Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut (peritoneum). Peritoneum merupakan selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa
terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan pathogenesis disebabkan oleh
infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan yang biasanya
disertai dengan bakterisemia dan sepsis.1
Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi microbial, peritonitis
diklasifikasikan menjadi : primer, sekunder, tersier. Peritonitis primer disebakan
oleh infeksi monomikrobial. Sumber infeksi umumnya ekstraperitonial yang
menyebar secara hematogen. Kejadian peritonitis primer kurang dari 5% kasus
bedah. Peritonistis sekunder merupakan infeksi yang berasal dari intraabdomen
yang umumnya berasal dari perforasi organ beronngga. Peritonitis sekunder
merupakan jenis peritonitis yang paling sering, lebih dari 90% kasus bedah.1
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi
akibat
penyebaran
infeksi
dari
organ-organ
abdomen
misalnya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Peritonitis adalah suatu proses inflamasi membrane serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya.3
Apendisitis adalah infeksi pada apendiks karena tersumbatnya lumen oleh
fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid dan cacing usus. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama apendisitis.4
2.2. Etiologi
Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang
berbeda dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya
peritonitis tidak berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi
tidak berhubungan langsung dengan gangguan organ gastrointestinal), sedangkan
pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas traktus (perforasi) tersebut
baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi. Peritoneum dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing. Peritonitis sekunder,
antara lain apendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum),
perforasi
colon
(sigmoid)
karena
diverticulitis,
volvulus,
kanker,
dan
stranggulasi.5
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit,
tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab
lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang
berakibat
timbulnya
sumbatan
fungsional
apendiks
dan
meningkatnya
Amerika
Serikat
setiap
tahunnya
terdapat
250.000
kasus
apendisitis. Insiden apendisitis paling tinggi pada usia 10-30 tahun, dan
jarang ditemukan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Setelah usia 30 tahun
insiden
individu. Pada remaja dan dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki
dan perempuan sekitar 3 : 2. Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun
sampai pada usia pertengahan 30 tahun menjadi seimbang antara laki-laki dan
perempuan.7
2.4. Klasifikasi
2.4.1. Peritonitis
Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi mikrobial, peritonitis
diklasifikasikan menjadi: primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer
disebabkan
oleh
infeksi
monomikrobial.
Sumber
infeksi
umumnya
B. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.
C. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal,
dan pelvic.
D. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis
umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik.
E. Apendisitis Kronis
Apendisitis kronis merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai
proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi
rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronis
baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan
bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik. Secara histologis, dinding apendiks menebal, sub mukosa dan
muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan
eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa
tampak dilatasi.
2.5. Patofisiologi
2.5.1. Peritonitis
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Abses yang terbentuk di antara perlekatan fibrinosa mengumpul
menjadi satu sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, namun pita-pita fibrosa dapat muncul sehingga menyebabkan
obstruksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat
dan agresif maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator
inflamasi seperti interleukin menimbulkan berbagai respon tubuh sebagai tanda
peradangan misalnya demam, nyeri pada bagian yang mengalami inflamasi dan
sebagainya. Apapun respons patologis yang terjadi, tubuh tetap akan
10
2.5.2. Apendisitis
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut
semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfa yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan
terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah,
dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan
bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren.
Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh
itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.10
2.6. Manifestasi Klinis
2.6.1. Peritonitis
Manifestasi klinis peritonitis diantaranya adalah adanya keluhan yakni
nyeri abdomen, distensi abdomen, demam yang terkadang disertai menggigil,
BAB dan buang angin berkurang atau tidak sama sekali, lemah, BAK sedikit,
mual dan muntah serta anoreksia.11
2.6.2. Apendisitis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh
radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat. nyeri kuadran
bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
11
hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat
dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara
umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot
dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi
dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri
tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat
diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. nyeri pada defekasi menunjukkan ujung
apendiks berada dekat rektum. nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa
ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada
bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda Rovsing dapat timbul dengan
melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan
nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri
menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi
pasien memburuk.12
2.7. Diagnosis
A. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut
nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan
pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi
atau sepsis juga perlu diperhatikan. 13
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya
tidak baik. Demam dengan temperatur >38C biasanya terjadi. Pasien dengan
sepsis hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan
karena mual dan muntah, demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga
abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien
bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin
berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan
syok sepsis. 13
12
13
14
meropenem,
piperacillin-tazobactam,
dan
ticarcillin-
clavulanic acid
Combination agents : aminoglycoside plus antianaerobe, aztreonam
plus clindamycin, cefuroxime plus metronidazole. Ciprofloxacine plus
dilakukan
secara
terbuka
atau
laparoskopi.
Bila
15
2.10.
Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-
faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit
primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan,
serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada
pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien
dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal.
16
16
BAB 3
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama
: Tamba Cibro
Umur
: 21 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Nomor MR
: 00.66.48.99
Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Telaah
RPT
:-
RPO
:-
Status Presens
Kesadaran
: CM
Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
Denyut Nadi
: 80 X/menit
Laju Nafas
: 20 X/menit
Temperatur
: 37,2 C
Pemeriksaan Fisik
17
Kepala : Mata: Konj. Palpebra anemis (-/-), Refleks cahaya (+/+), Pupil isokor
(+/+), pupil (3cm/3cm)
T/H/M : Dalam batas normal
Leher
: TVJ: R-2cmH20
Toraks : Inspeksi
: Simetris Fusiformis
Palpasi
: SF kiri = kanan
Perkusi
: sonor
Auskultasi : SP : vesikuler
Abdomen : Inspeksi
ST : -
: Distensi
Auskultasi
: Peristaltik (+)
Perkusi
: Timpani
Palpasi
Ekstremitas :
Inferior : edema -/-, dalam batas normal
Superior: edema -/-, dalam batas normal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (22-01-2016):
Pemeriksaan
Darah Lengkap
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
Waktu Protrombin
PT
aPTT
TT
INR
Fungsi Hati
Albumin
Kadar Gula Darah
KGD (sewaktu)
Fungsi Ginjal
Hasil
Rujukan
15,2
44,1
21,71
240
11,7 15,5
38 44
4,5 11,0
150 450
16,9
34,9
13,5
1,2
14
34,5
17,5
4,1
3,5 5,0
123
<200
18
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
19,2
0,79
8,9 - 20,6
0,70 1,30
133
3,7
104
135 155
3,6 5,5
96 106
19
P
Tanggal
Sens : CM
24-012016
Dema
m (-)
TD
:120/80
mmHg
Nyeri
2016
luka
(Ruanga
operas
n)
TD
Nyeri
2016
luka
(Ruanga
operas
n)
20
-Bed rest
-IVFD RL 20
-Bed rest
-IVFD RL 20
gtt/menit
-Inj.
Ceftriaxon
HR :82 x/i
e
1gr/12
Post
jam
RR :20 x/i
Explorasi
-Drips.
T : 37,0o C
MetronidaLaparatomi
Abdomen :
zole 500/8
+
jam
I : simetris, luka
Apendectom -Inj. Ranitidin
op tertutup
50
mg/8
y
P : soepel
jam
-Inj. Ketorolac
P : tympani
30mg/8
A: peristaltik (+)
jam
-GV
N
Sens : CM
26-01-
Anjura
gtt/menit
TD
:120/80
-Inj.
Ceftriaxon
mmHg
e
1gr/12
HR :84 x/i
Post
jam
-Drips.
RR :18 x/i
Explorasi
MetronidaT : 37,1o C
Laparatomi
zole 500/8
Abdomen :
+
jam
Inj.
Ranitidin
I : simetris, luka Apendectom
50
mg/8
op tertutup
y
jam
P : soepel
-Inj. Ketorolac
30mg/8
P : tympani
jam
A: peristaltik (+)
-GV
Sens : CM
25-01-
Terapi
:120/80
-Bed rest
-IVFD RL 20
gtt/menit
-Inj.
mmHg
Ceftriaxon
HR :84x/i
e
1gr/12
Post
RR :20 x/i
jam
Explorasi
o
Drips.
T : 37,2 C
Laparatomi
MetronidaAbdomen :
zole 500/8
+
I : simetris, luka
jam
Apendectom
Inj.
Ranitidin
op tertutup
y
50
mg/8
P : soepel
jam
21
22
BAB 4
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz, SI,. Peritonitis dan Abses intra abdomen. Intisari Prisip-prinsip
ilmu bedah, EGC Jakarta 2000 : hal. 489-493.
2. Jehan, VH., Peran C reaktif protein dalam menetukan diagnose Apendisistis
Akut.Repository
USU
2011.
Available
from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter%20II.pdf].
7. Sibuea.S.H,
apendiks
vermiformis,
2014.
[Available
From
:
http://eprints.undip.ac.id/44874/3/Siti_Hardiyanti_Sibuea_22010110110069_
Bab2KTI.pdf].
8. Honore C, Sourrouille I, Suria S, Chalumeau-Lemoine L, et al. Postoperative
peritonitis without an underlying digestive fistula after complete cytoreductive
surgery plus HIPEC. The Saudi Journal of Gastroenterology.2013;19(6):2717.
9. Price, Silvia. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 1. Jakarta:EGC.2006.
10. Williams, Norman S., Christopher J, Bulstrode., Ronan, OConnell., 2013.
Bailey & Loves Short Practice of Surgery 26 th Edition. CRC Press : London.
11. Mclatchie, Grg, et al. Oxford Handbook of Clinical Surgery Ed 4. 2013.
Oxford University Press.United Kingdom.
12. Sjamsuhidayat, R., Warko, Karnadihardja., & Reno, Rudiman., 2010. Buku
Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
13. Innomad. Referat Peritonitis.
2012.
Available
from
https://www.scribd.com/doc/104410280/Refrat-Peritonitis
24