Вы находитесь на странице: 1из 46

MAKALAH PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI INFEKSI DAN

TUMOR
KANKER NASOFARING

Dosen Pengampu:
Sunarti, M.Sc., Apt
Disusun Oleh : Kelompok H/4

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Silviana Indriyani
Hesti Widya Triana D
Aprilya Dewi K
Brigita Maria
Irsyad Rizky A
Setianingsih

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2016

19133980 A
19133982 A
19133984 A
19133986 A
19133990 A
19133992 A

I.

PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada daerah
nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang menunjukkan bukti adanya
diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur.
B. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker payudara,
kanker leher rahim, dan kanker paru. Berdasarkan GLOBOCAN 2012.
o 87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru
terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan)
o
51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada
perempuan)
KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita
adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun. Angka kejadian tertinggi di
dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring
diantara 100.000 penduduk. Kanker nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan
Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000 penduduk.

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh WHO sebelum tahun
1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
1. Karsinoma

sel

skuamosa

berkeratinisasi

(Keratinizing

Squamous

Cell

Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai
adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan
intersel.Pada umumnya batas sel cukup jelas.

3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel


tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau
bulat dengan nukleoli yang jelas.Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan
jelas. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,
yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu
radiosensitif.
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada
tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi

(Keratinizing

Squamous

Cell

Carcinoma).
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi
lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
D. FAKTOR RESIKO
Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa faktor yang tampaknya meningkatkan
resiko terkena karsinoma nasofaring, termasuk.
1. Jenis Kelamin. Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita.
2. Ras. Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang- orang di Asia dan Afrika
Utara. Di Amerika Serikat, imigran Asia memiliki risiko lebih tinggi dari jenis
kanker, dibandingkan orang Asia kelahiran Amerika.
3. Umur. Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering
didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun
4. Makanan yang diawetkan. Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap saat memasak
makanan, seperti ikan dan sayuran diawetkan, dapat masuk ke rongga hidung,
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Paparan bahan kimia ini pada usia
dini, lebih dapat meningkatkan risiko
5. Virus Epstein-Barr. Virus umumnya ini biasanya menghasilkan tanda-tanda dan
gejala

ringan,

seperti

pilek.

Kadang-

kadang

dapat

menyebabkan

infeksimononucleosis. Virus Epstein-Barr juga terkait dengan beberapa kanker


langka, termasuk karsinoma nasofaring.
6. Sejarah keluarga. Memiliki anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring
meningkatkan risiko penyakit

II.

PATOFIOLOGI
Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang terbanyak ditemukan

untuk daerah kepala dan leher (60%). Tumor ini sulit dideteksi dini dan tidak mudah
diperiksa oleh tenaga kesehatan yang bukan ahli sehingga seringkali tumor ini baru terdeteksi
ketika sudah berada pada tahap yang lebih lanjut. Oleh karena itu, mempelajari patogenesis,
patofisiologi, dan manifestasi klinis kanker nasofaring penting untuk lebih mengenal
karakteristik tumor ini. Pada LTM ini akan dibahas patogenesis, patofisiologi, dan
manifestasi klinis kanker nasofaring.
A. Patogenesis
Patogenesis Molekuler Kanker
Pengetahuan mengenai patogenesis

molekuler kanker

secara umum

dibutuhkan untuk memahami patogenesis kanker nasofaring. Terdapat beberapa


prinsip yang perlu diketahui mengenai dasar terbentuknya kanker, dan prosesnya
terangkum dalam Gambar 1. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
o Karsinogenesis bermula dari kerusakan genetik yang nonletal.
Kerusakan ini dapat disebabkan oleh agen yang terdapat di
lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, atau virus. Selain itu, Agen ini
bisa juga diturunkan melalui germ line. Akan tetapi, mutase juga dapat
terjadi secara acak dan tidak terduga.
o Sebuah tumor berasal dari satu sel precursor yang rusak dan
mengalami ekspansi klonal.

o Gen yang menjadi target kerusakan adalah empat kelas gen regulator
normal: proto-onkogen yang mempromosikan pertumbuhan, gen supresor
tumor yang menginhibisi pertumbuhan, gen pengatur apoptosis, dan gen
yang terlibat dalam reparasi DNA.
o Karsinogenesis terdiri dari banyak langkah pada tingkat genetik maupun
fenotipe akibat banyak mutasi. Hasilnya, neoplasma dapat berprogresi
menjadi

ganas,

dengan

karakteristik

neoplasma

ganas

seperti

pertumbuhan berlebihan, invasi local, dan kemampuan metastasis yang


jauh.
Jika disimpulkan, sel yang normal mula-mula terpajan agen yang dapat
merusak DNA. Apabila reparasi DNA gagal terjadi karena gen-gen pengatur
pertumbuhan sel rusak, maka sel akan mengalami pertumbuhan klonal yang tak
terkontrol. Lama-lama, terjadi progresi tumor yang dapat berujung pada
neoplasma yang malignan. Neoplasma malignan memiliki karakteristik berupa
invasi dan metastasis.
Pada metastasis, sel tumor terlepas dari massa primer, memasuki aliran darah
atau sistem limfatik, lalu tumbuh di tempat yang jauh dari situs awalnya. Proses
metastasis terdiri dari invasi sel tumor ke matriks ekstraseluler, diseminasi
vaskular, penempatan sel tumor, dan kolonisasi. Melalui studi pada manusia dan
tikus, ditemukan bahwa metastasis tidak selalu timbul, meski jutaan sel terlepas
dalam sirkulasi setiap harinya dari suatu tumor. Hal ini disebabkan oleh berbagai
mekanisme control (misalnya sistem imun adaptif dan induksi apoptosis) yang
mengatur setiap langkah dari proses metastasis sehingga tidak semua sel dapat
bertahan hidup.

Patogenesis NPC
Kanker nasofaring (NPC) merupakan tumor ganas yang diasosiasikan dengan
virus EBV (Epstein-Barr virus). Telah ditemukan bahwa perkembangan NPC
salah satunya dipengaruhi faktor risiko yang sudah sering dikemukakan yaitu
kenaikan titer antibody anti-EBV yang konsisten. Akan tetapi, mekanisme
molekuler dan hubungan patofisiologis dari karsinogenesis terkait EBV masih
belum sepenuhnya jelas.[3] Selain itu, meski NPC seringkali diasosiasikan
dengan EBV, EBV tidak mengubah sel-sel epitel nasofaring menjadi sel-sel klon
yang proliferative, meski ia dapat mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk
NPC, mula-mula dibutuhkan infeksi laten dan litik EBV yang diduga disokong
oleh perubahan genetik yang dapat diidentifikasi pada epitel nasofaring
premalignan. Setelah itu infeksi laten dan litik terjadi dan menghasilkan produkproduk tertentu, barulah ekspansi klonal dan transformasi sel epitel nasofaring

premalignan menjadi sel kanker. Selain faktor genetik, faktor lingkungan berupa
konsumsi karsinogen dalam diet pada masa kanak-kanak juga dapat
mengakibatkan akumulasi dari lesi genetik dan peningkatan risiko NPC. Selain
diet, faktor-faktor lainnya adalah pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan, misalnya
formaldehida dan debu kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di nasofaring.
Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan lingkungan
merangsang perubahan pada epitel nasofaring, virus EBV memperparah keadaan
epitel tersebut. Virus EBV menginfeksi sel NPC secara laten. Virus ini kemudian
memasuki

fase

infeksi

litik

yang

produktif.

Tumor

NPC

diketahui

mengekspresikan tiga protein yang dikode EBV, RNA kecil dan mikroRNA.
Protein-protein yang diekspresikan di antaranya adalah EBNA1, LMP1, dan
LMP2. Dalam perkembangan NPC, diduga LMP1 memiliki peran sentral. LMP1
disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam sel-sel yang tidak terinfeksi EBV
melalui endositosis. LMP1 juga mempengaruhi lingkungan di sekeliling tumor.
LMP1 merupakan onkogen primer yang dapat meniru fungsi salah satu reseptor
TNF, yakni CD40. Akibatnya, ia dapat menginisasi beberapa pathway persinyalan
yang merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel epitel. LMP 1 juga
mengakibatkan peningkatan EMT (epithelial-mesenchymal transition). Pada
proses EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel tertentu dan
meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan perkembangan
fenotip promigratori yang penting dalam metastasis. Oleh karena itu, LMP1 juga
berperan dalam menimbulkan sifat metastasis dari NPC. Peningkatan EMT oleh
LMP1 ini diikuti dengan ekspresi penanda sel punca kanker/sel progenitor kanker
serta pemberian sifat-sifat mirip sel punca/sel progenitor kepada sel.
Protein-protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga memiliki peranan dalam
karsinogenesis NPC, contohnya LMP2 yang mempertahankan latensi virus.

B. Etiologi
Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma
nasofaring adalah:
a. Kerentanan genetic
Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap
kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol ras yang
banyak sekali menderitanya adalah bangsa China dan memiliki fenomena
agregasi familial ( Desen, 2008), Anggota keluarga yang menderita karsinoma
nasofaring cendrung juga menderita karsinoma nasofaring. Penyebab karsinoma
nasofaring ini belum diketahui apakah karsinoma nasofaring dikarenakan oleh
gen yang diwariskan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ( seperti diet

makanan yang sama atau tinggal di lingkungan yang sama), atau beberapa
kombinasi diantarnya juga ikut mendukung timbulnya karsinoma nasofaring
(American cancer society, 2011). Analisis korelasi menunjukkan gen (Human
Leukocyte Antigen) HLA dan gen pengode enzime sitokorm p4502E (CYP2EI)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring, Mereka
berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker nasofaring. Tahun 2002, RS
Kanker Universitas Zhongshan memakai 382 buah petanda mikrosatelit
polimorfisme 22 helai autosom genom manusia. Dengan melakukan pemeriksaan
genom total terhadap keluarga insiden tinggi kanker nasofaring berdialek
Guangzhou di propinsi Guangdong, gen kerentanan nasofaring ditetapkan
berlokasi di 4p1511-q12 (Desen, 2008).
b. Epstein-Barr Virus
EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya
karsinoma

nasofaring.

memengaruhi

Virus

DNA

ini
sel

memiliki
sehingga

protein,

yang

mengalami

diperkirakan
mutasi,

khususnya protooncogenmenjadi oncogen (American Cancer Society, 2011 dan


Sudiana, 2008).
c. Faktor ligkungan dan diet
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, termasuk
asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara
kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma
nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas
(Roezin, 2010). Tingginya kadar nitrosamin diantaranya dimetilnitrosamin dan
dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan asin Guangzhou juga
berhubungan (Desen, 2008).
Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik
dengan karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan seperti ikan
dan daging yang tinggi kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa studi menyatakan

bahwa diet tinggi buah dan sayur mungkin menurunkan resiko karsinoma
nasofaring (American Cancer Society, 2011).
d. Faktor pekerjaan
Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak
berhubungan dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau
penggergajian kayu), atau pekerjaan pembuat sepatu. Atau zat yang sering kontak
dengan

zat

yang

dianggap

lain: Benzopyrene, Bensoanthracene, gas

karsinogen adalah antara

kimia, asap industri, dan asap

kayu (Soetjipto, 1989).


e. Radang kronis daerah nasofaring.
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih
rentan terhadap karsinogen lingkungan (Soetjipto, 1989 dan Herawati, 2002).
C. Gejala
1. Gejala dini
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin,Anida, 2007).
Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa
penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan
pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah
sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang
terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi
cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi
kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran( Roezin, Anida,
2007 dan National Cancer Institute, 2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh
sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau
mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain
itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang

disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan
hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga
dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya.
Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang ( Roezin,
Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009 ).
2. Gejala lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5
sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan
pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke
bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering
diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus
kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan
sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran
kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter (Nutrisno , Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009 ).
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah
rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak
dan menyebabkan ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah
wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran
serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat
penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot
rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi
tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua
sisi tubuh (Arima, 2006 dan Nurlita, 2009).
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran
limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini
yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini
terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Pandi, 1983 dan
Arima, 2006).
D. Manifestasi Klinik

Sekitar 3 dari 4 pasien mengeluh benjolan atau massa di leher ketika pertama kali
datang ke dokter. Hal ini di sebabkan oleh karena kanker telah menyebar ke kelenjar
getah bening di leher, menyebabkan mereka menjadi lebih besar dari normal (kelenjar
getah bening yang seukuran kacang mengumpuli sel sistem imun di seluruh tubuh).
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 4 kelompok (Roezin, 2010, American
Cancer Society, 2011, Mansjoer, 2003, Herawati, 2002, dan Soetjipto, 1989) yaitu :
1. Gejala nasofaring: berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, dan
pilek.
2. Gejala telinga: gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat
dengan muara tuba eustachius ( fossa roodden muller). Gangguan
dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga (otalgia) hingga
nyeri dan infeksi telinga yang berulang.
3. Gejala mata dan saraf: gangguan saraf otak dapat terjadi sebagai gejala
lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan
mengenai saraf otak ke III, 1V,VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak
jarang diplopialah yang membawa pasien dahulu ke dokter mata.
Neuralgia merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika
belum terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut
dapat mengenai saraf ke IX, X, XI, dan XII manifestasi kerusakannya
ialah:
o N IX: gangguan pengecapan yang terjadi pada sepertiga
belakang

lidah

dan

terjadi

kesulitan

menelan

karena

hemiparesis otot konstriktor superior.


o N X: hiper/hipo/anastesi pada mukosa palatum mole, faring
dan laring diikuti gangguan respirasi dan salivasi.
o N XI: kelumpuhan dan atrofi pada otot-otot trapezius,
sternokleidomastoideus, serta hemiparesis palatum mole.
o N XII: terjadi hemiparalisis dan atrofi pada sebelah lidah.
Jika penjalaran melewati foramen jugulare yang disebut sindrom
jackson, dan jika mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom
unilateral serta dapat terjadi destruksi tulang tengkorak dengan
prognosis yang buruk.

4. Gejala atau metastasis di leher: dalam bentuk benjolan di leher yang


mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak ada
keluhan lain.
5. Gejala metastasis jauh: ke hati, paru, ginjal, limpa, tulang, dsb.
E. Diagnosis
Karsinoma nasofaring dapat ditegakkan diagnosisnya secara dini, untuk itu harus
melakukan hal-hal berikut ini:
a. Tingkat kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien
Pasien dengan epistaksis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli
unilateral, lymphadenopathy leher tak nyeri, cephalgia, ruda paksa saraf kranial
dengan kausa tak jelas, dengan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga
nasofaringnya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik (Desen, 2008).
b. Pemeriksaan kelenar limfe leher
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan rantai arteri vena transversalis koli apakah terdapat pembesaran
(Desen, 2008 dan National Cancer Institute, 2011).
c. Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior, dengan atau tanpa
menggunakan kateter (American Cancer Society, National Cancer Institute, 2011 dan
Soetjipto, 1989).
o Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter.
Nasofaringoskopi indirek menggunakan kaca dan lampu khusus untuk
menilai nasofaring dan area yang dekat sekitarnya. Pada pasien dewasa yang
tidak sensitif, pemeriksaan ini dapat dilakukan. Tumor yang tumbuh eksofitik
dan sudah agak besar akan dapat tampak dengan mudah.
o Rinoskop posterior menggunakan kateter.
Nasofaringoskopi

direk,

dokter

menggunakan

sebuah fibreoptic

scope ( lentur, menerangi, tabung sempit yang dimasukkan ke rongga hidung


atau mulut) untuk menilai secara langsung lapisan nasofaring. Dua buah

kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri,


setelah tampak di orofaring, uung katater tersebut dijepit dengan pinset dan
ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang
lainnya.
d. Pemeriksaan saraf kranial
Ditujukan pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah
kadang perlu diperiksa berulang kali barulah ditemukan hasil positif (Desen, 2008).
e. Pencitraan
o Computed tomography (CT) scan nasofaring
Makna klinis aplikasinya adalah: (1) membantu diagnosis; (2) memastikan
luas lesi, penetapan stadium secara akurat; (3) secara tepat menetapkan zona
target terapi; merancang medan radiasi; (4) memonitor kondisi remisi tumor
pasca terapi dan pemeriksaan tindak lanjut (Desen, 2008, National Cancer
Institute 2011, dan Soetjipto, 1989).
f. Chest x-ray
Jika pasien telah didiagnosa karsinoma nasofaring, foto polos x-ray dada mungkin
dilakukan untuk menilai penyebaran kanker ke paru (National Cancer Institute,
American Cancer Society, 2011 dan Soetjipto, 1989) .
g. Magnetic resonance imaging (MRI) scan
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak
membuat potongan melintang, sagital koronal, sehingga lebih baik dari CT. MRI
selain dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga
dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara
pasca fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat
(Desen, 2008 dan American Cancer Society, National Cancer Institute, 2011) .
1. Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters).

Untuk memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak serta


adanya metastasis jauh (National Cancer Institute, 2011 dan, Soetjipto, 1989).
2. Pencitraan tulang seluruh tubuH.
Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke tulang,
lebih sensitif dibandingkan ronsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 3-6 bulan
dibandingkan

ronsen.

Setelah

dilakukan bone-scan,

lesi

umumnya

tampak tampak sebagai akumulasi radioaktivitas; sebagian kecil tampak


sebagai area defek radioaktivitas (Desen, 2008 dan Soetjipto, 1989).
3. (Positron emission tomography) PET
Disebut juga pencitraan biokimia molekular metabolik in vivo. Pasien akan
menerima injeksi glukosa yang terdiri dari atom radioaktif. Jumlah radioaktif
yang digunakan sangat rendah. Karena sel kanker di dalam tubuh bertumbuh
dengan cepat, kanker mengabsorpsi sejumlah besar gula radioaktif (Desen,
2008 dan National Cancer Institute 2011).
h. Biopsy nasofaring
Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah mikroskop oleh
patologi untuk memastiakan tanda-tanda kanker (National Cancer Institute, 2011).
i. Pemeriksaan histopatologi
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid)
pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak
berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi ( Roezin, 2010 dan Brennan
2006).
j. Pemeriksaan serologis EBV
Bagi salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko tinggi kanker
nasofaring (Desen, 2008):
o Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA >=
1:80;
o Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-Imunoglobulin)
EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.

o Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang
tinggi kontinu atau terus meningkat.
III.
IV.

SASARAN TERAPI
o Benjolan pada kanker nasofaring, pengurangan nyeri.
TUJUAN TERAPI
o Pengontrolan nyeri
o Pengembalian dan pemeliharaan gerak leher,
o
o
o
o
o
o
o
o

bahu,

dan

sendi

temporomandibular
Pemeliharaan kebersihan mulut
Optimalisasi produksi saliva
Pengembalian fungsi menelan
Pengembalian fungsi komunikasi
Meningkatkan dan memelihara kebugaran kardiorespirasi
Mengembalikan kemampuan mobilisasi
Minimalisasi limfedema wajah
Mengembalikan, memelihara dan atau meningkatkan fungsi psiko-sosial

spiritual
o Proteksi fraktur yang mengancam (impending fracture) dan cedera medula
spinalis
o Memperbaiki fungsi pemrosesan sensoris
o Memaksimalkan pengembalian fungsi otak pada hendaya otak (sesuaikondisi).
o Meningkatkan kualitas hidup dengan memperbaiki kemampuan aktivitas
V.

fungsional.
STRATEGI TERAPI
Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologi
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung
dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.

Radioterapi (II)
Radioterapi sebagai pengobatan terpilih yang berdiri sendiri pada karsinoma nasofaring
telah diakui sejak lama dan banyak dilakukan di berbagai sentra dunia. Radiasi diberikan
dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher dan supraklavikula kepada seluruh

stadium (I, II, III, IV lokal) tanpa metastasis jauh (M1) Radiasi dapat diberikan dalam
bentuk:
a. Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta kelenjar getah
bening leher, dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4; disertai
penyinaran kelenjar supraklavikula dengan dosis 50 Gy.
b. Radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada tumor primer diberikan dengan
c.

dosis (4x3 Gy), sehari 2 x


Bila diperlukan booster pada kelenjar getah bening diberikan penyinaran dengan
elektron. Radiasi bertujuan paliatif diberikan pada stadium IV dengan metastasis

tulang atau otak.


Kemoterapi (II)
Kombinasi radiokemoterapi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien
dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat
platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam
sebelum dilakukan radiasi. Pada kasus N3 > 6 cm, diberikan kemoterapi dosis penuh neo
adjuvant atau adjuvan
Obat-obatan Simptomatik
Keluhan yang biasa timbul saat sedang diradiasi terutama adalah akibat reaksi akut pada
mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan. Keluhan ini dapat dikurangi
dengan obat kumur yang mengandung tanda septik dan adstringent, (diberikan 3 4
sehari). Bila ada tandatanda moniliasis, dapat diberikan antimikotik. Pemberian obat-obat
yang mengandung anestesi lokal dapat mengurangi keluhan nyeri menelan. Sedangkan
untuk keluhan umum, misalnya nausea, anoreksia dan sebagainya dapat diberikan terapi
simptomatik. Radioterapi juga diberikan pada kasus metastasis untuk tulang, paru, hati,
dan otak.
Rehabilitasi Medik
Pasien dengan metastasis tulang perlu diberikan korset untuk melindungi terhadap
kemungkinan terjadinya fraktur patologis.

Evaluasi Asupan Gizi


Adekuat perlu penatalaksanaan multidisiplin dari gizi klinik, apabila perlu
dipasang Nasogastric Tube atau Gastrotomi Evaluasi jalan nafas jalan nafas
penderita, karena seringkali penderita datang dengan massa yang besar di leher

dan orofaring sehingga menyempitkan jalan nafas dan memerlukan trakesotomi


Prinsip Terapi Sistemik
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring:

o
o
o
o

Kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvan:


Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU
Dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali
Cisplatin + RT tanpa kemoterapi adjuvan
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring kasus Rekuren/Metastatik :

o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

Combination therapy
Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel
Cisplatin/5-FU
Carboplatin/cetuximab
Cisplatin/gemcitabine
Gemcitabine/vinorelbine
Single agents
Cisplatin
Carboplatin
Paclitaxel
Docetaxel
5-FU
Methotrexate
Gemcitabine
Capecitabine

2. Terapi Non Farmakologi


Untuk pencegahan agar kanker tidak semakin memperluas resiko dan penyebarannya :
1. Ciptakan lingkungan hidup dan lingkungan kerja yang sehat serta usahakan agar
pergantian udara (sirkulasi udara) lancar.
2. Hindari polusi udara yang tercemar

3. Menghindari konsumsi makanan yang diawetkan


Untuk membantu meningkatkan kadar Hb diberikan makanan yang banyak mengandung
zat besi (mis: bayam, kerang, ikan, brokoli, tomat)
A. Terapi Rasional

1. Cisplatin :
-

Indikasi

: Kanker testis, kanker ovarium, kanker kandung kemih.

Kontraindikasi : Gangguan fungsi ginjal, mielosupresi, gangguan pendengaran,


hipersensitif, kehamilan & laktasi.

Efek samping

: Nefrotoksik, ototoksik, mielosupresi, mual muntah, neurotoksik,

reaksi alergi, gangguan elektrolit serum, hiperurisemia.


-

Interaksi obat : Efek peningkatan/toksisitas: Cisplatin dan asam etekrinat pernah


menghasilkan ototoksisitas pada hewan. Penundaan eliminasi bleomisin dengan laju
peningkatan filtrasi glomerular. Ketika diberikan sebagai infus berikutnya, studi
observasi mengindikasikan adanya potensi toksisitas ketika derivat platinum
(karboplatin, cisplatin) diberikan sebelum turunan taksan (docetaksel, paklitasel).
Efek penurunan: Natrium tiosulfat dan amifostin secara teori dapat menginaktivasi
obat secara sistemik; telah digunakan secara klinik untuk menurunkan toksisitas
sistemik pada pemberian cisplatin.

Mekanisme obat

: Cisplatin atau cisplatinum atau cis

diamminedichloroplatinum(II) adalah obat kemoterapi kanker yang berbasis logam


platinum. Pada dasarnya senyawa turunan platinum yang menunjukkan
antitumor/antikanker telah ribuan yang disintesis. Senyawa-diaminodiklor ini dari
platina(1979) bekerja sitostatis dengan jalan penghambatan sintesis DNA dan RNA.

Mirip dengan zat-zat alkilasi, rantai-rantai DNA saling menyambung dengan


jembatan-jembatan platina (cross linking).
-

Dosis

: 50-120 mg/m2.

Gambar

2. 5-FU :
-

Indikasi : Terapi paliatif beberapa penyakit kanker sebagai monoterapi atau kombinasi
pada kanker kolorektal dan payudara. Juga pada tumor ganas esofagus, lambung,
kelenjar pankreas, hati, metastasis pada hati dan kanker anal. Kanker ovarium, serviks,

kandung kemih dan prostat. Tumor kepala dan leher.


Kontraindikasi : Kelainan darah yang berat, depresi sumsum tulang, perdarahan,
malabsorps, gangguan fungsi hati dan ginjal berat; infeksi berat, herpes zoster, varisela,

stomatitis ulkus pada rongga mulut dan saluran gastrointestin


Efek samping : Mielosupresi dengan lekopenia dan

neutropenia,

anemia,

immunosupresi, gangguan GI, kelaina pada kulit, infark miokard, kelainan pada EKG,
precordialgia, iskemia, somnolen, ataksia, fotofobia, nistagmus, neuritis retrobulber,
-

peningkatan ringan hormon tiroid.


Interaksi obat : Asam folinat, obat sitotatik lain, obat mielosupresan lain, antrasiklik,
asam folat. Aminofenason, fenilbutason, sulfonamid. Allopurinol, klordiazepoksid,

disulfiram, griseofulvin, isoniazid, mitomycin. Vaksinasi dengan vaksin hidup


Mekanisme obat
: 5-FU adalah antimetabolit yang bekerja secara antagonis dengan
timin terhadap aktivitas enzim timidilat sintetase (TS). 5-FU merupakan prodrug,
metabolisme 5-FU menghasilkan fluoridin-5-trifosfat (FUTP) yang bergabung ke
dalam RNA dan mempengaruhi fungsinya, dan fluorodeoksiuridilat (FdUMP) yang
menghambat replikasi DNA.

Dosis : Terapi harian : Infus intra vena : 15 mg/kg BB atau 600 mg/m2 2-4 jam/hari
sampai dengan timbul efek samping. Injeksi intra vena : 12 mg/kg BB atau 480 mg/m2
IV perlahan (2-3 menit) pada hari ke-1,2,3; Jika tidak timbul gejala toksik dapat
diberikan 6mg/kg BB atau 240 mg/m2 pada hari ke-5,7,9. Terapi Mingguan : 12 mg/kg
BB atau 1 kali seminggu 600 mg/m2 secara intra vena perlahan. Terapi Pemeliharaan :
5-10 mg/kg BB atau 1 kali seminggu 200-400 mg/m2 secara intra vena. Maksimal : 1
g/hari.

Gambar :

3. Albothyl :
-

Indikasi : Sariawan, Obat Kumur, Bau Mulut, Sakit Gigi, Luka di Kulit (Luka Jatuh/
Luka Bedah/ Luka Terpotong/ Luka Bakar), Antiseptik Organ Intim Wanita (Pembersih

Vagina, Infeksi Vagina & Keputihan) dan Antiseptik Organ Intim Pria.
Kontraindikasi : Efek samping : Kecuali pada orang mempunyai kecenderungan hipersensitif atau alergi,
belum pernah dilaporkan adanya efek samping. Selama pengobatan dengan Albothyl

Concentrate tidak diperlukan pengobatan topikal lainnya.


- Interaksi obat : - Mekanisme obat
: antiseptic membersihkan mulut
- Dosis : Untuk kumur-kumur : diencerkan 1:5.
- Gambar :

4. Itrakonazol :
-

Indikasi : mengatasi infeksi jamur, agen anti kanker untuk pasien dengan karsinoma sel

basal, kanker paru-paru, kanker prostat.


Kontraindikasi : jangan diberikan pada pasien yang memiliki hipersensitifitas pada obat
golongan triazole, jangan di berikan pada pasien yang memiliki riwayat gagal jantung
kongestif

Efek samping : Mual, Sakit kepala, Diare, Gangguan menstruasi, Konstipasi, Perut
terasa nyeri, Gangguan pencernaan, Hilang nafsu makan, Nyeri perut yang
berkepanjangan, urine berwarna lebih gelap dari biasanya, merasa lelah yang tidak biasa

Interaksi obat : penggunaan bersamaan dengan obat-obat yang dimetabolisme melalui


enzim CYP3A4 berpotensi meningkatkan resiko cardiotoxicity dan kematian jantung

mendadak.
Mekanisme obat

: Mekanisme kerja intrakonazol dengan cara menghambat 14--

demethylase yang merupakan suatu enzim sitokrom P-450 yang bertanggung jawab
-

untuk merubah lanosterol menjadi ergosterol pada dinding sel jamur.


Dosis : 100-400 mg per hari
Gambar :

5. Na Diklorfenak :
-

Indikasi : artritis reumatoid, spondilitis ankilosis, osteoartritis, serangan gout (kadar


asam urat yang tinggi) akut, sindrom nyeri pada tulang belakang, anti-nyeri setelah
operasi, mengurangi radang dan bengkak setelah pembedahan, anti-nyeri pada kasus
seperti dismenorrhea, dan obat anti-nyeri tambahan pada infeksi berat yang sangat sakit

seperti pada infeksi telinga, hidung, dan tenggorokan.


Kontraindikasi : pasien dengan ulkus pada saluran pencernaan baik dengan atau tanpa
perdarahan saluran cerna, kelainan pada sistem pembekuan darah, asma. Perlu juga
mendapat perhatian penggunaan obat ini pada pasien dengan kelainan fungsi hati.
Pasien dengan hipertensi, gagal jantung, asma, kelainan saluran cerna (riwayat maag),
kelainan fungsi hati, dan pasien yang sedang hamil dan menyusui memerlukan perhatian

khusus dalam penggunaan obat ini.


Efek samping : Efek samping yang memiliki angka kejadian 1 10% meliputi : mual,
muntah, diare, kembung, penurunan nafsu makan, peningkatan kadar enzim hati, nyeri
kepala, vertigo, kemerahan pada kulit, ulkus peptik, berdenging pada telinga. Efek
samping yang jarang (< 1%) meliputi : hepatitis akut, asma, reaksi hipersensitivitas,

bengkak, perdarahan saluran cerna, kelainan pada darah.


Interaksi obat : Penggunaan bersama aspirin akan menurunkan konsentrasi plasma dan
AUC diklofenak. Diklofenak meningkatkan konsentrasi plasma digoksin, metotreksat,
siklosporin dan litium sehingga meningkatkan toksisitasnya. Diklofenak menurunkan

aktivitas obat-obatan diuretik.


Mekanisme obat
: Diklofenak adalah golongan obat non steroid dengan aktivitas
anti inflamasi, analgesik dan antipiretik. Aktivitas diklofenak dengan jalan menghambat

enzim siklo-oksigenase sehingga pembentukan prostaglandin terhambat.


Dosis : Dosis harian yang direkomendasikan berkisar antara 100 150 mg. Pada kasus
yang lebih ringan dan juga pada kasus yang membutuhkan terapi jangka panjang, dosis

75 100 mg per hari biasanya cukup.


Gambar :

VI.

PENYELESAIAN KASUS
A. Kasus
Nama Tn A, umur 54 dengan BB 57 KG/176 cm. Pasien mengeluh telinga
berdenging, benjolan di leher sebelah kiri, 2 bulan ini benjolan tambah besar, mata kiri
jika terbuka mengeluh berbayang dan nyeri

Pasien Tn. A rujukan dari RSUD Dr. Soedarso didiagnosa kanker nasofaring metastase
undiferrentiated Ke kelenjar leher T1,N2,MO.
Biopsi KNF 31 Mei 2012: Benjolan dileher kiri kecil , diagnosa : ca. nasofaring
Pasien dianjurkan Radiasi tapi pasien menolak, pasien berobat alternatif (herbal) tapi
tidak ada perubahan

Pemeriksaan

T
D

12
0/
70

11
0/
70

11
0/
70

11
0/
70

H
R

11
2

84

11
0

10
0

R
R

20

20

20

20

Su
hu

38
,9

37
,7

38

37
,7

N
ye
ri

Hasil laboratorium
H
as
il
La
b

N
i
l
a
i
r
u
j
u
k
a
n

H
b

1
3
1
8

1
2
,
1

g
/
d

I
I

I
I
I

9
,
3

l
Le
uk
os
it

5
1
0

3
0
,
3
5

1
3
,
3
9

5
3
1

6
2
1

4
,
1

3
,
1
9

1
0
3

L
Tr
o
m
bo
sit

1
5
0
4
4
0
1
0
3

L
Er
itr
os
it

4
,
6
6
,
2
1
0
6

L
Ht

4
0
5
4
%

3
6
,
5

S
G
O
T

0
3
8

2
8

U
/
L
S
G
P
T

0
4
1

6
4

U
/
L
E
nz
im
L
D
H

2
4
0
4
8
0
U
/
L

1
4
9
9

Ur
eu
m
da

1
8
5

2
0

2
7
,
3

ra
h

5
m
g
/
d
l

Kr
ea
tin
in
da
ra
h

<
1
,
1
7

G
D
S

<
1
8
0

0
,
9
2

m
g
/
d
l

m
g
/
D
L

1
0
3

0
,
8
1

H
Bs
A
G

N
o
n

N
o
n

r
e
a
k
t
i
f

r
e
a
k
t
i
f

Kembangkan kasus diatas?

B. Analisis Kasus
Penyelesaian :
Metode SOAP
Subyektif :
Nama
Umur
Berat badan
Tinggi badan
Keluhan

: Tn. A
: 54 thn
: 57 kg
: 126 cm
: Pasien mengeluh telinga berdenging, benjolan di leher sebelah kiri, 2

bulan ini benjolan tambah besar, mata kiri jika terbuka mengeluh berbayang dan nyeri
Riwayat Penyakit: Riwayat Pengobatan : Obyektif :
Diagnosa
T1,N2,MO.

: Kanker nasofaring metastase undiferrentiated Ke

kelenjar leher

Biopsi KNF 31 Mei 2012: Benjolan dileher kiri kecil

Pemeriksaan

T
D

H
R

R
R

S
u
h
u

1
2
0
/
7
0

1
1
2

2
0

3
8
,
9

N
y
e
r
i
4
Catatan :

110
/ 70

110
/ 70

110
/ 70

(No
rma
l)

(No
rma
l)

(No
rma
l)

84

110

100

(No
rma
l)

(No
rma
l)

(No
rma
l)

20

20

20

(No
rma
l)

(No
rma
l)

(No
rma
l)

37,
7

38

37,
7

(No
rma
l)

(No
rma
l)

(No
rma
l)

(Ny
eri
bera
t)

(Ny
eri
bera
t)

(Ny
eri
bera
t)

7 (Nyeri berat) = Kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat bahwa rasa sakit benar-benar
mendominasi indra Anda menyebabkan tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan tak mampu
melakukan perawatan diri.
Hasil Lab

Nilai rujukan

Hb

13-18 g/dl

Leukosit

Trombosit

Eritrosit

5-10 103/L

150-440
103/L
4,6-6,2
106/L

II

III

12,1

9,3

(Normal)

(Rendah)

30,35

13,39

(Tinggi)

(Tinggi)

531

621

(Tinggi)

(Tinggi)

4,1

3,19

(Rendah)

(Rendah)
27,3 (Rendah)

Ht

40-54%

36,5 (Rendah)

SGOT

0-38 U/L

28 (Normal)

SGPT

0-41 U/L

64 (Tinggi)

Enzim LDH 240-480U/L

1499 (Tinggi)

Ureum darah 18-55 mg/dl

20 (Normal)

Kreatinin
darah

<1,17 mg/dl

0,92 (Normal)

GDS

<180 mg/DL

103 (Normal)

HBsAG

Non reaktif

0,81 (Normal)

Non reaktif

Catatan :
Peningkatan LDH menandakan adanya kerusakan jaringan.

Peningkatan jumlah leukosit (disebut Leukositosis) menunjukkan adanya proses infeksi.


Assesment :

Problem medik
Kanker Nasofaring

S, O
S = Pasien mengeluh

Terapi
Pengobatan

Tidak

telinga

Tradisional

menyembuhkan.

berdenging,

benjolan

di

leher

Analisa

Terapi tidak tepat.

sebelah kiri, 2 bulan


ini benjolan tambah
besar, mata kiri jika
terbuka

mengeluh

berbayang dan nyeri

O = Biopsi KNF 31
Mei 2012: Benjolan
dileher

kiri

diagnos
Nasofaring.

kecil,
ca.
Hasil

laboratorium.
Nyeri berat

S = Pasien mengeluh
nyeri
O = Pemeriksaan nyeri
nilai 7

berefek

Plan :
Pasien A di diagnosa kanker nasofaring metastase undiferrentiated Ke kelenjar leher
dengan T1,N2,MO yang artinya :
T1 = Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan atau
rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal
N2 = Metastasis bilateral di KGB (Kelenjar Getah Bening), 6 cm atau kurang dalam
dimensi terbesar di atas fosa suprakla vikula
M0 = Tidak terdapat metastasis jauh
Kanker nasofaring yang diderita pasien sudah masuk dalam stadium III menurut
TNM (AJCC, 7th ed, 2010).
Terapi yang direkomenadasikan kepada pasien adalah Kemoradiasi kuratif +
Kemoterapi adjuvan atau kemoterapi saja.
Kemoradiasi yang direkomendasikan kepada pasien adalah kemoradiasi kuratif, pada
saat menjalani kemoradiasi biasanya pasien merasakan nyeri untuk mengunyah dan
menelan. Keluhan ini dapat ditangani dengan obat kumur yang mengandung
antiseptik dan adstringent (3-4x sehari) seperti Albothyl. Bila ada tanda-tanda
moniliasis, dapat diberikan antimikotik seperti Itrakonazol. Pemberian obat-obat
yang mengandung anestesi lokal dapat mengurangi keluhan nyeri menelan seperti Na
Diklorfenac. Sedangkan untuk keluhan umum, misalnya nausea, anoreksia dan
sebagainya dapat diberikan terapi simptomatik seperti Kortikosteroid.
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring adalah dengan kemoradiasi dilanjutkan
dengan kemoterapi adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU atau

Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali,


setiap seminggu sekali.
Pada saat pasien melakukan kemoterapi kemudian radioterapi, akan timbul beberapa
efek samping dari terapi tersebut, sehingga perlu adanya terapi obat.
Pasien harus diberikan dukungan nutrisi.
Pasien kanker kepala dan leher dengan disfagia sebaiknya mendapatkan terapi bicara
dan bahasa yang tepat untuk mengoptimalkan fungsi menelan yang masih ada.

Guideline

Evaluasi Obat Terpilih

Obat

Indikasi

Dosis

Efek samping

Cisplatin

Kanker testis,
kanker
ovarium,
kanker
kandung
kemih.

50-120 mg/m2 Nefrotoksik,


ototoksik,
mielosupresi,
mual muntah,
neurotoksik,
reaksi alergi,
gangguan
elektrolit serum,
hiperurisemia.

5-FU

Terapi paliatif
beberapa
penyakit
kanker sebagai
monoterapi
atau kombinasi
pada kanker
kolorektal dan
payudara. Juga
pada tumor
ganas
esofagus,
lambung,
kelenjar
pankreas, hati,
metastasis
pada hati dan
kanker anal.
Kanker
ovarium,
serviks,
kandung
kemih dan
prostat. Tumor
kepala dan

Lihat
pada Mielosupresi
sub
terapi dengan
rasional
lekopenia dan
neutropenia,
anemia,
immunosupresi,
gangguan GI,
kelaina pada
kulit, infark
miokard,
kelainan pada
EKG,
precordialgia,
iskemia,
somnolen,
ataksia,
fotofobia,
nistagmus,
neuritis
retrobulber,
peningkatan
ringan hormon
tiroid.

IO

Alasan
pemilihan
obat
Efek
Sesuai
peningkatan/toks rekomendas
isitas: Cisplatin
i dari guide
dan asam
line
etekrinat. Efek
penurunan:
Natrium tiosulfat
dan amifostin
secara teori
dapat
menginaktivasi
obat secara
sistemik.
Asam
folinat, Sesuai
obat
sitotatik rekomendas
lain,
obat i dari guide
mielosupresan
line
lain, antrasiklik,
asam
folat.
Aminofenason,
fenilbutason,
sulfonamid.
Allopurinol,
klordiazepoksid,
disulfiram,
griseofulvin,
isoniazid,
mitomycin.
Vaksinasi
dengan vaksin
hidup

Albothyle

Itraconazol
e

Na
Diklofenak

leher.
Asam folinat,
obat sitotatik
lain,
obat
mielosupresan
lain,
antrasiklik,
asam
folat.
Aminofenason,
fenilbutason,
sulfonamid.
Allopurinol,
klordiazepoksi
d, disulfiram,
griseofulvin,
isoniazid,
mitomycin.
Vaksinasi
dengan vaksin
hidup
Mengatasi
infeksi jamur,
agen anti
kanker untuk
pasien dengan
karsinoma sel
basal, kanker
paru-paru,
kanker prostat.

artritis
reumatoid,
spondilitis

Untuk kumurkumur
:
diencerkan
1:5.

100-400
per hari

Kecuali
pada
orang
mempunyai
kecenderungan
hipersensitif
atau
alergi,
belum
pernah
dilaporkan
adanya
efek
samping.
Selama
pengobatan
dengan Albothyl
Concentrate
tidak diperlukan
pengobatan
topikal lainnya

mg

Dosis harian
yang
direkomendas

Mual, Sakit
kepala, Diare,
Gangguan
menstruasi,
Konstipasi,
Perut terasa
nyeri, Gangguan
pencernaan,
Hilang nafsu
makan, Nyeri
perut yang
berkepanjangan,
urine berwarna
lebih gelap dari
biasanya,
merasa lelah
yang tidak biasa
Efek samping
yang memiliki
angka kejadian

Digunakan
untuk
membersihk
an rongga
mulut

penggunaan
bersamaan
dengan obatobat yang
dimetabolisme
melalui enzim
CYP3A4
berpotensi
meningkatkan
resiko
cardiotoxicity
dan kematian
jantung
mendadak.

Sebagai anti
infeksi

Efek samping
yang memiliki
angka kejadian 1

Mengatasi
peradangan

ankilosis,
osteoartritis,
serangan gout
(kadar
asam
urat
yang
tinggi)
akut,
sindrom nyeri
pada
tulang
belakang, antinyeri setelah
operasi,
mengurangi
radang
dan
bengkak
setelah
pembedahan,
anti-nyeri pada
kasus seperti
dismenorrhea,
dan obat antinyeri
tambahan pada
infeksi berat
yang
sangat
sakit
seperti
pada
infeksi
telinga,
hidung,
dan
tenggorokan..

ikan berkisar
antara 100
150 mg. Pada
kasus yang
lebih ringan
dan juga pada
kasus yang
membutuhkan
terapi jangka
panjang, dosis
75 100 mg
per hari
biasanya
cukup.

1 10%
meliputi : mual,
muntah, diare,
kembung,
penurunan nafsu
makan,
peningkatan
kadar enzim
hati, nyeri
kepala, vertigo,
kemerahan pada
kulit, ulkus
peptik,
berdenging pada
telinga. Efek
samping yang
jarang (< 1%)
meliputi :
hepatitis akut,
asma, reaksi
hipersensitivitas,
bengkak,
perdarahan
saluran cerna,
kelainan pada
darah.

Komunikasi, Informasi, Edukasi

10% meliputi :
mual, muntah,
diare, kembung,
penurunan nafsu
makan,
peningkatan
kadar enzim
hati, nyeri
kepala, vertigo,
kemerahan pada
kulit, ulkus
peptik,
berdenging pada
telinga. Efek
samping yang
jarang (< 1%)
meliputi :
hepatitis akut,
asma, reaksi
hipersensitivitas,
bengkak,
perdarahan
saluran cerna,
kelainan pada
darah.

Monitoring dan Evaluasi


Evaluasi efek samping diantisipasi seperti mencret atau diare, mual atau muntah,
mulut luka, kelelahan, dan demam.
Evaluasi kondisi sosial dan kualitas hidup pasien
Monitoring nyeri

DAFTAR PUSTAKA

Desen,

W.,

Kedokteran

2008. Buku

ajar

onkologi

klinis

Universitas Indonesia. Jakarta. 263-278.

edisi

kedua.

Fakultas

Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi,


Efianty
Telinga-

A., Nurbaiti

I., Jenny

Hidung-Tenggorok

B.,dkk.
Kepala

2010. Buku
Leher

edisi

Ajar

Ilmu
keenam.

Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.


Soetjipto, D., 1989. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Iskandar, N., Masrin M.,
Dan Damayanti S. Tumor-hidung-tenggorok diagnose & penatalaksanaan.

Kesehatan

Fakultas

kedokteran universitas Indonesia. 71-83.


Rozin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher, Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2012.
Kemkes. Pedoman nasional pelayanan kedokteran kanker nasofaring.

Вам также может понравиться