Вы находитесь на странице: 1из 4

4.1.

Pembahasan Penelitian
Data karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, status
gizi, pekerjaan, riwayat hemodialisis, riwayat penyakit, dan jaminan kesehatan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rerata usia pasien yang menjalani hemodialisis adalah
50 tahun. Berdasarkan data renal unit yang masuk pada tahun 2012 menunjukkan distribusi
usia pasien hemodialisis di Indonesia umumnya berada pada kelompok usia 45 54 tahun (5th
Annual report of IRR, 2012). Kasus gagal ginjal kronik cenderung terjadi pada usia dewasa
dikarenakan perjalanan penyakit yang progresif dan kronis serta seiring dengan pertambahan
usia yang menyebabkan fungsi ginjal baik anatomis maupun fisiologis semakin menurun.
Jenis kelamin pasien hemodialisis di instalasi hemodialisis RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu sebagian besar adalah laki-laki (61.1%) tetapi jumlah ini tidak terlalu jauh dengan
jumlah pasien perempuan (38.6%). Jenis kelamin tidak memiliki pengaruh

terhadap angka kejadian gagal ginjal. Baik perempuan maupun lakilaki mempunyai risiko yang sama tergantung pengaruh pola hidup
akan menyebabkan seseorang menderita gagal ginjal dan harus
menjalani terapi hemodialisis (Kring dan Crane, 2009).
Dari penelitian didapatkan rerata berat badan kering pasien
hemodialisis di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu adalah 55.67 kg dan
rerata tinggi badan 163.17 cm sehingga didapatkan status gizi pasien
sebagian besar dalam kategori normal dengan rerata 20.88 kg/m 2.
Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi pasien adalah
asupan nutrisi, sehingga dapat disimpulkan bahwa asupan nutrisi
pada pasien hemodialisis di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tercukupi.
Distribusi pekerjaan pada pasien hemodialisis sebagian besar
adalah

petani

(38.9%).

Status

pekerjaan

seseorang

tentunya

berhubungan dengan pendidikan orang tersebut. Seseorang yang


memiliki pendidikan tinggi tentunya akan memiliki pengetahuan yang
luas sehingga membuat seseorang tersebut lebih dapat mengontrol
diri dalam mengatasi masalah, memiliki kepercayaan diri yang tinggi,
lebih berpengalaman dan mudah mengerti tentang petunjuk dari
petugas

kesehatan

sehingga

dapat

membuat

perkiraan

dan

keputusan yang tepat (Dewi, 2015).


Dari hasil penelitian juga didapatkan rerata riwayat hemodialisis
pasien adalah 28 bulan (1 tahun 4 bulan) dengan frekuensi yang

sama antara pasien lama (>24 bulan) dan pasien sedang (1224
bulan) yaitu 38.9%. Lamanya hemodialisis pada pasien gagal ginjal
kronik ini dapat berhubungan dengan kualitas hidup pasien karena
kemungkinan pada pasien dengan hemodialisis yang lama dapat
membuat pasien tersebut semakin memahami pentingnya kepatuhan
dalam

menjalani

hemodialisis

dan

pasien

merasakan

manfaat

dilakukannya hemodialisis serta akibatnya jika hemodialisis tidak


dilakukan (Dewi, 2015).
Distribusi penyebab gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis
di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu yang terbesar adalah akibat penyakit ginjal
hipertensi (72.2%). Hal ini sesuai dengan laporan tahunan PERNEFRI
tahun 2012 yang menyebutkan bahwa penyebab utama pasien gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia adalah penyakit ginjal
hipertensi (5th Annual report of IRR, 2012).
Pasien hemodialisis di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu menggunakan BPJS
(100%). Jika tidak menggunakan BPJS, biaya rerata yang dikeluarkan untuk terapi dialisis
dapat mencapai 5 juta rupiah di luar obat, laboratorium, dan keperluan tambahan lainnya.
Tentunya hal ini dapat memberatkan pasien hemodialisis yang kebanyakan dari kalangan
menengah ke bawah (5th Annual report of IRR, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian kadar glukosa darah sebelum dan


setelah hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis, ditemukan terdapat perbedaan yang signifikan
antara kadar glukosa darah sebelum dan setelah hemodialisis. Hal ini
terlihat dari rerata kadar glukosa darah setelah hemodialisis yang
mengalami penurunan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Sakla dan Sherif (2015) sebelumnya bahwa terdapat perbedaan
kadar glukosa darah sebelum dan setelah hemodialisis. Penurunan
kadar glukosa darah ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah
satunya yaitu penggunaan cairan dialisat bikarbonat yang tidak
mengandung glukosa pada komposisinya di sebagian besar instalasi
hemodialisis di dunia. Selain menyebabkan status katabolik mirip
dengan keadaan puasa, penggunaan cairan dialisat bikarbonat ini
dapat menyebabkan glukosa yang berada pada kompartemen darah
bergerak menuruni gradien konsentrasi yang lebih rendah sehingga

kadar glukosa dalam darah menurun. Hasil penelitian Jasim et al.


(2013) membuktikan bahwa penambahan glukosa 90 mg/dL ke dalam
cairan dialisat bikarbonat dapat mencegah terjadinya penurunan
kadar glukosa darah setelah hemodialisis.
Pada penelitian lain oleh Takahashi et al. (2004) didapatkan
bahwa penurunan kadar glukosa darah setelah hemodialisis juga
dapat disebabkan karena glukosa yang berdifusi ke dalam eritrosit
akibat perubahan pH sitoplasma eritrosit yang menimbulkan kondisi
metabolisme anaerob sehingga eritrosit memerlukan glukosa lebih
untuk mempertahankan homeostasisnya.
Mengingat bahwa pasien hemodialisis tidak mungkin untuk dipuasakan karena
banyaknya cairan dan zat-zat yang dikeluarkan oleh tubuh, sedangkan asupan makanan
sebelum dan selama hemodialisis dapat mempengaruhi kadar glukosa darah setelah

hemodialisis sehingga dapat menimbulkan bias pada hasil penelitian ini maka peneliti
merasa perlu untuk mencatat asupan makanan pasien (food recall) dari mulai pasien
bangun tidur sampai sebelum menjalani hemodialisis dan memberikan makanan yang
sama porsi serta kandungan nutrisinya.
Dari hasil analisis nutrisurvey didapatkan bahwa terdapat 281.1 kcal dan 16.8
gram karbohidrat dalam 67 gram jagung kuning segar dan 75 gram daging ayam.
Terlihat bahwa walaupun pasien sudah diberikan makanan dengan porsi dan kandungan
nutrisi yang sama selama hemodialisis, tetapi tetap terdapat penurunan kadar glukosa
darah pada pasien setelah hemodialisis. Rerata penurunan kadar glukosa darah setelah
hemodialisis adalah 90.17 mg/dL, hal ini menunjukkan bahwa makanan yang
dikonsumsi pasien sebelum hemodialisis dan selama hemodialisis berpengaruh
terhadap kadar glukosa darah setelah hemodialisis dimana penurunan kadar glukosa
darah tidak mencapai ambang batas hipoglikemia (<70 mg/dL). Hal ini sejalan dengan
penelitian Sakla dan Sherif (2015) yang mendapatkan hasil rerata kadar glukosa darah
setelah hemodialisis pada pasien yang tidak makan sebelum menjalani hemodialisis
adalah 56.3 mg/dL sedangkan pada pasien yang makan sebelum menjalani hemodialisis
adalah 96.4 mg/dL.
Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian Mohamad (200) pada 26 pasien
yang mendapat terapi hemodialisis di Hawler Teaching Hospital. Pada penelitian ini
didapatkan rerata kadar glukosa darah sebelum hemodialisis lebih lebih rendah yakni
95.4 mg/dL daripada kadar glukosa darah setelah hemodialisis, 143.1 mg/dL. Hal ini
dapat terjadi akibat berbagai faktor, salah satunya penambahan glukosa ke dalam cairan

dialisat, penambahan glukosa melalui injeksi IV dan asupan makanan yang cukup
selama hemodialisis.

Вам также может понравиться