Вы находитесь на странице: 1из 44

https://bundokanduang.wordpress.

com/2008/05/05/adat-perkawinan-diminangkabau/#more151
adat perkawinan
Stelsel matrilineal dengan system kehidupan yang komunal, menempatkan perkawinan
menjadi
a.
b.

urusan

Urusan

kerabat,

mencari

Membuat

pasangan

persetujuan

c.

Pertunangan

d.

Perhelatan

e.

Hasil

dan

mulai
manyalangkan
pelamaran

perkawinan

maresek,

pinang

batimbang

mato

perkawinan

dari

system

meminang,
tando
baralek
kekerabatan.

Hal ini didasarkan kepada falsafah Minang yang menganggap bahwa manusia dan individu
hidup bersama-sama, sehingga masalah rumah tangga menjadi urusan bersama pula. Masalah
pribadi sepasang anak manusia yang akan membangun mahligai rumah tangga tidak terlepas
dari

pengelolaan

secara

bersama.

Pola perkawinan bersifat eksogami, dimana persatuan sepasang suami dan isteri tidak
menjadi lebur dalam satu rumah tangga akan tetapi masing-masing pasangan suami isteri itu
tetap berada dalam kaum kerabatnya masing-masing. Didalam struktur eksogami, setiap
orang adalah warga kaum dan suku mereka masing-masing, meskipun telah diikat dalam
perkawinan dan telah beranak pinak pula.
Dalam stelsel matrilini, anak yang lahir akibat perkawinan menjadi anggota kaum sang ibu.
Mengapa demikian ? karena secara kodrat alam, kelahiran makhluk didunia ini mengacu pada
induknya.
Seorang ayah tidak perlu bertanggung jawab kepada kehidupan anaknya, karena telah ada
saudara laki-laki ibunya yang akan membimbingnya dalam kehidupan masa depannya.
Bagaimanakah sesungguhnya kondisi perkawinan eksogami yang serupa ini. Tidakkah terjadi
sengketa rumah tangga dalam kehidupan serupa ini. Sekilas kehidupan serupa ini
menunjukkan perkawinan yang semu. Namun sesungguhnya tidak! Karena kehidupan
perkawinan yang bersifat eksogami ini, ternyata mampu mempertahankan keharmonisan
rumah tangga, yang disebabkan bahwa perkawinan dalam adat dan budaya Minang adalah
perkawinan keluarga. Perkawinan itu memiliki tata dan cara yang sesuai dengan falsafah
yang

dianutnya.

Perkawinan eksogami meletakkan para isteri pada status yang sama dengan suaminya.

Seorang wanita Minang ditengah system matriarkal serta pola hidup komunal menyebabkan
mereka tidak tergantung pada suaminya. Seorang suami adalah tamu dirumah keluarga
isterinya, ia dimanja dan dihormati, namun ia bukanlah pemegang kuasa atas anak dan
isterinya. Jika ia ingin disanjung dan dihormati, maka seorang suami harus pandai-padai
menyesuaikan

diri

dikeluarga

isterinya.

Perkawinan Ideal
Perkawinan ideal dilakukan, apabila terjadi perkawinan antara keluarga dekat, seperti
perkawinan

antara

anak

dan

kemenakan.

Perkawinan

ini

lazim

disebut

a. perkawinan pulang kemamak, yaitu mengawini anak mamak, atau perkawinan pulang
kebako,

yaitu

mengawini

kemenakan

ayah.

Perkawinan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengawetkan hubungan suami isteri itu
agar tidak terganggu dengan permasalahan yang mungkin timbul, karena adanya ketidak
serasian antar kerabat. Ekses-ekses yang timbul didalam keluarga yang berkaitan dengan
harta

pusaka

dapat

dihindarkan.

Pola perkawinan serupa ini, merupakan manifestasi dari pepatah yang berbunyi ; anak
dipangku- kemenakan dibimbing.
b. Perkawinan ambil mengambil; artinya kakak beradik laki-laki dan wanita A menikah
secara

bersilang

dengan

kakak

beradik

wanita

B.

Tujuan perkawinan ambil mengambil ini, ialah untuk mempererat hubungan kekerabatan ipar
besan, juga untuk memperoleh suami yang pantas bagi anak kemenakan, tanpa perlu
menyelidiki asal usul calon pasangan suami isteri itu.
c. Perkawinan awak sama awak, yang dilakukan antar orang sekorong, sekampung, se nagari
atau

se

minangkabau.

Perkawinan seperti ini dikatakan ideal karena untuk mengukuhkan lembaga perkawinan itu,
dimana sesungguhnya struktur perkawinan yang eksogami ini, lebih mudah rapuh karena
seorang suami tidak memiliki beban dan tanggung jawab kepada anak dan isterinya. Lain
halnya jika pola awak samo awak, maka tambah dekat hubungan awaknya, tambah kukuhlah
hubungan perkawinan itu.
Perkawinan yang kurang ideal ialah apabila salah satu pasangan berasal dari Non minang
khususnya dengan wanita non minang. Pria minang yang menikah seperti ini , dianggap

merusak
a.

struktur

anak

yang

adat

dilahirkan

dari

Minang,

perkawinan

itu,

karena

bukanlah

suku

Minangkabau.

b. Anak yang dilahirkan akan menjadi beban bagi pria minang itu, karena seorang pria
minang bertugas demi kepentingan bagi sanak saudaranya, kaumnya, dan nagarinya.
c. Kehadiran isteri orang luar Minangkabau dianggap akan menjadi beban dalam seluruh
keluarganya.
Perkawinan Pantang
Pantangan perkawinan ini telah bersifat universal, dimana pun terjadi, misalnya perkawinan
pantang

dan

perkawinan

sumbang,

yaitu

a. Perkawinan pantang ialah ; perkawinan yang merusak sitem adat mereka, yaitu perkawinan
yang

setali

darah

menurut

stelsel

matrilini.

b. Perkawinan sumbang, ialah perkawinan yang dapat merusak kerukunan social masyarakat,
yaitu
1.

mengawini

kaum

2.
3.

kerabat,

saudara

dekat,

memper-madukan
mengawini

orang

tetangga

yang

telah

wanita
yang

tengah

diceraikan,
sekerabat,

dalam

pertunangan.

4. Mengawini anak tiri saudara kandungnya.


Sanksi

terhadap

perkawinan

a.
b.

pantang;
membubarkanperkawinan,

hukum

buang,

diusir,

dikucilkan,

c. hukuman denda dan meminta maaf kepada semua pihak melalui suatu perjamuan dengan
memotong

seekor

dua

ekor

ternak.

Ragam Perkawinan
Dalam proses terjadi perkawinan, terdapat aneka ragam perkawinan yang berlangsung pada
kehidupan
a.

masyarakat,
Perkawinan

yaitu
ganti

lapik

:
:

Perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki atau wanita yang pasangan diantara
keduanya telah meninggal dunia. Baik laki-laki maupun wanita yang akan dinikahkan itu,
merupakan saudara laki-laki/saudara wanita itu yang telah meninggal dunia itu.
Maksudnya demi keberlangsungan persaudaraan antara kerabat pasangan suami isteri itu

sebelumnya dengan anak keturunannya. Sehingga sang anak tidak merasa memiliki ayah atau
ibu tiri orang lain.
b.

perkawinan

cino

buto

perkawinan ini unik sekali, karena sepasang suami isteri yang telah tiga kali kawin cerai
diperbolehkan menikah kembali dengan suaminya atau isterinya, apabila si janda telah
menikah

dengan

laki-laki

lain

lebih

dahulu.

Ragam perkawinan serupa ini, tidak lain sebagai praktek yang dilakukan menurut perintah
agama,

namun

apakah

dalam

kenyataan

ini

memang

ada,

wallahu

alam.

Tata Laksana Perkawinan


Di

Ranah

Minang,

terdapat

dua

tatacara

pelaksanaan

perkawinan

a. Perkawinan menurut agama (syara`). Mengucapkan akad nikah dihadapan kadhi.


Ketika tatacara menurut agama sudah diselenggarakan, sepasang suami isteri belumlah
diperbolehkan hidup serumah tangga, apabila mereka belum melakukan pernikahan secara
adat

yang

dikenal

dengan

baralek

Pada saat ini mereka melakukan kawin gantung atau nikah ganggang ini, kedua pasangan
suami isteri belum diperbolehkan untuk bergaul dalam satu rumah tangga.
b. perkawinan menurut adat, apabila telah dilakukan acara baralek yaitu perjamuan dengan
mengundang seluruh kedua anggota kerabat pasangan suami isteri itu.
Perkawinan Menurut Kerabat Perempuan
Jika dipandang dari segi kepentingan, maka kepentingan perkawinan lebih berat pada pihak
perempuan. Oleh karena itulah mereka menjadi pemprakarsa dalam perkawinan dan
kehidupan rumah tangga. Mulai mencari jodoh, meminang, menyelenggaranakan
perkawinan, lalu mengurus dan menyediakan segala keperluan untuk membentuk rumah
tangga sampai memikul segala yang ditimbulkan dalam perkawinan itu. Mengapa demikian
pentingnya keterlibatan kerabat dalam suatu perkawinan disebabkan antara lain :
Perkawinan merupakan suatu kewajiban bagi seorang gadis yang telah memiliki kemampuan
untuk berumah tangga. Bila ia dianggap telah dewasa (gadih gadang), maka merupakan
kewajiban dari orang tua dan ninik mamak mencarikan jodohnya. Sebab jika seorang gadis,
dibiarkan tidak bersuami, maka menimbulkan aib bagi kerabat yang bersangkutan. Tidak saja

bagi kaumnya, gadis itupun akan menderita cacat lahir bathin. Mempunyai gadis gaek /
perawan tua dalam rumah tangga merupakan aib yang akan menjadi beban sepanjang kerabat
itu. Martabat keluarga menjadi jatuh karenanya.

Proses mencari jodoh


Lembaga perkawinan memerlukan penyesuaian banyak hal. Lembaga perkawinan
membentuk kehidupan social baru, yaitu hubungan antara pribadi dengan pribadi lain,
antara keluarga dengan keluarga lain, antara kerabat dengan kerabat lain. Latar belakang
antara kedua keluarga bisa sangat berbeda, baik cara, kebiasaan, tatacara adat dan budaya,
dll. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan
kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan
pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting
sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga
kelak

kemudian.

Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan
batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Di
Minangkabau membawa konsekwensi, yaitu ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam
mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan begitu saja dalam
pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari, dipahami dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya menurut tatacara perkawinan yang berlaku di Minangkabau.
Mengabaikan ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam penyelenggaraan
perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit bagi kelanjutan anak keturunan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu lembaga perkawinan di ranah Minang,
adalah
a.

sebagai
Kedua

calon

berikut

pasangan

harus

:
beragama

Islam.

b. Kedua calon pasangan tidak seibu, tidak senenek, tidak sekaum dan tidak sesuku yang
sama,

kecuali

pesukuan

itu

berasal

dari

nagari

atau

luhak

yang

lain.

c. Kedua calon pasangan tidak melakukan larangan perkawinan (perkawinan sumbang),

d. Pria yang akan menjadi mempelai harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk
dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Berbagai cara dan upaya untuk mendapat calon menantu, dilakukan oleh pihak keluarga
wanita di Minangkabau, antara lain sebagaimana digambarkan sebagai berikut :
1.

Penjajakan

Manyalangkan

mato

Maresek

Kegiatan ini merupakan proses awal dalam mendapat jodoh bagi seorang anak wanita. Di
Ranah Minang kegiatan ini dilakukan ketika dari pihak keluarga wanita merasa memiliki
kesiapan untuk mengantarkan anaknya ke jenjang perkawinan. Mereka berupaya
memperoleh menantu yang baik, berdasarkan persyaratan yang diklasifikasi antara lain,
karena

pendidikan,

kekayaan,

status

keturunan,

karena rupa dan wajah, namun ini tidak terlalu dipertimbangkan kecuali pihak yang
dijajaki mengalami cacad tubuh.
Kegiatan menjajaki berawal dari mendengar, melihat kemudian menanyakan calon yang
akan diminta itu kepada keluarganya. Rangkaian kegiatan ini dikenal dengan berbagai
macam istilah. Ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada juga yang
menyebut marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Semuanya itu bermakna
sama, yaitu melakukan penjajakan pertama. Maresek artinya memegang sesuatu secara
abstrak

atau

nyata.

Siapa yang harus melakukan penjajakan ini ? Apakah pihak keluarga wanita, atau pihak
keluarga

yang

laki-laki

?.

Pada tahapan penjajakan, baik wanita maupun laki-laki sama-sama memiliki peluang untuk
dijajaki atau diresek. Karena kegiatan ini belum merupakan suatu kesepakatan yang akan
mengikat

kedua

belah

pihak

dalam

suatu

tata

cara

perkawinan.

Pada tahapan ini ada pepatah yang berbunyi, yaitu ; Sia marunduak sia bungkuak Sia
malompek sia patah, Artinya siapa yang lebih berkehendak tentulah dia yang harus
melakukannya.
Untuk kasus-kasus yang semacam ini, tentang siapa yang harus terlebih dahulu melakukan
penjajakan, tidaklah merupakan masalah. Seringkali resek-maresek ini tidak selesai satu

kali, tapi bisa berlanjut dalam beberapa kali perundingan. Biasanya wanita-wanita yang
sudah berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu diutus terlebih dahulu, untuk
menanyakan kesediaan bakal calon pasangan. Tujuannya adalah mengajuk-ajuk , membujuk
bakal calon yang akan dituju, apakah sudah berniat untuk berumah tangga. Jika pihak
keluarga laki-laki memberikan respon yang baik, maka segera mereka menyampaikan
kepada keluarga wanita dan tentunya pihak keluarga wanita segera menindak lanjuti kearah
yang

sesuai

dengan

ketentuan

adat

yang

berlaku.

Urusan resek maresek ini tidak hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga berlaku
sampai sekarang, baik bagi keluarga yang masih berada di Ranah Minang, maupun bagi
mereka yang sudah bermukim dirantau-rantau. Jika semuanya telah bersepakat untuk saling
menjodohkan anak kemenakan masing-masing dan segala persyaratan yang disetujui oleh
kedua pihak, maka barulah langkah selanjutnya ditentukan untuk mengadakan pertemuan
secara lebih resmi oleh keluarga kedua belah pihak. Acara inilah yang disebut pinang
maminang.
2. Pinang maminang :
Pinang maminang, berasal dari cara dan tata kelakuan masyarakat dalam mengajukan
sesuatu permintaan kepada bakal calon pasangan hidup. Berawal dari kata pinang yang
dibawa beserta sirih dalam cerana pada saat berkunjung ketempat kediaman bakal calon
pasangan. Kebiasaan ini kemudian berkembang secara dalama formal dalam mencari jodoh
sebagaimana

yang

kita

kenal

dengan

pinang

meminang.

Di Ranah Minang kebiasaan mengajukan pinang meminang, lazimnya diprakarsai oleh


kerabat wanita. Proses pinang meminang merupakan hasil manyalangkan mato maresek,
setelah diperoleh informasi seputar bakal calon pasangan. Proses pinang meminang antar
kedua pihak keluarga, dilakukan pula beberapa kali pertemuan, untuk merekam keinginankeinginan pihak keluarga lelaki atas hal-hal yang menjadi persyaratan yang harus di-isi oleh
pihak wanita, agar ketika kesesuaian dalam perjodohan ini tidak mendapat gangguan atau
kekecewaan

kelak

dikemudian

hari.

Isi, artinya mengisi sesuatu yang diminta dan diinginkan oleh pihak keluarga laki-laki.
Misalnya didaerah rantau atau pesisir Padang Pariaman berlaku ketentuan yang akan diisi
adalah uang jemputan, uang dapur, biaya pendidikan dll.
Yang harus diperhatikan ! bahwa pada awal pinang meminang ini, sungguhpun segala
kesepakatan masih bersifat rahasia, hendaknya keinginan pihak lelaki harus diketahui

secara terbuka oleh keluarga inti pihak wanita yang terdiri dari; orang tua maupun ninik
mamak

pihak

wanita.

Sesuai dengan sistem matrilineal yang berlaku di Minangkabau, maka yang melakukan
peminangan ini adalah pihak keluarga wanita. Wakil keluarga pihak wanita akan berulang
kali datang kepada pihak keluarga laki-laki sampai ia memperoleh jawan apakah
peminangannya

diterima

atau

tidak.

Acara meminang, bisa saja terjadi karena sudah direkayasa oleh kedua keluarga
sebelumnya. Jika tidak, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali sebelum urutan
ketentuan diatas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga pria pasti tidak dapat langsung
memberikan jawaban pada pertemuan pertama. Orang tuanya atau ninik mamak si pria,
akan meminta waktu terlebih dahulu untuk memperembukkan lamaran itu dengan keluargakeluarganya yang patut-patut lainnya. Paling-paling pada pertemuan tersebut, pihak
keluarga pemuda menentukan waktu kapan mereka memberikan jawaban atas pinangan itu.
Pada acara maminang yang berlangsung dikota-kota besar, umumnya sudah dibuat dengan
skenario yang praktis berdasarkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan
seperti yang dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara simultan dan diselesaikan dalam
satu kali pertemuan.
3. Melamar :
Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan dijodohkan itu
dengan dipimpin oleh Ninik mamaknya, datang bersama-sama kerumah keluarga calon
pemuda yang dituju. Lazimnya untuk acara pertemuan resmi pertama ini, diikuti oleh ibu
dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita yang patut-patut dari
keluarganya. Dan biasanya rombongan yang datang juga telah membawa seorang juru
bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika sekiranya Ninik Mamak yang
akan

melamar

itu,

bukan

orang

ahli

untuk

itu.

Kegiatan melamar dengan pinang meminang berbeda tipis. Kegiatan pinang meminang
merupakan hasil tindak lanjut dari kegiatan manyalangkan mato, maresek menjajaki.
Apabila kegiatan pinang meminang, memperoleh hasil yang diharapkan, maka pihak
keluarga wanita akan mendatangkan kerabat intinya, yang terdiri dari ninik mamak dan
kerabat terdekat, untuk meminta secara resmi kepada ninik mamak pihak laki-laki, bahwa
anak/kemenakanya akan dijodohkan dengan anak kemenakannnya. Permintaan secara resmi
inilah

yang

disebut

melamar

Kegiatan melamar berlangsung benar-benar resmi, disertai kalimat yang melodius dan
berirama pantun yang disebut petatah petitih. Wakil Ninik Mamak pihak wanita akan
memperkenalkan kesantunan dan kebaikan anak gadisnya yang dapat menjadi pasangan
yang serasi bagi anak laki-laki yang dilamar itu. Tidak lupa pula wakil keluarga itu akan
memperkenalkan keadaan keluarga asal usul, status social dari segenap masing-masing
pihak. Martabat kedua keluarga diunjukkan pada kegiatan melamar ini, semata ingin
menunjukkan agar masing-masing pihak saling menjaga dan saling menghormati diantara
keluarga kelak dikemudian hari.
Untuk menghindarkan hal-hal yang dapat menjadi penghalang bagi kelancaran pertemuan
kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya pada saat marisiak sebelumnya, telah
membicarakan dan mencari kesepakatan dengan keluarga pihak pria mengenai materi apa
saja yang akan dibicarakan pada acara melamar itu. Apakah setelah acara melamar telah
dilaksanakan, lalu langsung dilakukan acara batuka tando atau batimbang tando ?
Buah

tangan

atau

Barang-barang

yang

Dibawa

Apa saja yang dibawa oleh pihak keluarga wanita ketika akan melakukan lamaran secara
resmi ? (saat ini belum disebut calon mempelai pen) ?
Barang-barang yang dibawa waktu maminang, yang utama adalah sirih pinang lengkap.
Apakah disusun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak menjadi soal. Yang penting
sirih

lengkap

harus

ada.

Disebut tidak beradat dalam suatu acara, jika tidak ada sirih yang diketengahkan. Daun
sirih yang akan dikunyah menimbulkan dua rasa dilidah, yaitu pahit dan manis, terkandung
simbol-simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan kekurangan-kekurangan mereka.
Selama pertemuan itu, bisa saja terjadi kekhilafan-kekhilafan baik dalam tindak-tanduk
maupun dalam perkataan. Dengan menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala yang
janggal

itu

tidak

akan

jadi

gunjingan.

Sebagaimana dalam pasambahan siriah disebutkan :


Kok
Manih

Siriah
lah

Pahik
Jika

lah
lakek
lah

sirih

kami
diujuang
luluih

sudah

makan
lidah
karakuangan

kami

makan

Yang

manis

lekat

di

ujung

lidah

Yang pahit lolos ke kerongkongan


Artinya, para tamu atau tuan rumah tidak lagi mengingat-ingat segala yang jelek, hanya yang
manis

saja

pada

pertemuan

itu

yang

akan

melekat

dalam

kenangannya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pihak keluarga wanita yang datang melamar, akan membawa
barang

bawaan

yang

disebut

buah

tangan,

yang

terdiri

dari

a. sirih pinang dalam cerana atau dibawa dengan kampia tidak menjadi soal,
b.

sesisir

pisang

c.

kueh

besar

atau
atau

rangkaian

buah,

cake

bunga,

d. penganan khas minang lainnya.


Bagi pihak yang dilamar atau pihak keluarga laki-laki, maka selayaknya menyambut
kedatangan tamunya dengan menghidangkan makanan yang disesuaikan dengan waktu
kedatangan si tamu, apakah siang hari, sore atau malam.
4. Batimbang tando :
Pada saat pelamaran telah dilakukan, tidak otomatis rencana perhelatan digaungkan. Kedua
pihak kerabat, lazimnya terlebih dahulu melakukan acara batimbang tando , suatu acara
pertukaran tanda ikatan bahwa kedua pihak keluarga telah berjanji akan menjodohkan anak
kemenakan

mereka

dalam

ikatan

perkawinan

disuatu

saat

kelak.

Jika disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus dilangsungkan
acara bertukar tanda atau batimbang tando, maka benda yang akan dipertukarkan sebagai
tanda itu, turut serta dibawa oleh pihak yang melamar. Benda itu diletakkan pada wadah yang
disebut dulang atau nampan. Batuka tando (bertukar tanda), dilakukan bila kedua belah pihak
keluarga telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakannya dan saling
memberikan benda sebagai tanda ikatan sesuai dengan hukum perikatan menurut adat
Minangkabau yang berbunyi :
Batampuaklahbuliah dijinjiang atau Batali lah buliah diirik.
Artinya kalau tanda telah dipertukarkan dalam satu acara resmi oleh keluarga kedua belah
pihak, maka bukan saja antar sepasang calon mempelai tersebut telah ada keterikatan menuju
lembaga perkawinan menurut adat Minangkabau, hal ini juga merupakan pengesahan kepada

masyarakat hukum adat disekitarnya bahwa sepasang calon mempelai itu telah bertunangan.
Juga, kedua belah keluarga pun telah terikat untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak
dapat memutuskan secara sepihak perjanjian yang telah mereka sepakati itu.
Benda

apa

yang

dapat

dijadikan

sebagai

tanda

batimbang

tando

Benda yang dijadikan pertukaran tanda itu tidaklah sama pada semua Nagari. Tanda itu, bisa
berbentuk cincin emas, kain balapak, atau keris pusaka. Umumnya pihak wanita memberi
perhiasan

emas

dan

pihak

laki-laki

memberi

keris

pusaka.

Apakah pemberian tanda benda pusaka ini merupakan kemestian yang harus dilakukan oleh
keluarga

calon

mempelai

Sungguhpun yang dipertukarkan lazimnya adalah benda-benda pusaka, seperti keris, atau
kain adat yang mengandung nilai sejarah bagi keluarga, namun sesungguhnya, bukan dinilai
dari kebaruan dan kemahalan harganya, tetapi justru karena sejarahnya itu yang sangat berarti
dan

tidak

dapat

dinilai

dengan

uang.

Umpamanya sebuah kain balapak yang telah berumur puluhan tahun yang pernah diwariskan
oleh nenek si gadis sebelum meninggal, atau kain adat yang pernah dipakai oleh ibu si gadis
pada perkawinannya puluhan tahun yang lalu. Karena nilai-nilai sejarahnya inilah maka
barang-barang yang dijadikan tanda itu menjadi sangat berharga bagi keluarga yang
bersangkutan. Nanti setelah akad nikah dilangsungkan, maka masing-masing tanda ini harus
mengembalikan

lagi

dalam

suatu

acara

resmi

oleh

kedua

belah

pihak.

Andaikan pertunangan ini putus, maka pihak yang memutuskan akan mengembalikan tanda
yang diterima dulu, sedangkan pihak lainnya tidak berkewajiban mengembalikan tanda yang
diterimanya.
5. Baretong (Musyawarah pra perhelatan):
Baretong, arti harfiahnya berhitung. Namun dalam pelaksanaan bukanlah pekerjaan
menghitung-hitung, melainkan memusyawarahkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti
dalam pra perhelatan, perhelatan dan setelah perhelatan. Apa saja yang dimusyawarahkan
oleh kedua belah pihak calon pasangan pengantin, semata-mata untuk memperjelas hak dan
kewajiban kedua keluarga calon mempelai dalam pelaksanaan sebelum, pada saat dan
sesudah upacara perkawinan diselenggarakan. Kegiatan itu antara lain :

Pra

pernikahan,

yaitu

kesepakatan

dalam

menentukan hari (manakuak hari) kapan akad nikah dan resepsi perkawinan dilaksnakan

atau
persyaratan apa yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak pada saat pelaksanaan
pernikahan. (lihat sub title mengenai Persyaratan dalam Pra Pernikahan).
Pelaksanaan akad nikah dan perhelatan (resepsi) , yaitu rangkaian prosesi dan acara antara
lain

prosesi

penjemputan

prosesi

menjelang

mempelai,
(manjalang),

dll
* Setelah akad nikah dan perhelatan.
Dalam adat perkawinan Minang, pihak yang mempersiapkan segala sesuatu tentang acara dan
upacara serta persyaratan yang harus dipenuhi kepada pihak calon mempelai pria, semua
dirundingkan lebih dahulu oleh pihak keluarga calon mempelai wanita dalam kegiatan
baretong

ini.

Disinilah peran ninik mamak, induak bako dipertaruhkan demi menegakkan martabat
keluarga besar calon mempelai wanita. Bahkan betapa besar peran yang harus dan semestinya
dilakukan bagaikankan pepatah yang mengatakan bahwa ;
Tak

ada

kayu

Tak

ada

air

Tak

ada

beras

jenjang
talang

dikeping
dipancung

atahnya

dikisik

Tak ada emas bungkal diasah.


Disinilah harta pusaka dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pelaksanaan hajad yang besar
ini. Pada pelaksanaan perkawinan eksogami, ini tersedia rumah gadang dan harta pusaka
yang

khusus

diperuntukkan

hal

ini,

yaitu

Gadih gadang nak balaki


Perkampungan

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya. Demikian pula di daerah Pariaman dan
sekitarnya,

selain

kegiatan

baretong

dikenal

pula

perkampungan

Perkampungan adalah suatu tata cara adat yang berlaku didalam keluarga calon mempelai
wanita, bagaimana upaya menanggung biaya penyelenggaraan pesta perkawinan. Untuk

memenuhi dan mengisi persyaratan adat perkawinan, maka biaya yang diperlukan sangat
tinggi. Biaya ini pasti tidak dapat ditanggulangi oleh keluarga inti belaka, seperti ayah dan
ibu calon mempelai wanita. Disinilah peran ninik mamak, induak bako dan urang Sumando,
untuk ikut menanggung beban biaya perhelatan. Semua serba terbuka dan jelas, agar tidak
terjadi

kekisruhan

menyangkut

biaya

perhelatan

itu.

Perkampungan merupakan wujud kegotong royongan budaya alam minang kabau, seperti
pepatah yang mengatakan ; Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Semua beban biaya
diperhitungkan,

yaitu

biaya

untuk

kebutuhan

;
mempelai

wanita,

perlengkapan mempelai pria yang akan menjadi urang sumando baru kelak,

biaya

penyelenggaraan

akad

nikah

dan

kenduri,

dan

termasuk pula persyaratan dalam pra pernikahan yang wajib dipenuhi oleh mempelai
wanita.
Biaya yang terkumpul dalam perkampungan ini, merupakan modal bagi si empunya hajad
nantinya dalam melaksanakan perhelatan dan kenduri.

Persyaratan pra nikah


Pada masa batimbang tando pertunangan, ada beberapa hal yang perlu di klarifikasi antara
kedua belah pihak, yaitu menyangkut tatacara, persyaratan dan lain-lain yang dilakukan pada
saat perhelatan akan diselenggarakan. Dalam mengisi persyaratan ini, tidak berdasarkan
untuk meraih kemenangan antara pihak pria dan wanita, akan tetapi demi menjaga
kehormatan keluarga, dimana pihak yang bisa mengisi kebutuhan calon mempelai tentu akan
medapat penilaian yang baik dimata masing-masing keluarga lain. Variasi tentang hal ini
cukup beragam, sama halnya dengan pepatah yang mengatakan ; lain lubuk lain ikannya, lain
padang lain belalangnya.
Adapun perysaratan yang lazimnya diisi menjelang upacara pernikahan dilakukan, yaitu :
1.

Mahar

Masyarakat Minangkabu tidak mengenal mas kawin, sebagaiman yang kita kenal dalam

praktek adat perkawinan tiap etnis yang ada di Indonesia. Orang Minang memandang
lembaga perkawinan pada adat dan budayanya adalah perikatan antara dua keluarga (kerabat)
dan

bukan

semata

perjodohan

sepasang

anak

manusia

yang

berlainan

jenis.

Bagi calon mempelai pria (CPP)yang akan datang dan bertempat tinggal di rumah isterinya,
berkewajiban menyiapkan mahar sebagaimana yang diwajibkan dalam agama ia juga
membawa perangkat keperluan mempelai wanita, yang disebut panibo.
2.

Panibo

Uang

antaran:

Panibo asalnya dari tibo atau tiba. Biasanya panibo itu berbentuk sepasang pakaian lengkap
untuk mempelai wanita dan bisa pula disesuaikan dengan kebutuhan pokok bagi wanita,
seperti selimut woll tebal untuk didaerah dingin atau selendang bersulam emas hasil karya
tangan wanita minang. Pihak pria bisa juga memberikan nilai tertentu kepada pihak wanita
disebut dengan uang antaran, jika laki-laki yang mengajukan peminangan. Akan tetapi uang
antaran atau panibo ini, diimbangi pula pananti, oleh pihak perempuan dalam bentuk
pakaian laki-laki, misalnya seperangkat pakaian pria lengkap, yaitu ; Jas, kemeja, sepatu, dll.
3.

Uang

jemputan

Uang jemputan adalah ukuran materi tertentu berbentuk uang atau barang atau yang
disetarakan yang diberikan oleh kerabat Calon Pengantin Wanita (CPW / anak daro) kepada
kerabat calon mempelai CPP /marahpulai. Pemberian uang jemputan ini dilakukan oleh
keluarga

CPW

kepada

a.

CPP,

karena

si

pria

karena

memiliki

Gelar

b.

gelar

c.

Memiliki

turunan,
pengaruh

seperti
status

social

kesarjanaan,
sidi,

bagindo

tertentu

karena

dan
nama,

sutan,

jabatan,

dll.

Memberi uang jemputan oleh keluarga pihak wanita kepada keluarga pria tidak dapat
dianggap sebagai telah membeli seorang pria bagi anak gadisnya, namun sesungguhnya
mereka menjemput si pria tersebut agar bersedia menetap dirumah calon isterinya kelak.
Pada masa tradisi dahulu, suatu keluarga akan menempatkan calon menantunya pada posisi
yang disanjung dan dianjung. Artinya, disanjung untuk- dihormati sedangkan dianjung
dibawa dengan menggunakan suatu kendaraan, seperti kuda, bendi. Sebenarnya uang
jemputan ini merupakan pengganti benda yang disubsitusikan dalam rangka dianjung tadi
yang kemudian diwujudkan dalam bentuk hadian berupa uang. Maksudnya sekiranya seorang
pria akan diberikan sebuah hadiah berupa kuda atau dijemput dengan bendi, namun kuda atau
bendi itu bukanlah fresh money yang dapat dinikmati oleh keluarga besarnya. Oleh sebab

itulah ada kecendrungan pihak keluarga wanita memberikan keluarga pria itu fresh money
yang

dikenal

dengan

uang

jemputan.

Dalam perkembangannya tradisi jemput menjemput ini, mengandung nilai komersial dan
kehormatan yang dibayar dengan uang. Jadilah penilaian seorang pria akan dihargai uang
jemputannya dengan harga yang tinggi, semata-mata karena ia memiliki persyaratan tertentu.
4.

Uang

dapur,

dll.

Kadang kala ada pula pihak pria yang merasa malu, jika statusnya dikompensasikan dengan
sejumlah uang tertentu. Keluarga pria menyadari pula bahwa akibat dari pelaksanaan
perkawinan tentu memerlukan biaya yang tidak sediki, sementara ia juga mempunyai
kewajiban untuk meresmikan perkawinan anaknya dilingkungan keluarga atau masyarakat
tempat ia bedomisili. Disinilah ia meminta bantuan kepada pihak calon besannya agar
memberikan bantuan sebesar nilai tertentu kepada pihak keluarga wanita. Permintaan bantuan
ini tidak berdasarkan persyaratan tertentu seperti halnya uang jemputan melainkan semata
untuk

membiaya

perhekatan

di

keluarganya

pula.

Uang dapur biasanya diberikan secara rahasia, mengingat calon mempelai pria merasa malu
menerima uang dari kelaurga calon isterinya. Namun mengingat latar belakang ekonomi yang
sangat membutuhkan bantuan itu, bisa saja pihak keluarga calon mempelai wanita
memberikan bantuan berupan uang yang saat ini dikenal dengan uang dapur.
Minta izin untuk memperoleh restu
Meminta izin untuk memperoleh doa restu, wajib dilakukan calon pengantin pria (CPP)
kepada para ninik mamaknya. Seorang pemuda di Minangkabau menempuh hidup
berkeluarga bagaikan berangkat pergi merantau. Ia akan menjadi tamu abadi didalam
keluarga besar isterinya kelak. Karena itu ia mesti mendapat bimbingan adat dari orang tuatua dan para sesepuh dikeluarga besarnya. Bagi seorang pemuda telah ditentukan jodoh dan
hari perkawinannya, maka kewajiban yang pertama menurut adat yang harus dilakukan
sebelum ia melepas masa bujang ialah; memberi tahu dan mohon doa restu kepada ninikmamaknya, saudara-saudara ayahnya; kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan kepada
orang-orang tua lainnya yang dihormati dalam keluarganya itu. Acara ini pada beberapa
daerah

di

ranah

Minang

disebut

minta

izin

atau

meminta

doa

restu.

Bagi calon pengantin wanita (CPW), tidak ada kewajiban untuk meminta restu kepada ninik
mamaknya, karena sebagai wanita ia adalah pengikat hubungan antara keluarga didalam
perkawinan eksogami itu. Segala sesuatu yang harus dipenuhi dalam tata cara adat dan

budaya telah dilaksanakan oleh kaum keluarganya. Seandainya ia telah memperoleh jodoh
hasil dari manyalangkan mato maresek, maka akan ada wakil dari wanita yang telah
berkeluarga yang akan menyampaikan kepada ninik mamak didalam kaumnya.
Bagi seorang pemuda, ketika proses mencari jodoh yang berwujud pinang meminang,
pelamaran dan bertimbang tando dsb, hampir semua anggota kaum telah mengetahui bahwa
ia telah memperoleh jodohnya, namun sebagai seorang pemuda yang akan menikah, Ia adalah
bagaikan seorang yang akan pergi merantau. Ia dibekali dengan petuah dan nasehat dari para
orang-orang tua yang ada dikeluarganya. Selain itu sesungguhnya meminta izin atau doa restu
ini, sekaligus merupakan penyampaikan undangan kepada para orang-orang tua, ninik mamak
dan isteri ninik mamaknya.
Tata caranya :
Bila telah ada penentuan hari dan tanggal perkawinan, calon pengantin pria dengan
membawa seorang kawan (biasanya teman dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi
mendatangi langsung rumah para isteri ninik mamaknya atau dari keluarga-keluarga yang
patut dihormatinya. Ia menyampaikan bahwa jika diizinkan Allah, ia akan melaksanakan
akad nikah. Kemudian menjelaskan segala rencana perhelatan yang akan diadakan oleh orang
tuanya. Lalu minta izin (mohon doa) restu dan jika perlu minta nasehat dan petunjuk yang
diperlukan

dalam

rencana

perkawinan

itu.

Dalam kesempatan ini, calon pengantin pria wajib menyampaikan suatu ajakan atau
memohon kehadiran anggota rumah yang dkunjunginya serta seluruh keluarganya pada harihari perhelatan tersebut. Biasanya keluarga-keluarga yang didatangi tidaklah melepas pulang
begitu saja si calon pengantin pria itu yang sengaja datang minta izin, namun ia akan
memberi nasehat yang diperlukan bahwa menanyakan apa saja yang diperlukan oleh si CPP.
Hasil dari meminta doa restu ini, maka semakin jelas dan yakin bagi pihak yang dikunjungi
itu, bahwa ia telah dihormati oleh anak kemenakannya. Pihak isteri mamak (dipanggil
mintuo ), merasa terpanggil untuk ikut memikul beban sebagaimana pepatah yang
mengatakan ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, dengan memberikan bingkisanbingkisan yang berguna bagi orang yang akan pesta, sesuai dengan kemampuannya. Contoh ;
gula

pasir,

baju

untuk

si

calon

pengantin

pria,

dll.

Di berbagai tempat isitilah ma anta siriah atau menghantar sirih, disesuaikan dengan cara
dan kebiasaan setempat si calon pengantin. Namun maksud dan tujuannya sama, yaitu

pengajuan izin dan mohon doa restu. Tugas ini dilaksanakan beberapa hari atau paling lambat
dua hari sebelum akad nikah dilangsungkan.
Tata

Busananya

Untuk melaksanakan acara ini, CPP diharuskan untuk mengenakan busana khusus. Ada dua
pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai sekarang dibeberapa daerah di Sumatera Barat,
yaitu

1. Mengenakan celana batik dengan baju gunting cina berkopiah hitam dan menyandang kain
sarung palekat (atau sarung Bugis).
2. Mengenakan celana batik dengan kemeja putih yang diluarnya dilapisi dengan jas, kerah
kemeja keluar menjepit leher jas. Tetap memakai kopiah dengan kain sarung pelekat yang
disandang di bahu atau dilingkarkan di leher.
Dahulu si CPP diharuskan untuk membawa salapah (semacam tempat untuk rokok daun
nipah dengan tembakaunya). Tetapi sekarang anak-anak muda telah menukarnya dengan
rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang tersebut hanyalah sebagai suguhan pertama
sebelum

membuka

kata.

Berbeda pengertian mengantar sirih bagi keluarga CPW, yang tujuannya untuk
menyampaikan maksud tertentu pada keluarga pria, maka seperangkat daun sirih lengkap
telah dibubuhi kapur sirih, pinang yang telah tersusun rapi baik diletakkan diatas carano
maupun didalam kampia (tas yang terbuat dari daun pandan). Sebelum menyampaikan
maksud kedatangan, maka sirih ini terlebih dahulu disuguhkan kepada orang yang didatangi.
Memandikan calon pengantin wanita
Meskipun sekarang ini acara memandikan CPW/anak daro tidak dilakukan lagi, namun
beberapa nagari di Sumbar, acara malam bainai ini sering juga diawali lebih dahulu dengan
acara mandi-mandi yang dilaksanakan khusus oleh wanita-wanita disiang hari atau sore
harinya. Maksudnya kira-kira sama dengan acara siraman dalam tradisi Jawa. CPW/anak
daro dibawa dalam arak-arakan menuju ke tepian atau ke pincuran tempat mandi umum yang
tersedia dikampungnya. Kemudian wanita-wanita tua yang mengiringkan termasuk ibu dan
neneknya, setelah membacakan doa, secara bergantian memandikan anak gadis yang besok
akan dinobatkan jadi pegantin itu.
Dikota-kota besar, seperti di Jakarta, upacara memandikan calon anak daro juga lazim
diselenggarakan. Akan tetapi demi efisiensi waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain,
acara memandikan calon anak daro digabungkan pelaksanaan dengan upacara memasang

inai. Acara memandikan calon anak daro, dilaksanakan secara simulasi tanpa mengguyur si
calon anak daro, namun cukup dengan cara memercikkan air yang berisi haruman tujuh
kembang itu di beberapa tempat ditubuhnya dengan disertai doa selamat dari pihak yang
memercikkan air ke tubuh si CPW/calon anak daro .
Tata cara acara memandikan Calon Pengantin Wanita/anak daro :
Jika acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolis atau simulasi belaka, maka sediakanlah
satu ruangan khusus untuk menempatkan sebuah kursi dengan payung kuning terkembang
didekatnya.
Pada sat ba`da Magrib, ketika seluruh anggota kerabat telah hadir, maka si CPW/calon anak
daro yang telah didandani dengan menggunakan busana khusus, dibawa keluar dari
kamarnya, diapit para gadis yang juga menggunakan pakaian adat. Ketika Islam menjadi
pegangan didalam pelaksanaan hukum adat, maka pada acara ba inai dan mandi-mandi
dilaksanakan dengan warna yang Islami. Yaitu, ketika si calon anak daro keluar dari
kamarnya, ia akan disambut oleh kelompok kesenian yang mendendangkan salawat Nabi
hingga si calon anak daro ini duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang dari anggota
keluarga yang laki-laki, biasanya adik atau kakak dari si calon anak daro berdiri
dibelakangnya memegang payung kuning.
Mengapa demikian ? tidak lain bahwa saudara laki-laki si calon pengantin suatu saat kelak
akan menjadi mamak dikeluarga itu kelak nanti, utamanya bagi anak-anak yang akan
dilahirkan oleh calon anak daro itu. Saudara laki merupakan tungganai rumah yang
bertanggung jawab untuk melindungi dan menjaga kehormatan saudara-saudaranya dan
kemenakan-kemenakannya yang wanita.
Setelah itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri mengapit dikiri kanan si calon anak
daro, sambil memegang kain simpai.
Ini maknanya : menurut sistem kekerabatan matrilinial, saudara-saudara ibu yang wanita
adalah pewaris pusako yang berkedudukan sama dengan ibu anak daro. Karena itu dia juga
berkewajiban untuk melindungi anak daro dari segala aib yang bisa menimbulkan gunjingan
yang dapat merusak integritas kaum seperinduan.
Walaupun acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolik, kecuali ayah kandungnya, maka
orang-orang yang diminta untuk memandikan dengan cara memercikkan air haruman tujuh
macam bunga kepada calon pengantin wanita ini hanya ditentukan untuk wanita-wanita tua
dari keluarga terdekat anak daro dan dari pihak bakonya. Jumlahnya harus ganjil.
Umpamanya lima, tujuh atau sembilan orang. Dan yang terakhir melakukannya adalah ayah
ibunya. Jumlah ganjilnya ini ditetapkan sesuai dengan keyakinan atas kekuasaan Tuhan
dalam peristiwa alam, atau karena angka-angka ganjil selalu berhubungan dengan peristiwaperistiwa sakral. Seperti ; sembahyang lima waktu, langit berlapis tujuh, sorga yang paling
diidamkan oleh seorang Muslim juga sorga ketujuh. Tawaf keliling Kabah dan Sai pulang
balik antara Safa dan Marwa dilaksanakan juga tujuh kali.
Di Minangkabau upacara adat memandikan anak daro dan malam bainai, diselenggarakan
dengan berbgai macam cara. Pada beberapa kenagarian, selain calon anak daro dimandikan

dengan disiram dengan air yang berisi racikan tujuh kembang, ada pula yang melakukan
dengan cara ;
tubuh calon anak dibaluti dengan tujuh lapis kain basahan yang berbeda-beda warnanya.
Satu persatu orang tua menyiramkan air kembang tujuh rupa tubuh calon anak daro. Setiap
calon anak daro diguyur dengan air kembang maka satu balutan kain dibuka dari tubuhnya
dan demikian seterusnya.
Jika acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara simbolik, maka air haruman tujuh bunga itu
dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan mempergunakan daun sitawa sidingin.
Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering dipakai diluar maupun diminum, ia
berkhasiat untuk menurunkan panas badan. Karena itu disebut daun sitawa sidingin.
Acara memandikan calon anak daro ini diakhiri oleh guyuran dan siraman dari kedua ibu
bapaknya.
Setelah acara memandikan itu selesai, maka kedua orang tuanya itu akan langsung
membimbing puterinya melangkah menuju ke pelaminan ditempat mana acara bainai akan
dilangsungkan. Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain hamparan kuning yang
terbentang dari kursi tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan.
Rangkaian upacara memandikan calon anak daro, karena mengandung nilai simbolik yang
sangat berarti, maka hendak si calon anak daro dengan disaksikan semua hadirin, menjalani
prosesi secara serius. Memandikan calon anak daro hingga memasangkan inai pada kuku jari,
adalah napak tilas dari awal kehidupannya hingga ia berangkat menuju mahligai rumah
tangga. Bagi orang tua-tua dikalangan calon anak daro itu, maka prosesi ini adalah suatu
wujud keikhlasan untuk melepas sang anak menuju rumah tangga yang harmonis. Setelah
sekian tahun ia membesarkan dan membimbing puterinya dengan penuh kehormatan dan
kasih sayang, maka malam itu adalah kesempatan terakhir ia dapat melakukan tugasnya
sebagai ibu bapa, karena besok setelah akad nikah maka yang membimbingnya lagi adalah
suaminya.
Hamparan kain kuning setelah diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro, segera digulung
oleh saudara kali-lakinya yang tadi waktu acara mandi-mandi memegang payung kuning.
Menggulungan kain kuning itu, mengandung pula harapan-harapan, agar calon anak daro itu,
melakukan perkawinan satu kali itu saja seumur hidupnya. Jika perkwinannya berulang nanti,
hanya karena maut yang memisahkan mereka.
Jika kita simpulkan maka hakikat upacara adat perkawinan pada zaman kini mempunyai
tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan
masa remajanya,
2. Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina
kehidupan baru berumahtangga,
3. Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara
yang sakral, yaitu akad nikah,
4. Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia
berdandan sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.

Acara babako,
adalah tradisi yang mencerminkan kehidupan bergotong royong pada masyarakat
Minangkabau, dimana kerabat ayah CPW memberikan barang antaran untuk CPW, yang
terdiri seperangakat kebutuhan wanita yang disusun dalam baki baki sesuai dengan jumlah
barang yang akan diantara tadi.
Penyelenggaraan acara perkawinan menurut adat di Minangkabau melibatkan seluruh
anggota kerabat baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Sungguhpun kewijiban utama
penyelenggaraan acara itu berada di tangan para ninik mamak pengantin wanita, namun juga
melibatkan kerabat dari pihak ayah. Biasanya jika ada hajad untuk menyelenggarakan
perkawinan, maka ibu dari Calon Pengantin Wanita (CPW), akan memberi tahukan pihak
saudara suaminya (bako dari CPW), tentang gadisnya telah beroleh jodoh. Selanjutnya ia
akan menyampaikan urutan acara dan upacara pra pernikahan, upacara akad nikah. Ia
mengundang pihak induk bako/bako ( ibu mertuanya bila masih ada dan saudara
suaminya) atau iparnya untuk ikut melepas anaknya menuju jenjang pelaminan. Bagi
periparan dan pebesanan sesama Minangkabau, maka dengan sendirinya undangan ini
dipahami sebagai permintaan bantuan atau sumbangan bagi anak gadisnya yang akan
melakukan pernikahan itu. Ada suatu kiasan yang menyatakan sabalun bakilek alah
bakalam, yang artinya bahwa pihak yang diajak berunding dengan sendiri telah mengetahui
maksud dan tujuan pembicaraan itu
Peristiwa memberikan bantuan dan melepas anak pusaka/anak pisang menuju jenjang
pernikahan ini, dilakukan secara formal oleh pihak Bako, yang disebut Acara babako
Babaki . Jadi acara Babako adalah suatu upacara adat pra perkawinan yang diselenggarakan
oleh kerabat pihak ayah. Yang disebut bako, ialah seluruh keluarga dari pihak ayah.
Sedangkan pihak bako ini menyebut anak-anak yang dilahirkan dari saudara laki-laki dengan
isterinya dari suku yang lain dengan sebutan anak pusako. Tetapi ada juga beberapa nagari
yang menyebutnya dengan istilah anak pisang atau anak ujung emas.
Dalam sisitim kekerabatan matrilineal di Minangkabau, pihak keluarga ayah tidak begitu
berperan dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga anak
pusakonya. Namun didalam kegiatan mengisi khazanah adat dan budaya Minangkabau,
setidaknya ada empat peristiwa dalam kehidupan seorang anak pusako, anak pisang atau anak
ujung emas, dimana pihak bako ikut berkewajiban mengisi adat dan budaya atau
menyelenggarakan suatu acaranya khusus, yaitu :
1. Acara turun mandi atau penyelenggaraan aqiqah.
2. Upacara perkawinan
3. Pengangkatannya penghulu (bagi laki-laki)
4. Penyelenggraan kematian
Pada perkawinan anak pusako, keterlibatan pihak bako ini terungkap dalam acara adat yang
disebut babako-babaki. Dalam acara itu, sejumlah keluarga ayah secara khusus mengisi adat
dengan datang berombongan kerumah CPW dengan membawa berbagai macam antaran.

Hakikat dari acara ini ialah bahwa pada peristiwa penting semacam itu, pihak keluarga ayah
ingin memperlihatkan kasih sayangnya kepad anak pusako mereka dan merasa harus ikut
memikul beban sesuai dengan kemampuan mereka.
Acara ini dilaksanakan beberapa hari sebelum acara akad nikah dilangsungkan. Untuk
efisiensi waktu dan biaya terutama di kota-kota besar, acara babako-babaki ini sekarang
sering digabungkan pelaksanaannya dengan acara malam bainai.
Sore harinya pihak bako datang dan tetap tinggal di rumah anak pusakonya itu untuk dapat
mengikuti acara bainai yang akan dilangsungkan malam harinya.
Tata caranya
Menurut tradisi pada masa dahulu, gadis anak pusako yang akan kawin itu dijemput lebih
dulu oleh pihak ibu/kerabat ayahnya (induk bako) dan diajak menginap di rumah keluarga
ayahnya itu. CPW (disebut anak daro) akan bermalam semalam di rumah bakonya, dan pada
kesempatan itu para orang tua-tua akan memberikan petuah dan nasehat yang berguna bagi
CPW/anak daro, sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan berumah tangga nanti. Setelah
itu barulah CPW/anak daro ini diarak oleh pihak bakonya, pulang kerumah dengan diiringi
oleh seluruh kerabat ayahnya ( ibu-ibu) dengan membawa dan menjunjung berbagai macam
antaran. Kegiatan ini diiringi dan dimeriahkan dengan iringan pemain-pemain musik
tradisional yang ditabuh sepanjang jalan.
Sebaliknya, pihak keluarga ibu juga mempersiapkan penyambutan rombongan bako ini
dengan acara yang tidak kalah meriahnya. Mulai dari penyambutan dihalaman dengan tari
gelombang sampai kepada penyediaan hidangan-hidangan di atas rumah.
Barang yang dibawa untuk keperluan acara babako adalah :
1. Sirih lengkap dalam carano sebagai kepala adat,
2. Nasi kuning singggang ayam sebagai makanan adat,
3. Seperangkat busana wanita, baju, kain balapak, selendang, sendal, perhiasan emas sebagai
pakaian adat.
4. Perangkat bahan mentah yang diperlukan di dapur untuk persiapan perhelatan, seperti
beras, kelapa binatang-binatang ternak yang hidup, seperti ayam kambing atau kerbau.
6. Perangkat makanan yang telah jadi, baik berupa lauk pauk maupun kue-kue besar atau
kecil.
Menurut tradisi masa lalu, pihak bako juga melengkapi dengan berbagai macam bibit
tumbuh-tumbuhan yang selain mengandung arti simbolik juga dapat dipergunakan oleh calon
anak daro dan suaminya sebagai modal untuk membina perekomonian rumah tangganya
nanti.
Dibeberapa daerah di Minangkabau, sebagai pelengkap acara pihak bako membawa racikan
air harum-haruman dari tujuh macam bunga, daun sitawa sidingin. dan tumbukan daun inai
yang akan dipergunakan dalam upacara mandi-mandi dan bainai.
Disinilah pada acara babako babaki ini, terlihat kehidupan bergotong royong diantara

masyarakat hukum adat berlangsung secara meriah, Bahwa melepas seorang gadis menuju
mahligai rumah tangga didukung oleh segenap kerabat baik kerabat dari pihak ibu maupun
pihak ayah.

Acara malam binai


Sebuah lagu minang terkenal berjudul malam bainai, melukiskan betapa meriahnya suatu
upacara perkawinan di Minangkabau. Secara harfiah bainai artinya melekatkan tumbukan
halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku
jari calon pengantin wanita. Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam,
akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku. Lazimnya dan
seharusnya acara ini dilangsungkan pada malam hari sebelum keesokan paginya CPW/calon
anak daro melangsungkan akad nikah.
Mengapa acara memasang inai pada kuku-kuku tangan calon anak daro menjadi acara yang
berarti dalam upacara adat ?
Kegiatan suatu keluarga ketika mengawinkan anak gadisnya untuk pertama kali di
Minangkabau, bukan saja dianggap sebagai suatu yang sangat sacral, tetapi juga kesempatan
bagi semua keluarga dan tetangga untuk saling menunjukkan partisipasi dan kasih sayangnya
kepada keluarga yang akan berhelat (baralek). Karena itulah, pada malam hari sebelum akad
nikah dilangsungkan semua keluarga dan tetangga terdekat tentu akan berkumpul di rumah
yang punya hajat. Sesuai dengan keakraban masyarakat agraris mereka akan ikut membantu
menyelesaikan berbagai macam pekerjaan, baik dalam persiapan di dapur maupun dalam
menghias ruangan-ruangan dalam rumah.
Pada acara malam bainai itu diselenggarakan, seluruh kerabat dan handai tolan dari orang tua
calon anak daro, diberikan kesempatan untuk memberikan doa restunya untuk melepas dara
yang akan melangsungkan pernikahan pada keesokan harinya.

Riwayat acara bainai :


Pada mulanya memasang inai tidak saja upaya menampilkan kecantikan pada bagian dari
anggota tangan anak daro, namun juga menurut kepercayaan kat zaman dahulu, kegiatan
memerahkan kuku-kuku jari calon anak daro ini juga mengandung arti magis. Ujung-ujung
jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan untuk

melindungi si calon anak daro dari kemungkinan ada manusia yang iri dengan si calon anak
daro.
Kuku-kuku yang telah diberi pewarna merah yang berarti juga selama ia berada dalam
kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap
terlindung dari segala mara bahaya.
Setelah selesai melakukan pesta-pesta, warna merah pada kuku-kukunya menjadi tanda
kepada orang-orang lain bahwa ia sudah berumah tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau
ia pergi berdua dengan suaminya kemana saja.
Saat kini, kepercayaan kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sudah ditinggalkan.
Sekarang memasang inai, merupakan bagian dari perawatan dan upaya menampilkan asesoris
kecantikan anak daro, dan tidak lebih dari itu. Memerahkan kuku jari, tidak memiliki
kekuatan menolak mara bahaya apa pun, karena perlindungan diri dari pengaruh jahat yang
mengancam si anak daro, berada pada kekuasan Allah SWT.
Busana pada Malam Bainai

Karena pada acara malam bainai seringkali digabungkan dengan upacara memandikan si
anak daro, maka anak daro mengenakan busana khusus yang disebut baju tokah dan
bersunting rendah. Tokah adalah semacam selendang yang dibalutkan menyilang di dada
sehingga bagian-bagian bahu dan lengan nampak terbuka. Agar suasana upacara adat
perkawinan ini menjadi meriah, maka para hadir terutama kaum wanita, akan mengenakan
baju kurung khas minangkabau. Sedangkan kaum pria menggunkan baju teluk belanga.
Dalam acara ini hadir pula teman-teman calon anak daro yang sengaja diberi berpakaian adat
Minang untuk lebih menyemarakkan suasana.
Tata cara Bainai

Jika acara memandikan calon anak daro hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu
saja, maka acara melekatkan tumbuhan inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita
Minang ini dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk para tamu yang dihormati malam itu,
termasuk oleh keluarga calon besan.
Di beberapa kenagarian di Ranah Minang, acara bainai ini juga dapat dilakukan bersamaan
dengan mengikutsertakan calon pengantin pria. Namun kedua calon pengantin (anak daro dan
marapulai) tidak dipersandingkan. Jika akan dipersandingkan juga, maka posisi duduk calon
pengantin pria (CPP), tidak di sebelah kanan, tetapi di sebelah kiri calon pengantin wanita
(CPW). Kuku jari yang diinai sama juga dengan acara mandi-mandi, harus ganjil jumlahnya.
Paling banyak sembilan.

Pada kesempatan upacara memasang inai ini, setiap orang tua yang diminta untuk melekatkan
inai ke jari calon anak memberikan nasehat secara berbisik ke telinga calon anak daro.
Bisikan-bisikan itu bisa berlangsung lama, bisa sangat singkat. Nasehat-nasehat yang sangat
rahasia mengenai kehidupan berumahtangga, atau bisa juga hanya sekedar gurau agar si calon
anak daro tidak cemberut saja dihadapan orang ramai. Pelaksanaan acara akan dipimpin oleh
seorang pemandu yang mampu menhidupkan acara ba inai.
Di daerah Pariaman wanita yang memandu acara disebut uci-uci, untuk daerah nagari lain,
pemandu acara mungkin dilakukan oleh amai amai atau mande-mande sesuai dengan
kebiasaan setempat. Seringkali juga pada malam bainai ini acara dimeriahkan dengan
menampilkan kesenian-kesenian tradisional Minang.
Di wilayah pesisir meliputi Painan, Padang Pariaman hingga Lubuk Basung, hiburan yang
ditampilkan ialah musik gamat dengan irama musik Melayu serta disertai joget Melayu Deli.
Semua acara ini mengundang tamu agar secara spontan tegak menari bersama. Dengan
menggunkan selendang-selendang, penari wanita akan mengajak kaum pria agar menari
melayu secara bersama
Menjemput pengantin pria
Acara yang paling pokok dalam perkawinan menurut adat istiadat mempersandingkan anak
dara dan marapulai di pelaminan dengan disaksikan oleh para tamu yang hadir. Untuk itulah
pihak anak dara akan mengirim utusan untuk menjemput marahpulai dalam upacara resmi.
Telah sembah menyembah dilakukuan antara keluarga marah pulai dan anak daro,
rombongan penjemput dipersilahkan naik kerumah Marahpulai. Keluarga marahpulai mulai
memeriksa semua perlengkapan pakaian yang dibawa oleh keluarga anak daro itu.
Menjemput calon pengantin pria / marahpulai, merupakan prosesi yang paling penting dari
seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat istiadat Minangkabau. Pada masa dahulu,
keluarga anak daro menjemput marahpulai yang dilakukan oleh beberapa orang laki-laki saja,
kemudian si marahpulai dibawa ke mesjid-mesjid dan melafazkan ijab kabulnya disana dan
diterima oleh ayah si anak daro dan disaksikan oleh beberapa pihak keluarga yang lain.
Setelah selesai upacara akad nikah, marahpulai pulang kerumahnya dulu dan barulah
kemudian keluarga anak daro menjemput marahpulai ke rumah orang tuanya untuk
dipersandingkan di rumah anak daro. Sekarang ini untuk efisiensi waktu, seperti yang
dilakukan di kota-kota besar, upacara akad nikah dilangsungkan di rumah anak daro dan
setelah upacara ijab kabul berlangsung, maka kedua pengantin itu kemudian dipersandingkan
di pelaminan.
Penjemputan marahpulai di rumah orang tuanya, akan terlaksana dengan lancar bila syaratsyarat dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya telah dipenuhi oleh pihak
anak daro. Mereka menggunakan pakaian yang indah-indah, selain itu pada saat menjemput
CPP itu, ia didampingi oleh perempuan pengiring pengantin yang disebut Pasumandan.
Pasumandan mengenakan baju kurung bersulam benang emas atau sesuai dengan pakaian
adat setempat dan mengenakan kain balapak. Perempuan lainnya membawa syarat-syarat
penjemputan marahpulai diatas baki. Rombongan ini akan diiringi oleh beberapa orang pria

yang akan bertugas selaku juru bicara serta menyampaikan salam persembahan sebagaimana
yang tampak pada percakapan diatas.
Sering terjadi, persyaratan yang harus dipenuhi oleh keluarga anak daro dilalaikan, sehingga
dapat menjadi alas an bagi pihak marahpulai menunda jadwal pernikahan hingga persyaratan
itu dapat dipenuhi oleh pihak kelaurga anak daro. Bahkan perkawinan dapat terancam batal,
apabila terdapat ketidakcocokan dalam soal persyaratan penjemputan marapulai.
Kekisruhan ini bisa terjadi bukan saja karena ketidak cocokan barang-barang yang harus
dibawa pihak keluarga anak daro ketika dating menjemput, namun bisa juga bisa karena tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan adat istiadat setempat atau menurut tata cara yang lazim yang
berlaku disuatu kampung atau karena luhak adatnya yang berbeda-beda.
Menurut ketentuan yang lazim, dalam menjemput marahpulai ialah ketika keluarga anak
daro, harus membawa tiga bawaan wajib, yaitu :
1. Sirih lengkap dalam cerana menandakan datangnya secara beradat,
2. Pakaian marahpulai secara lengkap mulai dari tutup kepala hingga alas kaki yang akan
dipakai oleh calon pengantin pria,
3. Nasi kuning, singgang ayam dan lauk pauk yang telah dimasak serta makanan dan kue-kue
lainnya sebagai buah tangan.
Selain jenis barang bawaan wajib ini, ada pula pihak keluarga marahpulai mensyaratkan
barang tertentu untuk memenuhi syarat adat yang harus diminta oleh pihak marahpulai secara
terus terang dan wajib dipenuhi oleh keluarga anak daro.
Biasanya permintaan mengisi syarat yang diadatkan ini, dilakukan jauh sebelumnya ketika
proses pinang meminang sudah berlangsung dan masuk pada tahapan baretong.
Daerah pesisir Sumatera Barat, yaitu Padang dan Pariaman, berlaku ketentuan untuk
membawa tujuh tungketan, sebagai berikut ;
payung kuning,
tombak janggo janggi,
pedang (kalau si calon pengantin prianya bergelar Marah, Sidi dan Bagindo) dll.
Jika ada kesepakatan lain, dimana pihak keluarga anak daro menjanjikan uang jemputan,
uang hilang, atau apapun namanya, maka segala yang dijanjikan itu harus dibawa secara
resmi waktu melakukan acara menjemput marapulai ini. Semua bawaan ini ditata rapi pada
wadahnya masing-masing. Banyak atau sedikitnya bawaan yang dibawa serta banyak atau
sedikitnya jumlah keluarga pihak calon pengantin wanita yang datang menjemput, sering
menjadi ukuran besar kecilnya pesta yang diadakan itu.
Sedangkan barang bawaan untuk menjemput marahpulai di Ampek Koto Maninjau-Luhak
Agam yang dipersyaratkan biasanya terdiri dari 7 macam seperti dibawah ini
1. Sirih lengkap yang terdiri dari
a. Daun sirih nan basusun = tersusun rapi
b. Sadah (kapur) nan ka dipalik = dicercak dengan ujung jari
c. Gambir nan ka dipipie = dipipil secuil
d. Pinang nan bauleh = di potong seulas
e. Tembakau nan ka dijujuik = ditarik lembut

2. Sirih sekapur
Sirih sekapur adalah sirih yang sudah diramu siap untuk dimanakan dan banyaknya 4 buah.
3. Rokok 4 Batang
Roko yang dalam bahasa minang tersebut paisok dahulunya adalah rokok bikinan sedndiri
yaitu gulungan tembakau dengan pucuk enau. Telah menjadi kebiasaan kini, rokok tersebut
diganti dengan rokok sigaret atau rokok kretek.
4. Beras Didalam Gambut
Yang disebut gambut (kambuik) ialah wadah kecil bertutup dari anyaman daun pandan
5. Uang logam senilai 105 rupiah
6. Lilin jo ambalau
Lilin yang dipakai bukan lilin untuk lampu, tetapi lilin sialang atau lilin untuk membatik,
sedangkan ambalau atau galo-galo biasanya dipergunakan untuk merekat punco pisau/ parang
atau alat pertanian lain dengan hulu atau tangkainya.
7. Sapu Tangan Yang Disulam oleh Anak Daro.
Barang-barang tersebut dimasukan kedalam caranoyang ditutup dengan kain damalek (aleh
lamak), atau dibungkus rapi dengan dalam sapu tangan putih, sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak.
Untuk melepas anak kemenakan mereka yang akan melakukan akad nikah ini, pihak keluarga
marapulai biasanya juga mengumpulkan seluruh keluarganya yang patut-patut. Termasuk
para ninik mamak dan para rang sumandonya. Situasi ini dengan sendirinya membuat acara
tersebut menjadi sangat resmi, dimana kedua belah pihak keluarga saling berusaha untuk
memperlihatkan adat sopan dan santun yang baik. Adat sopan santun itu, bukan hanya
tercermin dalam sikap dan prilaku saja, tetapi juga harus terungkap didalam tutur kata. Oleh
karena itulah pada acara manjapuik marapulai ini, kedua belah pihak keluarga harus
menyediakan jurubicara yang dianggap mahir dalam bersikap dan bertutur kata sesuai dengan
tata cara adat yang disebut alur pasambahan, serta pandai melaksanakan sambah manyambah.
Untuk acara sambah-manyambah dalam setiap penyambutan marahpulai tidak perlu harus
dilakukan oleh seorang ninik mamak atau penghulu, tetapi dipercayakan kepada orang yang
memiliki kemampuan dalam berkomunikasi yang baik, tidak memandang usia apakah ia
muda atau tidak. Kadang kala urang sumando baru dalam lingkungan keluarga masingmasing sering ditunjuk sebagai juru bicara.
Kehadiran ninik mamak dan penghulu serta orang yang dituakan, dalam setiap perhelatan
berperan sebagai nara sumber dalam pelaksanaan acara. Jika terjadi hal-hal yang perlu
disepakati oleh kedua belah pihak keluarga, maka merekalah yang akan memberi petunjuk
dan saran.
Kegiatan sembah manyambah ini merupakan keahlian yang tidak semua orang mampu
melakukannya. Pada masa sekarang, acara sembah manyambah yang dilakukan oleh para
jurubicara yang ditunjuk, merupakan tingkat kefasihan dalam melafalkan pepatah-petitih dan
mengkisahkan kembali tambo alam Minangkabau. Kadang kala acara ini memakan waktu
yang panjang dan membosankan.
Demi efisiensi waktu untuk masa kini, dimana uapacara akad nikah harus tunduk pada jadwal

yang telah ditentukan, maka tanpa mengurangi hakekat dan kekhidmatan acara, maka acara
sambah-manyambah ini bisa dipadatkan dengan hanya menyebut bagian-bagian yang perlu
dan wajib disebut sesuai dengan tujuan kedatangan rombongan pengantin. Didalam
pelaksanaan sambah-manyambah ada tata cara pasambahan yang dikategorikan sebagai
pangka batang., yaiti inti atau pokok-pokok acara penyambutan.
Di dalam acara manjapuik marapulai ini maka pangka batang dari acara penyambutan itu,
ialah :
1. Pasambahan yang ditujukan untuk menghormati para sesepuh atau orang pantas menerima
perlakuan untuk persembahan.
2. Pasambahan menyuguhkan sirih adat,
3. Menyampaikan maksud kedatangan,
4. Memohon semua keluarga tuan rumah ikut mengiringkan,
5. Menanyakan gelar calon menantu mereka,
6. Menghatur terima kasih atas sambutan dan hidangan yang disuguhkan.
Tata cara Penyambutan
Sesuai dengan jadwal yang telah disepakati dengan memperhitungkan jarak ditempuh serta
waktu pelaksanaan akad seperti yang disebutkan dalam undangan, maka rombongan
penjemput marapulai, berangkat menuju rumah calon pengantin pria bersama-sama sambil
membawa segala perlengkapan sebagaimana yang telah disebutkan uraian terdahulu.
Pihak keluarga marapulai menyambut dan menunggu tamunya sambil menyiapkan sejumlah
orang-orang yang akan menerima barang-barang bawaan rombongan yang datang. Setelah
segala bawaan yang dibawa oleh rombongan penjemput ini, maka rombongan penjemput
dipersilakan masuk kedalam rumah. Para tetamu yang dating, didudukkan pada bagian yang
paling baik di atas rumah. Bila ada pelaminan; pihak yang menjemput marapulai didudukkan
disekitar pelaminan, sedangkan tuan rumah (sipangka pangkal) berjejer sekitar pintu bagian
dalam menuju ke dapur atau ke ruang dalam.
Barang-barang bawaan rombongan penjemput marahpulai, berupa ; sirih dalam cerana yang
telah tertata baik, dijejerkan ditengah-tengah rumah agar dapat disaksikan oleh semua kerabat
dari pada marahpulai. Yang mengawali dan membuka kata dalam acara manjapuik marapulai
ini, lazimnya dimulai oleh pihak yang datang. Jika rombongan yang datang membawa
seorang juru bicara yang pandai melantunkan kata persembahan, maka sebelum pembicaraan
dimulai ia terlebih dahulu meng isaratkan kepada Tuan rumah siapa saja di dalam rumah itu
patut ia sampaikan kata persembahannya. Pertanyaan berbisik ini merupakan tata tertib yang
perlu dilaksanakan, agar sambah yang akan ditujukan itu mengenai sasaran dan diterima oleh
pihak yang tepat, artinya bahwa orang di kelaurga itu ada pula wakil yang mampu menjawab
kaliman persembahan yang dilantunkannya. Bila keahliannya sepadan untuk berjawab kata
dalam persembahan, maka tidak akan ada kesalahpahaman diantara dua keluarga yang akan
terikat dalam adat perkawinan eksogami itu.
Pembicaraan pertama yang disampaikan oleh juru bicara pihak rombongan marahpulai
setelah menerima upacara persembahan adalah menyatakan terima kasih atas penyambutan
yang ramah dan baik dari tuan rumah dalam menerima kedatangan mereka. Kemudian juru

bucara, akan bertanya, apakah selaku wakil keluarga Marahpulai sudah diperbolehkan
menyampaikan maksud dari kedatangan rombongan.
Didalam alur persembahan, kalimat bertanya tersebut terungkap dalam kata-kata bersayap
sbb:
Jikok ado nan takana di ati
Nan tailan-ilan dimato
Alah kok buliah kami katangahkan ?
Lazimnya menurut tata tertib dalam suatu prosesi yang berlaku sampai sekarang ini, tuan
rumah melalui juru bicaranya tidaklah akan menjawab begitu saja secara langsung
memberikan izin kepada rombongan yang datang untuk menyampaikan maksud kedatangan
mereka. Orang bertamu ke rumah orang lain biasanya disuguhi air minum agak seteguk lebih
dahulu sebelum berunding, apalagi satu rombongan yang datang secara beradat. Ini sesuai
dengan idiom Minang yang mengatakan :
Jikok manggolek di nan data
Jikok batanyo lapeh arak
Jikok barundiang sudah makan

Persembahan penyambutan pengantin pria


Percakapan yang sering dilakukan pada saat penyambutan kedatangan marahpulai sering
dibawakan dengan bahasa yang sebenarnya tidak mudah dipahami. Akan tetapi karena
menyangkut upacara dan prosesi adat, maka pihak keluarga anak daro dalam melakukan
penyambutan akan diwakili oleh wakil yang terbiasa memimpin upacara adat. Ikutilah
percakapan yang terjadi pada saat penerimaan kedatangan marahpulai.

Sutan Parmato : (juru bicara pihak keluarga anak daro berdiri sambil mengangkat sembah). :
Ma angku Sutan Sinaro ? Sambah tibo ka haribaan angku !
Sutan Sinaro : (juru bicara pihak keluarga marapulai berdiri juga sambil mengangkat
sembah). : Manitahlah angku Sutan Permato.
Sutan Parmato : Sungguahpun angku surang tampek ambo manibokan sambah nan
sarapeknyolah niniak mamak nan gadang basa batuah alim ulama cadiak pandai suluah
bendang dalam nagari langkok jo Bundo Kanduang amban puro limpapaeh rumah nan
gadang sarato nan mudo-mudo nan capek kakiringan tangan parik paga dalam nagari
Ketek indak disabuik namo Gadang indak diimbaukan gala nak jo sambah sajo
kasadonyo kami muliakan(Kembali mengangkat Sembah dan melanjutkan lagi katakatanya).

Apo nan manjadi isi pasambahan iolah tantangan kami alek nan tibo Nan sabondong
lalu satampuah suruik sasuai jo janji nan dikarang sarato padan nan lah diukue
iolah tibo kami disiko Kok datang alah basambuik kok tibo alah basonsong lah dibao
naiak kateh rumah kok duduaklah bakambangkan lapiak alah kami balapeh angah.Baa
nan sakarang kini nangko Kok dirantang namuah panjang Elok dipunta naknyo singkek
Batanyo kami ka sipangka Kok ado nan taraso diati nan ta ilan dimato alahko buliah
dikatangahkan ?
Sutan Sinaro : Alah sampai di angku Parmato ?
Sutan Parmato : Alah, Sutan!
Sutan Sinaro : Apo nan manjadi panitahan dek angku Sutan Parmato tadi alah dalam
adaik dalam pusako alah taracak diundang alah tasungkuik di limbago Ibaraik urang
batukang alah dibarih makan pahek alah dirasuak manjariau Tapi samatang pun baitu
iyo juo bak pangaja urang tuo-tuo kito Jikok babiduak banakodo Jikok bajalan banan
tuo Nak ambo elo kato jo mupakaik mancari rundiang nan saangguak Basaba malah
angku mananti !
Sutan Sinaro : yo ambo nanti malah
Sutan Sinaro : (menunjukkan sembah kepada ninik mamak rumah : Dt. Batuah)
Ma angku Datuak Batuah? sambah tibo kaharibaan angku datuak !
Sutan Sinaro : Tantangan rundiang alek nan tibo indaklah raso kadiulang Kok bisiak
lah kadangaran kok imbau lah samo kalampauan Baa di kito kini nangko kok kato alun
bajawek kok gayuang alun basambuik iyo nak mintak sipaik bakeh angku Datuak Baa
po dikito pambarinyo ? Baa nyo kalau angku datuk menyampaikan.
Dt. Batuah : Apo nan manjadi panitahan dek Sutan tadi iyolah kato sabananyo adaik
tanyo iyo bajawek adaik gayuang iyo basambuik Tantang jawek bakeh si alek jalan nan
pasa kito turuik labuah nan golong kito tampuah Jikok batanyo lapeh arak jikok
barundiang sudah makan Pulang maklum bakeh Sutan !
Sutan Sinaro : Baa nyo kalau angku Datuak nan manyampaikan?
Datuak Batuah : Karano Sutan nan manabang eloklah Sutan juo nan manutuah!
Sutan Sinaro : Jadi malah angku. (Lalu menunjukkan sembah kembali kepada St.
Parmato)
Ma angku Sutan Parmato? Maaf dimintak sapuluah jari karano lah rasah angku tagak
mananti maklumlah bajalan indak sadang salangkah jalan babelok bakeh lalu Baa nan
kini nanko manjawek tanyo angku tadi lah kami cari rundiang nan saangguak sarato

kato nan sagumam kok bulek lah buliah digolongkan picaklah buliah dilayangkan iyo
jalan nan pasa juo nan batampuah labuah nan golong juo kito turuik Jikok batanyo lapeh
arak jikok barundiang sudah makan Sakitu sambah bakeh Sutan!
Sutan Parmato : Kalau baitu putusan kato tingga dikami manjalani Bismillahkan lah
diangku disitu nak kami turuikkan pulo di siko !
(Acara sambah Manyambah terhenti sejenak untuk menikmati hidangan yang disediakan
tuan rumah. Setelah acara santap hidangan selesai dilaksanakan, maka acara samabah
menyembah kembali berlanjut yang tujuan adalah undur pamit kepada Tuan rumah.
Selaku Pembawa acara Sutan Parmato kembali mengangkat sembah.
Sutan Parmato : Ma angku Sutan Sinaro ? Sambah tibo kaharibaan angku!
Sutan Sinaro : Manitahlah angku Sutan Parmato.
Sutan Parmato : Kok makan iyolah sampai kanan kanyang Kok minum iyolah tibo
dinan sajuak Manjapuik kato nan tingga Maulang rundiang nan tadi Kok ado nan
tailan dimato nan takano di ati alah koh kini buliah kami katangahkan?
Sutan Sinaro : Katangahkanlah angku Sutan Parmato.
Sutan Parmato : Kok makan iyolah tibo dinan sajuak Manjapuik kato nan tingga
Maulang rundiang nan tadi Kok ado nan tailan dimato nan takano di ati alah koh kini
buliah kami katangahkan?
Sutan Sinaro : Dahalu bakapa rang ka Makah kini lah tabang jo pasawek Dahulu
kato baistinah kiniko kato basicapek Disabuik sajo nan paralu Iyolah tantangan kami
nangko nan sabondong lalu satampuah suruik namonyo urang tasarayo tasuruah dek
angku(sebutkan nama, suku dan kampung ayah calon pengantin wanita) Datang kamari
basamo-samo untuak manjapuik marapulai calon rang sumando jo minantu kami nan
banamo. . (sebutkan nama calon pengantin pria) anak dari .. (sebutkan nama
ayahnya serta suku dan kampungnya)
Kok datang kami datang batadaik ditingkek janjang ditampiak bandua langkok jo
siriah bacarano Kok japuik kami japuik tabao sarato jo urang nan kamairingkan!
Awak baralek yo baabih ari tapi pangulu yo baukatu Karano itu pintak indak kabaulang kandak indak kamanduo Tarimolah baju
pambaokan kami nak mintak dipakaikan kapado rang sumando kami!
Demikianlah, percakapan kedua belah pihak, akan terputus sementara sambil mempersilakan
para tamu makan atau minum segelas air dan mencicipi kue-kue yang telah disediakan.

Setelah selesai acara santap atau makan kue-kue kecil ini, barulah juru bicara pihak
rombongan yang datang kembali mengangkat sembah, mengulangi kembali pertanyaan yang
tertunda tadi.
Setelah jurubicara tuan rumah menyatakan bahwa rundingan sudah bisa dilanjutkan, maka
barulah jurubicara pihak kelaurga marah pulai secara terperinci mengemukakan maksud
kedatangan rombongan melalui alur persembahannya.
Pokok-pokok isinya persembanhan harus memenuhi ketentuan-ketentuan adat menjemput
marapulai sbb :
1. Menyatakan bahwa mereka itu merupakan utusan resmi mewakili pihak keluarga calon
pengantin wanita.
2. Bahwa mereka datang secara adat. Maningkek janjang manapiak bandua dengan
membawa sirih dalam carano.
3. Bahwa tujuan mereka adalah untuk menjemput marapulai (sebutkan namanya dan nama
orang tuanya dengan jelas).
4. Menegaskan bahwa jemput itu jemput terbawa, sekalian dengan keluarga yang akan
mengiringkan.
Kalimat-kalimat dalam alur persembahan bisa bervariasi panjang dengan menyebut dan
membeberkan kembali sejarah kelahiran seorang anak sampai dewasa dan sampai berumah
tangga atau mengulang-ulang tambo sejarah ninik moyang orang Minang mulai dari puncak
Gunung Merapi sampai ke laut yang sedidih dsb. Tetapi itu tidak ada kaitannya sama sekali
dengan inti maksud kedatangan rombongan, kecuali hanya untuk memamerkan keahlian si
tukang sembah.
Sedangkan yang pokok menurut adat untuk disebut adalah yang berhubungan dengan empat
ketentuan di atas. Setelah keempat maksud itu disampaikan, dan diterima oleh jurubicara tuan
rumah maka barulah seperangkat pakaian yang dibawa oleh rombongan penjemput
diserahkan kepada tuan rumah untuk bisa segera dipakaikan kepada marapulai. Sambil
menunggu marapulai berpakaian, barulah dilanjutkan lagi acara dengan alur persembahan
menanyakan gelar marapulai. Setelah selesai acara sambah-manyambah ini, dan setelah
selesai marapulai didandani dan dikenakan busana yang dibawa oleh keluarga anak daro,
maka sebelum rombongan termasuk rombongan keluarga yang laki-laki berangkat bersamasama menuju rumah kediaman anak daro, haruslah marapulai memohon doa restu terlebih
dahulu kepada kedua orang tuanya dan kepada keluarga-keluarganya yang tua-tua dan yang
pantas untuk dihormati dalam kaumnya.
Oleh karena anak laki-laki di dalam kekerabatan Minang kalau sudah beristeri biasanya akan
tinggal di rumah isterinya, maka sering juga anak laki-laki yang akan kawin itu disebut akan
menjadi anak orang lain. Sehingga peristiwa permohonan doa restu ketika akan berangkat
nikah, seringkali menjadi sangat mengharukan, dimana yang dilepas dan yang melepas
saling bertangis-tangisan. Lazimnya dalam acara menjemput marapulai ini, pihak keluarga
anak daro juga membawa dua orang wanita muda yang baru berumah tangga untuk dijadikan

pasumandan yang mengiringkan dan mengapit marapulai mulai turun rumahnya sampai
disandingkan di pelaminan setelah akad nikah. Pasumandan ini juga didandani dengan baju
kurung khusus dan kepalanya dihiasi dengan sunting rendah.
(Sumber : Tata Cara Pelaksanaan Adat Minangkabau)
Penyambutan di rumah pengantin wanita
Setelah marahpulai dijemput oleh pihak keluarga anak daro, maka tibalah saat nya
marahpulai dinanti-nanti dengan uapacara kebesaran. Seperti kita tahu, bahwa pelaksanaan
akad nikah dapat dilaksanakan di rumah,dimesjid atau di gedung pertemuan.Di semua tempat
pelaksanaan akad nikah itu akan disertai dengan upacara penyambutan calon mempelai pria
secara khidmat sesuai dengan upacara adat di nagari setempat. Bila akad nikah dilangsungkan
dirumah calon mempelai wanita, maka acara penyambutan kedatangan calon mempelai pria
dengan rombongannya di rumah calon pengantin wanita dilaksanakan menurut prosesi
tertentu pula
Jika di tanah Jawa akan menampilkan janur kuning, maka yang menonjol dalam
penyelenggraan acara baralek gadang, si yang empunya hajad akan menampilkan ke-khasan
dan symbol Minangkabau berupa umbul-umbul atau bendera yang disebut marawa-marawa
ala Minangkabau disepanjang jalan tempat perhelatan. Selain itu dipersiapkan pula
permainan musik tradisional (talempong dan gandang tabuik) untuk memeriahkan suasana.
Pada mulanya penyambutan mempelai peria (marahpulai) dengan payung kehormatan,
diperuntukkan bagi mempelai pria yang berbangsa seperti yang terjadi di wilayah Padang
Pariaman, yang memiliki gelar tertentu, seperti Sidi, Bagindo, Sutan. Sekarang ini
penyambutan marahpula dengan payung kuning dapat dilakukan kepada oleh kalangan siapa
saja tanpa memperhatikan kedudukan dan status social marapulai. Akhirnya payung kuning
menjadi satu rangkaian dalam prosesi penyambutan marahpulai..
Demikian pula dengan penyambutan menurut adat kebesaran dengan tari-tarian adat, seperti;
barisan galombang adat yang terdiri dari pemuda-pemuda berpakaian silat untuk membuka
jalan, dan dara-dara berpakaian adat yang akan menyuguhkan sirih secara bersilang dari
pihak tuan rumah kepada pihak ninik mamak marapulai beserta rombongannya.
Tata cara penyambutan :
Secara garis besar ada empat tata cara menurut adat istiadat Minang yang dapat dilakukan
oleh pihak keluarga calon mempelai wanita dalam menyambut kedatangan marahpulai, yang
dilangsungkan pada empat titik tempat yang berbeda di halaman rumah anak daro, yaitu :
Pertama;
Memayungi segera calon mempelai pria dengan payung kuning tepat pada waktu
kedatangannya pada titik yang telah ditentukan di jalan raya di depan rumah atau jikalau
rombongan datang dengan mobil, pada titik tempat marapulai turun dari mobilnya dan akan
melanjua kan perjalanan menuju rumah anak daro dalam arak-arakan berjalan kaki.

Kedua;
Menyambut kedatangan marahpulai dan rombongan dengan tari gelombang sebagai tarian
adat, yang disebut parik paga dalam nagari. Berbagai ragam penyambutan yang dilakukan
oleh pihak keluarga anak daro (CPW), yaitu ;
penghormatan pertama melalui penjagaan kiri kanan jalan yang akan dilewati oleh
rombongan.
Pada titik pertengahan jalan, kedua barisan gelombang ini akan bertemu dengan
pimpinannya masing-masing, dan akan melakukan sedikit gerak persilatan.
Contoh tata cara perkawinan seperti ini, mengambil prosesi yang dilakukan di kampungkampung di ranah minang pada masa dahulu.
Alkisah, dahulunya jika seorang pemuda akan menuju ke rumah calon isterinya yang berada
dikampung lain, harus dikawal oleh kawan-kawan sepersilatannya. Sementara itu di
Kampung calon isterinya itu terdapat pula para pemuda yang selalu siap siaga menjaga
keamanan kampung. Tidak jarang antara kedua kelompok pemuda ini sering terjadi kesalah
pahaman sehingga mereka saling menunjukkan ketrampilan dan kelihaian mereka dalam
bersilat. Karena itulah kiasan dari tarian gelombang itu, merupakan gambaran yang sering
terjadi pada masa lalu dan diwujudkan dengan ada acara persilatan seperti yang terjadi pada
masa kini.
Ketika, pertarungan silat itu terjadi, maka persilatan dihentikan, ketika salah seorang ninik
mamak dari tuan rumah datang melerai mereka dengan carano adat yang sudah berisi sirih
pinang. Rangkaian tarian selanjutnya disambut dengan barisan dara-dara yang menggambar
peran Bundokanduang sebagai limpapeh rumah dan gadang, menyonsong tamu dan
mempersembahkan sirih lengkap dalam carano adat bertutup dalamak ( kain bludru bertabur
kaca bersulam benang emas), dan secara timbal balik melakukan gerakan tertentu menyilang
antara yang datang dan yang menanti.
Ketiga;
Pada saat itulah dilakukan penghormatan antara kedua belah pihak dengan cara sembahmenyembah antar wakil rombongan selaku juru bicara dengan juru bicara pihak tuan rumah,
yang dilakukan bertepatan di depan pintu masuk rumah anak daro (CPW). Sembah
menyembah dari pihak Tuan Rumah adalah sebagai sapaan kehormatan atas kedatangan
marahpulai dan rombongan ke rumah mereka.
Keempat;
Sesampai di pintu rumah, marahpulai disambut dengan tebaran beras kuning sambil
menyampaikan kalimat yang melodius tentang ucapan selamat datang Marahpulai dan
rombongannya. Pihak tuan rumah telah mempersiapkan pula perangkat penyambutan, yaitu
naik manapiak bandua dan maningkek janjang, dengan cara ; mencuci kaki calon menantunya
dengan menuangkan sedikit air di ujung sepatu marahpulai. Setelah pencucian kaki secara
simbolik ini, maka marahpulai akan menapak masuk ke dalam rumah anak daro, melalui
hamparan kain jajakan putih yang dibentangka, antara pintu sampai masuk rumah hingga
tempat upacara akad nikah akan dilangsungkan.
Pencucian kaki dan berjalan diatas kain putih ini merupakan perlambang dari harapanharapan tentang kebersihan dan kesucian hati si calon menantu itu dalam melaksanakan

niatnya untuk mengawini calon isterinya. Sering juga disebut acara ini mengandung harapan,
agar si marahpulai (CPP), akan membawa segala yang suci dan bersih ke atas rumah anak
daro dan meninggalkan segala yang buruk dan kotor sejak dari halaman.
Jumlah pemuda-pemuda yang terlibat dalam penyambutan dengan tari gelombang serta
gadis-gadis yang menyampiakan persembahan sirih adat, tergantung kepada besar kecilnya
pesta yang diadakan. Namun lazimnya, jumlah penari ada tujuh orang untuk tiap kelompok,
yang terdiri dari :
tujuh orang penari gelombang dari pihak yang menanti, dan
tujuh orang dari pihak yang datang
tujuh orang gadis-gadis yang membawa sirih adata, dan
tujuh orang untuk pihak rombongan yang datang.
Mengingat efisiensi biaya dan tenaga, upacara penyambutan marahpulai dengan tarian
gelombang dilakukan secara sepihak saja oleh keluarga anak daro. Artinya barisan
gelombang dan dara-dara limpapeh pembawa sirih hanya disiapkan dipihak keluarga calon
pengantin wanita saja.
Busana dalam penyambutan marahpulai :
Pilihan Busana pria dalam penyambutan marahpulai, adalah sebagai berikut :
a. Jas, kemeja, kain sarung, sendal dan kopiah hitam.
b. Jas engku damang, celana panjang dan sampirannya kain songket ringan.
c. Kemeja dan pantalon biasa, dilehernya dikalungkan kain plakat yang kedua ujungnya
terjuntai ke dada. Sedangkan kepala harus memakai kopiah.
d. Kaum ibu dan bundokanduang yang ada di rumah anak daro, dapat menggunakan ragam
busana apa saja. Sebagaimana kita ketahui di Sumatera Barat terdapat 17 model pakaian adat,
yang selalu ditampilkan disetiap upacara adat resmi.
e. Para pemuda penari gelombang, menggunakan baju silat biasa dengan celana galembong
tapak itiak berkain samping dipinggang dan destar dikepala.
Gadis-gadis (padusi) limpapeh rumah nan gadang yang membawa sirih, mengenakan baju
kurung dalam berbagai variasi menurut daerah masing-masing. Hiasan kepala bisa berupa
tingkuluak tanduak atau hiasan kepala yang ringan seperti sunting rendah atau sunting ringan
lainnya yang beraneka ragam bentuknya sesuai pakaian resmi dengan asal nagari.
Acara sesudah nikah
Setelah tatacara dan upacara menjemput dan menyambut pengantin selesai dilaksanakan,
kedua pengantin dipersandingkan. Kadang kala ada yang tidak menyanding kedua calon
pengantin itu, akan tetapi setelah adanya pernyataan ijab dari mempelai pria, barulah
mempelai wanita dipersandingkan. Pihak tuan rumah telah menata para tamu yang akan
menyaksikan upacara ijab kabul ini. Kedua orang tua pengantin, Ninik mamak ditempatkan
pada posisi yang baik sebagai saksi dari akad nikah. Acara pokok akad nikah dan ijab kabul
berlangsung sesuai dengan ketentuan agama Islam. Akad nikah dipimpin langsung oleh
penghulu yang biasanya dipegang oleh Kepala Urusan Agama setempat.

Setelah semua upacara ijab kabul selesai, maka barulah diadakan lagi beberapa acara sesuai
dengan khazanah budaya Minangkabau. Diantaranya yaitu :
1. Mamasang Cincin
2. Sambah Bakti
3. Acara Mamulangkan Tando
4. Malewakan Gala Marapulai
5. Balantuang Kaniang
6. Mangaruak Nasi Kuniang
7. Bamain Coki

Mamasang Cincin
Secara menyilang ibu masing-masing kedua pengantin melakukan pemasangan cincin kawin
kepada pengantin pada jari manis kanan.
Hampir semua etnis didunia, cincin perkawinan merupakan lambang ikatan dan atau pertalian
pria dan wanita dalam perkawinan. Menurut falsafah Minangkabau disebutkan dalam pepatah
yang berbunyi ;
Basuluah bulanjo matohari
Bagalanggang mato urang banyak.
Batampuak buliah dijinjiang
Batali buliah diirik.
Artinya : Dengan disaksikan orang banyak mereka telah dinyatakan syah terikat sebagai
suami isteri.
Sambah Bakti :
Selesai uapcara akad nikah yang dilakukan secara Islam, acara selanjutnya ialah pemberian
nasehat oleh kedua orang tua pengantin. Disinia kedua pengantin melakukan salam
persembahan untuk memohon doa restu kepada kedua orang tua, orang-orang tua yang ada
dikeluarga itu. Bagi kedua pengantin hari bahagia mereka itu diiringi tangis haru dengan
suatu harapan agar perkaiwnan mereka berjalan langgeng sampai usia yang memisahkan
kedua. Sebaliknya bagi kedua orangtua, perasaan bahagianya akan diliputi pula dengan rasa
haru, bahwa kasih sayang yang selama ini diberikan sepenuhnya bagi anaknya seakan pergi
begitu saja.
Pada acara ini, peranan pemandu acara sangat penting, karena masing-masing pihak baik
pengantin maupun kedua orang tua terkadang tak mampu menyampaikan kalimat nesehat
kepada anaknya., sehingga pemandu acara akan menyampaikan perasaan yang terkandung
dalam hati masing-masing dalam suatu kalimat-kalimat yang sacral. Inti utama nasehat yang
akan disampaikan kepada kedua pengantin ialah ; bahwa keduanya harus membina saling
pengertian dan saling hormat menghormati ketika mereka menjalani biduk rumah tangga.

Demikian pula mereka tidak boleh melupakan dan melepaskan baktinya kepada kedua orang
tuannya kelak

Mamulangkan Tando
Sebagaimana telah diuraikan pada bab-baba terdahulu, bahwa pada saat perstujuan
peminangan dilakukan penukaran tanda mata antara calon pasangan yang akan
diperjodohkan. Demikianlah, sesudah akad nikah berlangsung, kedua pengantin telah terikat
secara sah sebagai pasangan suami isteri, baik dipandang dari sudut agama maupun dari
undang-undang negara. Ikatan itu sudah terpatri dalam surat nikah resmi yang dipegang oleh
masing-masing pihak. Oleh karena itu tanda iakatan yang diberikan masing-masing pihak
ketika dilakukan acara peminangan tidak diperlukan lagi, sehingga pada kesempatan ini
sesudah akad nikah, kedua belah pihak keluarga mengembalikan tanda ikatan itu.
Pemulangan tanda ikatan ini disebut memulangkan tando, yang yang dilakukan secara
resmi dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak
Urutan penyerahan tando itu dimulai oleh pihak keluarga anak daro, yang diserahkan oleh
Mamaknya kepada besannya yang dalam hal ini diterima oleh Mamak dalam persukuan dari
pihak marahpulai. Demikian pula mamak dari pihak marahpulai akan mengembalikan tando
milik keluarga anak daro menurut urutan yang sama oleh pihak keluarga pengantin pria.
Malewakan Gala Marapulai
Setiap pria yang telah melangsung pernikahan, ia kelak akan menjadi orang yang dihormati di
keluarga isterinya. Ia akan menjadi tamu abadi, yang diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Pepatah minang mengatakan ketek ba namo . gadang bagala , mencerminkan bahwa
dirumah isterinya ia bukanlah orang sembarangan. Oleh karena itu lazimnya pihak anak daro
sekaligus menanyakan kepada pihak besan, dengan panggilan apakah ia akan menyebut nama
menantu setelah acara perhelatan. Pihak marahpulai akan menyambut pertanyaan pihak anak
daro dengan mengumumkan gelar adat yang akan disandang oleh marahpulai ini dan
dilakukan langsung oleh ninik mamak kaumnya. Pihak mamak marahpulai harus
menyebutkan secara jelas dari mana gelar itu diperoleh.
Mengenai melawakan gala marapulai, perolehan gelar tergantung asal suku dan kaum dari
pihak keluarga marahpulai. Pada umumnya gelar itu diawali dengan gelar kehormatan seperti
Sutan. Di rantau pesisir seperti di wilayah Pariaman gelar Sutan, Bagindo dan Sidi
merupakan gelar sebagai identitas turunan ayah. Sutan menandakan asal usul ayahnya dari
Luhak nan tigo. Bagindo menandakan ayahnya berasal dari tanah Pagaruyung. Sedangkan
Sidi menandakan asal usulnya dari prajurit Aceh yang dinamakan Sahid. Pariaman lama
dikuasai oleh Aceh sebelum jatuh ketangan Belanda, sehingga pengaruh adat istiadatnya pun
dipengaruhi oleh kerajaan Aceh. Sedangkan di wilayah Padang dan sekitarnya lazim
memakai gelar Sutan dan marah sebagai warisan dari ayahnya.
Menurut orang yang berbangsa di kota Padang, jika bangsawan Padang bergelar Sutan
menikah dengan Puti, maka anaknya akan bergelar Sutan dan Puti. Namun bila bangsawan
pria menikah dengan wanita biasa, maka gelar anaknya adalah marah dan Siti. Entahlah

apakah bangsawan itu memang ada di Minangkabau ? Wallahu alam.. Hal ini bisa saja terjadi
karena wilayah pesisir Minangkabau lebih banyak dipengaruhi oleh adat dan budaya Aceh
sehingga dalam memberi gelar turunanpun masih dipengaruhi budaya Aceh yang patriiarchat.
Padahal menurut perkawinan yang eksogami bahwa sesuai dengan ketentuan adat yang
berlaku, bahwa gelar diambil dari gelar turunan yang berasal dari Mamaknya dan disesuaikan
dengan tingkatan si Marahpulai dikeluarga besarnya.
Jika pengantin pria bukan dari persukuan Minang, maka pengumuman gelar ini dilakukan
oleh ninik mamak persukuan pengantin wanita dengan memberikan gelar yang ada pada
persukuannya.
Balantuang Kaniang
Setiap acara dan upacara perkawinan selalu dihiasi dengan kembang-kembang acara pesta.
Semula acara ini bernuansa magis sesuai dengan karakter dan sifat masyarakat hukum adat
ketika itu, maka akhirnya kembang pesta atau bungo alek itu menjadi asesoris dalam
rangkaian acara perhelatan atau peresmian perkawinan.
Sesuai dengan pantun-pantun pepatah petitih Minang yang mengatakan :
Cukuik syarak pai ka Makah
Jalankan parintah baibadah
Wajib nikah karano sunnah
Sumarak alek karano adaik
Jadi jelas disini, acara-acara adat yang dilakukan sesudah akad nikah lebih bertujuan untuk
membuat sebuah pesta tampak lebih semarak.
Selain itu bungo alek bertujuan untuk mempersatukan ikatan bathin pasangan pengantin yang
sebelumnya belum saling mengenal, karena proses perjodohan.
Apa makna acara balantuang kaniang ? artinya mengadu kening. Pasangan pengantin baru itu
dengan dipimpin oleh kaum ibu yang dituakan selaku pemimpin acara, saling menyentuhkan
kening mereka satu sama lain. Mula-mula kedua mereka didudukkan saling berhadapan dan
antara wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas. Kemudian kipas ini diturunkan
pelan-pelan, sehingga mata mereka saling bertatapan. Setelah itu pemimpin acara akan saling
mendorongkan kepala pengantin itu sehingga kening mereka saling bersentuhan. Makna
acara ini selain mengungkapkan kemesraan pertama antara mereka dengan saling
menyentuhkan bagian mulia pada wajah manusia (ingat ungkapan malu tercoreng pada
kening), maka persentuhan kulit pertama ini juga bermakna bahwa sejak detik itu mereka
sudah sah sebagai muhrim. Hal ini berarti pula bahwa persentuhan kulit antar mereka tidak
lagi membatalkan wudhu atau air sembahyang masing-masing.
Mangaruak Nasi Kuniang meraup nasi kuning
Diantara symbol symbol yang dimuculkan dalam mengisi khazanah budaya, berbabagai
ragam yang diperlihatkand dalam mengisi acara bungo alek, seperti yang digambarkan dalam
acara meraup nasi kuning.
Tata Caranya :

Dihadapan kedua pengantin itu diletakkan nasi kuning yang yang didalamnya terdapat
singgang ayam utuh. Kedua pengantin ini dipimpin pemandu acara, disruh saling berebut
mengambil daging ayam yang tersembunyi itu. Kemudian bagian-bagian yang didapat
masing-masing diperagakan kepada tamu-tamu yang hadir menyaksikan acara.
Menurut kiasan para pendahulu masyarakat minang, bagian dari daging ayam yang diperoleh
masing-masing pengantin, akan memberikan ramalan tentang peranan mereka didalam
berumah tangga kelak dikemudian hari.
Bila pengantin laki-laki mendapatkan bagian kepala, maknanya ia didalam perkawinannya
betul-betul akan menjadi kepala rumah tangga yang baik. Kalau pengantin wanita
mendapatkan sayap, maka maknanya didalam rumah tangganya nanti ia akan menjadi ibu
yang penyayang dan selalu melindungi anak-anaknya. Akan tetapi jika sayap yang diperoleh
pengantin pria, maka pengantin wanita layak untuk menjaga suaminya lebih ketat karena ada
kemungkinan ia akan terbang kesana kemari.
Ramal meramal semacam ini jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam, yang
menegaskan bahwa Yang Maha Tahu tentang masa depan siapapun hanyalah Allah sematamata, bukan manusia, walaupun setua atau sepintar apapun manusia yang meramal itu.
Kiasan yang lebih baik yang dapat dipetik dari acara ini adalah terletak pada adegan ketika
sang suami mengambil sedikit nasi kuning dengan lauknya, kemudian menyerahkan kepada
isterinya. Sang isteri menerima pemberian suaminya itu, tapi tidak memakan semuanya. Ia
hanya memasukkan sedikit kemulutnya, dan menyisihkan yang lain dipiringnya. Sikap ini
sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa isteri yang baik ialah isteri yang bisa
menahan hati untuk tidak selalu menghabiskan nafkah berapapun yang diberikan suaminya,
tetapi selalu menyimpannya sedikit. Simpanan ini akan dikeluarkannya secara surprise kelak
untuk membantu keluarga ketika terjadi musim paceklil atau kekurangan rezeki. Demikianlah
simbolis acara ini sebaiknya ditafsirkan.
Bamain Coki
Coki adalah permainan catur. Dalam mengisi acara setelah dilakukan upacara akad nikah,
maka permainan catur itu yang dilakukan oleh dua orang dilakukan oleh sepasang pengantin
baru itu. Papan permainannya hampir menyerupai papan halma dengan garis-garis
menyilang. Anak caturnya terdiri dari buah baju berbeda warna. Kedua pengantin dengan
dipimpin oleh pemandu wanita mengadu kelihaian memainkan catur dan saling memakan
buah masing-masing. Konon kabarnya dahulu kala permainan ini bisa berlangsung lama dan
sangat menarik untuk disaksikan. Makna dari acara ini, menggambarkan betapa didalam
kehidupan rumah tangga nantinya akan ditemukan sesuatu yang memerlukan pemikiran
diantara pasangan suami isteri dalam mengatasi persoalan kehidupan. Percaturan nasib
diantara masing-masing pengantin akan terlihat siapa yang siap sebagai pemimpin keluarga.
Mengingat bahwa suamilah sebagai pemimpin keluarga, maka biasanya pihak pengantin
wanita/anakdara akan mengalahkan langkahnya agar sang pengantin pria/marahpulai yang
selayaknya menjadi pemenang.
Adakalanya permainan ini dimeanfaatkan untuk saling mengenalkan sepasang pengantin itu

seandainya mereka sebelumnya dijodohkan dan belum pernah bertemua muka maka
permainan berubah menjadi semacam pergelutan diantara mereka untuk saling berebut cincin
di jari masing-masing. Pihak anak dara akan berupaya mempertahankan cincin dijarinya,
untuk menggambarkan bahwa ia adalah seorang yang memapu mempertahankan kehormatan
dirinya dari gangguan pihak lain. Selain itu, jika sekiranya anak dara berhasil merebut cincin
suaminya, ia akan dibisikan oleh pendampingnya agar menyembunyikan cincin marapulai itu
sehingga terjadilah saling rebut merebut cincin. Marahpulai berpantang menyerah begitu saja
pada acara itu, karean ia tidak ingin disebut sebagai seorang suami yang lemah. Suasana yang
gaduh ini akan berubah menjadi senda gurau diantara para hadirin dan akhirnya juga akan
meluluhkan kekakuan diantara pengantin yang tengah dipersandingkan itu. Diharapkan dari
permainan ini, akan menciptakan kenangan abadi bagi pasangan pengantin dan dan
mendorong terciptanya kemesraan pertama antar pengantin baru yang dapat disaksikan oleh
orang lain.
Demikianlah beberapa tata cara kembang acara (bungo alek) menurut kebiasaan yang berlaku
pada beberapa kenagarian di Minangkabau, dan yang sekarang juga sudah lazim ditampilkan
sesudah akad nikah dalam pesta-pesta perkawinan orang Minang.
Berkujung kerumah mertua
Sesudah upacara akad nikah, dilanjutkan dengan mempersandingkan kedua pengantin di
pelaminan di rumah kediaman anak dara. Setelah mengikuti prosesi adat serta melakukan
rangkaian acara sesudah akad nikah, suatu acara yang tidak kalah pentingnya dalam suatu
perhelatan besar (baralek gadang), dalam tata cara adat istiadat perkawinan di Minangkabau,
ialah acara manjalang mintuo. . Acara ini mungkin bisa disamakan dengan acara ngunduh
mantu yang berlaku menurut adat Jawa. Acara ini yang pelaksanaan dan undangannya
dilakukan oleh pihak keluarga marahpulai.
Pada beberapa nagari di Sumatera Barat, acara sesudah perhelatan dirumah anak dara
mempunyai berbagai macam istilah. Ada yang menyebut dengan istilah manjalang mintuo,
Batandang, mahanta nasi, manyaok kandang atau mahanta nasi katunduakan, mahanta bubue,
dll. Namun maksud dan tujuannya sama, yaitu kewajiban untuk mengisi adat setelah akad
nikah dari pihak keluarga pengantin wanita/anak dara kepada keluarga pengantin pria/
marapulai. Mengisi adat ini mengandung arti bahwa pihak keluarga pengantin wanita pada
hari yang ditentukan harus datang secara resmi kerumah ayah ibu pengantin pria, untuk lebih
saling mengenal dengan seluruh keluarga suaminya. Kedatangan anak dara dengan
kerabatnya dalam kunjungan kerumah mertuanya itu bukan saja disaksikan oleh keluarga
terdekat dari mertua (mintuo)nya, namun juga tamu-tamu yang diundang oleh pihak keluarga
mertuanya.
Pada saat berkunjung kerumah mertuanya itu, anak dara dan rombongannya diharuskan untuk
membawa berbagai macam makanan. Makanan antaran yang dibawa oleh anak dara meliputi;
nasi kuning (ketan) dan singgang ayam,
rending atau pangek gadang (asampadeh daging) dll,
kue-kue berbunga atau cake besar,
kue-kue adat yang serba bulat, yaitu pinyaram (kue cucur), onde-onde, kue poci, kue abuak,
dll.

Semua bawaan tersebut, ditata diatas dulang-dulang tinggi yang bertutup kain dalamak dan
dibawa , dengan dijunjung diatas kepala dalam barisan oleh wanita-wanita yang berpakaian
adat. Prosesi membawa makanan kerumah mertua ini, sebagaimana yang telah diletakkan
pada dulang-dulang tinggi, akhirnya disebut dengan istilah manjujuang jamba.
Di daerah lingkung adat Kubuang Tigo Baleh (Solok), bmembawa nasi dan lauk pauk dalam
acara ini yang disebut mahanta nasi katunduakan, ditata dalam mangkok besar berkaca putih
yang dijunjung oleh wanita-wanita berpakaian adat setempat dengan barisan berderet satusatu bagaikan itik pulang petang.
Di daerah pesisir seperti Padang dan Pariaman, maka segala barang bawaan ini, baik yang
dijunjung diatas dulang maupun yang ditata diatas baki, tidak boleh ditutup agar orang-orang
kampung lain bisa melihatnya sepanjang perjalanan yang dilaluinya. Di daerah ini jumlah
makanan yang dibawa berbeda pula, tergantung pada tingkatan dan status sosialnya dalam
masyarakat.
Pemberian jumlah barang antaran, tergantung dari status social masyarakatnya. Bagi anggota
masyarakat biasa segala barang bawaan itu, cukup masing-masing satu macam atau serba
satu atau paling banyak serba dua. Sedangkan bagi orang yang berketurunan, yaitu sutan,
puti, marah, sidi, bagindo serba empat. Dalam hal ini berarti barang antara yang pokok
sebagaimana yang telah disebutkan diatas juga harus serba empat, yakni, Singgang ayamnya
empat, kue bolunya empat, dll.
Arak-arakan manjalang mintuo mahanta nasi dari rumah pengantin wanita ke rumah
orang tua pengantin pria ini selain diikuti oleh wanita-wanita yang berpakaian adat atau
berbaju kurung, juga diikuti oleh para ninik mamak yang juga mengenakan lengkap busanabusana adat sesuai dengan fungsinya didalam kaum. Bahkan barisan ini juga, dimeriahkan
dengan iringan pemain musik tradisional setempat seperti talempong pacik, gendang, dan
puput sarunai yang berbunyi terus menerus sepanjang jalan sampai ke tempat tujuan. Akibat
perkembangan zaman, iringan musik dalam rangka acara menjalang ini, dilakukan dengan
mengikutsertakan seorang laki-laki dalam barisan dengan menyandang tape recorder yang
agak besar. Di sepanjang jalan ia membunyikan kaset lagu-lagu Minang dengan volume
besar.
Ketika rombongan tiba dirumah pengantin pria/ marahpulai, rombongan ini disambut pula
secara adat. Selain dengan sirih dalam carano, adakalanya juga dinanti dengan tari gelombang
dan pasambahan. Dirumah Mintuonya, anak dara dipersandingkan kembali dengan
marahpulai di pelaminan yang sengaja dipasang oleh keluarga Marahpulai. Disinilah resepsi
perkawinan juga dilakukan meriah dan sekaligus dalam rangka memperkenalkan anak dara
isteri atau menantu keluarga itu.
Jika anak dara telah menunaikan kewajibannya untuk mengantarkan nasi dan
perlengkapannya kepada mertuanya, maka muncul pula kewajiban adat bagi orang tua
pengantin pria/ marahpulai setelah acara selesai, dengan mengisi kembali wadah-wadah yang
kosong tadi, sebelum rombongan anak dara pulang. Isinya bisa berupa ; bahan-bahan kain
untuk baju, atau seperangkat pakaian, perhiasan emas atau sejumlah uang atau bisa juga
hanya diisi dengan gula, mentega dan tepung terigu. Semua itu tentu sesuai dengan
kemampuan dan kerelaan sang mertua.
Untuk acara manjalang yang diadakan digedung-gedung, acara manjalang ini juga sering

dilaksanakan secara simbolik, dimana barisan pengantin waktu memasuki gedung diawali
dengan barisan dara-dara limpapeh rumah dan gadang yang menjunjung jamba. Sedangkan
orang tua dan saudara-saudara kandung pengantin pria sebagai orang yang punya hajat tidak
ikut dalam barisan, tetapi menunggu iring-iringan pengantin dan orang tua pengantin wanita
di depan pelaminan.
Lazim pula pada acara manjalang mintuo, dilakukan bersamaan harinya dengan acara kenduri
atau resepsi perkawinan di rumah si anak dara. Jika kegiatan menjalang itu dilakukan
bersamaan waktunya, maka kedua belah pihak harus pintar-pintar menata acara secara baik.
Waktu menjalang itu dapat dilakukan setelah ba`dan dzuhur atau ba`da asyar. Hal ini
mungkin saja terjadi bila perhelatan itu tidak berjauhan lokasi kediaman masing-masing
pengantin.
Jika pelaksanaan manjalang mintuo dilaksanakan sekaligus, maka setelah acara manjalang
usai dilaksanakan, maka rombongan anak daro pulang kerumahnya dengan membawa
pemberian kerabat marahpulai/suaminya, tanpa didampingi marahpulai. Mengapa demikian ?
karena setelah acara manjalang berlangsung, nanti pada malam hari marahpulai akan
dijemput secara tersendiri oleh wakil keluarga anak diri.
Setelah menikah suami tinggal dirumah istri
Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah upacara pernikahan usai
diselenggarakan, maka marahpulai/suami tinggal di rumah istrinya. Sungguhpun ia bertempat
kediaman di rumah sang isteri, bukan berarti ia menjadi kepala keluarga dirumah isterinya.
Dirumah isterinya berkedudukan sebagai semenda (urang sumando), dimana ia memiliki duo
local residence, suatu istilah yang diberikan oleh seorang antropolog yang bernama Mordock.
Hal ini disebabkan bahwa masing-masing suami isterinya itu tetap berada dalam kaum dan
sukunya masing-masing. Pasangan suami isteri yang menikah bukan berarti dengan
terjadinya pernikahan, salah satu pihak masuk kedalam suku atau marga pasangannya, seperti
yang terjadi pada suku di tanah BATAK. Namun ia tetap berada pada suku dan kaum masingmasing.
Untuk menggambarkan bahwa suami tidak langsung seketika masuk dalam keluarga
isterinya, maka lazimnya pada masa dahulu, setelah si anak dara melakukan kewajibannya
mengantarkan nasi sebagaimana yang telah diulas pada bab Menjalan Mintuo, marahpulai
tetap berdiam diri dirumahnya dulu sampai ada pihak anak dara dating menjemput untuk
tinggal dirumah anak dara.
Pada masa dahulu, marahpulai beberapa setelah pernikahannya berturut dijemput oleh
keluarga isterinya agar ia bermalam dirumah isterinya dan pada waktu subuh kembali
kerumah orang tuanya. Pola kebiasaan ini merupakan pembelajaran bagi marahpulai, bahwa
ia tidak boleh melupakan begitu saja rumah asal/rumah kaum/sukunya. Bukankah ia semata
sebagai tamu abadi dikeluarga isterinya, yaitu orang yang berkedudukan sebagai urang
sumando yang dihormati, bagai manatiang air di-dulang.
Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, bahwa marapulai atau suami
bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam
lingkungan kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak
berubah menjadi status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan
istrinya adalah dianggap sebagai tamu terhormat, tetap dianggap sebagai pendatang.

Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan abu diatas
tunggul, dalam arti kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun apabila karena
kedudukan dan status sosialnya yang kuat, maka ia tidak diperlakukan semena-mena bagai
abu diatas tunggul itu. Bukankah arti menjemput yang diberikan kepadanya menunjukkan
bahwa ia sangat dihargai dan dhormati. Oleh karena itu, seandainya ia dihormati namun ia
haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya.
Perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya
meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai
hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang
tuanya, bagi seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa
sedih dan gembira bercampur menjadi satu. Oleh karena itulah perlu dilakukan Upacara turun
janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara japuik menjapuik, yang berlaku dalam
perkawinan adat Minang.
Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;
Sigai mancari anau, Anau tatap sigai baranjak
Datang dek bajapuik
Pai jo baanta
Ayam putieh tabang siang
Basuluah matoari
Bagalanggang mato rang banyak.
Arinya :
Tangga mencari enau
Enau tetap tangga berpindah
Datang karena dijemput
Pergi dengan diantar
Ayam putih terbang siang
Bersuluh matahari.
Bergelanggang mata orang banyak.
Bergelanggang (disaksikan) mata orang banyak. Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa
dalam setiap perkawinan adat Minang semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya,
dengan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh
keluarga pihak laki-laki secara adat pula.
Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya. Bila terjadi
perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal
dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila
istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput
suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau
kembali ke kampung halamannya. Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah
ketentuan adat Minang. Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di
Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria
Minang adalah surau.
Menyedihkan memang. Tapi ini pula yang menjadi sumber dinamika pria Minang, sehingga
mereka menjadi perantau atau pengembara yang tangguh. Kenyataan ini dihayati dan
diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga Minang, baik mereka yang menempati
Rumah Gadang tradisional, maupun yang menempati rumah gedung modern, baik mereka
yang bermukim di kampung halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar.
Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di Minangkabau
adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak-anak wanita. Anakanak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surau-surau, belajar silat,

bergaul dengan pria dalam segala tingkat usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan
(secara keras dan jantan).
Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang Sumando)
sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di rumah
ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat
tinggal. Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi
orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya.
Pada dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah
dengan orang tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di
surau-surau dan tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya. Sekalipun di rumah
gedung modern sudah ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan anak wanita
Minang, namun prinsip pergaulan terpisah ini tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan
anak wanita tetap mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini merupakan salah
satu dasar dari ajaran moralita menurut adat Minang. Adat Minang tidak mengenal ajaran
pergaulan bebas, walau antara saudara kandung sendiri. Kehidupan keluarga yang seperti ini,
diperkirakan telah melahirkan watak perantau bagi pria Minang dan watak Bundo Kanduang
bagi wanita Minang, mereka menjadi wanita yang sangat terampil dan cermat dalam
mendidik anak-anak dan dalam mengendalikan harta pusaka. Dengan adanya ketentuan
domisili-matrilokal ini, mengharuskan para suami bersikap hati-hati karena akan selalu
mendapat sorotan dari keluarga istri.
Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah
laku Urang Sumando mereka. Ada beberapa klasifikasi yang menggambarkan Urang
Sumando, antara lain :
1. Urang sumando ninik mamak ; yaitu seseorang yang memperoleh sebutan terhormat
karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak keluarga istri.
2. Urang sumando langau hijau (lalat hijau), yaitu sesuai dengan tingkah polah perangai
mereka, yang kerjanya hanya kawin-cerai di setiap kampung dan meninggalkan anak dimanamana.
3. Urang Sumando Kacang Miang, yaitu urang Sumando yang kerjanya hanya mengganggu
ketentraman tetangga karena menghasut dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak
yang dapat mengganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing dan lainnya.
Di Minangkabau berlaku pepatah ;
Kaluak paku kacang balimbing, daun simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku
kemenakan dibimbing urang kampung dipatenggangkan .
4. Urang Sumando Lapiak Buruak (tikar butuk), yaitu, jika seorang suami sampai lupa
kepada kemenakan dan kampung halamannya sendiri, karena sibuk dan rintang dengan anak
dan istrinya saja, maka suami yang demikian itu diberi gelar oleh orang kampungnya sendiri
sebagai yang artinya Rang Sumando yang diibaratkan sama dengan tikar pandan yang lusuh
di rumah istrinya.
5. Urang Sumando apak paja, yang artinya hanya berfungsi sebagai pejantan biasa. Bagi
suami atau Rang Sumando yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya
sendiri. Rang Sumando semacam ini merupakan kebalikan dari Rang Sumando lapiak buruak
yang menjadi orang pandie di rumah istrinya.
Dalam zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor
jasa dan industri, maka sebagian keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan
cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga
barat dimana bapak merasa dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala
kaum, menggantikan kedudukan mamak. Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan
sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah melahirkan pula jenis. Rang Sumando,

bentuk baru yang dapat kita beri sebutan sebagai Rang Sumando Gadang Malendo, yang
tanpa malu-malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga
menyulitkan kedudukan mamak terhadap para kemenakannya.

Вам также может понравиться