Вы находитесь на странице: 1из 17

Program Pemerintah terkait Kesehatan Wanita dan Pencapaiannya

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang


Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem
Informasi Keluarga, pembangunan keluarga dilakukan dalam upaya untuk mewujudkan keluarga
berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Selain lingkungan yang sehat, masih
menurut peraturan pemerintah tersebut, kondisi kesehatan dari tiap anggota keluarga sendiri juga
merupakan salah satu syarat dari keluarga yang berkualitas. Ibu merupakan seorang wanita dan
anggota keluarga yang perlu mendapatkan prioritas dalam penyelenggaraan upaya kesehatan,
karena ibu merupakan kelompok rentan terhadap keadaan keluarga dan sekitarnya secara umum.
Sehingga penilaian terhadap status kesehatan dan kinerja upaya kesehatan ibu penting untuk
dilakukan.
KESEHATAN IBU
Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur status kesehatan ibu pada suatu
wilayah, salah satunya yaitu angka kematian ibu (AKI). Kematian Ibu (AKI) menggambarkan
jumlah ibu atau wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait gangguan
kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama
kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa
memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu (AKI)
berguna untuk menggambarkan status gizi dan kesehatan ibu, kondisi lingkungan, tingkat
pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, ibu waktu melahirkan dan masa nifas.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI (yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negaranegara tetangga di Kawasan
ASEAN. Pada tahun 2007, ketika AKI di Indonesia mencapai 228, AKI di Singapura hanya 6 per
100.000 kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 112 per 100.000
kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama mencapai 160 per 100.000 kelahiran
hidup.
Angka Kematian Ibu (AKI) di Kota Surabaya tahun 2015 sebesar 87,35 per 100.000 kelahiran
hidup (Tabel 6). Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menunjukkan penurunan AKI
yaitu 90,19 per100.000 kelahiran hidup (tahun 2014) menjadi 87,35 per100.000 kelahiran hidup.
Gambar 1.1 Angka Kematian Ibu 1991 2012

(Sumber: BPS, SDKI 1991-2012)

Dari Gambar 1.1 tersebut dapat dilihat bahwa AKI di Indonesia sejak tahun 1991 hingga 2007
mengalami penurunan dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah sejak
tahun 1990 telah melakukan upaya strategis dalam upaya menekan AKI dengan pendekatan safe
motherhood yaitu memastikan semua wanita mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga
selamat dan sehat selama kehamilan dan persalinannya. Di Indonesia, Safe Motherhood Initiative
ditindaklanjuti dengan peluncuran program Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh presiden
yang melibatkan berbagai sektor pemerintahan disamping sektor kesehatan.
Salah satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu adalah
penempatan bidan di tingkat desa secara besar-besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses
pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat. Pada tahun 2000 Kementerian
Kesehatan RI memperkuat strategi intervensi sektor kesehatan untuk mengatasi kematian ibu
dengan mencanangkan strategi Making Pregnancy Safer. Namun, pada tahun 2012 SDKI
kembali mencatat kenaikan AKI yang signifikan, yakni dari 228 menjadi 359 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup. Oleh karena itu, pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan
program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka
kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten
dengan jumlah kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi tersebut dikarenakan
52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut.
Sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan
dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan.
Upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian neonatal melalui program EMAS
dilakukan dengan cara:
Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150
rumah sakit (PONEK) dan 300 puskesmas/balkesmas (PONED).
Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit.
Kesehatan Keluarga 87
Selain itu, pemerintah bersama masyarakat juga bertanggung jawab untuk menjamin setiap ibu
memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, mulai dari saat hamil,
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan
bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, memperoleh cuti hamil dan
melahirkan, serta akses terhadap keluarga berencana. Di samping itu, pentingnya melakukan
intervensi lebih ke hulu, yakni kepada kelompok remaja dan dewasa muda dalam upaya
percepatan penurunan AKI. Upaya pelayanan kesehatan ibu meliputi: (1) Pelayanan kesehatan
ibu hamil, (2) Pelayanan kesehatan ibu bersalin, (3) Pelayanan kesehatan ibu nifas, (4)
Pelayanan/penanganan komplikasi kebidanan, dan (5) Pelayanan kontrasepsi.
1. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil
A. Program Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil
Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian pelayanan antenatal (ANC)
sekurang-kurangnya empat kali selama masa kehamilan, dengan distribusi waktu minimal
yaitu :
a. satu kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu),

b. satu kali pada trimester kedua (usia kehamilan 12-24 minggu), dan
c. dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 minggu sampai persalinan).
Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap ibu
hamil dan atau janin berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan, dan penanganan dini
komplikasi kehamilan.
Pelayanan antenatal yang dilakukan diupayakan memenuhi standar kualitas, yaitu:
a. Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan;
b. Pengukuran tekanan darah;
c. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA);
d. Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri);
e. Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai status
imunisasi;
f. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan;
g. Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ);
h. Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling, termasuk
i. keluarga berencana);
j. Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb), pemeriksaan
k. protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah dilakukan sebelumnya);
dan
l. Tatalaksana kasus.
B. Cakupan Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil
Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indicator cakupan
K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan
antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu
wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Sedangkan cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil
yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit empat kali
sesuai jadwal yang dianjurkan dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja
pada kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan
terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke
tenaga kesehatan
Gambar 1.2 Cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K1 dan K4 di Indonesia Tahun 2005 2014

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014)

Pada Gambar 1.2 terlihat bahwa secara umum cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K1 dan
K4 mengalami kenaikan. Cakupan K1 dan K4 yang secara umum mengalami kenaikan tersebut
menunjukkan semakin baiknya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil yang
diberikan oleh tenaga kesehatan. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa kenaikan
cakupan K1 dari tahun ke tahun relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan cakupan K4.
Cakupan K1 hampir selalu mengalami peningkatan, kecuali pada dua tahun terakhir. Hal itu
sedikit berbeda dengan cakupan K4 yang tidak selalu mengalami kenaikan, meski selama kurun
waktu 10 tahun terakhir tetap memiliki kecenderungan meningkat. Secara nasional, indikator
kinerja cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun 2014 belum mencapai target
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan di tahun yang sama, yakni sebesar 95%.
Meski demikian, terdapat dua provinsi yang telah mencapai target tersebut. Kedua provinsi
tersebut yaitu Sulawesi Utara dan DKI Jakarta. Dari Gambar 5.3 juga dapat diketahui bahwa
terdapat tiga provinsi yang memiliki cakupan pelayanan ibu hamil K4 yang kurang dari 50%,
yakni Papua Barat (39,74%), Maluku (47,87%), dan Papua (49,67%). Secara nasional, cakupan
pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun 2014 sebesar 86,70%.
Upaya meningkatkan cakupan pelayanan antenatal juga makin diperkuat dengan adanya Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010 dan diluncurkannya Jaminan Persalinan
(Jampersal) sejak tahun 2011 hingga tahun 2013, dimana keduanya saling bersinergi dalam
memperkuat upaya penurunan AKI di Indonesia. Selain digunakan untuk kegiatan di dalam
puskesmas, BOK juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan luar gedung, seperti pendataan,
pelayanan di posyandu, kunjungan rumah, sweeping kasus drop out, penyuluhan, pelaksanaan
kelas ibu hamil, serta penguatan kemitraan bidan dan dukun. Sementara itu, Jampersal
mendukung paket pelayanan antenatal, termasuk yang dilakukan pada saat kunjungan rumah atau
sweeping, baik pada kehamilan normal maupun kehamilan dengan risiko tinggi. Semakin
kuatnya kerja sama dan sinergi berbagai program yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan masyarakat termasuk sektor swasta, diharapkan dapat mendorong tercapainya target
cakupan pelayanan antenatal yang berkualitas dan sekaligus menurunkan AKI di Indonesia.
Pemberian zat besi pada ibu hamil merupakan salah satu syarat pelayanan kesehatan K4 pada ibu
hamil. Dimana jumlah suplemen zat besi yang diberikan selama kehamilan ialah sebanyak 90
tablet (Fe3). Zat besi merupakan mineral yang dibutuhkan tubuh untuk membentuk sel darah
merah (hemoglobin). Selain digunakan untuk pembentukan sel darah merah, zat besi juga
berperan sebagai salah satu komponen dalam membentuk mioglobin (protein yang membawa
oksigen ke otot), kolagen (protein yang terdapat pada tulang, tulang rawan, dan jaringan
penyambung), serta enzim. Zat besi juga berfungsi dalam sistem pertahanan tubuh. Pada ibu
hamil, zat besi memiliki peranan yang cukup penting untuk pertumbuhan janin. Selama hamil,
asupan zat besi harus ditambah mengingat selama kehamilan, volume darah pada tubuh ibu
meningkat. Sehingga, untuk dapat tetap memenuhi kebutuhan ibu dan menyuplai makanan serta
oksigen pada janin melalui plasenta, dibutuhkan asupan zat besi yang lebih banyak. Asupan zat
besi yang diberikan oleh ibu hamil kepada janinnya melalui plasenta akan digunakan janin untuk
kebutuhan tumbuh kembangnya, termasuk untuk perkembangan otaknya, sekaligus
menyimpannya dalam hati sebagai cadangan hingga bayi berusia 6 bulan. Selain itu, zat besi juga
membantu dalam mempercepat proses penyembuhan luka khususnya luka yang timbul dalam
proses persalinan. Kekurangan zat besi sejak sebelum kehamilan bila tidak diatasi dapat
mengakibatkan ibu hamil menderita anemia. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko kematian

pada saat melahirkan, melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, janin dan ibu mudah
terkena infeksi, keguguran, dan meningkatkan risiko bayi lahir prematur. Secara nasional
cakupan ibu hamil mendapat tablet Fe tahun 2014 sebesar 85,1%, data tersebut belum mencapai
target program tahun 2014 sebesar 95%. Provinsi di Indonesia pada tahun 2014 dengan cakupan
Fe3 tertinggi terdapat di Provinsi Bali (95%), DKI Jakarta (94,8%), dan Jawa Tengah (92,5%).
Sedangkan cakupan terendah terdapat di Provinsi Papua Barat (38,3%), Papua (49,1%), dan
Banten (61,4%).
Gambar 1.3 Cakupan pemberian 90 tablet tambah darah (zat besi) pada ibu hamil
menurut provinsi tahun 2014

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015


2. Pelayanan Kesehatan Ibu Bersalin
Upaya kesehatan ibu bersalin dilaksanakan dalam rangka mendorong agar setiap persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih yaitu dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG),
dokter umum, dan bidan, serta diupayakan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Pertolongan persalinan adalah proses pelayanan persalinan yang dimulai pada kala I sampai
dengan kala IV persalinan. Pencapaian upaya kesehatan ibu bersalin diukur melalui indikator
persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan terlatih (Cakupan Pn). Indikator ini
memperlihatkan tingkat kemampuan pemerintah dalam menyediakan pelayanan persalinan
berkualitas yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.

Gambar 1.4 Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia tahun
2005 2014

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)


Dari Gambar 1.4 dapat diketahui bahwa secara umum cakupan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya. Cakupan secara nasional
pada tahun 2014 yaitu sebesar 88,68% dimana angka ini belum dapat memenuhi target Renstra
Kementerian Kesehatan tahun 2014 yakni sebesar 90%. Namun demikian, Di Indonesia,
sebanyak empat belas provinsi telah dapat mencapai target renstra tersebut, dan selebihnya yakni
sebanyak dua puluh provinsi belum dapat mencapai target. Tiga provinsi dengan cakupan
tertinggi yaitu DI Yogyakarta (99,96%), Jawa Tengah (99,17%), dan Bali (97,66%). Sedangkan
tiga provinsi dengan cakupan terendah yaitu Papua Barat (44,73%), Maluku (46,90%), dan
Papua (63,15%).
Analisis kematian ibu yang dilakukan Direktorat Bina Kesehatan Ibu pada tahun 2010
membuktikan bahwa kematian ibu terkait erat dengan penolong persalinan dan tempat/ fasilitas
persalinan. Persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terbukti berkontribusi terhadap turunnya
risiko kematian ibu. Demikian pula dengan tempat/fasilitas, jika persalinan dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan, juga akan semakin menekan risiko kematian ibu. Oleh karena itu,
Kementerian Kesehatan tetap konsisten dalam menerapkan kebijakan bahwa seluruh persalinan
harus ditolong oleh tenaga kesehatan dan didorong untuk dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan. Kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kesehatan menggariskan bahwa
pembangunan puskesmas harus satu paket dengan rumah dinas tenaga kesehatan. Demikian pula
dengan pembangunan poskesdes yang harus bisa sekaligus menjadi rumah tinggal bagi bidan di
desa. Dengan disediakan rumah tinggal, maka tenaga kesehatan termasuk bidan akan siaga di
tempat tugasnya dan dapat memberikan pertolongan persalinan setiap saat.

Untuk daerah dengan akses sulit, kebijakan Kementerian Kesehatan adalah dengan
mengembangkan program Kemitraan Bidan dan Dukun serta Rumah Tunggu Kelahiran. Para
dukun diupayakan bermitra dengan bidan dengan hak dan kewajiban yang jelas. Pemeriksaan
kehamilan dan pertolongan persalinan tidak lagi dikerjakan oleh dukun, namun dirujuk ke bidan.
Bagi ibu hamil yang di daerah tempat tinggalnya tidak ada bidan atau jauh dari fasilitas
pelayanan kesehatan, maka menjelang hari taksiran persalinan diupayakan sudah berada di dekat
fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu di Rumah Tunggu Kelahiran. Rumah Tunggu Kelahiran
tersebut dapat berupa rumah tunggu khusus yang dikembangkan melalui pemberdayaan
masyarakat maupun di rumah sanak saudara yang letak rumahnya berdekatan dengan fasilitas
pelayanan kesehatan. di Indonesia dapat diketahui bahwa sebesar 73,61% ibu hamil melakukan
persalinan dengan ditolong oleh tenaga kesehatan dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Provinsi DI Yogyakarta memiliki cakupan tertinggi (99,46%) dan Provinsi Papua memiliki
cakupan terendah (12,97%) untuk persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan dilakukan
di fasilitas pelayanan kesehatan.
Gambar 1.5 Cakupan pelayanan ibu hamil k4 dan cakupan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan (pn) di indonesia tahun 2005 2014

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)


Cakupan pelayanan ibu hamil K4 tidak berbeda jauh dengan cakupan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan. Diasumsikan bahwa ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal K4
kemungkinan persalinannya akan ditolong tenaga kesehatan. Diharapkan dengan meningkatkan
cakupan pelayananan ibu hamil K4 akan meningkatkan cakupan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan.
Dalam analisis Riskesdas, penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan kualifikasi
tertinggi dan kualifikasi terendah. Penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi yakni apabila
terdapat lebih dari satu penolong, maka dipilih yang kualifikasinya paling tinggi. Begitu juga
dengan kualifikasi yang terendah.

Gambar 1.6 Proporsi penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi di Indonesia,


riskesdas tahun 2013

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)


Dari Gambar 1.6 terlihat bahwa penolong persalinan terbanyak dilakukan oleh bidan (68,6%),
kemudian oleh dokter (18,5%), lalu non tenaga kesehatan (11,8%). Namun sebanyak 0,8%
kelahiran dilakukan tanpa ada penolong, dan hanya 0,3% kelahiran saja yang ditolong oleh
perawat.
3. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas
Nifas adalah periode mulai dari enam jam sampai dengan 42 hari pasca persalinan. Pelayanan
kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan pada ibu nifas sesuai standar, yang dilakukan
sekurang-kurangnya tiga kali sesuai jadwal yang dianjurkan, yaitu pada enam jam sampai
dengan tiga hari pasca persalinan, pada hari ke empat sampai dengan hari ke-28 pasca
persalinan, dan pada hari ke-29 sampai dengan hari ke-42 pasca persalinan. Jenis pelayanan
kesehatan ibu nifas yang diberikan meliputi :
a. Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, nafas, dan suhu);
b. Pemeriksaan tinggi puncak rahim (fundus uteri);
c. Pemeriksaan lokhia dan cairan per vaginam lain;
d. Pemeriksaan payudara dan pemberian anjuran ASI eksklusif;
e. Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan ibu nifas dan bayi
f. baru lahir, termasuk keluarga berencana;
g. Pelayanan keluarga berencana pasca persalinan.
Keberhasilan upaya kesehatan ibu nifas diukur melalui indikator cakupan pelayanan kesehatan
ibu nifas (Cakupan KF3). Indikator ini menilai kemampuan negara dalam menyediakan
pelayanan kesehatan ibu nifas yang berkualitas sesuai standar.

Gambar 1.7 Cakupan kunjungan nifas (KF3) di Indonesia tahun 2008 2014

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)


Dari Gambar 1.7 dapat dilihat bahwa capaian cakupan kunjungan nifas (KF3) di Indonesia
dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir secara umum mengalami kenaikan. Capaian
indikator KF3 yang meningkat dalam 7 tahun terakhir merupakan hasil dari berbagai upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat termasuk sektor swasta. Program
penempatan Pegawai Tidak Tetap (PTT) untuk dokter dan bidan terus dilaksanakan. Selain
itu, dengan diluncurkannya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010,
puskesmas, poskesdes, dan posyandu lebih terbantu dalam mengintensifkan implementasi
upaya kesehatan termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan ibu nifas. Pelayanan kesehatan
ibu nifas termasuk di antaranya kegiatan sweeping atau kunjungan rumah bagi yang tidak
datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Dukungan Pemerintah makin meningkat sejak
diluncurkannya Jampersal pada tahun 2011 hingga 2013, dimana pelayanan nifas termasuk
paket manfaat yang dijamin oleh Jampersal. Dalam paket Jampersal tersebut, pelayanan
persalinan didorong untuk menggunakan KB pasca persalinan.
Gambar 1.8 Cakupan kunjungan nifas (kf3) dan persalinan ditolong tenaga kesehatan (pn)
di Indonesia tahun 2008 2014

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)

Gambar 1.8 memperlihatkan bahwa pada tahun 2008 hingga tahun 2011 terdapat perbedaan
cakupan yang cukup besar antara persalinan ditolong tenaga kesehatan (Pn) dan kunjungan nifas
(KF3). Hal tersebut menunjukkan bahwa meski proses kelahirannya ditolong oleh tenaga
kesehatan, namun banyak ibu bersalin yang tidak melakukan kunjungan nifas ke fasilitas
kesehatan. Namun, sejak tahun 2012 hingga tahun 2014 cakupan indikator tersebut secara
nasional tidak menunjukkan perbedaan yang cukup berarti. Hal itu menunjukkan bahwa ibu
bersalin yang ditolong tenaga kesehatan sebagian besar telah melakukan kunjungan nifas ke
fasilitas pelayanan kesehatan. Kemampuan petugas kesehatan dalam menjaring ibu bersalin
untuk mendapatkan pelayanan nifas merupakan faktor yang sangat penting.
4. Pelayanan/Penanganan Komplikasi Kebidanan
Komplikasi kebidanan adalah kesakitan pada ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, dan atau janin
dalam kandungan, baik langsung maupun tidak langsung, termasuk penyakit menular dan
tidak menular yang dapat mengancam jiwa ibu dan atau janin. Pencegahan dan penanganan
komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu dengan komplikasi kebidanan untuk
mendapatkan perlindungan dan penanganan definitif sesuai standar oleh tenaga kesehatan
kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan.
Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pencegahan dan penanganan
komplikasi kebidanan adalah cakupan penanganan komplikasi kebidanan (Cakupan PK).
Indikator ini mengukur kemampuan negara dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan
secara profesional kepada ibu (hamil, bersalin, nifas) dengan komplikasi. Capaian indikator
penanganan komplikasi kebidanan di Indonesia dari tahun 2008 hingga tahun 2014 disajikan
pada Gambar 1.9 berikut.
Gambar 5.14 Cakupan penanganan komplikasi kebidanan di Indonesia tahun 2008 2014

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)

Pada gambar tersebut dapat diketahui bahwa secara umum, cakupan penanganan komplikasi
kebidanan di Indonesia selama kurun waktu tujuh tahun terakhir cenderung meningkat. Cakupan
penanganan komplikasi kebidanan secara nasional pada tahun 2014 sebesar 74,56%. Gambaran
mengenai cakupan penanganan komplikasi kebidanan menurut provinsi dapat dilihat pada
Gambar 1.10 berikut ini.
Gambar 1.10 Cakupan penanganan komplikasi kebidanan menurut provinsi tahun 2014

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)


Gambar 1.10 menunjukkan bahwa cakupan penanganan komplikasi kebidanan tertinggi terdapat
di Provinsi Jawa Tengah (101,05%), Jawa Timur (91,48%), dan Nusa Tenggara Barat (91%).
Sedangkan cakupan terendah berturut-turut yaitu Provinsi Papua Barat (9,61%), Riau (28,76%),
dan Papua (29,54%).
Lima penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK),
infeksi, partus lama/macet, dan abortus. Kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh tiga
penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan infeksi.
Namun proporsinya telah berubah, dimana perdarahan dan infeksi cenderung mengalami
penurunan sedangkan HDK proporsinya semakin meningkat. Lebih dari 25% kematian ibu di
Indonesia pada tahun 2013 disebabkan oleh HDK. Lebih jelasnya mengenai hal itu dapat dilihat
pada Gambar 1.11.

Gambar 1.11 Penyebab kematian ibu di Indonesia tahun 2010 2013

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014)


Diperkirakan 20% dari kehamilan akan mengalami komplikasi. Sebagian komplikasi ini dapat
mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi dapat dicegah dan ditangani bila :
1. ibu segera mencari pertolongan ke tenaga kesehatan
2. tenaga kesehatan melakukan prosedur penanganan yang sesuai, antara lain penggunaan
partograf untuk memantau perkembangan persalinan, dan pelaksanaan manajemen aktif
kala III (MAK III) untuk mencegah perdarahan pasca-salin
3. tenaga kesehatan mampu melakukan identifikasi dini komplikasi
4. apabila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat memberikan pertolongan pertama dan
melakukan tindakan stabilisasi pasien sebelum melakukan rujukan
5. proses rujukan efektif
6. pelayanan di RS yang cepat dan tepat guna.
Terdapat tiga jenis area intervensi yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian dan
kesakitan ibu dan neonatal yaitu melalui :
1. peningkatan pelayanan antenatal yang mampu mendeteksi dan menangani kasus risiko
tinggi secara memadai
2. pertolongan persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga kesehatan terampil, pelayanan
pasca persalinan dan kelahiran
3. pelayanan emergensi obstetrik dan neonatal dasar (PONED) dan komprehensif (PONEK)
yang dapat dijangkau secara tepat waktu oleh masyarakat yang membutuhkan.
Upaya terobosan dalam penurunan AKI dan AKB di Indonesia salah satunya dilakukan melalui
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Program tersebut menitik
beratkan kepedulian dan peran keluarga dan masyarakat dalam melakukan upaya deteksi dini,

menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil, serta menyediakan akses dan pelayanan
kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar di tingkat Puskesmas (PONED) dan pelayanan
kegawatdaruratan obstetri dan neonatal komprehensif di Rumah Sakit (PONEK). Dalam
implementasinya, P4K merupakan salah satu unsur dari Desa Siaga. P4K mulai diperkenalkan
oleh Menteri Kesehatan pada tahun 2007. Pelaksanaan P4K di desa-desa tersebut perlu
dipastikan agar mampu membantu keluarga dalam membuat perencanaan persalinan yang baik
dan meningkatkan kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi tanda bahaya kehamilan,
persalinan, dan nifas agar dapat mengambil tindakan yang tepat.
Sesuai Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014, ditargetkan pada akhir
tahun 2014 di setiap kabupaten/kota terdapat minimal empat puskesmas rawat inap mampu
PONED dan satu Rumah Sakit Kabupaten/Kota yang mampu melaksanakan PONEK. Melalui
pengelolaan pelayanan PONED dan PONEK, puskesmas dan rumah sakit diharapkan bisa
menjadi institusi terdepan dimana kasus komplikasi dan rujukan dapat diatasi dengan cepat dan
tepat. Standardisasi PONEK untuk rumah sakit dilakukan oleh Direktorat Bina Upaya Kesehatan
Rujukan bekerja sama dengan organisasi profesi yang terkait (POGI, IDAI dan IBI) serta Badan
PPSDMKes Kemenkes. Lokakarya PONEK dilakukan selama lima hari, meliputi materi
manajemen dan klinik PONEK. Kegiatan ini kemudian diikuti dengan latihan on the job training
PONEK untuk mengenalkan cara melakukan bimbingan teknis perbaikan kinerja Tim PONEK
rumah sakit. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, jumlah rumah
sakit dengan PONEK di Indonesia sampai dengan Desember 2014 sebanyak 476 rumah sakit
dari 771 rumah sakit umum milik Pemerintah, sedangkan jumlah Puskesmas PONED sampai
dengan Desember tahun 2014 adalah 2.855 puskesmas.
Dilakukan pula kegiatan Audit Maternal Perinatal (AMP), yang merupakan upaya dalam
penilaian pelaksanaan serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
Kegiatan ini dilakukan melalui pembahasan kasus kematian ibu atau bayi baru lahir sejak di level
masyarakat sampai di level fasilitas pelayanan kesehatan. Salah satu hasil kajian yang didapat
dari AMP adalah kendala yang timbul dalam upaya penyelamatan ibu pada saat terjadi
kegawatdaruratan maternal dan bayi baru lahir. Kajian tersebut juga menghasilkan rekomendasi
intervensi dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi di masa mendatang.
5. Pelayanan Kontrasepsi
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang
Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, Dan Sistem
Informasi Keluarga, yang dimaksud dengan program keluarga berencana (KB) adalah upaya
mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui
promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga
yang berkualitas.
Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang
Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, Dan Sistem
Informasi Keluarga, program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu strategi untuk
mengurangi kematian ibu khususnya ibu dengan kondisi 4T; terlalu muda melahirkan (dibawah
usia 20 tahun), terlalu sering melahirkan, terlalu dekat jarak melahirkan, dan terlalu tua
melahirkan (di atas usia 35 tahun). Selain itu, program KB juga bertujuan untuk meningkatkan
kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tentram, dan harapan masa depan yang lebih baik
dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.

KB merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan ketahanan keluarga,
kesehatan, dan keselamatan ibu, anak, serta perempuan. Pelayanan KB menyediakan informasi,
pendidikan, dan cara-cara bagi laki-laki dan perempuan untuk dapat merencanakan kapan akan
mempunyai anak, berapa jumlah anak, berapa tahun jarak usia antara anak, serta kapan akan
berhenti mempunyai anak.
Baik suami maupun istri memiliki hak yang sama untuk menetapkan berapa jumlah anak yang
akan dimiliki dan kapan akan memiliki anak. Melalui tahapan konseling pelayanan KB,
pasangan usia subur (PUS) dapat menentukan pilihan kontrasepsi sesuai dengan kondisi dan
kebutuhannya berdasarkan informasi yang telah mereka pahami, termasuk keuntungan dan
kerugian, risiko metode kontrasepsi dari petugas kesehatan.
Program Keluarga Berencana (KB) dilakukan diantaranya dalam rangka mengatur jumlah
kelahiran atau menjarangkan kelahiran. Sasaran program KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS)
yang lebih dititikberatkan pada kelompok Wanita Usia Subur (WUS) yang berada pada kisaran
usia 15-49 tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan
reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.
Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi
pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas.
PUS bisa mendapatkan pelayanan kontrasepsi di tempat-tempat yang melayani program KB.
Gambaran mengenai tempat pelayanan KB di Indonesia dapat dilihat pada berikut :

(Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2015)


Saat ini, tempat pelayanan KB di Indonesia didominasi oleh bidan swasta (56,34%). Tempat
pelayanan KB terbanyak selanjutnya ialah klinik KB pemerintah (25,15%) dan dokter praktik
swasta (12,61%). Sedangkan, tempat pelayanan KB yang paling sedikit ialah klinik KB swasta
(5,89%).
PERSENTASE PESERTA KB AKTIF MENURUT METODE KONTRASEPSI
DI INDONESIA TAHUN 2014
Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami-istri yang terikat dalam perkawinan yang
sah, yang istrinya berumur antara 15 sampai dengan 49 tahun. Peserta KB Aktif adalah Pasangan
Usia Subur (PUS) yang saat ini menggunakan salah satu alat kontrasepsi tanpa diselingi
kehamilan. Peserta KB Baru adalah pasangan usia subur yang baru pertama kali menggunakan

alat/cara kontrasepsi dan atau pasangan usia subur yang kembali menggunakan metode
kontrasepsi setelah melahirkan/keguguran. Dari gambar berikut dapat dilihat bahwa metode
kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh peserta KB aktif adalah suntikan (47,54%) dan
terbanyak ke dua adalah pil (23,58%). Sedangkan metode kontrasepsi yang paling sedikit dipilih
oleh peserta KB aktif yaitu Metoda Operasi Pria (MOP) sebanyak 0,69%, kemudian kondom
sebanyak 3,15%.

(Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2015)


Sedangkan pada peserta KB baru, persentase metode kontrasepsi yang terbanyak digunakan yaitu
suntikan sebesar 49,67%. Metode terbanyak ke dua yaitu pil, sebesar 25,14%. Metode yang
paling sedikit dipilih oleh para peserta KB baru adalah metode operasi pria (MOP) sebanyak
0,21%, kemudian metode operasi wanita (MOW) sebanyak 1,50%, dan kondom (5,68%).
Gambaran mengenai persentase peserta KB baru menurut metode kontrasepsi tahun 2014
selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut :

(Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2015)


CAKUPAN PESERTA KB BARU MENURUT PROVINSI TAHUN 2014
Pada gambar berikut dapat dilihat bahwa provinsi dengan persentase peserta KB baru tertinggi
ialah Provinsi DKI Jakarta (32,02%), kemudian Papua (29,74%), dan Bengkulu (27,34%).

Sedangkan provinsi dengan persentase peserta KB baru terendah ialah Provinsi Bali (9,90%), DI
Yogyakarta (9,99%), dan Jawa Timur (13,27%). Secara nasional, persentase peserta KB baru
pada tahun 2014 sebesar 16,51%.

(Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2015)


CAKUPAN PESERTA KB BARU DAN KB AKTIF MENURUT METODE
KONTRASEPSI TAHUN 2014
Dari gambar berikut dapat kita lihat bahwa terdapat tiga metode kontrasepsi dengan persentase
peserta KB baru yang lebih rendah daripada persentase KB aktif, yakni intrauterine device
(IUD), MOW, dan MOP. Sedangkan pada metode lainnya persentase peserta KB baru nya lebih
banyak daripada persentase KB aktif.

(Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2015)

PERSENTASE PUS BUKAN PESERTA KB (UNMET NEED) MENURUT PROVINSI


HASIL PENDATAAN KELUARGA TAHUN 2014
Unmet need diartikan sebagai wanita yang tidak ingin memiliki anak lagi tetapi wanita tersebut
tidak menggunakan alat kontrasepsi. Di Indonesia, unmet need diidentifikasikan sebagai
Pasangan usia subur yang bukan merupakan peserta keluarga berencana. Saat ini, persentase
unmet need di Indonesia tertinggi di Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 38,23%. Sedangkan
persentase unmet need yang terendah yaitu di provinsi Bali sebesar 5,12%. Persentase unmet
need secara nasional sendiri pada tahun 2014 sebesar 14,87%. Sebanyak 7,13% PUS tidak
menggunakan alat kontrasepsi namun ingin menunda memiliki anak, dan 7,73% PUS tidak
menggunakan alat kontrasepsi meski sebenarnya tidak menginkan anak lagi.

(Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2015)

Вам также может понравиться