Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DISUSUN OLEH:
Marisa Alfianty
NIM: 030.11.178
PEMBIMBING:
LEMBAR PENGESAHAN
Nama mahasiswa
: Marisa Alfianty
NIM
: 030.11.178
Bagian
Periode
Judul
Pembimbing
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
BAB I
PENDAHULUAN
ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan
sebutan epidural hematom.
Epidural hematoma umumnya memberikan respon terhadap operasi, baik.
Epidural hematoma juga jarang menyebabkan kematian. Menurut UCLA
neurosurgery secara umum persentase mortalitas Epidural Hematom yang
mendapatkan penanganan yang cepat adalah 1-5% dan epidural hematom jarang
menimbulkan adanya multiple cranial palsy. Epidural hematom juga jarang
membutuhkan operasi berulang.
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama
: Tn. A
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 19 tahun
Alamat
: Kp. Salangari
Status pernikahan
: Belum Menikah
Pekerjaan
: Cleaning Service
Suku bangsa
: Jawa
Agama
: Islam
Pendidikan terakhir
: SMA
Masuk tanggal
: 12/10/2016
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ayah dan kakak pasien di ruang ICU
RSUD Budhi Asih pada tanggal 14 Oktober 2016 pukul 14.00
Keluhan Utama
: Penurunan Kesadaran
Keluhan Tambahan
:
Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal oleh keluarga
Riwayat Kebiasaan
Pasien diketahui merupakan perokok aktif namun jumlah dan sejak kapan mulai merokok
tidak diketahui oleh keluarga.
II
Riwayat Pengobatan
Keluarga menyangkal pasien pernah atau sedang menjalani pengobatan tertentu
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2016 pukul 12.14 di ICU RSUD
Budhi Asih.
Keadaan Umum
o Kesadaran
o Kesan Sakit
Tanda Vital
o Tekanan Darah
o Denyut Nadi
o Pernapasan
o Suhu
: Sulit dinilai
: Tampak sakit berat
: 121/61mmHg
: 98 x/menit
: 24 x/menit
: 36.4
Kepala
Wajah
Mata
(+/-)
reflex
cahaya
tidak
langsung
(+/-),
(+/+)
Bentuk normotia, liang telinga lapang (+/+), serumen (+/+),
sekret(-/-), membran timpani sulit dinilai, refleks cahaya sulit
Hidung
Mulut
Leher
Thorak
preaurikula,
submental,submandibula,
Palpasi
Auskultasi
PARU
Inspeksi
Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada
pernapasan yang tertinggal, pernapasan abdomino-torakal,
retraksi
suprastrenal(-),
retraksi
subcostal(-)
Palpasi
Gerak napas simetris kanan dan kiri
5
intercostal(-),retraksi
Abdomen
Perkusi
Sonor di kedua hemithoraks paru
Auskultasi
Suara napas vesikuler, ronchi (-/-), wheezing (-/-)
Inspeksi :
Perut datar, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut,
kulit keriput (-), gerakan peristaltik (-).
Auskultasi :
bising usus (+) frekuensi 3x/menit
Palpasi :
Supel, nyeri tekan sulit dinilai, hepar tidak teraba, lien tidak
teraba
Perkusi :
Anus dan
Genitalia
Ekstremitas Inspeksi : Warna kulit sawo matang, oedem (-/-), sianosis(-/-),
atrofi (-/-), vulnus ekskoriatum pada dorsum pedis dextra
Palpasi : Akral hangat, turgor kulit baik (+/+), oedem ekstremitas
(-/-), nyeri tekan (-/-), CRT < 2s
Status Neurologis
Kiri
Kaku kuduk
(-)
Laseque
Sulit Dinilai
Kernig
Brudzinsky I
(-)
(-)
Brudzinsky II
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Nervus Kranialis
N.I (Olfaktorius)
Subjektif
Tidak Dilakukan
N. II (Optikus)
Tajam penglihatan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Lapang penglihatan
Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
Melihat warna
Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
Pupil
Bulat, D: 4mm
Bulat, D: 8mm
Fundus Okuli
Tidak dilakukan
Nistagmus
Pergerakan bola mata
Bola mata
Reflek Cahaya Langsung & Tidak Langsung
Diplopia
Tidak Dilakukan
Ortoforia
Eksotrofi
+
Tidak Dilakukan
N..V (Trigeminus)
Membuka mulut
Tidak dilakukan
Menggerakan Rahang
Tidak dilakukan
Oftalmikus
Tidak dilakukan
Maxillaris
Tidak dilakukan
Mandibularis
Tidak dilakukan
Refleks Kornea
N. VII ( Fasialis )
Tidak Dilakukan
Kesan Paresis N. VII
dextra tipe sentral
N.VIII ( Vestibulokoklearis )
Tes Pendengaran
Tes Keseimbangan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
7
N. IX,X ( Vagus )
Tidak Dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak Dilakukan
N.XI (Assesorius)
Mengangkat bahu
Menoleh
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
N.XII ( Hipoglosus )
Pergerakan Lidah
Disatria
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Refleks
Pemeriksaan
Refleks Fisiologis
Bisep
Trisep
Patela
Achiles
Kanan
Kiri
+
+
+
+
+
+
+
+
Pemeriksaan
Refleks Patologis
Babinski
Kanan
Kiri
Chaddok
Oppenheim
Gordon
Klonus
Hoffman Tromner
Ekstremitas Atas
Postur Tubuh
Atrofi Otot
Tonus Otot
Kanan
Kiri
Baik
Eutrofik
Normotonus
Baik
Eutrofik
Normotonus
8
Motorik
Gerak involunter
Kekuatan Otot
(-)
(-)
Sulit dinilai, kesan hemiparesis sinistra
Kanan
Ekstremitas Bawah
Postur Tubuh
Atrofi Otot
Tonus Otot
Gerak involunter
Kekuatan Otot
III
Kiri
Baik
Baik
Eutrofik
Eutrofik
Normotonus
Normotonus
(-)
(-)
Sulit dinilai, kesan hemiparesis sinistra
Sagital
10
11
Bone Window
Kesan :
13
Pemeriksaan Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium saat pasien
masuk ke IGD RSUD Budhi Asih pada
tanggal 12 Oktober 2016 didapatkan adanya
peningkatan
leukosit
sebesar
18.300/uL,
14
IV
Diagnosis
Diagnosis Klinis : Cedera Kepala Berat, Penurunan kesadaran, paresis N.III sinistra,
VI
paresis N. VII dekstra tipe sentral, hemiparesis sinistra, hematuria, Pneumonia Ortostatik
Diagnosis Topis : Lesi pada korteks cerebri temporal sinistra, traktus kortikobulbar, dan
traktus kortikospinal
Diagnosis Etiologis : Ruptur Dural Artery
Diagnosis Patologis : Trauma Kapitis dengan Epidural Hematom Sinistra
Tatalaksana
Medikamentosa
o Bagian Bedah Syaraf : Kraniotomi Evakuasi Hematom
o Bagian Saraf :
Inj Citicolin 4 x 1 gram
Inj Piracetam 4 x 3 gram
Phenitoin 2 x 100 mg
Asam Folat 1x1 tab
o Bagian Anestesi :
IVFD RF
Inj Ceftazidime 2 x 1 gram
Inj Vit C 1 x 1 ampul
Inj Omeprazole 1x 40 mg
Inj Vit K 3x1 ampul
Inj Kalnex 3x1 ampul
Inj Neurobion 1x10 mg
o Bagian Paru :
Fluconazole 2 x 200 (2hari)
Inhalasi Ventolin 3x/hari
Inhalasi Pulmicort 2x/hari
Prognosis
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam
VII.
: Dubia ad Bonam
: Dubia ad Malam
: Dubia ad Bonam
Follow Up
Pasien di follow up dari tanggal 13 Oktober 2016 hingga tanggal 22 Oktober 2016.
Selama 9 hari follow up, kesadaran pasien semakin membaik, ventilator dilepas pada tanggal
17 Oktober 2016, namun pasien masih tidak dapat diajak berkomunikasi. Kesadaran pasien
15
awal pemeriksaan adalah 13 Oktober 2016 GCS E2 M5 V(ett), keesokan harinya, pasca
operasi craniotomy pada tanggal 13 Oktober 2016 pada pukul 16.50, tanggal 14 Oktober
didapatkan GCS pasien E3 M5 V(ett), pada tanggal 17 Oktober GCS pasien meningkat
menjadi M5 E4 Vafasia. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya ptosis dan eksotrofi OS,
pupil anisokor 4mm/8mm dengan RCL +/-, RCTL +/-, yang menandakan paresis N.III
sinistra. Selain itu ujung bibir kanan pasien tampak lebih rendah dari sebelah kirinya dan
lipatan nasolabial di sebelah kanan tidak sejelas lipatan nasolabial di sebelah kiri, kesan
paresis N.VII dextra tipe sentral.
Pasien juga lebih sering menggerakkan bagian tubuh sebelah kanan sedangkan sebelah
kiri cenderung hanya diam atau hanya bergeser, kesan hemiparesis sinistra. Refleks fisiologis
keempat ekstremitas positif dan reflex patologis keempat ekstremitas negative.
Pada hari ketujuh dirawat, GCS pasien masih E4 M4-5 Vafasia namun, didapatkan
adanya perbaikan dari hemiparesis sinistra. Selanjutnya pada hari kedelapan dirawat, tanggal
21 Oktober, pasien dilakukan craniotomy ulang untuk mengangkat craniofix oleh karena
pasien alergi terhadap craniofix. Follow up pasca operasi, pada hari terakhir, didapatkan
GCS E3 M5 Vett, didapatkan kesan hemiparesis pada tubuh kiri yang semakin membaik
walaupun masih ditemukan adanya paresis N.III sinistra dan kesan paresis N.VII dextra tipe
sentral. Pada kasus ini pemeriksaan sensorik, proprioseptif, koordinasi dan keseimbangan,
maupun MMSE tidak dapat dilakukan.
Pada hari pertama follow up didapatkan nilai Hb 10.4 g/dL, hari kedua pada saat post op
Hb pasien turun menjadi 7.5 g/dL kemudian diberikan PRC 500 cc dan hari ketiga Hb pasien
naik menjadi 10.1 g/dL.
Terapi dari bagian neurologi pada awal pasien masuk di ICU adalah pemberian Fenitoin 2
x 100 mg i.v, injeksi citicolin 2 x 500 mg i.v, injeksi piracetam 4 x 3 gram i.v, dan asam folat
1 x 1 tab per hari per NGT.
Dari laporan operasi craniotomy evakuasi hematom pada tanggal 13/10/2016 pukul 16.50
didapakan perdarahan sebanyak 30 cc dari luka operasi lama dan didapatkan sumber
perdarahan yang berasal dari dural AVM.
16
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien masuk ICU RSUD Budhi Asih disebabkan karena penurunan kesadaran pasca
operasi EDH di RS PIK 13 hari SMRS. Dari hasil CT Scan tanggal 29 September 2016
didapatkan adanya epidural hematom pada regio temporal sinistra dengan adanya midline
shift ke kanan dan edema serebri.
Epidural hematom merupakan perdarahan yang terjadi karena robeknya arteri meningea
media atau vena meningea media yang memperdarahi hampir seluruh bagian lateral cranium.
Hal tersebut umumnya terjadi saat adanya trauma pada bagian temporal kepala terutama jika
disertai dengan adanya fraktur pada os. temporal. Karena ukuran arteri/vena meningea media
yang cukup besar, saat terjadi perdarahan, darah akan mengumpul dengan cepat di ruang
epidural dan menyebabkan penekanan pada cerebri dengan bentuk perdarahan berbentuk
lentikuler atau bikonveks karena masih ada selaput duramater yang membatasi ruang
epidural dan cerebri.4
Perdarahan yang cepat dari robekan arteri meningea media akan mengisi ruang epidural
dengan cepat, sedangkan cranium merupakan suatu ruang dengan volume yang tetap
sehingga jika terdapat penambahan jumlah volume intrakranial akan menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial (Monro Kellie Doctrine). 13
Darah yang terkumpul di ruang epidural juga akan menyebabkan efek desakan pada
hemisfer cerebri pada sisi lesi dan akan menyebabkan dorongan pada sisi hemisfer yang
bersebrangan sehingga terjadi midline shift.
Pusat kesadaran manusia berada pada formatio reticularis di medulla oblongata dan
kedua hemisfer cerebri. Pada kasus ini penurunan kesadaran bisa disebabkan oleh salah satu
dari organ di atas maupun keduannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pasien ini
mengalami peningkatan tekanan intrakranial dan terjadi efek desakan pada hemisfer yang
kontralateral dengan lesi sehingga terjadi midline shift. Ini menunjukkan adanya keterlibatan
dua hemisfer yang dapat menjelaskan penurunan kesadaran pada pasien ini. Selain itu karena
adanya efek dorongan hematom terhadap salah satu sisi hemisfer akan menyebabkan
terjadinya herniasi suptatentorial dan bisa menyebabkan penekanan pada pusat kesadaran
17
pada medulla oblongata. Hal-hal tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan
kesadaran.
Secara umum, paresis N.III unilateral dapat disebabkan oleh karena tiga hal yaitu,
kelainan dari nucleus occulomotorius, nervus, dan fasikulus. Berikut penyebab paresis sesuai
dengan lokasi terjadi lesinya :
Lokasi
Nucleus Occulomotorius
Etiologi
Infarction atau hemoragik, Cavernoma, Tumor, Infeksi pada
Nerve
Fasikulus
Unkal, Hidrosefalus
Infarct atau hemoragik, tumor intrakranial, multiple sclerosis,
pembedahan stereotatic, disfungsi midbrain karena osmolar
demyelination syndrome
Pada kasus ini, paresis N.III dapat terjadi karena adanya efek desakan dari EDH kiri
sehingga menyebabkan lobus temporal kiri terdorong dan bagian uncal yang dilewati oleh
nervus III kiri menjepit N.III yang berjalan menuju lateral dinding sinus cavernosus sehingga
terjadi paresis N.III yang ipsilateral dengan lokasi EDH. Pada kasus didapatkan adanya pupil
yang midiriasis dan tidak respon dengan rangsang cahaya, ptosis, dan posisi bola mata yang
eksotrofia sehingga dapat disimpulkan terjadi paresis N.III komplit pada pasien ini.
18
19
Pada kasus ini selain didapatkan adanya paresis N.III kiri, didapatkan juga adanya kesan
paresis N.VII kanan tipe sentral, yang berarti lesi N. VII kontralateral dengan lokasi lesi. Hal
ini merupakan hal yang sudah semestinya terjadi dikarenakan perjalanan traktus
kortikobulbar yang memberikan jaras saraf ke nucleus N.VII akan bersilang secara
kontralateral pada pons.3 Paresis N. VII pada kasus ini merupakan paresis N.VII kanan tipe
sentral karena lokasi terjadinya lesi adalah pre-nuklear.
Fenomena hemiparesis yang ipsilateral dengan lokasi terjadinya lesi pada kasus ini
merupakan hal yang tidak biasa terjadi. Normalnya, saat terjadi epidural hematom sininstra,
hal yang akan terjadi adalah hemiparesis yang kontralateral dengan lokasi terjadinya lesi,
yaitu hemiparesis dextra. Fenomena hemiparesis yang terjadi ipsilateral dengan lokasi
terjadinya lesi masih dapat dijelaskan. Pada pasien ini terdapat epidural hematom yang cukup
besar yang berada pada region temporal kiri yang dapat mendorong lobus mesial temporal
(secara anterior mendorong unkus, secara posterior mendorong gyrus hypocampal) diantara
segi ipsilateral midbrain dan ujung bebas dari tentorium. Ujung dari jaringan otak yang
mengalami herniasi menekan nervus III dan PCA kiri, pupil mengalami dilatasi dan tidak
merespon dengan rangsang cahaya. Gyrus hypocampus yang terherniasi ini akan mendorong
midbrain ke ujung rigid sisi dura yang berlawanan, pada lubang tentorium. Struktur rigid ini
membentuk suatu tukik yang disebut Kernohan notch pada sisi lateral midbrain, dan
mengganggu pedunkulus serebral (terutama jaras saraf yang mempersarafi tungkai bawah)
20
pada sisi yang berlawanan dengan sisi terjadinya Epidural Hematom. Hal ini menyebabkan
terjadinya hemiparesis yang ipsilateral dengan lokasi terjadinya lesi pada kasus.14
Pada kasus ini, setelah penggunaan ventilator dihentikan, dan dilakukan penilaian Verbal
pasien, didapatkan adanya afasia global. Afasia merupakan ketidakmampuan untuk mengerti
atau menggunakan bahasa karena disfungsi dari regio otak yang spesifik. Terdapat dua area
yang berperan dalam fungsi berbahasa yaitu area Wernicke yang berperan untuk mengerti
dan memahami bahasa serta area Broca yang berperan dalam memproduksi bahasa. Area
Wernicke berada pada area Broadman 22 yang berada pada Gyrus Temporalis Superior. Lesi
pada Area Wernicke akan menyebabkan
afasia sensoris. Sedangkan pada area Broca yaitu pada
area broadman 44,45 yang berada pada gyrus frontalis
inferior, akan menyebabkan adanya afasia motoric
jika
pada
area
afasia global.
Area Wernicke dan Broca akan berada pada sisi hemisfer yang kontralateral dengan
ekstremitas yang lebih dominan. Misalnya pada orang dengan right-handed, maka area
Wernicke dan Broca akan berada pada hemisfer kiri. Begitu juga sebaliknya. Pada kasus ini,
pasien diketahui merupakan orang dengan tangan yang lebih dominasis sebelah kanan,
sehingga area Wernicke dan Broca akan berada di hemisfer kiri. 4 Hal ini dapat dikaitkan
dengan terjadinya afasia pada pasien karena EDH yang terjadi pada hemisfer sebelah kiri
pada daerah temporal sehingga dapat menjelaskan terjadinya afasia global pada kasus ini.
Pasien dalam kasus ini telah menjalani craniotomy evakuasi epidural hematom sebanyak
dua kali. Operasi pertama dilakukan pada tanggal 29/09/2016 dan operasi kedua dilakukan
pada tanggal 13/10/2016. Operasi untuk evakuasi EDH jarang sekali dilakukan berulang kali.
Namun, dari salah satu case report oleh Yilmazar S, et al yang dilakukan terhadap 30 kasus
traumatic EDH non-arterial origin, rekurensi EDH post operatif didapatkan sebanyak 13.3%
dari seluruh jumlah kasus.6 Craniotomy berulang pada pasien ini dilakukan atas indikasi
masih terdapatnya EDH pada temporoparietal kiri sesuai dengan hasil CT-scan kepala post
craniotomy pertama (1/10/2016). Dari hasil CT-scan tersebut didapatkan masih adanya
midline shift dan perdarahan dengan volume 45.57 cm3, di mana indikasi dilakukannya
21
craniotomy sesuai dengan konsesus PERDOSSI pada kasus EDH adalah ; EDH > 40 cc
dengan midline shifting pada daerah frontal / temporal / parietal dengan fungsi batang otak
masih baik, EDH >30cc pada fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau
hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik, dan EDH progresif.7
Penyebab terjadinya EDH post craniotomy pertama pada kasus ini adalah perdarahan dari
dural AVM. Dural AVM merupakan vascular malformation yang terjadi pada duramater,
dimana arteri dan vena seharusnya dipisahkan melalui kapiler namun pada AVM, terjadi
artery to vein connection.8
Setelah dilakukannya craniotomy evakuasi EDH, umumnya akan terjadi edema cerebri
sehingga menyebabkan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Pada saat terjadi
peningkatan tekanan intrakranial, terjadi juga peningkatan perfusi pada otak. Peningkatan
perfusi sendiri dipengaruhi oleh tekanan darah rata-rata dan tekanan intrakranial. Untuk
memenuhi kebutuhan oksigenasi dan nutrisi otak maka diperlukan peningkatan perfusi yang
nantinya juga akan meningkatkan tekanan darah.9 Tekanan darah yang meningkat menjadi
salah satu penyebab terjadinya ruptur AVM oleh karena aliran darah yang cepat dari arteri
langsung memasuki vena yang tidak memiliki elastisitas dinding pembuluh darah seperti
arteri.11 Hal tersebut akan menyebabkan rupture dari AVM dan dapat menjelaskan terjadinya
EDH berulang pada kasus ini.
Craniotomy ketiga pada kasus ini dilakukan untuk melepas Craniofix oleh karena adanya
reaksi alergi. Craniofix adalah suatu alat yang digunakan untuk memfixsasi bone flaps post
craniotomy. Alat tersebut memiliki sistem seperti clamp namun dua sisi. 12 Belum ada yang
meneliti mengenai persentase pasien yang alergi dengan craniofix seperti pasien ini.
22
Hal yang menarik pada kasus ini adalah fenomena hemiparesis yang terjadi ipsilateral
dengan lokasi lesi, padahal menurut teori apabila terjadi lesi pada hemisfer kiri, maka
hemiparesis akan terjadi pada tubuh bagian kanan.
Selain hal diatas, yang membuat kasus ini menjadi tidak biasa adalah dilakukannya dua
kali craniotomy untuk evakuasi EDH, dimana diketahui bahwa 3 hari post craniotomy
pertama didapatkan adanya perdarahan sebanyak 45.57cc sesuai dengan lokasi operasi
pertama, yang membentuk gambaran EDH. Namun, keluarga pasien menolak untuk di
lakukan operasi karena masalah biaya dan kemudian operasi kedua dilakukan di RS Budhi
Asih 14 hari kemudian. Dari hasil laporan operasi kedua didapatkan EDH disebabkan oleh
rupturnya dural AVM. Craniotomy pertama pada kasus ini tidak diketahui sumber
perdarahannya dikarenakan tidak ada lampiran laporan operasi dari RS PIK.
Dural AVM tidak seperti AVM lainnya yang biasanya kongenital, dural AVM biasanya
didapatkan post infeksi (meningitis) dan biasanya ditemukan pada post craniotomy. Secara
epidemiologi dural AVM biasanya ditemukan pada 1 : 1.000.000 penduduk dengan
23
perbandingan laki-laki dan perempuan 1:3. Dural AVM dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan angiografi. Tatalaksana untuk dural AVM adalah endovascular embolization.11
Sequeale yang mungkin terjadi pada pasien ini adalah gangguan visus yang terjadi akibat
paresis N.III di mana N.III juga akan memberikan persarafan pada m.cilliaris yang berfungsi
untuk akomodasi lensa dan m. constrictor pupil untuk miosis pupil dalam pengaturan jumlah
cahaya yang masuk. Pupil dan lensa merupakan bagian dari media refraksi sehingga jika
terjadi kelainan pada kedua hal tersebut akan menyebabkan kelainan dari visus pasien juga.
Selain itu sequeale yang mungkin terjadi pasca kontusio adalah post-traumatic epilepsy,
dengan frekuensi sekitar 5% dari seluruh closed brain injury. Post traumatic epilepsy
merupakan epilepsy yang terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah terjadinya
trauma. Risiko terjadinya epilepsy akan semakin meningkat apabila lesi terjadi pada bagian
posterior frontal dan parietal. Untuk mencegah terjadinya hal ini dapat diberikan profilaksis,
yaitu pemberian phenytoin.4
Sequeale yang dapat terjadi pasca kontusio adalah Autonomic Dysfuction Storm
Syndrome yang terjadi pada pasien vegetative state dengan gejala postur ekstensor yang
episodik, diaphoresis, hipertensi, dan takikardi. Selain itu dapat terjadi kemungkinan
gangguan ekstrapiramidalParkinson, yang dapat muncul pada usia yang lebih muda pada
pasien dengan riwayat trauma kepala. Ensefalopati akut dan kronis juga dapat terjadi pasca
kontusio. Pada ensefalopati akut, sering ditemukan adanya amnesia retrograde, gangguan
fungsi kognitif, sampai gangguan tingkah laku. Pada ensefalopati kronik biasanya akan
terjadi neurodegenerative process yang nantinya dapat mengarah ke Alzheimer maupun
Parkinson.4
Untuk menangani sequeale pada pasien ini, direncanakan untuk dirujuk ke poli mata
sehingga dapat dilakukan pemeriksaan terhadap gangguan visus yang mungkin dapat terjadi.
Konsul ke dokter spesialis mata tidak dapat dilakukan selama rawat inap dikarenakan kurang
kooperatifnya pasien selama dirawat. Selain itu, perlu dilakukannya EEG untuk melihat ada
tidaknya kemungkinan epilepsi post traumatic pada pasien ini. EEG dapat dikerjakan pada
saat rawat jalan dan saat pasien sudah kooperatif.
Prognosis pada kasus EDH dengan penanganan yang cepat umumnya baik, prognosis
akan menjadi buruk apabila pasien dengan EDH mengalami herniasi yang menekan batang
otak sehingga mengalami komatose, namun, beberapa pasien tetap bisa membaik apabila
24
operasi tidak terlalu lama ditunda.4 Dari penelitian yang dilakukan oleh Musthaq, et al. pada
kasus EDH dengan besar hematom 30-50 cc didapatkan 1 pasien dari 16 pasien yang
mengalami disabilitas berat, sedangkan pasien ini memiliki volum hematom sebesar 45.57 cc
sehingga pasien ini memiliki kemungkinan sekitar 6.25% untuk mengalami disabilitias
berat.15
25
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1
National Center for Injury Prevention and Control, 2007. Traumatic Brain Injury. Center for
Disease
Control
and
Prevention.
Available
from
http://www.cdc.gov/ncipc/factsheets/tbi.htm.
Nicholl, J., and LaFrance, W.C., 2009. Neuropsychiatric Sequelae of Traumatic Brain Injury.
Hill ; 2005
Ropper AH, Brown RH. Adam and Victors principles of neurology. 10th ed. New York:
McGraw-Hill; 2010
Simonin, Alexandre, Marc Leviver, Sofia Nistor, Karin Disrens. Case Report : Kernohans
Jakarta
Department of Neurosurgery. Dural Arteriovenous Malformation. Available from
http://www.columbianeurosurgery.org/conditions/dural-arteriovenous-malformations/
Cranial
Fixation
System.
Available
from
https://www.aesculapusa.com/assets/base/doc/DOC755_RevB_Cranial_Fixation_Systems.pd
f
26
/Intracranial%20Pressure%20and
%20Monitoring.pdf
14 Brazis Masdeu JC, Biller J. Loacalization in Clinical Neurology. 2nd ed. Little, Brown and
Company.1990. p.481PW
15 Mushtaq, Lal Rehman, Samina Khaleeq, Khaleeq Uz Zaman. Association of Outcome of
Traumatic Extradural Hematoma with Glasgow Coma Scale and Hematoma size. Ann. Pak.
Inst. Med. Sci. 2010; 6(3): 133-138
27