Вы находитесь на странице: 1из 16

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian NAFLD


Hati (hepar, liver) merupakan organ yang berfungsi sebagai pusat
metabolisme tubuh. Apabila terjadi gangguan dalam metabolisme, maka hati
adalah organ yang berpotensi besar mengalami gangguan. Salah satu gangguan
hati yang sering terjadi adalah Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD).
(Arciello et al, 2013)
NAFLD merupakan gangguan hati yang disebabkan karena abnormalitas
metabolis melemak. Penyakit ini ditandai dengan adanya infiltrasi lemak
khususnya trigliserida (TG) yang menyerang lebih dari 5% dari total sel-sel hati
(hepatocyte) tanpa disertai adanya konsumsi alkohol yang berlebihan (diatas 20
g/hari bagi pria dan 10g/hari bagi wanita) dan kerusakan hati yang disebabkan
oleh virus ataupun penyakit hati lainnya. (Durazzo et al, 2014 ; Lankarani et al,
2013)
2.2. Spektrum NAFLD
Rentangan NAFLD dimulai dari simple steatosis hingga Non Alcoholic
Steato Hepatitis (NASH) yang ditandai dengan adanya degenerasi lemak
(steatosis), kerusakan hepatocellular, dan inflamasi lobular. Kerusakan ini
nantinya akan berakhir menjadi fibrosis, sirosis (cirrhocis), atau hepatocellular
carcinoma. Penentuan spektrum ini, hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan
biopsi. (Durazzo et al, 2014 ; Fruci et al, 2013 ; Liao et al, 2013 ; Schwenger et al,
2014)
2.3. Epidemiologi NAFLD
Berdasarkan pemeriksaan ultrasonography (USG) dan fungsi hati,
prevalensi NAFLD berkisar antara 17-33% dan NASH sekitar 5.7-16.5%.

Universitas Sumatera Utara

Sementara itu, kelainan hati lebih lanjut berupa sirosis ditemukan pada 25%
pasien yang memiliki NASH. (Alvina, 2010)
2.4. Faktor Risiko NAFLD
Gaya hidup merupakan faktor risiko utama terjadinya NAFLD meskipun
penyakit ini akan dapat didahului oleh kelainan-kelainan sindrom metabolik
(Tabel 2.1). Studi dari Saudi Arabia melaporkan bahwa terjadinya sindrom
metabolik berkaitan erat dengan faktor gaya hidup. Pada individu pre-diabetes,
faktor gaya hidup ini (sedentary dan hypercaloric) dipercaya sebagai penyebab
utama terjadinya NAFLD. (Lankarani et al, 2013 ; Al-Jiffri et al, 2013 ; Berardis
et al, 2013 ; Liu et al, 2014)
Ternyata, sindrom metabolik tidak hanya menjadi penyebab NAFLD tetapi
juga dapat menjadi faktor risiko yang memperburuk NAFLD. Studi dari
Yogyakarta melaporkan bahwa pasien yang mengalami obesitas disertai dengan
hypertriglyceridemia berisiko 3-4 kali lipat berkembang menjadi NASH.
Sedangkan, pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 cenderung terkena
NAFLD dalam waktu 7 tahun dan lebih berisiko 10 kali lipat terkena NAFLD
dibandingkan dengan pasien NAFLD tanpa disertai diabetes mellitus tipe 2.
(Ratnasari et al, 2012)
Dari

segi

jenis

kelamin,

kecenderungan

NAFLD

masih

belum

menghasilkan data yang sama. Sebagian studi melaporkan bahwa NAFLD


cenderung terjadi pada wanita karena wanita lebih cenderung terkena sindrom
metabolik. Hal ini disebabkan karena penimbunan visceral adiposa wanita lebih
banyak dibandingkan pria. Penimbunan ini juga dipengaruhi oleh faktor usia. Pada
wanita, kecenderungan NAFLD meningkat setelah menopause karena penurunan
fungsi protektif estrogen. Selain itu, menopause menyebabkan perubahan
distribusi lemak tubuh wanita menjadi visceral adiposa. Sedangkan pada pria,
kecenderungan terjadinya NAFLD dipengaruhi oleh peningkatan berat badan.
Namun, studi lainnya melaporkan bahwa jenis kelamin tidak menjadi faktor risiko
NAFLD karena kedua jenis kelamin tersebut memiliki kecenderungan yang sama.
(Schwenger et al, 2014)

Universitas Sumatera Utara

Dari segi umur, studi dari Semarang melaporkan bahwa NAFLD memiliki
kecenderungan pada usia antara 2374 tahun dengan rata-rata terjadi pada usia 48
tahun. Sekitar 58,3% pasien berada dalam kelompok usia 41-60 tahun. Sedangkan,
pasien lainnya (33,3%) berada dalam kelompok usia 21-40 tahun. (Sari, 2012)
2.5. Penyebab NAFLD
Sampai saat ini, terjadinya NAFLD dipercaya berkaitan dengan sindrom
metabolik. Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun 2005, kriteria
sindrom metabolik terdiri dari lima komponen yang tercantum dalam tabel 2.1.
Apabila tiga/lebih diantara lima kriteria tersebut terpenuhi, maka diagnosis
sindrom metabolik dapat ditegakkan. Namun, sumber lain mengatakan bahwa
diagnosis sindrom metabolik ditegakkan apabila ditemukannya obesitas sentral
yang disertai minimal dua kriteria berikut. (Chalasani et al, 2012 ; Ratnasari et al,
2012)
Tabel 2.1. Kriteria Sindrom Metabolik Menurut IDF 2005
No

Kriteria

Obesitas

Nilai
94 cm (Pria Erop
Eropa) ;
90 cm (Pria Asia

Trigliserida

150 mg/dL (1.7 m


dalam terapi
<40 mg/dL (1.03 mmol/L) pada pria ;

Penurunan HDL

Peningkatan Tekanan
Darah

Kadar Gula Darah (KGD)


Puasa

<50 mg/dL (1.29 mmol/L) pada wanita atau


sedang dalam terapi
Tekanan Sistolik
Diatolik 85 ata
100 mg/dL (5.6 m
didiagnosa DM tipe 2

Universitas Sumatera Utara

Studi dari Jakarta melaporkan bahwa kelima kriteria tersebut (baik tunggal
maupun kombinasi) memiliki prevalensi masing-masing terhadap kejadian
NAFLD yang tertera dalam tabel berikut : (Alvina, 2009)
Tabel 2.2. Prevalensi NAFLD Berdasarkan Distribusi Sindrom Metabolik
No

Faktor Risiko

Nilai (%)

Dislipidemia

12.2

DM (Diabetes Mellitus)

14.4

Hiperkolesterolemia

15.5

Hipertrigliseridemia

4.4

Hipertensi

2.2

Obesitas

10

Dislipidemia + Hypertension

3.3

Dislipidemia + DM

5.5

DM + Hiperkolesterolemia

3.3

10

DM + Hipertrigliseridemia

1.1

11

DM + Hipertensi

11.6

12

Hiperkolesterolemia+ Hipertensi

1.1

13

Obesitas+ Dislipidemia

2.2

14

Obesitas+ DM

1.1

15

Obesitas+ Hiperkolesterolemia

5.5

16

Tiga Faktor Risiko*

6.6

Tanda * :DM-hipertensi-dislipidemia dan obesitas-DM-hipertensi


2.6. Mekanisme NAFLD
Pola makan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
akumulasi lemak pada hati yang terdiri dari aspek kuantitas dan kualitas makanan.

Universitas Sumatera Utara

Konsumsi makanan yang mengandung asam lemak jenuh dan kolesterol dapat
menyebabkan resistensi insulin dan inflamasi hepatocyte. Selain itu, konsumsi
fruktosa juga dapat meningkatkan trigliserida pada plasma dan jaringan adiposa
visceral. (Alwahsh et al, 2014 ; Al-Jiffri et al, 2013; Schwenger et al, 2014)
Hubungan pola makan dengan sindrom metabolik akan jelas terlihat pada
skema berikut :

Pola Makan

Kuantitas makanan
(makan berlebihan)

Kualitas Makanan (Tinggi lemak


jenuh, kolesterol, dan kalori)

*Obesitas

Peningkatan lemak
perifer dan
visceral

*Peningkatan TG ;

Resistensi

*Penurunan HDL
Terbentuknya

Insulin

atherosclerotic
*Peningkatan Tekanan

Akumulasi
pada hati

Resistensi
Insuli
n
Hepatic

*Peningkatan

Darah (Hipertensi)

KGD
(DMT2)

TANDA-TANDA SINDROM METABOLIK


NON ALCOHOLIC FATTY LIVER DISEASE (NAFLD)
Tanda * : Kriteria sindrom metabolik
Gambar 2.1. Skema Penyebab NAFLD
Trigliserida yang diperoleh dari makanan akan ditangkap oleh hepatocyte.
Selanjutnya, trigliserida tersebut akan mengalami peroksidasi lipid yang akan
meningkatkan produksi pro inflammatory cytokines. Selain itu, penumpukan
trigliserida juga menyebabkan pengeluaran stress oxidative yang memicu

Universitas Sumatera Utara

10

terjadinya inflamasi. (Schwenger et al, 2014)


Hubungan NAFLD terhadap pola hidup sehari-hari juga berkaitan dengan
pemilihan jenis makanan. Studi dari Jerman melaporkan bahwa makanan yang
mengandung pemanis buatan diyakini sebagai penyebab NAFLD. Salah satu jenis
pemanis buatan yang sering digunakan oleh pabrik industri yaitu fruktosa.
Golongan monosakarida ini banyak ditemukan pada softdrink dan makanan
kemasan. (Alwahsh et al, 2014)
Tidak sepeti glukosa yang dapat dipakai langsung oleh jaringan tubuh,
fruktosa akan mengalami metabolisme terlebih dahulu. Tentunya, metabolisme zat
ini terjadi di dalam hati. Adanya fruktosa pada hati akan mempermudah terjadinya
kerusakan oksidatif sel dan peroksidasi lipid, yaitu proses degradasi oksidatif
lemak tidak jenuh di bagian sel yang mengalami inflamasi. Dengan begitu, dapat
disimpulkan bahwa fruktosa dapat memperparah kondisi inflamasi hepatocyte.
(Alwahsh et al, 2014)
Salah satu produk akhir dari peroksidasi lipid ini yaitu 4-hydroxynonenal
(4-HNE). Adanya 4-HNE ini akan menyebabkan gerakan kemotaksis sehingga
menarik neutropil granulosit menuju sel-sel hati yang mengalami inflamasi. Selain
itu, adanya Lipocalin-2 (LCN-2) pada neutrofil juga dapat dijadikan indikator
adanya sel yang telah terekspos oleh bakteri/mikroorganisme. (Alwahsh et al,
2014)
Selain sebagai indikator terhadap mikroorganisme, LCN-2 juga dianggap
sebagai indikator fatty liver pada beberapa studi hewan coba. LCN-2 yang beredar
di sirkulasi berfungsi sebagai transporter umum yang dapat mengikat substansi
lipofilik kecil salah satunya adalah lipid. Sehingga, apabila ditemukan kadar LCN2 yang berlebih, maka dapat disimpulkan bahwa kadar lipid sirkulasi juga
meningkat. (Alwahsh et al, 2014)
Studi yang sama juga melaporkan bahwa peningkatan LCN-2 merupakan
penanda adanya apoptosis dan respon fase akut yang disertai dengan penurunan
fungsi mitokondria. Dengan begitu, LCN-2 juga berperan dalam fungsi regulasi

Universitas Sumatera Utara

11

imun tubuh pada hati. (Alwahsh et al, 2014)


Selain itu, penekanan pada LCN-2 dapat menurunkan obesitas yang
diinduksi oleh insulin resistensi. Hal tersebut juga didukung oleh data yang
diperoleh pada pemeriksaan manusia yaitu adanya peningkatan konsentrasi serum
LCN-2 pada pasien diabetes. (Alwahsh et al, 2014)
Selain itu, pemasukan fruktosa secara berlebihan dan terus-menerus akan
menyebabkan peningkatan translokasi lipopolysaccharide (LPS, endotoxin) dari
usus menuju vena portal. Akibatnya, permeabilitas intestinal akan meningkat dan
menjadi tempat berkembangnya bakteri. (Alwahsh et al, 2014)
Fakta tersebut didukung oleh hasil studi dari wilayah Cina yang mengkaji
mengenai microbiota usus (gut microbiota). Microbiota ini merupakan unsur
biologi yang berfungsi dalam proses metabolisme, fisiologi, dan imunologi tubuh.
Apabila terjadi gangguan pada microbiota ini, maka dapat menyebabkan
kerusakan pada ketiga fungsi tersebut. Studi ini juga melaporkan bahwa
akumulasi lemak pada hati (hepatic fat accumulation) dapat terjadi akibat
ketidakseimbangan komposisi microbiota yang disebabkan oleh obesitas (yang
berkaitan

dengan

sindrom

metabolik),

diabetes

tipe

2,

dan

penyakit

kardiovaskular. Selain itu, kuantitas hepatocyte yang terinfiltrasi lemak juga


dipengaruhi oleh keberadaan microbiota ini. Melalui vena porta (penghubung
antara hati dan usus), microbiota usus ini dapat menjadi stimulator inflamasi selsel hati dan resistensi insulin pada hati (hepatic insulin resistence). (Liu et al, 2014
; Alwahsh et al, 2014)
Namun, studi dari Korea memberikan paparan yang berbeda terhadap
kasus ini. Studi tersebut meyakini bahwa resistensi insulin hepatik disebabkan
oleh akumulasi lemak pada tempat yang salah (ectopic adiposa) pada hepatocyte
bukan karena visceral adiposa. Hal inilah yang menyebabkan resistensi insulin
hepatik tetap terjadi meskipun telah dilakukan penurunan visceral adiposa bagi
individu obesitas. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa ectopic adiposa
merupakan penyebab terjadinya resistensi insulin hepatik tanpa adanya visceral
obesity. (Seo et al, 2013)

Universitas Sumatera Utara

12

Selain microbiota usus, Helicobacter pylori (H. pylori) juga berperan


terhadap resistensi insulin. Infeksi bakteri ini ternyata lebih banyak ditemukan di
negara berkembang daripada negara maju. Infeksi yang berkepanjangan akan
menyebabkan terjadinya respon imun dan inflamasi kronis. Efek dari kedua
respon ini akan menyebabkan lesi lokal dan non lokal (remote lesion). Adanya lesi
lokal akan menyebabkan penyakit gastritis, peptic ulcer disease, dan kanker
lambung. Apabila lesi tersebut ditemukan di hati, maka akan menginduksi
terjadinya NAFLD. (Li et al, 2013)
Beberapa studi melaporkan bahwa fetuin-A merupakan zat intermediate
yang berfungsi sebagai mediator resistensi insulin yang diinduksi oleh H. pylori.
Studi pendukung melaporkan bahwa individu yang terinfeksi H. pylori ternyata
memiliki kadar fetuin-A yang tinggi. (Manolaksis et al, 2011)
Fetuin-A disekresikan oleh hati dan diedarkan secara sistemik melalui
pembuluh darah. Adanya zat ini di dalam sirkulasi diyakini berhubungan dengan
resistensi insulin, metabolisme glukosa, dan awal timbulnya DM. (Li et al, 2013)
Mekanisme kerja zat ini yaitu dengan menghambat reseptor endogen
insulin-tyrosine kinase pada hati dan otot lurik (skeletal muscle). Selain itu, fetuinA juga menghambat insulin-tyrosinephosphorylase dari substrat reseptor insulin
yang akhirnya akan mempengaruhi sinyal insulin. Apabila sinyal insulin
terganggu, maka akan berdampak pada regulasi glukosa yang mayoritas diperoleh
dari otot, hati dan cadangan lemak. Sinyal yang terganggu ini akan berujung pada
resistensi insulin. Jika terjadi di hati, maka akan terjadi NAFLD. (Li et al, 2013)
Studi lainnya meyakini bahwa fetuin-A merupakan pertanda adanya
inflamasi karena fetuin-A berfungsi sebagai sitokin anti-inflamasi yang diproduksi
dan disekresikan ketika terjadi inflamasi dan memodulasi reaksi inflamasi.
(Kebapcilar et al, 2010)
Sebagai pusat metabolisme, hati berperan dalam pengubahan vitamin D
menjadi 25(OH)D. Proses pengubahan ini dipercepat dengan adanya produksi
garam empedu dan kadar vitamin D sirkulasi. Kadar vitamin D sirkulasi akan
berpengaruh terhadap jumlah dan kecepatan uptake vitamin D tersebut ke dalam
hati. Sehingga, akan lebih banyak 25(OH)D yang terbentuk. (Seo et al, 2013)

Universitas Sumatera Utara

13

Selain itu, vitamin D dapat meningkatkan konsentrasi adiponectin melalui


penghambatan sistem RAS (Renin Angiotensin System). Sebaliknya, peningkatan
aktivitas RAS akan menurunkan fungsi vitamin D sehingga akan menurunkan
sekresi adiponectin yang merupakan zat protektif terhadap NAFLD. (Seo et al,
2013). Fungsi protektif adiponectin ini meliputi dua cakupan yaitu sebagai
antiinflamasi dan stimulator sensitivitas insulin. Apabila terjadi penurunan kadar
adiponectin, maka resistensi insulin juga akan terjadi. (Schwenger et al, 2014)
Terjadinya resistensi insulin akan meningkatkan aktivitas lipolisis jaringan
lemak perifer (peripheral adipose tissue) sehingga menyebabkan peningkatan
masuknya Free Fatty Acid (FFA) ke hepatocyte. Selain itu, keadaan
hyperinsulinemia dan hyperglycemia juga meningkatkan aktivitas lipogenesis
(pembentukan lemak) dan penghambatan oksidasi FFA secara tidak langsung. (Qu
et al, 2013) Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar vitamin D dapat
menyebabkan terjadinya NAFLD melalui mekanisme adiponectin dan resistensi
insulin. Selain itu, data yang diperoleh dari studi hewan coba melaporkan bahwa
defisiensi vitamin D akan semakin memperburuk NAFLD karena menyebabkan
peningkatan hepatic resistin dan aktivasi reseptor Toll. (Seo et al, 2013)
2.7. Diagnosis NAFLD
NAFLD tidak dapat ditentukan hanya dengan anamnesis saja karena
kebanyakan pasien tidak merasakan adanya gejala (asymptomatic). Namun, untuk
pasien yang mengalami obesitas (khususnya obesitas sentral), sindrom metabolik,
keluhan nyeri perut kanan atas, dan gangguan toleransi fisik (mudah lelah dan
sakit kepala) perlu curiga terhadap kemungkinan adanya NAFLD. Studi dari
Semarang melaporkan bahwa pasien dengan keluhan nyeri perut kanan atas
ditemukan sekitar 58.3%. Sedangkan, pasien dengan keluhan mudah lelah
ditemukan sekitar 36,1%. (Schwenger et al, 2014; Sari, 2012)
Studi dari India melaporkan bahwa hampir 90% subjek dengan diagnosa
NAFLD memiliki Achantosis nigricans, yaitu warna kehitaman pada kulit yang
terdapat di lipatan-lipatan tubuh. Hingga saat ini, adanya manifestasi tersebut
dipercaya memiliki hubungan dengan hyperinsulinemia. Di Ghuangzhou, deteksi

Universitas Sumatera Utara

14

NAFLD melalui palpasi abdomen berupa pembesaran hati (hepatomegali)


ditemukan sebesar 26%-50%. Selain itu, studi pada populasi Asia melaporkan
bahwa resistensi insulin (insulin resistence) merupakan manifestasi klinis pertama
yang ditemukan sebanyak 80% pada pasien NAFLD. (Schwenger et al, 2014 ;
Liao et al, 2013 ; Patell et al, 2014 ; Amarapurkar, 2011 ; Alvina, 2010)
Dari pemeriksaan darah, peningkatan enzim alanine aminotransferase
(ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) tanpa adanya gangguan/penyakit
hati lainnya dapat mengindikasikan NAFLD. Selain itu, perbandingan antara
kedua enzim tersebut (AST/ALT) kurang dari 1 ditemukan pada sekitar 50%
pasien simple steatosis dan sekitar 80% pada pasien NASH. Namun, kadar normal
enzim transaminase juga dapat ditemukan pada pasien NASH. Sehingga, hasil
pemeriksaan enzim ini hanya berfungsi sebagai langkah awal diagnostik bukan
sebagai kriteria diagnostik pasti karena sensitivitas dan spesifisitas yang rendah
(sekitar 64% dan 81%). (Schwenger et al, 2014 ; Berardis et al, 2013)
Alat diagnostik lainnya yaitu ultrasonography (USG). Penggunaan USG
ini dapat dijadikan sebagai media screening dan diagnostik lini pertama NAFLD
karena memiliki beberapa keuntungan yaitu aman (non-invasi) dan terjangkau
dengan kisaran sensitivitas 82-89% dan spesivisitas 93%. (Liao et al, 2014 &
Schwenger et al, 2014 ; Alvina, 2010)
Deteksi NAFLD menggunakan media USG mencapai 17-46% pada
populasi Eropa, USA, dan negara Asia. Sedangkan di China, deteksi penyakit ini
menggunakan media yang sama ditemukan sebesar 31% (pria) dan 16% (wanita)
diperoleh pada individu yang melakukan cek kesehatan rutin. Sementara itu,di
RSUP dr. Kariadi Semarang dilaporkan deteksi kasus ini sekitar 4-7% pada tahun
2005-2009. (Liao et al, 2014 ; Sari, 2012)
Diagnostik NAFLD melalui gambaran USG dapat ditegakkan apabila
terpenuhinya dua diantara tiga kriteria berikut:
1. Peningkatan pantulan hati (hyperechoic) terhadap limpa atau ginjal ;
2. Melemahnya pantulan pembuluh darah hati (hypoechoic) dan
3. Penurunan warna
menghitam).

terhadap

sinyal

ultrasonografi

(gambaran

Universitas Sumatera Utara

15

Namun, ketiga kriteria tersebut dapat dideteksi apabila minimal 30%-33%


hepatocyte telah terinfiltrasi oleh lemak. (Karimi et al, 2011 ; Patell et al, 2014)
Berdasarkan gambaran pada USG tersebut, infiltrasi lemak dapat dibagi
dalam tiga derajat, yaitu :
1. Ringan, ditandai dengan penyebaran ekogenitas ringan tanpa ada
kerusakan pembuluh darah intrahepatic ;
2. Sedang, peningkatan ekogenitas sedang yang disertai dengan sedikit
kerusakan pembuluh darah intrahepatic ;
3. Berat, peningkatan ekogenitas hati yang nyata yang disertai dengan
sulitnya identifikasi vena porta dan diafragma. (Sari, 2012)
Selain USG, alat diagnostik non-invasi lainnya yaitu Fatty Liver Index,
yang terdiri dari empat buah komponen yaitu :
1. Indeks Massa Tubuh (IMT) ;
2. Lingkar Pinggang ;
3. Kadar Trigliserida (TG) dan
4. Gama Glutamiltransferase (GGT)
Keempat komponen tersebut memiliki korelasi satu sama lain melalui
rumus berikut:

Indeks ini sudah digunakan pada studi populasi dengan ketepatan 0.84
dalam deteksi fatty liver. Apabila score yang diperoleh <30, maka hasil dapat
diabaikan. Namun, apabila mencapai

60, maka dapat dikategorikan hepatic

steatosis. (Schwenger et al, 2014)


Teknologi pencitraan lainnya seperti computed tomography (CT) dan
Nuclear Magnetic Resonance Imaging (Nuclear MRI) dapat digunakan dalam

Universitas Sumatera Utara

16

diagnosis NAFLD dengan beberapa pertimbangan. Kelebihan alat diagnostik ini


yaitu dapat menentukan jumlah lemak di hati. Namun, biaya yang diperlukan
dalam pemeriksaan ini sangat mahal. Selain itu, informasi yang diberikan dari
pencitraan ini tidak lebih baik jika dibandingkan dengan USG. (Schwenger et al,
2014)
2.8. Staging NAFLD
Untuk membedakan spektrum NAFLD, maka baku emas yang seharusnya
digunakan adalah pemeriksaan histopatologi (biopsi). Media ini dapat
membedakan simple steatosis, NASH dengan atau tanpa fibrosis/sirosis. Namun,
media ini digunakan setelah hasil pemeriksaan laboratorium dan USG
membuktikan adanya steatosis. (Sari, 2012 ; Schwenger et al, 2014)
Sayangnya, penggunaan biopsi ini kurang disukai karena sifatnya yang
invasi. Maka dari itu, penggunaan media non-invasi lainnya mulai diperkenalkan
yaitu NAFLD Fibrosis Score (NFS), Fibrometer, dan Fibroscan. Ketiga jenis
pemeriksaan ini memiliki fungsi, kelebihan, kekerurangan, dan variabel
pengukuran yang berbeda. (Schwenger et al, 2014)
Pada NFS, metode ini mengukur enam buah variabel yang terdiri dari usia,
kadar Indeks Massa Tubuh (IMT), hiperglikemia, jumlah trombosit, kadar
albumin, dan rasio AST/ALT. (Schwenger et al, 2014). Keenam variabel tersebut
berkorelasi satu sama lain melalui rumus berikut :

Selain sebagai media yang akurat untuk mengukur kemungkinan (probability)


terjadinya fibrosis, rumus ini juga dapat mengkategorikan ada atau tidaknya
fibrosis pasien NAFLD. Interpretasi hasil terhadap rumus ini terdiri dari tiga
macam, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

17

1. Rendah (kemungkinan kecil menjadi fibrosis), apabila nilai yang diperoleh


< -1.5
2. Sedang (kemungkinan sedang menjadi fibrosis), apabila nilai yang
diperoleh -1.5 < nilai < 0.67
3. Tinggi (kemungkinan besar menjadi fibrosis), nilai yang diperoleh > 0.67
(Schwenger et al, 2014)
Apabila telah terjadi fibrosis, maka media yang dapat digunakan untuk
mengukur persentase sel yang mengalami fibrosis tersebut yaitu fibroMeter. Sama
seperti NFS, fibroMeter ini juga menggunakan rumus dan mengukur beberapa
variabel yaitu usia, berat badan, KGD puasa, AST, ALT, ferritin, dan jumlah
trombosit. Rumus fibroMeter ini yaitu : (Schwenger et al, 2014)

Penilaian fibrosis tersebut juga dapat dilakukan tanpa penggunaan rumus


yaitu dengan fibroscan (transient elastography). Dalam menilai adanya fibrosis,
media ini menilai tingkat kekakuan hati melalui pemantulan gelombang yang
melewati kulit. Selanjutnya, gelombang tersebut akan mengalir melalui sirkulasi
dan bermuara pada hati. Kecepatan aliran gelombang ini akan diukur dengan alat
ultrasound. Selain itu, kecepatan aliran ini juga akan berhubungan dengan
kekakuan hati. Semakin besar kekakuan hati yang terukur, maka akan semakin
besar derajat fibrosis yang terjadi. Penilaian alat ini meliputi empat skala
penilaian, yaitu : (Schwenger et al, 2014)
1. Nilai 0, menunjukkan tidak ada steatosis;
2. Nilai 1, menunjukkan adanya fibrosis perivenular dan atau
perisinusoidal;
3. Nilai 2, menunjukkan adanya fibrosis pada pericellular dan portal;

Universitas Sumatera Utara

18

4. Nilai 3, menunjukkan adanya fibrosis pada septum (septal fibrosis);


5. Nilai 4, menunjukkan adanya sirosis. (Schwenger et al, 2014)
2.9. Terapi NAFLD
Dalam penatalaksanaan, NAFLD dimulai dengan terapi non farmakologi
terlebih dahulu yaitu melalui perubahan gaya hidup. Pengaturan kuantitas dan
kualitas makanan beserta aktivitas fisik dapat menunda progresivitas penyakit.
Sebuah studi melaporkan bahwa kombinasi antara aktivitas fisik, asupan
makanan, dan modifikasi pola hidup dapat menurunkan 7-10% berat badan pasien
obesitas dengan NASH. (Schwenger et al, 2014)
Terkadang, perubahan pola hidup tidak dapat memberikan hasil yang
efektif untuk beberapa kasus. Sehingga, dibutuhkan terapi obat seperti metformin
dan thiazolidinediones (TZD) yang merupakan obat sensitisasi insulin.
(Schwenger et al, 2014)
Metformin merupakan obat yang digunakan pada pasien diabetes mellitus
tipe 2. Obat ini dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara mengurangi
glukogeogenesis (hati) dan penyerapan glukosa pada usus. Dengan demikian,
stimulasi glukosa otot dan oksidasi FFA dapat terjadi. (Schwenger et al, 2014)
Sementara itu, thiazolidinediones (TZD) merupakan obat primer yang
digunakan untuk meningkatkan sensitisasi insulin di jaringan hati, otot, dan
lemak. Obat ini juga meningkatkan oksidasi asam lemak dan menurunkan
lipogenesis hati. Namun, beberapa studi melaporkan bahwa pemberian obat
sensitisasi insulin ini masih menjadi kontroversi. (Schwenger et al, 2014)
Penggunaan asam empedu sekunder seperti UDCA (ursodeoxycholic acid)
dilaporkan dapat menurunkan nilai enzim hati. Namun, zat ini tidak berpengaruh
pada jumlah lemak yang menginfiltrasi hati. (Schwenger et al, 2014)
Untuk menangani hiperlipidemia, digunakan N-3 PUFA. Beberapa studi
melaporkan adanya hubungan antara resistensi insulin dengan penggantian asam
lemak. Pada studi hewan coba dan manusia, zat ini dapat mengurangi steatosis

Universitas Sumatera Utara

19

dan meningkatkan sensitivitas insulin maupun mediator biokimia inflamasi.


(Schwenger et al, 2014)
Karena pasien NAFLD juga sering disertai dengan dislipidemia, maka
penggunaan statin juga diperlukan sebagai terapi. Tetapi, obat ini hanya digunakan
pada pasien yang mengalami dislipidemia. Sedangkan, pada pasien yang tidak
disertai gangguan tersebut, obat ini tidak memberikan efek yang berarti.
(Schwenger et al, 2014)
Untuk mengatasi masalah bakteri di usus, penggunaan prebiotik
merupakan terapi pilihan. Zat ini merupakan karbohidrat tak tercerna yang dapat
menstimulasi

pertumbuhan

bakteri.

Sedangkan,

pemberian

probiotik

(mikroorganisme hidup) dapat menurunkan enzim hati. (Schwenger et al, 2014)


Ternyata, vitamin E juga dapat digunakan sebagai salah satu terapi
NAFLD. Vitamin ini bekerja sebagai penghambat stress oxidative dan mengurangi
fibrosis hepatis. (Schwenger et al, 2014)
Selain perubahan pola hidup dan obat-obatan, penanganan melalui bedah
juga bisa menjadi pilihan seperti bariatric surgery. Melalui operasi ini, ukuran
lambung pasien dapat diperkecil. Sehingga, porsi makanan juga dapat berkurang.
Namun, indikasi pemilihan metode ini yaitu apabila pasien dengan IMT>40
2

kg/m . (Schwenger et al, 2014)


2.10. Prognosis NAFLD
Deteksi yang terlambat akan menyebabkan progresivitas simple steatosis
menjadi NASH. Data dari sebuah studi melaporkan bahwa prevalensi NASH
ditemukan pada sepertiga populasi NAFLD. Apabila keadaan ini terus berlanjut,
maka akan terjadi progresivitas NASH dan juga proses fibrosis. Kedua keadaan
ini merupakan faktor predisposisi terjadinya sirosis hati dengan tingkat kematian
sekitar 12%-25% dalam waktu 7-10 tahun. (Karimi et al, 2011)

Universitas Sumatera Utara

Вам также может понравиться