Вы находитесь на странице: 1из 7

Etika Lingkungan Dalam Islam

21.02

taufiq musa

No comments

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru sekalian alam, yang maha besar, yang maha
pengasih lagi maha penyayang terhadap semua mahluknya.
Salawat dan salam atas junjungan kita nabi besar Muhammad SAW sebagai seorang
nabi yang mana diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia dan sebagai
seoran manusia sempurna yang juga telah membawa umat manusia dari alam kegelapan, dari
alam kebodohan menjadi alam yang terang benderang dan dalam naungan agama islam.
Makalah yang berjudul Etika Lingkungan Dalam Islam adalah sebuah makalah yang yang
mana dalam makalah ini membahas tentang pidana Lingkungan Di Indonesia.
Selanjutnya sebuah ungkapan terima kasih yang sedemikian besar kepada Bapak
Dosen yang telah memberikan tugas makalah ini sebab pengetahuan tentang Hukum
Lingkungan yang saya ketahui semakin bertambah dan itulah yang sesungguhnya saya
inginkan.
Demikian dan sebelum saya akhiri, tentunya banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah ini dan kekurangan itu butuh saya rasa butuh kritik dan saran yang konstruktif demi
pemyempurnaan makalah ini.
Terima kasih
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Makassar, 1 Februari 2012

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lingkungan mulai mengalami kerusakan yang hebat terjadi jauh sesudah nabi Adam
tidak ada lagi di permukaan bumi. Manusia yang bertambah banyak jumlah dan keahliannya
menjadikan bumi ajang untuk berbuat kerusakan. Kerusakan itu tentu tidak saja di darat tetapi
di laut. Tidak saja di dataran rendah, kerusakan terjadi di bukit dan gunung. Kerusakan
bahkan terjadi hingga ke dasar laut. Pendek kata kerusakan terjadi di utara, selatan, timur,
barat dan bahkan di kutub-kutub bumi. Kerusakan yang paling besar sebetulnya adalah
akhlak atau etika manusia. Manusia mulai menyembah selain Allah. Lebih dari itu manusia
menjadi rakus.
Banyak nabi dan rasul diutus untuk memperbaiki akhlak manusia. Tidak kurang dari
200.000 nabi dan rasul diturunkan dan diutus ke seluruh bangsa dan kaum di seluruh dunia.
Banyak ajaran nabi dan rasul itu selain masalah akidah (tauhid) tetapi tidak kalah pentingnya
adalah masalah akhlak/etika termasuk terhadap lingkungan. Di antara ajaran nabi Muhammad
tentang etika lingkungan adalah bahwa semua makhluk hidup dan tidak hidup setiap saat
tasbih kepada Allah. Jadi menganggu atau merusaknya sesungguhnya menganggu hubungan
mereka kepada Allah. Al-quran melarang keras berbuat kerusakan di bumi. Nabi melarang
kencing di lubang semut dan air tergenang. Tulisan ini memaparkan serba-serbi yang
berhubungan dengan etika lingkungan dan filsafat.

Rumusan Masalah
Apa itu Etika Lingkungan ?

Konteks Etika Lingkungan dalam Sejarah Filsafat ?

Pandangan Islam terhadap Alam ?

BAB II
PEMBAHASAN
Etika Lingkungan
Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang rumit. Karena
meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan berharga,
tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan
banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau manusia sudah
kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam dan
bagaimana cara menggunakannya?
Perhatian kita pada isu lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan tentang
bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan generasi yang akan datang. Kita juga diajak
berpikir kedepan. Bagaimana situasi alam atau lingkungan di masa yang akan datang? Kita
akan menyadari bahwa relasi kita dengan generasi akan datang, yang memang tidak bisa
timbal balik. Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot
pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam membahas isu lingkungan ini.
Para penganut utilitirianisme, secara khusus, memandang generasi yang akan datang

dipengaruhi oleh apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kita lakukan pada alam akan
mempengaruhi mereka. Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang etika
lingkungan dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan.
Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan
menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika
lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika
pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk
kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha
pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.
Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang
melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling
menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini
memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu
memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk
berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia
dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya
adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang
menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat
antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan
humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak
ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Konteks Etika Lingkungan dalam Sejarah Filsafat
Aldo Leopold dalam bukunya The land ethics menyatakan bahwa masalah
lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan sepenuhnya membutuhkan pemecahan
secara filosofis pula. Bagi etika lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu mendukung
apa yang menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang alam sudah
muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan Anaxagoras. Bahkan dalam
mencari arkhai mereka menjadikan alam sebagai unsur dasarnya. Lihat pendapat Thales yang
melihat bahwa segala sesuatu berasal dari air, di dalam benda-benda di bumi terdapat dewa.
Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari segala sesuatu, Xenophanes melihat tanah
sebagai arkhe, Empedocles mengajukan empat element yaitu : tanah, udara, api dan air.
Walaupun menolak beberapa pemikiran Parmenides, umumnya para filsuf pra sokratik ini
menerima konsep bahwa dunia mempunyai rational structure , tidak berubah, tidak dapat
dibagi-bagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat digerakkan.
Plato memiliki tendensi yang berbeda sehubungan dengan alam. Dalam
metafisikanya, alam material hanyalah berpartisipasi pada dunia ide. Maka, dunia
pengalaman yang real sebenarnya tidak nyata. Pemikiran ini kembali dibangkitkan oleh
Plotinos (204-270). Plotinos beranggapan bahwa dunia dan manusia merupakan emanasi dari
jiwa, sedangkan jiwa itu merupakan emanasi dari Roh (Nous), dan Roh itu merupakan
emanasi pertama dari Yang-Satu (To Hen). Dunia bersatu, karena dirasuki oleh jiwa dunia
sebagai emanasi dari jiwa. Memang dunia dan manusia dibedakan, akan tetapi pada dasarnya
semuanya diresapi oleh daya dan sinar yang sumbernya sama, yaitu Yang-Satu.

Eugene C Hargrove - seorang environmentalist - berpendapat bahwa para filsuf


Yunani mempunyai beberapa pengaruh negatif pada etika lingkungan, yaitu menghalangi
perkembangan perspektif ekologis, melemahkan wawasan estetis terhadap dunia natural dan
menyebabkan ide pelestarian alam secara konseptual sulit dilakukan bahkan tidak
mungkin.

Tantangan Perspektif ekologis


Konsep filsafat yunani bahwa alam bersifat konstan dan tidak berubah rupanya harus
berhadapanan dengan realita yang diangkat oleh etika lingkungan bahwa alam itu bersifat
impermanen, bisa ( bahkan sedang ) berubah ke suatu kondisi yang lebih buruk. Perbedaan
ini sebenarnya berasal dari titik berangkat yang berbeda. Filsafat Yunani memandang alam
bukan secara empiris dan material. Bahkan, indera kita tidak bisa dipercayai untuk bisa
melihat alam secara penuh. Api dalam pemikiran Thales bukanlah api sebagai api yang
mempunyai fungsi positif dalam seluruh ekosistem, tetapi lebih menunjuk pada suatu element
metafisik yang menjadi dasar segala sesuatu.
Perspektif Estetis
Kalau para filsuf Yunani memandang alam, yang menggerakkan emosinya pertamatama adalah keteraturan dan bukan keindahannya . Hal yang berkebalikan ditemukan
dalam diri para seniman dalam memandang alam. Karena rasa dan kemampuan inderawi
begitu dihargai, para seniman tidak menyibukkan diri pada nomos tetapi pada dimensi
estetis dari alam itu sendiri. Memang dalam beberapa dialognya, Plato mengagumi indahnya
alam raya ini, tetapi keindahan menurut Plato segera diikuti dengan pandangannya bahwa
obyek natural pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai-nilai keindahan. Keindahan itu ada
karena obyek natural tersebut berpartisipasi dengan idea keindahan. Partisipasi inilah
menurut Plato yang memungkinkah obyek natural disebut indah. Jadi, keindahan secara
intrinsik itu sebenarnya tidak ada.
Tantangan Metafisika terhadap pelestarian ekosistem
Konsep pelestarian ekosistem sulit untuk ditemukan dalam pemikiran filsafat Yunani,
karena pandangan ini bertentangan dengan metafisika yang menjadi pegangan mereka yaitu
dunia yang konstan, abadi, tidak berubah. Sehubungan dengan hal ini, perlu dibedakan
antara metafisika Plato dan Aristoteles. Plato dan para filsuf sebelumnya jelas-jelas
berpegang pada pandangan bahwa alam memang tetap. Sedangkan Aristoteles memandang
kekonstanan alam ini secara lain. Aristoteles melihat bahwa dibeberapa tempat keadaan
alam memang memburuk. Tetapi ia segera berkata bahwa di tempat yang lain keadaan alam
sedang membaik. Konsep siklis ini memang tampaknya memberi peluang pada kesadaran
baru akan alam yang sedang berubah (menuju kebinasaan). Tetapi karena alam pada dasarnya
bersifat siklis, antara mati dan tumbuh, maka tak perlu campur tangan manusia dalam
keseluruhan proses ini.
Namun, Hargrove juga melihat bahwa tidak sepenuhnya filsafat Yunani melawan
pemikiran etika lingkungan. Ada spot-spot dalam diri para filsuf yang bisa digunakan untuk
mengembangkan etika lingkungan. Etika lingkungan jelas harus berterima kasih kepada
Aristoteles yang menghargai observasi material. Pohon harus dilihat sebagai pohon dan
bukan cepat-cepat mencari substansi di baliknya. Dalam Meteorology, Aristoteles juga sudah

memperhatikan gejala perubahan lingkungan secara geologis , terutama dalam kasus sungai
Nil di Mesir.
Walaupun tidak banyak diangkat, Theophratus - murid Aristoteles - sudah
mengajukan pemikiran revolusioner tentang keberadaan organisme di bumi. Ia menggugat
konsep Atistoteles - gurunya - bahwa segala organisme mempunyai keterarahan pada
manusia. Menurut Theophratus setiap organisme mempunyai telos tersendiri. Pandangan
Theophratus ini menjadi dasar bagi etika lingkungan bahwa manusia bukanlah Tuhan atas
segala ciptaan, ia hanyalah bagian dari sebuah komunitas kehidupan.
Tantangan Filsafat Modern
Sehubungan dengan Alam, problem filsafat modern bukanlah apakah alam itu ada
( metafisik ) tetapi bagaimana kita mengetahui alam ( epsitemologis ). Dalam hal ini,
pemikiran Rene Descartes perlu dikedepankan. Descartes melihat bahwa dunia mempunyai
sifat korporeal/fisis dan inkorporeal/mental. Keduanya diciptakan Tuhan sebagai created
substance yang memiliki dua sifat: tidak permanen sehinga dapat rusak dan tidak dapat
berinteraksi satu sama lain. Ini menyebabkan penyelenggaraan ilahi terus dibutuhkan dari
saat ke saat untuk memecahkan masalah dunia.
Tampaknya Descartes dapat menjadi batu pijakan bagi environmentalist karena paham
alam yang dapat rusak menuntut suatu pemeliharaan dari manusia. Tetapi konsepnya tentang
Tuhan yang terus berkarya dan menyelesaikan masalah-masalah dunia, membuat pelestarian
alam seakan-akan berada di luar kontrol manusia. Oleh karena itu , bagi environmentalist sisi
teologis teori Descartes ini cenderung ditinggalkan.
Di Inggris muncul kaum empiris terutama Hume yang menyatakan bahwa sensasi
dan indera sebagai kriteria bagi adanya sesuatu. Empirisme kemudian harus berhadapakan
dengan Kant yang membagi dunia menjadi numenal dan fenomenal. Menurut Hargrove,
idealisme Kant - yang berpengaruh pada Hegel - sebenarnya menunjukkan
kekurangpenghargaan terhadap dunia external. Baru G.E. Moore yang berani melawan Kant
dan Hegel dan merehabilitasi pentingnya dunia eksternal.
Perkembang ilmu alam ( science ) dalam modernitas jelas mempunyai dampak besar.
Pada awal modernitas, science justru lebih bersifat antiobservational, menekankan prinsipprinsip geometris dan bersifat reduksionis. [1][5] Hume yang membagi obyek penelitian
dalam primary dan secondory property mempunyai pengaruh besar pada terpisahnya
nilai ( value ) dari fakta ( fact ). Nilai-nilai kemanusiaan dikategorikan pada secondary dan
bukan menjadi urusan ilmu alam yang lebih beroperasi pada primary property . Pemisahan
ini tampak tegas dalam kaum positivis logis pada awal abad ke duapuluhan. Ketika alam
hanya dilihat sebagai obyek penelitian dan mencari kegunaan-kegunaan yang ada di
dalamnya tanpa memperhitungkan nilai-nilai - baik dalam diri manusia atau dalam alam itu
sendiri - yang terjadi adalah kerusakan dan eksploitasi.
Pandangan Islam Terhadap Alam
Al-quran diturunkan oleh pencipta alam semesta dengan secara bertahap. Jumlah ayat
kitab suci yang diturunkan kepada manusia ini (hudalinnas) ini lebih dari 6000 ayat. Ini
memberi indikator bahwa persoalan kehidupan manusia itu baik di dunia ini, di alam kubur
maupun di akhirat nanti tentu jumlahnya sangat banyak dan kompleks. Ayat pertama dimulai

dengan bacalah. Bacalah bermakna bahwa persoalan kehidupan dan lingkungan itu adalah
persoalan keilmuan. Tetapi ayat itu dilanjutkan dengan: Bacalah dengan nama tuhan yang
Maha Menciptakan. Pesan di sini adalah bahwa membaca juga harus dengan kaca mata
iman. Bahwa semua di dunia ini ada yang menciptakan. Aayat itu dilanjutkan dengan: Yang
menciptakan manusia dari yang berkait/menggantung. Ini bermakna luas. Manusia itu
diciptakan dari sesuatu yang sifatnya menggantung atau berkait. Tentu salah satunya berarti
bahwa manusia itu bahan dasarnya adalah sesuatu yang berkait. Artinya manusia akan hidup
dengan baik bila dia berada di lingkungan yang beranekaragam misalnya hayati.
Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berkait juga bermakna bahwa manusia
selama-lamanya dimaksudkan untuk menciptakan semua di sekitar dia selalu dalam keadaan
berkait. Jadi dengan begitu akan ada semangat atau gerakan berkomunikasi, berpasukan dan
berfikir kritis. Islam mengatur supaya manusia beriman, beramal shaleh, saling memberi
nasehat baik tentang kebenaran maupun tentang kesabaran. Dengan begitu maka manusia
akan mewarisi surga firdaus dunia yang apik, rapi dan indah serta sejahtera untuk
selanjutnya akhirat yang abadi-abadi. Semua ajaran islam mengatur etika dengan tuhannya,
dengan lingkungannya tidak saja manusia tetapi alam secara menyeluruh. Sebagai contoh
atau teladan telah secara lengkap ada pada hadis-hadis soheh misalnya Buchari dan Muslim.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perubahan dan perkembangan etika lingkungan, merupakan proses intelektual dan emosional.
Koservasi lingkungan yang berdasar maksud baik saja terbukti lemah bahkan berbahaya,
karena mengabaikan pemahaman kritis baik terhadap alam maupun sisi ekonomis dari
penggunaan alam. Muatan intelektual akan meningkat sejalan dengan meluasnya
penghayatan etika pribadi ke komunitas. Mekanisme kerjanya sama untuk etika apapun juga:
peneguhan sosial untuk tindakan-tindakan yang benar dan penolakan atas tindakan-tindakan
yang salah.

DAFTAR PUSTAKA

Alquranul karim. Departemen Agama RI. Jakarta.

Sahih Buchari dan Muslim.

Borrong, Robert, Etika Bumi Baru, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1999

Hargrove, Eugene C, Foundation of Environmental Ethics, Prentice Hall, New Jersey, 1989

Mangunwijaya, YB, Lingkungan dalam pandangan Timur, makalah Seminar Lingkungan dan Berbagai Masalahnya, Cibubur,
November 1982

Sony Keraf, Lingkugan Hidup, Melihat Dimensi Etisnya, Kompas, 6 Desember 1982

Tim Wartawan Kompas, Hutan Konservasi Dihabisi, Kompas, 5 Agustus 2001

Вам также может понравиться