Вы находитесь на странице: 1из 17

KETIDAKBERDAYAAN PENDIDIKAN ANAK-ANAK

KELUARGA MISKIN SEBAGAI PEKERJA USIA DINI DI


KOTA SURABAYA
(ANALISIS KASUS BERDASAR BUKU ANATOMI
KEMISKINAN KARYA BAGONG SUYANTO)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ulangan Tengah Semester Mata Kuliah
Administrasi Pembangunan Tahun Akademik 2016/2017
Dosen Pengampu: Heru Ribawanto, Drs., MS

Disusun Oleh:
Maya Auliya Agustin

(155030101111001)

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan

rahmat,

menyelesaikan

karunia,
makalah

serta taufik dan hidayah-Nya


yang

berjudul

penulis

dapat

KETIDAKBERDAYAAN

PENDIDIKAN ANAK-ANAK KELUARGA MISKIN SEBAGAI PEKERJA


USIA DINI DI KOTA SURABAYA.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan mengenai realita masalah pendidikan yang
dihadapi anak-anak keluarga miskin sebagai pekerja usia dini khususnya di Kota
Surabaya. Studi Kasus dalam makalah ini diambil dari buku Anatomi
Kemiskinan karya Bagong Suyanto.
Penulis juga menyadari bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat dimasa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Malang, Oktober 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul.............................................................................................................i
Kata Pengantar...........................................................................................................ii
Daftar Isi....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................2
1.3 Tujuan...................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
2.1 Kerangka Konsep.................................................................................................3
2.2 Studi Kasus...........................................................................................................6
2.3 Kebijakan Pemerintah dan Implementasi.............................................................8
2.4 Kelemahan dan Hambatan Implementasi Kebijakan..........................................10
2.5 Rekomendasi......................................................................................................12
BAB III PENUTUP................................................................................................13
Daftar Pustaka...........................................................................................................14

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945, dua masalah kritis yang dihadapi disamping masalah-masalah lainnya,
yaitu:
a. Kebodohan, 96% penduduk Indonesia buta huruf berdasar sensus 1961;
b. Kemiskinan, dengan tingkat hidup yang sangat rendah laporan UNESCO
pada tahun 1949.
Jauh sebelum merdeka hal itu sudah disadari, sehingga para pemimpin
bangsa pada waktu itu telah berusaha untuk menghapuskan, terutama kebodohan
melalui lembaga pendidikan (Surjadi:1983, 308). Realita masa pembangunan
yang saat ini digencarkan oleh pemerintah masih terjadi banyak ketimpangan,
khususnya dibidang pendidikan.
Bagi kalangan keluarga miskin diperkotaan tidak terkecuali di Kota
Surabaya, salah satu masalah sosial yang membutuhkan perhatian khusus adalah
menyangkut nasib anak-anak yang seringkali tidak berdaya dan menjadi korban
situasi kemiskinan yang membelenggu keluarga mereka (Suyanto:2013, 211).
Hasil assesment yang dilakukan Wahana Visi Indonesia (2009) terhadap keluarga
miskin di Kota Surabaya menemukan berbagai tekanan kemiskinan yang mereka
alami ternyata berkaitan erat dengan kondisi ketidakberdayaan. Latar belakang
pendidikan yang tidak cukup dan tidak menguasai ragam keterampilan yang dapat
dijadikan bekal untuk mencari pekerjaan alternatif, sering terjadi keluargakeluarga miskin itu menjadi apatis, cenderung bersikap menerima nasib, pesimis,
tidak berdaya, dan enggan beresiko (Suyanto:2013, 212).
Pemaparan diatas bermaksud mengkaji lebih jauh situasi problematik dan
berbagai persoalan yang harus dihadapi anak-anak dari keluarga miskin. Dari hal
tersebut dipilih judul Ketidakberdayaan Pendidikan Anak-Anak Keluarga
Miskin Sebagai Pekerja Usia Dini di Kota Surabaya dalam karya tulis
berbentuk makalah.
1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam studi kasus makalah ini Bagaimana kondisi


ketidakberdayaan pendidikan yang dialami anak-anak keluarga miskin di Kota
Surabaya?
1.3 Tujuan
Tujuan dari studi kasus makalah ini untuk dapat menjelaskan dan
mendeskripsikan dan ketidakberdayaan pendidikan yang dialami anak-anak
keluarga miskin di Kota Surabaya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kerangka Konsep
Pendidikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk membangun
potensi yang ada didalam diri manusia. Menurut Hasan dalam Hasmori
(2011), pendidikan dapat dijelaskan bahwa Masyarakat memandang
pendidikan sebagai suatu proses pewarisan atau penyaluran kebudayaan
yang mengandung nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada generasi muda
2

secara berkelanjutan supaya kelangsungan hidup sebuah masyarakat dapat


diteruskan.
Selanjutnya Tujuan pendidikan perlu ditanamkan sejak manusia masih
dalam kandungan, lahir, hingga dewasa yang sesuai dengan perkembangan
dirinya. Ketika masih kecilpun pendidikan sudah dituangkan dalam UU 20
Sisdiknas 2003, yaitu disebutkan bahwa pada pendidikan anak usia dini
bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan
tahap perkembangan peserta didik (Depdiknas dalam Rini: 2011).
Berdasar definisi dan tujuan pendidikan yang dipaparkan diatas, dapat
diketahui betapa penting pendidikan dalam rangka pembangunan sumber
daya manusia. Lebih lanjut dapat diperjelas bahwa pendidikan memiliki
tempat penting yang berguna untuk meneruskan kehidupan yang lebih baik.
Tidak mudah mewujudkan pendidikan yang baik dengan berbagai program
dan kebijakan yang telah dibentuk oleh pemerintah. Penyebab kegagalan
kebijakan tersebut adalah kemiskinan yang masih menjadi penyakit di
Indonesia.
Kotze (dalam Kadji, 2012) menyatakan bahwa masyarakat miskin
memiliki kemampuan yang relatif baik untuk memperoleh sumber melalui
kesempatan yang ada. Kendatipun bantuan luar kadang-kadang digunakan,
tetapi tidak begitu saja dapat dipastikan sehingga masyarakat bergantung
pada dukungan dari luar. Pendekatan ini dianggap tidak berhasil karena
tidak ada masyarakat yang dapat hidup dan berkembang bila terisolasi dari
kelompok masyarakat lainnya. Pengisolasian ini menimbulkan sikap pasif,
bahkan keadaan menjadi semakin miskin.
Selanjutnya Supriatna (dalam Serjadi, 1983) menyatakan bahwa
kemiskinan adalah situasi yang serba terbatas yang terjadi bukan atas
kehendak orang yang bersangkutan. Suatu penduduk dikatakan miskin bila
ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan,
kesehatan dan gizi serta kesejahteraan hidupnya, yang menunjukkan
lingkaran ketidakberdayaan.

Berikutnya kemiskinan berkaitan erat dengan ketidakberdayaan yang


disebabkan oleh rendahnya pendapatan. Ketidakberdayaan diartikan sebagai
persepsi atau tanggapan klien bahwa perilaku atau tindakan yang sudah
dilakukan tidak akan membawa hasil yang diharapkan atau tidak akan
membawa perubahan hasil seperti yang diharapkan, sehingga klien sulit
mengendalikan situasi yang terjadi atau mengendalikan situasi yang akan
terjadi (Nanda dalam Yulianto: 2012).
Berikut dijelaskan mengenai penyebab dan karakteristik kemiskinan.
Kemiskinan yang terjadi dibanyak negara yang baru saja merdeka setelah
Perang Dunia II memfokuskan pada keterbelakangan dari perekonomian
negara tersebut sebagai akar masalahnya (Hardiman dan Midgley, dalam
Yulianto:2012). Penduduk negara tersebut miskin menurut Kuncoro (dalam
Yulianto:2012) karena menggantungkan diri pada sektor pertanian yang
subsistem, metode produksi yang tradisional, yang seringkali dibarengi
dengan sikap apatis terhadap lingkungan. Sharp, et.al (dalam Yulianto:2012)
mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi
ekonomi.
Pertama,

secara

mikro,

kemiskinan

muncul

karena

adanya

ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi


pendapatan yang timpang. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan
dalam kualitas sumber daya manusia. Rendahnya kualitas sumber daya
manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung,
adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul
akibat perbedaan akses dalam modal.
Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan
kemiskinan

(vicious

circle

of

poverty)

menurut

Nurkse

(dalam

Yulianto:2012) adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan


kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya
produktivitasnya mengakibatkan rendahnya pendapatan yang diterima.
Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan
investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan
seterusnya (lihat Gambar berikut).

Sumber: Yulianto 2012: 3


Masyarakat miskin sesuai karakteristiknya menurut Kartasasmita
(dalam Dewi: 2014) umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan
terbatas aksesnya pada kegiatan ekonomi, sehingga semakin tertinggal jauh
dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi.
Selanjutnya Supriatna (dalam Dewi: 2014) mengemukakan lima
karakteristik penduduk miskin, antara lain:
1. Tidak memiliki faktor produksi sendiri;
2. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan
kekuatan sendiri;
3. Tingkat pendidikan pada umunya rendah;
4. Banyak diantara mereka tidak mempunyai fasilitas;
5. Diantara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan
atau pendidikan yang memadai.
Pemahaman terhadap karakteristik kemiskinan dimaksudkan agar
dapat pula mengetahui strategi program yang bagaimana yang relevan
dengan upaya penanggulangan kemiskinan tersebut.
2.2 Studi Kasus
Berbagai keterbatasan yang membelenggu dan harus diakui memang
tidak banyak pilihan yang tersedia bagi keluarga miskin untuk dapat
menyiasati dan keluar dari kemiskinan. Di kalangan keluarga miskin
dikalangan urban, selain melakukan langkah-langkah penghematan,
mengurangi kualitas menu makanan, atau meminta bantuan kerabat,
mempekerjakan anak dalam usia dini untuk ikut membantu keluarga
5

mencari nafkah dan melibatkan perempuan dalam aktivitas ekonomi baik


disektor domestik maupun publik adalah salah satu upaya populer yang
seringkali dilakukan keluarga miskin untuk mengurangi tekanan kemiskinan
yang dialami.
Menyoroti anak usia dini pencari nafkah dan mengorbankan waktu
yang seharusnya untuk bermain dan sekolah untuk sepenuhnya bekerja, bagi
anak-anak keluarga miskin seringkali harus dilakukan karena memang tidak
ada pilihan lain yang bisa dilakukan. Dikalangan keluarga miskin, anakanak terpaksa putus sekolah ditengah jalan dan tidak melanjutkan
pendidikan hingga jenjang SMA atau bahkan SMP adalah hal yang lazim
terjadi. Ditengah situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan, tidak sekali
dua kali terjadi orang-orang dewasa justru kehilangan pekerjaan dan
usahanya kolaps sementara disaat yang sama kesempatan kerja yang
tersedia bagi anak-anak justru naik.
Studi yang dilakukan LPPM Universitas Airlangga (2007) disejumlah
kota/kabupaten di Provinsi Jawa Timur menemukan bahwa kesempatan
kerja bagi anak-anak cenderung naik, sebab yang namanya pekerja anak
umumnya lebih memungkinkan untuk dibayar lebih murah daripada pekerja
dewasa. Disamping itu, pekerja anak dalam banyak hal juga dinilai lebih
penurut, cenderung tidak bersikap radikal dalam menyikapi berbagai isu
perburuhan, sehingga bagi dunia usaha kehadiran pekerja anak wajar jika
dinilai lebih menguntungkan daripada mempekerjakan pekerja dewasa.
Studi ini memaparkan secara mendalam tentang kerentanan dan
ketidakberdayaan keluarga miskin dan anak dilingkungan keluarga miskin
di Kota Surabaya, tepatnya di Kecamatan Simkoerto dan Semampir.
Kemiskinan dan ketimpangan struktur instituional adalah variabel utama
yang menyebabkan kesempatan khususnya anak-anak untuk memperoleh
pendidikan menjadi terhambat (Muller dalam Suyanto: 2013).
Di lingkungan rumah tangga desa di Jawa, anak-anak dari keluarga
miskin teraksa ikut bekerja dan mencari nafkah sebagai pembantu
dirumahnya sendiri atau pekerja dalam usaha lain. Biasanya, jika tenaga
6

kerja wanita dipandang belum dapat memecahkan masalah eknomi yang


dihadapi,

maka

anak-anak

yang

belum

dewasapun

tidak

segan

diikutsertakan dalam menopang kegiatan ekonomi rumah tangga. Anakanak tersebut tidak terbatas hanya bekerja mebantu orang tua saja,
melainkan

juga bekerja disektor publik sebagai buruh upahan

(Mulandar(ed.) dalam Suyanto: 2013).


Faktor utama yang menyebabkan anak-anak terpaksa tidak melanjutkan
sekolah adalah karena orang tua mereka kesulitan untuk membiayai sekolah
anak-anaknya (Kuntoro dalam Suyanto: 2013). Kesimpulan Kuntoro sama
dengan hasil studi BPS 1994 Indikator Kesejahteraan Anak, dikalangan
penduduk berumur 5-19 yang putus sekolah, alasan yang paling dominan
adalah tidak mempunyai biaya (48,8%). Jadi, walaupun pemerintah telah
berusaha meringankan uang sekolah bahkan menghapus uang SPP untuk
sekolah dasar dan berusaha menekan uang sekolah untuk tingkat lanjut,
tetapi karena tidak didukung oleh kemampuan ekonomi yang merata
dimasyarakat, maka dikelompok masyarakat miskin kesempatan belajar
anak menjadi terganggu.
Keluarga dan anak-anak miskin diperkotaan sesungguhnya adalah
bagian dari kelompok marginal yang mengalami berbagai tekanan ekonomi
dan terpaksa harus menanggung beban yang berat akibat efek domino dari
krisis ekonomi yang tak kunjung usai. Secara umum, studi ini menemukan
bahwa kondisi sosial keluarga-keluarga miskin di kota cenderung rapuh dan
rentan terperangkap hutang. Disamping itu, kodisi usaha penduduk miskin
di kota umumnya juga rawan kolaps akibat makin menipisnya margin
keuntungan yang diperoleh karena kenaikan biaya produksi yang tidak
sebanding dengan keuntungan yang diperoleh. Tanpa didukung modal yang
cukup dan pemilikan keterampilan alternatif yang cukup, jelas tidak mudah
bagi penduduk miskin untuk melangsungkan kehidupannya jika tidak
didukung intervensi dari pemerintah dan pihak-pihak lain yang concern
terhadap perbaikan nasib peduduk miskin kota.
Di kalangan keluarga miskin di perkotaan, keterlibatan anak-anak untuk
ikut serta mencari nafkah bagi keluarga tidak lagi mencukupi untuk
7

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, memang tidak banyak pilihan yang


tersisa. Anak-anak yang seharusnya masih memperoleh kesempatan untuk
melanjutkan sekolah, tidak jarang harus putus sekolah ditengah jalan karena
terpaksa bekerja, baik membantu usaha orang tua dirumah maupun bekerja
disektor publik entah di home industry, toko atau di pabrik-pabrik layaknya
pekerja dewasa.
Sudah lazim terjadi bahwa anak bukan saja dinilai memiliki fungsi
ekonomis untuk membantu orang tua mencari nafkah, tetapi membiarkan
atau menyuruh anak bekerja sejak usia dini juga diyakini akan bermanfaat
positif untuk melatih anak lebih cepat mandiri. Memang untuk jenis
pekerjaan yang ringan dan bersifat mendidik sesungguhnya melatih anak
untuk biasa bekerja membantu orang tua bukanlah masalah, dan tidak pula
dilarang.
2.3 Kebijakan Pemerintah dan Implementasi
Berikut kebijakan yang telah diberlakukan oleh pemerintah Surabaya
untuk mengentas kemiskinan di daerah Kecamatan Semampir dan
Simokerto dalam hal mengentas kemiskinan (Warobay:2014):
Biaya produksi usaha ekonomi selama setahun terakhir cenderung
mengalami peningkatan;
Dalam hal pemasaran hasil produksi cenderung tetap;
Keuntungan dari usaha cenderung yang dilakukan cenderung turun.
Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin
meningkatkan

perlindungan

sosial

bagi

anak-anak

miskin

dan
dan

meningkatkan perlindungan sosial bagi anak-anak miskin sesungguhnya


bukan hanya mencakup upaya pengembangan kegiatan produktif keluarga
miskin, tetapi juga menyangkut pada upaya pemberdayaan yang dapat
menjamin para keluarga miskin memperoleh hak mereka, khususnya
kesejahteraan dan kondisi yang menjamin anak dapat tumbuh-kembang
secara wajar (Suyanto:2013, 231-232).
Model Pemberdayaan Keluarga Miskin dan Perlindungan Sosial

Aspek Pemberdayaan

Strategi

Bentuk Kegiatan

Peningkatan posisi
tawar keluarga miskin

Memperkuat
penyangga sosialekonomi keluarga
miskin

Peningkatan
perlindungan sosial
bagi anak-anak miskin

Mengembangkan pola
diversifikasi usaha dan
efisiensi proses dalam
kegitan usaha kecil
Penguatan dan
pengembangan
jaringan kelembagaan
sosial-ekonomi lokal
Perluasan akses pelaku
ekonomi rakyat
terhadap sumbersumber permodalan
berbunga rendah
Pengembangan
program asuransi
sosial bagi keluarga
miskin

Prevensi untuk
mencegah anak putus
sekolah

Pelatihan keterampilan
alternatif bagi keluarga
miskin, khususnya
perempuan
Pelibatan dan
intensifikasi tenaga kerja
keluarga untuk efisiensi
proses produksi
Peningkatan efetivitas
dan pengguliran paketpaket bantuan modal
usaha berbunga rendah
bagi keluarga miskin di
perkotaan
Pemberdayaan forum
pengajian, sinoman,
IKAMRA, forum arisan,
umat gereja dan institusi
lokal lain untuk
mengurangi kadar
kerentanan keluarga
miskin
Penanganan anak rawan
putus sekolah, baik
disekolah maupun yang
melibatkan dukungan
lembaga sosialkeagamaan di
masyarakat

Sumber: Suyanto (2013: 234)

Model dan Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan


Aspek-Aspek
Kemiskinan

Kerentanan
Ketidakberdayaa
n

Keterisolasian

Masalah
Tidak memiliki aset produksi dan
berpenghasilan yang tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari
Tidak memiliki tabungan, mudah
terperangkap hutang
Mudah dipermainkan tengkulak atau
pengijon, lemah posisi tawarnya dalam
penentuan harga jual produk yang
dihasilkan, kemampuan melakukan
diversifikasi usaha lemah
Tidak memiliki akses terhadap jaringan
kerja dan modal usaha

Program
Program padat karya
Bantuan peralatan usaha

Bantuan tabungan
Revitalisasi takesra-kukesra
Pelatihan keterampilan
alternatif
Pengembangan daya penyangga
Perlindungan bagi masyarakat
miskin
Memfasilitasi pola hubungan
kerja antara distributor dan
usaha si miskin
Bantuan modal usaha

Kelemahan
jasmani

Sering sakit, dan implikasi sakit bagi

keluarga miskin bukan sekedar harus

mengeluarkan biaya berobat, tetapi


juga menanggung resiko hilangnya
penghasilan karena tidak bekerja akibat
sakit
Sumber: Suyanto (2013, 245)

Asuransi kesehatan
Bantuan dana bagi keluarga
miskin dimusim paceklik (cost
of living)

2.4 Kelemahan dan Hambatan Implementasi Kebijakan


Dalam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Surabaya untuk mengentas
kemiskinan yang ada pada Kecamatan Semampir dan Simokerto memiliki
kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahan kelemahan tersebut disebabkan
oleh :

Kurangnya pengawasan dari pemerintah


Pemerintah hanya memberikan bantuan saja terhadap penduduk miskin yang
ada pada daerah tersebut tanpa adanya pengawasan, sehingga para penduduk
yang mendapatkan bantuan dari pemerintah menyeleweng dengan apa yang

sudah di rencanakan.
Kurangnya perawatan (maintance) terhadap alat yang dipinjamkan sehingga
alat tersebut rusak dan tidak terpakai lagi
Para penduduk yang menerima bantuan berupa alat biasanya enggan untuk
merawat atau memperbaiki alat tesebut. Mereka hanya menggunakannya saja
tanpa adanya perawatan, sehingga alat yang dipinjamkan sebagai modal
menjadi rusak dan akhirnya penduduk tidak bisa melakukan apa apa
disebabkan modal yang digunakan untuk mencari uang telah rusak.

Pendapatan yang rendah sehingga susah untuk membayar uang cicilan dari
modal yang dipinjamkan
Jika dilihat yang menyebabkan pendapatan rendah adalah barang dagangan
yang mereka dagangkan kalah bersaing dengan barang lainnya, sehingga
pendapatan yang mereka dapatkan untuk membayar bantuan yang diberikan
oleh pemerintah mengalami hambatan. Hal ini juga menyebabkan usaha
mereka tidak bisa berkembang karena dalam pangsa pasar mereka kalah.
Berbagai bukti dilapangan telah banyak memperlihatkan bahwa berbagai

program penanggulangan kemiskinan yang selama ini digulirkan terutama dalam


bentuk pemberian subsidi kreatif dan bantuan modal usaha atau pembinaan usaha
produktif keluarga miskin seringkali masih terkonsentrasi pada rekayasa yang
sifatnya teknis produksi dan cenderung hanya berorientasi kuantitas, sehingga
10

dalam banyak hal lebih menguntungkan kelompok masyarakat yang memiliki


modal dan aset produksi yang berlebih (Suyanto:2013, 232).
Kebijakan pembangunan dan berbagai program penanggulangan kemiskinan
yang dikembangkan seringkali kurang memperhatikan karateristik dan konteks
lokal masyarakat miskin, sehingga tidak heran jika yang terjadi kemudian adalah
paket-paket kebijakan dan program yang bersifat meritrokratis.
Misal apabila Pemerintah Kota mengucurkan sejumlah dana kepada
masyarakat tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan struktur sosial di
masyarakat lokal yang terpolarisasi atau paling tidak terstratifikasi atas dasar
berbagai dimensi. Kedua, pedagang kecil-kecilan dengan latar belakang
pendidikan yang rendah dapat mengembangkan usahanya dan menembus pasar
yang lebih luas, sementara disaat yang sama supermarket mini semacam
Indomaret, Alfamart, dan sebagainya masuk ke kampung-kampung dan kompleks
perumahan.
Ketiga, kemungkinan kelompok buruh industri kecil bisa meningkatkan
kesejahteraan jika paket-paket bantuan teknologi industri lebih diprioritaskan
kepada pemilik atau para juragan yang dinilai lebih bisa dipercaya bakal tidak
menunggak cicilan pinjaman.
Selanjunya untuk mencegah hambatan tersebut diatas agar tidak terjadi lagi
dan upaya memberdayakan masyarakat miskin dan perlindungan anak-anak
miskin di Kota Surabaya benar-benar dapat berjalan efektif. Dibutuhkan bukan
sekedar kesediaan unuk melakukan introseksi, tetapi juga revitalisasi program
pemberdayaan masyarakat miskin yang benar-benar berpihak kepada lapisan yang
paling miskin khususnya para pelaku ekonomi disektor informal di wilayah urban.
2.5 Rekomendasi
Masyarakat miskin sesungguhnya memiliki hak untuk terlibat dalam proses
pembangunan dan bahkan memiliki potensi ikut menentukan ke arah mana
pembangunan kota akan digulirkan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
upaya peningkatan kesejahteraan penduduk miskin di perkotaan adalah:
1) Untuk melakukan upaya pemberdayaan dan pengembangan kegiatan usaha
ekonomi produktif keluarga keluarga miskin serta membina kelangsungan
jenis kegiatan usaha mereka diperlukan program strategis dan langkah yang
berkesinambungan, dan bersifat kontekstual;

11

2) Pemerintah

kota

bersedia

memfasilitasi

berbgaai

upaya

pelatihan

keterampilan alternatif dan sekaligus menyediakan modal usaha dengan


bunga

yang

murah

bagi

penduduk

miskin

kota

yang

berpotensi

mengembangkan diversivikasi usaha;


3) Meningkatkan perlindungan dan memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi
penduduk miskin kota untuk mengembangkan potensi sosial-ekonomi;
4) Membantu penduduk miskin agar tidak mengeluarkan biaya yang lebih tinggi
daripada yang seharusnya ketika mengakses fasilitas publik dasar;
5) Untuk meningkatkan perlindungan sosial bagi anak-anak miskin mencegah
dan menangani kasus anak yang sudah teranjur putus sekolah, kebijakan dan
langkah yang paling strategis mencakup tiga unsur pokok. Pertama, kebijakan
bersifat prefentif, yakni mencegah anak-anak tidak sampai putus sekolah
ditengah jalan. Kedua, kebijakan mengurangi resiko atau kemungkinan anak
yang sudah masuk sekolah berhenti atau keluar ditengah jalan karena
pembelajaran yang tidak joyfull learning atau karena sebab-sebab
substruktural lain. Ketiga, kebijakan yang bersifat kuratif, yakni mengajak
anak yang sudah putus sekolah kembali ke sekolah atau paling tidak
memfasilatisasi agar mereka tetap dapat mengakses program life skills
sebagai bekal bagi mereka untuk menempuh masa depan.

BAB III
PENUTUP
Penanggulangan tekanan kemiskinan, membangun kehidupan yang lebih
baik dan sekaligus mengeliminasi kesenjangan sosial haruslah adanya
keseimbangan antara alokasi dana yang dikucurkan dan program yang digulirkan
secara tepat. Berdasar pada studi kasus dalam makalah ini dapat dijelaskan bahwa
kemiskinan merupakan suatu masalah perkotaan yang sulit bahkan tidak dapat
dihilangkan dengan mudah, tetapi dapat diminimalisir dengan melakukan
kebijakan-kebijakan yang harus juga diawasi agar kemiskinan berkurang setiap
tahun.
Secara konseptual, upaya penanggulangan kemiskinan seyogyanya tidak
dilakukan sepotong-sepotong, parsial, dan hanya bersifat kontemporer. Mengacu
pada sejumlah isu prioritas kemiskinan yang dihadapi anak-anak keluarga miskin,
12

maka program-program yang dikembangkan harus benar-benar komprehensif,


tidak berhenti hanya pada aspek ekonomi kemiskinan saja, tetapi juga perlu
menyentuh perbaikan pada aspek tenaga kerja, ketidakberdayaan, keterisolasian,
dan kelemahan jasmani daripada orang dewasa. Hal tersebut agar tidak terjadi lagi
anak-anak usia sekolah sebagai pekerja dini.

DAFTAR PUSTAKA
Suyanto, Bagong. 2013. Anatomi Kemiskinan. Malang: In-TRANS Publishing.
Surjadi. 1983. Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: IKAPI.
Rini, Sectio Yuli. 2011. Pendidikan: Hakekat, Tujuan, dan Proses.
staff.uny.ac.id/..../PENDIDIKAN. (Diakses pada 23 Oktober 2016).
Hasmori, Akhmal Hannas. 2011. Pendidikan, Kurikulum dan Masyarakat: Satu
Integrasi Jurnal Volume 1. http://eprints.utm.my/17084/1/JOE-1-2011042.pdf. (Diakses pada 23 Oktober 2016).
Dewi, Dwi J.M. 2014. Ketidakberdayaan.
https://www.scribd.com/doc/236527667/KETIDAKBERDAYAAN.
(Diakses pada 24 Oktober 2016).

13

Worabay, Errick. 2014. Ekonomi Kota: Program Pengentasan Kemiskinan di


Kota Surabaya.
https://www.academia.edu/12640453/PENGENTASAN_KEMISKINAN_
DIKOTA_SURABAYA. (Diakses pada 24 Oktober 2016).
Kadji, Yulianto. 2012. Kemiskinan dan Konsep Teoritisnya.
repository.ung.ac.id/get/simlit_res/1/318/Kemiskinan-dan-KonsepTeoritisnya.pdf. (Diakses pada 24 Oktober 2016).

14

Вам также может понравиться