Вы находитесь на странице: 1из 18

LAPORAN KASUS

PNEUMONIA
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Disusun oleh:
TRIA PERMATA RATI
PUTRI WULAN PERMASARI
IRA DESTIA
LUKMAN HAKIM Z

PROGRAM PROFESI NERS


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2016
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Infeksi pada Saluran Nafas Akut (ISPA) merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah
maju. Penyebab terjadinya infeksi pada saluran nafas adalah mikroorganisme,
faktor lingkungan, perilaku masyarakat yang kurang baik terhadap kesehatan
dirimaupun publik, serta kurangnya gizi dan nutrisi (Depkes, 2007). Secara umum
infeksi saluran nafas terbagi menjadi infeksi saluran nafas atas dan infeksi saluran
nafas bawah. Pneumonia merupakan salah satu contoh infeksi saluran nafas
bawah (WHO, 2007).
Data South East Asian Medical Information Center (SEAMIC) Health
Statistic tahun 2001, menempatkan pneumonia dan influenza sebagai penyebab
kematian ketiga di Indonesia dengan angka mortalitas 7,8. Laporan profil
kesehatan Indonesia tahun 2011 menyebutkan pneumonia termasuk sepuluh besar
penyakit rawat inap di rumah sakit dengan angka case fatality rate tertinggi yakni
7,6%. Sedangkan laporan WHO tahun 2000, menjelaskan bahwa penyebab
kematian tertinggi dari penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut
termasuk pneumonia dan influenza. Menurut hasil laporan Riset Kesehatan Dasar
(Rikesdas) Indonesia pada tahun 2007 menyebutkan prevalensi pneumonia
menurut diagnosa dan gejala adalah 2,2% atau 2200 penderita pada 100.000
penduduk. Sementara pada hasil Riskesdas 2013, prevalensi pneumonia
berdasarkan kelompok umur penduduk, di mana pneumonia tinggi terjadi pada
kelompok umur1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan
terus meninggi pada kelompok umur berikutnya. Hal ini tidak menyingkirkan
bahwa pneumonia pun terjadi pada usia remaja dan dewasa.
Pneumonia merupakan salah satu penyakit paru yang ditandai dengan adanya
peradangan akut pada parenkim paru (Price & Wilson, 2006). Pneumonia dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing melalui jalur
masuknya infeksi tersering ke saluran napas bawah adalah melalui aspirasi sekret
orofaring (Somantri, 2007). Komplikasi pneumonia abses paru adalah
pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang, efusi pleural adalah terjadi

pengumpulan cairan di rongga pleura, empiema adalah efusi pleura yang berisi
nanah, gagal nafas, atelektasis adalah (pengembangan paru yang tidak sempurna)
terjadi karena obstruksi bronkus oleh penumukan sekresi rusaknya jalan nafas
hingga kematian (Betz &Sowden, 2002).
B. Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui definisi dari pneumonia.
2. Mahasiswa mampu mengetahui jenis-jenis dari pneumonia.
3. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi dari pneumonia.
4. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi klinik dari pneumonia.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi dari pneumonia.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan pathway dari pneumonia.
7. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan penunjang dari pneumonia.
8. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan dari pneumonia.
9. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dari pneumonia.
10. Mahasiswa mampu menjelaskan pengkajian yang dilakukan pada pasien
dengan pneumonia.
11. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pasien dengan
pneumonia.
12. Mahasiswa mampu menetapkan fokus intervensi pasien dengan
pneumonia.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru distal dari jalan
napas besar dan mengenai bronkiolus respiratorik dan alveolus serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Leveno, 2009).
Pneumonia adalah proses peradangan parenkim paru yang terdapat konsolidasi
dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing. Pertukaran gas tidak dapat
berlangsung pada daerah yang mengalami konsolidasi dan darah yang dialirkan
kesekitar alveoli tersebut tidak berfungsi. Hipoksemia dapat terjadi tergantung
banyaknya jaringan paru-paru yang sakit (Somantri, 2007).
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
sekitarnya. Pada bronko pneumonia terjadi konsolidasi area berbercak.
(Smeltzer,2001).
B. Klasifikasi Pneumonia
Berdasarkan tempat letak anatomisnya, pneumonia dapat diklasifikasikan menjadi
empat, yaitu (Price & Wilson, 2005):
1. Pneumonia lobaris
Seluruh lobus mengalami konsolidasi, eksudat terutama terdapat intra alveolar.
Pneumococcus dan Klebsiella merupakan organism penyebab tersering.
2. Pneumonia nekrotisasi
Disebabkan oleh jamur dan infeksi tuberkel. Granuloma dapat mengalami
nekrosis kaseosa dan membentuk kavitas.
3. Pneumonia lobular/bronkopneumonia
Adanya penyebaran daerah infeksi yang bebercak dengan diameter sekitar 3
sampai 4 cm yang mengelilingi. Staphylococcus dan Streptococcus adalah
penyebab infeksi tersering.
4. Pneumona interstitial
Adanya peradangan interstitial yang disertai penimbunan infiltrate dalam
dinding alveolus, walaupun rongga alveolar bebas dari eksudat dan tidak ada
konsolidasi disebabkan oleh virus atau mikoplasma.
Menurut Depkes RI (2002) klasifikasi pneumonia menurut program P2 ISPA
antara lain :

1. Pneumonia sangat berat


Ditandai dengan sianosis sentral dan tidak dapat minum, harus dirawat di
rumah sakit.
2. Pneumonia berat
Ditandai dengan penarikan dinding dada, tanpa sianosis dan dapat minum, di
rawat rumah sakit dan diberi antibiotik.
3. Pneumonia sedang
Ditandai dengan tidak ada penarikan dinding dada dan pernafasan cepat, tidak
perlu dirawat, cukup diberi antibiotik oral.
4. Bukan pneumonia
Hanya batuk tanpa tanda dan gejala seperti di atas, tidak perlu dirawat, tidak
perlu antibiotik.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya Djojodibroto (2009) :
1. Community-Acquired Pneumonia
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini sering di
sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (Penicillin sensitive and
resistant strains), Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant
strains) dan Moraxella catarrhalis (all strains penicillin resistant). Ketiga
bakteri tersebut dijumpai hampir 85% kasus CAP. CAP biasanya menular
karena masuk melalui inhalasi atau aspirasi organisme patogen ke segmen paru
atau lobus paru-paru. Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan
karakteristik penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau
segmen paru. Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan taktil
fremitus, nafas bronkial. Komplikasi berupa efusi pleura yang dapat terjadi
akibat infeksi H. Influenza, emphyema terjadi akibat infeksi Klebsiella,
Streptococcus grup A, S. Pneumonia. Angka kesakitan dan kematian infeksi
CAP tertinggi pada lanjut usia dan pasien dengan imunokompromis. Resiko
kematian akan meningkat pada CAP apabila ditemukan faktor komorbid
berupa

peningkatan

respiratory

rate,

hipotensi,

demam,

multilobar

involvement, anemia dan hipoksia.


2. Hospital-Acquired Pneumonia
Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia nosokomial (lebih
dikenal sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-associated
pneumonia) didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul setelah lebih dari

48 jam di rawat di rumah sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal .


Terjadinya pneumonia nosokomial akibat tidak seimbangnya pertahanan inang
dan kemampuan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi traktus respiratorius
bagian bawah. Bakteria yang berperan dalam pneumonia nosokomial adalah P.
Aeruginosa , Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara
signifikan akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di
rumah sakit. ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset
(biasanya muncul selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset
(biasanya muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di rumah sakit). Pada
early onset pneumonia nosokomial memili prognosis baik dibandingkan late
onset pneumonia nosokomial; hal ini dipengaruhi pada multidrug-resistant
organism sehingga mempengaruhi peningkatan mortalitas. Pada banyak kasus,
diagnosis pneumonia nosokomial dapat diketahui secara klinis, serta dibantu
dengan

kultur bakteri;

termasuk

kultur semikuantitatif dari

sample

bronchoalveolar lavange (BAL).


3. Ventilator-Acquired pneumonia
Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia yang terjadi
setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea. Ventilator adalah alat yang
dimasukan melalui mulut atau hidung, atau melalu lubang di depan leher.
Infeksi dapat muncul jika bakteri masuk melalui lubang intubasi dan masuk ke
paru-paru.
C. Etiologi Pneumonia
Menurut (Smeltzer & Bare, 2001) etiologi pneumonia, meliputi :
1. Bakteri
Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu :
a. Typical organism
Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :
1) Streptococcus pneumonia: merupakan bakteri anaerob facultatif. Bakteri
patogen ini di temukan pneumonia komunitas rawat inap di luar ICU
sebanyak 20-60%, sedangkan pada pneumonia komunitas rawat inap di
ICU sebanyak 33%.
2) Staphylococcus aureus: bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang
diberikan obat secara intravena (intravena drug abusers) memungkan
infeksi kuman ini menyebar secara hematogen dari kontaminasi injeksi

awal menuju ke paru-paru. Kuman ini memiliki daya taman paling kuat,
apabila suatu organ telah terinfeksi kuman ini akan timbul tanda khas,
yaitu peradangan, nekrosis dan pembentukan abses. Methicillin-resistant
S. Aureus (MRSA) memiliki dampak yang besar dalam pemilihan
antibiotik dimana kuman ini resisten terhadap beberapa antibiotik.
3) Enterococcus (E. faecalis, E faecium): organisme streptococcus grup D
yang merupakan flora normal usus.
Penyebab pneumonia berasal dari gram negatif sering menyerang pada
pasien defisiensi imun (immunocompromised) atau pasien yang di rawat di
rumah sakit, di rawat di rumah sakit dalam waktu yang lama dan dilakukan
pemasangan endotracheal tube. Contoh bakteri gram negatif dibawah
adalah:
1) Pseudomonas aeruginosa: bakteri anaerob, bentuk batang dan memiliki
bau yang sangat khas.
2) Klebsiella pneumonia: bakteri anaerob fakultatif, bentuk batang tidak
berkapsul. Pada pasien alkoholisme kronik, diabetes atau PPOK
(Penyakit Paru Obstruktif Kronik) dapat meningkatkan resiko terserang
kuman ini.
3) Haemophilus influenza: bakteri bentuk batang anaerob dengan berkapsul
atau tidak berkapsul. Jenis kuman ini yang memiliki virulensi tinggu
yaitu encapsulated type B (HiB).
b. Atipikal organism
Penyebab paling sering: Mycoplasma penumoniae menyebabkan pneumonia
mikoplasma. Jenis lain :
- Legionella pneumophila menyebakan penyakit legionnaires
- Mycoplasma penumoniae menyebabkan pneumonia mikoplasma
- Virus influenza tipe A, B, C menyebakan pneumonia virus
- Penumocyctis carini menyebakan pneumonia pnemosistis carinii (PCP)
- Aspergillus fumigates menyebakan pneumonia fungi
- Cipittaci menyebabkan pneumonia klamidia (pneumonia TWAR)
- Mycobacterium tuberculosis menyebabkan tuberculosis
c. Virus

Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet, biasanya


menyerang pada pasien dengan imunodefisiensi. Diduga virus penyebabnya
adalah cytomegalovirus, herpes simplex virus, varicella zoster virus.
d. Fungi
Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur oprtunistik,
dimana spora jamur masuk kedalah tubuh saat menghirup udara. Organisme
yang menyerang adalah Candida sp.,Aspergillus sp., Cryptococcus
neoformans.
e. Pneumonia juga disebabkan oleh terapi radiasi (terapi radisasi untuk kanker
payudara/paru) biasanya 6 minggu atau lebih setelah pengobatan selesai ini
menyebabkan pneumonia radiasi. Bahan kimia biasanya karena mencerna
kerosin atau inhalasi gas menyebabkan pneumonitis kimiawi. Karena
aspirasi/inhalasi (kandungan lambung) terjadi ketika refleks jalan nafas
protektif hilang seperti yang terjadi pada pasien yang tidak sadar akibat
obat-obatan, alkohol, stroke, henti jantung atau pada keadaan selang
nasogastrik tidak berfungsi yang menyebabkan kandungan lambung
mengalir di sekitar selang yang menyebabkan aspirasi tersembunyi.
D. Manifesttasi Klinik Pneumonia
Manifestasi klinis pneumonia yang sering muncul adalah demam dengan
takikardia, memiliki riwayat demam menggigil dan berkeringat. Adapun gejala
batuk dapat non-produktif dan produktif, sedangkan sekret yang keluar dapat
berupa mukus, purulent, atau darah yang bercampur dengan sputum. Gejala utama
lain yang muncul adalah sesak napas. Pada kondisi ringan mungkin pasien masih
bisa berbicara dengan kalimat lengkap, namun pada kondisi berat, pasien akan
kesulitan dalam bernapas. Jika terdapat penyebaran sampai pleura, pasien akan
merasakan sakit dada pleuritik. Lebih dari 20% pasien memiliki gejala
gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare. Gejala lain yang mungkin
muncul
adalah lemas, sakit kepala, nyeri otot dan nyeri sendi (Misnadiarly, 2008).
Adapun dari pemeriksaan fisik yang kemungkinan akan didapatkan adalah
peningkatan frekuensi pernapasan dan penggunaan otot bantu napas tambahan.
Pada palpasi, mungkin akan ditemukan peningkatan dan penurunan fremitus,

sedangkan pada perkusi, akan didapatkan perubahan dari tumpul menjadi rata,
pada daerah yang mengalami konsolidasi dan efusi pleura. Adapun pada
auskultasi, kemungkinan terdengar suara ronkhi dan suara gesekan atau friksi
pada pleura. Pada orang tua, gejala-gejala tersebut tidak terlalu nampak (Muttaqin,
2008)
Manifestasi klinik pneumonia menurut Mansjoer (2000):
1. Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam, sakit kepala,
iritabel, gelisah, malaise, anoreksia, keluhan gastrointestinal.
2. Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipneu, ekspektorasi
sputum, cuping hidung, sesak napas, merintih, dan sianosis. Anak yang lebih
besar lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada.
3. Tanda pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam saat bernapas bersama dengan peningkatan frekuensi napas), perkusi
pekak, fremitus melemah, suara napas melemah, dan ronkhi.

Tabel 1. etiologi, tanda, dan gejala pneumonia


Jenis Pneumonia
Sindrom tipikal

Etiologi
Streptococcus
pneumonia
pneumonia

penyulit
Streptococcus

Faktor Risiko
Tanda dan Gejala
Sickle cell disease
Onset mendadak dingin,
jenis Hipogammaglobulinem
menggigil, dan demam
ia
tanpa
(39-400C)
Multiple myeloma
Nyeri dada pleuritis
Batuk produktif, sputum

pneumonia dengan

hijau,

penyulit

mungkin
bercak

purulen,

dan

mengandung
darah,

serta

hidung kemerahan.
retraksi
interkostal,
penggunaan
aksesorius,
Sindrom Atipikal

Haemophilus
influenza
Staphylococcus
aureus

Usia
COPD
Flu

otot
dan

bisa

tmbul sianosis.
Onset bertahap dalam 3-5
hari
Malaise,

nyeri

kepala,

nyeri tenggorokan, dan

Mycoplasma

Aspirasi

Anak-anak
Dewasa muda

batuk kering.
Nyeri dada karena batuk.

pneumonia
Virus Patogen
Aspirasi basil gram Kondisi lemah karena Anaerobik
negatif:

campuran:

konsumsi alkohol
mulainya onset perlahan
Perawatan (misalnya Demam rendah, dan batuk
infeksi nosokomial) Produksi

Klebsiela,
Pseudomonas,

Gangguan kesadaran

Enterobacter,

sputum/baubusuk
Foto
dada:
jaringan

Escheirchia

intersititial yang terkena

proteus, dan basil

tergantung bagian yang

gram

positif:

terkena di paru-parunya
Infeksi gram negatif atau

Staphylacoccus
Aspirasi
asam

positif
Disstres

lambung

respirasi

mendadak,dispnea berat,
sianosis,

batuk,

hipoksemia, dan diikuti


Hematogen

Terjadi bila kuman Kateter


pathogen
menyebar
ke

paru-paru melalui
aliran
darah:
Staphylococcus,
E.

coli,

dan

IV

tanda infeksi sekunder.


yang Gejala pulmonal timbul

terinfeksi
minimal
dibanding
Endokarditis
gejala septicemia
Drug abuse
Batuk nonproduktif dan
Abses intra abdomen
nyeri pleuritik sasma
Pyelonefritis
Empiema
kandung
dengan yang terjadi
kemih

pada emboli paru-paru

anaerob enternik

(Sumber: Somantri, 2007)


E. Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia merupakan hasil dari reaksi antara imun host terhadap bakteri
yang berpoliferasi di alveolar paru. Jalur tersering masuknya infeksi ke saluran
napas bawah adalah melalui aspirasi sekret orofaring, maka nasofaring dan
orofaring berkontribusi sebagai pertahanan lini pertama untuk mencegah infeksi.
Mikroorganisme dapat mencapai saluran pernapasan bawah melalui berbagai cara,
namun umumnya mikroorganisme ini masuk dengan cara aspirasi orofaring via
droplet. Jalur infeksi lain adalah melalui inhalasi udara yang sudah tercemar
dengan mikroorganisme ketika penderita lain batuk, bersin, atau berbicara, atau
juga inhalasi air aerosol yang terkontaminasi dari peralatan terapi respirasi.
Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran pernapasan, masuk ke bronkhiolus

dan alveolui lalu menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan
edema yang kaya akan protein dalam alveoli dan jaringan intersititial. Pelepasan
mediator inflamasi dan kompleks imun dapat merusak membrane mukus bronkus
dan membrane alveolokapiler, yang menyebabkan asinus dan bronkiolus terminal
terisi dengan debris infeksius dan eksudat. Sebagai tambahan, beberapa
mikroorganisme dapat melepaskan toksin dari dinding selnya yang menyebabkan
kerusakan paru lebih lanjut. Akumulasi eksudat di asinus dapat menyebabkan
sesak napas dan hipoksemia (Somantri, 2007).
Setelah mencapai alveoli, maka pneumokokus menimbulkan respon yang khas
terdiri dari empat tahap yang berurutan (Price & Wilson, 2005) :
1. Kongesti (24 jam pertama) : Merupakan stadium pertama, eksudat yang kaya
protein keluar masuk ke dalam alveolar melalui pembuluh darah yang
berdilatasi dan bocor.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya): Paru-paru tampak merah dan tampak
berglanula karena eritrosit, fibrin, dan leukosit polimorphonucleus (PMN)
mengisi alveoli.
3. Hepatisasi kelabu (3-8 hari): paru-paru tampak berwarna abu-abu karena
leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveolus yang terserang.
4. Resolusi (8-11 hari) : Pada stadium keempat ini, eksudat mengalami lisis dan
direabsorbsi oleh makrofag dan pencernaan kotoran inflamasi, dengan
mempertahankan arsitektur dinding alveolus di bawahnya, sehingga jaringan
kembali pada strukturnya semula.
F. Pathway Pneumonia

Gambar 1. Patofisiologi Pneumonia


G. Pemeriksaan Diagnostik Pneumonia
Pemeriksaan diagnostik pada Pneumonia menurut Somantri (2007):
1. Chest X-ray: teridentifikasi adanya penyebaran (missal: lobus dan bronkhial);
dapat juga menunjukkan multiple abses/infiltrate, empiema (Staphylococcus);
penyebaran atau lokasi infiltrasi (bacterial); atau penyebaran/extensive nodul
infiltrate (sering kali viral) pada pneumonia mycoplasma chest x-ray mungkin
bersih.
2. Analisis gas darah (Analysis Blood Gasses-ABGs) dan Pulse Oximetry:
abnormalitas mungkin terjadi tergantung dari luasnya kerusakan paru-paru.
3. Pewarnaan Gram/Culture Sputum dan Darah: didapatkan dengan neddle
biopsy, aspirasi transtrakheal; fiberoptic bronchoscopy, atau biopsy paru-paru
terbuka untuk mengeluarkan organism penyebab. Lebih dari satu tipe

organism

yang

dapat

ditemukan,

seperti

Diplococcus

pneumonia,

Staphylacoccus aureus, A. hemolytic streptococcus, dan Hemophilus


influenza.
4. Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count-CBC): leukositosis
biasanya timbul, meskipun nilai pemeriksaan darah putih (white blood countWBC) rendah pada infeksi virus.
5. Tes Serologi: membantu dalam membedakan diagnosis pada organisme
secara spesifik.
6. LED: meningkat.
7. Pemeriksaan Fungsi Paru-Paru: volume mungkin menurun (kongesti dan
kolaps alveolar): tekanan saluran udara meningkat dan kapasitas pemenuhan
udara menurun, hipoksemia.
8. Elektrolit: sodium dan klorida mungkin rendah.
9. Bilirubin mungkin meningkat.
H. Penatalaksaan Pneumonia
Menurut Misnadiarly (2008) penatalaksanaan untuk pneumonia bergantung
pada penyebab, sesuai yang ditentukan oleh pemeriksaan sputum mencakup:
1.
2.
3.
4.

Oksigen 1 2 L/menit
IVFD dekstrose 10% : NaCl 0,9% = 3:1, + KCl 10 mEq/500 ml cairan
Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikkan suhu, dan status hidrasi
Jika sesak tidak terlalu berat dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui

selang nasogastrik dengan feeding drip


5. Jika sekresi lender berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan
beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier
6. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
7. Antibiotik sesuai hasil biakan atau diberikan untuk kasus pneumonia
community base:
8. Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
9. kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
I. Komplikasi Pneumonia
Menurut Betz dan Sowden (2002) komplikasi yang sering terjadi menyertai
pneumonia adalah: abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang
meradang, efusi pleural adalah terjadi pengumpulan cairan di rongga pleura,

empiema adalah efusi pleura yang berisi nanah, gagal nafas, endokarditis yaitu
peradangan pada setiap katup endokardial, meningitis yaitu infeksi yang
menyerang selaput otak, pneumonia interstitial menahun, atelektasis adalah
(pengembangan paru yang tidak sempurna) terjadi karena obstruksi bronkus oleh
penumukan sekresi rusaknya jalan nafas.
J. Pengkajian Pasien Pneumonia
Beberapa pengkajian keperawatan yang perlu dilakukan pada pasien dengan
Pneumonia, yaitu;
1. Identitas Klien
Lakukan pengkajian pada identitas pasien dan isi identitasnya, yang meliputi:
nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal
pengkajian.
2. Keluhan Utama
Sering menjadi alasaan klein untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
Sesak napas, batuk berdahak, demam, sakit kepala, ny dan kelemahan
3. Riwayat Kesehatan Sekarang (RKS)
Penderita pneumonia menampakkan gejala nyeri, sesak napas, batuk dengan
dahak yang kental dan sulit dikeluarkan, badan lemah, ujung jari terasa dingin.
4. Riwayat Kesehatan Terdahulu (RKD)
Penyakit yang pernah dialami oleh pasien sebelum masuk rumah sakit,
kemungkinan pasien pernah menderita penyakit sebelumnya seperti : asthma,
alergi terhadap makanan, debu, TB dan riwayat merokok.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga (RKK)
Riwayat adanya penyakit pneumonia pada anggota keluarga yang lain seperti :
TB, Asthma, ISPA dan lain-lain.
6. Data Dasar pengkajian pasien
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya /GJK kronis
Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat
c. Makanan/cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes mellitus
Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan
kakeksia (malnutrisi), hiperaktif bunyi usus.

d. Neurosensori
Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)
Tanda : perubahan mental (bingung, somnolen)
e. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia,
artralgia, nyeri dada substernal (influenza).
Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk
membatasi gerakan).
f. Pernafasan
Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea,
Takipnue, dispnenia progresif, pernapasan dangkal, penggunaan otot
aksesori, pelebaran nasal. Tanda :
o Sputum: merah muda, berkarat atau purulen.
o Perkusi: pekak datar area yang konsolidasi.
o Premikus: taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi
o Gesekan friksi pleural.
o Bunyi nafas menurun tidak ada lagi area yang terlibat, atau napas
bronkial.
o Warna: pucat/sianosis bibir dan kuku.
g. Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun, ketidak mampuan umum, demam.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan mungkin
ada pada kasus rubeola, atau varisela.
K. Diagnosa Keperawatan Pasien dengan Pneumonia
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan Pneumonia adalah:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan
napas : mukus dalam jumlah berlebih dan sekresi dalam bronki.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (inflamasi parenkim
paru).
L. Fokus Intervensi Pasien dengan Pneumonia
Intervensi keperawatan yang diberikan pada pasien dengan Pneumonia harus
disesuaikan dengan diagnosa keperawatan yang muncul yaitu:

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan


napas : mukus dalam jumlah berlebih dan sekresi dalam bronki.
Rencana intervensi keperawatan :
a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
b. Buang sekret dengan memotivasi pasien untuk melakukan bernapas pelan,
dalam, berputar, dan batuk
c. Instruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk efektif
d. Auskultasi suara napas, catat area yang ventilasinya menurun atau tidak
ada dan adanya suara napas tambahan
e. Kolaborasi pemberian obat bronkodilator dan mukolitik melalui inhalasi
(nebulizer)
f. Kelola nebulizer ultrasonik, sebagaimana mestinya
g. Monitor status pernapasan dan oksigenasi, sebagaimana mestinya
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
Rencana intervensi keperawatan:
a. Menentukan penyebab toleransi aktivitas (fisik, psikologi atau motivasional)
b. Pastikan perubahan posisi klien secara perlahan dan monitor gejala dari
intoleransi aktivitas
c. Monitor dan catat untuk mentoleransi aktivitas
d. Ajarkan klien bagaimana menggunakan teknik mengontrol pernapasan
ketika beraktivitas
e. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
f. Monitor klien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (inflamasi parenkim
paru).
Rencana intervensi keperawatan: Manajemen Nutrisi
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif

termasuk

lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan factor presipitasi


b. Berikan tindakan untuk kenyamanan, missal perubahan posisi
c. Observasi reaksi non vernal dari ketidaknyamanan
d. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
e. Ajarkan teknik manajemen nyeri non farmakologi (misalnya teknik
relaksasi napas dalam)
f. Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri
g. Evaluasi keefektifan control nyeri
h. Tingkatkan istirahat.
DAFTAR PUSTAKA

Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatri, RGC, Jakarta
Bulechek ,Dochterman. Nursing Interventions Classification (NIC). Fourth
Edition. St. Louis Missouri : Mosby Elsevier.
Dahlan, Zul. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Depkes RI 2002, Pedoman penanggulangan P2 ISPA, Depkes RI, Jakarta
Doenges, M.E, Marry F. Mandalice, C. G. (2000). Rencana asuhan keperawatan:
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien.
Jakarta: EGC.
Djojodibroto, D. (2009). Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: EGC.
Herdman, T. Heather. (2012). Diagnosa keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2012-2014 oleh NANDA International. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arief dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius
FKUI Jakarta
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa. Usia Lanjut, Pneumonia Atipik & Pneumonia Atypik
Mycobacterium. Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Moorhead, Sue, et.al. Nursing Outcomes Classification (NOC).Fourth Edition. St.
Louis Missouri : Mosby Elsevier.
Muttaqin, A. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan sistem
pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti: pedoman diagnosis
dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. 2003.
Pusat Data dan Informasi, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil
Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011.
Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil
Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011.

Smeltzer, S & Bare. (2002). Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC.
Somantri, Irman. (2007). Keperawatan Medikal Bedah Asuhan pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
South East Medical Informatic Center. SEAMIC health statistic 2000.
International Medical Foundation of Japan. Jepang 2003.
World Health Organization. World Healt Statistic. 2014.

Вам также может понравиться