Вы находитесь на странице: 1из 10

MAKALAH

AL-AMR AN-NAHYU

Oleh :
MUHAMMAD RAPLI (04164444)
SLAMET RIYADI (04164452)
Kelas:
D/Kp/1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKes SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, 21 September 2016

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gaya bahasa Al-Quran dan As-Sunnah sangat berlainan dengan gaya bahasa
modern yang ada pada masa kini karena Al-Quran dan As-Sunnah disampaikan
dalam bahasa Arab. Kandungan Al-Quran bukan saja kepada perintah, larangan dan
akibat hukumnya saja, tetapi juga dalam bentuk ajakan serta seruan moral untuk
kesadaran setiap individu. Seruan mungkin berbentuk bujukan, kelebihan, peringatan,
kebaikan dan keburukan membuat atau meninggalkan suatu perintah juga balasan atau
ancaman di akhirat kelak. Suruhan atau larangan dalam Al-Quran terdapat dalam
berbagai bentuk.
Dalam matematika kita mengenal theorema phytagoras, dalam fisika lebih banyak
lagi hukum yang kita kenal dan diakui sebagai kaidah umum yang berlaku dalam
suatu bidang tertentu dari cabang ilmu fisika. Dalam kimia pun demikian, kita
mengenal adanya hukum kekekalan massa dan masih banyak hukum atau teori lain
yang berlaku. Hukum atau teori tadi dikembangkan oleh para ilmuwan melalui
serangkaian percobaan dan pengujian sehinggan diperoleh kesimpulan umum yang
kemudian diakui sebagai kaidah dalam ilmu tersebut. Sampai adanya teori baru yang
lebih kuat, teori-teori tersebut akan tetap digunakan sebagai kaidah yang diakui dan
dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dari situ kita bisa melihat betapa kaidah/teori/hukum dalam suatu bidang
keilmuan tertentu memiliki peran yang sangat penting bagi manusia, dalam hal
duniawi tentunya. Lalu, apakah Islam juga memiliki kaidah-kaidah seperti itu?
Kaidah-kaidah atau hukum-hukum yang menjadi dasar bagi pengalaman syariat
Islam? Nabi Muhammad SAW. Bersabda: Tinggalkanlah sesuatu yang aku tidak
anjurkan kepadamu. Kebinasaan umat terdahulu ialah karena mereka banyak
bertanya dan selalu menyelisihi Nabi mereka. Jadi, apabila aku melarangmu dari
sesuatu, tinggalkanlah, dan apabila aku perintahkan sesuatu kepadamu, lakukanlah
semampumu (HR. Bukhari No. 7288 dan Muslim No. 1337).
Oleh karena itu, agama Islam juga mempunyai kaidah-kaidah atau hukum-hukum
yang menjadi dasar bagi pengalaman syariat Islam, dan semua itu terkandung dalam
ilmu Ushul Fiqih. Ilmu Ushul Fiqih menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya

untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah


Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab
tersebut, para ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam
praktek penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai
cara dan dalam beberapa tingkat kejelasannya.
Dalam makalah ini, kami akan membahas terkait dengan metode istinbath bila
dilihat dari segi kebahasaan yang berbentuk amr (perintah) dan nahi (larangan).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengetahui pengertian Al-Amr dan An-Nahyu.
2. Mengetahui hukum Al-Amr dan An-Nahyu.
3. Mengetahui kategori Al-Amr.
4. Mengetahui ragam pemakaian An-Nahyu.

C. TUJUAN
Setelah melakukan perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mengetahui pengertian
Al-Amr dan An-Nahyu beserta makna dan kandungannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Amr
Pengertian Al-Amr secara bahasa berarti menuntut untuk mengerjakan sesuatu
atau membuatnya. Adapun menurut istilah berarti suatu lafal yang digunakan oleh
orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut kepada orang yang lebih
rendah derajatnya untuk melakukan suatu perbuatan.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa Al-Amr bisa diartikan sebagai
perintah dari atas ke bawah untuk menuntut suatu perbuatan untuk dilaksanakan.
Lafal Al-Amr adalah lafal yang menunjukkan pengertian wajib selama Al-Amr itu
berada dalam kemutlakannya. Selama tidak ada dalil atau qarinah lain yang memberi
implikasi arti lain.

a. Hukum Dasar Al-Amr


1. Asal dari suatu perintah itu adalah menunjukkan wajib.
2. Makna wajib bisa berpaling dari makna wajib ke makna lain, apabila terdapat
petunjuk (qarinah) yang menghendaki makna lain tersebut, baik qarinah tersebut
berupa susunan bahasa ataupun tuntutan maknanya secara keseluruhan maupun
karena nash lain yang menuntut perpalingan makna.
3. Asal dari suatu perintah tidak menuntut adanya pengulangan, kecuali bila terdapat
dalil yang menunjukkan kebalikannya. Misalnya pada QS. Al-Maidah (5:6): Dan
jika kamu junub, maka mandilah. Perintah mandi berlaku berulang bila
penyebabnya yaitu junub berulang.

b. Bentuk-bentuk Al-Amr
1. Menggunakan kata kerja perintah (fiil al-amr), seperti pada QS. An-Nisa (4:4):
Dan berikanlah kepada perempuan (dalam perkawinan) mas kawinnya dengan
ikhlas, tetapi jika dengan senang hati mereka memberikan sebagian darinya
kepadamu, terimalah dan nikmatilah pemberiannya dengan senang hati.
2. Menggunakan fiil al-mudhari dengan didahului lam al-amr, seperti dalam QS.
Ali-Imran (3:104): Hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang
mengajak kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat yang maruf dan melarang
perbuatan mungkar. Mereka inilah orang yang beruntung.

3. Bentuk isim fiil al-amr, seperti pada QS. Al-Maidah (5:105): Hai orang-orang
yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi
mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah
kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.
4. Masdar pengganti fiil, seperti pada QS. Al-Baqarah (2:83): Dan ingatlah ketika
kami menerima ikrar dari Bani Israil: tidak akan menyembah selain Allah,
berbuat baik kepada orang tua dan kerabat, kepada anak yatim dan orang miskin
dan berbudi bahasa kepada semua orang; dirikanlah shalat dan tunaikan zakat.
Tetapi kemudian kamu berbalik, kecuali sebagian kecil diantara kamu dan kamu
(masih juga) menentang.
5. Kalimat berita yang mengandung arti perintah atau permintaan, seperti pada QS.
Al-Baqarah (2:228): Perempuan-perempuan yang dicerai harus menunggu tiga
kali quru.
6. Kalimat yang mengandung kata amr, fardhu, kutiba,ala yang berarti perintah.

c. Kategori Al-Amr
1. Al-Amr menunjukkan wajib, seperti pada QS. An-Nisa (4:77): Dirikanlah shalat
dan keluarkanlah zakat. Ayat tersebut menunjukkan shalat adalah wajib bagi
setiap muslim dan yang meninggalkannya adalah dosa.
2. Al-Amr menunjukkan sunnah, seperti pada QS. An-Nur (24:33): Buatlah
perjanjian yang demikian, jika kamu ketahui mereka baik. Ayat ini menunjukkan
perintah tanpa kewajiban, tetapi baik sekali bila dikerjakan.
3. Al-Amr tidak menghendaki pengulangan pelaksanaan, seperti pada QS. AlBaqarah (2:196): Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.
Ayat ini mengandung pengertian bahwa mengerjakan haji dan umrah itu
diwajibkan satu kali saja seumur hidup.
4. Al-Amr menghendaki pengulangan, seperti pada QS. Al-Maidah (5:6): Dan bila
kamu sedang dalam keadaan junub maka bersihkan dengan mandi penuh.
5. Al-Amr tidak menghendaki tidak menghendaki kesegeraan, seperti pada QS. AlBaqarah (2:184): Jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan,
maka (berpuasalah) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.

6. Al-Amr menghendaki kesegeraan, seperti pada QS. Al-Baqarah (2:148): Masingmasing mempunyai tujuan, kesanalah Ia mengarahkannya; maka berlombalah
kamu dalam mengejar kebaikan.
7. Perintah yang datang setelah larangan bermakna mubah, seperti pada QS. AlMaidah (5:2): Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu langgar
lambang-lambang Allah. Tetapi bila kamu selesai menunaikan ibadah haji,
berburulah.

B. Pengertian An-Nahyu
An-Nahyu berarti larangan atau cegahan dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya, yaitu dari Allah
kepada manusia.

a. Hukum lafazh An-Nahyu


1. Asal dalam larangan adalah menunjukkan haram.
2. Makna haram bisa berpindah kemakna lain apabila ada petunjuk (qarinah) yang
menghendaki peralihan kemakna lain tersebut, baik qarinahnya itu berupa tuntutan
makna yang dapat dipahami dari susunan bahasanya, maupun dari nash lain yang
menunjukkan tuntutan terhadap perpaingan makna itu.
3. Lafazh An-Nahyu menghendaki larangan secara kekal dan spontan. Sebab yang
dilarang itu tidak terwujud kecuali apabila larangan itu bersifat kekal. Para ahli
ushul menyebutkan: Menurut asalnya an-nahyu (larangan) yang mutlak itu
menuntut kesinambungan untuk semua masa.

b. Bentuk-bentuk An-Nahyu
1. Fiil an-nahyu, seperti pada QS. Al-Isra (17:31-34): Janganlah kamu bunuh
anak-anakmu karena takut kekurangan... Dan janganlah kamu mendekati
perbuatan zina; sungguh itu perbuatan keji dan jalan yang buruk. Dan janganlah
kamu menghilangkan nyawa yang diharamkan oleh Allah, kecuali demi
kebenaran... janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali untuk
memperbaikinya, sampai ia mencapai umur dewasa.
2. Menggunaka lafazh utruk (biarkanlah), seperti pada QS. Ad-Dukhan (44:24):
Dan

biarkanlah

ditenggelamkan.

laut

terbelah,

sebab

mereka

tentara

yang

akan

3. Menggunakan lafazh da (tinggalkanlah), seperti pada QS. Al-Ahzab (33:48):


Dan janganlah engkau turuti orang-orang kafir dan kaum munafik,
tinggalkanlah (janganlah kau hiraukan) gangguan mereka; tetapi tawakallah
kepada Allah; sebab cukuplah Allah sebagai pelindung.
4. Menggunakan lafazh naha (melarang), seperti pada QS. Al-Hasyr (59:7): Apa
yang diberikan Rasul kepadamu terimalah, dan apa yang dilarang tinggalkanlah.
Bertaqwalah kepada Allah; Allah sangat keras dalam menjatuhkan hukuman.
5. Menggunakan lafazh harrama (mengharamkan), seperti pada QS. Al-Araf (7:33):
Katakanlah, Tuhanku mengharamkan segala perbuatan keji, yang terbuka atau
tersembunyi, dosa dan pelanggaran hak orang tanpa alasan; mempersekutukan
Allah, padahal Ia tak memberi kekuasaan untuk itu, dan berkata tentang Allah
yang tidak kamu ketahui.

c. Ragam pemakaian An-Nahyu beserta makna dan tujuannya


1. Larangan yang menunjukkan haram, seperti pada QS. Al-Isra (17:32): Dan
janganlah kamu mendekati zina.
2. Larangan yang menunjukkan makruh, seperti pada QS. Al-Ahzab (33:53): Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi
kecuali bila kamu diizinkan untuk makan untuk tidak menunggu-nunggu waktu
masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu
selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu
kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan)
yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri
Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi
hatimu dan hati mereka.
3. Larangan yang mengandung perintah melakukan yang sebaliknya, seperti pada
QS. Luqman (31:13): Ingatlah ketika Luqman berkata kepada puteranya sambil
ia

memberi

pelajaran,

Hai anakku!

Janganlah

menyekutukan

Allah;

menyekutukan Allah sungguh kedzaliman yang besar.


4. An-Nahyu bermakna doa, seperti pad QS. Al-Baqarah (2:286): Ya Tuhan kami,
janganlah menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan; Ya Tuhan
kami, janganlah memikulkan kepada kami suatu beban berat seperti yang Engkau

bebankan kepada orang yang sebelum kami; Ya Tuhan kami, janganlah


memikulkan kepada kami beban yang tak mampu kami pikul.
5. An-Nahyu bermakna bimbingan, seperti pada QS. Al-Maidah (5:101): Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah tanyakan sesuatu, yang bila diterangkan
menyusahkan kamu.
6. An-Nahyu menegaskan keputusasaan, seperti pada QS. At-Tahrim (66:7): Hai
orang-orang kafir! Janganlah kamu mengemukakan alasan pada hari ini.
Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang telah kamu
kerjakan.
7. An-Nahyu untuk menenteramkan, seperti pada QS. At-Taubah (9:40): Jangan
engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian diatas dapat ditarik simpulan bahwa:
1. Al-Amr adalah bentuk yang mengandung tuntutan dari atas kebawah untuk
melaksanakan suatu perbuatan. Al-Amr jika tidak ada qarinah lain yang
mengalihkan kandungan makna hukum maka ia bersifat yang wajib mutlak, tetapi
bila ada qarinah lain maka kandungan makna dan hukumnya bisa berubah.
2. An-Nahyu adalah tuntutan meninggalkan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi
kepada yang lebih rendah. Hakikatnya adalah larangan yang menunjukkan haram.
Dengan adanya qarinah-qarinah yang bermacam-macam didalamnya, maka AnNahyu dapat mengarah kepada beberapa pengertian.

Вам также может понравиться