Вы находитесь на странице: 1из 11

A.

Peraturan Perundangan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) dan revisinya


Peraturan Perundangan K3 menjadi alat kerja yang sangat penting bagi para Ahli
K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang berguna untuk menerapkan K3
(Keselamatan dan Kesehatan Kerja) dan berikut ini adalah update Kumpulan Peraturan
Perundangan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) revisi terbaru.
1. Undang-Undang K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) :

Undang-Undang Uap Tahun 1930 (Stoom Ordonnantie).

Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 203 tentang Ketenagakerjaan.

2. Peraturan Pemerintah terkait K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) :

Peraturan Uap Tahun 1930 (Stoom Verordening).

Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran,


Penyimpanan dan Peredaran Pestisida.

peraturan Pemerintah No 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan


Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan.

Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 1979 tentang keselamatan Kerja Pada


Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi.

3. Peraturan Menteri terkait K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) :

Permenakertranskop RI No 1 Tahun 1976 tentang Kewajiban Latihan Hiperkes


Bagi Dokter Perusahaan.

Permenakertrans RI No 1 Tahun 1978 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja


dalam Pengangkutan dan Penebangan Kayu.

Permenakertrans RI No 3 Tahun 1978 tentang Penunjukan dan Wewenang Serta


Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli
Keselamatan Kerja.

Permenakertrans RI No 1 Tahun 19879 tentang Kewajiban Latihan Hygienen


Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja bagi Tenaga Paramedis Perusahaan.

Permenakertrans RI No 1 Tahun 1980 tentang Keselamatan Kerja pada Konstruksi


Bangunan.

Permenakertrans RI No 2 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga


Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.

Permenakertrans RI No 4 Tahun 1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan


Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan.

Permenakertrans RI No 1 Tahun 1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat


Kerja.

Permenakertrans RI No 1 Tahun 1982 tentang Bejana Tekan.

Permenakertrans RI No 2 Tahun 1982 tentang Kualifikasi Juru Las.

Permenakertrans RI No 3 Tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja.

Permenaker RI No 2 Tahun 1983 tentang Instalasi Alarm Kebakaran Otomatis.

Permenaker RI No 3 Tahun 1985 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Pemakaian Asbes.

Permenaker RI No 4 Tahun 1985 tentang Pesawat Tenaga dan Produksi.

Permenaker RI No 5 Tahun 1985 tentang Pesawat Angkat dan Angkut.

Permenaker RI No 4 Tahun 1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja.

Permenaker RI No 1 Tahun 1988 tentang Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator


Pesawat Uap.

Permenaker RI No 1 Tahun 1989 tentang Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator


Keran Angkat.

Permenaker RI No 2 Tahun 1989 tentang Pengawasan Instalasi-instalasi Penyalur


Petir.

Permenaker RI No 2 Tahun 1992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban dan


Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Permenaker RI No 4 Tahun 1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan


Kesehatan Kerja.

Permenaker RI No 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja.

Permenaker RI No 1 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan


Kesehatan Bagi Tenaga Kerja dengan Manfaat Lebih Dari Paket Jaminan
Pemeliharaan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Permenaker RI No 3 Tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan


Kecelakaan.

Permenaker RI No 4 Tahun 1998 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan tata


Kerja Dokter Penasehat.

Permenaker RI No 3 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan


Kerja Lift untuk Pengangkutan Orang dan Barang.

4. Keputusan Menteri terkait K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)

Kepmenaker RI No 155 Tahun 1984 tentang Penyempurnaan keputusan Menteri


Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep 125/MEN/82 Tentang Pembentukan,
Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional,
Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Wilayah dan Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum RI No


174 Tahun 1986 No 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Tempat Kegiatan Konstruksi.

Kepmenaker RI No 1135 Tahun 1987 tentang Bendera keselamatan dan Kesehatan


Kerja.

Kepmenaker RI No 333 Tahun 1989 tentang Diagnosis dan Pelaporan Penyakit


Akibat Kerja.

Kepmenaker RI No 245 Tahun 1990 tentang Hari Keselamatan dan Kesehatan


Kerja Nasional.

Kepmenaker RI No 51 Tahun 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di


Tempat Kerja.

Kepmenaker RI No 186 Tahun 1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di


Tempat Kerja.

Kepmenaker RI No 197 Thun 1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya.

Kepmenakertrans RI No 75 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Standar Nasional


Indonesia (SNI) No SNI-04-0225-2000 Mengenai Persyaratan Umum Instalasi
Listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja.

Kepmenakertrans RI No 235 Tahun 2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang


Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak.

Kepmenakertrnas RI No 68 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan


HIV/AIDS di Tempat Kerja.

5. Instruksi Menteri terkait K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja):

Instruksi Menteri Tenaga Kerja No 11 Tahun 1997 tentang Pengawasan Khusus K3


Penanggulangan Kebakaran.

6. Surat Edaran dan Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan


Pengawasan Ketenagakerjaan terkait K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja):

Surat keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan


Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja RI No 84 Tahun 1998
tentang Cara Pengisian Formulir Laporan dan Analisis Statistik Kecelakaan.

Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan


Ketenagakerjaan No 407 Tahun 1999 tentang Persyaratan, Penunjukan, Hak dan
Kewajiban Teknisi Lift.

Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan


Ketenagakerjaan No 311 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Kompetensi Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Teknisi Listrik.

7. Revisi :

Peraturan Menaker 33 Tahun 2015 Perubahan Atas Peraturan Menteri


Ketenagakerjaan Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja Listrik Di Tempat Kerja

Peraturan Menaker 32 Tahun 2015 Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor Per.03/men/1999 Tentang Syarat-syarat Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Lift Untuk Pengangkutan Orang Dan Barang

Peraturan Menaker 31 Tahun 2015 Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor Per.02/men/1989 Tentang Pengawasan Instalasi Penyalur Petir

Permenaker No 9 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam


Pekerjaan Ketinggian disahkan oleh kementerian pada tanggal 10 Maret 2016, dan
didalam permenaker ini juga dijelaskan pengertian Bekerja Pada Ketinggian yaitu
kegiatan atau aktifitas pekerjaan yang dilakukan oleh Tenaga Kerja pada Tempat
Kerja di Permukaan tanah atau perairan yang terdapat perbedaan ketinggian dan
memiliki potensi jatuh yang menyebabkan Tenaga Kerja atau orang lain yang
berada di Tempat Kerja cedera atau meninggal dunia atau menyebabkan kerusakan
harta benda.

B. William Dunn menyebutkan, dalam pembuatan kebijakan publik, tahap-tahap


yang dilaluinya adalah :
1. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Penyusunan agenda (Agenda Setting) adalah sebuah fase dan proses yang
sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Sebelum kebijakan ditetapkan dan
dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan
memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas.
Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak
mungkin untuk diseleksi. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa
yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik
dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik,
dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda

setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat
dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga
sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena
telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah
atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan
tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi
dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian
atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda
kebijakan. Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik
diantaranya: telah mencapai titik kritis tertentu yang apabila diabaikan menjadi
ancaman yang serius, telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang berdampak
dramatis, menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak, mendapat
dukungan media massa, menjangkau dampak yang amat luas, mempermasalahkan
kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat serta menyangkut suatu persoalan yang
fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Penyusunan agenda kebijakan seharusnya dilakukan berdasarkan tingkat
urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak
boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2. Formulasi Kebijakan (Policy Formulating)
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh
para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu
masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil
untuk memecahkan masalah.
3. Adopsi/Legitimasi Kebijakan (Policy Adoption)
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar
pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan
rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus
percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah. Dukungan untuk rezim cenderung
berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang
membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola
melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar
untuk mendukung pemerintah.
4. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut
kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali menemukan
berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat
saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.
Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak serta
merta berhasil dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan keberhasilan dalam
implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat menjadi penghambat harus
dapat diatasi sedini mungkin.

5. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)


Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan
fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja,
melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi
kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, programprogram yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi,
maupun tahap dampak kebijakan.
C. Karakteristik Public Goods dan Private Goods
1. Public Goods
Apa yang dimaksud dengan barang publik? Secara umum barang publik biasa
dipahami sebagai sesuatu yang dapat dinikmati atau dibutuhkan oleh semua orang.
Suatu barang publik merupakan barang-barang yang tidak dapat dibatasi siapa
penggunanya dan sebisa mungkin bahkan seseorang tidak perlu mengeluarkan biaya
untuk mendapatkannya. Contoh barang publik ini diantaranya udara, cahaya matahari,
papan marka jalan, lampu lalu lintas, pertahanan nasional, pemerintahan dan
sebagainya. Akan sulit untuk menentukan siapa saja yang boleh menggunakan papan
marka jalan misalnya, karena keberadaannya memang untuk konsumsi semua orang.
2. Private Goods
Barang privat mudahnya adalah barang-barang yang memiliki sifat
berkebalikan dengan barang publik. Barang privat secara tipikal adalah barang yang
diperoleh melalui mekanisme pasar, dimana titik temu antara produsen dan konsumen
adalah mekanisme harga. Oleh karena itu, kepemilikan barang privat biasanya dapat
teridentifikasi dengan baik. Sebagian besar barang yang kita konsumsi adalah barang
privat, yaitu barang yang hanya dapat digunakan oleh satu konsumen pada satu waktu.
Misalnya, ketika seseorang sedang memakan kue miliknya, orang lain tidak dapat
melakukan hal serupa. Eksklusivitas kepemilikan menjadi faktor pembeda utama
barang privat dengan barang publik.
Sekarang saya kelompokkan karakteristiknya masing-masing dalam tabel
sebagai berikut :
KARAKTERISTI
K (PERBEDAAN)
1. Pengertian

Public Goods

Private Goods

Barang publik adalah barang


yang apabila dikonsumsi oleh
individu tertentu tidak akan
mengurangi konsumsi orang
lain akan barang tersebut dan
Barang publik merupakan
barang-barang yang tidak
dapat dibatasi siapa

Barang privat adalah barang


yang diperoleh melalui
mekanisme pasar, dimana
titik temu antara produsen
(penawaran) dan konsumen
(permintaan) adalah
mekanisme harga.
Sebagian besar barang yang

2. Sifat

penggunanya dan sebisa


mungkin bahkan seseorang
tidak perlu mengeluarkan
biaya untuk
mendapatnkannya.
Contoh: udara, cahaya
matahari, papan marka jalan,
lampu lalu lintas, pertahanan
nasional, pemerintahan dsb
Non Rivalry: dalam
penggunaan barang publik
berarti bahwa penggunaan
satu konsumen terhadap satu
suatu barang tidak akan
mengurangi kesempatan
konsumen lain untuk juga
mengkonsumsi barang
tersebut. Setiap orang dapat
mengambil suatu manfaat dari
barang tersebut tanpa
mempengaruhi manfaat yang
diperoleh orang lain
Contoh: dalam kondisi
normal, apabila kita
menikmati udara dan sinar
matahari, orang-orang
disekitar kita pun dapat
mengambil manfaat yang
sama.
Non Excludable: barang
publik ini berarti bahwa
apabila suatu barang publik
tersedia, tidak akan dapat yang
menghalangi siapapun untuk
memperoleh manfaat dari
barang tersebut atau dengan
kata lain, setiap orang
memiliki akses ke barang
tersebut. Dalam konteks pasar,
maka baik mereka yang
membayar maupun tidak
membayar dapat menikmati
barang tersebut
Contoh: masyarakat yang
membayar pajak diantaranya
digunakan untuk membiayai

kita konsumsi adalah barang


privat, yaitu barang yang
hanya dapat digunakan oleh
satu konsumen pada satu
waktu.
Contoh: ketika orang sedang
makan kue miliknya, orang
lain tidak bisa melakukan hal
yang serupa.
Rivalrous Cosumption:
dimana konsumsi oleh satu
konsumen akan mengurangi
atau menghilangkan
kesempatan pihak lain untuk
melakukan hal serupa.
Terjadi rivalitas/kompetisi
antar calon konsumen dalam
mengkonsumsi barang ini.
Contoh: kita membeli buku
yang jumlahnya terbatas,
sehingga hanya mereka yang
membeli dahulu saja yang
dapat memiliki.maka disini
terjadi kompetisi dalam
mencari dan membeli buku
tersebut.
Ekscludable
Consumption: dimana
konsumsi suatu barang dapat
dibatasi hanya pada mereka
yang memenuhi pesyaratan
tertentu, dan mereka yang
tidak membayar atau tidak
memenuhi syarat dapat
dikecualikan dari akses
untuk mendapatkan barang
tersebut
Contoh: pakaian ditoko
hanya dapat dinikmati oleh
mereka yang membeli atau
membayar, sementara
mereka yang tidak
membayar tidak dapat
menikmati pakaian tersebut.

3. Jenis

4.Sistem
Pembiayaan

penyelenggaraan jasa
kepolisian misalnya, akan
tetapi yang kemudian dapat
menggunakan jasa kepolisian
tersebut tidak hanya terbatas
pada yang membayar pajak
saja.
Barang Publik Lokal: barang
yang menurut penyediaannya
oleh pemerintah daerah dan
secara teknologi layak dan
perolehan keuntungannya
dinikmati oleh penduduk
setempat.
Barang Publik Nasional:
barang-barang yang
penyediaannya oleh
pemerintah pusat dengan
perolehan keuntungan yang
dinikmati dan selain penduduk
setempat juga masyarakat
dalam suatu negara.
Barang Publik Murni: tidak
ada seorang (pihak swasta)
yang mau menghasilkan,
karena masalah kepemilikan.
Sebagaimana namanya, maka
barang ini tidak bisa dimiliki
perorangan, tetapi oleh
masyarakat luas, kalaupun
yang mengelola adalah pihak
tertentu, seperti jalan yang
dikelola oleh pemerintah.
Barang Publik Tidak Murni:
letak barang publik yang jauh
dari jangkauan konsumen, jasa
yang diterimanya makin kecil
juga untuk karakteristiknya.
Sektor publik yang mampu
melakukan investasi untuk
memberikan pelayanan
kemudian sektor swasta
menjalankan dengan
menjalankan dengan
mengenakan biaya pada
pemakai, sistem ini disebut

Pada barang privat ini


mengenai jenisnya,
tergantung pada individu
masing-masing. Mengenai
jenis dan macam barang
privat disesuaikan oleh
kebutuhan yang diperlukan
oleh konsumen. Jadi pada
hal ini tidak ada orang lain
yang membatasi maupun
melarang kebutuhan akan
barang privat apa yang ingin
dikonsumsi guna
memuaskan kebutuhan diri
sendiri.

Sektor swasta (individu


maupun kelompok) mampu
memenuhi kebutuhannya
sesuai dengan manfaatnya
dan biaya yang telah
tersedia.
Contoh: jasa telekomunikasi,
sebagian besar semua

5. Pelayanannya

6. Jumlah
7. Kepemilikan

Build-Operate-Transfer.
o Persaingan rendah: barang
publik (biaya sektor publik)
contohnya jalan toll
menggunakan biaya campuran
antara biaya publik dan biaya
swasta
o Persaingan tinggi: barang
publik (biaya sektor publik)
sedangkan barang swasta
(biaya dari pihak swasta)
Sesuai dengan Fungsi
Alokasi memiliki keterkaitan
yang sangat erat dengan
penyediaan dan pelayanan
barang-barang publik yang
diperuntukkan secara komunal
dan tidak dapat dimiliki secara
perorangan.
Fungsi Distribusi: memiliki
keterkaitan erat dengan
perataan kesejahteraan
masyarakat dalam arti
proporsional tetap menjadi
perhatian dalam rangka
mendorong tercapinya
pertumbuhan yang optimal
Fungsi Stabilisasi: memiliki
keterkaitan erat dengan fungsi
mengatur variabel ekonomi
makro dengan sasaran untuk
mencapai stabilitas ekonomi
secara nasional
Banyak bahkan melimpah.

Sulit di identifikasi (milik


umum).
Sumber : dirangkum dari berbagi sumber

konsumen mampu dapat


memilikinya secara individu.

Tidak ada campur tangan


pemerintah jadi tergantung
dari fungsi dalam
pemenuhan kebutuhan,
setiap perorangan tidak sama
dalam memenuhi
kebutuhannya, desesuaikan
denangan fungsi barang
privat yang akan dikonsumsi.

Langka atau keterbatasan


dalam jumlah.
Teridentifikasi dengan baik
(milik pribadi).

D. Jenis kebijakan publik menurut Anderson dalam Nugroho (2012:137) yaitu:


1. Distributive
Kebijakan distributive adalah kebijakan yang berkenaan dengan alokasi layanan
atau manfaat untuk segmen atau kelompok masyarakat tertentu dari suatu populasi,
termasuk di dalamnya kebijakan pembangunan irigasi oleh pemerintah untuk
kelompok petani pangan. Berdasarkan penjelasan tersebut, Pendidikan Inklusif

termasuk dalam jenis kebijakan distributive karena memberikan manfaat atau layanan
pada kelompok tertentu dalam masyarakat dalam hal ini adalah Anak Berkebutuhan
Khusus.
2. Redistributive
Kebijakan redistributive berkenaan dengan upaya pemerintah untuk
memberikan pemindahan alokasi kesejahteraan, kekayaan, atau hak-hak dari
kelompok tertentu di masyarkat, yaitu kelompok kaya atau sejahtera, ke kelompok
lain, yaitu kelompok miskin atau berkekurangan. Kebijakan ini merupakan kebijakan
yang pelik karena berkenaan dengan uang, hak, dan kekuasaan yang harus
diperbagikan ulang.
3. Regulatory
Kebijakan regulatory adalah kebijakan yang memaksakan batasan atau
larangan perilaku tertentu bagi individu ataupun kelompok. Kebijakan regulatory
biasanya dibuat untuk mengatasi konflik yang terjadi di antara kelompok, termasuk di
dalamnya kebijakan antimonopoli, kebijakan ketenagakerjaan, dan kebijakan
4. Constituent
Menurut Theodore Lowi dalam Nugroho (2012:137), kebijakan constituent
dipahami sebagai berikut:
constituent policies are policies formally and explicitly concern with the
establishment of government structure, with the establishment of rules (or procedures)
for the conduct of government, of rules that distribute or divide power and
jurisdictions within which present and future government policies might be made.
Pernyataan diatas dapat diartikan kebijakan konstituen adalah kebijakan formal
dan eksplisit keprihatinan dengan pembentukan struktur pemerintahan, dengan
pembentukan aturan atau prosedur untuk pelaksanaan pemerintahan, aturan yang
mendistribusikan atau membagi kekuasaan dan yurisdiksi di mana kebijakan
pemerintah sekarang dan masa depan bisa dibuat. Ini adalah jenis kebijakan yang
membuktikan keberadaan negara, termasuk di dalamnya kebijakan tentang keamanan
negara.

Daftar Pustaka
https://kreativitasdircom.wordpress.com/2011/06/16/makalah-tahapankebijakan/ diakses tanggal 29/10/2016
http://dinamikakebijakanpublik.blogspot.co.id/2011/10/tahap-tahap-pembuatankebijakan-publik.html diakses tanggal 29/10/2016
http://bookerchon.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-jenis-jenis-dantingkat.html diakses tanggal 29/10/2016

Вам также может понравиться