Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Anatomi

3.1.1 Anatomi
Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus), yang terletak di
atas penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan suatu struktur
silindris di bawah, yakni serviks, yang terletak di bawah orifisium internum uteri.
Uterus adalah organ yang memiliki otot yang kuat dengan ukuran panjang 7 cm,
lebar 4 cm, dan ketebalan 2,5 cm 2. Pada setiap sisi dari uterus terdapat dua buah
ligamentum broad yang terletak diantara rektum dan kandung kemih, ligamentum
tersebut menyangga uterus sehingga posisi uterus dapat bertahan dengan baik.
Bagian korpus atau badan hampir seluruhnya berbentuk datar pada permukaan
anterior, dan terdiri dari bagian yang cembung pada bagian posterior. Pada bagian
atas korpus, terdapat bagian berbentuk bulat yang melintang di atas tuba uterina
disebut fundus. Serviks berada pada bagian yang lebih bawah, dan dipisahkan
dengan korpus oleh ismus3. Sebelum masa pubertas, rasio perbandingan panjang
serviks dan korpus kurang lebih sebanding; namun setelah pubertas, rasio
perbandingannya menjadi 2 : 1 dan 3 : 1 4.

Gambar 3.1 Sisi anterior uterus5

Gambar 3.2
Pembagian sisi uterus5
3.1.2

Histologi

Dari segi histologi, uterus terdiri dari tiga lapisan, seperti

yang

ditunjukkan pada gambar 3.22:


1. Lapisan serosa atau peritoneum viseral yang terdiri dari sel mesotelia.
2. Lapisan muscular atau miometrium yang merupakan lapisan paling tebal di
uterus dan terdiri dari serat otot halus yang dipisahkan oleh kolagen dan
serat elastik. Berkas otot polos ini membentuk empat lapisan yang tidak
berbatas tegas. Lapisan pertama dan keempat terutama terdiri atas serat yang
tersusun memanjang, yaitu sejajar dengan sumbu panjang organ. Lapisan
tengah mengandung pembuluh darah yang lebih besar.
3. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel dan lamina propia yang
mengandung kelenjar tubular simpleks. Sel-sel epitel pelapisnya merupakan
gabungan selapis sel-sel silindris sekretorus dan sel bersilia. Jaringan ikat

lamina propia kaya akan fibroblas dan mengandung banyak substansi dasar.
Serat jaringan ikatnya terutama berasal dari kolagen tipe III.

Gambar 3.3 Uterus dan Jaringan Adnexa3


4.

Lapisan muscular atau miometrium yang merupakan lapisan paling tebal


di uterus dan terdiri dari serat otot halus yang dipisahkan oleh kolagen dan
serat elastik. Berkas otot polos ini membentuk empat lapisan yang tidak
berbatas tegas. Lapisan pertama dan keempat terutama terdiri atas serat yang
tersusun memanjang, yaitu sejajar dengan sumbu panjang organ. Lapisan

tengah mengandung pembuluh darah yang lebih besar.


5. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel dan lamina propia yang
mengandung kelenjar tubular simpleks. Sel-sel epitel pelapisnya merupakan
gabungan selapis sel-sel silindris sekretorus dan sel bersilia. Jaringan ikat
lamina propia kaya akan fibroblas dan mengandung banyak substansi dasar.
Serat jaringan ikatnya terutana berasal dari kolagen tipe II

Gambar

3.4

Lapisan

dinding

uterus6

Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua zona (Gambar 3.3), (1)
Lapisan fungsional yang merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapsian ini
akan luruh pada saat terjadinya fase menstruasi. (2) Lapisan basal yang paling
dalam dan berdekatan dengan miometrium. Lapisan ini mengandung lamina
propia dan bagian awal kelenjar uterus. Lapisan ini berperan sebagai bahan
regenerasi dari lapisan fungsional dan akan tetap bertahan pada fase menstruasi.
Endometrium adalah jaringan yang sangat dinamis pada wanita usia reproduksi.
Perubahan pada endometrium terus menerus terjadi sehubungan dengan respon
terhadap perubahan hormon, stromal, dan vascular dengan tujuan akhir agar
nanitnya uterus sudah siap saat terjadi pertumbuhan embrio pada kehamilan.
Stimulasi estrogen dikaitkan erat dengan pertumbuhan dan proliferasi
endometrium, sedangkan progesteron diproduksi oleh korpus luteum setelah
ovulasi mengahmbat proliferasi dan menstimulasi sekresi di kelenjar dan juga
perubahan predesidual di stroma7.

Gambar 3.5 Histologi endometrium2

3.2

Definisi
Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak

jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan


pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma
endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium
hipertrofik dan hiperplastik. Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang
dengan modifikasi. Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma
endometrium pada sembarang lokasi di kedalaman miometrium. Isu kedalaman
menjadi penting sebab batas JZ seringkali ireguler, dan adenomiosis harus
dibedakan dengan invaginasi miometrium basalis minimal. Ada dua cara
membedakannya, pertama apakah ada hipertrofi miometrial di sekitar fokus
adenomiotik bila JZ tidak tampak. Kedua, jarak JZ dengan fokus adenomiotik
tidak lebih dari 25% total ketebalan miometrium.
Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori
berdasarkan kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal, lapisan

dalam dan lapisan permukaan.


Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis sederhana
berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus. Pertama, hiperplasia JZ sederhana,
ketebalan JZ 8 mm tetapi 12 mm pada wanita berusia 35 tahun. Kedua,
adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ 12 mm, fokus miometrial
berintensitas sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar miometrium <,
< atau >. Dan ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas
dengan intensitas sinyal rendah pada semua sekuens MRI.

3.3

Etiologi
Pada adenomiosis, kelenjar endometrium dan stroma muncul di jaringan

otot (miometrium) uterus. Meskipun etiologi yang pasti masih belum diketahui,
setidak-tidaknya 4 teori sudah pernah diajukan. Teori yang pertama dan yang
paling populer adalah bahwa adenomiosis dapat berkembang dari invaginasi
jaringan endometrium di miometrium. Teori kedua menyebutkan bahwa
adenomiosis dapat berkembang secara de novo akibat sisa sisa dari jaringan
mullerian pluripotent. Teori ketiga

menyebutkan bahwa adenomyosis terjadi

karena invaginasi dari lapisan basalis pada sistem limfatik intreamiometrium.


Dalam tulisan ini, penulis lebih condong pada teori yang lebih banyak diketahui
umum seperti akan dijelaskan berikut ini8.
Pendapat yang paling lazim diterima adalah adenomiosis terjadi sebagai
akibat invaginasi dari endometrioum basal ke miometrium. Invaginasi dapat
terjadi karena lapisan miometrium mengalami perlunakan akibat riwayat trauma
misalnya pada riwayat operasi pelvis sebelumnya yang memungkinkan jaringan

endometrium aktif untuk tumbuh subur di tempat sel-sel yang sudah mengalami
cedera. Invaginasi sendiri juga dapat terjadi akibat adanya fenomena immun
menyimpang pada jaringan yang terlibat. Prosedur imunohistokimia menunjukkan
bahwa peningkatan jumlah makrofag akan mengaktivasi sel T dan sel B yang
kemudian akan meghasilkan antibodi dan menstimulasi keluarnya sitokin, yang
pada akhjirnya sitokin ini akan merubah struktur endomiometrial junction.
Pencetus yang pasti dari proses invaginasi itu sendiri tidaklah diketahui, meski
demikian, diperkirakan pengaruh dari hormon hona invrmon mungkin terlibat
dalam menstimulasi terjadinya migrasi dari lapisan basal endometrium tersebut.
Studi mengenai reseptor steroid berkaitan dengan hal ini ternyata menunjukkan
hasil yang beragam, namun begitu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
jaringan adenomyosis memiliki ekspresi reseptor estradiol yang lebih tinggi
dibandingkan endometrium yang memang berada di endometrium sebenarnya.
Peningkatan respons terhadap estrogen ini mempermudah terjadinya proses
invaginasi dan perluasan adenomiosis. Sebagai tambahan, jaringan adenomiosis
juga mengandung enzim aromatase dan enzim estrogen sulfat yang menghasilkan
estrogen untuk menstimulasi pertumbuhan dan ekspansi jaringan endometrium
abnormal dan stromanya ke miometrium8.
Teori kedua menyatakan bahwa adenomiosis terbentuk dari jalur perubahan
de novo sisa sisa jaringan mullerian. Titik titik adenomiosis ekstrauterine
sebagaimana yang dijumpai di septum rektovaginal mendukung teori tersebut.
Terlebih lagi penelitian mengenai properti biologik dan proliveratif dari
endometrium ektopik dan eutopik, masing masing memiliki karakteristik
tersendiri. Matsumoto dkk mengamati bahwa endometrium ektopik yang dijumpai

pada kasus adenomiosis tidak memberikan respon terhadap perubahan hormonal


sebagaimana endometrium eutopik. Perubahan sekretorik sangat jarang dijumpai,
bahkan sekalipun lapisan basalis dari endometrium yang sebenarnya tengah
berada di fase sekretorik. Jika dibandingkan dengan endometrium eutopik,
jaringan ektopik tidak menunjukkan adanya properti perubahan siklik yang
menginduksi regulasi apopotosis protein seperti ekspresi bel-2. Temuan ini
menunjukkan adanya proliferasi konstan dari jaringan ektopik di dalam
miometrium, dan juga menunjukkan karakteristik biologik yang berbeda
dibandingkan endometrium eutopik. Penelitian lain juga membandingkan
beragam faktor pertumbuhan dan sitokin seperti misalnya angiogenik growth
factor, basic fibroblast growth factor, yang mana mungkin memiliki kontribusi
dalam patogenesis perdarahan uteris abnormal pada kasus adenomiosis. Hasil
penelitian menunjukkan ekspresi yang berbeda beda pada jaringan adenomiosis
dibandingkan dengan jaringan endometrium eutopik, dan hal ini berarti sejalan
dengan teori bahwa adenomiosis bukanlah berasal dari endometrium lapisan
basal, melainkan dari jalur de novo sendiri8.
Teori ketiga, teori stem cell, didukung oleh fakta bahwa regenerasi
endometrium dapat diinduksi oleh stem cell yang berasal dari sumsum tulang.
Temuan ini memiliki implikasi yang potensial dalam hal menentukan etiologi
endometriosis dan adenomiosis. Studi imunohistokimia terkini mengungkapkan
adanya jarinagn endometrium tambahan di 4 wanita yang menjalani prosedur
transplantasi sumsum tulang dengan ketidaksesuaian antigen HLA tunggal. Data
ini menunjukkan stem sel yang berasal dari sumsum tulang memiliki peranan
dalam pertumbuhan jaringan endometrium yang baru. Maka dari itu, mungkin saja

stem cell tadi juga dapat menginduksi pertumbuhan endometrium di jaringan otot
miometrium, dan menyebabkan adenomiosis dengan proliferasi lokal kelenjar
endometrium dan stroma nya di miometrium8.

3.4

Patofisiologi
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam

miometrium masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis


berproliferasi secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini
memungkinkan lapisan fungsional menjadi tempat implantasi blastokista
sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi setelah degenerasi
lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode regenerasi kelenjar pada
lapisan basalis mengadakan hubungan langsung dengan sel-sel berbentuk
gelondong pada stroma endometrium8.
Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari
stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya
hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di
dalam miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plika rektovagina,
adenomiosis dapat berkembang secara embriologis dari sisa duktus Muller8.
Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium masih
harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis
menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & siliogenesis di
lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional
sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber
produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional

saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis
berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang membentuk
sistem

mikrofilamentosa/trabekula

intraselular

dan

gambaran

sitoplasma

pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium


adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro menunjukkan
sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa
memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke dalam miometrium8.
Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu
menunjukkan

kelenjar-kelenjar

endometrium

pada

adenomiosis

lebih

mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium


yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH.
Hal ini mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor
epitel endometrium berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium
dan membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan
ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada karsinoma endometrium dibandingkan
kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas
invasif dibandingkan yang non-invasif pada koriokarsinoma8.
Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil
yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor
progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan
ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan
menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi
baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun
adenomiosis. Reseptor

estrogen

merupakan

syarat

untuk

pertumbuhan

endometrium yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas


evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi
semenjak ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan
adenomiosis. Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan
adenomiosis sebagaimana halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa
penekanan

terhadap

lingkungan

estrogen

dengan

pemberian

Danazol

menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang dikaitkan dengan gejala


menoragia & dismenorea8.
Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti karsinoma endometri,
endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat reseptor Estrogen,
namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi androgen menjadi
estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh
aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat
yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya
terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi
menjadi 17-estradiol yang meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama
dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi pertumbuhan jaringan yang
menggunakan mediator estrogen. mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom)
merupakan komponen utama aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis.
Protein P450arom terlokalisir secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan
adenomiosis8.

3.5

Gejala Klinis
Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga

menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam sebuah


studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang dibuat dari
spesimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang khas. Gejala
adenomiosis yang umum yaitu menorragia, dismenorea dan pembesaran uterus.
Gejala seperti ini juga umum terjadi pada kelainan ginekologis yang lain. Gejala
lain yang jarang terjadi yaitu dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau terusmenerus9.
Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar
adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis dari
kelenjar adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman adenomiosis dan
hubungannya

dengan

perdarahan

banyak

menentukan

pilihan

strategi

penatalaksanaannya. McCausland menunjukkan bahwa dari biopsi reseksi


endometrium,

kedalaman

penetrasi

adenomiosis

ke

dalam

miometrium

berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak yang dilaporkan. Sehingga pada


adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi endometrium. Sedangkan
pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau dengan perdarahan banyak yang
berlanjut,

perlu

dilakukan

penatalaksanaan

bedah

konvensional

yaitu

histerektomi9.

3.6

Penatalaksanaan Adenomiosis
Standar penatalaksanaan adenomiosis adalah histerektomi. Sungguhpun

begitu, tantangan yang muncul saat ini adalah bagaimana meredakan gejala pada
wanita dengan menggunakan terapi obat obatan konservatif, ataukah memilih
terapi pembedahan untuk mempertahankan fungsi fertilitas, dan menjadi masalah

juga bagaimana melakukan operasi pada wanita yang memiliki penyulit yang
menyebabkan dirinya jadi tidak bisa menjalani operasi. Tidak ada terapi obat
obatan yang dapat meredakan gejala adenomiosis, dan pasien tetap diedukasi
untuk bisa hamil. Terapi pengobatan dengan menggunakan terapi hormonal
supresif seperti penggunaan pil kontrasepsi jangka panjang, progestin dosis tinggi,
dan AKDR yang mensekresikan levonogestrel (LNG IUD), danazol dan agonis
GnRH ternyata mampu menginduksi pengecilan jaringan adenomiosisnya. Pilihan
pilihan terapi ini, termasuk juga terapi pembedahan akan didiskusikan lebih lanjut
dalam tulisan ini10.
1. Levonergestrel AKDR
Sediaan LNG AKDR (mirena) mensekresikan 20 ug levonorgesterel per
harinya dan merupakan terapi yang efektif dalam penatalaksanaan adenomiosis.
Penggunaan LNG AKDR berkaitan dengan proses desidualisasi endometrium
untuk mengurangi perdarahan dan diperkirakan juga bekerja langsung pada
deposit jaringan adenomiosis dengan mendown regulasikan reseptor estrogen. Hal
ini pada akhirnya akan mengurangi ukuran focus jaringan adenomiosis,
memperbaiki kontraktilitas uterus sehingga dapat mengurangi jumlah kehilangan
darah,

mengurangi

gejala

dismenorhea

dengan

menurunkan

produksi

prostaglandin dalam endometrium dan juga menginduksi amenorhea. Terapi


dengan LNG AKDFR mungkin cukup bermanfaat pada wanita yang
menginginkan memiliki keturunan pasca terapi.
Sheng dkk melakukan penelitian tentang manfaat LNG AKDR setelah
menggunaan selama 36 bulan pada 94 wanita dengan dismenorhea sedang hingga
berat yang diakibatkan oleh adenomiosis dengan menggunakan trans vaginal

USG. Keluhan nyeri diukur dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS) dan
ternyata hasilnya berkurang dari awalnya skornya adalah 77,9 menjadi 11,8
dimana 25% pasien melaporkan terjadi amenorhea. Volume uterus berkurang
secara signifikan, dari 115,8 ml menjadi 94,5 ml, dan begitu juga dengan kadar Ca
125. Secara umum, tingkat kepuasan dan keberhasilan terapi ini adalah 72,5%.
2. Danazol
Danazol, yang merupakan derivat androgen 19-nortestosterone yang
memiliki efek seperti progestin, akan menginduksi inhibisi langsung enzim-enzim
di ovarium yang bertanggung jawab dalam hal produksi estrogen dan sekresi
kelenjar pituitari gonadotrofin. Pengalaman dengan penggunaan terapi sistemik
pada pasien dengan adenomiosis masih sangat terbatas. Hal ini mungkin
dikarenakan profil efek samping obat, yang meliputi penambahan berat badan,
keram otot, pengecuilan ukuran payudara, akne, hisutisme, kulit berminyak,
penurunan kadar HDL, peningkatan enzim hati, hot flash, perubahan mood,
depresi, dan perubahan suara. Setelah terapi sistemik dengan danazol, reseptor
estrogen akan berkurang, dan menyebabkan pengecilan ukuran uterus dan
perbaikan gejala.
Teknik baru dalam mengantarkan hormon tersebut telah memungkinkan
danazol untuk digunakan dengan lebih luas dan lebih disukai dengan efek
samping yang lebih minimal, yaitu dengan memberikan sediaan suntikan i.v dan
AKDR. Konsentrasi danazol dalam serum masih tetap ada meskipun kadarnya
sudah tidak terdeteksi lagi, dan tidak dijumpai efek samping sistemik. Tidak
dijumpai efek samping dari penyuntikan hormon secara lokal ini.

3. Agonis GnRH
Agonis GnRH akan berikatan dengan reseptornya yang berada di kelenjar
pituitari, dan berakibat pada terjadinya down regulasi aktivitas GnRH. Akibatnya
adalah terjadinya keadaan menopause secara medis yang masih reversibel. Terapi
ini tidak efektif dalam bentuk sediaan oral, dan diberikan dalam bentuk sediaan
injeksi intramuskular maupun subkutan, dapat juga diberikan sebagai nasal spray
2 kali sehari. Sediaan ini biasanya digunakan hanya untuk periode singkat 3-6
bulan karena efek samping yang mungkin timbul meliputi hot flashes dan
penurunan densitas mineral tulang. Kasus yang pertama kali dilaporkan
menggunakan sediaan ini pada pasien yang memang didiagnosis adenomiosis
secara biopsi terjadi pada tahuun 1991. Hasilnya menunjukkan pengecilan ukuran
uterus daro 440 cm2 menjadi 150 cm2, dan terjadi amenorhea, serta gejala
dismenorhea yang mereda. Meski demikian, saat nantinya terapi dihentikan,
gejala akan kembali muncul dan ukuran uterus kembali menjadi 420 cm 2. Senada
dengan hal tersebut, banyak penelitian yang nenyatakan pengecilan ukuran uterus,
amenorrhea serta berkurangnya rasa dismenorhea dengan menggunakan sediaan
ini selama 3-6 bulan.
4. Aromatase Inhibitor
Ekspresi enzim aromatase inhibitor P450 telah banyak dijumpai pada
implan jaringan endometriosis. Enzim ini mengkonversi androgen menjadi
estrogen. Dalam berbagai laporan kasus dan studi penelitian, disebutkan bahwa
pemberian aromatase inhibitor telah digunakan sebagai terapi pada endometriosis

berat. Dan efeknya adalah rasa nyeri yang mereda. Meski begitu, belum ada
penelitian yang menguji peranannya untuk kasus adenomiosis
5. Histerektomi
Histerektomi merupakan pilihan pengobatan adeniomiosis yang juga
bernilai diagnostik. Histerektomi dari vagina lebih disukai ketimbang histerektomi
dari dinding abdomen, berkaitan dengan angka kematian yang lebih rendah serta
kemungkinan pulih yang lebih cepat. Meski begitu, dalam suatu studi retrospektif
yang melibatkan 1246 histerektomi vaginal, 14 diantaranya ternyata mengalami
cidera kandung kemih. Prosedur histerektomi laparoskopi memungkinkan untuk
mendiseksi area operasi tanpa menimbulkan cedera. Jika dibandingakn dengan
prosedur histerektomi dari vagina, maka angka kejadian cedera kandung kemih
justru banyak berkurang, namun resiko terhadap kejadian perlukaan uterus justru
meningkat. Prosedur ini juga lebih disukai ketimbang histerektomi vagina karena
rasa nyeri post op yang ditimbulkan sangat lebih minimal.
6. Embolisasi Arteri Uterina
Efektivitas dari teknik embolisasi arteri uterina (EAU) dalam hal tata
laksana adenomiosis simptomatik masihlah kontroversi. Studi jangka panjang
menunjukkan angka keberhasilan yang beragam, yang mungkin dikarenakan oleh
beragamnya agen pengemboli yang digunakan serta dipengaruhi pula mioma uteri
yang hadir bersamaan. Mioma cenderung memiliki pembuluh darah yang besar
yang tentunya memerlukan embolisasi yang lebih besar dengan agen pengemboli
yang lebih besar pula, jika dibandingkan dengan kasus adenomiosis saja. Oleh
sebab itu, studi menunjukkan angka kegagalan teknik ini yang cukup tinggi pada

pasien dengan penyerta mioma uteri. Namun untuk diagnosis adenomiosis saja
tanpa ada penyerta, tingkat keberhasilannya cukup tinggi.
7. Eksisi Jaringan Miometrium atau Adenomioma
Eksisi dari fokus jaringan adenomiosis dapat dilakukan jika lokasi fokus
jaringan dapat ditentukan dengan pasti. Tidak seperti miomectomy, tindakan ini
agak lebih sulit dalam hal menentukan luasnya lesi, mengekspos lesi, menentukan
batas serta kedalaman invasi jaringan. Dengan mempertimbangkan tantangan
tersebut, mungkin saja dalam prosedur tersebut jaringan adenomiosisnya masih
tertinggal dan dengan begitu, sebagian jaringan mungkin tidak akan tuntas dan
dapat kambuh kembali. Oleh sebab itu tingkat keberhasilan teknik ini masih
dibawah 50%. Tambahan terapi dengan menggunakan agonis GnRH pada teknik
ini selama 6 bulan setelah eksisi akan dapat menurunkan angka kekambuhan
sebanyak 20% pada 2 tahun berikutnya.
Pada wanita yang ingin bisa hamil, eksisi dapat dilakukan jika miometrium
tetap dipertahankan dan pembentukan jaringan parut yang ada tidak
mempengaruhi permukaan tempat implantasi. Angka kejadian abortus spontan
jadi lebih tinggi pada kelompok ini juka dibandingkan dengan masyarakat umum.
Hal ini kemungkinan besar dikarenakan oleh pembentukan jaringan parut yang
akan mempengaruhi kemampuan uterus untuk mempertahankan isinya. Meski
begitu, suatu studi memperlihatkan bahwa terapi konservatiof dengan eksisi
adenomioma dengan ukuran 55 mm masih dapat menginduksi kehamilan pada
70% kasus dengan disertai berkurangnya gejala menorhagia dan dismenorhea.

8. Pembedahan Ultrasound dengan Guide MRI


Teknik pembedahan ultrasound dengan guide MRI adalah suatu teknik
noninvasif dengan basal jaringan lunak ternyata berhasil mengurangi gejala dan
meringankan penyakit adenomiosis ini. Pada tahun 2004, prosedur ini telah
disetujui oleh US Food and Drugs Administration dalam hal pengobatan mioma.
Ultrasound yang berurutan sengaa difokuskan pada jaringan untuk melokalisasi
jaringan yg lebih hangat, menyebabkan terjadinya koagulasi thermal dan nekrosis
pada

area

yang

difokuskan

tersebut.

Pembedahan

ultraosund

dengan

menggunakan fokus tinggi dapat dilakukan sendirian, meskipun begitu,


ketidakakuratan mengidentifiksi daerah lesi berakibat pada hasil yang sangat
beragam dan tentunya agak sedikit membahayakan kedaan umum pasien karena
gelombang ultrasound akan menyebar secara difus.

3.7
1.

Pemeriksaan Diagnostik11
Histerosalpingogram
Suatu pemeriksaan rontgen daerah panggul setelah suatu kontras

dimasukkan ke dalam dinding rahim.


2.

Pemeriksaan MRI
Mendeteksi adanya adenomyosis dan seberapa luas adenomyosis dan juga

dapat membedakannya dari fibroid. Pemeriksaan MRI panggul ini harus


dikerjakan dengan media kontras Gadonilium yang disuntikan ke pembuluh darah.
3.

USG Transvaginal
USG yang alatnya dimasukkan ke vagina

Вам также может понравиться