Вы находитесь на странице: 1из 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,
seringkali merupakan kejadian yang berrbahaya (Dorlan, 2015 dalam Ramayanti,
2013). Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala
berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan
segera guna menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000 dalam Ramayanti,
2013). Kegawat-daruratan dalam obstetric adalah suatu keadaan atau penyakit yang
menimpa seorang wanita hamil/dalam persalinan atau akibat komplikasi dari
kehamilan/persalinan yang mengancam jiwa ibu tersebut dan atau bayi dalam
kandungannya apabila tidak secepatnya mendapat tindakan yang tepat (Krisanty, 2011).
Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting agar pertolongan
yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat manifestasi klinik kasus
kegawatdaruratan obstetri yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas,
mengenal kasus tersebut tidak selalu mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan,
kemampuan daya pikir dan daya analisis, serta pengalaman tenaga penolong. Kesalahan
ataupun kelambatan dalam menentukan kasus dapat berakibat fatal. Dalam prakteknya,
pada saat menerima setiap kasus yang dihadapi harus dianggap gawatdarurat atau
setidak-tidaknya

dianggap

berpotensi

gawatdarurat,

sampai

ternyata

setelah

pemeriksaan selesai kasus itu ternyata bukan kasus gawatdarurat (Ramayanti, 2013).
Dalam menangani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama (diagnosa)
dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang tidak
panik, walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam
kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun prosedur
pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan
hubungan antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap
B.

diperhatikan (Ramayanti, 2013).


Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah asuhan keperawatan
kegawatdaruratan pada maternitas?

C.
1.

Tujuan
Tujuan umum
Mendeskripsikan tentang asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada maternitas

2. Tujuan khusus
a. Mendeskripsikan tentang perdarahan postpartum
b. Mendeskripsikan tentang abortus
c. Mendeskripsikan tentang kehamilan ektopik terganggu
d. Mendeskripsikan tentang mola hidatosa
e. Mendeskripsikan tentang plasenta previa
f. Mendeskripsikan tentang solusio plasenta
g. Mendeskripsikan tentang eklampsia
h. Mendeskripsikan tentang preeclampsia

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Perdarahan Postpartum
1. Definisi
Perdarahan postpartum didefinisikana sebagai hilangnya darah 500 ml atau lebih dari
organ-organ reproduksi setelah selesainya kala tiga persalinan (ekspulsi atau ekstaksi
plasenta dan ketuban). Normalnya, perdarahan dari tempat plasenta terutama dikontrol
oleh kontraksi dan retraksi anyaman serat-serat otot serta agregasi trombosit dan

trombus fibrin di dalam pembuluh darah desidua (Taber, 1994). Menurut Manuaba
(1998), perdarahan postpartum dibagi menjadi:
a. Perdarahan postpartum primer
Perdarahan postpartum primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama
perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta,
dan robekan jalan lahir.Terbanyak dalam 2 jam pertama.
b. Perdarahan pospartum sekunder
Perdarahan postpartum sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Penyebab utama
perdarahan postpartum sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta atau
membrane
2. Pemeriksaan fisik (Ramayanti, 2013)
a. Anamnesa
Selain menanyakan hal umum tentang periode perinatal, tanyakan tentang
episode perdarahan postpartum sebelumnya, riwayat seksio sesaria, paritas, dan
riwayat fetus ganda atau polihidramnion.
1) Tentukan jika pasien atau keluarganya memiliki riwayat gangguan
koagulasi atau perdarahan massif dengan prosedur operasi atau menstruasi.
2)

Dapatkan informasi mengenai pengobatan, dengan pengobatan hipertensi

(calcium-channel blocker) atau penyakit jantung ( missal digoxin, warfarin).


Informasi ini penting jika koagulopati dan pasien memerlukan transfusi.
b.

3) Tentukan jika plasenta sudah dilahirkan.


Pemeriksaan penunjang (Ramayanti, 2013)
1) Laboratorium
a) Darah Lengkap : Untuk memeriksa kadar Hb dan hematokrit
2)

b) Perhatikan adanya trombositopenia


Pemeriksaan Radiologi
a) USG dapat membantu menemukan abnormalitas dalam kavum uteri dan
adanya hematom.
b) Angiografi dapat digunakan pada kemungkinan embolisasi dari

pembuluh darah
3) Pemeriksaan Lain
Tes D-dimer (tes monoklonal antibodi) untuk menentukan jika kadar serum
produk degradasi fibrin meningkat. Penemuan ini mengindikasikan
gangguan koagulasi.
c. Penatalaksanaan gawat darurat
Menurut Safrudin (2009), terapinya bergantung penyebab perdarahan, tetapi
selalu dimulai dengan pemberian infus dengan ekspander plasma, sediakan darah

yang cukup untuk mengganti yang hilang, dan jangan memindahkan penderita
dalam keadaan syok yang dalam. Pada perdarahan sekunder atonik:
a. Beri syntocinon (oksitosin) 5-10 unit IV, tetes oksitosin dengan dosis 20 unit
atau lebih dalam larutan glukosa 500 ml
b. Pegang dari luar dan gerakkan uterus ke arah atas
c. Kompresi uterus bimanual
d.

Kompresi aorta abdominalis

e. Lakukan histerektomi sebagai tindakan akhir


B. Abortus
1. Definisi
Abortus adalah istilah yang diberikan untuk semua kehamilan yang berakhir
sebelum periode viabilitas janin, yaitu yang berakhir sebelum berat janin 500 gram.
Bila berat badan tidak diketahui, maka perkiraan lama kehamilan kurang dari 20
minggu lengkap (139 hari), dihitung dari pertama haid terakhir normal yang dapat
dipakai (Taber, 1994). Sementara menurut Krisanty dkk (2011,p. 245), abortus
adalah keluarnya hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup di luar kandungan, atau
keluarnya janin dengan berat kurang dari 500 gram atau umur kehamilan kurang dari
20 minggu.
2.

Klasifikasi abortus
a. Abortus iminens
1) Definisi
Kira- kira 12 sampai 15 persen dari seluruh kehamilan berakhir
spontan sebelum umur kehamilan 20 minggu. Sehingga, tidak mungkin
mengetahui pada permulaan, apakah abortus iminens akan berlanjut ke
abortus insipiens, inkompletus atau kompletus (Taber, 1994). Abortus
iminens atau abortus mengancam adalah ancaman keluarnya hasil
konsepsi yang ditandai oleh adanya perdarahan dari uterus pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan atau tampa kontraksi uterus dan
belum disertai dilatasi serviks. Pada keadaan ini kehamilan masih
mungkin diupayakan untuk dipertahankan (Krisanty dkk, 2011).
Sementara menurut Taber (1994), abortus iminens (mengancam) adalah
keadaan dimana perdarahan berasal dari intrauteri yang timbul sebelum
umur kehamilan lengkap 20 minggu, dengan atau tanpa kolik uterus,
tanpa pengeluaran hasil konsepsi dan tanpa dilatasi serviks.

2) Gejala
Menurut Krisanty dkk (2011), gejala abortus iminens adalah ibu hamil
kurang dari 20 minggu, mengalami perdarahan per vaginam yang
kadang-kadang disertai rasa mules (tidak selalu ada), pada pemeriksaan
in spekulo : tidak ada dilatasi serviks. Sementara menurut Taber (1994),
gejala saat ini adalah:
a) Perdarahan per vaginam adalah gejala paling khas yang dapat
bervariasi dari sekret vagina berdarah sampai sedikit bercak atau
minimum. Biasanya perdarahan kurang dari haid normal. Tidak
ada jaringan plasenta yan dikeluarkan
b) Nyeri abdomen. suprapubik, intermiten dan bersifat kram, dapat
tidak ada, minimum atau ringan. Beberapa pasien mungkin
mengeluh nyeri punggung bawah
c) Riwayat haid. Biasanya pasien sadar satu atau leih siklus haid
terlewatkan
d) Gejala kehamilan. Selama kehamilan viabel, biasanya tidak ada
perubahan gejala kehamilan subjektif : nyeri tekan payudara, mual
pagi hari dan seterusnya.
3) Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Menurut Taber (1994), untuk pemeriksaan fisik didapatkan:
a) Pemeriksaan umum normal
b) Pemeriksaan abdomen normal (lunak, tidak nyeri tekan)
c) Pemeriksaan pelvis : Pada pemeriksaan spekulum, biasanya hanya
ada sedikit darah atau sekret kecoklatan di dalam vagina. Ostium
uteri tertutup. Pada pemeriksaan bimanual, uterus membesar, lunak
dan tidak nyeri tekan. Besar uterus sesuai dengan riwayat haid.
Serviks tertutup, tidak mendatar dan mempunyai konsistensi hamil
normal
Sementara untuk pemeriksaan laboratorium didapatkan (Taber, 1994)
a) Hitung Sel Darah Lengkap dengan Apusan : Nilai normal dapat
diperkirakan
b) Urinalisis. Pada kasus abortus iminens, urinalisis normal . Jika
eritrosit atau leukosit ditemukan, maka kemungkinan masalah
traktus urinarius harus dicurigai, karena sistisis atau obstruksi ureter
menimbulkan gejala yang serupa dengan abortus iminens.
4)

Penatalaksanaan
Menurut Taber (1994), penatalaksanaan untuk abortus iminens adalah:

a)
b)

Tirah baring dan pembatasan aktivitas di rumah biasanya dianjurkan.


Rawat inap jarang diperlukan. Pasien dinasehatkan untuk tidak
bersenggama untuk meminimumkan kemungkinan rangsangan
prostaglandin.
Jika ada alat kontrasepsi dalam rahim, maka ia harus diangkat.
Terapi hormon dengan estrogen atau progesteron tidak dianjurkan.
Sirklase serviks (servical circlage) dapat diindikasikan selama trimester
kedua untuk pasien inkompeten serviks

c)
d)
e)

Sementara menurut Krisanty dkk (2011), penatalaksanaannya adalah:


a) Istirahat baring
b) Berikan fenobarbital tablet 3 x 30 mg/hari selama 3 hari
c) Bila setelah 3 hari masih ada perdarahan,segera rujuk ke rumah sakit
b. Abortus insipiens
1)

Definisi
Abortus insipiens adalah keadaan perdarahan dari intrauteri
yang terjadi dengan dilatasi serviks kontinu dan progresif, tetapi juga
pengeluaran hasil konsepsi sebelum umur kehamilan lengkap 20
minggu (Taber, 1994). Abortus insipiens atau abortus yang sedang
berlangsung ditandai oleh perdarahan per vaginam pada kehamilan
kurang dari 20 minggu dengan hasil konsepsi masih di dalam uterus,
namun telah terjadi dilatasi serviks uteri. Hal ini berarti bahwa
kehamilan sudah tidak dapat dipertahankan dan perdarahan hanya
dapat berhenti bila hasil konsepsi yang masih ada di dalam uterus
dibersihkan (Krisanty dkk, 2011)

2) Gejala
Menurut Krisanty dkk (2011), gejala abortus insipiens adalah:
a) Perdarahan per vaginam pada kehamilan kurang dari 20 minggu,
disertai rasa mulas yang sering dan kuat
b) Pada pemeriksaan inspekulo : terdapat dilatasi serviks, terlihat
darah keluar dari ostium uteri eksternum.
Sementara menurut Taber (1994), gejala saat ini meliputi:
a) Nyeri abdomen. Kram suprapubik intermiten, progresif
diakibatkan oleh kontraksi uterus yang menimbulkan pendataran
dan dilatasi serviks
b) Perdarahan per vaginam. Jumlah perdarahan cenderung sangat
bervariasi. Beberapa pasien berdarah hebat, sementara lainnya
mungkin menunjukkan gejala minimum
c) Riwayat haid. Meskipun sebagian besar abortus timbul sebelum 12
minggu setelah siklus haid terakhir, namun abortus yang lambat
dapat terjadi selama trimester kedua

d) Kebocoran cairan amnion. Abortus bersifat insipiens, bila selaput


amnion pecah.
3) Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Menurut Taber (1994), untuk pemeriksaan fisik di dapatkan
a) Pemeriksaan umum : Suhu, nadi, tekanan darah dan pernapasan
biasanya normal
b) Pemeriksaan abdomen : Abdomen lunak dan tidak nyeri tekan.
Uterus dapat teraba per abdomen, tergantung pada umur kehamilan
c) Pemeriksaan pelvis : Pada pemeriksaan spekulum, sering serviks
mendatar dan berdilatasi. Selaput amnion dapat terlihat menonjol
melalui serviks atau dapat robek, dengan cairan amnion ada di
dalam vagina.
Sementara pada pemeriksaan laboratorium didapatkan (Taber, 1994)
a) Hitung sel darah lengkap dan apusan darah : Hemoglobin dan
hematokrit menunjukkan anemia dan perdarahan sebelumnya.
Hitung leukosit dan hitung jenis dapat mengidentifikasi suatu
infeksi sistemik
b) Urinalisis : Hasil urinalisis normal
4) Penatalaksanaan
Menurut Krisanty dkk (2011), pada abortus insipiens tindakan yang
harus dilakukan tergantung pada umur kehamilan dan beratnya
perdarahan yang terjadi:
a) Pada kehamilan kurang dari 12 minggu dan/atau dengan perdarahan
banyak, segera lakukan:
(1) Kuratase, yaitu pengeluaran hasil konsepsi
(2) Setelah kuretase, diberikan injeksi ergometrin 0,2 mg i.m atau
methergin 0,2 mg i.mh
(3) Berikan antibiotik Ampisilin 500 mg 4x1 tablet/hari selama 5
hari dan tablet methergin 3x1 tablet/hari selama 3 hari untuk
mencegah infeksi.
b) Pada kehamilan lebih dari 12 minggu biasanya pendarahan tidak
banyak, namun bahaya perforasi pada kerokan lebih besar, maka :
(1) Proses abortus sebaiknya dipercepat dengan pemberian infus
oksitosin 10 U dalam 500 ml Dextrose 5 % dengan tetesan
disesuaikan dengan sifat kontraksi.
(2) Bila janin sudah keluar tetapi plasenta masih tetap tinggal maka
pengeluaran plasenta dilakukan secara digital
(3) Setelah tindakan, diberikan injeksi ergometrium o,2 mg/ i.m
atau methergin 0,2 mg/ i.m.
c. Abortus inkompletus
1) Definisi
Abortus inkompletus adalah keluarnya sebagian hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih terdapatnya sisa hasil
konsepsi yang tertinggal didalam uterus. Pada keadaan ini harus segera
dilakukan tindakan pengeluaran sisa hasil konsepsi, karena apabila hal

ini tidak dilakukan maka pendarahan akan terus terjadi (Krisanty dkk,
2011).
2) Gejala
Menurut Kirsanty dkk (2011), gejala yang timbul adalah:
a) Pendarahan pervaginam pada kehamilan kurang dari 20 minggu
dengan sebagian hasil konsepsi telah keluar.
b) Pada pemerikasaan dalam: kanalis servikalis terbuka dan jaringan
dapat
diraba dalam kavum uteri atau menonjol dari uteri eksternum.
Sementara menurut Taber (1994), gejala saat ini adalah:
a) Nyeri abdomen : Nyeri kram suprapubik terjadi akibat kontraksi
uterus dalam usaha mengeluarkan isi uterus. Mula-mula nyeri
cenderung ringan dan intermiten, tetapi secara bertahap menjadi
lebih hebat
b) Perdarahan per vaginam : Ini merupakan gejala yang paling khas
dari abortus inkompletus. Jumlah perdarahan cenderung lebih
banyak dari pada darah haid biasa; perdarahan mungkin hebat dan
bahkan cukup berlebihan untuk menyebabkan syok hipovolemik.
Selama jaringan plasenta tetap melekat pada dinding uterus, maka
kontraksi miometrium terganggu; pembuluh darah di dalam
segmen telanjang pada tempat plasenta berdarah hebat. Pasien
dapat mengeluarkan banyak bekuan darah atau janin yang dapat
dikenal atau jaringan plasenta
c) Gejala haid : Biasanya pasien telah melewatkan dua siklus haid,
karena abortus inkompletus cenderung terjadi kira-kira 10 minggu
setelah mulainya siklus haid terakhir
d) Gejala kehamilan : Banyak pasien sadar akan hilangnya gejala
kehamilan subjektif. Gejala ini mungkin menandakan kematian
janin intrauteri yang mendahului abortus spontan
3) Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Menurut Taber (1994), pada pemeriksaan fisik didapatkan temuan
a) Pemeriksaan umum : Suhu badan normal, kecuali ada infeksi
penyerta. Nadi, tekanan darah dan pernapasan normal, kecuali
abortus terinfeksi atau hipovolemia akibat perdarahan berlebihan
b) Pemeriksaan abdomen : Abdomen biasanya lunak dan tidak nyeri
tekan
c) Pemeriksaan pelvis : Pada pemeriksaan spekulum, sering vagina
mengandung banyak bekuan darah dan serviks tampak mendatar dan
dilatasi. Jaringan plasenta dapat terlihat di osteum uteri atau vagina.
Pada pemeriksaan vagina, serviks lunak, dilatasi dan mendatar.
Jaringan plasenta atau bekuan darah atau keduanya dapat teraba.
Uterus membesar dan lunak. Daerah adneksa normal
Sementara untuk hasil laboratoriumnya di dapatkan:
a) Hitung sel darah lengkap dengan apusan darah : Hitung leukosit
biasanya dalam batas normal, kecuali ada infeksi penyerta. Apusan
darah, hemoglobin, nilai hematokrit menunjukkan perdarahan
sebelumnya atau anemia terdahulu
b) Urinalisis normal

c) Golongan darah dan Rh : Darah harus dikiri ke bank darah untuk


pemeriksaan golongan darah dan Rh. Bila penggantian darah
diantisipasi, maka pencocokan-silang dimintakan dari bank darah
4) Penatalaksanaan
Menurut Krisanty dkk (2011), tindakan yang dapat diberikan adalah:
a) Bila penderita mengalami pendarahan banyak segera pasang infus
menggunakan cairan Ringer Laktat 30-40 tetes/menit, bila keadaan
umum baik atau diguyur bila jatuh dalam keadaan syok.
b) Setelah syok teratasi segera dilakukan kuretase atau pengeluaran
hasil konsepsi telah secara digital.
c) Setelah tindakan berikan suntikan ergometri 0,2 mg i.m dan
antibiotika Ampisilin 500 mg 4x1 tablet sehari selama 5 hari dan
tablet methergin 3x1 tablet sehari selama 3 hari
d. Abortus kompletus
1) Definisi
Abortus kompletus adalah keluarnya seluruh hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu (krisanty dkk, 2011 dan Taber, 1994).
2) Gejala
a) Keluarnya gumpalan darah pervaginam pada ibu hamil dengan usia
kehamilan kurang dari 20 minggu.
b) Pendarahan masih ditemukan tetapi tidak banyak.
c) Uterus telah mengecil
d) Pada pemeriksaan in spekulo: ostium uteri telah menutup, gumpalan
yang telah keluar merupakan hasil konsepsi / jaringan janin yang
tidak lengkap dengan selaputnya.
3) Penatalaksanaan
Biasanya pasien abortus kompletus tidak perlu perawatan khusus. Bila
pasien mengalami anemia, berikan sulfat ferrosus. Lakukan konseling
untuk mencegah terjadinya infeksi (Krisanty dkk, 2011).
C. Kehamilan ektopik terganggu
1. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi dan tumbuh di luar endometrium
cavum uteri. Sebagian besar implantasi hasil konsepsi pada kehamilan ektopik terjadi
pada tuba falopi. Tempat tumbuh janin yang tidak normal ini mudah mengakibatkan
gangguan, yaitu abortus atau ruptura tuba, karena janin semakin membesar di tempat
yang tidak memadai. Hal ini dapat mengakibatkan perdarahan dalam rongga perut
sehingga mengancam kehidupan ibu. Gangguan tersebut umumnya terjadi pada
kehamilan 6-10 minggu (Krisanty, 2011)
Tempat-tempat implantasi dari kehamilan ektopik yaitu 1) pada peritoneum yang
membungkus usus atau di mana saja dalam pelvis, menciptakan suatu kehamilan
abdominal; 2) dalam ampula; 3) dalam serviks; 4) dalam sudut kornu uteri; 5) dalam
pars interstitialis tuba uterina; 6) dalam ligamentum teres uteri;7) dalam pars ismik
tuba; 8) dalam ovarium; 9) dalam influndibulum tuba.
2. Gejala
Menurut Krisanty dkk (2011), gejala kehamilan ektopik adalah:

a. Nyeri perut mendadak di perut bagian bawah pada wanita amenore selama 6-10
minggu. Intesitasnya mungkin bervariasi dari ringan sampai berat dan
menyebabkan pingsan.
b. Pendarahan pervaginam, biasaya tidak banyak dan berwarna kecoklatan
c. Arnenore, penting untuk meneliti sifat menstuasi terakhir guna membedakan KET
dari pendarahan pervaginam oleh sebab patologik lainnya.
Sementara menurut Bresler dan Sternbach (2006), tanda pada kehamilan ektopik
adalah
a. Tanda-tanda hipotensi jika sudah terjadi perdarahan intraabdomen atau per vaginam
yang signifikan
b. Masa di adneksa
c. Uterus mungkin agak membesar
d. Subunit- human chorionic gonadotropin (-HCG) dalam darah atau urin
meninggi.
Pemeriksaan ini akan mendeteksi kehamilan bila mentruasi terlambat
e. Jika uji kehamilan spesifik -HCG positif, dan jika pasien secara hemodinamik
stabil, hendaknya dilakukan pemeriksaan USG. Bila tidak ditemukan kehamilan
intrauteri pada seorang pasien yang uji kehamilannya positif, ada kecurigaan kuat
kehamilan ektopik. Deteksi massa admeksa tidak perlu untuk menduga diagnosis.
Namun, pada beberapa kasus, massa adneksa atau darah di culde-sac dapat
dideteksi.
f. Kehamilan intrauteri mungkin tidak dapat terdeteksi dengan ultrasonografi sebelum
6 mnggu dari menstruasi terakhir (empat minggu setelah konsepsi). Oleh karena itu,
ultrasonografi pada waktu kehamilan yang amat dini tidak akan dapat membedakan
kehamilan intrauteri dan ektopik
g. Pada kasus-kasus yang membingungkan, atau jika pasien amat tidak stabil untuk
menjalani
ultrasonografi,
kuldosentesis
mungkin
bermanfaat
dengan
memperlihatkan darah yang tidak membeku akibat kehamilan ektopik yang pecah.
3. Pemeriksaan fisik
Menurut Krisanty dkk (2011), pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan:
a. Tanda-tanda perdarahan per vaginam
b. Tanda-tanda akut abdomen : perut agak membesar, tegang dan nyeri tekan
c. Pemeriksaan dalam:
1) Nyeri bila serviks digerakkan
2) Tumor disamping uterus dengan batas tak tegas
3) Kavum Douglas menonjol dan nyeri tekan

d. Pada pemeriksaan laboratorium : Kadar Hb menurun


4. Penatalaksanaan
KET merupakan keadaan gawat darurat dan memerlukan tindakan bedah. Karena itu
penderita yang tersangka KET harus segera dirujuk ke rumah sakit agar segera
mendapat pertolongan. Tindakan dilakukan di tingkat pelayanan dasar adalah sebagai
berikut :
a. Bila pasien dalam keadaan syok
1) Perbaiki keadaan umum, dengan memasang cairan infus ( Nacl 0,9, ringer
laktat atau dekstrosa 5 % pada kedua sisi dengan tetesan cepat ( guyur ) bila
mungkin lakukan tranfusi darah
2) Bila ada pasang oksigen dengan kecepatan 1-2 liter/menit
3) Bila tekanan darah sistolik sulit mencapai 90 mmHg, pasien tetap dirujuk
disertai petugas yang mampu melakukan pertolongan dan mempertahankan
keadaaan umum, menjaga cairan infus agar tetap. Lancar aliran dan
memperhatikan tanda-tanda vital.
4) Siapkan keluarga pasien yang dapat mendampingi dan sekaligus menajdi calon
donor darah, pasienj diminta puasa untuk mempersiapkan operasi.
b. Bila pasien tidak dalam keadaan syok
1) Pertahankankan keadaan umum pasien dengan pemberian cairan yang cukup
2) Siapkan surat rujukan dan segera rujuk ke rumah sakit yang mampu melakukan
tindakan bedah
3) Selama dalam perjalanan didampingi oleh calon donor darah dari keluarga
pasien di samping petugas yang dapat memantau pekembangan pasien dengan
ketat ( TTV dan jumlah cairan yang masuk dan keluar ) pasien diminta puasa
untuk persiapan operasi.
D. Mola Hidatosa
1. Definisi
Mola hidatosa adalah kehamilan abnormal yang terdiri atas gelembung- gelembung
mola berisi cairan cairan dan menyerupai buah anggur. Nama lainya adalah kehamilan
anggur. Kelainan ini dapat mengalami proses keganasan, karena itu perlu ditanggani
dengan baik dan tuntas (Krisanty dkk, 2011). Mola hidatidosa adalah suatu keadaan
patologik
dari
korion
yang
ditandai
dengan:
(Taber,
1994)
a. Degenerasi kistik dari vili, disertai pembengkakan hidropik
b. Avaskularitas, atau tidak adanya pembuluh darah janin
c. Proliferasi jaringan trofoblastik
2. Gejala
Menurut Krisanty dkk (2011), gejala moda adalah:

a. Amenore dan tanda-tanda kehamilan muda yang lebih hebat dari kehamilan biasa.
b. Pendarahan sedikit atau banyak, tidak teratur, warna tengguli tua kecoklatan seperti
bumbu rujak, kadang-kadang keluar gelembung mola seperti anggur.
c. Uterus lebih besar dibandingkan dengan usia kehamilan dan terasa lembek
d. Tidak ada gerakan atau denyut jantung janin
e. Kadang-kadang disertai hiperemesis gravidarum, anemia dan tanda-tanda
preeklampsia, biasanya sebelum kehamilan 24 minggu.
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Menurut Taber (1994), pemeriksaan fisik didapatkan:
a. Pemeriksaan umum: pasien tampak dehidrasi dan kurus apabila terdapat muntah
dan kehilangan berat badan yang hebat. Tekanan darah mungkin meningkat bila
terjadi preeklampsia (12-20% pasien). Tidak jarang, kelenjar tiroid membesar, dan
terjadi takikardia yang mungkin berhubungan dengan hipotiroidisme
b. Pemeriksaan abdomen : Pada hampir 50% pasien uterus lebih besar dari yang
diperkirakan dari lamanya amenore. Pada 25% pasien uterus lebih kecil dari yang
diperkirakan. Bunyi jantung janin tidak ada
c. Pemeriksaan pelvis : Pada pemeriksaan dengan spekulum, darah atau vesikelvesikel yang menyerupai buah anggur dapat terlihat di dalam vagina atau ostium
uteri. Pemeriksaan bimanual memastikan ukuran uterus. Kira-kira 15-25 persen
pasien mengalami pembesaran kistik teka-lutein ovarium sampai 8 cm atau lebih
Sementara pada pemeriksaan laboratorium didapatkan : (Taber, 1994)
a. Hitung darah lengkap dengan apusan darah : Lazimnya ditemukan anemia
defisiensi besi, eritropoesis megaloblastik jarang
b. Urinalisis biasanya normal. Proteinuria memberi kesan adanya kaitan dengan
preeclampsia

4. Penatalaksanaan
Menurut Krisanty dkk (2011), tindakan yang dilakukan:
a. Bila pendarahan banyak dan keluar jaringan mola :
1) Atasi syok dan perbaiki keadaan umum penderita dengan pemberian dengan
pemberian cairan NaCL 0,9 N atau glukosa 5 % atau ringer laktat pada kedua
sisi lengan dengan tetesan cepat ( diguyur ). Pasang 02 dengan kecepatan aliran
1-2 liter/ menit.
2) Siapkan darah atau calon donor darah
3) Siapkan surat rujuakan,kedaraan dan pengantar

4) Walaupun keadaan penderita tidak membaikdan tekanan darah sistolik belum


mencapai 90 mmHg, pasien tetap terpasang dan didampingi oleh petugas yang
dapat melakukan pertolongan. Selama dalam perjanan tetap diawasi tanda-tanda
vital yaitu kelancaran pernafasan, tekanan darah dan nadi.
b. Kalau perdarahan tak banyak dan penderita tidak dalam keadaan syok:
1) Pertahankan keadaan umum penderita
2) Perhatian tanda-tanda vital kehidupan
3) Pasang infus dan O2
4) Persiapkan rujukan seperti penjelasan diatas
E. Plasenta Previa
1. Definisi
Pada keadaan normal plasenta, plasenta berimplantasi di bagian fundus uterus. Plasenta
previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah uterus
sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir (Krisanty dkk, 2011).
Plasenta previa adalah tertanamnya bagian plasenta dalam segmen bawah uterus. Istilah
ini menggambarkan hubungan anatomik antara letak plasenta dan segmen bawah
uterus. Suatu plasenta previa telah melewati batas atau menutupi (secara lengkap atau
tidak lengkap) ostium uteri internum (Taber, 1994).
2. Klasifikasi
Menurut Taber (1994) dan Krisanty dkk (2011), klasifikasi plasenta previa adalah:
a. Plasenta previa totalis dikatakan demikian bila setiap bagian dari plasenta secara total
menutupi osteum uteri internum
b. Plasenta previa parsialis dikatakan demikian bila bagian dari plasenta menutupi
sebagian osteum uteri internum
c. Plasenta previa marginalis disebut demikian bila sebagian dari plasenta melekat pada
segmen bawah uterus dan meluas ke setiap bagian osteum uteri internum, tetapi
tidak menutupinya.
3. Etiologi
Menurut Krisanty dkk (2011), apabila sebab terjadinya implantasi plasenta di daerah
segmen bawah uterus tidak dapat dijelaskan. Namun demikian, terdapat beberapa faktor
yang berhubungan dengan peningkatan kekerapan terjadinya plasenta previa, yaitu:
a. Paritas. Makin banyak paritas ibu, makin besar kemungkinan mengalami plasenta
previa
b. Usia ibu pada saat hamil. Bila usia ibu pada saat hamil 35 tahun atau lebih, makin
besar kemungkinan kehamilan mengalami plasenta previa
4. Manifestasi klinik

Menurut Krisanty dkk (20110, gambaran klinik pada plasenta previa adalah:
a. Perdarahan yang terjadi bisa sedikit atau banyak. Perdarahan yang terjadi pertama
kali, biasanya tidak banyak dan tidak berakibat fatal. Perdarahan berikutnya hampir
selalu lebih banyak dari sebelumnya. Perdarahan pertama sering terjadi triwulan
ketiga
b. Pasienyang datang dengan perdarahan karena plasenta previa tidak mengeluh adanya
rasa sakit
c. Pada uterus tidak teraba keras dan tidak tegang
d. Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul dan tidak jarang
terjadi letak janin (letak lintang atau letak sungsang)
e. Janin mungkin masih hidup atau sudah mati, tergantung banyaknya perdarahan.
Sebagian besar kasus, janinnya masih hidup

5. Pemeriksaan fisik dan laboratorium


Menurut Taber (1994), pemeriksaan fisik meliputi:
a. Pemeriksaan abdomen : uterus halus dan tidak lunak: biasanya tidak ada kontraksi
uterus. Bunyi jantung janin biasanya normal. Bagian presentasi tidak tercekap pada
pintu atas panggul (pelvic inlet). Kelainan letak janin (bokong, oblik atau lintang)
merupakan suatu temuan yang sering berkaitan
b. Pemeriksaan pelvis : Pada permulaan vulva harus diperiksa dengan teliti dengan
tujuan mengevaluasi kuantitas perdarahan eksterna dan kemungkinan perdarahan
traktus urinarius atau rektum. Pemeriksaan per vaginam atau rektal dapat
merangsang perdarahan hebat. Oleh karena itu pemeriksaan per vaginam tidak
pernah dilakukan kecuali pasien berada di dalam sebuah kamar operasi yang telah
dipersiapkan untuk seksio sesarea segera. Apabila perdarahannya minimal dan
tampaknya bukan plasenta previa, pemeriksaan yang hati-hati dengan spekulum
dapat menyingkap kemungkinan perdarahan vaginal atau serviks (sebagai akibat
rupturnya varises, erosi serviks, atau tumor-tumor serviks)
Sementara pemeriksaan laboratorium di dapatkan:
a. Hitung darah lengkap harus dilakukan terhadap setiap pasien dengan tujuan menilai
derajat anemia
b. Urinalisis biasanya normal
c. Golongan darah dan Rhesus: 2 sampai 4 unit darah harus dipersiapkan untuk
kemungkinan transfusi. Kecepatandan luasnya perdarahan menentukan perlunya
penggantian darah.
6. Penatalaksanaan

Sumber: Krisanty dkk. (2013). Asuhan keperawatan gawat darurat. Jakarta : CV. Trans
Info Media
Menurut Blesler dan Sternbach (2006), terapi yang diberikan adalah:
a. Perdarahan fatal dapat terjadi. Infus IV harus dipasang, pemeriksaan pembukan darah
dimintakan, darah diperiksa golongan darah dan pencookan silang, dan resusitasi
cairan diberikan jika diperlukan
b. Seksia sesarea darurat mungkin terindikasi jika terjadi perdarahan yang signifikan.
Konsultasi obstetri harus diperoleh
F. Solusio plasenta
1. Definisi
Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri
sebelum janin lahir. Biasanya perdarahan terjadi dalam triwulan ketiga, walaupun dapat
pula terjadi setiap saat dalam kehamilan. Perdarahan yang terjadi akibat terlepasnya
plasenta dapat menyeludup ke luar dibawah selaput ketuban yaitu solusio plasenta
dengan perdarahan ke luar; atau tersembunyi di belakang plasenta yaitu pada solusio
plasenta dengan perdarahan tersembunyi; atau kedua-keduanya atau pendarahan ke
dalam kantong ketuban (Krisanty dkk, 2011).
2. Etiologi
Menurut Krisanty dkk (2011), penyebab terjadinya solusio plasenta hingga kini belum
diketahui dengan jelas, walaupun demikian diketahui bahwa beberapa keadaan tertentu
dapat menyertai kejadian solusio plasenta seperti:
a. Umur ibu yang tua
b. Multiparitas
c. Penyakit hipertensi menahun
d. Preeklampsia dan eklampsia
e. Trauma
f. Tali pusat pendek
g. Tekanan pada vena kava inferior
h. Defisiensi asam folat
3. Klasifikasi
Menurut Krisanty dkk (2011), secara klinis solusio plasenta dapat dibagi ke dalam tiga
bagian yang klasifikasinya dibuat berdasarkan tanda-tanda kliniknya, sesuai dengan
derajat terlepasnya plasenta. Plasenta dapat terlepas seluruhnya : solusio plasenta
totalis, atau terlepas sebagian: solusio plasenta paralisis atau hanya sebagian kecil tepi
plasenta yang disebut ruptura sinus marginalis.
a. Solusio plasenta ringan

Pendarahan yang terjadi sedikit sehingga tidak berpengaruh terhadap keadaan ibu
dan janinnya. Uterus yang teraba agak tegang pada pemeriksaan masih
memungkinkan untuk meraba bagian-bagian janin.
b. Solusio plasenta sedang
Plasenta yang telah lepas lebih dari seperempatnya, tetapi belum mencapai dua
pertiga luas permukaannya menimbulkan tanda dan gejala yang lebih berat seperti
sakit perut yang terus-menerus dan merupakan kelanjutan dari solusio plasenta
ringan. Mungkin pendarahan yang tampil sedikit, tetapi sebenarnya pendarahan
yang terjadi lebih mencapai 1000 ml sehingga ibu mengalami renjatan (syok) dan
janin yang mungkin masih hidup dalam keadaan gawat. Bagian-bagian janin pada
keadaan ini sulit diraba. Tanda-tanda persalinan biasanya telah ada. Mungkin juga
telah terjadi komplikasi berupa gangguan pembekuan darah.
c. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari dua sepertiga permukaannya dan biasanya terjadi
dengan tiba-tiba. Ibu tampil dengan keadaan syok dan janin telah meninggal. Uterus
sangat
tegang
seperti
papan
dan
sangat
nyeri.
Pendarahan pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibunya, bahkan
kadang-kadang pendarahan pervaginam belum sempat terjadi.
4. Pemeriksaan fisik
Menurut Krisanty dkk (2011), periksalah tanda-tanda vital pasien yaitu kesadaran,
tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu badan. Adakah tanda-tanda yang
menunjukkan adanya renjatan (keadaan syok) seperti penurunan kesadaran, tekanan
darah yang rendah, nadi yang cepat serta keringan dan ujung-ujung anggota gerak yang
dingin akibat perdarahan.
Pemeriksaan obstetric:
a. Tentukan besar uterus apakah sesuai dengan usia kehamilan
b. Tentukan rahim lemas atau keras (tegang)
c. Tentukan adanya his dan bagaimana kondisi his
d. Periksa kondisi janin: jumlahnya, letaknya, presentasinnya dan sudah masuk pintu
atas panggul atau belum, taksiran beratnya, janin hidup, gawat atau mati
e. Lihat daerah vulva (di luar vaginaarahan), apakah ada perdarahan. Bila ada
perdarahan, berapa banyak jumlah perdarahan? Bagaimana warnanya?
5. Penatalaksanaan
a. Penanganan di tempat
1) Anjurkan:
a) Tirah baring total
b) Hindari peningkatan tekanan rongga perut (misal batuk, mengendan karena
sulit buang air besar)

2) Cegah atau atasi syok/presyok dengan memasang set infus dengan cairan NaCl
fisiologik (0,9%) bila ada orang yang bisa mengamati pemberian cairan kepada
pasien di puskesmas. Pemberian cairan infus diteruskan sampai perdarahan
berhenti. Jika tidak memungkinkan dilakukan pemberian infus, maka harus
diberikan cairan per oral.
3) Berikan transfusi darah bila keadaan memungkinkan
b. Penanganan di rumah sakit (rujukan)
Sesuai dengan penatalaksanaan kasus perdarahan pada umumnya, prinsip utama
penanganannya adalah mengatasi keadaan syok atau menjamin sirkulasi ibu
seoptimal mungkin. Pengakhiran kehamilan dilakukan dengan memperhatikan
kondisi janin serta besarnya pembukaan bila telah terjadi proses persalinan (Krisanty
dkk, 2011)

G. Preeklampsia
1. Definisi
Preeklampsia merujuk pada kompleks gejala pada kehamilan yang meliputi edema,
proteinuria, dan hipertensi (>140/>90 atau peningkatan 30 mmHg sistolik atau 15
mmHg diastolik di atas nilai normal) (Bresler & Sternbach, 2006). Sementara menurut
Taber (1994), preeklampsia merupakan berkembangnya hipertensi dengan proteinuria
atau edema atau keduanya yang disebabkan oleh kehamilan atau dipengaruhi oleh
kehamilan yang sekarang. Biasanya keadaan ini timbul setelah umur kehamilan 20
minggu tetapi dapat pula berkembang sebelum saat tersebut pada penyakit trofoblastik.
Preeklampsia merupakan gangguan yang terutama terjadi pada primigravida.
2. Manifestasi klinik
Menurut Taber (1994), data subjektif yang didapatkan adalah:
a. Kenaikan berat badan yang timbul secara cepat dalam waktu yang singkat
menunjukkan adanya retensi cairan dan dapat merupakan gejala paling dini dari
preeklampsia. Pasien sadar akan edema yang menyeluruh, terutama
pembengkakan pada muka dan tangan. Keluhan yang umum adalah sesaknya
cincin pada jari-jarinya. Sebagai usaha untuk membedakan edema kehamilan,
proses jinak, dari preeklampsia, tekanan darah pasien harus diketahui.
b. Sakit kepala : Meskipun sakit kepala merupakan gejala yang relatif biasa selama
kehamilan, sakit kepala dapat juga menjadi gejala awal dari edema otak. Sebagai
konsekuensinya, tekanan darah pasien harus ditentukan
c. Gangguan penglihatan mngkin merupakan gejala dari preeklampsia berat dan
dapat menunjukkan spasme arteriolar retina, iskemia, edema, atau pada kasuskasus yang jarang, pelepasan retina

d. Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas menunjukkan pembengkakan hepar


yang berhubungan dengan preeklampsia berat atau menandakan ruptur hematoma
subkapsuler hepar
3. Pemeriksaan fisik
Menurut Taber (1994), pemeriksaan fisik meliputi:
a. Pemeriksaan umum
1) Tekanan darah meningkat
2) Edema menunjukkan retensi cairan. Edema yang dependen merupakan
kejadian yang normal selama kehamilan lanjut. Edema pada muka dan tangan
tampaknya lebih menunjukkan retensi cairan yang patologik
3) Kenaikan berat badan yang cepat merupakan suatu petunjuk dari retensi cairan
ekstravaskular
4) Pemeriksaan retina : Spasme arteriolar dan kilauan retina dapat terlihat
5) Pemeriksaan thorak : karena edema paru merupakan satu dari komplikasi
serius dari preeklampsia berat, paru-paru harus diperiksa secara teliti
6) Refleks tendon profunda (lutut dan kaki) : Hiperfleksia dan klonus merupakan
petunjuk dari peningkatan iritabilitas susunan saraf pusat dan mungkin
meramalkan suatu kejang eklampsia

b. Pemeriksaan abdomen
Rasa sakit daerah hepar merupakan suatu tanda potensial yang tidak
menyenangkan dari preeklampsia berat dan dapat meramalkan ruptur dari hepar.
Pemeriksaan uterus penting untuk menilai umur kehamilan, adanya kontraksi
uterus dan presentasi janin
c. Pemeriksaan pelvis
Keadaan serviks dan stasi dari bagian terbawah merupakan pertimbangan yang
penting dalam merencanakan kelahiran per vaginam atau per abdominan
4. Penatalaksanaan
Menurut Taber (1994), penatalaksanaannya adalah:
a. Preeklampsia ringan
Bila aterm, kelahiran dianjurkan untuk mencegah komplikasi ibu dan janin.
Sebelum aterm, tirah baring di rumah sakit biasanya dianjurkan sebagai usaha
untuk mempertahankan pasien dalam pengawasan yang cermat. Tekanan darah
diperiksa 4 kali sehari. Berat badan, protein urine dan keluaran urin diperiksa
setiap hari. Sebagai tambahan, jumlah trombosit, pengukuran estriol, nonstress
test dan sonografi membantu dalam evaluasi kesehatan ibu dan janin.

b. Preeklampsia berat
Pasien dirawat-inapkan dengan posisi tidur miring (lateral recumbent position)
untuk meningkatkan filtrasi glomerulus. Tekanan darah, berat badan, protein
urine, masukan dan keluaran dipantau dengan ketat. Tes-tes diagnostik dasar
mengevaluasi beratnya proses penyakit dan keadaan janin.
a) Terapi anti kejang : biasanya magnesium sulfat dianjurkan untuk mencegah
kejang terutama selama persalinan. Dosis awal 4 g dilarutkan dalam 100 ml
dekstrosa 5% dan diberikan intravena dalam waktu 10 sampai 30 menit.
Kemudian diikutidengan 1 sampai 2 g per jam dalam infus intravena yang
diencerkan. Efek terapi magnesium sulfat dapat diperiksa secara klinis dengan
aktivitas refleks patela. Refleks dan klonus kaki yang hiperaktif memberi
kesan kebutuhan pengobatan yang meningkat. Tidak adanya refleks
menunjukkan bahwa kecepatan infus harus dilambatkan atau dihentikan,
karena hilangnya refleks patela merupakan tanda pertama dari keracunan
magnesium. Aliran urin dan pernapasan harus dipantau secar ketat
b) Jika terjadi depresi pernapasan, 10 ml larutan kalsium glokunas 10% intravena
dalam waktu 3 menit dianjurkan sebagai antidotum terhadap keracunan
magnesium
c) Terapi anti hipertensi : Jika tekanan darah secara tiba-tiba meningkat di atas
170 hingga 180 mmHg sistolik atau 110 hingga 120 mmHg diastolik,
hidralazin dianjurkan untuk mengurangi risiko perdarahan otak dan mungkin
memperbaiki aliran darah ke ginjal. Dosis awal 5 mg diberikan intravena dan
tekanan darah dipantau setiap 5 menit. Jika tekanan diastolik tidak turun di
bawah 100 mmHg dalam 20 menit, diberikan dosis ulangan 5 hingga 10 mg.
Dosis ini diulangi setiap interval 20 menit sampai tekanan diastolik turun
menjadi 100 mmHg. Tekanan darah yang turun terlalu cepat dapat
mengganggu perfusi plasenta dan bahaya terhadap janin meningkat

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa mengenal kasus
kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting agar pertolongan yang cepat dan tepat
dapat dilakukan. Kegawatdaruratan dalam bentuk obstetri dapat muncul dalam beberapa
bentuk, diantaranya:
1. Perdarahan postpartum
Perdarahan postpartum didefinisikana sebagai hilangnya darah 500 ml atau lebih dari
organ-organ reproduksi setelah selesainya kala tiga persalinan (ekspulsi atau ekstaksi
plasenta dan ketuban). Perdarahan postpartum dibagi menjadi dua yaitu primer
(perdarahan dalam 24 jam pertama setelah melahirkan) dan sekunder (perdarahan
terjadi setelah 24 jam pertama). Terapinya bergantung penyebab perdarahan, tetapi
selalu dimulai dengan pemberian infus dengan ekspander plasma, sediakan darah yang
cukup untuk mengganti yang hilang, dan jangan memindahkan penderita dalam
keadaan syok yang dalam.
2. Abortus
Abortus adalah keluarnya hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup di luar
kandungan, atau keluarnya janin dengan berat kurang dari 500 gram atau umur
kehamilan kurang dari 20 minggu. Abortus terdiri dari abortus iminens, abortus
insipiens, abortus inkompletus, abortus kompletus dan lain-lain.
3. Kehamilan ektopik terganggu
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi dan tumbuh di luar endometrium
cavum uteri. Sebagian besar implantasi hasil konsepsi pada kehamilan ektopik terjadi
pada tuba falopi. KET merupakan keadaan gawat darurat dan memerlukan tindakan

bedah. Karena itu penderita yang tersangka KET harus segera dirujuk ke rumah sakit
agar segera mendapat pertolongan
4. Mola hidatosa
Mola hidatosa adalah kehamilan abnormal yang terdiri atas gelembung- gelembung
mola berisi cairan cairan dan menyerupai buah anggur. Nama lainya adalah kehamilan
anggur.
5. Plasenta previa
Pada keadaan normal plasenta, plasenta berimplantasi di bagian fundus uterus. Plasenta
previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah uterus
sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir

6. Solusio plasenta
Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri
sebelum janin lahir. Biasanya perdarahan terjadi dalam triwulan ketiga, walaupun dapat
pula terjadi setiap saat dalam kehamilan. Sesuai dengan penatalaksanaan kasus
perdarahan pada umumnya, prinsip utama penanganannya adalah mengatasi keadaan
syok atau menjamin sirkulasi ibu seoptimal mungkin. Pengakhiran kehamilan
dilakukan dengan memperhatikan kondisi janin serta besarnya pembukaan bila telah
terjadi proses persalinan
7. Preeklampsia
Preeklampsia merupakan berkembangnya hipertensi dengan proteinuria atau edema
atau keduanya yang disebabkan oleh kehamilan atau dipengaruhi oleh kehamilan yang
sekarang. Biasanya keadaan ini timbul setelah umur kehamilan 20 minggu tetapi dapat
pula berkembang sebelum saat tersebut pada penyakit trofoblastik. Preeklampsia
merupakan gangguan yang terutama terjadi pada primigravida
B. Saran
Kasus kegawatdaruratan merupakan hal yang saat ini mendapat perhatian yang begitu
besar. Oleh karena itu, diharapkan seluruh pihak memberikan kontribusinya dalam
merespon kasus kegawatdaruratan ini. Bagi mahasiswa, sudah seyogyanya memberikan
peran dengan mempelajari dengan sungguh-sungguh kasus-kasus kegawatadaruratan dan
memaksimalkan keterampilan dalam melakukan penanganan kegawatdaruratan yang
berada dalam koridor wewenang perawat.

MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN MATERNITAS

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6 KELAS P5

MUHAMMAD ARHAM SABRI


ILHAM HABIB
KETUT DEDI S.
TAMRIN
NOVA ASTUTI GAMA
HIRMAWATI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES MANDALA WALUYA
KENDARI
2016

Вам также может понравиться