Вы находитесь на странице: 1из 11

PERCOBAAN VI

DISOLUSI
A. Tujuan
Mengetahui prosedur uji disolusi, cara perhitungan dan membuat kurva
hasil uji disolusi
B. Dasar Teori
1. Teori Umum
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula
obat tersebut harus larutan dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh,
suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak
dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu
tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat
tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan
dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus (Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran
cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya.
Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami
disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami
pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan
disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari
bentuk dimana obat tersebut diberikan ( Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau
reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami
dua langkah berturut-turut:
1.

Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang
tetap atau film disekitar partikel.

2.

Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.


(Gennaro, 1990)
Pada waktu suatu partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat

pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu


lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat.
Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini,
molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan
dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat

terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan


obat

yang dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi

tersebut berlanjut.
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau
jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti
itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya
menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel
obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis
yang diberikan, proses disolusinya sendiri merupakan tahap yang menentukan
laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa
diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak
seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi
setelah pemberian oral, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa
tinggal dalam lambung atau saluran usus halus.
(Martin, 1993)
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu
pecah menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media
pelarut menjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat
dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu
yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini
tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan
obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji
disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet.
Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah
dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam
tablet.
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan
obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Laju larut dapat
berhubungan

langsung

dengan

efikasi

(kemanjuran)

dan

perbedaan

bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi


mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila
berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi.
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet
diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan

mengapa penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu


yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi,
tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia,
ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran, besarnya
biaya yang diperlukan dan keharusan menganggap adanya hubungan yang
sempurna antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam
uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan
secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas
obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan
berbagai

metoda

pembuatan

yang

tampaknya

akan

mempengaruhi

bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk


menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro.
(Voigt, 1995)
2.

Faktor-faktor yang mempegaruhi laju disolusi


Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan

biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu:


a.

Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat


Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi

kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran
partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan
berperan

terhadap

munculnya

permasalahan

dalam

disolusi

seperti

terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi.


b.

Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan


Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan

cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada
kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan pelepasan
bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju disolusi akan
menurun secara berturut-turut sebagai berikut: suspensi, kapsul, tablet, dan
tablet salut. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat,
penghancur, dan pelicin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat
atau mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai.
Cara pengolahan dari bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang
dilaksanakan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh

pada laju disolusi. Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah
dapat menghasilkan granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses
pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama.
Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi di antaranya
kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan dan
porositas.
c.

Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji
Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang

meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji


yang dipakai. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan
tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak
dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk
zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi
tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan
in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di sepanjang
saluran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat.
Metode penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi
yang sama atau berbeda tergantung pada metode uji yang digunakan.
(Syukri, 2002)
3.

Alat Uji disolusi


USP memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan

tablet, kapsul dan produk khusus lain seperti sediaan transdermal. Apparatus
yang diberikan oleh USP dalam uji disolusi antara lain:
a.

Metode Rotating Basket (Alat 1)


Terdiri atas keranjang silindris yang ditahan oleh tangkai motor.

Keranjang menahan sampel dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi
media pelarutan. Keseluruhan lab tercelup dalam suatu bak yang bersuhu
konstan 37 oC.

b.

Metode Paddle (Alat 2)


Terdiri atas suatu dayung yang dilapis khusus yang berfungsi

memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat


secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang
terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas
bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan.

c.

Metode Reciprocating Cyllinder (Alat 3)


Terdiri atas serangkaian waddah gelas silindris, dasar datar yang

dilengkapi dengan reciprocating cylinder untuk uji pelarutan dari produk


extended release, terutama sediaan pelepasan modifikasi tipe butiran (bead)
tertentu.

d.

Metode Flow Cell (Alat 4)


Terdiri atas suatu reservoir untuk media pelarutan dan suatu pompa yang

mendorong media pelarutan melewati sel yang menahan cuplikan uji. Laju
aliran berentang dari 4 sampai 16 mL/ menit dengan suhu 37 oC.

e.

Metode Paddle Over Disk (Alat 5)


Terdiri atas suatu cuplikan atau rakitan piringan yang menahan produk.

Keseluruhan sediaan ditempatkan dalam suatu labu pelarutan yang terisi


dengan media tertentu yang dipertahankan pada 32 oC.

f.

Metode Cyllinder (Alat 6)


Digunakan untuk pengujian sediaan transdermal dan merupakan

modifikasi dari metode basket. Untuk peletakkan keranjang, suatu silinder


baja digunakan untuk menahan sampel. Sampel ditempatkan pada cuprohan
dan keseluruhan sistem ditempelkan pada silinder.
g.

Metode Reciprocating Disk (Alat 7)


Pada metode ini dilakukan untuk pengujian produk transdermal,

digunakan suatu rakitan motor penggerak untuk membalik sistem secara


vertikal dan sampel ditempatkan pada penahan yang berbentuk piringan
dengan menggunakan pendukung cuprophan.
(Shargel, 2005)
4.

Spektrofotometer UV-Vis
Adapun prinsip kerja alat spektrofotometer UV-Vis yaitu cahaya

polikromatik UV akan melewati monokromator yaitu suatu alat yang paling


umum dipakai untuk menghasilkan berkas radiasi dengan satu panjang
gelombang (monokromator). Berkas-berkas cahaya dengan panjang tertentu
kemudian akan dilewatkan pada sampel yang mengandung suatu zat dalam
konsentrasi tertentu. Oleh karena itu, terdapat cahaya yang diserap
(diabsorbsi) dan ada pula yang dilewatkan. Cahaya yang diserap diukur
sebagai absorbansi (A) sedangkan cahaya yang dilewatkan diukur sebagai
transmitansi (T), dinyatakan dengan hukum lambert-beer atau Hukum-Beer,

yang berbunyi jumlah radiasi cahaya tampak (ultraviolet, inframerah dan


sebagainya) yang diserap atau ditransmisikan oleh suatu larutan merupakan
suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal larutan.
Radiasi yang melewati sampel akan ditangkap oleh detektor yang berguna
untuk mendeteksi cahaya yang melewati sampel tersebut. Cahaya yang
melewati detektor diubah enjadi arus listrik yang dapat dibaca melalui
recorder dalam bentuk transmitansi absorbansi atau konsentrasi.
(Munson, 1991)
Dari hukum Lambert-Beer tersebut disimpulkan bahwa konsentrasi
larutan berbanding lurus dengan nilai serapan cahaya atau yang disebut juga
dengan absorban. Hal ini berarti, semakin besar konsentrasi suatu larutan
maka nilai absorban akan semakin besar, begitu juga sebaliknya.
(Wardiyah, 2014)
5.

Uraian Bahan

a.

Aquades
Air suling dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum. Pemerian

cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan dalam wadah tertutup baik (Anonim, 1987).
b.

Na2HPO4
Dinatrium hidrogenfosfat memiliki pemerian hablur tidak berwarna, tidak

berbau, rasa asin dan dalam udara kering merapuh. Kelarutan larut dalam
dalam 5 bagian air dan sukar larut dalam etanol (Anonim, 1987).
c.

K2HPO4
Kalium dihidrogen fosfat mengandung tidak kurang dari 98 % dan tidak

lebih dari 101,0 % K2HPO4 dengan pemerian serbuk hablur putih dan larut
dalam air. Kelarutan kalium dihidrogen fosfat adalah mudah larut air.
(Anonim, 1987)
d.

Tablet Cetirizine
Termasuk dalam obat-obatan antihistamin generasi kedua. Dosis dewasa

per hari adalah 5-10 mg dengan masa kerja obat selama 12 sampai 24 jam.
Cetirizine adalah metabolit aktif dari hidroksizin dengan kerja kuat dan
panjang (t1/2 8 sampai 10 jam). Bersifat hidrofil sehingga tidak bekerja sedatif

dan tidak kolinergis. Menghambat migrasi dari granulosit eosinofil yang


berperan pada reaksi alergi lambat. Digunakan pada urticaria dan rhinitis.
(Tjay, 2007)
6.

Uji Disolusi Tablet Cetirizine


Berdasarkan USP, uji disolusi tablet cetirizine dilakukan dengan

menggunakan apparatus 2 (Paddle) kecepatan 50 rpm, dengan medium


disolusi sebanyak 900 mL. Diambil sebanyak 5 mL dengan interval waktu 5,
10, 20, 30, 45 menit.
(Delina, 2015)

C.
1.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
2.
a.
b.
c.
d.

Alat dan Bahan


Alat
Alat uji disolusi
Apparatus 2 (Paddle)
Batang pengaduk
Filter Holder
Gelas Kimia 50 mL
Kaca arloji
Kuvet
Labu ukur 50 mL
pH meter
Selang kecil 15 cm
Spektrofotometer UV-Vis
Spuit 10 cc
Stopwatch
Vial
Bahan
Aquades
KH2PO4
Na2HPO4
Tablet Cetirizine 10 mg

D. Prosedur Kerja
a. Dibuat media disolusi dan digunakan sebagian untuk membuat kurva
b.

kalibrasi dengan spektrofotometri


Dimasukkan aquades ke dalam chamber disolusi dan diletakkan labu

c.
d.

disolusi pada lubang di atas chamber disolusi


Dipanaskan aquades dengan suhu 37 oC
Dimasukkan media disolusi, dipasang apparatus pada alat disolusi dan di

e.

cek suhu media disolusi (37 oC).


Ditutup labu disolusi, dipasang spuit 10 cc yang telah dihubungkan

f.
g.
h.

dengan filter holder dan selang kecil berukuran 15 cm


Dimasukkan tablet uji ke dalam alat disolusi melalui lubang yang tersedia
Dioperasikan alat disolusi sesuai dengan kecepatan yang telah ditentukan
Diambil 5-10 mL sampel uji menggunakan spuit dan dimasukkan ke

i.

dalam botol vial dengan selang waktu yang telah ditentukan


Diambil 5-10 mL media disolusi ke dalam labu disolusi untuk

j.
k.

menggantikan volume disolusi yang telah diambil sebelumnya


Ditentukan sampel uji dengan menggunakan spektrofotometer
Dibuat kurva disolusi

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1987. Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
Ansel, Howard C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press.
Jakarta.
Delina, Xhafaj. 2015. A Comparative Quality Control Study Of Cetirizine
Hydrochloride 10 mg Tablets On The Albanian Pharmaceutical Market.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences.
Volume 7. Nomor 1.
Martin, A. 1993. Farmasi Fisika. Edisi III. Penerbit UI Press. Jakarta.
Munson, J.W. 1991. Analisis Farmasi. Univeresitas Airlangga. Surabaya.
Gennaro, A. R. 1990. Remingtos Pharmaceutical Sciensces. Edisi 18th. Marck
Publishing Company. Easton. Pensylvania.
Shargel, L. dan Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi
Kedua. Airlangga University Press. Surabaya.
Syukri, Y. 2002. Biofarmasetika. UII Press. Jogjakarta
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan,
dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. PT Elex Media Komputindo.
Jakarta.
Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. UGM Press. Yogyakarta.
Wardiyah, Husnil. 2014. Perbandingan Reaksi Zat Besi Terhadap Teh Hitam
dan Teh Hijau Secara In Vitro dengan Menggunakan Spektrofotometer
Uv-Vis. Jurnal Kesehatan Andalas. Volume 3. Nomor 1.

Вам также может понравиться