Вы находитесь на странице: 1из 14

Streptococcus merupakan bakteri

gram-positif yang berbentuk coccus dan


tersusun seperti rantai. Bakteri ini
memfermentasi karbohidrat, nonmotil,
tidak membentuk spora, dan bersifat
katalase-negatif. Pada umumnya
Streptococcus merupakan bakteri
fakultatif anaerob yang membutuhkan
medium agar darah untuk berkembang
biak (1). Berdasarkan derajat
patogenisitasnya, terdapat lebih dari 50
genus Streptococcus, yang terdiri dari
enam kelompok spesies. Salah satunya
adalah kelompok bakteri pyogenik
dengan spesies Streptococcus betahemolyticus
Group A (2). Streptococcus
beta-hemolyticus Group A memiliki
kapsul asam hyaluronat (1).
Streptococcus beta-hemolyticus
Group A merupakan bakteri komensal
pada tenggorokan manusia. Selain
Streptococcus beta-hemolyticus Group A
terdapat Streptococcus alphahemolyticus,
Staphylococcus aureus,
Neisseria sp., dan Diptheroids.
Sebanyak kurang dari 10 % manusia
Universitas Kristen Maranatha

memiliki bakteri ini sebagai bakteri


komensal saluran nafas atas (3).
Prevalensi Streptococcus betahemolyticus
Group A di saluran nafas
atas pada anak-anak sekolah yang sehat
adalah sebesar 10-35% (4), dan paling
tinggi pada anak usia 3-15 tahun.
Prevalensi Streptococcus betahemolyticus
Group A dipengaruhi oleh
faktor lingkungan dan sosial. Di Iran,
prevalensi bakteri ini pada anak sekolah
usia 6-13 tahun adalah sebesar 11 %, di
Swedia sebesar 2%, di Israel 8.4%, dan
di Amerika Serikat sebesar 36% (5).
Karier Streptococcus beta-hemolyticus
Group A dapat menyebabkan infeksi
tenggorokan (6).
Streptococcus beta-hemolyticus
Group A merupakan bakteri yang paling
sering menyebabkan infeksi saluran
nafas atas yaitu faringitis. Kasus
faringitis di dunia karena bakteri ini
mencapai 616 juta kasus setiap
tahunnya, dimana prevalensi karier
Streptococcus beta-hemolyticus Group A
yang asimtomatik banyak terdapat pada
kultur sediaan apus tenggorok anak-anak

sekolah berusia 5-15 tahun, yaitu


sebanyak 9-34,1%. Di India prevalensi
faringitis akibat bakteri ini ditemukan
sebanyak 4,2-13,7%. Di Indonesia
faringitis banyak didapat pada anakanak
sebesar 18% (7), dan belum
ditemukan data pada orang dewasa.
Berdasarkan penelitian di Oslo, infeksi
ini paling sering terjadi pada anak-anak
usia 10 tahun (8). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa data prevalensi
Streptococcus beta-hemolyticus Group A
yang ada pada saat ini hanya pada anakanak
saja.
Berdasarkan data epidemiologi, kasus
faringitis yang dapat berkembang
menjadi demam rematik akut sebesar
3% (9). Demam rematik masih menjadi
masalah kesehatan yang penting di
negara yang sedang berkembang, karena
sebanyak 60% pasien dengan demam
rematik akut akan mengalami kelainan
pada katup jantungnya dan
menyebabkan timbulnya penyakit
jantung rematik (9). Penyakit jantung
rematik merupakan sekuel
kardiovaskular non-supuratif dari
faringitis akibat infeksi Streptococcus
beta-hemolyticus Group A dan
merupakan penyebab utama dari
acquired heart disease pada anak-anak
terutama di negara yang sedang
berkembang (6).
Prevalensi bakteri Streptococcus beta-hemolyticus Group A sering ditemukan pada anakanak
usia 3-15 tahun. Bakteri ini dapat menimbulkan faringitis. Faringitis dapat berkembang
menjadi
demam rematik dan menyebabkan komplikasi penyakit jantung rematik jika tidak diobati.
Demam
rematik sering terjadi pada anak-anak, namun tetap dapat terjadi pada orang dewasa.
Data
prevalensi Streptococcus beta-hemolyticus Group A sejauh ini adalah pada anak usia di
bawah 15
tahun. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi dengan usia 1821
tahun.

Terapi untuk faringitis bakterial diberikan antibiotik terutama bila diduga


penyebab faringitis akut ini grup A Streptokokus hemolitikus. Dapat juga
diberikan Penicilin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau
amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada
dewasa 3 x 500mg selama 6-10 hari, jika pasien alergi terhadap penisilin

maka diberikan eritromisin 4x500 mg/hari. Kumur dengan air hangat atau
antiseptik beberapa kali sehari (Rusmarjono, 2007).
Sejumlah antibiotik terbukti efektif pada terapi faringitis oleh
Streptococci grup A, yaitu mulai dari Penicillin dan derivatnya, sefalosporin
maupun makrolida. Penicillin tetap menjadi pilihan karena efektivitas dan
keamanannya sudah terbukti, spektrum sempit serta harga yang terjangkau.
Amoksisilin menempati tempat yang sama dengan penicilin, khususnya pada
anak-anak dan menunjukkan efektifitas yang setara. Lama terapi dengan
antibiotik oral rata-rata selama 10 hari untuk memastikan eradikasi
Streptococcus (Depkes, 2005).

Pengobatan yang Rasional


Agar tercapai tujuan pengobatan yang efektif, aman dan ekonomis, maka
pemberian obat harus memenuhi prinsip-prinsip farmakoterapi sebagai
berikut:
a. Tepat indikasi adalah berkaitan dengan penentuan perlu tidaknya suatu
obat
yang yang diberikan dilihat dari keluhan atau dari diagnosis yang tertulis di
rekam medik.
b. Tepat obat yaitu pemilihan obat merupakan drug of choice untuk penyakit
yang diderita pasien.
c. Tepat pasien adalah ketepatan pemberian antibiotik pada anak yang sesuai
dengan kondisi fisiologis, patologis pasien anak serta tidak memiliki
kontraindikasi pada anak. Ketepatan pasien ini juga dipengaruhi oleh riwayat
penyakit yang pernah diderita oleh pasien.
d. Tepat dosis meliputi kesesuaian besar dosis, frekuensi pemberian dan
durasi.
e. Informasi untuk pasien secara tepat yaitu dengan memberitahu efek
samping obat, cara pemakaian dan informasi tambahan lainnya yang perlu

disampaikan kepada pasien. Informasi yang tepat dan benar dalam


penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi
(Depkesa, 2008).
Komplikasi
Komplikasi umum pada faringitis termasuk sinusitis, otitis media, epiglottitis,
mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan infeksi streptokokus
jika tidak diobati dapat menyebabkan demam reumatik akut, peritonsillar
abses, peritonsillar cellulitis, abses retrofaringeal, toxic shock syndrome dan
obstruksi saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring. Demam
reumatik akut dilaporkan terjadi pada1 dari 400 infeksi GABHS yang tidak
diobati (John R. Acerra, 2013).

Diagnosis biasanya dibuat tanpa kesulitan, terutama bila terdapat tanda dan gejala yang mengarah
ke faringitis. Biakan tenggorokan membantu dalam menentukan organisme penyebab faringitis,
dan untuk membedakan faringitis karena bakteri atau virus. Sangatlah penting untuk mengetahui
onset, durasi, progresifitas dan tingkat keparahan dari gejala yang menyertai seperti demam,
batuk, kesukaran bernafas, pembengkakan limfonodi, paparan infeksi, dan adanya penyakit
sistemik lainnya seperti diabetes dan lain-lain. Faring harus diperiksa apakah terdapat tanda-tanda
eritem, hipertrofi, adanya benda asing, eksudat, massa, petechie dan adenopati (Miriam T.
Vincent, 2004).
Juga penting untuk menanyakan gejala yang dialami pasien seperti demam, timbulnya ruam kulit
(rash), adenopati servikalis dan coryza. Jika dicurigai faringitis yang disebabkan oleh
Streptococcus, seorang dokter harus mendengar adanya suara murmur pada jantung dan
mengevaluasi apakah pada pasien terdapat pembesaran lien dan hepar. Apabila terdapat tonsil
eksudat, pembengkakan kelenjar limfe leher, tidak disertai batuk dan suhu badan meningkat
sampai 38C maka dicurigai adanya faringitis karena infeksi GABHS (Alan, et.al.,2001)
Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri
GABHS. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan swab dilakukan
pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada
agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan
diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90-99 %.
Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari 10 hari
(Miriam T. Vincent, 2004).

Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak. National Ambulatory Medical
Care Survey dan National Hospital Ambulatory Medical Care Survey telah mendokumentasikan
antara 6,2-9,7 juta kunjungan anak-anak dengan faringitis ke klinik dan departemen gawat darurat
setiap tahun, dan lebih dari 5 juta kunjungan orang dewasa per tahun (Mary T. Caserta, 2009).
Menurut National Ambulatory Medical Care Survey, infeksi saluran pernafasan atas, termasuk
faringitis akut, dijumpa 200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di Amerika
Serikat (Alan L. Bisno, 2001).

Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-kira


15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis
pada orang dewasa terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari infeksi Group
A Streptococcus. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari 3 tahun
(John R Acerra, 2013).

Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya
daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi
makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, dan
seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan
atau demam (Jill Gore, 2013).

FARINGITIS Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas
ke jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan
tonsilitis, rhinitis dan laryngitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 th
di daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih
memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak.13 4.1.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS 4.1.1. TANDA, DIAGNOSIS & PENYEBAB
Faringitis mempunyai karakteristik yaitu demam yang tiba-tiba, nyeri
tenggorokan, nyeri telan, adenopati servikal, malaise dan mual. Faring, palatum,
tonsil berwarna kemerahan dan tampak adanya pembengkakan. Eksudat yang
purulen mungkin menyertai peradangan. Gambaran leukositosis dengan
dominasi neutrofil akan dijumpai. Khusus untuk faringitis oleh streptococcus
gejala yang menyertai biasanya berupa demam tiba-tiba yang disertai nyeri
tenggorokan, tonsillitis eksudatif, adenopati servikal anterior, sakit kepala, nyeri
abdomen, muntah, malaise, anoreksia, dan rash atau urtikaria.32 Faringitis
didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan, kultur swab tenggorokan.
Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90-95% dari diagnosis, sehingga lebih
diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis yang diandalkan.27 Faringitis
yang paling umum disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes yang
merupakan Streptocci Grup A hemolitik. Bakteri lain yang mungkin terlibat
adalah Streptocci Grup C, Corynebacterium diphteriae, Neisseria Gonorrhoeae.
Streptococcus Hemolitik Grup A hanya dijumpai pada 15-30% dari kasus
faringitis pada anak-anak dan 5-10% pada faringitis dewasa. Penyebab lain yang
banyak dijumpai adalah nonbakteri, yaitu virus-virus saluran napas seperti
adenovirus, influenza, parainfluenza, rhinovirus dan respiratory syncytial virus
(RSV). Virus lain yang juga berpotensi menyebabkan faringitis adalah echovirus,
coxsackievirus, herpes simplex virus (HSV). Epstein barr virus (EBV) seringkali
menjadi penyebab faringitis akut yang menyertai penyakit infeksi lain. Faringitis
oleh karena virus dapat merupakan bagian dari influenza.
4.1.2. FAKTOR RISIKO
Riwayat demam rematik

HIV positif, pasien dengan kemoterapi, immunosuppressed


Diabetes Mellitus
Kehamilan
Pasien yang sudah memulai antibiotik sebelum didiagnosis
Nyeri tenggorokan untuk selama lebih dari 5 hari
4.1.3. KOMPLIKASI
Sinusitis
Otitis media
Mastoiditis
Abses peritonsillar
Demam rematik
Glomerulonefritis.
4.2. RESISTENSI Resistensi terhadap Streptococcus Grup A dijumpai di beberapa
negara terhadap golongan makrolida dan azalida, namun tidak terhadap
Penicillin
4.3. TERAPI
4.3.1. OUTCOME Mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi penyebaran
infeksi serta membatasi komplikasi.
4.3.2. TERAPI POKOK
Terapi antibiotika ditujukan untuk faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus
Grup A, sehingga penting sekali untuk dipastikan penyebab faringitis sebelum
terapi dimulai. Terapi dengan antibiotika dapat dimulai lebih dahulu bila disertai
kecurigaan yang tinggi terhadap bakteri sebagai penyebab, sambil menunggu
hasil pemeriksaan kultur. Terapi dini dengan antibiotika menyebabkan resolusi
dari tanda dan gejala yang cepat.
Namun perlu diingat adanya 2 fakta berikut:
- Faringitis oleh Streptococcus grup A biasanya sembuh dengan sendirinya,
demam dan gejala lain biasanya menghilang setelah 3-4 hari meskipun tanpa
antibiotika.
- Terapi dapat ditunda sampai dengan 9 hari sejak tanda pertama kali muncul
dan tetap dapat mencegah komplikasi.
Sejumlah antibiotika terbukti efektif pada terapi faringitis oleh Streptococcus
grup A, yaitu mulai dari Penicillin dan derivatnya, cefalosporin maupun
makrolida. Penicillin tetap menjadi pilihan karena efektivitas dan keamanannya

sudah terbukti, spektrum sempit serta harga yang terjangkau. Amoksisilin


menempati tempat yang sama dengan penicilin, khususnya pada anak dan
menunjukkan efektivitas yang setara. Lama terapi dengan antibiotika oral ratarata selama 10 hari untuk memastikan eradikasi Streptococcus, kecuali pada
azitromisin hanya 5 hari. Berikut ini adalah panduan pemilihan antibiotika yang
dapat digunakan.
Tabel 4.1 Antibiotika pada terapi Faringitis oleh karena Streptococcus Grup A

Untuk infeksi yang menetap atau gagal, maka pilihan antibiotika yang tersedia
adalah eritromisin, cefaleksin, klindamisin ataupun amoksisilinklavulanat.

Terapi faringitis non-streptococcus meliputi terapi suportif dengan menggunakan


parasetamol atau ibuprofen, disertai kumur menggunakan larutan garam hangat
atau gargarisma khan. Jangan menggunakan aspirin pada anak-anak karena
dapat meningkatkan risiko Reyes Syndrome. Tablet hisap yang mengandung
antiseptik untuk tenggorokan dapat pula disarankan. 4.3.3. TERAPI PENDUKUNG
Analgesik seperti ibuprofen
Antipiretik
Kumur dengan larutan garam, gargarisma khan
Lozenges/ Tablet hisap untuk nyeri tenggorokan.
http://binfar.kemkes.go.id/v2/wp-content/uploads/2014/02/PC_INFEKSI.pdf

a. Penisilin
Penicilin merupakan derivat -laktam pertama yang memiliki aksi
bakterisidal dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel
bakteri. Masalah resistensi akibat penicilinase mendorong lahirnya
terobosan dengan ditemukannya derivat penicilin seperti methicilin,
fenoksimetil penicilin yang dapat diberikan oral, karboksipenicilin yang
memiliki aksi terhadap Pseudomonas sp. Namun hanya
Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai di Indonesia yang lebih dikenal
dengan nama Penicilin V. Spektrum aktivitas dari fenoksimetilpenicilin
meliputi terhadap Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae
serta aksi yang kurang kuat terhadap Enterococcus faecalis. Aktivitas
terhadap bakteri Gram negative sama sekali tidak dimiliki. Antibiotik ini
diabsorbsi sekitar 60-73%, didistribusikan hingga ke cairan ASI sehingga
waspada pemberian pada ibu menyusui. Antibiotika ini memiliki waktu
paruh 30 menit, namun memanjang pada pasien dengan gagal ginjal
berat maupun terminal, sehingga interval pemberian 250 mg setiap 6 jam.
Terobosan lain terhadap penicilin adalah dengan lahirnya derivat penicillin
yang berspektrum luas seperti golongan aminopenicilin (amoksisilin) yang
mencakup E. Coli, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae. Penambahan gugus laktamase inhibitor seperti klavulanat memperluas cakupan hingga
Staphylococcus aureus, Bacteroides 22 catarrhalis. Sehingga saat ini
amoksisilin klavulanat merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat
mentoleransi alternatif lain setelah resisten dengan amoksisilin. Profil
farmakokinetik dari amoksisilin-klavulanat antara lain bahwa absorpsi
hampir komplit tidak dipengaruhi makanan. Obat ini terdistribusi baik ke
seluruh cairan tubuh dan tulang bahkan dapat menembus blood brain
barrier, namun penetrasinya ke dalam sel mata sangat kurang.
Metabolisme obat ini terjadi di liver secara parsial. Waktu paruh sangat
bervariasi antara lain pada bayi normal 3,7 jam, pada anak 1-2 jam,
sedangkan pada dewasa dengan ginjal normal 07-1,4 jam. Pada pasien
dengan gagal ginjal berat waktu paruh memanjang hingga 21 jam. Untuk
itu perlu penyesuaian dosis, khususnya pada pasien dengan klirens
kreatinin < 10 ml/menit menjadi 1 x 24 jam.
b. Cepalosporin
Merupakan derivat -laktam yang memiliki spektrum aktivitas bervariasi
tergantung generasinya. Saat ini ada empat generasi cefalosporin,
meliputi rute pemberian dan sprektrum aktivitas yang berbeda.
Cefotaksim pada generasi tiga memiliki aktivitas yang paling luas di
antara generasinya meliputi Pseudominas aeruginosa, B. Fragilis meskipun
lemah. Cefalosporin yang memiliki aktivitas yang kuat terhadap
Pseudominas aeruginosa adalah ceftazidime setara dengan cefalosporin
generasi keempat, namun aksinya terhadap bakteri Gram positif lemah,
sehingga sebaiknya agen ini disimpan untuk mengatasi infeksi nosokomial
yang melibatkan pseudomonas. Spektrum aktivitas generasi keempat
sangat kuat terhadap bakteri Gram positif 23 maupun negatif, bahkan
terhadap Pseudominas aeruginosa sekalipun, namun tidak terhadap B.

fragilis. Empat generasi cephalosporin mengacu pada tabel 8. Tabel 8.


Empat Generasi Cefalosporin (Anonim, 2005) Generasi Rute pemberian
Spektrum aktivitas Peroral Parenteral Pertama Cefaleksin Cefaleksin
Stapylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, E. Coli, Klebsiella spp. Cefradin
cefazolin Cefradoksil Kedua Cefaklor Cefamandole s.d.a. kecuali
Cefuroksim memiliki aktivitas tambahan terhadap Neisseria gonorrhoeae
Cefprozil Cefmetazole Cefuroksim Cefuroksim Cefonicid Ketiga Cefiksim
Cefiksim Stapylococcus aureus (paling kuat pada cefotaksim bila
disbanding preparat lain pada generasi ini), Streptococcus pyogenes,
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, E. Coli, Klebsiella
spp.Enterobacter spp, Serratia marcescens. Cefpodoksim Cefotaksim
Cefditoren Ceftazidime Cefoperazone Ceftizoxime Keempat Cefepime
Stapylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, E. Coli, Klebsiella spp.Enterobacter
spp, Serratia marcescens. Cefpirome Cefclidin Cefotaksim pada generasi
tiga memiliki aktivitas yang paling luas di antara generasinya meliputi
Pseudominas aeruginosa, B. Fragilis meskipun lemah. Cefalosporin yang
memiliki aktivitas yang kuat terhadap Pseudominas aeruginosa adalah
ceftazidime setara dengan cefalosporin generasi keempat, namun aksinya
terhadap bakteri Gram positif lemah, sehingga sebaiknya agen ini 24
disimpan untuk mengatasi infeksi nosokomial yang melibatkan
pseudomonas. Spektrum aktivitas generasi keempat sangat kuat terhadap
bakteri Gram positif maupun negatif, bahkan terhadap Pseudominas
aeruginosa sekalipun, namun tidak terhadap B. fragilis.
c. Makrolida
Komponen lain golongan makrolida merupakan derivat sintetik dari
eritromisin yang struktur tambahannya bervariasi antara 14-16 cincin
lakton. Derivat makrolida tersebut terdiri dari spiramysin, midekamisin,
roksitromisin, azitromisin dan klaritromisin. Azitromisin memiliki aktivitas
yang lebih poten terhadap Gram negatif, volume distribusi yang lebih luas
serta waktu paruh yang lebih panjang. Klaritromisin memiliki sifat secara
farmakokinetika yang meningkat (waktu paruh plasma lebih panjang,
penetrasi ke jaringan lebih besar) serta peningkatan aktivitas terhadap H.
Influenzae, Legionella pneumophila. Sedangkan roksitromisin memiliki
aktivitas setara dengan eritromisin, namun profil farmakokinetiknya
mengalami peningkatan sehingga lebih dipilih untuk infeksi saluran
pernapasan. Profil keamanan lebih baik dibandingkan dengan eritromisin
dan derivate ini dapat meningkatkan kepatuhan pasien.
d. Tetrasiklin
Tetrasiklin adalah golongan antimikrobial hasil biosintesis yang memiliki
spektrum aktivitas luas. Mekanisme kerjanya memblokade terikatnya
asam amino ke ribosom bakteri. Aksi yang ditimbulkannya adalah
bakteriostatik yang luas terhadap gram positif, gram negatif, chlamydia,
mycoplasma, bahkan riketsia. Generasi pertama meliputi tetrasiklin,
oksitetrasiklin, klortetrasiklin. 25 Generasi kedua merupakan
penyempurnaan dari sebelumnya yang terdiri dari doksisiklin, minosiklin.
Generasi kedua memilki karakteristik farmakokinetik yang lebih baik yaitu

antara lain memiliki volume distribusi yang lebih luas karena sifat
lipofiliknya, selain itu bioavailabilitas lebih besar, demikian pula waktu
paruh eliminasi yang terlihat lebih panjang (> 15 jam). Doksisiklin dan
minosiklin tetap aktif terhadap stafilokokus yang resisten terhadap
tetrasiklin.
e. Kuinolon
Golongan quinolon merupakan antimikrobial oral yang memberikan
pengaruh yang dramatis dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu
asam nalidiksat berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat,
cinoksacin, norfloksacin. Generasi berikutnya yaitu generasi kedua terdiri
dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin, lomefloksasin,
fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi
community-acquired maupun infeksi nosokomial. Mekanisme kerja
golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat DNA-girase.
Profil farmakokinetik yang sangat terlihat dalah bioavailabilitas yang
tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang. Sebagai contoh ciprofloksasin
memiliki bioavailabilitas berkisar 50-70%, waktu paruh 3-4 jam, serta
konsentrasi puncak sebesar 1,51-2,91 mg/L setelah pemberian dosis
500mg. Resistensi merupakan masalah yang menghadang golongan
quinolon di seluruh dunia karena penggunaan yang luas
f. Sulfonamida
Sulfonamida merupakan salah satu antimikroba tertua yang masih
digunakan. Preparat sulfonamida yang paling banyak digunakan adalah 26
sulfametoksazol yang dikombinasikan dengan trimetoprim yang lebih
dikenal dengan nama kotrimoksazol. Mekanisme kerja sulfametoksazol
adalah dengan menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim
menghambat reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga
menghambat enzim pada alur sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat
sinergis ini menyebabkan pemakaian yang luas pada terapi infeksi
community-acquired seperti sinusitis, otitis media akut, infeksi saluran
kencing. Aktivitas antimikroba yang dimiliki kotrimoksazol meliputi kuman
gram negatif seperti e. coli, klebsiella, enterobacter sp, M morganii, P.
mirabilis, P. vulgaris, H. Influenza, salmonella serta gram-positif seperti S.
Pneumoniae, Pneumocystis carinii., serta parasit seperti Nocardia sp
(Anonim, 2005).
http://eprints.ums.ac.id/9901/4/K100060054.pdf
https://fkunand2010.files.wordpress.com/2012/12/02-ffy-faringitis-akut.pdf
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
- Faringitis streptokokus grup A : nyeri tenggorok, disfagia, eksudat
tonsil/faring, demam (diatas 38oC ), pembesaran kelenjar leher
anterior, tidak ada batuk.
- Faringitis karena virus : rhinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis.
Pada beberapa kasus disertai diare, ulkus di palatum mole dan dinding
faring serta eksudat di palatum dan tonsil yang sulit dibedakan
dengasn eksudat karena faringitis streptokokus.
Pemeriksaan Penunjang

Baku emas: pemeriksaan kultur apusan tenggorok Pemeriksaan kultur


ulang setelah terapi tidak rutin direkomendasikan
Rapid antigen detection test Untuk mendeteksi antigen Streptokokus
grup A. mempunyai spesifisitas tinggi, sensitifitas rendah.
Tes antibodi terhadap streptococcus (ASTO) Tidak mempunyai nilai
dalam penegakan diagnosis maupun penanganan faringitis
streptokokus

1.
-

TATA LAKSANA UMUM


Istirahat cukup
Pemberian nutrisi dan cairan yang cukup
Pemberian obat kumur dan obat hisap pada anak yang lebih besar
untuk mengurangi nyeri tenggorok
- Pemberian antipiretik, dianjurkan parasetamol atau ibuprofen
2. TERAPI ANTIBIOTIK
- Pemberian antibiotik harus berdasarkan gejala klinis dugaan faringitis
streptokokus dan diharapkan didukung hasil Rapid antigen detection
test dan/atau kultur positif dari usap tenggorok.
- Tujuan : untuk menangani fase akut dan mencegah gejala sisa.
- Antibiotik empiris dapat diberikan pada anak dengan klinis mengarah
ke faringitis streptokokus, tampak toksik dan tidak ada fasilitas
pemeriksaan laboratorium
3. Golongan penisilin (pilihan utk faringitis streptokokus)
- penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis selama 10 hari
atau
- Amoksisilin 50mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari.
- Bila alergi penisilin dapat diberikan
a. Eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari atau
b. Eritromisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari dengan pemberian 2,3 atau
4 kali perhari selama 10 hari.
c. Makrolid baru misalnya azitromisin dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari
selama 3 hari
- Tidak dianjurkan: antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II
karena resiko resistensi lebih besar

Вам также может понравиться