Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Anatomi
3.1.1 Anatomi
Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus), yang terletak di
atas penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan suatu struktur
silindris di bawah, yakni serviks, yang terletak di bawah orifisium internum uteri.
Uterus adalah organ yang memiliki otot yang kuat dengan ukuran panjang 7 cm,
lebar 4 cm, dan ketebalan 2,5 cm 2. Pada setiap sisi dari uterus terdapat dua buah
ligamentum broad yang terletak diantara rektum dan kandung kemih, ligamentum
tersebut menyangga uterus sehingga posisi uterus dapat bertahan dengan baik.
Bagian korpus atau badan hampir seluruhnya berbentuk datar pada permukaan
anterior, dan terdiri dari bagian yang cembung pada bagian posterior. Pada bagian
atas korpus, terdapat bagian berbentuk bulat yang melintang di atas tuba uterina
disebut fundus. Serviks berada pada bagian yang lebih bawah, dan dipisahkan
dengan korpus oleh ismus3. Sebelum masa pubertas, rasio perbandingan panjang
serviks dan korpus kurang lebih sebanding; namun setelah pubertas, rasio
perbandingannya menjadi 2 : 1 dan 3 : 1 4.
Gambar 3.2
Pembagian sisi uterus5
3.1.2
Histologi
yang
lamina propia kaya akan fibroblas dan mengandung banyak substansi dasar.
Serat jaringan ikatnya terutama berasal dari kolagen tipe III.
Gambar
3.4
Lapisan
dinding
uterus6
Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua zona (Gambar 3.3), (1)
Lapisan fungsional yang merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapsian ini
akan luruh pada saat terjadinya fase menstruasi. (2) Lapisan basal yang paling
dalam dan berdekatan dengan miometrium. Lapisan ini mengandung lamina
propia dan bagian awal kelenjar uterus. Lapisan ini berperan sebagai bahan
regenerasi dari lapisan fungsional dan akan tetap bertahan pada fase menstruasi.
Endometrium adalah jaringan yang sangat dinamis pada wanita usia reproduksi.
Perubahan pada endometrium terus menerus terjadi sehubungan dengan respon
terhadap perubahan hormon, stromal, dan vascular dengan tujuan akhir agar
nanitnya uterus sudah siap saat terjadi pertumbuhan embrio pada kehamilan.
Stimulasi estrogen dikaitkan erat dengan pertumbuhan dan proliferasi
endometrium, sedangkan progesteron diproduksi oleh korpus luteum setelah
ovulasi mengahmbat proliferasi dan menstimulasi sekresi di kelenjar dan juga
perubahan predesidual di stroma7.
3.2
Definisi
Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak
3.3
Etiologi
Pada adenomiosis, kelenjar endometrium dan stroma muncul di jaringan
otot (miometrium) uterus. Meskipun etiologi yang pasti masih belum diketahui,
setidak-tidaknya 4 teori sudah pernah diajukan. Teori yang pertama dan yang
paling populer adalah bahwa adenomiosis dapat berkembang dari invaginasi
jaringan endometrium di miometrium. Teori kedua menyebutkan bahwa
adenomiosis dapat berkembang secara de novo akibat sisa sisa dari jaringan
mullerian pluripotent. Teori ketiga
endometrium aktif untuk tumbuh subur di tempat sel-sel yang sudah mengalami
cedera. Invaginasi sendiri juga dapat terjadi akibat adanya fenomena immun
menyimpang pada jaringan yang terlibat. Prosedur imunohistokimia menunjukkan
bahwa peningkatan jumlah makrofag akan mengaktivasi sel T dan sel B yang
kemudian akan meghasilkan antibodi dan menstimulasi keluarnya sitokin, yang
pada akhjirnya sitokin ini akan merubah struktur endomiometrial junction.
Pencetus yang pasti dari proses invaginasi itu sendiri tidaklah diketahui, meski
demikian, diperkirakan pengaruh dari hormon hona invrmon mungkin terlibat
dalam menstimulasi terjadinya migrasi dari lapisan basal endometrium tersebut.
Studi mengenai reseptor steroid berkaitan dengan hal ini ternyata menunjukkan
hasil yang beragam, namun begitu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
jaringan adenomyosis memiliki ekspresi reseptor estradiol yang lebih tinggi
dibandingkan endometrium yang memang berada di endometrium sebenarnya.
Peningkatan respons terhadap estrogen ini mempermudah terjadinya proses
invaginasi dan perluasan adenomiosis. Sebagai tambahan, jaringan adenomiosis
juga mengandung enzim aromatase dan enzim estrogen sulfat yang menghasilkan
estrogen untuk menstimulasi pertumbuhan dan ekspansi jaringan endometrium
abnormal dan stromanya ke miometrium8.
Teori kedua menyatakan bahwa adenomiosis terbentuk dari jalur perubahan
de novo sisa sisa jaringan mullerian. Titik titik adenomiosis ekstrauterine
sebagaimana yang dijumpai di septum rektovaginal mendukung teori tersebut.
Terlebih lagi penelitian mengenai properti biologik dan proliveratif dari
endometrium ektopik dan eutopik, masing masing memiliki karakteristik
tersendiri. Matsumoto dkk mengamati bahwa endometrium ektopik yang dijumpai
stem cell tadi juga dapat menginduksi pertumbuhan endometrium di jaringan otot
miometrium, dan menyebabkan adenomiosis dengan proliferasi lokal kelenjar
endometrium dan stroma nya di miometrium8.
3.4
Patofisiologi
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam
saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis
berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang membentuk
sistem
mikrofilamentosa/trabekula
intraselular
dan
gambaran
sitoplasma
kelenjar-kelenjar
endometrium
pada
adenomiosis
lebih
estrogen
merupakan
syarat
untuk
pertumbuhan
terhadap
lingkungan
estrogen
dengan
pemberian
Danazol
3.5
Gejala Klinis
Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga
dengan
perdarahan
banyak
menentukan
pilihan
strategi
kedalaman
penetrasi
adenomiosis
ke
dalam
miometrium
perlu
dilakukan
penatalaksanaan
bedah
konvensional
yaitu
histerektomi9.
3.6
Penatalaksanaan Adenomiosis
Standar penatalaksanaan adenomiosis adalah histerektomi. Sungguhpun
begitu, tantangan yang muncul saat ini adalah bagaimana meredakan gejala pada
wanita dengan menggunakan terapi obat obatan konservatif, ataukah memilih
terapi pembedahan untuk mempertahankan fungsi fertilitas, dan menjadi masalah
juga bagaimana melakukan operasi pada wanita yang memiliki penyulit yang
menyebabkan dirinya jadi tidak bisa menjalani operasi. Tidak ada terapi obat
obatan yang dapat meredakan gejala adenomiosis, dan pasien tetap diedukasi
untuk bisa hamil. Terapi pengobatan dengan menggunakan terapi hormonal
supresif seperti penggunaan pil kontrasepsi jangka panjang, progestin dosis tinggi,
dan AKDR yang mensekresikan levonogestrel (LNG IUD), danazol dan agonis
GnRH ternyata mampu menginduksi pengecilan jaringan adenomiosisnya. Pilihan
pilihan terapi ini, termasuk juga terapi pembedahan akan didiskusikan lebih lanjut
dalam tulisan ini10.
1. Levonergestrel AKDR
Sediaan LNG AKDR (mirena) mensekresikan 20 ug levonorgesterel per
harinya dan merupakan terapi yang efektif dalam penatalaksanaan adenomiosis.
Penggunaan LNG AKDR berkaitan dengan proses desidualisasi endometrium
untuk mengurangi perdarahan dan diperkirakan juga bekerja langsung pada
deposit jaringan adenomiosis dengan mendown regulasikan reseptor estrogen. Hal
ini pada akhirnya akan mengurangi ukuran focus jaringan adenomiosis,
memperbaiki kontraktilitas uterus sehingga dapat mengurangi jumlah kehilangan
darah,
mengurangi
gejala
dismenorhea
dengan
menurunkan
produksi
USG. Keluhan nyeri diukur dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS) dan
ternyata hasilnya berkurang dari awalnya skornya adalah 77,9 menjadi 11,8
dimana 25% pasien melaporkan terjadi amenorhea. Volume uterus berkurang
secara signifikan, dari 115,8 ml menjadi 94,5 ml, dan begitu juga dengan kadar Ca
125. Secara umum, tingkat kepuasan dan keberhasilan terapi ini adalah 72,5%.
2. Danazol
Danazol, yang merupakan derivat androgen 19-nortestosterone yang
memiliki efek seperti progestin, akan menginduksi inhibisi langsung enzim-enzim
di ovarium yang bertanggung jawab dalam hal produksi estrogen dan sekresi
kelenjar pituitari gonadotrofin. Pengalaman dengan penggunaan terapi sistemik
pada pasien dengan adenomiosis masih sangat terbatas. Hal ini mungkin
dikarenakan profil efek samping obat, yang meliputi penambahan berat badan,
keram otot, pengecuilan ukuran payudara, akne, hisutisme, kulit berminyak,
penurunan kadar HDL, peningkatan enzim hati, hot flash, perubahan mood,
depresi, dan perubahan suara. Setelah terapi sistemik dengan danazol, reseptor
estrogen akan berkurang, dan menyebabkan pengecilan ukuran uterus dan
perbaikan gejala.
Teknik baru dalam mengantarkan hormon tersebut telah memungkinkan
danazol untuk digunakan dengan lebih luas dan lebih disukai dengan efek
samping yang lebih minimal, yaitu dengan memberikan sediaan suntikan i.v dan
AKDR. Konsentrasi danazol dalam serum masih tetap ada meskipun kadarnya
sudah tidak terdeteksi lagi, dan tidak dijumpai efek samping sistemik. Tidak
dijumpai efek samping dari penyuntikan hormon secara lokal ini.
3. Agonis GnRH
Agonis GnRH akan berikatan dengan reseptornya yang berada di kelenjar
pituitari, dan berakibat pada terjadinya down regulasi aktivitas GnRH. Akibatnya
adalah terjadinya keadaan menopause secara medis yang masih reversibel. Terapi
ini tidak efektif dalam bentuk sediaan oral, dan diberikan dalam bentuk sediaan
injeksi intramuskular maupun subkutan, dapat juga diberikan sebagai nasal spray
2 kali sehari. Sediaan ini biasanya digunakan hanya untuk periode singkat 3-6
bulan karena efek samping yang mungkin timbul meliputi hot flashes dan
penurunan densitas mineral tulang. Kasus yang pertama kali dilaporkan
menggunakan sediaan ini pada pasien yang memang didiagnosis adenomiosis
secara biopsi terjadi pada tahuun 1991. Hasilnya menunjukkan pengecilan ukuran
uterus daro 440 cm2 menjadi 150 cm2, dan terjadi amenorhea, serta gejala
dismenorhea yang mereda. Meski demikian, saat nantinya terapi dihentikan,
gejala akan kembali muncul dan ukuran uterus kembali menjadi 420 cm 2. Senada
dengan hal tersebut, banyak penelitian yang nenyatakan pengecilan ukuran uterus,
amenorrhea serta berkurangnya rasa dismenorhea dengan menggunakan sediaan
ini selama 3-6 bulan.
4. Aromatase Inhibitor
Ekspresi enzim aromatase inhibitor P450 telah banyak dijumpai pada
implan jaringan endometriosis. Enzim ini mengkonversi androgen menjadi
estrogen. Dalam berbagai laporan kasus dan studi penelitian, disebutkan bahwa
pemberian aromatase inhibitor telah digunakan sebagai terapi pada endometriosis
berat. Dan efeknya adalah rasa nyeri yang mereda. Meski begitu, belum ada
penelitian yang menguji peranannya untuk kasus adenomiosis
5. Histerektomi
Histerektomi merupakan pilihan pengobatan adeniomiosis yang juga
bernilai diagnostik. Histerektomi dari vagina lebih disukai ketimbang histerektomi
dari dinding abdomen, berkaitan dengan angka kematian yang lebih rendah serta
kemungkinan pulih yang lebih cepat. Meski begitu, dalam suatu studi retrospektif
yang melibatkan 1246 histerektomi vaginal, 14 diantaranya ternyata mengalami
cidera kandung kemih. Prosedur histerektomi laparoskopi memungkinkan untuk
mendiseksi area operasi tanpa menimbulkan cedera. Jika dibandingakn dengan
prosedur histerektomi dari vagina, maka angka kejadian cedera kandung kemih
justru banyak berkurang, namun resiko terhadap kejadian perlukaan uterus justru
meningkat. Prosedur ini juga lebih disukai ketimbang histerektomi vagina karena
rasa nyeri post op yang ditimbulkan sangat lebih minimal.
6. Embolisasi Arteri Uterina
Efektivitas dari teknik embolisasi arteri uterina (EAU) dalam hal tata
laksana adenomiosis simptomatik masihlah kontroversi. Studi jangka panjang
menunjukkan angka keberhasilan yang beragam, yang mungkin dikarenakan oleh
beragamnya agen pengemboli yang digunakan serta dipengaruhi pula mioma uteri
yang hadir bersamaan. Mioma cenderung memiliki pembuluh darah yang besar
yang tentunya memerlukan embolisasi yang lebih besar dengan agen pengemboli
yang lebih besar pula, jika dibandingkan dengan kasus adenomiosis saja. Oleh
sebab itu, studi menunjukkan angka kegagalan teknik ini yang cukup tinggi pada
pasien dengan penyerta mioma uteri. Namun untuk diagnosis adenomiosis saja
tanpa ada penyerta, tingkat keberhasilannya cukup tinggi.
7. Eksisi Jaringan Miometrium atau Adenomioma
Eksisi dari fokus jaringan adenomiosis dapat dilakukan jika lokasi fokus
jaringan dapat ditentukan dengan pasti. Tidak seperti miomectomy, tindakan ini
agak lebih sulit dalam hal menentukan luasnya lesi, mengekspos lesi, menentukan
batas serta kedalaman invasi jaringan. Dengan mempertimbangkan tantangan
tersebut, mungkin saja dalam prosedur tersebut jaringan adenomiosisnya masih
tertinggal dan dengan begitu, sebagian jaringan mungkin tidak akan tuntas dan
dapat kambuh kembali. Oleh sebab itu tingkat keberhasilan teknik ini masih
dibawah 50%. Tambahan terapi dengan menggunakan agonis GnRH pada teknik
ini selama 6 bulan setelah eksisi akan dapat menurunkan angka kekambuhan
sebanyak 20% pada 2 tahun berikutnya.
Pada wanita yang ingin bisa hamil, eksisi dapat dilakukan jika miometrium
tetap dipertahankan dan pembentukan jaringan parut yang ada tidak
mempengaruhi permukaan tempat implantasi. Angka kejadian abortus spontan
jadi lebih tinggi pada kelompok ini juka dibandingkan dengan masyarakat umum.
Hal ini kemungkinan besar dikarenakan oleh pembentukan jaringan parut yang
akan mempengaruhi kemampuan uterus untuk mempertahankan isinya. Meski
begitu, suatu studi memperlihatkan bahwa terapi konservatiof dengan eksisi
adenomioma dengan ukuran 55 mm masih dapat menginduksi kehamilan pada
70% kasus dengan disertai berkurangnya gejala menorhagia dan dismenorhea.
area
yang
difokuskan
tersebut.
Pembedahan
ultraosund
dengan
3.7
1.
Pemeriksaan Diagnostik11
Histerosalpingogram
Suatu pemeriksaan rontgen daerah panggul setelah suatu kontras
Pemeriksaan MRI
Mendeteksi adanya adenomyosis dan seberapa luas adenomyosis dan juga
USG Transvaginal
USG yang alatnya dimasukkan ke vagina