Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Adapun potensi Hutan Adat di Malut selama ini belum teridentifikasi dan terinventarisir, dibanding
potensi HKm dan HD yang telah diidentifikasi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Ake
Malamo selaku unit pelaksana teknis / UPT Kemenhut di Malut. Selain dikarenakan isu Hutan Adat
relatif baru dan baru merebak pasca putusan MK di atas, data inventarisasi MHA pun belum ada
meski secara kasat mata suku-suku asli di Malut memang telah diakui eksistensinya, seperti suku
Patani, Tobelo Dalam (Togutil), Tobaru dan sebagainya. Sayangnya, selama ini keberadaan MHA
tersebut masih sebatas komoditas oleh pemerintah dan para pihak lain, semisal untuk menagih
dana Corporate Social Responsibility (CSR) investor maupun untuk program budaya dan pariwisata
pemerintah.
Hutan Adat : Resolusi Konflik
Di beberapa wilayah diberitakan adanya pendudukan kawasan hutan dan klaim Hutan Adat oleh
sekelompok MHA, seperti tersebut pada pendahuluan tulisan ini. Penulis pun langsung mendengar
kesaksian aparat Dinas Kehutanan Halteng bagaimana mereka sering
melakukan sweeping terhadap tanda peringatan /papan nama Hutan Adat di beberapa kawasan
hutan. Tak jarang aparat pemerintah menaruh prasangka bahwa di balik gerakan MHA tersebut ada
pihak lain yang memprovokasi, semisal Organisasi non pemerintah / Ornop. Sebaliknya, menurut
pihak lain di akar rumput, seperti Ornop dan MHA, kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) justru
banyak menyakiti perasaan rakyat, seperti secara sepihak memberikan ijin pemanfaatan kawasan
kepada investor.
Dari fenomena sosial tersebut dikhawatirkan berujung pada konflik sosial dikarenakan cara pandang
para pihak yang berbeda atas sebuah permasalahan. Semisal, kasus di Halteng. Di era otonomi,
Pemerintah daerah (Pemda) merasa bertanggung jawab pendapatan asli daerah / PAD dengan
bekerja sama dengan investor luar. Sejalan dengan kepentingan pemerintah, investor berdalih
untukmeningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat sekaligus mendukung program Pemerintah.
Sementara itu, di ranah grassroots muncul pandangan bahwa kebijakan sepihak tersebut
merupakan sebuah konspirasi yang cenderung merugikan rakyat serta merusak lingkungan. Hal ini
senada dengan pendapat Adji Samekto terkait adanya koalisi kepentingan antara kekuatan
kapitalisme global dengan penguasa dan pengusaha (Malut Pos, 23 April 3014).
Mensikapi adanya potensi konflik tersebut maka diperlukan resolusi konflik, satu upaya bagaimana
konflik tersebut harus dikelola, dikendalikan, dan diselesaikan secara bersama dengan bijak dan
damai, agar tidak berkembang menjadi kekerasan, anarki, atau destruktif, menimbulkan disintegrasi
atau menghancurkan sendi-sendi hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat. Konflik hendaknya
dianggap sebagai suatu faktor yang konstruktif, dan bukannya destruktif, di dalam perencanaan dan
pengambilan keputusan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam / SDA dan lingkungan.
Menurut Awang, pada akhirnya solusi konflik / sengketa kehutanan harus melibatkan penurunan
konflik, perubahan sikap masyarakat, mentransformasikan hubungan atau kepentingan yang
berbenturan yang berada dalam inti struktur konflik (masyarakat, pengusaha dan pemerintah).
Mekanisme Hutan Adat sejatinya dapat dipergunakan sebagai resolusi konflik sekaligus untuk
memberdayakan MHA yang tinggal di sekitar hutan. Maka semua pihak yangconcern terhadap
kesejahteraan MHA tersebut perlu memfasilitasi penyelenggaraan Hutan Adat tersebut. Sebagai
resolusi konflik, Hutan Adat merupakan ikhtiar sosial yang berbasis kearifan lokal.
Perda MHA sebuah Keniscayaan
Menurut putusan MK tersebut, pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa keberadaan
MHA harus diatur dalam UU, sepanjang UU dimaksud belum terbentuk, maka pengukuhan dan
hapusnya MHA ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) dapat dibenarkan, sepanjang
peraturan tersebut menjamin kepastian hukum dan berkeadilan. Perda disusun dengan
mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan
tokoh MHA yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
Pemda berperan besar dalam penetapan keberadaan MHA dalam rangka pengelolaan Hutan
Adat.Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemda antara lain: a) Inventarisasi daerah yang masih
terdapat MHA; b) Melakukan pengkajian dan penelitian; c) Menetapkan wilayah tertentu sebagai
wilayah MHA dalam bentuk Perda; dan d) Mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk
menetapkan wilayah MHA sebagai Hutan Adat. Pemda harus mampu menciptakan produk hukum
yang dapat mendukung fungsi Hutan Adat agar dapat dimanfaatkan oleh MHA secara lestari dalam
rangka peningkatan kesejahteraannya.
Dalam penyusunan Perda MHA perlu sebuah pendekatan partisipatif. Pendekatan ini
mengutamakan kegiatan secara bersama antara Pemerintah, masyarakat dan Ornop mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Maka, Perda tersebut pun perlu didukung
oleh stakeholder lain, seperti perguruan tinggi / PT, swasta, Ornop dan masyarakat luas, termasuk
MHA itu sendiri. Riset terkait keberadaan MHA dan kearifan lokalnya perlu dilakukan oleh PT
sehingga bisa menjadi bahan naskah akademis dalam penyusunan Perda. Pihak swasta
(perusahaan) yang ada di wilayah sekitar Hutan Adat pun melalui program CSR, dapat mendukung
riset PT dengan tanpa meninggalkan kewajiban lainnya, seperti rehabilitasi DAS.
Ornop bersama MHA sendiri sebagai organisasi yang berbasis akar rumput perlu melakukan
penguatan kelembagaan MHA guna memenuhi prasyarat legalitas seperti UU Kehutanan. Dalam
penjelasan UU Kehutanan pasal 1, MHA diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur, antara lain: a) Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c) Ada wilayah hukum adat yang
jelas; d) Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e)
Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.
Jangan sampai, eksistensi MHA di bumi Moloku Kie Raha yang sudah ada turun temurun ini
dianggap sekadar kumpulan massa atau kelompok kepentingan semata dikarenakan
kelembagaan yang masih lemah. Peran AMAN Malut, dan Ornop lain yang care atas MHA, sangat
diperlukan dalam mengorganisir MHA agar tidak muncul potensi konflik horizontal (sesama warga).
Adanya konflik sosial, bagi sebagian pihak, diindikasikan bahwa MHA belum mantap secara
kelembagaan. Jika ini berlarut, maka perjalanan Perda MHA pun akan dibuat menggantung oleh
kaum Leviathin (Malut Pos, 17 September 2014) dan kelompok status quo lain, yang kurang sreg
dengan eksistensi MHA.
Sungguh,sejatinya Perda MHA dan Hutan Adat sendiri bukanlah sebuah ancaman hidup
berkebangsaan di NKRI ini. Justru hal ini untuk mengembalikan marwah konstitusi (UUD 1945)
dalam pengelolaan SDA, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33
UUD 1945). Syukur dofu-dofu / maturnuwun.
DAFTAR PUSTAKA
FX Adji Samekto, Prof.,Dr.,SH.,MH, 2008. Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan
Lingkungan, Genta Press, Yogyakarta.
Mitchell, Bruce, dkk., 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Gadjah Mada University
Press Yogyakarta, cetakan ketiga.
San Afri Awang, 2013. Sejahterakan Masyarakat, Kelestarian Hutan Pasti Terwujud(makalah).