Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Sindrom Ramsay Hunt (SRH) atau geniculate neuralgia yang sering disebut
juga dengan Herpes Zoster Oticus (HZO) merupakan kumpulan gejala yang terdiri
dari neuralgia radikuler, erupsi vesikuler yang mengenai sebagian telinga luar dan
kanalis akustikus eksternus disertai kelumpuhan nervus VII perifer.1,2 SRH adalah
suatu sindrom yang terdiri dari otalgia, vesikel pada aurikula dan parese nervus
fasialis perifer.3 Definisi lain dari SRH adalah suatu parese nervus VII perifer yang
disertai dengan eritem vesikuler pada telinga dan mulut.4
Sindrom Ramsay Hunt menjadi penyebab paling banyak nomor dua dari
kelumpuhan perifer pada wajah.5 Sebelum tahun 1986, frekuensi zoster pada pasien
dengan kelumpuhan wajah perifer diperkirakan 4,5% -8,9%. Penyakit ini disebabkan
oleh reaktivasi sebuah virus varicella zoster (VZV) dari famili herpes alpha. Gejala
dari penyakit ini kadang tidak tampak karena lesi herpes tidak selalu hadir dan
mungkin mirip dengan beberapa penyakit neurologis lainnya seperti cerebral insult,
lyme disease dan meningitis.6
Sebuah tinjauan retrospektif dari 2.076 pasien didapatkan Menderita
kelumpuhan wajah unilateral, dengan atau tanpa vesikel. Dari tahun 1976-1996 di
Japan, diungkapkan insiden serupa sindrom ramsay hunt pada orang dewasa dan
anak-anak di atas usia 6 tahun. Dalam penelitian tersebut, sindrom ramsay hunt
didefinisikan sebagai palsy wajah unilateral, vesikel herpes pada telinga atau mukosa
mulut, dan disfungsi vestibulocochlear. Hal ini didiagnosis pada 16,7% anak-anak
dan 18,1% dari orang dewasa dengan kelumpuhan wajah.6
Insiden penyakit ini lebih tinggi pada anak di atas usia 6 tahun (24,3%)
dibandingkan pada anak-anak dibawah usia 6 tahun (10,5%). Dibandingkan dengan
orang dewasa, munculnya vesikel kadang tertunda pada anak-anak, dengan 50% pada
anak-anak lebih dari usia 16 tahun, dan 31,9% orang dewasa vesikel muncul setelah
terjadi kelumpuhan wajah. Pada anak-anak dibawah 16 tahun dan pada orang dewasa,
1
Gejala yang sering muncul berupa gangguan pendengaran (24,4% dan 52,7%),
tinnitus (11,1% dan 24,7%), dan vertigo (17,4% dan 31,8%); 2,9% dari orang dewasa
juga menunjukkan gejala glossopharyngeal / vagal.6
Pada beberapa penelitian retrospektif, kekuatan wajah dievaluasi dengan
menggunakan sistem penilaian Hous-Brackmann pada anak maupun dewasa.
Pemulihan lengkap terjadi pada 85/173 (49%) orang dewasa, dan dalam 33/42 (78%)
pasien dibawah usia 16 tahun. Serial audiogram menunjukkan pemulihan sempurna
pada 66% anak-anak dengan dokumentasi audiometri gangguan pendengaran
dibandingkan dengan 37,7% orang dewasa.6
Studi menunjukkan bahwa pasien dengan sindrom ramsay hunt secara statistik
lebih cenderung memiliki tingkat keparahan dan denervasi yang lengkap dengan
sinkinesis persisten. Pasien dengan sindrom ramsay hunt diobati dengan prednisone
hanya sedikit yang dapat mengurangi kelumpuhan wajah dibandingkan pasien yang
tidak diobati prednison.6
Di Indonesia belum ada data angka yang menunjukkan kejadian SRH, hal ini
mungkin disebabkan karena kejadian SRH sama saja jarangnya dengan kejadian di
Amerika Serikat ataupun lebih jarang sehingga mungkin terabaikan.6
Untuk itu, dilakukan penulisan referat ini agar dapat dijadikan sebagai bahan
pembelajaran dalam menegakkan diagnosis serta mengobati pasien dengan tanda dan
gejala seperti diatas.
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
2.1. Anatomi Nervus Facialis
Nervus fasialis merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan di dalam
tulang temporal, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam
tulang ini. Nervus VII terdiri dari 3 komponen yaitu komponen motoris, sensoris, dan
parasimpatis.7 Komponen motoris mempersarafi otot wajah kecuali musculus levator
palpebra superior. Selain itu nervus facialis juga mempersarafi stapedius dan venter
posterior musculus gastricus. Komponen sensoris mempersarafi 2/3 anterior lidah
untuk mengecap melalui meatus corda timpani. Komponen parasimpatis memberikan
persarafan pada glandula lakrimalis, glandula submandibular, dan glandula
sublingualis.
Nervus facialis memliki 2 inti yaitu superior dan inferior. Inti superior
mendapat persarafan dari korteks motor secara bilateral sedangkan inti inferior hanya
mendapat persarafan dari 1 sisi. Serabut dari kedua inti berjalan mengelilingi inti
nervus
abducens
(N.VI)
kemudian
meninggalkan
pons
bersama
nervus
segmen pyramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling posterior
dari N. VII sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi. Selanjutnya segmen ini
berjalan ke arah caudal menuju foramen stylomastoid. Panjang segmen ini 15-20
milimeter. Setelah keluar dari tulang mastoid, N. VII menuju glandula parotis dan
membagi diri untuk mepersarafi otot-otot wajah.
Di dalam tulang temporal N.VII memberikan 3 cabang penting, yaitu nervus
petrosus superior mayor, nervus stapedius, dan corda timpani. Nervus petrosus
superior mayor keluar ganglion genukulatum dan memberi rangsang pada glandula
lakrimalis. Nervus stapedius mempersarafi muskulus stapedius dan berfungsi sebagai
peredam suara. Corda timpani mempersarafi pengecapan pada 2/3anterior lidah. 7
Korteks serebri akan memberikan persarafan bilateral pada nucleus N VII
yang mengontrol otot dahi, tetapi hanya mernberi persarafan kontra lateral pada otot
wajah bagian bawah. Sehingga pada lesi LMN akan menimbulkan paralysis otot
wajah ipsilateral bagian atas bawah, sedangkan pada lesi LMN akan menimbulkan
kelemahan otot wajah sisi kontra lateral.8
hati, limpa dan organ lain. Pada saat titer tinggi, virus dilepaskan kembali ke aliran
darah (viremia kedua) dan membentuk vesikel pada kulit dan mukosa saluran nafas
atas. Kemudian berkembang dan menyebar melalui saraf sensoris dari jaringan
kutaneus, menetap pada ganglion serebrospinalis dan ganglion saraf kranial.
Parese nervus VII timbul akibat reaktivasi virus varisela zoster yang menetap
pada ganglion genikulatum dan proses ini disebut dengan ganglionitis. Ganglionitis
menekan selubung jaringan saraf, sehingga menimbulkan gejala pada nervus VII.
Peradangan dapat meluas sampai ke foramen stilomastoid.10 Gejala kelainan nervus
VIII yang juga dapat timbul akibat infeksi pada ganglion yang terdapat di telinga
dalam atau penyebaran proses peradangan dari nervus VII. 9,10 Lokasi ruam bervariasi
dari pasien ke pasien, seperti halnya wilayah dipersarafi oleh nervus intermedius
(yaitu, bagian sensorik dari CN VII). Daerah ini mungkin termasuk anterior dua
pertiga dari lidah, langit-langit lunak, kanal auditori eksternal, dan pinna.
2.3. DIAGNOSIS
Diagnosis SRH ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fungsi nervus VII diperlukan untuk menentukan letak lesi, beratnya
kelumpuhan dan evaluasi pengobatan. Pemeriksaan meliputi fungsi motorik otot
wajah, tonus otot wajah, gustatometri dan tes Schimer.7
Dari dalam anamnesis riwayat penyakit dahulu bisa didapatkan ada riwayat
terkena penyakit cacar air. Penyakit ini didahului dengan gejala prodromal berupa
nyeri kepala, nyeri telinga, lesu, demam, sakit kepala, mual dan muntah. Lesi terdapat
di telinga luar dan sekitarnya, kelainan berupa vesikel berkelompok di atas daerah
yang eritema, edema dan disertai rasa nyeri seperti terbakar pada telinga dan kulit
6
Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi
saraf fasialis dengan tes Schirmer dan tes gustatoometri.2,11 Pemeriksaan N. VII
dimulai dari fungsi saraf motorik dengan cara menggerakkan otot-otot wajah utama di
muka, mulai dari mengankat alis (m. frontalis), mengerutkan alis (m. soucilier),
mengakat serta mengeruktan hidung ke atas (m. piramidalis), memejamkan mata
kuat-kuat (m. orbicularis okuli), tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi (m.
zygomatikus), memoncongkan mulut ke depan sambil memperlihatkan gigi (m.
relever komunis), meggembungkan kedua pipi (m. businator), bersiul (m. orbicularis
oris), menarik kedua sudut bibir ke bawah (m. triangularis), dan memoncongkan
mulut yang tertutup rapat ke depan ( m. mentalis). Setiap gerakkan yang dilakukan
dibandingkan kanan dan kiri. Penilaiain yang diberikan adalah angka 3 jika gerakkan
normal serta simetris, angka 1 jika sedikit ada gerakkan, angka 2 gerakkan yang
berada diantara angka 3 dan 1, angka 0 jika tidak ada gerakkan sama sekali.
Tes gustatomeri ini digunakan untuk menilai n.corda timpani, dengan cara
membandingkan ambang rasang antara sisi lidah kanan dan kiri. Tes Schrimer
digunakan untuk mengetahui fungsi serabut serabut pada simpatis dari N.VII yang
disalurkan melalui nervus petrosus superfisialis mayor setinggi genikulatum, dengan
cara meletekkan kertas lakmus pada bagian inferior konjungtiva dan dihitung berapa
banyak sekresi kelenjar lakrimalis.
Berdasarkan gejala klinis, klasifikasi SRH dibagi menjadi 4 yaitu (1) penyakit
yang menyerang bagian sensoris nervus VII, (2) penyakit yang menyerang bagian
sensoris dan motoris nervus VII, (3) penyakit yang menyerang bagian sensoris dan
motoris nervus VII, disertai gejala gangguan pendengaran, (4) penyakit yang
menyerang bagian sensoris dan motoris nervus VII, disertai gejala gangguan
pendengaran dan keseimbangan.12
terkait nyeri pada studi terkontrol. Para oksikodon narkotika oral dan antikonvulsan
gabapentin lisan, serta aspirin analgesik topikal dan lidokain, semua telah
menunjukkan kemampuan untuk mengurangi akut zoster terkait nyeri pada doubleblind, placebo-controlled studi.15 Di sisi lain, pregabalin anticonvulsant secara
statistik gagal untuk menunjukkan pengaruh signifikan menghilangkan nyeri zoster
akut dalam studi double-blind kecil, terkontrol plasebo. 16 Meskipun, perlu dicatat obat
ini telah terbukti ampuh mengobati rasa sakit dari neuralgia postherpetic dalam studi
terkontrol lainnya.
Antivirus dan kortikosteroid juga telah ditunjukkan untuk mempercepat
resolusi zoster terkait sakit. Tujuan terapi antiviral pada herpes zoster adalah untuk
mengurangi rasa sakit, menghambat replikasi virus, membantu penyembuhan
penyakit kulit, dan mencegah atau mengurangi keparahan neuralgia postherpetic.
Tiga agen antivirus, asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir, telah disetujui untuk
pengobatan herpes zoster di Amerika Serikat.
Mekanisme kerja untuk semua agen adalah pencegahan replikasi virus
varicella-zoster (VZV) melalui penghambatan polimerase DNA virus. Bentuk ke-3
agen telah terbukti dalam uji klinis untuk mengurangi pelepasan virus dan
mempercepat resolusi gejala, termasuk rasa sakit, pada herpes zoster tanpa
komplikasi. Acyclovir merupakan turunan guanin yang mencegah varicella-zoster
virus (VZV) replikasi melalui penghambatan polimerase DNA virus. Ini mengurangi
durasi lesi simtomatik. Setelah diminum, famsiklovir dengan cepat biotransformed ke
dalam senyawa aktif penciclovir dan terfosforilasi oleh kinase timidin virus. Dengan
persaingan dengan triphosphate deoxyguanosine, penciclovir trifosfat menghambat
polimerase virus. Dosis disesuaikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal atau
penyakit hati. Valacyclovir adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi
asiklovir sebelum mengerahkan aktivitas antivirus nya. Beberapa penelitian memberi
kesan superioritas valacyclovir dan famciclovir dibandingkan dengan asiklovir dalam
hal resolusi rasa sakit dan percepatan penyembuhan kulit. Selain itu, baik valasiklovir
10
merekomendasikan
penggunaan
terapi
antivirus
pada
semua
pasien
immunocompromised zoster sebelum krusta penuh dari semua lesi. Terapi herpes
zoster pada individu normal dapat diberikan asiklovir 5x800mg sehari selama 7 hari,
paling lambat 72 jam setelah lesi muncul. 10 Menurut Gupta J dkk,21 pemberian
asiklovir 7-10 hari. Pada saat 72 jam setelah munculnya gejala pemberian antivirus
70% orang akan mengalami kesembuhan yang seutuhnya. Jika pemberian antiviral
diberikan lebih dari waktu emasnya makan kesempatan seseorang untuk sembuh
seutuhnya akan berukurang 50% .
Penggunaan steroid dalam hubungannya dengan antivirus untuk herpes zoster
tanpa komplikasi adalah kontroversial. Penambahan kortikosteroid oral telah
dievaluasi pada pasien yang diobati dengan asiklovir dalam 2 studi terkontrol. Steroid
yang ditemukan untuk mempercepat resolusi neuritis akut dan memberikan
peningkatan yang jelas dalam kualitas-hidup tindakan dibandingkan dengan pasien
11
diobati dengan antivirus saja. Penggunaan steroid oral tidak berpengaruh terhadap
perkembangan atau durasi neuralgia postherpetik. Steroid oral belum diteliti dengan
valacyclovir atau famciclovir, sehingga manfaatnya tidak diketahui. Bentuk non oral
terapi steroid tambahan pada herpes zoster akut juga telah dipelajari. Sebuah
penelitian yang melibatkan injeksi epidural steroid tunggal dan anestesi lokal
diberikan bersamaan dengan rejimen standar antiviral oral dan analgesik ditemukan
sederhana meningkatkan zoster terkait sakit selama 1 bulan lebih tanpa pengobatan
steroid.
Seperti di atas, tidak ada efek dalam mencegah neuralgia pasca herpes dicatat.
Mengingat dampak negatif dan kontraindikasi dari penggunaan kortikosteroid,
pendapat pakar saat ini menyarankan membatasi keterlibatan mereka dengan kasuskasus nyeri sedang sampai zoster parah, atau di mana gejala-gejala neurologis yang
signifikan (seperti kelumpuhan wajah) atau keterlibatan SSP hadir (dan penggunaan
kortikosteroid tidak dinyatakan kontraindikasi). Durasi optimal terapi steroid tidak
diketahui. Jika diresepkan, tampaknya masuk akal untuk steroid untuk digunakan
bersamaan dengan terapi antivirus.
Lamanya penggunaan steroid tidak boleh melampaui masa terapi antivirus.
Steroid tidak boleh diberikan sendiri (tanpa terapi antivirus), karena kekhawatiran
tentang promosi replikasi virus. Individu dengan perubahan imunitas diperantarai sel,
akibat kondisi imunosupresif (misalnya, HIV, kanker) atau pengobatan (misalnya,
penggunaan kortikosteroid diperpanjang), akan meningkatkan risiko untuk herpes
zoster. Selanjutnya, presentasi herpes zoster pada populasi immunocompromised
dapat menjadi rumit oleh penyakit disebarluaskan dan keterlibatan organ visceral.
Menurut Gupta J dkk,21 kortikosteroid 3-5 hari dengan regimen tapperring.
Kortikosteroid dapat diberikan selama 10-14 hari dengan dosis 40-60mg/hari atau
1mg/KgBB/hari dengan regimen tappering.2
Evaluasi dari pengobatan SRH ini sendiri dengan melakukan pemeriksaan
N.VII secara serial dan dengan pemeriksa yang sama selain dari apa yang dikeluhkan
oleh pasien. Selain terapi medikamentosa juga diperlukan edukasi kepada pasien
12
bahwa mungkin saja hilangnya pendengaran ataupun paralisis wajah yang terjadi
adalah mentepa mesiskipun sudah dilakukan pengobatan.
2.6. KOMPLIKASI
Paralysis berat akan mengakibatkan tidak sempurnanya kesembuhan dan
berpotensi untuk menjadi paralysis fasial yang permanen dan synkinesis.
Adakalanya, virus dapat menyebar ke saraf-saraf lain atau bahkan ke otak dan
jaringan saraf dalam tulang punggung, menyebabkan sakit kepala, sakit punggung,
kebingungan, kelesuan, dan kelemahan. Neuralgia pasca herpetik adalah rasa nyeri
yang timbul pada daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung
berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung terjadi pada penderita
diatas usia 40 tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Makin tua penderita makin
tinggi persentasenya. Sepertiga kasus diatas usia 60 tahun dikatakan akan mengalami
komplikasi ini, sedang pada usia muda hanya terjadi pada 10 % kasus.
Infeksi sekunder oleh bakteri akan menyebabkan terhambatnya penyembuhan
dan akan meninggalkan bekas sebagai sikatriks. Vesikel sering menjadi ulkus dan
jaringan nekrotik. Paralisis motorik dapat terjadi pada sebagian kecil penderita (1 5
% kasus), terutama bila virus juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik
kranialis. Terjadi biasanya 2 minggu setelah timbulnya erupsi. Berbagai paralisis
dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria
dan anus.22
2.7. PROGNOSIS
Prognosis SRH dipengaruhi oleh umur, diabetes mellitus, hipertensi dan
pemberian terapi yang cepat. Yeo dkk menyatakan bahwa Herpes Zoster Oticus
(HZO) memiliki prognosis yang buruk daripada Bells Palsy. Sekitar setengah dari
jumlah pasien SRH masih memiliki gangguan motorik nervus fasial, hanya sebagian
kecil pasien dengan gangguan paralisis komplit.Hasil pemulihan akan lebih baik jika
perawatan dimulai pada hari ke tiga setelah gejala timbul. Kesembuhan yang
13
sempurna akan tercapai pada 70% kasus jika pengobatan dimulai pada saat ini.
Namun, jika pengobatan tertunda lebih dari 3 hari, kesempatan untuk mencapai
kesembuhan sempurna akan turun sekitar 50%.1,8
14
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Ramsay Hunt merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari neuralgia
radikuler, otalgia, erupsi vesikuler yang mengenai sebagian telinga luar dan kanalis
akustikus eksternus disertai kelumpuhan nervus VII perifer.1,2,3
Diagnosis SRH dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
dalam anamnesis riwayat penyakit dahulu bisa didapatkan ada riwayat terkena
penyakit cacar air. Penyakit ini didahului dengan gejala prodromal berupa nyeri
kepala, nyeri telinga, lesu, demam, sakit kepala, mual dan muntah. Lesi terdapat di
telinga luar dan sekitarnya, kelainan berupa vesikel berkelompok di atas daerah yang
eritema, edema dan disertai rasa nyeri seperti terbakar pada telinga dan kulit
sekitarnya (nyeri radikuler).2 Pemeriksaan fungsi nervus VII diperlukan untuk
menentukan letak lesi, beratnya kelumpuhan dan evaluasi pengobatan. Tes yang dapat
dilakukan adalah tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis dengan tes
Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri. 2,11 Derajat kelumpuhan saraf fasialis
dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistim House-Brackmann, metode
ini juga dapat digunakan untuk evaluasi pengobatan.
Obat yang paling direkomendasikan untuk tatalaksana SRH adalah kombinasi
acyclovir dan prednisone. Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan dari 80
pasien SRH dengan berbagai tingkat keparahan diobati dengan acyclovir dan
predniosen menunjukkan hasil kesembuhan total, tetapi masih ada 52% yang
menujukkan gejala sisa berupa kelumpuhan wajah dengan grade I menurut HouseBackman. Oleh sebab itu pemberian terapi dalam waktu 3 hari setelah ruam muncul
menjadi penting untuk mencapai prognosis yang lebih baik bagi kelumpuhan wajah
parsial dan kehilangan pendengaran. Jika obat diberikan lebh dari 7 hari onset ruam
maka kesempatan bagi pasien yang dinyatakan dalam grade 1 House backman
memiliki kesempatan 30% untuk sembuh.14,15,16
15
Lamanya pengobatan antivirus dalam studi telah bervariasi dari 7-21 hari.
Terapi pada individu normal dapat diberikan asiklovir 5x800mg sehari selama 7
hari10,16,17,18 Steroid ini hanya boleh diberikan bersamaan dengan antiviral dan lamanya
penggunaan steroid tidak boleh melampaui masa terapi antivirus. Menurut Gupta J
dkk, penggunaan kortikosteroid 3-5 hari dengan regimen tapperring. Kortikosteroid
dapat diberikan selama 10-14 hari dengan dosis 40-60mg/hari atau 1mg/KgBB/hari
dengan regimen tappering.2
Prognosis SRH dipengaruhi oleh umur, diabetes mellitus, hipertensi dan
pemberian terapi yang cepat. Yeo dkk menyatakan bahwa Herpes Zoster Oticus
(HZO) memiliki prognosis yang buruk daripada Bells Palsy. Hasil pemulihan akan
lebih baik jika perawatan dimulai pada hari ke tiga setelah gejala timbul.
Kesembuhan yang sempurna akan tercapai pada 70% kasus jika pengobatan dimulai
pada saat ini. Namun, jika pengobatan tertunda lebih dari 3 hari, kesempatan untuk
mencapai kesembuhan sempurna akan turun sekitar 50%.1,8
16
(otalgia)
Pemeriksaan telinga dan
Neurologi
Dengan ruam
atau vesikel
berkelompok
Sindrom
ramsay hunt
Otitis eksterna,
miringitis
tanpa ruam
Bells Palsy
Terapi:
-Antivirus: acyclovir 5x800mg sehari selama 7 hari
-Kortikosteroid dapat diberikan selama 10-14 hari dengan dosis 40-
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Augosto AM. Ramsay Hunt Syndrome. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1166804-clinical. Accessed on
December 2013. (D)
2. Bhupal HK. Ramsay hunt syndrome presenting in primary care. In:
ThePrectitioner casebook:2010;254:33-35. (E)
3. Coleman et al. Ramsay Hunt syndrome with severe dysphagia. Department of
Otolaryngology Head and Neck Surgery Michigan medical center. 2011;1-2.
4. Danil Kim et al. Ramsay Hunt syndrome presenting as simple otitis externa in
CJEM. Department of Medicine University of Toronto; 2008; 247-50.
5. Sandoval C C, Nunez F A, Lizama C M, Margarit S C, Abarca V K, Escobar
H R. [Ramsay Hunt syndrome in children: four cases and review]. Rev
Chilena Infectol. Dec 2008;25(6):458-64.
6. Sweeney, CJ., Gilden. Ramsay Hunt Syndrome. Jurnal Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2010. 149-154
18
19
21. Yeo SW, et al. Analysis of prognostic factors in bells palsy and ramsay hunt
syndrome. Auris nasus larynx.2007.34:159-164.
22. Murakami S, Hato N, Horiuchi J, Honda N, Gyo K, Yanagihara N. Treatment
20