Вы находитесь на странице: 1из 8

PRESENTASI KLINIS DARI TUBERKULOSIS KUTIS

Najam-us Saher, Zarnar Wahid, Ijaz Ahmed, Sadaf Ahmed Asim, Farzana Riaz
ABSTRAK
OBJEKTIF: Untuk menentukan frekuensi presentasi klinis yang berbeda dari TB kutis di
sebuah rumah sakit perawatan tersier.
METODE: Penelitian potong lintang ini dilakukan di Bagian Dermatologi, Rumah Sakit
Sipil, Karachi dan Bagian Dermatologi, Universitas Ziauddin, Karachi, selama tiga tahun dari
5 Maret 2007 hingga 4 Maret 2010. Pasien dari kedua jenis kelamin dan semua kelompok
umur yang menderita TB kutis yang dikonfirmasi secara histologi untuk 1 bulan terakhir
sampai 10 tahun terdaftar untuk penelitian ini. Riwayat penyakit dan pemeriksaan rinci
dicatat pada proforma pradesain. Data yang dikumpulkan dihitung dan dianalisis.
HASIL: 57 kasus (terbukti dengan biopsi) TB kutis didiagnosis yang terdiri dari 35
perempuan (61,4%) dan 22 laki-laki (38,6%) telah terdaftar. Rentang usia adalah dari 1
hingga 80 tahun. Di antaranya subyek tersebut, setengah dari jumlah pasien berusia antara 1130 tahun. 17 pasien (29,8%) memiliki penyakit tersebut selama 1-2 tahun dan merupakan
frekuensi tertinggi untuk durasi penyakit. Sebagian besar pasien yaitu 33 orang (57,5%)
memiliki lebih dari satu lesi. Lesi paling sering terlihat di ekstremitas pada 25 pasien
(43,4%), diikuti oleh wajah dan leher, badan dan alat kelamin. Keluarnya sinus kronis dan
plak adalah presentasi yang paling umum. Skrofuloderma adalah bentuk TB kutis paling
umum yang dilihat di 35 pasien (62%) diikuti oleh lupus vulgaris, tuberkulosis kutis verukosa
dan tuberkulid. Secara keseluruhan frekuensi lebih tinggi pada wanita. Namun, beberapa jenis
lebih sering pada wanita sementara yang lain pada laki-laki. Usia rata-rata untuk presentasi
skrofuloderma adalah 25,7 16,9 tahun, tuberkulosis kutis verukosa 25,7 15,9 tahun, lupus
vulgaris 29,4 16,5 tahun dan tuberkulid 30 11,9 tahun (P = 0,197).
KESIMPULAN: Skrofuloderma merupakan manifestasi klinis TB kutis yang paling sering
dilihat dari penelitian kami diikuti dengan lupus vulgaris, tb kutis verukosa dan tuberkulid..
KATA KUNCI
TB kutis, skrofuloderma, lupus vulgaris, TB kutis verukosa, tuberkulid
PENDAHULUAN
Lebih dari 2 miliar orang (sekitar sepertiga dari populasi dunia) diperkirakan terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis. TB kutis telah kembali muncul di 15 tahun terakhir bersamasama dengan insiden yang lebih tinggi TB paru dan MDR TB. TB kutis terdistribusi di
1

seluruh dunia dengan gizi kurang dan status sosioekonomi rendah sebagai faktor predisposisi
utama.
M. tuberkulosis dapat menginduksi spektrum perubahan kulit tergantung dengan rute
dari infeksi dan status imunologi dari host. Infeksi primer kulit menghasilkan TB chancre
pada host non-imun, sedangkan tuberkulosis kutis verukosa terjadi sebagai infeksi primer
dalam host yang kompeten secara imunologis. Lesi kulit pasca-primer misalnya lupus
vulgaris, adalah presentasi umum dari TB kutis. Skrofuloderma merupakan hasil dari
keterlibatan kulit di atas fokus TB misalnya kelenjar getah bening, tulang, sendi atau testis.
Hematogen menyebar dapat menyebabkan TB milier. TB orifisium, perioral atau perianal
dapat terjadi setelah tertelan mikobakteria. Tuberkulid pernah dikaitkan dengan reaksi
imunologi kulit untuk tuberkulosis di tempat lain di dalam tubuh host yang sekarang dikenal
sebagai bentuk sejati tuberkulosis kutis.
Diagnosis dini dan pengobatan memberikan hasil yang lebih baik untuk penyakit ini
dan jika tidak diobati atau salah didiagnosis dapat menyebabkan komplikasi seperti
karsinoma sel skuamosa atau sel basal terutama di lupus vulgaris (8%).
Insiden berbagai bentuk TB kutis bervariasi secara global. Skrofuloderma dilaporkan
menjadi bentuk paling umum dari Inggris dan lupus vulgaris dari Afrika Selatan. Di India,
skrofuloderma memiliki frekuensi tertinggi pada anak-anak sementara lupus vulgaris pada
dewasa. Di Pakistan, skrofuloderma telah dilaporkan sebagai bentuk paling umum (64,9%).
Studi dilakukan di negara kita menunjukkan data yang terbatas mengenai frekuensi yang
berbeda dari berbagai presentasi klinis TB kutis.
Studi ini ditargetkan untuk menentukan frekuensi presentasi klinis yang berbeda dari
TB kutis dalam bagian kita dari seluruh dunia. Penelitian ini akan membantu penyedia
layanan kesehatan terhadap perencanaan strategi untuk kesadaran tentang TB kutis untuk
mengarah ke diagnosis awal dan mencegah komplikasi yang mematikan.
METODE
Penelitian yang bersifat deskriptif dan cross-sectional ini dilakukan di Departemen
Dermatologi, Rumah Sakit Sipil, Karachi dan Departemen Dermatologi, Universitas
Ziauddin, Karachi. Penelitian tersebut diselesaikan dalam jangka waktu tiga tahun, mulai dari
5 Maret 2007 sampai 4 Maret 2010.
Pasien dipilih secara acak. Setelah informed consent, pasien dari kedua jenis kelamin
laki-laki dan perempuan dan semua kelompok umur yang menderita penyakit ini dari 1 bulan
sampai 10 tahun tercatat untuk penelitian. Semua pasien telah terbukti secara histologis
2

terdapat TB kutis. Pasien yang memiliki masalah dermatologis atau sistemik lain dikeluarkan
dari sampel.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan rinci, temuan dicatat pada laporan. Diagnosis
klinis dikonfirmasi dengan biopsi dan histopatologi. Setiap pemeriksaan yang berhubungan
akan dilakukan jika diperlukan. Ini termasuk hitung darah lengkap, profil biokimia dan
urinalisis.
Data dikumpulkan, ditabulasi dan dianalisis dengan bantuan Program SPSS versi
10.0. Frekuensi dan persentase dihitung untuk data kategori seperti jenis kelamin dan jenis
klinis TB kutis. Rata-rata standar deviasi dihitung untuk variabel numerik seperti usia.
Frekuensi dari tipe TB kutis juga disajikan menurut jenis kelamin, durasi penyakit dan usia
untuk mengontrol efek pengubah.
HASIL
Sebanyak 57 pasien didiagnosis (terbukti dengan biopsi) TB kutis yang terdaftar terdiri dari
35 (61,4%) perempuan dan 22 (38,6%) laki-laki. Rentang usia adalah 1 hingga 80 tahun.
Antara subyek ini, 9 (15,8%) pasien berusia 1-10 tahun, sedangkan 19 (33,3%) antara 11-20
tahun, 9 (15,8%) berkisar antara 21-30 tahun, 8 lain (14%) di 31-40 tahun dan sisanya 12
(21%) pasien di atas 40 tahun.
Tabel 1. Lama penyakit (n=57)
Durasi
Kurang dari 6 bulan
6 bulan 1 tahun
1 2 tahun
2 4 tahun
4 8 tahun

N (%)
12 (21)
11 (19.3)
17 (29.8)
9 (15.8)
8 (14)

Durasi penyakit dapat dilihat dari Tabel 1. 17 (29,8%) pasien mengidap penyakit tersebut
selama 1-2 tahun dan merupakan frekuensi tertinggi untuk durasi penyakit. Sebagian besar
pasien memiliki lebih dari satu lesi 33 (57,5%) dan lesi soliter terlihat di 24 (42,5%). Lesi
yang paling sering terlihat pada ekstremitas pada 25 (43,4%) pasien, pada wajah dan leher
masing-masing 10 (18,6%), badan 8 (14%) dan kelamin pada 4 (7%) pasien.
. Tabel 2. Tipe Lesi (n=57)
Tipe Lesi
Keluarnya cairan sinus

(%)
56.5%
3

Plak
Ulserasi
Tumbuh kutil
Nodul

47.8%
39%
39%
30.4%

Tabel 2 menunjukkan jenis morfologi lesi. Adanya keluar cairan sinus yang kronis
dan plak merupakan lesi yang paling umum. Beberapa pasien juga memiliki kombinasi dari
berbagai jenis lesi. Skrofuloderma adalah TB kutis yang paling umum terlihat pada 35 (62%)
pasien, diikuti oleh lupus vulgaris 11 (19%), TB kutis verukosa 6 (10%) dan tuberkulid 5
(9%).
Tabel 3. Tipe Tuberkulosis Kutis diantara jenis kelamin

Skrofuloderma
TB kutis verukosa
Lupus Vulgaris
Tuberkulid
Total

Laki-laki

Perempuan

Total

N (%)
11 (50)
5 (22.8)
3 (13.6)
3 (13.6)
22 (100%)

N (%)
24 (68.6)
1 (2.9)
8 (22.9)
2 (5.7)
35 (100)

35 (61.9)
6 (10.2)
11 (19)
5 (8.8)
57 (100)

Tabel 3 menunjukkan frekuensi jenis kelamin pada TB kutis dalam penelitian kami.
Secara keseluruhan frekuensi lebih tinggi pada wanita. Namun, hanya beberapa tipe yang
lebih sering pada wanita sementara yang lain pada laki-laki. Skrofuloderma dan lupus
vulgaris lebih sering pada wanita sementara tuberkulosis kutis verukosa dan tuberkulid lebih
banyak pada laki-laki.
Dalam populasi penelitian saat ini, usia rata-rata presentasi dengan skrofuloderma
adalah 25,7 16,9 tahun, TB kutis verukosa 25,7 15,9 tahun, lupus vulgaris 29,4 16,5
tahun dan tuberkulid 30 11,9 tahun (p = 0,197).

DISKUSI
Tuberkulosis telah menjangkiti manusia dan hewan dari zaman kuno tetapi sedikit yang telah
dikatakan tentang TB kutis dalam kitab pengobatan kuno. Namun demikian, skrofuloderma
kekal sebagai lesi TB kutis yang paling awal dilaporkan oleh Rene Laennac pada tahun 1918.
Pada tahun 1882, Robert Koch bukan saja menemukan basilus tuberkel tetapi juga turut
menemukannya sebagai agen penyebab lupus. Penyakit yang bisa diobati ini masih lazim di
4

negara berkembang akibat dari status sosioekonomi yang rendah, malnutrisi dan tempat
tinggal yang terlalu padat. Kekurangan fasilitas pengobatan akibat kemiskinan atau
infrastruktur kesehatan yang jelek mengakibatkan lesi TB kutis yang lebih lama dan
ekstensif.
Dari penelitian ini dapat dijelaskan bahwa TB kutis masih jauh dari kepunahan malah
masih terjadi di kota seperti Karachi. Pola yang semakin meningkat telah diobservasi selama
bertahun-tahun. Penyebab jelas dari peningkatan ini tidak dapat dijelaskan karena ini
bukanlah tujuan dari penelitian ini. TB kutis juga telah dilaporkan oleh negara tetangga kita
India. Shin et al telah melaporkan penurunan frekuensi yang banyak di Hong Kong di mana
ini pernah menjadi masalah kronis. Penurunan frekuensi TB kutis juga telah dilaporkan di
India dalam sebuah lagi penelitian. Entitas klinis yang relatif langka di negara barat ini masih
banyak di negara berkembang seperti Timur Jauh.
Kecenderungan pada wanita telah diperhatikan dalam penelitian kami. Namun
demikian, sebagian tipe lebih sering pada wanita sedangkan yang lain pada laki-laki.
Skrofuloderma dan lupus vulgaris lebih sering pada wanita sedangkan tuberkulosis kutis
verukosa dan tuberkulid lebih sering pada laki-laki. Padmayathy et al juga telah melaporkan
bahwan adanya frekuensi yang lebih tinggi pada wanita yang dapat dibandingkan dengan
studi ini.
Tidak ada usia yang kebal terhadap TB kutis seperti yang telah dijelaskan dengan
rentang usia 1-80 tahun dalam penelitian kami. Kira-kira 50% dari pasien kami berusia 11-30
tahun untuk sebab yang tidak diketahui. Namun demikian, status sosioekonomi yang rendah,
malnutrisi dan tempat tinggal yang padat kemungkinan menjadi penyumbang. Selain dari itu,
skrofuloderma lebih sering pada anak kecil dan lupus vulgaris pada dewasa muda. Penemuan
dan penelitian kami dapat dibandingkan dengan penelitian internasional. Pandhi et al juga
telah melaporkan frekuensi tertinggi pada TB kutis di subjek muda dari negara tetangga
India. Di India, skrofuloderma memiliki frekuensi tertinggi pada anak sedangkan lupus
vulgaris pada dewasa. Paul et al juga telah melaporkan penyakit tersebut pada bayi semuda 5
bulan.
Dalam penelitian ini, kebanyakan dari pasien memiliki lebih dari satu lesi dan lesi
soliter lebih jarang ditemukan. Padmavathy et al telah melaporkan bahwa lesi soliter lebih
sering di mana hasil tersebut berlawanan dengan penelitian ini. Namun demikian, ini bisa
diakibatkan oleh sampel penelitian yang lebih kecil dan frekuensi lupus vulgaris yang lebih
tinggi.

Dalam penelitian kami, lesi lebih sering ditemukan pada ekstremitas, diikuti dengan
wajah, leher, badan dan kelamin. Akan tetapi, tempat yang terlibat berbeda berdasarkan tipe
TB kutis. Pada TB kutis verukosa, lesi terjadi pada area yang terpapar pada trauma misalnya
lengan, lutut, pergelangan kaki dan bokong. Demikian juga skrofuloderma timbul pada tisu
yang terinfeksi seperti kelenjar getah bening, tulang atau sendi, kelenjar lakrimal atau
kelenjar parotis. Oleh itu, wajah dan leher sekali lagi merupakan tempat yang paling sering
terkena lesi sedemikian. Dalam penelitian ini, wajah dan leher menempati posisi kedua
setelah ekstremitas dan ini berhubungan dengan kejadian tipe TB kutis paling sering yaitu
skrofuloderma. Demikian pula lupus vulgaris melibatkan kepala dan leher, terutama wajah
sekitar hidung diikuti dengan lengan dan tungkai, namun keterlibatan badan adalah jarang. Di
India, wajah lebih jarang terkena dan bokong serta badan yang lebih sering terlibat
dibandingkan dengan wajah di mana keterlibatan wajah lebih sering di negara kami.
Keluarnya carian sinus kronik dan plak merupakan lesi yang paling umum. Sebagian
pasien mempunyai kombinasi dari beberapa tipe lesi. Skrofuloderma merupakan tipe TB
kutis yang paling sering diikuti dengan lupus vulgaris, tuberkulosis kutis verukosa dan
tuberkulid. Insidensi dari bentuk berbeda dari TB kutis bervariasi secara global.
Skrofuloderma telah dilaporkan sebagai bentuk paling umum dari Inggris dan lupus
vulgaris dari Afrika Selatan. Di India, skrofuloderma memiliki frekuensi paling tinggi pada
anak sedangkan lupus vulgaris pada dewasa. Di Pakistan, skrofuloderma telah dilaporkan
sebagai bentuk paling sering. Namun demikian, Khan et al melaporkan lupus vulgaris sebagai
bentuk paling sering dalam serangkaian kecil pasien dari Pakistan. Penelitian lain dari India
juga telah menyarankan bahwa skrofuloderma merupakan bentuk paling sering dari
tuberkulosis. Sebaliknya, dalam beberapa penelitian lain, lupus vulgaris telah dilaporkan
sebagai tipe yang paling sering. Adanya variasi dalam insidens dari bentuk klinis dari TB
kutis ini menyarankan bahwa masih belum ada kesimpulan tentang bentuk tersering dari
penyakit ini.
Diagnosis awal dan pengobatan memberikan hasil yang lebih baik untuk penyakit
tersebut, dan apabila tidak diobati atau salah diagnosis dapat menyebabkan komplikasi seperti
karsinoma sel skuamus atau karsinoma sel basal terutama pada lupus vulgaris (8%).

KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa skrofuloderma merupakan tipe paling umum
diikuti dengan lupus vulgaris. Tuberkulosis kutis verukosa dan tuberkulid lebih jarang
6

ditemukan, TB kutis paling sering menyerang usia muda atau usia pertengahan dengan sedikit
dominasi pada wanita. Saat ini, apabila tuberkulosis mengancam untuk menjadi pandemik
lagi, diagnosis awal dan pengobatan adalah lebih penting untuk kontrol dan pencegahan
morbiditas. Oleh itu, strategi lanjut perlu dilakukan untuk kesadaran penyedia pelayanan
kesehatan dan juga masyarakat umum.
REFERENSI
1. Lonnroth K, Raviglione M. Global epidemiology of tuberculosis: prospects for control.
Semin Respir Crit Care Med. 2008;29:481-91.
2. Abdalla CM, Oliveira ZN, Sotto MN et al. Polymerase chain reaction compared to
other laboratory findings and to clinical evaluation in the diagnosis of cutaneous
tuberculosis and atypical mycobacteria skin infection. Int J Dermatol. 2008;48:27-35.
3. Bazex J, Bauriaud R, Margeury MC. Cutaneous Mycobacteriosis. Rev Pract.
1996;46:1603-10.
4. Degtiz K, Steidl M, Thomas P. Etiology of tuberculids. Lancet. 1993;341:239-40.
5. Saritha M, Parveen BA, Anandan V et al. Atypical forms of lupus vulgaris- a case
series. Int J Dermatol. 2009;48:150-3.
6. Visser AJ, Heyl T. Skin tuberculosis as seen at Ga-Rankuwa Hospital. Clin Exp
Dermatol. 1993;18:507-15.
7. Yates VM, Ormerod LP. Cutaneous tuberculosis in Blackburn district (U.K.): a 15 year
prospective series. Br J Dermatol. 1997;136:483-9.
8. Kumar B, Rai R, Kaur I. Childhood cutaneous tuberculosis: a study over 25 years from
northern India. Int J Dermatol. 2001;40:26-32.
9. Padmavathy L, Lakshmana RL, Pari T et al. Lupus vulgaris and tuberculosis verrucosa
cutisa clinical, pathological and epidemiological study of 71 cases. Indian J Tuberc.
2008;55:203-9.
10. Yasmeen N, Kanjee A. Cutaneous tuberculosis: a three year prospective study. J Pak
Med Assoc. 2005;55:10-2.
11. Gawkrodger DJ. Cutaneous Tuberculosis. In: Rook/Wllkillson/Ebling. Textbook of
Dermatology. Oxford: Blackwell Science;1998. pp. 1187-206.
12. Odom RB, James WD. Tuberculosis. In: Berger TG (eds). Andrews Diseases of Skin.
Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 417- 26.
13. Chong LY. Cutaneous tuberculosis and atypical mycobacterial infections. In: Handbook
of Dermatology and Venerology. Hong Kong: Social Hygiene Handbook; 2000. P. 1216.
14. Gopinathan R, Pandit D, Joshi J et al. Clinicaland morphological variants of cutaneous
tuberculosis and its relation to mycobacterium species. Indian J Med Microbiol.
2001;19:193-6.
15. Chin PW, Koh CK. Wong KT. Cutaneous tuberculosis mimicking cellulites in an
immune-suppressed patient. Singapore Med J. 1999;40:44-5.
16. Sehgal VN, Sardana K, Sharma S. Inadequacy of clinical and/or laboratory criteria for
the diagnosis of lupus vulgaris, re-infection cutaneous tuberculosis: fallout/implication

of 6 weeks of antitubular therapy (ATT) as a precise diagnostic supplement to complete


the scheduled regimen. J Dermatology Treat. 2008;19:164-7.
17. Ramesh V, Misra RS, Beena KR, Mukherjee A. A study of cutaneous tuberculosis in
children. Pediatr Dermatol. 1999;16:264-9.
18. Pandhi D, Reddy BSN, Chowdhary S, Khurana N. Cutaneous tuberculosis in Indian
children: the importance of screening for involvement of internal organs. J Eur Acad
Dermatol Venereol. 2004;5:546-51.
19. Paul MA, Williford PM. Cutaneous tuberculosis in a child: a case report and review.
Pediatr Dermatol. 1996;13:386-8.
20. Mahaisaviriya P, Chaiprasert A, Manonukul J, Khemngern S. Scrofuloderma and
Sweets syndrome. Int J Dermatol. 2002;41:28-31.
21. Khan Y, Anwar J, Iqbal P, Kumar A. CutaneousTuberculosis: A study of ten cases. J Pak
Assoc Dermatol. 2001;11:6- 10.18.
22. Vasisht P, Sahoo B, Khurana N. Cutaneous tuberculosis in children; a
clinicohistological study. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2007;21:40-7.
23. Dhar S; Dhar S. Histopathological features of granulomatous skin diseases: an analysis
of 22 skin biopsies. Indian J Dermatol. 2002;47:88-90.

Вам также может понравиться