutnya hal ini

disebabkan karena perbedaan nilai anak, anak laki-laki dianggap lebih berharga
daripada anak perempuan sehingga anak laki-laki akan mendapatkan perawatan
kesehatan dan pemberian makanan yang lebih baik. Dari segi golongan umur,
balita penderita KEP lebih banyak ditemukan pada usia 12 s/d 23 bulan, yaitu
sebesar 50,00%. Balita pada usia ini, baru memasuki suatu tahapan baru dalam
proses tumbuh kembangnya. Di antaranya tahapan untuk mulai beralih dari
ketergantungan yang besar pada ASI atau susu formula ke makanan semi adat.
Sebagian balita mengalami masa ini tanpa kesulitan, namun sebagian lagi
menderita kesulitan makan yang berat.
2.3 Etiologi
Etiologi dari penyakit marasmus antara lain masukan zat
gizi yang tidak adekuat, kebiasaan makan yang tidak tepat,
kelainan metabolik dan malabsorpsi, malformasi kongenital pada
saluran pencernaan, penyakit ginjal menahun, keadaan ekonomi
keluarga (Arisman, 2004). Sedangkan menurut Nelson (2007),
penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang
dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan
makan yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan
anak terganggu, karena kelainan metabolik

atau

malformasi

kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi


antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor
lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri
yang

dibawa

sejak

lahir,

diduga berpengaruh terhadap

terjadinya marasmus. Secara umum penyebab marasmus adalah


sebagai berikut.
a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat
masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan
orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu
kaleng yang terlalu encer.

b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus,


terutama

infeksi

enteral misalnya

infantil

gastroenteritis,

bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital.


c.

Kelainan struktur
bawaan,

bawaan misalnya

penyakit

palatoschizis,

Hirschpurng,

: penyakit
deformitas

jantung
palatum,

mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia,

hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas


d.

Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada


keadaan

tersebut

pemberian

ASI

kurang

akibat

reflek

mengisap yang kurang kuat


e.

Pemberian

ASI

yang

terlalu

lama

tanpa

pemberian

makanan tambahan yang cukup


f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic
hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan
baru

ditegakkan

bila

penyebab

maramus

yang

lain

disingkirkan
h.

Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian


makanan

tambahan

yang

kurang

akan

menimbulkan

marasmus
i.

Urbanisasi

mempengaruhi

dan

merupakan

predisposisi

untuk timbulnya marasmus, meningkatnya arus urbanisasi


diikuti

pula

perubahan

kebiasaan penyapihan

dini

dan

kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu


yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu, dan
bila disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis akan
menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.
Ada dua faktor penyebab terjadinya gizi buruk adalah sebagai
berikut.
1. Penyebab Langsung.

Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi,


menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita
penyakit kanker. Anak yang mendapat makanan cukup baik
tetapi sering diserang atau demam akhirnya menderita kurang
gizi.
2. Penyebab tidak langsung,
Ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan
kesehatan.

Sedangkan

faktor-faktor

lain

selain

faktor

kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi buruk


adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan
dan kesempatan kerja. Oleh karena itu untuk mengatasi gizi
buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan pangan
adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan
pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang
cukup baik maupun gizinya (Dinkes SU, 2006).
Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan
makanan yang kurang atau anak sering sakit, atau terkena
infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat,
anak tidak cukup

mendapat makanan bergizi seimbang, dan

pola makan yang salah. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti
layaknya

lingkaran

setan

yang

sukar

diputuskan,

karena

keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi


kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi
sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan
sehingga memudahkan terjadinya infeksi.
2.4 Tanda dan Gejala
Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua
(berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan
tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,

gangguan

kulit,

gangguan

pencernaan

(sering

diare),

pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel


dan

banyak

menangis

meskipun

setelah

makan,

karena

masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus


adalah (Depkes RI, 2000) :
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian
besar lemak dan ototototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e.

Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih

terasa lapar.
Pada mulanya ada kegagalan menaikkan berat badan,
disertai dengan kehilangan berat badan sampai berakibat kurus,
dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi berkerut
dan longgar karena lemak subkutan hilang dari bantalan pipi,
muka bayi dapat teap tampak relatif normal selama beberapa
waktu sebelum menjadi menyusut dan berkeriput. Abdomen
dapat kembung dan datar. Terjadi atropi otot dengan akibat
hipotoni. Suhu biasanya normal, nadi mungkin melambat, mulamula bayi mungkin rewel, tetapi kemudian lesu dan nafsu makan
hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul apa yang
disebut diare tipe kelaparan, dengan buang air besar sering, tinja
berisi mukus dan sedkit (Nelson, 2000). Selain itu, tanda dan
gejala dari penyakit marasmus antara lain badan kurus kering
tampak seperti orang tua, lethargi, irritable, kulit keriput (turgor
kulit jelek), ubun-ubun cekung pada bayi, jaringan subkutan
hilang, malaise, kelaparan dan apatis.
2.5 Patofisiologi

Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat


banyak faktor. Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor
penting yaitu : tubuh sendiri (host), kuman penyebab (agent),
lingkungan (environment ). Faktor diet atau makanan memegang
peranan penting dalam terjadinya penyakit marasmus, tetapi
beberapa faktor lain juga memiliki peranan penting dalam
terjadinya

marasmus

Marasmus

adalah

compensated

malnutrition. Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu


berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi
kebutuhan

pokok

atau

energi.

Kemampuan

tubuh

untuk

mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal


yang

sangat

penting

untuk

mempertahankan

kehidupan.

Karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh


sebagai

bahan

bakar,

namun

kemampuan

tubuh

untuk

menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam


dapat

terjadi

katabolisme
menghasilkan

kekurangan

glukosa.

protein

terjadi

setelah

asam

amino

yang

Hal

ini

mengakibatkan

beberapa
segera

jam

diubah

dengan
menjadi

karbohidrat di hepar dan di ginjal. Selama puasa jaringan lemak


dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton . Otot dapat
mempergunakan asam lemak dan keton sebagai sumber energi
jika kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan
mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi
setelah kira-kira kehilangan separuh dari tubuh.
Pada keadaan ini yang terlihat jelas ialah pertumbuhan
yang kurang atau terhenti disertai atrofi otot dan menghilangnya
lemak di bawa kulit. Pada mulanya kelainan demikian merupakan
proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup jaringan, tubuh
memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang
diberikan, sehingga harus didapat dari tubuh itu sendiri. Hal ini

menyebabkan

cadangan

protein

digunakan

juga

untuk

memenuhi kebutuhan energi tersebut. Penghancuran jaringan


pada

defisiensi

kalori

tidak

hanya

membantu

memenuhi

kebutuhan energi, tetapi juga untuk memungkinkan sintesis


glukosa dan metabolit esensial lainnya seperti asam amino untuk
komponen homeostatik. Oleh karena itu, pada marasmus berat
terkadang masih ditemukan asam amino yang normal, sehingga
hati masih dapat membentuk albumin yang cukup .
Proses metabolik anak pada dasarnya sama, akan tetapi
relative lebih aktif dibandingkan dengan orang dewasa. Anak
membutuhkan lebih banyak makanan untuk tiap kilogram berat
badannya untuk pertumbuhan dan pertukaran energi yang lebih
aktif.

Tubuh

yang

hidup

seperti

halnya

dengan

mesin

memerlukan bahan bakar dan bahan untuk pengganti maupun


perbaikan. Anak yang sedang tumbuh memerlukan makanan
tambahan untuk pertumbuhan. Keperluan ini dapat dipenuhi
dengan pemberian makanan yang mengandung cukup kalori.
Dalam

makanan

tersebut

harus

cukup

tersedia

protein,

karbohidrat, mineral, air, vitamin dan beberapa macam asam


lemak dalam jumlah tertentu.
Pada keadaan awal, umumnya tidak ditemukan kelainan
biokimia, tetapi pada keadaan lanjut akan didapatkan kadar
albumin yang rendah, sedangkan globulin yang meninggi. Jika
kebutuhan akan kalori telah dipenuhi, tetapi makanan yang
diberikan tidak mengandung semua nutrient yang esensial untuk
manusia, maka secara lambat kesehatan orang tersebut akan
terganggu. Gejala yang timbul tergantung kepada kekurangan
jenis

nutrient

dalam

dietnya.

Defisiensi

protein

akan

mengakibatkan timbulnya gejala defisiensi protein atau lebih


dikenal dengan nama Kwashiorkor. Defisiensi vitamin A yang

berlangsung lama menimbulkan penyakit defisiensi vitamin A


atau Xeropthalmia. Defisiensi vitamin D mengakibatkan penyakit
yang disebut Rikets dan sebagainya.
2.6 Prognosis .
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang
tinggi, kematian sering disebabkan oleh karena infeksi, sering
tidak dapat dibedakan antara kematian karena infeksi atau
karena malnutrisi sendiri. Prognosis ini tergantung dari stadium
saat pengobatan mulai dilaksanakan, walaupun kelihatannya
pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak
dapat dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang irreversibel dari sel-sel tubuh akibat under nutrition.
2.7 Komplikasi
Kompikasi yang dapat dialami oleh penderita gizi buruk
sangatlah bervariasi. Sistem organ yang terganggu akibat kurang
gizi adalah pencernaan, ginjal, jantung dan gangguan hormonal.
Kematian juga dapat terjadi jika derajat penyakitnya semakin
berat dan disertai komplikasi penyakit infeksi.

2.8

Pengobatan
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase

stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil
memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase.
a. Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan
hingga ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap
penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih

lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna


makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan
berupa makanan bayi. Makanan utama adalah formula yang dimodifikasi. Contoh:
susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung. Secara berangsur ditambahkan
makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada, berikan ASI. Jika berat badan
pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan untuk anak di atas 1
tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair, kemudian makanan
lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
2. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
3. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk
meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan
4. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 23 jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat
pipa (per-sonde) (RSCM, 2003).
b. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi
mencapai 150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan
sehari.
c. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh
makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya
diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan,
memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya
belinya. Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :
1. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda
hipoglikemia.
2. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.

3. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
4. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau
100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A
diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal
400.000 SI.
5. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi (Fe)
dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP
berat.
2.9 Pencegahan
Tindakan pencegahan terhadap penyakit marasmus dapat
dilaksanakan dengan baik bila penyebab diketahui. Usaha-usaha
tersebut memerlukan sarana dan prasarana kesehatan yang baik
untuk pelayanan kesehatan dan penyuluhan gizi. Tindakan
pencegahan

bertujuan

untuk

mengurangi

insidensi

dan

menurunkan angka kematian. Oleh karena itu, ada beberapa


faktor yang menjadi yang menjadi penyebab timbulnya masalah
tersebut, maka untuk melakukan pencegahan dapat melakukan
beberapa langkahadalah sebagai berikut.
1. Pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun yang
merupakan sumber energi yang paling baik untuk bayi.
2. Pemberian makanan tambahan yang bergizi pada umur 3
tahun ke atas.
3.

Pencegahan

penyakit

infeksi,

dengan

meningkatkan

kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan.


4. Pemberian imunisasi.
5.

Mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah


kehamilan terlalu kerap.

6.

Penyuluhan
pemberian

atau

makanan

pendidikan
yang

kesehatan

adekuat

gizi

merupakan

tentang
usaha

pencegahan jangka panjang kepada ibu-ibu yang memiliki


balita. Penyuluhan pada masyarakat mengenai gizi seimbang
(perbandingan jumlah karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan
mineral berdasarkan umur dan berat badan)
7. Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di
daerah yang endemis kurang gizi dengan cara penimbangan
berat badan tiap bulan.
8. Faktor ekonomi,dalam world food conference di Roma tahun
1974

telah

dikemukakan

bahwa

meningkatnya

jumlah

penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya


persediaan

bahan

makanan

setempat

yang

memadai

merupakan sebab utama krisis pangan, sedangkan kemiskinan


pendudukan merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula
perlunya bahan makanan yang bergizi baik di samping
kuantitasnya.
Merencanakan pengaturan makan untuk seorang bayi
atau anak. Jika kita hendak menentukan makanan yang tepat
untuk seorang bayi atau anak, maka kita perlu melakukan
beberapa langkah adalah sebagai berikut.
1. Menentukan jumlah kebutuhan dari setiap nutrien dengan
menggunakan data tentang kebutuhan nutrien.
2.

Menentukan

jenis

menterjemahkan

bahan
nutrien

makanan
yang

yang

dipilih

diperlukan

untuk
dengan

menggunakan daftar komposisi nutrien dari berbagai macam


bahan makanan.
3. Menentukan jenis makanan yang akan diolah sesuai dengan
hidangan (menu) yang dikehendaki.

BAB 3. PATHWAY
Sosial
ekonomi
rendah

Malabsorbsi,
infeksi anoreksia

Kegagalan
melakukan sintetis
protein dan kalori

Intake kurang dari


kebutuhan
Defisiensi protein dan
kalori
Kekurangan
Turgor
Wajah kulit
Gangguan
Gangguan
vit.
menurun
seperti
A,
C,
dan
citra diri dan
integritas

Marasmus
Risiko
Daya
Keadaan
Lipolisis
infeksi
tahan
Risiko
tinggi
Defisit
volume
umum
pada
protein
tubuh
saluran
lemah
<<
Infeksi
Anoreksia,

Kurang
Perubahan
Asam
amino esensial
pertumbuhan
Kemampuan
fisik
Atrofi
& produksi
albumin
danotot

Nafsu
makan
berkurang

Gangguan
nutrisi kurang
dari
Penurunan BB

BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN


4.1 Pengkajian
4.1.1 Anamnesa
a. Identitas klien, meliputi:
1. Nama klien: sesuai dengan nama pasien.
2. Usia: klien marasmus biasanya berusia kurang dari 5 tahun (balita)
3. Jenis kelamin: terjadi pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan
4. Agama: bergantung pada pasien
5. Pendidikan: anak biasanya belum sekolah, sedangkan orangtua anak
6.

biasanya berpendidikan rendah.


Alamat: klien dengan marasmus biasanya bertempat tinggal di daerah

dengan pemukiman kumuh atau pemukiman padat penduduk.


b. Identitas Orang tua (penanggung), meliputi:
1. Nama orang tua: sesuai dengan nama bapak dan ibu atau keluarga
penanggung dari klien.
2. Alamat orang tua: sama dengan anak
3. Pendidikan orang tua: biasanya orang tua klien berpendidikan rendah.

4. Pekerjaaan orang tua: pekerjaan orangtua klien dengan marasmus


biasanya adalah sebagai buruh atau dengan status sosial ekonomi
rendah.
c. Data subjektif
1. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya sering mual dan muntah.
2. Ibu pasien mengatakan bahwa pasien sering rewel dan nangis terus
padahal sudah diberi makan.
3. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya semakin kurus badannya.
4. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya juga sering diare.
d. Data Objektif
1. Pasien tampak sangat kurus,
2. Rambut pasien tampak kemerahan,
3. Perut pasien terlihat cekung,
4. Wajah pasien tampak seperti orang tua (berkerut)
5. Kulit pasien tampak keriput.
e. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan dahulu: adanya riwayat prematur saat lahir, diit
yang tidak baik, sering sakit-sakitan.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya ibu pasien mengeluh anaknya sering rewel dan menangis,
gangguan pertumbuhan (berat badan semakin lama semakin turun),
dan sering diare.
f. Riwayat keluarga
Adanya anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama
dengan klien atau menderita penyakit seperti asma, TBC, penyakit
jantung, diabetes melitus.
4.1.2

Pengkajian pola fungsi kesehatan


a. Pola nutrisi: klien mengalami penurunan nafsu makan dan mual
muntah.
b. Pola eliminasi: klien biasanya mengalami diare.
c. Pola aktivitas dan integritas ego: klien biasanya mengalami gangguan
aktifitas karena mengalami kelemahan tubuh yang disebabkan oleh
gangguan metabolism.
d. Pola istirahat dan tidur: klien sering rewel karena selalu merasa lapar
meskipun sudah diberi makan sehingga sering terbangun pada malam
hari.
e. Pola higiene: kebersihan diri klien kurang, kulit tampak kusam, rambut
kemerahan.

f. Pola pernapasan: adanya suara whezzing dan ronkhi akibat adanya


penyakit penyerta seperti bronkopneumonia.
g. Pola keamanan: klien sangat rentan untuk terjangkit infeksi karena
system imun yang menurun.
h. Pola seksualitas: tidak mengalami gangguan.
4.1.3 Pengkajian fisik
Meliputi pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas,
pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan anggota
keluarga, kultur dan kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan,
persepsi keluarga tentang penyakit klien dan lain-lain. Pengkajian secara umum
dilakukan dengan metode head to toe yang meliputi: keadaan umum dan status
kesadaran, tanda-tanda vital, area kepala dan wajah, dada, abdomen,
eksteremitas, dan genito-urinaria.
a. Pengkajian fisik dengan metode head to toe
1. Keadaan umum klien, meliputi: kesadaran composmentis: lemah, rewel,
kebersihan kurang, berat badan kurang, tinggi badan, nadi cepat dan
lemah, suhu meningkat, dan pernapasan takipneu.
2. Kepala: lingkar kepala klien biasanya lebih kecil dari normal, warna
rambut kusam.
3. Muka: tampak seperti wajah orang tua.
4. Mata: konjungtiva anemis.
5. Hidung: biasanya terdapat sekret dan terpasang selang NGT untuk
memenuhi intake nutrisi.
6. Mulut: biasanya terdapat lesi, mukosa bibir kering dan bibir pecahpecah.
7. Leher: biasanya mengalami kaku duduk.
8. Torax : adanya tarikan dada saat bernapas
9. Abdomen: perut cekung, terdapat ascites, bising usus meningkat, suara
hipertimpani.
10. Ekstremitas atas: lingkar atas abnormal, akral dingin dan pucat.
11. Ektremitas bawah: terjadi edema tungkai.
12. Kulit : keadaan turgor kulit menurun, kulit keriput, CRT: > 3 detik,
(Capernito,2000).
b. Pemeriksaan fisik abdomen antara lain:
1. Inspeksi
a) klien tampak kurus, ada edema pada muka dan kaki;
b) warna rambut kemerahan, kering dan mudah patah/dicabut;
c) mata terlihat cekung dan pucat;

d) terlihat pergerakan usus;


e) ada pembesaran/edema pada tungkai.
2. Auskultasi
a) bunyi peristaltik usus meningkat;
b) bunyi paru-paru wheezing dan ronchi.
3. Perkusi
a) terdengar adanya shifting dullnees;
b) terdengar bunyi hipertimpani.
4. Palpasi
hati: terjadi pembesaran hati.
c. Pemeriksaaan fisik untuk pertumbuhan anak.
1. Mengukur tinggi badan dan berat badan anak
2. Menghitung indeks massa tubuh, yaitu berat badan (dalam kilogram)
dibagi dengan tinggi badan (dalam meter)
3. Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah belakang (lipatan
trisep) ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya
dapat diukur, biasanya dangan menggunakan jangka lengkung (kaliper).
Lemak dibawah kulit banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh. Lipatan
lemak normal sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada
wanita.
4. Status gizi juga dapat diperoleh dengan mengukur lingkar lengan atas
(LLA) untuk memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (lean body
massa, massa tubuh yang tidak berlemak).
d. Pemeriksaan Laboratorium
1. Biokimia: Hb anemia karena kurangnya konsumsi makanan yang
mengandung zat besi, asam folat dan berbagai vitamin, kadar albumin
yang rendah karena kurangnya konsumsi protein, kadar globumin
normal atau sedikit tinggi, kadar asam amino esensial dalam plasma
relatif lebih rendah daripada asam amino non esensial.
2. Biopsi: ditemukan perlemakan ringan sampai berat, fibrosis, nekrosis
dan infiltrasi sel mononuklear. Pada perlemakan berat hampir semua sel
hati mengandung vakual lemak yang besar.
3. Autopsi: menunjukkan kelainan pada hampir semua organ tubuh,

seperti degenerasi otot jantung, osteoporosis tulang, atrofi virus usus,


detrofi sistem limfold dan atrofi kelenjar timus.

Вам также может понравиться