Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
III-1
BAB III
HASIL PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN
III.1.Hasil Perhitungan
Tabel III.1.1. Tabel Perhitungan Energy Losses pada Reducer (Titik 1-0)
V (m/s)
8,4
F(J/kg)
5,5958
M1
1,126
M0
1,130
7,896
5,3278
1,072
1,074
6,552
4,6323
0,997
1,001
5,1
3,444
0,976
0,977
Tabel III.1.2. Tabel Perhitungan Energy Losses pada Pipa Lurus Diameter 0.207 meter
(Titik 5-1)
V (m/s)
8,4
F(J/kg)
197,143
M1
1,126
M5
1,127
7,896
191,354
1,072
1,073
6,552
186,451
0,997
0,998
5,1
172,760
0,975
0,976
Tabel III.1.3. Tabel Perhitungan Energy Losses pada Enlarger (Titik 6-5)
V (m/s)
8,4
F (J/kg)
114,431
M5
1,127
M6
1,128
7,896
108,93
1,073
1,074
6,552
94,671
0,998
0,999
5,1
80,98
0,976
0,975
Tabel III.1.4. Tabel Perhitungan Energy Losses pada Pipa Lurus Diameter 0.105 meter
(Titik 9-6)
III-2
V (m/s)
8,4
F(J/kg)
3879,2
M6
1,128
M9
1,129
7,896
3771,2
1,074
1,075
6,552
3541,6
0,999
0,999
5,1
2661,7
0,975
0,975
Tabel III.1.5. Tabel Perhitungan Energy Losses pada Elbow 90 (Titik 10-9)
V (m/s)
8,4
F(J/kg)
154,11
M9
1,129
M10
1,127
7,896
147,04
1,075
1,073
6,552
127,8
0,999
0,998
5,1
108,79
0,975
0,974
Tabel III.1.6. Tabel Perhitungan Energy Losses pada Pipa Lurus Diameter 0.105 meter
(Titik 11-10)
V (m/s)
8,4
F(J/kg)
709,46
M10
1,126
M11
1,126
7,896
728,91
1,073
1,073
6,552
678,13
0,997
0,996
5,1
143,77
0,974
0,974
Reduce
Pipa Lurus
Enlarge
Pipa Lurus
Elbow
Pipa Lurus
(m/s)
( 20,7 cm )
( 10,5 cm )
90
( 10,5 cm )
(Titik 5 ke 1)
(Titik 9 ke 6)
(Titik 11
Total
III-3
ke 10)
8,4
5,5958
197,143
114,431
3879,2
154,11
709,46
4785,4
7,896
5,3278
191,354
108,93
3771,2
147,04
728,91
4691,4
6,552
4,6323
186,451
94,671
3541,6
127,8
678,13
4406,2
5,1
3,444
172,760
80,98
2661,7
108,79
183,77
2978,3
Enlarge
Pipa Lurus
Reducer
( 20,7 cm )
8,4
0,408
(Titik 5 ke 1)
0,807
0,551
(Titik 9 ke 6)
0,425
7,896
0,408
2,242
0,551
6,552
0,408
1,369
5,1
0,408
4,844
(m/s)
( 10,5 cm)
Elbo
w 90
Pipa Lurus
( 10,5 cm)
0,75
(Titik 11 ke 10)
0,013
0,426
0,75
0,022
0,551
0,911
0,75
0,1361
0,551
2,723
0,75
0,467
III.2 Pembahasan
Praktikum ini bertujuan untuk menghitung friksi konduit aliran fluida kompresibel
isotermal dan mengukur kehilangan energi pada berbagai fitting. Percobaan ini mengunakan
empat variabel variasi kecepatan fluida yang terdapat pada blower yaitu 8,4 m/s (Vmaks); 7,896
m/s (94% Vmaks); 6,552 m/s (78% Vmaks) dan 5,1 m/s (Vmin).
Langkah pertama adalah menyalakan blower. Setelah itu, menunggu sekitar 3 menit
hingga aliran udara mencapai keadaan konstan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
pengukuran dan memperoleh hasil yang akurat. Lalu mengatur posisi tirai sesuai dengan
variabel yang telah ditetapkan.
Pada percobaan pertama, variabel yang digunakan yaitu posisi tirai blower terbuka
penuh yang menghasilkan kecepatan maksimal (Vmaks). Lalu mengukur kecepatan udara di
bagian outlet pipa dengan menggunakan anemometer yaitu dengan cara meletakkan
anemometer pada titik 0 (output). Setelah mendapat kecepatan outlet sebesar 8,4 m/s (V maks),
kemudian mengukur tekanan tiap titik di konduit. Terdapat 11 titik pengukuran dan masingmasing titik diukur tekanannya dengan menggunakan manometer H2O. Data yang diperoleh
dari pengukuran ini hanya perbedaan ketinggian (h) pada manometer.
III-4
Variabel kedua yaitu 94% dari kecepatan maksimal (V 2 = 7,896 m/s). Nilai kecepatan
tersebut diperoleh dengan cara mengukur kecepatan di outlet pipa dengan anemometer, pada
jarak yang sama saat melakukan pengukuran kecepatan awal, lalu mengatur bukaan tirai pada
blower hingga kecepatan udara yang keluar sama dengan 94% dari kecepatan maksimal (V maks
= 8,4 m/s). Selanjutnya melakukan langkah yang sama seperti variabel awal yaitu menghitung
tekanan di setiap titik menggunakan manometer H2O.
Lalu melanjutkan ke variabel ketiga yaitu saat kecepatan aliran udara 78% dari V maks,
cara memperoleh variabel ini sama dengan cara memperoleh variabel kedua. Kemudian,
variabel keempat adalah Vmin yaitu ketika tirai pada blower tertutup penuh diperoleh nilai Vmin
sebesar 5,1 m/s. Cara memperoleh variabel ini sama dengan cara memperoleh variabel
sebelumnya.
Percobaan ini dilakukan pada kondisi isotermal, yaitu kondisi dimana tidak terjadi
perubahan suhu. Sehingga ketika tidak terjadi perubahan volume, juga tidak terjadi perubahan
tekanan. Ketika terjadi perubahan volume, maka tekanan akan ikut berubah meskipun tidak
signifikan. Sehingga pada percobaan ini perubahan tekanan tidak terlalu berpengaruh karena
perubahannya sangat kecil dan dianggap tekanan setiap titik hampir sama. Sehingga energy
loss yang terjadi juga kecil. Kondisi isotermal dipilih untuk memudahkan analisa serta kondisi
isotermal tidak memerlukan energi sebanyak kondisi adiabatik, karena perubahan tekanan
(pressure drop) pada kondisi isotermal tidak sebesar perubahan tekanan pada kondisi
adiabatik.
Data yang diperoleh dari percobaan ini merupakan data h yang sesuai dengan Tabel
II.5.1-Tabel II.5.4. Dari data ini lalu menghitung tekanan di setiap titik pada setiap variabel
dengan menggunakan persamaan (22). Setelah itu menghitung bilangan Mach. Perhitungan
bilangan Mach untuk outlet (M0) mengunakan persamaan (2), dari M0 lalu dapat mencari M
tiap titik. Untuk pipa lurus menggunakan persamaan (14), sedangkan untuk enlarger dan
reducer mengunakan persamaan (21).
Bilangan Mach dihitung untuk mengetahui apakah fluida tersebut compressible atau
incompressible. Ketika bilangan Mach < 1 atau sangat kecil, berarti efek kompresibilitasnya
rendah dan dianggap tidak terjadi perubahan densitas. Sehingga, fluidanya merupakan fluida
incompressible. Ketika bilangan Mach > 1, berarti efek kompresibilitasnya besar dan terjadi
perubahan densitas. Sehingga, fluidanya merupakan fluida compressible. Dari perhitungan
didapatkan bilangan Mach mendekati 1, hal ini sesuai dengan teori yang berarti fluida yang
digunakan merupakan fluida compressible dan fluida mengalami perubahan densitas.
III-5
Setelah itu, menghitung densitas udara di setiap fitting mengunakan persamaan (14),
densitas perlu dihitung karena fluida kompresibel jika mengalami perubahan tekanan, maka
akan
mengalami
perubahan
densitas
juga.
Densitas
suatu
titik
dicari
dengan
membandingkannya dengan tekanan dan densitas udara di titik lain. Kemudian menghitung
kecepatan di setiap fitting menggunakan persamaan kontinuitas yaitu persamaan (3).
Persamaan kontinuitas digunakan karena ada perbedaan diameter pada enlarger dan reducer
dengan anggapan mass rate sama.
Friksi dihitung dengan menggunakan persamaan (15) untuk pipa lurus yang
membutuhkan variabel panjang (L), diameter (D), tekanan (p), luas pipa (A), dan mass rate
(). Perhitungan friksi untuk reducer menggunakan persamaan (16), dan persamaan (17)
untuk enlarger yang keduanya membutuhkan variabel luas pipa (A). Sementara itu, untuk
friksi elbow 90 dapat diketahui secara langsung dari tabel dalam literatur, yakni sebesar 0,75
(Geankoplis, 2003). Energy loss dihitung dengan persamaan (23) untuk pipa lurus, persamaan
(24) untuk reducer dan persamaan (25) untuk enlarger. Variabel yang dibutuhkan untuk
menghitung energy loss pada pipa lurus adalah friksi (f), diameter (D), jarak antar titik (L),
dan kecepatan (v), sedangkan untuk reducer dan enlarger variabelnya adalah luas pipa (A)
dan kecepatan (v).
Berdasarkan hasil perhitungan friksi di sepanjang ducting lurus yang disajikan dalam
Tabel III.1.8. Secara teoritis, semakin besar friksi maka semakin kecil kecepatan karena untuk
mengatasi friksi yang besar maka akan diperlukan tekanan yang besar. Tekanan yang besar
mengakibatkan densitas yang semakin besar, sehingga untuk mempertahankan mass rate agar
sama kecepatan aliran fluida menjadi kecil. Untuk ducting lurus berdiameter 0,105 m (titik 9
ke 6 ) dan ducting lurus berdiameter 0,105 m (titik 11 ke 10) nilai friksi sudah sesuai teori.
Namun pada tabel III.1.8, terlihat bahwa untuk ducting lurus berdiameter 0,207 m (titik 5 ke
1) terdapat abnormalitas untuk nilai friksi. Friksi tidak berbanding terbalik dengan kecepatan.
Hal ini bisa disebabkan karena adanya sonic choking, yang pada kasus ini untuk pipa
berdiameter 0,207 m disebut expansion choking. Ketika udara melewati pipa yang tiba-tiba
mengalami enlargement maka akan terbentuk gelombang shock yang mengakibatkan
diskontinuitas tekanan sehingga nilai friksi tidak sesuai teori (Walters, 2000).
Selain itu, salah satu ciri fluida kompresibel, pemberian gaya di salah satu ujung suatu
sistem tidak menyebabkan aliran langsung di seluruh sistem. Fluida kompresibel yang berada
dekat dengan sumber gaya, densitasnya akan meningkat secara lokal akibat pemberian gaya
itu. Fluida yang tertekan akan mengembang terhadap partikel fluida di sebelahnya yang
menyebabkan partikel fluida disebelahnya menjadi mampat dan membuat gerakan gelombang
Laboratorium Teknik Kimia FTI-ITS
III-6
denyut yang bergerak di sepanjang sistem. Gelombang denyut (shock wave) ini menyebabkan
diskontinuitas tekanan sehingga nilai friksi tidak sesuai dengan teori (Morrison, 2004).
Di samping itu, diketahui pula bahwa faktor friksi berbanding lurus terhadap diameter
ducting, dimana semakin besar diameter pipa maka semakin besar pula faktor friksi yang
ditimbulkan, dan semakin kecil diameter maka semakin kecil pula faktor friksi yang
ditimbulkan. Hal ini terjadi karena pada pipa yang berdiameter lebih besar maka fluida akan
mengalir dengan kecepatan lebih kecil, sehingga sesuai dengan pernyataan sebelumnya,
faktor friksinya lebih besar.
Friksi pada reducer diperoleh nilai faktor friksi yang konstan pada semua variabel
yaitu sebesar 0,419. Dan diperoleh pula nilai faktor friksi yang konstan pada semua variabel
untuk enlarger sebesar 0,580. Sementara itu, untuk friksi elbow 90 dapat diketahui secara
langsung dari tabel dalam literatur, yakni sebesar 0,75 (Geankoplis, 2003).
Dari hasil perhitungan energy losses, kemudian dibuat grafik yang menyatakan
hubungan antara energy losses tehadap kecepatan alir fluida pada berbagai fitting yang ada
dalam ducting
Gambar III.2.1. Grafik Hubungan Antara Energy Loss dengan Kecepatan Fluida pada
Reducer
Pada reducer (titik 1 ke 0) tampak bahwa kecepatan fluida berbanding lurus terhadap
besarnya energi yang hilang tiap satu satuan massa, dimana semakin besar kecepatan udara
mengalir dalam ducting, maka energi yang hilang juga akan semakin besar. Begitu pula
sebaliknya, semakin kecil kecepatan udara mengalir dalam ducting, maka energi yang hilang
Laboratorium Teknik Kimia FTI-ITS
III-7
juga akan semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa energy loss berbanding lurus (linier)
dengan kecepatan aliran fluida. Sehingga untuk reducer sudah sesuai teori.
Secara teori energy loss sendiri merupakan fungsi kecepatan dimana semakin besar
kecepatan, energy loss semakin besar. Sehingga energy loss berbanding lurus (linier) terhadap
kecepatan (Geankoplis, 2003).
Gambar III.2.2. Grafik Hubungan Antara Energy Loss dengan Kecepatan Fluida pada
Pipa Lurus Diameter 0,207 m (Titik 5 ke 1)
Grafik kehilangan energi pada ducting lurus dengan diameter 0,207 m di atas tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan grafik yang dihasilkan
saat di reducer. Pada grafik tersebut tampak bahwa kecepatan fluida berbanding lurus
terhadap besarnya energi yang hilang tiap satu satuan massa. Ada sedikit perbedaan yaitu
adanya sedikit kelengkungan pada grafik diatas yaitu pada titik 78% Vmaks sampai Vmaks. Hal
ini disebabkan karena sonic choking seperti yang sudah dijelaskan diawal yang bisa
menyebabkan shock wave. Namun hal ini sepertinya tidak terlalu berpengaruh pada kecepatan
karena grafik masih menunjukan energi loss sebanding dengan kecepatan.
III-8
Gambar III.2.3. Grafik Hubungan Antara Energy Loss dengan Kecepatan Fluida pada
Enlarger
Grafik hubungan antara energy loss dengan kecepatan fluida pada enlarger
menunjukkan adanya kemiripan dengan grafik pada reducer. Hal ini dikarenakan keduanya
sama-sama berbanding lurus dengan kecepatan aliran fluida. Semakin tinggi kecepatan fluida
maka akan diikuti oleh semakin tingginya energy loss pada enlarger tersebut, begitu juga
sebaliknya.
Gambar III.2.4. Grafik Hubungan Antara Energy Loss dengan Kecepatan Fluida pada
Pipa Lurus Diameter 0,105 m (Titik 9 ke 6)
III-9
Grafik kehilangan energi pada ducting lurus dengan diameter 0,105 m di atas tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan grafik yang dihasilkan
saat di ducting lurus dengan diameter 0,207 m. Pada grafik tersebut tampak bahwa kecepatan
fluida berbanding lurus terhadap besarnya energi yang hilang tiap satu satuan massa. Serta
ada sedikit kelengkungan pada grafik diatas yaitu pada titik 78% Vmaks sampai Vmaks. Hal ini
disebabkan karena sonic choking seperti yang sudah dijelaskan diawal yang bisa
menyebabkan shock wave. Namun hal ini sepertinya tidak terlalu berpengaruh pada kecepatan
karena grafik masih menunjukan energi loss sebanding dengan kecepatan.
Gambar III.2.5. Grafik Hubungan Antara Energy Loss dengan Kecepatan Fluida pada
Elbow 90
Sama seperti halnya pada reducer dan enlarger, pada elbow 90 juga tampak bahwa
kecepatan fluida berbanding lurus terhadap besarnya energi yang hilang tiap satu satuan
massa, dimana semakin besar kecepatan udara mengalir dalam pipa konduit, maka energi
yang hilang juga akan semakin besar, begitu pula sebaliknya.
III-10
Gambar III.2.6. Grafik Hubungan Antara Energy Loss dengan Kecepatan Fluida pada
Pipa Lurus Diameter 0.105 m (Titik 11 ke 10)
Grafik kehilangan energi pada ducting lurus dengan diameter 0,105 m di atas
menunjukkan perbedaan jika dibandingkan dengan grafik yang dihasilkan saat di ducting
lurus dengan diameter 0,105 m (titik 9 ke 6). Pada grafik tersebut nilai dari kehilangan energi
fluktuatif terhadap kenaikan kecepatan fluida. Hal ini terjadi karena titik 11 dekat dengan
blower yang menyebabkan alirannya seperti gelombang (shock wave) sehingga mempunyai
kecepatan yang fluktuatif. Selain itu pada rumus energy loss adanya fungsi kuadrat yang
menyebabkan grafik mempunyai nilai maksimal atau minimal. Serta energy loss yang terjadi
pada ducting lurus (titik 11 ke 10) ini lebih kecil daripada energy loss pada ducting (titik 9 ke
6). Dari sini diketahui bahwa energi yang hilang pada ducting lurus sebanding dengan
panjang ducting tersebut, dimana semakin pendek ducting maka energi yang hilang juga akan
semakin kecil, begitu pula sebaliknya.
Apabila dibandingkan dengan ducting lurus berdiameter 0,207 (titik 5 ke 1) juga
menunjukkan perbedaan. Pada grafik diatas nilai dari kehilangan energi fluktuatif terhadap
kenaikan kecepatan fluida. Hal ini terjadi karena titik 11 dekat dengan blower yang
menyebabkan alirannya seperti gelombang (shock wave) sehingga mempunyai kecepatan
yang fluktuatif. Selain itu pada rumus energy loss adanya fungsi kuadrat yang menyebabkan
grafik mempunyai nilai maksimal atau minimal. Terlihat juga bahwa untuk diameter yang
lebih besar pada ducting lurus, energy loss nya lebih kecil daripada diameter yang lebih kecil.
Diameter yang lebih besar mengakibatkan kecepatan aliran fluida menjadi kecil dan sesuai
teori kecepatan sebanding dengan energy loss sehingga diperolehlah hubungan yang
berbanding terbalik antara diameter dengan energy loss.
III-11