Вы находитесь на странице: 1из 9

Hubungan Angka Kejadian Depresi dengan Insomnia

pada Lansia di Panti Werdha Dharma Bakti


KM7 palembang
Ima Desliana1, Yuniza2, Swanny3
1. Peserta Program Studi Pendidikan Dokter, FK Unsri
2. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya Jl. dr.
Mohammad Ali Komplek RSMH Palembang Km. 3,5, Palembang, 30126, Indonesia
3. Staff Pengajar Bagian Fisologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya Jl. dr. Mohammad
Ali Komplek RSMH Palembang Km. 3,5, Palembang, 30126, Indonesia
E-mail : deslianaima@rocketmail.com

Abstrak
Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering dialami oleh lansia namun penyakit ini sulit terdeteksi
karena penyakit ini sering menimbulkan gejala yang tidak spesifik. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan
antara angka kejadian depresi dengan insomnia pada lansia.Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik
dengan desain cross-sectional yang dilakukan pada 28 November 2015 di Panti Werdha Dharma Bakti KM 7
Palembang. Populasi penelitian adalah semua lansia yang ada di Panti Werdha Dharma Bakti KM 7 Pelambang.
Sampel penelitian adalah semua lansia di Panti Werdha Dharma Bakti KM 7 Pelambang yang memenuhi kriteria
inklusi. Responden diwawancara menggunakan kuesioner Geriatric Depression Scale (GDS), DSM IV dan
Kelompok Studi Psikiatri Biologi Jakarta- Insomnia Rating Scale (KSPBJ-IRS). Data dianalisis secara univariat dan
bivariat dengan Chi-square. Terdapat 31 orang lansia yang memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari 8 (25,8%) laki-laki
dan 23 (74,2%) perempuan dengan rata-rata usia 71,6 tahun dan rata-rata pendidikan menengah bawah. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat 10 (32,3 %) lansia yang menderita depresi dan 8 (80%) diantaranya mengalami
insomnia. Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa hubungan angka kejadian depresi dengan insomnia adalah (P
value 0,021, OR 10.000). Terdapat hubungan antara angka kejadian depresi dengan insomnia. Orang yang depresi 10
kali lebih tinggi untuk menderita insomnia dari pada orang normal.
Kata kunci: Depresi, insomnia, Geriatric Depression Scale, lansia.

Abstract
Depression is the most common type of mental dissorder in elderly, but sometimes depression can be diffcult to
detected because depression have unspecipic symptoms. This research wass done to see the relationship between
depression incidence with insomnia in elderly. This research is an analytic observational with cross sectional design,
done on 28 November 2015 in Panti Werdha Dharma Bakti KM 7 Palembang. Population in this research is all
elderly in Panti Werdha Dharma Bakti KM 7 Palembang. Sample in this research is all elderly in Panti Werdha
Dharma Bakti KM 7 Palembang who met in inclusion criteria. Respondents will be interviewed by three
questionnaires. Geriatric Depression Scale (GDS), DSM IV dan Kelompok Studi Psikiatri Biologi JakartaInsomnia Rating Scale (KSPBJ-IRS). Data will be analyzed by using univariate and bivariate with the Chi-square.
There are 31 elderly who fit in the inclusion criteria, consist of 8 (25,8%) male and 23 (74,2%) female, with an
average age of 71,6 years old and an average eduaction is lower secondary education. The result showed there are 10
(32,3%) elderly who suffer from depression and 8 (80%) of them suffer from insomnia too. The Chi-square test
result of relationship between depression incidence with insomnia in elderly is (P value 0,021, OR 10.000).There is
relationship between depression incidence with insomnia in elderly which is, an elderly who suffer from depression,
10 times larger to suffer from insomnia than normal elderly.
Key word: Depression, insomnia, Geriatric Depression Scale, elderly

1. Pendahuluan

2. Metode Penelitian

Kelainan kongenital adalah kelainan


struktur atau fungsi yang terjadi selama
periode intrauterin dan dapat diidentifikasi
pada saat prenatal, natal, dan pascanatal.1 Di
Indonesia, angka kejadian kelainan kongenital
pada bayi adalah sebesar 5 dari 1000 kelahiran
(5%) dan angka kematian bayi yang
disebabkan oleh kelainan kongenital adalah
sebesar 10,5%.2 Diperkirakan 3,3 juta anak
dibawah usia 5 tahun meninggal setiap tahun
akibat kelainan kongenital dan sekitar 3,2 juta
anak mampu bertahan namun hidup dengan
berbagai keterbatasan.3
Kelainan kongenital dapat disebabkan
oleh faktor genetik, infeksi, nutrisi dan
lingkungan, namun sampai saat ini masih sulit
untuk mengidentifikasi etiologi pada sebagian
besar kasus-kasus kelainan kongenital.1 Pada
ibu yang mengalami diabetes melitus,
kekurangan asam folat, dan paparan obatobatan termasuk alkohol dan narkoba, bahan
kimia, dan radiasi tinggi, seringkali diduga
menjadi risiko dalam melahirkan bayi dengan
kelainan kongenital.4
Kelainan kongenital menyebabkan
kecacatan seumur hidup, yang berdampak
pada kehidupan individu, keluarga, pelayanan
kesehatan, dan kehidupan sosial. Namun
beberapa kelainan kongenital dapat dicegah,
misalnya dengan melakukan imunisasi,
pemberian asam folat dan yodium, vitamin dan
suplemen lainnya, serta perawatan antenatal
(antenatal care).1
Hal yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya kelainan kongenital
adalah dengan mencari faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian kelainan
kongenital. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian kelainan kongenital.
Penentuan faktor-faktor ini diharapkan mampu
memberikan
intervensi
sebagai
upaya
pencegahan untuk mengurangi insidensi
kelainan kongenital, khususnya di RSUP Dr.
Mohammad Hosein Palembang.

Penelitian ini merupakan suatu


penelitian analitik observasional dengan desain
penelitian case-control yang bertujuan untuk
melakukan analisis variabel, pengukuran
variabel, serta mencari hubungan antarvariabel
untuk menerangkan kejadian atau fenomena
tanpa melakukan intervensi terhadap variabel.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari faktor
risiko yang memengaruhi kejadian kelainan
kongenital pada bayi baru lahir. Pada
penelitian ini didapatkan kelompok kasus dan
kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan
baik data primer maupun data sekunder yang
diperoleh dari dua kelompok sampel, baik
kasus maupun kontrol. Data sekunder yaitu
data rekam medik yang diambil dari kedua
kelompok meliputi karakteristik bayi dan
faktor risiko yang menyebabkan kelainan
kongenital. Sebagian sampel memiliki data
faktor risiko yang tidak lengkap pada rekam
medik, sehingga dilakukan pengambilan data
secara primer. Data primer didapatkan dari
wawancara dengan orang tua bayi secara
langsung atau melalui telepon. Pada penelitian
ini terdapat 100 sampel yang diteliti. Sampel
tersebut terdiri atas 50 sampel kasus dan 50
sampel kontrol yang diambil berdasarkan
kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Penelitian
ini menggunakan jenis penelitian retrospektif
yaitu didasarkan pada catatan medis dalam
mengidentifikasi
faktor
risiko
yang
memengaruhi kejadian kelainan kongenital
pada bayi. Penelitian ini dilakukan di
Departemen Anak RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang dimulai bulan November
2015-Desember 2015. Variabel yang diteliti
dalam penelitian ini adalah riwayat keluarga,
riwayat mengalami abortus, riwayat konsumsi
obat-obatan, riwayat penggunaan zat-zat
kimia, riwayat mengalami infeksi, dan riwayat
menderita diabetes melitus selama kehamilan.
3. Hasil
Penelitian ini merupakan penelitian
analitik observasional dengan pengumpulan

data sekunder yaitu status rekam medis.


Pengambilan data dilakukan di Instalasi
Rekam Medik Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Mohammad
Hoesin
Palembang
yang
dilaksanakan pada bulan November-Desember
2015. Didapatkan 108 bayi yang mengalami
kelainan kongenital periode Januari 2015 November 2015. Karakteristik bayi dengan
kelainan kongenital terbanyak berada pada
kelompok usia ibu 20-35 tahun yaitu sebanyak
58 kasus (53,7%), jenis kelamin bayi
terbanyak adalah laki-laki dengan 64 kasus
(59,3%), pekerjaan ibu terbanyak adalah ibu
rumah tangga atau tidak bekerja dengan 89
kasus (82,4%), dan jenis kelainan kongenital
terbanyak adalah sistem gastro-intestinal
dengan 54 kasus (50%). Kelainan yang banyak
terjadi pada sistem gastrointestinal adalah
atresia ani, hisprung, omfalokel, gastroskisis,
dan atresia duodenum, pada sistem kardiotoraks adalah ASD, VSD, PDA, TGA dan
TOF, pada sistem susunan saraf pusat adalah
hidrosefalus, hidransefali, meningocele, dan
anensefali, pada sistem kranio-fasial adalah
labiopalatoskisis, pada sistem muskuloskeletal
adalah amniotic band, serta pada sindroma
didapatkan sindroma down dan sindroma
edward. Terdapat 50 sampel bayi dengan
kelainan kongenital dan 50 sampel bayi tanpa
kelainan kongenital yang memenuhi kriteria
penelitian.
Distribusi
Faktor
Risiko
Kelainan
Kongenital Bayi
Sebanyak 108 bayi yang tercatat
mengalami kelainan kongenital kemudian
diambil 50 bayi berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi, terdiri atas 28 bayi dengan kelainan
pada sistem kardio-toraks, 17 bayi dengan
kelainan pada sistem gastro-intestinal, 2 bayi
dengan kelainan pada sistem kranio-fasial, 1 bayi
dengan kelainan pada sistem susunan saraf pusat,
1
bayi
dengan
kelainan
muskuloskeletal/ekstremitas, dan 1 bayi dengan sindroma
yaitu down syndrome. Tercatat dari 50 bayi yang
mengalami kelainan kongenital didapatkan 3 bayi
yang memiliki riwayat keluarga mengalami
kelainan kongenital (6%), 4 bayi (8%) yang

memiliki riwayat ibu mengalami abortus pada


kehamilan sebelumnya, 21 bayi (42%) yang
memiliki riwayat ibu mengkonsumsi obat selama
kehamilan, 28 bayi (56%) dengan kelainan
kongenital yang memiliki riwayat ibu terpapar
penggunaan
polutan lingkungan
selama
kehamilan, 7 bayi (14%) mengalami kelainan
kongenital dengan riwayat ibu mengalami infeksi
selama kehamilan, dan 1 bayi (2%) memiliki
riwayat ibu menderita diabetes melitus selama
kehamilan.
Hubungan Antara Faktor Risiko Terhadap
Kelainan Kongenital
Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa riwayat keluarga (p=0,242), riwayat
abortus (p=0,525), riwayat infeksi selama
kehamilan (p=0,059), dan riwayat diabetes
melitus (p=1,000) tidak memiliki hubungan yang
signifikan terhadap kejadian kelainan kongenital,
sedangkan riwayat konsumsi obat-obatan
(p=0,000) dan riwayat terpapar penggunaan
polutan
lingkungan
(p=0,002)
memiliki
hubunngan yang signifikan terhadap kejadian
kelainan kongenital pada bayi.
Sebanyak 21 bayi (42%) dari seluruh
sampel
kasus
memiliki
riwayat
ibu
mengkonsumsi obat-obatan selama kehamilan
(gambar 1). Obat-obatan yang dikosumsi
diantaranya adalah obat flu (n=9, 21,42%),
suplemen vitamin (n=5, 11,9%), jamu tradisional
(n=3, 7,1%), obat penguat kehamilan, obat herbal,
obat cacar dan anti jamur masing-masing satu
orang, namun sebagian responden tidak
mengetahui obat yang di konsumsi.

mengalami kelainan kongenital, 4 bayi (8%)


dengan kelainan kongenital yang memiliki
riwayat ibu mengalami abortus pada
kehamilan sebelumnya, dan hanya satu bayi
yang ditemukan riwayat ibu yang menyandang
diabetes melitus.

Gambar 1. Distribusi Riwayat Minum Obat Pada Bayi


dengan Kelainan Kongenital. Sebanyak 21 bayi (42%)
mengalami kelainan kongenital dengan riwayat ibu
mengkonsumsi obat-obatan selama kehamilan

Tercatat 28 bayi (56%) yang


mengalami kelainan kongenital dengan
riwayat ibu terpapar zat kmia selama
kehamilan (gambar 2). Pada penelitian ini
yang termasuk ke dalam zat kimia adalah obat
nyamuk bakar, obat nyamuk elektrik,
pengharum ruangan, dan pestisida, sebagian
besar ibu menggunakan obat nyamuk bakar
dan obat nyamuk elektrik selama kehamilan
(n=20, 35,71%) serta 8 bayi (19,29%)
memiliki
riwayat
ibu
menggunakan
pengharum ruangan selama kehamilan.

Gambar 2. Distribusi Riwayat Terpapar Polutan


Lingkungan Selama Kehamilan Pada Bayi dengan
Kelainan Kongenital. Terdapat 28 bayi (56%) yang memiliki
riwayat ibu menggunakan zat kimia selama kehamilan.

Terdapat 7 bayi (14%) yang mengalami


kelainan kongenital dengan riwayat ibu
mengalami infeksi selama kehamilan (gambar
3). Infeksi yang terjadi adalah varicella (n=2,
28%), herpes (n=2, 28%), infeksi saluran
kemih (n=2, 28%), dan infeksi jamur (n=1,
16%). Pada penelitian ini tercatat sebanyak 3
bayi (6%) yang memiliki faktor keluarga

4. Pembahasan
Penyebab suatu kelainan kongenital
kadang-kadang sangat sukar ditentukan pada
saat bayi baru lahir. Kurang lebih 35-40% dari
kelainan
kongenital
tidak
diketahui
penyebabnya
dengan
pasti,
25-30%
disebabkan oleh faktor genetik dan 6-9%
disebabkan oleh faktor lingkungan.5 Pada
penelitian ini, penulis menggunakan riwayat
keluarga sebagai faktor risiko kejadian
kelainan kongenital yang disebabkan oleh
faktor genetik. Riwayat keluarga dilihat dari
keluarga inti yaitu ayah, ibu, dan saudara
kandung. Terdapat 3 bayi yang memiliki
faktor
keluarga
mengalami
kelainan
kongenital. Kelainan kongenital yang dialami
adalah hisprung dan atrial septal defect
(ASD). Bayi yang mengalami hisprung
memiliki riwayat kakak kandung memiliki
penyakit yang sama ketika lahir, sedangkan
pada bayi yang mengalami ASD, keduanya
memiliki riwayat orang tua (ayah) mengalami
penyakit jantung bawaan. Dari 50 bayi yang
ikut dalam penelitian, hanya satu bayi yang
tercatat mengalami down syndome dan bayi
tersebut tercatat tidak memiliki riwayat
keluarga mengalami kelainan kongenital. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa riwayat
keluarga tidak memiliki hubungan yang
signifikan
terhadap
kejadian
kelainan
kongenital (p=0,242), yaitu hanya 6% bayi
yang memiliki riwayat keluarga mengalami
kelainan kongenital. Keadaan ini dipengaruhi
oleh sampel penelitian penulis yang terbatas
dan riwayat keluarga yang diteliti hanya
riwayat keluarga inti yaitu ayah, ibu, dan
saudara kandung.
Kegagalan atau ketidaksempurnaan
dalam
proses
embriogenesis
dapat
menyebabkan terjadinya malformasi pada
jaringan atau organ. Sifat dari kelainan yang

timbul tergantung pada jaringan yang terkena,


penyimpangan, mekanisme perkembangan dan
waktu pada saat terjadinya.6 Penyimpangan
pada tahap implementasi dapat merusak
embrio dan menyebabkan abortus spontan.
Diperkirakan 15% dari seluruh konsepsi akan
berakhir di periode ini.6 Penelitian yang
dilakukan oleh Chhabra (2012) menunjukkan
bahwa kematian perinatal sebagian besar
disebabkan
oleh
major
congenital
malformation (346 bayi) dengan 287 bayi lahir
mati dan 59 bayi mati pada periode neonatus. 7
Hasil dari penelitian tersebut (Chhabra, 2012)
didapatkan bahwa sebagian besar bayi yang
lahir mati adalah bayi dengan kelainan
kongenital mayor.7
Pada penelitian ini tercatat sebanyak 4
bayi (8%) dengan kelainan kongenital yang
memiliki riwayat ibu mengalami abortus pada
kehamilan sebelumnya. Kelainan kongenital
yang dialami adalah atresia ani (2 kasus),
hisprung (1 kasus), dan ASD (1 kasus). Namun
pada hasil analisa bivariat menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara riwayat ibu yang mengalami abortus
pada kehamilan sebelumnya terhadap kejadian
kelainan kongenital pada bayi. Hal ini
disebabkan karena jumlah sampel pada
penelitian ini terbatas, sehingga tidak dapat
melihat hubungan antara riwayat abortus pada
kehamilan sebelumnya dengan kejadian
kelainan kongenital pada bayi.
Risiko terjadinya kelainan kongenital
pada bayi dengan ibu yang menderita diabetes
adalah tiga sampai empat kali lebih besar dari
ibu yang tidak mengalami diabetes dalam
jangka waktu yang lama.5 Hiperinsulinemia
pada fetus merupakan hasil dari peningkatan
kadar glukosa dalam sirkulasi darah dan
berperan sebagai hormon pertumbuhan,
sehingga menyebabkan makrosomia dan
hipertrofi kardiomiopati.5 Apabila wanita
dengan diabetes melitus dapat mengatur kadar
gula dalam batas normal sebelum kehamilan,
risiko terjadinya kelainan kongenital dapat
berkurang.5
Dalam penelitian ini hanya satu bayi
yang ditemukan riwayat ibu yang menyandang

diabetes melitus. Jenis kelainan kongenitalnya


adalah penyakit jantung bawaan. Hasil analisis
bivariat menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara riwayat ibu
menyandang diabetes dengan kejadian
kelainan kongenital (p=1,000). Hal ini
berbanding terbalik dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hadden (2012) yang
menyatakan bahwa glikemia pada awal
kehamilan, yaitu setiap kenaikan 1% HbA 1c
diatas 6,3% akan meningkatkan risiko kejadian
kelainan kongenital sebanyak 30%.8 Adanya
perbedaan hasil penelitian ini disebabkan
karena keterbatasan jumlah sampel penelitian.
Diketahui bahwa obat-obatan dan
polutan
lingkungan/insektisida
memiliki
kontribusi sebesar 2-3% dalam menyebabkan
kelainan kongenital pada bayi.5 Pada penelitian
ini riwayat konsumsi obat yang ditanyakan
meliputi obat-obatan yang diberikan oleh
dokter, bidan, obat herbal, dan jamu
tradisional. Terdapat 21 (42%) bayi mengalami
kelainan kongenital dengan riwayat ibu
mengkonsumsi obat-obatan. Obat-obatan yang
dikosumsi diantaranya adalah obat flu (n=9,
21,42%), suplemen vitamin (n=5, 11,9%),
jamu tradisional (n=3, 7,1%), obat penguat
kehamilan, obat herbal, obat cacar dan anti
jamur masing-masing 1 orang, dan sebagian
responden tidak mengetahui obat yang di
konsumsi. Kelainan kongenital yang terjadi
adalah gastroskisis (1 kasus), omfalokel (2
kasus), atresia ani (5 kasus), atresia esofagus
(1 kasus), penyakit jantung bawaan (11 kasus),
dan down syndrome (1 kasus). Hasil dari
analisa bivariat didapatkan p=0.000 dan
OR=11.345 artinya terdapat hubungan yang
signifikan antara riwayat konsumsi obatobatan selama kehamilan terhadap kejadian
kelainan kongenital pada bayi.
Maternal influenza merupakan salah
satu faktor risiko yang dapat menyebabkan
kelainan kongenital pada bayi.13 Secara tidak
langsung ibu yang mengalami influenza
mengkonsumsi
obat-obatan
influenza,
sehingga ditemukan bahwa obat-obatan
influenza memiliki risiko untuk dapat
menyebabkan kelainan kongenital.

Studi yang dilakukan oleh California


Birth Defect Monitoring Program menyatakan
bahwa mengkonsumsi multivitamin yang
mengandung asam folat selama beberapa
bulan sebelum konsepsi atau 2 bulan pertama
selama masa kehamilan dapat mengurangi
30% kejadian kelainan jantung bawaan pada
bayi dan 36% kejadian limb defect. Penelitian
yang dilakukan oleh Dr. Kenneth J. Rothman,
seorang epidemiologis, dari Boston University
Scholl of Medicine tahun 1999 menyatakan
bahwa vitamin A, yang dikonsumsi selama
masa kehamilan, dapat membantu proses
deferensiasi sel dan sebagai nutrisi untuk
perkembangan
bayi.
Didapatkan
pula
konsumsi vitamin A dalam jumlah yang besar
selama awal masa kehamilan dapat
menyebabkan kelainan kongenital yang berat.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan
mengenai suplemen vitamin yang berisiko
menyebabkan kelainan kongenital karena pada
penelitian ini respoden tidak mengetahui jenis
vitamin apa yang dikonsumsi.14
Pada penelitian yang dilakukan oleh
Ditte (2013), didapatkan bahwa konsumsi
flukonazol oral (anti jamur), tidak memiliki
hubungan yang signifikan dalam menyebabkan
14 dari 15 kelainan kongenital, namun secara
signifikan menyebabkan tetralogy of fallot.9
Penelitian yang dilakukan oleh Ziske (2015)
menunjukkan bahwa konsumsi obat-obatan
selama kehamilan merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya hipospadia, obat-obatan yang
digunakan adalah suplemen Fe dan vitamin
(n=88), penguat kehamilan (n=16), obat herbal
(n=9), obat flu (n=3), antibiotik (n=2), dan
antiemetik (n=2).10 Hal ini didukung oleh teori
yang menyatakan bahwa obat-obatan berperan
dengan
cara
mengganggu
proses
embriogenesis atau dengan cara menggunakan
kemampuan
farmakologi
dalam
tahap
11
perkembangan organ.
Pada penelitian ini paparan polutan
lingkungan atau zat kimia melalui udara
termasuk kedalam faktor risiko lingkungan
dalam menyebabkan kelainan kongenital pada
bayi. Dapat dilihat pada tabel 8, ada 28 bayi
yang mengalami kelainan kongenital dengan

riwayat ibu terpapar polutan lingkungan


selama kehamilan. Pada penelitian ini yang
termasuk ke dalam polutan lingkungan adalah
obat nyamuk bakar, obat nyamuk elektrik,
pengharum ruangan, dan pestisida, sebagian
besar ibu menggunakan obat nyamuk bakar
dan obat nyamuk elektrik selama kehamilan
(n=20, 35,71%) serta 8 bayi (19,29%)
memiliki
riwayat
ibu
menggunakan
pengharum ruangan selama kehamilan. Jenis
kelainan kongenital yang banyak terjadi adalah
labiopalatoskisis (1 kasus), atresia ani (4
kasus), hisprung (1 kasus), atresia duodenum
(1 kasus), penyakit jantung bawaan (18 kasus),
atresia pylorus (1 kasus), mikrosefali (1
kasus), dan down syndrome (1 kasus). Hasil
analisa bivariat menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara riwayat ibu
yang terpapar polutan lingkungan selama
kehamilan
terhadap
kejadian
kelainan
kongenital bayi (p=0.002; OR=3.622; 95%
CI=1.599-8.418).
Beberapa
penelitian
menyatakan bahwa udara yang tercemar oleh
zat-zat
kimia
dapat
berisiko
tinggi
menyebabkan kelainan kongenital.
Infeksi intrauterin memiliki dampak
besar terhadap fetus. Infeksi ibu dapat
asimptomatis atau hanya memiliki gejala
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala,
dan mual.5 Infeksi ibu dapat menyebabkan
transmisi vertikal terhadap fetus. Infeksi pada
periode embrionik (12 minggu pertama) dapat
menyebabkan
abnormalitas
multipel.5,11
Apabila infeksi terjadi setelah periode itu,
maka bayi lahir dengan viremia dan menderita
penyakit neonatus yang ditandai dengan
ikterik, pembesaran hati dan limpa, anemia,
dan trombositopenia.5
Penelitian yang dilakukan oleh Marcia
L. Feldkamp, PhD di University of Utah
Health
Sicences
pada
tahun
2008
menunjukkan bahwa wanita yang terbukti
mengalami STD dan UTI sebelum atau selama
awal kehamilan, berisiko 4 kali lebih besar
akan memiliki bayi dengan gastroskisis.12
Pada penelitian ini didapatkan 7 bayi
yang memiliki riwayat ibu mengalami infeksi
selama kehamilan. Infeksi yang terjadi adalah

varicella (2 kasus), infeksi saluran kemih (2


kasus), herpes (2 kasus), dan infeksi jamur (1
kasus). Sebagian besar infeksi terjadi pada
trimester pertama. Jenis kelainan kongenital
yang terjadi adalah omfalokel (1 kasus),
penyakit jantung bawaan (4 kasus), atresia
esofagus (1 kasus), dan atresia ani (1 kasus).
Analisis bivariat yang dilakukan menunjukkan
bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan
antara riwayat infeksi selama kehamilan
terhadap kejadian kelainan kongenital pada
bayi (p=0.059; OR=7.977; 95%CI=0.94367.456). Perbedaan hasil penelitian ini
disebabkan karena perbedaan jenis penelitian,
jumlah sampel penelitian, subjek penelitian,
dan variasi variabel penelitian.
5. Kesimpulan
Faktor risiko yang paling banyak
ditemukan adalah faktor risiko lingkungan
sebesar 72% dengan 36 bayi mengalami
kelainan kongenital. Faktor lingkungan yang
berhubungan dengan kejadian kelainan
kongenital adalah riwayat konsumsi obatobatan dan terpapar polutan lingkungan
selama kehamilan.

Sunil Sinha, Lawrence Miall, Luke


Jardine. 2012. Essential : Neonatal
Medicine. Wiley-Blackwell Publication,
United Kingdom.
6. Effendi,
Sjarif
Hidayat,
Eriyanti
Indrasanto. 2010. Kelainan Kongenital
(Cacat Bawaan). Dalam: Kosim, M.
Soleh,
dkk
(Editor).Buku
Ajar
Neonatologi (halaman 41-70). Badan
Penerbit IDAI, Jakarta.
7.
S, Chhabra. 2012. Persistence of Perinatal
Mortality
Due
To
Congenital
Malformations in Resource-poor Settings.
Journal Of Obstetrics And Gynecology:
The Journal Of The Institute Of Obstetrics
And Gynecology : Informa Healthcare.
England, London.
8.
Hadden,
D.R.,
2012.
Congenital
Anomalies in Diabetic Pregnancy: An
Important Confirmation. Springer-Verlag.
Ireland, United Kingdom.
Nielsen, Ditte Molgaard, et al. 2013. Use
of Oral Fluconazole during Pregnancy and
The Risk of Birth Defects. Department of
Epidemiology Research, Staten Serum
Institute, Copenhagen, Denmark.
Maritska, Ziske, Ardi Santosa, Mahayu
Dewi Ariani, Achmad Zulfa Juniarto,
Sultana MH Faradz. 2015. Profile of
Hypospadias Cases in Central Java,
Indonesia. Journal of Biomedicine and
Translational Research: Faculty of
Medicine Diponegoro, Central Java.
TW, Sadler. 2013. Langmans Medical
Embryology 12th Edition. Penerbit Buku
Kedokteran: EGC, Jakarta.
FeldKamp, Maria L. 2008. University of
Utah
Health
Sciences;
Sexually
Transmitted Disease, Urinary Tract
Infections May Be Bad Combination for
Birth Defect. NewsRx. Atlanta, United
States.
Karkinen-Jaaskelainen M.D., Marketta,
Lauri Saxen M.D. 1974. Maternal
Influenza, Drug Consumption, and
Congenital Defects of The Centran
Nervous System. American Journal of
5.

9.

10.

Daftar Acuan
1. World
Health Organization. 2015.
Congenital
Anomlies.
(http://www.who.int/mediacentre/factsheet
s/fs370/en/, Diakses 11 September 2015)
2.

World Health Organization. 2010. Birth


Defects.
(http://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/W
HA63/A63_10-en.pdf , Diakses 6 Agustus
2015).

Christianson A, Howson CP, Modell B.


2006. March of Dimes: Global Report on
Birth Defects The Hidden Toll of Dying
and Disabled Children. White Plains, New
York.
4. Behrman., Kliegman. & Arvin. 2000.
Nelson Ilmu Kesehatan Anak (Edisi: 15,
vol 2). Jakarta: EGC. 854 856.
3.

11.

12.

13.

Obstetrics and Gynecology, Volume 118,


Issue 6.

14.

California Birth Defects Monitoring


Program. 1999. Multivitamin Use and
Heart and Limb Defects.

Вам также может понравиться