Вы находитесь на странице: 1из 7

Senyuman Pertama

"Han, Srita masih lama ya?" tanya Nando dengan bingung sambil menggaruk
kepalanya. "Keburu jamuran kita di sini. Katanya sebentar tapi dari tadi ga datangdatang."
"Sabar kali, sob!" ujar Pram, saudara kembarku, sambil merangkul bahunya.
"Kita tunggu lima menit lagi, kalau belum datang juga, kita tinggal."
"Lagian pulang sekolah gini kan capek, mana perut udah dangdutan." Seru Boni
sambil mengusap perutnya yang buncit macam ibu hamil tujuh bulan.
"Makan mulu, bro! Lama-lama jadi celengan semar dah! Ngeri deh kalau tibatiba naga keluar dari dalam situ." Kataku menyindir.
"Kayak perutmu rata aja, Han!" balasnya.
"Udah-udah, kalian berantem mulu kaya kucing sama anjing." Ujar Pram
menengahi. "Lagian perut udah segede itu, masa masih kelaperan juga, Bon? Itu
bukannya pundi-pundi makanan?" ejek Nando yang langsung bertos ria denganku.
"Ini juga sama aja! Terus aja hina aku! Kalian teman-teman ga berperasaan!"
rajuk Boni.
"Ayo pulang, Srita kita tinggal aja!" putusku.
"EH TUNGGUUU!" teriak Srita sambil berlari tergopoh-gopoh ke arah kami.
Bawaannya banyak sekali pemirsa. Ada kardus, koran, botol aqua, dan karton yang
semuanya berukuran besar. Aku heran, dia habis kerja kelompok atau mulung sih?
"Lama amat dah! Kita semua udah jamuran nih gegara kelamaan nungguin!"
omelku. Pram membantu Srita membawa beberapa bawaannya.
"Ya maaf. Kalem aja lagi, maklum cewe kalau lagi kerja kelompok itu kaya
gimana. Hehehe" ujar Srita memasang cengiran di wajahnya.
"Ayo, segera ke halte. Keburu ujan dan nanti ketinggalan bus loh!" ajak Pram
sambil melihat ke halaman sekolah yang mulai sepi. "Yuk yuk!" seru Srita menarik
lenganku.
"Nah! Itu bus kita!" seru Srita dengan bersemangat saat melihat bus berwarna

biru mendekati halte.


"Akhirnya!!" seru Boni begitu girang. "Makanan, tunggu ayah di rumah!"
Tidak lama, bus pun berhenti di hadapan kami dan pintunya terbuka. Kami dan
beberapa orang lain masuk ke dalam bus dengan cepat. Aku dan Srita langsung
mendapatkan tempat duduk yang kosong, sedangkan Pram, Nando, dan Boni berdiri
di hadapan kami.
Saat bus mulai bergerak, kami pun mulai mengobrol. Dari soal guru yang
menyebalkan hingga kucing kantin yang entah mengapa setelah melahirkan pasti tak
lama hamil lagi. Sesekali, Srita menceritakan gosip baru mengenai anak sekolahan
yang dia dengar dari temannya yang lain. Srita ini memang ratunya gosip. Ga ada
yang dia ga tahu.
"HIV-AIDS? Ga salah, ta?" tanya Boni dengan mata melebar.
"Katanya sih gitu. Salah main suntik-suntikan!" lanjut Srita sambil terkekeh. "Bodoh
banget ya!"
"Jangan ngomong gitu. Gak baik ngatain orang." Kata Pram mengingatkan
kelakuan temannya yang kejam itu.
"Ya abis emang bodoh! Udah mau kuliah juga, masih aja aneh-aneh.
Kelihatannya dia juga ga berani ngomong ke orang tuanya. Kan bodoh namanya."
"Mulut cewe itu emang nyeremin ya. Padahal yang dibicarain sepupunya sendiri.
Jadi takut deh sama cewe. Takut digosipin maksudnya." Bisik Nando di telingaku.
Aku pun menutup mulut dan tertawa kecil.
"Mulutnya pedes banget mba, cabenya lima ya?" seru Boni sambil menjitak
kepala Srita.
Aku dan Nando pun langsung tertawa lantang yang mengejutkan beberapa orang
di sekitar kami. Nggak usah mereka, Pram saja kaget mendengar suara tawa kami
yang begitu menggelegar.
"Yailah, ini fakta tau!" seru Srita tidak terima.
"Fakta pun bukan berarti kamu bisa ngehina-hina dia gitu. Coba kamu yang ada
di posisi dia. Saat kamu kebingungan, orang yang kamu rasa dekat malah ngomongin
di belakang. Udah gitu, ngejelekin juga. Gimana perasaanmu? Apa masih bisa

ketawa-ketiwi kayak sekarang?" ujar Pram tegas ke dia. Terkadang aku bingung
mengapa Pram bisa begitu bijaksana di saat saudara kembar perempuannya ini
"slengehan" kalau kata orang.
Srita mengerucutkan bibir dan menunduk. "Maaf."
"Jangan kita tertawa di atas penderitaan orang lain. Tuhan itu tidak pernah tidur,
nanti ada saatnya semua itu akan berbalik ke kamu. Jangan sampai deh, kamu kena
karma. Jadi, kita harus jagain mulut kita masing-masing. Eh, aku bisa bijak juga ya?"
Kataku yang dibalas Pram dengan mengacak-ngacak rambutku sambil tersenyum.
"Tumben Hana kedengeran bener. Biasanya sesat mulu." Seru Boni sambil
tertawa.
"Bon, banyak-banyak berdoa! Tobat sebelum dipanggil Yang Maha Kuasa." Ejek
Nando.
"Parah! Nyumpahin aku mati?!"
Tidak menanggapi Boni, Nando malah menoleh ke arahku, menatapku dengan
jenaka dan berkata, "Bisa bijak juga, neng geulis?"
"Cuma lagi waras aja kok." Jawabku sambil tersenyum lebar. Oke, kelewat lebar.
"Maaf, Mas. Bisa tolong mengalah memberikan tempat duduk mas untuk nenek
ini. Beliau kelelahan." Seru suara berat yang bernada dingin.
Kami pun serta-merta menoleh ke arah kiri, di mana asal suara itu berada.
Ternyata seorang pemuda yang memapah seorang nenek tuna netra sedang
berargumen dengan mas-mas yang duduk di kursi belakang. Saat aku melihat sekitar,
ternyata hanya mas-mas itulah satu-satunya pria yang duduk di kursi. Saat kembali
menoleh ke arah perdebatan tadi berlangsung, nampaknya mas itu nggak mau ngasih
tempatnya ke nenek tuna netra itu dan membalas dengan nyolot..
"Saya bayar juga di sini!" kata mas-mas itu sambil melotot.
Aku, Prahana Putri Santosa, paling tidak suka pada orang yang kurang ajar dan
tidak mau mengalah, apalagi pada orang tua. Aku pun reflek berdiri dan berkata, "Biar
pun bayar, bukan berarti mas boleh duduk di situ. Emangnya gak liat poster segede
dosa di depan mas? Dahulukan ibu hamil, lansia, dan lainnya. Emang masnya lagi
hamil?" Para penumpang tertawa kecil, sedangkan mas-mas itu wajahnya penuh

dengan amarah.
"Nunggu ada yang turun bisa kan?!" kata Mas itu ngotot.
"Dasar kepala batu!" Celetukku yang tidak sengaja bersamaan dengan pemuda
itu. Kami sempat berpandangan sekilas sebelum aku melanjutkan, "Nenek duduk di
sini saja, kebetulan saya juga capek duduk terus nih. Hehehe."
Pemuda itu sempat memandangiku sesaat sebelum akhirnya memapah nenek itu
untuk duduk di kursiku. Saat melewatiku, aku dapat mencium aroma parfum maskulin
yang sangat kental dari pemuda itu. Aroma ini seperti kokain yang membuatku ingin
menghirupnya sebanyak mungkin. Pikiranku mulai tidak waras.
Aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkan nenek pada pemuda
itu tapi aku yakin dia sangat berterimakasih. Ketika penumpang yang lain pura-pura
tidak tahu, pemuda itu mau membantunya. Sifat baik yang sulit ditemukan di
masyarakat yang individualis saat ini. Sedangkan mas-mas muka tembok tadi
menatapku seakan-akan aku adalah makhluk yang harus dimusnahkan. "Terimakasih
ya, nak. Tuhan yang membalas nanti." Kata nenek itu ke arahku saat pemuda tadi
sudah berlalu. Nenek ini yang mengingatkanku pada almarhumah nenekku. Duh, jadi
mellow kan. "Sama-sama nenek," ujarku tulus.
Apa sih untungnya nolongin orang tua yang udah bau tanah? seru mas-mas itu
pada pemuda tadi dengan sinis. Saya lebih capek dari pada nenek tua sialan itu.
tambahnya. Pemuda itu hanya diam tak menanggapi.
Saya bekerja banting tulang untuk menghidupi keluarga saya. Kelak kamu juga
akan tau rasanya jadi saya. Jadi, jangan sok pahlawan!
Mulut mas itu perlu disekolahin. Ingin rasanya kutampar mas-mas itu kalau saja
tanganku tidak ditahan oleh Pram yang sangat hafal apapun yang akan kulakan. Lihat,
Pram menatapku dengan tatapan yang dapat kuartikan sebagai jangan aneh-aneh!.
"Saya tahu, Mas lelah. Bekerja seharian, belum lagi menunggu lama untuk naik
bus, berdesak-desakan dan lainnya. Saya sangat mengerti. Ujar pemuda itu. Wajah
dan suaranya datar, tapi aku dapat melihat kilatan amarah dalam bola matanya.
Namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, mas-mas kurang ajar itu
menyela. Kamu nggak akan mengerti! Bocah ingusan kayak kamu tahu apa?!

Saat lelah, bukan berarti hati jadi tidak lagi berfungsi. Tidak lagi peduli orang
lain dan hanya mementingkan diri sendiri. Kata pemuda itu melanjutkan
perkataannya.
Jangan sok menggurui saya! seru mas-mas itu dengan nada tinggi.
Pemuda itu pasti punya usus yang cukup panjang. Ia dengan sabar berkata, Coba
kalau saat ini, Ibu atau saudari anda yang mengalami hal yang sama? Apa anda tidak
sedih mengetahui mereka diperlakukan dengan tidak baik dan tidak ada yang
membantu mereka? Tuhan itu tidak pernah tidur. Suatu hari, apa yang anda lakukan
bisa berbalik pada anda atau orang yang anda sayangi."
Aku tertegun, bukankah ucapan itu hampir sama dengan ucapan Pram tadi? Apa
iya dia menguping pembicaraan kami? Apa mungkin dia saudara jauh kami? Apa
mungkin aku dan dia tertukar sehingga dia adalah saudara kembar Pram yang
sesungguhnya? Oke Hana, hentikan pemikiran gilamu sekarang juga.
Aku melihat ke arah mas-mas itu. Wajahnya merah bak kepiting rebus. Dibanding
hatinya tersentuh, aku yakin dia begitu karena marah. Akhirnya mas-mas itu berdiri
sambil menggerutu dan melihati pemuda itu serta aku pula dengan pandangan kesal
sebelum akhirnya keluar dari bus pada perhentian terdekat.
Aku kemudian berdiri di depan nenek sambil sesekali mengobrol. Aku sedang
malas mendengarkan ocehan teman-temanku yang kali ini membicarakan makanan di
kantin yang rasanya tidak enak. Bahan pembicaraan mereka tak pernah habis.
Kemudian, aku melirik pemuda tadi dengan ujung mataku. Dia mengeluarkan sebuah
buku dari dalam tasnya lalu menyandarkan punggung pada dinding bus dan mulai
membaca. Dia membaca dengan begitu asik tanpa memperdulikan orang sekitarnya.
Di saat yang lain terlalu sibuk dengan smartphone, dia terlihat sangat menikmati buku
tersebut. Ekspresinya di wajahnya begitu serius.
Aku bahkan tidak menyimak saat Srita bercerita mengenai gosip-gosipnya lagi.
Saat ini, aku lebih tertarik melihat, lebih tepatnya melirik, pemuda itu dari kejauhan.
Menurut pengamatanku, pemuda itu berusia sekitar tujuhbelas atau delapanbelas.
Rambutnya yang hitam legam nampak berantakan khas remaja laki-laki pada
umumnya. Di tasnya terdapat sebuah gembok hijau kecil yang sepertinya berfungsi

dengan baik (gembok tas milikku selalu rusak tiap kugunakan). Mata tajam indahnya
berwarna hitam kelam. Warna mata idaman menurutku. Sayang sekali seragamnya
terutup hoodie yang dikenakannya. Aku jadi tidak bisa melihat identitas sekolah,
angkatan, dan namanya. Aneh nggak sih? Aku ngga bisa mengalihkan pandangan
darinya. Seperti ada sesuatu pada dirinya yang membuatku ingin terus
memperhatikannya.
Saat nenek tertidur, entah dorongan dari mana aku menoleh ke arah pemuda tadi.
Aku belum bisa melihat wajahnya dengan jelas karena dia berdiri menyamping. Tapi
mungkin karena dia merasa dilihati atau bagaimana, tiba-tiba dia menoleh ke samping
dan mata kami beradu pandang. Matanya yang tajam walaupun sedikit sayu karena
lelah, balas menatapku dengan penuh kehangatan dan rasa lain yang tidak kumengerti.
Tatapannya membuat jantungku mendadak bekerja lebih keras dari biasanya.
Untuk beberapa saat kami saling melihat ke dalam mata satu sama lain. Tidak
berpaling ataupun merasa canggung. Kami hanya diam dan saling menatap. Sampai
akhirnya ia tersenyum simpul dan kemudian mengalihkan pandangan ke bukunya.
Tidak tahukah dia, senyum simpul itu mampu membuatku menahan nafas dan
merasakan semua di sekitarku senyap seketika. Tidak ada suara yang lain. Dalam
pandanganku pun, hanya ada dia dikejauhan. Jantungku bahkan siap keluar dari
rongganya akibat berdetak terlalu kencang.
Perlahan, aku menyadari sesuatu. Sesuatu yang belum pernah kurasakan pada
siapapun. Sesuatu yang membuat napas terasa berat padahal udara di sekitar sangatlah
banyak. Sesuatu yang membuat hatiku hangat walaupun sedang berdebar tak karuan.
Aku jatuh cinta. Jatuh cinta pada seorang pemuda yang namanya saja belum
kuketahui. Jatuh cinta padanya yang berhasil menyentuh hatiku hanya dengan
senyumannya saja.
Padahal aku tidak percaya dengan yang namanya jatuh cinta pada pandangan
pertama. Aku selalu menganggap itu bodoh dan seringkali menertawakan temantemanku yang mengalaminya. Tapi takdir berkata lain. Seperti yang kubilang, karma
itu memang ada. Karena pada akhirnya, aku merasakan apa itu yang dinamakan cinta

pada pandangan pertama. Maksudku, cinta pada senyuman pertama.

Вам также может понравиться