Вы находитесь на странице: 1из 3085

Pasien baru dengan hematuria mikroskopik asimtomatik

Disingkirkan penyebab hematuria antara lain: menstruasi, olahraga yang belebihan ,


aktivitas seksual, infeksi virus, infeksi bakteri, trauma

+
Bila diternukan 1 atau lebih dari :

Hematuria mikroskopik + proteinuria**


Eritrosit dismolfik , silinder eritrosit
Peningkatan kreatinin serum dari normal

(-1

ada riwayat sebagai berikut :


Merokok
pekejaanberhubungan dengan
bahan kimia (amin aromatik)
riwayat gross hematuria
Usia > 40 tahun

Evaluasi penyakit ginjal primer

gangguan pengosongan kandung


kemih (iritatif)
lnfeksi saluran kemih berulang

1
Gambar 1. Evaluasi pemeriksaan hematuria mikroskopik

lain misalnya menstruasi, adanya laserasi pada organ


genitalia, sedangkan pada laki-laki apakah disirkumsisi atau
tidak.

Vaskular
Gangguan koagulasi
Kelebihan obat anti koagulan
Trombosis atau emboli arterial
Malforrnasi arteri-vena
Fistula arteri-vena
Nutcracker syndrome
Trombosis vena renalis
Glomerular
Nefropati IgA
Alport sindrom
Glomerulonefritisprimer dan sekunder
lnterstisial
lnterstisial nefritis alergi
Nefropati analgesik
Penyakit ginjal polikistik
Pielonefritis akut
Tuberkulosis
Rejeksi ginjal alograf
Uroepltellum
Keganasan ginjal dan saluran kemih
Latihan yang berlebihan
Trauma
Nekrosis papillaris
Sistitisluretritislprostatitis(biasanya disebabkan infeksi)
Penyakit parasit (misalnya skistosomiasis)
Nefrolitiasisatau batu vesika urinaria
Penyebab Lalnnya
Hiperkalsiuria
Hiperurikosuria
Sickle cell diseaselpenyakit sel sabit

Bila pada urinalisis ditemukan eritrosit, leukosit dan


silinder eritrosit, merupakan tanda sugestif penyakit ginjal
akut atau penyakit ginjal kronik, perlu dilakukan evaluasi
lebih lanjut. Diagnosis banding hematuria persisten antara
lain glomerulonefritis, nefritis tubulointerstisial atau
kelainan urologi. Adanya silinder leukosit, leukosituria
menandakan nefritis tubulointerstisial. Bila disertai hematllria juga merupakan variasi dari glomerulonefritis. Pada
kelompok faktor risiko penyakit ginjal kronik harus
dilakukan evaluasi pemeriksaan sedimen urin untuk deteksi
dini.
Pemeriksaan sitologi urin dilakukan pada risiko tinggi
untuk mendeteksi karsinoma sel transisional, kemudian
dilanjutkan pemeriksaan sistoskopi.
Kelainan urologi yang lain seperti karsinoma sel
transisional pada ginjal, sistem pelviokaliks,
ureter dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi,
IVU, CT scan atau MRI.

Apablla dltemukan protelnuria yang bermakna,


hematuria, silinder erltroslt, insufisiensl ginjal atau
dltemukan sel darah merah yang predominan adalah
bentuk dlsmorflk, segera dilakukan evaluasi kelainan
parenkim g i n j a l l penyakit ginjal primer. Erltrosit

200-1.000
-< 200 mglg

hereditary nepk
Hereditary nept
small vessels (r
Cystic kidney d
neoplasms or u
other than kidn~
Tubulointerstiti~
Urinary tract les
disease
May be present
disease, but mc
tubular necrosi:
kidney disease
failure)

200-1.000
mglg

Non-inflammatc
disease, non-in
tubulonterstitial
affecting mediu

Modified with permissions (KDOQI CKD guideline, 2002)


Detection of red blood cell casts requires careful preparation and thorough and repeated examination of sedil
obtained urine specimens. Even under ideal conditions, red blood cell casts may not always be detected in p
proliferative glomerulonephritis.
** Oval fat bodies, fatty casts, free fat
+ Cut-off values are not precise
Abbreviations and symbols: RBC, red blood cells. WBC, white blood cells: +, abnormality present: -, abnorms
abnormality may or may not be present
*

paslen dengan hamaturia aslmptomatlk


adanya tanda-tanda sugestif penyakit ginjal plmer
1

+ risiko linggi I
I Pasien dengan

I Pasisn dengan risiko rendah]

pemeribaan IVU (urografi intravenous )


I

I fi

I Pemeriksaanlengkap IVU, sitologi j


I

AA

Sitologi

Posilif

Ne atif

urinalisis,tekanan darah, sitologi ulang


pada 6. 12, 24. 36 bulan

Evaluasi urologl

L
Gambar 2. Evaluasi urologi pada hematuria asimtomatik mikroskopik

evaluasi

Coe FL. Proteinuria, hematuri, azotemia and oliguria. HarrisonMs


principles of internal medicine. 10th edition. New York: McGraw
Hill; 1983. p. 211-8.
Fegazzi GB. Urinalysis. In: Comprehensive clinical nephrology. 2nd
edition.Mosby.p.35-40.
Grossfeld GD. Asymptomatic microscopic hematuri in adult. Am
Fam Physi. 2001.
KlDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease.
evaluation, classification, and stratification. Part 5.
Evaluation of laboratory measurement for clinical assement of
kidney disease, 2002.
Silkensen JR, Kasiske BL. Laboratory assessment of renal disease:
clearance, urinalysis, and renal biopsy. The kidney. 2nd
edition.2004.p. 1107- 12.
Sukandar E. Masalah umum glomemlopati. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid 2. 3* edition. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001.
p. 325.

PROTEINURIA
Lucky Aziza Bawazier

PENDAHULUAN
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia
yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24
jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Dalam
keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah
tertentu masih dianggap fungsional. Ada kepustakaan
yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap
fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mglhari pada
dewasa (pada anak-anak 140 mg/m2),tetapi ada juga yang
menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mghari.
Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin
rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal
dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius.
Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya
proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat
sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang
tidak progresif. Lagipula protein dikeluarkan urin dalamjumlah
yang bemariasi sedikit dan secara langsung bertanggung
jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein di
dalarn urin sangadah penting, dan memerlukan penelitian lebih
lanjut untuk menentukan penyebablpenyakit dasarnya.
Adapun prevalensi proteinuria yang ditemukan saat
pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 33%.
Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan
ginjal.
Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila
kadarnya d i atas 200 mglhari pada beberapa kali
pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang
mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah
menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya
hanya sedikit di atas nilai normal. Dikatakan proteinuria
masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mghari
dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin.
Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah
protein yang cukup besar atau beberapa gram protein

plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang


muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang
berperan yaitu:
1. Filtrasi glomerulus
2. Reabsorbsi protein tubulus

PATOFISIOLOGI PROTEINURIA
Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari
ke-4 jalan di bawah ini:
1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti
peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama
albumin.
2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil
protein yang normal difiltrasi.
3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low
Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah
melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus.
4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel
clan sekresi IgA (Irnunoglobulin A) dalam respons untuk
inflamasi.
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin
tergantung mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat
hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal
melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin.
Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah
transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat
molekul besar lainnya untuk menembus dinding
glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalarn urin (proteinuria glomerulus). Protein
yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi
diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu
normal ekskresi kurang dari 150 mghari dari protein total
dan albumin hanya sekitar 30 mghari; sisa protein pada
urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall,

'

'

Imunoglobulin A dan Urokinase) atau sejumlah kecil P-2


mikroglobulin, apoprotein, enzim dan hormon peptida.
Dalam keadaan normal glomerulus endotel membentuk
barier yang menghalangi sel maupun partikel lain
menembus dindingnya. Membran basalis glomerulus
menangkap protein besar (>lo0 kDal) sementara foot
processes dari epitellpodosit akan memungkinkan
lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui
saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion
glikoprotein yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asam
silat yang krmuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan
negatif akan menghalangi transpor molekul anion seperti
albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit
minimal change menyebabkan bersatunya foot processes
glomerulus sehingga terjadi kehilangan albumin selektif.
Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang
membran basalis kapiler yang berakibat terbentuknya pori
yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria non selektif
atau proteinuria bennakna.
Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika
produksi berlebihan dari proteinuria abnormal yang
melebihi kapasitas reabsorsi tubulus. Ini biasanya sering
dijumpai pada diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan
limfoma) yang dihubungkan dengan produksi monoklonal
imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel plasma
(mieloma multipel) dapat dihubungkan dengan sejumlah
besar ekskresi rantai pendek di urin, yang tidak dapat
dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini
dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan
direabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila
ekskresi protein urin total melebihi 3,5 gram sehari, sering
dihubungkan dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia,
dan edema (sindrom nefrotik). Ekskresi yang melebihi 3,5
gram dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari
sindrom nefrotik pada beberapa penyakit ginjal yang lain.

PROTElNURlA FlSlOLOGlS
Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan
kelainanlpenyakitginjal. Beberapa keadaan fisiologis pada
individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada
keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan
yang jumlahnya kurang dari 200 mglhari dan bersifat
sementara. Misalnya: pada keadaan demam tinggi, gagal
jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat
mencapai lebih dari 1 gramlhari), pasien dalam keadaan
transfusi darahlplasma atau pasien yang kedinginan,
pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang
sebabnya bukan karena kebocoran protein dari
glomerulus tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit
yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif
palsu proteinuria masif). Proteinuria fisiologis dapat pula
terjadi pada masa remaja dan juga pada pasien yang lordotik
(ortostatik proteinuria).

PROTEINURIA PATOLOGIS
Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan
proteinuria, misalnya pada penyakit ginjal polikistik,
penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obat
analgesik dan kelainan kongenital kista dan sebagainya,
sering tidak ditemukan proteinuria.Walaupun demikian,
proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan
merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada
penyakit ginjal diabetes maupun penyakit ginjal non
diabetes, sejak dahulu protenuria dianggap sebagai faktor
prognostik yang bermakna dan paling akurat. Risiko
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular juga meningkat
secara bermakna dengan adanya proteinuria. Di dalam
kepustakaan, banyak definisi diberikan untuk menyatakan
berapa jumlah protein sebenarnya dalam urin yang
dianggap patologis. Ada kepustakaan yang menyatakan,
protein di dalam urin tidak boleh melebihi 150 mgl24jam,
tetapi ada pula yang menyebutkan protein urin di bawah
200 mglhari.
Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif,
terutama pada keadaan nefrotik, yaitu protein di dalarn urin
yang mengandung lebih dari 3 gram124 jam pada dewasa
atau 40 mglm2/jampada anak-anak, biasanya berhubungan
secara bermakna dengan lesilkebocoran glomerulus.
Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi
3,5 gram124jam.
Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti
keadaan diabetes melitus yang cukup lama dengan
retinopati, dan penyakit-glomerulus. Terdapat 3 jenis
proteinuria patologis: 1). Proteinuria glomerulus, misalnya:
mikroalbuminuria, proteinuria klinis; 2). Proteinuria
tubular; 3). Overj-low proteinuria.

PROTElNURlA GLOMERULUS
Bentuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit
ginjal di mana albumin adalah jenis protein yang paling
dominan (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein
dengan berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah
kecil saja.
Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi
glomerulus protein plasma meningkat: 1). Ketika barier
filtrasi diubah oleh penyakit yang mempengaruhi
glomerulus. Protein plasma, terutama albumin, dapat
melalui glomerulus. Pada penyakit glomerulus dikenal
penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan
kegagalan selularitas yang berubah. Pada penyakit ginjal
yang lain sebagaimana GN proliferatif dan nefropati
membranosa, terjadi defek pada ukuran; 2). Faktor-faktor
hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler
glomeruluslfraksi filtrasi mungkin juga menyebabkan
proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang meningkat
tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik

dinding kapiler glomerulus. Mekanisme ini mungkin


terdapat pada proteinuria ringan, transien yang kadangkadang terlihat pada pasien hipertensi dan gagal jantung
kongestif. Pemeriksaan dikntukan dengan pemeriksaan
semi kuantitatif misalnya: dengan uji Esbach dan Biuret.
Proteinuria klinis dapat ditemukan > 1glhari.

PROTEINURIA TUBULAR
Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah
antara 100-150 mg perhari, terdiri atas P-2 mikroglobulin
dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang
biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal
tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Fankoni,
pielonefritis kronis, dan akibat cangkok ginjal.

OVERFLOW PROTEINURIA
Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel )
berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi rantai
pendeklprotein berat molekul rendah (kurang dari 40000
dalton) berupa Light Chain Imunoglobulin, yang tidak
dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstiklyang
umumnya mendeteksi albuminlpemeriksaan rutin biasa,
tetapi harus pemeriksaan khusus. Protein jenis ini disebut
protein Bence Jones. Penyakit lain yang sering
menimbulkan protein Bence Jones adalah amiloidosis dan
makroglobulinemia. Protein berat molekul rendahlrantai
ringan ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh
glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal.
Presipitat asam sulfosalisilat tidaklah terdeteksi dengan
dipstik, hanya memperkirakan rantai terang (protein Bence
Jones) dan rantai pendek yang secara tipikal dalam bentuk
presipitat, karena protein Bence Jones mengendap pada
suhu 45" dan larut kembali pada suhu 95- 100". Gagal ginjal
dari kelainan ini timbul melalui berbagai mekanisme
obstruksi tubulus (nefropati silinder) dan deposit rantai
pendek.

Pada keadaan normal albumin urin tidak melebihi 30 mgl


hari. Bila albumin di urin 30-300 mglhari atau 30-350 rngl
hari disebut mikroalbuminuria. Biasanya terdapat pada
pasien DM dan hipertensi esensial dan beberapa penyakit
glomerulonefritis (misal, glomerulonefritis prolqeratif
mesangial difus). Mikroalbuminuria merupakan marker
(pertanda) untuk proteinuria klinis yang disertai penurunan
faal ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit
kardiovaskular sistemik. Albuminuria tidak hanya pertanda
risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal, tetapi

juga berguna sebagai target keberhasilan pengobatan.


Monitor albuminuria sebaiknya dilakukan dalam praktek
sehari-hari pada pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular dan ginjal. Albumin dapat menjadi target
untuk memperoleh proteksilperlindungan kardiovaskular
dan diharapkan pedomannya dibuat untuk membantu
dokter dalam memutuskan bagaimana meilgukur albumin
urin, berapa angka normalnya, kadar abnormalnya, dan
berapa kadar terendah yang hams dicapaj. Peningkatan
ekskresi albumin urin dapat menjadi prediktor kerusakan
fungsi ginjal pada populasi umum. Albuminuria dapat
dipakai sebagai "alat yang berharga" untuk menentukan
risiko perkembangan lebih lanjut gagal ginjal, tanpa
dipe~igaruhifaktor-faktor risiko lain kardiovaskular.
Peranan albuminuria pada diagnosis awal dan pencegahan
penyakit ginjal dan kardiovaskular sangat penting ditinjau
dari sudut demografi dan epidemiologi di negara sedang
berkembang. Pada pasien diabetes melitus tipe-I dan 11,
kontrol ketat gula darah, tekanan darah dan
mikroalbuminuria sangat penting.
Hipotesis mengapa mikroalbuminuria dihubungkan
dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah karena
disfungsi endotel yang luas. Belum jelas apakah
mikroalbuminuria secara spesifik berhubungan dengan
kegagalan sintesis nitrit oksid pada individu dengan atau
tanpa diabetes melitus tipe-11.
Beberapa penelitian telah membuktikan adanya
hubungan peranan kegagalan sintesis nitrit oksid pada
sel endotel yang berhubungan antara mikroalbuminuria
dengan risiko penyakit kardiovaskular.

PROTEINURIA TERlSOLASl
Proteinuria terisolasi adalah sejumlah protein yang
ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang
tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit
sistemik. Proteinuria ini hampir selalu ditemukan secara
kebetulan dapat menetaplpersisten, dapat pula hanya
sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik
tubuh pasien. Biasanya sedimen urin normal. Dengan
pemeriksaan pencitraan ginjal tidak ditemukan gangguan
abnormal ginjal atau saluran kemih dan tidak ada riwayat
gangguan ginjal sebelumnya. Biasanya total ekskresi
protein urin kurang dari 2 glhari. Data insidens dan
prevalensi terisolasi isolated proteinuria ini pada grup usia
berapa dan populasi yang mana, belum ada.Yang jelas pada
berbagai populasi prevalensinya bervariasi antara 0,610,7%.
Proteinul-ia terisolasi dibagi dalam 2 kategori: 1). Jinak,
termasuk yang fungsional, idiopatik, transienltidak
menetap, ortostatik, dan intermiten; 2). Yang lebih serius
lagi adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara
persisten.

Proteinuria Fungsional
Ini adalah bentuk umum proteinuria yang sering
terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena
berbagai penyakit. Biasanya berhubungan dengan
demam tinggi, latihan sternosus, terpapar dengan
dinginlkedinginan, stres emosi, gagal jantung kongestif,
sindrom obstruksi sleep apnea, dan penyakit akut
lainnya. Sebagai contoh: ekskresi protein meningkat 23 kali setelah latihan sternosus tetapi hilang kembali
setelah istirahat. Sebenarnya, kunci keadaan ini
proteinuria tidak tampak dengan segera. Proteinuria
tersebut adalah jenisltipe glomerulus yang diyakini
disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang
meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma.
Penyakit ginjal yang progresif tidak timbul pada pasien
ini.
Proteinuria Transien ldiopatik
Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anakanak dan dewasa muda, yang ditandai oleh proteinuria
yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat
tetapi hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan
kembali. Pasien tidak mempunyai gejala, proteinuria selalu
ditemukan secara insidentil pada penapisan urin rutin, atau
selama pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja dan
pemeriksaan rutin dari asuransi yang biasanya merupakan
fenomena fisiologis pada orang muda. Sebenamya, jika
contoh urin diperiksa cukup sering, banyak orang sehat
muda kadang-kadang akan menimbulkan hasil proteinuria
kualitatif positif. Proteinuria tidak dihubungkan dengan
keadaan yang buruk sehingga tidak diperlukan evaluasi
lebih lanjut.
Proteinuria Intermiten
Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien
yang tidak mempunyai bukti penyebab proteinuria.
Berbagai studi menunjukkan variasi luas dari bentuk
abnormalitas ginjal yang berhubungan dengan keadaan
ini. Pada beberapa kasus dengan berbagai lesi minor
pada glomeruluslinterstitium, tidak ditemukan kelainan
pada biopsi ginjal. Prognosis pada kebanyakan pasien
adaiah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang
setelah beberapa tahun. Kadang-kadang, walaupun
jarang, terdapat insufisiensi ginjal progresif dan risiko
untuk gagal ginjal terminal tidak lebih besar daripada
populasi umum. Keadaan ini biasany a tidak berbahay a
pada pasien lebih muda dari 30 tahun, sedangkan pada
pasien yang lebih tua, lebih jarang, biasanya harus
dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan
fungsi ginjalnya.

Proteinuria Ortostatik (Postural)


Pada semua pasien dengan ekskresi protein masif,
proteinuria meningkat pada posisi tegak dibandingkan
posisi berbaring. Perubahan ortostatik pada ekskresi protein tampaknya tidak mempunyai kepentingan diagnostik
dan prognostik Dengan perkataan lain, pertimbangan
prognostik yang bermakna dapat dilakukan pada situasi
proteinuria yang ditemukan hanya ketika pasien dengan
posisi tegak dan hilang pada waktu pasien berbaring. Ini
merujuk pada posisi tegaklortostatik proteinuria. Ekskresi
protein per hari harnpir selalu di bawah 2 gram (walaupun
lebih dari 2 gram kadang-kadang dilaporkan). Proteinuria
ortostatik sering pada usia dewasa muda, dengan
prevalensi secara umum 2-5%, jarang terdapat pada usia
di atas usia 30 tahun. Walaupun dapat timbul selamafase
penyembuhan dari berbagai penyakit glomerulus, kurang
lebih 90% dewasa muda dengan proteinuria ortostatik
menunjukkan kondisi yang baik. Pada 80% kasus, kondisi
transien disebut proteinuria ortostatik transien. Hasil
biopsi pada pasien ini menunjukkan perubahan lesi
minimal glomerulus dan tidak adanya deposit
imunoglobulin. Kondisi ini mempunyai prognosis sangat
bagus sebagai proteinuria transien non ortostatik dan
tekanan darah yang masih normal. Pada 20% pasien,
proteinuria ortostatik dikatakan menetap dan berproduksi
kembali, akan tetapi follow up studi lebih dari 20 tahun
menunjukkan proteinuria hilang secara perlahan-lahan
pada kebanyakan kasus. Kurang lebih 15%kasus, hilang
selama 5 tahun, pada 50% kasus hilang 10 tahun dan
lebih dari 80% hilang dalam 20 tahun. Walaupun proteinuria menetap secara persisten untuk 20 tahun,
insufisiensi ginjal tidak dapat diobservasi dan tekanan
darah tidak ditemukan lebih tinggi daripada populasi
mum.
Studi kecil melaporkan tidak adanya bukti dari
insufisiensi ginjal atau proteinuria 40 tahun setelah
diagnosis dari proteinuria ortostatik yang pertama dibuat.
Evaluasi secara rinci tidak mempunyai bukti nyata
ditemukannya penyakit ginjal dan biopsi ginjal
menunjukkan hasil histologi yang normal, penebalan
dinding kapiler yang minimal sarnpai dengan moderat atau
hiperselular mesangial fokal. Hasil mikroskop elekwon
menunjukkan tingkat perubahan segmental dan fokal
dengan matriks mesangial yang meningkat dan
penggabungan foot process dan pewamaan imunodifusi
untuk komplemen dan imunoglobulin memberikan hasil
yang bervariasi. Patofisiologi proteinuria ortostatik tidaMah
diketahui. Diduga bahwa pengumpulan darah pada lengan
dapat menyebabkan perubahan hemodinamik glomerulus
yang mempengaruhi filtrasi protein. Walaupun biasanya
prognosis proteinuria ortostatik baik, persisten (non
ortostatik) proteinuria berkembang pada segelintir orang.
Kemaknaannya tidaklah dekat dan mungkin tidaklah
penting. Namun, bila proteinuria masih menetap, maka pada

pasien secara teratur (tiap 1-2 tahun), dilakukan monitor


tekanan darah dan pemeriksaan urin. Jika proteinuria
berubah ke bentuk yang persisten, evaluasi ginjal sangat
diperlukan dan biopsi harus dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit ginjal serius.
PROTElNURlA TERlSOLASl YANG MENETAPI
PERSISTEN
Anamnesis secara lengkap (termasuk riwayat penyakit
dahulu dan riwayat penyakit keluarga) dan pemeriksaan
fisik yang teliti untuk mencari penyakit ginjaypenyalut
sistemik yang menjadi penyebabnya.
a Jika ditemukan tanda-tanddgejala, lakukan pemeriksaan
darah, pencitraan, dan atau biopsi ginjal untuk mencari
kausa.
b Jika tidak ditemukan bukti, ulangi tes kualitatif untuk
proteinuria dudtiga kali,
1. Jika tidak ada proteinuria dalam spesimen urin
berarti kondisi ini hanya transien atau fungsional.
Nilai kembali dan tidak perlu melakukan tes
ulang .
2. Jika proteinuria ditemukan tiap saat, periksa Blood
Urea Nitrogen (BUN),heatinin dan klirens kreatinin,
ukw ekskresi protein urin 24jam, USG ginjal dan tes
protein ortostatik/postural.
Jika fungsi ginjal I hasil USG tidak normal, kembali ke Ia.
Jika fungsi ginjal dan hasil USG normal dan proteinuria
adalah tipe postural, tidak diperlukan tes berikutnya.
Follow up pasien tiap 1-2 tahun, kecuali:
a. Proteinuria menjadi persisten: ikuti pedoman Ipenuntun
proteinuria (NB)
b. Proteinuria membaik atau menjadi intermiten: ikuti
follow up berikutnya.
Jika fungsi ginjal dan USG normal dan proteinuria non
postural, ulang pemeriksaan protein urin 24 jam 2-3x untuk
menyingkirkan proteinuria intenniten.
a. Jika proteinuria intenniten. Pasien dewasa muda umur
kurang dari 30 tahun, hams di-follow up tiap 1-2 tahun
dan pasien dewasa yang berusia lebih tua (>30 tahun)
di-follow up tiap 6 bulan.
b. Jika proteinuria persisten, evaluasi lebih lanjut
tergantung pada tingkat proteinuria.
1. Jika proteinuria <3 gram/24jam, perlu dikonfirmasi
dengan imaging ginjal yang cukup untuk
menyingkirkan obstruksi ginjal atau abnormalitas
anatomi ginjal dan penyakit ginjal polikistik. Juga
pada pasien >45 tahun, pemeriksaan elektroforesis
urin diperlukan untuk menyingkirkan multipel
rnieloma. Jika semua hasil negatif, periksa ulang
pasien tiap 6 bulan.
2. Jika proteinuria lebih dari 3 gram/24jam, lanjutkan
ke-I A.

Cara Mengukur Protein di Dalam Urin


Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat
ini sangat bervariasi dan bermakna. Metode dipstik
mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan
hasil positif palsu bila pH >7.0 dan bila urin sangat pekat
atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer
menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Jika
proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam
jumlah cukup banyak akan menjadi negatif palsu. Ini
terutama sangat penting untuk menentukan protein
Bence Jones pada urin pasien dengan multipel mieloma.
Tes untuk mengukur konsentrasi urin total secara
benar seperti pada presipitasi dengan asam
sulfosalisilat atau asam triklorasetat. Sekarang ini,
dipstik yang sangat sensitif tersedia di pasaran dengan
kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-300 mgl
hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit
glomerulus yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.

Proteinuria
(Deteksl dengan dipstick)

dan mikroskopis urin

Bukti penyaklt ginjallsistemik

TlDAK ADA

Fungsi ginjal dan


USG: Normal

Fungsi ginjal dan


USG: abnormal

Prote~nuna
ortostatiklpostural

Protelnuna

Test lain (-)


F o l l o w u tiap
~ 1-2 thnl

U l a n g urin
kwantitatif2-3x

Gambar 1. Cara pemeriksaan proteinuria

Ekskresi protein urin 24 jam


Atau rasio proteinlkreatinin urin pagi (mglg)

30-300 mghari
atau
30-350 mglg

>3500 mglhari
atau
> 3500 mglg

300-3500 mglg

Keteranaan aambar:

Mikroalbuminuria

-'Awal diabetes melltus


Hipertensi essensial
- Stagingltingkat awal
olomemlonefritis

(Terutama bila disertal


silinder eritmsit atau

Silinder eritrosit I
sel-sel darah merah
oada urinalisis

Pendekatan pasien dengan proteinuria. Perneriksaan


proteinuria sering diawali dengan pemeriksaan
dipstik yang positif pada perneriksaan urinalisis
rutin. Dipstik konvensional mendeteksi rnayoritas
albumin dan tidak dapat mendeteksi kadar albumin
urin antara 30-300 mgthari.

hematuria

kelainan dibawah ini

-Amiloidosis
m:

- Penyakit !esi minimal


- FSGS (Fokal Segmental
- Proteinuria postural
- Gagal jantung kongestif - Glomerulosklerosis)
Glomerulonefritis membranosa
- Demam
- MPGN (Membranoproliferativ
- Proteinuria intermiten

Glomerulonefritis)

/\

Horsfall I
1 - p mikrobulin
1

~ , 7 A q * l
(temtamaalbumin)
lrnenaaambarkan berberbaaa~sebab
- Penyaki lesi
kmtk-protein
~i~erte&i
'minimal
plasma)
- Gagal ginjal kronik
- FSGS
I- Diabetes
I
I

1I

I1-

rantai pendek
(Ka t y A )

'

Pemeriksaan lebih pasti dari proteinuria sebaiknya


memeriksa protein urin 24 jam atau rasio protein
pagitkreatinin (mglg).
Bentuk proteinuria pada elektroforesis protein urin
dapat diklasifikasikan sebagai bagia'n dari
glomerulus, tubular, atau abnormal tergantung asal
protein urin.
Protein glomerulus disebabkan oleh permeabilitas
glomerulus yang abnormal. Proteinuria tubular
seperti Tamm-Horsfall secara normal dihasilkan
tubulus ginjal. Protein sirkulasi yang abnormal
seperti rantai ringantpendek kappallambda telah
siap disaring karena ukurannya yang kecil.
FSGS

: Fokal Segmental ~lomerulosklerosis

MPGN

: Membrano proliferatif Glomerulonefritis

Gambar 2. Skema evaluasi proleinuria

Anavekar NS, Pfeffer MA. Cardiovascular risk in chronic kidney


disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment.
Kidney Int. 2004:66 (suppl. 92):Sll-S5.
Becker GJ. Which albumin should we measure? Albuminuria: risk
marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66
(supp1.92):S16-S7.
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al. Harrison's principles of
internal medicine.15th edition. New York: The ~c~rab- ill;
2001; p. 266-8.
Brenner BM. The kidney. 5th edition. Boston: WB. Saunders Co;
1996, 1981. 2003, 1864.
De Zeeuw D. Albuminuria, not only a cardiovascular/renal risk
marker, put also a target for treatment? Kidney Int.
2004:66:suppl 92:SZ-S6.
Hoy W, McDonald SP. Albuminuria: marker or target in indigenous
populations. Albuminuria: risk marker and target for treatment.
Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S25-S3 1.
~a'cobsonHR, Striker GE, Klahr Saulo. The principles and practice
of nephrology. USA: Mosby; 1995. p. 114-1056.
Johnson RJ, Feehally J.Comprehensive clinical nephrology.,
London: Mosby; 2000.
Mitch WE, Shahinfar S, Dickson TZ. Detecting and managing
patients with type 2 diabetic kidney disease: proteinuria and
cardiovascular disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S97-S8.

Nijad KZ, Eddy AA, Glassock. Which is proteinuria an oniinous


biomarker of progressive kidney disease? Kidney Int. 2004:66
(supp1.92): S76-S89.
Remuzzi G, Chiurchiu C, Ruggenenti P. Proteinuria predicting
outcome in renal disease: non diabetic nephropathies (REIN).
. Kidney Int. 2004:66 (supp1.92):S90-S6.
Rotter RC, Naicker S, Katz IV. Demographic and epidemiologic
transition in the developing world: role of albuminuria in the
early diagnosis and prevention of renal and cardiovascular
disease. Kidney Int. 2004: 66(supp1.92):S32-S7.
Russo LM, Comper WD, Osicka TM. Mechanism of albuminuria
associated with cardiovascular disease and kidney disease.
Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int.

2004:66:(suppl.92):S67-S78.
Sukandar E. Nefrologi klinik. 2nd ed. Bandung: Penerbit ITB; 1997.
Verhave JC, Gansevoort RT. An elevated urinary albumin excretion
predicts de ilovo development of renal function impairment in
the general population. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S18S21.
Warnock DG. Inclusion of albumin as a target in therapy guidelines:
guidelines for chronic kidney disease. Kidney Int.
2004:66:(supp1.92): S 12143.

SINDROM POLIURIA
Shofa Chasani

Poliuria adalah suatu keadaan di mana volume air kemih


dalam 24 jam meningkat melebihi batas normal disebabkan
gangguan fungsi ginjal dalam mengkonsentrasi air kemih.
Definisi lain adalah volume air kemih lebih dari 3 liter1
hari, biasanya menunjukkan gejala klinik bila jumlah air
kemih antara 4-6 literlhari. Poliuri biasanya disertai
dengan gejala lain akibat kegagalan ginjal dalam
memekatkan air kemih antara lain rasa haus, dehidrasi
dan lain-lain.
Menurut Brenner poliuri dibagi 2 rnacam:
1. Poliuria non fisiologis: pada orang dewasa, poliuri
didapatkan bila air kemih lebih dari 3 literhari.
2. Poliuria fisiologis: volume air kemih dibandingkan
dengan volume air kemih yang diharapkan karena
rangsangan yang sama, dikatakan poliuri bila volume
air kemih lebih besar dari volum yang diharapkan.
Poliuri terdapat pada berbagai keadaan, meskipun
diabetes insipidus mempakan penyebab yang sering terjadi.
Adapun penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah
diabetes melitus yang tidak terkontrol, polidipsi psikosis,
hiperkalsemia, hipokalemi dll.

Tujuan
1. Mampu menerangkan definisi poliuria
2. Mampu menerangkan tentang regulasi cairan tubuh oleh
ginjal dan pengaruh hormon ADH terhadap tubulus
ginjal.
3. Mampu menerangkan mekanisme terjadinya poliuri baik
karena faktor osmotik rnaupun faktor hormonal.
4. Mampu menerangkan penyebab poliuria, gambaran
klinik serta diagnosis banding dan gejala ikutannya.
5. Mampu menerangkan mekanisme penanganan
poliuria.

Kehilangan air tubuh dapat melalui. berbagai jalan yaitu


melalui paru (respirasi), melalui kulit (perspirasi), melalui
gastrointestinal (feses) dan melalui ginjal. Ginjal
merupakan jalan yang terpenting, regulasi pengeluaran
air diatur dengan mempertahankan osrnolalitas cairan
tubuh. Osrnolalitas serum normal dipertahankan pada
rentang yang sempit yaitu 285-295 mOsm /kg. Rentang
osmolalitas urin antara 100-200 mOsrn/kg, tergantung
adanya kebutuhan mempertahankan atau mengeluarkan
air bebas.
Bila kemampuan ginjal untuk mernekatkan air kemih
terganggu maka terjadi peningkatan jumlah air kemih
yang bisa disebabkan oleh beberapa keadaan, antara
lain:
1. Ketidak mampuan sekresi ADH oleh hipofisis posterior
2. Kerusakan mekanisme arus balik. Hiuerosrnotik
intestisium medula dibutuhkan untuk memekatkan
air kemih yang maksirnal, tidak peduli berapa banyak
ADH yang tersedia dalam tubuh;
3. Ketidak rnarnpuan tubulus distal dan tubulus
koligentes untuk merespons ADH. Ada dua reseptor
ADH yaitu vasopressin 1 (VI) memiliki aktivitas
vasokontriksi dan prostaglandin dan vasopressin
2 (V2) merniliki aktivitas antidiuretik, vasodilator dan
mediator faktor koagulasi. Bila reseptor V2 yang
aktif rnaka akan terjadi peningkatan permeabilitas
terhadap air sehingga air kemih berkurang,
sebaliknya bila respetor VI yang aktif maka
permeabilitas turun dan akibatnya jumlah air kemih
meningkat.
Mekanisme urnpan balik osrnoreseptor ADH dapat
dilihat pada Gambar 1.

SINDROM POLIURIA

DIABETES INSIPIDUS

eDefisit air

TSekresi ADH oleh hipofisis


Posterior
TADH plasma

f Perrneabilitas H20
Tubulus distal dan
tubulus koligenitas

f Reabsorbsi H20

Garnbar 1. Mekanisrne urnpan balik osmoreseptor ADH

Cortex

Diabetes insipidus merupakan penyakit yang jarang terjadi,


kurang lebih 3 per 100 000 orang. Pasien tampil dengan
poliuri yang nyata dan polidipsi dengan osmolalitas
serum yang tinggi (lebih dari 295) dan tidak sesuai dengan
osmolalitas air kemih yang rendah.
Diabetes insipidus disebabkan adanya insufisiensi
atau tidak adanya hormon anti diuretik (ADHIAVP) atau
tidak pekanya tubulus ginjal terhadap rangsangan AVP.
Biasanya pasien tidak sanggup untuk mempertahankan
air bila mendapatkan tambahan cairan.
Kekurangan AVP (Arginin Vasopressin) atau efek AVP
dihubungkan dengan ketidak adekuatan mengkonsentrasikan urin akan meningkatkan pengeluaran urin
(Poliuria) dan biasanya akan disertai rasa haus (polidipsi)
sebagai kompensai bila mekanisme haus masih baik. Bik
mekanisme haus mengalami gangguan maka akan terjadi
kenaikan osmolalitas dengan kenaikan natrium plasma
(hipematremia). Sehingga kekurangan AVP atau disebut
diabetes insipidus akan mempunyai sindroma klinik seperti
kenaikan pengeluaran urin, yang hipotonik d m hal ini
berbeda dengan diabetes mellitus yang bersifat hipertonik.
Beberapa perbedaan patofisiologi terjadinya poliuri
hipotonik ini menjadikan poliuria hipotonik dibagi
menjadi:
1. CDI (diabetes insipidus sentral)
2 Disfungsi osmoreseptor (sebagai variasi dari CDI)
3. Gestasional diabetes insipidus
4. NDI (diabetes insipidus nefrogenik)
5. Polidipsi primer (diabetes insipidus dipsogeniW
psychgenic polydipsi)

ETlOLOGl CDI

1. Kongenital (Congenital malformations, Autosomal


dominant,AVP-Neurophysingene mutation.
2. drug/toxin -induce (ethanol, diphenylhydantion, snake
venom)
3. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis)
4. Neoplastik (craniopharyngioma,germinoma,lymfoma,
leukemia, meningioma, tumor pituitari, metastasis).
5. infeksi (meningitis, tuberkulosis, encephalitis)
6. Trauma (neurosurgery, deceleration injury)
7. Vaskular (cerebralhemorrhage or infarction, brain death)

ETlOLOGl OSMORECEPTOR DYSFUNCTION

Garnbar 2. Mekanisrne pernekatan dan pengencaran air kemih


(Brenner 2007)

1. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis)


2 Neoplastik
(kraniofaringioma,
pinealoma,
meningioma, metastasis)
3. Vaskular (anterior communicating artery aneurysm/
ligation, intrahypothalamic hemorrhage)

4. Other (hydrocephalus, ventricularlsupersellar cyst,


trauma, degenerative deseases).
5. Idiofatik
ETIOLOGI "INCREASED AVP METABOLISh4"

2. Diabetes insipidus didapat: karena kelainan intra kranial


(trauma, pembedahan, tumor di kepala, infeksi
(tuberkulosis, ensefalitis, meningitis) . Istilah lain dari
keadaan dimana ADH meningkat di luar batas fisiologis
karena sebab yang bermacam-macam disebut SIADH
(Syndrome of Inappropriate Secretion of ADH).

PREGNANCY
PATOFlSlOLOGlOSMORECEPTORDYSFUNCTION
E'I'IOLOGI NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS
Congenital (X-linked recessive, AVP V2Receptor gene
mutations, autosomal recessive or dominant, aquaporin2 water channel gene mutations).
Drugs induced (demeclocycline, lithium, cisplatin,
mrthoxyflurane)
Hypercalcemia.
Hypokalemia.
Infiltrating lesions (sarcoidosis, amyloidosis).
Vascular (sickle cell anemia).
Mechanical (polycystic kidney disease, bilateral
ureteral obstruction)
Solute dieresis (glucose, mannitol, sodium,
radiocontrast dyes)
Idiophatic.

ETIOLOGI PRIMARY POLYDlPSlA


Psychogenic (schizophrenia, obsessive-compulsive
behaviors)
Dipsogenic (downward restring of thirst threshold,
idiophatic or similar lesions as with central diabetes
insipidus).

PATOFlSlOLOGl CDI
Pada umumnya basal AVP hams turun kurang dari 10 -20%
dari normal sebelum oamolality urine basal turun kurang
dari 300mOsm/kg H 2 0 dan aliran urin naik ke level
sirnptomatik (>50 mllKgBW1day). Hasil dari hilangnya air
akan menaikkan osmolalitas plasma dan akan merangsang
rasa haus, sehingga tejadi polidipsi.
Kemampuan kompensasi dari polidipsi terbatas, pada
keadaan mencapai ambang batas maka perlu bantuan
suplementasi AVP.
Karena konservasi ginjal terhadap natrium tidak terganggu
maka adanya kekurangan AVP ini tidak disertai kekurangan
natrium. Pada kasus dimana AVP sama sekali tidak
disekresi (complete DI) pasien akan tergantung seluruhnya
pada intake air untuk keseimbangan air dalam tubuh.
Diabetes Insipidus Sentral ada 2 macam yaitu:
1. Diabetes insipidus idiopatik (autosomal dominan
familial) diduga karena autoimun.

Defek utama pada pasien dengan gangguan ini adalah


tidak adanya osmoreseptor yang meregulasi rasa haus.
Dengan perkecualian (walau jarang) osmoregulator AVP
juga terganggu, walau respons hormonal terhadap
rangsangan nonosmotik tetap utuh, ada 4 macam disfungsi
osmoreseptor yang khas dengan defek rasa haus dan I
atau respon sekresi AVP :
Upward resetting osmostat untuk rasa haus dan latau
respons sekresi AVP
Destruksi osmoresceptor partial (respons sekresi AVP
yang kurang dan rasa haus)
Destruksi osmoreseptor total (tidak ada sekresi AVP
dan rasa haus)
Disfungsi selektif dari osmoregulasi haus dengan
sekresi AVP yang utuh)
Berbeda dengan CDI dimana polidipsi mempertahankan
osmolalitas dengan batas normal, pasien dengan
disfungsi osmoreseptor secara khas mempunyai
osmolalitas antara 300- 340 mOsmlKg H20.

GESTATIONAL DIABETES INSIPIDUS


Defisiensi relative plasma AVP, dapat juga karena kenaikan
kecepatan metabolism AVP, kondisi ini hanya ada pada
pasien hamil , oleh karenanya pada umumnya disebut
Gestational DI. Hal ini dapat
karena aktivitas enzyme
- juga
"cystine aminopeptidase" (oxytocimeatau vasopressinase)
yang secara normal dihasilkan plasenta yang berguna
untuk mengurangi oxytosin dalam sirkulasi dan mencegah
kontraksi uterus prematur. Pada pasien ini umunya
kadarnya meningkat, biasanya berhubunganm dengan
pasien preeklampsia, acut fatty liver dan coagulopathy.
Patofisiologinya sama dengan CDI, bedanya bahwa
poliuria biasanya tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
AVP, sebab secara cepat akan didegradasi.
DGI dapat dikontrol dengan DDAVP, AVP V2 receptor
agonist karena resisten terhadap degradasi oleh
oxytosinase atau vasopressinase.

NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS (NDI)


NDI terjadi karena adanya resistensi anti diuretika AVP.
Pertama kali dikenal th 1945 pada pasien dengan kelainan

genetik yaitu (sex-linked). Poliuria didapati sejak lahir


sedangkan level plasma AVP normal atau meningkat,
resitensi efek antidiuretik AVP bisa parsial maupun
komplit, biasanya paling banyak pada laki-laki, walaupun
tidak selalu pada wanita biasanya ringan atau tidak ada
karier padit wanita, 90% kasus kongenital NDI disebabkan
mutasi reseptor AVPV2.
Kongenital NDI dapat juga diebabkan mutasi gene
autosomal yang mengkode AQP2 yaitu protein yang
membentuk kana1 air di tubulus kolektivus di medulla dan
penyebab lain adalah (lihat etiologi NDI).
NDI merupakan ketidakmampuan ginjal (tubulus distal
dan koligentes) untuk berespon dengan ADH. Banyak
jenis penyakit ginjal yang dapat mengganggu mekanisme
pemekatan air kemih terutama yang mengenai medula
ginjal. Juga kerusakan ansa henle seperti yang teqadi pada
diuretika yang menghambat reabsorbsi elektrolit oleh
segmen ini. Obat-obat tertentu seperti litium (anti
manikodepresi pada kelainan jiwa) dan tetrasiklin dapat
merusak kemampuan segmen tubulus distalis untuk
berespons terhadap ADH.
Diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi 2 macam:
1. IdiopatiMfamiliaVgenetik:ada 2 macam gen yaitu AVP
V2 (arginin vasopresin reseptor)-(x linked) dan AQP2
(autosomal resesif dan autosomal dominant). NDI yang
paling sering diturunkan secara x-linked (90%). NDI
yang diturunkan secara autosomal resesif (9%) dan
autosomal dominan (1%).
2 ~ i d a ~ a Akibat
t:
obat (litium, demeklosiklin,
metoksifluran),
Metabolik (hipokalemia,hiperkalsiuria biasanya dengan
hiperkalemia).
Penyakit ginjal (polikistik ginjal, obstruktif uropati,
pielonefritis kronis, nefropati sickle cell, sarkoid, gagal ginjal
h n i k , rnieloma multipel,penyakit sjogren,nefmpati analgetik).

Seperti halnya CDI, sensitivitas ginjal terhadap efek


antidiuretika AVP juga menghasilkan kenaikan ekskresi
"dilute"urin, penurunaxx air dalam tubuh dan kenaikan
osmolalitas plasma, ha1 ini akan merangsang rasa haus
untuk mengkompensasi meningkatkan intake air.
Besarnya poliuri maupun polidipsi tergantung
sensitivitas ginjal terhadap AVP, setiap individa berbeda
"setpoint"nya, sensitivitas rasa haus dan sekresi AVP.

encer (dilutes urine). Besar kecilnya poliuria dan polidipsi


bervariasi tergantung intensitas rangsangan untuk minum.
Pada pasien dengan abnormalitas rasa haus, polidjpsi dan
poliuri relatif konstan dari hari ke hari tetapi pada
psychogenic polydipsi intake air dan output urine cendemng
fluktuatif, kadang hisa sangat besar. Kadang dengan intake
air yang tinggi maka akan terjadi "dilutional hyponatremia".

DIAGNOSIS KLlNlK

Manifestasi Klinik Diabetes lnsipidus


Pada umumnya manifestasi klinik diabetes insipidus
sentralis (CDI) maupun NDI adalah berupa poliuri dan
polidipsi. Dibandingkan NDI, poliuri pada CDI bisa lebih
dari 15 literhari Secara umum NDI mempunyai gejala klinis
sering haus akan air dingin, nokturia, osmolaritas serum
mendekati 300 mOsrnIKg dan berat jenis urin <1.005
dengan osmolaritas air kemih <200. Biasanya mulainya
bertahap, sejak bayi sering muntah, rasa tercekik, tidak
suka makan, konstipasi ataupun kadang diare, gangguan
percumbuhan, panas yang tidak diketahui penyebabnya,
letargi dan iritabilitas. Mayoritas didiagnosis pada tahun
pertama kehidupannya.
Pada CDI gejala timbul secara tiba-tiba, apakah karena
tumor maupun idiopatik biasanya pria: perempuan adalah
3:2 dengan rerata pemunculan gejala pada umur 16 tahun.
5-10% pasien CDI biasanya berjalan dengan 3 fase yaitu:
awalnya poliuritfase hipotonik, diikuti peningkatan
kerusakan sel hipofisis dan akhirnya terjadi diabetes
insipidus permanen.
Tes Pemekatan Air Kemih
Adanya peningkatan serum natrium (>143meqA)
Berat jenis air kemih yang rendah
Tidak ada pemasukan natrium yang berlebihan dan
kadar vasopresin yangtinggi.
Bila ketiga keadaan di atas terjadi rnaka diagonis NDI .
bisa ditegakkan.
'Hasil tes ini mungkin sulit untuk menginterpretasi
seseorang dengan dibetes insipidus parsial yaitu bila
produksi vasopresin sub normal (diabetes insipidus
neurogenik parsial) atau respons sebagian ginjal terhadap
konsentrasi vasopresin yang normal (NDI parsial).

POLlDlPSl PRIMER

Tes Genetik
Gen-gen yang ditemukan sarnpai sekarang adalah AVPV2
dan AQP2. AVPV2 merupakan satu-satunya gen yang
berhubungan dengan x linked NDI. AQP2 merupakan satusatunya gen yang berhubungan dengan NDI autosomal
resesif dan autosomal dominan.

Patofisiologi polidipsi primer berbeda dengan CDI, intake


airyang berlebihan menyebabkan cairan tubuh sedikit encer
(Slight dilutes), menekan sekresi AVP dan urine menjadi

Tes Penunjang
Tes ini berguna untuk menentukan penyebab DI antara
lain laboratorium klinik dan pemeriksaan radiologi.

TERAPI
Untuk . :semua jenis diabetes insipidus secara umum
adalah:
1. Koreksi setiap defisit air.
2 Mengurangi kehilangan air yang berlebihan lewat urin.
Terapi spesifik tergantung jenis poliurinya dan
tergantung keadaan klinik dari masing-masing diabetes
insipidus.

MACAM CARA TERAPI DIABETES INSIPIDUS


1. Air: TBW = 0,6 x premorbid weight x (1- 140/Na)
2. Antidiuretic agents: Arginin vasopressin (Pitressin)
1-Deamino-8-D-argininvasopressin(Desmopressin,
DDAVP)
3. Antidiuresis-enhancing agents:
Chlorpropamide
Prostaglandin Synthese inhibitors (indomethacin,
ibuprofen,tolmetin)
4. Natreuretic agents:
Thiazide diuretic
Arniloride.
5. OAINS (obat anti inflammasi non steroid).

Koreksi Air
Untuk mengurangi kerusakan susunan syaraf pusat dari
pemaparan hiperosmolality pada kebanyakan kasus DI
maka secepatnya osmolality plasma hams diturunkan
dalam 24 jam pertarna ,hingga 320-330 mOsm/Kg H20 atau
mendekati 50%.
Arginin Vasopressin (Pitressin)
Merupakan sintetis dari AVP manusia, kemasan 20 Unitlrnl
aqua.
Mempunyai short-half life relative (2-4 jam lamanya
efek antidiuretik) dianjurkan tidak diberikan bolus intra
vena kecuali dalam keadan akut mis: postoperative DI,
dilakukan titrasi dosis sampai efek diuresisnya terkontrol.
Efek samping: meningkatkan tekanan darah.
Desmopressin
DDAVP adalah agonist reptor AVPV2, banyak
dikembangkan untuk terapi DI karena mempunyai halflife yang panjang (8-20 jam efek lamanya antidiuretik)dqn
tanpa adanya aktivasi AVP V 1.
Merupakan obat pilihan baik untuk akut maupun
kronis CDI.
Kemasan dalam bentuk intranasal 100 mglml aqua,
nasal spray 10 mg dalam 0,1 ml. atau dosis oral 0,1 atau 0,2

mg.
Dalam keadaan emergensi bisa diberikan intavena atau

intramuskularlsubkutan dengan kemasan 4 mglml.


Pemberian parenteral jauh lebih baik 5- 10kali dibandingkan
intranasal dengan dosis rekomendasi 1-2 mg tiap 8- 12jam.

Chlorpropamid (Diabenese)
Merupakan obat anti oral diabetes dari golongan
sulfoniurea yang memiliki efek osmotic dari AVP di ginjal.
Dikatakan bahwa chlorpropamid mengurangi polyuria
hingga 25-75% pada pasien dengan CDI.
Titik kerjanya sebagian besar di tubulus ginjal yang
berpotensiasi dengan hidroosmotik dari AVP dalam
sirkulasi, disamping terbukti meningkatkan sekresiAVP di
pitutari.
Dosisnya antara 250-500 mglhari dengan efek
antidiuretika 1-2hari dan maksimum 4 hari.
Sebaiknya tidak diberikan pada penderita hamil dan
anak-anak, serta bukan untuk kasus akut.
Prostaglandin Synthese Inhibitors
Mempunyai efek baik pada otak maupun ginjal, efeknya
masih kurang diketahui. Di otak mempunyai efek
merangsang sekresi AVP sedangkan di ginjal merangsang
efekAVP, dengan demikian bisa digunakan untuk CDI dan
NDI.
Natriuretic Agents
Tiazid merupakan diuretik yang mempunyai efek
paradox antidiuretik pada pasien dengan CDI walaupun
terapi utamanya untuk NDI.
Dosis 50-lOOmgIhari, biasanya dapat mengurangi
diuresis hingga 50% kombinasi dengan DDAVP sering
digunakan pada penderita NDI.
OAINS
Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) seperti
endometasin dapat memacu pemekatan air kemih dan
mengurangi pengeluaran air kemih. Obat ini dapat dipakai
sendiri ataupun kombinasi dengan diuretik tiazid.
Penggunaan OAINS perlu perhatian karena nefrotoksik
maupun kelainan sekresi asam lambung.
Mengingat efek samping indometasin (penghambat
siklooksigenase-l1Cox- 1), maka penggunaan penghambat
Cox-2 diharapkan bisa sebagai penggantinya walaupun
belum ada penelitiannya.
PENGOBATAN PADA KEADAAN TER'TENTU
1. Pengobatan darurat pada dehidrasi.
2 Pengobatan pada keadaan khusus sewaktu tindakan
bedah.
3. Penanganan kelainan ginjal misal hidronefrosis,
hidroureter dan megakistik.

4. Penanganan sewaktu masa pertumbuhan


5. Penanganan perkembangan psikomotor.

PENDEKATAN KLlNlK PADA PASIEN POLlURl


Diagram alur ini menggambarkan cara pendekatan klinik
terhadap pasien dengan poliuri. Sebelah kin menunjukkan
gambaran diuresis air dan sebelah kanan menunjukkan
diuresis osmotik. (Gambar 3)

2. Gangguan reabsorbsi natrium di tubulus sehinga terjadi


kehilangan natrium dalamjumlah banyak dalam urin.
3. Gangguan sel tubulus distalis terhadap efek ADH.
4. Hidrasi berlebihan selama fase oliguri.
5. Pembersihan solute di dalam medulla, hal ini diperlukan
kerja tubulus ginjal untuk mempertahankan gradient
hipertonik didalam interstitial ginjal.
Selma fase poliuria akan banyak kehilangan natrium
dan air, sehingga bila penanganan tidak baik, yaitu hidrasi
yang cukup maka akan terjadi dehidrasi dan berakibat
terjadinya gangguan ginjal lagi. Untuk ini diperlukan
penanganan dan pengawasan yang ketat.

POLlURlA PADA GANGGUAN GINJAL AKUT


(GGGAIAKI = ACUTE KIDNEY INJURY)
Poliuria merupakan fase setelah oliguri pada penderita
GgGA, pada fase ini penderita mengeluarkan banyak urin
sehingga disebut fase keluaran tinggi (high output phase)
atau fase diuresis.
Pada fase ini filtrate glomelulus memasuki tubulus yang
belum sepenuhnya berfungsi normal, sehingga belum ada
fungsi reabsorbsi dan fungsi sekresi solute sehingga
hanya berupa cairan saja.
Beberapa penyebab terjadinya poliuria pada GgGA
antara lain :
1. Filtrat solute yang tadinya tertahan sewaktu terjadi
oliguri misalnyaureum yang merupakan zat aktif secara
osmotik.

POLlURlA PADA HlPOKALEMl


Pasien dengan hipokalemi akan menyebakan pemekatan
urine oleh ginjal akan terganggu, mekanisme secara pasti
belum sepenuhnya diketahui. studi awal menunjukkan
bahwa hipokalemi yang menginduce poliuria tidak dapat
dikoreksi dengan pemberian ADH. Beberapa mekanisme
terjadinya poliuria karena hipokalemi antara lain :
Adanya produksi prostaglandin yang berlebihan.
Menghambat respons ADH.
Polidipsi primer.
Merubah pelepasan ADH.
Metabolism oksidati dimedulla yang abnormal.
Mengurangi medullary solute

I
Langkah 1:
bagalmena osomolaliis urin?

Apekah PneM40 mmolll

Cukupkahosmules yang disaring?

DIABETES INSIPIDUS

-1 POLIDIPSI

Langkah 3a:
Respon terhedap Vasapresin?

, 1

DIABE;E;ZPIDUS~

TlDAK

1 ,

Lengkah 3b:
Pen'ksaosmoles
di urin dan
tentukan sumbemya

Lnngkah4:
Respon temadap DDAVP

VASOPRESIN

DIABETES INSIPIDUS
NEFROGENIK

Glukosa
Urea
Moniiol
-

Gambar 3. Algoritme poliuri

- Diuresis air inteniten


- Delek ginlel
mengkonsenvasikan

REFERENSI
Edoute,Y, Davids,M.R, J0hnston.C. Halperin,M.L. An integrative
physiological approach to polyuria and hypematremia: a dobletake' on diagnosis and therapy in a .patient with schizophrenia.
Q J 'Med.2003. 96: 53 1-40.
Guyton A.C and Hall J,E, Textbook of Medical Physiology, Ninth
Ed, WB Saunders Company, 1996, 349 - 65.
Halperin,M,L. Davids M,R, and Kame1,K.S. Interpretation of urin
electrolyte and Acid-Base Parameter io Branner,B,M & Rector's,
The Kidney, Seventt Edit, Vol2. Chapter 25. WB Saundm.UX)4:
1151- 81.
Johnson ,T,M, Miller,M, Pillon D,J, and Ouslander,J,G, Arginine
vasopressin ang nocturnal polyuria in older adults with frequent
night-time voiding. The Joumal of
Urology, copyright 2003: vol. 170: 480 4.
Knoers, N. Nephrogenic Diabetes Insipidus, Gene Reviews,
www.genetes.org. January. 2005 . 1-19.

Koeppen BM, Stanton BA. Renal Physiology, Mosby Year Book.


Copy right. 1992. 70 - 90.
Lazorick S. Polyuria and Diabetes Insipidus. httpIIwww.med.unc.edu/
medicine/web/diabetesinsipidus.htm.February. 2005. '1-5.
Quaedackers JS, RoelfsemaV, Hunter CJ, Heineman E, Gunn AJ,
Bennet L. Polyuria and impaired renal blood flow after. asphyxia in preterm fetal sheep, Am J Physiol Regul Integr Comp
Physiol 286. 2004: ~ 5 7 6 - ~ 5 8 3 .
Hassane AML, Krane AL, Chen Q, Solairnani M. Early polyuria and
urinary concentrating defect in potassium deprivation. Am J
Physiol Renal Physiol. 279: F655-663. 2000.
Brenner BM. Brenner and Rector in. The Kidney. Flight Edit. 2007.
Dagher PC, Rosenthal SH, Ruehm SG, et al. Newley developed
techniques to study and diagnose acut renal failure. J Am Soc
Nephrol; 14;2003;2188-98.

GLOMERULONEFRITIS
Wiguno Prodjosudjadi

PENDAHULUAN
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit yang sering
dijumpai dalam praktik klinik sehari-hari dan merupakan
penyebab penting penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, GN dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila
penyakit dasamya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
GN sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit
sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES),mieloma multipel, atau arniloidosis.
Di Indonesia GN masih mempakan penyebab utama
PGTA yang menjalani terapi pengganti dialisis walaupun
data US Renal Data System menunjukkan bahwa diabetes
merupakan penyebab PGTA yang tersering. Manifestasi
klinik GN sangat bemariasi mulai dari kelainan urin seperti
proteinuria atau hematuri saja sampai dengan GN progresif
cepat.

Glomerulonefritisadalah penyakit akibat respon imunologk


dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah
diketahui etiologinya. Proses imunologik diatur oleh
berbagai faktor imunogenetik yang menentukan bagaimana
individu merespons suatu kejadian. Secara garis besar dua
mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune
complex dan terbentuknya deposit kompleks imun secara
in-situ. Antigen (Ag) yang berperan pada pembentukan
deposit in-situ dapat berasal darikomponen membran basal
glomerulus (MBG) sendiri vied-antigen) atau substansi
dari luar yang terjebak pada glomerulus (planted-antigen).
Mekanisme pertama apabila Ag dari luar memicu
terbentuknya antibodi (Ab) spesifik,kemudian membentuk
kompleks irnun Ag-Ab yang ikut dalam sirkulasi. Kompleks
imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang kemudian

berikatan dengan kompleks Ag-Ab. Kompleks imun yang


mengalir dalam sirkulasi akan terjebak pada glomerulus
dan mengendap di sub-endotel dan mesangium. Aktivasi
sistem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi
pengendapan kompleks imun. Mekanisme kedua apabila
Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang merupakan
komponen glomerulus. Alternatif lain apabila Ag nonglomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian
anionik glomemlus, diikuti pengendapan Ab dan aktivasi
komplemen secara lokal. Selain kedua mekanisme tersebut
GN dapat dimediasi oleh imunitas selular (cell-mediated
immunity). Studi eksperimentalmembuktikan bahwa sel T
dapat berperan langsung terhadap timbulnya proteinuria
dan terbentuknya kresen pada GN kresentik.

KERUSAKAN GLOMERULUS PADA GN


Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh
endapan kompleks imun. Berbagai faktor seperti proses
inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi,dan komplemen
berperan pada kerusakan glomemlus. Kemsakan glomerulus dapat terjadi dengan melibatkan sistem komplemen clan
sel inflamasi, melibatkan sistem komplemen tanpa
keterlibatan sel inflamasi, dan melibatkan sel inflamasi
tanpa sistem komplemen. K e ~ ~ a k glomerulus
an
dapat pula
terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas selular
melalui sel T yang tersensitisasi (sensitized-T cells).
Pada sebagian GN, endapan kompleks imun a b n
memicu proses inflamasi dalam glomerulus dan
menyebabkan proliferasi sel. Pada GN non-proliferatif @an
tipe sklerosing seperti GN membranosa (GNMN) atau
glomerulosklerosisfokal segmental (GSFS) tidak melibatkan
sel inflamasi. Faktor lain seperti proses imunologik yang
mendasari terbentuknya Ag-Ab, lokasi endapan,
komposisi dan jumlah endapan serta jenis Ab berpengaruh
terhadap k e ~ ~ a k glomemlus.
an

PROSES INFLAMASI PADA KERUSAKAN


GLOMERULUS
Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses
inflamasi yang dipicu oleh endapan kompleks imun. Proses
inflamasi akan melibatkan sel inflamasi, molekul adesi dan
kemokin yaitu sitokin yang mempunyai efek kemotaktik.
Proses inflamasi diawali dengan melekat dan bergulirnya
sel inflamasi pada permukaan sel endotel (tethering and
rolling). Proses ini dimediasi oleh molekul adesi selektin
L, E, dan P yang secara berturut turut terdapat pada
permukaan leukosit, endotel dan trombosit. Molekul CD3 1
atau PECAM-1 (platelet-endothelial cell adhesion
molecule-I) yang dilepaskan oleh sel endotel akan
merangsang aktivasi sel inflamasi. Reaksi ini menyebabkan
ekspresi molekul adesi integrin pada permukaan sel
inflamasi meningkat dan perlekatan sel inflamasi dengan
sel endotel semakin kuat. Perlekatan ini dimediasi oleh
VLA-4 (very-lateantigen 4) pada permukaan sel inflamasi
dan VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule-1)
pada sel endotel yang teraktivasi. Ikatan antara LFA-1
(lymphocyte function-associated antigen-I) pada
permukaan sel inflamasi dan ICAM- 1 (intracellularadhesion molecule-1) pada sel endotel akan lebih mempererat
perlekatan tersebut. Proses selanjutnya adalah rnigrasi sel
inflamasi melalui celah antar sel endotel (transendothelial
migration). Pada Tabel 1 disebutkan berbagai molekul
adhesi yang berperan pada proses inflamasi termasuk pada
GN.

Selectins
E-selectin
1-selectin
P- selectin

19-like family
ICAM-1
ICAM-2
VCAM-1

lntegrins
p1 -integrins
VLA-4
fl-integrins
LFA-I
Mac-I
~150.95
VLA-4: very late antigen-4; LFA-1: lymphocyte-function
associated antigen-1
ICAM-1: intercellular adhesion molecule-I ; ICAM-2; VCAM1:vascular cell adhesion molecule-1

Kemokin mempunyai efek kemotaktik yaitu kemampuan


menarik sel inflamasi keluar dari dalam pembuluh darah
menuju jaringan. Secara garis besar dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu kernokin-P dan kernokin-a, yang berturutturut mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit dan
- monosit atau limfosit seperti terlihat pada Tabel 2. Dengan
pengaruh kemokin akan semakin banyak sel inflamasi yang
bermigrasi ke jaringan sehingga proses inflamasi menjadi
lebih berat.

SEL INFLAMASI PADA KERUSAKANGLOMERULUS


Sel inflamasi yang banyak dikaitkan dengan kerusakan
glomerulus pada GN adalah leukosit polimormonuklear
(PMN) dan monosit/makrofag. Trombosit dan produk
koagulasinya juga ikut berperan pada proses inflamasi
tersebut. Peran leukosit PMN dibuktikan pada GN akut
pasca infeksi streptokokus. Infiltrasi makrofag pada
glomerulus pertama kali ditunjukkan pada pasien GN
kresentik. Belakangan dilaporkan bahwa infiltrasi makrofag
pada glomerulus dijumpai pada berbagai GN dan berkaitan
dengan beratnya proteinuria. Interaksi antara makrofag
dengan sel glomerulus seperti sel mesangial, sel epitel atau
sel endotel glomerulus akan menyebabkan sel tersebut
teraktivasi dan melepaskan berbagai mediator inflamasi
seperti sitokin pro-inflamasi dan kemokin yang akan
menambah proses inflamasi dan kerusakan jaringan.
Trombosit yang lebih banyak berperan pada sistem
koagulasi akan menyebabkan oklusi kapiler, proliferasi sel
endotel dan sel mesangial pada GN. Trombosit dapat
diaktivasi oleh kompleks imun atau Ab melalui ikatan
dengan reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel.
Interaksi ini rnenyebabkan agregasi trombosit yang
akhirnya akan menyebabkan koagulasi intrakapiler
glomerulus.

a subfamily

ENA-78
GCP-2
IL-8 (NAP-1)
YIP-10
NAP-2, NAP-4
PF-4
SDF-la, SDF-1P

flsubfamily
MCP-1 (MCAF)
MCP-2, MCP-3
MIP-la, MIP-1P
RANTES

ENA:epithelial-derived neutrophil activating factor; GCP:


granulocyte chemotactic protein; 11-8 :interleukin-8;
NAP:neutrophil activating protein-I; PF-4: platelet factor-4;
SDF:stromal cell-derived factor; MCP :monocyte
chemoattractant protein ;MIP :rnacrophage inflammatory
protein; RANTES: regulated, on activation, normal T
expressed and secreted

KOMPLEMENPADA KERUSAKANGLOMERULUS
Keterlibatan komplemen terbukti dengan ditemukannya
endapan pada pemeriksaan rnikroskop imunofluoresen (IF)
biopsi ginjal pasien GN. Kadar serum komplemen yang
rendah pada nefritis lupus dan GN pasca infeksi streptococcus akut memperkuat kaitan antara komplemen dan GN.
Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai
mekanisme pertahanan humoral. Pada GN komplemen
berfungsi mencegah masuknya Ag, tetapi dapat pula
menginduksi reaksi inflamasi. Dua jalur aktivasi sistem
komplemen yaitu klasik dan altematif. Kompleks imun yang

mengandung IgG atau IgM akan mengaktivasijalur klasik


sedangkan aktivasi jalur alternatif dipicu oleh kompleks
imun yang mengandung IgA atau IgM seperti terlihat pada
Gambar 1.

radikal yang berpengaruh pada kerusakan MBG. Makrofag


juga mampu melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin
proinflamasi, PDGF (platelet-derived growth factors),
TGF-P (transforming growthfactor-P) yang berperan pada
patogenesis dan progresi GN.

EVALUASI KLlNlSDAN DIAGNOSIS GN

Jalur
Klasik

Properdin

Jalur
AlternaUl

Gambar 1. Aktivasi sistem komplemen jalur klasik dan alternatif

Kerusakan glomerulus terjadi akibat terbentuknya


fragmen komplemen aktif yang berasal dari aktivasi sistem
komplemen. Fragmen komplemen C3a, C4a, C5a bersifat
anafilatoksin sedangkan C5a mempunyai efek kemotaktik
terhadap leukosit. Endapan kompleks imun sub-epitel akan
mengaktivasi jalur klasik dan menghasilkan MAC
(membrane attack complex). Dalam jurnlah besar MAC
akan menyebabkan lisis sel epitel glomerulus seperti pada
GNMN. Sebaliknya bila tidak menimbulkan lisis akan
mengaktivasi sel epitel glomerulus dan membentuk
kolagen serta produk metabolisme asam arakhidonat yang
bersifat protektif. Endapan C3b pada MBG menyebabkan
terjadinya perlekatan sel inflamasi dengan C3b melalui
reseptor komplemen CRl yang terdapat pada permukaan
sel dan akan dilepaskan berbagai protease yang dapat
menyebabkan kerusakan glomerulus.

MEDIATOR INFLAMASI PADA KERUSAKAN


GLOMERULUS
Mediator inflamasi yang diproduksi oleh sel inflamasi atau
sel glomerulus yang teraktivasi seperti sitokin proinflamasi,
protease dan oksigen radikal, serta produk ekosaenoid
berperan pada kerusakan glomerulus. Aktivasi leukosit
menyebabkan dilepaskannya granul azurofilic yang
mengandung enzim lisosom dan protease yang dapat
menyebabkan kerusakan MBG. Granul spesifik yang
mengandung laktoferin merangsang pembentukan oksigen

Gejala klinik GN merupakan konsekuensi langsung akibat


kelainan struktur dan fungsi glomerulus. Glomerulonefritis
ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi
ginjal, dan perubahan ekskresi garam dengan akibat edema,
kongesti aliran darah, dan hipertensi. Manifestasi klinik
GN merupakan kumpulan gejala atau sindrom klinik yang
terdiri dari kelainan urin asimtomatik, sindrom nefrotik, GN
progresif cepat, sindrom nefrotik, dan GN kronik.
Klasifikasi ini sederhana dan mudah diaplikasikan
walaupun setiap gambaran klinik dapat diasosiasikan
dengan berbagai jenis GN baik penyebab maupun kelainan
histopatologinya.Pada sindrom kelainan urin asimtomatik
ditemukan proteinuria subnefrotik dan atau hematuri
mikroskopik tanpa edema, hipertensi dan gangguan fungsi
ginjal. Pada sindrom nefritik ditemukan hematuri dan
proteinuria, gangguan fungsi ginjal, retensi air dan garam
serta hipertensi. Glomerulonefritisprogresif cepat ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang terjadi dalam
beberapa hari atau minggu, gambaran nefritik, dan pada
biopsi ginjal menunjukkan gambaran spesifik. Sindrom
nefrotik ditandai proteinuria masif (23,5 g/1,73 m2/hari),
edema anasarka, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia.
Glomerulonefritis kronik ditandai dengan proteinuria
persisten dengan atau tanpa hematuria disertai penurunan
fungsi ginjal progresif lambat.
Sumber pustaka lain membagi sindrom klinik GN
menjadi nefritik fokal, nefritik difus, sindrom nefrotik dan
GN pola non spesifik. Sindrom klinik nefritik fokal ditandai
dengan hematuri, red cell cast, dan proteinuria <1.5 gl24
jam. Pada sindrom nefritik difus proteinuria lebih berat tetapi
belum mencapai stadium nefrotik, edema, hipertensi dan
gangguan fungsi ginjal. Sindrom nefrotik (SN) ditandai
dengan edema anasarka, proteinuria masif, hiperlipidemia,
hipoalbuminemia dan pada pemeriksaan urin menunjukkan
lipiduria dan red cell cast. Gambaran GN yang tidak khas
misalnya pada nefritis lupus, infeksi virus hepatitis B atau
C dikelompokkan sebagai sindrom klinik pola non-spesifik.
Data GN yang dikumpulkan dari 5 rumah sakit selama 5
tahun oleh Sidabutar dan kawan-kawan dari 459 kasus
rawat inap, 177 kasus lengkap dengan biopsi ginjal. Dari
177kasus yang dilakukan biopsi ginjal35,6% menunjukkan
manifestasi klinik sindrom nefrotik, 19,296 sindrom nefritik
akut, 3,996 GN progresif cepat, 15,396 dengan hematuria,
19,3% proteinuria, dan 6,8%hipertensi.
Informasi riwayat GN dalam keluarga, penggunaan obat
antiinflamasi non-steroid, preparat emas organik, heroin,

imunosupresif seperti siklosporin atau takrolimus, dan


riwayat infeksi streptococcus, endokarditis atau virus
diperlukan untuk menelusuri penyebab GN. Keganasan
paru, payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit Hodgkin
dan limfoma non-Hodgkin, serta penyakit multisistem
seperti diabetes melitus, arniloidosis, lupus dan vaskulitis
juga diasosiasikandengan GN. Edema tungkai dan kelopak
mata merupakan gejala klinik GN. Pemeriksaan urin, gula
darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal
diperlukan untuk membantu diagnosis GN. Pemeriksaan
serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-dsDNA,
antibodi anti-GBM (glomerulus basement membrane),
ANCA diperlukan untuk menegakkan diagnosis GN dan
membedakan GN primer dan sekunder. Apabila ada
kecurigaan, pemeriksaan untuk menegakkan infeksi
bakteri, virus HIV, hepatitis B dan C juga diperlukan.
Ultrasonografi ginjal diperlukan untuk menilai ukuran
ginjal dan menyingkirkan kelainan lain seperti obstruksi
sistem pelviokalises. Biopsi ginjal diperlukan untuk
menegakkan diagnosis secara histopatologi dan dapat
digunakan sebagai pedoman pengobatan. Biopsi ginjal
terbuka dilakukan dengan operasi dan memerlukan anestesi
umum sedangkan biopsi jarum perkutan cukup dengan
anestesi lokal. Biopsi ginjal tidak dilakukan apabila ukuran
ginjal kurang dari 9 cm yang menggambarkan proses
kronik.

GAMBARAN HISTOPATOLOGIS
Klasifikasi GN primer secara histopatologik sangat
bewariasi tetapi secara umum dapat dibagi menjadi GN
proliferatif dan non-proliferatif. Termasuk GN nonproliferatif adalah GN lesi minimal, glomerulosklerosisfokal
dan segmental, serta GN membranosa.

GLOMERULONEFRI'TIS LESl MINIMAL (GNLM)


Glomerulonefritis lesi minimal merupakan salah satu jenis
yang dikaitkan dengan sindrom nefrotik dan disebut pula
sebagai nefrosis lupoid. Pemeriksaan dengan mikroskop
cahaya dan IF menunjukkan gambaran glomerulus yang
normal. Pada pemeriksaan rnikroskop elektron menujukkan
hilangnya foot processes sel epitel viseral glomerulus.

GLOMERULOSKLEROSISFOKAL DANSEGMENTAL
(GSFS)
Secara klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik
dengan gejala proteinuria masif, hipertensi, hematuri, dan
sering disertai gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan
mikroskop cahaya menunjukkan sklerosis glomerulus
yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi

kapiler glomerulus terjadi pada segmen glomerulus dan


dinding kapiler mengalami kolaps. Kelainan ini disebut
hialinosis yang terdiri dari IgM dan komponen C3.
Glomerulus yang lain dapat normal atau membesar dan
pada sebagian kasus ditemukan penambahan sel.

GLOMERULONEFRITISMEMBRANOSA (GNMN)
Glomerulonefritismembranosa atau nefropati membranosa
sering merupakan penyebab sindrom nefrotik. Pada
sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui
sedangkan yang lain dikaitkan dengan LES, infeksi
hepatitis virus B atau C, tumor ganas, atau akibat obat
misalnya preparat emas, penisilinamin, obat anti inflamasi
non-steroid. Pemeriksaan mikroskop cahaya tidak
menunjukkan kelainan berarti sedangkan pada
pemeriksaan mikroskop IF ditemukan deposit IgG dan
komplemen C3 berbentuk granular pada dinding kapiler
glomerulus.Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi
spike-like pada MBG. Gambaran histopatologi pada
mikroskop cahaya, IF dan mikroskop elektron sangat
tergantung pada stadium penyakitnya.

GLOMERULONEFRI'I'IS PROLIFERATIF
Tergantung lokasi keterlibatan dan gambaran histopatologi
dapat dibedakan menjadi GN membranoproliferatif
(GNMP), GN mesangioproliferatif (GNMsP), dan GN
kresentik. Nefropati IgA dan nefropati IgM juga
dikelompokkan dalam GN proliferatif. Pemeriksaan
mikroskop cahaya GNMP memperlihatkan proliferasi sel
mesangial dan infiltrasi leukosit serta akumulasi matrik
ekstraselular.Infiltrasi makrofag ditemukan pada glomerulus dan terjadi penebalan MBG serta double contour. Pada
mikroskop IF ditemukan endapan IgG, IgM, dan C3 pada
dinding kapiler yang berbentuk granular.

PENGOBATAN
Pengobatan spesifik pada GN ditujukan terhadap penyebab
sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas
penyakit. Pemantauan klinik yang reguler, kontrol tekanan
darah dan proteinuria dengan penghambat enzim konversi
angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors,
ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin I1 (angiotensin
I1 receptor antagonists, AIIRA) terbukti bermanfaat.
Pengaturan asupan protein dan kontrol kadar lemak darah
dapat membantu menghambat progresivitas GN.
Efektivitas penggunaan obat imunosupresif GN masih
belum seragam. Diagnosis GN, faktor pasien, efek samping
dan faktor prognostik merupakan pertimbangan terapi
imunosupresif. Kortikosteroid efektif pada beberapa tipe

GN karena dapat menghambat sitokin proinflamasi seperti


IL-la atau TNF-a dan aktivitas transkripsi NFkB yang
berperan pada patogenesis GN. Siklofosfamid, klorambusil,
dan azatioprin mempunyai efek antiproliferasi dan dapat
menekan inflarnasi glomerulus. Siklosporin walaupun sudah
lebih dari 20 tahun digunakan pada transplantasi ginjal
tetapi belum ditetapkan secara penuh untuk pengobatan
GN. Imunosupresif lain seperti mofetil mikofenolat,
takrolimus, dan sirolimus juga belum diindikasikan secara
penuh untuk pengobatan GN. Pengobatan imunosupresif
terbukti memberikan keuntungan pada GN kresentik, GSFS,
GNLM, GNMN, dan pada nefropati IgA. Pada GNLM
prednison dosis 0,5-1 mglkg berat badan/ hari selama 6-8
minggu kemudian diturunkan secara bertahap dapat
digunakan untuk pengobatan pertama. Pada GSFS
kortikosteroid dapat diberikan dengan dosis yang sama
sampai 6 bulan dan dosis diturunkan setelah 3 bulan
pengobatan. Prednisolon diturunkan setengah dosis satu
minggu setelah remisi untuk 4-6 minggu kemudian dosis
diturunkan bertahap selama 4-6 minggu agar pengobatan
steroid mencapai 4 bulan. Pada GN yang resisten terhadap
steroid atau relaps berulang, siklofosfamid atau siklosporin
merupakan pilihan terapi. Mofetil mikofenolat dapat
digunakan sebagai alternatif terapi pada GN resisten
steroid atau relaps berulang. Pada GNMN monoterapi
kortikosteroid tidak efektif dan kombinasi dengan
siklofosfamid atau klorambusil mencapai remisi 50%.
Kortikosteroidmasih efektif untuk pengobatan GNMP anak
tetapi tidak pada pasien dewasa. Pada nefropati IgA
prednison efektif menghambat progresivitas penyakit
tetapi kombinasi ACE-i dan AIIRA merupakan pilihan
pertama.

PENGOBATAN GN MASA DEPAN


Kerusakan glomerulus pada GN terjadi akibat interaksi
faktor penyerang dan unsur pertahanan. Oleh karena itu
yengobatan GN dilakukan untuk mengontrol proses dan
mediator inflamasi sebagai faktor penyerang dan
meningkatkan efek anti-inflamasi sebagai unsur
pertahanan. Molekul adhesi dan kemokin berperan penting
pada inflamasi glomerulus sehingga penelitian difokuskan
untuk mempengaruhi kedua molekul tersebut. Pada studi
eksperimental terbukti pemberian anti-MIP2, anti-MCP- 1,
anti-VLA-4, anti LFA- 1 atau anti-ICAM- l dapat
mengurangi infiltrasi sel inflamasi dan terjadinya
proteinuria. Pemberian soluble IL- I receptor, IL- lra (IL-1
receptor antagonist),dan sTNFR (soluble TNF receptor)
dapat mempengaruhi efek mediator inflamasi sedangkan
anti-TGF-P dapat mengurangi akumulasi matrik
ekstraseluler dan progresivitas GN. Berbagai sitokin seperti
IL-4, IL- 10, IL- 13dikenal mempunyai efek anti-inflamasi.
Pemberian IL-4 dapat mencegah produksi sitokin
proinflamasi dan meningkatkan sintesis anti-inflamasi IL-

Ira dan sTNF-a. Produksi oksigen radikal, IL- l a dan ILI p, IL-8, TNF-a oleh makrofag dapat pula diharnbat dengan
pemberian IL- 13.
Terapi genetik merupakan salah satu upaya pengobatan
GN dan penyakit ginjal lain masa &pan. Dengan melakukan
transfer genetik ke dalam sel somatik diharapkan dapat
memperbaiki kelainan genetik. Sel glomerulus merupakan
target utama transfer gen untuk memodifikasi proses
inflamasi. Transfer gen in vivo ke &lam glomerulus dapat
dilakukan dengan perantaraan virus atau liposom. Pada
model GN anti-Thy. 1, transfer ODN antisens dapat
mencegah efek prosklerotik TGF-P dan terjadinya
glomerulosklerosis. Transfer gen pada tubulus lebih sulit
karena setiap segmen tubulus mempunyai fungsi dan jenis
sel yang berbeda.

Arend WP. Interleukin-l receptor antagonist. A new member of


interleukin-l family. J Clin Invest. 1991;88:1445-51.
Bargman JM. Management of minimal lesion glomerulonephritis:
evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppI
7O):S3-S6.
Bockenstedt LK, Goetzl El. Constituents of human neutrophils
that mediate enhanced adherence to surfaces. J Clin Invest.
1980;65: 1372-80.
Burgess E. Management of focal segmental glomerulosclerosis:
evidence-based recommendations. Kidney lnt. 1999;55(suppl
7O):S26-S32.
Chadban SJ, Atkins RC. Glomerulonephritis. Lancet. 2005;365:1797806.
Couser WG Baker PJ, Adler S. Editorial Review. Complement and
the direct mediation of immune glomerulus injury: A new
perspective. Kidney Int. 1985;28:879-90.
Couser WG Shankland SJ. Membranous nephropathy. In: Johnson
RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2nd
edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 295.
Feehally J, Johnson RJ. Introduction to glomerulus disease: clinical
presentations. In: Johnson RJ. Feehally J. editors. Comprehensive clinical nephrology. 2" edition. Edinburg: Mosby; 2003. p.
255.
Ferrario F, Castiglione A. Colasanti G, Di Belgioso GB. Berroli S,
D'Amico G. The detection of monocytes in human glomerulonephritis. Kidney Int. 1985;28:513-9.
Glassock RJ, QAdler S G Ward HJ. Cohen AH. Primary glomerulus
disease. In: Brenner BM. Rector FC, editors. The kidney. 2"*
edition. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1991. p. 1182.
Hebert LA, Cosio FG, Birmingham DJ. Complement and
complement regulatory protein in renal disease. In: Neilson E G
Couser WG, editors. immunologic renal diseases. 1"edition.
Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. p. 377.
Hebert MJ, Brady HR. Leukocyte adhesion. In: Neilson EC, Couser
WG, editors. Immunological renal diseases. I " edition.
Philadelphia: Lippincott-Raven: 1997. p. 519.
Holdworth SR. Macrophage-induced glomerulus fibrin deposition in
experimental glomerulonephritis in rabbit. J Clin Invest.
1985;76: 1367-74.
Hricik DE, Chung-Park M. Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J

Med. 19b,8;339:888-99.
Imai E. Isaka Y. Strategies of gene transfer to the kidney. Perspective in basic science. Kidney Int. 1998;53:264-72.
Johnson RJ, Lovett D, Lehrer RI, Couser WG, Klebanoff SJ. Role of
oxidants and proteases in glomerulus injury. Kidney Int.
1994;45:352-9.
Johnson RJ, Rennke H, Feehally J. Introduction to glomerulus disease. Pathogenesis and classifications. In: Johnson RJ, Feehally
J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition.
Edinburgh: Mosby; 2003. p. 243.
Khlar S, Levey AS, Beck GJ, et al. The efffects of dietary protein
restriction and blood pressure control on the progression of
chronic renal disease: Modification of diet in renal disease study
group. N Engl J Med. 1994;330:877-84.
Kluth DC, Rees A. New approaches to modify glomerulus inflammation. J Nephrol. 1999;12:66-75.
Muirhead N. Management of idiopathic membranous nephropathy:
evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl
7O):S47-S55.
Nakao N, Yoshimura A. Morita H, et al. Combination treatment of
angiotensin-I1 receptor blocker and angiotensin converting
enzyme inhibitor in non-diabetic renal (COORPORATE): a
randomized controlled trial. Lancet. 2003;361:117-24.
Phil Mason. Minimal change disease and primary focal segemental
glomerulosclerosis. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition. Edinburg: Mosby;
2003. p. 271.

Prodjosudjadi W. Monocyte chemoattractant protein-] in


glomerulus disease and renal transplantation, [Thesis]. Leyden
University, ISBN 90-9009404-0, 1996.
Rose BD. Differential diagnosis of glomerulus disease. 2005
UpToDate. Available from URL: www.uptodate.com.(800)9986374.(781)237-4788
Rydel JJ, Kobert SM, Borok RZ, Schwartz MM. Focal segmental
glomerulus sclerosis in adults: presentation, course and response
to therapy. Am J Kidney Dis. 1995;25:534-42.
Schena FP, Johnson RJ, Alpers CE. Membranoproliferative
glomerulonephritis and cryoglubulinemic glomerulonephritis.
In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical
nephrology. 2" edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 309.
Schlondorff D, Nelson PJ, Luckow B, Banas B. Chemokine and
renal disease. Kidney Int. 1997;51:610-21.
Sidabutar RP, Nico A Lumenta, Suhardjono, et al. Glomerulonephritis
in Indonesia. One day course on Renal Immunology, Faculty of
Medicine, University of Indonesia, Jakarta, August 20, 1987.
Wheeler DC. Does lipid-lowering therapy slow progression of chronic
kidney disease? Am J Kidney Dis. 2004;44:917-20.
Wilson CB. Renal response to immunologic glomerulus injury. In:
Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 5'h edition.
Philadelphia: WB Saunders; 1996. p. 1253.

AMILOIDOSIS GINJAL
M. Rachmat Soelaeman

PENDAHULUAN

Arniloidosis dan kelompok disproteinemi terdiri dari


spektrum beberapa penyakit dan secara patogenesis
berhubungan dengan penimbunan material derivat
imunoglobulin dalam ginjal.
Arniloidosis adalah suatu penyakit penimbunan hasil
metabolisme yang unik, dan yang ditimbun merupakan
protein fibriler yang tidak larut di dalam jaringan tubuh.

Amiloidosis ginjal adalah penyakit dengan karakteristik


penimbunan polimer protein di ekstraselular dan gambaran
dapat diketahui dengan histokimia dan gambaran
ultrastruktur yang khas. Polimer protein merupakan struktur
tersier dan mempunyai ciri khas dalam perwarnaan serta
stabil dalam kedaan patologis. Penimbunan interstisial
yang progresif akan menyebabkan disfungsi organ dan
menimbulkan gejala.

sekarang adalah berdasarkan kirnia material.


Terdapat 2 tipe sistemik yang paling banyak yaitu AL
(amiloidosis primer atau mieloma terkait amiloidosis) dan
AA (sekunder atau amiloidosis reaktif). Pendapat dahulu,
adanya deposit N terminal dari fragrnen kappa atau lamda
rantai pendek imunoglobulin dan pendapat sekamng adalah
berhubungan dengan fase akut reaktan serum reaktan
amiloid A (SAA) sebagai prekursor protein amiloidogenik.
Klasifikasi amiloidosis terdapat pada Tabel 1.
Struktur amiloid dapat dipelajari dengan melihat atau
mempelajari morfologi. Setelah pengecatan congo-red
ternyata amiloid mempunyai struktur polaroid dan terlihat
khas bentuk dikelilingi seperti ape1 hijau. Terlihat secara
teratur morfologi deposit amiloid dalam mesangium
glomerulus. Gambaran ini sering terdapat pada semua tipe
amiloid dan pada preparat fibril murni. Radiologi
kristalogrofiakan terlihat fibril terdiri dari rantai polipeptida
tegak lurus sepanjang aksis fibril

ETlOLOGl DAN INSIDENS

Virchow adalah peneliti pertama yang memberi nama


amiloidosisuntuk reaksi warna material yang khas, setelah
pewarnaan iodium dan sulfur. Interpretasi seperti ini
mengundang kontroversi untuk mempelajari lebih lanjut
mengenai komposisi proteinnya.

Berdasarkan data suatu RS di AS, amiloidosis terdapat


hanya 0,796 dari 11.586 atopsi pada 1961 sampai 1970.
Etiologi amiloidosis berhubungan dengan klinis: multipel
mieloma, penyakit inflamasi menahun, tetapi kebanyakan
tipe primer. Insidens amiloidosis berhubungan pula dengan.
plasma cell dyscrasias,tetapi etiologi amiloidosis sekunder
bergeser dari infeksi supuratif menahun ke penyakit
rernatik

Amiloidosis dibagi berdasarkan manifestasi klinis dan


tempat penimbunan material, tetapi pembagian yang

Perbedaan mekanisme patogenesis berdasarkan


perubahan protein amiloidogenik dan konfmasi patologis

SEJARAH

Klasifikasi

r::p:F:

Distribusi:
sistemik (S),
lokal (L)
. .

Penyakit dasar

AL

lmunoglobulin
rantai ringan

S,L

Mielorna rnultipel,
diskrasia plasma
sel plasma,
arniloidosis, AL
primer.

AA

Arniloid serum
A

AP2M

MikroglobulinP2.

S, L

AP

PP AP

AlTR

Transtiretin

Apr P

Protein Prion

L
L

Penyakit Alzheirner
sporadis, penuaan,
sindrom
Down
FAP (tipe Portugis)
Amiloidosis
kardiovaskular senil
CJD sporadis
(iatrogenik)
CJD familial, FFI

AApoAl

Apolipoprotein
Al

S
L

Amiloidosis sisternik
Arteriosklerosis

AApo All

Apolipoprotein
All

Arniloidosis ginjal
herediter

Agel

Gelsolin

Alys

Lisozim

Acys

Sistatin C

FAP (tipe Finnish),


Lattice corneal
dystrophy
Amiloidosis viseral
familial (ginjal, hati,
limpa)
Amiloidosis familial
(tipe' Icelandic)
Amiloidosis sistemik
herediter

Amiloidosis AA
sekunder; infeksi
kronik (malaria, TB)
atau inflamasi (AR,
spondilitis
ankilosing);
keganasan
(limfoma Hodgkin
dan
gastrointestinal,
karsinoma, GU)
Hemodialisis; deposit
primer di sendi.

Afib, or Aa Fibrinogen
rantai a

Al APP

Polipeptida
amil&d
pankreas
Peptida
natriuretik
atrial
Prolaktin

L
L

lnsulinoma
langerhans pankreas

Fibrilasi atrial

Pituitari

L
L

latrogenik
Kornea

A (tbn)

Insulin
Keratoepitelin
tbn

Atau

Protein Tau

Tumor-tumor
Pindborg
Otak

AANF

Apro
Ains
Aker

Terdapat beberapa macam mekanisme: 1). protein


dengan tendensi melipat secara tidak normal sesuai umur
(transtiretin pada sistemik amiloidosis senilis) atau
konsentrasi dalam serum tinggi disebabkan ekspresi yang
berlebihan (AA amiloidosis) atau berkurangnya
penjernihan dari sirkulasi (P,-mikroglobulin pada
hemodialisis). 2). mutasi sehingga penggantian asam amino
tunggal pada protein prekursor, sehingga keadaan tidak
stabil (herediter). 3). preteolitik parsial dari protein
prekursor sehingga tidak terdapat protein fibriler (prekursor
protein b-amiloid (APP) pada penyakit Alzheimer).
4). kehilangan mekanisme penghilangan peptida
amiloidogenik dengan konsentrasi lokal yang tinggi.
Peranan Faktor perangsang amiloid (AEP) belum
dimengerti secara baik dalam proses pembentukan fibril.
Komponen serum amiloid P (SAP) dan komponen
membrana basalis, diantaranya glukosarninoglikan sulfat,
laminin, fibronektin, dan tipe IV kolagen terdapat pada
kondisi yang berhubungan dengan fibril AA arnilod. Secara
pasti semua ha1 tersebut masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.
Mekanisme dan tempat penimbunan:
1. Penurunan fungsi organ disebabkan selain oleh
perubahan fisis, arsitektur, dan fungsi karena adanya
fibril arniloid; juga oleh secara pengaruh,lokal toksin
fibril.
2. Dapat pula disebabkan oleh oxidative stress dan aktifasi
apoptosis, seperti terjadi pada amiloidosis AL.

Gambar 1. Endapan arniloid pada kapiler rnenyurnbat glomerulus


dan rnenyebabkan rnesangium menebal

Gambar 2. Arniloid dengan pengecatan congo red, terlihat amiloid


tersebar dalarn glomerulus

Gambar 3. Membran basalis dan kapiler glomerulus menebal


akibat penumpukan amiloid

12-15 bulan atau kurang bila a& mieloma. bila amioloid


mengenai liver (9 %) prognosis lebih baik.
Amiloidosis AA (sekunder) terdapat pada penyakit
inflamasi menahun atau infeksi; penyakit yang sering
menyertai adalah artritis rematoid, arteritis rematoid
juvenilis, dan ankilosis spondilitis. Malaria, lepra, dan
tuberkulosis merupakan infeksi menahun dan sering
menyertai amiloidosis AA. AmiloidosisAA dapat disertai
pula penyakit Hodgkin, keganasan dalam saluran makanan
dan saluran kemih. Prognosis amiloidosisAA, 50% selama
5 tahun dan 25% selama 15 tahun.

DIAGNOSIS

Gambar 4. Endapat atau deposit amiloid pada korteks ginjal seperti


lilin abu

3. Sampai 25% kelainan hanya pada satu organ. Deposit


mungkin spesifik organ, seperti pada amiloidosis P2
rnikroglobulin terdapat pada sendi, A a (A fib) amiloid
pada parenkim ginjal.

Amiloidosis sistemik pada umumnya progresif dan fatal,


tetapi perjalanan penyakitnya masih tetap belum diketahui
pasti, sebab pengenalan klinis sangat kurang sampai pada
fase terakhir. Amioloidosis dapat mengenai semua umur
dan jenis kelamin. Presentasi atau manifestasi klinis
tergantung dari distribusi dan jumlah timbunan arniloid,
dan gejalanya tidak spesifik. Gejala dan tanda yang sudah
diketahui pada amiloidosis sistemik adalah makroplosisa,
sindrom -nefrotik, gagal ginjal, sindrom carpal tunnel,
neuropati sensorik clan motorik, gagal jantung atau aritmia,
hepatosplenomegali, diare, malabsorpsi, ulkus,
limpadenopati, gangguan pembekuan darah, fragilitas
kapiler, dan gangguan agregasi trombosit.
Gejala amiloidosis AL yang paling sering terdapat pa&
diskrasia sel plasma atau sel B, atau gamopati monoklonal;
amiloidosis sering bersamaan dengan mieloma 15% tidak
disertai penyakit lain. Pada amiloidosis AL yang mengenai
gastrointestinal .(7%) sering disertai perdarahan hebat
sehingga mengancam jiwanya. Prognosis arniolodosis AL

Diagnosis klinis amiloidosis merupakan salah satu


tantangan dalam kedokteran. Langkah pert-ama adalah
kecurigaan secara klinis, selanjutnya dilakukan pendekatan
oleh beberapa disiplin ilmu dan terrnasuk dalam pendekatan
ini adalah riwayat keluarga, pemeriksaan klinis, dan
mempelajarijaringan.
Teknik biokimia dan molekular merupakan pilihan
pemeriksaan diagnostik dan bila imunohistokirnia gagal
menemukan deposit protein hal yang mendukung pada
organ yang terkena. Teknik ini penting pula untuk
pemeriksaan keluarga yang mempunyai kemungkinan
amiloidosis familier. Lebih dari 100 mutan amiloidogenik
telah dapat teridentifikasi sebgai amiloidosis sistemik
herediter, dan bentuk herediter ini sering salah diagnosis
sebagai amiloidosis AL karena penampilan klinis yang
hampir sama. Efektivitas pengobatan dan prognosis akan
dipengaruhi oleh diagnosis lebih awal, penemuantipe fibril
protein endapan (deposit), dan konseling genetik. Analisis
DNA dengan mempergunakan PCR perlu pula dilakukan
untuk mengetahui terjadi mutasi.
~ e k n i kyang lebih akurat adalah pemeriksaan dengan
skintigrafi untuk mendeteksi deposit pada organ dan
pemeriksaan ini noninvasive.

Sampai saat ini tidak ada pengobafan yang diprediksi


efektif untuk pencegahan fibrilogenesisatau memobilisasi
deposit yang sudah stabil, tetapi beberapa pasien pernah
dilaporkan mengalami regresi deposit.
Tindakan primer adalah memperbaiki kondisi yang
mendasarinya untuk mencegah produksi yang berlebihan
dari protein prekursor atau mengurangi deposit atau
pembentukan fibril.
Penggunaan melfalan, deksametason, kolkisin, atau
kombinasinya dapat digunakan untuk amiloidosisAL dan
ternyata dapat memperbaiki fungsi organ yang terkena.
Dosis tinggi kemoterapi diikuti oleh transplantasi sumsum

tulang atau stem cell mungkin akan meningkatkan


survival rates. Telah dilaporkan pula penurunan progresif
fungsi hati, kemudian dilakukan transplantasi hati,
kemudian diikuti transplantasi stem cell.
Pada arniloidosis AA diberikan yang agresif untuk
penyakit dasarnya, umpanya pada rematoid artritis
diebrikan irnunosupresif. Kolkisin dapat mencegah terjadi
amiloid, demarn mediteranian, dan memperbaiki fungsi
organ. Transplantasi ginjal akan memperbaiki P2
mikroglobulin, prekursor amiloidosis AH dan high-flwc
hemodialysis mungkin mencegah HD-related amyloidosis.

Appel GB, Radhakrishnan J, and D'Agati WD. Secondary


glomerulus disease. In: BM Brenner, editor. The kidney. 7th
edition. Library of congress cataloging Publication; 2004. p.
1418-23.
Basi S, Schulman G, and Fogo AB. Multiple complications id
multiple pyeloma; 2005;45(3):619-23.
Brunt EM, Tiniakos DG. Metabolic storage disease: amyloidosis.
Clin Liver Dis. 2004; 8(4):915-30.
Murphy CL. Renal apolipoprotein A-I associated with a novel
mutant leu 64 Pro. Am J Kidney Dis. 2004;44(6):1103-9.
Schwartz MM, Korbet SM. Amyloidosis and the dysproteinemias.
Immunologic renal disease. New York: Lippincot-Raven; 1997.
p. 1147-60.
Yazaki M. A patient with severe renal associated with an
immunglobulin g-heavy chain fragment. Am J Kidney Dis.
2004;43(5):619-23.

PENYAKIT GINJAL DIABETIK


Harun Rasyid Lubis

PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) telah mengumurnkan
bahwa prevalensi'diabetes melitus (DM) akan meningkat
di seluruh dunia pada milenium ketiga ini, termasuk negara
di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagianbesar
dari penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 40% dari pasien
DM terdapat keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami
bahwa masalah penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan
mengalami peningkatan di era awal abad 2 1ini. Pada dekade
ini juga, di banyak negara maju PGD tercatat sebagai
komponen terbanyak dari pasien baru yang menjalani terapi
pengganti ginjal. Keadaan yang sama sudah mulai juga
kelihatan di Indonesia.
Pada pasien DM, berbagai gangguan pada ginjal dapat
terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi
saluran kemih, pielonefritis akut maupun kronik, dan juga
berbagai bentuk glomerulonefritis, yang selalu disebut
sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien
diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara
patogenesis dengan diabetesnya adalah PGD, yang secara
klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl-Wilson
pada tahun 1936, berupa glomerulosklerosis yang noduler
dan difus.

Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui


fasilitasi glucose transporter (GLUT), terutama GLUT1,
yang mengakibatkan aktivasi beberapa mekanisme seperti
poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C
(PKC) pathway, dan penumpukan zat yang disebut
sebagai advanced glycation end-products (AGES).
Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada
berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang

dapat berperan penting dalam pertumbuhan sel,


diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular.
Diantara zat ini adalah mitogen activated protein kinases
(MAPKs), PKC-b isoform dan extracellular regulated
protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang mampu
menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terbukti
mengurangi akibat yang timbul, seperti mencegah
peningkatan derajat albuminuria dan derajat kerusakan
struktural berupa penumpukan matriks mesangial.
Kemungkinan besar perubahan ini diakibatkan penurunan
ekspresi transforming growth factor-P (TGF- P) dan
penurunan extracellular matrix (ECM). Peran TGF-P dalarn
perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan pula
oleh berbagai peneliti, bahwa kadar zat ini meningkat pada
ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas dipercaya
bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada
pasien DM akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju
tahap lanjutan.
Penelitian dengan menggunakan micro-puncture
menunjukkan bahwa tekanan intra glomerulus meningkat
pada pasien DM bahkan sebelum tekanan darah sistemik
meningkat. Perubahan hemodinamik ginjal ini diduga terkait
dengan aktivitas berbagai hormon vasoaktif, seperti
angiotensin-I1 (A-11) dan endotelin. Apakah peningkatan
jalur hormonal ini terkait dengan hiperglikemia belum jelas,
akan tetapi pada binatang percobaan pemberian
penghambat ACE ataupun angiotensin receptor blocker
telah ditunjukkan mengurangi tekanan intraglomerulus.
Oleh karena penghambat ACE bukan hanya mempengaruhi
jalur terkait angiotensin-I1 tetapi juga mempengaruhi
degradasi bradikinin, suatu vasodilator, maka sebenarnya
belum dapat disimpulkan pengaruh baik tersebut adalah
diberikan oleh antagonis terhadap A-11. Begitupun
berbagai laporan telah juga menunjukkan bahwapengaruh
utama dari penghambat ACE terhadap terjadinya
albuminuria jangka panjang serta perubahan struktural

ClNJAL HIPERTENSI

glomerulus adalah melalui kemampuannya menghambat


A-11.
Pasien dengan nefropati diabetikjuga mempunyai risiko
tertinggi untuk mendapat penyulit penyakit kardiovaskular,
sebagaimana juga retinopati dan neuropati. Penyakit
kardiovaskular berhubungan erat dengan disfungsi
endotel (DE), yang pada diabetes juga meningkat. DE
merupakan penyulit banyak faktor risiko dan dianggap
berperan penting, baik dalam memicu terjadinya maupun
dalam progresivitas aterosklerosis. Pada berbagai faktor
risiko tersebut, seperti LDL-kolesterol yang oksidatif,
merokok, dan hipertensi, A-11 dan diabetes memicu
aterosklerosis melalui aktivasi endotel. Keseluruhan faktor
risiko ini membuat ketersediaan nitric oxide (NO)
berkurang baik karena produksi yang menurun ataupun
degradasi yang meningkat, kesemuanya menambah lagi
aktivasi endotel. Pada DM tipe 1 keadaan ini terlihat
mendahului terjadinya mikroangiopati diabetik dan
mungkin juga sebagai penyebabnya.
Ada pandangan bahwa hiperglikemia memudahkan
terjadinya DE, selanjutnya faktor lain berperan untuk
menentukan pasien mana yang akan mengalami nefropati
diabetik dan angiopati yang agresif dan pasien mana pula
yang tidak. Faktor itu adalah genetik dan lingkungan. Pada
pasien DM tipe 2, DE sudah muncul sejak awal
ditemukannya diabetes dan merupakan petanda buruk.
Tidak jelas apakah DE pada diabetes ini disebabkan
hiperglikemi atau faktor lain. Faktor penentu lain yang paling
penting adalah peningkatan inflamasi. Ada yang
berpendapat bahwa DE pada DM adalah primer, dengan
kata lain DE adalah penyebab dan bukan disebabkan DM.
Genetik adalah faktor penentu lain yang erat kaitannya
dengan terjadinya nefropati diabetik. Hanya sekitar 40%
pasien DM tipe 1 maupun DM tipe 2 yang jatuh kedalam
nefropati diabetik. Lainnya terbebas dari penyulit
diabetes ini. Telah banyak penelitian yang menyimpulkan
bahwa terjadinya nefropati diabetik terkumpul pada
kelompok keluarga tertentu. Salah satu yang selalu
diselidiki orang adalah polimorfisme pada renin angiotensin system (RAS), ada 2 jenis yang sudah dikenali yaitu
genotip M235T dari angiotensinogen dan insersildelesi
(ID)
dari genotipACE. Selalu dikemukakan bahwa genotip
DD mempunyai kaitan dengan terjadinya makroangiopati
pada pasien DM tipe 2 dari ras Cina, akan tetapi tidak pada
ras lain. Masih menjadi pertanyaan besar apakah nefropati
diabetik diturunkan bersamaan dengan DM? Apakah
timbulnya nefropati diabetik semata mata karena penyulit
seperti hipertensi, ataupun resistensi insulin? Pertanyaan
ini belum punya jawaban yang jelas.

DIAGNOSIS DAN PERJALANAN KLlNlS


Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuria pada
pasien DM, baik tipe 1 maupun tipe 2. Bila jumlah protein1

albumin di dalam urin masih sangat rendah sehingga sulit


dideteksi dengan metode pameriksaan urin yang biasa,
akan tetapi sudah >30 mg124 jam ataupun >20 uglmenit,
disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Ini sudah dianggap
sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria/proteinuria
ini dapat juga ditentukan dengan rationya terhadap
kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai
albuminlkreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi
albuminlprotein dalam urin selanjutnya akan menjadi
petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam
Tabel 1.

Kumpulan

Kumpulan

Kategori

urin
24 jam
(mg124hr)

urin
sewaktu
(pglmin)

Urin
sewaktu
(pglmg
creat)

Normal
Mikroalbuminuria
Albuminuria
klinis

~ 3 0
30-299
->300

<20
20-199
->200

<30
30-299
>300
-

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 36 bulan. Hati-hati terhadap proteinuria yang timbul pada
latihan fisik dalam 24 jam terakhir, infeksi, demam, payah
jantung, hiperglikemia yang berat, tekanan darah yang
sangat tinggi, piuria dan hematuria. (Dikutip dari ADA, 2004)

Secara tradisional Penyakit Ginjal Diabetik selalu dibagi


dalam tahapan sebagai berikut:
Tahap I. Pada tahap ini LFG meningkat sampai 40% di atas
normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap
ini masih reversibel dan berlangsung 0-5 tahui sejak awal
diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian
glukosa darah yang ketat biasanya kelainan fungsi maupun
struktur ginjal akan normal kembali.
Tahap 11. Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes
tegak, saat perubahan struktur ginjal berlanjut dan LFG
masih tetap meningkat. Alburninuria hanya akan meningkat
setelah latihan jasmani, keadaan stres, atau kendali
metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung
lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap
berikutnya. Progresifitas biasanya terkait dengan
memburuknya kendali metabolik. Tahap ini disebut sebagai
tahap sepi (silent stage).
Tahap KII. Ini adalah tahap awal nefropati (incipient diabetic
nephropathy), saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap
ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun diagnosis diabetes
tegak. Secara histopatologis juga telah jelas penebalan
membrana basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan
tekanan darah sudah ada yang mulai meningkat. Keadaan
ini dapat bertahan bertahun tahun dan progresivitas masih
munglan dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah
yang ketat.

Tahap IV.Ini merupakan tahapan saat nefropati diabetik


bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata
dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat
serta LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi
setelah 15-20 tahun diabetes tegak. Penyulit diabetes lain
sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati,
gangguan profil lemak, dan gangguan vaskular umum.
Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlarnbat
dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan
tekanan darah.
Tahap V. Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah
sedemikian rendah sehingga pasien menunjukkan
tanda-tanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan
khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok
ginjal.
Pada DM tipe 2 saat diagnosis ditegakkan, sudah
banyak pasien yang mangalami mikro- dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung
bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula keberadaan
albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati
diabetik. Tanpa penanganan khusus 20-40% dari pasien
ini akan melanjut pada nefropati nyata. Setelah terjadinya
penurunan laju filtrasi glon~erulusmaka laju penurunan
akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun
setelah keadaan ini, hanya sekitar 20% dari pada mereka
yang berlanjut menjadi (penyakit ginjal tahap akhir)
PGTA.
Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan antara DM
tipe 1 dan tipe 2. Begitupun karena usia pasien dengan
DM tipe 2 lebih tua, maka banyak pula pasien yang diiringi
penyalut jantung koroner, yang sering membuat pasien
tak sampai mencapai PGTA. Tetapi karena penanggulangan
PJK dewasa ini telah lebih baik maka banyak pula pasien
DM yang hidupnya cukup lama untuk sampai mengalami
gagal ginjal.

TERAPI DAN PENCEGAHAN


Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah
hiperglikemia, hipertensi, dan selalu dijumpai
hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus
merupakan faktor risiko untuk progresivitas ke tahap
berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor risiko lainnya
adalah konsumsi rokok. Dengan demikian maka terapi di
tiap tahapan pada umumnya sama dan adalah juga
merupakan tindakan pencegahan untuk memperlarnbat
progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar
gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak darah.
Di samping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya
hidup seperti pengaturan diet, menurunkan berat badan
bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan
merokok, dll, juga tindakan preventif terhadap penyakit
kardiovaskular.

Pengendalian Kadar Gula Darah


Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun),
dengan melibatkan ribuan pasien telah menunjukkan bahwa
pengendalian kadar gula darah secara intensif akan
mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit
kardiovaskular, baik pada pasien DM Tipe 1 maupun DM
Tipe 2. Oleh karena itu perlu sekali diupayakan agar terapi
ini dilaksanakan sesegera mungkin. Yang dimaksud
dengan pengendalian secara intensif adalah pencapaian
kadar HbA 1c <7%, kadar gula darah preprandial 90- 130
mgldl, post-prandial < 180 mgldl.
Pengendalian Tekanan Darah
Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan
memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal,
renoproteksi, maupun terhadap organ kardiovaskular.
Makin rendah tekanan darah yang dicapai makin baik pula
renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan
target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian
tekanan darah pada pasien diabetes. Pada umumnya
target adalah tekanan darah <130/90 mmHg, akan tetapi
bila proteinuria lebih berat, > l gr124 jam maka target perlu
lebih rendah, yaitu <I25175 mmHg. Harus diingat bahwa
mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai
kombinasi berbagai jenis obat, dengan berbagai efek
samping, dan harga obat yang kadang sulit dijangkau
pasien. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah
tercapainya tekanan darah yang ditargetkan, apapun jenis
obat yang dipakai. Tetapi karena Angiotensin converting
enzyme inhibitor (ACE-I) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) dikenal mempunyai efek antiproteinurik
maupun renoproteksi yang baik, maka obat-obatan ini
sebagai awal pengobatan hipertensi pada pasien DM.
Pengaturan Diet
Pengaturan diet terutama dalam kerangka manajemen DM
tidak diterangkan dalam judul ini. Dalam upaya mengurangi
progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah
protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik
selama 4 tahun pada pasien DM tipe 1 yang diberi diet
mengandung protein 0,9 gram/kgBB/hari selama 4 tahun
menurunkan risiko terjadinya penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA=ESRD) sebanyak 76%. Umumnya dewasa ini
disepakati pemberian diet mengandung protein sebanyak
0,8 gram/kgBB/hari, atau sekitar 10% kebutuhan kalori,
pada pasien dengan Nefropati overt, tetapi bila LFG telah
mulai menurun maka pembatasan protein dalam diet
menjadi 0,6 grarn/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk
memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Begitupun
harus diantisipasi terjadinya kekurangan nutrisi.
Jenis protein juga berperan dalam terjadinya
dislipidemia. Mengganti daging merah dengan daging
ayam pada pasien DM tipe 2 menurunkan ekskresi
albumin dalam urin sebanyak 46% dengan disertai

penurunan kolesterol total, LDL kolesterol, dan


apolipoprotein B. Ini mungkin karena komposisi lemak
jenuhltak jenuh pada kedua jenis bahan makanan berbeda.
Pasien DM sendiri cenderung mangalami keadaan
dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan
obat. Bila diperlukan dislipidemia diatasi dengan statin
dengan target LDL kolesterol c 100 mgldl pada pasien DM
dan 4'0 mgldl bila sudah ada kelainan kardiovaskular.

Penanganan Multifaktorial
Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Centre di
Copenhagen mendapatkan bahwa penanganan intensif
secara multifaktorial pada pasien DM tipe 2 dengan
mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan faktor risiko
yang jauh melebihi pananganan sesuai panduan umum
penanggulangan diabetes nasional mereka. Juga
ditunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat
bermakna pada kejadian kardiovaskular, termasuk strok
yang fatal dan non-fatal. Demikian pula kejadian spesifik
seperti nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih
rendah. Yang dimaksud dengan intensif adalah terapi yang
dititrasi sampai mencapai target, baik tekanan darah, kadar
gula darah, lemak darah, dan miroalbuminuria serta juga
disertai pencegahan penyakit kardiovaskular dengan
pemberian aspirin. Dalam kenyataannya pasien dengan
terapi intensif lebih banyak mendapat obat golongan ACEI dan ARB. Demikian juga dengan obat hipoglikernik oral
dan insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak
mendapat statin.
Bagi pasien yang sudah berada pada tahap 5, gagal
ginjal, terapi yang khusus untuk gagal ginjal perlu
dijalankan, seperti pemberian diet rendah protein,
pemberian obat pengikat fosfat dalam makanan,
pencegahan dan pengobatan anemia dengan pemberian
eritropoietin, dan lain-lain.

American Diabetes Association. Hypertension management in adults


with diabetes. Diabetes Care. 2004;27(S):S65-S7.
American Diabetes Association. Nephropathy in diabetes. Diabetes
Care. 2004;27(S):S79-S83.
Bakris GL, Williams M, Dworkin L, et al. Preserving renal function
in adults with hypertension and diabetes: NKF hypertension and
diabetes. Executive committee Working Group. Am J Kidney
Dis. 2000;36:646-61.
Cooper ME. Seminar: Pathogenesis, prevention and treatment of,
diabetic nephropathy. Lancet. 1998;352:213-9.
Gaede P, Vedel P, Larsen N, Jensen GVH, Pawing HH and Pedersen
0 . Multifactorial intervention and cardiovascular disease in
patients with type 2 diabetes. New Engl J Med. 2003;348:38393.
Gross JL, de Azevedo MJ, Silvero SP, Canani LH, Caramori ML,
Zelmanovitz T. Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention
and treatment. Diabetes Care. 2005;28:176-88.
Kikkawa R, Koya D, Haneda M. Progression of diabetic nephropathy. Am J Kidney Dis. 2003;41(SI):S19-S21.
King H, Rewers M. Global estimates for prevalence of diabetes
mellitus and impaired glucose tolerance in adults. WHO ad hoc
diabetes reporting group. Diabetes care. 1993;16:157-77.
Merta M, Reiterova J, Rysava R, Kmentova D and Tesaf V. Genetics
of diabetic nephropathy. Nephrol Dial Transplant. 2003;18(Suppl
5):24-5.
Roesli R, Susalit E, Djafar J. Nefropati diabetik. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-3. Dalam: Suyono S, dkk, editor. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 356-65.
Satko SG, Langefeld CD, Daelhagh P, Bowdert DW, Rich SS and
Freedman BI. Nephropathy in siblings of African Americans
with overt type 2 diabetic nephropathy. Am J Kidney Dis.
2002;40:489-94.
Stehouwer CDA. Endothelial dysfunction in diabetic nephropathy:
state of the art and potential significance for non diabetic renal
disease. Nephrol Dial Transplant. 2004;10:778-81.
Shanna K, Ziyadeb FS, Alzahabi B, et al. Increased renal production
of transforming growth factor - T p l in patients with type 11
diabetes. Diabetes. 1997;46:854-9.
USRDS. Incidence and prevalence of ESRD. Am J Kidney Dis.
2004;45(S):S57-S74.
Ziyadeh FN, Isono M, Chen S. Involvement of the transforming
growth factor- P system in the pathogenesis of diabetic nephropathy. Clin Exp Nephrol. 2002;6: 125-9.

NEFRITIS LUPUS
Lucky Aziza Bawazier, Dharmeizar, H.M.S. Markum

PENDAHULUAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit
jaringan ikat, etiologinya tidak jelas diketahui dan termasuk
soluble immune complexes disease, di mana gambaran
klinisnya cukup luas dapat melibatkan banyak organ tubuh,
serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan
eksaserbasi.
Walaupun etiologinya tidak diketahui dengan pasti,
tetapi diduga mempunyai hubungan dengan beberapa
faktor perdisposisi seperti kelainan genetika, infeksi
virus, maupun kelainan hormonal. LES merupakan soluble
immune complexes disease, ditandai lesi autoimun disertai
pembentukan antibodi ganda terhadap berbagai jaringan
organ seperti sendi, paru, otot, dan ginjal.
Keterlibatan ginjal sebagai salah satu manifestasi LES
telah diketahui sejak lebih dari '/z abad yang lalu. Sedangkan
gambaran lengkap keterlibatan komplikasi ginjal tersebut
baru sejak 2 dekade yang lalu. Kriteria klasifikasi pasien
dengan LES berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium, pertama kali tahun 1971 oleh American
Rheumatisms Association (ARA) yang kemudian direvisi
tahun 1982. Menurut kriteria ini bila terdapat 4 dari 11
rnanifestasi tersebut, sudah dapat di katagorikan sebagai LES.
Sebelas kriteria ARA yang telah direvisi tersebut
adalah: 1). Malar rash, 2). Discoid rash, 3). Photosensitivity, 4). Oral ulcers (ulserasi mulut), 5). Arthritis non erosif,
6). Serositis (pleuritislperikarditis), 7). Gangguan ginjal
(proteinuria >500 mgthari atau silinder sellcellular cast,
8). Gangguan neurologis (kejang atau psikosis) kelainan
gangguan saraf pusat, 9). Gangguan hematologi (seperti
anemi hemolitik, lekopeni, limfositopeni atau
trombositopeni), 10). Kelainan imunologis (hasil tes sel
lupus eritematosus, terdapat antibodi anti DNA, antibodi
anti sel lupus atau hasil test serologi false positif untuk
sifilis, antibodi anti fosfolipid), 11). Hasil tes positif antibodi

anti nuklear (ANA (+)).


Walaupun kriteria di atas sensitivitasnya 96% dan
spesifisitasnya 96%, tetapi kriteria tersebut didesain untuk
klasifikasi, tidak untuk tujuan diagnostik. Jelasnya,banyak
pasien masih sulitlgagaluntuk diagnostik klinis pasti untuk
memenuhi kriteria tersebut di atas.
Prevalensi keterlibatan ginjal dari LES yang dinamakan
nefritis lupus sangat bervariasi dan berbeda-beda,
bervariasi antara 3 1-65% (rata-rata 40%) pada awal LES.
Sedangkan komplikasi lebih lanjut pada LES dewasa
terhadap ginjal rata-rata 60% kadang-kadang pada 3-6%
pasien, rnanifes kelainan ginjal merupakan kelainan pertama
yang ditemukan sebelum gejala klinis LES lain muncul.
Walaupun perempuan yang terkena lupus lebih banyak
dengan perbandingan 5: 1 dibandingkan pria, tetapi pada
pria dengan LES insidens terjadinya nefritis lupus lebih
tinggi walaupun tidak berbeda bermakna dengan
perempuan. Orang Asia dan kulit hitam lebih sering
mengalami nefritis lupus dibandingkan dengan ras lainnya.
Peningkatan risiko nefritis lupus dihubungkan dengan
HLA-DR2, HLA-DR3, HLA-DR8 dan HLA DQ-beta,
difisiensi komplemen seperti Clq, C2, dan C4, serta
produksi tumor necrosis factor (TNF) yang rendah.

Etiologi LES seperti telah diutarakan di atas, belum


diketahui dengan pasti. Beberapa faktor infeksi seperti
infeksi virus konkorna, genetik hormonal diduga sebagai
faktor predisposisi.

lnfeksi Virus
Percobaan binatang dengan strain tikus New Zealand
infeksi virus concorna (intra uterin) dapat menyebabkan

perubahan-perubahan limfosit sel-p yang menyerupai


limfosit sel-p yang terdapat pada LES aktif manusia.

Faktor HerediterIFaktor Genetik


Sebagaimana kelainanlgangguan autoitnun, bukti telah
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan
penting pada perkembangan LES maupun nefritis lupus.
Berbagai jenis gen yang banyak belum teridentifikasi
memediasi faktor predisposisi genetik ini. Faktor-faktor
lingkungan mungkin memicu perkembangan penyakit ini.
Studi epidemiologi klinis telah menemukan hubungan
faktor herediter dengan LES antara lain:
1. Kembar (identical twin), terutama pada kembar
monozigot daripada kembar dizigot: tetapi peran
lingkungan juga besar.
2. HLA-fi haplotipe
3. Antigen DRW2 dan DRW5
4. Defisiensi C2 inborn.
5. HLA DR2 dan HLA-DR3 berhubungan dengan LES
6. HLA-DR4 dihubungkan dengan prevalensi yang rendah
dari LES dan tampaknya sebagai pelindung dari
serangan LES .
Faktor Hormonal
Studi epidemiologi klinis menemukan bahwa kejadian LES
lebih sering pada perempuan muda, diduga mempunyai
hubungan dengan hormon androgen dan estrogen.
Gen Komplemen
1. Defisiensi C lQ, C 1R dan CIS dihubungkan dengan LES,
NL dan produksi dari anti-dsDNA (anti-doublestranded DNA)
2 Defisiensi C2 dan C4 dihubungkan dengan LES atau
sindrom yang mirip dengan lupus (lupus like syndrome).
3. Hilangnya C4A dan kemungkinan C4B dihubungkan
dengan LES
4. FCgR gen: mediasi ini mengdat IgG dan IgG yang terdapat
kompleks imun pada sel-sel seperti makrofag dan fagosit
mononuklear yang lain.
5. Juga peran FCgRIIa dan RIIIa yang menglkat IgG2 dan
IgGl secara berturutan, dimana R131 dihubungkan
dengan nefritis lupus dalam populasi kulit hitam.
6. Gen sitokin: gen E l 0 dan kemungkinan IL1 RN dan
TNF-a dihubungkan dengan LES.
7. Gen apoptosis (nekrosis gen): Defek dari beberapa gen
apoptosis dihubungkan dengan lupus like syndrome
pada tikus dan jarang pada LES manusia termasuk CD95
dan CD178.
PATOGENESIS
Patogenesis timbulnya LES diawali oleh interaksi antara

faktor predisposisi genetik dengan faktor lingkungan,


faktor hormon seks, dan faktor sistem neuroendokrin.
Interaksi faktor-faktor ini akan mempengaruhi dan
mengakibatkan terjadinya respons imun yang menimbulkan
peningkatan aktivitas sel-T dan sel-B, sehingga terjadi
peningkatan auto-antibodi (DNA-anti-DNA). Sebagian
dari auto-antibodi ini akan membentuk kompleks imun
bersama dengan nukleosom (DNA-histon), kromatin, C,q,
laminin, Ro (SS-A), ubikuitin, dan ribosom; yang kemudian
akan membuat deposit (endapan) sehingga terjadi
kerusakan jaringan. Pada sebagian kecil NL tidak ditemukan
deposit komplek imun dengan sediaan imunofluoresen atau
mikroskop elektron. Kelompok ini disebut sebagai Pauci immune necrotizing glomerulonephritis.

LES (Soluble immune complex disease)

Kompleks irnun pada glomeruli


Aktivasi sistern pernbekuan
Agregasi trombosit
kinin dan fibrin

Aktivasi sistem komplemen

,
1

Kerusakan n e f r b

MAC (membrane attack


complex o f complement)

Sindrorn klinis (garnbaran klinis)

Gambar 1. Patofisiologi nefritis lupus

lmmune complex
yang rnernpengaruhi

(1)

Podosit
t (2)
I
C5b6 + ~ 7 . 9

Sintesis kolagen

aktivasi
proliferasi dan pelepasar
PGE dan TNF

+ IL-I --+ sel mesangial


Lekosit

PGE

PGE

Trornbosit

1
Tx82

Gambar 2.

Gambaran klinik kerusakan glomerulus dihubungkan


dengan letak lokasi terbentuknya deposit komplek imun.
Deposit pada mesangium dan subendotel terletak
proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga
mempunyai akses ke pembuluh darah. Deposit pada daerah
ini akan mengaktifkan komplemen, yang kemudian
membentuk kernoatraktan C,a dan C,a. Selanjutnya terjadi
influks sel netrofil dan sel mononuklear. Deposit pada
mesangium dan subendotel secara histopatologis
memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal, dan
proliferatif difus; secara klinis memberikan gambaran

sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, lekosit, silinder


sel dan granula), proteinuria, dan sering disertai penurunan
fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitel tidak
mempunyai hubungan dengan pembuluh darah karena
dipisahkan oleh membran basalis glomerulus sehingga
tidak terjadi influks netrofil dan sel morr'onuklear. Secara
histopatologis memberikan gambaran nefropati
membranosa dan secara klinis hanya memberikan gejala
proteinuria.
Pengaruh MAC dari komplemen (C5b-9) pada
glomerulus, yaitu: 1).Aktivitas komplemen oleh kompleks
imun dan terbentuk C5b6. C5b6 ini terikat dengan
komponen C7, C8 dan C9 untuk merangsang podosit,
2). Memproduksi kolagen, 3). Alternatif lain merangsang
sel-sel mesangial dengan dilepaskan oksigen radikal bebas,
PGE dan IL- 1. Radikal oksigen bebas mempunyai fungsi
biologis terutama merangsang trombosit dan nekrosis
jaringan, 4). IL-1 merangsang podosit untuk sintesis
kolagen, 5). Merangsang pembentukan PGE, TNF dan
proliferasi sel mesangial.

Pemeriksaan histopatologi menggambarkan secara pasti


kelainan ginjal. Klasifikasi WHO pada tahun 2003 membagi
NL dalam 6 kelas. Skema ini berdasarkan hasil biopsi
spesimen yang didapat dari mikroskop cahaya,
imunofluoresen, dan mikroskop elektron.
International Society Nephrology/Renal Pathology
Society (ISNRPS) membuat klasifikasi baru NL. Klasifikasi
baru ini juga terutama berdasarkan pada perubahan
glomerulus serta kelas I11 dan IV lebih rinci perubahan
morfologisnya. Dengan pemeriksaan imunofluoresen dapat
ditemukan deposit imun pada semua kompartemen ginjal
(glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah).
Biasanya ditemukan lebih dari satu kelas imunoglobulin.
Terbanyak ditemukan deposit IgG dengan ko-deposit IgM
dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa di
identifikasi komplemen C3 dan Clq. Pewarnaan untuk
fibrin-fibrinogen dikerjakan bila didapatkan lesi crescent
dan lesi nekrotik segmental.
Sebagai tambahan klasifikasi patologis, aktivitas dan
kronisitasnya secara patologis dan secara prediksi untuk
penentuan prognosis ginjalnya (progresi dari penyakit
ginjal). Indeks aktivitas merefleksikan keadaan di inflamasi
yang aktif yang diperoleh dari biospi, yang reversible
dengan terapi obat. Indeks kronisitas merefleksikan
banyaknya fibrosis dan jaringan parut/nekrosis yang tidak
berespons terhadap terapi. Lesi ginjal dengan indeks
aktivitas yang tinggi lebih merupakan respon terapi yang
agresif dimana 1esi.ginjalyang kronisitasnya tinggi tidak
respon.
Tabel 1, 2, dan 3 sebagai estimasi untuk prognosis
dan pedoman umum terapi. Pengobatan yang agresif akan

Kelas
(Katagori
WHO)

Gambaran
Mikroskop
Cahaya

Normal (I)

Normal

Glomerulonefri
tis
mesangial
proliperatif
(11)
Glomerulonefri
tis fokal
segmental
proliferatif
(111)

Normal atau
pelebaran
mesangial
difus dan
hiperselular
Hiperselular
mesangial
difus dengan
fokal dan
segmental,
segmehtal
nekrosis d?n
trombin
hialin
Hiperselular
difus,
interposisi
mesangial,
deposit
subendotel,
nekrosis
segmental,
trombus
hialin, badan
hematoksilin,
infiltrasi sel,
dan
crescents
Hiperselular
mesangial
ringan
deposit
epimembran
a, tonjolantonjolan
Fokal
superimpose
d dan
segmental
atau
sklerosis
pada
kategori IVN
Tubulointerstisi
al akut dan
kronis

Glomerulonefri
tis difus
proliferatif
(W)

Glomerulonefri
tis membran
lupus (V)

Glomerulonefri
tis sklerosis
lanjut

Nefritis
interstisial

Gambaran
Mlkroskop
Elektron
(Deposit
Elektron)

Gambaran
Miroskopls
lmunofluorescenc
(Deposlt lglC

Mes : ++
SE : +
Epi : 0

Mes : ++
CW : +
SE : +
Epi : 0

Mes : +++
SE : +
Epi : 0

Mes : ++
CW : +
SE : +
Epi : 0

Mes : +++
SE : +++
Epi : +++

Mes
CW
SE
Epi

&
.

: +++
:++
: +++

: ++++
deposit
tubulointerstisial
ekstraglomerular

Mes : +++
SE : +
Epi : +++

Mes : +++
CW : +
SE : +

Mes : +
CW : +
Membran
tubulus
basement

Mes : ++++
CW : +
Membran tubulus
basement

++ Variabel

glomerulus
de~osit

++ Lariabel
glomerulus deposi.

memberikan gejala-gejala yang merupakan perubahan


histopatologi aktif. Tanda-tanda kronisitas menunjukkan
tidak reversibelnya pengobatan atau terapi agresif yang
kurang berhasil. Index aktivitas dan kronisitas dievaluasi
pada lesi ginjal yang mungkin mentransfotasi dari 1 kelas
ke kelas yang lain secara spontanJpengobatan.

GEJALA KLlNlS
Kelainan ginjal ditemukan pada 50-60% dari semua pasien
LES, dan tidak jarang merupakan gambaran klinis pertama
dan satu-satunya yang akan mengikuti periode rernisi dan
eksarsebasi sesuaidengan LESnya. Manifestasinya klinis
NL bervariasi mulai dari kelainan urinalisis tanpa keluhan
dan ditemukan pada pemeriksaan rutin maupun dalam

Kelas

Deskripsi

Glomerulus normal (dengan pemeriksaan mikroskop


cahaya, imunofluoresen, mikroskop elektron)
Perubahan pada mesangial
a. Normal dengan mikroskop cahaya, deposit pada
mesangial dengan imunofluoresen dan atau
mikroskop elektron.
b. Hiperseluleritas mesangial dan terdapat deposit
pada imunofluoresen dan atau mikroskop
elektron.
Focal segmental glomerulonephritis
a. Lesi nekrotik aktif
b. Lesi sklerotik aktif
c. Lesi sklerotik
Glomerulonefritis difus (proliferasi luas pada
mesangial, endokapiler atau mesangiokapiler dan
atau deposit luas sub endotel)
a. Tanpa lesi segmental
b. Dengan lesi nekrotik aktif
c. Dengan lesi aktif dan sklerotik
d. Dengan lesi sklerotik
Glomerulonefritis membranosa difus:
a. Glomerulonefritis membranosa murni
b. Berhubungan dengan lesi kelas II (a atau b)

II

Ill

IV

VI

Glomerulonefritis sklerotik lanjut.

lndeks kronisitasl
lesi kronis

lndeks aktivitasllesi
aktif
Glomerulus

Tubulo
interstitial

Proliferasi
endokapiler
lnfiltrasi lekosit
Deposit hialin
subendotel
Nekrosis fibrinoidl
karioreksis

lnflamasi interstitial

Sklerosis glomerulus
(glomerulosclerosis)
Bentuk crescent
fibrosis (fibrosis
crescent)

Fibrosis interstitialis dan


tubulus atrofi

keadaan sindrom nefrotik atau keadaan darurat medis


(sindrom nefritik akut dan syndrome rapidly progressive
glomerulonephritis). Gejala NL biasanya berkorelasi baik
dengan tingkat keterlibatan glomerulusnya.

GAMBARAN KLlNlS NL
Glomerulopatilnefropati asimplomatik. Kelainan
urinalisis: proteinuria didapatkan pada semua pasien,
hematuri mikroskopis pada 80% pasien, sedimen urin
(silinder eritrosit, silinder lekosit).
Sindrom nefritik akut (SNA). SNA pada lupus sulit
dibedakan dengan GN pasca infeksi streptokokus,
gangguan tubular pada 60-80% pasien.
S i d r o m RPGN (Rapidlyprogressiveglomemlonephritis).
Ini sulit dibedakan dengan sindrom nefritik akut, gejalagejala khusus RPGN:

1. Onsetnya cepat
2. Penurunan LFG progresif dalam beberapa minggul
bulan lalu mencapai gagal ginjal terminal
3. Hipertensi sistemik yang cukup mencolok
4. Proteinuria 1-3 gram perhari disertai kelainan sedimen
aktif.

Sindrom glomerulus progresif dan kronis, ditandai


dengan kelainan berikut:
1. Proteinuria bervariasi antara 1-3 gramlhari disertai
kelainan sedimen aktif
2. Penurunan faal ginjal LFG progresif lambat sehingga
dalam beberapa bulan sampai dengan beberapa tahun
gagal ginjal.
Sindrom nefrotik. Merupakan gambaran klinis paling
sering dijumpai pada NL biasanya berkisar antara 45-63%
pasien tetapi tidak disertai dengan hiperkolesterolemi.
Hipertensi pada 15-50% pasien.
Penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dimana
penurunan yang mencolok mencapai 30% pasien.
Perjalanan klinik nefiritis lupus sangat bervariasi dan
hasil pengobatannya dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain, kecepatan menegakkan diagnosis, kelainan
histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal saat
mulai pengobatan dan jenis regimen yang dipakai.
Diagnosis klinis nefritis lupus ditegakkan bila pasien
LES terdapat proteinuria 11 gram124 jam denganlatau
hematuri (>8 eritrosit1LPB) denganlatau penurunan fungsi
ginjal sampai 30%. Sedangkan diagnosis pasti nefritis
lupus ditegakkan dengan biopsi ginjal dan berdasarkan
klasifikasi morfologi dari WHO (1982) nefritis lupus dibagi
dalam 6 kelas.
Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi
bentuk yang berat dalam perjalanan penyalutnya. Beberapa
prediktor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi
ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain:
1. Ras kulit hitam
2. Hematokrit <26%
3. Kreatinin serum >2.4 mg/dL
4. Kadar C3 <76 mg/dL

Hubungan Klasifikasi Histopatologi WHO dan


Manifestasi Klinis NL
Hubungan ini sangat penting untuk program terapi awal
dalam menghadapi keadaan darurat dan untuk keperluan
prognosis dan indikasi biopsi ginjal.
PENDEKATAN DlAGNOSTlK
NL dapat merupakan salah satu gambaran klinis dari LES
dan tidak jarang merupakan satu-satunya gambaran klinis
dari LES maka untuk menghadapi kedua masalah tersebut,
diperlukan pemeriksaan penunjang diagnostik pasti yaitu:

PENYAKIT GINJAL DAN KEHAMILAN


Jose Roesma

KEHAMILAN DAN GINJAL NORMAL


Kehamilan normal merupakan suatu proses alamiah yang
fisiologis bagi perempuan di mana semua organ mengalami
penyesuaian, termasuk organ ginjal. Pada ginjal terjadi
perubahan anatomi berupa pembesaran kedua ginjal dan
pelebaran sistem pelviokalises di samping perubahan
fisiologik berupa peningkatan aliran darah ginjal (50%)
dan peningkatan laju filtrasi glomerulus.(l50%).Pembahan
ini tejadi pada 24 minggu pertama dan ditandai dengan
penurunan ureum dan kreatinin di bawah normal.
Vasodilatasi pada kehamilan menyebabkan penurunan
tekanan darah sampai 10 mrn Hg dari normal dan naik
kembali mendekati akhir kehamilan. Secara klinis perlu
perhatian bahwa seorang perempuan hamil muda dengan
kadar ureum, kreatinin, dan tekanan darah yang normal
(pada perempuan tidak hamil) sebetulnya telah menderita
gangguan fungsi ginjal dan prehipertensi.

KEHAMILAN DAN PENYAKIT GINJAL


Keharnilan dan penyakit ginjal mempunyai dua aspek,
yaitu kehamilan mempengaruhi progresi penyakit ginjal
dan sebaliknya penyakit ginjal mempengaruhi proses
kehamilan.
Penyakit ginjal yang sering ditemui pada kehamilan di
antaranya adalah:
Infeksi traktus urinariuslinfeksi saluran kemih (ISK).
Infeksi traktus urinarius merupakan penyakit ginjal utama
pada kehamilan dan disertai dengan risiko berat bayi
rendah, kematian bayi dalam kandungan dan kelahiran
prematur. Infeksi traktus urinarius yang sering ditemukan
pada kehamilan adalah: a). Bakteriuria asimtomatik.
Bakteriuria asimtomatik adalah adanya bakteri dengan
jurnlah bermakna dalarn urin (>100.000kurnanlrnl urin) tanpa

gejala klinik. Padaperempuan tidak hamil keadaan ini tidak


diberi obat, tetapi pada kehamilan perlu diobati dengan
antibiotika yang sesuai selama sekurang-kurangnya 10
hari. Hal ini disebabkan risiko timbulnya infeksi ginjal/
Pielonefritis meningkat sampai 30 % pada kehamilan dan
dapat ditekan sampai 3 % dengan pengobatan yang tepat
dan cukup. Perlu diperiksakan biakan urin dan
penyesuaian jenis antibiotika dengan hasil biakan. Bila
infeksi bersifat persisten perlu pengobatan supresif
dengan nitrofurantoin. Sayang obat ini tidak lagi beredar
di Indonesia. b). Sistitis. Sistitis adalah infeksi kandung
kemih dengan gejala sering kencing, nyeri waktu kencing
dan rasa terdesak kencing. Sistitis bisa disertai adanya
kuman (yang perlu diberi antibiotika yang sesuai) ataupun
tanpa kuman (piuria steril) dan perlu dipertimbangkan
adanya sindrom uretral. c). Pielonefritis. Pielonefritis pada
kehamilan disertai gejala nyeri pinggang, demam,
menggigil, mud dan muntah dan terjadi pada 2% kehamilan.
Keadaan ini diobati dengan antibiotika parenteral,
sebaiknya di rumah sakit sampai keadaan membaik,
diteruskan dengan terapi antibiotika oral, untuk
menghindari komplikasi sepsis dan gangguan kehamilan.

Gangguan ginjal akut. Gangguan ginjal akut (GGA) seperti


juga pada perempuan tidak hamil dibagi 3 jenis, yaitu: a).
Gangguan ginjal akut prerenal. Gangguan ginjal akut
prerenal pada umunya disebabkan faktor hipovolemi baik
akibat dehidrasi, perdarahan (abruptio placentae),
dekompensasi kordis, dan sepsis. Sepsis sering ditemukan
pada abortus kriminal pada kehamilan muda. b). Gangguan
ginjal akut renal. Gangguan ginjal akut renal umumnya
terjadi sebagai kelanjutan GGA prerenal atau iskernia ginjal
dan akibat faktor toksik biasanya berupa tubular nekrosis
akut (ATN). Dalam keadaan berat dapat terjadi nekrosis
kortikal akut yang bersifat ireversibel. c). Gangguan ginjal
akut Post Renal. Gangguan ginjal akut post renal umumnya
disebabkan obstruksi. Perlu disadari bahwa sistem

pelviokalises pada keharnilan melebar sehingga sukar


dibedakan dengan pelebaran akibat obstruksi.
Gangguan ginjal kronik. Keharnilan dengan gangguan
ginjal kronik saling mernpengmhi. Gangguan ginjal kronik
rnempengmhi keharnilan melalui beratnya gangguan fungsi
ginjal, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah.
Pada gangguan fungsi ginjal yang ringanpun (kreatinin
>1.5 rng%) kornplikasi berupa BB bayi rendah, kelahiran
prematur dan kematian bayi meningkat.
Penderita gangguan ginjal kronik yang harnil, progresi
penyakit ginjalnya sangat tergantung fungsi ginjal saat
awal kehamilan. Hal ini terlihat dari studi epidemiologiW
retrospektif yang telah dilakukan. Hal yang ikut
berpengaruh adalah penyakit penyerta pada pasien,
utamanya derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah.
Katz rnenernukan 16% perernpuan hamil dengan
gangguan fungsi ginjal ringan (kreatinin > 1.5 rng%)
mengalarni progresi ke tahap gagal ginjal tahap akhir
(GGTAl'ESRD). Cunningham rnendapatkan 6% perernpuan
harnil dengan gagal ginjal sedang (kreatinin 1,5-2,4 mg%)
mengalami gagal ginjal tahap akhir sedangkan 45%
perernpuan hamil dengan gagal ginjal berat (kreatinin >2,5
rng%) akan rnencapai gagal ginjal tahap akhir.
Pada penderita dengan gangguan ginjal kronik dan
keharnilan etiologi penyebab gagal ginjal tidak
mempengaruhi prognosis kehamilan, kecuali pada pasien
lupus nefritis dimana 50% penderita lupus nefritis akan
kambuh lupusnya waktu kehamilan disertai dengan
penurunan fungsi ginjal dan 50% keharnilan akan disertai
kematian janin. Dengan demikian dianjurkan penderita lupus h m s stabil dulu kondisi lupusnya selama 6 bulan
sebelum keharnilan dirnungkinkan. Adanya antikoagulan
lupus serta antibodi kardiolipin rnenambah kernungkinan
risiko kornplikasi keharnilan pada lupus.

PEMBERIAN OBAT PADA WANITA HAMIL


DENGAN GANGGllAN FLINGS1 GINJAL
Mengatur pemberian obat dan dosisnya pada wanita hamil
apalagi dengan gangguan fungsi ginjal rnerupakan masalah
yang mernbutuhkan perhatian khusus.
Dosis obat perlu disesuaikan dengan urnur kehamilan
dan derajat fungsi ginjal agar tidak berbahaya bagi ibu
maupun janin. Dalarn keadaan darurat, keselarnatan ibu
merupakan prioritas walupun pengaruh obat pada janin
tetap perlu diperhatikan.
Obat yang sering menjadi pertimbangan adalah jenis
antibiotika, tuberkulostatika, obat imunosupresif serta
antihipertensif. ~ e t i a jenis
p
obat dari kelo'mpok tersebut
perlu dipelajari tersendiri pengaruhnya terhadap kehamilan
dan dosisnya yang perlu disesuaikan dengan derajat
gangguan fungsi ginjal. Untuk ha1 tersebut tersedia
berbagai petunjuk khusus (leaflet promosi obat, literatur,
dsb) karena tidak ada petunjuk umurn yang berlaku pada
keadaan yang khusus (hamil dengan gangguan fungsi
ginjal) ini.

GINJAL TRANSPLAN DAN KEHAMlLAN


Transplantasi mernperbaiki kesuburan pada penderita
dengan gagal ginjal. Kehamilan dapat terjadi pada 12%
penderita transplan dengan sukses sampai 90% sehingga
kehamilan dapat direncanakan pada ginjal transplan setelah
1-2 tahun post transplant dalam keadaan fungsi ginjal yang
baik.
Bila heatinin < 1.4 rng% 94% keharnilan bisa sukses,
dibandingkan 74% bila kadar kreatinin > 1.4 mg%. Juga
progresi gangguan fungsi ginjal transplan pada kehamilan,
seperti di luar kehamilan, tergantung kepada fungsi ginjal
prehamil, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah.

DIALISIS DAN KEHAMlLAN


Gaga1 ginjal tahap akhir disertai dengan kesuburan yang
menurun dengan anovulasi sehingga keharnilan jarang
terjadi pada pasien dialisis, kurang dari 1%. Kehamilan
pada dialisis sering disertai abortus, hanya 50% kehamilan
sarnpai aterm, itupun disertai prernaturitas (85%) dan BB
bayi rendah (28%). Sebaiknya pasien dialisis yang harnil
didialisis setiap hari untuk rnenghindari komplikasi baik
bagi ibu rnaupun bayi.

Agraharkar M. Renal disease and pregnancy. Available online on


http:Nwww.emedicine.com.
Epstein FH. Pregnancy and renal disease. New Engl J Med.
1996;335(4):277-8.
Schrier RW. Kidney diseases in pregnancy. Diseases of the kidney.
6th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 1997.

PENYAKIT GINJAL KRONIK


Ketut Suwitra

MEKANISME PENYAKIT GINJAL KRONIK


Batasan
Penyakil ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fi~ngsiginjal yang progresif, dan pada umuninya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
me~nerlukanterapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindrom,klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ, akibat penill-unan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik.

yaitu, atas dasar derajat (stuge) penyakit dan atas dasar


diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar
LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault sebagai berikut:
(140 - umur ) X berat badan
72 X kreatinin plasma (mgldl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut tampak pada Tabel 2.

Penjelasan

Derajat

1.

2.

Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3


bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi :
kelainan patologis
- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan
dalam tes pencitraan (imaging tests)
Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60
mllmenit11.73m2 selama 3 bulan, dengan ' atau tanpa
kerusakan ainial

LFG (mVmnt/1,73mz) =

Kerusakan ginjal dengan


LFG normal atau 7.
Kerusakan ginjal dengan
LFG k ringan
Kerusakan ginjal dengan
LFG k sedang
Kerusakan ginjal dengan
LFG & berat
Gaaal ainial

LFG (mllmn11.73m2)
2 90

60 - 89
30 - 59
15-29
< 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada Tabel 3.


Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari
3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 mYmenit/I ,73m2,
tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

Klasiflkasl
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua ha1

Epldemlologl
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan
insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus
perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi
18juta, diperkirakan terdapat 1800kasus baru gagal ginjal

Penyakit

Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal
diabetes

Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal
non diabetes

Penyakit glomerular
(penyakit otoimun, infeksi
sisternik,obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pernbuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik
(ginjal polikstik)

Penyakit pada
transplantasi

Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporinl takrolirnus)
Penyakit recurrent (glornerular)
Transplant glomerulopathy

pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya.


insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta
penduduk per tahun.
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam
perkembangan selanjutnya proses yang tel.jadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin
dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhimya diikuti dengan penurunan fungsi nefron
yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis
renin-angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti traizsforming growthfactor P (TGFp). Beberapa ha1 yang juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada
keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara. perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Sampai pada LFG sebesar 60%. pasien masih belum


merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 30%. mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti. anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisrne fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah
dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hip0 atau hipervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan
kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu
negara dengan negara lain. Tabel 4 menunjukan penyebab
utama dan insiden penyakit ginal kronik di Amerika Serikat.
Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pemefri)
tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia, seperti pada Tabel 5.
Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis
lupus. nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal
bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.

Penvebab

lnsiden

Diabetes rnellitus
- tipe 1 (7%)
- tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pernbuluh darah besar
Glomerulonefritis
Nefritis interstitialis
Kista dan penyakit bawaan lain
Penyakit sisternik (rnisal, lupus dan vaskulitis)
Neoplasrna
Tidak diketahui
Penyakit lain

Penyebab

lnsiden

Glornerulonefritis
Diabetes Melitus
Obstruksi dan infeksi
Hipertensi
Sebab lain

46,39%
18,65%
12,85%
8,46%
13,65%

PENYAKIT GlNJAL KRONIK

PENDEKATAN DlAGNOSTlK
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a).
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes
nielitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritolnatosus Sistemik
(ZES), dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri
dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overloud), neuropati
perifer, pruritus, uremicfrost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain,
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang
dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan u ~ i t ~ ~ l i
memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah
meliputi penurunan kadar hemoglobin: peningkatan kadm
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. asidosis
metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria,
hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b). Pielogdl intravenajarang dikerjakan, karena kontrds sering
tidak bisa melewati filter glomemlus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengamh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau
retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi
ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks y,ang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal
atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan
pada pasien dengan ukuran ginjal yang lnasih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi
ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana
ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney),
ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi

perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan


obesitas.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
(comorbid condition)
memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.
Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal
kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada Tabel 6.

Derajat

LFG
(m11mnt/1,73m~)

Rencana tatalaksana

> 90

60 - 89

- rnengharnbat pernburukan

30 - 59

15-29

- evaluasi dan terapi kornplikasi


- persiapan untuk terapi peng ganti

< 15

terapi peyakit dasar, kondisi


kornorbid, evaluasi pernburukan
(progression) fungsi ginjal,
rnernperkecilrisiko kardiovaskular
(progression) fungsi ginjal

ginjal

- terapi pengganti ginjal

Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasamya
adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga
pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal
yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan
indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya,
bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi
Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan
penurunan LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal
ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktorfaktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan
aktivitas penyakit dasamya.

Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang
patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada
Gambar 1.

LFG
mllmenit
> 60

25 - 60
Nefropati

4
Hipertensi
sistemik

L ~~~~~~~~~~~~~i~
-4
-

Angiotensin II

Kebocoran Protein
lewat glomerulus

t Ekspresi growth medietorsi


inflamasilfibrosis

Gambar 1. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit


ginjal kronis

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi


glomerulus ini adalah: Pembatasan Asupan Protein.
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG
< 60 mllmnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan
asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan
0,6 - 0,8/kg.bb/hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya
rnerupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkalIkgBBlhari, Dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien.
Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein
dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat,
kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
.
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan
tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat,
sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui
ginjal. Oleh karena itu, pernberian diet tinggi protein pada
pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan
penirnbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain,
dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang
disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan
protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.
Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih
(proteiil overload) akan mengakibatkan perubahan
hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hype$ltration),
yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan
pembatasan asupan fosfat, karenaprotein dan f0Sfat selalu
berasal dari sumber yang sama. Pembatasan f o ~ f a peI-1~
t
untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertenasi, di
samping bermanfaat untuk memperkecil risiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat

- 25

< 60
(sindrom
nefrotik)

Asupan protein glkglhari


Tidak dianjurkan
0,6-D,Blkglhari, termasuk
nilai biologi tinggi.

0.35 grlkglhr

Fosfat
glkglhari
Tidak
dibatasi
5 log

0,6-0.8 Ikglhari, terrnasuk 0,35 rlkglhari


protein nilai biologi tinggi atau
tambahan 0,3 g asam amino esensial
atau asam keton

5 log

O.8lkglhr (+I gr protein Ig proteinuria


atau 0.3 g Ikg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

C 9g

pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi


hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan
darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan
pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat
proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa,
proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan
fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan
dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit
ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat
Ensim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting
Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti
dapat memperlambat proses pernburukan fungsi ginjal. Hal
ini tejadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi
dan antiproteinuria.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit


Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
merupakan ha1 yang penting, karena 40-45 % kematian
pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Hal-ha1 yang termasuk dalam pencegahan
dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengenda-lian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian
hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait
dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi
yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan
fungsi ginjal yang terjadi.
Beberapa di antara komplikasi tersebut akan
dibicarakan pada bagian ini, sedangkan sisanya
dibicarakan pada bagian lain.

< 10 g% atau hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap


Derajat

Penjelasan

Kerusakan ginjal
dengan LFG
normal
Kerusakan ginjal
dengan penurunan
LFG ringan

LFG
(mllmnt)

status besi (kadar besi serum/ serum iron, kapasitas ikat


besi totallToru1 lroti Bitzding Capacity, feritin serum),
mencari sumber perdal-ahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan.
Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan ha1 yang
dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus
selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi
dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada
penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang
cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia
dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin
menurut berbagai studi klinik adalah I I - 12 gldl.

Komplikasl

2 90

60 - 89

- Tekanan darah mulai f


-

Penurunan LFG
sedang

30 - 59

Penurunan LFG
berat

15 - 29

Gagal ginjal

< 15

Hiperfosfatemia
Hipokalcemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomasistinemia
Malnutrisi
Asidosis Metabolik
Cendrung
hiperkalernia
Dislipidemia
Gagal jantung
Uremia

Anemia
Anemia terjadi pada 80-90%pasien penyakit ginjal kronik.
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan
oleh drtisiensi eritropoitin. Hal-ha1 lain yang ikut berperan
dal:uii trrjaciinyn anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan
darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hernolisis,
defisiensi asam folat, penekanan slimsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin

Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan kornplikasi penyakit ginjal
kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat
pada Gambar 2.
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan
dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pernberian
hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorbsi fosfat di saluran cema. Dialisis yang dilakukan
pada pasien dengan gaga1 ginjal juga ikut berperan dalarn
mengatasi hiperfosfatemia.

Penurunan fungsl glnjal


I

Hiperfoslalemla

Osteifis librosa cystica


(High -turnover bone disease)

Asidosis metabolik
---

Gambar 2.

Patogenesis terjadinya osteodistrofi renal

GINJAL HIPERTENSI

Mengatasi Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat
sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik
secara urnum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan
rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung
dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor.
Asupan fosfat dibatasi 600-800 mgkari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk
menghindari terjadinya malnutrisi.
b. ~emberianpengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak
dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida,
gararn magnesium. Garam-garam ini diberikan secara
oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal
dari makanan. Garam kalsiurn yang banyak dipakai
adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium acetate.
Tabel 9 memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat,
efikasi dan efek sampingnya.
c. Pemberian bahan kalsium inemetik (calcium mimetic
ctgerzr).Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang
dapat ~nenghambatreseptor Ca pada kelenjar paratiroid,
dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut
juga calciun~.
rnimetic agent, dan dilaporkan mempunyai
efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang
minimal.

Diet rendah fosfat


AI(OH)3
Ca C03
Ca Acetat
Mg(OH)2/MnC03

Tidak selalu mudah


Bagus
Sedang
Sangat bagus
Sedang

Malnutrisi
lntoksikasi Al
Hipercalcemia
Mual, muntah
lntoksikasi Mg

Pemberian Kalsitriol (1.25 (OH,D,)


Pernberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal
banyak dilaporkan. Tetapi pe~nakaiannyatidak begitu luas,
karena dapat ineningkatkan absorbsi fosfat dan kalsiurn di
saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan
penumpukan garam calcium carbonate di jaringan, yang
disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap
kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi
pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar
homo11paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.
Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pernbatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik,
sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang

n~asukke dalarn tubuh dibuat seimbang dengan air yang


keluar, baik rnelalui urin maupun irzsensible water loss.
Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui
insensible water loss antara 500-800 rnlhari (sesuai dengan
luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan
500- 800 rnl ditambah jurnlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah
kalium dan natrium. Pernbatasan kalium dilakukan, karena
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang
fatal. Oleh kareila itu, pemberian obat-obat yang
mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
(seperti buah dan sayuran) hams dibatasi. Kadar kalium
darah dianjurkan 3 3 - 5 3 mEq1lt. Pembatasan natriurn
dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah gararn natrium yang diberikan, disesuaikan dengan
tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.

Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement


Therapy)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal
Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 rnllmnt.
Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation,


classification and stratification, New York National Kidney
Foundation, 2002.
Mackenzie HS, Brenner BM. Chronic renal failure and its systemic
manifestations. In: Brady HR, Wilcox CS. editors. Therapy in
nephrology and hypertension. Philadelphia: WB Saundres; 1999.
p. 463-73.
Skorecki K. Jacob Green, Brenner BM. Chronic renal failure.
Hanison's principles of internal medicine. In: Kasper, Braunwald,
Fauci, et al, editors. 16Ihedition. Vol 1. New York: McGraw-Hill:
2005. p. 1551-61.
Slatopolsky E, Brown A. Dusso A, et al. Pathogenesis of secondary
hyperparathyroidism. Kidney Int. 1999;73;S 14-S20.
Wei Wang. Chan L. Chronic renal failure: manifestation and
pathogenesis, In: Schier RW, editors. Renal and electrolyte
disorders. 6Ih edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2003. p. 456-97.
Wish JB. Anemia associated with renal failure. In: Hricik DE, Miller
RT, Sedor JR, editors. Nephrology secrets. 2" edition. Philadelphia: Henley & Belfus; 2003. p. 163-5.
Yu TH. progression of chronic renal failure. Arch Intern Med.
2003;163: 1417-29.
Goodman WG; Medical management of secondary hyperparathyroidisrn in chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant.
2002; 18:S3;32-9.

GANGGUAN GINJAL AKUT


H.M.S. Markum

PENDAHULUAN
Gangguan Ginjal Akut Berat (GGA-Acute Kidney Injury AKI) yang rnernerlukan dialisis, rnernpunyai rnortalitas
tinggi rnelebihi 50%. Nilai ini sangat tinggi apabila disertai
kegagalan rnulti organ. Walaupun terdapat perbaikan yang
nyata pada terapi penunjang, angka rnortalitas belum
banyak berkurang karena penyakit dasar yang berat
seperti trauma, sepsis, usia pasien rnak'in tua dan pasien
tersebut juga rnenderita penyakit kronik lainnya.
Dengan mortalitas yang tinggi rnaka diperlukan
pengertian yang lebih baik mengenai GGA. GGA telah
dikenal oleh William Heberden pada tahun 1802 dan diberi
istilah ischuria renalis. Walaupun beberapa peneliti
terkenal yaitu Bowman, Charcot dan William membuat
beberapa sumbangan pemikiran untuk kondisi ini namun
sindrom ini dilupakan orang. Perhatian terhadap sindrom
ini berkembang kembali saat perang dunia pertama dan
terutama sglama perang dunia ke dua.
Laporan lengkap yang pertama rnengenai GGA ditulis
oleh Hackradt seorang ahli patologi Jerman pada tahun
1917, yang rnenjelaskan keadaan' seorang tentara yang
mengalami luka trauma berat. Laporan ini dilupakan orang
sarnpai terjadinya perang dunia ke-2, pada saat London
mendapat serangan Jerrnan, didapatkan banyak pasien
crush kidney syndroine, yaitu pasien-pasien dengan
trauma berat akibat tertirnpa bangunan kernudian
meninggal akibat GGA. Tonggak yang amat penting adalah
dengan dimulai tindakan hemodialisis pada awal tahun
1950-an yang amat rnengurangi kematian karena korban
trauma akibat peperangan.Perkembangan penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwaGGA yang dapat pulih kembali
ini terjadi juga pada pasien dengan transfusi darah yang
tidak cocok, abortus, gangguan hemodinamik
kardiovaskular, sepsis dan berbagai akibat efek zat
nefrotoksik.

Perubahaan lstilah Gagal Ginjal Akut (Acute


Renal Failure - ARF) Menjadi Gangguan Ginjal
Akut (Acute Kidney Injury -A KI)
Pada tahun 1951 Homer W Smith rnernperkenalkan istilah
gagal ginjal akut - acute renal ,failure. lstilah ini
rnempunyai penekanan pada kegagalan faal ginjal yang
lanjut. Istilah ARF ini bertahan sampai tahun 200 1. Dengan
rnortalitas yang masih tinggi dirasakan perlunya
mengetahui gangguan ginjal akut yang lebih awal.
Adanya pasien yang sernbuh atau membaik dari
penurunan fungsi ginjal yang mendadak rnenunjukkan
terdapat derajat dari GGA dari ringan sampai berat. GGA
dapat terjadi oleh bermacarn sebab. Perbedaan geografis
juga menentukan sebab dari GGA misalnya di negara maju
GGA terjadi pada orang tua terutama pada usia lanjut
sedangkan di negara berkembang lebih kerap timbul pada
usia muda dan anak-anak misalnya karena malaria dan
gastrointeristis akut. Laporan insidens GGA berlainan dari
negara ke negara, dari klinik ke klinik, oleh karena kriteria
diagnostik yang tidak seragam dan kausa yang berbedabeda.
Dengan dernikian diperlukan suatu cara berpikir baru
yang bermanfaat bagi pengehian rnekanisme tirnbulnya
GGA, klasifikasi yang seragam dan pentahapan dari GGA
yang berdampak pada pengobatan dan penelitian dari GGA.
Perubahan istilah GGA - AKI menyebabkan :
1. Makna perubahaan nilai serum kreatinin yang sedikit
meninggi dapat rnenyebabkan kondisi,yang lebih berat.
2 Istilah gangguan (injury) lebih tepat dalam rnemberikan
pengertian patofisiologi penyakit dari pada istilah gagal
yhilure).
3. Dipahami adanya tahap-tahap dari GGA
Sebagai contoh dapat dilihat daripada tabel berikut
makna dari perubahan nilai kreatinin terhadap beratnya
penyakit dan peningkatan biaya perawatan.

Kenaikan

Kreatinin serum

(m~ldL)

Multivariable OR
(95% CI)

Area under
ROC curve

Kenalkan
biaya total

GFR decrease >75%

Kategori
RIFLE

Kriteria Kreatinin serum

Kriteria UO
Irmvesibk?AKI or persislent

(A) The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the
definition and classification of AKI (i.e. RIFLE criteria)
<0.5 mUkg1jam
Risk
Kenaikan kreatinin serum
for 2 61 jam
-> I .5x nilai dasar atau
penurunan GFR 225%
Injury

1
AKIeadesl Ume
point for
pmviskn
of RRT

Kenaikan kreatinin serum

->2.0x 5x nilai dasar atau

M I=
weeks
-I

ESRD

ESRD >3monlhs

<0.5 mUkgljam
atau 21 21jam

penurunan GFR 250%

Failure

AKIN

Kenaikan kreatinin serum


2 3 . 0 ~5x nilai dasar atau
penurunan GFR 275% or an
Nilai absolut kreatinin serum
-> 4 mg dengan peningkatan
mendadak minimal 0.5 mg

<0.3 mLlkg1jam
->24 jam

Kriteria Kreatinin serum

Kriteria UO

anuria 212 jam

pritmria

Kriteria produksi
urin

Tahap

Kriteria kreatinin serum

Kenaikan kreatinin serum 2 0.3


mgldl 26.4 pmolll) atau kenaikan
~150%
to 200% (1.5- sampai 2 kali
lipat) dari nilai dasar

Kurang dari 0.5 mllkg


per jam lebih dari 6
jam

Kenaikan kreatinin serum > 200% 300% (> 2 - 3 kali lipal) dari
kenaikan nilai dasar kreatinin serum
200% - 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari
nilai dasar
Kenaikan kreatinin serum > 300%
(> 3 kali lipat) dari nilai dasar (or
serum creatinine of more than or
equal to 4.0 mgldl 354 pmoll~)
with an acute increase of at least
0.5 mgldl [44 umollll)

Kurang dari 0.5 mllkg


per jam lebih dari 12
jam

Kurang dari 0.3 mllkg


per jam lebih dari 24
jam atau anuria 12
jam

Klasifikasi ini kenilai tahap GGA dari nilai kreatinin


serum dan diuresis. Kemudian ada upaya dari kelompok
Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam
kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih
awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan
waktu 48 jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan
yang kompleks, sehingga perlu suatu standar baku untuk,
penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan
berdasarkan kriteria RIFLE. Atas sistem ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Diharapkan penelitian
seperti ini dilakukan oleh kelompok perhimpunan

Gambar 1. RIFLE Criteria for Diagnosis of AKI. Adapted with


permission from Lameire et al.

nephrologi dan perhimpunan kedokteran gawat darurat.


Atas dasar klasifikasi dan kriteria RIFLE dapat dibuat
penelitian b e r s q a memakai kaidah -kaidah yang sama.
Sehingga dapat dilakukan usaha - usaha pencegahan dan
pengobatan GGA yang lebih baik. AKIN sebagai bentuk
kebersamaan dalam satu sistem jaringan yang.luas
diharapkan dapat memfasilitasi kerjasama penelitian.
Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap
awal, walaupun belum cukup kuat untuk perbaikan
prognosis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.

Definisi GGA
Penurunan mendadak fad ginjal dalam 48 jam yaitu berupa
kenaikan kadar kreatinin serum 20.3 rng/dl(> 26.4pmoUI),
presentasi kenaikan kreatinin serum 250% (1.5 x kenaikan
dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria
yang tercatat 5 0.5 mVkg/jam dalam waktu lebih dari 6jam).
Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun
nilai persentasi dari perdbahan kreatinine untuk
menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender,
indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk
pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya
diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air
seni diasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif
dan mudah diukur. Kriteria diatas harus memperhatikan
adanya obstruksi saluran kernih dan sebab-sebab oliguria
lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan
dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan
yang cukup.
Perjalanan GGA dapat :
1. Sembuh sempuma

2 Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK


(CKD tahap 1 - 4)
3. Eksaserbasi berupa naik'turunnya progresivitas GGK /
CKD tahap 1 - 4
4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) hal ini
dapat dilihat di gambar berikut.

100

B
C-

2
2
4

5
a

~-AUJTE-~~CMWNIC

KIWYlnsms

TIME
Garnbar 2. Natural history of AKI. Patients who develop AKI may
experience (1) complete recovery of renal function, (2)
development of progressive chronic kidney disease (CKD), (3)
exacerbation of the rate of progression of preexisting CKD; or
(4) irreversible loss of kidney function and evolve into ESRD.

DIAGNOSIS
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk
membedakan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA postrenal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut

perlu diperiksa: 1).Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan


jasmani yang teliti ditujukan untuk mencari sebab
gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi
kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit,
infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat
bengkak, riwayat kencing batu. 2). Membedakan gangguan
ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik (GGK)
misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjukkan
gaga1 ginjal kronis. 3). Untuk mendiagnosis GGA
diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu kadar
ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien
yang dirawat selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan,
berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau
kelebihan cairan tubuh. Pada gangguan ginjal akut yang
berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan
garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema
bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema
paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat
menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi
pernapasan kussumaul. Umumnya manifestasi GGA lebih
di dominasi oleh faktor-faktor presipitasi atau penyakit
utamanya. 4). Penilaian pasien GGA: a). Kadar kreatinin
serum. Pada gangguan ginjal akut faal ginjal dinilai dengan
memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar
serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat laju
filtrasi glomerulus karena tergantung dari produksi (otot),
distribusi dalam cairan tubuh dan ekskresi oleh ginjal. b).
Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara
umum nilai serum cystatin C dapat menjadi indikator
gangguan ginjal akut tahap awal yang cukup dapat
dipercaya. c). Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat
merupakan indikator yang spesifik untuk gangguan ginjal
akut, yang dapat terjadi sebelum perubahaan, nilai-nilai
biokimia darah. Walaupun dernikian volume urin pa& GGA
bisa bermacam-macam. GGA pre-renal biasanya hampir
selalu disertai oliguria (< 400 mljhari), walaupun kadang-

Etiologi
Prerenal

Sedirnen
Torak hialin

lskemia

Sel epitel, muddy-brown


cats, pigmented granular
casts
Lekosit (WBC),Torak
lekosit, eosinophilis,
Eritrosit (RBC), sel epitel
Dysmorphic RBCs, RBC
cast
Beberapa torak hialin,
eritrosit
Kristal asam urat

Nefritis interstitial
akut
GN Akut
Postrenal
Lysis tumor
Arterial Ivenous
thrombosis
Ethylene glycol

FENA+
Fe-urea
<1

<35
>2
>50
>1

<1 early
<l
'early
--zlL&e-

Proteinuria
Tidak ada atau
samar
Samar ringan

Ringan - sedang
Sedang - baik

Eritrosit

Tidak ada atau


samar
Tidak ada atau
samar
Ringan - sedang

Kristal kalsium oksalat

Sarnar - Rinnan

kadang tidak dijumpai oliguria. GGA post renal dan GGA


renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria. d).
Kelainan analisis urin (Tabel 4). e). ~etanda.biolo~is
(Biomarkers). Syarat petanda biologis GGA adalah marnpu
dideteksi sebelum kenaikan kadarkreatinin disertai dengan
kemudahan teknik pemeriksaanya. Petanda biologis
diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA.
Berdasarkan kriteria RIFLEIAKIN maka perlu dicari
petanda untuk membuat diagnosis seawal mungkin.
Beberapa petanda biologis mungkin bisa dikembangkan.
Gambar berikut menunjukkan beberapa petanda biologis
yang dikaitkan dengan perjalanan penyakit GGA.
Petanda biologis ini adalah zat - zat yang dikeluarkan
oleh tubulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18,enzim
tubular, N-acetyl-b-glucos~dase,alanine aminopeptidase, kindey injury molecule I. Dalam satu penelitian pada
anak-anak pasca bedah jantung terbuka gelatinaseassociated lipocalin (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2
jan setelah pembedahaan, 24jam lebih awal dari kenaikan
kada. kreatinin. Dalam masa akan datang kemungkinan
diperlukan kombinasi dari petanda biologis.

Prosedur

lnformasi yang dicari

Anamnesis dan
pemeriksaanfisik

Mikroskopik urin

Pemeriksaan
biokimia darah
Pemeriksaan
biokimia urin
Darah ferifer
lengkap
USG Ginjal

Tanda-tanda untuk menyebabkan


gangguan ginjal akut. lndikasi beratnya
gangguan metabolik. Perkiraan status
volume (hidrasi)
Petanda inflamasi glomerulus atau
tubulus. lnfeksi saluran kemih atau
uropati kristal
Mengukur pengurangan laju filtrasi
glomerulus dan gangguan metabolik
yang diakibatkanya
Membedakan gagal ginjal pra-renal dan
renal
Menentukan ada tidaknya anemia,
leukositosis, dan kekurangan trombosit
akibat pemakaian.
Menentukan ukuran ginjal, ada tidaknya
obstruksi tekstur, parenkim ginjal yang
abnormal

Bila diperlukan :
CT Scan abdomen
Pemindaian
radionuklir

Mengetahui struktur abnormal dari ginjal


dan traktus urinarus
Mengetahhi perfusi ginjal yang abnormal

Pielogram

Evaluasi perbaikan dari obstruksi traktus


urinarius
Menentukan berdasarkan pemeriksaan
patologi penyakit ginjal.

Biopsi ginjal

4,Ktdney Injury contlnuurn

Cell death

Gambar 3. Acute kidney injury and its biomarkers

CANGCUAN CINJAL AKUT

GAMBARAN KLI.N!S:
; + GANG:@J!W,G!y
.
.- JAL
. .:
< - , AKUT
..
. .
. .. . ,
3
. . . ;, . . p. :.:<,:
,:,
P :; . ?
.
,;:
<
.'
.
:

'

., .

,;,:

..

.,

,,.:.:..:

;<.'-.:;.

:..,*

-:.': ..<>.

.: ,,..

...

GGA dapat diba&menjadi 3 bagian besar, antara lain:


GGA pre-renal.Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi
ginjal. Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovolemia atau
menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada GGA
pre-renal integritas jaringan ginjal masih terpelihara
sehingga prognosis dapat lebih baik apahila faktor
penyebab dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan
hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka aka11timbul GGA
renal berupa Nekrosis Tubular Akut (NTA) karena iskemik.
Keadaan ini dapat timbul sebagai akibat bemacam-macam
penyakit. Pada kondisi ini fungsi otoregulasi girijal akan
berupaya mempertahankan tekanan perfusi. melalui
mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan normal,
aliran darah ginjal dan LFG relatif konstan, diatur oleh suatu
mekanisme yang disebut otoregulasi. GGA pre-renal
disebabkan oleh hipovoleniia, penunman volume efektif
intravaskular seperti pada sepsis dan gagal jantung serta
disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra-renal sepe~ti
pada pemakaian anti inf'iamasi non steroid, obat yang
menghambat angiotensin dan pada tekanan darah, yang
akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskuler yang
seianjutnya mengaktifasi sistem saraf simpatis? sisten~
renin-angiotensin serta merangsang pelepasaan vasopresin
dan endothel in- 1 (ET- I ), yang merupakan mekanismes
t&h.untuk mempertahankan tekanan darah dan curah
jantung s e ~ t aperfusi serebral. Pada keadaa~iini mekanisme
otoregulasi ginjalakan n~empertahankanaliran darah ginjal
dan .laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi
arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta
prostagladill dan nitric oxide (NO), serta vasokontriksi
arteriol afferen yang telutama dipengaruhi oleh angiotensin11 (A-11) dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk
mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada hipopel-fusi
ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rcrta < 70 mniHg) serta
berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme
otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana uteri01 afferen
mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan
peningkatan reabsorbsi Na+ dan air. Keadaan ini disebut
pre-renal atau GGA fungsional, dimana belum terjadi
kerusakan strukrural dari ginjal. Penanganan terhadap
penyebab hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis
intra-reaa1,menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa
dipengaruhi beberapa obat seperti ACEIARB, NSAID,
terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun
dengan kadar serum kreatinin mg/dL sehingga dapat terjadi
GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi
hiponatremi, hipotesis, penggunaan diuretik, sirosis h a ~ i
dan gagal jantung. Perlu di ingat bahwa pada pasien usia
lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang merupakan risiko
GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal
(penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik dan
nefrosklerosis. internal.

GGA Renal. GGA renal yanp disebabkan oleh kelainan


vaskuler sepelti vaskulitis. hipertensi maligna, glomerulus
nefritis akut, nefritis interstitial akut akan dibicarakan
tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat
disebabkan oleh berhagai sebab seperti penyakit tropik,
gigitan ular. trauma (crushing injurylbencana alam,
peperangan). toksin lingkungan dan zat-zat nefrotoksik. Di
Rumah Sakit (35 - 50% di ICU) VTA terutama disebabkan
oleh sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terja~diNTApada
20 - 25% ha1 ini disebabkan adanya pcnyakit-penyakit
seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit ~ ~ e n ~ b u l u h
dxah, diabetes melitus, iktelus dan usia lanji~t,jenisoperasi
yang berat seperti transplnntasi hati. transplantasi jantung.
Dari golongan zat-ziit nefroloksik perlu dipikirkan nefropati
karena zat radio kontras. obat-obatan seperti anti jamur,
anti virus dan anti ncoplastik. Meluasnya pemakian
NARKOBA juga meningkatkan kemungkinan NTA.
Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan komponen
vaskuler dari tubuler. misalnya :
Kelainan vaskular. Pada NTA terjadi : 1 ). Peningkatan Ca2+
sitosolik pada nrteriol ,iffere11 glomerulcs yang
menyebabkan pcningkatan scnsitifitas terhaiiap substansisubslansi vasokontriktor dan ganggi~anolcrcgulasi.
2).Terjadi pcningkatar~stress okriilittif yang rnenyebabkan
kerusakan endotel vaskuler g i ~ ~ j ayang
l , rnengakibatkan
pengikacan A-11 dan EL-1scrla penurunan prostaglandin
dan ketersediaan NO yang berasal dari endorhelial NO
syslhase (eNOS). 3). Peniugkatan mediator inflamasi sepec-ti
tumor necrosis facior iTNF-) dan in~erleukin-18 (,IL 18). yang
selan.jutnya akan meningkatkan ekspresi dari intet-c,ell~.!lcii.
crdhesiotl tnol~c~irlc-l
(ICAM- l j dan P-selectin dari sei
endotel, sehingga ter-jadi peningkatan perlengketan dal-i
sel-sel radang, terutalna sel neutrofil. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.
Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara hersiin~a
- sama menyebabkan vasokonstriksi intra-sel yang akan
menyebabkan penurunan LFG.
Kelainan tubuler. Pada NTA tgrjndi: I ). Pen~ngka!nn(La?+
in~raselyang menyebabkan peningkatan c.crlpcrin, i.i.<rolic
p k o ~ p l ~ o l i / ? ~;4?,
t . ~ iscrta
ikerusakan ocrin. y:lilg akan
rnenyebabkan cystoskeleton. Kradaan ini akann
menyebabklun penurunan Bcrsolatertrl Nel+/K-ilTPer.,t. yalig
selanju~nyanienyehatlkan penurunan reabsorbsi Na+ di
tubulus prokzin~alis.schingga terjadi pzninpkatan
pelepasan NaCl Ere ~ n a k u l a densa. Hal tersrbilL
mengakibatkan umpan balik tubuloglomeruicl-.
1). Peningkatan NO yang herasal dari inducible NO
systhase (iNOS). caspase dan mettaloprotein;ihe :jertil
defisiensi hecrr shockpro/oitz, akan menyebabkan ~irhri;sis
dan apoptosis sel. 3). Obstruksi tubulus. Mikrovilli
tubulus proksinialis yang terlepas bersama debris seluler
aka11niembentuk substrat yang akan menyunibat tubulus.'
Di tubulus, dalam ha1 ini pada thick asc~et~clitrg
linlb
diproduksi fimrn-Hor.sfull Proteirl (THP) yang disekredkan

ke dalam tubulus ke dalarn bentuk monomer yang kemudian


berubah menjadi bentuk polimer yang yang akan
memberntuk materi berupa gel dengan adanya Na+ yang
konsentasinya meningkat pada tubulus distal. Gel polimerik
THP bersama sel epithel tubuli yang terlepas, baik sel yang
sehat, nekrotik maupun yang apoptotik, microvilli dan
matrix ekstraseluler seperti fibronektiin akan membentuk
silinder - silinder (cast) yang menyebabkan obstruksi
tubulus ginjal. 4). Kerusakan sel tubulus menyebabkan
kebocoran kembali (backleak) dari cairan intratubuler
masuk kedalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan prosesproses tersebut diatas secara bersama-sama akan
menyebabkan penurunan LFG Di duga juga proses iskemia
dan paparan bahanlobat nefrotoksik dapat merusak
glomerulus secara langsung. Pada NTA terdapat kerusakan
glomerulus dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal
juga dengan nama nekrosis tubular akut (NTA). Tahaptahap nekrosis tubular akut adalah tahap inisiasi, tahap
kerusakan yang berlanjut (maintenance) dan tahap
penyembuhan. Dari tahap inisasi ke tahap kerusakan yang
berlanjut terdapat hipoksia, dan inflamasi yang sangat
nampak pada kortikomeduler (cortiocomedularyjunction).
Proses inflamasi memegang peranan penting pada
pasofisiologi dari GGA yang terjadi karena iskemia. Sel
endotel, lekosit dan sel-T berperan penting dari saat awal
sampai saat reperfusi (reperfusion injury).
GGA post-renal. GGA post-renal merupakan 10% dari
keseluruhan GGA. GGA post renal disebabkan oleh
obstruksi intra-renal dan ekstra renal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristral (urat, oxalat,
sulfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobin).
Obstruksi ekstra-renal dapat terjadi pada pelvis ureter
oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla)
dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retoperitonial,
fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor,
hipertrofi I keganasan prostat) dan urethra (striktura).
GGA post renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada
urethra, buli-buli dan ureter bilateral atau obstruksi pada
ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi.
Pada fase awal dari obtruksi total ureter yang akut, terjadi
peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan
pelvis ginjal dimana ha1 ini disebabkan oleh prosta
glandin-E2. Pada fase kedua setelah 1.5 - 2 jam terjadi
penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat
pengaruh thromboxane-A2 (TxA2) dan A-11. Tekanan
pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai
meningkat. Fase ke tiga atau fase kronik, ditandai oleh
aliran darah ginjal yang makin menurun atau penurunan
tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu.
Aliaran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari
normal dan setelah 2 minggu tinggal20% dari normal.
Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi
dan faktor-faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan
febriosis interstitial ginjal.

Vasokontriksi
renal
Dopamin
dosis rendah

Kerusakan
r e m i
Anti ICAM-1 mAb

Obst~ksi
tubuler
Furosemid

Reseptw
anatognist
endotelin

Anti-CDlB mAb

Manitol

Peptide
natriuretik
atrial
Antagonis
kakium

Peng~kat radikal
bebas

Dopamin
dosis
rendah

Anlagonis
reseplw
leukotrien

Regerensi
tubuler
FaktM
perturnbuhan
epidermal dan
hepatosit
Faktor
pertambahan
hepalosit
insulin-like
growth factor

Penghambat
prostease aMSH
Membran
biikmpatibel ,

PENGELOLMN
Tujuan pengelolaan adalah meencegah terjadinya
kerusakan ginjal, mempertahankan komestasis, melakukan
resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta
mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya
sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai
dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA (sebagai
tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA,
mempertahankan homeostasis, mempertahankan
eopolemia, keseimbangancairan dan elektrolit, mencegah
komplikasi metabolik seperti hiperkalemia, asidosis,
hiperfospatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian
mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang
dipakai.

PENCEGAHAN
GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya
penggunaan zat kontras yang dapat menyebabkan
nefropati kontras. Pencegahan nefmpati akibat zat kontras
adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-asetyl
cystein serta pemakaian purosemid pada penyakit tropik
perlu di waspadai kemungkinan GGA pada gastrointeristis
akut, malaria dan demam berdarah.
Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi
asam urat yang tinggi sehingga menyebabkan GGA. Pada
tabel ini dapat dilihat beberapa upaya pencegahan GGA.

TERAPI KHUSUS OOA


Bila GGA sudah terjadi diperlukan pengobatan khusus,
umumnya dalam ruang lingkup perawatan intensif sebab

CANGGUANGINJAL AKUT

Cari dan perbaiki faktor pre dan pasca renal


Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan
Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal
Perbaiki dan atau tingkatkan aliran urin
Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang
badan tiap hari
Cari dan obati komplikasi akut (hiperkalemia,
hipernatremia, asidosis, hiperfosfatemia, edema paru)
Asupan nutrisi adekuat sejak dini
Cari fokus infeksi dan atasi infeksi secara agresif
Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit,
psikologis)
Segera memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi
Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas
bersihan ginjal

Oliguria : produksi urin < 2000 mL in 12 h


Anuria : produksi urin 50 mL in 12 h
Hiperkalemia : kadar potasium > 6.5 mmol1L
Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH < 7.0
Azotemia : kadar urea > 30 mmollL
Esefalopati uremikum
Neuropati Imiopati uremikum
Perikarditis uremikum
Natrium abnormalitas plasma : konsentrasi > 155 mmollL
atau < 120 mmollL
Hipertemia
Keracunan obat

Komplikasi

Pennobatan
-

beberapa penyakit primernya yang berat seperti sepsis,


gagal jantung dan usia lanjut, dianjurkan untuk inisiasi
dialisis ini. Dialisis bermanfaat untuk koreksi akibat
metabolik dari GGA. Dengan dialisis dapat diberikan cairan/
nutrisi dan obat-obat lain yang diperlukan seperti
antibiotik. GGA post-renal memerlukan tindakan cepat
bersama dengan ahli urologi misalnya pembuatan
nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan
menghilangkan sumbatan yang dapat disebabkan oleh
batu, setriktur uretra atau pembesaran prostat.
Belum ada buktiyang nyata keunggulan antara terapi
pengganti intensif dan terapi pengganti intermiten.

Kebutuhan nutrisi pada GGA amat bervariasi sesuai


dengan penyakit dasarnya atau kondisi komorbidnya, dari
kebutuhan yang biasa, sampai dengan kebutuhan yang
tinggi seperti pada pasien dengan sepsis. Rekomendasi
nutrisi GGA amat berbeda dengan GGK, dilnana pada GGA
kebutuhan nutrisi sisesuaikan dengan keadaan proses
kataboliknya. Pada GGK justru dilakukan pembatasanpembatasan. Pada tabel di bawah ini diperlihatkan
kebutuhan nutrisi pada berbagai keadaan GGA.
GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang
amat kompleks, tidak hanya pengaturan air, asarn basa,
elektrolit, tetap juga asam amino 1protein, karbohidrat dan
lemak. Heterogenitas GGA yang amat tergantung dari
penyakit dasarnya membuat keadaan ini lebih kompleks.
Oleh karena itu nutrisi pada GGA disesuaikan dengan
proses katabolis yang terjadi, sehingga pada suatu saat
menjadi normal kembali.

FASE PERBAIKAN
Pada tahap ini terjadi poliuria yang sangat banyak sehingga
perlu dijaga keseimbangan carian. Asupan cairan

Kelebihan
volume
intravaskular

Batas garam (1-2 glhari) dan air (< 1


Llhari), Furosemid, ultrafiltrasi atau dialisis

Hipobatremia

Batas asupan air (< 1 Llhari) : hindari infus


larutan hipotonik

Hiperkalemia

Batasi asupan diet K (< 40 mmollhari) ;


hindari diuretik hemat K, Potassiumbinding ion exchange resins, Glukosa (50
ml dextrosa 50%) dan insulin (10 unit),
Natrium bikarbonat (50 - 100 mmol),
Agonis P2 (salbutamol, 10 - 20 mdg di
inhalasi atau 0.5 1 mg IV), kalsium
glukonat ( I 0 ml larutan 10% dalam 2 - 5
menit)

Asidosis
metabolik
Hiperfosfatemia

Natrium bikarbonat (upayakan bikarbonat


serum > 15 mmollL, pH > 7.2)
Batasi asupan diet fosfat (800 mglhari),
obat pengikat fosfat (kalsium asetat;
kalsium karbonat)
Kalsium karbonat ; kalsium glukonat (10 20 ml larutan 10%)

Hipokalemia
Nutrisi

Batasi asupan protein diet (0.8 - 1 glkg


BBIhari) jika tidak dalam kondisi katabolik,
karbohidrat (100 glhari), nutrisi enternal
atau parenteral jika perjalanan klinik lama
tau katabolik.

pengganti diusulkan sekitar 65 - 75% dari jumlah cairan


yang keluar. Pad atahap ini pengamatan faal ginjal harus
tetap dilakukan karena pasien pada dasarnya belum
sembuh sempulna (bisa sampai 3 minggu atau lebih)

KESIMPULAN
Istilah gangguan ginjal akutlacute kidney injury
sebaiknya menggantikan istilah gagal ginjal akut/ARF.
Istilah gangguan ginjal akut memberikan gambaran yang
lebih jelas mengenai proses GGA dengan dibuatnya kriteria
RIFLEYAKIN.
Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir ban!
dalam memahami GGA, pentahapan dari GGA, standardisasi
dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam

Continous renal replacment

Hemodialsis intermitten
Keuntungan

theranv

- Resiko rendah untuk

perdarahan
Lebih banyak waktu untuk
rnencari diagnosis dan
intervensi I terapi.
- Lebih cocok untuk hiperkalernia
berat
- Biaya murah

Kerugian

Ketersediaan perawat HD
Lebih sulit kontrol hemodinamik
Dosis dialisis tidak mencukupi
Kurang kontrol cairan
Nutrisi kurang
Tidak cocok untuk pasien
dengan hipertensi intrakranial
Tidak ada pernbuangan sitokin
Potensial terjadi aktivasi
kornplemen oleh membrane
yang non kornpatibel (tidak
sesuai)

Jenis dan cara dialisis


Hernodialisis
Konvensional

Masalah akses vaskuler


Risiko tinggi terjadinya
perdarahan
lmobilisasi lebih lama
Lebih banyak rnasalah pada
filter (ruptur, penyumbatan oleh
bekuan darah)
Biaya mahal

Klirens difusi dan ultrafiltrasi


bersarnaan, interrniten
Klirens difusi dan ultrafiltrasi dengan
aliran darah dan dialisat yang pelan.
intermiten
Ultrafiltrasi diikuti klirens difusi,
interrniten
Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan
dan bersamaan tanpa p,ornpadarah

Hernodialiser
Hernodialiser
Hernofilter

Hernodialisis dan hernofiltrasi


Continuous
Hernofilter
arterivenous
hernodialysis plus
hernofiltration
(CAVHDF)
Continuous
Hernofilter
venovenous
hernodialysis plus
hernofiltration
(CVVHDF)
Ultrafiltrasi
Isolated ultrafiltration
Hernodialiser

lnterrniten

Hernodialiser

Sequential ultrafiltration
& clearance
Continuous
arteriovenous
hernodialysis (CAVHD)
Continuous venovenous
hernodialysis (CWHD)

Dialisis peritoneal
Berkesinarnbungan

Prinsip kerja

Hernodialiser

Slow continuos
ultrafiltration (SCUF)

Dialiser

Slow long extended


daily dialysis (SLED)

Hemodinarnik lebi stabil


Aritmia lebih jarang
Perbaikan nutrisi
Pertukaran gas di paru lebih
baik
Kontrol cairan lebih baik
Kontrol biokimia darah lebih
baik
Waktu rawat inap ICU lebih
singkat

Hernofilter

Peritoneum
Peritoneum

Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan


dan bersarnaan dengan pornpa
darah
Klirens konvektif berkesinarnbungan
tanpa pornpa darah

Klirens konvektif berkesinarnbungan


dengan pornpa darah .

Klirens konvektif dan difusi


berkesinarnbungantanpa pornpa
darah
Klirens konvektif dan difusi
berkesinambungan dengan pompa
darah
Klirens dan ultrafiltrasi
berkesinarnbungan ; ganti cairan
selang beberapa jam
Klirens dan ultrafiltrasi interrniten;
ganti cairan tiap jam selama 12 jam
setia~
2-3 hari

GANCCUAN GlNJALAKUT

Tahap katabolisme
Ringan

Sedang

Keadaan klinis

Toksik karena
obat

Pembedahan
+ infeksi

lnjuri berat 1
sepsis

Mortalitas
Dialisis I
hemofiltrasi
Pernberian
makanan
Rekomendasi
Energi
(kkallkgBBlh)
Subtrat energi

20%

60%

> 80%

Jarang

Apabila perlu

Sering

Oral

Enterall
parenteral

Enterall
parenteral

25

25 - 30

25 - 35

Glukosa

Glukosa +
lemak

Glukosa + lemak

Glukosa glkg
Lemak glkg
Asam amino I
protein
Nutrien oral I
enteral
Parenteral

3-5
0.5 - 1
0.6 - 0.8 EAA

3-5
0.8- 1.5
0.8 - 1.2 EAA
+ NEAA

3 - 5 (maks 7)

(+NEAA)
Makanan

Formula

Berat

1.0 - 1.5 EAA +

NEAA
Formula

Glukosa 50 -

Glukosa 50 70%
70%
+ emulsi lemak 10 - 20% EAA +
NEAA (biasa atau khusus untuk
ginjal) + multivitamin + multitrace
element

Dari Druml W. Mitch WE. Nutritional Management of Acute Renal


Failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in Nephrology and
Hypeltension. Philadelphia :WB Saunders Company ; 1999.

mendeskripsikan GGA. Keseragaman ini akan mendorong


upaya pencegahan, pengobatan dan penelitian yang
seragam.
Hasil akhir yang diharapakan adalah tatalaksana atau
penanganan GGA yang lebih baik.

Bellomo R. Ragshaw S, Langenberg C, Ronco C. Pre-Renal Azotemia:


A Flawed Paradigm in Critically ill Septic Patients'? (eds.): Acute
Kidney Injury. Contrib I Ncphrol. Basel. Karger, 2007, Vol.
156. pp 1 - 9.
Kelluni JA, Bellonio K. Ronco C.. The Concept of Acute Kidney
Injury and the RIFLE Criteria. (eds.) : Acute Kidney lnjury.
Contrib Nephrol. Basel. Karger. 2007. Vol. 156, pp 10 - 16.
Vincent Louis J . Critical Care Nephrology : A ~Mul~idisciplinary
Approach. Contrib Nephrol. B;~sel,Karger, 2007. Vol. 156, pp
24 - 31.

Leverve MX, Cano JM Noel. Nutritional Management in Acute


Illness and Acute Kidney Insufficiency. Contrib Nephrol. Basel,
Karger, 2007, Vol. 156, pp 112 - 1 1 8.
Devarajan P. Emerging Biomarkers of Acute Kidney Injury. Contrib
Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 203 - 212.
Bonventre V. Joseph. Diagnosis of Acute Kidney lnjury : From
Classic Parameters to New Biomarkers. Contrib Nephrol. Basel,
Karger, 2007, Vol. 156, pp 213 - 219.
A. Davenport. Renal Replacement Therapy for the Patient with
Acute Traumatic Brain Injury and Severe Acute Kidney Injury.
Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 333 - 339.
Cerda J, Lameire N, Eggres P. et all. Epidemiology of Acute Kidney
Injury. Clin J Am Soc Nephrol 3 : 881 - 886 ; 2008.
Bonventre V Joseph. Dialysis in Acute Kidney Injury - More Is Not
Better. N Engl J Med 359 : July 3 ; 2008.
Metha L. Ravindra, Kellum A. John, Shah V Sudhir. et all. Acute
Kidney Injury Network: report of an initiative to improve out-.
comes in acute kidney injury. Critical Care, Vol. l l No.2 : 1 - 8;
2007.
Bagshaw M.S, George C and Bellomo R. A comparison of the RIFLE
and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant (2008) 23: 1569-1574.
Himmelfarb J and lkizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology Kidney International
(2007) 71, 971-976.
Molitoris AB, Yaqub SM Current Diagnosis and Treatment Nephrology and Hypertension. Acute Kidney Injury. Section I1 Acute
Renal Failure. A LANGE Medical Book : 2009; (9) : 89 - 98.
Field M,Pollok C,Harris D.Glomerulus filtration and acute renal
failure.The renal system. 2001 ;5:65-73.
Lameire N, Wim Van Biesen. Vanholder R. Acute renal fai1ure.t.
2005;365:4 17-30
Robert W. Schrier. Manual of nephrology. 6'Ih edition. New York
London; 2005.
Suhardjono, Sukahatya M. Parsoedi I. Gagal Ginjal akut. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid I1 Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2001. p. 417-22.
Susalit E. Penanganan gagal gi~ijalakut di ICU. Nskah lengkap gagal
ginjal akut, penyakit ginjal, sistemik ginjal dan system
kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p.
.
18-22.
Syakib B. Patogenesis gagal ginjal akut. Naskah lengkap gagal ginjal
akut, penyakit ginja1,sistemik ginjal dansistem kardiovaskular
pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p. 1-7
The VA I NIH Acute Renal Failure Trial Network. Intensity of Renal
Support in Critically 111 Patients with Acute Kidney Injury. N.
Eng J. Med. 2008 ; 35 - : 7 - 20.
Druml W. Mitch WE. Nutritional Management of acute renal failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephrology and
hypertension. Philadelphia. WB Saunders Comp. 1999.

HEMODIALISIS
Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono

PENDAHULUAN
Tahapan gaga1 ginjal kronik dapat dibagi menurut
beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal
ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih
tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha
pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan
minum, obat-obatan, dan lain-Iain tidak memberi
pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut
diberi nama penyakit ginjal kronik (PGK). Pada
stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah
yang dapat membahayakan kelangsungan hidup
pasien. Pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa,
yang diukur dengan klirens kreatinin (KKr), tidak lebih
dari 5 mL/menit/l,73 m2. Pasien PGK, apa pun etiologi
penyakit ginjal nya, memerlukan pengobatan khusus
yang disebut pengobatan atau terapi pengganti
(TP). Setelah menetapkan bahwa T P dibutuhkan,
perlu pemantauan yang 'ketat sehingga dapat
ditentukan dengan tepat kapan T P tersebut dapat
dimulai.

TERAPI PENGGANTI
Seperti diketahui faal ginjal dapat dibagi menjadi faal
ekskresi dan faal endokrin. Pada PGK. kedua golongan
faal ini memburuk walaupun tidak selalu proporsional.
TP yang ideal adalah yang dapat menggantikan fungsi
kedua faal ini. Transplantasi ginjal yang berhasil akan
mengganti keseluruhan faal ginjal yang sakit, sedangkan
dialisis mengganti sebagian faal ekskresi. Pada Tabel 1
tertulis beberapa TP yang dapat dilaksanakan dewasa
ini. Di samping TP tersebut ada juga TP yang hanya
dilakukan dalam keadaan yaag sangat khusus atau pada
penelitian.

Dialisis
A. Dialisis Peritoneal (DP)
- DP intermiten (DP)
- DP mandiri berkesinambungan (DPMB)
- DP dialirkan berkesinambungan (DPDB)
- DP nokturnal (DPN)
B. Hernodialisis (HD)

II

Transplantasi Ginjal (TG)


TG donor hidup (TGDH)
TG donor jenazah (TGDJ)

Pada PGK, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan


darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang
terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien
dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi
oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan
kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan
dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan
komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan
darah yang terpisah akan mengalami perubahan
konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi
yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai
konsentrasi zat terlarut sarna di kedua kompartemen
(difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari
kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan
cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada
kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut
ultrafiltrasi (Gambar 1).
Besar pori pada selaput akap menentukm besar malpkul
zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul
lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul
dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan
zat terlarut tersebut makin tinggi bila ( I ) perbedaan

pJ-;ps;

Selaput Semipermeabel

Kompartemen 1

Kompartemen 2

Garnbar 1. Proses dialisis

konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi


tekanan hidrolik di kompartemen darah, dan (3) bila tekanan
osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan
dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk
meningkatkan efisiensi (Gambar 2). Perpindahan zat terlarut
pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat
sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen.
Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa,
selulosa yang diperkaya, selulo sintetik, dan membran
sintetik. Pada membran selulosaterjadi aktivasi komplemen
oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan
membran ini cenderung berkurang digantikan oleh
membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran
lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa.

Darah kembali ke badan

Pembuangan
Dialisat dialirkan pompa
Garnbar 2. Bagan hemodialisis

Luas permukaan membran juga penting untuk proses


pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia
adalah dari 0,8 m2sampai 2,l m2. Semakin tinggi luas
permukaan membran semakin efisien proses dialisis yang
terjadi.
Selarna proses dialisis pasien akan terpajan dengan
cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat
dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan
dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam darah
pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan
dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi
oleh tubuh. Cairan dia!isat perlu dimurnikan agar tidak
terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan
tubuh. Dengan teknik reverse osmosis air akan melewati
membran semi permeabel yang merniliki pori-pori kecil

sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul


kecil seperti urea, natrium, dan klorida. Cairan dialisat tidak
perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai
penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman hams
dijaga agar kurang dari 200 kolonilml dengan melakukan
desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan
dialisat berlusar 135-145 meq/L. Bila kadar natrium lebih
rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan
hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah.
Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan
hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan
kadar natrium darah pascadialisis. Keadaan ini akzn
menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk
minum lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi
hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi
maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan
dialisat dibuat lebih tinggi.
Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan
mengurangi biaya hemodialisis.
Dilaporkan 80% pasien hemodialisis di Amerika Serikat
dilakukan daur ulang sedangkan di Eropa sekitar 10%.
Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci
dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan
bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser.
Dilakukan pengukuran volume dialiser untuk mengetahui
apakah dialiser ini masih dapat dipakai dan dilihat apakah
terdapat cacatjasmaninya. Umumnya dipakai kembali bila
volume dialiser 80%. Setelah itu dialiser disimpan dengan
cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan
kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua
formaldehid.Formaldehid yang tersisa dalam dialiser dapat
memasuki tubuh selama proses dialisis dan ha1 ini dapat
menimbulkan gangguan pada pasien.
Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering
digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian
cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat
menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan
bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat
cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan
vasokonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh
untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi
selama hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah
dapat memberikan bikarbonat ke d a l q darah yang akan
menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak menimbulkan
vasodilatasi.
Pada proses 'dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh.
Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sistem koagulasi
darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu
pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis
berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu
teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin.
Pada teknik heparin rutin, teknik yang paling sering
digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara
bolus diikuti dengan continous infusion. Pada keadaan di

mana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik


heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh
beberapa keadaan risiko perdarahan berat misalnya pada
pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia,
koagulopati, dan pascaoperasi dengan perdarahan.
Jumlah dan tekanan dar& yang mengalir ke dialisel;
harm memadai sehingga perlu suatu akses khusus. Akses
khusus ini pada umurnnya adalah vena lengan yang sudah
dibuatkan fistula dengan arteria radialis atau ulnaris.
Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena
akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti
ini (fistula cimino) dapat bertahan bertahun-tahun dan
komplikasinya hampir tak ada.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang
terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang
sering terjadi di antaranya adalah hipotensi, h a m otot,
mud dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam, dan menggigil. Komplikasiyang jarang terjadi
rnisalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser; aritmia,
tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,
hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi
komplemen akibat dialisis dan hipoksemia.
Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu
dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di
senter dialisis lain ada juga dialisis yang dilakukan 3 kali
seminggu dengan lama dialisis 4 jam.
Pasien hemodialisis hams mendapat asupan makanan
yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang
merupakan prediktor yang penting urifuk terjadinya
kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein
diharapkan 1-1.2 g/kgBB/hari dengan 50% terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan
40-70 meqhari. Pembatasan kalium sangat diperlukan.
karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan
urnbi-umbian tidak dianjurkan dikonsumsi. Jumlah asupan
cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada
ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi
40-120 meqhari guna mengendalikan tekanan darah dan
edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus
yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila
asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara
dialisis akan terjadi kenaikan berza badan yang besar.
'
Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur
dengan istilah adekuasi diaflisis. Terdapat korelasi yang
h a t antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan
mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur
dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan {KT/

V). URR dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan


kadar ureum predialisis dengan kadar ureum pascadialisis
dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali
seminggu dialisis dianggap cukup bila UUR-nya lebih dari
80% Cara lain menghitung adekuasi dengan menghitun
KT/N Terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT1
N dengan memasukkan nilai ureum pra dan pascadialisis,
berat badan pra dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali
seminggu KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sjima
dengan 1,8.
Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila
laju fdtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 a m e n i t .
yang di dalalT praktek dianggap demikian bila (TKK) < 5
rnL menit. Keadaan pasien yang hanya mempunya TKK <
5 a m e n i t tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai bila di jumpai sarah satu dari hal tersebut
di bawah :
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
K serum > 6 mEq/L
Ureum darah > 200 mg/dL
pHdarah<7,1
Anuria berkepanjangan ( > 5 hari)
Fluid overloaded
Hemodialisis di Indonesia dimulai padc tahun 1970 dan
sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sak~t
rujukan Umumnya dipergunakan ginjal buatan yan!
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermeabel (hollowfibre kidney) Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya
yang mahal.

REFERENSI
Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications during hemodialysis. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis,
edisi 2, Little Brown am Company: 1994. 149-68.
Daugirdas JT. Chronic hemodilysis prescription: a urel kinetic approach. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2. Little Brown am Company; 1994.92-120.
Dialysis Therapy, Ed. Nissenson AA, Fine AN Philadelphia: Hanley
& Belfus; 1986.
Kaaono SD, Darmarini F, Aahimy A. Penyusunan diet pada gagal
ginjal kronik dengan dialisis. Dalam: Sidabutar AP, Suhardjono
(ed). Gizi pada gagal ginja kronik. Beberapa aspek
penatalaksanaan. PERNEFRI 1992.60-74.

DIALISIS PERITONEAL
Imam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A. Roesli

PENDAHULUAN
Dialisis peritoneal (DP) sudah lama dikenal. Sarjana pertama
yang melakukan DP di klinik pada seorang pasien uremia
karena obstruksi ureter akibat kanker kandungan adalah
Ganter ( 1923).Perkembangan selanjutnya memakan waktu
cukup lama dan baru Maxwell (1959) mengajukan teknik
dialisis intermiten yang merupakan modifikasi dari teknik
yang diajukan Grollman, dkk (195 1 ). Sampai saat ini teknik
ini masih tetap terpakai. Perkembangan selanjutnya
ditunjang dengan tersedianya antibiotik serta cairan
dialisat komersial.
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis
untuk membantu penanganan pasien GGA (Gagal Ginjal
Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan
membran peritoneum yang bersifat semipermeabel.Melalui
membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan
Dialisis Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan
hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman
serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus,
sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat
ini pun DP masih menempati kedudukan cukup penting
untuk menangani kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit
besar dan modern.

pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme


seperti ureum, kreatinin, kalium dan toksin lajn yang dalam
keadaan normal dikeluarkan melalui ginial, pada gangguan
faal gjnjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena
kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui
membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat
dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu
setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti
dengan cairan dialisat baru.

Cairan Dialisat
Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan
kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi
elektrolit cairan dialisat bervariasi. namun prinsipnya
kurang lebih seperti terlihat pada Tabel 1.Pada umumnya
cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya
untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena
terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien
dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah
terjadinya hipokalemia. dalam cairan dialisat dapat
ditambahkan kalium 33-4,5 mEq1 liter cairan dialisat.

Elektrolit

MEqlL

Tek. Osmosis
lmOsmlLl

Mg++
CILaktatGlukosa

1,5
102,O
43.5

03
102,O
83,3

PRlNSlP DASAR DIALISIS PERITONEAL


Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai styletcatheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada
abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung
kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter
cairan dialisis dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui
kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai
membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis
dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam

291,O rnEq/L

15,O gr/L

371,6 rnOsrn/L

Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram


NaCI, 0294 gram CaCI,, 0,153 gram MgCI,, 4.880 gram
NaIaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat

mengandung kadar glukosa lebih dari 1.5% kita sebut cairan


dialisat hipertonik (2,5; 3 5 ; dan 4,25%). Berdasarkan prinsip
perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik
ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh
yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan
dialisat dengan tujuan untuk mencegah pelnbentukan
fibrin yang dapat mengganggu aliran cairan, biasanya
diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500-1000
U tiap 2 liter cairan.

lndikasi Pemakdian Dialisis Peritoneal


Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien :
1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut)
2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam
basa.
3. Intoksikasi obat atau bahan lain
4. Gagal ginjal .kronik (dialisat peritoneal kronik)
5. Keadaan klinis lain di mana D P telah terbukti
manfaatny a.
Kontraindikasi Dialisais Peritoneal
1. Kontraindikasi absolut : tidak ada
2. Kontraindikasi relatif : keadaan-keadaan yang
kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan
atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk
berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal,
operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi,
kelainan intraabdomen yang beluln diketahui sebabnya,
luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama
bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak
adekuat.Salah satu cara yang seiing digunakan untuk
menilai efisiensi D P adalah dengan menentukan
peritoneal clrc~r-ance
(klirefls peritoneal) dengan rumus:
Cp

=w

P
Cp : Peritoneal Cleamrzce
U : Konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat
y ang kel~lardari kavum peritoneum (mg%).
p : Konsentrasi zat tersebut dalam darah atau
plasma (mg%)
V : Volume cairan dialisat tiap menit (mL)
Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah
besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration-time (dwell tirne = lamanya cairan dialisat berada
dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan
osmosis cairan dialisat, pe~meabilitasperitoneum, dan aliran
darah dalam kapiler peritoneum.

KOMPLlKASl DIALISIS PERITONEAL


Komplikasi DP dapat berupa komplikasi mekanis dan
komplikasi radang.

a. Komplikasi mekanis
Perforasi organ abdomen (vsus, aorta, kandung
kencing, atau hati).
Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat
kateter .
Gangguan drainasr (aliran cairan dialisat)
Bocornya cairan dialisat
Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut.
b. Komplikasi metabolik
Gangguan keseimbangan cairan, elek- tronit dan
asam basa.
Gangguan metabolisme karbohidrat perlu
diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa
hiperglikemia tak terkendali d m kemungkinan dapat
juga terjadi hipoglikemia post dialisis.
Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan
dialisat.
Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas
kumpulan gejala-gejala berupa sakit kepala,
muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan
tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat
menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini
dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum
tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi
terlalu cepat dan lebih sering terjadi pada pasien
dengan overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum
diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang
banyak dianut adalah karena lambatnya koreksil
penurunan ureum dalam otak d a n cairan
serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal
ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan
tekanan osmotik dengan akibat edema otak. Teori
lain: teori hipoglikemia, perubahan p C 0 2 dan pH.
pergeseran elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan
perbandingan WCa serum.
c. Komplikasi radang
Infeksi alat pernapasan. biasanya berupa pneumonia atau bronkitis purulenta.
Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan
infeksi fokal di luar peritoneum seperti pneumonia
atau pielonefritis.
Peritonitis.

INDlKASl DP PADA GAGAL GlNJAL AKUT


Pasien GGA dapat dilakukan D P atas dasar :
1. DP pencegahan :DP dilakukan setelah diagnosis GGA
ditegakkan.
2 DP dilakukan atas indikasi :
a. Indikasi klinis :keadaan umum je1ek.b gejala klids
nyata.
b. Indikasi biokimiawi: Ureum darah >200 mg%,
Kalium <6 mEqIL, H C 0 3 < 10-15 mEqIL,
pH<7,1.

DlAUSIS PERITONEAL

PERBEDAAN DP DAN HD PADA PASIEN GGK


Dialisis pada pasien GGA dapat dilakukan dengan DP atau
HD tergantung keadaanl kondisi pasien dan fasilitas yang
tersedia. Pada saat ini RS yang cukup besar biasanya
tersedia DP maupun HD. Pada salah satu pasien dapat
lebih menguntungkan bila dilakukan DP, sedang yang lain
lebih baik bila dilakukan HD. Stewart dkk (1966) menemukan
bahwa dari kasus-kasus GGA, 20% lebih baik bila dilakukan
DP, 20% lebih baik bila dilakukan HD dan sisanya 60%
sama baiknya apakah dilakukan DP atau HD.
DP merupakan tindakan yang lebih sederhana, baik
alat maupun prosedur pelaksanaannya dan dapat dilakukan
di setiap RS tanpa fasilitas khusus. Cepat dapat dikerjakan
tanpa persiapan sebelumnya dan dapat dilakukan dalam
beberapa menit setelah dilakukan keputusan untuk
melakukan dialisis. P-rsoalan waktu ini kadang-kadang
sangat penting artinya seperti misalnya dalam menghadapi
pasien dengan hiperkalemia berat. DP merupakan dialisis
pilihan pada keadaan-keadaan berikut :
Bila penggunaan antikoagulan merupakan
kontraindikasi.
Pasien dengan perubahan volume darah tiba-tiba yang
tidak diinginkan (hemodinamiktidak stabil).
Pasien dengan tekanan darah tidak stabil atau dalam
keadaan pre-shock.
Bayi, anak kecil dan pada usia lanjut yang secara teknis
HD sukar dilakukan.
Pasien memerlukan pengeluaran cairan tubuh yang
sangat besar karena overhidrasi berat.
Bila kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan.
Pada pankreatitis akut baik disertai komplikasi GGA
maupun tidak.

21/2 -3 jam; c). Continous Ambulatory Peritoneal


Dialysis (CAPD). (Popovich & Moncrief, 1976), CAPD
dilakukan 3-5 kali per hari, 7 hari per minggu dengan setiap
kali cairan dialisis dalam kavum peritoneum ( dwell-time)
lebih dari 4 jam. Pada umumnya dwell-time pada waktu
siang 4-6 jam, sedangkan waktu malam 8 jam. CAPD
memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai HD
15 jam per minggu, namun klirens solut dengan Berat
Molekul antara 1.000 -5.000 Dalton (middle molecule) 48x lebih besar dari HD. Middle molecule dianggap sebagai
bahan toksin uremik yang diduga bertanggung jawab
terhadap sindrom uremia. CAPD terbukti dapat
mengendalikan keluh kesah dan gejala uremia dengan baik.
namun penurunan konsentrasi toksin metabolik uremia
tidak cepat, sehingga CAPD sebaiknya dimulai setelah
dicapai pengendalian adekuat intoksikasi metabolik akut
dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien (HD atau
IPD).
Saat ini CAPD dianggap sebagai salah satu bentuk
dialisis yang sudah mantap dan merupakan dialisis pilihan
bagi pasien yang amat muda, usia lanjut dan penyandang
diabetes melitus. Sisanya pemilihan antara CAPD dan HD
tergantung dari fasilitas dialisis, kecocokan serta pilihan
pasien. Kesederhanaan. keamanan hidup tanpa mesin,
perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan
pasien merupakan daya tarik CAPD bagi dokter maupun
pasien. Problem utama sampai saat ini yang masih
memerlukan perhatian adalah kom- plikasi peritonitis,
meskipun saat ini dengan kemajuan teknologi angka
kejadian peritonitis sudah dapat ditekan sekecil mungkin.
Patient survival CAPD 1-5 tahun berturut- turut
99,77,67,60, dan 42%, sedangkan technical survival
berturut-turut 77,58,46,40, dan 21%.

CONTINOUS AMBULATORY PERITONEAL


DIAL YSlS (CAP D)

PROSEDUR CAPD DAN DIALISAT

CAPD adalah salah satu bentuk DP kronik untuk pasien


dengan gagal ginjal terminal (GGT). GGT adalah merupakan
stadium akhir GGK saat pasien sudah tidak dapat lagi
dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terapi
pengganti (renal replacement therapy). Terapi pengganti
dapat berupa dialisis kronik atau transplantasi ginjal.
Dialisis kronik dapat berupa HD dan DP. DPdapat berupa:
a). Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD). IPD dilakukan
3-5 kali perminggu dan tiap kali dialisis selarna 8-14 jam.
Jadi pada prinsipnya sama seperti HD kronik hanya waktu
yang diperlukan setiap kali dialisis lebih lama karena
efisiensinya jauh di bawah HD; b). Continous Cyclic
Peritoneal Dialysis (CCPD). CCPD dilakukan tiap hari dan
di- lakukan waktu malam hari, penggantian cairan dialisis
sebanyak 3-4 kali. Cairan dialisis terakhir dibiarkan dalam
kavum peritoneum selama 12-14jam. Pada waktu malam
cairan dialisis dibiarkan dalam kavum peritonium selama

Prosedur
CAPD adalah suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi
rendah sehingga bila tidak dilakukan 24 jam per hari dan
7 hari per minggu tidak adekuat untuk mempertahankan
pasien GGK stadium akhir. Kebanyakan pasien
memerlukan rata-rata 4 kali pergantian per hari. Saat
pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak
bagi pasien dengan sarat dwell time tidak boleh kurang
dari 4 jam karena dalam waktu 4 jam baru akan terjadi
keseimbangan kadar ureurn antara plasma darah dan
cairan dialisat. Ultrafiltrasi diperlukan untuk
mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai dengan
cairan dialisat hipertonik. Ultrafiltrasi sebanyak 2.000 mL
dapat dicapai dengan 2 kali per- gantian dengan cairan
dialisat 4,25%. Bila ultrafiltrasi kita lakukan terlalu cepat
dapat terjadi kram, mual, muntah, dan hipotensi
ortostatik.

Cairan Dialisat
Cairan dialisat yang ada pada saat ini di Indonesia terdiri
atas 3 macam cairan yaitu dengan kadar dekstrosa 1,5%,
2 3 % dan 4,25% dalarn kantong plastik 2 liter. Susunan
cairan dialisat sama dengan susunan elektrolit plasma
darah normal tanpa kalium dengan osmolalitas lebih tinggi
dari plasma 1Osmolalitasplasma 280 mOsm/L) dan ditambah
laktat (Tabel 1).Bila pasien normokalernia atau hipokalemia,
perlu penambahan: 1 KC1 sampai konsentrasi 4 m E q L
untuk mencegah hipokalemia berat.
Heparin perlu ditambahkan bila ada peritonitis atau
cairan dialisat mengandung fibrin atau protein terlalu
banyak untuk mencegah tersumbatnya kateter dengan
dosis 1.000 -2.000 USP units per liter cairan dialisat.
KONTRAlNDlKASl CAPD
Kontraindikasi CAPD adalah penyakit diskus lumbalis,
hipertrigl (seridemia familial, hernia pada dinding
abdomen (perlu perbaikan dulu) dan pasien yang tidak
bisa bekerjasama. Hati- hati melakukan CAPD bila ada
perlengketan yang luas, distensi usus, kelainan abdomen
yang belum terdiagnosis, luka bakar, dll.

HASlL PENGENDALIAN CAPD


1. BUN dan Kreatinin. Pasien dengan klirens kreatinin 2-5
cclmenit dengan CAPD selama2-3 minggu, BUN= 50+5
mg% dan kreatinin plasma kurang dari 12 mg%. CAPD
mempertahankan kedua parameter tersebut lebih rendah
dari pada IPD.
2. Air Elektrolit dan Bikarbonat.
Air dan natrium. Illtrafiltrasi sebanyak 2 liter per hari
dapat dicapai dengan menggunakan 3 kali pergantian
dengan dekstrosa 1,5% dan 2 kali pergantian dengan
dekstrosa 4,25%. Setiap hari dapat dikeluarkan 3-4 gram
Natrium sehingga keseimbangan Na dapat dicapai
dengan mudah. Kebanyakan pasien dengan CAPD
tidak mernbutuhkan pembatasan air dan garam.
Elektrolit. Elektrolit dengan cepat mencapai normal dan
sesudah 2 minggu CAPD dicapai kadar Na = 138 :t 3
mEq/L; CI = I00 :t 5 mEqL; K = 4,l :t 0,4 m E q L dan
HC03 = 25 :t 4 mEq/L. Pada beberapa pasien terjadi
hipokalemia ringan dan memerlukan penambahan
kalium per oral. Pengarnbilan solut tergantung dari
konsentrasi dekstrosa dalam cairan dialisat. Kenaikan
pengambilan solut oleh cairan hipertonik tidak hanya
karena volume yang dikeluarkan lebih banyak tetapi
juga oleh pengaruh solvent drag (Tabel 2).
Meskipun relatif hanya sedikit kalium yang diambil
waktu CAPD (18 mEqL) perhari, sedangkan pasien
tanpa pembatasan pemasukan kalium (50-80 mEq per
hari), kadar kalium plasma darah tetap normal. Hal ini

Konsentrasi Osmolalitas
dekstrosa
(mOsMIL)

Per
hari
Air (mL)
Natrium (mEq)
Kalium (mEq)
Kreatinin (mg)
Protein (g)
Calcium (mg)
Fosfor (mg)
Magnesium (mg)

,,,,

Na

Ca

Mg

CI

Laktat

Per kantong
Dekstrosa
03%

1,5%

4,25%

734
129
20
803
7,1
23
313
37

diduga karena kenaikan ekskresi kalium melalui tinja.


Kalium menunjukkan balans positif dan setelah 6 bulan
dengan CAPD terlihat menurunnya hormon paratihid.
CAPD tidak dapat mengeluarkan fosfat yang ada dalam
makanan sehingga masih rnemerlukan obat pengikat
fosfat dengan dosis kecil. Bikarbonat dengan
konsentrasi laktat dalam cairan dialisat 35 m E q L akan
menyebabkan serum bikarbonat naik dari rata-rata 18
mEqL menjadi 22,23 mEqA
3. Hemoglobin dan Hematokrit. Selama kurang lebih 3
bulan setelah CAPD terjadi kenaikan Hb dan ini akan
terus naik sampai mencapai nilai tertentu setelah bulan
kesepuluh dan akhirnya diikuti penurunan dan pada
umumnya stabil pada kadar 8 gldl. Ini disebabkan
kemungkinan karena pengambilan bahan toksik
metabolik sehingga rnemunglunkan sumsum tulang
bereaksi terhadap kenaikan eritropoietin yang biasa
terjadi pada pasien uremia dan ini akan menyebabkan
kenaikan Hb dan Ht. Akan tetapi setelah Hb naik. pacuan
pada sistem eritropoietin menurun dan bila
perbandingan antara eritropoietin dan zat toksik
metabolik kembali ke nilai semula, Hb dan Ht akan
kembali turun.
4. Protein Plasma dan Hilangnya Protein. Serum
protein pada umumnya stabil pada nilai rendah
normal dengan kadar albumin rata-rata 3.5 2 0.8 mg%.
Ini disebabkan karena hilangnya protein melalui
rnembran peritaneurn selama CAPD dan 75% dari
protein yang hilang adalah albumin. Di samping protein (5- 15 per hari) pasien CAPD juga akan kehilangan
asam amino sebanyak 2-3 gram per hari. Kehilangan
protein tergantung antara lain dari kadar dekstrosa
cairan dialisat dan pernah tidaknya menderita peritonitis sebelumnya.
5. Glukosa Darah. Glukosa darah yang masuk ke dalam

1101

IUPERTENSl PADA KEHAMILAN

4. Hipertensi gestasional atau yang sesaat, dapat terjadi


pada saat kehamilan 20 minggu tetapi tanpa proteinuria.
Pada perkembangannya dapat terjadi proteinuria
sehingga dianggap sebagai preeklampsia. Kemudian
dapat juga keadaan ini berlanjut rnenjadi hipertensi
kronik.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan
laboratorium guna mernantau perubahan dalam hematologi,
ginjal dan hati, yang dapat mempengaruhi prognosis pasien
dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan
untuk memantau pasien hipertensi pada kehamilan adalah
Hb atau Ht untuk melihat kemungkinan hemokonsentrasi
yang mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Hitung
trombosit yang amat rendah terdapat pada sindrom HELLP
( hemolysis, elevated liver enzyme levels and low platelet
count). Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk
mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui
adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein dalam urin
24jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui fungsi
ginjal, yang pada keharnilan umumnya kreatinin serum
menurun. Asarn urat perlu diperiksa karena kenaikkan asam
urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya preeklampsia.
Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik, seperti
juga pada kehamilan tanpa hipertensi diperlukan
pemeriksaan gula darah, dan kultur urin.

PENANGANAN HIPERTENSI PADA KEHAMILAN


Penanganan Non-farmakologis
Pada preeklampsia, hipertensi kembali menjadi normal
setelah melahirkan. Akan tetapi bagi janin, kelahiran
sebelum waktunya (preterm) tidak menguntungkan. Untuk
itu walaupun berisiko, penatalaksanaan konservatif dipilih,
rnenunggu agar janin dapat dilahirkan dalam keadaanyang
lebih baik.
Pada kisaran tekanan darah sistolik 140-160 atau
diastolik 90-99 mmHg dapat dilakukan pengobatan non
farmakologik. Perawatan singkat dilakukan untuk
diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan preeklampsia.
Penanganan tergantung pada keadaan klinik, beratnya
hipertensi, umur kehamilan dan risiko ibu serta janinnya.
Dapat berupa pengawasan yang ketat, pembatasan
aktivitas fisik, tirah baring miring ke kiri. Dalam keadaan ini
dianjurkan diet normal tanpa pembatasan garam.
Pemberian Obat Antihipertensi
Pada hipertensi kronik yang hamil dengan tekanan darah
yang tinggi, pengobatan sebelumya dianjurkan untuk
diteruskan. Akan tetapi pada tekanan darah yang tidak

begitu tinggi, harus hati-hati, bila perlu, dilakukan


pengurangan dosis. Tekanan darah yang terlalu rendah
berisiko mengurangi perfusi utero-plasenta yang dapat
i
rnengganggu perkembangan janin. ~ u k t penelitian
manfaat pengobatan hipertensi ringan pada kehamilan
masih belurn meyakinkan karena jurnlah kasus penelitian
yang masih sedikit sehingga tak cukup mempklihatkan
manfaat penurunan angka komplikasi obstetrik.
Tekanan darah lebih dari 170 atau diastolik lebih dari
110 rnmHg pada perempuan hamil harus dianggap
kedaruratan medis dan dianjurkan dirawat di rumah sakit.
Pada keadaan ini tekanan darah harus diturunkan sesegera
mungkin.
Banyak yang tidak memberikan obat sampai batas
tekanan darah diastolik > 105 - 110 mmHg diastolik atau
160 mmHg sistolik, batas sering terjadinya komplikasi
perdarahan otak. Walaupun pada beberapa keadaan
batasan ini tidak begitu tepat, mengingat tekanan diastolik
sebelumnya kurang dari 75 mmHg.
Pada hipertensi gestasional (tanpa proteinuria) batas
pemberian pengobatan umurnnya adalah di atas 140mmHg
sistolik atau 80 mmHg diastolik. Pada yang dengan
hipertensi dengan proteinuria atau terdapat keluhan atau
dengan tanda kerusakan organ target (pada hipertensi
kronik) pemberian obat dapat diberikan untuk mencapai
tekanan darah yang normal.

Obat-obat Antihipertensi
Ada 2 macam obat hipertensi, pada keadaan yang akut
atau darurat biasanya diperlukan pengobatan parenteral
atau oral. Qbat-obat injeksi antara lain; injeksi intra venal
abetalol, hidralazin, dan antagonis kalsium. Obat
antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat
dilihat pada Tabel 1.

Agonis Alfa sentral


Penghambat Beta
Penghambat Alfa
dan Beta
Antagonis Kalsium
Inhibitor ACE dan
Antagonis
Angiotensin
Diuretik

Vasodilator

Metildopa, obat pilihan


Atenolol dan metoprolol aman dan
efektif pada kehamilan trimester akhir
Labetalol, efektif seperti metildopa, pada
kegawatan dapat diberi intra vena
Nifedipin oral, isradipin i.v. dapat dipakai
pada kedaruratan hipertensi
Kontra indikasi, dapat mengakibatkan
kematian janin atau abnormalitas
Direkomendasikan apabila telah dipakai
sebelum kehamilan. Tidak
direkomendasikan pada preeklampsia
Hydralazine tak dianjurkan lagi
mengingat efek perinatal

Metildopa 250 mg 2 kali sehari, dapat dinaikkan sampai


maksimal4 gram sehari. Labetalol 100 mg 2 kali sehari,
rnaksimum 2400 mg sehari. Atenolol, penghambat beta yang

1102
tak mempunyai efek penghambat alfa, berkaitan dengan
penurunan aliran darah plasenta dan janin pada kelahiran
apabila dibe~ikanniulai dari awal kehamilan. Labetalol yang
mempunyai efek pengharnbat alfa dan beta dapat
mempertahankan aliran darah utero-plasenta dalam
keadaan yang maksimal.
Obat penghambat beta untuk pengobatan hipertensi
ringan ~neningkatkanrisiko ~nendapatkanbayi yang lebih
kecil (dengan risiko relatif 1,36, pada interval kepercayaan
95% ( I -02- 1,82), ~isikoyang tidak lebih besar dibanding
obat hipertensi yang lain.
Semakin banyak pengalaman yang didapat dari
golongan obat antagonis kalsii~myang terbukti cukup
aman dipakai pada kehamilan. Nifedipin kerja panjang (dosis
maksimum 120 mghari) dan golongan noiidihidropiridin
verapamil dapat diberikan. FDA tidak n~eneriinanifedipin
kerja cepat sebagai pengobatan hipertens1 darurat dan
pemberian sub lingual karena terbukti nienumnkan tekanan
darah berlebihan.
Dari penelitian mengenai pengobatan hipertensi pada
kehamilan didapat kesinipulan bahwa pemilihan
antihipertensi seharusnya tergantung dari pengalaman
dan pengetahuan dari dokter yang mengobati, dalam ha1
efek obat terhadap ibu dan janinnya.

Target Tekanan Darah


Walaupun penelitian klinik belum membuktikan seberapa
besar penurunan tekanan darah yang optimal, banyak
yang menganjurkan target tekanan darah sistolik 140-150
dan diastolik 90-100 mmHg. Pada percmpuan haniil yang
telah mempunyai gangguan organ target. tekanan darah
dianjurkan diturunkan kurang dari 140190 ~nmHgsampai
mencapai 120 dan 80 mmHg. Dari penelitian yang telah
dilakukan belum ada bukti yang jelas apakah keuntungan
dari penurunan tekanan darah sampai normal, 120180
mmHg. bagi ibu dan janinnya.
Hipertensi Pasca Partus dan Ibu yang Menyusui
Data ~nengenaiha1 ini terbatas. Pada ulnumnya setelah
partus terdapat kenaikan tekanan darah pada perenlpuan
yang tidak hipertensi sebesar 6 mmHg sistolik dan 4 mmHg
diastolik. Pada preeklampsia tekanan darah secara spontan
nienibaik dalam waktu beberapa minggu. rata-rata 16k9.5
hari &an sudah nlembaik dalam waktu 12 minggu. Hipertensi
yang ringan yang masih bertahan sesudah waktu ini harus
dievaluasi lebih lanjut.

GINJAL HIPERTENSI

Selain dapat nleneruskan pengobatan yang dipakai


selama kehamilannya, pada perempuan yang tidak
menyusui bayi dapat diberikan'golongan obat penghambat
ACE, penyekatbeta, dan antagonis kalsium. Diuretik yang
diberi pada keadaan hipervolemia, dengan edema, selama
beberapa hari dapat menurunkan tekanan darah menjadi
normal kembali. Tekanan darah dalam keadaan ini harus
dipantau agar tidak mengalami keadaan hipotensi. Apabila
tekanan darah sebelum keha~nilannormal, setelah 3 minggu
pasca partus obat hipertensi dapat dihentikan dengan
pengawasan lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan
peningkatan tekanan darah kembali.
Semua obat antihipel-tensi akan masuk dala~nair susu
ibu (ASI). Pada perempuan yang menyusui, obat golongan
penghambat reseptor beta dan penghambat kalsium cukup
aman walaupun obat tersebut masuk ke air susu ibu.
Labetalol dan propranolol tidak dikonsentrasi dalam AS1
sehingga lebih dianjurkan dipakai dibanding penghambat
beta yang lain. Bila ada indikasi kontra pilihan lain adalah
penghambat kalsium.
Inhibitor ACE dan antagonis reseptor angiotensin
umuninya dihindari pada ibu yang menyusui, akan tetapi
setelah masa neonatus dapat dipertimbangkan. Diuretika
sebaiknya dihindari mengingat obat ini dapat mengurangi
volume ASI.

August P. Treatment of hypertension in pregnancy. In: Rose BD,


editor. UpToDcitc 13.1. 2005.
Chobanian AV. Bakris GL. Black HR. et al. The seventh report of
the Joint National Cornrnittee on prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure: the JNC 7
report. JAMA. 2003;289(19):2560-72.
C i f k o v i R . Hypertension in pregnancy: recommendations for
diagnosis and treatment. European Society of Hypertension
Scientific Newsletter. Update on hypertension management.
2004:5:2.
Guidelines Committee. 2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the management
of arterial hypertension. J Hypertens. 2003;21:1011-53.
Sibai BM. Diagnosis and management of gestational hypertension
and preeclampsia. Obstet Gynecol. 7003;102: 181.
Williams R. Poulter NR. Brown MJ, et al. British hypertension
society guidelines. Guidelines for management ofhypertension:
report of the fourth working party of the British Hypertension
Society, 2004-BHS IV. J Hum Hypertens. 2004;18:139-85.

KRISIS HIPERTENSI
Jose Roesma

PENBAHULUAN
Krisis Hipertensi rnerupakan suatu keadaan klinis yang
ditandai o l e h tekanan darah yang sangat tinggi dengan
kemungkinan akan tirnbulnya atau telah teqadi kelainan
organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada
pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat
antihipertensi.
Krisis hipertensi rneliputi dua kelornpok yaitu:
Hipertensi darurat (emergency hypertension): di rnana
selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainanl
kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga
tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalarn
rnenit sampai jam) agar dapat rnencegahlmembatasi
kerusakan target organ yang terjadi.
Hipertensi mendesak (urgency hypertension): di rnana
terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak
disertai kelainanlkerusakan organ target yang progresif,
sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan
lebih larnbat (dalarn hitungan jam sampai hari).
Pada umumnya krisis hipertensi diternukan di poliklinik
gawat darurat rumah sakit dan kadang-kadang rnerupakan
jurnlah yang cukup menyolok pada poliklinik gawat darurat
di bagian penyakit dalarn, walaupun keluhan utarnanya
berbeda-beda.

darah

Funduskopi

>220/140 perdarahan
mm Hg
eksudat
edema
papilla

Nt:&i

Prevalensi rata-rata 1-5 % penduduk dewasa tergantung


dari kesadaran pasien &an adanya hipertensi dan derajat
kepatuhan makan obat. Sering pasien tak menyadari dirinya
adalah pasien hipertensi atau tak teraturl berhenti makan obat.

GEJALA
Hipertensi krjsis urnumnya adalah gejalaorgan target yang
terganggu, hi antarany a nyeri dada dan sesak napas pada
gangguan jantung dan diseksi aorta; rnata kabur pada
edema papila mata; sakit kepala hebat, gangguan
kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gaga1
ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala
dan nyeri tengkuk pada kenaikkan tekanan darah pada
umurnnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya
tekanan darah, gejala dan tanda keterlibatan organ
target.
Selain pemeriksaan fisik, data laboratoriurn ikut
rnernbantu diagnosis dan perencanaan. Urin dapat
rnenunjukkan proteinuria, hernaturi dan silinder. Hal ini
terjadi karena tingginya tekanan darah juga menandakan
keterlibatan ginjal apalagi bila ureurn dan kreatinin
rneningkat.Gangguan elektrolit bisa terjadi pada
hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan
aritrnia.

Jantung

Ginjal

sakit kepala,
kacau

denyut jelas,

uremia

gangguan
kesadaran,
kejang,
lateralisasi

rnernbesar
dekompensasi
oliguria

proteinuria

Gastrointestinal
mual, muntah

Pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi


(EKG) untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kii-i ataup~in
gangguan koroner sel-ta ultrasonografi (USG) untuk melihat
struktur ginjal dilaksanakan sesuai kondisi klinis pasien.
Gambaran klinik hipertensi darurat dapat dilihat pada
Tabel 1.

PENGOBATAN
Pengobatan hipertensi mendesak cukup dengan obat oral
yang bekerja cepat sehingga menurunkan tekanan darah
dalam beberapa jam.
Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 2.
Pengobatan hipertensi darurat memerlukan obat yang
segera menurunkan tekanan darah dalam menit-.jam
sehingga umunlnya bersifat parenteral. Di Indonesia
banyak dipakai seperti pada Tabel 3. Untuk memudahkan
penilaian dan tindakan dibuat bagan seperti yang
tercantum pada Tabel 4.

R'",:

Obat

Dosis

Efek

Nifedipin
5-10 mg
Kaptopril
12.5-25
mg
Klonidin
75-150 ug

diulang
15 menit
diulangl
112 jam

5-15
menit

4-6 jam

gangguan koroner

15-30
menit

6-8 jam

stenosis a.renalis

diulangl
jam

30-60
menit

8-16 jam

Mulut kering,
ngantuk

Propanolol
10-40 rng

diulangl
112 jam

15-30
menit

3-6jam

Bronkokonstriksi,
Blok jantung

Perhatian Khusus

ye;

Obat

Dosis

Klonidin IV
150 ug

6 amp per
250 cc
Glukosa 5%
mikrodrip

30-60
menit

24 jam

Nitrogliserin
IV

10-50ug
100uglcc per
500 cc
0,5 - 6
uglkglrnenit

2-5 menit

5-10
menit

1-5 menit

15-30
rnenit

Diltiazem lV

5-15
uglkglmenit
lalu sama
1-5 uglkgl
menit

sama

Nitroprusid
IV

0,25
uplkglmenit

Langsung

Nikardipin
IV

2-3
menit

Perhatian
khusus
ensefalopati
dengan
gangguan
koroner

selang infus
lapis perak

Kelom~ok
Tekanan
darah

Biasa
~1801110

Mendesak

Darurat

~1801110

Gejala

tidak ada,
kadangkadang sakit
kepala gelisah

sakit kepala
hebat,
sesak napas

sesak napas,
nyeri dada,
kacau,
gangguan
kesadaran

Pem Fisik

organ target taa

gangguan
organ target

ensefalofati,
edema paru.
gangguan
fungsi ginjal,
CVA, iskemia
jantung

Pengobatan

awasi 1-3 jam


mulailteruskan
obat oral,
naikkan dosis

awasi 3-6 jam,


obat oral
berjangka
kerja pendek

Rencana

periksa ulang
dalam 3 hari

Periksa ulang
dalam 24 jam

pasang jalur
intravena,
periksa
laboratorium
standar, terapi
obat intravena
rawat
ruanganflCU

Data-data dari krisis hipertensi ini berasal dari


pengalaman klinik berbagai pusat rujukan dan bukan
evidence based karena sedikitnya jumlah kasus dan sulit
melaksanakan suatu studi tersamar ganda, sehingga
kepustakaan umumnya merupakan pendapat para ahli
berdasarkan pengalamannya masing-masing.

Kaplan NK. Hypertensive crises. I n : Kaplan's clinical hypertension.


8Ih edition. Lipincott Willianls & Wilkins; 2002.
Roesma J. Krisis hipertensi. In: Simposium kedaruratan klinik. 2002.
Vidt D. Hypertensive crises: emergencies and urgencies: clev clinic
med. 2003.

Soebandiri

BATASAN
Hemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana
diketahui, darah terbagi atas:
Bagian yang Berbentuk (formed elements). Terdiri atas
sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit)
dan keping-keping darah (trombosit; platelet) yang
hentuknya dapat dilihat dengan mikroskop.
Bagian yang Tidak Berbentuk. Plasma yang terdiri atas
molekul-molekul air, protein-protein, lemak, karbohidrat,
vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut
dalam plasma.
Yang dibicarakan dalam bab ini hanyalah proses
pembentukan sel-sel darah (bagian ke-1 yaitu formed
elements).Akan dibahas 3 komponen (kompartemen) yang
berperan penting pada hemopoesis, yaitu :
Kompartemen sel-sel darah
Kompartemen lingkungan-mikro
Kompartemen zat-zat pemiculperangsang (stimulator)
hemopoesis

KOMPONEN-KOMPONEN HEMOPOESIS
Hemopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang
melibatkan banyak komponen-komponen yang saling
terkait antara lain:
1. Komponen atau Kompartemen yang terdiri atas sel-sel
darah baik sel-sel induk, sel-sel bakal dan sel-sel matur.
2. Komponen atau Kompartemen yang disebut stroma
atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH) atau
hemopoetic-micro-environment.
Komponen 1 dapat dianggap sebagai benih sedangkan
komponen 2 dapat dianggap sebagai tanah di mana
benih itu tumbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendirisendiri tetapi berbaur.

3. ~ o d a r t e m e nke-3 terdiri atas zat-zat yang dapat


menstimulasi sel-sel darah untuk berproliferasi,
berdiferensiasi danlatau berfungsi sesuai dengan tugas
yang sudah direncanakan. Komponen ini disebut
hemopoetic growth factors (HGF) atau faktor
pertumbuhan hemopoetik (FPH).

I. KOMPARTEMEN SEL-SEL DARAH

Kompartemen sel darah terdiri atas:

A. Sel lnduk Pluripoten (SIP)


Menurut teori unitarian, sel-sel darah berasal dari satu sel
induk pluripoten (Pluripotent Stem Cells). Sel-sel ini
jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan besar
berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan.
Pengenalan SIP ini dipelopori oleh Till dan Mc Culloch
pada tahun 1960-an dengan penelitiannya yang
menggunakan teknologi pembiakan in-vivo pada tikus.
Mereka menamakan SIP itu sebagai CFU-S (Colony
Forming Unit Spleen). Selanjutnya Dexter pada dekade
berikutnya mengembangkan suatu media pembiakan yang
baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini (DexterCulture). Media ini mengkaitkan juga pentingnya LMH
sedemikian sehingga CFU-S ini dapat hidup lama dan
dinamakan Long Term Culture Initiating Cells (LTC-IC).
Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan rnikro yang
menghasilkan stimulator-stimulator pertumbuhan
hemopoesis yang disebut Hemopoetic Growth Factors
(HGF) atau juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang
dapat menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk
terus berprolifrerasi dan berdiferensiasi sesuai jalur
turunannya (1ineage)nya.Hal ini akan dibahas berikut ini.
Dengan majunya ilmu imunologi ditemukan teknologi
hibridoma yang memungkinkan kita membuat antibodi

monoklonal (MonoclonalAntibody) (MoAb) dalarn jumlah


banyak; kemudian dikembangkan penemuan-pcnemuan
petanda-petanda imunologis di permukaan sel-sel darah
yang dinamai menurut sistem CD (Cluster of Differentiation). Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb
dan dengan teknik imunohistokimia atau flow cytometry.
SIP mempunyai petanda imunologis CD-34. Selain itu
juga belum didapatkan petanda yang mengarah ke suatu
jalur turunan yang lain. HLA-DR sering masih negatif,
sehingga baik sekali untuk pencangkokan sumsum tulang
(PST) yaitu pencangkokan SIP (Stem Cell Transplantation).

CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk


berdiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg dan
CFU-E (melalui BFU-E = Burst Forming Unit Erythrocyte).
Seterusnya CFU-G distimulasi G-CSF ; GM-CSF dapat
menstimulasi CFU-G dan CFU-MK manjadi sel-sel yang
lebih tua (sel-sel matur).
Hierarki pertumbuhan sel-sel darah dapat dilihat pada
Gambar1:

C. Sel-sel Darah Dewasa


Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit
(eosinofil,basofil, neutrofil), golongan-golongan monosit.
makrofag, trornbosit, eritrosit dan limfosit B dan T yang
perlu dibahas tersendiri.

6. Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau


Comitted Progenitor Hernopoetic Cells
Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari
LMH yang dinamakan faktor sel induk (Stem Cell Factor
= SCF), SIP dapat berdifferensiasi menjadi sel-sel bakal
darah yang terkait tugas (SBTT) yang terkait pada tugas
menurunkan turunan-turunan sel-sel darah, yaitu jalur-jalur
turunan rnieloid dan makrofag disebut colonyforming unit
granulocyte,erythrocyte,megakaryocyte, monocyte (CFUGEMM) dan jalur turunan limfosit (LymphoidProgenitor
Cells = LPC).
SBTT yang bertugas menurunkan sistem granulosit,
eritrosit, monosit/makrofag dan megakariosit dalam
teknologi pembiakan pada tikus disebut CFU-GEMM.

I.1.SIP

1.2.s~l-l-

I
I
I

CFU-G+MY

CFU-reg
I

I
BFU~
I
CFU-E 1
B
--

Gambar 1. Hierarki sel-sel darah

Di sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur dengan


kompartemen I1 yaitu jaringan lain yang terdiri atas
kumpulan macam-macam sel dan matriks yang disebut
stroma dari sumsum tulang.
Stroma terdiri atas bermacam subkompartemen yaitu
fibroblas, adiposit, matriks ekstraselular, monosit, makrofag
clan sel-sel endotel yang dapat menghasilkan macam-macarri

SUMSUM TULANGIORGAN SENTRAL


SEL-SEL MATUR

I
I

CqU-GEMM

I
I

II. KOMPARTEMEN LINGKUNGAN MlKRO


HEMOPOETIK (LMH)

+ ProMY-b MY+

PERIFER SEL MATUR

.
v

I
I

I
I

Mo b + ProMo

PMo
I
I
I
I

-..-----,

M P ~

' bTr

~ e g - ~ .

Poli Kromato-

MetaMy

j DARAH TEPllORGAN

Ii

Eo

- I
I

petic
I

ERY

zat yang dapat menstirnulasi pertumbuhan sel-sel induk, selsel bakal, dan sel-sel darah yang lain. Zat-zat ini dinamakan
colony stimulating factors (CSF) atau juga Hemopoetic
Growth Factors (HGF). CSF yang merangsang
pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony
stimukztingfactor (G-CSF), sedangkan yang monosit dan
makrofag disebut Monocyte/Macrophage Colony
Stimulating Factors (M-CSF). Zat-zat ini akan dibahas
lebih lengkap di bagian berikutnya dari bab ini.
Stroma yang terdiri atas fibroblas, monosit, makrofag,
endotel dan sebagainya itu disebut juga sebagai
lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH
ini seakan-&an merupakan tanah yang menghidupi selsel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih
di persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau
defisien maka pertumbuhan sel-sel darah akan terganggu
(hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel bakal darah
melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang
diproduksi oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel
matriks sel bakal dirangsang untuk berdifferensiasi dan
berfungsi seperti yang sudah direncanakan.

Nomenlclatur FPH menggunakan 3 cara yaitu:


Memakai akhiran CSF seperti GM-CSF,G-CSF, M-CSF
dan sebagainya.
Memakai awalan IL (Interleukin=senyawa yang
diproduksi suatu sel yang dapat mempengaruhi sel
darah lain) seperti IL- 1, IL-2 dst.
Memakai nama-nama khusus seperti Stem-cellTfactor
(SCF), eritropoetin, trombopoetin dan seterusnya.
Stimulasi dapat berarti dua arah yaitu positif bila
betul menstimulasi atau negatif bila ia menghambat
proses.

Senyawa-senyawa FPH mempunyai 3 sifat


biologis, yaitu:
Pleiotrofi artinya satu FPH dapat menstimulasi beberapa
sel-sel bakal; misalnya: IL-3 dapat menstimulasi CFU-G
maupun CW-E dan CFU-Meg, meskipun dalam derajat
yang berbeda (Multi-CSF)
Redundansi hnya
satu sel bakal dapat distimulasi oleh 2
FPH, misalnya:CFLT-E dapat distimulasi oleh IL-3 maupun
oleh E-CSF (eritropoetin) meskipun dalam derajat yang
berbeda.
lkansmodulasi reseptor artinya reseptor sel bakal A dapat
pula berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.

KOMPONEN (KOMPARTEMEN) FPH (FAKTOR


PERTUMBUHAN HEMOPOETIK), DISEBUT JUGA
HGF (HEMOPOETIC GROWTHFACTOR)

Hal ini mempunyai arti klinis yang penting, karena


dengan demikian berarti pengobatan dengan kombinasi
FPH akan jauh lebih berhasil daripada dengan satu FPH
(tentu bila ada indikasi), narnun biayanya tentu lebih
mahal juga. Proses produksi selanjutnya dari sel-sel
darah seperti eritrosit, granulosit, trombosit, limfosit
(kompartemen I) tidak dibahas di bab ini. Proses ini
disebut juga sebagai eritropoesis, granulopoesis,
trombopoesis, limfopoesis dan seterusnya yang dapat
terjadi di sumsum tulang maupun di sis'tem hemopoetik
perifer, namun perlu pembahasari khusus. Makin lama
makin banyak FPH baru yang ditemukan dan
diproduksi.

Batasan: FPH adalah senyawa-senyawa yang dapat


menstimulasi proliferasi, diferensiasi dan aktifasi
fungsional dari sel-sel bakal darah.
FPH diproduksi oleh stroma (kompartemen 11).
Normalnya FPH hanya didapatkan dalam kadar sedikit di
dalam darah. Awalnya orang membuat FPH dari sel-sel
stroma yang dibiakkan (teknologi pembiakan). Dengan
majunya ilmu biologi molekular gen-gen pada kromosomkromosom yang menyandi FPH dapat ditentukan, lalu di
Mon Clan dengan teknologi rekombinan dapat dibuat dalam
jumlah banyak dan dipasarkan di seluruh dunia oleh
industri farmasi sebagai senyawa-senyawa FPH (HGF).

Jenls Sel
LMH
Fibroblast
Endotil
Adiposit
Matriks Ekstra
Selular (ECM)

GGSF

GM-CSF

FGF

++
+++
+
+++

++
+
++

+++
+
+

VWF

H-CAM

Selektin

Cadherin

+++

++

++
+++

.+++

+++

+++

Gambar 2. Beberapa FPH, lokasi gen dan aktivitasl sel sasaran

Hampson L, Hampson IN, Dexter TM. The biology of hemopoesis.


Education Programme of The 26Ih Conggress of The ISH.
Singapore: 25-29 August; 1996. p. 399.
Koury MJ, Boudurant MC. Origin and development of blood cells.
In: Lee GR, et al, editors. Wintrobe's clinical hematology.
Volume IA. Chapter 8.
edition. Philadelhia: Lippincott
Williams & Wilkins; 1999. p. 145.
Mazza JJ. Hematopoesis. In : Massa JJ, editor. Manual of clinical
hematology. 2" edition. Boston: Little, Brown; 1995. p. 1.

Mollineux G, Mazanet R. Hemopoetic growth factors. In: Provan


D, Gribben J, editors. Molecular hematology. Oxford, London:
Blackwell Science; 2000. p. 198.
Soebandiri. Hemopoetic growth factors. Naskah Lengkap Konas
VIII PHTDI, Surabaya 11-13 Oktober 1997 (Kuliah UMUM
11).
Testa NG, Dexter TM. The regulation of hemopoetic cell
production. In: Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD,
Editors. Post graduate hematology. 4Ih edition. Oxford, Boston,
Singapore: Butterworth Heinemann; 1999. p. 1.

PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA


I Made BaMa

PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering
dijumpai di klinik di seluruh dunia, di sarnping sebagai
masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas
kronik (chronic d e b i l i ~ yang
)
mempunyai dampak besar
terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan
fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering,
anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat
perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik.
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai
penurunanjumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit
atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling
lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan
tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan
dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan
akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah
berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit
paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin
dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis
tertentu seperti misalnya kehamilan.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri
(disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam
penyakit dasar (underlyingdisease). Oleh karena itu dalam
diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada
label anemia tetapi hams dapat ditetapkan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena
seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga
apabila ha1 ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi

ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan


penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari
anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus
anemia tersebut.
Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan
pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi
anemia, serta ketrampilan dalarn mernilih, menganalisis serta
merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
perneriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas pendekatan
praktis dalam diagnosis dan terapi anemia yang sering
dihadapi oleh dokter umum ataupun spesialis penyakit
dalarn.

KRlTERlA ANEMIA
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan
penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin,
disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya
ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi
masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang
dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat
bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis
kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut offpoint)
di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di
Negara Barat kadw hemoglobin paling rendah untuk lakilaki adalah 14 gldl dan 12 gldl pada perempuan dewasa
pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang
berbedq yaitu 12 gldl (hematokrit 38%) untuk perempuan
dewasa, 11gldl (hematokrit 36%)untuk perempuan hamil,
dan 13 gldl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off
point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti
terlihat pada Tabel 1.

Kriteria Anemia fHb)


. ,

Kelom~ok
Laki-laki dewasa
Wanita dewasa tidak hamil
Wanita hamil

< 13 gldl
< 12 gldl
< Ilaldl

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek


dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya,
kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis.
Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka
sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau
dirawat di rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work
up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di
Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kri teria
hemoglobin kurang dari 10 gldl sebagai awal dari loork up
anemia. atau di India dipakai angka 10- 1 1 gldl.

disebabkan oleh karena: I). Gangguan pembentukan


eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar
tubuh (perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit
dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih
rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada Tabel 3.

A.

PREVALENSIANEMIA
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering diju~npai
baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari
30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita
anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik.
De Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di
dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat pada Tabel 2.

B.

C.

Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam


sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada
gagal ginjal kronik
Anemia akibat hemoragi
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia
akibat defisiensi GGPD
c. Ganaauan hemoalobin (hemoalobino~ati)
~, ,
- 'rhalassemia
- Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE, dl1
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan
patogenesis yang kompleks

--

Lokasi
Negara rnaju
~egara
berkernbang
Dunia

Anak
0-4th

Anak
5-12 th

Laki
dewasa

Wanita
15-49 th

Wanita
hamil

12%
51%

7%
46%

3%
26%

14%
59%

11%
47%

43%

37%

18%

51%

35%

D.

Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran


prevalensi anemia pada tahun 1989 sebagai berikut:
Anak prasekolah
: 30-40%
Anak usia sekolah
: 25 - 35%
Perempuan dewasa tidak hamil : 30 - 40%
Perempuan harnil
: 50 - 70%
Laki-laki dewasa
: 20 -30%
Pekerja berpenghasilan rendah : 30 - 40%
Berbagai survei yang telah pernah dilakukan di Bali
memberikan angka-angka yang tidak jauh berbeda dengan
angka di atas.

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan


gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau
hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi
menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik rnikrositer,
bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg; 2). Anemia normokromik
normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3).
Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl.
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan
(Tabel 4) akan sangat menolong dalam mengetahui
penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi
anemia.

ETlOLOGl DAN KLASIFIKASI ANEMIA

PATOFlSlOLOGl DAN GEJALA ANEMIA

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan


oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia

Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic


syndrome) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus

I.

II.

Ill.

Anemia hipokromik mikrositer


a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
c. Anen-:? akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
Anemia normokromik norlnositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom rnielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi 812, terrnasuk anemia
pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia bada sindrom mielodisplastik

anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin


turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini
timbul karena: 1). Anoksia organ; 2). Mekanisme
kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut
oksigen.
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik)
apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 gldl. Berat
ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a).
Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan
hemoglobin; c). Usia; d). Adanya kelainan jantung atau
paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala,
yaitu:
1. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia, disebutjuga
sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap
penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap
kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar
tertentu (Hb<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah,
lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan
dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak
tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrop anemia bersifat
tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di
luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah
penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7g/dl).
2. Gejala khas masing-masinganemia. Gejala ini spesifik
untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah,
stomalitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik
pada defisiensi vitamin B 12

Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan


hepatomegali
Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3. C~jalapenyakit dasar. Gejala ymg timbul akibat penyakit
dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala
akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan
parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus
tertentu sering g e j a penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena
artritis reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan
fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan
diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.

PEMERIKSAAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang
diagnostik pokok dalarn diagnosis anemia. Pemeriksaan
ini terdiri dari: I). Pemeriksaan penyaring (screening test);
2). Pemeriksaan darah sen anemia; 3). Pemeriksaan sumsum
tulang; 4). Pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari
pengu4uran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan
hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya
anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat
berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit,
trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang
sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer
yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
Pemerlksaan sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang
sangat berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis.
Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada
beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak
diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia
megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat
mensupresi sistem eritroid.
Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus,
misalnya pada:
Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron

binding capacity), saturasi transferin, protoporfirin


eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan
pengecatan besi pada sumsum tulang (Per1:Y stain).
Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B 12 serum,
tes supresi deoksiuridin dan tes Schiling.
Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb,
elektroforesis hemoglobin dan lain-lain.
Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu
seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal
tiroid.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan
penyakit (diseuse erztity), yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit dasar (urzderlying diseuse). Hal ini
penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak
cukup hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat
mungkin kita hams dapat menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam
diagnosis anemia adalah:
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang
akan mempengaruhi hasil pengobatan

Pendekatan Diagnosis Anemia


Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis
anemia, antara lain adalah pendekatan tradisional,
pendekatan morfologi, fungsional dan probabilistik, serta
pendekatan klinis.
Pendekatan Tradisional, Morfologik,
Fungsional dan Probabilistik
Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil
laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka
disimpulkan sebagai sebuah diagnosis, baik diagnosis
tentatif ataupun diagnosis definitif.
Pendekatan lain adalah pendekatan morfologi, fisiologi
dan probabilistik. Dari aspek morfologi maka anemia
berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit
diklasifikasikan menjadi anemia hipokromik mikrositer,
anemia normokromik normositer dan anemia makrositer.
Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah
anemia disebabkan karena penurunan produksi eritrosit
di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan angka
retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis,
yang ditandai oleh peningkatan angka retikulosit. Dari
kedua pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia

dan kemungkintun penyebabnya. Hasil ini dapat diperkuat


dengan pendekatan probabilistik (pendekatan berdasarkan
pola etiologi anemia), yang bersandar pada data
epideniiologi yuitu pola etiologi anemia di suatu daerah.

Pendekatan Probablistik atau Pendekatan


Berdasarkan Pola Etiologi Anemia
Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di
dunia adalah anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit
kronik dan thalassemia. Pola etiologi anemia pada orang
dewasa pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam
membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia defisiensi besi
merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat
penyakit kronik dan thalassemia. Pada perempuan hamil
anemia karena defisiensi folat perlu juga mendapat
perhatian. Pada daerah tertentu anemia akibat malaria masih
cukup sering dijumpai. Pada anak-anak tampaknya
thalasemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan
dengan anemia akibat penyakit kronik. Sedangkan di Bali,
mungkin juga di Indonesia, anemia aplastik merupakan
salah satu anemia yang sering dijumpai. Jika kita menjumpai
anemia di suatu daerah, maka penyebab yang dominan di
daerah tersebutlah yang menjadi perhatian kita pertamatama. Dengan penggabungan bersama gejala klinis dan
hasil pemeriksaan laboratorium sederhana, maka usaha
diagnosis selanjutnya akan lebih terarah.
Pendekatan Klinis
Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah:
1). Kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia), 2).
Berat ringannyaderajat anemia. 3). Gejala yang menonjol.
Pendekatan Berdasarkan Awitan Penyakit
Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis
anemia tersebut. Anemia yang timbul cepat (dalam
beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh:
I). Perdarahan akut, 2). Anemia hemolitik yang didapat
seperti halnya pada AIHA terjadi penurunan Hb >1 g/dl
per minggu. Anemia hemolitik intravaskular juga sering
terjadi dengan cepat, seperti misalnya akibat salah
transfusi, atau episode hemolisis pada anemia akibat
defisiensi G6PD, 3). Anemia yang timbul akibat leukemia
akut, 4). Krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik.
Anemia yang timbul pelan-pelan biasanya disebabkan
oleh: I). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia defisiensi folat
atau vitamin B12; 3). Anemia akibat penyakit kronik;
4). Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital.
Pendekatan Berdasarkan Beratnya Anemia
Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah
etiologi. Anemia berat biasanya disebabkan oleh:
1).Anemia defisiensi besi; 2). Anemia aplastik; 3). Anemia
pada leukemia akut; 4). Anemia hemolitik didapat atau

)\g3

PENDEKATANTERHADAP PASIEN ANEMIA

kongenital seperti misalnya pada thalasemia major;


5). Anemia pasca perdarahan akut; 6). Anemia pada GGK
stadium terminal.
Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai
sedang, jarang sampai derajat berat ialah: ]).Anemia akibat
penyakit kronik; 2). Anemia pada penyakit sistemik;
3). Thalasemia Trait.
Jika pada ketiga anemia tersebut di atas dijumpai
anemia berat, maka harus dipikirkan diagnosis lain; atau
adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat
anemia tersebut.

Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala


Anemia
Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu
diagnosis. Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan
gejala penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi,
anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada
anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya
(anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal),
gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol.
Pendekatan Diagnostik Berdasarkan
Tuntunan Hasil Laboratorium
Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil
penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara yang ideal
tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang
cukup. Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan
diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium (Garnbar 1 sad.Gambar 4)

QENDEKATANTERAPI
Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan dalam pemberian
terapi pada pasien anemia ialah: 1). Pengobatan hendaknya
diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu; 2). Pemberian hematinik tanpa
indikasi yang jelas tidak dianjurkan; 3). Pengobatan
anemia dapat berupa: a). Terapi untuk keadaan darurat
seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia
pasca perdarahan akut yang disertai gangguan
hemodinamik, b). rerapi suportif, c). Terapi yang khas
untuk masing-masing anemia, d). Terapi kausal untuk
mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut; 4). Dalam keadaan di mana diagnosis definitif
tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi
~
Di sini harus dilakukan
percobaan (terapi e .juvantivus).
pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan
perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan

eritrosit (MCV, MCH, MCHC)

&

Anemia hipokromik
mikrositer

Anemia norrnokromik
normositer

Anemia
makrositer

Lihat Garnbar 2

+I
&/I

Gambar 1. Algoritme pendekatan diagnosis anemia

ri
Feritin normal

FeritinU

Feritin NIT

Keterangan: t=meningkat, .l=


menurun, N= normal.

Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer

ANEMIA
NORMOKROMIK NORMOSITER
I

I Normallmenurun I
4
Sumsum
tulanq
I

Tes Coomb

+
Negatif

CI

t
Positif

Riwayat
keluarga
positif

Hemoglobinopati

Gambar 3. Algoritrne diagnosis anemia norrnokrornik normositer

Anemia

Gambar 4. Algoritrne pendekatan diagnostik anemia rnakrositer

PENDEKATANTEluIADAP PASIENANEMIA

evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan


diagnosis; 5). Transfusi diberikan pada anemia pasca
perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan
hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan
jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah
jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole
blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan
volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan
tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat
seperti furosemid sebelum transfusi.

KESIMPULAN
Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk
penelitian lapangan umumnya dipakai kriteria anemia
menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai
kriteria Hb < 10 gldl atau hematokrit < 30%. Anemia dapat
diklasifikasikan menurut etiopatogenesisnya ataupun
berdasarkan morfologi eritrosit. Gabungan kedua klasifikasi
ini sangat bermanfaat untuk diagnosis. Dalam pemeriksaan
anemia diperlukan pemeriksaan klinis &an pemeriksaan
laboratorik yang terdiri dari: pemeriksaan penyaring,
pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang:
pemeriksaan khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat
dilakukan secara klinis, tetapi yang lebih baik ialah dengan
gabungan pendekatan klinis dan laboratorik. Pengobatan
anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas.
Terapi dapat diberikan dalam bentuk terapi darurat, terapi
suportif, terapi yang khas untuk masing-masing anemia
dan terapi kausal.

Bakta 1M. Hematologi ringkas. Denpasar: UPT Penerbit


Universitas Udayana, 2001.
Bakta IM. Segi-segi praktis pengelolaan anemia. Buletin
Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia
(PHTDI). 1999;1(2):67-88.
Bakta IM, Lila IN, Widjana DP. Sutisna P. Anemia dan anemia
defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan,
Kabupaten Tabanan Bali. Naskah lengkap KOPAPDI VIII.
Yogyakarta: KOPAPDI VIII; 1990.
Bakta 1M. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah
Kedokteran Indonesia. 1989;39:504-6.
Bakta IM, Sutjana DP, & Andewi JP. Prevalensi anemia dan infeksi
cacing tambang di Desa Pejaten Bali. Naskah lengkap kongres
nasional IV PHTDI. Yogyakarta: PHTDI; 1983.
Bakta IM, Soenarto, Sutanegara D. Penelitian anemia di pedesaan
(suatu survei di Desa Kedisan Bali). Naskah lengkap KOPAPDI.
Semarang: KOPAPDI; 1981 .

R..dtler E. Lichtman MA, Coller BS, Kipph TJ, Seligsohn U,


Willia~nsWJ. Approach to the patient. In: licu~lcrE, Coller BS,
Lichtman MA. Kipps TJ, editors. William5 hematology. 6Ih
edition. New York: McGraw Hill. p. 3-8.
Beutler E. The common anemias. JAMA. 1990;259:2433-7.
Boediwarsono, Adi P, Soebandiri. Diagnosis dan pengohatan anemia.
Surahaya: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan L,ah/UI'F llmu
Penyakit Dalam FK UNAIR-RSUD Dr. Sutomo; 1988.
CawIey JC. Hae~narology.Londo~l:W. Heineman Med. Books; 1083.
Conrad ME. Anemia. eMedicine Journal. 2002;3(2): 1-25.
Evatt BL. Fundamen!r~.ldiagnostic hematology: anemia. Atlanta &
Geneva: US Department of Health and Human Services & WHO,
1992.
DeMaeyer EM. Preventing and controlling deficiency anemia
through primary health care. Geneva: WHO; 1989.
Djuhelgovic B, Hadley T & Pasic RA. New algorithm for diagnosis
of anemia. Postgraduate Medicine. 1989;85: 1 19-30.
Djulbegovic B. Reasoning and decision making in hematology. New
York: Churchil Livingstone; 1992.
Fairbanks VF. The anemias. In: Mazza JJ, editor. Manual of clinical
hematology. zndedition. Boston: Litte Brown; 1995. p. 17-69.
Glader B. Anemia: general considerations. In: Greer GM, Paraskevas
F, Glader B, editors. Wintrobe's clinical hematology. I lIh
edition. Philadelphia: Lippincot, Williams; 2004. p. 947-1009.
Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential hematology. 41h
edition. Oxford: Blackwell Science; 2001.
Husaini M, Husaini YK. Siagian UL & Suhamo D. Anemia gizi: suatu
studi kompilasi informasi dalam menunjang kebijaksanaan
program. Bogor: Puslitbang Gizi; 1989.
lsbister HP, Pittglio DH. Clinical hematology: a problem-oriented
approach. Baltimore: William & Wilkin; 1988.
Kellernieyer RW. General principles of the evaluation and therapy
of anemias. Med Clin N Am. 1984;66:533-43.
Linker CA. Blood. In: Tierney LM, h4cPhee SJ, Papadakis MA,
editors. Current medical diagnosis & treatment. 36Ih edition.
Stanford: ' ~ ~ p l e t o&n Lange; 1997. p. 463-51 8.
Longo DL. Oncology and hematology. In: Braunwald E, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors.
Harrison:~Principle of Internal Medicine. 15Ih edition. New
York: McGraw Hill; 2001. p. 491-762.
Mehta BC. Approach to patient with anemia. Indian J Med Sci.
2004;58:26-9.
Schnall SF, Berliner N, Duffy TP, Benz EJ. Approach to the adult
and child with anemia. In: Hoffman R, Benz El, Shttil SJ, Furie
B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P, editors. Hematology:
Basic Principles and Practice. 3rd edition. New York: Churchill
Livingstone; 2000. p. 367-82.
Shah A. Anemia. Indian J Med Sci 2004: b58:24-5.
Weatherall DJ & Wasi P. Anemia. In: Warren KS & Wasi P, editors.
Tropical and geographial medicine. New York: McGraw-Hill
Book; 1985.
WHO Technical Repon Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva:
WHO; 1968.

ANEMIA APLASTIK
Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder

PENDAHULUAN

EPlDEMlOLOGl

Anemia aplastik merupakan kegagalan hernopoiesis yang


relatif jarang ditemukan narnun berpotensi mengancarn
jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia
surnsum tulang dan pertarna kali dilaporkan tahun 1888
oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang
meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan
gejala anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia.
Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut
menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak
aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali
menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun
berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah
dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakan pendapat
bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia
sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959, Wintrobe
membatasi pernakaian narna anemia aplastik pada kasus
pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia susmsum
tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang
menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan
hemopoietik sumsum tulang.
Selain istilah anemia aplastik yang paling sering
digunakan, masih ada istilah-istilah lain seperti anemia
hipoplastik, anemia refrakter, hipositemia progresif,
anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmieloftisisdan
anemia paralitik toksik.
Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat.
Perbedaan antara keduanya bukan pada usia pasien,
melainkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratoriurn. Oleh karena itu, pasien dewasa mungkin
membawa kelainan herediter yang muncul di usia
dewasa. Dalam bab ini yang dibahas terutama adalah
anemia aplastik didapat sedangkan sedikit penjelasan
mengenai anemia aplastik herediter diberikan di akhir
bab.

Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh


dunia dan berkisar antara 2 sarnpai 6 kasus per 1 juta
penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian
The International Aplastic Anemia and Agranulolytosis
Study di awal tahun 1980-an menemukan frekuensi di Eropa
d m Israel sebanyak 2 kasus per 1juta penduduk. Penelitian
di Perancis menemukan angka insidensi sebesar 1,5kasus
per 1 juta penduduk per tahun. Di Cina, insidensi
dilaporkan 0,74 kasus per 100.000 penduduk per tahun
dm di Bangkok 3,7 kasus per 1juta penduduk per tahun.
Ternyata penyakit ini lebih banyak ditemukan di belahan
Timur dunia daripada di belahan Barat.
Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia
15 sampai 25 tahun; puncak insidens kedua yang lebih
kecil rnuncul setelah usia 60 tahun. Umur danjenis kelarnin
pun bervariasi secara geografis. Di Amerika Serikat dan
Eropa umur sebagian besar pasien berkisar antara 15-24
tahun. Cina melaporkan sebagian besar kasus anemia
aplastik pada perempuan berumur di atas 50 tahun dan
pria di atas 60 tahun. Di Perancis, pada pria ditemukan dua
puncak yaitu antara umur 15-30dan setelah urnur 60 tahun,
sedangkan pada perempuan kebanyakan berumur di atas
60 tahun.
Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat daripada
perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin
disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan
geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.

Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia


aplastik didapat diklasifikasikanmenjadi tidak berat, berat,
atau sangat berat (Tabel 1).Risiko rnorbiditas dan mortalitas

Klasifikasi
Anemia aplastik berat
Selulantas sumsum
tulang
* Sitopenia sedikitnya
dua dari tiga seri sel
da rah
Anemia aplastik sangat
berat
Anemia aplastik tidak
berat

Kriteria

Hitung neutrotil < 500lpL


Hitung trombosit < 20.000lpL
Hitung retikulosit absolut
< 6O.OOOlpL
Sama seperti di atas kecuali
hitung neutrotil < 2001pL
Sumsum tulang hiposelular namun
sitopenia tidak memenuhi kriteria
berat

lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia


ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka kematian
setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk
pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai
80%; infeksi jamur dan .sepsis bakterial merupakan
penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat
jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak
membutuhkan terapi.

PATOFlSlOLOGlDAN PATOGENESIS
Dahulu, anemia aplastik dihubungkan e 9 t dengan paparan
terhadap bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia
aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahanbahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau
senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan,
hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang
pasien tidak diketahui faktor penyebabnya, maka pasien
digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian besar
kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi
anemia aplastik tercantum dalam Tabel 2.
Anemia aplastik terkait obat terjadi karena
hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat
yang banyak-menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering

Toksisitas langsung
= latrogenik
= Radiasi
Kemoterapi
Benzena
Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Penyebab yang diperantarai imun
latrogenik: transfusion-associatedgraft-versus-host
disease
= Fasciitis eosinofilik
= Penyakit terkait hepatitis
Kehamilan
Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Anemia aplastik idiopatik

dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan


antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran
atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat
menyebabkan anemia aplastik ialah senyawa benzena.
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia
aplastik sementara atau permanen, misalnya virus EpsteinBarr, influenza A, dengue, tuberkulosis (milier).
Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum
tulang, melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum
tulang. Infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV)
yang berkembang menjadi acquired immunodeficiency
syndrome(AIDS) dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi
kronik oleh parvovirus pada pasien dengan defisensi imun
juga dapat menimbulkan pansitopenia. Akhir-akhir ini,
sindiom anemia aplastik dikaitkan dengan hepatitis
walaupun merupakan kasus yang jarang. Meskipun telah
banyak studi dilakukan, virus yang pasti belum diketahui,
namun diduga virus hepatitis non-A, non-B, d m non-C.
Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan
pansitopenia disertai aplasia sumsum tulang yang
berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh
estrogen pada seseorang dengan predisposisi genetik,
adanya zat penghambat dalam darah atau tidak ada
perangsang hematopoiesis.Anemia aplastik sering sembuh
setelah terminasi kehamilan, dapat terjadi lagi pada
kehamilan berikumya.
Namun, sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis
anemia aplastik yang masuk akal, yang disimpulkan dari
berbagai observasi klinis hasil terapi pan eksperimen
laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun 1960-an,
Math6 et a1memunculkan teori baru berdasarkan kelainan
autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang
kepada pasien anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi
sumsum tulang untuk menyembuhkan anemia aplastik
memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (stem
cell).
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga
dibuktikan oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan
bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni
hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui
bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel-sel
asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak
lebih jelas di sumsurn tulang dibandingkan dengan darah
tepi pasien anemia aplastik. Sel-sel tersebut menghasilkan
interferon-y dan TNF-a yang merupakan inhibitor
langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas
pada sel-sel CD34'. Klon sel-sel T imortal yang positif
CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastikjuga mensekresi
sitokin T-helper-] yang bersifat toksik langsung ke selsel CD34 positif autologus.
Sebagian besar anemia aplastik didapat secara
patofisiologis ditandai oleh destruksi spesifik yang
diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan
respons imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan
dengan infeksi virus atau pajanan obat tertentu atau zat

kimia tertentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain,


seperti toksisitas langsung pada sel-sel asal atau defisiensi
fungsi faktor pertumbuhan hematopoietik.Lagipula, derajat
destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi perjalanan
klinis secara kuantitatif dan variasi kualitatif respons imun
dapat menerangkan respons terhadap terapi imunosupresif.
Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukkan
adanya mekanisme imun yang bertanggung jawab atas
kegagalan hematopoietik.

Kegagalan Hematopoietik
Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas
kosongnya sumsum tuang yang tampak jelas pada
pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen
core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan
magnetic resonance imaging vertebra memperlihatkan
digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata.
Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietik yang imatur dapat
dihitung dengan flow cytometry. Sel-sel tersebut
mengekspresikan protein cytoadhesive, yang disebut
CD34. Pada pemeriksaanflow cytometry, antigen sel CD34
dideteksi secwa fluoresens satu persatu, sehingga jumlah
sel-sel CD34' dapat dihitung dengan tepat. Pada aneinia
aplastik, sel-sel CD34'j'uga hampir tidak ada yang berarti
bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid,
dan megakatyositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain
untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitif dan
"tenang" (quiescent), yang sangat mirip jika tidak dapat
dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperllhatkan
penunman. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin
telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk
sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut
mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerrninkan oleh
pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia
aplastik.

Gambar 1. Destruksi imun

Destruksi lmun
Banyak data laboratorium yangmenyokong hipotesis
bahwa pad& pasien anemia aplastik didapat, limfosit
bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel
hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa
limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel-sel ini
memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui
adalah interferon-y. Adanya aktivasi respons sel T helper1 (Th,) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan
produksi interferon, tumor necrosisfactor, dan interleukin2 yang berlebihan. Deteksi interferon-y intraselular pada
sampel pasien secaraflow cytometry mungkin berkorelasi
dengan respons terapi imunosupresif dan dapat
memprediksi relaps.
Pada anemia aplastik, sel-sel CD34+dan sel-sel induk
(progenitor) hemopoietik sangat sedikitjumlahnya. Narnun,
meskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid, dan
megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini,
defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit
umurnnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula
fungsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan hemopoiesis
yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif
yang efektif. Jadi, sel-sel asal hemopoietik tampaknya masih
ada pada sebagian besar pasien anemia aplastik.
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi,
khususnya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas,
dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan
penghentian siklus sel (cell-cycle arrest). Sel-sel T dari
pasien membunuh sel-sel asal hemopoietik dengan
perilaku (manner) yang HLA-DR-restricted melalui ligan
Fas. Sel-sel asal hemopoietik yang paling prirnitif tidak
atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau FAS, dan
ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-sel
asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya
bejumlah h a n g dari 10% sel-sel CD34' total, relatif tidak
terganggu oleh sel-sel T autoreaktif; di lain pihak, sel-sel

pada sel hematopoietik (Modifikasi dari Young, 1997)

asal hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target


utama serangan sel-sel imun. Sel-sel asal hemopoietik
primitif yang selamat dari serangan autoimun
memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan-lahan
yang terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi
imunosupresif.

perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah


pasien. Hematomegali. yang sebabnya bermacam-macam,
ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan
splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun.
Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan
diagnosis.

MANlFESTASl KLlNlS DAN DIAGNOSIS


Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam
beberapa hari) atau perlahan-lahan (berminggu-rninggu atau
berbulan-bulan). Hitung jenis darah menentukan
manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispnea dan
jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan
mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga
mungkin mengeluh salut kepala dan demam.
Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah
lengkap dengan hitung jenis leukosit, hitung retikulosit,
dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang. Pemeriksaanflow
cytornetry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan karyot~pingsumsum
tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom
myelodisplastik. Pasien berusia kurang dari 40 tahun perlu
diskrining untuk anemia Fanconi dengan memakai obat
klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat
keluarga 'sitopenia meningkatkan kecurigaan adanya
kelainan-diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik yang
tampak.
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan
pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan
sangat bervariasi (Tabel 3). Pada Tabel 3 terlihat bahwa
perdarahan, badan lemah, dan pusing merupakan keluhan
yang paling sering ditemukan.

Jenis keluhan

Jenis Pemeriksaan Fisis

Pucat
Perdarahan
Kulit
= Gusi
Retina
Hidung
. Saluran cerna
Vagina
Dernarn
Hepatomegali
S~lenorneaali

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu
ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom normositer.
Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau
leukosit rnuda dalam darah tepi menandakan bukan
anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan
rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75%
kasus.

Perdarahan
Badan lemah
Pusing
Jantung berdebar
Dernam
Nafsu rnakan berkurang
Pucat
Sesak napas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung

PEMERIKSAAN FlSlS
Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun
sangat bervariasi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pucat
ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan

Gambar 2. ~ums;rn tulang normal (Kiri) dan aplastik (Kanan).


(Diambil dari www.ashirnagebank.org)

Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah.


Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan
lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap
beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka
diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga.
Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan
bukan anemia aplastik.

Laju Endap Darah


Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan
bahwa 62 dari 70 kasus (89%)mempunyai laju endap darah
lebih dari 100 mm dalarn jam pertarna.
Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk
disebabkan oleh trombositopenia. Faal hemostasis lainnya
normal.
Sumsum Tulang
Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif
yang mungkin teraspirasi, maka sering diperlukan
aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi
sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia
aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai
kriteria diagnosis.
Virus
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan
virus Hepatitis, HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus.
Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai
penyebab.
Kromosom
Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan
kromosom. Pemeriksaan sitogenetik denganfluorescence
in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan
flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposelular.
Defisiensi lmun
Adanya difisiensi imun diketahui melalui penentuan titer
immunoglobulin dan perneriksaan imunitas sel T.
Lain-lain
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan
mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.
Kadar eritropoetin ditemukan meningkat pada anemia
aplastik.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui
luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan
tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum
tulang berselular.
Radionuclide Bone Marrow lmaging (Bone
Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh
scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif
technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum
tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada
transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat
ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh
sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel
induk.

DIAGNOSIS BANDING
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi
menunjukkan aplasia; namun hiposelularitas sumsum
dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji
diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis
banding dan pemahaman kita tentang kegagalan sumsum
tulang (Gambar 3). Perbedaan antara anemia aplastik
didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay
spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu
yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya
muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis
pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau
urogenital.
Sumsum tulang hiposelular dibutuhkan untuk
diagnosis anemia aplastik. Narnun, aspirat kadang-kadang
secara mengejutkan tampak selular meskipun secara
keseluruhan sumsum tulang hiposelular, sebab sebagian
besar pasien masih mempunyai sarang-sarang
hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy
1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas.
Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia
aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki
populasi sel-sel hemoglobinuria nokturnal paroksismal
kecil sampai sedang. Namun, adanya sejumlah kecil selsel blas myeloid, atau gambaran displastik sen myeloid
atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom
myelodisplatik hipoplastik.

Myelodisplasia Hiposelular
Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik
hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada
pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak

Agranulositosis

Aplasia sel
darah rnerah
mum1

Trombos~topen~a
amegakalyos~ttk

myelogenous akut

Anemia aplastikhemoglobinuria
nokturnal paraksismal

Gambar 3. Tumapang tindih antara kelainan anemia aplastik dan diagnosis


bandingnya (Modifikasi dari Young, 2002)

terjadi. Proporsi sel-sel CD34' di sumsum tulang mungkin


membantu pada beberapa kasus. CD34 diekspresikan pada
sel-sel asaV induk hemopoietik dan bersifat fundamental
untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom
myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dad sel asal
CD34'; pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34'
merupakan target serangan autoimun. Dengan dernikian,
proporsi sel-sel CD34' adalah 0,3% atau kurang pada
pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal
(0,5- 1,0%) atau lebih tinggi pada sindrom myelodisplatik
hipoplastik.
Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang
sekarang sudah rutin dilakukan, tetapi interpretasi hasil
dapat kontroversial. Kromosom umumnya normal pada
anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau abnormalitas
struktural relatif sering pada sindrom myelodisplastik. Jika
sumsum tulang normal atau hiperselular dan sel-sel
hematopoietik jelas-jelas dismorfik, maka myelodisplasia
mudah dibedakan dari anemia aplastik. Narnun, mungkin
pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tarnpak hiposelular,
selain itu, perubahan morfologinya mungkin ringan atau
meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal
atau tidak berhasil. Diagnosis banding lebih dipersulit
dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi
myelodisplasia.

Anemia Aplastik dan Hemoglobinuria


Nokturnal Paroksismal (PNH)
Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia
aplastik dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit,
dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai
sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetik PNH
adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X
yang menghentikan sintesis struktur jangkar
glikosilfostatidilinositol. Defisiensi protein ini
menyebabkan hemolisis intravaskular, yang
mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk menginaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein
tersebut mudah dideteksi denganflow cytometry eritrosit
dan leukosit, tes Ham dan sukrosa sekarang sudah
ketinggalan jaman (obsolete).
Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan
mengalami kegagalan sumsum tulang, dan sebaliknya, PNH
dapat ditemukan sebagai "peristiwa klonal lanjut"
bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik.
Pemeriksaan flow cytometry memperlihatkan bahwa
sejumlah besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang
mengalami ekspansi klon PNH hematopoietik pada saat
datang.

Leukemia Limfositik Granular Besar


Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum
tulang yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar
dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda pads
pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan selsel khusus pada p o w cytometry, dan ketidakteraturan
reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi
monoklonal populasi sel T.

PENATALAKSANAAN
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi
atau transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor
seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok
(matched sibling donor), dan faktor-faktor risiko seperti
infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan
untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat

'

terapi irnunusupresi atau TST, Pasien yang lebih muda


umumnya mentoleransi TST lebih baik dan sedikit
mengalami GVHD. Pasien yang lebih tua dan yang
mernpunyai komorbiditas biasanya ditawarkan serangkaian
terapi irnunusupresif. Pasien berusia lebih dari 20 tahun
dengan hitung neutrofil 200-5001 mrn3 tampaknya lebih
mendapat manfaat dari imunosupresi dibandingkan TST.
Secara umum, pasien dengan hitung neutrofil yang sangat
rendah cenderung lebih baik dengan TST, karena
dibutuhkan waktu yang lebihpendek untuk resolusi
neutropenia (harus diingat bahwa neutropenia pada pasien
yang mendapat terapi imunosupresif rnungkin baru
membaik setelah 6 bulan). Untuk pasien usia menegah yang
memiliki donor saudara yang cocok, rekomendasi terapi
hams dibuat setelah rnemperhatikan kondisi kesehatan
pasien secara menyeluruh, derajat keparahan penyakit, dan
keinginan penyakit. Suatu algoritme terapi dapat dipakai
untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik (Gambar
4).

TERAPI KONSERVATIF
Terapi lmunosupresif
Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi
terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik.
Obat-obatan yang termasuk dalam terapi irnunosupresif

Gambar 4. Algontme

adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CsA). Mekanisme
kerjaATG atau ALG pada kegagalan surnsurn tulang tidak
diketahui dan mungkin rnelalui:
Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated
pada sel asal,
Stimulasi langasung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.
Regimen irnunosupresi yang paling sering dipakai
adalah ATG dari kuda (ATGam dosis 20 rngkg per hari
selama 4 hari) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5
rngkg per hari selama 5 hari) plus CsA (12-15 m a g , bid)
umumnya selama 6 bulan. Berdasarkanhail penelitian pada
pasien yang tidak berespons terhadap ATG kuda, ATG
kelinci tampaknya sama efektif dengan ATG kuda. Angka
respons terhadap ATG kuda bervariasi dari 70-80% dengan
kelangsungan hidup 5 tahun 80-90%. ATG lebih unggul
dibandingkan CsA, dan kombinasi ATG dan CsA
mernberikan hasil lebih baik dibandingkan ATG atau CsA
saja.
Penarnbahan granulocyte colony-stimulatingfactor
(G-CSF) dapat memulihkan neutropenia tetapi tidak
menambah kelangsungan hidup. Namun respons awal
terhadap G-CSF setelah terapi ATG merupakan faktor
prognostik yang baik untuk respons secara keseluruhan.
Secara urnum, pasien yang berespons terhadap kombinasi
ATG1 CsA mempunyai kelangsungan hidup yang sangat

penatalaksanaan pasien anemia berat (Diambil dari Bagby, 2004)

baik, sedangkan mereka yang refrakter mempunyai


kelangsungan hidup yang kurang. Perhitungan pada 3
bulan setelah terapi ATG mempunyai korelasi yang baik
dengan prognosis jangka panjang. Regimen imunosupresif
yang lebih baru memakai nlycophenolate mofetil, dan dalam
konteks toksisitas CsA, Zenapax (anti-IL-2 receptor
[CD25] nzonoclonal antibody) mungkin bermanfaat tetapi
keampuhan obat-obat ini belum terbukti. Campath-1H saat
ini juga sedang diuji untuk keadaan-keadaan refrakter
untuk mengkaji potensi pemanfaatnnya sebagai obat
imunosupresif.
Kegagalan terapi imunosupresif mungkin
mencerminkan undel*treatment atau kelelahan cadangan
sel-sel asal sebelum pemulihan hematopoietik. Di samping
itu, tidak adanya respons terapi mungkin juga disebabkan
salah diagnosis atau adanya patogenesis non-imun,
seperti anemia aplastik herediter. Relaps dapat disebabkan
i
dan hitung darah pasien
penghentian d ~ n imunosupresi,
sering masih tergantung CsA. Terapi induksi dengan regiF n ATG masa kini atau bahkan siklofosfamid dapat pula
tidak cukup untuk mengelirninasi sel-sel T autoimun.
Pasien-pasien refrakter dapat diobati lagi dengan ATG
multipel, yang dapat menghasilkan kesembuhan (salvage)
pada sejuinlah pasien. Suatu penelitian pada pasien yang
refrakter dengan ATG kuda, ATG kelinci menghasilkan
angka respons 50% dan kelangsungan hidup jangka
panjang yang sangal baik.
Siklofosfamid dosis tinggi telah dianjurkan sebagai
terapi lini pertama yang efektif untuk anemia aplastik.
Angka respons yang tinggi dikaitkan dengan pencegahan
kekambuhan dan juga penyakit klonal. Namun, sitopenia
yang berkepanjangan menghasilkan toksisitas yang
berlebihan akibat komplikasi neutropenik menyebabkan
penghentian uji klinik. Follow-up jangka panjang pada
pasien yang mendapat siklofosfamid memperlihatkan
bahwa relaps dan penyakit klonal dapat terjadi setelah
terapi ini.-0leh karena itu, penggunaan siklofosfamid
hanya untuk kasus-kasus tertentu atau sebagai bagian
dari uji terkontrol dengan spektrum indikasi yang sempit:
ATG atau ALG diindikasikan pada: 1). Anemia aplastik
bukan berat, 2). Pasien tidak mempunyai donor sumsum
tulang yang cocok, 3). Anemia aplastik berat, yang berumur
lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan tidak
terdapat infeksi atau perdarahan atau dengan granulosit
lebih dari 2001 mm3.
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG
dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat, sehingga
selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.
Kortikosteroid ditambahkan untuk melawan penyakit serum intrinsik terhadap terapi ATG, yaitu prednison 1 mgl
kgbb selama zrninggu pertama pemberian ATG Di samping
itu, neutropenia dan trombositopenia yang ada akan
semakin berat. Kira-kira 40-60% pasien berespons terhadap
ATG dalam 2-3 bulan (hampir tidak pernah dalam 2-3

minggu pertama). Walaupun tidak terjadi remisi total


transfusi komponen darah tidak dibutuhkan lagi. Kira-kira
30-50% dari mereka yang berhasil akan kambuh lagi dalam
2 tahun berikutnya. Pada golongan pasien ini yang
kebanyakan berespons lagi bila diberi ATG. Kira-kira 25%
pasien yang semula tidak memberikan respons, terjadi
respons pada pemberian ATG 2-4 b~lan~setelah
pernberian
pertama.
Siklosporin bekerja dengan menghambat aktivasi dan
proliferasi prekursor limfosit sitotoksik. Dosisnya adalah
3-10 mg/kgBB/hari per oral dan diberikan selama4-6 bulan.
Siklosporin dapat pula diberikan secara intravena. Angka
keberhasilan setara dengan ATG. Pada 50% pasien yang
gaga1 dengan ATG dapat berhasil dengan siklosporin.
Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon
memberikan angka remisi sebasar 70% pada anemia
aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon
angka remisi sebesar 46%. Dosis siklosporin yang
diberikan 6 mg/kgBB peroral selama 3 bulan. Dosis
metilprednisolon 5 m g k g BB per oral setiap hari selama
seminggu ken~udianberangsur-angsur dikurangi selama
3 minggu.
-

,
Relaps
Secara konseptual, analog dengan terapi penyakit
keganasan, terapi imunusupresif intensif dengan ATG
dapat dipandang sebagai terapi induksi, yang mungkin
membutuhkan periode pemeliharaan lami dengan CsA atau
bahkan re-induksi. Angka relaps stelah terapi
imunusupresif adalah 35% dalam 7 tahun. Secara umpm,
relaps mempunyai prognosis yang baik dan kelangsungan
hidup pasien tidak memendek. Pasien dengan hitung darah
yang turun dapat menerima CsA, dan jika tidak berhasil,
harus diberikan ATG ulang. Angka respons dapat
dibandingkan dengan yang tampak pada ATG inisial. Pada
beberapa contoh, ATG kelinci dapat dipakai ketimbang
ATG kuda. Siklofosfarnid dosis tinggi telah disarankan
untuk*imunusupresiyang mencegah relaps. Namun, ha1
ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan
siklofosfamid memberikan lama respons lebih dari 1 tahun.
Sebaliknya, 75% respons terhadap ATG adalah dalam 3
bulan pertama, dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun
setelah terapi ATG.

Penyebab
Kelelahan cadangan sel
asal
lmunosupresi tidak cukup
Salah diagnosis
Kegagalan sumsum
tulang herediter

Etiologi yang Mungkin


Anemia aplastik diperaritarai
imun
Serangan imun persisten
I

Patogenesis non-imun

1124

HEMAMLOC~

TERAPI PENYELAMATAN (SALVAGE THERAPIES)


Siklus lmunosupresi Berulang
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertarna
dapat berespons terhadap siklus irnunosupresi ATG
ulangan. Pada sebuah penelitian, angka penyelamatan
yang berrnakna pada pasien yang refrakter ATG kuda
tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci. Namun, siklus
ketiga tampaknya tidak dapat rnenginduksi respons
pada pasien yang tidak berespons terhadap terapi
ulangan. Upaya melakukan terapi penyelarnatan dapat
nlenunda transplantasi surnsum tulang. Narnun
darnpaknya masih kontroversial. Pasien dengan donor
saudara yang cocok dan tidak berespons terhadap terapi
ATGI CsA harus rnenjalani TST. Selain terapi ATG
berulang, obat-obat baru seperti Carnpath-l H atau
antibodi n~onoklonalantiLCD3 dapat digunakan dalarn
konteks uji klinik.
Faktor-faktor Pertumbuhan Hematopoietik
dan Steroid Anabolik
Penggunaan gmnu1oc)~te-colonystimulating,factor (G-CSF,
Fi lgrastirn dosis 5 igkgihari) atau GM-CSF (Sargrarnostim
dosis 250 iglkglhari) berrnanfaat untuk rneningkatkan
neutrofil walaupun tidak bertahan lama. Faktor-faktor
pertumbuhan hernatopoietik tidak boleh dipakai sebagai
satu-satunya rnodalitas terapi anemia aplastik. Beberapa
pasien akan rnernperlihatkan pernulihan neutropenia dengan
G-CSF, tetapi neutropenia berat karena anemia aplastik
biasanya refrakter. Jika dikornbinasi dengan regimen ATGI
CsA, G-CSF dapat rnernperbaiki neutropenia dan respons
terapi ini merupakan faktor prognostik dini yang positif
untuk respons di rnasa depan. Peningkatan dosis G-CSF
tampaknya tidak bermanfaat. Kombinasi G-CSFdengan obat
lain telah digunakan untuk terapi penyelarnatan pada kasuskasu's refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan
dengan pernulihan hitung darah pada beberapa pasien.
Namun, beberapa laporan mengaitkan terapi G-CSF yang
lama sebagai penyebab evolusi klonal, khususnya
rnonosomi-7.
Steroid Anabolik
Steroid anabolik digunakan secara luas untuk terapi
anemia apalstik sebelum penemuan terapi irnunosuresif.
Androgen rnerangsang produksi eritropoie~in
, dsel-sel
~
<.-.-<*?*:'
in~uk~su~sum;~la~:.~rin$$ndroge$
,. .- . ,
hanya digunakan
sebagai.teiipi penyd@atan ~ntuk''pasi&yangrefrakter
en
saat ini
.terapi i r n u n ~ s u ~ r e s i : $ : ~ ~ h dy ri n~g~ tirsedia
aritafa lain ejcyrii.e%h>lone'dan danazol. Obat-obat ini
terbukti berrnanfaat bagi sebagian pasien anemia aplastik
ringan. Pada anemia aplastik berat biasanya tidak
bermanfaat. Komplikasi utama adalah virilisasi dan
hepatotoksitas.
>

<
.;

TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG


Regimen corzdirioning yang paling sering adalah
siklofosfarnid dan ATG dan telah terbukti lebih unggul
dibandingkan regimen terdahulu yaitu siklofosfarnid plus
total thorcicocihdom.ina1 irradiation. Perbaikan pada
perawatan pasien dan terapi graft-versus-host disease
telah mernbuat TST inenjadi prosedur yang jauh lebih aman
dan menjadi kan TST suatu pili han bagi lebih banyak pasien
anemia aplastik. TST rnenyediakan alternatif terapi yang
benar-benar kuratif berlawanan dengan kornplikasi jangka
panjang terapi IS konservatif, terrnasuk perkembangan
MDS dan angka relaps yang tinggi.
TST allogenik tersedia untuk sebagian kecil pasien
(hanya sekitar 30% yang mernpunyai saudara dengan
kecocokan HLA). Dengan perbaikan umurn, TST dapat
memberikan kelangsungan hidup jangka panjang sebesar
94% (dengan donor saudara yang cocok). Hasil yang lebih
baik telah dilaporkan pada pasien anak, tetapi tidak
demikian halnya pada pasien yang lebih tua. Dengan
dernikian, TST harus ditawarkan sebagai pilihan kepada
pasien anak dan dewasa muda yang rnerniliki donor cocok.
Batas usia untuk TST sebagai terapi primer belurn
dipastikan, narnun pasien yang berusia lebih tua dari 3035 tahun, lebih baik dipilih terapi irnunosupresif intensif
sebagai upaya pertama.
Transplantasi sumsurn tulang alogenik dengan saudara
kandung HLA-A,B,-DR-matched, mencapai angka
keberhasilan rernisi komplit permanen lebih dari 80% pada
kelompok pasien terpilih yang berumur kurang dari 40 tahun
clan bisa hidup lama. Makin rneningkat urnur, rnakin meningkat
pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsurn tulang
donor yang disehut graft-versus-host disease (GVHD).
Transplantasi surnsum tulang antara urnur 40-50 tahun
rnengandung risiko meningkatnya GVHD dan rnortalitas.
Transplantasi surnsum tulang dapat dikerjakan
Pada umurnnya, bila pasien berumur kurang dari 50
tahun yang gaga1 dengan ATG, dan rnempunyai saudara
kandung sebagai donor yang cocok rnaka pernberian
transplantasi surnsum tulang perlu dipertirnbangkan. Akan
tetapi dengan pernberian irnunosupresif sering diperlukan
transfusi selarna beberapa bulan. Bila transfusi ktrnppaeq
darah sangat diperlukan, sedapat m . ~ ~ & , d i ~ ~ k $ , ! & $ $
rnereka yang bq$,~+_potensfalsebagai donor i&s$rn
tulang untuk ~iiembatasireaksi penolakan cangkokan (&aft
rejection) yang kelak dapat .m
. ..'e
. *.n g .g i p ~ ikeberhasilan
transplantqsi
su&sbm~'tulang,
kafena antibodi yang
. , . ..
. .
d e r b e n t u k akibat transfusi. Pada hasien yang bklurn
, ditransfusi, 10 tahun setelah transplantasi surnsurn tulang,
' . yang hidup rnencapai 8 1 %, sedangkan bagi yang telah
rnendapat transfusi sebelurnnya yang hidup hanya 46%.
;;.,-t.-'l').*::.

"
Kriteria Respons
Kelompok European Bone Marrow Transplantation
. 1 - ?

+"

(EBMT) mendefinisikan respons terapi sebagai berikut:


Remisi komplit: bebas transfusi, granulosit sekurangkurangnya 2000/mm3, dan trombosit sekurangkurangnya 100.000/mm3.
Remisi sebagian: tidak tergantung pada transfusi,
granulosit di bawah 2OOO/mm3, dan trombosit di bawah
100.000/mm3.
Refrakter: tidak ada perbaikan.

Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi


eritrosit berupa packed red cells sampai kadar
hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular.
Risiko perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari
20.0001 mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat
perdarahan atau kadar trombosit di bawah 20.0001mm3
(profilaksis).Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan
pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi
sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya
(orang tua atau saudara kandung) atau pemberian
gammaglobulin dosis terapi. Timbulnya sensitisasi dapat
diperlambat dengan menggunakan donor tunggal.
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih
kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping
yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit
yang ditransfusikan sangat pendek. Pada infeksi berat,
khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotik
masih diutamakan.

PROGNOSIS DAN PERJALANAN PENYAKIT


Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa: 1). Berakhir
dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali bila
ialrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna
biasanya terjadi segera. 2). Meninggal dalam 1 tahun. Hal
ini terjadi pada sebagian besar kasus. 3). Bertahan hidup
selama 20 tohun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup
lama namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak
sempuma.
Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara
pengelompokan lain untuk membedakan antara anemia
aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia
aplastik lebih ringan dengan prognosis yang lebih baik.
Dengan kemajuan pengobatan prognosis menjadi lebih
baik.
Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan
keganasan sekunder. Pada penelitian di luar negeri dari
103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti
jangka panjang berubah menjadi leukemia akut,
mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma.

Kejadian ini mungkin merupakaa riwayat alarniah penyakit


walaupun komplikasi tersebut lebih jarang ditemu'kanpada
transplantasi sumsum tulang.

ANEMIA APLASTIK HEREDITER


Sindrom kegagalan sumsum tulang herediter antara lain
meliputi anemia Fanconi, diskeratosis kongenita, sindrom
Shwachman-Diamond, dan trombositopenia megakaryositik. Sebagian besar anemia aplastik (AA) bersifat
didapat, namun ada juga bentuk-bentuk AA yang
diwariskan. Kelainan-kelainan ini sangat jarang, mirip
dengan AA didapat tetapi jarang berespons terhadap terapi
imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter
biasanya muncul pada usia dekade pertama dan kerap
disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan,
hipogonadisme, bintik-bintik cafe'-au-lait pada anemia
Fanconi). Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat
keluarga dengan sitopenia.
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi adalah pen yakit
yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi merupakan
kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada
DNA repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia
dan tumor padat. Diskeratosis kongenital, adalah sindrom
kegagalan sumsum tulang diwariskan yang secara klasik
muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi
kuku, dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki
heterogenitas dan manifestasi klinik yang beragam.
Terdapat bentuk-bentuk X-linked recessive, autosomal
dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X-linked
recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen DKCI, yang
n~enghasilkanprotein dyskerin, yang penting untuk
stabilisasi telomerase. Gangguan telomerase
menyebabkan pemendekan telomer lebih cepat, kegagalan
sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging).
Diskeratosis congenita autosomal dominan disebabkan
mutasi pada gen TERC (yang menyandi komponen RNA
telomerase) yang pada akhirnya mengganggu aktivitas
telomerase dan pemendekan telomer abnormal. Sejumlah
kecil pasien (kurang dari 5%) yangs disangka menderita
AA didapat memiliki mutasi TERC.
Trombositopenia amegakaryositik diwariskan
merupakan kelainan yang ditandai oleh trombositopenia
berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat lahir.
Sebagian besar pasien mengalami missense atau nonsense
mutations pada gen C-MPL. Banyak dari antara mereka
mengalami kegagalan sumsum tulang multilineage di usia
dua puluhan. Sindrom Shwachman-Diamond adalah
kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan disfungsi
eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan
sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi, pasien
sindrom ini mengalam peningkatan risiko terjadinya
myelodisplasia atau leukemia pada usia yang sangat muda.
Belum ada lesi genetik yang dianggap menjadi

penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7


telah dikaitkan dengan penyakit ini.

Adamson JW and Erslev AY. Aplastic anemia. In: Williams W J ,


Beutler E, EWslev AY, Lichtman MA, editors. Hematology. 4Ih
edition. New York: Mc. Graw-Hill; 1990. p. 158-74
Alter BP. Bone marrow failure: a child is not just a small adult (but
an adult can have a childhood disease). Hematology. 2005:96103.
Bagby GC. Lipton JM, Sloand EM, Schiffer. Marrow failure. Hematology. 2004:3 18-36.
Brodsky RA. Jones RJ. Aplastic anemia. Lancet. 2005;365:164756
Fibbe WE. Telomerase mutations in aplastic anemia. N Engl J Med.
2005;352: 1481 -3.
Gluckman E, Esperou-Bourdeau H. Bamchel A, Boogaens M, Briere
J. Donadio D, et a]. Muticentre randomized study comparing
cyclosporine-A alone and antithymocyte globulin with
prednisone for treatment of severe aplastic anemi. Blood.
1992;79:2540-6.
Gordon-Smith EC. Aplastic anemia and allied disorders. Cum Opin
Hematol. 1993:45-51.

Hariman H. Soeroso L. Succesful marrow recovery after eHuGMCSF treatment in a patient with idiophatic aplastic anemia.
KONAS VII Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah
Indonesia & International scientific meeting of Haematologist
from Southeast Asian Coutries, Medan, Desember 1993.
Maciejewski JP, Risitano AM. Aplastic anemia: management of adult
patients. Hematology. 2005: 110-17.
Rosenfeld S. Follmann D, Nunez 0 , Young NS. Antithymocyte globulin and cyclosporine for severe aplastic anemia. Association
between hematologic response and long-term outcome. JAMA.
2003;289(9): 1 130-5.
Salonder H. Gambaran klinik anemia aplastik dan kriteria ramalan
pasien berumur pendek. Skripsi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1983.
Thompson LH. Unraveling the Fanconi anemia-DNA repair connection. Nat Genet. 2005;37:921-2.
Yamaguchi H, Calado RT, Ly H, Kajigaya S, Baerlocher GM, Chanock
SJ. et al. Mutation in TERT, the gene for telomerase reverse
transcriptase, in aplastic anemia. N Engl J Med.
2005;352(14):1413-24.
Young NS. The pathophysiology of acquired aplastic anemia. N
Engl J Med. 1997;336(19):1365-72.
Young NS. Acquired aplastic anemia. Ann Intern Med. 2002;136:5346.

ANEMIA DEFISIENSI BESI


IMade Bakta, Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda

PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul
akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis,
karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang. ADB ditandai oleh anemia hipokromikmilcrositer
dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi
kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat
penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem
retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi
masih normal. Pada anemia sideroblastikpenyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang karena gangguan
mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi ke dalam
heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini
digolongkan sebagai anemia dengan gangguan
metabolisme besi.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling
sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau
negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat
dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih
dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak
kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial
yang cukup serius.

sebagian besar besi berasal dari sumber nabati, tetapi


perangkat absorbsi besi tidak mengalami evolusi yang
sama, sehingga banyak menimbulkan defisiensi besi.

KOMPARTEMENBESl DALAM TllBllH


Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh
berupa: (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang
membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2)
besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila
masukan besi berkurang; (3) besi transport, besi yang
berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk
mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen
lainnya.
Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk
logam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan
protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan,
mempunyai sifat seperti radikal bebas. Dalam keadaan
normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi
50 mg/kgBB, sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mgl
kgBB. Tabel 1 menggambarkan komposisi besi pada
seorang laki-laki dengan berat badan 75 kg. Jurnlah besi
pada perempuan pada umurnnya lebih kecil oleh karena
massa tubuh yang juga lebih kecil.

METABOLISME BESl
Besi merupakan trace element vital yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin,
mioglobin dan berbagai enzirn. Besi di darn terdapat dalam
jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat
penyerapan besi dalam usus, maka sejak awal manusia
dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber
hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah di mana

Senyawa besi fungsional

B
C

Senyawa besi transportasi


Senyawa besi cadangan
Total

Hemoglobin
Mioglobin
Enzim-enzim
Transferin
Feritin
Hemosiderin

2300 rng
320 mg
80 mg
3 mg
700 mg
300 mg
3803 mg

metabolisme tembaga), kemudian besi (feri) diikat oleh


apotransferin dalam kapiler usus.
Besi heme diabsorbsi melalui proses yang berbeda
yang mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Besi
heme dioksidasi menjadi hernin, yang kemudian diabsorbsi
secara intak (utuh) diperkirakan melalui suatu reseptor.
Absorbsi besi heme jauh lebih efisien dibandingkan
dengan besi non-heme. Besar kecilnya besi yang ditahan
dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh
"set point" yang sudah diset saat enterosit berada pada
dasar kripta Lieberkuhn, kemudian pada waktu pematangan
bermigrasi ke arah puncak vili sehingga siap sebagai sel
absorptif.
Dikenal adanya mucosal block, suatu fenomena di
mana setelah beberapa hari dari suatu bolus besi dalam
diet, maka enterosit resisten terhadap absorbsi besi
berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena
akumulasi besi dalam enterosit sehingga menyebabkan
set-point diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah
berlebihan.

Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari


makanan. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam
tubuh diperlukan proses absorbsi. Absorbsi besi paling
banyak terjadi pada bagian proksimal duodenum
disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan
protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada
epitel usus. Proses absorbsi besi dibagi menjadi 3 fase:
FaseLurninal: besi dalarn makanan diolah dalam larnbung
kemudian siap diserap di duodenum.
Fase Mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus
yang merupakan suatu proses aktif.
Fase Korporeal: meliputi proses transportasi besi dalam
sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, dan
penyimpanan besi (storage) oleh tubuh.

Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu:
Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tingkat
absorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat
sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi.
Besi hon-heme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan,
tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan
pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya
rendah.
Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorbsi besi
adalah "meat factors" dan vitamin C, sedangkan yang
tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, phytat
dan serat (fibre).Dalam lambung karena pengaruh asam
lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan
senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk
feri ke fero yang siap untuk diserap.
Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa
duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi
secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan
terkendali (carefully regulated).Besi dipertahankan dalam
keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Sel absorptif
terletak pada puncak dari vili usus (apical cell). Pada brush
border dari sel absortif, besi feri dikonversi menjadi besi
fero oleh enzim ferireduktase, mungkin dimediasi oleh
protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor
melalui membran difasilitasi oleh divalent metal
transporter (DMT 1, disebut juga sebagai Nramp
2). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan
dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui
basolateral transporter (ferroprotin disebut juga sebagai
IREG 1) ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi reduksi
dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh
hephaestin, yang identik dengan seruloplasmin pada

I
I

Permukaan Apikal

Permukaan Basolateral

I
1

DMT 1 = divalentmetal transporter 1


DCYTB = duodenal wtochrome b like protei n
Gambar 1. Proses absorpsi besi pada permukaan duodenum

1129

ANEMIA DEFISIENSIBESI

FASE KORPOREAL
Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati
bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian
dalarn darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin.
Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui
proses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat
maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada
transferin (Fez-Tf) akan diikat oleh reseptor transferin
(transferrin receptors = Tfr) yang terdapat pada
permukaan sel, terutama sel normoblas. Kompleks Fez-TfTfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi
oleh klatrin (clathrin-coatedpit), cekungan ini mengalami
invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa
proton menurunkan pH dalam endosom, menyebabkan
perubahan konformasional dalam protein sehingga
melepaskan ikatan besi dengan transferin. Besi dalam
endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan
DMT1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor
transferin mengalarni siklus kembali ke permukaan sel dan
dapat dipergunakan kembali.

MEKANISME REGULASI ABSORBSI BESl


Terdapat 3 mekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus :
Regulator dietetik. Absorbsi besi dipengamhi oleh jenis
diet dimana besi terdapat. Diet dengan biovailabilitas tinggi
yaitu besi heme, besi dari surnber hewani, serta adanya faktor
enhancer akan meningkatkan absorbsi besi. ~edangkanbesi
dengan bioavaibilitas rendah adalah besi non-heme, besi
yang berasal dari surnber nabati dan banyak mengandung
inhibitor akan disertai prosentase absopsi besi yag rendah.
Padadietary regulator ini juga dikenal adanya mucosal block,
seperti yang telah diuraikan di depan.
Regulator simpanan. Penyerapan besi diatur melalui
besarnya cadangan besi dalam tubuh. Penyerapan besi
rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila
cadangan besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan.
Bagaimana mekanisme regulasi ini bekeja belum diketahui
dengan pasti. Diperkirakan melalui crypt-cell
programming sehubungan dengan respon saturasi
transferin plasma dengan besi.
Regulator eritropietik. Besar absorbsi besi berhubungan
kecepatan eritropoesis. Erythropoietic regulator
mempunyai kemarnpuan regulasi absorbsi besi lebih tinggi
dibandingkan dengan stores regulator. Mekanisme
erythropaietic regulator ini belum diketahui dengan pasti.
Eritropoesis inefektif (peningkatan eritropoesis tetapi
disertai penghancuran prekursor eritrosit dalam sumsum
tulang), seperti misalnya pada thalassemia atau
hemoglobinopati lainnya, disertai peningkatan absorbsi
besi lebih besar dibandingkan dengan peningkatan
eritropoesis akibat destruksi eritrosit di darah tepi, seperti

misalnya pada anemia hemolitik autoimun. Oleh karena itu


hemokromatosis sekunder jauh lebih sering pada keadaan
pertama dibandingkan dengan keadaan kedua. Akhir-akhir
ini ditemukan suatu peptida hormonal kecil yaitu hepcidin
yang diperkirakan mempunyai peran sebagai soluble
regulator absorbsi besi dalam usus.

SIKLUS BESl DALAM TUBUH


Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang
tertutup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus,
sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi
yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg,
ekskresi besi tejadi dalam jumlah yang sama melalui
eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin
akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari
makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22 mg untukdapat
memenuhi kebutuhan eritropoesissebanyak 24 mg per hari.
Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar
melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi
sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena
terjadinya eritropoesis inefektif (hemolisis intramedular).
Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah
mengalarni proses penuaan juga akan dikembalikan pada
makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg. Sehingga dengan
demikian dapat dilihat suatu lingkaran tertutup (closed
circuit) yang sangat efisien, seperti yang dilukiskan pada
Gambar 2.

o-[
darah

--

Gambar 2. Skema siklus pertukaran besi dalam tubuh

KLASlFlKASl DERAJAT DEFlSlENSl BESl


Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh
maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:

Deplesi besi (iron depleted state): cadangan besi menurun


tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu
Eritropoesisdefisiensibesi (iron dejkient erythropoiesis):
cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis
terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai
anemia defisiensi besi.

PREVALENSI
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang
paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat.
ADB merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di
negara berkembang. Dari berbagai data yang dikumpulkan
sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia
defisiensi besi seperti tertera pada Tabel 2.

Laki dewasa
Wanita tak
harnil
Wanita harnil

Afrika

Arnerika Latin

Indonesia

6%
20%

3%
17-21%

16 - 50%
25 - 48%

60%

39 - 46%

46 92%

Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi ADB


di Indonesia.Martoatmojo et al memperkirakanADB pada
laki-laki 16-50% dan 25-84% pada perempuan tidak hamil.
Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan
prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh
karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu
desa di Bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar
27%.
Perempuan hamil merupakan segmen penduduk
yang paling rentan pada ADB. Di India, Amerika Latin
dan Filipina prevalensi ADB pada perempuan hamil
berkisar antara 35% sampai 99%. Sedangkan di Bali, pada
suatu pengunjung puskesmas didapatkan prevalens
anemia sebesar 50% dengan 75% anemia disebabkan
oleh defisiensi besi. Dalam suatu survei pada 42 desa di
Bali yang melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan
prevalens ADB sebesar 46%, sebagian besar derajat
anemia ialah ringan. Faktor risiko yang dijumpai adalah
tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum
pi1 besi.
Di Amerika Serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES
111) tahun 1988 sampai tahun 1994, defisiensi besi
dijumpai kurang dari I % pada laki dewasa yang berumur
kurang dari 50 tahun, 2-4% pada laki dewasa yang
berumur lebih dari 50 tahun, 9-1 1% pada perempuan
masa reproduksi, dan 5-7% pada perempuan
pascamenopause.

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena


rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi, serta
kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun
dapat berasal dari:
- saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian
salisilat atau NSAID, kanker lambung, kanker kolon,
divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing
tarnbang.
- saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau
metrorhagia.
- saluran kermh: hematuria
- saluran napas: hemoptoe.
Faktor nutrisi: akibat kurangnyajumlah besi total dalam
makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang
tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C,
dan rendah daging).
Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas,
anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue
atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di
klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor
nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai
penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada
laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik
paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan
pada perempuan dalarn masa reproduksi paling sering karena
meno-metrorhagia.
Terdapat perbedaan pola etiologi ADB di masyarakat
atau di lapangan dengan ADB di rumah s&t atau praktek
klinik. ADB di lapangan pada umumnya disertai anemia
ringan atau sedang, sedangkan di klinik ADB pada
umurnnya disertai anemia derajat berat. Lfi lapangan faktor
nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan.
Bakta, pada penelitian di Desa Jagapati, Bali, mendapatkan
bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya
pada sekitar 30% kasus, faktor nutrisi rnungkin berperan
pada sebagian besar kasus, terutama pada anemia derajat
ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, seperti misalnya
pada praktek swasta, ternyata perdarahan kronik
memegang peran penting, pada laki-lakiialah infeksi cacing
tambang (54%) dan hemoroid (27%), sedangkan pada
perempuan menorhagia (33%), hemoroid dan cacing
tambang masing-masing 17%.

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi


sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan
besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau

ANEMIA DELlSW S l BESI

negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh


penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi
dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang
negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka
cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis
belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai : iron deficient
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang
dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin
atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menuiun dan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik
ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila
jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin
terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun,
akibatnya tirnbul anemia hipokromik mikrositer, disebut
sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi
kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim
yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut
dan faring serta berbagai gejala lainnya.

PERUBAHAN FUNGSIONAL NON-ANEMIA PADA


DEFlSlENSl BESl
Di samping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen
pcnting dari mioglobin dan berbagai ensim yang
dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transpor
elektron. Oleh karena itu defisiensi besi di samping
menimbulkan anemia, juga akan menimbulkan berbagai
dampak negatif, seperti misalnya pada (1) sistem
neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas
kerja; (2) gangguan terhadap proses mental dan
kecerdasan; (3) gangguan imunitas dan ketahanan
terhadap infeksi; (3) gangguan terhadap ibu hamil dan janin
yang dikandungnya. Gangguan ini dapat timbul pada
anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifes.
Defisiensi besi menimbulkan penurunan fungsi
mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat oksidase,
~nenyebabkangangguan glikolisis yang berakibat
penumpukan asam laktat sehingga mempercepat kelelahan
otot. Defisiensi besi terbukti menurunkan kesegaran
jasmani, sedangkan pada buruh pemetik teh terhukti
menurunkan produktivitas keja. Dampak negatif ini dapat
dihilangkan jika diberikan preparat besi.
Defisiensi besi menimbulkan gangguan perkembangan
kognitif dan non-kognitif pada anak clan bayi sehingga dapat
menurunkan kapasitas belajar. Hal ini diperkirakan karena
gangguan pada enzim aldehid oksidase yang menyebabkan
penumpukan serotonin, serta enzim monoaminooksidase
yang menyebabkan penumpukan katekolamin dalam otak.
Pengaruh defisiensi besi terhadap infeksi masih
kontroversial. Ada yang berpendapat bahwa defisiensi

besi menyebabkan berkurangnya penyediaan besi pada


bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang
berakibat pada ketahanan terhadap infeksi: Di pihak lain
besi dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan enzim
mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas
selular.
Defisiensi besi dihubungkan dengan risiko prematuritas
serta morbiditas dan mortalitas fetomaternal. Ibu hamil
yang menderita anemia disertai peningkatan angka
kematian maternal, iebih mudah terkena infeksi dan sering
mengalami gangguan partus.

GEJALA ANEMIA DEFlSlENSl BESl


Gejala anemiadefisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3
golongan besar, yaitu: Gejala umum anemia, gejala khas
akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.

Gejala Umum Anemia


Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom
anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi
besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 gldl.
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada
anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma
anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan
anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi
lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh
dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik
jika hemoglobin telah turun di bawah 7 gldl. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama
pada konyungtiva dan jaringan di bawah kuku.
Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak
dijumpai pada anemia jenis lain adalah:
koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi
rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung
sehingga mirip seperti sendok (Gambar 3)
atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan
pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak
berwarna pucat keputihan
disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel
hipofaring
atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim,
seperti: tanah liat, es, lem, dan lain-lain.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom
Paterson Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari

anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan


disfagia.

Gejala Penyakit Dasar


Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala
penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi
tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing
tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan
kylit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada
anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon
dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang besar atau
gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.

eritrosit. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan


sebelum kadar henloglobin menurun.
Hapusan darah tepi (Gambar 4) menunjukkan anemia
hipokromik mikrositer, anisositosis, dan poikilositosis.
Malun berat derajat anemia makin berat derajat hipokromia.
Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus
dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika
terjadi hipokromia dan mikrositosis esktrim, maka sel
tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin
(ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai
sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang
dijumpai sel target.
Leukosit dan trombosit pada umurnnya normal. Tetapi
granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang
berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang
dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada
ADB dengan episode perdarahan akut.

Gambar 3. Kuku sendok (koilonychia) pada jari tangan seorang


pasien anemia defisiensi besi.

Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi


yang dapat dijumpai adalah:
Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit: didapatkan
anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar
hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCVdan MCH
menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia
defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada
defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama.
Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi.
Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW
(red cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan
RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan
anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada
kedua jenis anemia ini hasilnya sering tumpang tindih.
Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka
< 80 fl, tetapi pada penelitian kasus ADB di Bagian Penyakit
Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah
< 78 fl memberi sensitivitas dan spesifisitas paling baik.
Dijumpai juga bahwa penggabungan MCV, MCH, MCHC
danb RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks

Gambar 4. Hapusan darah tepi pasien anemia defisiensi besi,


menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis(A). Tampak beberapa sel pensil (panah), bandingkan
dengan hapusan darah tepi normal di sebelahnya (B).

Konsentrasi Besi Serum Menurun pada ADB, dan TIBC


(total iron binding capacity) Meningkat. TIBC
menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap
besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi
serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria
diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50 ygldl, total
iron binding capacity (TIBC) meningkat > 350 ygldl, dan
saturasi transferin < 15%.Ada juga yang memakai saturasi
transferin < 16%, atau < 18%. Hams diingat bahwa besi
serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar,
dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi.
Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang
Sangat Baik, Kecuali pada Keadaan Inflamasi dan
Keganasan Tertentu. Titik pemilah (cut off point) untuk
feritin serum pada ADB dipakai angka < 12 ygn, tetapi ada
juga yang memakai < 15 ygn. Untuk daerah tropik di mana

ANEMIA DELlSlENSl BESl

angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang


diajukan di negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi. Pada
suatu penelitian pada pasien anemia di rumah salut di Bali
pemakaian feritin serum < 12 pg/l dan < 20 pgfl memberikan
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98%
serta 68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi (84%) justru
dicapai pada pemakaian feritin serum < 40 mg/l, tanpa
mengurangi spesifitas terlalu banyak (92%). Hercberg
untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin
serum < 20 mgA sebagai kriteria diagnosisADB. Jika terdapat
infeksi atau inflamasi yang jelas sepel-ti arthritis rematoid,
maka feritin serum sampai dengan 50-60 pg/l masih dapat
menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum
merupakan pemeriksaan laboratoriumuntuk diagnosis IDA
yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di
khnik rnaupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis,
meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal
tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi,
tetapi feritin serum di atas 100 mg/dl dapat memastikan
tidak adanya defisiensi besi.
Pro:oprErin merupakan bahan antara pada pembentukan
heme. Apabila sintesis heme terganggu, rnisalnya karena
defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalarn
eritrosit.Angka normal adalah kurang dari 30 rngldl. Untuk
defisiensi besi protoporfirin bebas adalah lebih dari 100
mgldl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia
akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam.
Kadar reseptor transferin dalam serum meningkat pada
defisiensi besi. Kadar normal dengan cam imunologi adalah
4-9pgL. Pengukuran reseptor transferin terutama dipakai
untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit
kronik. Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio reseptor
transferin dengan log feritin serum. Rasio >1,5 menunjukkan
ADB dan rasio <1,5 sangat mungkin karena anemia akibat
penyakit kronik.

Sumsum tulang menunjukkanhiperplasianormoblastik


ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil.
Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas
ini disebut sebagai micronormoblast.
Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's
stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir
hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-60%
normoblast mengandung granula feritin dalam
sitoplasrnanya, disebut sebagai sideroblas. Pada defisiensi
besi maka sideroblast negatif. Di Minik, pengecatan besi
pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold
standard) diagnosis defisiensi besi, narnun akhir-akhir ini
perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin
serum yang lebih praktis.
Studi ferokinetik. Studi tentang pergerakan besi pada
siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif. Ada dua
jenis studi ferokinetik yaitu plasma iron transport rate
(PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma,

dan erythrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur


pergerakan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah
yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak
banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penelitian.
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab
anemia defisiensibesi.Antara lain pemeriksaan feses untuk
cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz,
pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium
intake atau barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari
dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.

DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi hams
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti
disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan
adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
hematokrit. Cut oflpoint anemia tergantung kriteria yang
dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap
kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi,
sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari
defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis
anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat
dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi
dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:
Anemia hipokromik rnikrositer pada hapusan darah tepi,
atau MCV <80 fl dan MCHC <3 1% dengan salah satu dari
a, b, c, atau d.
-. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
- Besi serum <50 mg/dl
- TIBC >350 mgldl
- Saturasi transferin: <15%, atau
Feritin serum <20 mg~l,atau
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's
stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir
hemosiderin) negatif, atau
Dengan pemberian sulfas {erosus 3 x 200 mglhari (atau
preparat besi lain yang setara) selarna4 minggu disertai
kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang
menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap ini sering
merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai
jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang sangat
penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan
yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang
baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.
Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari
sumber perdarahan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi

DIAGNOSIS DIEFERENSIAL

anamnesis tentang menstruasi sangat penting, kalau perlu


dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa
di Indonesia dilakukan perneriksaan feses untuk lnencari
telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukan
pemeriksaan hapusan langsung (rlir-ecr smear dengan
eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi
kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk
menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan
tidaklah serta merta dapat dianggap sebagai penyebab
utarna ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis
cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan
telur per gram feses (TPG) atau eggper.grarnfaeces (EPG)
>2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki. Dalam
suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang
nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan
cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih
lemah pada perempuan.
Anemia akibat cacing tambang (hooku~ormanemia)
adalah anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh
karena infeksi cacing tambang berat (TPG 2000). Anemia akibat cacing tambang sering disertai pernbengkakan
parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda
defisiensi besi yang disertai adanya eosinofilia. Pada
suatu penelitian di Bali, anemia akibar cacing tambang
dijumpai pada 3,3% pasien infeksi cacing tarnbang
atau 12,2% dari 123 kasus anemia defisiensi besi yang
dijumpai.
Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat
dilakukan tes darah sarnar (occult blood test) pada feses,
dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran
cerna atas atau bawah.

Anemia
Defisiensi Besi

Derajat
anemia
MCV
MCH
Besi serum

Ringan sampai
berat
Menurun
Menurun
Menurun
< 30
Meningkat >360
Menurun < 15%

Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia


hipokrolnik lainnya seperti: anemia akibat penyakit kronik,
thalassemia, anemia sideroblastik. Cara membedakan
keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana


pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi
adalah:
a. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan.
Misalnya pengobatan cacing tarnbang, pengobatan
hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal hams
dilakukan, kalau tidak rnaka anemia akan karnbuh kembali
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan
besi dalam tubuh (iron replacetnetz therapy):
Terapi Besi Oral.Terapi besi oral merupakan terapi pilihan
pertama oleh karena efektif, ~nurahdan aman. Preparat yang
tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus) mempakan
preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi
efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg
sulfas ferosus rnengandung 66 mg besi elemental.
Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg mengakibatkan
absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan
eritropoesis dua sampai tiga kali normal.
Preparat lain: ferrous gluconate. ferrous ,furnurat,
ferrous lactate dan ferrous succirznte. Sediaan ini harganya
lebih rnahal, tetapi efektivitas dan efek saniping hampir
sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan

Anemia Akibat
Penyakit Kronik

Trait
Thalassemia

MenurunlN
MenurunlN
Menurun < 50

Menurun
Menurun
Normal1 t

Menurun ~ 3 0 0
MenurunlN 10-20%

Negatif

Positif

Normal / d,
Meningkat
> 20%
Positif kuat

Meningkat

Meningkat

Normal

Feritin serum

Merlurun <20 ygll

Normal 20-200 ygll

Elektrofoesis
Hb.

Meningkat >50
IJClIl
Hb. A2
meningkat

Saturasi
transferin
Besi sumsum
tulang
Protoporfirin
eritrosit

Anemia
Sideroblastik

Ringan
sampai berat
MenurunIN
MenurunlN
Normal,! ?
Normal! d
Meningkat
>20%
Positif dgn ring
sideroblast
Normal
Meningkat
>50 ygll
N

ANJBUA DEFISIENSIBESI

enteric coated yang dianggap memberikan efek samping


lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi.
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung
kosong, tetapi efek samping lebih sering dibandingkan
dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang
mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat
makan atau setelah makan.
Efek samping utama besi per oral adalah gangguan
gastrointestinal yang dijumpai pada 15 sampai 20%, yang
sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat
berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi
efek samping besi diberikan saat makan atau dosis
dikurangi menjadi 3 x 100 mg.
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga
yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar
hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh.
Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100sampai 200
mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering
kambuh kembali.
Untukmeningkatkan penyerapan besi dapat diberikan
preparat vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping
terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak
mengandung hati dan daging yang banyak mengandung
besi.
Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat efektif
tetapi mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih
mahal: Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya
diberikan atas indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi
parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap pemberian besi
oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah;
(3) gaegguan pencernaan seperti kolitis. ulseratif yang
dapat kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besi
terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi; (5) keadaan
di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak
cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti
misalnya pada hereditar?, hemorrhagic teleangiectasia;
(6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti
pada kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi; (7)
defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian
eritropoetin pada anemia gaga1 ginjal kronik atau anemia
akibat penyakit kronik.
'
Preparat yang tersedia ialah 'iron dextran complex
(mengandung 5 0 mg besilml), iron sorbitol citric acid
complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate
dan iron sucrose yang lebih amafl. Besi parenteral dapat
diberikan secara intramuskular dalam atau intravena
pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa
nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek
samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis,
m&kipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis,
sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan
sinkop.
Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan
kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai

1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui


rumus di buwah ini:
Kebutuhan besi (mg)

= (15-Hbsekarang) x BB x
atau 1000 mg

2,4

+ 500

Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan


dalam beberapa kali pemberian.
c. Pengobatan lain
diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi
protein terutama yang berasal dari protein hewani
vitamin c: vitamin c diberikan 3 x 100mg per hari untuk
meningkatkan absorposi besi
transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi
darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia
kekurangan besi adalah:
- Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman
payah jantung
- Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia
dengan gejala pusing yang sangat menyolok
- Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin
yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir
atau preoperasi.
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red
cell) untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai
premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid
intravena.
Respons Terhadap Terapi

Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien


dinyatakan memberikan respons baik bila retikulosit naik
pada minggu pertama. mencapai puncak pada hari ke-10
dan normal lagi setelah hari ke14, diikuti kenaikan Hb 0,15
glhari atau 2 g/dl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi
normal setelah 4- 10 minggu.
Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu
dipikirkan:
Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum.
Dosis besi kurang
Masih ada perdarahan cukup banyak
Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik,
.
keradangan menahun atau pada saat yang sama ada
defisiensi asam folat
Diagnosis defisiensi besi salah.
Jika dijulnpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali
dan ambil tindakan yang tepat.

PENCEGAHAN
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di
masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan
yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat

berupa:
Pendidikan kesehatan:
- kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian
jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya
pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah
penyakit cacing tambang
- penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi
makanan yang membantu absorbsi besi
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber
perdarahan kronik paling yang sering dijumpai di daerah
tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat
dilakukan dengan pengobatan masal dengan
anthelmentik dan perbaikan sanitasi.
Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada
segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan
anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan
harnil dan anak balita memakai pi1 besi dan folat.
Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu
mencampurkan besi pada bahan makan. Di negara Barat
dilakukan dengan mecampur tepung untuk roti atau
bubuk susu dengan besi.

Adamson JW. Iron Deficiency and others Hypoproliverative Anemias. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL (editors). Harrison's Principle of Internal Medicine. 15Ih edition. ~ e York:
w
McGraw Hill, 2001. p. 491-762.
Andrews NC. Iron Deficiency and Related Disorders. In: Greer GM,
Paraskevas F, Glader B (editors). Wintrobe's Clinical Hematology. Illh edition. Philadelphia: Lippincot, Williams, Wilkins,
2004. p 947-1009.
Andrews NC. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med
1999;341:1986-1995.
Baker WF. Iron Deficiency in Pregnancy, Obstetrics, and
Gynecology. Hematol/Oncol Clin N Amer 2000;14(2).
Bakta IM. Hematologi Ringkas. Denpasar : UPT Penerbit
Universitas Udayana, 2001.
Bakta IM. Infeksi Cacing Tambang pada Orang Dewasa dan Perannya
sebagai salah satu Penyebab Anemia Defisiensi Besi: studi
imunoepidemiologik di desa Jagapati, Bali (Disertasi).
Surabaya:Universitas Airlangga, 1993.
Bakta IM. Lila IN. Widjana DP & Sutisna P. Anemia dan anemia
defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan,
Kabupaten Tabanan Bali. Yogyakarta : Naskah Lengkap
KOPAPDI VIII, 1990.
Bakta IM. Aspek epidemiologi anemia defisiensi besi. Acta Medica
Indonesiana 1993;XXV:1054-1073.
Bakta IM. Anemia defisiensi besi pada penduduk dewasa desa Jagapati,
Bali. Acta Medica Indonesiana 1993;XXV: 123 1-1244.
Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah
Kedokteran Indonesia 1989; 39: 504-506.
Bakta IM. Anemia Defisiensi Besi pada Praktek Swasta seorang
Spesialis Penyakit Dalam di Denpasar. Majalah Kedokteran
Udayana 1996;27: 112-1 18.
Bakta IM, Budhianto FX. Hookworm anemia in the adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop

Med Public Health 1994;25: 459-463.


Bakta IM. The role of hookworm infection as an etiologic factor of
iron deficiency anemia in Bali (Indonesia): an intervention study.
Proceedings of VIIlth Congress of Asian Pacific Division International Society of Hematology. Brisbane 15-18 October 1995.
Bakta IM, Wijana DP, Sutisna IP. Hookworm infection and iron
stores: a survey in a rural community in Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1993;25: 501.
Bakta IM. The relationship between hookworm infection and iron
stores: a study in adult population of Jagapati Village, Bali,
Indonesia. International Journal of Hematology 1996; 64(Suppl
1): S33
Brittenham GM. Disorders of Iron Metabolism: Iron Deficiency
and Overload. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie B, Cohen
HJ, Silberstein LE, McGlove P (editors). Hematology: Basic
Principles and Practice. 3rd edition. New York: Churchill
Livingstone, 2000. p 367-382.
Conrad ME. Iron Deficiency Anemia. eMedicine Journal, Vol 3, No
2, February 19,2002.
DeMaeyer EM. Preventing and Controlling Deficiency Anemia
Through Primary Health Care. Geneva: WHO; 1989.
Fairbanks VF, Beutler E . Iron Deficiency. In: Beutler E, Coller BS,
Lichtman MA, Kipps TJ (editors). Williams Hematology. 6Ih
edition. New York: McGraw Hill,. 2001. p 447 - 470.
Fleming RE, Sly WS. Hepcidin: a putative iron-regulatory hormone
relevant to hereditary hemochromatosis and the anemia of
chronic disease. PNAS 2001;98:6160-8162.
Frewin R, Henson A, Provan D. ABC of Clinical Haematology: Iron
Deficiency Anaemia. BMJ. 1997;3 14:360.
Goddard AF, McIntyre AS, Scott BB. Guidelines for the management
of iron deficiency anaemia. Gut 2000; 46(Suppl 1V):ivl-iv5.
Hercberg S. Iron and Folat Deficiency Anaemias. International Child
Health 1991; 11:44-60.
Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential Haematology. 4Ih
edition. Oxford: Blackwell Science, 2001.
Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD. Postgraduate
Haematology. 4Ih edition. 0xford:Butterworth Heineman, 1999.
Hillman RS, Ault KA. Hematology in Clinical Practice: A Guide to
Diagnosis and Management. 3rd edition. New York: McGraw
Hill, 2002.
Kandarini Y. Pemeriksaan indeks eritrosit sebagai uji saring
diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar:
Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam F K
Universitas UdayanaJRS Sanglah, 2003
Kerlin P, Reiner R, Davies M, Sage RE, Grant AK. Iron Deficiency
Anemia - A Prospective Study. Aust NZ Med J 1979;9:402-407.
Mast AE, Blinder MA, Gronowski AM, Chumley C, Scott MG.
Clinical utility of the soluble transfemn receptor and comparison with serum ferritin in several populations. Clin Chemistry
1998;44:45-5 1.
Martoatmojo S, Abunain D, Muhilal, Enoch M, Sastroamidjojo S.
Masalah anemia gizi pada perempuan hamil dan hubungannya
dengan pola konsumsi makanan. Penelitian Gizi dan Makanan
1973;3:22-41
Schmaier AH, Ptruzzelli KM. Hematology for Medical Student.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003.
Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-I. Indian J Med Sci 2004;58:7981.
Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-11. Indian J Med Sci
2004;58:134-137.
Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-111. Indian J Med Sci
2004;58:214-216.

Suega K, Dharmayuda TG Sutarga M, Bakta IM.Iron deficiency in


pregnant women in Baii, Indonesia: a profile of risk factors and
epidemiology. Southeast Asian J Trop Med Public Health
2002;33:604-607.
Somayana G. Pemeriksaan feritin serum sebagai sarana diagnosis
anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Denpasar:
Program Pendidikan Spesialis llmu Penyakit Dalam FK
Universitas UdayanaIRS Sanglah, 2005.
WHO Technical Report Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva:
WHO; 1968.

ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS


Iman Supandiman, Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman

PENDAHULUAN
Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau
inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya
ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan
berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis.
Cartwright dan Wintrobe melaporkan bahwa pada tahun
1842, peneliti-peneliti di Perancis telah menemukan adanya
massa eritrosit yang lebih rendah pada penderita tifoid
dan cacar dibandingkan dengan orang normal. Diketahui
di kemudian hari bahwa penyakit infeksi seperti
pneumonia, sifilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit lain
seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker
sering disertai anemia dan disebut sebagai anemia pada
penyakit kronis.
Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai
oleh kadar Hb berkisar 7- 11 gtdL, kadar Fe serum menurun
disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di
jaringan serta produksi sel darah merah berkurang.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Laporantdata penyakit tuberkulosis, abses paru,
endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi
jamur kronis serta HIV membuktikan bahwa hampir semua
infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Derajat
anemia sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti
demam, penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk
terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah
infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan
antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb
menjadi stabil.
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama
seperti pada infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi
yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan aruitis

reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis


regional, kolitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya
juga dapat disertai anemia pada penyakit kronis.
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker,
walaupun masih dalam stadium dini dan asirntomatik, seperti
pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut
dengan anemia pada kanker (cancer-related anemia).
-

a. Pemendekan Masa Hidup Eritrosit


Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari
sindrom stres hematologik (haematological stress
syndrome), di mana terjadi produksi sitokin yang
berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi,
inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan
sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat
besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan
produksi eritropoietin oleh ginjal, serta menyebabkan
perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis d i
sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat
menyebabkan penurunan transformasi T 4 (tetraiodothyronine) menjadi T 3 (tri-iodothyronine),
menyebabkan hipotiroid fungsional di mana terjadi
penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut 0 2 sehingga
sintesis eritropoietin-pun akhirnya berkurang.
b. Penghancuran Eritrosit
Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup
eritrosit memendek pada sekitar 20-30% pasien. Defek ini
terjadi di ekstrakorpuskular, karena bila eritrosit pasien
ditranfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup
normal.Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan
peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan
sebagai bagian dari filter limpa (compvlsive screening),
menjadi kurang toleran terhadap perubahankerusakan
minor dari eritrosit.

AW.MlA PADA PENYAKIT KRONIS

c. Produksi Eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah
meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya
gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal
ini memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh
penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Penelitian
akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu mungkin
lebih penting untuk diagnosis daripada untuk patogenesis
anemia tersebut (Tabel 1).

Fe plasma (rng/~)
TlBC
Persen saturasi
Kandungan Fe di
makrofag
Feritin serum
Reseptor
transferin serum

Normal

Anemia
Defisiensi
Fe

Anemia
Penyakit
Kronis

70-90
250-400
30

30
>450
7

30
<ZOO
15

20-200
8-28

10
228

150
8-28

++

+++

TIBC-total iron binding capacity

Pengukuran kecepatan penyerapan zat besi oleh


saluran cerna pada beberapa kasus dengan kelainan kronis
memberikan hasil yang sangat bervariasi, sehingga tidak
dapat disimpulkan. Pada umumnya memang terdapat
gangguan absorbsi, walaupun ringan. Ambilan zat besi ke
sel-sel usus dan pengikatan oleh apoferitin intrasel masih
normal, sehingga defek agaknya terjadi saat pembebasan
Fe dari makrofag dan sel-sel hepar pada pasien penyakit
kronis. (kalimat ini dihapus)
Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tulang yang
normal dapat mengkompensasi pemendekan masa hidup
eitrosit, diperlukan stimulus eritropoietin oleh hipoksia
akibat anemia. Pada penyakit kronis, kompensasi yang
terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya
penglepasan atau menurunnya respons terhadap
eritropoietin. Penelitian mengenai penglepasan eritropoietin
menunjukkan hasil yang berbeda-beda; pada beberapa
penelitian kadar eritropoietin tidak berbeda bermakna pada
pasien anemia tanpa kelainanan kronis, sedangkan
penelitian lain menunjukkan penurunan produksi
eritropoietin sebagai respons terhadap anemia sedangberat. Agaknya ha1 ini disebabkan oleh sitokin, seperti
IL-I dan TNF-a yang dikeluarkan oleh sel-sel yang cedera.
Penelitian in vitro pada sel hepatoma menunjukkan bahwa
sitokin-sitokin ini mengurangi sintesis eritropoietin.
Terdapat 3 jenis sitokin yakni TNF-a, IL-1, IFN-y yang
ditemukan dalam plasma pasien dengan penyakit inflamasi
atau kgker, dan terdapat hubungan secara langsung antara
kadar sitokin ini dengan beratnya anemia. TNF-a dihasilkan
oleh makrofag aktif dan bila disuntikan pada tikus

menyebabkan anemia ringan dengan gambaran khas


seperti anemia penyakit kronis. Pada kultur sumsum tulang
manusia ia akan menekan eritropoiesis pada pembentukan
BFU-E dan CFU-E. Penelitian terkini menunjukkan bahwa
efek TNF-a ini nlelalui IFN-y yang diinduksi oleh TNF dari
sel stroma.
IL- l berperan dalarn berbagai manifestasi inflamasi,juga
terdapat dalam serum penderita penyakit kronis. IL-1,
seperti halnya TNF. akan mengind~iksianemia pada tikus
dan menekan pembzntukan CFU-E pada kultur sumsum
tulang manusia.
Kedua interferon tadi diduga dapat langsung
menghambat CFU-E tanpa melalui efek TNF-a, serta dapat
menekan progenitor non-eritroid. Walaupun demikian,
bagaimana peranannya dalam patogenesis anemia secara
pasti belum dapat dijelaskan, kareila masih banyak faktorfaktor lain yang tak terduga yang mungkin berperan
penting dalam patogenesis anemia jenis ini.

GAMBARAN KLlNlS
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan
sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit
dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-1 1 gr/dL umumnya
asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau
debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas
transport 0 2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya
atau memperberat keluhan sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai
konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari
anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari
hasil pemeriksaan laboratorium.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer,
meskipun banyak pasien mempunyai garnbaran hipokrom
dengan MCHC <31 g/dL dan beberapa mempunyai sel
mikrositer dengan MCV <80 fL.Nilai retikulosit absolut
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan
pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung
dari penyakit dasarnya.
Penurunan Fe serum (hipoferemia)merupakan kondisi
sine qua non untuk diagnosis anemia penyakit kronis.
Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau
inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi
protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan
saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi
besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi
dengan meningkatkan transfer Ee dari suatu persediaan
yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid
imatur.

Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi


lebih lambat daripada penurunan kadar Fe serum,
disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12
hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi
metabolik yang berbeda.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

c. Eritropoietin. Data penelitian menunjukkan bahwa


pemberian eritropoietin bermanfaat dan sudah
disepakati untuk diberikan pada pasien anemi akibat
kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid
dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi
beserta efek sampingnya, pemberian eritropoietin
mepunyai beberapa keuntungan, yakni: mempunyai
efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNFa dan interferon-y.Dilain pihak, pemberian eritropoietin
akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta
meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.
Saat ini terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni
eritropoietin alfa, eritropoietin beta dan darbopoietin.
Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas terhadap
reseptor, dan waktu paruhnya sehingga memungkinkan kita
memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus.
Dengan demikian mekanisme terjadinya anemia pada
penyakit kronis merupakan ha1 yang harus dipahami oleh
setiap dokter sebelum memberikan transfusi, preparat besi
maupun eritropoietin.
,

Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi


dan keganasan menderita anemia, anemia tersebut disebut
anemia pada penyakit kronis hanya jika anemia sedang,
selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan
TIBC rendah, kadar besi dalam makrofag dalam sumsum
tulang normal atau meningkat, serta feritin serum yang
meningkat.
Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan
diagnosis banding atau mengaburkan diagnosis anemia
pada penyakit kronis:
1. Anemia dilusional. Pada penyakit kronis terutama pada
keganasan stadium lanjut.
2. Drug-induced marrow suppression atau drug-induced
Izemolysis. Pada penekanan sumsum tulang akibat obat,
kadar besi serum tinggi. Pemeriksaan hitung retikulosit,
haptoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs harus
dilakukan untuk menyingkirkan hemolisis.
3. Perdarahan kronis.
4. Thalasemia minor.
5. Gangguan ginjal. Pada keadaan ini umur eritrosit
memendek dan terdapat kegagalan relatif sumsum tulang.
6. Metastasis pada sumsum tulang.
PENGOBATAN
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah
mengobati penyakit dasarnya. Terdapat beberapa pilihan
dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain:
a Transfusi. Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang
disertai gangguan hemodinamik. Tidak ada batasan yang
pasti pada kadar hemoglobin berapa kita harus memberi
transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa pasien
anemia penyakit kronik yang terkena infark miokard,
transfusi dapat menurunkan angka kematian secara
bermakna. Demikian juga pada pasien anemia akibat
kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 gr1dL.
h Preparat besi. Pemberian preparat besi pada anemia
penyakit kronis masih terus dalam perdebatan. Sebagian
pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan
Alasan lain,
besi dapat mencegah pembentukan TNF-a.
pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat
besi terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin.
Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini
pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan
untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.

Erslev AJ. Anemia of chronic disease. In: Beutler E, Lichtman MA.


Coller BS,Kipps TJ, Seligsohn U, eds. Williams Hematology 6Ih
ed. New-York: McGraw-Hill Medical publishing division 2001;
41:481-7.
Gasche C, Waldhoer T, Feichtenschlager T, et al. Prediction of
response to iron sucrose in inflammatory bowel diseaseassociated associated anemia. Am J Gastroenterol.
200 1 ;96:2382-7.
Henke M, Laszig R, Rube C, et al. Erythropoietin to treat head and
neck cancer patients with anaemia undergoing radiotherapy:
randomised, double-blind, placebocontrolled trial. Lancet.
2003;362: 1255-60.
Leyland-Jones B. Breast cancer trial with erythropoietin
terminated unexpectedly. Lancet Oncol. 2003;4:459-60.
Papadaki HA, Kritikos HD, Valatas V et al. Anemia of chronic
disease in rheumatoid arthritis is associated with increased
apoptosis of bone marrow erythroid cells: improvement following anti-tumor necrosis factor-alpha antibody therapy. Blood.
2002; 100:474-82.
Spivak JL. Iron and the anemia of chronic disease. Oncology
(hunting). 2002;16:Supp110:25-33.
Stenvinkel P. The role of inflammation in the anaemia of end-stage
renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2001;16:Supp17:36-40.
Tilg H, Ulmer H, Kaser A, Weiss G. Role of IL-I0 for induction of
anemia during inf1ammation.J Immunol. 2002;169:2204-9.
Wilson A, Reyes E, Ofman J. Prevalence and outcomes of anemia in
inflammatory bowel disease: a systematic review of the
literature. Am J Med. 2004;116:Supp17A:S44-S9.
Weiss G Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med.
2005;352(10):1011-23.
Weiss G. Pathogenesis and treatment qf anaemia of chronic disease.
Blood Rev. 2002;16:87-96.
Wstenfelder C, Baranowski RL. Erythropoietin stimulates
proliferation of human renal carcinoma cells. Kidney Int.
2000;58: 647-57.
'

'

ANEMIA MEGALOBLASTIK
Soenarto

PENDAHULUAN
Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang
disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh
sel megaloblastik. Kriteria anemia dan defisiensi gizi
menurut WHO 1972 sebagai berikut:
Dinyatakan Anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada
ketinggian permukaan laut lebih rendah dari nilai pada
golongan umur yang ada yaitu :
Anak umur 6 bulan - 6 tahun : 11 g/100 ml
: 12g/100ml
6 tahun - 14 tahun
: 13 grJ100 ml
Pria dewasa
Perempuan dewasa tak hamil : 12gr/100 ml
: 11gr1100ml
Perempuan dewasa hamil
Untuk anemia gizi, selain kadar Hb ditambah tolok ukur
kadar besi, asam Folat dan vitamin B 12.
Perlu diingat bahwa peningkatan atau penurunan Hb
dan hematokrit (Ht) adakalanya palsu. Keadaan yang dapat
meningkat palsu ialah: berkurangnya plasma darah,
combusio (luka bakar), diuresis yang berlebihan, dehidrasi.
Kadar rendah palsu contohnya pada keadaan hamil atau
dekompensasi jantung.
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang
disebabkan oleh sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel
yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif
mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel
a4al hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan
sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik
normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi
besar dengan peningkatan rasio dari RNA terhadap DNA.
$el-sel awaVpendahulu eritroid megaloblastik cenderung
dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian
selularitas sumsum tulang sering meningkat tetapi
produksi sel darah merah berkurang, dan keadaan
abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesisyang tidak
efektif (ineffective erythropoiesis).

Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena


defisiensi vitamin B 12 (kobalamin) dan atau asam folat.
Berbagai macam keadaan klinik yang berkaitan dengan
anemia megaloblastik dapat diklasifikasikan seperti yang
tertera berikut ini.

KLASlFlKASl ANEMIA MEGALOBLASTIK


Defisiensi Kobalamin
Asupan tidak cukup: vegetarian Uarang)
Malabsorbsi
- Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan:
achlorhidria gaster, gastrektomi, obat-obat yang
menghalangi sekresi asam
- Produksi faktor intrinsik yang tak niencukupi: anemia pernisiosa, Gastrektomi total, Abnormalitas
fungsional atau talc adanya faktor intrinsik yang
bersifat kongenital.
.- Gangguan dari ileum terminalis: sprue tropikal, sprue
non tropikal, enteritis regional, reseksi intestinum,
neoplasma dan gangguan granulomatosa Uarang),
sindrom Imerslund (rnalabsorbsi kobalamin selektif)
Uarang)
- Kompetisi pada kobalamin: fish tapeworm
(Diphylobotrium latum), Bakteri blind loop
syndrome
- Obat-obatan : p-aminosalicylic acid, kolkisin,
neornisin.
Lain lain: NO (Nitrous oxide) anesthesia, defisiensi
transkobalamin I1 (jarang), defek enzim kongenital
Uarang).
Defisiensi Asam Folat
Asupan yang tak adekuat: diet yang tak seimbang (sering

pada peminum alkohol, usia belasan tahun, beberapa bayi)


Keperluan yang meningkat :kehamilan, bayi, keganasan,
peningkatan hernatopoiesis (anemia hemolitik kronik),
kelainan kulit eksfoliatif kronik, hernolisis
Malabsorbsi: sprue tropikal, sprue nontropikal, obat-obat:
phenytoin, barbiturat (?) ethanol
Metabolisme yang Terganggu: penghambat dihydrofolat
red~~ctase
(metotreksat, pirimetamin, triamteren, pentamidin,
trimetoprin). Alkohol, Jarang defisiensi enzim (dihydrofolat
reductase, dll).
Sebab-sebablain
Obat-obatyang mengganggu metabolisme DNA: antagonis
purin (6 merkaptopurin, azatioprin, dll). Antagonis pirimidin
(5-fluorourasil, sitosin arabinose, dll). Lain-lain :
prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, zidovudin
Gangguan metabolik (jarang): asiduria urotik hereditel;
sindrom Lesch-Nyhan, lain lain
Anemia megaloblastik dengan penyebab tak diketahui:
anemia megaloblastik refrakter, Sindrom Diguglielmo,
anemia diseritropoietik kongenital.

ASAM FOLAT DAN VITAMIN 812


Asam folat dan vitainin B 12 adalah zat yang berhubungan
dengan unsur rnakanan yang sangat penting bagi tubuh.
Peran utarna asam folat dan vitamin B12 ialah dalam
metabolisme intraselular. Seperti yang diterangkan di
depan, adanya defisiensi kedua zat tersebut akan
rnenghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA pada tiap
sel, di mana pembelahan kromosom sedang terjadi.
Jaringan-jaringan yang memiliki pergantian sel yang sangat
cepat akan mengalami perubahan yang sangat dramatis,
antara lain adalah sistem hernatopoiesis yang sangat
sensitif pada defisiensi dan menyebabkan anemia
megaloblastik.
Asam folat adalah narna yang biasa diberikan pada
asampteroylrnorzogl~~tanlic.
Zat ini disintesis pada banyak
macam tanaman dan bakteri. Buah-buahan dan sayur
merupakan sumber diet utama dari vitamin. Beberapa
bentuk dari asam folat dalam diet sangat labil dan dapat
rnenjadi iusak pada waktu dimasak. Keperluan minimal tiap
hari secara normal kurang lebih 50 ug, tetapi pada keadaan
tertentu akan meningkat sejalan dengan peningkatan
metabolisme seperti pada kehamilan.
Defisiensi folat merupakan kornplikasi yang sering
terjadi pada penyakit usus halus karena penyakit tersebut
dapat mengganggu absorbsi folat dari makanan dan
resirkulasi folat lewat siklus enterohepatik. Pada
alkoholisme akut atau kronik, asupan harian folat dalam
makanan akan terhambat, dan siklus enterohepatik akan
terganggu oleh efek toksik dari alkohol pada sel sel
parenkim hati, ha1 ini yang menjadi penyebab utama dari
defisiensi folat yang menimbulkan eritropoiesis

megaloblastik.
Penyakit seperti anemia hemolitik dapat pula jadi rumit
oleh komplikasi defisiensi folat yang dapat terjadi. Obatobat yang menghambat dihidrofolat reduktase (antara lain
metotreksat, trimetopriin) atau yang dapat mengganggu
absorbsi dan penyimpanan folat dalam jaringan tubuh
(antikonvulsan tertentu, kontraseptif oral) mampu
mengakibatkan penurunan kadar folat dalam plasma, dan
bersamaan waktunya dapat menjadi penyebab anemia
megaloblastik. Hal ini karena adanya gangguan maturasi
yang disebabkan oleh defek inti sel. Jadi gangguan
maturasi yang timbul dalam pertumbuhan sel darah merah
karena defisiensi asam folat atau vitamin B 12 disebabkan
karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda
dalam sumsum tulang.
Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk
dari N5-rnetiltetrahidrofolat, suatu monoglutamat, yang
ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang
khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di
dalam sel, gugus N5-metil dilepas ke dalam reaksi
kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah
menjadi bentuk poliglutamat. Konjugasi pada
polyglutamate mungkin berguna untuk penyimpanan folat
di dalam sel.
Ikatan folat dengan protein tampak dalam plasma, susu,
dan cairan tubuh lain. Fungsi ikatan folat dan ikatan
dengan membran perintisnya hingga kini belum diketahui.
Baik bentuk ikatan maupun perintisnya ada kaitannya
dengan pengangkutan tetrahidrofolat.
Fungsi utama senyawa folat ialah memindahkan "1karbon moieties" seperti gugus-gugus metil dan formil ke
berbagai senyawa organik. Sumber dari "1-karbon moieties" biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan
tetrahidrofolat menghasilkan glisin dan N5-10metilentetrahidrofolat. Sumber pilihan lain adalah asam
formiminoglutamat, suatu lanjutan dalam katabolisme
histidin, yang menyarnpaikan gugus formimino
tetrahidrofolat dan asam glutamat. Derivat-derivat tersebut
menyediakan tempat masuk ke dalam kelompok pemberi
dan mudah saling menukar yang terdiri dari derivat-derivat
tetrahidrofolat pembawa macam-macam "1-carbon
moieties".
Unsur-unsur pokok dari kelompok tersebut dapat
memberikan "1 -karbon moieties" mereka kepada senyawasenyawapenerima yang sesuai, guna membentuk lanjutan
metabolik dengan tujuan akhir mengubah pembentukan
blok-blok yang digunakan untuk sintesis makromolekulmakromolekul. Yang sangat penting dalam pembentukan
blok-blok tersebut adalah:
Purin-purin,di mana atom-atom C-2 dan C-8 dirnasukkan
dalam reaksi ketergantungan pada folat;
Deoksitimidilatmonofosfat (dTMP), disintesis dari N5- 10
metilentetrahidrofolat dan deoksiuridilat monofosfat
(dUMP); dan

ANEMIA MECAL.OBLASTIK

Metionin, yang dibentuk oleh peralihan dari gugus metil


dari N5-metiltetrahidrofolat ke homosistein.
Lebih lanjut dapat dilihat pada gambar metabolisme folat
sebagai berikut (Gambar 1).

NS.l0- metil THF


atau
Ns - formil THF

segera berpartisipasi dalam siklus perpindahan 1-karbon.


Selama produksi dTMP dari dUPM fragmen 1-karbon telah
direduksi dari formaldehid ke gugus metil dalam perjalanan
dari reaksi perpindahan, yang tidak sebagai THF, tetapi
sebagai dihidrofolat (DHF). Untuk partisipasi selanjutnya
ke dalarn siklus perpindahan 1-karbon,DHF telah direduksi
menjadi THE Reaksi ini dikatalisis oleh dihidrofolat
reduktase.

Vitamin Bi2

NS - metil THF

CH2CH2CONH2

S~ntase

dTTP

Dihidrofolat
Reduktase

IL

Homosistein

Metil THF

Gambar 1. Metabolisme folat

Folat sangat penting untuk sintesis de novo purin,


deoksitimidilat monofosfat ( d m ) , dan metionin, sebagai
lanjutan pembawa dari fragmen-fragmen 1-karbon yang
digunakan untuk biosintesis dari senyawa-senyawa
tersebut. Bentuk aktifnya adalah tetrahidrofolat (THF).

Folat

Gambar 2. Rumus kirnia folat

THF memperoleh fragrnen 1-karbon, terutama dari serin,


yang merubah menjadi glisin dalam rangkaian dari reaksi.
Untuk sintesis purin, fragmen 1-karbon pertama dioksidasi
ke tingkat dari asam formik, lalu mengirimkan ke substrat.
Untuk sintesis metionin, keperluan reaksi kobalamin,
fragmen 1-karbon pertama dikurangi sampai tingkat gugus
methyl, lalu dikirirnkan ke homosistein. Dalam reaksi ini
kofaktor tertentu dikeluarkan sebagai THF, yang dapat

Gambar 3. Rumus kimia vitamin 812 (Kobalamin)


Methylcobalamine, Adenosylcobalamine Coenzyme untuk
methionine synthase dan L - methylmalonyl - CoA mutase.

Derifat aktif atau bentuk kofaktor. Bentuk bentuk


poliglutamat dari tetrahidrofolat dengan unit karbon
tambahan.
Fungsi utama sebagai koenzim guna satu pengangkut
karbon dalam asam nukleat, dari metabolisme asam amino.
Kobalamin adalah vitamin yang mempunyai susunan
komponen organometalik yang kompleks, di mana atom
cobalt terletak dalam inti cincin, suatu struktur yang mirip
bentuk porfirin dari mana Heme dibentuk. Tidak seperti
heme, namun kobalamin tidak dapat disintesis dalam tubuh
manusia dan hams di penuhi dari makanan. Sumber utama
hanya dari daging dan susu. Keperluan minimum sehari
untuk kobalamin kurang lebih 2,5 ug.
Selama pencemaan dalam lambung, kobalamin dalam
makanan dikeluarkan dalam bentuk-bentuk kompleks yang
stabil dengan pengikat gaster R, salah satu keluarga gugus
yang terdekat dari glikoprotein glikoprotein yang
fungsinya belum diketahui, yang terdapat dalam sekresi
(rnisalnya, saliva, susu, cairan lambung, empedu), fagosit
dan plasma.
Pada saat memasuki duodenum, ikatan kompleks
kobalamin-R dicerna, dan menghasilkan kobalamin, yang

kemudian terikat pada faktor intrinsik (FI), suatu


glikoprotein dengan berat 50-kDa yang dihasilkan oleh
sel-sel parietal dari lambung. Sekresi dari faktor intrinsik
umurnnya sejalan dengan asam lambung. Ikatan kompleks
kobalamin-FI dapat melawan untuk dicerna oleh proteolitik
dan melintas menuju ke ileum distal, dimana reseptor
reseptor spesifik pada vili mukosa dan menyerap kompleks
kobalamin-FI. Jadi FI, seperti halnya ikatan besi transferin,
adalah protein sel pengatur alat pengangkut. Reseptor
pengikat kompleks kobalamin-FI akan dibawa masuk ke
sel mukosa ileum, di mana FI kemudian dimusnahkan dan
kobalamin dipindahkan ke lain protein pengangkut, yaitu
transkobalamin (TC) 11. Kompleks kobalamin-TC I1
kemudian disekresi kedalam sirkulasi, dari situ dengan
cepat dibawa ke hati, surnsum tulang, dan sel lain. Jalur
penyerapan kobalamin dapat disimak pada Gambar 4.
Cbl

FmM
Lumen

Ep~thelium

Ileum terminal

cbl&

Darah

Sel jaringan

Gambar 4. Jalur penyerapan kobalamin

Dalam keadaan normal kurang lebih 2 mg kobalamin


disimpan dalam hati, dan selain itu 2 mg disimpan di jaringan
seluruh tubuh. Dari sudut pandang keperluan harian
minimal, kurang lebih 3 sampai 6 tahun diperlukan untuk
individu normal menjadi kekurangan kobalamin bila
absorbsi dihentikan secara tiba tiba.
Meskipun T C I1 adalah suatu acceptor guna
penyerapan baru dari kobalamin, dimana kebanyakan
kobalamin yang beredar dalam sirkulasi diikat pada TC I,
yaitu suatu glikoprotein yang sangat erat hubungannya
dengan pengikat .R gaster. TC I tampaknya diturunkan
sebagai bagian dari lekosit. Yang berlawanan ialah bahwa
kebanyakan kobalamin yang beredar terikat pada TC I dari
pada yang terikat pada T C 11; meskipun demikian
pengangkutan awalnya dari semua kobalamin yang
diabsorbsi oleh intestinum, dapat diterangkan dengan
adanya fakta bahwa ikatan kobalamin pada TC I1 dengan

cepat dibersihkan dari darah ($4 sampai 1jam), sedangkan


pembersihan dari kobalamin yang terikat pada TC I
memerlukan waktu berhari hari. Hingga kini fungsi TC I
belum diketahui.
Di dalam sel sel tubuh manusia, kobalamin merupakan
faktor yang esensial bagi dua enzim, yaitu metionin sintase
dan metil malonil-koenzimA(CoA) sintase. Kobalarnin ada
dalam dua bentuk aktif metabolik, yang dikenal pada gugus
alkil yang terikat pada enam posisi koordinasi dari atom
Cobalt yaitu : metilkobalamin dan adenosilkobalamin (juga
disebut vitamin B 12). Sianokobalamin belum diketahui
peran fisiologisnya dan hams diubah ke bentuk biologis
aktif sebelum dapat digunakan oleh jaringan jaringan.
Metilkobalamin adalah bentuk yang diperlukan untuk
metionin sintase, yang bertindak sebagai katalisator dalam
perubahan homosistein ke metionin (Gambar 1).Bila reaksi
tersebut terganggu, maka metabolisme folat menjadi kacau;
dan dalam kekacauan ini yang menjadi latar belakang
kerusakan dalam sintesa DNA dan pada pasien dengan
defisiensi kobalamin timbul adanya bentuk maturasi
megaloblastik.
Pada defisiensi kobalamin, maka N5-metiltetrahidrofolat
yang tak terkonjugasi, yang baru diambil dari aliran darah,
tidak dapat diubah menjadi bentuk lain dari tetrahidrofolat
oleh transfer metil. Ini yang disebut hipotese folat trap.
Karena N5-metiltetrahidrofolat adalah substrat yang tak
baik untuk enzim konjugasi, keadaan ini sebagian besar
tetap dalam bentuk tak terkonjugasi dan dengan pelan
pelan keluar d& sel. Karenanya defisiensi folat dijaringan
akan terjadi, dan ini akan menimbulkan hernatoporesis
megaloblastik. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa
simpanan folat jaringan pada defisiensi kobalamin secara
substansial, maka dengan penuiunan yang tidak seimbang
dalam konjugasi, bila dibanding dengan folat yang tidak
terkonjugasi, meskipun kadar serum folat normal atau
supranormal. h dapat pula menerangRan mengapa dengan
pemberian folat besar dapat menghasilkan remisi
hematologik parsial pada pasien dengan defisiensi
kobalamin.
Kadar plasma hemosistein meningkat pada defisiensi
folat dan kobalamin, dan kadar yang tinggi dari homosistein
plasma tampaknyamerupakan faktor risiko untuk kejadian
trombosis vena dan arteri. Hingga kini belum diketahui
bahwa hiperhomosistein yang dialubatkan oleh defisiensi
folat atau kobalamin merupakan predisposisi untuk
trombosis atau mengubah respons dari pengobatan.
Adenilkobalamin diperlukan untuk konversi dari
metilmalonil CoA menjadi succinyl CoA. Tidak adanya
kofaktor ini yang berperan penting dalarn peningkatan yang
cukup besar dalam kadar jaringan dari metil malonil CoA
dan pendahulunya, yaitu propionil CoA. Sebagai
konsekuensi, maka asam lemak nonfisiologik yang
mengandung sejurnlah atom karbon yang berlebihan akan
disintesis dan bergabung menjadi Lipid neuronal.

Abnormalitas biokimiawi ini dapat mempunyai sumbangan


&ante rjadinya kornplikasi neurologis defisiensi kobalamin.

GANGGUAN KLlNlS
Sebagaimanatertera dalam klasifikasi anemia rnegaloblastik,
kausa dari anemia rnegaloblastik sangat bervariasi
tergantung dari keadaan wilayah di dunia ini. Di wilayah
dengan udara dingin, defisiensi folat sering terjadi pada
pecandu alkohol, sedangkan defisiensi kobalarnin
disebabkan karena anemia pernisiosa atau aklorhidria
rnerupakan tipe yang sering dari anemia rnegaloblastik.
Di wilayah tropis, sprue adalah endernik yang
merupakan penyebab penting tirnbulnya anemia
rnegaloblastik, sedangkan di Skandinavia, adanya cacing .
pita dalam &an yaitu Difilobotriurnlatumi, rnungkin sebagai
penyebabnya. Tentang infestasi cacing pita di rnasyarakat
Bali perlu rnendapat perhatian.
Defisiensi kobalarnin kebanyakan selalu berkaitan
dengan rnalabsorbsi. Asupan harian kobalamin lebih dari
cukup untuk keperluan tubuh, kecuali pada vegetarian.
Berbeda dengan asupan harian asam folat adalah kecil di
banyak wilayah di dunia. Lebih lanjut, karena sirnpanan
asam folat dalam tubuh relatif rendah, rnaka defisiensi asam
folat dapat tirnbul rnendadak selama periode berkurangnya
asupan atau rneningkatnya keperluan rnetabolik. Dan
terakhir, defisiensi asarn folat dapat disebabkan oleh
rnalabsorbsi. Sering pula dua atau lebih faktor yang
berdampingan akan berakibat pada pasien.
Tidak jarang kornbinasi defisiensi kobalamin dan asam
folat dapat terjadi. Pada para pasien " tropical sprue "
sering tirnbul defisiensi kedua vitamin tersebut.
Lesi biokirniawi sebagai akibat dalam rnaturasi
rnegaloblastik dari sel sel surnsurn tulang juga dapat
rnengakibatkan abnormalitas fungsional dan struktural dari
sel sel epitel yang cepat berproliferasi dari rnukosa
intestinurn. Jadi defisiensi yang berat dari salah satu vitamin dapat rnengakibatkan rnalabsorbsi.
Anemia megaloblastik dapat pula dipengaruhi oleh
faktor faktor yang tak ada kaitannya dengan defisiensi
vitamin. Kebanyakan dari penyebab tersebut dikarenakan
obpt obat yang rnengganggu sintesis DNA. Meskipun
kurang sering, rnaturasi rnegaloblastik dapat rnerupakan
gambaran defek sel induk hernatopoietik yang didapat. Dan
sangat jarang ialah adanya defisiensi enzirn spesifik yang
kongenital.

Defisiensi Kobalamin
Gambaran klinis defisiensi kobalamin rnelibatkan darah,
traktus gastrointestinal, dan sisterna nervorum.
Manifestasi hernatologis sepenuhnya selalu berakibat
anemia, rneskipun sangat jarang purpura, dapat pula
tampak, karena trornbositopeni. Keluhan dari anemia dapat

termgkap sepei-tirasa lemah, nyeri kepala ringan, vertigo,


tinitus, palpitasi, angina dan keluhan yang berkaitan
dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda fisik dari
pasien dengan defisiensi kobalamin yaitu pucat, dengan
kulit sedikit kekuningan begitu juga mata. Peningkatan
kadar bilirubin ada kaitannya dengan tingginya pelipat
gandaan sel sel eritroid dalarn surnsurn tulang. Nadi
denyutnya cepat, dan jantung rnungkin rnernbesar, pada
auskultasi biasanya terdengar bising sistolik.
Manifestasi gdstrointestinal karena defisiensi
kobalamin akan ada keluhan nyeri lidah, yang pada
inspeksi tampak papil lidah halus dan kernerahan. Keluhan
lain yaitu anorexia dengan turunnya berat badan,
kemungkinan bersarnaan dengan diare dan lain-lain
keluhan gastrointestinal. Manifestasi yang terakhir ini
rnungkin rnerupakan bagian dari rnegaloblastosis dari epitel
usus halus, yang rnengakibatkan malabsorbsi.
Manifestasi gangguan neurologis, sering
rnengakibatkan gaga1 sepenuhnya dalarn upaya
pengobatan. Perubahan patologi yang awal adalah
demielinasi, kernudian diikuti oleh degenerasi aksonal dan
akhirnya kernatian neuronal; dan stadium akhir dari
perjalanan penyakit ialah tak dapat pulih. Ternpat yang
rnenderita gangguan termasuk syaraf perifer; rnedula spinalis, dirnana kolurnna posterior dan lateral rnengalami
demielinasi; dan juga serebrurn sendiri. Keluhan dan gejala
terrnasuk rnati rasa dan parestesia pada ekstremitas,
kelernahan dan ataksia. Kemungkinan terjadi gangguan
dari sfingter. Refleks-refleks mungkin hilang atau
rneningkat. Tanda Rornberg dan Babinsky rnungkin dapat
positif dan rasa sikap dan getaran biasanya hilang.
Gangguan mental rnulai dari sifat rnudah rnarah yang ringan
dan mudah lupa sarnpai dernensia yang berat atau psikosis
yang sesungguhnya. Hendaklah diingat bahwa penyakit
neurologik dapat pula tarnpak pada pasien dengan
hernatokrit dan indeks sel darah rnerah yang normal.
Kernungkinan akan banyak keuntungannya dengan
pernberian suplernen folat dalarn rnakanan, yang rnungkin
dapat rnernperbaiki keadaan seperti gejala neurologis
karena defisiensi kobalarnin. Gangguan pelepasan
kobalarnin dari rnakanan, kejadiannya belum dapat
diketahui,
Seperti diketahui kobalamin dalam rnakanan terikat pada
enzirn dalarn daging dan kemudian dipisahkan dari enzirn
tersebut oleh asam hidroklorida dan pepsin dalam lambung.
Umurnnya orang orang berusia lebih dari 70 tahun
rnengalami aklonidria. Karenanya mereka talc mampu untuk
rnernbebaskan kobalarnin dari surnber rnakanan tapi
rnernelihara kernampuan absorbsi kristalin B12, suatu
bentuk yang paling sering terdapat dalam multivitamin.
Ternyata hanya sebagian kecil dari orang orang usia lebih
dari 70 tahun yang mengalami defisiensi kobalamin, tapi
banyak yang mengidap perubahan biokimiawi, ini terrnasuk
kadar yang rendah dari ikatan kobalamin dengan TC I1

dan peningkatan kadar homosistein, yang dapat


meramalkan defisiensi kobalamin
Hal yang serupa yaitu para pasien yang mengalami
berkurangnya produksi asam lambung karena obat-obatan,
seperti omeprazol, dapat juga mengganggu pelepasan
kobalamin dari makanan. Namun, '>roton punzp inhibitor"
tidak menghambat sekresi faktor intrinsik dari sel-sel parietal.

Anemia Pernisiosa
Anemia pernisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai
penyebab defisiensi kobalamin. Ini disebabkan karena tidak
adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari mukosa
maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk orang orang Asia ha1 tersebut jarang terjadi. Ini merupakan
penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang untuk usia di
bawah 30 tahun, meskipun anemia pernisiosa yang khas
dapat terjadi pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile
pernicious anemia). Adanya kondisi kelainan yang
diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal
maupun sama sekali tidak disekresi akan mengakibatkan
defisiensi pada bayi atau anak sangat muda.
Kejadian anemia pernisiosa secara substansial
meningkat pada penyakit penyakit imunologik, termasuk
penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi
adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipoparatiroidisme.
Pasien anemia pernisiosa juga inempunyai antibodi dalam
sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan
penyakitnya: yaitu 90% mempunyai antibodi sel
antiparietal, yang langsung melawan H+, K+-ATPase,
sedangkan 60% mempunyai antibodi antifaktor intrinsik.
Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50% para
pasien atrofi gaster tanpa anemia pernisiosa, demikian pula
terdapat pada 10 sampai 15% dari populasi pasien yang
tak diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik bjasanya
tidak ada pada para pasien tersebut. Sanak keluarga dari
para pasien anemia pernisiosa terdapat peningkatan
kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena
kemungkinan juga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik
dalam serumnya. Akhirnya pengobatan dengan
kortikosteroid mungkin dapat memperbaiki penyakitnya.
Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapat juga
mempunyai andil dalam destruksi sel sel parietal. Anemia
pernisiosa tidak jarang terdapat pada para pasien dengan
agammaglobinemia. Hal ini menunjang peran pada sistem
imun seluler sebagai patogenesisnya. Dan berbeda dengan
Helicobacter pylori yang tidak mengakibatkan destruksi
sel parietal pada anemia pernisiosa.
Ciri yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah
atrofi lambung yang mempengaruhi bagian yang
mensekresi asam dan pepsin darl lambung; terkecuali
antrum. Perubahan patologis lain adalah defisiensi
kobalamin sekunder; ini termasuk perubahan
megaloblastik dalam lambung clan epitel intestinum dan

perubahan neurologik. Abnormalitas epitelium gaster


tampak sebagai cell~llaratypia dalam preparat sitologik
lambung, dapatan ini hams dibedakan dengan hati hati
dari abnormalitas yang tampak pada keganasan.

Pasca Gastrektomi
Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang
luas karena bahan obat yang merusak, maka akan terjadi
anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah
dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi
kobalarnin yang diberikan oral akan terganggu. Anemia
megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomi parsial,
yang sebabnya belum jelas.
Organisme Intestinal
Anemia rnegaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi
anatomik (striktur, divertikel, anastomosis, blind loops)
atau pseudo obstruksi (diabetes melitus, skleroderma,
amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari
sejumlah besar kumpulan bakteri dalam usus halus yang
mengkonsumsi kobalamin intestinal sebelum diabsorbsi.
Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan
demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu
bila intestinum dihuni lebih banyak oleh kolonisasi bakteri.
Respons hematologis telah diabsorbsi setelah pemberian
antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia
megaloblastik dapat dijumpai pada orang-orang pengidap
cacing pita karena adanya kompetisi dari cacing dalam
memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita
tersebut maka problema tersebut dapat diatasi.
Abnormalitas Ileum
Definisi kobalamin sering dijumpai pada "tropical sprue",
sedangkan ha1 ini merupakan komplikasi yang diluar
kebiasaan dari "~zontropicalsprue" (gluten-sensitive enteropathy). Sebenarnya tiap gangguan yang bersamaan
dengan kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat
menimbulkan defisiensi kobalamin. Keadaan khusus yaitu
termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan
tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh
suatu penyakit dapat mengakibatkan anemia megaloblastik
tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi intestinal
seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga
tampak setelah reseksi ileum.
~ i n d r b mZollinger-Elison (hiperasiditas lambung yang
hebat karena tumor yang mensekresi gastrin) dapat
mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh pengasaman
usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan
R ke faktor intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-FI
komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis kronik dapat juga
mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya
selalu ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin
secara klinis. Akhirnya, gangguan kongenital yang jarang

dijumpai, yaitu penyakit Imerslund-Grasbeck, yang


melibatkan suatu defek yang selektif dalarn absorbsi
kobalamin yang bersamaan dengan proteinuri. Para
individu yang mempunyai suatir mutasi cubulin, yaitu
suatu reseptor yang menjadi perantara absorbsi intestinal
dari kompleks kobalamin-FI.

Nitrous Oxide
Menghirup nitrous oxide sebagai obat bius
menghancurkan kobalainin yang endogen. Pemakaian
seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak
cukup untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara
klinis, tetapi pemakaian berulang atau yang
berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang
mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan
dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan defisit
neurologik akut.
Defisiensi Asam Folat
Penambahan asam folat dalam produk dari biji-bijian dan
padi-padian .telah disarankan oleh US Food and Drug
Administrution sejak Januari 1998,maka kejadian defisiensi
asam folat nyata menurun. Para pasien dengan defisiensi
asam folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan
defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah
serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemia pernisiosa.
Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga
dialami. Namun, berlawanan dengan defisiensi kobalamin,
tidak tampak adanya abnormalitis neurologik.
Manifestasi hematologik dari defisiensi asam folat
adalah sama dengan defisiensi kobalamin. Defisiensi asam
folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih
faktor seperti: asupan yang tak memadai, keperluan yang
meningkat, atau malabsorbsi.
Asupan yang tak memadai. Para peminum alkohol akan
dapat mengalami defisiensi asarn folat karena sumber utama
asupan kalori yang dikonsumsi berasal dari minuman
beralkohol. Alkohol dapat mengganggu metabolisme folat.
Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat
karena malnutrisi. Banyak individu fakir miskin dan usia
lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan menderita
defisiensi folat.
Keperluan yang meningkat.Jaringan jaringan yang relatif
pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum tulang,
mukosa usus, rnemerlukan cukup besar akan folat.
Karenanya, para pasien anemia hemolitik kronik atau
penyebab lain terjadinya eritropoiesis yang aktif akan
mengalami deflsiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko
tinggi untuk terjadi defisiensi folat karena keperluan yang
meningkat bersamaan dengan perkembangan janin. Bila
defisiensi timbul pada minggu pertama kehamilan, maka
dapat mengakibatkan defek saluran saraf pada neonatus.

Kadang kadang l>;rtl;r kchitmilan tersebut tak dapat


mendeteksi, sampai clcl'ck tcrsebul telah berkembang; jadi,
ketentuan suplcmcn~nsiI'ol:rl pada perernpuan setelah
mereka mengetahui hamil, licl;tkl;rh cl'ektif. Namun dernikian,
si~plenientasirnakanan yang ~ncngandungfolat, dapat
menguntrigi defek saluran saral' sirmpai lebih dari 50%.
Dei'isiensi rolat dapal lampak seli~rnalnasa pertumbuhan
cepal bayi dim remaja. Para pasicn dengan hemodialisa
kronik perlu diberi suplementasi folal guna mengganti folat
yang hilang.
Mslabsorbsi. Ilcf'isiensi folat sering menyertai Tropical
spnie, baik gejala gastrointestinal maupun malabsorbsi akan
membaik dengan pemberian asam folat atau dengan
antibiotik oral. Pada pasien dengan nontripocal sprue (gluten-sensitive enterolmtlzy) dapat pula berkembang secara
nyata timbulnya defisiensi asam folat yang sejalan dengan
parameter dari malabsorbsi. Hal yang serupa, adalah
defisiensi folat pada pecandu alkohol dapat pula karena
kemungkinan dari malabsorbsi. Termasuk pula gangguan
usus halus kadang-kadang bersamaan dengan defisiensi
folat.

Obat- obatan
Selanjutnya masalah defisiensi folat atau kobalarnin yang
sering menjadi penyebab anemia megaloblastik adalah obat
obatan. Bahan obat yang mengakibatkan anemia
megaloblastik, disebabkan karena mengganggu sintesis
DNA, baik secara langsung atau melawan kerja folat. Ini
dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Langsung penghambat sintesis DNA, mereka terrnasuk
analog purin (6-tioguanin, azatioprin, 6-merkaptopurin),
analog pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose), dan obat
yang mengganggu sintesis DNA dengan berbagai macam
mekanisme (hidroksiurea, prokarbazin). Obat antivirus
zidovudin (AZT), yang digunakan untuk pengobatan HIV,
sering menimbulkan anemia megaloblastik berat.
Antagonis folat. yang paling toksik dari golongan ini adalah
metotreksat, suatu penghambat yang kuat pada dihidrofolat
reduktase, yang digunakan untuk pengobatan keganasan
tertentu dan penyakit-penyakit reumatik tertentu. Yang
kurang toksik tetapi mampu untuk menimbulkan anemia
megaloblastik adalah beberapa penghambat dihidrofolat
reduktase yang lemah, yang digunakan untuk pengobatan
berbagai macam kondisi nonmalignan. Obat-obatan
tersebut termasuk pentamidin, trimetoprim, triamteren, dan
pirimetamin.
Lain-lain. Sejumlah obat yang melawan folat dari
mekanismenyayang sukar dimengerti, akan tetapi dipikirkan
ikut serta dan menyangkut pada absorbsi dari vitamin oleh
intestinum. Dalam kelompok ini adalah "anticonvulsants"
fenitoin, primidon, dan fenobarbital.Anemia megaloblastik
yang disebabkan oleh obat obat tersebut adalah ringan.

Mekanisme Lain
Sebab herediter. Anemia megaloblastik dapat tampak pada
beberapa penyakit herediter. "Orotic aciduria" suatu
defisiensi orotidilik dekarboksilase dan fosforilase, karena
defek dalam metabolisme pirimidin dan dengan ciri adanya
pertumbuhan yang terlambat dan perkembangan maupun
dari ekskresi sejumlah besar dari asam orotik. Malabsorbsi
folat yang kongenital penyebab anemia megaloblastik,
bersamaan dengan ataksia dan retardasi mental.
Anemia megaloblastik yang responsif dengan tiamin
yang disertai dengan ketulian saraf dan diabetes melitus
pernah dilaporkan pada beberapa anak. Perubahan
megaloblastik yang disertai berinti banyak dari pendahulu
sel darah merah dapat dilihat dalam sumsum dari para
pasien tertentu dengan anemia dyserythropoietik
kongenital, suatu golongan gangguanlpenyakit yang
diwariskan dengan ciri anemia ringan sarnpai sedang dan
perjalananny a tidak ganas.
Defisiensi TC 11, seperti abnormalitas yang diwariskan
pada absorbsi kobalamin sebagai penyebab defisiensi
yang mencolok dari kobalamin pada bayi atau awal masa
kanak kanak. Anemia megaloblastik tak dijumpai pada
defisiensi TC I yang diwariskan.
ANEMIA MEGALOBLASTIKYANG REFRAKTER
Eritropoiesis megaloblastik kadang kadang dapat tampak
pada mielodisplasia. Perubahan megaloblastik terbatas
pada seri sel darah merah. Mielodisplasia sering
menghasilkan perbedaan gambaran morfologik yang lebih
jelas pada normoblas ortokromatik dimana inti
megaloblastik berhubungan dengan sitoplasma yang
sangat hipokromik. Varian ini disebut " megaloblastoid "
yang merujuk pada defek maturasi inti dan sitoplasma.
"Megaloblastoid " tidak berarti " megaloblastoid ringan".
Seperti halnya bentuk lain dari mielodisplasia, anemia
megaloblastik refrakter ada hubungannya dengan
peningkatan kejadian leukemia akut.
Perubahan megaloblastik tampak pada mielosis
eritremik dan eritrolekemia akut, di mana pendahulu sel
darah merah nyata terlibat.

Diagnosis
Guna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu
menelusuri baik pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan
laboratoris darah juga sumsum tulang. Pemeriksaan
laboratorium darah meliputi hemoglobin, hematokrit,
retikulosit, leukosit, trombosit, hitung jenis, laju endap
darah, serum vitamin B 12, serum folat, folat eritrosit,MCV
dan lain-lain tes khusus yang sesuai. Pemeriksaan film1
hapusan darah perifer perlu diperhatikan bentuk bentuk
sel sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Didapatkan
secara nyata makrositosis yaitu MCV lebih dari 100fl maka

perlu dipikirkan akan adanya anemia megaloblastik.


Penyebab lain makrositosis termasuk hemolisis, penyakit
hati, alkoholisme, hipotiroidisme, dan anemia aplastik.Bila
makrositosis nyata yaitu MCV lebih dari 110fl, makapasien
tersebut lebih condong pengidap anemia megaloblastik.
Makrositosis jarang tampak bersamaan dengan defisiensi
besi atau thalassemia. Indeks retikulosit yang rendah, dan
jumlah leukosit maupun trombosit mungkin pula menurun,
terutama pada para pasien dengan anemia berat. Dari
gambaran darah perifer, tampak dengan nyata adanya
anisositosis dan poikilositosis, bersamaan dengan
makroovalositosis, yaitu sel darah merah dengan
hemoglobinisasi penuh merupakan ciri dari anemia
megaloblastik. Dapat dijumpai pula adanya beberapa bintik
basofilik, dan kadang kadang ditemukan sel darah merah
yang berinti. Pada seri leukosit, yaitu adanya netrofil yang
tampak adanya inti dengan segmen lebih dari 5 atau 6 dan
dikenal dengan istilah hipersegmen. Temuan ini merupakan
ciri khas, maka hendaknya meningkatkan dugaan kearah
anemia megaloblastik. Myelosit yang jarang mungkin pula
tampak. Juga dapat pula ditemukan bentuk trombosit yang
aneh. Dari pemeriksaan sumsum tulang ditemukan adanya
hiperselular dengan penurunan rasio mieloid/eritroid dan
berlimpah besi yang tercat.
Perintislpendahulu sel darah merah tampak adanya sel
yang besar abnormal dan mempunyai inti yang tampaknya
kebanyakan kurang matur, ha1 ini perlu diperkirakan dari
perkembangan sitoplasma (nuclear-cytoplasmic
asynchrony). Kromatin inti lebih tersebar dari yang diduga,
dan ia memadat dalam gambaran yang sangat khas sebagai
ciri dari eritropoiesis megaloblastik. Mitosis abnormal
dapat tampak. Perintis granulosit juga dirusak, tampak
banyak yang menjadi besar dari yang normal, termasuk
band yang sangat besar dan metamielosit. Jumlah
megakariosit menurun dan tampak morfologi yang
abnormal.
Ciri anemia megaloblastik adalah eritropoiesisyang tak
efektif. Pada pasien dengan megaloblatik berat, sebanyak
90% perintis sel darah merah mungkin dihancurkan dan
mereka diedarkan dalam aliran darah, dibanding dengan
10% sampai 15% pada individu normal. Meningkatnya
penghancuran eritroblas dalam medula sumsum tulang
akan berakibat peningkatan bilirubin yang tak terkonjugasi
dan asam laktat dehidrogenase (isoenzim 1) dalam plasma.
, Guna mengevaluasi pasien dengan anemia
megaloblastik, sangat penting untuk menentukan apakah
ada defisiensi vitamin yang spesifik dengan mengukur
kadar serum kobalarnin dan folat. Nilai kobalamin normal
dalam serum adalah antara 300 sampai 900 pglml; nilai
kurang dari 200 mglml menunjukkan adanya defisiensi
yang nyata secara klinis. Tampaknya ini berbeda dengan
kriteria WHO seperti yang tertera di depan. Pengukuran
dari kobalamin yang terikat pada TC 11, sebenarnya lebih
fisiologik guna pengukuran status kobalamin, tapi

ANEMIA ~ B L A S T I K

6ynifrome")atau penyakit ileum (termasuk defek absorbsi


ileum sekunder karena defisiensi kobalamin itu sendiri).
Malabsorbsi kobalamin karena kelebihan pertumbuhan
bakteri sering dapat dikoreksi dengan pemberian antibiotik.
Tes Schilling dapat menetapkan informasi yang cukup
dipercaya setelah pasien mendapat terapi yang memadai
dengan kobalamin parenteral.
Tes Schilling yang normal pada pasien yang telah
dibuktikan dengan defisiensi kobalamin, akan memberi
petunjuk adanya absorbsi yang jelek dari vitamin bila
dicampur dengan makanan. Ini dapat ditegakkan dengan
mengulang tes Schilling dengan kobalamin radioaktif yang
diaduk dengan telur.
Kadar serum dari asam metilmalonat dan homosistein
juga berguna untuk diagnosis anemia megaloblastik.
Keduanya meningkat pada defisiensi kobalamin, namun
peningkatan homosistein, tapi bukan asam metil malonik
dapat terjadi pada defisiensi folat. Tes-tes tersebut
mengukur simpanan vitamin dalam jaringan dan dapat
menunjukkan suatu defisiensi meskipun bila pemeriksaan
yang sederhana, tapi kurang dipercaya pada kadar folat
dan kobalamin yang didapatkan dan hasilnya pada ambang
batas atau dalam batas normal. Para pasien terutama usia
lanjut, tanpa anemia dan dengan kadar serum kobalamin
normal, tetapi terdapat peninggian kadar serum asam metil
malonat dapat mengakibatkan abnormalitas neuropsikiatrik.
Pengobatan para pasien defisiensi kobalamin yang tak
kentara biasanya akan mencegah kemerosotan lebih lanjut
dan munghn berhasil memperbaiki kesehatan pasien.
Alur pikir guna menetapkan anemia megaloblastik dapat
disimak pada Gambar 5.

pengukuran kadar dengan cara tersebut belum dapat


dilakukan secara rutin saat ini. Kadar serum normal dari
asam folat berkisar antara 6 sampai 20 nglml; nilai sama
atau di bawah 4 nglrnl secara umum dipertimbangkanuntuk
diagnostik dari defisiensi folat. Tidak seperti serum
kobalamin, kadar serum folat dapat menggambarkan
adanya perubahan baru pada asupan makanan.
Pengukuran kadar folat dalam sel darah merah sangat
berguna untuk mendapat informasi, tetapi ini bukannya
subyek guna melihat fluktuasi jangka pendek dari asupan
folat dan ha1 ini lebih dari serum folat sebagai indeks dari
simpanan folat.
Saat defisiensi kobalamin telah dipikirkan, maka
patogenesisnya dapat dilacak dengan menggunakan tes
Schilling. Pasien diberi kobalamin radioaktif oral, dan segera
diikuti setelah itu dengan penyuntikan intramuskular
kobalamin tanpa dilabel.
Proporsi radioaktivitas yang diberikan akan
dikeluarkan dalam urin selama 24 jam berikutnya, ha1 ini
akan menetapkan suatu ketelitian ukuran dari absorbsi
kobalamin dan dianggap bahwa sampel urin yang
menyeluruh telah dikumpulkan. Karena defisiensi
kobalamin hampir selalu karena malabsorbsi, tingkat
pertama dari tes Schilling hams abnormal (misal didapat
sejumlah kecil radioaktivitasdalam urin). Kemudian pasien
diberi kobalamin terikat pada faktor intrinsik yang dilabel.
Absorbsi dari vitamin akan mencapai normal pada pasien
yhng menderita anemia pernisiosa atau beberapa tipe lain
dari defisiensi faktor intrinsik. Bila absorbsi kobalamin
rflhsih tetap rendah, maka pasien mungkin terdapat
pertumbuhan berlebihan dari bakteri ("blind loop

ANEMl A

Hitung Sel Darah, Jumlah Retikulosit


I

Morfologi
SDM
I

Normositik
Normokromik

I Hipoproliferatif I

I Index > 2,51

Ilndex < 2,51

Hemolisisl
Hemorrhagia
I

Mikro atau
Makrositik
Gangguan
maturasi

- Kehilangan darah
- Hemolisis intravaskular
- Defek

metabolik

-Abnormalitas membran
- Hemoglobinopati
- Defek autoimun

- Hemolisis fragmentasi

- Defek sitoplasma

- Defisiensi Fe
- Talasemia
-Anemia side
- Roblastik
- Defek inti
- Defisiensifolate

- Defisiensi vitamin 812


- Keracunan obat
-Anemia refrakter

Gambar 5. Alur plkir menetapkan anemia megaloblastik

HEMATOLOCl

Pengobatan
Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka
perlu memberikan terapi spesifik berkaitan dengan
penyakit dasar yang melatar belakangi, misalnya adanya
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum
perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk
defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek
yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien
diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk
suntikan kobalamin intramuskular.
Awal pelnberian terapi parenteral dengan kobalan~in
1000 ug i.m, tiap minggu sampai 8 minggu, keniudian
dilanjutkan suntikan i.m kohalamin 1000 ug tiap bulan dari
sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola
secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin
B12 sejumlah 2 mg per hari; namun ketidak patuhan lehih
besar pada terapi oral dibanding terapi i.ni.
Respons terapi adalah memuaskan. Segera setelah
terapi dimulai, dan beberapa hari sebelum respons
hematologis tampak nyata dalam darah perifer, pasien
merasakan kekuatan meningkat dan ada perbaikan
kesehatannya. Morfologi sumsum tulang mulai kembali ke
keadaan normal dalam waktu beberapa jam setelah terapi
dimulai. Retikulositosis mulai pada hari ke-4 sampai hari
ke-5 setelah terapi dimulai dan mencapai puncak kurang
lebih 7 hari, dan remisi berikutnya dari anemia setelah
beberapa minggu. Bila retikulositosis Lidak tampak, atau
bila kurang cepat dari yang diharapkan dari kadar
hematokrit, maka perlu dicari kemungkinan faktor lain yang
mengakibatkan anemia (a.1. infeksi, bersamaan dengan
defisiensi besi atau folat, atau hipotiroidisme). Hipokalemia
dan retensi garam dapat tampak lebih awal dalam perjalanan
terapi. TrombosiLosis mungkin ditemukan.
Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua
yang diperlukan guna pengobatan defisiensi kobalamin.
Kadang kadang pasien menunjukkan anemia yang berat
disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan
kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini
perlu dilakukan dengan hati hati, sebab pasien yang
demikian dapat berkemba~igmenjadi gagal jantung karena
adanya kelebihan cairan.
Darah harus diberikan pelan pelan dalam bentuk PRC
(Pocked Red Blood Cells), dan harus selalu dalam
pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi
sedikit akan cukup guna menghindari nasala ah gagal
kardiovaskular akut.
Dengan pengobatan jangka lama selama hidupnya, para
pasien akan mengalami Lidak berlanjutnya manii'cs~asi
defisiensi kobalamin, namun gejala neurologiknya tidak
sepenuhnya dapat dikoreksi meskipun dengan terapi yang
optimal. Pada pasien anemia pernisiosa perlu dengan
cermat diawasi dan selalu diikuti perkembangannya karena
adanya potensi untuk berkembang menjadi karsinoma
lambung.

Folat, terutama dalam dosis besar, dapat mengoreksi


anemia megaloblastik karena defisiensi kobalamin tanpa
mengubah abnormalitas neurologik. Manifeslasi
neurologik mungkin tetap tidak menjadi huruk oleh Lerapi
folat. Defisiensi folat, akan terselubung pada pasien yang
makan folat dosis tinggi. Dalam ha1 yang demikian, respons
hematologis folat jangan digunakan sebagai tolok ukur
untuk keberhasilan pasien dengan defisiensi kobalamin;
dan defisiensi kobalamin hanya dapat disingkirkan dengan
evaluasi laboratorium yang memadai.
Pada pasien usia lanjut kejadian defek absorbsi
kobalamin ringan frekuensinya tinggi, dan mungkin
risikonya meningkat. Defisiensi kobala~ninyang berat akan
member1 gejala neurologis dari pada gejala hematologis,
dan beberapa ahli menyarankan pemberian kcis$sJin\
kobalamin oral dengan dosis 0,I mg per hari guna
profilaksis pada usia di atas 65 tahun.

DEFlSlENSl FOLAT
Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati
dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah
I mg per hari per oral, namun dosis tinggi sampai 5 mg per
hari mungkin diperlukan pada defisiensi folat yang
disebabkan karena malabsorbsi. Pemberian folat parenteral
jarang diperlukan. Respons he~natologissama dengan
yang dapat dijumpai setelah terapi pengganti pada
defisiensi kobalamin, misalnya terjadinya retikulositosis
yang nyata setelah kurang lebih 4 hari, kemudian diikuti
dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan
kemudian. Lama terapi tergantung pada keadaan dasar
defisiensi.
Para pasien dengan keperluan yang terus menerus
lneningkat seperti pada pasien anemia hemolitik atau
mereka yang dengan malabsorbsi atau malnutrisi kronik,
hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan
mengajarkan diet yang optimal dengan kecukupan folat.

Penyebab Lain Anemia Megaloblastik


Anemia megaloblastik karena obat obatan dapat diobati,
bila mungkin, dengan mengurangi dosis obat atau
menyingkirkan. Efek antagonis folat yang menghambat
dihidrofolat reduktase dapat dilawan oleh asam folinik (5formil tetrahidrofolat (THF) dalam dosis 100 sampai 200
mg per hari, yang akan menghambat metabolisme folat
dengan caw menycdiakan suatu benluk folat yang dapat
diubah menjadi 5,10 - methylene T H E Untuk bentuk
megaloblastik dari anemia sideroblastik, pemberian
piridoksin dengan dosis sampai 300 mg per hari dapat
dicoba, karena ada anemia sideroblastik yang tidak respons
dengan piridoksin. Anemia megaloblastik yang refrakter
perlu dipikirkan terapi suportif.

ANEMIA MU;ALOBLASTIK

KESIMPULAN
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan
oleh defek sintesis DNA dalam sel-sel terutama dari
hematopoietik. Klasifikasi anemia megaloblastik dapat
dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi
asam folat dan sebab sebab lain.
Asain folat dan vitamin B12 adalah zat yang
berhubungan dengan unsur makanan yang sangat
diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan
vitamin B 12ialah dalam metabolisme intraselular. Bila kedua
zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak
sempurnanya sintesis DNA. Hematopoiesis sangat sensitif
pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah
anemia megaloblastik.
Untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala
klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk penggantian
atau menghilangkan defisiensi tersebut.

Adamson JW, Longo DL. Anemia and polycythemia. Harrison's


principles of internal medicine. 16Ih edition. Volume 1. New
York: McGraw -Hill; 200S.p. 329-36.
Babior BM, Bunn H E Megaloblastic anemias. Harrison's principles
of internal medicine. 16"' edition. Volume 1. New York: McGrawHill; 2005. p. 601-7.
Hillman RS. Hematopoietic agent. Growth factors, minerals and
vitamins 111, vitamin B12, folic acid, and the treatmeyt of
megaloblastic anemias. In: Goodman & Gilman's The Ph,armacological Basis of Theurapeutic, editors. l o r hedition International edition. New York: Mc Graw-Hill; 2001. p. 1503-14.
Lipschitz DA. Anemia in the elderly. Principle of geriatric medicine
and gerontology. 2ndedition. New York: Mc Grawth-Hill, Inc;
2000. p. 662-8.
Russel RM. Vitamin and trace mineral defisiensi and excess. Hanison's
principles of internal medicine. 16'h edition. Volume I. New
York: McGraw-Hill; 2005. p. 403-1 1.
Soenarto. Permasalahan pengelolaan anemia. Kedaruratan medik I1
2001. Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Semarang. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2001. p. 48-67.

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN


Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno-Hariadi

Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia =


AIHA 1AHA) merupakan suatu kelainan di mana terdapat
antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit
memendek.

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini


terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktifasi
mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
1. aktifasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktifasi
sistem komplemen akan menyebabkan hancumya membran
sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler.yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik
ataupun jalur altematif. Antibodi-antibodi yang memiliki
kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG 1,
IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin,
sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida
pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu
tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena
bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu
tubuh.
a aktifasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali
dengan aktivasi C 1 suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit. C 1 akan berikatan dengan kompleks
imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu
mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen
C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu
kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-convertase).
C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a.
C3b mengalami perubahan konformational sehingga

'

mempu berikatan secara kovalen dengan partikel yang


mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel
antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan
C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran
sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi
C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b
menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan
memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang
berperan dalam kompleks penghancur membran.
Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini
akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu
aluran transmembran sehingga permeabilitas membran
normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalarn
sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
h aktifasi komplemen jalur alternatif. Aktifator jalur
altematif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi
akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor
B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B
dipecah meiijadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb
selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a
dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb
dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan
dalam penghancuran membran.
2. Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis
ekstravaskular. Jika sel darah disensitasi dengan IgG
yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan
dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut
akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses
immune adherence ini sangat penting bagi pemsakan sel
eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence,
terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan
fagositosis.

I. Anemia Hemolitik Auto lmun (AIHA)


A. AlHA tipe hangat
1. idiopatik
2. sekunder (karena cll, limfoma, SLE)
B. AlHA tipe dingin
1. idiopatik
2. sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis,
virus, keganasan limforetikuler)
C. Paroxysmal Cold hemoglobinuri
1. idiopatik
2. sekunder (viral, dan sifilis)
D. AlHA Atipik
1. AIHA tes antiglobulin negatif
2. AlHA kombinasi tipe hangat dan dingin
II. AlHA diinduksi obat
Ill. AlHA diinduksi aloantibodi
A. Reaksi Hemolitik Transfusi
B. Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir

Anemia Hemolitik Imun dapat diklasifikasikan sebagai


berikut: (Tabel 1)

DIAGNOSIS
Gambar 1. Aktifasi komplemen pada AlHA

ETlOLOGl
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas,
kemungkinan tejadi karena gangguan central tolerance,
dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif
residual.

Gambar 2. Skema Direct Antiglobulin Test

Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi


pada eritrosit
DirectAntiglobulin Test (direct Coomb's test):sel eritrosit
pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan
direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal
terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen,
terutarna IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat
salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan tejadi
aglutinasi.

Gambar 3. Indirect Antiglobulin Test

Indirect antiglobulin test (indirect Coomb's test): untuk


mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum.
Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen.
Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada
sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin
sera dengan terjadinya aglutinasi.
Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana
autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 37OC.
Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain.
1. Gejaia dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala
anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan dernam. Pada
beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit
mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat.
UM berwama gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik
terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik
splenomegali w a d i pada 50-60%,hepatomegali terjadi
pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien.
Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan
lirnfonodi.
2. Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7
gldl Pemeriksaan Coomb direk biasanya positip
Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam
serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit.
Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi
dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe
hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel
eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.
3. Prognosis dan survival. Hanya sebagian kecil pasien
mengalami penyqmbuhan komplit dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik,
namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%.
Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan kejadian
kardiovaskuler lain bisa terjadi selamaperiode penyakit
aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 1525%.
Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit
yang mendasari.
4. Terapi:
a. Kortikosteroid : 1- 1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu
sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik

(Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes c


o
o
positip lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal
dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis
diturunkan tiap minggu sarnpai mencapai dosis 10-20
mglhari. Terapi steroid dosis < 30mglhari dapat
diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan
memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah,
namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk
mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera
dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
b. Splenektorni.Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak
bisa dilakukantapering dosis selama 3 bulan, maka perlu
dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancumn sel darah
merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah
splenektomi, narnun akan dibutuhkanjurnlah sel eritrosit
terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar
untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama.
Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%,
namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis
rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.
c. Imunosupresi.Azathioprin 50-200mg/hari (80 mg/m2),
siklofosfarnid50-150 mg/hari (66 mgIm2)
d. Terapi lain:
Danazol 600-800 mglhari. Biasanya danazol dipakai
bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid
diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkanmenjadi 2 0 0 4 0 mg.hari. Kombinasi Danazol
dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai
terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus.
-Efekdanazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps
atau Evan's Syndrome
Terapi immunoglobulininiravena(400 mg/kgBB per hari
selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa
pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif
pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon
hanya 40%Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain
dan responsnya bersifat sementara.
Mycophenolatemofetil500mg perhari sampai l000mg
per hari dilaporkan memberikan hasil yang bagus pada
AIHA refrakter.

Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan


memperlihatkan respon yang cukup menggembirakan
sebagai salvage therapyi7.Dosis Rituximab 100 mg per
minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas
permukaan tubuh.
Terapi plasmafaresis masih kontroversial.
e. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan
kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang mengancam
jiwa (rnisal Hb 5 3 gtdl) transfusi dapat diberikan, sambil
menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.

ANEMIA HEMOLlTlK IMUN TlPE DlNGlN


Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu
aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landstainer.
Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin
IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah
terhadap antigen Ui. Sebagian besar IgM yang punya
spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada ummnya
aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat
rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase
penyembuhan infeksi. Antigen Ili bertugas sebagai
reseptor mycoplasma yang akan meyebabkan perubahan
presentasi antigen dan menyebabkan produksi
autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini
dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan
berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung
dan fagositosis.
a. gambaran klinik: sering terjadi aglutinisasi pada suhu
dingin. Hemolisi berjalan kronik. Anemia biasanya
ringan dengan Hb: 9-12 gldl. Sering didapatkan
akrosianosis, dan splenomegali
b. laboratorium: anemia ringan, sferositosis,
polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I, anti-I, anti Pr, anti- M, atau anti-P.
c. Prognosis dan survival. Pasien dengan sindrom kronik
akan merniliki survival yang baik dan cukup stabil
d. Terapi: menghindarai udara dingin yang dapat memicu
hemolisis
Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu
Chlorambucil2-4mglhari
Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara
teoritis bisa mengurangi emolisis, namun secara praktik
ha1 ini sukar dilakukan.

PAROXYSMAL COLD HEMOGLOBINURI


Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai,
hemolisis terjadi secara masif dan bemlang setelah terpapar
suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena
berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim
autoandibodi Donath-Landsteiner dan protein komplemen

berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 37


C, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein
komplemen yang lain.
a. gambaran klinis; AIHA (2-5%), hemolisis paroksismal
disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala,
hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering
disertai urtikaria
b. laboratorium: hemoglobinuria, sferositosis,
eritrofagositos. Coombs positif, antibodi DonathLandsteiner ~erdisosiasidari sel darah merah.
c. Prognosis dan survival: pengobatan penyakit yang
mendasari akan memperbaiki prognosis. Prognosis pada
kasus-kasus idiopatik pada umumnyajuga baik dengan
survival yang panjang.
d. Terapi: menghindari faktor pencetus. glukokortikoid dan
splenektomi tidak ada manfaatnya.

ANEMIA HEMOLlTlK IMUN DllNDUKSl OBAT


Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis
karena obat yaitu: haptenlpenyerapan obat yang
melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan
kompleks ternary(mekanisme kompleks imun tipe
innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi
terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi
hemoglobin. Penyerayanladsorpsi protein nonimunologis
terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positip tanpa
kerusakan eritrosit.
Pada mekanisme haptenladsorpsi obat, obat akan
melapisi eritrosit.dengan kuat Antibodi terhadap obat akan
dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan
eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut
akan dimsak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari
eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung
eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan
obat atau metabolit obat, tempat ikatan obat perrnukaan
sel target, antibodi, dan aktifasi komplemen. Antibodi
melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan
eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan
antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat
ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut
memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah
tertentu seperti Rh,Kell, Kidd, atau Vi. Pemeriksaan Coomb
biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi
hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan
hemoglobinuri. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat
obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dan
thiazide.
Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi
terhadap eritrosit autolog, seperti contoh methyldopa.
Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan
menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh

pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada


permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak
melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi
autoantibodi ini tidak diketahui.
Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh
karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami
oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif.
Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif.
Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan
ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz
bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh
obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah
nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid.
Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya
tes Coomb positip karena adsorpsi nonimunologis,
immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen dan
plasma protein lain pada membran eritrosit.
a. Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu
positip. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme
hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi
sebagai hemolisi ringan sampai sedang. Bila kompleks
ternary yang berperan maka hemolis akan terjadi secara
berat, mendadak dan disertai gaga1 ginjal. Bila pasien
sudah pernah terpapar obat tersebut, rnaka hemolisis
sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis
tunggal.
b. Laboratorium: anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes
Coomb positip. Lekopenia, trombositopenia,
hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada
hemolisis yang diperantarai kompleks ternary.
c. Terapi: Dengan menghentikan pemakaian obat yang
menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi.
Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada
kondisi berat.

ANEMIA HEMOLlTlK ALOIMUN


'TRANSFUSI

KARENA

Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi


transfusi akut yang disebabkan karena ketidaksesuaian
ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A
pada penderita golongan darah 0 yang memiliki antibodi
IgM anti -A pada serum) yang akan memicu aktifasi
komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan
menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit
pasien akan sesak napas, demam,nyeri pinggang,
menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe
lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya
disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah
terhadap antigen minor ertrosit. Setelah terpapar dengan
sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat
kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.

Thomas AT. Autoimmune Hemolytic Anemia. In Lee GR, Foerster


J, Lukens J eds. Wintrobe's Clinical Hematology. lothed.
Williams&Wikins, Baltimore. 1999: 1233-1255
Petz LD, Allen DW, Kaplan ME. Hemolytic Anemia: Congenital
and Aquired in Mazza JJ ed. Manual of Clinical Hematology. 2"d
ed. Little, Brown and Co, Boston, 1995 : 87-1 14
Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic
Anemia: cold agglutinin disease.Uptodate 2004 (12) 2
Rosse WF, Schrier SL. Clinical Features and Treatment of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin.Uptodate 2004 (12)
2
Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic
anemia: warm agglutinin and Drugs.Uptodate 2004 (12) 2
Janeway C, Travers P, Walport M. Sclomchik M. lmmunobiology:
the immune system in health and disease.5Ih ed. Churcil
Livingstone. 2001
Dhaliwal G, Cornet PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am Fam
Physician 2004;69:2599-2606.
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TI, Williams WJ. Hemolytic Anemia Resulting from Warm-Reacting Antibodies. Williams Manual
of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 127-132.
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Cryopathic
Hemolytic Anemia Williams Manual of Hematology. 6Ih ed.
McGraw Hill, 2003: 133-136.
Kelton JG, Chan h, Heddle N, Whittaker S. Acquired Hemolytic
Anemia. Blood and Bone Marrow Pathology: 185-202
Stiene-Martin EA, Lotsoeich-Steininger CA, Koepke JA. Acquired
lmmune Anemias of lncreased Destruction. Clinical Hematology: Principles, Procedures, Correlation. 2"* ed. Lippincott,
Philadelphia, 1998:280-292
Rosse WF. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria. Uptodnte 2004 (12)
2
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Drug induced
Hemolytic Anemia. Williams Manual of Hematology. 6"'ed.
McGraw Hill, 2003: 137-142
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Transfusion of
Blood and Red Cells. Williams Manual of Hematology. 6Ih ed.
McGraw Hill, 2003: 513-520
Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. Immune Hemolytic AnemiaSelected Topic. Hematology 2006: 1-6
Reardon JE, Marques MB. Laboratorium Evaluation and Transfusion Support of Patients with Autoimmune Hemolytic Anemia
Am J Clin Pathol 2006: 125(Supl ) : S7 1 -S77
Shanafelt TD, Madueme HL, Wolf RC, Teferri A,. Rituximab for
Immune Cytopenia in Adults: Idiopathic Thrombocytopenia.
Autoimmune Hemolytic Anemia, Evan's syndrome. Mayo Clin
Proc 2003:78: 1340-1346
Provan D, Butler T, Evangelista ML. Activity and Safety Profile of
Low Dose Rituxzimab for the treatment of Autoimmune
Cytopenias in Adults. Haematologica 2007;92:1695- 1698.

ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN


:Ikhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo

PENDAHULUAN
Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari
nilai normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat
dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.

Etiologi dan Klasifikasi


Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena:
1). defek molekular: hemoglobinopati atau enzimopati;
2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran;
3). faktor lingkungan seperti trauma, mekanik atau
autoantibodi.
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat
dikelompokkan menjadi:

Anemia hemolisis herediter, yang termasuk kelompok ini


adalah:
Defek enzim/enzimopati
- Defek jalur Embden Meyerhof
- Defisiensi piruvat kinase
- Defisiensi glukosa fosfat isomerase
- Defisiensi fosfogliserat kinase
- Defek jalur heksosa monofosfat
- Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase

- Defisiensi glutation reduktase


Hemoglobinopati
- Thalassemia
- Anemia sickle cell
- Hemoglobinopati lain
Defek membran (membranopati): sferositosisherediter

Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini


adalah:
Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan,
obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi, transfusi
Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia

Purpura (TTP), Sindrom Urernik Hemolitik (SUH),


Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)lDisseminated
Intravascular Coagulatioan (DIC), preeklampsia,
eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik
Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis,
infeksi Clostridium
Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah
resipien, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi:
1).Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien
tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang
kompatibe1,'sedangkansel eritrosit kompatibel normal dapat
bertahan hidup di sirkulasi darah pasien; 2). Anemia
hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat
bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel,
tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan
hidup di sirkulasi darah pasien.
Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin
pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis dikelompokkan
menjadi:
Anemia hemolisisis imun. Hemolisis terjadi karena
keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau gM yang
spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut
autoantibodi).

Anemia hemolisis non imun. Hemolisis terjadi tanpa


keterlibatan imunoglobulin tetapi karena faktor defek
molekular, abnormalitas struktur membran, faktor
lingkungan yang bukan autoantibodi seperti
hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena
mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan
kerusakan eiitrosit tanpa mengikutsertakan
mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan
klostridium.
Pada bagian ini yang dibahas hanya anemia hemolisis
non imun yang bukan disebabkan oleh thalasemia dan
hemoglobinopati lain.

Patofisiologi
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular.Hal
ini tergantung pada patologi yang mendasari suatu
penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi e~itrosit
terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma
mekanik, fiksasi komplernen dan aktivasi sel pe~mukaanatau
>infeksiyang langsung mendegradasi dan mendestruksi
men~bransel eritrosit. Hemolisis intravaskularjarang terjadi.
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis
.ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi
sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena
sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak
dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga
'difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.

Manifestasi Klinis
Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin
mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien
mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan,
meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan
terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi
penting yang harus ditanyakan saat anamnesis.
Pada perneriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa
kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia
'hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia
dan aliran murmur pada katup jantung.
. Selain hal-ha1 umum yang dapat ditemukan pada
anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan
pemeriksaan fisik hal-ha1 yang bersifzt khusus untuk
anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus
tungkai pada anemia sickle cell.

Pemeriksaan Laboratorium
Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis.
Retikulositosis mencerminkan adanya hiperplasia eritroid
di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu
diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari
setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding
retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan
perbaikan supresi eritropoeisis.
Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun
retikulositosis meningkatkan ukuran mean corpuscular
volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya
hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada
sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun; sel
target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati;
Schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular dan
lain-lain.
Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain,
peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama LDH 2,
dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan
destruksi eritrosit.
Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular,

meningkatkan katabolisme heme dan pembentukan


bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil
hemolisis terikat dengan haptoglobin. Hemoglobinhaptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar
haptoglobin rnenjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada
hemolisis intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat
melebihi kadar haptoglobin sehingga hemoglobin bebas
difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus
proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil metabolisme
di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan
simpanan protein (feritin dan hemosiderin). Selanjutnya
hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai
hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif,
ambang kapasitas absorpsi heinoglobin oleh tubulus
proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke
urin dalarn bentuk hemoglobinuria.

Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk


menghasilkan energi (ATP). ATP digunakan untuk kerja
pompa ionik dalam rangka mempertahankan milieu ionik
yang cocok bagi eritrosit. Sebagian kecil energi hasil'
metabolisnie tersebut digunakan juga untuk penyediaan
besi hemoglobin dalam bentuk ferro. Pembentukan ATP
ini berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof yang
melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase
dan piruvat kinase. Selain digunakan untuk membentuk
energi, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme
dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan
bantuan enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
untuk menghasilkan glutation yang penting untuk
melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan.
Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fofat isomerase
dan glukosa 6 fosfat dehidrogenase dapat mempermudah
dan mempercepat hemolisis. Berturut-turut prevalensi
tersering kejadian defisiensi enzim tersebut adalah G6PD,
piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase.

Defek Jalur Heksosa Monofosfat


Metabolisme glukosa melalui jalur ini meningkat beberapa
kali ketika eritrosit terpajan dengan obat-obatan atau toksin
yang membentuk radikal oksigen. Dengan ini terjadi
regenerasi glutation tereduksi, perlindungan gugus
sulfhidril hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidasi.
Jika jalur ini terganggu karena faktor herediter, maka kadar
glutation tereduksi yang adekuat tidak dapat dipertahankan
sehingga gugus sulfhidril hemoblobin teroksidasi,
terpresipitasi dalam eritrosit dan membentuk Heinz
bodies. Terganggunya jalur ini dapat disebabkan oleh
defisiensi G6PD dan glutation reduktase. Namun dernikian,
kelainan pada glutation reduktase belum terbukti
berhubungan bermakna dengan hemolisis.

1159

ANEMIAHEMOIS~~K
NON AUTOIMUN

Defisiensi GGPD

Etiologi dan epidemiologi.Defisiensi enzim ini paling sering


mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen yang
terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih
sering mengenai laki-laki. Pada perempuan biasanya
carrier dan asimptomatik. Di seluruh dunia, terdapat lebih
dari 400 varian G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena
adanya perubahan subtitusi basa berupa peggantian asam
amino. Banvaknva
,
, varian ini menimbulkan variasi
manifestasi klinik lebar, mulai dari hanya anemia hemolitik
nonsferositik tmpa stres oksidan, anemia hemolitik yang
hanya terjadi ketika distimulasi dengan stres oksidan ringan,
sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi secara
klinis. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD
yang bermakna secara klinik adalah tipe A-. Tipe ini terutama
ditemukan pada orang keturunan Afrika. Tipe Mediteranian
relatif sering ditemukan diantara orang Mediteranian asli,
dan lebih berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan
anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif
yang jelas.
1Wanifestasi klinis. Aktivitas G6PD yang normal menurun
-50% pada waktu umur eritrosit mencapai 120 hari. Pada
Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih
cepat lagi pada varian Mediteranian. Meskipun umur
eritrosit pada tipe A- lebih pendek namun tidak
menimbulkan anemia kecuali bila terpajan dengan infeksi
virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yang
dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan
hemolisis. Obat-obatan atau zat yang dapat mempresipitasi
hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah
asetanilid, fuzolidon (furokson),isobutil nitrit, metilen blue,
asam nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin,
fenazopiridin (piridium), primakuin, pamakuin, dapson,
sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon,
toluidin blue, trinitrotoluen, urat oksidase, vitamin K,
doksorubisin. Asidosis metabolikjuga dapat mempresipitasi
hemolisis pada pasien defisiensi G6PD.
Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajan
dengan oksidan, diikuti hemoglobinuria dan kolaps
pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis
biasanya self-limited karena yang mengalami destruksi
hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A- massa
eritrosit menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut
hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk
Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital
dengan violet kristal. Heinz bodies tampak pada hari
pertama atau saqpai ketika badan inklusi ini siap
dikeluarkan oleh limpa sehingga membentuk "bite cells".
Mungkin juga ditemukan beberapa sferosit. Sebagian kecil
pasien defisiensi G6 PD ada yang sangat sensitif dengan
fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis
hemolisis fulrninan setelah terpajan.

Diagnosis. Diagnosis defisiensi G6PD dipikirkan jika ada


episode hemolisis akut pada laki-laki keturunan Afrika atau
Mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang
kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan, misalnya
obat atau zat yang telah disebutkan di atas. Pemeriksaan
aktivitas enzim mungkin false negatif jika eritrosit tua
defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan
aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan
kemudian ketika ada sel-sel yang tua.
Terapi. Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-,
hemolisis terjadi self- limited sehingga tidak perlu terapi
khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan
hindari obat-obatan atau zat yang mempresipitasihemolisis
serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena
adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis
berat, yang bisa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin
diperlukan transfusi darah.
Yang terpenting adalah pencegahan episode hemolisis
dengan cara mengobati infeksi dengan segera dan
memperhatikan risiko penggunaan obat-obatan, zat
oksidan dan fava beans. Khusus untuk orang Afnka atau
Mediteranian sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan
harus dilakukan skrining untuk mengetahui ada tidaknya
defisiensi G6PD.
Defek Jalur Embden Meyerhof

Etiologi dan epidemiologi. Enzim yang dapat terganggu


pada jalur ini dan mengakibatkan anemia hemolisis adalah
piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat
kinase. Yang terbanyak adalah defisiensi piruvat kinase
(95%). Sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase
hanya sekitar 4%. Defek enzim glikolisis ini bisanya
diturunkan secara autosomal resesif kecuali fosfogliserat
kinase yang diturunkan terkait seks.
Kelainan ini mengakibatkan eritrosit kekurangan ATP
dan ion kalium keluar sel. Sel eritrosit menjadi kaku dan
lebih cepat disekuestrasi oleh sistem fagosit mononuklir.
Defisiensi piruvat kinase hanya mengenai sel eritrosit,
sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase dan
fosfogliserat kinase juga mengenai sel leukosit meskipun
tidak mempengaruhi fungsi leukosit.
Manifestasi klinis. Beratnya anemia bervariasi dan
gejalanya relatif ringan karena terjadi disosiasi kurva hemoglobin ke kanan. Hemolisis berat terjadi pada masa awal
kanak-kanak dengan anemia, ikterus dan splenomegali. Pada
perempuan dengan defsisiensi piruvat kinase dapat sangat
pucat ketika hamil sehingga sering didiagnosis pertama
kali saat itu. Anemia pada pasien ini berupa anemia
normositik (makrositik ringan) normokram deogan
retikulositosis. Pada defisiensi piruvat kinase dapat
ditemukan eritrosit bizar di antaranya sel prickle terutama
setelah splenektomi.
Diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

enzimatik khusus dengan menggunakan konsentrasi


substrat yang sesuai untuk mendeteksi varian-varian
berafinitas rendah terhadap substrat.
Terapi. Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi
kecuali pasien dengan hemolisis berat hams diberikan asam
folat 1 mglhari. Transfusi darah diperlukan ketika krisis
hipoplastik.
Splenektomi bermanfaat pada pasien dengan defisiensi
piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase. Dengan
splenektomi retikulosit di sirkulasi meningkat.

Tipe

Sebab

Kegagalan
degradasi faktor
von Wilebrand
multimer besar
yang tidak biasa

Thrombotic
Trombocytopenia
Purpura

Trombus
trombositfibrin
predominan
di ginjal

Pajanan dengan
toksin Shiga

Klasik, kanak-kanak
atau Hemolytic Uremic
Syndrome yang
berhubungan dengan E.
Coli
Hemolytic Uremic
Syndrome (HUS) familial
(atau rekuren)

Defek faktor H
plasma

Pada hemolisis rnikroangiopatik terjadi kerusakan membran


sel eritrosit secara mekanik dalam sirkulasi darah karena
adanya fibrin atau mikrotombi trombosit yang tertimbun
di arteriol. Sel eritrosit terperangkap dalam jala-jala fibrin
dan mengakibatkan terfragmentasinya sel eritrosit.
Hemolisis mikroangiopatik dapat terjadi pada
abnormalitas dinding pembuluh darah, misalnya pada
hipertensi maligna, eklampsia,rejeksi allograft ginjal, kanker
diseminata, hemangioma atau disseminated intravascular
coagulation (DIC), dan mikroangiopati trombotik:
Trombotic Thrombocytopenia Purpura (TTP) dan
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).

Mikroangiopati Trombotik
Mikroangipati trombotik adalah sumbatan mikrovaskular
yang terjadi karena agregasi trombosit sistemik atau
intra,?.~lal,
disertai adanya trombositopenia, dan trauma
mek,.;ni.ksel eritrosit.Yang termasuk kelompok kelainan ini
adalah: Thrombotic Trombositopenia Purpura (TTP) dan
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).
Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP)
~ e l a i n a nini ditandai dengan agregasi trombosit pada
arteriol berbagai organ yang mengakibatkan
trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang
mengalami fragmentasi (schistocytes atau sel helmet).
Agregasi trombosit dapat mengakibatkanoklusi baik parsial
atau total sehingga terjadi disfungsi organ yang biasanya
terjadi pada sistem saraf atau ginjal. Oklusi ini
menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik sehingga
meningkatkan kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit
yang mengalami fragmentasi terjadi karena adanya aliran
darah melalui area turbulen dari rnikrosirkulasi mengalami
oklusi parsial karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi
pada semua usia terutama dewasa muda dan lebih sering
perempuan.
Patogenesis. Pada TTP trombus tombositlagregasi
trombosit mengandung banyak faktor von Willebrand
sedangkan pada DIC tombus trombosit mengandung
banyak fibrin tetapi tidak mengandung faktor von

Presentasi klinis
-

Trombus
tombosit
sistemik

Trombus
renal atau
sistemik

Transplantasi atau
obat (mytomicin,
cyclosporin,
tacrolimus,
quinine)

Hemolytic Uremic
Sydrome atau
Thrombotic
Trombocytopenia
Purpura

Wilebrand. Situasi ini karena agregasi trombosit pada?TP


diperantarai oleh faktor von Wilebrand multimer besar yang
tidak biasa, yang lebih mudah:berikatan dengan Iba.
Adanya faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak
biasa ini karena adanya defek atau defisiensi enzim
metaloprotease, ADAMTS 13, yang bertugas memecah
multimer faktor von Wilebrand.Defek atau defisiensi enzim
ini dapat terjadi karena mutasi gen atau adanya antibodi
yang menghambat enzim tersebut. Sehingga ditemukan dua
tipe TTP yaitu familial dan didapat. Pada kedua tipe ini
aktivitas ADAMTS 13 kurang dari 5 persen normal.
Manifestasi klinik. Manifestasi klinik klasik TTP adalima,
yang sering disebut dengan pentad TTP, yaitu anemia
hemolitik dengan fragmetasi eritrosit, trombositopenia,
kelainan neurologik fokal atau difus, penuiunan fungsi ginjal
dan demam. Secara praktis triad ITP:trombositopenia, skistositosis, dan peningkatan LDH cukup untuk menduga
adanya TTP.
Gejala dan tanda TTP bervariasi tergantung pada jumlah
dan lokasi lesi arteriol. Anemia pada TTP bisa sangat ringan
sampai sangat berat dan derajat trombositopenia biasanya
paralel dengan derajat anemia. Gejala neurologi biasanya
tarnpakjika jumlah trombosit (40.000-30.000). Demam tidak
selalu ada. Onset TTP akut tetapi bisa berlangsung dalam
hitungan bulan. Proteinuria dan peningkatan urea nitrogen
darah (BUN) mungkin ditemukan dan terus meningkat jika
berkembang menjadi gagal ginjal.
Gejala neurologis berkembang pada >90% pasien yang
penyakitnya berakhir dengan kematian. Awalnya terjadi
perubahan mental seperti bingung, delirium, perubahan
kesadaran. Pasien dapat mengalami kejang, hemiparesis,
afasia, dan kelainan lapang pandang mata. Gejala
neurologis ini berfluktuasi dan berakhir dengan koma.
Keterlibatan pembuluh darah jSCntung bisa mengakibatkan
kematian mendadak.
Beratnya kelainan dapat diperkirakan dengan derajat

ANEMIA H E M o m NON AVrOIMUN

anemia, trombositopenia, dan kadar serum LDH.


Masa protrombin, masa tromboplastin parsial, dan .
konsentrasi fibrinogen serta kadar fibrin degradation
product (FDP) biasanya normal atau hanya abnormal
ringan. Bilapemeriksaan koagulasi menunjukkan konsumsi
faktor pembekuan yang berlebihan maka diagnosis TTP
diragukan. Pada 20% pasien didapatkan Anti nuclear
antibody (ANA) yang positif.

Klasifikasi
Ada dua tipe TTP: 1). Familial. Muncul pada masa bayi
atau kanak-kanak dan kambuh dengan interval teratur tiga
minggu (dirujuk sebagai thrombotic trombositopenia
kronik kambuh); 2). Idiopatik didapat. Muncul pada orang
dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan biasanya
merupakan episode akut tunggal. Hanya 11-36% yang
kambuh dengan interval tidak teratur. Biasanya terjadi
dalam beberapa minggu setelah terapi awal trombosis arteri
pada pasien trombosis arteri yang mendapat tiklopidin,
inhibitor adenosis disfosfat (ADP) dan sebagian kecil yang
pasien yang menerima Mopidogrel. Kelainan ini juga bisa
terjadi pada waktu kehamilan terutama trimester akhir atau
periode postpartum.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anemia
hemolitik dengan fragmentasi eritrosit, tes koagulasi
normal, demam, kelainan neur~logidan gangguan fungsi
ginjal, yang merupakan kelainan patognomonik untuklTP.
Meski tidak selalu dibutuhkan untuk diagnosis, biopsis
kulit dan otot, gusi, kelenjar getah bening, atau sumsum
tulang, menunjukkan kelainan arteriol yang khas.
Diagnosis Banding. Idiopathic trombocytopenic purpura
(ITP) atau Evan's Syndrome. Pada kedua kelainan ini
ditemukan juga fragmentasi eritrosit tetapi bukan eritrosit
sferositik. Pada TTP tes Coombs negatif
Terapi. Pada TTP familial, episode TTP dapat dicegah
dengan pemberian fresh frozen plasma yang mengandung
sedikit trombosit, plasma mengandung sedikit kriopresipitat
(cryosupernatant) atau plasma yang dicampur dengan
pelarut dan detergen yang berisi metaloprotease aktif yang
diberikan tiap tiga minggu. Tidak dibutuhkan plasmaferesis.
Pada TTP idiopatik didapat perlu dilakukan plasma
exchage (plasma tukar) yaitu kombinasi plasmaferesis
dengan infus FFP atau cryosupernatant, setiap hari.
Plasmaferesis bertujuan untuk mengeluarkan faktor von
Wilebrand multimer besar yang tidak biasa dan
autoantibodi terhadap ADMTS 13). Jika respon baik
(trombositmeningkat dan LDH menurun) frehensi plasma
tukar dapat dikurangi tetapi kadang-kadang diteruskan
untuk beberapa minggu atau bulan. Lebih dari 90% pasien
dapat bertahan hidup dengan pemberian segera terapi ini.
Pada keadaan dimana autoantibodi ADAMTS 13

titernya tinggi terapi plasma tukar mungkin tidak


memperbaiki keadaan. Pada kondisi ini dapat diberikan
vincristine, siklofosfamid, atau dilakukan splenektomi.
Koma tidak merupakan kontraindikasi terapi karena
perbaikan status neurologi pasien merupakan parameter
respons terapi.
Transfusi trombosit tidak boleh diberikan karena dapat
mempresipitasi kejadian trombosis kecuali terbukti adanya
ancaman perdarahan intrakranial. Aspirin dapat
inemprovokasi perdarahan pada pasien dengan
trombositopenia berat.

Hemolytic Uremic Syndrome ( H U S )


Etiologi, epidemiologi dan patogenesis. HUS terjadi pada
9-30% anak-anak. Di Buenos Aires Argentina, dan Calgary,
Canada, infeksi enterohemoragik E. Coli endemik dan HUS
menjadi sebab umum gagal ginjal akut pada anak-anak.
Biasanya diawali dengan diare berdarah yang
disebabkan oleh Eschericia Coli 0157:H7 yang
menghasilkan toksin Shiga 1 dan 2 dan Shigela dysentriae
yang menghasilkan toksin Shiga, yang sering
mengkotaminasi daging, susu, dan keju yang tidak dimasak
dengan matang. Diare berdarah biasanya terjadi satu
minggu sebelum HUS.
Toksin shiga masuk ke dalam sirkulasi intestinal dan
berjalan di dalam plasma dan permukaan trombosit atau
monosit. Toksin berikatan dengan molekul endotel kapiler
glomerular, sel mesangial, dan sel epitel glomerulardan tubular, yang kemudian merusak endotel sel melalui
pembentukan faktor von Wilebrand multimer besar yang
tidak biasa.
HUS bisa familial tapi jarang (5-10%). Meski jarang,
mortalitas HUS familial lebih tinggi (54%) daripadaHUS pada
anak-anak (5%). Sebagianbe.sar pasien HUS familialmengalami
defisiensi atau defek faktor komplemen H yang bertugas
mencegah kerusakan sel melalui jalur altematif komplemen.
Defek faktor H ini terjadi karena adanya mutasi pada gen
faktor H yang dapat diturunkan secara resesif dan dominan.
Herediter resesif bermanifestasi HUS pa& dewasa muda
sedangkan herediter dominan bermanifestasi HUS
dipresipitasi oleh infeksi atau kehamilan.
Di sarnping dua tipe di atas, ditemukanjuga HUS yang
terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat antikanker
mitomycin C, bisanya dalam kombinasi dengan obat lain
dan pasien yang menerima kemoterapi dosis tinggi dengan
transplantasi sumsum tulang autologus.
Manifestasi klinik. Kelainan ini hampir sama dengan lTP,
bercirikan lesi arteriol dan temuan laboratoriunyang sama.
Lesi arteriol HUS hanya terjadi di ginjal sehingga jarang
menimbulkan kelainan neurologi. Anemia hemolitik,
trombositopenia purpura, dan gagal ginjal akut oligurik.
Kebanyakanpasien mengalami hemoglobinuriaatau anuria.
Pemeriksaan darah tepi dan tes koagulasi tidak dapat

dibedakan dengan 'M'P.


Terapi. Pada HUS ringan pada anak-anak dengan
oligoanuria <24 jam, biasanya pemberian cairan dan
elektrolit cukup. Pada dewasa sering teriadi gagal ginjal
akut yang lebih berat sehingga membutuhkan perawatan
seperti penyakit gagal ginjal terminal, dialisis. Terapi lain
adalah plasmaferesis dan transfusi. Pemberian FFP yang
mengandung faktor H tidak mencegah kekambuhan maupun
progresivitas penyakit ginjal. Antimotilitas dan antibiotik
dapat meningkatkan HUS. Efikasi glukokortikoid, dekstran
dan heparin belum jelas.

Koagulasi lntravaskular Diseminata (KID)


Lebih jarang menimbulkan anemia karena derajat
hemolisinya lebih sedikit dibandingkan dengan 'M'P dan
HUS. KID terjadi karena aktivasi sistem koagulasi yang
tidak sesuai yang dipicu deposisi fibrin pada dinding
pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan
fragmentasi eritrosit pada seperempat pasien KID. Terapi
sesuai terapi KID dan sebab yang mendasarinya.
Kelainan Dinding Pembuluh Darah Lain
Hipertensi maligna, eklampsia, rejeksi alograf ginjal, kanker
diseminata atau hemangioma dapat menyebabkan hemolisis
traumatik. Derajat hemolisisnya ringan tetapi banyak
ditemukan fragmentasi eritrosit di darah tepi.
Trombositopenia berat dapat ditemukan pada beberapa
pasien. Terapi penyakit dasarnya dapat menghentikan
hemolisis.
Katup Prostesis
Pada 10% pasien dengan katup prostesis aorta terjadi
framentasi sel eritrosit. Meski sedikit ha1 ini bisa terjadi
juga pada prostesis katup mitral. Pemendekan waktu hidup
eritrosit terjadi juga pada beberapa pasien dengan stenosis aorta kalsifikasi berat dan hampir semua lesi
intrakardiak. Pasien yang menjalani bypass aortofemoral
juga diamati mengalami hemolisis traumatik
Sferositosis Herediter
Sferositosis herediter merupakan kelompok kelainan sel
darah merah dengan gambaran eritrosit bulat seperti donat
dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Sferositosis
herediter merupakan kelainan autosom dominan dengan
insiden 1:1000 sampai 1:4500 penduduk. Pada lebih kurang
20% pasien penyakit ini merupakan kelainan autosom
resesif yang diturunkan dan mutasi genetik spontan.

Etiologi dan patogenesis. Kelainan utama pada sferositosis


herediter adalah terdapatnya defek pada protein pembentuk
membran eritrosit, akibat defisiensi spectrin, ankryn dan
atau protein pita 3 atau protein 4.2. Hal ini menyebabkan
defek vertikal dan kehilangan membran lemak dan luas

permukaan secara progresif diiku'ti pembentukan


mikrosferosit. Akibat kelainan tersebut terjadi peningkatan
fragilitas osmotik eritrosit menyebabkan bentuk eritrosit
yang bulat dan hilangnya permukaan membran. Terjebaknya
sel eritrosit dalam limpa

Manifestasi klinis dan laboratoris. Gejala klinis mayor


sferositosis herediter adalah anemia, splenomegali dan
ikterus. Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput
dari perhatian orang tua saat anak 'masih kecil. Akibat
peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi
eritrosit, sering terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan
pada masa kanak-kanak.
Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai
kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui perluasan
sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak
jarang terjadi eritropoiesis ekstra meduler di
paravertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto
thoraks.
Kompensasi sumsum tulang terkadang mengalami
gangguan akibat keadaan hipoplasia eritroid yang dipicu
adanya infeksi terutama oleh Parvovirus.
Splenomegali merupakan ha1 yang umum terjadi.
Kecepatan hemolisis meningkat perlahan selama
terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa.
Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit
yang kecil berbentuk bulat dengan bagian sentral yang
pucat. Hitung MCV biasanya normaltsedikit menurun.
MCHC meningkat sampai 350-400 gtdl. Untuk mt-ngetahui
secara kuantitatif sferoidisitas dilakukan pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan
hipoosmotik.
Diagnosis dan terapi. Sferositosis herediter harus
dibedakan dengan sel sferosit pada anemia hemolitik
autoimun dengan pemeriksaan uji Coombs.
Sferositosis juga terjadi pada reaksi hemolisis akibat
splenomegali pada pasien sirosis hepatis, infeksi
clostridium, bisa ular. Kelainan ini juga dapat terjadi pada
anemia hemolitik yang lain seperti pada pasien defisiensi
enzim G6PD.
Pengobatan. Splenektomi dianjurkan pada pasien dengan
anemia hemolitk sedang dan berat. Meskipun pasca
splenektomi, anemia tetap terjadi, namun tidak berat. Pada
anemia hemolitik yang berat, perlu diberikan preparat asam
folat 1 mglhari sebagai profilaksis.
Elipsitosis Herediter
Ditandai oleh eritrosit dengan bentuk oval atau elips. Insiden
Elipsitosis herediter ini diperkirakan 1:1000 sampai 1:4500
penduduk. Insiden sebenarnya tidak diketahui karena derajat
keparahan secara klinis bervariasi kadang tanpa gejala.
Etiologi dan patogenesis. Prinsip kelainan pada elipsitosis
herediter adalah kelemahan secara mekanis yang berakibat
meningkatnya fragilitas osmotik membran eritrosit. Hal ini

ANEMIA HEMOLSIlKNON AUTOIMUN

disebakan adanya gangguan sintesis protein spectrin a


dan p, protein 4.1 dan glicophoryn C pembentuk membran
eritrosit. Sebagian besar kelainan ini diturunkan secara
autosomal dominan.

Gejala klinis dan laboratoris. Gejala klinis bervariasi, dari


tanpa gejala sampai anemia berat. Hemolisis yang terjadi
dipicu adanya infeksi, hipersplenisme, defisiensi vit B 12
atau adanya KID.
Pada pemeriksaan laboratorik didapatkan gambaran eritrosit
bentuk elips menyerupai puntung rokok. Dapat pula dijumpai
eritrosit bentuk oval, spherosit, stomasit dan fragmen.
Pengobatan. Pengobatan jarang dibutuhkan pasien. Pada
beberapa kasus yang jarang diperlukan pemberian tranfusi
sel darah merah. Pada kasus yang berat, splenektomi
merupakan pengobatan paliatif mencegah kerusakan dan
destruksi eritrosit yang berlebihan. Pasien dengan hemolisis
kronik perlu diberikan asam folat sebagai profilaksis.

Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria (PNH)


PNH ditandai oleh penurunan jumlah sel darah merah
(anemia) serta terdapatnya darah di dalam urin
(hemoglobinuria) dan plasma (hemoglobinemia), yang
terjadi setelah tidur. Pasien PNH berisiko tinggi mengalami
kejadian trombosis mayor. terbanyak trombosis pada aorta
abdominalis. Kebanyakan pasien meninggal akibat
trombosis ini.

Etiologi dan patogenesis. Penyebab kelainan ini adalah


defisiensi ensim PIG-A (phosl~halidylinositol&can class
A ) yang diperlukan untuk sintesis protein pengikat sel. Protein yang merupakan bagian terluar sel melekat pada
membran sel dengan bantuan protein glikosilfosfatidilinositol (GPI) dan PIG-A dibutuhkan untuk sintesis protein tersebut. Bila terdapat gangguan pembentukannya
protein perniukaan yalig melindungi sel dari komplemen
hilang, sehingga mejnudahkan penghancuran sel darah.
Persentase sel darah merah yang niengalami kerusakan
menentukan beratnya penyakit.
Manifestasi klinis dan laboratoris. Tiga manifestasi yang
sering terjadi adalah anemia hemolitik, trombosis vena dan
gangguan hematopoiesis. Hemoglobinuria dan
hemosiderinuria berkala terjadi pada kebanyakan
pasien.Granu1ositopenia dan trombositopenia sering
terjadi, menandakan adanya gangguan hematopoiesis.
Gambaran sumsum tulang nonnoselular.
Diagnosis dan terapi. PNH perlu dicurigai pada pasien
dengan anemia hemolitik yang tidak diketahui
penyebabnya, terutama bila disertai leukopenia dan atau
trombositopenia. Serta terdapatnya tanda hemolisis
intravaskular (hemoglobinemia. hemoglobinuria dan
peningkatan LDH).
Transfusi sel darah merah merupakan terapi terbaik,
tidak hanya meningkatkan kadar Hb, tetapi juga menekan

produksi sel darah merah di sumsum tulang selamakeadaan


hemoglobinuria. Sel darah merah cuci dianjurkan untuk
mencegah peningkatan hemolisis. Pemberian hormon androgen kadang dapat meningkatkan Hb. Pemberian
preparat glukokortikoid (prednison 60 mglhari) dapat
nienurunkan kecepatan hemolisis.

Hipersplenisme
Limpa normal berbagi fungsi dengan jaringan lain dalam
ha1 pembentukan, penyimpanan dan penghancuran sel
darah serta produksi antibodi. Namun limpa memiliki
kemampuan unik untuk melakukan penyaringan terhadap
sel darah serta menyingkirkan sel yang abnormal maupun
benda asing.
Limpa memiliki 2 fungsi dasar, yaitu:
Fungsi penyaring dan surveilan terhadap komponen
darah di pulpa merah (oleh makrofag)
Fungsi sintesis antibodi di pulpa putih
Hipersplenisme merupakan proses penghancuran sel
darah yang berlebihan oleh limpa. Hal ini terjadi ketika
ukuran limpa mengalami peningkatan baik sel maupun
jaringan atau desakan pembuluh darah. Keadaan ini
meningkatkan peran fungsi penyaring, sehingga sel darah
normal pun akan mengalami perlambatan serta proses
penghancuran sementara. Walaupun proses penghancuran
granulosit dan trombosit menyebabkan neutropenia dan
trombositopenia, namun ke dua jenis sel tersebut dapat
beradaptasi dengan perlambatan proses penyimpanan di
limpa. Berbeda dengan sel darah merah yang terperangkap
akan mengalami penghancuran menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik.
Dameshek berpendapat bahwa hipersplenisme
umumnya dihubungkan dengan keadaan splenomegali,
~nenyebabkanterjadinya sitopenia yang berakibat
terjadinya kompensasi hipeplasi sumsum tulang.
Kebanyakan kelainan ini harus dikoreksi dengan
splenektomi.

lnfeksi Mikroorganisme
Mikroorganisme memiliki mekanisme yang bermacammacam saat menginfeksi eritrosit menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Ada yang secara langsung menyerang
eritrosit seperti pada malaria, babesiosis dan bartonellosis.
Melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Closrridium
perfringens, pembentukan antibodi atau otoantibodi
terhadap eritrosit. Dapat pula dengan deposit antigen
mikroba atau reaksi kompleks imun pada eritrosit.

Malaria
Pada infeksi malaria, derajat anemia yang terjadi tidak
sesuai dengan rasio jumlah sel yang terinfeksi, namun
penyebabnya masih belum jelas. Fragilitas osmotik pada
sel yang tidak terinfeksi maupun yang terinfeksi mengalami

peningkatan. Penghancurap eritrosit pada infeksi malaria


disebabkan lisisnya eritrosit akibat infeksi langsung,
peningkatan proses penghancuran eritrosit yang
mengandung parasit dan prosfs otoimun. Namun tidak
satupun mekanisme di atas yang dapat menjelaskan
terjadinya anemia berat pada malaria.
Proses penghancuran sel daiah merah sebagian besar
berlangsung di limpa. Splenopmegali merupakan gejala
yang sering dijumpai pada infeksi malaria kronik.
Diagnosis dan terapi. Diagnosis malaria ditegakkan dengan
menemukan parasit pada pulasan darah tebal atau
didapatkannya sekuens parasit malaria pada analisis DNA.
Terapi anemia pada infeksi malaria pada dasarnya dengan
mengeradikasi parasit penyebzb. Transfusi darah segera,
sangat dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 gldl.
Preparat asam folat sering diberikan pada pasien. Pemberian
besi sebaiknya ditunda sampai tegbukti adanya defisiensi besi.

Bartonellosis
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh Bartonella
baciliformis yang melekat pada permukaan sel eritrosit.
Eritrosit yang terinfeksi mengalami indentasi, invaginasi
serta terbentuknya saluran. Eritrosit yang terinfeksi,
dengan cepat dihancurkan olek hati dan limpa. Anemia
hemolitik akut terjadi pada saat demam "Oroya" di mana
dengan cepat jumlah eritrosit mengalami penurunan
sampai 750.000/uL.
Diagnosis dan terapi. Diagnosis ditegakkan dengan
menemukan B baciliformis pada sel eritrosit. Dengan
pewarnaan Giemsa didapatkan bentuk batang berwarna
merah jingga.
Pengobatan dengan penisilin, streptornisin,klorardenikol
dan tetrasiklin memberikan respons sangat baik.
Babesiosis
Babesia merupakan protozoa intra eritrosit, yang ditularkan
melalui gigitan kutu rambut, yang dapat menginfeksi hewan
ternak maupun hew an liar. Pada manusia penyakit ini tidak
hanya ditularkan melalui gigitan kutu, tetapi juga lewat
,ransfusi darah.
e

Diagnosis dan Terapi. Parasit ini dapat terlihat melalui


pulasan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa. Uji
serologi dengan antibodi terhadap Babesia serta uji PCR
dapat membantu penegakkaq diagnosis. Pengobatan
dengan klindamisin dan kuinin memberikan hasil yang
memuaskan. Transfusi tukar juga rnemberikan perbaikan
:tang nyata.
Anemia Sel Spur
Anemia sel spur merupakanjenis anemia hemolitik dengan
iwntuk eritrosit yang aneh, terjadi pada 5%pasien dengan
penyakit hepatoseluler, terutama sirosis "Laennec" tahap
lmjut.
).

Patogenesis. Hampir 50-70% kolesterol terdapat pada


permukaan membran, sehingga menurunkan kadar air serta
menyebabkan perubahan bentuk sel. Akibat bentuknya
yang padat ini menyebabkan sel merah tidak dapat melewati
proses penyaringan di limpa, terlebih lagi dengan adanya
splenomegali kongestif akibat sirosis.
Manifestasi klinis. Anemia yang terjadi cukup berat.
Splenomegali didapatkan pada semua pasien sirosis
dengan sel spur.Se1darah merah irreguler dengan tambahan
taji di sekitarnya serta sejumlah kecil sel darah merah yang
terfragmentasi dengan bentuk yang aneh sering dijumpai
pada preparat.
Diagnosis dan terapi. Pasien dengan anemia sel spur
mengalami reaksi hemolisis yang berat. Gambaran sel darah
merah yang khas berupa sel darah merah bertajilakantosit
yang memiliki panjang yang tidak beraturan dapat dijumpai
pada pulasan darah.
Transfusi darah hanya memberikan keuntungan
sesaat. Obat penurun lemak juga tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Splenektomi dilaporkan dapat
mencegah perlambatan waktu transit sel darah merah di
limpa dan penghancuran dini. Namun splenektorni sangat
berisiko tinggi pada pasien sirosis hati dengan hipertensi
portal serta terdapat gangguan pembekuan darah.

Beutler E. Hemolytic anemia due to infection with microoganism.


In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U,
editors. Williams hematology. 6Ih edition. New York: Mc Graw
Hill; 2001. p. 633-5.
Bunn F, Rosse W. Hemolytic anemias and acute blood loss. In:
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hause SL, Longo DL,
Jameson J, editors. Harrison's principles of internal medicine.
16Ih edition. New York: Mc Graw Hill; 2005. p. 607-16.
Dhaliwal G Cornett PA, Tierne LM. Hemolytic anemia. Am Fam
Physician. 69:2599-606.
Erslev AT. Hypersplenism and hyposplenism. In: Beutler E, Lichtman
MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams
hematology. 6Ih edition. New York: Mc Graw Hill; 2001. p. 6835.
Gallagher PG, Forget BG. Hereditary spherocytosis, elliptocytosis
and related disorders. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS,
Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematology. 6th
edition. New York: Mc Graw Hill; 2001. p. 503-11.
Greenberg PL, Gordeuk V, Issaragrisil S, Siritanaratkul N, Fucharoen
S, et al. Major hematologic diseases in the developing worldnew aspects of diagnosis and management of thalassemia,
malarial anemia, and acute leukemia. Hematology (Am Soc
Hematol Educ Program). 2001;479:98.
Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Haemolytic anaemias. In:
Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH, editors. Essential
hematology. London: Blackwell Science; 2001. p. 57-70.
Moake JL. Thrombotic microangiopathies. N Engl J Med. 347589600.
Tsai HM. Advances in pathogenesis, diagnosis, and treatment
thrombotic trombositopenia purpura. J Am Soc Nephrol.
2003;14: 1072-81.

PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN


Ibnu Purwanto

PENDAHULUAN
Purpura TrombositopeniaIrnun (PTI) yang dahulu dikenal
sebagai Idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP) dan
kemudian selanjutnya disebut juga sebagai Immune
thrombocytopenic purpura rnerupakan suatu kelainan
didapat yang berupa gangguan autoirnun yang
rnengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya
penghancuran trornbosit secara dini dalam sistern
retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap
trornbosit yang biasanya berasal dari Irnmunoglubolin G
Kata trombositopeniamenunjukkan bahwa terdapat angka
uornbosit yang rendah, sedandkan kata purpura berasal
dari suatu deskripsi akan kulit yang berwama lebam karena
symptom penyakit ini, warna ungu pada kulit ini
disebebkan oleh merernbesnya darah dibawah kulit.
Adanya trombositopenia pada PTI ini akan
rnengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena
uombosit bersarna dengan sistern vaskular faktor koagulasi
darah terlibat secara bersamaan dalam rnernpertahankan
hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat bervariasi
mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang sarnpai
dapat mengakibatkan kejadian-kejadian yang fatal. Kadang
juga asirnptornatik.Oleh karena rnerupakan suatu penyakit
autoirnun maka kortikosteroid rnerupakan pilihan
konvensional dalarn pengobatan PTI. Pengobatan akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan rnengatasi penyakit
yang rnendasari PTI sehingga tidak rnengakibatkan
keterlambatan penanganan akibat perdarahan fatal, atau
pun penanganan-penanganan pasien yang gaga1 atau
relaps. Di dalarn rnakalah ini akan disajikan pegangan
mengenai diagnosis klinis dan laboratoriurn, epidemiologi,
patofisiologi, rnenilai dan rnenentukan respon terhadap
pengobatan dan penangan kasus-kasus refrakter.
Berdasarkan etiologi, PTI dibagi rnenjadi 2 yaitu primer
(idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan onset penyakit

dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang atau sama


dengan 6 bulan (urnurnnya terjadi pada anak-anak) dan
kronik bila lebih dari 6 bulan (umumnya terjadi pada orang
dewasa).
Diperkirakan insidensi PTI terjadi pada 100kasus per 1
juta penduduk per tahun, dan kira-kira setengahnya terjadi
imun terjadi bila
pada anak-anak.Purpura tromb~sito~enia
trornbosit rnengalami destruksi secara prernatur sebagai
hasil dari deposisi autoantibodi atau kompleks irnun dalarn
rnembran sistern retikuloendotel limpa dan urnumnya di hati.

Purpura Trornbositopenia Imun (PTI) adalah suatu


gangguan autoimun yang ditandai dengan trornbositopenia
yang menetap (angka trornbosit darah perifer kurang dari
150.000/mL) akibat autoantibodi yang rnengikat antigen
trombosit rnenyebabkan destruksi prernatur trombosit
dalarn sistern retikuloendotel terutama di limpa.
Insidensi PTI pada anak antara 4,O-5,3 per 100.000,
PTI akut umumnya tejadi pada anak-anak usia antara 2 6 tahun. 7 - 28 % anak-anak dengan PTI akut berkernbang
menjadi kronik 1540% .Purpura Trornbositopenia Irnun
(PTI) pada anak berkernbang rnenjadi bentuk PTI kronik
pada beberapa kasus menyerupai PTI dewasa yang khas.
Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per
100.000anak per tahun.
Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58 - 66 kasus baru
per satu juta populasi pertahun (5,8-6,6 per 100.000) di
Arnerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Purpura
Trornbositopenia Imun (PTI) kronik pada umurnnya
terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia
40 -45 tahun. Ratio antara perernpuan dan laki-laki adalah
1 : 1 pada penderita PTI akut sedangkan pada PTI kronik
adalah2-3: 1.

Penderita PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI


yang gaga1 diterapi dengan kortikosteroid dosis standar
dan splenektomi yang selanjutnya mendapat terapi karena
angka trombosit dibawah normal atau ada perdarahan.
Penderita PTI refrakter ditemukan kira-kira 25 - 30 persen
darijurnlah penderita PTI. Kelompok ini mempunyai respon
jelek terhadap pemberian terapi dengan morbiditas yang
cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16 9% .

Sindroma PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit


spesifik yang berikatan dengan trombosit autolog
kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh
sistem fagosit mononuklear melalui reseptor Fc makrofag.
Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentifikasi
membran trombosit glikoprotein IIbhIIa (CD41) sebagai
antigen yang dorninan dengan mendemostrasikan bahwa
autoantibodi eluate dari trombosit pasien PTI berikatan
dengan trombosit normal.
Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu
autoantibodi, mengingat kejadian transient
trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang
menderita ITI, dan perkiraan ini didukung oleh kejadian
transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima
transfusi plasma kaya IgG, dari seorang penderita PTI.
Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG akan
mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati
setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan
oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar penderita,

!,

Klon 2 sel B
~

akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan


produksi trombosit. Pada sebagaian kecil yang lain,
produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat
destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh
makrofag didalam sumsum tulang (intramedullary), atau
karena hambatan pembentukan megakariosit
(megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin tidak
meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit
normal. Untuk sebagian kasus PTI yang ringan, hanya
trombosit yang diserang, dan megakariosit mampu untuk
mengkompensasi parsial dengan meningkatk@ produksi
trombosit. Penderita PTI dengan tipe ini dapat dikatakan
menderita PTI kronik tetapi stabil denganjurnlah trombosit
yang rendah pada tingkat yang aman. Pada kasus yang
berat, auto antibodi dapat langsung menyerang antigen
yang terdapat pada trombosit dan juga pada megakariosit.
Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita
harus menjalani pengobatan untuk menghindari risiko
perdarahan internall organ-organ dalam.
Antigen pertarna yang berhasil diidentifikasi berasal
dari kegagalan antibodi PTI untuk berikatan dengan
trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks
glikoprotein IIbDIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi
antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein IbhX, IaIIIa,
IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai
antibodi yang bereaksi terhadap berbagai antigen yang'
berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen
yang diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan
pacuan pembentukan neoantigen,yang berakibat produksi
antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopeni
(Gambar1).

Klon 2 sal T
. ----..---p-.---p...-

Garnbar 1. Patogenesis penyebaran epitop pada purpura trombositopenia


idiopatik (PTI) (Sumber; Cines dan Blanchette, 2002).

Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks


glikoprotein IIbfiIIa memperlihatkan restriksi penggunaan
rantai ringan, sedangkan antibodi yang berasal dari displai
phage menunjukkan penggunaan gen V, . Pelacakan pada
daerah yang berikatan dengan antigen dari antibodiantibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal
dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas yang
diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Penderita
PTI dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLADR + T cells, peningkatan jumlah reseptor interleukin 2
dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi
prekursor sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasienpasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibodi setelah
terpapar fragmen glikoprotein IIbfiIIa tetapi bukan karena
terpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini
secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang bertahan
lama tidak diketahui dengan pasti.
Dari gambar 1 dapat menperjelas bahwa, faktor yang
memicu produksi autoantibodi tidak diketahui.
Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap
glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit
terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIbl
IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang
mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap
ini (1). Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan
berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel

dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses


internalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak
hanya merusak glikoprotein IIbIIIIa, tetapi juga
memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit
yang lain (3). Sel -penyaji antigen yang teraktivasi (4)
mengekspresikan peptida b a pada
~ permukaan sel dengan
bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh i.nteraksi
antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi
memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone
(T-cell clone-1) dan spesifitas tambahan (T-cell clone-2)
(5). Reseptor sel imunoglobulin sel B yang mengenali
antigen trombosit (B-cell clone-2) dengan dernikian akan
menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein 1bl
IX antibodi dan juga meningkatkan produksi antiglikoprotein IIbIIIIa antibodi oleh B-cell clone 1.
Metode yang saat ini digunakan untuk
penatalaksanaan PTI diarahkan secara langsung pada
berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibodi
dan sensitisasi, klirens dan produksi trombosit (Gambar
2).
Dari Gambar 2, dijelaskan bahwa pada umumnya obat
yang digunakan sebagai terapi awal PTI menghambat
tejadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh
ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan ( I ) .
Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme
ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan

Kortikosterold

Gambar 2. Pendekatan terapi purpura trombositopenia purpura berdasarkan mekanisme kerja dari
splenektomi, beberapa obat dan plasmafaresis (Cines dan Blanchette, 2002)

sel-B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa


penderita. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan
produksi trombosit dengan cara menghalangi kemampuan
mabofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan
trombosit, sedangkan trombopoetinberperan merangsang
progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresannon
spesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pa&
tingkat sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154
yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan
kostimulasi molekul yang diperlukan untuk
mengoptimalkan sel-T makrofag dan interaksi sel-T dan
sel-B yang terlibat dalam produksi antibodi dan pertukaran
klas (4). Imunoglobulin iv mengandung antiidiotypic
antibody yang dapat menghambat produksi antibodi.
Antibodi monoklonal yang mengenali ekspresi CD20 pada
sel-sel B juga mash dalam penelitian (5). Plasmaferesis
dapat mengeluarkan antibodi sementara dari plasma (6).
Transfusi Dari gambar 2, dapat untuk menggambarkan
bagaimana pendekatan pengobatan dapat dilakukan
sebagai terapi awal PTI ddam menghambat terjadinya
klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi
reseptor Fcg pada makrofag jaringan (1). Splenektomi
sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun
munglun pula mengganggu interaksi sel-T dan sel-B yang
terlibat dalam sintesis antibodi pa& beberapa penderita.
Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi
trombosit dengan cara menghalangikernampuan makrofag
dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit,
sedangkan trombopoetin berperan merangsang progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non spesifik
seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat
sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154yang saat
ini menjadi target uji klinik, me~pcikankostimulasi molekul
yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T makrofag
dan interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam produksi
antibodi dan pertukaran klas (4). Imunoglobulin iv
mengandung antiidiotypic antibody yang dapat
menghambat produksi antibodi..Antibodi monoklonalyang
mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga masih dalam
penelitian (S).(Plasmaferesisdapat mengeluarkan antibodi
sementara dari plasma (6). Transfusi trombosit diperlukan
pada kondisi darurat untuk terapi perdarahan. Efek dari
stafilokokkus protein A pada susunan antibodi masih
dalam penelitian (7).

Geneti k
Immune thrombocytopenic purpura telah didiagnosis
pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, dan
telah dikatahui adanya kecenderuangan menghasilkan
autoantibodi pada anggota keluarga yang 'saha. Adanya
peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 pada
beberapa populasi etnik telah diketahui. Ale1 HLA-DR4
dan DRB*0410 telah dihubungkan dengan respon yang
menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid,

dan HLA-DRB 1* 1501 telah diiubungkan dengan respon


yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi.
Meskipun demikian, banyak penelitian telah gaga1
menunjukkan hubungan yang konsisten antara FTI dan
kompleks HLA yang spesifik .

Antibodi-anti Trombosit
Autoantibodi yang berhubungan dengan trombositopenia
ditemukan pada 75 % pasien PTI. Autoantibodi IgG
antitrombosit ditemukan pada +50 - 85% penderita.
Antibodi antitrombosit IgA serum ditemukan sesering IgG,
dan hampir 50 % kasus, kedua serotipe imunoglobulin
tersebut ditemukaan pada pasien yang sama. Antibodi
IgM juga ditemukan pada sejurnlahkecil pasien tetapi tidak
pemah sebagai autoantibodi tunggal.
Peningkatan jumlah IgG telah tampak di permukaan
trombosit, dan kecepatan destruksi trombosit pada PTI
adalah proporsional terhadap kadar yang menyerupai
trombosit yang berhubungan dengan imunoglobulin.
Autoantibodi dengan mudah ditemukan dalam plasma
atau dalam eluate trombosit pada pasien dengan
penyakit yang aktif, tetapi jarang ditemukan pada pasien
yang mengalami rernisi. Hilangnya antibodi-antibodi
- berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang
normal.
Masa Hidup Trombosit
Masa hidup trombosit normal adalah sekitar 7 hari, tetapi
memendek pada PTI menjadi berkisar dari 2 - 3 hari sampai
beberapa menit. Pasien yang trombositopenia ringan
sampai sedang mempunyai rnasa hidup terukur yang lebih
lama dibandingkan dengan pasien dengan trombositopenia
berat.
GAMBARAN KLlNlS
PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak,jarang pada umur
dewasa, onset penyakit biasanya mendadak, riwayat
,
infeksi mengawali terjadinya perdarahan b e ~ l a n gsering
dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella)
dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh virus
merupakan 90% dari kasus pediatrik trornbositopenia
imunologik.Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah
varisella zooster dan ebstein barr. Manifestasi perdarahan
PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan
intrakranialterjadi h a n g dari 1% pasien. Pada PTI dewasa,
bentuk akut jarang terjadi, namun dapat mengalami
perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulrninan. PTI
akut pada anak biasanya self limitirig, remisi spontan
terjadi pada 90%penderita ,60% sembuh dalam 4-6 minggu
dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.

PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN

PTI Kronik
Onset PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat
perdarahan sering dari ringan sampai sedang. infeksi dan
pembesaran lien jarang terjadi, dan memiliki perjalar~anklinis
yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu. mungkin
intermitten atau bahkan terus menerus. Relnisi spontan
jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap.
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, peteki,
purpura. Pada umumnya berat dan frekwensi perdarahan
berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum
hubungan antara jurnlah trombosil dan gejala antara lain
bila pasien dengan AT > 50.000 /mL maka biasanya
asimptomatik, AT 30.000 - 50.000 /mL terdapat luka memarl
hematom, AT 10.000 - 30.000 /mL terdapat perdarahan
spontan, menoragi dan perdarahan memanjang bila ada
luka, AT < 10.000 /mL terjadi perdarahan mukosa
(epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria)
dan risiko perdarahan sistem saraf pusat.
Perdarahan gusi dan epistaksis sering terjadi, ini dapat
berasal dari lesi peteki pada mukosa nasal, juga dapat
ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus
genitourinari:l merupakan tempat perdarahan yang paling
sering. menoragi dapat merupakan ge.jala satu-satunya
dari PTI dan n~ungkintampak pertama kali pada pubertas.
Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan
gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih
jarang lngi dengan hematemesis.
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang
paling serius pada PTI. Hal ini mengenai hampir 1%
penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan
biasanya di subarachnoid, sering multipel dan ukuran
bervariasi dari peteki sampai ekqtravasasi darah yang luas.

DIAGNOSIS
Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan
PTI aku: dan kronik. sel-tatidak terdapatnya gejala sistemik
dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk
sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis
pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan
trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan
perdarahan karena trombosit yang rendah (peteki, purpura,
perdarahan konjungtiva dan perdarahan selaput lendir
yang lain). Purpurn Thrombocytopenic Imnrune dewasa
terjadi umumnya pada usia 18 - 40 tahun dan 2-3 kali lebih
sering mengenai wanita dari pada pria.
Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi),
tidak ada limfadenopati . Selain trombositopenia hitung
darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan
untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan
hematologi yang lain. Megatrombosit sering terlihat pada
pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi

oleh j l o ~ jsitornetri berdasarkan ntessetzger RNA yang


menerangkan bahwa perdarahan pada PTI tidak sejelas
gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung
trombosit yang serupa. Salah satu diagnosis penting
adalah fungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang
dijumpai banyak rnegakariosit dan agranuler atau tidak
mengalldung trombosit.
Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan
pada pasieil lebih dari 40 tahun, pasien dengan gambaran
tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atau
pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun
tidak dianjurkan, banyak ahli pediatri hematologi
merekomendasikan di lakukan pemeriksaan surnsum tulang
sebelum mulai terapi kortikosteroid untuk menyingkirkan
kasus leukemia akut.
Pengukuran trombosit dihubungkan dengan antibodi,
secara langsung uji untuk mengukur trombosil yang
berikatan dengan antibodi yakni dengan MonoclonlrlAtztigerr-Capture Assay sensitivitas 4 5 4 6 % ) .
spesifisitasnya 78 - 92% dan diperkirakan bernilai positif
80 - 83 %. Uji negatif tidak menyingkirkan diagnosis deteksi
yang tanpa ikatan antibodi plasma tidak digunakan. Uji ini
tidak melnbedakan bentuk primer maupun sekunder PTI .

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding PTI antara lain: anemia aplastik,
leukemia akul, Disscinlittated intravascular coag~ilutiorz
(DIC), Thrombotic thrornbocytopenicpurpura-hemolytic
uremic syndrome ('TTF-HUS), Antiphospholipid antibody
syndroine (APS), Myelodysplastic syndr-onre,
hipersplenisme, alcoholic liver diseuse, bentuk sekunder
PTI (SLE, HIV, leukemia limfositik kronik),
pseudotrombositopenia karena ethylenediamine
tetraacetate (EDTA), obat-obatan. Untuk menentukan
diagnosis banding PTI tersebut perlu meninjau kembali
patofisiologi klasifikasi trombositopenia pada tabel 1.

Terapi PTI lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit


dalam kisaran aman sehingga mencegah terjadinya
perdarahan mayor. Terapi umum meliputi hindari aktivitas
fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma
kepala, hindari pemakaian obat-obatan yang
mempengaruhi fungsi trombosit. Terapi khusus yakni terapi
farmakologis.

Terapi Awal PTI (Standar)


Prednison. Terapi awal PTI dengan prednisolon atau
prednison dosis 1,O- 1,5 mg/kgBB/hari selama 2 minggu.
Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada

a). Trombositopenia artifaktual


Trombosit bergerombol disebabkan oleh
anticoagulant-dependent immunoglobulin
(Pseudotrombositopenia).
Trombosit satelit
Giant trombosit
b). Penurunan produksi trombosit
Hipoplasia megakariosit
Trombopoesis yang tidak efektif
Gangguan kontrol trombopoetik
Trombositopenia herediter
c). Peningkatan destruksi trombosit
Proses imunologis
- Autoimun
ldiopatik Sekunder : Infeksi, kehamilan, gangguan
vaskuler kollagen, gangguan lirnfoproliferatif.
- Alloimun
Trombositopenia neonatus
Purpura pasca-transfusi
Proses Non lmunologis
- Trombosis mikroangiopati
Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)
Hemolytic-uremic syndrome (HUS)
- Kerusakan trombosit oleh karena abnormalitas
permukaan vaskular
lnfeksi
Transfusi darah masif
Lain-lain
Abnormalitas distribusi trombosit atau pooling
Gangguan pada limpa (neoplastik, kongestif,
infiltratif, infeksi yang tidak diketahui sebabnya)
Hipotermia
Dilusi trombosit dengan transfusi masif

urnumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik


kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian
tapering. Kriteria respons awal adalah peningkatan AT
>
- 30.000/pL, AT >50.000/pL setelah 10 hari terapi awal,
terhentinya perdarahan. Tidak berespon bila peningkatan
AT < 30.0001pL, AT 50.0001pL setelah terapi 10 hari.
Respon menetap bila AT menetap > 50.0001pL setelah 6
bulan follow up. Pasien yang simptomatik persisten dan
trombositopeniaberat (AT < 10.000lpL) setelah mendapat
terapi prednison perlu dipertimbangkan untuk splenektomi.
Imunoglobulin intravena. Imunoglobulin intravena (IgN)
dosis 1 glkglhari selama 2 - 3 hari berturut-tumt digunakan
bila terjadi perdarahan internal, saat AT < 5.000lpLmeskipun
telah mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari
atau adanya purpura yang perogresif. Harnpir 80% penderita
berespon baik dengan cepat meningkatkan AT namun perlu
pertimbangan biaya. Gaga1 ginjal dan insufisiensi paru
dapat terjadi serta syok anafilaktik pada penderita yang
mempunyai defisiensi IgA kongenital.
Mekanisme kerja IgIV pada PTI masih belum banyak
diketahui, namun meliputi blokade fc reseptor; antiidiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan
autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan
imunosupresi.

Splenektomi.Splenektorni untuk terapi PTI telah digunakan


sejak tahun 1916 dan digunakan sebagai pilihan terapi
setelah steroid sejak tahun 1950-an.Splenektomi pada PTI
dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang
gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang
perlu terapi trombosit terus menenis. Efek splenektomi pada
kasus yang berhasil adalah menghilangkan tempat-tempat
antibodi yang tertempel trombosit yang bersifat merusak
dan menghilangkan produksi antibodi anti trombin. Indikasi
splenektomi sebagai berikut:
a. Bila AT < 50.000/pL setelah 4 minggu (satu studi
menyatakan bahwa semua pasien yang mengalami remisi
komplit mempunyai AT > 50.000lpLdalam 4 rninggu).
b. Angka Trombosit tidak menjadi normal setelah 6 - 8
minggu (karena problem efek samping).
c. Angka Trombosit normal tetapi menurun bila dosis
diturunkan (tapering om.
Respon post splenektomi didefinisikan sebagai: Tak
ada respons bila gagal mempertahankan AT 250.0001pL
beberapa waktu setelah splenektomi,Relaps bila AT turun
< 50.000 /& Angka 50.000 dipilih karena diatas batas ini,
penderita tidak diberi terapi. Respons splenektomi bervariasi
antara 50% sarnpai dengan 80%.
Penanganan Relaps pertama
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang
relaps atau yang tidak berespon dengan kortikostroid,
immunoglobulin iv dan immunoglobulin anti-D.
Dari garnbar 4 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis
menggunakan AT < 30.0001pL sebagai ambang batas
untuk memulai terapi pada PTI daripada AT > 30.000/pL.
Tidak ada konsensus yang menetapkan lama terapi
kortikosteroid. Penggunaan immunoglobulin anti-D
sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya
cocok untuk penderita Rh-positif. Apakah penggunaan
IgIV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal
tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya
perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah
terapi penderita yang mempunyai AT 30.000/pL sampai
50.000lpL bergantung pada ada tidaknya faktor risiko
perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi
untuk trauma. Pada AT >50.000/pL perlu diberi IgIV
sebelurn pembedahan atau setelah trauma pada beberapa
pasien. Pada penderita PTI kronik dan AT < 30.000lpL I g N
atau metilprednisolon dapat membantu meningkatkan AT
dengan segera sebelum splenektomi.Daftar medikasi untuk
terapi PTI kronik pada pasien yang mempunyaiAT < 30.0001
pL dapat dipergunakan secara individual, namun danazol
atau dapson sering dikombinasi dengan prednison dosis
rendah dibutuhkan untuk mencapai suatu AT hemostasis.
I g N dan anti-D imunoglobulin umurnnya sebagai cadangan
untuk PTI berat yang tidak respon dengan terapi oral.
Untuk memutuskan apakah perlu dilakukan splenektomi,
kemudian terapi medis diteruskan atau dosis ditumnkan

dan akhirnya terapi dihentikan pada penderita PTI kronik


dengan AT 30.000lmL atau lebih, bergantung pada
intensitas terapi yang diperlukan, toleransi efek samping,
risiko yang berhubungan dengan pembedahan dan pilihan
penderita.

morbiditas yang signifikan terhadap penyakit ini dan


terapinya serta memiliki mortalitas sekitar 16%. FTI refrakter
kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut:
a. PTI menetap lebih dari 3 bulan
b. Penderita gaga1 berespon dengan splenektomi.
c. AT < 30.0001pL.

Terapi PTI Kronik Refrakter


Pasien refrakter (+ 25% - 30% pada PTI) didefinisikan
sebagai kegagalan terapi kortikosteroid dosis standar dan
splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena
AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok
ini memiliki respon terapi yang rendah, mempunyai

Pendekatan Terapi Konvensionai Lini Kedua


Untuk penderita yang dengan terapi standar kortikosteroid
tidak membaik, ada beberapa pilihan terapi yang dapat
digunakan sebagai berikut: (i) Steroid dosis tinggi; (ii) IVIg
dosis tinggi; (iii) Anti-D Intravena; (iv) Alkaloid vinka; (v)

Diagram
Perdarahan

Trornboslt 40.000 lmrn3

Transfusi trombosit
lmunoglobulinintravena
(lglkglhari atau 2-3 hari)
Metilprednisolon
(lglhari atau 3 hari)

Trornboslt
30.000-50.000/mrn3

Trombosit r50.000lrnm~

Prednison (1-1.5 rnglkglhari)


lmunoglobulin Anti-D (75 pgikg)

Prednison atau
tidak diterapi

lidak diterapi

Purpura
trornbositopenia
lmun kronls

Trornbosit
30.000-50.0001mm3

+I

Trornbosit i30.0Wmm3

Pradnison atau
tidak diterapi

Penjarahan

aktif

lmunoglobulin intravena
Metilprednisolon
Solenektomi

lidak ada
perdarahan aktif r Prednison
danazol (10-15 mglkglhari)
dapson (75-100 mglhari)
lmunoglobulin anti-D intravena:
medis
lmunoglobulin intravena

Trombosit c30.0001mm3
,

$- i

Trombosit ~30.0001mm3

Spleniktomi

Splenektomi

Hentikan terapi secara


perlahan atau terapi
medis dilanjutkan

lmun refraktor kronis


Purpura trornbositopenia
Trombosit >~1).1)~/m&3
Tdak d~terap~

Trombosit k0.0001mm3

Tdak dlterapi

Penahambat kllreno t r o m h l t
Prednison
lmunoglobulin lntravena
Alkaloid vinka
Danazol

I
Terapi q d i s

0 b q t ~ b aImunooupreoU
t
Azatioprin
Siklofosfamid
Sikloporin

Obat-ohat percobaan
Antibodi penyerang CD 20
Antibodi penyerang CD.145
Transplantasi sumsum tulang
Trombopoietin

Gambar 3. Pengelolaan PTI awitan dewasa (Sumber: Cines DB, Blanchette VS, 2002)

Danazol; (vi) Obat imunosupresif; azathioprin,


siklofosfamid, (vii) kemoterapi kombinasi; dan (viii)
Dapsone. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua
menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi
bersifat individual.
Steroid Dosis tinggi.
Terapi penderita PTI refrakter selain prednisolone dapat
digunakan deksametason oral dosis tinggi.
Deksarnetason 40 mglhari selama4 hari, diulang setiap
28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 penderita dalam penelitian
kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AT
> 100.000/yL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6
bulan. Pasien yang tidak berespon dengan
deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya.
Metilprednisolon
Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan
sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI refrakter.
Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI
anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi
prednison dosis konvensional.
Dari penelitian Weil pada penderita PTI berat
menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mglkg
iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hari sampai I mgl
kg sekali sehari dibandingkan dengan penderita PTI
klinis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis
konvesional. Penderita yang mendapat terapi
metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih
cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respon
(80% vs 53%). Respon steroid intravena bersifat
sementara pada sernua pasien dan memerlukan steroid
oral untuk menjaga agar AT tetap adekwat.
IgIV dosis tinggi
Imunoglobulin intravena dosis tinggi I mglkglhari
selama 2 hari berturut-turut, sering dikombinasi dengan
kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat.
Efek samping, terutama sakit kepala, namun jika berhasil
maka dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi
dengan anti-D intravena.
Anti-D intravena
Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT
79-90% pada orang dewasa. Dosis anti-D 50 - 75 yg/kg
perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel
darah merah rhesus D-positif yang secara khusus
dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing
dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit
melalui Fc reseptor blockade.
*. Alkaloid vinka
Semua terapi golongan alkaloid vinkajarang digunakan,
meskipun mungkin bernilai ketika terapi lainnya gagal
dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan
cepat, misalnya Vinkristin I mg atau 2 mg iv, Vinblastin
5- 10 mg, setiap minggu selama 4-6 minggu
Danazol
Dosis danazol200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6
bulan karena respon sering lambat. Fungsi liver hams
a

diperiksa setiap bulan. Bila 'respon terjadi, dosis


ditenlskan sampai dosis niaksimal sekurang-kurangnya
1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mglhari setiap 4
bulan.
Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi
Immunosupresif diperlukan pada penderita yang gagal
berespon dengan terapi lainnya. Terapi dengan
azathioprin (2 mglkg maksimal 150 mglhari) atau
siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat
dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%.
Pada penderita yang berat, simptomatik, PTI kronik
refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya.
Pemakaian siklofosfamid, vinkristin dan prednisolon
sebagai kombinasi telah efektif dugunakan seperti pada
limfoma . Siklofosfamid 50- I00 mg p.o atau 200 mg/iv/
bulan selama 3 bulan. Azathioprin 50- 100 mg p.0, bila 3
bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respon
sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil .
Dapsone
Dapson dosis 75 mg p.0. per hari, respon terjadi dalam
2 bulan. Pasien-pasien hams diperiksa G6PD, karena
pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai
risiko hemolisis yang serius.

Pendekatan Penderita yang Gagal Terapi


Standar dan Terapi Lini Kedua
Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan
terapi lini pertama atau kedua dan memberi masalah besar.
Beberapa diantaranya rnengalami perdarahan aktif namun
lebih banyak yang berpotensi untuk perdarahan serta
masalah penanganannya.
Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi
trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas
hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang
gagal dengan terapi lini pertama dan kedua hanya memilih
terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, ii) anti-CD20,
(iii) Campath-IH, (iv) mycophenolate mofetil, (v) protein A
columns, dan (vi) terapi lainnya.

REKOMENDASITERAPI PTI YANG GAGAL TERAPI


LINIPERTAMA DAN KEDUA
Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin
bermanfaat pada pasien tidak berespon dengan terapi lain
dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya
perdarahan aktif). Mycophenolate mofetil tampak efektif
pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi lebih besar
diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan
keamanannya. Dalam ha1 risiko: rasio manfaat, terapi
dengan interferon-a, protein A columns, plasmapheresis
dan liposomal doxorubicin tidaklah direkomendasikan.
Rituximab adalah suatu antibodi monoklonal anti-CD
20 yang mendeplesi CD20+ sel B secara sementara yang

PURPURA TROMBOSFOPENIA lMUN

selama ini dipergunakan sebagai pengobtan limfoma NonHodgkin, telah dipergunakan untuk pengobatan PTI pada
beberapa penelitian pendahuluan dengan respon
berlansung 12 bulan sejak dihiyung dari onset pengobatan
awal diberikan. Relaps jarang terjadi setelah 2,5 tahun dan
sekitar 50% pasien diperkirakan akan terus berespon tanpa
tambahan terapi untuk 5 tahun selanjutnya. Penelitian di
Italia menggunakan dosis pemberian rituximab dosis tinggi
375 mgrlm2 tiap minggu selarna 4 ininggu didapatkan angka
respon secara keseluruhan adalah 52%. Penelitian di
London, Inggris menggunakan rituximab dosis rendah 100
mg per minggu selama 4 minggu menunjukkan rituximab
dosis rendah dapat menghasil kan respon yang signifikan
dan bertahan lama sehubungan dengan deplesi sel B.

PELUANG PEMAKAlAN AGEN TERKlNl


Beberapa agen terapi baru menjadi peluang untuk
pengobatan PTI. Beberapa penelitian terkini memberi
perhatian akan peluang terhadap studi yang tentang efikasi
dari agen stimulai trombopoiesis. Yang pertama melalui
Agen trombopoietin (TPO) dan yang kedua melalui
inhibitor spesifik terhadap Phagocyte-mediated
Comsumption of Platelet.

PROGNOSIS
Respon terapi dapat mencapai 50%-70% dengan
kortikosteroid . Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil
dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada
PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial
yang berakibat fatal berkisar 2,2 % untuk usia lebih dari 40
tahun dan sampai 47,8 % untuk usia lebih dari 60 tahun.

Braendstrup P, Bjenrum OW, Nielsen OJ, Jensen BA, Clausen NT.


Hansen PB, Andersen I, Schmidt K, Andersen TM, Peterslund
NA, Birgens HS, Plesner T, Pedersen BB, and Hasselbalch HC..
Rituximab Chimeric Anti - CD20 monoclonal Antibody
treatment for Adult refractory Idiopathic thrombocytopenic
purpura. Am J of Hematol. 2005 ;78 : 275-280.
Cheng Y, S.M. Raymond, MB. Wong. Initial Treatment Idiopathic
Thromocytopenic Purpura with High Dose Dexamethason. N
Engl J Med. 2003; 349: 831-6.

Cines LIB, Blanchette VS. Immune Thrombocytopenic Purpura. N


Engl .I Mcd. 2002: 346 (1.3): 995-1006.
Eniilia G. Morcclli M: Luppi M, Longo G, Marasca R, Gandini 13,
Ferraro L. Long-term Salvage Therapy with Cyclosporin A in
Refractory Idiopathic Thro~nbocytopenic Purpura. Blood.
2002;99(4): 1482-5.
George JN, Rizvi MA. Clinical Manifestations and Diagnosis of
Idiopathic Thrombocitopenic Purpul-a 1-11 in: Up ToDate, Rose
B.D. editor. Up ToDate, Wellesley, MA, 2004.
George, JN. Treatment and prognosis of Idiopathic
Thrombocitopenic Purpura in: Up ToDate, Rose B.D. (Ed). Up
ToDate, Wellesley, MA. editors. 2004.
Handin RI. Platelet Disorder and Vascular Wall in: KJ. Isselbacher.
E. Braunwald, JD Wilson, JB. Martin, AS. Fauci, DL. Kasper
editors. Harrison's Principles of Internal Medicine, 15Ihed. 2001.
Levine SP. Thrombocytopenia Caused by Immunologic Platelet
Destruction in GR. Lee, J Foerster, J Lukens, F Paraskevas,
JP.Greer. GM. Rodgers editors. Wintrobe's Clinical Hematology. 10"' edition. Baltimore, Philadelphia, London.: William &
Wilkins a Waverly Company; 1999. p. 1583-61 1.
McMillan R. Therapy for Adults with Refractory Chronic lmmunc
Thrombocytopenic Purpura. Ann Int Med. 1997; 126; 307-3 14.
Provan D, Newland A. Fifty Years of Idiopathic Thrombocytopenic
Purpura (PTI): Management of Refractory in Adults. British J
Hematol. 2002; 118: 933-944.
Provan D, Norfolk D. Bolton-Maggs P, Newland PA, Lilleyman JP,
Greer PI, May A, Murphy M, Ouwehand W, Watson S. Guidelines for the Investigation and Management of PTI in Adults,
Children and in Pregnancy. British J Hematol. 2003; 120574596.
Provan, D., Butler. T., Activity and safety profile of Low-dose
Rituximab for the Treatment of Autoimmune Cytopenia in
Adults. Haematologica. 2007; 92(12): 1695-98
Psaila. B.. Podolanczuk, AJ., Bussel. J.. 2007. Recent Advances in
the Treatment of immune Thrombocytopenic Purpura.
ww.medscape.com.
Schwartz J, Leber MD, Gillis S, Giunta A. Eldor A, Bussel JB. Long
Term Follow-Up after Splenectomy Performed for Immune
Thrombocytopenic Purpura (PTI). Am JHematol. 2003; 72:
94-98.
Stasi R, Pagano A, Stipa E, Amadori S. Rituximab Chimeric AntiCD20 Monoclonal Antibody Treatment for Adult with Chronic
Idiopathic Thrombocytopenia Purpura. Blood. 2001;98:952957
Vesely S, Buchanan GR, Cohen A. Raskop G, George J. Self-reported
diagnostic and management strategies in childhood idiopathic
thrombocytopenic purpura: Result of a survey of practicing,
pediatric hematology/oncology specislists.J Pediatric Hematol
Oncol. 2000: 22: 55-61.

PAROXYSMAL NOCTURNAL
HEMOCLOBINURIA (PNH)
Made Putra Sedana

PENDAHULUAN
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu
kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya
hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria yang
umumnya terjadi pada saat pasien tidur dimalam hari., yang
disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi somatic
pada totipoten Hematopoetic stem cell yang menyebabkan
kerusakan intrinsic pada membrane sel darah merah
sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen,
hal ini dapat pula menimblkan trombositopenia, lekopenia
dan kegawatan akibat trombosis vena.
Gambaran kelainan ini pertarna kali dipublikasikan oleh
Strubbing pada tqhun 1882, sedangkan karateristik
Winisnya pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan
Nazari pada tahun 1911serta Micheli ditahun 1931, karena
itulah kelainan PNH sering juga disebut MarchiavafaMicheli syndrome. Meskipun PNH umumnya terjadi pada
dekade keempat dan kelima ,tetapi dapat pula terjadi pada
anak-anak dan orang tua.
Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala
anemia, hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta
keluhan gastrointestinal. Penegakan diagnosis dapat
ditentukan melalui pemeriksaan darah, urine, sumsum tulang
dan sitogenetik.

Penderita dengan kelainan PNH pertama kali


dipublikasikan oleh Strubing pada tahun 1882, tetapi
garnbaran klinis yang khas penderita PNH pertama kali
dijelaskan oleh Marchiavafa dan Micheli di Italia. Insiden
PNH sangat bewariasi pada berbagai populasi dan lebih

sering terjadi di Asia Tenggara. PNH adalah penyakit yang


jarang, dengan pemeriksaan yang tepat angka kejadian
PNH hampir sama dengan Anemia Aplastik. PNH biasanya
terjadi pada usia muda tetapi juga bisa terjadi pada anakanak dan orang tua.
Perjalanan PNH umumnya terjadi pada usia lanjut,
dengan "Median Suwival " 8 - 10 tahun, umumnya sebagai
penyebab kematian adalah terjadinya trombosis vena yang
disertai dengan infeksi sekunder oleh karena Neutropenia
berat dan perdarahan oleh karena trombositopenia.

Patogenesis terjadinya PNH adalah akibat gangguan


mutasi somatic pada totipotent haematopoetic stem cell.
Mutasi somatic ini kemudian menyebabkan terjadinya
defesiensi berbagai jenis protein yang diperlukan bagi
pembentukan glycosylphosphatidylinositol anchored
(GPI anchored), yakni antara lain leucocyte alkaline
phosphatase, acethylcholineesterase, decay accelerating
factor (DAECD55), membrane inhibitor of reactive lysis
(MIRL,CD59), FcgammaRIIIb , c8 binding protein,
lymphocyte function associated antigen 3, CD14, dun
urokinase receotor Akibat defesiensi ini, GPI anchored
yaitu suatu struktur kompleks yang berfungsi mengatur
protein permukaan sel haematopoetik serta mengatur kadar
complement-mediated lysis. Juga mengalami defesiensi
absolute atau relative. Hal ini kemudian memberikan efek
langsung terhadap proses hemolisis normal lewat dua cara.
Pertama, bahwa kekurangan satu atau lebih protein GPI
anchored akan menimbulkan kegagalan dalam
menginhibisi alternative pathway dari proses hemolisis
fisiologik dan akibatnya terjadilah pengaktifan comple-

PAROXYSMAL NOCTURNAL HENIOGLOBINURlA (PNH)

ment-mediated hemolytic Sebagai akibatnya, sel eritrosit


PNH akan mengikat lebih banyak C3 aktif dari pada eritrosit
normal dan banyaknya jumlah ikatan C3 ini selanjutnya
berpengaruh terhadap sensitivitas lysis eritrosit. Semakin
besar proporsi eritrosit yang sensitive terhadap
complement-mediated lysis semakin berat derajat dari
hemolisisnya. Kedua : tejadinya defisiensi dari proteinprotein anchored akan rnenyebabkan terganggunya
struktur dan kadar protein permukaan hemopoetik serta
terjadinya kerusakan membrane sel hemopoetik, yang
menyebabkan eritrosit PNH lebih peka terhadap proses
Lysis dari kornplemen.
Berdasar sensitivitasnya terhadap kornplemen, secara
invitro PNH dibagi menjadi 3 type yaitu :PNH I,II,III.PNH
I : adalah sel eritrosit PNH yang memiliki sensitivitas
normal terhadap komplemen. PNH 11dan JIIsecara berturutturut memiliki sensitivitas 3 -4 kali serta 15 - 25 kali dari
sensitivitas normal.
Mutasi somatic yang terjadi pada PNH tidak hanya
terbatas pada eritrosit, tetapi dapat juga mencakup
trombosit, leukosit dan sel-sel pluripoten hematopoesis.
Karena itulah, kelainan ini dapat bermanifestasi pula
sebagai kelainan displasia sumsum tulang seperti : anemia
aplastik, sindroma mielodisplastik dan leukemia akut.

TANDA DAN GEJALA KLlNlS


Anemia, ikterus, splenomegali.
Hemoglobinuria, terutama pagi hari. Sebagian besar
kasus hemoglobinuria tidak tampak dengan jelas,
walaupun terjadi hemolisis kronis.
Adanya anemia hemolitik kronik.
Kekurangan zat besi sebagai akibat keluarnya zat besi
melalui urine.
Perdarahan akibat terjadinya trombositopenia.
Trombosis vena ditempat-tempat yang tidak biasa :
vena hepatica, sindroma Budd-Chiari, vena serebral,
vena lienalis, vena subkutis , vena mesenterika
Kehamilan pada pasien PNH dapat dihubungkan
dengan aborsi dan trombosis vena.
Manifestasi pada ginjal : hypostenuria ,kelainan fungsi
tubulus, gaga1 ginjal akut dan kronik.

LABORATORIUM
Gambaran anemia hemolitk.
Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia
hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi
besi, dapat pula menyerupai anemia aplastik.
Retikulositosis
~ s ~ h asumsum
si
tulang : hyperplasia eritropoesis atau
hypoplasia.

Leukosit Alkalin Fosfatase rendah.


Sucrose Waters Test dan Acid Hams Test : Positif.
Pada pemeriksaan Urine didapatkan : Hemoglobinuria,
Hemosiderinuria. Karena itu warna urine paling
berwarna gelap (seperti the) pada pagi hari waktu
bangun tidur dan makin siang warna urine makin terarig,
seperti tampak pada gambar berikut:

Gambar 1. Urin tampung pada penderita dengan PNH

DIAGNOSIS
Gejala : anemia, hemoglobinuria.
Hapusan Darah Tepi : gambaran anemia hemolitik,
sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat
juga menyerupai anemia aplasrik.
Aspirasi Sumsum Tulang : hiperplasi eritropoesis atau
hypoplasi.
Flowsitometri :pemeriksaan CD 59 pada eritrosit; CD
55 atau CD 59 pada granulosit.
Sucrose waters Test dan Acid Hams Test : positif.
Manifestasi trombosis
Pada Urine : hemoglobinuria; hemosiderinuria.

DIAGNOSIS BANDING
Anemia Hemolitik Lain.
Anemia Defesiensi besi
Anemia aplastik
Black water fevel:
Paroxysmal cold hemoglobinuria.

PENGOBATAN
Bila anemia transfusi darah dengan Washed
Erythrocyte.

Asam folat 1 mg/hari.


Bila ada defesiensi besi diberi sulfas ferosus 3 X 1 tab.
Prednison 20 - 60 m g k , tetapi tidak untuk pemberian
jangka panjang..
Hormon androgen :Fluoxymesteron : 5 - 30 mglhari;
Oxymetholon 10 - 50 mg/hari diberikan selama 6 - 8
minggu, bila tidak ada respon obat dihentikan.
Antikoagulan : tidak terbukti bermanfaat untuk
mencegah tejadinya trombosis.
Streptokinase; urokinase :bila ada trombosis.
Transplantasi sumsum tulang merupakan indikasi
defenitiflcemudiandilanjutkan dengan imunosupresan.
Perkembangan pengobatan PNH dengan obat antibody
rnonoklonan yaitu Eculizumab yang langsung mengikat
komplemen C5. Dengan memblokade kaskade C5,
antibodi ini dapat mengontrol tejadinya hemolisis pada
PNH yang tergantung komplemen. Pada penelitian
International "Multicenter Placebo Controlled Trial"
pada 87 pendrita yang sudah ketergantungan dengan
transfuse diberikan Eculizumab dengan dosis 600 mg
IV tiap minggu selama 4 minggu, 1minggu kemudian
900 mg IV selanjutnya 900 mg IV tiap minggu sampai.
minggu ke 26.
Untuk penderita dengan PNH-AA syndrome dapat
diberikan pengobatan imunosupresif dengan
Antilirnfosit Globulin (ALG atau ATG) dan Cyclosporin.

PROGNOSIS
Penderita PNH rata-rata hidup 10 - 50 tahun.
Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi:
trombosis; pansitopenia.
Penderita PNH dapat mengalami perubahan menjadi:
Leukemia akut; SindromaMielodisplasia;Mielofibrosis;

Leukemia Limfositik Kronik; Leukemia Mielositik


Kronik; Polisitemia Vera dan Eritroleukernia.
Prognosis buruk bila: Usia diatas 55 tahun saat
diagnosis ditegakan; adanya trombosis; perubahan
menjadi : pansitopenia, sindroma mielodisplasia atau
leukemia akut

Hillmen P, Young NS, Schubert J et al (2006). The Complement


Inhibitor Eculizumab in Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. N.Engl.J.Med. 355: 1233.
Lichtman MA, Bentlii E, Kipps TJ, Williams WJ (2003). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Williams Manual of Hematology, 6 th edition. Eds : Lichtman MA, Bentlir E, Kipps TJ,
Williams WJ. Mc Graw Hill, Toronto, p 233.
Luzatto L (1996). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In :
Hematology 1996. Education Programme of the 26 th Congress of International Society of Haematology. Ed : Mc Arthur
JR, Sinagapore August, 25-26.
Parker CJ. Lee GR (1999). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria.
In : Wintrobes Clinical Hematology, 10 th edition. Eds : Lee
GR, Foerster J, Rodger GM. Lippincott William & Wilkins,
Philadelphia, p. 1264.
Parker C, Omine M, Richards S et a1 (2005). Diagnosis and Management of Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Blood 106 :
3699.
Rosse W, Bunn HF (2008). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria.
In : Harrisons Principle of Internal Medicine, 17 th edition .
Eds : Fauci AS, BraunwaldE,Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL,Loscalzo J. Mc Graw Hill Publishing Co, New York,
p. 660.
Socie G, Mary JY, de Gramont A, Rio B, Lepporier M, Rose C,
Heudier. Rochant H, Cahn JY, Gluckman E. Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria : Long-term follow-up an Prognostic
Factors. Lancet. 348 : 573.

KELAINAN HEMATOLOCI PADA


LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Zubairi Djoerban

PENDAHULUAN
Lupus eiitematosus siste~nik(systemic lupi~sel:\~thenzaionrs,
SLE) daprzt mempengaruhi banyak organ di t ~ ~ b udan
h
menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan
spektrum yaiig luas. Kelainan hematologi seringkali
diremukan pada SLE. Anemia dan trombositopenia,
kelainan hematologi yang sering terjadi pada perjalanan
penyakit pasien SLE, biasanya bukan melvpakan kondisi
yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi
gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen
yang agresif. Leukopeniajuga sering terjadi, halnpir selalu
merupakan limfopenia, bukan granulositopenia,kondisi ini
jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya
tidak niembutuhkan terapi. Trombosis merupakan salah
satu penyebab kematian pada pasien SLE.
Q-iteria Diagnosis SLE d a r i pads
~ ~197
~1 menyatakan
bahwa leukopenia, trombo~ito~enia,
dan anemia hemolitik
lnerupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada
revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi
dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1)
anci~iiahelnolitik autoimun, 2) leukopenia (<4000/pl pada
dua knli atau lebih pemeriksaan), 3) limfopenia (<1500/pl
pada dua kali atau lebih pemeriksaan) dan 4)
trombositopenia (<I 00.000lp1 tanpa pemberian obat).Pada
Cc~rolinaLupus Study, dari 265 pasien SLE yang
didiagnosis antara 1995 sampai 1999, frekuensi kelainan
hematologi pada diagnosis awal adalah 11% anemia
hemolitik, 18% leukopenia, 21% limfopenia, dan 11%
trombositopenia.
Sumsu~ntulang menjadi target pada pasien SLE dengan
sitopenia. Sebuah penelitian pada pasien-pasien SLE
dengan sitopenia, yang tidak menggunakan obat
iinunosupresif, melaporkan gambaran sumsum tulang

hiposelularitas menyeluruh (47,6%), peningkatan


proliferasi retikulin (76,2%) dengan mielofibrosis pada satu
pasien, dan nekrosis (19%). Plasmasitosis tampak pada
26,7% pasien dan cadangan besi menurun atau tidak ada
pada 73,3% pasien.

ANEMIA
Prevalensi
Sebagian besar pasien menderita anemia pada suatu waktu
di sepanjang perjalanan penyakitnya. Prevalensinyacukup
tinggi, sekitar 5 1-98% pasien pernah menunjukkan kadar
hemoglobin kurang dari 12 gldl. Pada umumnya, yang
terjadi adalah anemia derajat sedang, tetapi beberapa
pasien menunjukkan anemia berat.

Etiologi
Anemia pada pasien SLE dapat merupakan penyakit imun
atau non-imun. Anemia yang merupakan penyakit nonimun adalah anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi
besi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakit ginjal,
anemia diinduksi obat, dan anemia sekunder terhadap
penyakit lain (misalnya anemia sel sabit). Anemia yang
diperantaraiimun pada pasien SLE adalah anemia hemolitik
autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia
aplastik, pure red cell aplasia, dan anemia pemisiosa.
Voulgarelis dkk. melaporkan pada dari 132 pasien SLE,
37,1% menderita anemia pada penyakit kronik, 35,6% anemia defisiensi besi, 14,4% anemia hemolitik autoimun dan
12,9% karena penyebab lain.
Salah satu penyebab anemia pada penyakit kronik dan

anemia karena sebab lainnya adalah berkurangnya


produksi eritropoietin dan resistensi eritropoietin pada sel
eritroid. Resistensi terhadap eritropoietin dapat terjadi
karena adanya autoantibodi terhadap eritropoietin (antiEpo). Voulgarelis melaporkan bahwa anti-Epo ditemukan
pada 21% pasien SLE dengan anemia dan berhubungan
bermakna dengan aktivitas penyakit. Respons
peningkatan eritropoietin juga akibat penuru.nan
hemoglobin juga tidak adekuat pada 4 1,2% pasien anemia
hemolitik autoimun dan 42,4% pasien anemia penyakit
kronik.

Anemia yang Tidak Diperantarai lmun


Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia
yang paling sering ditemukan pada pasien SLE. Gambaran
apus darah tepi menunjukkan sel-sel yang normositik atau
normokrom. Konsentrasi besi serum menurun dan
kapasitas pengikatan besi total tidak berubah atau sedikit
rendah. Dijumpai pula penurunan saturasi besi pada
transferin. Pemeriksaan sumsum tulang memberikan hasil
yang normal dengan cadangan besi yang adekuat.
Anemia berkeinbang dengan lambat jika tidak ada
komplikasi dengan faktor lain, seperti perdarahan. Hitung
retikulosit rendah bila dibandingkan dengan derajat
anemianya.
Mekanisme anemia pada penyakit kronik masih sulit
dimengerti. Hasil pada beberapa penelitian patogenesis
artritis rematoid mengindikasikan bahwa banyak faktor
yang terlibat seperti gangguan pelepasan besi oleh sistem
fagositik mononuklear, besi terikat dengan protein
pengikat, penurunan respons eritropoietin, dan efek
supresif interleukin terhadap eritropoiesis.
Pengobatan anemia ini pada pasien SLE ditujukan pada
proses penyakitnya, tidak dianjurkan pemberian terapi besi
atau intervensi spesifik lainnya.
Anemia Defisiensi Besi biasanya ditemukan pada pasien
SLE yang mendapat obat anti-inflamasi non steroid
(OAINS) atau mengalami menorrhagia. Ditemukan
penurunan penggunaan besi. Radioaktivitas pada banyak
organ berbeda dari normal, dengan peeingkatan kadar
radioaktivitas pada limpa dan hati. Peningkatanjumlah besi
yang diabsorpsi tidak digunakan untuk sintesis hemoglobin melainkan untuk disimpan. Di lain pihak, turnover besi
plasma meningkat pada sebagian besar pasien. Usia eritrosit
lebih pendek tanpa adanya hemolisis. Jadi, anemia pada
penyakit kronik pada pasien SLE dapat menyebabkan
terjadinya aktivitas sumsum tulang yang rendah,
pemendekan umur eritrosit, dan mungkin uptake besi yang
buruk.
Anemia Sel Sabit dan SLE menunjukkan manifestasi klnik
yang serupa seperti artralgia, nyeri dada, efusi pleura,
kardiomegali, nefropati, strok, dan kejang. Pasien dengan
hemoglobinopati sel sabit juga menunjukkan peningkatan
prevalensi autoantibodi, termasuk ANA. Ko-eksistensi SLE

dan anemia sel sabit telah dilaporkan, dan pada beberapa


pasien SLE terlambat dikenali akibat manifestasi klinisnya
yang serupa tersebut. Diduga bahwa abnormalitas pada
jalur alternatif dari komplemen pada hemoglobinopati sel
sabit dapat menjadi predisposisi untuk menjadi kelainan
kompleks imun, termasuk SLE. Namun tidak ada bukti bahwa
SLE lebih sering ditemukan pada pasien dengan
hemoglobinopati sel sabit.

Anemia yang Diperantarai lmun


Anemia hemolitik autoimun, Anemia hemolitik autoimun
(AHA) merupakan penyebab anemia pada 5- 19% pasien
SLE. Beberapa sindrom klinik terjadi, masing-masing
diperantarai oleh autoantibodi (IgG atau IgM) yang berbeda
yang menyerang sel darah merah. Akibatnya, sel darah
merah lebih cepat dirusak sehingga jumlah berkurang di
sirkulasi.Anemia hemolitik autoimun biasanya berkembang
secara bertahap pada sebagian besar pasien, namun
terkadang dapat juga berkembang cepat sehingga terjadi
krisis hemolitik yang progresif.
Anemia hemolitik autoimun dapat dihubungkan
dengan adanya antibodi antikardiolipin, atau dapat menjadi
bagian dari sindroma antifosfolipid, yang mana
dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid,
trombosis, trombositopenia, dan keguguran berulang.
Voulgarelisjuga melaporkan adanya antibodi anti-dsDNA
pada hampir semua pasien dengan AHA. Adanya AHA
juga diperkirakan dapat mengidentifikasi subkelompok
khusus dari pasien SLE karena adanya hubungan
beberapa karakteristik serologik tersebut dengan
manifestasi klinik. Kelly dkk. melaporkan bahwa terdapat
bukti yang kuat keterlibatan gen rentan SLE, SLEH1, pada
kelompok keluarga Afro-Amerika yang mempunyai paling
tidak satu anggota keluarga dengan SLE dengan anemia
hemolitik.
Kriteria ACR tidak mendefinisikan derajat keparahan
anemia hemolitik. Anemia hemolitik yang berat
(didefinisikan sebagai hemoglobin <8g/dl, tes Coomb
positif, retikulositosis, dan penurunan hemoglobin 3 gldl
sejak pemeriksaan terakhir) mempunyai hubungan yang
bermakna dengan keterlibatan organ sistemik lainnya yaitu
ginjal dan susunan saraf pusat.
, Klasifikasi

AHA dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe utama


menurut antibodi yang terlibat dalam destruksi eritrosit dan
suhu optimal dari reaktivitas antibodi pada permukaan
eritrosit. AHA tipe hangat diperantarai oleh antiboi IgG di
mana reaksi dapat berlangsung optimal pada suhu 37C.
AHA aglutinin dingin diperantarai oleh antibodikomplemen IgM yang terikat optimal pada antigen eritrosit
pada suhu 4C.

AHA tipe hangat, Tipe ini merupakan jenis yang paling

1179

KELAINAN HEMATOLOCI PADA LUPUS ERITEMATOSUSSISTEMIK

banyak terjadi pada pasien SLE. Sel darah merah yang


dilapisi oleh antibody IgG hangat pindah ke sirkulasi,
terutarna oleh sekue'strasipada limpa. Sel darah inerah yang
dilapisi anti bodi kemudian mengalami perubahan membran,
sehingga terbentuk sferosit. Penelitian yang memeriksa
struktur limpa pada pasien SLE dengan AHA menemukan
bahwa eritrosit dilapisi dengan IgG dan komplemen yang
kemudian difagositosis secara lengkap oleh makrofag lirnpa,
dan sebagian kecil oleh sel-sel endotelial sinus.
Kebalikannya, di hati, fagositosis eritrosit tersensitisasi oleh
sel Kupfer hanya terjadi sesekali. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa limpa adalah lokasi utama destruksi
eritrosit.
Gejal a klinis pada AHA sangat bervariasi. Gejala
disebabkan karena anemianya seperti kelelahan, pusing,
dan demam.Bukti adanya hemolisis, termasuk kuning dan.
urin seperti teh dapat ditemukan. AHA pada pasien SLE
berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien,
tetapi terkadang dapat muncul sebagai krisis hemolitik
progresif yang cepat.
Kombinasi AHA hangat dan dingin, Suatu penelitian
melaporkan bahwa 7% pasien AHA yang mendapat
transfusi mempunyai antibodi anti eritrosit IgG hangat dan
IgM dingin, kedua antibodi tersebut berkontribusi terhadap
terjadinya hemolisis. Sekitar 20% pasien dari kelompok
tersebut menderita SLE.

Pengobatan
Terapi medikamentosa. Kortikosteroid sisternik, 1-1,s mg/
kg prednison setiap hari, cukup efektif. Steroid diberikan
secara parenteral pada pasien dengan penyakit akut dan
kemudian diganti menjadi obat oral setelah keadaannya
stabil dan membaik. Dosis tersebut diberikan selama 4-6
minggu dan secara bertahap diturunkan.
Pada pasien yang responsif dengan steroid, respons
klinis akan terjadi dalam waktu satu minggu. Stabilisasi
hematokrit terjadi dalam 30-90 hari setelah terapi dimulai.
Pasien dengan anemia hemolitik berat dan progresif
cepat dapat diberikan metilprenisolon 1 g IV selama 3 hari
berturut-turut, diikuti dengan dosis steroid konvensional.
Hitung retikulosit dapat digunakan sebagai indikator
respons terapi dan untuk mendeteksi relaps saat dosis
steroid diturunkan. Hitung retikulosit yang menurun
drastis dihubungkan dengan relaps proses hemolitik.
Pengobatan lainnya yang telah dilakukan adalah
pemberian azatioprin 2-2,5 mglkg dikombinasikan dengan
prednison 10-20 mglhari pada pasien-pasien yang gaga1
dengan pemberian prednison.
Splenektomi. Splenektomi dilakukan pada pasien dengan
AHA tipe hangat idiopatik yang membutuhkan dosis
pemeliharaan prednison yang tinggi (20 mglhari atau lebih),
pasien dengan relaps yang sering, atau mereka yang
menunjukkan efek samping yang serius dengan terapi
steroid.

Secara umum, splenektomi kurang efektif untuk AHA


tipe hangat dibandingkan trombositopenia autoimun.
Tkansfusi. Sebaiknya transfusi darah dihindari, tidak hanya
karena risiko penularan penyakit infeksi, tetapijuga karena
pengamatan menunjukkan adanya isoantibodi melawan sel
darah merah pada pasein SLE. Pasien yang mendapat
transfusi berulang dapat membentuk isoaglutinin terhadap
beberapa antigen eritrosit yang berbeda.
Sangat sedikit indikasi untuk melakukan transfusi pada
pasien SLE, di antaranya aalah perdarahan masif akut,
dengan kadar hemoglobin turun sampai kurang dari 6 g/
dl, atau disertai dengan penyakit jantung atau iskemia
serebrovaskular yang berat. Respons pasien SLE dengan
anemia hemolitik autoimun terhadap kortikosteroid secara
umum sangat baik, sehingga transfusi darah biasanya tidak
diperlukan. Antibodi antieritrosit di sirkulasi dapat
membuat uji cocok silang darah menjadi sulit.

TROMBOSITOPENIA DAN KELAINAN


TROMBOSIT LAINNYA
Frekuensi dan Masalah
Trombositopenia, didefinisikan sebagai kadar trombosit
di bawah 150.000/mm3,cukup sering ditemui pada pasien
SLE. Sebuah studi multisenter di Eropa melaporkan
trombositopenia terjadi pada 13% pasien SLE, sementara
angka di Asia menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi
yaitu sekitar 30%.
Adanya trornbositopenia dapat dijadikan indikator
untuk mebperkirakan prognosis pasien SLE. Sebuah studi
kohort pada 408 pasien dengan waktu pemantauan
median selama 11 tahun menyatakan bahwa adanya
trombositopenia berhubungan dengan peningkatan risiko
mortalitas yang terkait SLE sebanyak2,36 kali.
Penelitian pada 38 keluarga yang memiliki sekurangkurangnya 2 orang anggota keluarga dengan SLE
melaporkan bahwa trornbositopenia berhubungan dengan
bentuk SLE familial yang berat dengan gangguan pada
gen 1q22-23 dan l l p 1 3 yang berkontribusi terhadap
garnbaran fenotip yang berat dan mortalitas yang tinggi.
Etiologi
Penyebab trombositopenia pada SLE dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu 1) kegagalan produksi yang disebabkan oleh
pengobatan atau penyakitnya sendiri, 2) distribusi
abnormal, sepertipooling di limpa, atau 3) destruksi besarbesaran seperti pada sindrom antifosfolipid, anemia
hemolitik mikroangiopatik atau trombositopenia yang
diperantarai antibodi.
Purpura Trombositopenik lmun
Purpura Trombositopenik Imun (Immune Thrombocy-

topenic Purpura, ITP) mempunyai hubungan yang khusus


dengan SLE. Kedua penyakit ini umumnya mengenai
perempuan muda, selain itu sebagian pasien ITP yang
awalnya diduga merupakan penyakit idiopatik temyata di
kemudian hari menampakkan gambaran klasik SLE. Lebih
jauh lagi, purpura trombositopenik, secara klinik dibedakan
dari ITP, dapat terjadi sepanjang perjalanan penyakit SLE.
Manifestasi klinis, manifestasi klinis trombositopenia pada
pasien SLE secara umum serupa dengan yang terlihat pada
pasien ITP atau trombositopenia akibat penyebab lain, dan
tergantung pada jumlah hitung trombosit. Saat hitung
trombosit di bawah 50.000/mm", perdarahan spontan atau
purpura dapat terjadi. Faktor lain yang mempengaruhi
perdarahan spontan tersebut selain hitung trombosit adalah
defek trombosit secara kualitatif dan usia trombosit.
Perdarahan biasanya muncul sebagai petekie danlatau
ekimosis, terutama pada tungkai bawah, dengan adanya
peningkatan tekanan kapiler. Perdarahan hidung, menorrhagia, epistaksis, dan perdarahan gusi dapat pula terjadi.
Perdarahan spontan pada otak merupakan komplikasi yang
ditakuti dan dapat berakibat fatal.
Pengobatan, u'mumnya dianjurkan terapi dengan
kortikosteroid sistemik, yaitu prednison 1- 1,5 mglkglhari.
Terapi kortikosteroid ini ekuivalen dengan "splenektomi
medikal" karena mencegah sekuestrasi trombosit berlapis
antibodi pada limpa. Sebagian besar pasien menunjukkan
perbaikan dalam 1-8 rninggu.
Metilprednisolon IV dosis tinggi juga digunakan unruk
trombositopenia yang berat, namun kelebihannya
dibanding terapi steroid konvensional belum terbukti.
Pemberian yang berulang akan mengurangi respons
trombosit.
Berbeda dengan ITP idiopatik, splenektomi pada pasien
SLE dengan trombositopenia yang resisten steroid tidak
dianjurkan karena peningkatan risiko infeksi yang berat
setelah splenektomi dan terlihat adanya manfaat efikasi
pada pemberian obat-obat yang lain. Danazol dilaporkan
efektif pada beberapa pasien dengan trombositopenia
yang refrakter terhadap steroid, obat sitotoksik, dadatau
splenektomi. Danazol diberikan dengan dosis rata-rata 200
mg, tiga atau empat kali sehari.
Siklofosfamid IV interrniten juga efektif pada pasien
SLE yang refrakter terhadap steroid atau splenektomi atau
membutuhkan peningkatan dosis steroid yang tinggi.
Obat lain yang dilaporkan efekfif adalah azatioprin,
siklosporin, dapson, dan vinkristin. Gamma globulin IV
juga efektif, namun efeknya tidak dapat bertahan lama.
Seperti pada ITP idiopatik, gamma globulin paling berguna
untuk pengobatan perdarahan yang mengancamjiwa atau
untuk mempersiapkan pasien menjalani operasi gawatdarurat.

Purpura Trombositopenik Trombotik


Kelainan ini rnempakan kelainan yangjarang terjadi pada

pasien SLE, namun merupakan komplikasi yang


mengancam jiwa. Kelainan ini ditandai dengan demam,
disfungsi ginjal, anemia hemolitik mikroangiopatik,
trombositopenia, dan kelainan neurologis.
Pengobatannya dalah dengan kortikosteroid dan infus
plasma, dengan atau tanpa plasmaferesis.

Kelainan Sel Darah Putih


Leukopenia teQadi pada sekitar 18-50% pasien SLE selama
perjalanan penyakit. Neutrofil danlatau limfosit di sirkulasi
dapat menurun akibat beberapa sebab. Pengobatan
dengan kortikosteroid maupun imunosupresif dapat
menekan jumlah limfositabsolut akibat sekuestrasi limfosit
di limpa dan sumsum tulang.
Limfopenia sering terjadi pada pasien SLE dengan
penyakit yang aktif dan mempunyai arti patologis yang
bermakna. Limfopenia dapat terjadi tanpa leukopenia.
Penyebabnya mungkin karena adanya antibodi
limfositotoksik dan apoptosis limfosit.
Seperti leukopenia, limfopenia dapat disebabkan oleh
faktor selain SLE sendiri.Pengobatan dengan kortikosteroid
dan obat sitotoksik, infeksi, dan perawatan di rumah sakit
dapat berkontribusi terhadap penurunan hitung limfosit,
yang mana mungkin bukan merupakan cerminan aktivitas
penyakit.
Limfopenia dapat berkembang pada stadium akut pada
84% pasien dan dihubungkan dengan peningkatan sedimentation rate. Saat diagnosis, limfopenia ditemukan pada
75% pasien, namun pada pemantauan selanjutnya,
beberapa pasien kemudian juga mengalami limfopenia
sehingga secara kumulatif 93% pasien mengalami
lirnfopenia.
Limfopenia absolut berkorelasi dengan aktivitas
penyakit. Pasien dengan hitung limfosit absolut kurang
dari ,1500 sel/mm3 pada saat diagnosis menunjukkan
frekuensi demam, poliartritis, dan keterlibatan susunan
saraf pusat yang lebih tinggi, sementara prevalensi
trombositopenia dadatau anemia hemolitik lebih rendah.
Trombosis
Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada
SLE selain akibat penyakit SLE aktif, infeksi, dan keganasan.
Sebuah studi kohort di Eropa pada 1000 pasien SLE
melaporkan bahwa 12 dari 45 pasien pada 5 tahun pertama
dan 6 dari 23 pasien pada 5 tahun berikutnya meninggal
akibat trombosis. Yang dapat menjadi catatan adalah bahwa
trombosis merupakan penyebab kematian utarna pada
pasien SLE setelah 5 tahun.
Lupus Eritematosus Sistemik dan Sindrom
Antifosfolipid
Sindrom antibodi antifosfolipid didefinisikan sebagai
pen yakit trombofilia autoimun yang ditandai adanya

KELAWANHEMATOLOCI PADA LUPUS EXUTEMATOSUS SISTEMlK

antibodi antifosfolipid yang menetap serta kejadian


berulang dari trombosis venalarteri, keguguran, atau
trombositopenia. Trombosis pada pasien SLE hampir
selalu dihubungkan dengan sindrom antibodi
antifosfolipid. Kejadian trombotik yang sering terjadi
adalah strok, oklusi arteri koronaria, dan emboli pulmoner.
Kemungkinan adanya sindrom antifosfolipid pada
pasien SLE harus ditelusuri pada pasien perempuan muda
(kurang dari 40 tahun) yang mengalami strok, perempuan
hamil dengan keguguran berulang atau adanya riwapat
trombosis vena dalam. Pemeriksaan laboratorium
ditemukan antibodi antikardiolipin 1gG danlatau IgM
positif, atau antikoagulan lupus positif, biasanya disertai
dengan pemanjangan masa protrombin atau lnasa
protrombin teraktivasi.
Antibodi antifosfolipid, seperti antibodi antikardiolipin
(anticardiolipin antibody, ACA) dan antikoagulan lupus
(lupus anticoagulant, LA), seringkali ditemukan pada SLE.
F a l c b dkk. melaporkan antibodi antifosfolipid ditemukan
pada 50% dari 70 pasien SLE di mana LA dan ACA masingmasirig ditemukan pada 10% dan 44,3% pasien. Fraksi IgG
dari plasma yang mengandung ACA dan LA pada pasien
SLE dapat meningkatkan aktivasi trombosit yang dipicu
oleh ADP, sementara IgG yang tidak mengandung ACA
dan LA tidak menunjukkan efek tersebut. Oleh karena itu
ACA dan LA diduga dapat bekerjasama untuk aktivasi
platelet dan berperan dalam trombosis arterial pada pasien
SLE.
Antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus
berikatan dengan fosfolipid membran dengan perantaraan
protein plasma seperti a 2 glikoprotein I (P2GPI),
protrombin, protein C, protein S, atau annexin V. Nojinia
melaporkan antibodi antifosfolipid dependen P2GP1,
protrombin, aprotein C, protein S, annexin V ditemukan
pada masing 30%, 56%, 21%, 28%, dan 30% pasien SLE
dan berhubungan dengan trombosis arteri danlatau vena,
trombositopenia, dan keguguran. Antibodi anti-P2GP1 dan
antiprotrombin merupakan faktor risiko bermakna untuk
trombosis arterial, antibodi anti-protein S untuk trombosis
vena, dan anti-annexin V untuk keguguran.

Mikroangiopati Trombotik
Mikroangiopatik trombotik adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan kondisi-kondisi dimana terjadi
trombosis mikrovaskular terlokalisasi atau difus. Sindrom
ini paling sering ditemukan pada pasien dengan lupus aktif,
dimana perusakan jaringan dan aktivasi komplemen
sedang terjadi.
Etiologi mikroangiopati trombotik sangat sedikit
diketahui tetapi sepertinya trombosit, faktor humoral
(antibodi dan komplemen) dan endotelium mikrovaskular
memegang peranan penting pada patogenesisnya. Cedera
pada pembuluh darah kecil merangsang adhesi trombosit
pada endotelium dan agregasi, menurunnya PGIl dan

1181
peningkatan sintesis tromboksan. Terikatnya antibodi atau
kompleks imun dari sirkulasi juga dapat menjadi awal
terbentuknya mikrolrombus, aktivasi komplemen lokal, dan
kemudian kerusakan endotel.

Al-Shahi R. Mason JC, Rao R, et al. Systemic lupus erythematosus,


thrombocytopenia, microangiopathic haemolytic anaemia and
anti CD25 antibodies. Br J Rheumatol. 1997;36:794-8.
Castelino DJ, McNair P, Kay TW. Lymphocytopenia in a hospital
pol'r~lation-what does it signify'? Aost NZ J Med. 1997;27:1704.
Cervera R, Khamashta MA. Font J , el al. Morbidity and mortality
in systemic lupus erythematosus during a 10-year period a comparison of early and late manifestations in a Cohort of 1.000
patients. Medicine. 2003;82(5):299-308.
Cooper GS. Parks CG, Treadwell EL, et al. Differences by race, sec,
and age in the clinical and immunologic features of recently
diagnosed systen~iclupus erythematosus patients in the southeastern United States. Lupus. 2002; 1 1 : 161-7.
Falcso CA, Alves IC, Chahade WH, Duarte ALBP, Lucena-Silva N.
Echocardiographic abnormalities and antiphospholipid antibodies
in patients with systemic lupus erythematosus. Arq Bras Cardiol.
2002:79:285-9 1.
Georgescu L, Vakkalanka RK, Elkon KB. Crow MK. Interleukin-I0
promotes activation-induced cell death of SLE lymphocytes
mediated by Fas ligand. J Clin Invest. 1997;100:2622-33.
Hahn BH. Systemic lupus erythematosus. In: Kasper DL, Fauci AS,
Lango DL, Braunwald E, Hauser SL. Jameson JL, editors.
Harrison's principles of internal medicine. 16"' edition. New
York: McGraw Hill; 2005. p. 1960-7.
Kao AH, Manzi S? Ramsey-Goldman R. Review of ACR hematologic
criteria in systemic lupus erythematosus. Lupus. 2004;13:8658.
Kelly JA, Thompson K. Kilpatrick J, et al. Evidence for a susceptihility gene (SLEHI) on chromosome 1lq14 for systemic lupus
erythematosus (SLE) families with hemolytic anemia. Proc Natl
A Sci. 2002;99( 18):1 1766-7 I.
Kokori SJ, Ioannidis J, Voulgarelis M, Tzioufas AG, Moutsopoulos
HM. Autoimmune hemolytic anemia in patients with systemic
lupus erythematosus. Am J Med. 2000;108:198-204.
Nojima J, Suehisa E, Kuratsune H, Machii T, Koike T, Kitani T, et
al. Platelet activation induced by combined effects of
anticardiolipin and lupus anticoagulant IgG antibodies in patients with systemic lupus erythematosus-possible association
with thrombotic and thrombocytopenic complications. Thromb
Haemost. 1999;81:436-41.
Nojima J. Kuratsune H, Suehisa E, et al. Association between the
6 i prothrombin,
n
prevalence of antibodies to ~ 2 - G l ~ c o ~ r o t I,
protein C, protein S, and annexin V in patients with systemic
lupus erythematosus and thrombotic and thrombocytopenic
complication. Clin Chem. 2001; 47(6):1008-15.
Pereira RM, Velloso ER, Menezes Y, Gualandro S, Vassalo J, Yoshinari
NH. Bone marrow findings in systemic lupus erythematosus
patients with peripheral cytopenias. Clin Rheumatol.
1998; 17(3):2 19-22. Abstrak.
Quismorio Jr. FP. Hemic and lymphatic abnormalities in SLE. In:
Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois' lupus erythematosus. 4Ih
.
ed. Pensylvania: Lea & Febiger; 1993. p. 418-30.

Scofield RH, Bruner G R , Kelly JA, et al. Thrombocytopenia


identifies a severe familial phenotype of systemic lupus
ertythematosus and reveals genetic linkages at lq22 and 1lp13.
Blood. 2003; 101 :992-7.
Sultan SM, Begum S, Isenberg DA. Prevalence, patterns of disease
and outcome in patients with systemic lupus erythematosus
who develop severe haematological problems. Rheumatology.
2003;42:230-4.
Voulgarelis M, Kokori SIG, Ioannidis JPA, Tzioufas AG, Kyriaki D,
Moutsopoulos HM. Anaemia in systemic lupus erythematosus:
aetiological profile and the role of erythropoietin. Ann Rheum
Dis. 2000;59:217-22.
Ward MM, Pyun E, Studenski S . Mortality risk associated with
specific clinical manifestations of systemic lupus erythematosus. Arch Intern Med. 1996;156:1337-44.
Winfield JB. Anti-lymphocyte antibodies is systemic lupus
eryhematosus. Clin Rheum Dis. 1985;11:523. Abstrak.

HIPERSPLENISME
Budi Muljono

PENDAHULUAN

PENYEBAB PEMBESARAN LIMP

Istilah kata hipersplenisme lebih difokuskan pada keadaan


kerja limpa yang berlebihan dan dapat menyebabkan
penyakit. Jadi suatu keadaan pembesaran limpa dapat
akibatlbersama-sama dari suatu penyakit atau dapat
menyebabkan penyakit sistemik.
Keadaan limpa yang dapat menyebabkan penyakit
dicetuskan sejak 1866 oleh Gretsel dan 1880Banti dan pada
tahun 1907 oleh Chuffard, kata hipersplenisme mulai
diperkenalkan.

Proses lnflamasi
Akutlsub akut: tifoid, sepsis, abses limpa, infeksi
mononukleosis, endokarditis bakterial subakut
Kronik: tuberkulosis, sifilis, Felty's syndrome, rheumatoid arthritis, malaria, leishmaniasis, trypanosomiasis,
(Amazonian splenomegali dan American splenomegalies,
histoplasmosis), skistosomiasis, ekinokokkosis, sarkoid
Boeck's, beryllium disease.

Hipersplenisme adalah suatu keadaan di mana:


a). Anemia, lekopenia, trombositopenia atau
kombinasinya; b). Normal atau hiperselular sumsum
tulang; c). Pembesaran limpa; d). Klinis membaik bila
dilakukan pengangkatan limpa.

Hipersplenisme dapat primer atau sekunder.


Primer hipersplenisme tidak diketahu penyebabnya,
sedangkan sekunder hipersplenisme dapat disebabkan
penyakit infeksi atau parasit, penyakit-penyakit
Gaucher, leukemia, limfosarkoma. Begitu banyak dan
luas fungsi dari limpa, diantaranya pembersihan bakteri,
antigen, antibodi, penggantian darah dan lain-lain.
Sehingga adanya pembesaran limpa dapat menyebabkan
kerja limpa bertambah atau sebaliknya.Beberapa penyakit
dapat disenai pembesaran limpa dan akan menyebabkan
kenailcan kerja limpa.

CongestivelBendungan Splenomegali:
Sirosis hati
Trombosis,stenosis atau cavernous transformasi vena
porta
Trombosis yang dapat terjadi penghambatam vena
splenika
Tidak diketahui penyebabnya
Kegagalan jantung
Hiperplasia Splenomegali
Anemia hemolitik murni
Anemia kronik dengan adaltidak ada kerusakan darah:
- Anemia pernisiosa, anemia mikrositik
- Talasemia, hemoglobin C disease.
- Anemia mieloftisis mielosklerosis, mielosis,
megakariositis aleukemik, metaplasia mieloid
agnogenik
- Penyakit hemolitik sejak bayi
- Lupus eritomatosus sistemik
Trombositopenia purpura
Limfatik hipersplenisme yang jinak: penyakit Grave's
Polisitemia Vera
Splenik neutropenia/panhematopeniaprimer
Kriptogenetik, splenomegali tropikal
'

lnfiltratif SplenomeQali
Penyakit Gaucher's
Penyakit Niemann-pick's
Arniloidosis
Diabetik lipernia
Gargoilisme
Kista dan Neoplasma
Kista limfa (epitel, endotel atau parasit, hemangioma)
Kista palsu (perdarahan, serosa, inflamasi)
Hamartoma
Leukemia
Penyakit Hodgkin's
Bukan penyakit Hodgkin's
Histokistosis X
Metastasis keganasan

GEJALA KLlNlS
Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit di perut
karena pembesaran limpa dan peregangan kapsul limpa,
infark ataupun inflamasi dari kapsul limpa.
Pada anemia hemolitik, pembesaran limpa dapat
jmendadak sakit dan disertai infeksi sehingga dapat terjadi
secara tiba-tiba penghancuran eritrosit yang berat.
Gejala klinis lainnya tergantung dari penyakit yang
mendasari pembesaran limpa (hipersplenisme sekunder).
Demikian juga hasil pemeriksaan laboratorium selain
anemia, leukopenia, trombositopenia, atau kombinasinya
dan ditambah gejala-gejala dari penyakit sekundernya

PENGOBATAN
Pada pasien hipersplenisme primer, splenektomi adalah
yang terutama sedangkan pada hipersplenisme sekunder
sangat tergantung dengan penyakit penyebabnya.
Tindakan splenektomidilakukan bila pemeriksaan sumsum
tulang normal atau hiperselular. Banyak keadaan penyakit
yang disertai pembesaran limpa yang masif seperti
leukemia mielositik kronik, limfoma, leukemia haircell,
mielofibrosis dan metaplasia mieloid, polisitemia Vera,
penyaht gautcher's, leukemia limfositik kronik, dll.
Selain karena trauma, tumor limpa dan penyakit limpa
primer. Tindakan splenektomi biasanya dilakukan pada
pasien anemia karena kelainan bentuk eritrosit, kelainan
hemoglobin dan pada keadaan trombositopeni sehingga
penghancuran eritrosit dan trombosit terhambatl
berkurang. Sehingga splenektomi dapat dilakukan sebagai
pilihan terakhir pengobatan penyakit-penyakit hipertensi
portal, leukemia dan liinfoma.

RlSlKO
Pengangkatan limpa dapat menyebabkan terjadinya infeksi
bakteri atau sepsis terutama 1 sampai 3 tahun setelah
operasi. Setelah pengangkatan limpa terjadi kenaikan cepat
jumlah trombosit yang disertai jurnlah eritrosit.

Dennis L Kasper, Eugene Braunwald, et al. Harrison's principles of


internal medicine. 16Ih edition. 2005. p. 343-8.
G Richard LEE, Thomas C Bithell, et al. Wintrobe's clinical hematology. 9th edition. 1993. p. 1704-19.

DASAR-DASAR TRANSFUSI DARAH


Zubairi Djoerban

PENDAHULUAN

RlSlKO TRANSFUSI

Irnunohematologi adalah bidang ilrnu yang rnerupakan


interseksi antara hematologi dan irnunologi.
Imunohematologi dapat dibagi rnenjadi dua, yang terkait
dan tidak terkait dengan genetik. Imunohematologi yang
terkait dengan genetik antara lain serologi transfusi,
penyakit hernolitik pada bayi baru lahir, graft versus host
disease, irnunomodulasi dan petanda genetik darah.
Irnunohernatologi yang tidak terkait dengan genetik
antara lain adalah autoimunitas, anemia hernolitik akibat
obat, dan anemia hernolitik yang diinduksi neurarninidase.
Istilah imunohematologi dapat diartikan sebagai
penerapan prinsip-prinsip irnunologi untuk mernpelajari
kelainan-kelainan hernatologi. Narnun, saat ini
imunohernatologi lebih difokuskan pada ilrnu rnengenai
antigen dan antibodi pada sel darah rnerah yang
berhubungan dengan transfusi darah dan beberapa
kornplikasi kehamilan.
Aplikasi ilmu ini biasanya dikenal sebagai Transfusion
Medicine (Ilrnu Kedokteran Transfusi) atau Blood Banking (penyirnpanan darah). Transfusi darahlproduk darah
yang arnan dan konservasi darah adalah fokus utarna dari
I'lmu Kedokteran Transfusi. Konservasi darah adalah
teknik atau usaha untuk mengurangi kebutuhan transfusi
darah. Secara luas, irnunohernatologi juga rnencakup
imunologi transplantasi jaringan atau organ. Untuk
rnemaharni kedokteran transfusi secara kornprehensif
rnaka diperlukan pengetahuan mengenai imunologi,
serologi, dan genetik. Inovasi-inovasi terbaru rnengenai
enzirn, DNA rekornbinan, dan teknik biornedis lainnya
menyebabkan rneluasnya batasan pengertian
imunogenetik.

Sebuah penelitian melaporkan bahwa reaksi transfusi yang


tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% resipien, di mana
sebagian besar (55%) berupa demam. Gejala lain adalah
rnenggigil tanpa dernam sebanyak 14%, reaksi alergi
(terutama urtikaria) 20%, hepatitis serum positif 6%,reaksi
hernolitik 4%. dan overload sirkulasi 1%.

Demam
Peningkatan suhu dapat disebabkan oleh antibodi
leukosit, antibodi trornbosit, atau senyawa pirogen.
Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji cocok silang
antara leukosit donor dengan serum resipien pada pasien
yang rnendapat transfusi leukosit. Cara lain adalah
dengan rnernberikan produk darah yang mengandung
sedikit leukosit, leukosit yang harus dibuang pada produk
ini minimal 90% dari jumlah leukosit. Transfusijuga dapat
dilakukan dengan rnernasang mikrofiltrasi yang
mernpunyai ukuran pori 40 mrn. Dengan filter berukuran
tersebut jurnlah leukosit dapat berkurang sampai 60%.
Pemberian prednison 50 rng atau lebih sehari atau 50 mg
kortison oral setiap 6jam selama 48 jam sebelum transfusi
atau aspirin 1 g saat rnulai menggigil atau 1jam sebelum
transfusi, dilaporkan dapat mencegah demam akibat
transfusi.
Reaksi Alergi
Renjatan anafilaktik terjadi 1 pada 20.000 transfusi. Reaksi
alergi ringan yang rnenyerupai urtikaria tirnbul pada 3%
transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat
interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA
spesifik pada plasma resipien.

Reaksi Hemolitik
Reaksi ini terjadi karena destruksi sel darah rnerah setelah
transfusi akibat darah yang inkornpatibel. Reaksi hemolitik
juga dapat terjadi akibat transfusi eritrosit yang rusak akibat
paparan dekstrose 5%, injeksi air ke dalam sirkulasi,
transfusi darah yang lisis, transfusi darah dengan
pernanasan berlebihan, transfusi darah beku, transfusi
dengan darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan
tekanan tinggi.
Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin
memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan
donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibodi pada
tubuh resipien darah atau janin tersebut. Reaksi antara
antigen eritrosit dan antibodi plasma, baik yang spesifik
maupun nospesifik, menyebabkan antibodi merusak
eritrosit. Destruksi eritrosit yang cepat akan melepaskan
hemoglobin bebas ke dalam plasma sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal, toksemia, dan kematian.
Meskipun saat ini pemahaman mengenai antigen sel
darah merah dan implikasi klinisnya telah sangat maju,
namun reaksi hemolitik akibat transfusi masih dijumpai
pada setiap 250 ribu - 1 juta transfusi. Sekitar separuh
kematian akibat reaksi hemolitik tersebut disebabkan oleh
inkompatibilitasABO akibat kelalaian administratif. Sekitar
1 dari 1000 pasien secara Minis menunjukkan manifestasi
reaksi transfusi lambat dan 1 dari 260.000 pasien
menunjukkan reaksi hemolitik yang nyata karena
mempunyai antibodi terhadap antigen eritrosit minor yang
tidak dideteksi oleh tes antibodi rutin sebelum transfusi.
Reaksi ini akan lebih mudah terjadi pada populasi yang
mempunyai risiko seperti penyakit anemia sel bulan sabit
(sickle cell disease).
~ e n u l a r a nPenyakit
Selain masalah reaksi antigen-antibodi, maka transfusi yang
aman juga harus memperhatikan kemungkinan penularan
penyakit yang dapat menular melalui darah, seperti HIV,
hepatitis B, hepatitis C, dan virus lainnya. Bakteri juga
dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga
dapat menyebabkan infeksi dan terjadinya sepsis setelah
transfusi.
Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali
dilaporkan pada tahun 1982. Kebijaksanaan untuk
menyaring orang dengan perilaku risiko tinggi HIV untuk
tidak mendonorkan darahnya serta kemudian dilakukannya
tes penyaring untuk semua sampel darah donor,
diharapkan dapat menurunkan risiko terjadinya penulpran
HIV melalui transfusi darah.
Kontaminasi
Kontarninasi bakteri pada eritrosit paling sering disebabkan
oleh Yersinia enterocolitica. Angka kontaminasi oleh
Zenterocolitica di Amerika Serikat dan Selandia Baru
masing-masing adalah 1 per 1 juta unit sel darah merah

dan 1 per 65.000 unit sel darah rnerah. Risiko terjadinya


kontarninasi tersebut berhubungan langsung dengan
lamanya penyimpanan.
Risiko sepsis yang berhubungan dengan transfusi
trombosit adalah 1 per 12.000, angka ini lebih besar pada
transfusi menggunakan konsentrat trornbosit yang berasal
dari beberapa donor dibandingkan dengan trombosit yang
didapatkan dengan aferesis dari donor tunggal. Bakteri
yang mengkontaminasi trombosit yang dapat
menyebabkan kematian adalah Staphylococcus aureus,
Klebsiella pneurnoniae, Serratia marcescens, dan
Staphylococcus epidermidis.

Cedera Paru Akut


Risiko transfusi yang lain adalah cedera paru akut yang
berhubungan dengan transfusi (transfusion-related acute
lung injury, TRALI). Kondisi ini adalah suatu diagnosis
klinik berupa manifestasi hipoksemia akut dan edema
pulmoner bilateral yang terjadi dalarn 6 jam setelah transfusi.
Manifestasi Minis yang ditemui adalah dispnea, takipnea,
demam, takikardi, hipo-hipertensi, dan leukopenia akut
sementara. Angka kejadiannya dlaporkan sekitar 1 dari
1.200 sarnpai 25.000 transfusi; Finlay dkk rnernperkirakan
bahwa angka sebenarnya lebih tinggi, namun tidak
dilaporkan sebagai TRALI. Beberapa mekanisme
diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kondisi ini. Salah
satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan
antibodi donor yang mempunyai HLA atau antigen
neutrofil spesifik; akibatnya terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru.

Oleh karena transfusi mempunyai risiko yang cukup besar,


maka pertimbangan risiko dan manfaat benar-benar hams
dilakukan dengan cermat sebelum memutuskan pemberian
transfusi. Secara umum, dari beberapa panduan yang telah
dipublikasikan, tidak direkomendasikan untuk melakukan
transfusi profilaksis dan ambang batas untuk melakukan
transfusi adalah kadar hemoglobin di bawah 7,O atau 8,Ogl
dl, kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis. Walaupun
sebuah studi pada 838 pasien dengan penyakit kritis
melaporkan bahwa tidak ada perbedaan laju mortalitas-30
hari pada kelompok yang ditransfusi dengan batasan kadar
hemoglobin di bawah 10,O gldl dan 7 ,O gldl, namun
penelitian lebih lanjut dengan jumlah pasien lebih besar
masih diperlukan.
Kadar hemoglobin 8,O gldl adalah ambang batas
transfusi untuk pasien yang dioperasi yang tidak memiliki
faktor risiko iskemia, sementara untuk pasien dengan risiko
iskemia, ambang batasnya dapat dinaikkan sampai 10,O gl
dl. Namun, transfusi profilaksis tetap tidak dianjurkan.
Pemberian transfusi untuk menambah kapasitas

1187

DASAX-DASAR TRANSFUSIDARAH

pengiriman oksigen, seperti yang kerap dilakukan di unit


perawatan intensif, tidak dianjurkan. Sebuah studi pada
pasien sepsis melaporkan bahwa transfusi tidak
menyebabkan perubahan kapasitas pengiriman oksigen 6
jam setelah transfusi.

Golongan Darah

Antigen

Antibodi

A
B
AB
0

A
B
A dan B
Tidak ada

Anti-B
Anti-A
Tidak ada
Anti-A, anti-B, anti-A,B

ANTIGEN DAN AN'TIBODI ERI'TROSIT


Antigen eritrosit adalah protein atau lipoprotein yang
terinkorporasi pada lapisan lipid pada membran eritrosit.
Pembentukan antigen tersebut dikode oleh gen-gen
tertentu yang terdapat pada lokus spesifik pada DNA.
Oleh karena itu, maka seseorang yang lahir dengan antig e n eritrosit tertentu akan memilikinya seumur
hidup.
Antibodi terbentuk sebagai respons adanya antigen.
Antibodi dapat terbentuk sebagai reaksi imunitas tubuh
terhadap adanya antigen asing atau secara natural
memang ada karena stimulasi dari antigen endogen yang
normal, seperti anti-A dan anti-B.

GOLONGAN DARAH
Sejak ditemukannya sistem ABO oleh Landsteiner pada
1900, sampai dengan tahun 1999, menurut International
Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 25 sistem
golongan darah dan lebih dari 250 antigen golongan darah
yang telah diidentifikasi. Sistem golongan darah terdiri
dari satu atau lebih antigen yang ditentukan baik oleh gen
tunggal atau sebuah cluster dari dua atau lebih gen
homolog yang berkaitan erat dimana benar-benar tidak
terjadi rekombinasi di antara gen-gen tersebut. Simbol
untuk keduapuluh lima sistem golongan darah tersebut
adalah ABO, MNS, P, RH, LU (Lutheran), KEL (Kell), LE
(Lewis), FY (Duffy),JK (Kidd), DI (Diego), YT (Cmright),
XG, SC (Scianna), DO (Dombrock), CO (Colton), LW, CWRG,
H, XK, GE, CROM, KN, IN, OK, dan RAPH.
Antigen yang tidakhelum termasuk ke dalam sistem
golongan darah dimasukkan menjadi koleksi atau seri
golongan darah. Koleksi Golongan Darah adalah suatu
set dari antigen yang secara genetis, biokimia, atau
serologis berhubungan tetapi tidak memenuhi syarat
untuk status sistem, biasanya karena antigen tersebut
tidak menunjukkan ciri-ciri genetis yang benar-benar:
berbeda dari semua sistem golongan darah yang ada.
Antigen yang tidak termasuk ke dalam sistem atau koleksi
golongan darah, digolongkan menjadi Seri Golongan
Darah.
Sistem golongan darah yang diperiksa dalam
pelaksanaan transfusi darah secara rutin adalah sistem
ABO dan Rhesus yang cara penggolonggannya secara
praktis dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Anti Rh,(D)

Kontrol Rh

Positif
Negatif
Positif

Negatif
Negatif
Positif

Tipe Rh

D+
D- (d)
Harus diulang atau
diperiksa dengan Rh,(D)
typing (Saline tube test)

DONAS1 DARAH
Seleksi Donor Darah
Donor darah harus memenuhi beberapa kriteria untuk dapat
mendonorkan darahnya, yaitu keadaan umum baik, usia
17-65 tahun, berat badan 50 kg atau lebih, tidak demam
(temperature oral < 37,5"C), frekuensi dan irama denyut
nadi normal, tekanan darah 50-100190- 180rnmHg, dan tidak
ada lesi kulit yang berat.
Persyaratan lain adalah menjadi donor terakhir minimal
8 minggu yang lalu, tidak hamil, tidak menderita
tuberkulosis aktif, tidak menderita asma bronkial
simptomatik, pasca pembedahan (6 bulan setelah operasi
besar, luka operasi telah sembuh pada operasi kecil, minimal 3 hari setelah ekstraksi gigi atau pembedahan mulut),
tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat perdarahan
abnormal, tidak menderita penyakit infeksi yang menular
melalui darah.
Imunisasi dan vaksinasi. Calon donor yang baru saja
mendapat imunisasi atau vaksinasi dapat diterima sebagai
donor jika tidak ada gejala setelah tindakan tersebut. Jika
yang didapat adalah vaksin dengan virus hidup yang
dilemahkan, maka calon donor yang tidak menunjukkan
gejala apapun dapat diterima dengan batasan waktu
sebagai berikut:l). cacar air: dua minggu setelah timbul
reaksi imun atau setelah lesi bekas suntikan mereda, 2).
campak, gondong, demarn kuning, polio (oral): dua rninggu
setelah imunisasi terakhir, 3). campak Jerman: dua bulan
setelah imunisasi terakhir.
Malaria. Calon donor yang baru bepergian ke daerah
endemis dapat diterima menjadi donor 6 bulanasetelah
kembali dan terbukti tidak menunjukkan gejala dan tidak
rninum obat antimalaria. Calon donor yang pemah menderita
malaria dapat diterima setelah 3 tahun penyakitnya
admptomatik atau obat dihentikan.

Pengambilan dan Pengumpulan Darah


Informasi untuk donor. Semua calon donor harus
mendapat infornzed consent beserta penjelasan mengenai
risiko transfusi. Donor harus dijelaskan bahwa darah akan
diuji terhadap penyakit infeksi seperti hepatitis, sifilis, dan

Hn!
Reaksi selama dan sesudah donasi. Reaksi pada donor
jarang terjadi. Reaksi yang dapat terjadi adalah sinkop, rasa
lemas, frekuensi nafas meningkat, pusing, pucat, dan mual.
Reaksi yang jarang terjadi adalah kejang, kehilangan
kesadaran, atau berkemihldefekasi involunter. Masalah
pada jantung, bahkan serangan jantung, dapat terjadi,
walaupun sangat jarang (1 ddri 10 juta donor).
Uji terhadap darah donor. Pengujian yang dilakukan pada
darah donor meliputi a)penetapan golongan darah
berdasarkan ABO, b)penetapan goiongan darah
berdasarkan Rhesus, c)uji terhadap antibodi yang tidak
diharapkan, dilakukan pada darah dari donor yang pemah
mendapat transfusi atau hainil, dan d)uji terhadap penyakit
infeksi, yaitu HBsAg, anti HCV, tes serologi untuk sifilis.
dan tes antibodi HIV.

Teknik Pengambilan Darah


Hemaferesis. Hemaferesis adalah istilah umum yang
merujuk kepada pengambilan whole blood dari seorang
donor atau pasien, pemisahan menjadi komponenkomponen darah, penyimpanan komponen yang
diinginkan dan pengembalian elemen yang tersisa ke
donor atau pasien.
Plasmaferesis. Plasmaferesis adalah prosedur di mana
sejurnlah unit darah dari donor diambil untuk mendapatkan
plasmanya, diikuti dengan penginfusan kembali sel-sel
darah merah donor. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan
plasma atau fresh frozen plasma. Plasma yang didapatkan
juga dapat difraksinasi menjadi produk seperti albumin
serum dan gama globulin. Plasmaferesis biasanya dilakukan
menggunakan mz~ltibnysystem, namun dapat juga
menggunakan separasi darah sentrifugal.
Sitaferesis. Sejumlah besar trombosit atau leukosit dapat
dikoleksi dari donor tunggal menggunakan sentrifugasi
aliran intermiten atau kontinyu.
Plateleferesis/trombaferesis. Plateleferesis adalah
prosedur diinana trombosit dipisahkan secara sentrifugal
dari wlzole bloocl.
Leukaferesis/granulositaferesis.Prosedur ini mengambil
granulosit dan kemudian mengembalikan darah sisanya ke
donor.
Transfusi autologus. Transfusi autologus adalah transfusi
darah atau produk darah yang berasal dari darah resipien
sendiri. Prosedur ini mulai sering dilakukan setelah diketahui
adanya risiko penularan penyakit, terutama infeksi HIV,
melalui transfusi darah. Dengan teknik ini, risiko bahaya

transfusi darah homolog serta penularan hepatitis dan HIV


dapat dihilangkan. Walaupun memiliki keuntungan,
transfusi autologus tetap memiliki beberapa kelemahan,
yaitu 1). tidak menghilangkan risiko kontarninasi bakteri
atau overloacl volume, 2). tidak mengurangi risiko kesalahan
adininistratif yang menyebabkan inkompatibilitas ABO,
3). biayanya lebih tinggi dibandingkan transfusi alogenik,
4). umumnya ada sisa darah yang tidak digunakan dan
kemudian dibuang, 5). menyebabkan anemia perioperatif
dan meningkatkan kemungkinan diperlukannya transfusi.
Indikasi transfusi autologus adalah: 1). pasien yang
menunjukkan reaksi transfusi dengan pemberian semua
darah yang homolog, 2). pasien dengan golongan darah
yang sangat jarang atau memiliki antibodi yang tidak
diharapkan, 3). pasien yang menolak transfusi dari donor
lain karena alasan kepercayaan.
Darah dapat dikumpulkan dengan prosedur
konvensional atau melalui pengumpulan darah yang keluar
saat operasi atau trauma. Secara umum, darah yang dapat
diambil tidak lebih dari 450 ml atau 12 persen dari estimasi
volume darah dan kadar Hb 1 lgldl atau lebih. Donasi
dilakukan dengan frekuensi minimal 4 hari sekali.
Flebotomi predeposit sebaiknya tidak dilakukan dalam 72
jam sebelum operasi besar tanpa penggantian parsial protein plasma menggunakan fraksi protein plasma dan albumin.
Berdasarkan penelitian, sebanyak 8 unit whole blood
dapat diambil dari seseorang dalam 20 hari tanpa
manifestasi klinis apapun jika diberikan suplementasi besi
oral kepada donor.
Darah yang 'diselamatkan' selama operasi atau setelah
trauma dikumpulkan dari dalam tubuh dengan alat dan
dimasukkan kembali ke pasien segera setelah filtrasi. Jika
tidak ditranfusikan segera, unit darah dikumpulkan dan
diproses secara steril menggunakan alat untuk koleksi
darah intraoperatif yang dicuci dengan 0,9%NaCl,
selanjutnya dapat disimpan sampai dengan 6 jam pada
suhu kamar, atau sampai dengan 24 jam pada 1-6C.

Uji Cocok-Silang
Uji cocok-silang (crossmatch) atau uji kompatibilitas
adalah prosedur yang paling penting dan paling sering
dilakukan di laboratorium transfusi darah. Uji cocok silang
secara umum terdiri dari serangkaian prosedur yang
dilakukan sebelum transfusi untuk memastikan seleksi
darah yang tepat untuk seorang pasien dan untuk
mendeteksi antibodi ireguler dalam serum resipien yang
akan mengurangi atau mempengaruhi ketahanan hidup dari
sel darah merah donor setelah transfusi.
Terdapat 2 jenis uji cocok-silang, mayor yaitu menguji
reaksi antara sel darah merah donor dengan serum resipien,
dan minor yaitu menguji reaksi antara serum donor dengan
sel darah merah resipien.

DASAR-DASAR TRANSPUS1 DARAH

Uji cocok-silang mayor dilakukan pada tes pratransfusi,


menggunakan metode yang akan menunjukkan antibodi
aglutinasi, sensitisasi, dan hemolisis, juga tes antiglobulin. Uji cocok-silang minor tidak dilakukan pratransfusi
karena uji ini dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor
setelah pengumpulan darah. Kombinasi beberapa prosedur
dapat dilakukan untuk melakukan uji cocok-silang. Teknik
salin, albumin, enzim, antiglobulin direk dan indirek.
Secara umum, uji cocok silang harus mendeteksi
sebagian besar antibodi resipien yang dapat mereaksi
dengan sel darah merah donor. Namun, uji cocok-silang
tidak menjamin sel darah donor tetap hidup atau mencegah
imunisasi resipien, tidak mendeteksi kesalahan
penggolongan ABO, Rh-typing, atau semua antibodi
ireguler pada resipien serum.

Ammann AJ, Cowan MJ, Wara DW, et al. Acquired immunodeficiency in an infant: possible transmission by means of blood
products. Lancet. 1983; 1 :956-8.
Bryant NJ. An introduction to immunohematology. 3rdedition.
Philadelphia: WB Saunders; 1994.
Fatal Bacterial Infections Associated with Platelet Transfusions.
MMWR. 2005;54(7): 168-70.
Finlay HE, Cassorla L, Feiner J, Troy P. Designing and testing a
computer-based screening system for transfusion-related acute
lung injury. Am J Clin Pathol. 2005;124(4):601-9.
Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, first of two parts - Blood transfusion. N Engl-J
Med. 1999;340(6):438-47.
Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, second of two parts - Blood transfusion. N Engl
J Med. 1999;340(7):525-33.
Heather EF, Cassorla L, Feiner J, Toy P.
Kormoczi GF, Mayr WR. Milestones in immunohematology. Transp
Immunol. 2005;14: 155-7.
Possible transfusion-associated acquired immune deficiency syndrome
(AIDS)- California. MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
1982;3 1:652-4.

DARAM DAN KOMPONEN:


KOMPOSISI, INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN
Harlinda Haroen

PENDAHULUAN
I'znggunaun darah untuk traal'usi hendakl;rh selalu
dilakukan secilr-n rasional clan efisien yaitu tlengan
lnelnberi kiln hunya komponen darnhlt1criv;rt pli~snii~
yang
dibutuhkan saja. Pemikirirn i n i didasarkan bnliwa darah
tcrdiri dari berrnncum-rnirca111elemen selular dun jug;^
ber.macam macam protein plasma deagun I'ungsi yarig
berbedil-beda yirng tcntunya dapirt dipisahkan, jugn
biasanya pasien hanyu rnemerlukan kompone11 tertentu
si~jasehingga komponen koniponen darah luinnya dirl>al
cli beriknn pada pasien Iirin yang mcmbututik~~~i.
Triinfusi tlarilh pada hakekatnyir adnlul~per~~beriurl
di1r;rh atau komponen dirrah diiri saiu individu (donor) kc
ilidividu lirinnyu (resipien), diriinna clapat 111cnj;rdi
penyela~natnyawa, tapi dapat pulir berbirhaya cle~~gari
ber-bagni komplikasi yang dapal terjadi sehingga traril'usi
darah henduklah dilukukan tlerigi~riiodiknsi yi11ngjelas t1a11
tepat sehingga diperoleh manfilat yirng ,jiruli lebih Ixsirr
daripadu risiko yuny mungkin terjadi.
Dari sat11 unit duralr Icngkap dotior dcr~gariproses
srntrit'ugasi dengan kecepatan tinggi dapat dipisnhkicn
plasr~lir
tnclijadi sel darah meri~lipckut (SI)Ml'),~ror~ibosit,
scgar hekic =ji.csh ji.o?,c,tr plttstrrtr (I:I:I'), kl.iol)rcsil)itat diui
laill lain, sedangkan dari plasri~adengan proses Iraksioasi
akan didapar bcberapa derivatnya aotara Inin nlbu~nio,
i~~iuooglobulin
dan faktor-faktor koilgulasi pckal ~nis;llny;r
faktor V111 pekat dun laktor 1X pckat.
Dcngan inakin niajunyu teknologi al'ercsis snat ini, riiirkil
peliryanan ~ranl'usidarah dapat lebih tepat rne~nenul~i
krbutuhnn komponen darah melalui penggunaali lncsin
~nultikompoaer~
dengan menggunakan dollor runggul. Hi11
i r i i tlilakuknn untirk ri~crninilnalisasirisiko ~l.allsrr~isi
penyakic y;rrig dischi~bkanoleh trar~l'usidi1r;lli.

DEFlNlSl

C'raksi I'lascua ildaluh tlerivot plus~niryirng tliperoleh


dengao cirra kinria/I'raksi~rirsitlclrgan melrggunakan
scjurnlah besor p1;rsmu yang tliproiluksi di pabrik.
I'roduk I)i~ritlliirlali istila11urnunl yang mcoci~kupketlua
istilali kornl>oncridarah dan ilerivirt ~)l;lsrnu.

MA'AM

MACAM KOMPONEN DARAH

Selular
1)aral I Utuh (bvlrolr blooil)
Sel tlarilh ~iicrilhpckilt ( p r c . k ( ~t.rrl
~ l l)loorl r.c.11):
- Scl clilrah r~icrill~
1)ckilt dengan sedikit lekosit
(/)(rt'krcl t ~ t /)loot/
l
r,cll /rlrkoc~~.r~~.s
r.nlrrceil)
Scl durirli ri~el.ilIipckut cuci (prc.Xecl t.c~cl/)loot1 (,ell
~r~cr.shrtl)
Scl claral~111cral1
pckat 1)cku (/)tlc.krrl t.crl blootl c.c~ll
/i-o,-rrr,/~ic~X~.cl
t.c,tl 1)loocl (,ell tlrgl\c~c~t~oli:c.cl).
'I'ror~~hosit
konsentut (c~otrc~c2tr/t~r~c
p1trrcle1.s ):
'Tronrbosit dcrigan scclikit Iekosit (/~lcr/olc~.v
c.c~trc.c~tr-

Non Selular
Plasrni~scgal bcku (/i.c~.slr,/i~o:c~tr
/)l(csttrtr)
I'laslllil dollol' tllliggiII (.sillg/iztk1110r/ ) ~ t r . s t l l t l )
Kriopt~esi1)11;11
I'irkto~,i111ti I i ~ ~ ~ ~ r o ~( '( i. lI i; i\ .r~ ~ ) I . C ~ ( ~ ~ / ) I I ~ I I L ,
AiiN

DARAH DAN KOMPONEN:KOMPOSISI,INDIKASI DAN CARA PEMBERUN

MACAM MACAM DERIFAT PLASMA


Albumin
Imunoglobulin
Faktor VIII dan Faktor IX pekat
Rh Imunoglobulin
Plasma ekspander sintetik

DARAH LENGKAP (WHOLE BLOOD)


Darah lengkap ini berisi sel darah merah, lekosit, trombosit
dan plasma. Satu unit kantong darah lengkap berisi 450
mL darah dan 63 mL antikoagulan. Di Indonesia satu
kantong darah lengkap berisi 250 mL darah dengan 37 mL
antikoagulan, ada juga yang satu unit kantong berisi 350
mL darah dengan 49 mL antikoagulan.Suhu simpan antara
lo-6" Celcius. Lama simpan dari darah lengkap ini
tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong
darah; pada pemakaian sitrat fosfat dekstrose (CPD) lama
simpan adalah 21 hari, sedangkan dengan CPD adenin
(CPDA): 35 hari. Menurut masa simpan invitro ada 2
macam darah lengkap yaitu darah segar dan darah baru.
Darah segar yaitu darah yang disimpan sampai 48 jam,
sedang darah baru yaitu darah yang disimpan sampai
dengan 5 hari. Pada darah segar trombosit, faktor
pembekuan labil (V, VIII) masih cukup untuk terjadinya
pembekuan sedangkan darah baru kadar 2,3 difosfogliserat
(2,3 DPG) suatu molekul yang mempermudah pelepasan
oksigen dari hemoglobin mulai menurun.

lndikasi
Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel
darah merah dan volum plasma dalam waktu yang
bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan
kehilangan darah lebih dari 25-30% volum darah total.
Namun demikian, pemberian darah lengkap pada keadaan
tersebut hendaklah tidak menjadi pilihan utama, karena
pemulihan segera volum darah pasied jauh lebih penting
dari pada penggantian sel darah merah, sedangkan
menyiapkan darah untuk tranfusi lnemerlukan waktu.
Kontraindikasi
Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang
bertujuan meningkatkan sel darah merah.
Dosis dan Cara Pemberian
Dosis tergantung keadaan klinis pasien. Pada orang
dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb
sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%. Pada anak-anak darah
lengkap 8 mLkg akan meningkatkan Hb sekitar 1 gldl.
Pemberian darah lengkap sebaiknya melalui filter darah

1191

dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis


pasien, namun setiap unitnya sebaiknya diberikan dalam
4jam

SEL DARAH MERAH PEKAT(PACKEDRED BLOOD


CELL)
Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, lekosit
dan sedikit plasma. Sel darah merah ini didapat dengan
memisahkan sebagian besar plasma dari darah lengkap,
sehingga diperoleh sel darah merah dengan nilai hematokrit
60-70 %. Volume diperkirakan 150-300 mL tergantung
besarnya kantung darah yang dipakai, dengan massa sel
darah merah 100-200mL. Sel darah merah ini disimpan pada
suhu lo-6"Celcius. Bila menggunakan antikoagulanCPDA
maka masa simpan dari sel darah merah ini 35 hari dengan
nilai hematokrit 70-80 %, sedangkan bila menggunakan
antikoagulan CPD masa simpan dari sel darah merah ini 21
hari. Komponen sel darah merah yang disimpan dalam
larutan tambahan (buffer, dekstrosa, adenin, manitol)
memiliki nilai hematokrit 52-60 % dan masa simpan 42 hari.
Sediaan ini bukan merupakan sumber trombosit dan
granulosit, namun memiliki kemampuan oksigenasi seperti
darah lengkap.

lndikasi
Sel darah merah pekat ini digunakan untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan
gejala anemia, yang hanya memerlukan massa sel darah
merah pembawa oksigen saja misalnya pada pasien
dengan gagal ginjal atau anemia karena keganasan.
Pemberian unit ini disesuaikan dengan kondisi klinis
pasien bukan pada nilai Hb atau hematrokit.
Keuntungannya adalah perbaikan oksigenasi dan jumlah
eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien
anemia dengan gagal jantung.
Kontraindikasi
Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam
jumlah banyak dalam waktu singkat.
Dosis dan Cara Pemberian
Pada orang dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan
meningkatkan Hb sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%.
Pemberian sel darah ini harus melalui filter darah
standar (170 p). Hematokrit yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya hiperviskositas dan
menyebabkan kecepatan tranfusi menurun sehingga
untuk mengatasinya maka diberikan salin normal 50100 ml sebagai pencampur sediaan sel darah merah
dalam CPD atau CPDA-1 tetapi harus hati hati karena
dapat terjadi kelebihan beban.

SEL DARAH MERAH PEKAT DENGAN SEDlKlT


LEUKOSIT (PACKED RED BLOOD CELL
LEUCOCYTES REDUCED)
Setiap unit sel darah merah pekat mengandung 1-3 x 1OY
lekosit. American Association of Blood Bank Standard
for Tranfusion Services menetapkan bahwa sel darah
merah yang disebut dengan sedikit lekosit jika kandungan
leukositnya kurang dari 5 x 106leukosidunit. Sel darah ini
dapat diperoleh dengan cara pemutaran, pencucian sel
darah merah dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau
degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku.
Karena pada pembuatannya ada sel darah merah yang
hilang, maka kandungan sel darah merah kurang
dibandingkan dengan sel darah merah pekat biasa.
Suhu simpan lo-6O Celcius, sedang masa simpan
tergantung pada cara pembuatannya Bila pemisahan
leukosit dilakukan dengan memakai kantong ganda (sistem
tertutup) masa simpannya sama dengan darah lengkap
asalnya, tapi bila dengan pencucian/filtrasi (sistem terbuka)
produk ini hams dipakai secepatnya (dalam 24 jam).

lndikasi
Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah
merah pada pasien yang sering mendapadtergantung pada
tranfusi darah dan pada mereka yang sering mendapat
reaksi tranfusi panas yang berulang dan reaksi alergi yang
disebabkan oleh protein plasma atau antibodi lekosit.
Perhatian
Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya
graft versus host disease (GVHD ), sehingga komponen
darah yang dapat diandalkan untuk mencegah ha1 itu ialah
bila komponen darah tersebut diradiasi.
Dosis dan Cara Pemberian
Pemberian komponen sel darah ini paling baik di
berikan dengan menggunakan filter darah generasi
ketiga.

SEL DARAH MERAH PEKATCUCI (PACKED RED


BLOOD CELL WASHED)
Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin
memiliki hematokrit 70-80 % dengan volum 180 mL.
Pencucian dengan salin membuang hampir seluruh
plasma (98 %), menurunkan konsentrasi leukosit, dan
trombosit serta debris. Karena pembuatannya biasanya
dilakukan dengan sistem terbuka maka komponen ini
hanya dapat disimpan dalam 24 jam dalam suhu 1-6O
Celcius.

lndikasi
Pada orang dewasa komponen ini dipakai untuk mencegah
reaksi alergi yang berat atau alergi yang berulang, dapat
pula digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi
intrauteri.
Perhatian
Hati hati terhadap kontaminasi bakteri akibat cara
pembuatannya secara terbuka, masih dapat menularkan
hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Karena masih
mengandung sejumlah kecil leukosit yang viable,
komponen ini tidak menjamin pencegahan terjadinya
GVHD atau infeksi CMV pasca tranfusi.
Dosis dan Cara Pemberian
Sebaiknya semua proses tranfusi melalui filter darah tanpa
kecuali.
SEL DARAH MERAH PEKAT BEKU YANG DlCUCl
(PACKED RED BLOOD CELL FROZEN,PACKED
RED BLOOD CELL DEGLYCEROLIZED)
Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan
gliserol suatu sediaan krioprotektif terhadap darah yang
usianya kurang dari 6 hari. Darah ini kemudian dibekukan
pada suhu minus 65Oatau minus 200' Celcius (tergantung
sediaan gliserol) dan dapat disimpan selama 10 tahun.
Karena pada proses penyimpanan beku, pencairan dan
pencuciannya ada sel darah merah yang hilang maka
kandungan sel darah merah minimal 80% dari jumlah sel
darah merah pekat asal, demikian pula hematokrit kurang
lebih 70-80%. Proses pencucian dapat menggunakan
larutan glukosa dan salin. Suhu simpan lo-6OCelcius
dan tidak boleh digunakan lebih dari 24 jam
karena proses pencucian biasanya memakai sistem
terbuka.

lndikasi
Dapat dipakai untuk menyimpan darah langka.
Perhatian
Risiko terjadinya kontaminasi bakteri dapat terjadi
karena sistem terbuka yang dipakai di mana dapat
menularkan hepatitis namun tidak untuk Citomegalo
virus (CMV)
Dosis dan Cara Pemberian
Pemberian komponen darah ini melalui filter darah dan
sediaan ini memiliki massa eritrosit yang rendah karena
banyak sel darah yang hilang selama proses
pembuatan.

DAM

DAN KOMPONEN: KOMPOSISI,INDIKAS~


DAN CARA PEMBERJAN

TROMBOSIT PEKAT(C0NCENTRATEPLATELETS)
Berisi trombosit, beberapa lekosit dan sel darah merah
serta plasma. Trombosit pekat ini dapat diperoleh dengan
cara pemutaran (sentrifi~gasi)darah lengkap segar atau
dengan cara tromboferesis. Satu kantong trombosit pekat
yang berasal dari 450 mL darah lengkap dari seorang donor
berisi kira kira 5,s x I 01 trombosit dengan volum sekitar
50 mL. Satu kantong trombosit pekat yang diperoleh
dengan cara tromboferesis seorang donor darah berisi
sekitar 3 x 10" trombosit, setara dengan 6 kantong
trombosit yang berasal dari donor darah biasa.
Tergantung dari jenis mesin yang dipakai, volum berkisar
antara 150-400 mL. Produk ini memungkinkan tranfusi
trombosit yang cocok pada pasien dengan antibodi
terhadap trombosit.
Trombosit pekat ini dapat disimpan pada suhu 20"-24''
Celcius dengan kantong darah biasa yang diletakkan pada
rotatorlagitator yang selalu berputarlbergoyang, trombosit
dapat disimpansel~ma3 hari, sedangkan den& kantong
darah khusus dengan cara penyimpanan yang sama
trombosit dapat disimpan selama 5 hari. Produk ini daya
hemostatiknya kurang, sedangkan viability pasca
tranfusinya lebih baik. Pada suhu 1-60Celciustrombosit
ini dapat disimpan selama 3 hari. Produk ini fungsi
hemostatiknya lebih baik namun viability pasca
tranfusinya kurang.

lndikasi
Trombosit pekat ini diindikasikan pada kasus perdarahan
karena trombositopenia (trombosit <50.000/uL) atau
trombositopati kongenitalldidapat. Juga diindikasikan
pada mereka selama operasi atau prosedur invasif dengan
trombosit <50.000/uL. Profilaksis diberikan pada semua
kasus dengan trombosit 5-10.000 uL yang berhubungan
dengan hipoplasi sumsum tulang akibat kemoterapi, invasi
tumor atau aplasia primer sumsum tulang. Produk ini
ditranfusikan intravena dengan meniakai saringanlfilter
darah standar. Sebaiknya diberi'kan trombosit pekat yang
sama golongan ABO nya dengan pasien.
Kontraindikasi dan Perhatian
Tranfusi trombosit biasanya tidak efektif pada pasien
dengan destruksi trombosit yang cepat seperti: ITP, TTP
dan KID dan tranfusi biasanya dilakukan hanya pada
adanya perdarahan yang aktif. Pasien dengan
trombositopenia yang disebabkail oleh sepsis atau
hipersplenisme biasanya refrakter terhadap tranfusi
trombosit.
Menggigil, panas dan reaksi alergi dapat terjadi pada
tranfusi trombosit. Antipiretik yang dipilih sebaiknya
bukan golongan aspirin karena dapat menghambat
agregasi dan fungsi trombosit. Tranfusi berulang dari
trombosit dapat menyebabkan aloimunisasi terhadap HLA

1193

dan antigen lainnya serta dapat terjadi refrakter yang


ditandai dengan tidak adanya peningkatan trombosit.
Pemberian terlalu cepat dapat menyebabkan kelebihan
beban, serta penularan penyakit dapat terjadi seperti halnya
traiifusi komponen lain.

Dosis dan Cara Pemberian


Dosis yang biasanya digunakan pada perdarahan yang
disebabkan karena trombositopenia adalah 1 unit110 kg
BB, biasanya diperlukan 5-7 unit pada orang dewasa. Satu
kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 ml darah
lengkap diperkirakan dapat menaikkan jumlah trombosit
sebanyak 9000-1 1.000/ull m'luas permukaan tubuh; pada
dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan dapat
menaikkan 5000- 10.000lul. Penghitungan peningkatan
jumlah trombosit yang dikoreksi (Corrected Count
Increment = CCI) dapat dapat dihitung lebih akurat dengan
memakai rumus:
CCI = f Post tx plt ct ) - (Pre tx ~ 1ctt ) x BSA
( Plt transfused x 10" )
Post tx: pascatransfusi
Pre tx: pratransfusi
BSA: bod)]surface area (luas permukaan tubuh).
Keberhasilan tranfusi trombosit dapat dipantau dengan
menghitung jumlah trombosit (CCI ) 1 jam pasca tranfusi
dimana CCI >7,5-10 x 109/L atau CCI >4,5 x 109/L yang
diperiksa 18-24jam pasca transfusi.

TROMBOSIT DENGANSEDlKlTLEUKOSIT(PLATELETS LEUKOCYTES REDUCED)


Trombosit berisi leukosit sekitar0.5-1 x 108/unittrombosit,
sedangkan trombosit dengan sedikit leukosit mengandung
leukosit hanya 8.3 x 1O5Iunit.

lndikasi
Trombosit jenis ini dipergunakan untuk pencegahan
terjadinya alloimunisasi HLA terutama pada pasien yang
harus menerima kemoterapi jangka panjang.
Kontraindikasi dan Perhatian
Meskipun sediaan ini dapat meniadakan reaksi febris pada
pasien yang mengalami aloimunisasi terhadap HLA antigen, peng'gunaannya tidak dapat mempercepat terjadinya
pemulihan jumlah trombosit. Untuk mendapatkan hasil
yang baik sebaiknya dilakukan uji cocok serasi. Terjadinya
reaksi tranfusi pada sediaan ini dihubungkan dengan
lamanya penyimpanan akibat dilepaskannya sitokin sitokin
seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF alfa yang dilepaskan
leukosit selama penyimpanan.

Dosis dan Cara Pemberian


Penggunaannya dengan menggunakan filterlsaringan
khusus trombosit dengan sedikit lekosit.

GRANULOSIT FERESIS (GRANULOCYTES


PHERESIS)
Diperoleh dengan cara sitaferesis dari donor tunggal,
berisi granulosit, limfosit, trombosit beberapa sel darah
merah dan sedikit plasma. Setiap unit mengandung
sekitar 1.0 x 10"' granulosit, sejumlah limfosit, trombosit,
25-50 ml sel darah merah, d a n mungkin sedikit
hidroksietil starch ( HES ),dengan volum 200-300 ml.
Suhu simpan dari sediaan ini 20-24C dan harus segera
ditransfusikan.

lndikasi
Komponen ini dipakai untuk meningkatkan jumlah
granulosit pada pasien sepsis dengan leukopenia yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian
antibiotik,dan pada pemeriksaan sumsum tulang
menunjukkan hipoplasi.
Kontraindikasi dan Perhatian
Terapi antibiotik yang tepat atau penggunaan faktor
pertumbuhan hematopoietik mungkin lebih efektif
dibandingkan dengan tranfusi granulosit. Efek samping
yang mungkin terjadi seperti urtikaria, menggigil, demam,
tidak merupakan indikasi untuk menghentikan transfusi ,
namun kecepatan tranfusi harus diperlambat. Untuk
memperkecil kemungkinan tejadinya efek samping dapat
diberikan antihistamin dan steroid sebelum transfusi.
Risiko penularan terhadap CMV dapat terjadi demikian
pula untuk dapat terjadinya GVHD.

dari donor, disimpan pada suhu simpan minus 18C atau


lebih rendah dengan masa simpan 1 tahun. Volume sekitar
200-250 ml.

lndikasi
Plasma segar beku dipakai untuk pasien dengan gangguan
proses pembekuan bila tidak tersedia faktor pembekuan
pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi faktor
pembekuan multipel antara lain: penyakit hati, KID, TTP,
dan dilusi koagulopati akibat transfusi masif.
Kontraindikasi dan Perhatian
Plasma sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan
ekspansi volum karena risiko penularan penyakit yang
tinggi. Albumin, fraksi protein plasma, koloid, atau
kristaloid yang tidak menularkan penyakit merupakan
produk yang lebih aman untuk mempertahankan volum
darah.
Dosis dan Cara Pemberian
Produk ini diberikan dalam 6jam setelah pencairan, dengan
memakai saringanlfilter standar. Plasma harus cocok
golongan ABO-nya dengan sel darah merah pasien dan
tidak perlu uji silang. Jika plasma diberikan sebagai
pengganti faktor koagulasi dosisnya adalah 10-20 m l k g
(4-6 unit untuk orang dewasa) dapat meningkatkan faktor
koagulasi 20-30%, dapat pula meningkatkan faktor VIII 2%
(1 unit/kg).
Efek samping yang terjadi dapat berupa menggigil,
demam dan hipervolemia.
KRlOPRESlPlTAT FAKTOR ANTI HEMOFlLlK
(CRYOPRECIPITATEDAHF)

PLASMA SEGAR BEKU (FRESH FROZEN


PLASMA = FFP)

Kriopresipitat AHF adalah konsentrat plasma protein


tertentu, dibuat dengan mencairkan plasma segar beku
pada suhu 4" C selama 12-14 jam atau pada circulating
waterbath4O C selarna 75 menit dan kemudian memisahkan
komponen yang masih berpresipitasi pada suhu tersebut
d e n g a n cara pemutaran. Komponen yang masih
berpresipitasi tersebut adalah kriopresipitat. Suhu simpan
adalah minus 18" C atau lebih rendah dengan lama simpan
1 tahun dengan volum sekitar 10-15 ml.
Kriopresipitat ini berisi faktor VIII 80- 120 unit, 150-250
mg fibrinogen, sekitar 40-70% faktor Von Willebrand, 2030% faktor XIII.

Plasma digunakan untuk mengganti kekurangan faktor


koagulasi. Plasma segar beku ini berisi plasma, semua faktor
pembekuan stabil dan labil, komplemen dan protein plasma.
Plasma ini dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian
dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah

lndikasi
Kriopresipitat digunakan pada pasien dengan kekurangan
F VIII (Hemofilia A) bila F VIII pekat tidak tersedia,
kekurangan F Xm, kekurangan fibrinogen dan untuk pasien
penyakit Von Willebrand.

Dosis dan Cara Pemberian


Transfusi diberikan menggunakan saringan darah
standar, dan harus cocok serasi sistem golongan ABOnya dengan darah pasien. Belum ada kesepakatan
mengenai dosis dan lamanya transfusi leukosit ini, namun
paling sedikit 4 hari pemberian transfusi ini baru
memperlihatkan hasil.

1195

DARAH DAN KOMPONEN: KOMWSISI, INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN

Kontralndikasi dan Perhatian


Kriopresipitat tidak diberikan pada pasien yang tidak
defisiensi faktor-faktor tersebut di atas.
Dosis dan Cara Pemberian
Sebelum dipakai, kriopresipitat harus dicairkun terlebih
dahulu dengan menenipatkannya dalam kvaterbath
bersuhu 30-37" C. Komponen ini harus diberikan pada
pasien dalam waktu 6 jam setelah peiicairan atau 4 jam
setelah pooling. Plasma yang diberikan hendaknya
sama golongan ABO nya dengan sel darah merah pasien,
uji silang tidak perlu dilakukan, dan diberikan dengan
saringanlfilter standar. Dosis untuk hipofibrinogenemia
adalah 10 kantong pada orang dewasa dengan berat
badan 70 kg, sedang dosis pada arlak anak adalah 1
kantongIl0 kg dapat meningkatkan fibrinogen 60- 100
mg/dI. Pada pasien Hemofilia A 1 kantong kriopresipitat
yang mengandung 100 unit F VIII. 1 kantong16 kg dapat
meningkatkan F VIII 35%. Efek samping yang rnungkin
terjadi adalah reaksi alergi dan deniam.

KONSENTRAT FAKTOR Vlll (FACTOR Vlll


CONCENTRATE)
Konsentrat faktor VIII dapat dibuat dari plasma manusia
atau diproduksi melalui teknologi rekombinan. Konsentrat
faktor VIII ini dibuat dengan proses fraksinasi dari plasma
yang dikumpulkan dan dibekukan segera setelah
pengambilan darah. Semua produk dibuat steril, stabil,
murni dan beku kering.
Berbagai proses dipakai untuk mendapatkan F VIII
yang bebas dari virus dan menurunkan risiko penularan
infeksi misalnya dengan proses pasteurisasi atau memakai
cairan pelarut tri(n-butil) fosfat.
Sediaan ini memiliki volume yang seclikit. Produk yang
tersedia dapat diklasifikasikan atas sediaan konsentrat F
VIII dengan kemurnian menengah, kemurnian tinggi atau
bebas imunoafinitas. Konsentrat F VIII dengan kemurnian
menengah memiliki 1-10% dari tot'il protein terdiri dari fibrinogen dan beberapa protein lainnya. Produk yang paling murni dibuat melalui kromatografi'imunoafinitslsdengan
menggunakan antibodi monoklonal. Kemurniannya
hencapai lebih dari 90% sebelum ditambah albumin yang
dipakai sebagai stabilisator. Faktor VIII yang dibuat dari
kuItur sel marnalia melalui rekombinan DNA juga sudah
tersedia secara luas.

lndikasi
Konsentrat F VIII diindikasikan untuk pengobatan atau
pencegahan perdarahan pada Hemofilia A dengan
defisiensi F VIII sedang sampai berat atau pasien dengan
inhibitor F VIII titer rendah yang kadariiya tidak lebih dari
5-10 Bethesda unitsIm1.

Kontraindikasi dan Perhatian


Dosis tinggi pemberian konsentrat F Vlll dengan
kemurnian menengah dapat meningkatkan fibrinogen
secara bermakna. L>ire~.rantiglobulin tes (DAT) atau
hen~olisisdapat tcrjndi karena adanya anti A atau anti B.
Reaksi yaiy licl:tk clih;~raphiarneliputi malaise. panas. niual,
dan menggigil. I'acla Lclii~irriiany a y tinggi. konsc~lll.atF
Vlll lebih jarang mttnimbulkan e t k samping.
Dosis dan Cara Pemberian
Banyaknya aktivitas F Vlll koagulan digunakan dengnn
mempergunakan Inrelnntional Utzits (IU). Satu 1U adalah
jumlah aktivitas F VIll koagulan dalam I mL plasma normal. Dosis pel-rnulaan untuk rnencapai kadar 30- 100%
dihitung dengan rumus:
Plasma Volume (PV mL) = 40 mUkg x 66 (kg)
F Vlll yang diinginkan (unit) =
PV x [ kadar vana d e i ~ k ~ a _ n . l ~kadar
/ ~ ) sekarana(?/oi]

Cara lain adalah: tiap unit F VllIIkgBB akan ~neningkatkan


2% (0.02 1UImlj
Peinberiannya dapat inelalui infus dengan
menggunakan saringanlfilter darah standar atau dengan
jarum suntik dengan filter yanp telah tersedia bcrsama
sediaannya.

KONSENTRAT FAKTOR I X (FACTOR IX


CONCENTRATES)
Dua konsentrat F IX sekarang tersedia sebagai husil
rekombinan. Sediaan ini steril, stabil dan kering beku
sebagai hasil dari fraksinasi plasma yang dikumpulkan.
Kompleks F IX nierupakan sediaan yang mengandung
selain FIX juga sejumlah F 11, VII, X dan beberapa protein.
Selama pembuatan konsentrat ini beberapa aktivasi dari
faktor koagulasi dapat terjadi. lsi dari F VII dalam beherapa
produk agak bervariasi. Jumlah masing masing faktor yang
terkandung dalam sediaan ini biasanya tertera pada label
botol tapi paling banyak mengandung 1-5 IU F IXlmg protein. Hal sebaliknya dengan kompIeks F IX, F IX koagulasi
merupakan sediaan murni yang mengandung sedikit F 11,
F VII dan F X. Sediaan ini dibuat dengan metode
kromatografi atau antibodi monoklonal sehingga
mengurangi terjadinya trombogenik. Kira kira 30-30%dari
produk ini adalah F IX di~nanasediaan ini mengandung 50
dan 200 IU F IXImg protein. Konsentrat F 1X dibuat dengan
heat treated solvent/ detergent treated dcngan teknik
rekombinan untuk menurunkan risiko hepatitis. HIV dan
infeksi virus lainnya.

lndikasi
Konsentrat F IX ini digunakan untuk mengobati pasien
dengan defisiensi F IX yang dikenal sebagai hemofilia B.
Pasien dengan inhibitor dapat diobati dengan kompleks
konsentrat F IX, yang mengandung bypass aktivitas
inhibitor F VIII.

lndikasi
Albumin digunakan untuk meningkatkan volume sirkulasil
resusitasi misalnya pada pasien luka bakar, pasien pada
keadaan hipovolernia dan hipoproteinemia misalnya pasien
dengan syok, pada sindrom nefrotik atau untuk
meningkatkan protein plasma.

Kontraindikasi dan Perhatian


Kompleks F IX sebaiknya diberikan dengan hati hati pada
pasien yang mempunyai penyakit hati. Terdapat laporan
terjadinya trombosis dan DIC pada adanya defisiensi anti
trombin khususnya pada pasien dengan penyakit hati.
Etiologi komplikasi ini mungkin berhubungan dengan
penurunanbersihan hati,
akumulasi faktor
kOagulasitersebut Konsentrat IX koagulasi t a m ~ a k n ~ a
lebih kurang trombogenik dibandingkan dengan kompleks
F M.Efek samping dari kompleks F M bila diberikan secara
cepat adalah menggigil, demam, nyeri kepala,nausea dan
cepat dari IX k o a ~ l a sadalah
i
vasomotor.

Kontraindikasi dan Perhatian


Larutan albumin 25 % tidak boleh diberikan pada pasien
dengan dehidrasi dan hanya dapat diencerkan dengan
salin normal dan dekstrosa 5%.

Dosis dan Cara Pemberian


1 unit F IX setara dengan 1 ml plasma manusia. Dosis
yang diberikan tergantung gejala klinis dan kebutuhan
pasien. Sejumlah konsentrat F IX diinfuskan dengan
rumus seperti menghitung penggunaan dosis F VIII,
namun secara in vivo hanya sekitar 50 % yang dipakai
karena distribusi ke ekstravaskular. Jadi setiap unit F
IX yang diinfuskan per kg BB akan meningkatkan 1% F

IX.
ALBUMIN DAN FRAKSI PROTEIN PLASMA
(ALBUMIN AND PLASMA PROTEIN FRACTION)
Albumin merupakan derivat plasma yang diperoleh dari
darah lengkap atau plasmaferesis, terdiri dari 96% albumin
dan 4% globulin dan beberapa protein lain yang dibuat
dengan proses fraksinasi alkohol dingin. Derivat ini
kemudian dipanaskan 60" C selama 10jam sehingga bebas
virus.
Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan
albumin hanya dalam pemurniannya lebih kurang
dibandingkan dengan albumin dalam proses fraksinasi.
Fraksi protein plasma ini mengandung 83% albumin dan
17% globulin.
Albumin yang tersedia adalah larutan 25% dan 5%,
sementara fraksi protein plasma yang tersedia adalah
larutan 5%. Tiap sediaan mengandung natrium 145 mmoll
L (145 mEqlL). Larutan albumin 5%, osmotik dan
onkotiknya sama dengan plasma sedangkan larutan albumin 25% osmotik dan onkotiknya lima kali lebih besar dari
plasma. Albumin memiliki waktu paruh 16jam dan dapat
disimpan lebih dari 5 tahun pada suhu 2-10" C.

Dosis dan Cars Pemberian


Albumin dan fraksi
plasma tidak memerlukanfilter
dalam pemberiannya. Pengobatan hipotensi dengan albumin hendaklah disesuaikan dengan hemodinamik pasien.
Dosis 500 mL 0-20 mUkg pads anak
diberikan
secara cepat untuk mengatasi syok. Pada pasien luka bakar
protein diberikan &lam
dosis albumin atau fraksi
dosis tertentu untuk mempertahankan kadar protein plasma
5.2 gldL atau lebih tinggi.Albumin tidakdapat memperbaiki
hipoalburninemia kronik dan tidak digunakan untuk jangka
panjang.

IMUNOGLOBULIN(IMMUNE GLOBULIN)
Imunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi
dengan etanol dingin dari plasma yang dikumpulkan.Berisi
imunoglobulin G (IgG) dengan sedikit IgA dan IgM.
Terdapat dua sediaan yakni intramuskular (IMIG) dan
intravena (IVIG). Pada sediaan intramuskular (IM), produk
ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada
pemberiannya diperlukan waktu 4-7 hari untuk mencapai
kadar puncak dalam plasma, dosis maksimum yang dapat
diberikan dibatasi oleh massa otot dan pada pemberiannya
menyebabkan nyeri . Sediaan IM saat ini diberikan hanya
untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril
dengan konsentrasi protein kurang lebih 16.5 g/dL.
Sediaan intravena gammaglobulin (IVIG)
meminimalisasi kelemahan dari pemberian intramuskular.
Produk IVIG cepat mencapai puncak plasma begitu
diinfuskan. Waktu paruh dari IMIG dan IVIG bervariasi
antara 18-32hari.

lndikasi
Preparat Imunoglobulin dapat digunakan untuk profilaksis
antibodi secara pasif pada orang yang rentan terhadap
penyakit-penyakit tertentu dan sebagai terapi pengganti
pada orang dengan imunodefisiensi primer (misalnya
Sindrom Wiskott Aldrich). IVIG dapat digunakan sebagai
imunomodulator pada pasien-pasien dengan kelainan
autoimun misalnya ITP akut dan ITP kronik pada anak
anak dan dewasa. Dapat pula digunakan untuk

DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI.INDIKASIDAN CARA PEMBER~AN

trombositopenia pada HIV, purpura pasca transfusi dan


sindrom Guillan Barre .Juga untuk pengobatan infeksi serta
profilaksis GVHD pada pasien penerima cangkok sumstun
tulang.

"

Kontraindikasi dan Perhatian


Orang dengan riwayat defisiensi Ig A (dengan anti Ig A)
atau terjadinya reaksi anafilaksis berat terhadap plasma
sebaiknya jangan diberikan sediaan ini. Sediaan IM jangan
diberikan secara IV karena mengandung agregat
, immuglobulin yang dapat mengaktitkan komplemen serta
sistim kinin yang dapat menyebabkan I-eaksianafilaktik.
Reaksi yang tidak diinginkan lainnya dari pe~nberian
i~nunoglobulinadalah nyeri kepala, menggigil. kepalii tclasa
ringan, demam, nyeri punggung, terasa panas dan niual.
Dosis dan Cara Pemberlan
Tergantung indikasi, karakter pasien serta sediaan yang
digunakan (IM, IV).
,
ITP dan penyakit autoimun lainnya: 1V 400mgkglhr
selama 2-5 hari atau 0.8- 1 .O g/kg/hr selama 1-2 hari.
Defisiensi imunoglobulin kongenital:
- IM: 0.7 mWkg Ibulan
- IV: 200-800 mgkglbulan.
Profilaksis hepatitis A: IM 0.02-0.04 f i g .
Hepatitis B: 0.06 mLAg IM diulang satu bulan
Varicella zooster: 1 'vial (2.5 mL)/10 kg (maks 5 vial) IM
diberikan dalam 72 jam pasca paparan.
* Virus citomegalo:
,
- Protilaksis: 100-150mgkg
- Pengobatan infeksi: 200 mglkg (IV)

RH IMMUNE GLOBULIN

RhIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan


mengandung IgG anti D. Terdapat 2 sediaan yaitu intra
muskular (IM) dan intravena (IV). Sediaan IV dosis 120 ug
dan 300 ug telah disetujui oleh FDA untuk supresi imun
terhadap antigen D dan untuk pengobatan ITP.
Sediaan IM yang tersedia adalah dosis 300 ug dan 50
ug. Dosis 300 ug RhIG baik 1V maupun Ih4akan melindungi
efek imun lebih dari 15 ml darah dengan D positif. Semua
sediaan ini aman dari transmisi penyakit infeksi dan virus
dan dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh antigen Rh (D).

lndlkasl dan Dosis


Sebelum persalinan, untuk perempuan dengan (Rh) D
negatif, 50 ug IM RhIG dapat melindungi terjadinya aborsi
atau terminasi kehamilan ektopik yang terjadi dalam 12
minggu kehamilan. Setelah 12 minggu kehamilan, dosis

1197

penuh 1M RhlG dapat diberikan. Dosis penuh juga


dian-jurkan setelah dilakukan amniosentesis.
I'asca persalinan, seniua perenipuan dengan (Rh) D negatif
y;ing mclahirkan bayi dengan D positif diberi 300 ug RhIG
sc.c;lrn IM atnu 120 ug secara IV. Pemberian hendaknya
dilakukan dalam 72 jam setelah melahirkan.

American Association of Blood Banks. Blood component therapy:


a physician's handbook. 6"' edition. Bethesda: 1999.
Boshkov LK. Platelet tranfusion. In: Goodnight SH, Hathaway WE.
editors. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide.
2""edition. New h r k : The Mc Graw Hill Co: 2001. p. 489-94.
Friedman ,KD, Menitove. JE. Prepwation and clinical use of plasma
and plasnla fractions. In: Beutler E, Lichtman MA. Coller BS.
et PI, editors. Williams henlatology. 6Ih edition. New York: Mc
Graw Hill: 2001. p. 1917.
Goodnight SH, Hathaway WE. Plasma. Disorders of hemostasis and
thrombosis: a clinical guide. 2"'edition. New York: The Mc
Graw Hill Co; 2001. p. 495-500.
Goodnight SH, Hathaway WE. Cryoprecipitate. Disorders of
hemostasis and thrombosis: a clinical guide. Zn%dition. New
York: The Mc Graw Hill Co: 2001. p. 501-4.
Goodnight SH. Hathaway WE. Coagulation factor concentrates.
Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guid
edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p.
Goodnight SH. Hathaway WE. Intravenous immunoglobulin. .guyders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2""edition.
New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 523-7.
Kruskall MS, Mandell BF. General principles of the use o
intravenous immune globul~n.In: Up To Date. Rose
Wellesley MA. editors. 2004.
Kruskall. Use of intravenous immune globulin in hematologic disorders. In: UpToDate. Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
Ljungman P. Risk of CMV transmission by blood product to
immunocompromi~edpatiens and means for reduction. Br J
Haematol. 2004; 135: 107.
Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M. The trnnfusion of
platelets, leukocytes, haemopoietic cells and plasma
component. In: Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M, editors. Blood tranfusion in cli&al medicine. I(rh edition. USA:
Blackwell Science; 1997. p. 459-86.
Murphy S. What so bad about old platelets? Transfusion. 2002;433.
Pamphilon D. Viral inactivation of fresh frozen plasma. Br J
Haematol. 2000; 109:680.
Secord A, Goldfinger D MD. Clinical and laboratory aspects of platelet
tranfusion therapy. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA,
editors. 2004.
Seftel, Growe GH, Petraszko T, et al. Universal prestorage
leukoreduction in Canada decrease; platelet alloimmunization
and refractoriness. Blood. 2004;103:333.
Silvergleid AJ. Tranfusion of plasma components. In: UpToDate,
Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
Silvergleid AJ. Preparation of blood component. In: UpToDate,
Rose BD, Wellesley MA, editon. 2004.
Wallas CH. Use of red blood cells. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley
MA, editors. 2004.

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN


KOMPLIKASI TRANSFUSI D A M
IY.Tamtoro Harmono

PENDAHULUAN
Sejak diterimanya transfusi sebagai cara pengobatan,
pengertian bahwa darah mengalir di dalam sistem sirkulasi
dan ruang intravaskular dapat diisi cairan dari luar
tubuh,perkembanganya lambat. Trasfusi itu sendiri
dikejakan pertama kali pada tahun 1667. Kemudian selama
perang dunia pertama dan sesudahnya, barulah transfusi
sebagai alat pengobatan berkembang pesat.
Pengertian adanya perbedaan genetik antar individu.
yang diungkapkan oleh Landsteiner merupakan ha1 yang
penting. Pengembangan antikoagulan,pengawetan dan
teknik pengerjaan yang steril, memungkinkan
pengumpulan dan penyimpanan darah untuk diberikan
dikemudian hari. Perkembangan teknik terus berkembang
'kususnya dibidang penggunaan komponen dan fraksi
darah donor,perbaikan cara shining donor,pengembangan
inaktivasi kuman patogen, perkembangan mecing (matching) imunologi produk darah donor dengan resipien
(penerima darah), pengembangan produk rekombinan,
jadilah transfusi medis (transfusion medicine) menjadi
suatu spesialisasi di bidang hematologi.Adanya epidemi
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan
penularan infeksi oleh bahan infeksius lain menyebabkan
terjadinya revolusi kemajuan di bidang transfusi medis.

&

KOMPLIKASITRANSFUSI
Potensi komplikasi transfusi darah itu banyak,tapi pada saat
ini masalah komplikasi hanya terdapat pada pasien yang
perlu berulang-ulang mendapat transfusi atau memerlukan
sejumlah darah yang banyak. Reaksi imunologi ini
disebabkan oleh rangsangan al~antigen~asing
yang terdapat

pada eritrosit, leukosit, lrombosit dan protein plasma. Bila


resipien mendapat transfusi yang mengandung antigen
tersebut maka akan tejadi pembentukan antibodi sehingga
kelak bila mendapat tranfusi dapat terjadi reaksi mediasi
imunologi,misalnya reaksi hemolitik karena ketidakcocokan
eritrosit, panas atau reaksi pulmonal yang disebabkan oleh
antigen leukosit atau trombosit, alergi atau reaksi anafilaksis
yang disebabkan antibodi yang bereaksi dengan antigen
terlarut di dalam bahan transfusi, biasanya protein plasma.

Komplikasi dapat di golongkan menurut:


Komplikasi Imunologi
Aloimunisasi: antigen eritrosit, antigen HLA
- Antigen trombosit
- Antigen netrofil
- Protein plasma
Reaksi transfusi hemolitik : segera, tertunda (delayed)
Reaksi febris transfusi
Kerusakan paru akut karena transfusi
Reaksi transfusi alergi
Purpura pasca transfusi
Pengamh imunosupresi
Penyakit graft versus host
KomplikasiNon Imunologi
Kelebihan (overload) volum
Transfusi masif: metabolik, hipotermi, pengenceran,
mikroembolisasi paru
Lainnya: plasticizer, hemosiderosis transfusi
Infeksi: Hepatitis A,B,C ,delta dan lainya; Human
immunodeficiency virus- 11-2; H u m n T lymphotropic
virus-11-11; Virus sitomegalo; Virus Epstein Barr;
Kontaminasi bakteri; Sifilis; Parasit malaria,
babesiosis, tripanosoma; organisme lain

PENCECAHAN DAN PENANMAN KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH

KOMPLIKASI IMUNOLOGI
Aloimunisasi kepada Antigen Transfusi
Aloantibodi bereaksi terhadap antigen eritrosit, sedikit saja
resipien dengan multitranfusi berkembang menjadi
aloantibodi eritrosit. Umumnya terdapat pada mereka yang
telah menerima sekitar 10 kali transfusi, biasanya antibodi
terhadap sistem Rh, Kell (K), lalu Duffy (Fy),dan Kid (Jk).
Aloantibodi bereaksi terhadap antigen leukosit,
terdapat pada resipien yang ditrasnfusi 2 leukosit dan
trombosit, umumnya mereka ini wanita multipara dengan
multi transfusi.
Aloantibodi terhadap protein plasma, misalnya reaksi
anafilaksis disebabkan karena adanya anti-IgA antibodi.
Reaksi Transfusi Hemolitik
Berkembangnya antibodi yang dapat bereaksi dengan
antigen eritrosit menyebabkan perusakan eritrosit,
biasanya eritrosit donor. Klinis dapat berat,mengancam
kehidupan atau ringan saja. Hemolisis segera terjadi di
daiiiln sirkulasi, yang lanibat terjadi di sistem retikulo
endotelial. Uinuninya terjadi karena kesalahan pencatatan
dan 'ABO mismatching'.
Dapat juga hemolisis terjadi pada darah resipien, bila
plasma yang ditransfusikan mengandung antibodi.
Reaksi transfusi hemolitik segera. Gejala dan keluhan
transfusi hemolitik segera, terjadi segera sesudah darah
yang tidak cocok dilakukan. Klinis kebanyakan berupa
timbulnya panas, dapat dengan menggigil. Dapat juga
dengan cemas, nyeri dada atau punggung, sesak napas,
takikardia dan hipotensi. Keadaan mengancam kehidupan
pada adanya gagal ginjal akut, syok, dan koagulasi
intravaskular. Reaksi hemolisis segera ini terjadi pada:
600.000 transfusi eritrosit, kematian meningkat hingga 44%
bila darah transfusi meningkat mencapai 1 L.
Patogenesis kelainan ini dimulai dengan interaksi
antara antibodi dan membran sel eritrosit yang
mengembang menjadi terbentuknya kompleks imun,
aktivasi kaskade komplemen, mekanisme koagulasi lewat
sitokin dan faktor XII. Mediator vasomotor disini yaitu
histamin, serotonin dan sitokin. Renjatan terjadi karena
pelepasan bahan vasoaktif. Gaga1 ginjal dipikirkan karena
iskemia disebabkan oleh kombinasi hipotensi,
vasokonstriksi dan koagulasi intravaskular.
Penanganan, transfusi harus segera dihentikan begitu
dicurigai adanya reaksi hemolisis. Contoh darah pasca
transfusi dan sisa darah dalam kantung dikirim ke bank
darah (PMI) untuk diteliti penyebab terjadinya reaksi
hemolisis. Beratnya reaksi berhubungan dengan volume
eritrosit yang dimasukkan, walau hanya 30 cc darah yang
tidak cocok mungkin mematikan. Semua reaksi yang berat
memerlukan lebih dari 200cc darah donor. Hidrasi harus
dimulai segera untuk mencegah gagal ginjal. Diberikan

1199

infus garam fisiologis untuk memelihara tekanan darah dan


meningkatkan air kencing agar mencapai 100cc/jam.
Manitol atau furosemid dapat digunakan untuk memelihara
terbentuknya kencing.
Bila terjadi oliguri karena gagal ginjal cairan harus
dibatasi. Obat vasoaktif seperti dopamin mungkin efektif
mengatasi hipotensi dan gangguan perfusi ginjal. Sekali
terbentuk gagal ginjal pengobatan suportif termasuk
pembatasan cairan, memelihara kesetimbangan elektrolit
dan dialisis diperlukan. Koagulopati mungkin memerlukan
penanganan khusus. Pemberian heparin awal disarankan
dengan dosis moderat, bila tidak ada kontraindikasi
khusus, tapi penggunaannya masih kontroversial. Pada
reaksi transfusi hemolitik intravaskular yang berat mungkin
diperlukan 'exchange transfusiotz '.
Pemeriksaan pada reaksi transfusi segera. Langkahlangkah berikut hams dilakukan: Identitas pasien harus
ditegaskan, semua catatan tentang pasien dan label darah
donor harus diperiksa untuk menentukan adanya kesalahan
pencatatan. Darah pasien harus diarnbil lagi, dikirim ke bank
darah. Darah pasca transfusi harus dilihat adanya hemolisis.
Harus diperinci kemungkinan adanya aloantibodi. Tes direk
antiglobulin harus dilakukan pada saat reaksi hemolisis
terjadi. Bila tes positif darah pretransfusi juga harus
diperiksa untuk melihat pasien mungkin mempunyai direk
antiglobulin. Penieriksaan 'typing' eritrosit harus
dilanjutkan. Bila sistem ABO dan Rh pasca transfusi tidak
cocok dengan pratransfusi maka ada kesalahan identifikasi
pasien atau typing. Pasien dengan reaksi transfusi hemolitik
mayor hams dinilai untuk kemungkinan adanya koagulasi
intravaskular dan fungsi ginjal harus dimonitor. Urin hemosiderin atau hemoglobin bebas di dalam urin harus juga
diperiksa, adanya urin benvarna anggur khas pada hemolisis
intravaskular.
Pencegahan. Semua reaksi transfusi hemolitik segera
dapat dicegah. Hampir semua sebabnya karena kesalahan
manusia, misalnya kesalahan memberi label pada contoh
darah pasien. Prosedur memastikan identifikasi pasien,
contoh darah atau komponen transfusi harus benar
penempatannya.
Reaksi transfusi hemolitik tertunda. Biasanya lebih
ringan dari yang segera dan terjadinya perusakan eritrosit
terutama ekstravaskular. Terjadi pada 2-10 hari sesudah
transfusi,antibodi eritrosit pratransfusi tidak ditemukan. Tes
direk antiglobulin sering positif tapi reaksinya hanya
sementara, tes dapat kembali negatif bila eritrosit yang tak
cocok disingkirkan dari sirkulasi.
Reaksi ini umurnnya bersifat sekunder, terjadi sesudah
kemasukan antigen eritrosit, respons terbentuknya
antibodi lambat, puncak reaksi tercapainya juga lambat.
Pada reaksi transfusi hemolitik lambat ini, perusakan
eritrosit donor terjadi ekstravaskular, di mana eritrosit
yang terbungkus IgG dihilangkan di sistem retikulo
endotelial.

Pemeriksaan yang hams dilakukan disini,bila pasien


dicurigai kemungkinan terjadinya hemolitik lambat, darah
segar diambil untuk pemeriksaan antibodi direk. Bila positif,
dokter hams memberi tahu dan memberi kartu identitas
yang menunjukkan adanya antibodi.
Penanganan. Umumnya tidak ada terapi khusus, tapi
pasien yang dengan reaksi berat diusahakan dilakukan
hidrasi.

Febris Non Reaksi Transfusi Hemolitik


Terjadi pada 0,5-3% pasien yang diberikan transfusi,
umumnya pada yang sudah dengan multipel transfusi.
Gambaran khas berupa menggigil lalu diikuti panas, terjadi
umumnya dalam waktu beberapa jam sesudah transfusi.
Pening,mual muntah dapat terjadi. Kadang reaksinya dapat
berat, termasuk dengan keluhan pulmonal, tapi umumnya
reaksi ini ringan Reaksi ini disebabkan oleh aloimunisasi
terhadap antigen leukosit dan trombosit. Sebab lain yaitu
transfusi sitolun, yang berkembang di dalam trombosit asal
dasah segar (whole blood) yang disirnpan pada suhu karnar.
Kemungkinan adanya kontaminasi bakteri pada reaksi ini
harus dipertimbangkan.
Pendekatan menangani febris ini harus berdasar atas
pengertian pada ha1 yang mendasarinya.Bila terjadi reaksi
panas ini maka transfusi hams dihentikan. Kemungkinan
adanya reaksi hemolitik harus dipertimbangkan. Darah
donor dan contoh serum pasien harus dikirim ke bank
darah. Dapat diberikan antipiretik dan hidrokortison.
Pencegahan, sebaiknya diberikan darah dengan
pengurangan jumlah leukosit.
Kerusakan Paru Akut karena Transfusi
Umumnya berupa 'respiratory distress' berat yang tibatiba, disebabkan oleh sindrom edema pulinonal non
kardiogenik, mirip 'adult respiratory distres.~
s,vnclrot~zr'.
Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi dari sidnosis,
sebagaimana umumnya edema paru, mungkin ada.
Radiologis nampak edema paru. Reaksi dapat terjadi
dalam beberapa jam selama transfusi. Pada awalnya
rnungkin berat, umumnya akan mereda dalam 48-96 jam
dengan bantuan pernapasan, tanpa gejala sisa. Reaksi
ini lebih jarang daripada febris, dengan angka kejadian I
dalam 5000 tanfusi. Ini disebabkan transfusi antibodi di
dalam plasma donor, yang bereaksi dengan granulosit
resipien. Diduga aglutinasi granulosit dan aktivasi
komplemen terjadi dalam jaringan vaskular paru,
rnenyebabkan endotel kapiler rusak sehingga terjadi
kebocoran cairan kedalam alveoli.
Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru
dan hipoksia, termasuk bantuan pernapasan bila
diperlukan. Dosis tinggi kortikosteroid mungkin
menguntungkan, karena menghambat agregasi
granulosit. Umumnya donor berasal dari perempuan
multipara.

Reaksi Transfusi Alergi


Reaksi alergi pada donor sering terjadi dengan angka
kejadian sekitar 1-3%, mungkin lebih tinggi lagi karena tak
dilaporkan. Gambaran berupa urtikaria, 'skin rashes',.
spasme bronkus, angio edema sampai renjatan anafilaksis.
Untunglah kejadian renjatan anafilaksis transfusi yang
berat sangat rendah, karena reaksi ini dapat mengancarn
kehidupan. Semua reaksi alergi ini dipikirkan diperantarai
oleh IgE resipien terhadap protein atau bahan terlarut di
dalam plasma donor, interaksi antara antigen dengan IgE
merangsang dikeluarkanya antihistamin dari sel mast dan
basofil.
Untuk pasien yang dengan riwayat alergi berulang,
dapat diberi antihistamin sebagai pencegahan. Biladengan
antihistamin alergi tak terkontrol sebaiknya plasma
dikurangi atau diberi eritrosit yang sudah dicuci.Pada
reaksi anafilaksis berat,adanya antibodi terhadap IgA donor hendaknya diperhitungkan. Reaksi ini dicegah dengan
eritrosit yang dicuci.
Purpura Pasca Transfusi
Ini merupakan pengembangan trombositopeni yang
rnengancam kehidupan, terjadi pada hari ke 5- 10 sesudah
transfusi. Ini disebabkan oleh berkembangnya aloantibodi
yang ditujukan kepada antigen khusus trombosit.
Kebanyakan pasien didahului oleh kehamilan atau
transfusi. Terapi kortikosteroid mungkin bermanfaat.
lmunomodulasi yang Berhubungan dengan
Transfusi
Transfusi darah alogenik tidak hanya berarti memberikan
eritrosit,tapijuga sejumlah efektor sel imun, produk sitokin,
dan berbagai bahan, yang dapat dikenali sistem kekebalan
resipien sebagai antigen asing. Substansi yang
iuemodulasi sistem kekebalan host oleh bahan yang
ditransfusikan,meningkatkan kemungkinan sindrom klinis
yang umumnya dikenali dengan transfusion-related
immunomodulation.
Keuntungan dari imunomodulasi transfusi ada juga
misal pada cangkok ginja1,hasilnyalebih baik bila sebelum
operasi dilakukan transfusi lebih dulu, tapi bagaimana
prosesnya tidak diketahui. Tapi umumnya dikatakan
imunomodulasi transfusi ini banyak merugikan, misalnya
karnbuh kankernya atau infeksinya sesudah transfusi.
Penyakit Donor Cangkok Versus Host
Semua sel darah mengandung 'immunocompetent T
lymphocyte', bila ditransfusikan ke resipien yang non
imunokom~eten,makasel limfosit T ini akan memperbanyak
diri, dan menyebabkan reaksi penolakan donor transplan
(reaksi penolakan). Reaksi penolakan biasanya berupa
panas, diikuti 'rash' kulit berupa eritema, makulopapula
mulai dari sentral ke tepi (tubuh ke anggauta). Gangguan
faal hati, nausea, diare berdarah. Leukopeni diikuti

PENCEClAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI TRANSFUSl D

pansitopeni karena kegagalan sumsum tulang. Umumnya


terjadi reaksi penolakan pada 2-3 minggu semenjak adany a
keluhan yang perlama. Diagnosis berdasar gambaran
klinis, ditegakkan dengan biopsi kulit. Pcngobatan
dilakukan dengan pemberiali kortrikosreroid, g l o b ~ ~anti
l~n
timosit, siklosporin dan 'g,wl~'th,firctol.'.
tapi hasilnya lidak
memuaskan.

KOMPLlKASl NON IMUNOLOGI


Kelebihan Cairan
Transfusi eritrosit atau plasma dapat menyebabkan
kelebihan cairan di dalam sirkulasi.
Pada anemia berat terjadi ekspansi volume sehingga
volum cairan normal,maka pada anemia dengan gaga1
jantung, transfusi harus hati-hati karena dapat
menyebabkan edema paru yang bet-akibat fatal. Pada
orang tua transfusi diberikan dengan ritrne 3- ml darahlkg
berat badanljam.
Transfusi Masif
Pengaruh metabolik, komposisi darah yang disimpan lain
dengan darah di dalaln sirkulasi, bila sejumlah besar darah
simpanan diberikan dengan cepat lnaka ion K
menyebabkan risiko pada pasien dengan gaga1 ginjal, syok
dengan asidosis, atau pada hemolisis. Adanya sitrat
sebagai antikoagulan dapat menyebabkan hipokalsemia.
Hipotermia. Hipoter~niaterjadi bila sejumlah besar darah
yang dingin diinfuskan. Anak dan orang tua sensitif akan
ha1 ini. Pada pasien berat, denga transi'usi masif ini dapat
mengalami asidosis, hipoksemia, hipotermia, hipokalsemi,
dan hip0 atau hiperkalemia dapat terjadi, dengan risiko
aritmiajantung.
Pengaruh pengenceran. Transfilsi dzngan sejumlah besar
produk darah lnenyebabkan pengenceran trombosit dan
faktor koagulasi yang labil. Sejumlih pasien dengan
sepsis, renjatan dan koagulasi intravaskul&dapat memberat
dengan pengar~~h
transfusi ini.
Mikroagregat dan mikroembolisasi paru. Selama
penyimpanan eritrosit, terbentuk agregat yang terdiri dari
trombosit, leukosit dan fibrin. Semua produk darah disaring
dengan saringan berlubang 170 um, tapi alat ini tidak dapat
menghilangkan mikroagregat, lalu disaring dengan
saringan yang lubangnya 40 um. Seorang dengan
transfusi sejunilah besar darah simpanan lalu mengalami
sindrom disfungsi pulmonal dengan hipoksia, dipikirkan
karena tersebarnya obstruksi mikrovaskular karena
mikroagregat.
Lain-lain. Dapat saja komplikasi berupa emboli udara,
terutama jika wadah yang dipakai sebagai tempat darah
berupa gelas (botol), tapi setelah yang dipakai plastik maka
ini terhindarkan.

1201

Plasticizer. Bila kantong plastik dibuat dari PVC yang


mengandung 'phthcilnte', bahan ini lipofilik maka dapat
larut kedalam cairan darah tergantung kepada suhu dan
waktu penyimpanan. Bahan ini memungkinkan
keracunan, maka kantong plastik diganti dengan bahan
lain.
Hemosiderosis transfusi, terjadi karena transfusi yang
berulanp ulang, misalnya anemia kronik karena kegagalan
sumsum tulang. Tiap kantong darah mengandung besi
sekitar 0.25g.
KOMPLlKASl INFEKSI PADA TRANSFUSI
DARAH
Sekilas Tentang Skrining Darah Donor untuk
Penyakit lnfeksi
Di tahun 1960, hepatiti karena transfusi lnencapai 30%
pada pasien dengan multipel transfusi. Setelah dilakukan
tes HbsAg bagi donor maka kejadian hepatitis B sangat
menurun, tapi hepatitis C tidak. Kemudian diawal tahun
1980 terdapat tantangan baru sehubungan dengan
munc~llnyapenyakit AIDS, ~ ~ n t uinik dilakukan pemeriksaan
antibodi HBc dan sel T donor untuk menurunkan risiko
tertular AIDS lewat transfusi.
Selanjutnya kemajuan pemeriksaan donor untuk
mencegah penularan AIDS dan hepatitis C dicapai pada
tahun 1992 di AS, seterusnya komplikasi infeksi ini sangat
menurun, Penyakit infeksi yang diperiksa untuk donor (di
AS) ialah:
Hepatitis B HbsAg,IgM dan IgG untuk HBc antigen
Hepatitis C IgG untuk hepatitis C peptid
Asam nukleat virus hepatitis C
HIV -1 1-2
IgM dan IgG anti HIV- 11-2
Asam n~lkleatHIV-I 1-2
HTLV-I/-Il
IgG anti HTLV-11-11
Sipilis
IgM dan IgG pada treponema antigen, atau
reaktivitas serologi non treponemal (rapid
plasma reagin).
Hepatitis karena Transfusi
Sebelum pemeriksaan serologi dapat menentukan sebab
hepatitis pada transfusi, semua hepatitis ini disebut
serum hepatitis. Setelah tes HbsAg ditemukan,diketahui
30% dari hepatitis tadi merupakan Hepatitis B.
Selanjutnya dapat disingkirkan hepatitis virus A, CMV
(cyto megalo virus), dan EBV (Epstein Barr virus)
sebagai penyebab hepatitis pada transfusi. Pada tahun
1988, ditemukan penyebab hepatitis NANB (non Anon
B) ialah virus hepatitis C. Sesudah tahun 1992, tes
virus hepatitis C yang diperbaiki tersedia, sehingga
kemudian hepatitis karena transfusi yang semua
marker tes serologi-nya negatif, disebut hepatitis non
ABC.

Virus Hepatits B
Virus ini merupakan DNA virus,dengan bungkus
lipoprotein, padanya terdapat HbsAg, dan 'inner m r ' l
inti. Inti ini berisi DNA, DNA polimerase, protein kinase,
dan di ekspresikan dengan nntigenik determinan sebagai
'hepatitis B core' (HBc) antigen. Virus utuh dapat
diperlihatkan dengan mikroskop elektron sebagai benda
s
berukuran 42 nm. Bungkus virus,
dengan b u n g k ~ ~dobel
HbsAg, di dalam serum dapat diidentifikasi dengan metode
serologi. Di dalam sirkulasi, HbsAg ini dapat utuh sebagai
virion atau tidak lengkap sebagai partikel 'sphere' dan
tubulus. Hepatitis B ini ditularkan oleh orang yang sakit
hepatitis B akut atau yang mengidap HbsAg, lewat
parented, hubungan seksual, atau pada perinatal dari ibu
yang infeksius kepada bayinya. Masa inkubasi antara 1-6
bulan. Hanya sekitar 25-40% pasien hepatitis B dengan
jindis, infeksi fulminan (berat) dengan resiko kematian
menimpa sekitar 0,2-0,5YoSemuapasien mengalami hepatitis
sub klinis sementara,yang hanya diketahui dengan
pemeri ksaan laboratorium. Sering dinyatakan infeksi pada
dewasa sekitar 5 1 0 % menjadi karier kronik,kini diduga
yang menjadi kronik lebih rendah lagi, yaitu I%.Dari 1 %
ini,sekitar 25% dapat berkembang menjadi hepatitis kronik,
setelah bertahun-tahun dapat sembuh atau menjadi sirosis
hepatis yang fatal ataupun menjadi karsinoma
hepatoselular. Setelah 12 minggu dnri awal serangan,
umumnya HbsAg menghilang, anti HBs muncul. Pasien
yang menjadi kronik biasanya dengan HbsAg yang tinggi
dan anti HBc positip, tapi anti HBs tidak.Hepatitis Be antigen (HbeAg) berhubungan dengan 'core subcornponen ',
merupakan protein yang larut tapi tak berhubungan
dengan struktur yang dapat dilihat, keberadaanya
berhubungan dengan kadar virus yang tinggi, mempunyai
arti adanya infeksi sekarang atau masih berlangsung
infeksinya dan bersifat infeksius. HbeAg ini menghilang
dari serum mendalui HbsAg, lalu diikuti munculnya anti
Hbe. Semua orang dengan HbsAg harus dianggap
infeksius, walau dengan bervariasi tingkatannya, tapi
adanya HbeAg positip berarti dengan tingkat infeksius
yang tinggi.
Skrining donor untuk hepatitis B. Dengan ditemukannya
HbsAg dan tes sera yang dikembangkan, niaka penurunan
angka kejadian penularan lewat transfusi sangat dramatis.
Sisa infeksius disebabkan oleh menghilangya HbsAg, tapi
membentuk antiHBc, bukanya anti HNs, kini dengan
ditemukanya reaksi rantai polimerase (polymerase chairz
reaction) yang sangat peka, pasien demikian ditemukan
HBV DNAdi dalam serumnya. Kasus demikian di AS diduga
terdapat pada 1per 50000 kasus.

positip untuk petanda virus (VHA<VHBcVCM dan EBV).


Pada tahun 1988 genoln dari VHC dikloning, penelitian
menggunakan peptida rekombinan dari kloning genom tadi
diketahui sebagian besar hepatitis NANB memang
disebabkan virus ini, VHC. Sekarang diketahui virus ini
merupakan bungkus lipid RNA virus, termasuk famili
Flaviviridae. Setengah kasus hepatitis C di AS karena
jaru~nsuntik (pecandu), setengahnya lagi tidak diketahui.
Transmisi secara seksual diduga berperan, tapi dalam
jangka panjang sedikit saja penularan lewat hubungan
seksual. Begitu juga penularan perinatal sangat rendah.
Separuh dari pasien tertular karena suntikan, setengahnya
lagi tidak diketahui cara penularanya. Enam puluh-70%
pasien asimptomatik, sepuluh-duapuluh persen
keluhannya nonspesifik, yang hanya terdapat pada 2030% kasus. Pasien imunokompromiais dapat berkembang
menjadi berat, hepatitis fulminan jarang. Hanya 16%-25%
pasien virus hilang, sisanya menjadi infeksi kronik, dalam
20-30 tahun sekitar 10-20% menjadi sirosis hepatis, 5%
menjadi karsinoma hepatoselular. Pengobatan dengan interferon dan ribavirin menekan virus pada beberapa pasien,
tapi hanya minoritas saja yang dengan terus tanpa virus
(sustairzed response).
Skrining donor. Anti HBc dan SGOT (AST) hams dilakukan
untuk menurunkan transmisi hepatitis NANB.Ditahun 1990
tes anti HCV mulai tersedia, namun kurang sensitif, pada
tahun 1992 dibuat generasi kedua dengan peptide yang
mewakili 'core' dan regioNS3 sehingga sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi, seterusnya dikembangkan antibodi
tes versi 3, namun dipandang kurang bermanfaat. Setelah
ditemukanya anti HCV maka tes AST untuk donor tak
diperlukan lagi.

Virus Hepatitis C
Virus ini diduga menyebabkan 90% kasus hepatitis NANB.
Sebelum ditemukan sebabnya hepatitis NANB didasarkan
pada kenaikan serum transaminase tanpa reaksi yang

Virus Hepatitis E
Menular secara 'water borne', menyebar seperti VHA,tidak
bersifat kronik, maka tidak berisiko ditularkan lewat
transfusi.

Virus Hepatitis D
Virus ini mempunyai struktur hibrid,terdiri dari antigen HBs
tertutup sedikit genom RNA yang tidak komplit sehingga
tak dapat bertahan hidup tanpa bantuan fungsi virus B.
Hanya terdapat bila bersama hepatitis B.
Darah transfusi yang mengandung VHD menyebabkan
seorang karier HbsAg yang benigna menjadi hepatitis
fulminan atau penyakit hati berat yang progresif. Karena
VHD hanya dapat ditularkan bila ada VHB, maka adanya
seromarker VHB hams disingkirkan.
Virus Hepatitis A
Dalam praktek transfusi,transmisi hepatitis A ini tidak
meyakinkan. Darah dapat mengandung VHA bila diambil
pada saat viremia fase asimtomatik.

PENCEGAHAN DANPENANGANAN KOMPLIKASITRANSNSI DARAH

Hepatitis Non-A-B
Sepuluh persen Hepatitis NANB tidak terrnasuk hepatitis
C, dengan penelitian virus tersebut,virus G, SEN dan TT.
Transmisi lewat transfusi relatif sering, tapi bagairnanapun
kini tak terbukti virus ini menyebabkan hepatitis.
Virus Human Immunodeficiency Tipe 1 Dan 2
HIV merupakan retrovirus, dengan RNA dibungkus lipid,
dan 'reverse transkipstase', bagian imunitas ada
dibungkus dan protein core. Penularan lewat parenteral
(transfusi), seksual dan perinatal, dari ibu ke anak. Sesudah
2-3 rninggu terpajan virus, pasien rnenderita seperti
influenza akut atau penyakit rnirip rnononukleosis.
Penyakit rnemasuki masa laten tapi virus terus berkernbang
biak. Fase asirntomatik ini mencapai 10 tahun, lalu C D 4 T
cell menjadi tertekan, pasien berkembang rnenjadi
irnunodefisien berat sehingga mendapat infeksi oportunis
yang berat, neoplasrna atau keduanya dan meninggal.
Pengobatan dengan 'highly active anti retroviral
therapy ', secara drarnatis rnenurunkan rnorbiditas dan
mortalitas di AS.
Vlrus Human T Lymphotropic I Dan li
V HTL L merupakan retrovirus manusia yang pertama
ditemukan di tahun 1978 pada lifoma sel T orang dewasa.
V HTL I1 rne~vpakanretrovirus, diternukan pada tahun 1982
pada pasien dengan lekerni 'hairy sel'. Kedua virus ini
menginfeksi limfosit, berlangsung selama hidup. Virus HTL
I dihubungkan dengan lekemia sel T dewasa atau lirnfoma
dan kelainan nerologi HTLV I associated rnyelopathy
(HAM) atau tropical spastic paraparesis (TSP).
Infeksi V HTL I endernik di Jepang, Karia, Brazil,
Melanesia dan Afrika. Menular lewat hubungan seks,
menyusui, dan pemakaian jarum bersama. Pada transfusi
penularan lewat koponen sel dara, tapi tidak dari kornpnen
plasma yang didinginkan, Limforna sel T dewasa muncul
pada usia 40-60, rnenggambarkan adanya masa infeksi laten
yang lama sebelurn serangan klinisnya muncul. Pada
keadaan transfusi, HAM atau TSP dapat rnuncul dalarn
waktu beberapa bulan atau tahun pasca transfusi.
Skrining donor. Tes donor,dengan rnemeriksa antibodi
pada V HTL 1,tersedia ditahun 1988, ditahun 1997 FDA
rnenginginkan tes untuk antibodi pada V HTL 11. Kemudian
yang dites hanya IgG dengan periode jendela agak lama,
51 hari, perkiraan infeksi lewat transfusi sebesar 1 per 428
000 unit.
Virus Sitomegalo
Virus ini merupakan virus DNA dari keluarga virus herpes.
dipikirkan menyebar lewat sekret mulut,dan kontak seksual.
Dapat juga menular transplasenta, lewat darah transfusi
dan organ donor. Sesudah dengan gejala infeksi dapat
bersifat laten, kemudian dapat mengalarni reaktivasi.

1203

Pada orang dewasa normal gambaran klinis dapat rnulai


dari tanpa keluhan sampai sindrom seperti
mononuleosis.Pada pasien dengan imunodefisiensi reaksi
primer atau reaktivasi beleupa trombositopeni, anemia
hemolitik, penrnonitis, kolitis, hepatitis, rneningoensefalitis
dan rneninggal. Obat antivirus yang efektif telah tersedia.
Kasus pertama infeksi virus Sitomegalo dilaporkan
yahun 1960, pada pasien operasi jantung terbuka yang,
mernerlukan banyak darah segar. Garnbaran berupa adanya
sindrom panas dengan rash, lirnadenopati dan
splenornegali, yang dihubungkan dengan limfositosis atipik
8- 12 minggu sesudah pembedahan. Keadaan ini kemudian
secara serologis definitif disebabkan oleh virus Sitomegalo.
Sekarang ini insidens tertular virus Sitornegalo sangat
rendah dengan rnengunakan kornponen darah yang
d i s h p a n pada pasien dengan status irnunologi normal.
Sitomegalo ini hanya ditularkan lewat kornponen selular
darah, penularan dapat sangat ditekan dengan cara
rnengurangi sejumlah besar leukosit.

Virus Esptein-barr
Sernbilan puluh persen darah donor mempunyai antibodi
terhadap virus Epstein-Bnrr, karena infeksi berhubungan
dengan leukosit rnaka narnpaknya akan arnan dengan
rnenggunakan darah yang leukositnya dikurangi.
Parvovirus B 19
Virus ini merupakan virus DNA kecil tanpa bungkus,sangat
kebal terhadap pengolahan fisik untuk rnenonaktifkan.
Infeksi sering pada anak urnur 15 tahun. Sekitar 50% anak
telah punya antibodi.Virus menyebar terutarna lewat traktus
respiratorius. Penyakit dengan garnbaran berupa eritema
infeksiosurn dan poliartropati. Pada orang normal virus
B 19 ini menyebabkan penghentian akut produksi eritrosit
yang sembuh dengan sendirinya dalam 4-8 hari. Pada
pasien yang dengan destruksi eritrosit, ha1 ini dapat
rnenyebabkan krisis aplastik akut. Pada pasien dengan
imunodefisien, dapat meni~nbulkananemia kronik yang
mungkin reversibel dengan pemberian imunoglobulin dari
luar. DNA B 19 kebanyakan terdeteksi di dalam, pooled
plasma product', dimana B 19 ini resisten terhadap proses
inaktivasi virus, misalnya dengan pemberian larutan
deterjen dan pemanasan; untuk rnenghindari ini dipakai
cara menghilangkan plasma yang rnengandung banyak
titer DNA B 19.
lnfeksi yang Disebarkan Artropoda
Malaria merupakan penyakit infeksi global narnun di AS
penularan secara transfusi jarang. Donor yang melewati
daerah endemi, setahun tahun tidak boleh menjadi donor,
3 tahun bila pernah tingal di daerah endemik.
Babesiosis, infeksi disebabkan protozoa, menginfeksi
eritrosit, disebarkan oleh kutu, keluhan mulai dari tak ada

keluhan sampai yang ringan sepe~ziinfluenza atau malaria.


dengan anemia hemolitik, diobati dengan kinin atau
klindamisin. Infeksi ini jarang yang fatal.
Penyakit Lyme, disebabkan oleh Borrelia burpdorferi.
tak ada catatan tentang penyakit ini pada penularan karena
transfusi.
Triparzosonta cr-uzi, protozoa yang menyebnbkan
penyakit Chaga,ditularkan oleh kutu busuk. Infeksi akut
umumnya hilang sendiri tapi dapat juga menyebabkan
miokarditis, meningoensefalitis dan dapat fatal pada pasien
dengan imunokompromais.
Virus West Nile, merupakan flavivi~us,disebarkan oleh
gigitan nyamuk, umurnnya menyebabkan panas,yang berat
dapat dengan meningitis, enset'alitis atau paralisis flusid.
yang berat mungkin fatal. Virus ini dapat ditularkan lewat
transfusi.

Penularan Encefalopati Spongioform


Penyakit Creutzfeld tJakob dan variannya. Penyakit
infeksi ini progresif dan fata1,menyerang saraf
pusat,disebabkan oleh agen yang disebut prion. Di
Inggris,diketahui spongiform atau prion ini menyerang sapi
sehingga disebut 'mad cow disrctsc'. dipikirkan orang
yang terpapar oleh bahan dari sapi ini dapat tertular.

Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi merupakan penyebab mayor fatalitas pada
transfusi. Sumber kontaminasi ini, kantong, donor
bakteremia asimtomatik, pembersihan kulit tidak adekuat,
Transfusi tronibosit yang disiinpan pada suhu kamar lebih
sering meninibulkan febris dibanding eritrosit yang
didinpi nkan.
Organisnie yang sering menimbulkan kontaminasi pada
transfusi eritrosit antara lain yersinia, pseudomonas,
enterobakler, dan seratia. Pada trombosit lebih bervariasi
termasuk stafilokokus, streptokokus, klebsila, dan
salmonela. Keluhan dapat berupa seperti febris non
hemolitik sarnpai sepsis akut dengan panas, hipotensi dan
kematian. Keluhan yang berat dihubungkan dengan mikro
organisme derigan endotoksin. Pengobztan sama seperti
pada sepsis karena organisnie lain yang sesuai

Galel SA. ct al. Transfusion metlicine. In: Greer JP, et al, editor.
Wintrobe's clincal hematology. I I!" edition. Vol I. Lippincot
Wiliams & Wilkins: 7003. 11. 83 1-82.
WHO. Adverse effects of transf~~sion.
in the clinicals use of blood in
medicine. obstetl-ic. paediatrics. surfer). and anaesthesia. trauma
and burn. Malta Gcneva: 200 1 . p. 126-52.

Ronald A. Hukom

PENDAHULUAN
Aferesis dalarn bidang Hernelologi-Onkologi rnerupakan
suatu tindakan pengambilan/pengumpulan kornponen
darah tertentu melalui penyandapan darah, dengan
mengernbalikan komponen darah lainnya ke tubuh
seseorang menggunaican alat separasi sel. Tujuan tindakan
aferesis ini adalah untuk mengarnbil sebagian komponen
darah untuk diberikan pada orang lain (aferesis donor),
atau mengurangi junilah komponen darah yang berlebihan
di da!arn tubuh (aferesis terapeutik).
Tindakan rnengarnbil, rnencuci, dan mengembalikan
darah telah dilakukan sej& tahun 1902 di Perancis pada
pasien uremia. Kata aferesis sendiri berasal dari bahasa
Yunani, apo dan hareisis, dengan arti keseluruhan adalah
'suatu proses rnengambil dari sesuatu'. Hemaferesis terrninologi yang sekarang lebih sering digunakan - berarti
pengarnbilan komponen tertentu dari darah dengan
menggunakan alat cell separator. Plasmaferesis untuk
keperluan terapeutik digunakan pertarna kali pada tahun
1952, sebagai usaha mengatasi hiperviskositas pada
penderita rnieloma rnultipel.
Walaupun mula - mula digunakan untuk tujuan terapi,
dalam perkernbangannya sekarang aferesis lebih penting
lag! untuk mernperoleh komponen darah bagi transfusi
(Aferesis Donor). Cell separator digunakan mula - mula
untuk rnemperoleh granulosit dan trombosit dari donor
tunggal bagi pengobatan suportif pada pasien kanker yang
dalam keadaan imunosupresi. Dengan perkembangan
terakhir teknologi aferesis, pelayanan transfusi darah dapat
lebih tepat mernenuhi kebutuhan komponen darah (sel
darah merah, trombosit, dan plasma) melalui penggunaan
mesin aferesis donor multikomponen yang ada. Pada
lekoferesis, sel yang dapat diambil saat ini terrnasuk
lymphocyte killer cells, macrophage-monocyte cells, dan
myeloid stem cells. Hal ini berlangsung sejalan dengan

rnulai dipakainya interleukin dan lynlphocyte activated


killer dalam pengobatan kanker.
Jenis tindakan pada aferesis dapat berupa cytaferesis
(eritrositaferesis, lekaferesis, trombaferesis), plasmaferesis,
dan prosedur transplantasi sel asal darah perifer (PBSCT).
Tujuan utarna tindakan aferesis adalah rnengeluarkan
hanya sebagian kornponen darah, bisa berupa sel atau
plasma saja. Alat yang digunakan rnemiliki plastik
disposable sebagai saluran yang dilalui darah dan memakai
antikoagulan yang mengandung sitrat atau kombinasi sitrat
dan heparin, tanpa menirnbulkan efek sistemik. Sebagian
besar alat yang digunakan dapat dioperasikan pada aliran
darah 30 - 80 mllmenit dengan melalui akses vena perifer
atau kateter vena sentral multi-lumen.
Di RS Kanker Dharrnais, dalam periode 1997 - 2004
tercatat lebih dari 2 100 tindakan aferesis (sekitar 300 kali
setiap tahun), di mana lebih dari 90% prosedur aferesis ini
merupakan aferesis donor (trombaferesis).

AFERESIS PADA PROSEDUR TRANSPLANTASI


SEL ASAL DARAH TEPl
Transplantasi sumsurn tulang (bone marrow transplantation, BMT) dan transplantasi sel asal darah tepi
Qeripheral blood stem cell transplantation, PBSCT)
merupakan prosedur pemulihan sel asal (stem cells) &lam
tubuh pasien yang hancur sesudah kernoterapi dan latau
radioterapi dosis tinggi. Sebagian besar sel asal
hemopoietik ditemukan di sumsum tulang, tapi ada pula
yang bisa ditemukan di darah tepi (PBSC), maupun dari
tali pusat (umbilical cord) bayi yang baru lahir.
Transplantasi (BMT atau PBSCT) sekarang sudah banyak
digunakan dalam terapi kanker, di mana tindakan ini
memungkinkan pasien menerima radioterapi dantatau
kemoterapi dengan dosis sangat tinggi, sehingga bisa

didapatkan angka keberhasilan terapi yang lebih tinggi.


Beberapa contoh indikasi transplantasi adalah pnda
berbagai jenis kanker darah (leukemia. sindrom
mielodisplastik, limfoma non Hodgkin, penyakit Hodgkin,
mieloma multiple), beberapa kanker solid (misalnya
neuroblastoma dan kanker payudara), maupun kelainan
hematologi lain (misalnya anemia aplastik, anemia Fanconi.
imunodefisiensi congenital).
Transplantasi dapat dilakukan secara autologus
(pasien menerima sel asal mereka sendiri yang diambil dan
disimpan sebelum terapi dosis tingginya), syngeneic
(pasien menerima sel asal dari saudara kembar identik),
atau allogenik (pasien menerima sel asal dari saudara
kandung, orang tua, maupun dari orang lain). Pada
beberapa tipe leukemia, penggunaan transplantasi
allogenik dapat menimbulkan efek grft-\,er.slrs-t~rr~~or.
(GVT) yang menguntungkan, di mana sel darah putih
donor mengidentifikasi sel kanker yang mungkin tersisa
di tubuh pasien sebagai benda asing dan
menghancurkannya.
Mesin aferesis digunakan pada PBCST untuk
mengambil sel asal dari darah tepi (prosedur lekaferesis).
Pada donor misalnya, dapat diberikan growth factors (5
mcglkg rhG-CSF per hari subkutan) selama 4-5 hari
sebelum lekaferesis dilakukan, dengan tujuan memperoleh
jumlah sel asal yang lebih banyak di darah tepi (mobilisasi
PBSC). Pada pasien yang menjalani transplantasi
'autologus, mobilisasi PBSC dapat dilakukan dengan
pemberian kemoterapi bersama growth factors, di mana
rhG-CSF diberikan mulai hari 5 pasca kemoterapi sampai
,mulai pengambilan PBSC (harvesting). Lekaferesis
dilakukan pada hari 10 - 15 pasca kemoterapi, saat jumlah
lekosit sudah minimal 2 jutdml. Prosedur lekaferesis
diulang hari berikutnya sampai maksimal5-6 kali, untuk
memperoleh jumlah CD34 total minimal 2 jutaJkg. Semua
sampel darah yang diperoleh dari prosedur lekaferesis,
diproses dalam waktu 1 jam setelah diambil untuk
penghitungan jumlah lekosit total dan analisis CD34
(dengan flow cytometry).
Berbeda dari pengambilan sumsum tulang dalam
prosedur BMT yang harus dilakukan di kamar operasi steril,
pengambilan sel asal darah tepi (PBSCT) dengan mesin
aferesis tidak memerlukan anestesi umum dan dapat
dilakukan di ruang rawat biasa, dengan efek samping yang
terjadi biasanya minimal, misalnya pusing, menggigil, dan
kesemutan.

Kemungkinan pengobatan berbagai penyakit degeneratif


menggunakan sel asal (stem cells) merupakan salah satu
perkembangan dalam ilmu kedokteran yang saat ini
mendapat perhatian besar. Kemajuan cara pengobatan ini
juga diikuti berbagai masalah moral, etik, dan politis,

~ ~ U I iI;~ri'sel asal yang


t e r ~ ~ t ; ~I ~I iI i~ ;I~I ~ ; I I ~s~lriiber
digun;~l\;~~i.
I<c.r-l,;~g;ri
nl;~sal;~li
ini Icrulariia menyangkut
sel asal yalig ilil)c.~.olc.llt1;ll.i c~iihr-io(criihryonic stem
cells, ESC). Scl ;~s:tl Y ; I I I ~ t l i t l i ~ l , ; ~cl;~ri
~
s ~ ~ l i i h elain,
r
,
lcpi. ilarah tali
misalnya dari sumslrrl1 I I I ~ : I I I ~ cl;lr.ali
pusat, plasenta. dan cairali ; I I I ~ I I ~ ~ I~l.liy;iIi1.j~1g;1
II,
dapat
digunakan unt~lkpcnyc~iihull;tr~or.g;ln I L I I , L I ~ SCcilril
alami. Pengg~lnaansel asal sisteli~Ilc~~~ol,oicti
k (liemalopoietic stem cells. HSC) suduli hilllyuk iljl)el;~jaripada
berbagai kasus yang bukan krg;~riasifr~
;II;IU kclainan
darah, misalnya pada kelainali knrdiovaskuler- (kasus
infark jantung akut, penyakit arteri koroner, penyakil
pembuluh darah tepi) dan berbagai penyakit autoirnun.
Studi terapi sel asal ini juga telah dilakukan pada kahus
strok, trauniu otak dnn tulang belakang, diabcle\,
maupun peny akit Parkinson.
Penggunaan sel asal darah tepi (peripheral blood stern
cells, PBSC) untuk berbagai penyakit di atas, dan cara yanE
dipakai untuk mobilisasi PBSC (misalnya pemakaian G-CSF
untuk 3 hari) menjadi tanggung jawab dokter ahli yang
bersangkutan. Setelah mendapat pemberitahuan. Unit
Aferesis akan menjadwalkan prosedur tindakan,
memastikan bahwa pasien sudah mengerti semua ha1 yang
berkaitan dengan tindakan pengambilan sel asal (aferesis)
dan bersedia menjalani pemeriksaan mikrobiologi / virologi
(HBsAg, anti HCV. anti HIV, syphilis, HTLV) yang
diperlukan. Biasanya ada pertemuan rutin (seminggu sekali)
antara dokter koordinator transplantasi, petugas Unit
Aferesis, dokter ahli pemilik pasien yang akan menjalani
terapi sel asal, dan dokter laboratorium yang terkait.
Pemeriksaan darah lengkap dan tingkat sel CD34 perlu
dilakukan dengan ketat menjelang waktu pengambilan sel
asal yang ditentukan. Biasanya juga telah dilakukan
pemeriksaan vena yang akan dipakai, yang harus cukup
besar untuk jarum 16G

AFERESIS TERAPEUTIK
Aferesis terapeutik adalah pengambilan bahan patologik
atau abnormal dari sirkulasi darah pasien dengan memakai
mesin aferesis. Tindakan dapat berupa plasmaferesis,
leukaferesis, eritroferesis, trombaferesis, dan
immunoadsorption (pengambilan IgG dan plasmacirculating immune complexes).
Indikasi aferesis terapeutik selain kelainan hematologi
dan onkologi adalah berbagai kelainan neurologi, misalnya
acute inflammatory demyelinating polyneuropathy dan
myasthenia gravis, kelainan metabolik, beberapa penyakit
autoimun dan rematologi. Satu contoh terakhir
penggunaan mesin aferesis adalah LDL (low-density
lipoproteirz) apheresis yang digunakan pada pasien
dengan kolesterol LDL tinggi yang persisten, atau kelainan
LDL genetik yang refrakter terhadap obat. Aferesis LDL
dilakukan dua kali sebulan dan mulai dikembangkan di

1207

APERESIS DONOR DAN TERAPEUnK

Jepang sekitar 30 tahun lalu, dan diakui FDA di A~nerika


Serikat pada tahun 1996.

Eritrosit

Leukosit

Trombosit

Sickle cell disease


Komplikasi akut
Pencegahan rekurensi strok
Nyeri berat + sering
Malaria dengan hiperparasitemia
Leukemia + hiperlekositosis
Transplantasi sel asal (PBSC)
Reumatoid artritis
(dalarn keadaan tertentu)
Trornbositemia simtomatik

Saat ini sebagian besar sitaferesis terapeutik ditujukan


untuk keadaan trombositosis atau lekositosis berat pndn
lekemia akut I kronik dengan resiko pendarahan, trombosis,
atau lekostasis paru dan otak. Beberapa belas tahun
terakhir ini lekoferesis dikai*an pula dengan pengambilan
stem cells bagi imunoterapi eksperimental atau
transplantasi sel asal (PBSCT).

Paraprotein

Metabolit toksis
lmunologis

Vaskulitas
Defisiensifaktor
koagulasi

Sindrom hiperviskositas
Krioglobulinemia
Penyakit cold agglutinin
Hiperkolesterolemiafamilial
Sindrom Goodpasture
Miastenia Gravis
Sindrom Guillain - Barre
Pemfigus
Inhibitor faktor koagulasi
Purpura trombositopenia imun
S.L.E
Glomerulonefritismesangiokapiler
Purpura trombositopenia trombotik

KOMPLlKASl AFERESIS
Dalam pengawasan yang baik, prosedur aferesis adalah
tindakan yang aman. Komplikasi yang dapat terjadi
berhubungan dengan vascular access, perubahan
homodinamik, problem mekanik berkaitan dengan
instrumentasi, deplesi komponen sel dan plasma, reaksi
terhadap cairan pengganti (termasuk antikoagulan), reaksi
alergi, dan infeksi.
Efek samping yang paling sering terjadi pada prosedur
aferesis adalah hipokalsemia, dengan gejala yang timbul
berupa kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan,
dan pandangan gelap. Bila timbul gejala hipokalsemia,
maka perlu diberikan suntikan kalsium sampai gejala hilang.
Kontraindikasi seseorang untuk menjadi donor aferesis
antara lain adalah bila calon donor memiliki nilai Hb/Ht,
lekosit, trombosit, albumin di bawah normal; golongan

ABOIRhesus tidak cocok, atau reaksi silang cocok serasi


(cross matching) memberi hasil positif; darah donor terbukti
mengandung HbsAgIanti HCVIHIVNDRLImalaria, berat
badan kurang, usia anak-anak atau usia tua, menderita
penyakit serius (jantunglparulginjal dan lainnya).
Kontraindikasi prosedur aferesis terapeutik untuk
seorang pasien adalah bila ada gangguan hemodinamik
yang nyata, atau bila keadaan umum sudah tidak baik lagi.
Pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang
harus menjalani prosedur aferesis, perhitungan cairan
pengganti yang cermat dan volume cairan extra-corporeal
yang tepat terbukti dapat mencegah gangguan
hemodinamik.
Bila plasma dipakai sebagai cairan pengganti, reaksi
alergi sering terjadi walaupun hanya ringan dan sementara,
tetapi karena resiko penularan hepatitis dan HIV, umurnnya
lebih baik digunakan albumin 5 % in saline sebagai cairan
pengganti dari pada plasma.

MESlN AFERESIS
Pengambilan komponen darah dengan mesin aferesis saat
ini makin luas dilakukan, dengan mesin aferesis yang
jenisnya makin banyak tersedia. Di Amerika Serikat,
trombaferesis biasa dikerjakan dengan Fenwal CS3000,
Fenwal Amicus, COBE (Gambro) Spectra, Gambro Trima
Version 4, dan Haemonetics LN9000. Granulosit dapat
diambil misalnya dengan Fenwal CS3000, COBE (Gambro)
Spectra, Haemonetics LN9000, dan Fresenius AS1 04.
Sistem aferesis Spectra merupakan salah satu alat
mutakhir untuk separasi dan pengambilan komponen darah
dari donor atau pasien. Dari donor, produk darah diambil
untuk ditransfusikan pada pasien, sementara untuk
prosedur terapeutik pada pasien digunakan untuk
penukaran atau deplesi komponen darah. Selain itu sistem
Spectra ini dapat juga digunakan dalam pengambilan
granulosit dan sel mononukleus, termasuk untuk prosedur
pengambilan sel asal darah perifer (PBSC).
Sistem aferesis Spectra ini terdiri dari alat disposable
(preconnected separation channel and blood tubing) dan
mesin aferesis, termasuk suatu alat Return Flow
Controller. Di RS Kanker Dharmais, alat ini banyak
digunakan pada prosedur tromboferesis dari donor
tunggal untuk ditransfusikan pada pasien kanker dengan
t r o m b ~ s i t o ~ e nyang
i a memerlukan transfusi multipel.

Burgstaler EA: Blood Component Collection by Apheresis. World


Apheresis Association IOlh Congress, 2004, U.S.A.
Burt RK, Loh Y , Pearce W, et al: Clinical Applications o f
Blood-Derived and Marrow-Derived Stem Cells for Nonmalignant Diseases. JAMA 2008, 299(8): 925-936.

COBE Spectra Apheresis System. Operator's Manual, 1993.


Huaetis DW, Bove JR, and Case J : Practical Blood Transfusion.
Little, Brown and Company - BostonlToronto, 4 Th ed.,1988.
Kang HJ, Lee HY, Na SH, et al: Differential Effect of lntracoronary
lnfusion of Mobilized Peripheral Blood Stem Cells by Granulocyte Colony-Stimulating Factor on Left Ventricular Function
and Remodeling in Patients With Acute Myocardial Infarction
Versus Old Myocardial Infarction. Circulation 2006, 114: 11451151.

Padley D, Strauss RG Wieland M. et al: Concurrent Comparison of


the Cobe Spectra and Fenwal CS3000 for the collect~onof
Peripheral Blood Mononncleal. Call!, for Aurologous Pcr~pbcrzl
Stem Cell Transplantation. J Clin Apheresis 1991, 6: 77-80.
Reksodiputro AH, Djoerban Z, Hukom RA: Beberapa Permasalahan
Utama pada Transplantasi Sumsum Tulang. Buku Naskah
Lengkap Kongres Ahli Penyakit Dalam (KOPAPDI) 1990,
Jogjakarta

LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIS


Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman

PENDAHULUAN
Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan leukemia
yang pertama dltemukan serta diketahui patogenesisnya.
Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan
kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22qatau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22,
yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph).
Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa
kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal
antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis
t(9;22)(q34;ql I), seperti tampak pada Gambar 1.Dengan
kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980
diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami
pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya gabungan
antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34),
yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster
region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22
(22ql1). (Gambar2) Gabungankedua gen ini sering ditulis
sebagai BCR-ABL, diduga h a t sebagai penyebab utama
terjadinyakelainan proliferasipada LGK.
Secara klasifikasi, dahulu LGK tennasuk golongan
penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh proliferasi
dari sen granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga
pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi sen granulosit, mulai dari promielosit
(bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit sampai
granulosit.

Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari


semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah
leukemia limfositikkronik. Pada umumnya menyerang usia
40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda

Gambar 1. Kromosom Philadelphia. Sumber: Laboratorium


Sitogenetika Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen llmu
PenyakiiDalam FKUIIRSCM

dan biasanya lebih progresif. Di Jepang kejadiannya


meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan
Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom
Chernobil meledak.

TANDA DAN GEJALA KLlNlK


Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase,
yakni: fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas. Pada
umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan,pasien rnasih
dalam fase kronis, bahkan sering kali diagnosis LGK
ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan para
operasi, dirnana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejalagejala infeksi.
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran
limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa
terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di
perut kanan atas akibat. Keluhan lain sering tidak spesifik,
misalnya: rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak
terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan
terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan

tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat


proliferasi sel-sel leukemia. Apabila dibuat urutan
berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh pasien, maka
seperti terlihat pada Tabel 1.

Keluhan

tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini rnenyebabkan


pembentukan gen hibrid BCR-AFJL pada krornosom 22 dan
gen resiprokal AFJL-BCR pada kromosom 9, seperti tampak
pada Gambar 2.

Frekuensi (%)

Splenomegali
Lemah badan
Penurunan berat badan
Hepatomegali
Keringat malam
Cepat kenyang
P.erdarahan/purpura
Nyeri perut (infark limpa)
Demam

Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya


menjadi progresif atau mengalarni akselerasi. Bila saat
diagnosa ditegakkan,pasien berada pada fase kronis, maka
kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun.
Ciri khas fase akselerasi adalah: leukositosis yang sulit
dikontrol oleh obat-obat rnielosupresif, mieloblas di perifer
mencapai 15-30%, promielosit >30%, dan trombosit
c100.000/mm3.Secara klinis, fase ini dapat diduga bila lirnpa
yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali
membesar, keluhan anemia bertarnbah berat, timbul petekie,
ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi.

Seperti telah disinggung di atas, gen BCR-ABL pada


krornosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan
sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon
ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan
hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCRABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua
mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon
abnormal yang akhimya mendesak sistem hematopoiesis
lainnya.
Pernahanan mekanisne kerja gen BCR-AFJL mutlak
diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada
diagnostik,perjalanan penyakit, prognostik, serta irnplikasi
terapeutiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik
dan kejadian di tingkat molekular.

Sitogenetik
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang
dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK
dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum
diket'ahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima
dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi,
sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak

..-.-..

BCR

ABL

BCR
ABL

Gambar 2. Translokasi kromosom 9 dan 22. Dikutip dari Savage


and Antman. N Engl J Med 2002

Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalarn kromosom Ph


ini selanjutnya mensintesis protein 210 kD yang berperan
dalam leukemogenesis, sedang peranan gen resiprokal
ABL-BCR tidak diketahui (Silver, 1990; Diamond, 1995;
Melo, 1996;Verfaillie, 1998).
Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari
kromosom Ph, seperti tampak pada Tabel 2. Varian-varian
ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau
kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga
dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu
di daerah q l l , akan tetapi dapat juga di daerah q12 atau
q13 (Heim dan Mitelrnan, 1987), dengan sendirinya
protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya.

Karyotipik
t(9;22)(q34;q12)
t(9;22)(q34;q13)
t(9;22)(q34;qlI )
t(8;22)(pll;ql I )
t(4;22)(ql2;qI 1)
t(9;12)(q34;p13)
De1(4)(q12)

Gen-gen yang
Terlibat
BCR-JAK
BCR-PDGFRB
BCR-FGFRI
BCR-FGFRI
BCR-PDGFRA
ABL-TEL
FIPILI-

lstilah Klinik
LGK atipik
LGK atipik
LGK BCR-ABL negatif
LGK BCRABL negatif
LGK atipik
LGK atipik
LGK hipereosinofilia

PDGFRA

Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q)


selalu terdapat pada semua pasien LGK, tetapi gen BCRABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien LGK.
Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih
rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, ha1
ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalarni fase

krisis blas dtemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan


isokromosom lengan panjang lcromosom 17 i(17)q. Dengan
kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain
yang .berperan dalam patofisiologi LGK atau terjadi
abnormalitan dari gen supresor tumor, seperti gen p53,
p16 dan gen Rb.

Biologi Molekular pada Patogenesis LGK


Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR
ditemukan di daerah 5,8-kb atau di daerah e13-el4 pada
ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan
mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD,
selanjutnya di tulis p2 10BCR-ABL
Patahan lainnya
ditemukan di daerah 54,4-kb atau e l yang dikenal sebagai
minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan
mensintesa p190 (Melo, 1996). Saglio db pads tahun
1990 menemukan satu lagi variasi patahan ini pada 3' gen
BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk
p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai micro bcr (y -bcr) (Melo, 1996). Melo (1997) menemukan
bahwa 3 variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu
mayor (M-bcr), minor (m-bcr), dan mikro (ybcr) ternyata
berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya.
Pasien LGK yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr
berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr
berhubungan dengan monositosis yang prominen,
sedang patahan di y-bcr berhubungan dengan netrofilia
dantatau trombositosis.
mempunyai
Pada gambar 2 tampak bahwa p210BCR-ABL
potensi leukemogenesisdengan cam sebagai berikut: gen
BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang
mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua
gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang
akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma
sel melalui domain SRC-homologi 1 (SHl), sehingga tejadi
deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat
aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan
berkurangnya respon apoptosis.
Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi
dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga
terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik,
seperti tampak pada Gambar 3. Sinyal ini akan
menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses
transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan
pada proses proliferasi sel dan juga proses
apoptosis.
Diagnosis Banding :
LGK fase kronik: leukemia mielomonositik kronik,
trombositosis esensial, leukemia netrofilik kronik
LGK fase krisis blas: leukemiarnieloblastik akut, sindrom
mielodisplasia

Gambar 3. Fusi Gen BCR-ABL. Gen ABL ( ~ 1 4 5yang


~ ~ ~normal
)
dikontrol oleh Exon l a , Ib dan Exon a2. Apabila terjadi fusi dengan
gen BCR, maka terjadi otofosforilasi sehingga terjadi aktivasi dari
gen ABL pada gugus SH1 dengan tidak terkendali. Dikutip dari
Goldman and Melo. N Engl J Med 2003.

Gambar 4. Proses Aktivasi Sinyal Transduksi oleh Fusi Gen


BCR-ABL. Dikutip dari Goldman and Melo. N Engl J Med 2003.

PEMERIKSAANPENUNJANG

~ematologirutin. Pada fase kronis, kadar Hb umumnya


normal atau sedikitmenurun, lekosit antara 20-60.000/mm3.
Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Trombosit
biasanya meningkat antara 500-600.000/rnm3.Walaupun
sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau
trombositopenia.
Apus Darah Tepi
Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering
ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau
polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan
maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan
metarnielosit meningkat, demikianjuga persentasi eosinofil
dan atau basofil.

Apus Sumsum Tulang


Selularitas meningkat (hiperselular)akibat proliferasi dari
sel-sel leukemia, sehingga rasio rnieloid: eritroid meningkat.
Megakariosit juga tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan
retikulin, w p a k bahwa stroma sumsum tulang mengalami
fibrosis.
Karyotipik
Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding
technique), saat ini teknik ini sudah mulai ditinggalkan
dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen
Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi
kromosom yang sering ditemukan pada LGK, antara lain:
+8, +9, +19, +21, i(17).
Pemeriksaan laboratorium lain. Sering ditemukan
hipenuikemia.
PENGOBATAN
Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai rernisi lengkap,
baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi
biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis
digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu
tercapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi
interferon dan atau cangkok sumsum tulang. Indikasi
cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak lebih dari 60 tahun,
2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan risiko
rendah menurut perhitungan Sokal.
Obat-obat yang digunakan pada LGK adalah:
Hydroxyurea (Hydrea)
- Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi
hematologik pada LGK.
- Lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan
klorarnbusil.
- Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari
sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan.
Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan
anemia aplastik dan fibrosis paru.
- Dosis 30mglkgBBlhari diberikan sebagai dosis
tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit
> 300.000/mm3,dosis boleh ditinggikan sampai'
maksirnal2.5 grarn~hari.
- Penggunaannya dihentikan dulu bila lekosit <8.000/
mm3atau trombosit <100.000/mm3
- Interaksi obat dapat terjadi bila digunakan
bersamaan dengan 5-FU, menyebabkan
neurotoksisitas.
- Selama menggunakan hydroxyurea harus
dipantau Hb, lekosit, trombosit, fungsi ginjal,
fungsi hati.

Busulfan (Myleran).
- Termasuk golongan alkil yang sangat kuat.
- Dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikkan sarnpai

12mg/hari.Harus dihentikan bila lekosit antara 1020.000/mm3,dan bam dimulai kembali setelah lekosit
>50.000h3.
Tidak boleh diberikan pada wanita harnil.
Interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid, dan
itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan,
sedangkan fenitoin akan.menurunkan efeknya.
Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian
busulfan disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang
baik.
Dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi
sumsum tulang yang berkepanjangan

Imatinib mesylate (Gleevec = Glyvec)


- Tergolong antibodi monoklonal yang dirancang
khusus untuk mengharnbat aktivitas tirosin kinase
dari fusi gen BCR-ABL.
- Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada
pemberian per oral
- Untuk fase kronik, dosis 400mglhari setelah
makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mgl
hari bila tidak mencapai respons hematologik
setelah 3 bulan pemberian, atau'pernah mencapai
respon yang baik tetapi terjadi perburukan secara
hematologik, yakni Hb menjadi rendah danlatau
lekosit meningkat dengadtanpa perubahan
jumlah trombosit.
- Dosis harus diturunkan apabila terjadi netropeni
berat (<500/mm3) atau trombositopenia berat
(<50.000/mm3)atau peningkatan sGOT/sGPT dan
bilirubin.
- Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat
diberikan langsung 80Omg/hari(400mg bid).
- Dapat timbul reaksi hipersensitivitas, walaupun
sangat jarang
- Tidak boleh diberikan pada wanita hamil
- Interaksi obat: ketokonazol, simvastatin dan fenitoin
akan meningkatkan efek imatinib mesilat.
- Selain remisi hematologik, obat ini dapat
menghasilkan rernisi sitogenetik yang ditandai
dengan hilangnyalberkurangnya kromosom Ph dan
juga remisi biologis yang ditandai dengan
berkurangnya ekspresi gen BCR-ABL atau protein
yang dihasilkannya.
Interferon alfa-2aatau Interferon alfa-2b
- Berbeda dengan imatinib mesilat, interferon tidak
dapat menghasilkan remisi biologis walaupun dapat
mencapai rernisi sitogenetik
- Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai
remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi.
Berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis
yang dapat ditoleransi adalah 3juta IU/m2/hari.Saat
ini sudah tersedia sediaan pegilasi interferon,
sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak
perlu tiap hari.

LEUKEMIA GRANULOSlTlK KRONIS

1213

Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan


antipiretik sebelum pemberian interferon untuk
mencergahhengurangi efek sampinp interferon
berupa flue-like syndrome.
- Interaksi obat: teofilin, simetidin, vinblastin dan
zidovudin dapat meningkatkan efek toksik interferon.
- Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut,
gangguan faal hati dan ginjal yang berat, pasien
epilepsi.
Cangkok sumsum tulang
- Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data
menunjukkan bahwa cangkok sulnsum tulang (CST)
dapat niemperpanjang masa remisi sampai >9 tahun,
terutama pada CST alogenik.
- Tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph
negatif atau BCR-ABL negatif.

PROGNOSIS
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara
3-5 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini deilgan
ditemukannya beberapa obat baru, maka median
kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara
signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis
kombinasi hidrea dan interferon median kelangsungan
hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib mesilat memberi hasil
yang lebih rnenjanjikan, tetapi inedian kelangsungan hidup
belum dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa
hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung.
Faktor-faktor di bawah ini m'emperburuk prognosis
pasien LGK, antara lain:
Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala
sistemik seperti penurunan berat badan, demam,
keringat malam.
* Laboratorium: anemia berat, trombositopenia,
trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph
negatif, BCR-ABL negatif
Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk
mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi,
waktu remisi yang singkat

Chronic Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group.


Interferon alf'a versus chen~otherapy for chronic myeloid
leukemia: a meta-analysis of seven randomized trials: Chronic
Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group. J Natl
Cancer 111st. 1997;89(2 I ) : 16 16-20.
Druker BJ, Tnlpaz M. Resta DJ, et al. Efficacy and safety of a
specific inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in chronic
myeloid leukemia. N Engl J Med. 2001;344(14): 1031-7.
Druker BJ, Sawyers CL, Kantarjian H, et al. Activity of a specific
inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in the blast crisis of
chronic myeloid leukemia and acute lymphoblastic leukemia
with the Philadelphia chromosome. N Engl J Med.
2001:344(14): 1038-42.
Giles FJ, Corles JE. Kantarjian HM, O'Brien SM. Accelerated and
blastic phases of chronic ~nyelogenousleukemia. Hematol Oncol
Clin North An). 2004; 18(3):753-74.
Goldman JM. Druker BJ. Chronic myeloid leukemia: current
treatment options. Blood. 2001;98(7):2039-44.
Goldman JM and Melo JV. Chronic myeloid leukemia- advances in
biology and new approaches to treatment. N Engl J Med.
.2003;349(15): 145 1-64.
Italian Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia.
Interferon alfa-2a as compared with conventional chemotherapy
for the treatment of chronic myeloid leukemia. The Italian
Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia. N
Engl J Med. 1994;330( 12):820-5.
Kantarjian H, Sawyers C, Hochhaus A, et al: Hematologic and
cytogenetic responses to imatinib mesylate in chronic
myelogenous leukemia. N Engl J Med. 2002;346(9):645-52.
Kantarjian HM. Cortes JE, O'Bricn S. lmatinib mesylate therapy in
newly diagnosed patients with Philadelphia chromoso
me-positive chronic myelogenous leukemia: high incidence of
early complete and major cytogenetic responses. Blood.
2003;101(1):97-100.
Kantarjian HM, Talpaz M. Chronic myelogenous leukemia. Hematol
Oncol Clin North Am. 2004;18(3):15-6.
Lee SJ, Anasetti C, Horowitz MM, Antin JH. Initial therapy for
chronic myelogenous leukemia: playing the odds. J Clin Oncol.
1998; 16(9):2897-903.
McGlave PB. Beatty P, Ash R, Hows JM. Therapy for chronic myelogenous leukemia with unrelated donor bone marrow
transplantation: results in 102 cases. Blood. 1990;75(8):1728-32.
Savage DG and Antman KH. lmatinib mesylate-a new oral targeted
therapy. N Engl J Med. 2002;346(9):683-93.
Sawyers CL, Hochhaus A, Feldman E, et al. lmatinib induces
hematologic and cytogenetic responses in patients with chronic
myelogenous leukemia in myeloid blast crisis: results of a phase
I1 study. Blood. 2002;99(10):3530-9.
Sneed TB, Kantarjian HM, Talpaz M, et al. The significance of
myelosuppression during therapy with imatinib mesylate in
patients with chronic myelogenous leukemia in chronic phase.
Cancer. 2004;100: 116-21.
Talpaz M, Silver RT, Druker BJ. lmatinib induces durable
hematologic and cytogenetic responses in patients with
accelerated phase chronic myeloid leukemia: resultsof aphase
2 study. Blood. 2002;99(6): 1928-37.

'

POLISITEMIA VERA
M. Darwin Prenggono

PENDAHULUAN
Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti
poly (banyak), cyt (sel), dan hemia (darah) sedang Vera
(benar) adalah suatu penyakit kelainan pada sistem
mieloproliferatif di mana terjadi klon abnormal pada
hemopoetik sel induk (heniatopoietic stern cells) dengan
peningkatan sensitivitas pada growth factors yang
berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadi
peningkatan banyak sel. Ada dua istilah yang sering
diartikan sama antara polisitemia dan eritrositosis, pada
polisitemia (banyak sel) menggambarkan peningkatan dari
dari total kuantitas atau volum (mass) dari sel darah pada
tubuh tanapa memperdulikan jumlah leukosit atau
trombosit.Sedang peningkatan jumlah dan volume saja
dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan
hematokrit adalah lebih benar disebut eritrositosis.
Eritrositosis menggambarkan peningkatan dari volume sel
darah merah atau mass (polisitemia, juga disebut
eritrsitosis absolute) atau menghasilkan penurunan
volume plasma (disebut polisitemia/eritrositosisrelatif atau
spurious). Polisitemia rubra Vera atau polisitemia Vera nama
sinonim lainnya tercatat sebagai polisitemia splenomegalik,
eritrositosis megalosplenik (Senator), penyakit VaquezS,
penyakit Osler S, polisitemia mielopati (Weber), polisitemia
kriptogenik (R. C. Cubot).
Polisitemia Vera selanjutnya disingkat PV, merupakan
suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif yang
melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang
mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik terjadi karena
sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon sel induk
darah yang abnormal. Berbeda dengan keadaan normalnya,
sel induk darah yang abnormal ini tidak membutuhkan
eritropoietin untuk proses pematangannya (eritropoietin
serum <4 mU/mL), ha1 ini jelas mernbedakannya dari

eritrositosis atau polisitemia sekunder di mana eritropoietin


tersebut meningkat secara fisiologis (wajar sebagai
kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat)
biasanya pada keadaan dengan saturasi oksigen arterial
rendah, atau eritropoietin tersebut meningkat secara non
fisiologis (tidak wajar) sebagai sindrom paraneoplastik yang
dijumpai daripada ~nanifestasineoplasma lain yang
mensekresi eritropoietin. Di dalam sirkulasi darah tepi PV
didapati peninggian nilai hematokrit yang menggambarkan
terjadi peningkatan konsentrasi eritrosit terhadap plasma
mencapai >49% pada perempuan (kadar Hb > 16 mg1dL)
dan >52% pada pria (kadar Hb >17 mgIdL), dan di dapati
peningkatan jumlah eritrosit total (hitung eritrosit >5,5 jutd
mL pada perempuan dan >6 j u t d m l pada pria). Kelainan
ini terjadi pada populasi klon sel induk darah (stem cell)
sehingga seringkali terjadi juga produksi yang berlebihan
dari leukosit dan trombosit.
Permasalahan yang ditimbulkan berkaitan dengan
massa eritrosit, basofil dan trombosit yang bertambah,
serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah
fibrosis sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang yang
ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan neoplastik
jaringan ikat.

EPIDEMIOLOGI
Polisitemia Vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60
tahun, rasio perbandingan antara pria dan perempuan
antara 2: 1 dan dilaporkan insiden polisitemia Vera adalah
2.3 per 100. 000 populasi dalam setahun. Keseriusan
penyakit polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya
survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati
1,5 - 3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari
10 tahun.

Penyebab terjadinya Polisitemia Vera tidak diketahui, tetapi


Ada pendekatan penelitian yang didefinisikan adanya
kelainan molekul. Salah satu penelitian sitogenetika
menunjukkan adanya kariotipe abnormal di sel induk
hemopoisis pada pasien dengan polisitemia Vera dimana
tergantung dari stadium penyakit, rata-rata 20% pada
pasien polisitemia Vera saat terdiagnosis sedang
meningkat 80% setelah diikuti lebih dari I0 tahun. Beberapa
kelainan tersebut sama dengan penyakit mielodisplasia
sindrom yaitu: deletion 20q (8,4%), deletion 13q (3%),
trisomi 8 (7%), trisorni 9 (7%), trisomi lq (4%), deletion 5q
atau rnonosomi 5 (3%), deletion 7q atau monosomi 7 (1%).

KLASIFIKASI DAN PENDEKATAN PADA PASIEN


DENGAN ERlTROSlTOSlS
Klasifikasi eritrositosis tergantung volume sel darah merah
(red cell muss) (eritrositosisrelatif atau polisilernia dengan
polisitemia aktualj. Polisitemia terbagi dalam polisitemia
primer (polisitemia Vera dan polisitemia famili primer) dan
polisitemia yang dipengaruhi oleh produksi eritropoeitin
(polisitemia sekunder).

--

--

-- -

Eribositosis relatif atau polisitemia (pseudoerbositosis)


Hemokonsentrasi
Polisitemia spurious (sind rom Gaisbok)
Polisitemia (eritrositosis absolu t)
Polisitemia primer
- Polisitemia Vera
- Polisitemia familial primer
Polisitemia sekunder
- Se ku nder ole h kerena pen urunan oksigenisasi pada
jari ngan (Pl7ysiologically app ropria te polycythemia
atau hypoxia e ytrhocytosis)
- High-altitude erytrhrocytosis (Monge disease)
- Penyakit paru (contoh: kor pulmonal kronik,
sindrom Ayerza)
- Cyanotc congenital heart disease
- Sindrom hipoventilasi
- Hemoglobin abnormal
- Polisitemia familial
- Sekunder oleh karena penympangan respon atau
produksi e ritropoie tin (physiologically inappropriate
polycythemia)
Polisitemia idiopatik

Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase:


Gejala awal (early symptoms). Gejala awal dari PV sangat
minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun telah
diketahui rnelalui tes laboratorium.Gejala awal yang tejadi
biasanya sakit kepala (48%), telinga berdenging (43%),
mudah lelah (47%), gangguan daya ingat, susah bernapas
(26%), darah tinggi (72%), gangguan penglihatan (31%),

rasa panas pada tangan atau kaki (29%), gatal (pruritus)


(43%), juga terdapat perdarahan dari hidung, lambung
(stomach ulcers) (24%) atau sakit tulang (26%).
Gejala Akhir (latersymptoms) dan Komplikasi. Sebagai
penyakit progresif, pasien dengan PV mengalami
perdarahan (hemorrhage) atau trornbosis. Trombosis
adalah penyebab kematian terbanyak dari PV. Komplikasi
lain peningkatan asam urat dalam darah sekitar 10%
berkembang ,menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus
pepticum (10%).
Fase Spenomegali (Spentphase). Sekitar 30% gejala akhir
berkembang menjadi fase splenomegali.Pada fase ini tejadi
kegagalan sumsurn tulang dan pasien rnenjadi anemia
berat, kebutuhan transfusi meningkat, liver dan lirnpa
mernbesar.
Beberapa ha1 yang penting berhubungan dengan gejala
yaitu:
Hiperviskositas. Peningkatan jumlah total eritrosit akan
meningkatkan viskositas darah yang kernudian akan
menyebabkan:
Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih
jauh lagi akan menimbulkan eritrostasis sebagai akibat
dari penggurnpalan eritrosit, dan
Penurunan laju transport oksigen. Kedua ha1 tersebut
akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan.
Berbagai gejala dapat tirnbul karena terganggunya
oksigenasi target organ (iskern~alinfark)seperti di otak,
penglihatan, pendengaran, jantung, paru, ekstremitas.
Penurunan kecepatan aliran (shear rate). Penurunan
shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hernostasis primer yaitu agregasi trornbosit pada endotel ha1
tersebut akan rnengakibatkan tirnbulnya perdarahan,
walaupun jurnlah trombosit > 450 ribu/mL. Perdarahan
tejadi pada 10-30%kasus PV, manifestasinya &pat berupa
epistaksis, ekiposis, dan perdarahan gastrointestinal.
Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL).
Trombositosisdapat menirnbulkan trombosis, pa& PV tidak
ada korelasi trornbositosis dengan trombosis. Trombosis
vena atau trornboflebitis dengan emboli terjadi pada 3050% kasus PV.
Basofilia (hitung basofit >65/mL).Lima puluh persen kasus
PV datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh
terutarna setelah rnandi air panas, dan 10% kasus PV datang
dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh
meningkatnya kadar histamin dalarn darah sebagai akibat
dari basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung
terjadi karena peningkatan kadar histarnin.
Splenomegali. Splenornegali tercatat pada sekitar 70%
pasien PV. Splenomegaliini terjadi sebagai akibat sekunder
dari hiperaktif hemopoesis ekstra rnedular.
Hepatomegali. Hepatornegali dijumpai pada kira-kira
sejurnlah 40% PV. Sebagaimana halnya splenomegali,

'

hepatomegali juga merupakan akibat sekunder dari


hiperaktif hemopoesis ekstra medular.
Laju siklus sel yang tinggi. Sebagai konsekuensi logis
dari hiperaktif hemopoesis dan splenomegali adalah
sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan
demikian maka produksi asam urat darah akan meningkat.
disisi lain laju filtrasi gromerular menurun karena penurunan
shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10% kasus PV
Defisiensi vitamin B,,, dan asam folat. Laju siklus sel darah
yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat dan
vitamin B ,,, ha1 ini dijumpai pada + 30% kasus PV karena
penggunaan/metabolisme untuk pembuatan sel darah,
sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B I 2(UB,, - Protein binding capacity) dijumpai
meningkat pada >75% kasus. Sepel-ti diketahui defisiensi
kedua vitamin ini memegang peran dalam tinibulnya kelainan
kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.Optikus, serta psikosis.

PEMERIKSAAN LABORATORILIM
Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia Vera pada sad1
perjalanan penyakit ini, peninggian massa eritrosit haruslah
didemonstrasikan. Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6
jutalml pada pria dan >5,5 jutdml pada perempuan, dan
sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik
kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan
anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhir perjalanan penyakit.
Granulosit
Granulositjumlahnya meningkat terjadi pada 2/,kasus PV,
berkisar antara 12-25 ribulml tetapi dapat sampai 60 nbul
mL. Pada dua perliga kasus ini juga terdapat basofilia.
Trombosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribul
mL, bahkan dapat > I jutdmL. Sering didapatkan dengan
morfologi trombosit yang abnormal.

B,, Serum
B,, serumdapat meningkat ha1 ini dijumpai pada 35% kasus
dan dapat pula menurun ha1 ini dijumpai pada k 30% kasus,
dan kadar UB ,,BC meningkat pada >75% kasus PV.
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali
ada kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya
seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi
sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas
normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari seri eritrosit,

megakariosit, dan niielosit. Sedangkan dari histopatologi


sumsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit
yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan
petanda patognomonik PV.
Pemeriksaan Sitogenetika
Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan P,, atau
kemoterapi sitostati ka dapat dijumpai karyotip ((lihat
etiologi). Variasi abnormalitas sitogenetikadapat dijumpai
selain tersebut di atas terutama jika telah mendapatkan
pengobatan P,, atau kemoterapi sitostatika sebelumnya.

Anti Rh,(D)

Kontrol Rh

Positif
Negatif
Positif

Negatif
Negatif
Positif

Tipe Rh

D+
D- (d)
Harus diulang atau
diperiksa dengan Rh,(D)
typing (Saline tube test)

DIAGNOSIS
Sebagai suatu kelainan mieloproliferatif,PV dapat memberikan
kesulitan dengan gambaran klinis yang hampir sama dengan
berbagai keadaan polisitemia lainnya (polisitemia sekunder).
Karena kompleksnya penyakit ini, lnrernational Polycythemia Study Group ke dua menetapkan 2 kriteria pedoman
dalam menegakkdn diagnosis polisitemia Vera dari 2 kategori
diagnostik, diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika
memenuhi kriteria: a).Dari kategori: Al+A2+A,,atau, b). Dari
kategori: Al+A,+ 2 kategori B.

Kategori A
Meningkatnya massa sel darah merah, ha1 ini diukur
dengan krom-radioaktif CrS1.Pada pria 2 36 rnLkg, dan
pada perempuan 2 32 mL/kg.
Saturasi oksigen arterial > 92%. Eritrositosis yang terjadi
sekunder terhadap penyakit atau keadaan lainnya juga
disertai massa sel darah merah yang meningkat. Salah
satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya
saturasi oksigen arterial, di mana pada PV tidak
didapatkan penurunan. Kesulitan ditemui apabila pasien
tersebut berada dalam keadaan:
- Alkalosis respiratorik, di mana kurva disosiasi p02
akan bergeser ke kiri, dan
- Hemoglobinopati, di mana afinitas oksigen
meningkat sehingga kurva PO, juga akan bergeser
ke kiri.
Spenomegali.

1217

POL~S~TEM~A
VERA

Kategori B
Trombositosis: trombosit 2 400.000/mL,
Leukositosis: leukosit 2 12.000/mL (tidak ada infeksi).
Neutrophil alkaline phospharase (NAP) score
meningkat lebih dari I00 (tanpa adanya panas atau
infeksi).
Kadar vitamin B ,>900 pg/mLdan atau UBl,BC dalam
serum> 2200 p g / k .
Dalarn beberapa leteratur disebutkan usulan modifikasi
kriteria diagnostik PV sebagai berikut:

Spenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau


ultrasonografi
Penurunan serum ertropoietin atau BFU-E growth yang
karakteristik
Diagnosis polisitemia Vera:
Kategori :A 1 + A2 dan A3 atau A4 atau
Kategori :A1 +A2 dan 2 kriteria katagori B.

PENATALAKSANAAN

Kategori A
Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25% di atas ratarata angka normal atau Packed Cell Volume pada lakilaki >0,6 atau pada perempuan 0 5 6
Tidak ada penyebab polisitemia sekunder
spenomegali yang teraba
Petanda klon abnormal (kariotipe abnormal)

Prinsip Pengobatan
Menurunkan viskositas darah sarnpai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengontrol eritropoesis
dengan flebotomi.
Menghindari pembedahan elektif pada fase eriuositiw
polisitemia yang belum terkontrol.
Menghindari pengobatan berlebihan (over treabnent).
Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan
berefek sterilisasi pada pasien usia muda.
Mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor '
radioaktif atau kernoterapi sitostatika pada pasien di
atas 40 tahun bila didapatkan:

Kategori B
Trombositosis >4 00 000 per mm"
Jumlah neutropil r I0 x 109/ L dan bagi perokok r 12,5 x
lo9k

Flebotomy untuk
mempertahankan
hematokrit < 0,45

b
Urnur

70 th

aspirin dosis rendah jika ada riwayat

ya

tidak

Adanya r~wayatatau
ada trornbosis atau
phlebotomy yang seringkali atau
jumlah trombosit > 400.000 atau
splenomegali yang progresif

ya

Tanpa rnielosupresi
.':.

ada komplikasi

Gambar 1. Manajemen terapi polisitemia Vera

Terapi mielosupresi dengan hydroxiurea


(pertirnbangkan interferon atau
anagrelld pada pasien rnuda)
dan asplrin sebagai profilaksis

- Trombositosis persisten di atas 800.000/mL,


-

terutama jika disertai gejala trombosis.


Leukositosis progresif.
Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan
sitopenia problematik.
Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan
atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.

Media Pengobatan
Flebotomi. Flebotomi dapat merupakan pengobatan
yang adekuat bagi seorang pasien polisitemia selama
bertahun-tahun d a n merupakan pengobatan yang
dianjurkan.
Indikasi flebotomi:
Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht
> 55% (target Ht 555%).
Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada
derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat
hiperviskositas dan.penurunan shear rate, atau sebagai
penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom
paraneoplastik.
Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut ialah
mempertahankan hematokrit 1 4 2 % pada perempuan, dan
5 4 7 % pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas
dan penurunan shear rate. lndikasi flebotomi terutama pada
semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien
yang masih dalam usia subur.
Prosedur flebotomi : a).Pada permulaan, 250-500 cc
darah dapat dikeluarkan dengan blood donor collection
set standard setiap 2 hari. Pada pasien dengan dengan
usia >55 tahun atau dengan penyakit vaskular
aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh
dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti
plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti
plasma (coloid/plasma expander) setiap kali, untuk
mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung
karena hipovolemik; b). Sekitar 200 mg besi dikeluarkan
pada tiap 500 cc darah (normal total body iron + 5 g).
Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan
flebotomi berulang. Gejala defisiensi besi seperti glositis,
keilosis, disfagia, dan astenia dapat cepat hilang dengan
pemberian preparat besi.
Fosfor radioaktif (PJ.Pengobatan dengan fosfor radioaktif
ini sangat efektif, mudah, dan relatif murah untuk pasien
yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi
yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur.
P,, pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2
secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis
dinaikkan 25%. Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu
pemberian P,, pertama: 1). Mendapatkan hasil,
re-evaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat
diulang akan tetapi ha1 ini jarang dibutuhkan. 2). Tidak
mendapatkan hasil selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25%

dari dosis pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu


setelah dosis pertama.
Dengan cara ini panmielosis dapat dikontrol pada
sekitar 80% pasien untuk jangka waktu sekitar 1-2 bulan
dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi.
Sitopenia yang serius setelah pengobatan ini jarang
terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali setelah
keadaan stabil.
Trombositosis dan trombositemia yang mengancam
(hiper aggregasi) atau terbukti menimbulkan trombosis
masih dapat terjadi meskipun eritrositosis dan lekositosis
dapat terkontrol.
Kemoterapi sitostatika. Tujuan pengobatan kemoterapi
sitostatika adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan
menggunakan Hidroksiurea salah satu sitostatika
golongan obat anti metabolik, sedangkan penggunaan
golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak
dianjurkan lagi karena efek leukemogenik, dan mielosupresi
yang serius. Walaupun demikian FDA masih membenarkan
(approvecT) Chlorambucil dan Busulfan digunakan pada

a!
Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatika:
hanya untuk Polisitemia rubra primer (PV),
flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali
sebulan,
trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis,
urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan
antihistarnin,
splenomegali simptomatiMmengancam ruptura limpa.
Cara pemberian kemoterapi sitostatika:
Hidroksiurea ("Hydrea 500mgltablet) dengan dosis
800-1200 mg/m2/hariatau diberikan sehari 2 kali dengan
dosis 10- 15 mg/kgBB/kali, jika telah tercapai target dapat
dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk
pemeliharaan.
Chlorambucil (@LeukeranSmgltablet) dengan dosis
induksi 0,l-0,2 mg/kgBB/hari selama 3-6 minggu, dan
dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu.
Busulfan (@Myleran2mgltablet) O,O6mg/kgBB/hari atau
1,8 mg/m2/hari, jika telah tercapai target dapat
dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk
pemeliharaan.
Pasien dengan pangobatan cara ini harus diperiksa lebih
sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan
klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit:
Pada pria 9 7 %dan memberikannya lagi jika >52%,
Pada perempuan 142% dan memberikannya lagi jika
>49%.
Kemoterapi biologi (sitokin). Tujuan pengobatan dengan
produk biologi pada PV terutama adalah untuk mengontrol
trombositemia (hitung trombosit >800.000/mm'), produk
biologi yang digunakan adalah Interferon a. Interjeron a
(%~tron-A3 & 5 juta Iu, "overon-A 3 & 9 jutaIu) digunakan

WLISlTEMlA VERA

terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat di


kontrol, dosis yang dianjurkan 2 juta Iu/m2/s.c, atau i.m. 3
kali seminggu.
Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan
sitostatika Siklofosfamid (Tytoxan 25mg & 50mgltablet)
dengan dosis 100mglm21hari,selama 10-14 hari atau sampai
target telah tercapai (hitung trombosit < 800.000/mm3)
kemudian dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
100mg/m2 1-2 kali seminggu.
Pengobatan Suportif
Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/
hari oral pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan
memperhatikan fungsi ginjal.
Pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin, jika
diperlukan dapat diberikan Psoralen dengan penyinaran
Ultraviolet range A (PUVA)
* Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat
reseptor H,.
Antiaggregasi trombosit Analgrelide turunan dari
Quinazolin disebutkan juga dapat menekan
trombopoesis.

PEMBEDAHAN PADA PASIEN PV


Pembedahan Darurat
Pembedahan segera sedapat-dapatnya ditunda atau
dihindarkan. Dalam keadaan darurat dapat dilakukan
flebotomi agresif dengan prinsip isovolemik dengan
mengganti plasma yang terbuang dengan plasmafusin 4%
atau cairan plasma ekspander lainnya bukan cairan isotonis
atau garam fisiologis, suatu prosedur yang dapat
digolongkan sebagai tindakan penyelamatan hidup
(lqe-saving).
Tindakan splenekromi sangat berbahaya untuk
dilakukan pada semua fase polisitemia, dan harus di
hindarkan karena dalam perjalanan penyakitnya jika terjadi
fibrosis sumsum tulang organ inilah yang masih diharapkan
sebagai pengganti hemopoesisnya.
Pembedahan Berencana
Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien
terkontrol dengan baik. Lebih dari 75% pasien dengan PV
tidak terkontrol atau belum diobati akan mengalami
perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan,
kira-kira sepertiga dari jumiah pasien tersebut akan
meninggal.
Angka komplikasi akan menurun jauh jika eritrositosis
sudah di kontrol dengan adekuat sebelum pembedahan.
Makin lama telah terkontrol, makin kecil kemungkinan
terjadinya komplikasi pada pembedahan. Darah yang di
dapat dari flebotomi dapat disimpan untuk transfusi
autologus pada saat pembedahan.

Pencegahan Tromboemboli Peri Operatif


Pencegahan tromboemboli perioperatif dapat dilakukan
dengan:
Penggunaan alat-alat bantu mekanik seperti kaos kaki
elastik (elastic stocking) atau pulsatting boots.
Heparin dosis rendah jika tidak ada indikasi kontra dapat
diberikan. Untuk dewasa, heparin i.v drip dengan dosis
1 0-20 Iu/kgBB/jam dengan target A m 40"-60 sampai
pasien dapat berjalan atau ambulatorik. Kemudian 50100 Iu/kgBB/subkutan dapat diberikan setiap 8-12jam
sampai pasien kembali ke aktivitas normal.

PROGNOSIS
Polisitemia adalah penyakit kronis dan keseriusan penyakit
Polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya survival
median pasien sesudah terdiagnosa tanpa diobati 13-3
tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.
Penyebab utamamorbiditi dan mortaliti adalah:
Trombosis dilaporkan pada 15-60% pasien, tergantung
pada pengendalian penyakit tersebut dan 10-40%
penyebab utama kematian.
Komplikasi perdarahan timbul 15-35% pada pasien
polisitemia Vera dan 6-30% menyebabkan kematian
Terdapat 3-10% pasien polisitemia Vera berkembang
menjadi mielofibrosis dan pansitopenia
Polisitemia Vera dapat berkembang menjadi leukemia
akut dan sindrom mielodisplasia pada 1 3 % pasien
dengan pengobatan hanya phlebotomy. Peningkatan
risiko transformasi 13,5% dalam 5 tahun dengan
pengobatan klorambusil dan 10,2% dalam 6- 10 tahun
pada pasien dengan pengobatan 32P.Terdapatjuga 5.9%
dalam 15 tahun risiko terjadinya transformasi pada
pasien dengan pengobatan hydroxyurea.

Means RT. Erytrhocytosis. In: Greer JP, Rodgers GM, Foeerster JF.
Paraskevas F, Lukens JN, et al, editors. 11th edition. Volume 2.
Wintrobe's clinical hematology; 2004. p. 1495-505.
Mossuz P, Girodon F, Donnard M. Diagnostic value of serum
erythropoietin level in patients with absolute erythrocytosis.
Haematologica. 2004;l 194-8.
Person TC, Messinezy M, Westwood N, Green AR, Bench,AJ, et al.
A polycythemia Vera update: diagnosis, pathology, and
treatment. American Sociaety of Hematology. 2000;51-65.
Radin AI. Polycythemia rubra vera. Current therapy in
hematology-oncology. 5* edition. 1995. p. 236-42.
Spivak JL. Polycythemia vera. Harrison's principles of internal
medicine. 16Ih edition. 1997. p. 679-81.
Stuart BJ, Viera AJ. Polycythemia vera. American family physician.
2004.
White P. Myeloproliferative and myelodysp1astic syndromes:
polycythemia vera. Handbook of cancer chemotherapy. 3Ih
edition. In: Skeel RT, editor. Boston: Little, Brown & Co; 1991.
p. 324-5.

TROMBOSITOSIS ESENSIAL
Irza Wahid

PENDAHULUAN
Di Amerika Serikat istilah trombositosis esensial disebut
primary (essential) thrombocythemia, sedangkan di Eropa
disebut thromboc.ythenlia Vera. Trombositosis esensial
merupakan anggota dari kelompok gangguan
mieloproliferatif. Schafer A1 menggabungkan
trombositosis esensial dengan gangguan mieloproliferatif
lainnya dengan istilah trombositosis klonal. Dalam ha1 ini
yang digolongkan sebagai trombositosis klonal adalah
trombositosis esensial, polisitemia primer dan
mielofibrosis. Penyakit mieloproliferatif lainnya adalah
leukemia granulositik kronik (BCRJABL positif), leukemia
eosinofilik kronik, leukemia netrofilik kronik serta penyakit
mieloproliferatif yang tidak tergolongkan.
Trombositosis esensial diperkirakan terdapat pada 400
orang dari 1.000.000 populasi. Hampir semua pasien
trombositosis esensial berusia lebih dari 50 tahun,
walaupun demikian pemah dilaporkan kasus pada anak
berusia 2 tahun. Kurang dari 10 % pasien berusia kurang
dari 10 tahun. Prevalensi trombositosis esensial lebih tinggi
pada perempuan dibandingkan pria. Cortelazzo S dkk pada
penelitiannya terhadap 100 orang pasien dengan
trombositosis esensial memperlihatkan rerata usia pasien
adalah 50 tahun (interval 17-82 tahun) dengan
perbandingan pria dan perempuan 39 %:61 %.

Trombopoetin merupakan hormon kunci dalam pengaturan


diferensiasi dan proliferasi megakariosit. Walaupun
demikian beberapa sitokin seperti interleukin-6 dan
interleukin-11juga berperan dalam proses ini.
Dalarn keadaan normal, pengaturan produksi trombosit
dari megakariosit di sumsum tulang melibatkan pengikatan

trombopoetin bebas di plasma dengan megakariosit. Hal


inilah yang merangsang aktifnya megakariositopoetik
memproduksi trombosit (Gambar 1A).
Pada trombositosis reaktif, penyakit dasarnya akan
merangsang peningkatan sintesis trombopoetin dengan
mediator berbagai sitokin diantaranya interleukin-6 yang
selanjutnya akan meningkatkan aktivitas megakariositopoetik memproduksi trombosit (Gambar IB).
Pada trombositosis klonal, terdapat gangguan
pengikatan trombopoetin terhadap trombosit dan
megakariosit abnormal, sehingga terdapat peningkatan
kadar trombopoetin bebas di plasma. Walaupun reseptor
trombopoetin (c-Mpl) berkurang, tetapi megakariosit
menjadi hipersensitif terhadap aksi trombopoetin, yang
akhirnya menyebabkan peningkatan megakariositopoetik
dan produksi trombosit (Gambar 1C).
Mutasi somatik tunggal protein tirosin kinase JAK2
terlihat bertanggung jawab terhadap berbagai gambaran
trombositosis klonal termasuk trombositosis esensial. Data
terakhir memperlihatkan bahwa JAK2 ini berperan
terhadap berkurangnya c-MPL.
Beberapa peristiwa patofisiologi yang terlihat pada
pasien dengan trombositosis esensial, yaitu: 1). Adanya
bukti perubahan endovaskular pada pasien dengan
eritromelalgia. Perubahan ini meliputi pembengkakan
vaskular dengan penyempitan lumen yang disebabkan
proliferasi otot polos dengan vakuolisasi, pembengkakan
sitoplasma, deposisi material interselular dan fragmentasi
lamina elastika intema, 2). Perubahan arsitektur dan fungsi
trombosit yang meliputi heterogenitas ukuran, perubahan
ultrastruktur, peningkatan jumlah protein spesifik
trombosit, peningkatan tromboksan dan ekspresi epitop
pada permukaan trombosit, 3). Perubahan genetika
berperan penting dalam regulasi ekspresi trombopoetin,
4). Terdapat hubungan terbalik antara peningkatanjumlah
trombosit dengan faktor von Willebrand multimers.

4). Peningkatan j u d a h trombosit yang menyebabkan


produksi berlebihan prostasiklin (PGI,) yang akan menekan
penglepasan granul trombosit dan agregasi.

GAMBARAN KLlNlS

Garnbar 1. Regulasi norrnallabnorrnal produksi trornbosit

Trombosis merupakan manifestasi klinis mayor


trombositosis esensial. Patogenesis terjadinya trombosis
pada trombositosis esensial bersifat multifaktorial.
Mekanisme trombositosis esensial dalam menimbulkan
trombosis masih dieksplorasi secara luas. Karena
trombosis ,tidak biasa terjadi pada trombositosis reaktif,
maka diduga jumlah trombosit saja tidak merupakan dasar
untuk terjadinya trombosis.
Perubahan arsitektur megakariositltrombosit dengan
trombosit yang abnormaIlmembesar ditemukan pada
pasien trombositosis esensial, tetapi beberapa studi gagal
membuktikan hubungan ini dalam menimbulkan trombosis.
Interaksi endotel dan trombosit serta peningkatan
platelet factor (pf 4)heta tromboglobulin menyokong
aktivasi trombosit yang berlebihan pada trombositosis
esensial, merupakan mekanisme penting untuk terjadinya
trombosis.
Walaupun lebih jarang manifestasi hemoragis juga
dapat muncul pada trombositosis esensial. Hemoragis
dapat terjadi melalui beberapa mekanisme: 1). Abnormalitas
fungsi trombosit; 2). Trombosis dengan infark yang
mengalami ulserasi; 3). Konsumsi faktor koagulasi;

Sepertiga pasien trombositosis esensial mempunyai


gambaran klinis yang silent. Lima puluh persen pasien
trombositosis esensial, minimal mengalami sekali episode
trombosis dalam waktu 9 tahun setelah diagnosis
ditegakkan.
Lesi oklusi vaskular merupakan gambaran klinis utama
pada .trombositosis esensial yang gejalanya bervariasi
mulai dari episode iskemia transient pada retina, susunan
saraf pusat, sampai dengan adanya gambaran klinik yang
lengkap, sekunder dari penurunan aliran darah dengan
manifestasi angina pektoris, infark miokard akut, strok dan
trombosis vena dalam.
Aspek klinis khusus lesi trombotik pada trombositosis
esensial adalah eritromelalgiadan trombosis mikrosirkulasi.
Eritromelalgia hampir dapat disebut sebagai penemuan
patognomonis pada pasien dengan trombositosis esensial.
Keluhan ini biasanya dimulai dengan acroparesthesis atau
sensasi gatal pada kaki yang bisanya dikuti dengan rasa
nyerilterbakar serta kemerahan dan bendungan yang
kadang dapat dicetuskan oleh exerciselpanas.
Trombosis mikrosirkulasi berupa lesi pada arteri dan
arteriol menghasilkan gejala berupa episode iskemia yang
transient dengan manifestasi berupa gangguan visus,
claudicatio intermittent dan infark pada jari. Karena oklusi
hanya terjadi pada mikrovaskular maka denyut nadi sering
masih teraba pada pada palpasi.
Adanya gangren pada jari kaki dengan pulsasi arteri
perifer yang masih baik pada pasien dengan peningkatan
jumlah trombosit merupakan petanda kuat trombositosis
esensial.
Walaupun istilah thrombohemorrhagica umum
digunakan untuk gambaran klinis trombositosis esensial,
perdarahan lebih jarang muncul dibandingkan dengan
trombosis. Perdarahan yang muncul biasanya ringan
berupa ekimosis superfisial terutama pada ekstremitas,
tetapi dapat juga berupa perdarahan spontan epistaksis,
ginggiva ataupun perdarahan ringan pada gastrointestinaygenitourinarius.
Splenomegali didapatkan pada 70% pasien
trombositosis esensial, sedangkan hipertensi didapatkan
sebanyak 30%. Trombosis vaskular plasenta dengan infark
berkaitan tingginya insiden abortus pada perempuan
dengan trombositosis esensial. Abortus spontanfberulang
dan retardasi pertumbuhan janin terjadi pada 50% pasien
perempuan dengan trombositosis esensial.
Cortelazzo S dkk pada penelitiannya terhadap 100
orang pasien dengan trombositosis esensial
memperlihatkan 76% pasien tanpa komplikasi trombosis

ataupun hernoragis, 20% dengan rnanifestasi trornbosis,


dan hanya 4% dengan rnanifestasi hernoragis.
Walaupun jarang, dalarn perjalanan penyakitnya
trombositosis esensial dapat rnengalarni transforrnasi
menjadi rnielofibrosis dan leukemia rnieloblastik akut.

DIAGNOSIS
Peningkatan jurnlah trornbosit yang rnenetap rnerupakan
gambaran diagnosis utarna trornbositosis esensial.
Walaupun dernikian penyebab lain peningkatan jurnlah
trombosit harus disingkirkan. Trornbositosis yang disertai
dengan splenornegali lebih rnengarahkan diagnosis kepada
trombositosis esensial dibandingkan dengan trombosis
reaktif.
Kriteria diagnosis:
Hitung trornbosit A50.000 ul (dikonfirmasi lebih dari I
Tidak diternukan penyebab lain peningkatan hitung
trornbosit
Tidak diternukan sindrorn mielodisplasia atau gangguan
mieloproliferatif lainnya.
Surnsurn tulang dengan:
hiperplasia rnegakariositik
fibrosis < 113 bagian
Kriteria tarnbahan:
Splenornegali
Invitro: pernbentukan koloni rnegakariositik spontan

Campbell PJ dan Green AR rnengusulkan kriteria


diagnosis untuk trornbositosis esensial sebagai berikut:
Al. Hitung trornbosit >600 x 109/1minimal dalarn waktu 2
bulan
A2. Mutasi JAK2
B1. Tidak didapatkan penyebab trornbositosis reaktif
B2. Tidak didapatkan bukti defisiensi besi
B3. Tidak didapatkan bukti polesiternia Vera
B4. Tidak didapatkan bukti leukemia rnielositik kronik
B5. Tidak didapatkan bukti rnielofibrosis
B6. Tidak didapatkan bukti sindrorn rnielodisplasia
Diagnosis trornbositosis esensial dapat ditegakkan
apabila A1 + A2 + B3 - B6 (V617F-tronzbositosis esensial
positif) atau A1 + Bl - B6 (V617F-trombositosisesensial
negatif )
Keadaan klinis yang berkaitan dengan trornbositosis
reaktif:

Akut dan transient


Menetap (menit-jam): epinefrin, berkuat
*. Menetap (jam-beberapa hari):
- Kehilangan darah akut
- Penyernbuhan infeksi akut
- Pasca (rebouizd) trornbositopenia
- Pasca irnunisasi
- Pasca kernoterapi qtoreductive
- Pasca anemia rnegaloblastik
- Pasca trornbositopenia alkoholik
Kronik
Menetap dalarn waktu yang lama: kehilangan darah
kronik dengan defisiensi besi, penyakit inflarnasi kronik,
penyakit infeksi kronik, kanker, anemia hernolitik
Menetap dan potensial untuk berlangsung seumur
hidup
Pasca splenektorni

DIAGNOSIS BANDING

Gambar 2. Gambaran Histologi Trombositosis Esensial. A.


Gambaran darah tepi yang menunjukkan peningkatan jumlah
trombosit termasuk adanya trombosit raksasa. B. Gambaran sumsum tulang yang menunjukkan peningkatan jurnlah megakariosit

Pada keadaan diternukannya peningkatan jurnlah


trombosit (>450.000/rnrn" terlebih dahulu harus
disingkirkan bahwa ha1 ini bukanlah disebabkan oleh
suatu keadaan trornbositosis reaktif. Pada trornbositosis
reaktif sering diternukan adanya penyakit dasar dan tidak
diternukan adanya keadaan trornbosis/hernoragis serta
splenornegali. Di samping itu fungsi trornbosit, garnbaran
darah tepi dan garnbaran surnsurn tulang dalarn batas
normal, Selanjutnya harus dibedakan antara
trombositosis
esensial
dengan
gangguan
rnieloproliferatif lainnya yakni polisiternia primer,
rnielofibrosis idiopatik, leukemia granulositik kronik,
leukemia easinofilik kronik dan leukemia netrofilik kronik.

TROMBOSITOSIS ESENSIAL

Trombosis
Klonal
Penyakit dasar
lskemla
D~g~tallserebmvaskular
Trombosis arteri lvena
besar
Hemoragis
Splenomegah
Gambaran darah tepi
Fungsl trombosit
Gambaran sum-sum
tulang
Jumlah
Morfologl

Trombosis
Reaktif

Tidak ada
Karakteristik

Sering
Tidak ada

Risiko t~nggi

Tidak ada

Risiko Tinggi
Ya, sekltar 40 %
Trombosit raksasa
Mungkln abnormal

Tldak ada
Tidak ada
Trombosit normal
Normal

Meningkat
Giant, dysplastic
forms with
increased ploydy
associated with
larges masses of
platelet debris

Meningkat
Normal

Trombositosis
Esensial

Pollsltemla
Vera

Mlelofibrosls
ldlopatlk

Normal IL

777

.1

12 - 25

Bervariasi,

600 - 2500

450 - 800

450 - 1000

Eritrosit berinti

Jarang

Jarang

Umum

Alkali
fosfatase
leukosit

Normal

Biasanya 7

Normal - 7 7

Sum-sum
tulang

Hiperselular
Megakariosit 7TT

Hiperselular
Cadangan Fe T

Fibrosis, dry tap

Fibroblast

(-1 -7T

(-) - 7

77- 777

40% - 50%

80%

80%- 99%

Transformasi
blastik (%)

5%

10 - 15%

5%- 20%

Pemeriksaan
khusus

Tes fungsi
platelet
abnormal

Masa eritrosit 7
Etitropoetin L

Marrow imaging

tlemog!obin
Leukosit
(xloBn)
Trombosit
(~10~11)

Splenomegali

("1

Be~ariaSi

PENATALAKSANAAN
Hidroksiucea ~nerupakanterapi pilihan pertama pada
trombositosis esensial dengan risiko tinggi. Hal ini
disebabkan oleh efektifitas serta jarangnya timbul efek
samping. Hidroksiurea tidak hanya efektif dalam
nlengurangijurnlah trombosit tetapi juga dalam mengurangi
risiko timbulnya trombosis. Dosis yang digunakan adalah
15 mglkgbb. Efek samping yang dapat timbul adalah
anemia, netropenia, lebih jarang lagi dapat timbul ulkus
pada kakilmulut dan lesi pada kulit. Efek leukemogeniknya
masih dalam perdebatan.
Anagrelid suatu derivat quinazolin dapat menghambat
proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Anagrelid telah

terbukti dapat dijadikan sebagai terapi alternatif pada


trombositosis esensial. Dosis dimulai dengan 2 mglhari
(terbagi dalam 2-4 dosis) dan dapat ditingkatkan 0,5 mgl
hari setiap 7 hari sampai tercapai target jumlah trombosit
dengan dosis maksimal 10 mgthari. 30% pasien tidak dapat
mentoleransi anagrelid karena efek vasodilator dan
inotropik positifnya. Efek samping meliputi retensi cairan,
palpitasi dan aritmia. Storen EC dan Tefferi Amelaporkan
pemakaian jangka panjang anagrelid berkaitan dengan
penurunan efek samping yang timbul pada awal terapi.
Normalisasi jumlah trombosit dibutuhkan untuk
meminimalkan efek trombohemoragis selama terapi.
Pemakaian interferon alfa dibatasi oleh beratnya efek
samping yang ditimbulkannya. 20% pasien tidak dapat
mentoleransi efek samping ini. Pada perempuan
trombositosis esensial denagn risiko tinggi yang
berkeinginanlsedang hamil maka interferon alfa lnenjadi
pilihan pertama. Hal ini disebabkan oleh efek teratogenik
hidroksiurea dan diketahuinya anagrelid dapat melewati
plasenta sehingga keamanannya menjadi tidak terjamin.
Trombosit dapat dikurangi hingga <600000/mms pada 90%
pasien dengan dosis rerata 3000.000 iu setiap hari.
Dalam pemilihan terapi cytoreductive, Spivak dkk
merekomendasikan anagrelide dan interferon alfa pada
pasien muda dan hidroksiurea pada pasien yang lebih tua.
Aspirin sangat efektif sebagai terapi udjungtive, pasien
trombositosis asensial dengan trombosis rekuren. Belum
banyak ditemukan kepustakaan yang membahas
antitrombosit lainnya seperti tiklopidin dan klopidogrel.
Campbell PJ dan Green AR merekomendasikan
penatalaksanaan pasien dengan trombositosis esesnsial
sebagai berikut: 1). Semua pasien. Pengelolaan terhadap
faktor risiko kardiovaskular lainnya seperti merokok,
hipertensi, hiperkolesterolemia dan obesitas; 2). Pasien
dengan risiko tinggi yakni pasien dengan riwayat
trombosis atau berusia >60 tahun atau hitung trombosit
>I500 X 1Wll. Aspirin dosis rendah ditambah hydroxy urea
(anagrelide atau interferon alfa sebagai pilihan kedua);
3). Pasien dengan risiko menengah yakni pasien dengan
usia 40-60 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko
tinggi. Aspirin dosis rendah dan pertimbangkan terapi
cytoreductive jika didapatkan faktor risiko kardiovaskular;
4). Pasien dengan risiko rendah yakni pasien dengan usia
< 40 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi.
Aspirin dosis rendah.

Anagrelide Study Group. Anagrelide, a theraphy for thrombocythemic


states: experience i n 577 Patients. A m J Med. 1992;92:69-76.
Barbui T, Finazzy G. When and how to treat essential thrombocythemia. N Engl J Med. 2005;353:85-6.
Campbell PJ, Green AR. Management o f polycythemia Vera and
essential thrombocytheniia. Hematology. 2005:201-9.

Caldwell BS. Chronic myeloproliferative disorders. Harmening DM


Clinical hematology and fundamentals of hernostasis. 4Ih
edition. In: Fratantoro C, Waltner P, Brandt J, editors.
Philadelphia: F.A. Davis Company; 2002. p. 331-57.
Cortelazzo S, Finazzi G Ruggeri M, et al. Hydroxyurea for patients
with essential thrornbocythemia and high risk of thrombosis. N
Engl J Med. 1995;332:1132-6.
Frenkel EP, Mammen EF. Sticky platelet syndromeand
thrombocythemia. Hernatol Oncol Clin N Am. 2003;17:63 83.
Harrison CN. Platelets and thrombosis in myeloproliverative
diseases. Hematology. 2005:409-15.
Kausansky KO. The molecular origins of the chronic myeloproliferative disorders: it all makes sense. Blood. 2005;105:418790.

Messinezy M. Pearson TC. ABC of clinical haernatology:


polycythernia, primary (essential) thrornbocythemia and
myelofibrosis. BMJ. 1997;314:587.
Schafer AI. Thrornbocytosis. N Engl J Med. 2004;350:1211- 9.
Spivak JL, Barosi G Tognoni G et al. Chronic myeloproliferative
disorders. Hematology. 2005:200-24.
Storen EC. Teffery A. Long-term use of anagrelide in young
patients with essential thrombocythernia. Blood. 2001;97:8636.
Tomer A. Effects of anagrelide on in vivo rnegakaryocyte
proliferation and maturation in essential thrombocythernia.
Blood. 2002;99: 1602-9.

MIELOFIBROSIS
Suradi Maryono

PENDAHULUAN
Mielofibrosis merupakan suatu kelainan yang
dihubungkan dengan adanya tirnbunan substansi kolagen
berlebihan dalam sumsum tulang. Kelainan ini secara
definitif rnerupakan kelainan sel stem hematopoiesisklonal,
dihubungkandengan chronic myeloproliferative
disorders ( C M P D ) , dimana adanya hematopoeisis
ekstramedular merupakan gambaran rnenyolok.
Penyakit ini termasuk jarang didapatkan dalam praktek
sehari-hari, pertama kali dilaporkan oleh Heuck G., pada
tahun 1879 (Sit. Clark dan William 2005), dengan narna lebih
30 macam, termasuk: Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, rnielofibrosis
idiopatik dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis
dengan Metaplasia Mieloid (MMMJ. MMM perlu
dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana
mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder. (
Tabel 1)
Terdapat kelainan bersifat familial yang jarang terdapat,
misalnya primer hyperthrophic osteoarthropathy,
mielofibrosis yang terjadi primer akibat gangguan
pertumbuhan fibroblas sumsum tulang.

ETlOLOGl DAN PATOGENESIS


Penyebab MMM belum diketahui dengan jelas. Tidak
diketemukan adanya faktor pencetus, secara
epidemiologi ada beberapa substansi diperkirakan
sebagai penyebab, misalnya: Toluen, benzen, radiasi
ionisasi. Insidensi tertinggi MMM pada pasien akibat
pemberian material kontras radiografi dengan bahan
dasar torium yaitu, Torotras. Korban akibat bom atom
Hiroshima juga mempunyai risiko MMM 18 kali lebih
besar daripada populasi lainnya, simtom pertama rnuncul

Kondisi Neoplastik.
~angguanmielo~roliferatif
kronik
Metaplasia mieloid agnogenik
Polisitemia rubra Vera
Leukemi mieloid kronik
Kondisi neoplastik lainnya.
Leukemia megakarioblastikakut (Mi')
Fibrosis dengan mielodisplasia
Agnogenik transisional
Mielodisplatik metaplasia mieloid
Sindrom mieloproliferatif
Mieoloid akut lain
Leukemia
Leukemia limfoid akut
Leukemia Hairy cell
Mieloma
Karsinoma
Mastositosis sistemik
Kondisi Non Neoplastik.
Penyakit granulomatosa
Penyakit paget
Hipoparatiroidisme
Hiperparatiroidisme
Osteoporosis
Osteodistrofi ginjal
Defisiensi Vitamin D
Gray pletelet syndrome
Lupus eritematosus sistemik
Sklerosis sistemik
Diadaptasi dari Clark dan William (Wintrobe's clinical
hematology, 2005).

6 tahun setelah eksposur.Tefferi (2003) menemukan insidens


MMM di Amerika utara 0,3- 1,5 kasus per 100.000populasi.

HEMATOPOIESISKLONAL
Pada tahun 1951, Dameshak mengelompokkan MMM
dengan CML (chronic myeloid leukemia), PV

(Policythemia vera) dan ET (Essential thromhocythemia)


seperti halnya CMPD, karena klinis dan morfologi hampir
sama. Semua memperlihatkan adanya: hiperplasia sumsum
tulang, hematopoiesis yang tidak tergantung rangsangan
fisiologis, suatu fase adanya kenaikan konsentrasi sel
darah dalam sirkulasi, tendensi fibrosis sulnsum tulang
dan suatu tendensi terhadap terlninasi leukemia akut.
Semua gambaran CMPD yang muncul, adalah suatu lnutasi
somatik sel stem hematopiesis pluripoten.
Beberapa observasi memperjelas adanya hematopoiesis klonal neoplastik pada MMM. Separuh pasien yang
terdiagnosis, memperlihatkan abnormalitas sitogenetik
klonal. Petanda lain klonalitas yang diobservasi adalah:
neutrofil sirkulasi, eritrosit, platelet, limfosit dan beberapa
prekusornya dalam sumsum tulang, meliputi distribusi
isoenzim glukose-6-fosfat dehidrogenase, pola inaktivasi
kromosom x pada perempuan, defek sel ~nembrandan
mutasi gen N-ras. Konsentrasi sel progenitor dala~nsirkulasi
pada MMM, 10-20 kali normal dan CD34+ sel progenitor
dalam sirkulasi meningkat 400 kali di atas level normal. Sel
progenitor dari MMM hipersensitif terhadap sitokin dan
dapat terjadi proliferasi secara in vitro tanpa rangsangan
sitokin. Sifat-sifat di atas konsisten dengan semua
gambaran pada CMPD. Progenitor megakariosit pada
pasien MMM mungkin juga mengalami deferensiasi yang
tidak tergantung trombopoietin (TPO), sebagai rangsangan
fisiologis.

PERUBAHANTINGKAT MOLEKULAR
Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor pencetus
yang menghasilkan hemopatia klonal pada MMM.
Abnormalitas sitogenetik ternyata tidak konsisten seperti
halnya perubahan gene bcr/abl pada CML, yang
dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada
patogenesisnya. Perubahan tingkat molekular terjadinya
MMM belum jelas, sampai sekarang masih dalam
penelitian.
Perbedaan ekspresi panel gen kandidat telah diteliti
antara sel progenitor cytokine-independent dari pasien
MMM dengan progenitor cytokine-dependent
(diperkirakan normal). Immunophilin FKBP5 1 berekspresi
berlebihan pada semua pasien yang diteliti dan fungsi ini
terutama pada cytokine- independence. Faktor transkripsi
GATA- 1 aktif pada diferensiasi rnegakariosit normal. Pada
penelitian tikus terdapat kegagalan ekspresi GATA-1
menghasilkan sindrom yang menyerupai MMM. Sehingga
peru-bahan langsung pada GATA-1 penting untuk
terjadinya MMM. Beberapa gen yang berhubungan
dengan pertumbuhan lain telah diteliti, misalnya: Gen
retino-blastoma yang mungkin mengalami delesi atau
perubahan ekspresi dan gen kalsitonin yang mengalami
metilasi. Perkembangan MMM mungkin berhubungan
dengan abnormalitas gen p53 atau gen ras.

FIBROSIS SLIMSUM TULANG DAN HEMATOPOlESlS EKSTRAMEDULARE


Mielofibrosis pada MMM merupakan reaksi sekunder
terhadap helnopatia klonal. Sel fibroblas mensekresi
kolagen yang akan diakumulasi. sel ini normal dan bersifat
poliklonal. Mereka distimulasi oleh sitokin yang
dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari klonal
sel hemopoietik yang dikembangkan lainnya. Perusakan
dan sintesis kolagen terjadi sehingga adanya konsentrasi
prokolagen (hasil pemecahan kolagen) merupakan
petanda sintesis kolagen baru yang dihubungkan dengan
aktivitas penyakit tersebut. Kolagen ditimbun dalam
ruang ekstraselular dan elemen vaskular dalam sumsum
tulang. Empat dari linia tipe kolagen terdapat disini.
Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen fibrosis utama
pada MMM, dan tinlbunan kolagen nieningkat setara
dengan lamanya penyakit. Pada tahap awal MMM
persentase kolagen tertinggi adalah tipe 3, sedangkan
pada tahap akhir kolagen tipe 1 (kolagen polimerik)
tertinggi. Pada MMM sebagian kecil terdapat ~nolekul
matrik yang lebih banyak mengandung heksosamin
daripada normal. Vaskularisasi juga meningkat, luasnya
neovaskularisasi ini berhubungan dengan luasnya
penyakit dan mungkin ha1 ini penting terhadap timbulnya
fibrosis. Transforming growth factor (TGF)-P sebagai
mediator utama terhadap akumulasi kolagen pada MMM.
Sitokin ini disintesa oleh megakariosit dan sel endotel
seperti halnya pada sistem monosit-makrofag. TGF-P
lebih poten dalam mensekresi kolagen daripada growth
factor derivat platelet atau epidermal growth factor dan
mungkin meregulasi kedua sitokin tersebut. TGF-P juga
stimulus yang poten terhadap angiogenesis.
Peningkatan angiogenesis ini sesuai penelitian
Lundberg et al (2000), dengan membandingkan
penyakit mieloproliferatif (PV, CMLdan mielofibrosis/
MF) dengan pemeriksaan biorsi sumsum tulang normal, disini terjadi peningkatan vaskularisasi secara
bermakna pada CML dan MF, sedikit peningkatan pada
PV dibandingkan dengan normal ( G a m b a r l c ) .
Peningkatan vaskularisasi ini akibat adanya neoangiogenesis karena rangsangan faktor angiogenetik yang
dipicu adanya sel ganas. Faktor angiogenetik tersebut
adalah: basic Fibroblast growth factor (bFGF) dan
vascular endothial cell growth factor (VEGF), yang
akan memicu sel endotel untuk migrasi, proliferasi dan
membentuk jaringan pembuluh darah pada tempat
tersebut.
Kenaikan kadar TGF-P dapat dideteksi dengan naiknya
sirkulasi platelet dan megakariosit yang merupakan
fragmen MMM. Beberapa growth factor lain diperkirakan
juga merangsang fibroblas pada MMM, antara lain:
Platelet derived growth factor yang terdapat pada
megakariosit MMM, epidermal growth factor, endothelial cell growth factor, interleukin- 1, basic fibroblast

growth factor dan kalmodulin. Beberapa mekanisme


bebasnya kenaikan kadar sitokin ke dalam lingkungan
sumsumtulang antara lain: Sekresi sederhana dari granulaclmegakariosit,megakariosit displastik yang msak dalam
sumsum Mang dan ~ s a k n y megakariosit
a
sitoplasrna oleh
leukosit PMN.
Tikus percobaan yang diberi TPO konsentrasi tinggi,
akan terjadi sindrom yang menyerupai MMM. Tikus yang
diinjeksi secara cepat dengan polietilen-glikolconjugated TPO untuk mempercepat hiperplasia
megakariosit, trombositosis, fibrosis sumsum tulang dan
hematopoiesis ekstramedulare.Walaupun begitu peranan
TPO pada MMM belum jelas, walaupun kadar TPO pada
MMM meningkat tetapi tidak berkorelasi dengan masa
megakariosit. Kenaikan kadar TPO ini diperkirakankarena
mekanisme klirens yang berubah. Lebih lanjut ternyata
TPO menghambat proliferasi sel stem hemopoietik pada
MMM.
Distribusi hematopoiesis ekstrarnedular pada MMM
fetus melibatkan l e e r dan limpa. Model mielofibrosis
dengan merusak pembuluh darah, pada pemeriksaan
ultrastruktur memperlihatkan hematopoiesis yang
meningkat diluar sumsum yang memadat, dan mulai
melepaskan prekusor hematopoiesis. Ruangan
ekstramedular ditumbuhi pindahan sel hematopoiesis.
Lepasnya prekursor sumsum serupa dengankerusakan
sinusoid hasil hematopoiesis ekstramedular pada
metastasis kanker dan mungkin merupakan mekanisme
uIllum

GAMBARAN KLlNlS UNTUK DIAGNOSIS


MMM menyerang golongan umur menengah dan tua,
rerata umur 60 tahun, pria dan perempuan mempunyai
kemungkinan sama. MMM kurang sering mengenai umur
muda dan jarang pada anak. Anak lelaki 2 kali daripada
perempuan. Pada beberapa kasus dilaporkan adanya faktor
familial.

GWALA
Pada 25% kasus MMM berpenampilan asimptomatis,
diagnosis disugesti dengan adanya pemeriksaan darah
yang abnormal atau secara insidensil terdapat
splenomegali.(Tabel 2)
Gejala klinis pada umumnya: kelelahan otot dan
penurunan berat badan (7-39%),sindrom hipermetabolik
(demam, keringat malam terdapat 5-20% pasien),
perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut,
Gout dan kolik renal terdapat 4-6%, tophi jarang
didapatkan, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri
substernal kadang diketemukan.

Sangatsedng ditemukan (>50% kasus)


Splenomegali
Hepato megali

Fatique
Anemia
Le ukositasis
Trombositosis
Senng ditemukan (10-50% kasus)
Asimtomatik
Penuru nan berat badan
Keringat malam
Perdar ahan
Nyeri spleni k
Le ukositopenia
Trombositopenia
Kurang sering ditemukan ( 4 0 % kasus)
Edema perifer
Hipertensi portal
Lim fadenopati
Kuning
Gout
-

- -

'Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)

TANDA
Splenomegali yang cukup besar mempakan penemuan fisik
yang utama (Tabel 2). Hepatomegali diketemukan separuh
pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti
komplikasi: asites, varises esofagus, perdarahan
gastrointestinal dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan
petekie, ekhimosis dan limpadenopati. Beberapa pasien
mernperlihatkan adanya dermatosis neutrofilik serupa pada
sweet-syndrome dan mengalami hematopoiesis
ekstramedular dermal, osteosklerosisyang sebagian diikuti
periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila
permukaan serosa terlibat dalam hematopoiesis mungkin
akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites. Kadang
diikuti komplikasi neuroplogis berupa: tekanan intralcranial
meninggi, delirium, koma, perdarahan subdural, kemsakan
motorik, sensorik dan paralasis.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit
bentuk tear drop yang dihubungkan adanya eritrosit
berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan platelet besar abnormal (Gambar la,lb). Retikulosit
meningkat; eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target juga sering diketemukan.Abnormalitas morfologi ini
diakibatkan adanya perubahan hematopoiesis, bebasnya
sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoiesis
ekstramedular. Bagaimana perubahan ini terjadi masih
belum jelas.

Anemia dengan Hb kurang 10 grldl, ditemukan 60%


kasus, yang dapat terjadi akibat hemodilusi akibat volume
plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum
tulang dan hemolisis.
Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: anisopoikilositosis, oval dari eritrosit, reaksi leukomoid
(samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu
promielosit dan satu normoblas). (Sumber: Atlas
hematologi, Heckner & Freud, 1999)
Hasil, A: Terdapat mikrovaskular lurus, sedikit
bercabang dan jarang berkelok. B: Mikrovaskular lurus,
sedikit bercabang, tidak berkelok. C: Terdapat
mikrovaskular pendek, banyak bercabang dan berkelok.
D: Terdapat mikrovaskular banyak bercabang dan sedikit
berkelok. (Sumber: Lunberg et al., 2000)
Sedangkan penyebab hemolisis diperkirakan:
hipersplenisme, autoantibodi eritrosit, hemoglobin H
yang didapat dan adanya sensitivitas membran
komplemen yang serupa PNH (Paroxysmal noctrunal
hemoglobinuria).
Morfologi anemia tidak khas pada umumnya
normositik normokromik, makrositik bila defisiensi
asam folat dan mikrositik hipokromik bila defisiensi Fe
atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah'leukosit
meningkat pada 50% kasus, diikuti eosinofilia dan
basofilia, sedangkan jumlah limfosit normal. Beberapa
mieloblas ditemukan dalam sirkulasi perifer dan
mungkin tidak dipikirkan adanya konversi ke arah
leukemia akut, tetapi konsentrasi mieloblas >1%
memberikan prognosis jelek. Juga ditemukan neutrofil
hipersegmen, kenaikan enzim neutrofil, trombosit
meningkat pada awal MMM, pada progresifitas
penyakit dapat terjadi trombositopenia.
Platelet biasanya berukuran besar, dalam sirkulasi
ditemukan megakariosit yang utuh ataupun mengalami
fragmentasi. Fungsi platelet sering tidak normal,
gangguan waktu perdarahan dan retraksi jendalan dan
penurunan: kadar platelet factor 3, platelet adhesiveness
dan aktivitas lipogenesis. Perubahan pada faktor
pembekuan yang terlarut dapat terjadi pada penyakit
tersebut. Koagulasi intravaskular diseminatal
Disseminated Zntravascular Coagulation (KIDIDIC)
subklinik dapat ditemui pada 15% pasien MMM bentuk
lanjut dan defisiensi faktor V yang didapat dapat terjadi
pada pasien tersebut di atas. Kadar asam urat dan enzim
laktat dehidrogenase hampir selalu meningkat,
menggambarkan adanya massa yang berlebihan dari sel
hematopoietik atau adanya hematopoiesis yang tidak
efektif atau keduanya. Juga dapat terjadi kenaikan kadar
enzim alkalinefosfastase serum yang merupakan
keterlibatan tulang, terjadi penurunan kadar albumin,
kolesterol dan lipoprotein. Dapat terjadi kenaikan kadar
vitamin B12 pada pasien dengan leukositosis, yang
merupakan refleksi dengan peningkatan masa
neutrofil.

Gambar l a . Teardrop poikilocytes dan sel darah merah berinti


dari darah pasien mielofibrosis (pembesaran 400x) (Sumber: Clark
dan william, Wintrob's 2005).

;?&;?Fif ;""
u., I

.::, . -.

.'k>. ,

-.,,,

Gambar l b . Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis:


aniso-poikilositosis,oval dari eritrosit, reaksi leukemoid (samping
granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu
normoblast). (Sumber:Atlas hematologi, Heckner 8 Freud,1999)

Gambar I c . Pemeriksaan mikroskopis laser confokal hasil biopsi


sumsum tulang normal (A), PV. (B), MF.(C) dan CML (D)

SUMSUM TULANG
Aspirasi pada sumsum tulang mungkin tidak berhasil
(dvtap) dan memerlukan biopsi sumsum tulang untuk
menegakkan diagnosis MMM. Suatu konsensus telah
dibuat oleh Italian Society of Hematology.
Data morfologi dan klinis digabungkan untuk
mendiagnosis banding MMM dari penyakit CMPD
lainnya, dan dari sindroma mielodisplasia dengan fibrosis
sumsum tulang. Kriteria tersebut adalah: fibrosis sumsum
tulang dan kelainan morfologi hiperplasia sumsum tulang
dan hematopoiesis ekstramedular. Ketiga elemen tersebut
di atas harus terdapat untuk diagnosis MMM. (Tabel 3)
Gambar 2a. Reticulin stain dari spesimen biopsi sumsum tulang
menampilkan peningkatan kolagen (diperbesar 400x)
(Sumber:Clark dan William, Wintrob's 2005)
Kriteria Mayor
Fibrosis sumsum tulang difus
Hilangnya t9:22 kromosom atau bcr/abl rearrangement pada
sel darah perifer
Splenomegali.
Kriteria Minor
Anisopoikilositosis dengan tear dropred cells
Sel darah merah berinti dalam sirkulasi
Clustred marrow megakaryoblastdan anomalous
megakariocytes
Metaplasia mieloid
'Catatan : Ketiga kriteria mayor ditambah dua'kriteria minor
manapun atau dua kriteria mayor pertama ditambah empat
kriteria minor manapun harus didapatkan, untuk diagnosis

MMM.
*Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)

Fibrosis hams terjadi pada semua kasus MMM, dan


biasanya pada pasien lanjut.
Pada stadium awal fibrosis minimal dan hiperplasia
sumsum tulang mungkin lebih jelas. Keadaan tersebut
disebut fase selular MMM. Bilamana fibrosis sumsum
tulang tidak terbukti pasien yang dicurigai MMM, perlu
diambil material dari tempat lain, karena penyebaran tidak
merata.
Fibrosis mungkin perlu digradiasi menurut sistem yang
telah dipublikasi dan bukt~adanya osteosklerosis (Gambar
2a, 2b).
Bila fibrosis masif, selularitas keseluruhan akan turun,
tetapi adanya hiperplasia megakariosit tetap ada. Sinusoid sumsum tulang akan meluas, disini akan terjadi
hematopoiesis intravaskular (Gambar 3).
Kenaikan jumlah sel mast dapat diobservasi pada
pasien menjadi fibrosis pada saat biopsi. Pada sediaan
apus sumsum, sepintas tidak terlihat kelainan, tetapi sering
didapatkan hiperplasia neutrofilik dan megakariosit.
Adanya mikromegakariosit dan makromegakariosit dapat
ditemukan, sehingga menimbulkan nuclear-cytoplasmic
asynchrony.

Gambar 2b. Ada fungsi sumsum tulang: Fibrosis sumsum tulang


total, kegagalan hematopiesis. (Sumber: Heckner 8 Freud, Atlas
hematologi,7999).

Granulosit dapat hip0 atau hiperlobulated sehingga


memperlihatkan anomali Pelger-Huet didapat atau adanya
nuclear-cytoplasmic asynchrony. Prekusor eritroid
normal atau meningkat, yang dapat diperiksa dengan
scanning isotop sumsum tulang dengan koloid sulfur
untuk sel retikuloendotelial dan dengan koloid besi untuk
sel eritroid yang menunjukkan adanya ekspansi sumsum
tulang sampai pada tulang panjang normal inaktif.

ABNORMALITAS KROMOSOM
Separuh pasien MMM terdapat abnormalitas klonal
kariotipe. Hanya sedikit pasien memperlihatkan
abnormalitas pada metafase, yang membuktikan pada
pasien MMM. menyisakan sel hematopoiesis

PEMERIKSAAN PATOLOGI

Gambar 3. Potongan biopsi surnsurn tulang dari 2 pasien


metaplasia mieloid agnogenik menampilkan fase proliferatif
sumsum tulang dengan hiperplasia yang melibatkan semua
fibrosis cell lines dan relatif sedikit (Pembesaran 200x)
(A) Fibrosis intens dengan pembentukan tulang baru, dilated
sinusoids, dan residualmegakaryocytes (hematoksilindan eosin,
pembesaran 100x) (0) (Sumber: Clark dan William, Wintrob's
2005).

normal. Sering ditemukan delesi pada segmen kromosom


yang dihubungkan dengan gene retinoblastoma, del
13(q13q21)dan del20q. Kromosom yang sering terganggu
adalah: 1,5,7,8,9,13,20 dan 21. Bentuk trisomi dan
monosomi, delesi partial dan translokasi juga sering
ditemukan. Fibroblas tidak berperan terhadap abnormalitas
kromosom pada MMM.

KERUSAKANSISTEM IMUN
Secara klinis abnormalitas sistem imun sering terjadi pada
MMM, hal ini kontras dengan CMPD lainnya. Sel lirnfosit
T dan B langsung terpengaruh oleh defek sel stem pada
MMM dan defek fungsional sel B dan T mungkin dapat
diperlihatkan. Variasi abnormalitas sistem imun humoral
telah ditemukan. Menurumya kadar C3 dapat terjadi dan
menyebahkan naiknya kemungkinan infeksi bakterial.
Autoantibodi patologis dapat ditemukan antara lain:
autoantobodi antieritrosit, antibodi antiplatelet, antibodi
antinuklir, antiimunoglobulin dan antibodi antifosfolilpid.
Pada MMM sumsum tulang difiltrasi limfoid. Gamopati
monoklonal dapat timbul 10% pasien MMM, pada
beberapa kasus kejadian simultan MMM dan diskrasia sel
plasma pemah dilaporkan.

Gambaran khas pada MMM adalah adanya fibrosis


sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare.
Fibrosis sumsum tulang diikuti adanya osteosklerosis 3070% kasus, terutama mengenai kerangka aksial dan bagian
proksimal tulang panjang. Korteks tulang mengalami
penebalan dan pola normal trabekula menghilang.
Hematopiesis terutama terjadi di lien dengan adanya
splenomegali, liver dan beberapa organ lain juga dapat
terlibat, misalnya: limfonodi, ginjal, adrenal, periosteum,
usus, pleura, paru, jaringan lemak, kulit, marnmae, dura,
ovarium dan thimus. Gugusan hematopoiesis mungkin
mengandung beberapa campuran turunan prekusor rnieloid
dan kemungkinan terlihat sebagai infiltrat mikroskopis atau
tumor makroskopis. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi
ekstramedular daripada dalam sumsum tulang dan
hematopoiesis ekstramedular, ada tendensi adanya indeks
mitosis rendah, sel imatur dan megaloblastik yang tinggi
daripada hematopiesis medular. Kerusakan organ target
dapat terjadi akibat tekanan fisis sekitar jaringan normal,
tetapi architektur normal tetap dapat dipertahankan.
PERKEMBANGAN ALAMl DAN KEMAMPUAN
HlDUP
Pada MMM rata-rata dapat bertahan hidup 3-7 tahun dan
kurang 20 % dapat hidup lebih 10 tahun. Prognosis ini
diperkirakan diperkirakan sesuai dengan waktu
pertengahan timbulnya krisis blastik pada CML dan
kemungkinan lebih jelek dari kemampuan hidup pada ET
dan PV. Pasien dengan bukti penyakit lebih banyak
memberikan survival lebih pendek. Prognosis lebih baik
bila: Tidak terdapat simptom konstitusi, Hb 210 grldl,
platelet 2 100 x 109/Ldan tidak ada hkpatomegali. Pasien
lebih muda mempunyai kemampuan survival lebih baik,
seperti halnya rendahnya konsentrasi mieloblas dalam
sirkulasi. Adanya abnomalitas sitogenetik termasuk single
clone dengan translokasi kromosom I, 5q-, bisomy 8,13qatau 20q-, mungkin dengan prognosis lebih baik, tetapi
secara keseluruhan pasien dengan kromosom abnormal
mempunyai prognosis lebih jelek daripada kariotipe normal. Demikian juga pasien dengan peningkatan volume
plasma atau peningkatan kadar reseptor IL-2 terlarut
mempunyai survival lebih jelek.
Reilly, Snowden dan Spearing et a1 (1997) membuat
beberapa skor prognosis meliputi: usia, kadar Hb,simptom
konstitusi dan kariotipe. Pasien dikelompokan berdasar
grup risiko dengan kemungkinan hidup terpendek 16 bulan
dan terpanjang 180 bulan. Dengan berjalannya waktu
simptom dan sitopenia menjadi memberat walaupun secara
spontan terjadi perbaikan. Beberapa masalah yang timbul
misalnya: penurunan berat badan, edema ekstremitas,
bawah, infeksi terutama pnemonia. Hampir semua pasien

tejjadi
semakin
~ ei.r'!5.!!z.:'
m b , e r asehingga
t~
.
;sp],enomegali..yang
. , .... ,+,;!,!
r , . .....
:!:

-\:.-.I,;

t i q b y \ w s a k.i t. _danan-nyeri
_ . _ . _ ~ I,_.,
I _tulang..
_
,,, g ; j ,.--i:,,
.; ; * ; i
. ;:;19fb,a;gsianpasien terjadi lGpertens1 portal' dengan
vaiises esofagus, akiba't
. . . . . dari:
. .
,~.eriaikan
..:.. .. aliran
_:.
darah
.
splenoportal, trombosis vena hepitika, trombosisvena
portal, hernokromatosis pasca transfusi dan hematopoiesis intrasinusoidal.
Perdarahan dapat akibat: trombositopenia, defek
platelet, Disseminated intravascular coagulation (DIC)
atau defisiensi faktor pernbekuan.
Kematian pasien MMM, bervariasi antara lain: infeksi,
perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents,
gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi ke arah
leukemia dilaporkan 5-20% kasus. Perubahan ke arah
leukemia tidak jelas, beberapa kasus tanpa eksposur terapi
sitostatika,kejadian kearah leukemia limfositik akut serupa
dengan leukemia mieloid akut.
.Ci.,ll

.I!!:!!

&.

.,

_
i
l

PENATALAKSANAAN

MMM mungkin &pat disernbuhkan dengan hematopoietic


sfets; ce11.~Transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya

berhasil untuk pasien mu& dm merupakan risiko kematian


yang bermakna. Tidak ada bentuk terapi lain untuk
memperpanjang survival atau rnencegah progresi
rnielofibmsis.
Terapi suportif diarahkan langsung terhadap
komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien asimptornatis
dan rnernerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk
mempertahankan urat darah tetap normal, untuk
menghambat: nefropatia urat, renal kalkuli dan gout.
Anemia dan trombositopenia dapat timbul, dan akan
berkembang terus sampai timbul gejala. Bila beberapa
terapi gagal memperbaiki hernatopoiesis, transfusi
diperlukan untuk mempertahankan hitung darah.
Suplemen asam folat diperlukan karena seringnyakejadian
hemolisis.

ALLOGENEIC HEMATOPOIETIC STEM CELL


Transplantation (AHSCT)
Hampir semua pasien CMPD rnungkin dapat disembuhkan
dengan HSCT. Terbatasnya pendekatan ini karena faktor
umur dan kondisi pasien, dengan rnenggunakan donor
yang cocok serasi dan morbiditas serta mortalitas yang
dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis sumsum
tulang dan splenornegali rupanya bukan hambatan untuk
HSCT.
Dilaporkan oleh Guardiole et a1 (1999) dm Jurado et al.
(200 1) &.Clark dan William (2005) kelornpok lnternationul
cooperative trial dengan 55 pasien, hampir semua umur
muda, umur rerata 42 tahun, dengan HLA-identical

. : Pada seri, Seatle


. . . .8 .dari
. , , 19
. pasien.
,
donor
related: &nor.
matcled
tetapi;
unrelated,
2
dari
19,dqnor
adalah
.
:,
. .
,,
one-antigen mismatches. kurvival ke'selunihan dalam 5
tahun sebanyak 50%. Adanya kariotipe abnormal, anemia
uhur tua diikuti outcome yang jelek. MMM
dengan umur > 45 tahun kemampuan hidup 5 tahun
sebanyak 14%. Sernakin menjadi jelas, bahwa pada pasien
lebih muda dengan 2 faktor risiko, dengan prediksi survival rendah, tanpa pengobatan kuratif, dipertimbangkan
dilakukan HSCT secepatnya setelah diagnosis tegak.
Untuk pasien lebih tua dengan HSCT mungkin
memberikan outcome yang rendah dan faktor risiko jelek
tidak ditemukan, maka sebaiknya ditunda dahulu sampai
faktor risiko muncul, walaupun data tentang ha1 ini belum
banyak dilaporkan.
.I

' '.I..

,<,,$,,,

t ,

Terapi Androgen dan Kortikosteroid


Horrnon androgen dapat diberikan pada anemia akibat
MMM. Dengan respon rate 29-57%. Perbaikan spontan
mungkin dapat terjadi pada MMM, sehingga resyon
terhadap terapi perlu dianalisa secara cermat. Perempuan
dengan splenornegali minimal dan pasien dengan kariotipe
normal rnernberikan prognosis lebih baik. Sebelum terapi
dengan androgen, pria perlu diskrining kelenjar prostat
baik secara fisis rnaupun dengan antigen spesifik untuk
prostat, pada perempuan perlu diperhatikan adanya efek
virilisasi. Selarna terapi dengan androgen perlu dimonitor
faal hati.
Beberapa skedul dosis telah mernberikan hasil cukup
baik, diantaranya androgen sintetik oral: fluoksimesteron,
dosis: 2-3 kali 10 mg sehari.Bila tidak ada perbaikan setelah,
3-6 bulan terapi, androgen hams dihentikan. Beberapa
pasien yang tidak berespon terhadap androgen,
kernungkinan rnernberikan respon preparat lain, karena
daya hidup eritrosit memendek pada MMM, kemungkina~,
kortikosteroid adrenal memperbaiki daya hidup eritrosit
dan memperbaiki anemianya. Prednison oral, dengan
dosis: lmgkg. berat badan sehari, rnemberikan respon pada
25-50% pasien. Respon paling baik dilaporkan terdapat
pada pasien perernpuan. Pasien dengan hernolisis perlu
diberikan suplemen asam folat. Androgen dan
kortikosteroid kadang dapat dikornbinasikan. Dosis
dimulai dengan prednison 30 mg/ hari, dengan kombinasi
fluoksimesteron 10mg dua kali sehari, bila terdapat respons
setelah satu bulan terapi, dosis prednison diturunkan
secara tapering off, sedangkan fluoksimesteronj
dilanjutkan.
Kemoterapi
Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan"
tidak rnemberikan perubahan secara umum pada MMM,
tetapi rnungkin sangat memberikan perbaikan pada gejala.
Kemoterapi dapat rnengurangi hepatomegali dan
splenornegali serta memperbaiki penurunan berat badan,

demam dan keringat malam sampai 70% pasien, serta


mengurangi leukositosis, trombositosis dan anemia.
Kemoterapi yang pernah digunakan: busulfan, melfalan,
6-tioguanin dan hidroksiurea. Pada MMM pemberian
kemoterapi hams lebih hati-hati karena cenderung terjadi
toksik sumsum tulang daripada CMPD lainnya. Misalnya
pemberian Busulfan 2-4 mgthari sudah merupakan dosis
maksimum yang dapat diberikan dengan derajat
keselamatan pada MMM. Pasien hams dimonitor secara
frekuen dan kontinyu, terutama bila timbul sitopenia.
Hidroksiurea dapat diberikan dosis terreduksi 500- 1000 mg
selang sehari, dengan penyesuaian dosis tergantung
respons klinis dan hitung darah.

lradiasi
Pasien dengan hipersplenismemungkin dapat memberikan
respon dengan iradiasi splenik, terutama bila ada
kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien
mengalami perbaikan keluhan nyeri dan 2 50% terjadi
pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan memberikan
perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan
pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy, 2-3 kali per
rninggu. Dosis total 700-2400 cGy dapat memberikan hasil
yang nyaman dengan toleransi toksisitas. Hasil sementara
baru dapat dilihat setelah beberapa bulan terakhir. Tumor
hematopoiesisekstramedular simptomatisjuga memberikan
respons terhadap terapi iradiasi, terutama cocok pada nyeri
tulang dari tumor atau periostitis dan pada deposit susunan
saraf pusal.
Splenektomi
Splenektomi dipertimbangkan pada pasien refrakter
terhadap terapi: Sitopenia, hipertensi portal, atau gejala
akibat hipersplenisme. Dengan splenektomi memberikan
perbaikan: simptom hipersplenisme, hipertensi portal,
anemia dan trombositopenia, walaupun perbaikan ini tidak
selalu dapat dipertahankan setelah satu tahun tindakan.
Splenektomi pada MMM harus hati-hati, karena
organomegali yang besar sehingga mungkin terjadi
adhesi, naiknya aliran darah dan status compromised
pasien. Adanya DIC(K1D) ringan yang ditandai kenaikan
kadar D-dimer sering ditemukan pada MMM, dengan
risiko perdarahan yang tidak mudah diperbaiki preoperatif.
Mortalitas operasi akut dapat mencapai 38%, pada
stadium awal penyakit, sedangkan mortalitas pada
perawatan rumah sakit yang lebih modern turun <lo%
dan 25% dalam 3 bulan. Splenektomi kadang menimbulkan
krisisaplastik, karena lien menjadi tempat hematopoeisis
ekstramedular, pada fibrosis sumsum tulang berat.
Dilaporkan adanya komplikasi splenektomi yang
bermakna: infeksi intraabdominal, trombositosis berat
dengan trombosis dan hepatomegali yang cepat
membesar. Dua terakhir tersebut mungkin memerlukan
siklus kemoterapi pascaoperatif.

Pengobatan Lain
\
Interferon dipertimbangkan karena dapat menekan aktivitas.
TGF-P dan efektivitasnya pada CML. ~nterferon-amungkin\
bermanfaat menghilangkan nyeri tulang, trombositopenia.
dan sper~ektomi,tetapi efektivitas ini menurun dengan :
adanyaj7ulike symptoms berat dan memberatnya anemia,?
Vitamin D beserta analognya dapat menekan proliofera4,
magakariosit dan memperbaiki mielofibrosis yang
dihubungkan dengan rickets. Anagrelid dapat menurunkan
trombosit tetapi tidak memperbaiki kelainan klinis lainnya~.
Beberapa pasien dapat diberikan eritropoeitin bahkan lebifi
baik bila dikombinasikandengan interferon. Pasien dengaq
MMM berat dapat diberikan preparat antiangiogeni$
Talidomid, 20% kasus terjadi perbaikan dengaq
menurunnya simptom konstitusional, ukuran lien dad
perbaikan hitung darah. Efek samping serius dilaporka$
antara lain: leukositosis dan trornbositosis bera?
hematopoiesis ekstramedular perikardial, dan dapat terjadr,
pada dosis awal yang sangat rendah 50 mghari.
Beberapa peneliti memberikan kombinasi Talidomid 5%
mghari dengan prednison O,Smg/ks/hari, 95% memberik~
respon komplit dalam 3 bulan pengobatan.
Suramin dan imatinib dilaporkan pernah diberikan p a d
MMM, dengan hasil yang belum jelas.
Kuretase secara mekanik sejumlah jaringan fibrotik
sumsum tulang iliaka, diperkirakan dapat meningkatkaq
hematopoiesis dan memperbaiki anemia, walaupun hal ini
dengan prosedur komplek dan tidak selalu berhasil padd
semua pasien.
?i
HSCT analog setelah pemberian dosis tinggi busur?
fan, pernah dilakukan pada sejumlah MMM lanjut
refrakter terhadap terapi lain, walaupun dengan mortalit&
cukup tinggi (6 dari 12pasien), hampir semua pasien tetjaa
perbaikan simtom hipersplenisme dan separuh pasieri
terjadi perbaikan anemia dan trombositopenia.
$,
4'.

Dlagnosls Banding
Diagnosis MMM berdasarkan triad: fibrosis sumsua
tulang, hematopoiesis ekstramedular dan hematopoies$
klonal dengan tidak diketemukannya penyakit yank
mendasari. Tidak diketemukan tanda-tanda patognomonik
dan bukti hematopoiesis klonal secara tidak langsung bilh
kariotipe abnormal tidak ditemukan. Biopsi sumsum tulang
penting dilakukan untuk menentukan adanya fibrosis d@
membuktikan adanya hematopoiesis klonal dalam bentuv
panhiperplasia serta untuk menyingkirkan adanya proses
infiltrasi. Untuk diagnosis memakai Italian concensus
conference (Tabel 3), walaupun mungkin tidak berlak$
untuk fase awal MMM.

i:
4

Mieloflbrosis Akut
MMM kadang sukar dibedakan dengan mielofibrosis aka,
Lewis dan Szur(1983. sit Clark dan William, 2005)
melaporkan adanya pasien dengan: Fibrosis sumsuth
4
I;,

IY

;*y
$$:;,
.
if$!
,. .

$',:i
;
.,,

...

vs
'I!

!?!<:

,' ,

ip., >.
.,J.C

..

,@.

$.;,I

tulang. pansitopenia, demam dan secai-a cepat menjadi


fatal, mereka menamakan sindrom ini dengan: "Malignant
myelosclerosis" dan ha1 ini yang disebut sebagai:
mieloseklerosis akut atau Mielofi-brosis akut. Beberapa
publikasi memasukan pasien dengan fibrosis sebagai
komplikasi leukemia akut, MMM dalam transisi ke
leukemia akut dan fibrosis dengan komplikasi sindrom
mielodisplasia. Bahkan beberapa pasien dengan sindrom
ini, secara cepat berkembang menjadi bentuk aleukemik
dari leukemia megakarioblastik akut (French-AmericanBritish, M7). Mielofibrosis akut harus dibedakan dengan
MMM, karena bentuk ini diterapi sebagai leukemia akut,
tidak terdapat splenomegali dan dalam sumsum tulang
terdapat peningkatan megakarioblas.

Kelainan Mieloproliferatif Kronik Lain


MMM juga perlu dibedakan dengan CML, ET dan PV
(Polisitemia vera). Bila fibrosis sumsum tulang sebagai
gambaran utama maka diagnosis menjadi sulit. PV yang
berakhir dengan MMM like syndrome, adalah 15-20%
pasien. Mielofibrosis pada PV, lebih sering terjadi setelah
beberaya tahun parjalanan penyakit. Karena pasien
dengan postpolisitemik PV, menjadi simptomatik akibat
ekspansi masa sel darah merah dan menjadi awal perhatian,
serta diagnosis biasanya dibuat sebelum timbul fibrosis
sumsum tulang. Pasien dengan PV, pertama diketemukan
adanya mielofibrosis fase postpolisitemik perjalanannya
lebih progresif daripada pasien MMM. Mielofibrosis juga
dapat terjadi pada CML, tetapi untuk deferensial
diagnosis dengan MMM berdasarkan pada analisa
geneti k.
Pemeriksaan kariotipe atau dengan pemeriksaan probe
hibridizasion fluorescen insitu untuk perubahan gen bcr/
abl, dapat melengkapi sumsum tulang dan gambaran darah
tepi. Lebih kurang 95% pasien CML yang tipik, terdapat
kromosom abnormal, t9:22 Philladelphia (Phl) dan hampir
semua memperlihatkan bukti adanya kerusakan gen bcr/
abl. Beberapa kasus kadang ditemukan bersamaan
translokasi 9:22 dengan atau tanpa dideteksi adanya bcr/
abl. Pada CML pembesaran lien sebanding dengan jumlah
leukosit. Bila lien membesar, tetapi jumlah leukosit kurang
dari 100x 1O9 per L, mungkin kearah MMM daripada CML.
Pada ET dengan fibrosis sumsum tulang, kondisi ini dapat
meyerupai stadium awal MMM, dan untuk menentukan
diagnosis memerlukan pengamatan lebih jauh.
Mielofibrosis Sekunder
Mielofibrosis mungkin dapat terjadi akibat reaksi terhadap:
Keganasan, infeksi dan beberapa penyakit lain (tabel 1).
Hal ini dapat dihubungkan dengan perubahan darah tepi
dan hernatopiesis dengan penampilan seperti MMM.

Suatu studi dari Mayo Clinic dari 50.277 apusan darah


terdapat gambaran leukoeritroblastik sebanyak 215 atau
0,4%. Dua pertiga kelompok ini mempunyai riwayat
keganasan (1974, Sit: Clark & William, 2005).
Diagnosis mielofibrosis sekunder berdasarkan adanya
penyakit yang mendasari. Mielofibrosis sekunder
merupakan gambaran reguler dari kondisi tertentu termasuk
postpolycythemic PV dan komplikasi jarang dari Systemic
lupus erythematosusdan rickets. Bila mielofibrosis karena
infeksi biasanya bentuk kronis, menyebar luas dan
biasanya mudah dideteksi. TBC dan infeksi jamur biasanya
sudah diobati sebelum muncul mielofibrosis sekunder
.Hampir semua mielofibrosis sekunder merupakan metastasis keganasan. Pemeriksaan hidroksiprolin urin suatu
metabolit dari kolagen dapat membedakan antara
mielofibrosis sekunder dengan MMM. Pada MMM
ekskresi normal, meningkat pada keganasan dan
mielofibrosis sekunder.
Pengobatan mielofibrosis sekunder terutama
pengobatan penyakit primer yang mendasarinya. Perbaikan
pengobatan fibrosis, dilaporkan setelah pengobatan
berhasil pada PV, penyakit Hodgkin, metastasis prostat
dan karsinoma mammae.

Bianco Paulo, et al. Bome marrow stromal stem cells: nature, biology and potential applications. Stem Cells. 200 1; 193: 180-92.
Clark DA, Willlam WL. Myelofibrosis. Wintrobe's clinical hematology. l lth edition. In: Richard Lee, Foerster. Lukens, Paraskevas.
Greer and Rodgers, editors. Baltimore Maryland: William &
Vilkins; 2005. p. 2273-83.
Heckner dan Freund. Atlas hematologi. Praktikum hematologi dengan
mikroskop. In: Alih bahasa Wanandi SI, Suwono WJ, editors.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 1999. p. 82-4.
Lunberg LG, et al. Bone marrow in polycythemia vera, chronic
myelocytic leukemia and myelofibrosis has an increased
vascularity. Amer J pathol. 2000;157:15-19.
Mesa AR, et al. A phase 2 trial of comb~nationlow-dose thalidomide
and prednison for the treatment of myelofibrosis with myeloid
metaplasia. Blood. 2003;101:7: 1534-5 1.
Papaiakovon VE, et al. Thalidomide in cancer medicine. Annals
Oncology. 2004;15: 1 15 1-60.
Spirak JL. Polycythemia Vera and other myeloproliferative
diseases. In: Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Longo DL, et
al, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih
Edition. New York: Mc Graw-hill; 2005. p. 626-31.
Tefferi A. The forgotten myeloproliferative disorder: myeloid
metaplasia. The Oncologist. 2003;8:3:223-3 1.
Vannocchi AM, e t al. Development of myelofibrosis in mice
genetically impaired for GATA- I expression (GATA- I low mice).
Blood. 2002: 100;1123-3.
Wieczorek AJ, et al. Autocrinelparacrine mechanisms in human
hematopoiesis. Stem Cells. 2001;19:2:99-101.

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT


Johan Kurnianda

PENDAHULUAN
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan
gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid.
Bila tidak diobati, penyalut ini akan mengakibatkan kematian
secara cepat dalam waktu beberapa lninggu sampai bulan
sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960an pengobatan
LMA terutama bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun
yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara
cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat
disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan
LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih
baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok
sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti
anti biotik generasi baru dan transfusi komponen darah
untuk mengatasi efek samping pengobatan. Selain itu sejak
sekitar 2 dekade tahun yang lalu juga telah dikembangkan
teknik diagnostik leukemia
dengan
cara
immunophenotyping dan analisis sitogenetik yang
menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.

Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan


32% dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%).
Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anakanak hingga masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun,
insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan
dengan meningkatnya usia. Insidens LMA pada orang
yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang yang
berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia
di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%. Secara umum tidak
didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi

LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya insidens LMA:


tipe M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar pada ras
Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan.
dengan ras Kaukasia.

Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak


diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang
diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi
faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene,
suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada industri
penyamakan ku'lit di negara sedang berkembang, diketahui
merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi
ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini
diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus
leukemia, termasuk LMA, pada orang-orang yang selamat
dari serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada
tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi
tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah
pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun
sesudah pengeboman. Faktor lain yang diketahui
merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi
kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter
sindrom Down. Pasien sindrom Down dengan trisomi
kromosom 21 mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih
tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7.
Selain itu pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom
Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai
risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi
normal untuk menderita LMA.
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah
pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien
tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka
panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma

multipel, kanker payudara, kankcv ovarium dan kanker


testis. Jenis kemoterapi yang paling sering lnemicu
timbulnya LMA adalah golongan alkykrtiw,g tr,qrr~/(Ian
topoisomerase 11 inhibitor. LMA akibat [erapi rnc~~lpu~lyai
prognosis yang lebih buruk dibandingkam LMA de novo
sehingga di dalam klasifikasi leukemia versi World Healtl~
Organization (WHO) dikelompokkan tersendiri (Tabel 1).

Patogenesis utama LMA adalah adany a blokade maturitas


yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid
terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi
akumulasi bjast di sumsum tulang. Akumulasi blast di
dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan
hematopoesis normal dan pada gilirannya akan
mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone
marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya
sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia).
Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah
dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya
tro~nbositopenia akan menyebabkan tanda-tsnda
perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan
pasien rentan terhadap infeksi, ternlasuk infeksi oportunis
dari tlora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia.
Selain itu sel-sel blast yang terbentuk juga punya
kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang cian
berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang,
jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

TANDA DAN GEJALA


Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien
LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis
terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pisien
mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35%
pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel
blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan
ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat
penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di
darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari
kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita
LMA.
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah,
perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom
kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di
atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura
atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah
atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina.
Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada
kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling

sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering


terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri
rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa
secara teliti pada pasien LMA dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi
(lebih dari 100 ribu/mm3), sering terjadi leukostasis, yaitu
terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran
pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis
sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala
yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak
nafas, nyeri dada dan priapismus. Angka leukosit yang
sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan
metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia.
Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang
berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar.
Hipoglikemia tejadi karena konsumsi gula in vitro dari
sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai
hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia
tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada
tubuh pasien.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tandalgejala
yang bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi
sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis
yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa
rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak
akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi
sel-sel blast di dalam tulang akan menimbulkan nyeri
tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan.
Pembengkakan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi
infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipunjarang, pada
LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah
menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan
pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil
melalui prosedur pungsi lumbal.

DIAGNOSIS
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokirnia.
Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun
yang lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru:
immunophenoqping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan
pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia,
gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris
pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri
dari 8 subtipe (MO sampai dengan M7, Tabel 2). Klasifikasi
ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American
British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi
diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting
untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia
tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA
tipe M 1, M2, M3, M4 dan M6. '

Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu


teknik pengecatan modern yang dikembangkan
berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa
permukaan membran sel-sel darah mengekspresikan
antigen yang berbeda-beda tergantung dari jenis dan
tingkat diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagai contoh
sel limfosit mengekspresikan antigen yang berbeda
dengan sel granulosit maupun sel trombosit dan eritrosit.
Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi antigen yang
berbeda dengan limfosit T. Selain itu sel-sel blast
mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel-sel
leukosit yang lebih matur seperti promielosit dan mielosit.
Bila antigen yang terdapat di permukaan membran sel
tersebut dapat diidentifikasi dengan antibodi yang
spesifik, maka akan dapat dilakukan identifikasi jenis sel
dan tingkat maturitasnya yang lebih akurat. Identifikasi
sel dengan teknik immunophenotyping biasanya diberi
label CD (cluster of differentiation). Saat ini terdapat lebih
dari 200 CD yang menjadi penanda berbagai jenis dan
tingkat maturitas sel-sel darah. Selain berfungsi sebagai
alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga
mempunyai nilai prognostik dan terapi. Sebagai contoh,
pasien LMA yang mengekspresikan CD7 mempunyai
prognosis yang jelek sedang pasien LMA yang
mengekspresikan CD2 mempunyai prognosis yang lebih
baik. Saat ini juga sedang dikembangkan terapi antibodi
yang secara spesifik mempunyai target terapi CD33,
gemtuzumab osagamicin, yang diindikasikan bagi pasien
LMA usia lanjut yang mengekspresikan CD33.
Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah
dimulai sejak awal1960 dan berkembang lebih pesat sejak
awal 1980an. Terdapat 2 kelainan dasar sitogenetik pada
LMA: kelainan yang menyebabkan hilang atau
bertambahnya materi kromosom dan kelainan
menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa
menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom.
Kelainan pertama dapat berupa kehilangan sebagian dari
materi kromosom (delesildel) atau hilangnya satu materi
kromosom secara utuh (monosomi). Penambahan materi
kromosorp juga dapat bersifat sebagian (duplikasild) atau
bertambahnya satu atau lebih materi kromosom secara utuh
(trisomi, tetrasomi). Kelainan kedua berupa perubahan
kromosom seimbang dalam bentuk perubahan resiprokal
antara dua atau lebih kromosom (translokasilt) atau
perubahan pada berbagai bagian dalam satu kromosom
(inversilinv).
Kelainan sitogenetik t (8,21), t (15,17), inv (16)lt dan
translokasi 1lq23 merupakan kelainan sitogenetik yang
dijumpai pada 21 %-28% pasien LMA dewasa. Kelainan
sitogenetik lain yang dijumpai dalam jumlah cukup
signifikan pada pasien LMA adalah trisomi, delesi dan
kelainan karyotype yang kompleks (mempunyai kelainan
sitogenetik 3 atau lebih). Kelainan sitogenetik pada pasien
LMA mempunyai nilai prognostik. Pasien dengan kelainan

sitogenetik: t (15;17), inv (l6), t (16;16) atau del (l6q) dan


t (8;21) yang tidak disertai del(9q) atau kelainan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang baik
(favourable); pasien dengan kelainan sitogenetik +8, -Y,
+6, del(12p) atau karyotype yang normal mempunyai prognosis yang sedang (intermediate), sedangkan pasien
dengan kelainan sitogenetik-5 atau del(5q),-7 atau del Uq),
inv (3q), del(9q), t (9;22) dan karyotype yang kompleks
mempunyai prognosis yang buruk (unfavourable). Profil
kelainan sitogenetik pada pasien LMA juga mempunyai
implikasi terhadap terapi sebab dewasa ini, meskipun masih
kontroversial, telah dikembangkan strategi terapi pada
pasien LMA berdasarkan profil sitogenetik pasien (lihat
terapi) .
Berdasarkan profil kelainan sitogetik pasien, WHO
mengajukan usulan perubahan klasifikasi LMA, yang telah
diadopsi di banyak negara (Tabel 1). Pada Tabel 2 dapat
dilihat kesepadanan diagnosis LMA berdasarkan
klasifikasi FAB dan analisis sitogenetik.

I.

LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren


LMA dengan t(8;2 1)(q22;q22), AML 1(CBFa)ETO
APL dengan t(15;17)(q22;q11-12) dan varian-variannya,
PMLRARa
LMA dengan eoanofil sumsum tulang abnormal dengan
inv (16)(pl3q22) atau t(16;16)(p13;ql I), CBWMHY11
LMA dengan abnormalitas 1 lq23 (MU)
II. LMA d engan multilineage @splasia
dengan sindrom myelodisplasia
tanpa sindrom myelodisplasia
Ill. LMA dan sindrornamyelodisplastik yang berkaitan
dengan terapi akibat obat alkilasi akibat
epipodofilotoksn (beberapa merupakan kelainan
limfoid) tipe lain
IV. LMA yang tidak terspesifikasi
LMA diferensiasi minimal
LMA tanpa mahr rasi
LMA dengan mahrrasi
LMA dengan diferensiasi monositik
Leukemia monostik akut
Leukemia eritroid akut
Leukemia megakariositik akut
Leukemia basofilik akut
Panmielosis akut dengan mielofibrosis

Bila memungkinkan terapi LMA direncanakan untuk tujuan


kuratif. Penderita yang mempunyai peluang besar untuk
mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang berusia < 60
tahun, tanpa komorbitas yang berat serta mempunyai profil
sitogetik yang favorable (lihat bawah). Untuk
mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal, sangat
penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti
sebelum pengobatan dimulai. Skrining awal ini, terutama
ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi,

1237

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT

Subtipe
FAB

Nama Umum
(% kasus)

Mo

Leukemia mieloblastik akut dg


diferensiasi minimal (3%)
Leukemia mieloblastik akut tanpa
maturasi
( I 520%)
Leukemia mieloblastik dengan
maturasi (25-30%)
Leukemia promielositik akut (510%)

MI

M2
M3

M4

Leukemia mielomonositik akut


(20%)

M4Eo

Leukemia mielomonositik
dengan eosinofil abnormal
(5-10%)
Leukemia monositik akut
(2-9%)
Eritroleukemia
(3-590)
Leukemia megakariositik Akut
(3-12%)

M5
M6
M7

Hasil Pengecatan
Myeloper Sudan
Esterase
Oksidase
Black
non-spesifik

+
+

Gen yang
terllbat

inv(3q26) dan t(3;3) (1%)

EV11

t(8;21) (40%) t(6;9) (1%)

AMLI-ETO,
DEK-CAN

t(15;I 7) (98%) t(l1;l 7)


(1%) t(5,17) (1%)

PML-RARa
PLZFRARa,
NPM
RARa
MLL,
DEC-KAN
EV11
CBFPMYHI1

+
+
+

Translokasi dan
penyusunan kembali
(% kasus)

11q23 (20%)
inv(3q26) &
t(3;3) (3%),
inv(16),t(16,16)
(80%)
11923 (20%)
t(8.16) (2%)

MLL,

+*

t(1.22) (5%)

tdk diketahui

sel positif terhadap a-naftilasetat dan glikoprotein trombosit llblllla atau antigen yang berkaitan dengan faktor Vlll
dan negatif terhadap naflilbutirat (Sumber : Referensi no. 13)

gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA


mengandung preparat golongan antrasiklin yang bersifat
kardiotoksik) dan adanya koagulopati yang sering
ditemukan pada penderita LMA. Selain itu, penderita yang
mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat tinggi
(>100.000/mm'), mungkin memerlukan tindakan
leukoparesis emergensi untuk menghindari leukostasis dan
sindrom tumor lisis akibat terapi induksi. Sangat penting
untuk mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan
di rumah sakit yang mempuny ai tim leukemia yang bersifat
multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang
memadai, akses untuk transfusi darah yang lengkap serta
ruang sterillsemi-steril untuk peIaksanaan pengobatan.
Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan
akan sangat tinggi.
Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratif hams
dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik dan memulihkan
hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival
jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang
mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu
diturunkan karena alasan adanya sitopenia, karena dosis
yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping
berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek
yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun
untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang.
Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan

strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen


kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase
induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi
adalah regimen kemoterapi yang intensif yang bertujuan
untuk mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal
sehingga tercapai remisi komplit. lstilah remisi komplit
digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah
tepi kembali normal serta pulihnyapopulasl sel di sumsum
tulang termasuk tercapainyajumlah sel-sel blast 4%.
Perlu
ditekankan di sini, meskipun terjadi remisi komplit tidak
berarti bahwa sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi
seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara
klinik bila jumlahnya lebih dari 109log sel. Jadi pada kasus
remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel
leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi.
Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan
kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena
itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ,
ditindak lanjuti dengan program pengobatan selanjutnya
yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi
biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan
menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama
atau lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase
induksi.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, tujuan utama
pengobatan LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel'

Jeukemik di dalam sumsum tulang. Tindakan ini juga akan


mengeradikasi sisa-sisa sel hematopoeisis normal yang
ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan
mengalami periode aplasia pasca terapi induksi. Pada saat
'tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan
perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini
dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa
penggunaan antibiotika dan transfusi komponen darah
(khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat penting
untuk menunjang keberhasilan terapi LMA.
Terapi pada LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi
untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk
leukemia promielositik akut (LPA).

Terapi LMA pada Umumnya (Tabel 3)


Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan
regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol
sitarabin 100mglm2 diberikan secara infus kontinyu selama
7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari.
Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan
terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai
obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai kombinasi
remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila
terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu
dipertimbangkan adanya gaga1 terapi primer dan perlu
dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.

Sitogenetik
Awal

Kemoterapi
lnduksi

Favorable

Standar 7+3

Intermediate

Standar 7+3

- Unfavorable

Standar 7+3

'

Terapi Post Remisi


Donor HLA
sesuai
HDACx
3-4 siklus, atau
2-3 siklus
diikuti HSCT
otolog
HSCT alogenik
Sesegera
mungkin atau
HDACx 2-4
siklus
HSCT alogenik
Sesegera
mungkin

Tidak ada donor


HDACx
3-4 siklus, atau
2-3 siklus
diikuti HSCT
otolog
HDACx
2-4 siklus
+ HSCT otolog
HDACx
2-4 siklus f
HSCT otoloq

Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung


pemakaian antrasiklin merupakan kontra indikasi terutama
bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi kurang
dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalah High dose
cytarabine (ara-C)lHDAC. Regimen terapi yang dipakai
pada HDAC adalah sitarabin 2-3 glm2 infus iv selama 1-2
jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 glm2
selama 2 jam setiap 12jam pada hari 1,3, dan 5.
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa
kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem
hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantionl
HSCT) otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca

remisi ditentukan berdasarkan usia dan faktor prognostik,


terutama profil sitogenetik. Sebagian besar pasien usia
muda memberikan respons yang lebih baik dibanding
pasien usia tua.
Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi
intensif danlatau HSCT untuk mencapai remisi komplit
kedua atau hanya diberikan perawatan suportif.
Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi
karakter sitogenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi
remisi komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas
aktif. Durasi median remisi komplit kedua umumnya kurang
dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-fre survival
kurang dari 10 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya
pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor untuk
prosedur tersebut umumnya terbatas.

Terapi Leukemia Promielositik Akut


Insidensi LPA sebesar 10-15% pasien LMA. Penyakit ini
ditandai dengan kelainan sitogenetik berupa t (15;17)yang
dijumpai pada sekitar 90% kasus. Kelainan sitogenetik t
(15; 17)akan menyebabkan fusi gen PML dan RAR, menjadi
gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR mengakibatkan
blokade maturitas pada seri promielosit sehingga terjadi
LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang disebut all-trans
retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen PMLRAR sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPAdengan
ATRA menghasilkan angka kesembuhan lebih dari 70%.
LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya
koagulopati yang dalam ha1 ini diakibatkan oleh kombinasi
antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan
manifestasi koagulopati harus segera rnendapat terapi
induksi (ATRA). Pada pasien yang mengalami perdarahan
yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat
diberikan e-aminocaproic acid (EACA) dan tranexamide
acid.
Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus
kemoterapi berbasis antrasiklin. Antrasiklin dapat
menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila digunakan
sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien LPA sensitif
terhadap antrasiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan
petanda resistensi lainnya pada sel-sel LPA dibanding
dengan subtipe LMA lainnya.ATRA adalah suatu derivatif
vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan
mengaktifkan maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia
sumsurn tulang. Sebagai obat tunggal ATRA menginduksi
remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai
diberikan dalam 2-3 hari pertama pada pasien dengan
perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA
sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini
akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak terlalu tinggi
lagi. Selain itu cara ini menurunkan insidens sindrom asam
retinoid (retinoic acid syndromelRAS).
Terapi induksi rnenggunakan ATRA45 mgIm2hari per
oral yang terbagi dalarn 2 dosis setiap hari sampai remisi

komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mgl


m21hari selama 3 hari atau idarubisin 12mglm2Ihari selama
4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidaai
dengan kemoterapi berbasis antrasiklin dan terapi
pemeliharaan dengan menggunakan ATRA.
RAS dapat terjadi pada 10-15% pasien dan umumnya
terjadi 7- 14 hari setelah terapi ATRA. RAS jarang terjadi
selama penye~nbuhanakibat aplasia setelah kemoterapi
dan selama terapi pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom
kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distres
respirasi, dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga
terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau efusi
perikard, dan gaga1 ginjal. Lekositosis berat merupakan
faktor prognostik walaupun RAS sering juga terjadi pada
lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5.000- 10.000/uL,
ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat
awal terapi. Bila saat monoterapi ATRA terjadi lekositosis
lebih darl 10.000/uL induksi kelnoterapi harus segera
dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kernungkinan
sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrat paru,
dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus
segera diberikan (10 rng iv 2 kali sehari).Terapi ATRA dapat
dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan.
Sekitar 20%-30% pasien LPA yang mecapai remisi
komplit dengan terapi berbasis ATRA akan mengalami
relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten
terhadap terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu
racun yang sudah digunakan sebagai obat pada
pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abad yang
lalu, saat ini diketahui mempunyai efek pengobatan yang
positif pada pasien ATRA yang relaps atau resisten
terhadap terapi ATRA. Salah satu kornponen arsen yang
sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang
relaps atau resisten terhadap ATRA adalah arsenic
trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, AT0 mempunyai
mekanisme kerja: memacu degradasi fusi protein PMLRAR (khususnya protein PML, menginduksi apoptosis,
memacu diferensiasi sel - sel leukemik serta rnenghambat
apaoptosis. AT0 umumnya diberikan dengan dosis 0,15
mg per KG BB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi
komplit dengan maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien
LPA relaps, terapi AT0 menghasi lkan respon sebesar 70%
hingga 100%.

MASA DEPAN MANAJEMEN LMA


Di masa depan perkembangan ilmu di bidang biologi
molekular akan sangat berpengaruh pada penatalaksanaan
LMA. Informasi biologi molekular akan sangat berguna
untuk menentukan prognosis dan strategi terapi yang lebih
baik pada pasien LMA. Sebagai contoh, ekspresi protein
yang berperan pada proses angiogenesis kini diketahui
merupakan faktor prognostik yang independen pada
pasien LMA. Selain itu saat ini sedang dikembangkan

strategi pengobatan dengan sasaran yang spesifik


(targeted therapy). Obat-obat ini didisain untuk mentarget
protein-protein tertentu yang mempunyai peran pada
proses leukomogenesis. Oleh karena sifatnya yang
spesifik, obat-obat ini umumnya lnempunyai profil efek
samping yang lebih ringan dibandingkan kemoterapi,
sehingga diharapkan dapat digunakan secara aman pada
pasien LMA yang tidak mampu menghadapi terapi yang
agresif, seperti pasien LMA usia geriatrik. Salah satu obat
yang sedang dikernbangkan saat ini adalah anti-FLT3,
suatu protein trans membran yang berfungsi sebagai
enzym tirosine kinase dan diekspresikan pada lebih dari
90% kasus LMA. Pada pasien LMA, sekitar 30% protein
FLT3 mengalami mutasi dan mutasi tersebut rnenyebabkan
proliferasi yang tidak terkendali. Selain itu diketahui pasien
LMA dengan ekspresi LFT3 mutan mempunyai prognosis
yang lebih jelek. Pada penelitian pendahuluan terapi antiFLT3 menghasilkan respons sebesar 18%-25%dengan efek
samping yang ringan. Beberapa targeted therapy lain yang
dikembangkan adalah : obat yang mentarget mutasi
protein RAS yang ditemukan pada sekitar 10%-15%
penderita LMA, obat yang mentarget nutasi protein
c-KIT yang sering ditemuakn pada penderita LMA dengan
kelainan sitogenetik invl6 dan obat yang mentarget selpunca (stern-cells) LMA. Penggunaan targeted therapy
pada klinik praktis masih rnenunggu hasil penelitianpenelitian dengan desain yang lebih baik dan berskala
besar.

Abraham J. Monahan BP. The acute leukemias. In: Abraham J,.


Allegra CJ, editors. Handbook of clinical oncology.'
Philadelphia: Lippincot Williams&Wilkins; 2001. p. 271-85.
Appelbaum FR. Impact of age on the biology of acute leukemia.'
Educational book of the 41st Annual ASCO Meeting. 2005. p..
528-32.
Arber DA, Stein AS. Carter NH, et al. Prognostic impact of acute
myeloid leukemia classification. Am J Clin ~ a t h o l . '
2003;l 19(5):672-80.
Breems DA. Van Puten WLJ, Huijgens PC, et al. Prognostic index
of adult patients with acute myeloid leukemia in first relapse. J
Clin Oncol. 2005;23: 1969-78.
Brunning RD, Matutes E, Harris NL, et al. Acute myeloid leukemia:,
introduction. In: Jaffe ES. Harris NL, Stein H & Vardiman JW,?
editors. WHO classification of tumours: pathology and genetics
tumours of haematopoietic and lymphoid tissues. Lyon: IARC
Press; 2001. p. 76-80.
Burnett AK & Knapper S Targeting treatment in AML
Hematology, 2007
Douer D & Tallman MS. Arsenic trioxide: new clinical experience
with an old medication in hematologic malignancies. J Clin'
Oncol. 2005;23:2396-410.
Evens MA and Tallman MS. Acute leukemias. In: Skeel RT, edilors.
Handbook of cancer chemotherapy. 6th editions. Philadelphia;
Lippincot Williams & Wilkins; 2003. p. 41 1-59.
Farag SS. Rupert AS, Mrozek K, et al. Outcome of induction and

post remission therapy in younger adults with acute myeloid


leukemia with normal karyotype: a cancer and leukemia group
B study. J Clin Oncol. 2005;23:482-93.
Fey M and Dreyling M Acute myeloblastic leukemia in adult
patients: ESMO Clinical recommendations for diagnosis,
treatment and follow-up. Ann Oncol, 2009, 20 (Supplement 4):
iv100-iv101.
Grant BW. Acute myelogenous and lymphocytic leukemias. In: Wood
ME, Philips GK, editors. Hematology/oncology secrets. 3rd
edition. Philadelphia: Hanley & Belfus; 2003. p. 114-8.
Horwitz M. Epidemiology and genetic of acute and chronic
leukemia. In: Wiernik PH, editor. Atlas of clinical oncology:
adult leukemias. Hamilton-London: BC Decker Inc.; 2001. p.
1-18.
Bmweleit M, et al. Analysis of concerted expression
Loges S, Heil
of angiogenic growth factors in acute myeloid leukemia:
expression of angiopoietin-2 represents an independent

prognostic factor for overall survival. J Clin Oncol.


2005;23:1109-17.
Montesinos P, Lprenzo I , Martin G et al.. Tumor lysis syndrome in
patients with acute myeloid leukemia: identification of risk
factors and developmentof a predictive model. Hematologica,
2008, 93 : 67 - 74.
Raffaux E, Rousselot P, Poupon J, et al. Combined treatment with
arsenic trioxide and all-trans-retinoic acid in patients with
relapse acute promyelocytic leukemia. J Clin Oncol.
2003;2 1 :2326-34.
Sarkodee-Adoo C, Rapoport AP & Rowe JM. Diagnosis. In: Wiernik
PH, editor. Atlas of clinical oncology: adult leukemias. HamiltonLondon: BC Decker Inc.; 2001. p. 63-87.
Stone RM. Targeted therapy in AML. www.medscape.com. 2005.
Zhen-yi Wang. Treatmet of acute leukemia by inducing
differentiation and apoptosis. Hematology. 2003.

Ami Ashariati

PENDAHULUAN
Sindrom dismielopoetik (SDM) atau myelodysplastic syndrome (MDS) primer dalah suatu sindrom yang di tandai
oleh displasi dari sistem hemopoetik (dysmyelopoesis,
dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis), baik tunggal
rnaupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan
diferensiasi. Yang sebabnya belum diketahui. Jika
penyebabnya diketahui disebut SDM sekunder, misalnya
defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat,
pengobatan sitostatik, dan sebagainya.
SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan
rerata umur 60-75 tahun; laki-laki sedikit lebih sering
daripada perempuan dan penyebabnya sampai masih tidak
diketahui.
SDM primer ini meliputi penyakit-penyakit yang
sebelumnya disebut sebagai preleukemia, smouldering
leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia
sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic
anemia. Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya
sitopeni, baik tunggal maupun kombinasi, yaitu keluhankeluhan anemi yang membangkang, perdarahan karena
trombopeni, dan adanya granulositopeni dengan segala
akibatnya.
Klasifikasi dan kriteria-kriteria SDM ini telah diajukan
oleh Bennet dan Vincent.

SDM sering ditemukanpada pasien usia lanjut antara umur


60-75 tahun, dan pa& sebagian kasus pada umur 4 0 tahun
;laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan. Keluhan
dan gejala secara.umum lebih dikaitkan dengan adanya
sitopenia. Umumnya datang dengan keluhan cepat lelah,
lesu yang disebabkan anemia. Perdarahan karena

trombositopenia dan infeksi atau panas yang dikaitkan


dengan leukopenial neutropenijuga dapat menjadi keluhan
pasien walaupun sedikit kurang sering. Pada sebagian kecil
dan sangat jarang dari pasien terjadi splenomegali atau
hepatomegali.

DIAGNOSIS
Diagnosis SDM dipertimbangkan untuk setiap pasien
dewasa yang disertai gejala-gejala sebagai berikut:
1. Anemi dadperdarahan-perdarahan dantfebris yang
tidak jelas sebabnya dan refrakter terhadap pengobatan.
2. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni
dari satu atau lebih dari sistem darah
- Adanya sel-sel mudahlas dalam jumlah sedikit
( ~ 3 0 %dengadtanpa
)
monositosis di darah tepi.
- Sumsung tulang dapat hipo, normo, atau
hiperselular dengan disertai displasi sistem
hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan
megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan
sebagainya).
- Namun gambaran itu tidak dapat dimasukkan dalam
diagnosis yang jelas dari penyakit-penyakit lain
seperti ITP, lekemi, anerni aplastik. Dan lain-lain.
Diagnosis SDM ditetapkan bila ada butir 1 ditambah
paling sediMt tiga dari butir 2.
Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu
&ngan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan
pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum tulang dapat
memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas
kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan
SDM primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum
tulang ditemukan pada 30-50% pasien SDM de now.
Berbagai kelainan sitogenetik pada SDM termasuk delesi,
trisome, monosomi clan anomali struktur ('hbell).

Penggolongan SDM menurut kriteria FAT3 (1,13) adalah


Refractory Anemia (RA), Refractory Anemia with Ringed
Sideroblast (RARS), Refactory A n m i a with Excessive
Blast (RAEB), RAEB in Tranformation to Leukimia
(RAEBt),clan Chronic MyelomonocyticLeukemia (CMML)
(Tabel 2).
Penggolongan lain yang diusulkan WHO untuk
SDM adalah Refractrory anemia (RA), Refractory
anemia with ringed sideroblasts (RARS), Refractory
cytopenia with multilineage dysplasia (RCMD),
Refractory anemia with excess blast (RAEB-type 1 = 59% bluts in blood or marrow and RAEB- type 2 = 1019% blats in blood or marrow), 5q- syndrome, therapyrelated myelodysplastic syndrome, dan Myelodysplastic
syndrome unclassified.
SDM seharusnya dibedakan dengan myeloproliferafive disorder yang lain dan beberapa variasi dari SDM
sekunder termasuk defisiensi nutrisi, proses infeksi, efek
obat dan toxic exposures.

Delesi 5q
Monosomi 7
Trisomi 8
Kehilangan kromosom Y
Delesi 20q
3q rearangements
Berbagai abnormalitas kromosom 11
Berbagai abnormalitas kromosom 17p
Defek kromosom kompleks lain
Sumber: Fenaux P, Morel P, Lai JL (1996). Cytogenetic of
myelodysplastic syndromes. Semin Hematol; 33:127- 138.

Darah Tepi
Hb
Leukosit
Blast (%)
Trombosit
Sumsum Tulang
Eritrosit
Sideroblas (%)
Granulopoesis
Blast (%)
Trombopoesis

RA

RASB

RAEB

RAEBt

CMML

N atau
<I
N atau

N atau
cl
N atau

<5

6 3 0

<5
N atau

+++

+++

+++

+++

<I5
O.+
c5
O.+

>I5
O.+
<5
O.+

4 5

<! 5

+++

++++

5-20

20-30

5-20

+++

+++

+++

TATALAKSANA
Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien SDM,
tetapi sebagian besar tidak efektif di dalam mengubah
perjalanan penyakitnya. Karena itu pengobatan pasien SDM
bergantung pada usia, berat ringannya penyakit dan
progresivitas penyakitnya.Pasien dengan klasifikasi RA dan
RAEB pada umurnnya bersifat indolent sehingga tidak perlu
pengobatan spesifik, cukup suportif saja.
Cangkok sumsum tulang (BM Transphntation)
Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan
utama pada SDM temtama dengan usia c30 tahun, dan
mempakan terapi kuratif, tetapi masih mempakan pilihan
~ 5 dari
% pasien.
Kemoterapi
Pada fase awal dari SDM tidak dianjurkan untuk diberikan
kemoterapi, umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEBT, CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan ARA-C dosis
rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan
respons rate antara 50-75% dan respons ini tetap bertahan
2-14 bulan setelah pengobatan.-~osisARA-c yang
direkomendasi adalah 20 mg/m2hari secara drip atau 10
mg/m2 secara subkutan setiap 12jam selama 21 hari.
GM-CSFatau GCSF
Pada pasien SDM yang mengalami pansitopeni dapat
diberikan GM-CSF atau G-CSF untuk merangsang
diferensiasi dari hemutopoetic progenitor cells. GM-CSF
diberikan dengan dosis 30-500 mcglm2hari atau G-CSF
50-1600 mcglm2 (0.1-0.3 mcg/kgBBhari/subkutanselarna
7-14 hari.
Lain-lain
Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat
digunakan untuk pengobatan pasien SDM. Piridoksin
dosis 200 mghari selama 2 bulan kadang-kadang dapat
memberikan respons pada tipe RASB walaupun sangat
kecil. Danazol 600 mg/hari/oral selama 3 bulan dapat
meningkatkan trombosit terutama pada SDM tipe
trombopeni.
13-cis retinoic acid dengan dosis 1.0 mgkgBBharil
oral dapat memberikan response rate 21-33% setelah 3
minggu pengobatan.

++
<I5

*The descriptions of the syndromes are f om Bennett et a/.


130 FAB de-notes F ench-American-British.
Keterangan :
RA
: Refractory Anemia
RASB
: Refractory Anemia with Ringed Sideroblasts
RAE6
: Refractory Anemia with Excessive Blasts
RAEBt : RAE6 in transformation to Leukemia
CMML : Chronic Myelomonocytic Leukemia

PROGNOSIS

+++

Pada sebagian besar SDM mempunyai perjalanan klinis


menjadi kronis dan secara bertahap terjadi kemsakan pada
sitopeni. Survival sangat be~ariasidari beberapa minggu
sampai beberapa tahun. Kematian dapat terjadi pada 30%
pasien yang progresif menjadi AML (Acute Myelocytic
Leukemia) atau bone murrowfailure (Tabel 3). Indikator
prognosis baik dan bumk dari SDM (Tabel 4 dan 5).

Klasifikasi FA6

Klasifikasi WHO
Refractory anemia with
excess blasts-2 (RAEB-2)

Prediksi
Survival

Karakteristik
10-19% marrow blasts

10 bulan

< 5% peripheral-blood blasts

213 cylopenia
Myelodysplasticsyndrome,
unclassified (MDS-U)

113 cylopenia
abnormal white or
megakaryocyte cells
< 5% marrow blasts

Not listed

MDS associated with isolated


del(5q)
Acute myeloid leukemia
(AML) with multi-lineage
dysplasia following a
myelodysplasticsyndrome

anemia
deleted chromosome 5q

9 tahun,
8 bulan

20-30% marrow blasts


> 5% peripheral-blood blasts

6 bulan

Chronic
myelomonocylic
leukemia (CMML)

Myelodysplastic/
myeloproliferativediseases
(MDSIMPD)

absence of Philadelphia
chromosome
< 20% marrow and peripheral-blood blasts
dysplasia of one cell line

18 bulan

Refractory
anemia

Refractory anemia

< 5% marrow blasts


no peripheral-blood blasts
anemia

5 tahun,
9 bulan

Refractory anemia with


ringed sideroblasts

Refractory anemia with


ringed sideroblasts

< 5% marrow blasts

5 tahun,
9 bulan

Refarctory cytopenia with


multilineage dysplasia
(RCMD)

213 or 313 cytopenia


dysplasia of two cell types
c 5% marrow blasts

2 tahun.
9 bulan

Refarctory cytopenia with


multilineage dysplasia and
ringed sideroblasts

213 or 313 cytopenia


dysplasia of two cell types
c 5% marrow blasts
5 15% marrow red-cell
precursors with ringed
sideroblasts

2 tahun,
8 bulan

Refractow anemia with


excess bksts-1 (WEB-1)

5-9% marrow blasts


5% peripheral-blood blasts
213 cvtopenia

1 tahun,
6 bulan

Refractory anemia with


excess blasts in
transformation (RAEB-t)

Refarctow Cvto~enia
with excess blakts
(WEB)

no peripheral-blood blasts
anemia
5.15% marrow red-cell
precursors with ringed
sideroblasts

GOOD

FA6 Type
(% of patients)
RA (28)
W R S (24)
RAEB (23)
W E B - T (9)
CMML (16)

Leukemic
Evolution (%)
12
8
44
60
14

Median
Survival

Survival
Range

50
51
11
5
11

18-64
14-76+
7-16
2.5-1 1
9-60+

Months

Source: Cancer Genet Cytogenet. 1998; 32: 1-9

Months

Younger age
Normal or moderately reduced neutrophil and platelet counts
Low blasts counts in the bone marrow and n o blasts in the
blood
No Auer rods
Ringed sideroblasts
Normal karyotypes or mixed karyotypes withouts complex
chromosome abnormalities
In vitro bone marrow culture reveals nonleukemic growth
pattern

POOR
-

Advanced age
Severe neutropenia (<0.5x103/mm3) or thrombocytopenia
(<50~103/mm3)
High blasts count in B M or blasts in peripheral blood
Auer rods
Absence of ringed sideroblasts

Appelbaum FR,Anderson J (1998). Allogeneic bone marrow


transplantation for myelodysplastic syndromes:outcomes
analysis according to IPSS score.Leukemia ; I2:Suppl I :S25S29.
Bennet Jm, Catovsky D, Daniel MT, Flandrin G, GaltonDAG,
Bralnick HR, Sultan C (1982). Proposals for the classification
of myelodysplastic syndrom, Brit J Haematol. 5 1 : 189-99.
Greenberg P, Cox C, LeBeau MM, et al. (1997). International
scoring system for evaluating prognosis in myelodysplastic
syndromes. Blood; 89: 2079-2088.
Hellstrom-Lindberg E,Ahlg en T,Beguin Y,et al. (1998).Treatment
of anemia in myelodysplastic syndromes with g anulocyte
colony-stimulating factor plus erythropoietin:esults f om a
andomized phase I 1 study and long-term follow-up of 71
patients.Blood; 92:68 75.
Hellstrom E,Robert KH,Gahrton Get al. (1988). Therapeutic effects
of low-dose cytosine arabinoside,alpha-interferon,1 alphahydroxyvitaminD3 and etinoic acid in acute leukemia and
myelodysplastic syndromes.Eur J Haematol ; 40:449-59.
HofmannWK, Ottmann OG. Ganser A, Hoelzer D (1996).
Myelodysplastic syndromes:clinical features.Semin Hematol;
33: 177-85.
Khouri IF,Keating M,Korbling M,et al. (1998). Transplant1ite:induction of graft-versus-malignancy using fludarabine-based
nonablative chemotherapy and allogeneic blood progenitorcell transplantation as treatment for lymphoid malignancies. J
Clin Oncol.; 16:2817-24.
Kjeldsberg CR, Elenitoba-Johnson KSJ, et al. (2000). Myelodysplastic
Syndromes in: Practical Diagnosis of Hematologic Disorders.
3" edition. Editor: Kjeldsberg CR. ASCP Press (American
Society of Clinical Pathologists) Chicago, Illinois. Pp 369-430.
Koeffler HP,Heitjan D,Mertelsmann R,et al. (1998). Randomized
study of 13-cis etinoic acid v placebo in the myelodysplastic
disorders.Blood; 7 1 :703-8.
Mark LH., and David WG (1999). Myelodysplasia. New England
Journal of Medicine, May 27, Vol. 340 No. 21:1649-1660.
Michaux JL, Martiat P(1993). Chronic myelomonocytic leukemia
(CMML)-a
myelodysplastic
or
myeloproliferative
syndrome?Leuk Lymphoma; 9:35-4 1.

Molldrem JJ, Caples M, Mavoudis D, Plante M, Young NS. Barett


AJ. (1997). Antithymocyte globulin for patients with
myelodysplastic syndrome. Br J Haematol ; 99: 699-705.
Morel P,Declercq C,Hebbar M,Bauters F,Fenaux P. (1996). P ognostic
factors in myelodysplastic syndromes:critical analysis of the
impact of age and gender and failure to identify a very-low-risk
g oup using standard mortality atio techniques.Br J Haematol ;
94: 1 16-9.
Nevill TJ.Fung HC,Shepherd JD,et al. (1998). Cytogenetic
abnormalities in primary myelodysplastic syndrome are highly
predictive of outcome after allogeneic bone marow
transplantation. Blood ; 92: 1910-7.
Neg in RS,Haeuber DH,Nagler A,et al. (1990). Maintenance
treatment of patients with myelodysplastic syndromes using
ecombinant human granulocyte colony-stimulating factor.
Blood; 76:36-43.
Oscier DG (1999). The Myelodysplastic syndromes in:
Postgraduate Hematology. 4Ih edition. Editors : Hoffbrand AV,
lewis SM, Tuddenham EGD. Reed Educ.and Professional Publ.
Ltd, Italy; pp 445-461.
Parker JE,Pagliuca A,Mijovic A,et al. (1997). Fludarabine,cytarabine,
G-CSF and idarubicin (FLAG-1DA)for the treatment of
poor-risk myelodysplastic syndromes and acute myeloid
leukaemia.Br J Haematol; 99:939-44.
Pradono AP. Sindroma mielodisplastik (SMD) (1985). Medika 92326.
Saarni MJ,Linman JW (1971). Preleukemia: The hematologic
syndrome preceeding acute leukemia. Am J Clin Pathol. 55:28390.
Saitoh K,Miura [,Takahashi N,Miura AB (1998). Fluorescence in
situ hybridization of progenitor cells obtained by fluorescenceactivated cell sorthing for the detection of cells affected by
chromosome abnormality trisomy 8 in patients with
myelodysplastic syndromes. Blood; 92:2886-92.
Soebandiri. Santoso Nugrahi, Boediwarsono (1986). Perjalanan
Penyakit dan Kemampuan Hidup (survival ) dari Pasien Sindrom
Dismielopoetik Primer di Seksi Hematology Lab I. Penyakit
Dalam FK Unair / RS Dr. Sutomo Surabaya. Konas PHTDI V,
Semarang 14- 16 Oktober.

DASAR-DASAR BIOLOGIS
LIMFOPROLIFERATIF
Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari

Kelainan limfoproliferatif yaitu leukemia limfoid' dan


limfoma maligna merupakan keganasan sel limfoid yang
terjadi pada tahap diferensiasi yang berbeda. Pa& tahap
perkembangan sel pre-B dan pre-T pa& sunsum tulang,
keganasan yang terjadi adalah limfoblastik lekemi sel
prekursor B dan T yang bennanifestasi di sumsum tulang.
Sebaliknya, pada limfoma maligna terjadi perubahan
keganasan dari sel lirnfoid yang terdapat terutarna pada
jaringan limfoid. Meskipun leukemia dan lirnfomakeduanya
melibatkan organ retikuloendotelial, mereka berbeda secara
klinis dan biologis. Pengetahuan biologik tentang kelainan
limfoproliferatif menjadi dasar pemaharnan patogenesis,
diagnosis dan terapi.
Gambar I,.
Keganasan sel limfosit B dan tahap perkembangan
sel

PERKEMBANGAN LEUKEMIA DAN LIMFOMA


BERDASARKAN DlFERENSlASl SEL
Leukemia dan Limfoma Sel B
Delapan puluh perscn IeuLnlua Moblastikdan90% limfoma
non-Hodgkln's berasal dari sel B. Hal ini didasarkan pada
didapatkannya ekspresi antigen B-lineage-restricted dan
c'lonal rearrangements gen imunoglobulin rantai berat dan
ringan. Keganasan-keganasan ini berhubungan dengan
subpopulasi sel pre-B dan sel B matur dan secara klinis
dibedakan menjadi indolen dan agresif. Pada Gambar 1
dapat dilihat keganasan sel limfosit B dan hubungannya
dengan tahap perkembangan sel.
Leukemia dan Limfoma Sel T
Antigen sel T yang terbanyak diekspresi sebagai petanda

sel T adalah CD2 dan CD7. Pada Gambar 2 &pat dilihat


hubungan antara keganasan sel T dan tahapan
perkembangan sel T.

Leukemia dan Limfoma Sel Natural Killer


(NK)
Neoplasma sel NK merupakan neoplasma yang jarang
ditemukan. Sel NK berasal dari sel induk pluripoten dan
berhubungan dengan sel limfosit T yang berkembang
secara terpisah pada tahap tertentu. Sel NK dibedakan
dengan sel T secara imunologis. Sel NK tidak mernpunyai
TCR (T cell receptor) gene rearrangement, protein TCR,
CD3 dan biasanya tidak mempunyai CD5. Sel NK biasanya
mempunyai ekspresi NK-associated antigen (CD16, CD56,
CD57).2Klasifikasi neoplasma sel NK dapat dilihat pada
'Pabell.

IMUNOGLOBULIN (IG) DAN T CELL RECEPTOR


(TCR) REARRANGEMENT
MBnfnity 01
f %dlALL

8 q e2

Manonlyaf f=ALL
Mqoaty at t=ALL

M~lunt Helper Cell


CD: 2,3,4,B, $,7:fCW

Gambar 2. Diferensiasi dan keganasan sel T

'

lmatur

MyeloidlNK cell precursor


acute leukemia
Elastic NK-cell lymphoma

Matur

Leukemia :
Indolent : Large granular
lymphocyte (LGL) leukemia
Agresif : NK-cell leukemia
NasaVnasal type NWT cell
lymphoma

Sebagian besar keganasan limfoid berasal dari sel B atau


T yang telah mengalami clonal immunoglobulinatau TCR
rearrangement yang fisiologis. Karena itu, identifikasi
clonal IgITCR rearrangement (lymphoid clonality)
digunakan untuk membantu diagnosis dan pernantauan
terapi.

Perkembangan Sel B dan immunoglobulin


Gene Rearrangement
Perkembangan sel B di surnsum tulang dimulai dengan
pembentukan gen-gen untuk variable region antibodi
rantai ringan dan berat pada progenitor sel B melalui proses
yang disebut V(D)J, (Variable-Diversity-Joining)
recombination. Pada proses ini, DNA yang terletak di
antara bagian g n mengalami delesi. Gen-gen pada variable
region immunoglobulin rantai ringan (k atau 1) terbentuk
dari elernen V dan J, sedangkan pada irnunoglobulinrantai
berat, variable region terbentuk dari elernen V, D dan J.
Proses rekombinasi ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Terdapat bermacarn-macam segrnen V, D &n J pada germ
line sehingga setiap sel B memiliki gen tertentu untuk
variable region yang berbeda satu sama lain dan
mengkode antibodi yang berbeda. Gene rearrangement
ini juga membuat setiap sel B mernpunyai petanda klonal
tersendiri yang penting dalarn analisis limfoma sel B.

Nasal dan Nasal Type NK-cell Neoplnsma, Merupakan


neoplasma sel NK yang paling sering ditemukan dengan
karakteristik adanya pola pertumbuhan angiosentrikl
angiodestruktif dengan nekrosis zonal. Tumor ini
mempunyai predileksi pada kavitas nasal dan sinus
paranasal. Sering disebut juga lethal midline granuloma
atau polimorfik retikulosis.Nasal type limfoma mempuny~
gambaran histologis yang sama, tetapi berasal dari
ekstranodal seperti kulit, traktus gastrointestinal, testis,
ginjal, traktus respiratori bagian atas dan rnatalorbita.
Hodgkin's Disease
Reed-Stemberg (RS) sel merupakan karakteristik penyakit
Hodgkin's. Sel RS dibedakan dengan sel limfoma nonHodgkin secara imunologis dengan tidak ditemukannyaT
atau B-cell associated antigens. Sel RS mernpunyai
ekspresi:
0 1 5
Merupakan antigen golongan darah Lewis X yang
berfungsi sebagai reseptor adhesi.
030(Ki-1)
Sel RS dapat mempunyai monoklonal atau poliklonal
immunoglobulin gene rearrangements. Pada beberapa
kasus ditemukan juga T cell receptor b-chain
rearrangements.

Gambar 3. V(D)J Recombination pada Perkembangan Sel 6

Sel B nayve yang mengenali antigen melalui membranebound antibodi, terdapat pada senter germinal organ lirnfoid
sekunder: kelenjar limfe, limpa dan MALT (mucosaassociated lymphoid tissue).Genornik DNA sel B kemudian
mengalami 3 tipe modifikasi yaitu (Gambar 4):
Receptor editing. Proses pergantian rantai polypeptide
antibodi dengan rantai yang lain, biasanya terjadi pada
imunoglobulin rantai ringan.
Class switching. Beberapa sel B pada senter germinal
mengalami pergantian dari ekspresi IgM dan IgD menjadi

Iffi IgA atau I&. Proses ini menimbulkan perubahan fungsi


efektor antibodi tanpa perubahan V(D)J region.
HipermutasiSomatik. Proses mutasi (terutarnaperubahan
single-nucleotide,juga delesi dan duplikasi) terjadi dengan
frekuensi tinggi pada gen variable-region. Proses mutasi
ini menyebabkan berkembangnya sel B mutan pada senter
germinal yang menghasilkan antibodi dengan peningkatan
afinitas terhadap antigen tertentu. Sel B rnutan yang tidak
rnempunyai kemampuan berikatan dengan antigen atau
tidak menghasilkan antibodi tertentu akan mengalami
apoptosis.

Rearrangement pada Sel B Normal. Setiap sel B normal


mempunyai 2 gen IgG rearrangement :VH-N-D,-N-J, dan
VL-N-JLyang berbeda untuk setiap sel. Masing-masing sel
B berbeda satu sama lain berdasarkan rearrangement gen
IgH yang berbeda. Keadaan diversitas ini disebut
poliklonalitas
Rearrangement pada Sel B Limfoma. Sel B limfoma
rnempunyai sekuens VH-N-DH-N-JH
dan VL-N-J, yang
identik. Hal ini rnenunjukkan bahwa sel limfoma berasal
dari sel B yang sama sehingga disebut monoklonalitas
Perkembangan sel B, immunoglobulin gene
rearrangement dan hubungannya dengan limfoma dapat
dilihat pada tabel 2 dan garnbar 5.

*ef yf?;.,
. .

. . . . . . . ;,.

-?+' =' -.

.
.

<. . . .
. . ~.

..

. , '

rn

s&nabz
. . .

..

-i: -

% I
F I

.. : :

I..

;>

bmaHc mutatlonr in-av

Gambar 5. Limfoma sel B dan perkembangan sel B

'.<

.
e

,,:.,
. ,,,:.
.

. ' , . ..

Gambar'4. Proses Modiiikasi Mdekular Gen yang Mengkode Antibodi

No mutations In vsrlable.reglon genes

c-.

gem

.,.,,
,..
,,
.

..
, / , .

Gen

Sel B
Sel induk
Sel pro-B

G e m line
G e m line

Sel pre-B

IgH rearrangement, p-chain


(sitoplasma)

Sel B imatur

IgUlgH rearrangement, IgM


(rnernbran)

Mutasi
sornatlk

Protein Ig

Limfoma

Marker
CD34
CD19,CD79a,
BSAP,CD34,CDIO, TdT
CD19, C D ~ ~ CD79a.
R.
BSAP, CD34, CD10, TdT

IgM
(membrane)

lgHlL rearrangement, IgM, IgD


(mernbran)

B-LBUALL

CD19, CD20, CD45R,


CD79a, CDIO. BSAP
CD19, CD20, CD45R,
CD79a, BSAP, CD5

B-CLL. MCL

Geminal
center (CB.
CC)

lgHlL rearrangements, class


switch

rnulai mutasi
somatik

lg (minimal atau
tidak ada)

CD19. CD20.
C D ~ ~ R , C D ; ~BSAP,
~,
CD10, BCL6

BF. FL. LPHL.


DLBCL, CHL'

Sel B rnernori

lgHlL rea&ngement

rnutasi sornatik

IgM

MZL, B-CLL

Sel plasma

lgHlL rearrangement

mutasi sornatik

IgG>IgA>IgD

CD19, CD20, CD45R,


CD79A. BSAP
CD38, ~ s 3 8 cMUM-1,
,
CD138

Plasmasitomal
mieloma

Keterangan :
CB

: centroblast

LPHL

: lymphocyte-predominant Hodgkin lymphoma

CC

: centrocyks

DLBCL

: Diffuse large cell 6 -cell lymphoma

lg
B-LBL

: irnunoglobulin
: 6-cell lymphoblasticlymphoma

cHL

: classic Hodgkin lymphoma

MZL

: marginalzone Scell lymphoma

B-CLL

: chronic lymphocytic leukemia

BSAP

: B cell specific activator protein

MCL

: mantle cell lymphoma

MUM-I

: Multiple myeloma oncogene

BL

: Burkilt lymphoma

TdT

: ~ermihaldeoxynucleotidyl

FL

: follicle center lymphoma

Perkembangan Sel T dan T-cell Receptor


(TCW
T-cell receptor merupakan molekul transmembran, terdiri
dari a h atau g/d heterodimer. Setiap a,b,g dan d chain
terdiri dari variable domain dan constant domain. Proses
rearangement segrnen V, D ,J dan C juga terjadi pada TCR
seperti pada IgH rearrangement. Pre-T cell mempunyai
imatur TCR yang terdiri dari b chain dan pre-Ta chain
yang akan berkembang menjadi a chain dan membentuk
matur TCR pada sel T.

gen yang dalam keadaan normal mengatur sintesis


imunoglobulin rantai ringan dan berat berpindah posisi
pada gen-gen yang mengatur aktivasi dan proliferasi sel.
Diduga, gen-gen yang mengalami transformasi ini
(onkogen) diatur oleh elemen regulatori yang dalam
keadaan normal mengatur proliferasi dan diferensiasi sel.
Beberapa translokasi kromosom pada limfoma non
Hodgkin dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 6.

BL

PATOGENESIS LIMFOMA DAN LEUKEMIA


Beberapa gen berperan dalam patogenesis limfow dan
leukemia. Abnormalitas'sitogenetiktelah ditemukan pada
beberapa tipe limforna dan leukemia. Translokasi kromosom
merupakan genetic hallmark keganasan limfoid. Proses
ini diduga berhubungan dengan antigen receptor gene
rearrangement (gen Ig pada sel B dan gen TCR pada sel
T). Gambaran umum translokasi gen ini adalah berubahnya
letak protoonkogen pada daerah proksimal rekombinasi
kromosom. Hal ini menyebabkan berubahnya pola ekspresi
gen sebagai akibat juxtaposition regulatory sequens dari
kromosom (deregulasi protoonkogen). Sekuens DNA dari
beberapa translokasi kromosom menunjukkan bahwa gen-

F L - - - - - - - - - - +DLBCL
-C3-

*4

Garnbar 6. Translokasi gen pada iimfoma

Tlpe hlstologls

Tfanslokasl

Mekanisme
aktlvasi
proto-onkogen

Proto-

kasus

Onkogen

Fungsi protoonkogen

Limfoplasmasitik

t(9;14)(p13;q32)

50

PAX4

Deregulasi
transkripsional

Folikular

t(14;18)(q32;q21)
t(1;18)(pll;q21)
t(18;22)(q21 ;ql 1)

90

BCL-2

Deregulasi
transkripsional

Mantle cell

t(l1;14)(q13;q32)

70

MALT

t(l1;18)(q21;q21)
t(1;14)(p22;q32)

50
jarang

BCL-1 lcyclin
Dl
APl2lMLT
BCL-10

Diffuse large
8-cell

der(3)(q27)

35

BCL-6

Deregulasi
transkripsional
Protein fusi
deregulasi
transkripsional
Deregulasi
transkripsional

Burkiti

t(8;14)(q24;q32)
t(2;8)(pll ;q24
t(8;22)(q24:qll)
t(2;5)(p23;q35)

80
15
5
60

c-MYC

Deregulasi
transkripsional

Faktor transkripsi
regulasi proliferasi sel

NPMIALK

Protein fusi

ALK merupakan tirosin


kinase

Anaplasfic large
T-cell

Keterangan:
: Paired homeobox family-5
PAX-5
:8-cell leukemiallymphoma-2
BCL-2
BCL-1
: B-cell leukemia/lymphoma-1
: Apoptosis inhibitorkinase
AP121MLT

IMPLlKASl KLlNlS PENGETAHUAN DASAR


BlOLOGlS
Dasar biologis keganasan limfoproliferatif meliputi
pengetahuan tentang diferensiasi limfosit dan moleku1,ar
genetik. Pengetahuan tentang ha1 tersebut mempunyai
implikasi yang berhubungan dengan beberapa aspek klinis
antara lain:

Gambaran Klinis
siapa yang terkena penyakit: pasien dengan populasi
sel normal yang banyak mempunyai kemungkinan
mengalami transformasi neoplasma. Limfoblastik

Regulator siklus sel


Anti apoptosis

Represor
transkrlpsional pada
pembentukan senter
germinal

:8-cell leukemiallymphoma-6
: 8-cell leukemiallymphoma-10
: Nucleophosminlanaplastic lymphoma kinase

BCL-6
BCL-10
NPMIALK

Translokasi kromosom pada leukemia akut pre-B.


* t(9;22) BCR-ABL (Break chain region-Abelson)
rearrangement yang menghasilkan tirosin kinase
abnormal (p 190atau p2 10BCR-ABL) didapatkan pada
30 % kasus.
Translokasikromosom 1lq23 ( gen MLL, HRX,ALL 1)
(...........) didapatkan pada 5% kasus. Translokasi ini
menghasilkan abnormal DNA binding protein yang
selanjutnya menimbulkan transkripsi gen abnormal.
Pada sekitar 50 % kasus leukemia akut sel T, ditemukan
translokasi yang melibatkan gen reseptor antigen sel T
(14q11,7q34)yang menimbulkan ekpresi abnormal faktorfaktor transkripsi tertentu.

Faktor transkripsi
regulasi proliferasi dan
diferensiasi sel B
Regulasi negatif
apoptosis

limfoma sering ditemukan pada masa anak-anak karena


pada usia ini didapatkan banyak sel prekursor B.
Mieloma sel plasma sering ditemukan pada usia dewasa
tua karena pada usia ini didapatkan banyak sel plasma
yang telah mengalami paparan antigen setelah melewati
senter germinal.
Perjalanan penyakit: tumor yang berhubungan dengan
sel normal yang aktif berproliferasi seperti limfoblas
dan sentroblas cenderung berkembang dengan cepat
dan agresif. Tumor yang berasal dari sel-sel pada
keadaan istirahat seperti CLLISLL cenderung bersifat
indolen
Letak tumor: tumor yang berasal dari sel prekursor akan
berkembang menjadi leukemia akut; sel pada senter
germinal akan berkembang menjadi tumor pada folikel
limfoid di seluruh tubuh; sel pada MALT akan
berkembang pada daerah ekstranodal.

Patogenesis
Proses genetik yang terjadi selama diferensiasi sel
melibatkan rearrangement dan mutasi gen imunoglobulin.
Selama proses ini, dapat terjadi kelainan-kelainan genetik
translokasi atau mutasi gen imunoglobulin yang
mengakibatkan perkembangan neoplasma. Sebagian besar
translokasi kromosom pada neoplasma limfoid
memindahkan protoonkogen ke daerah promoter gen
reseptor antigen (gen imunogloblulin atau gen reseptor
sel T).

Klasifikasi dan Diagnosis


Kombinasi morfologi, imunofenotipe, rearrangement dan
mutasi gen serta gambaran klinis digunakan untuk
klasifikasi dan diagnosis keganasan limfoproliferatif.
Pengobatan
Pengetahuan dasar biologis neoplasma limfoid digunakan
untuk penelitian terapi. Tumor dengan proliferasi yang
cepat pada umumnya berespon dengan obat-obat yang
mengganggu sintesis DNA. Abnormalitas genetik dapat
menjadi target terapi seperti arztisense oligonucleotida
terhadap gen anti-apoptosis seperti BCL2, obat dengan
target protein fusi seperti NPMIALK atau API2IMLT1 atau
obat penghambat protein pengatur siklus sel seperti siklin
Dl.
Deteksi Minimal Residual Disease (MRD)
Dengan tehriik PCR untuk mendeteksi Ig ,TCR gene
rearrangement atau translokasi kromosom lainnya, dapat
dideteksi 1 sel tumor di antara lo5-LO6sel normal. PCR dapat
digunakan untuk mendeteksi sel limfoma pada darah atau
sumsum tulang. Pemeriksaan ini dapat menilai remisi
komplit secara lebih akurat dan sebagai pertimbangan
apakah terapi hams diteruskan, dihentikan atau diganti
dengan yang lebih intensif.

Delves PI, Roitt 1M. Advanced in immunology: the immune


system. N Engl J Med 2000; 343: 37-49.
Freedman AS, Nadler LM. Malignancies of lymphoid cells. In : Fauci
AS. Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper
DL, et al. editors. Harrison's principles of internal medicine.
14Ihed. New York: McGraw-Hill; 1998. p. 695-8.
Gaidano G Dalla-Fevera R. Lymphomas. In: De Vita Jr VT, Hellman
S, Rosenberg SA, editors. Cancer principles and practice of oncology. 6 ' h d . Philadelphia: Lippincot-Raven; 2001. p. 22 1535.
Greer JP, Kinney MC, Loughran Jr TP. T cell and N K cell
lymphoproliferat~vedisorders. Hematology 200 1 : 259-8 1.
Hanis NL, Stein H, Coupland SE, Hummel M, Favera RD, Pasquducci
L, et al. New approach to lymphoma diagnosis. Hematology
200 1 : 194-220.
Macintyre E, Willerford D, Morris SW. Non-Hodgkin's lymphoma:
molecular features of B cell lymphoma. Hematology 2000:
180-94.
Kuppers R, Klein U, Hansmann ML, Rajewsky K. Cellular origin of
human B-cell lymphomas. N Engl J Med 1999;341:1520-9. '

LIMFONIA NON-HODGKIN (LNH)


A. Harryanto Reksodiputro, Cosphiadi Irawan

PENDAHULUAN

KELENJAR LlMFE

Limforna Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan


primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit
T dan kadang ( m a t jarang) berasal dari sel NK ("natural
killer") yang berada dalam sistem limfe; yang sangat
heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis,
respon terhadap pengobatan, maupun prognosis. Pada
LNH sebuah sel limfosit berproliferasi'secara talc terkendali
yang mengakibatkanterbentuknya tumor. Seluruh sel LNH
beisal d&i satu sel limfosit, sehingga semua sel dalam
tumor pasien LNH sel B memiliki imunoglobulin yang sama
pada permukaan selnya.
Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan
terdapat 54.900 kasus baru, dan 26.100 orang meninggal
karena LNH. Di Amerika Serikat, 5% kasus LNH baru
terjadi pada pria, dan 4% pada wanita per tahunnya.
Pada tahun 1997, LNH dilaporkan sebagai penyebab
kematian akibat kanker utama pada pria usia 20-39 tahun.
Insidensi LNH di Amerika Serikat menurut National
Cancer Institute tahun 1996 adalah 15.5 per 100.000.
LNH secara umum lebih sering terjadi pada pria.
Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertarnbahnya
usia dan mencapai puncak pada kelornpok usia 80-84
tahun. Saat ini angka pasien LNH di Amerika semakin
meningkat dengan pertambahan 5-10% pertahunnya
,menjadikannya urutan ke lima tersering dengan angka
kejadian 12-15 per 100.000 penduduk. Di Perancis
penyakit ini merupakan keganasan ketujuh tersering.
Di Indonesia sendiri LNH bersama sama dengan penyakit
Hodgkin dan leukemia menduduki urutan ke enam
tersering .Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya
mengapa angka kejadian LNH terus meningkat. Adanya
hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan LNH
kiranya memperkuat dugaan adanya hubungan antara
LNH dengan infeksi.

Untuk dapat memahami penggolongan histologis LNH,


rnarilah kita bahas secara singkat perihal arsitektur kelenjar
limfe, yaitu organisasi struktur, asal clan migrasi limfosit,
serta tranformasi limfosit. Sistem limfe adalah jaringan
tubuli tubuli yang amat tipis yang bercabang-cabangseperti
pembuluh darah. Pembuluh limfe berisi cairan bening yang
berisi sel limfosit dan merupakan sarana yang mengalirkan
sel limfosit keseluruh tubuh.

Gambar 1. Struktur kelenjar getah bening. Folikel-folikel dihuni


padat oleh sel- Sel B yang membentuk pusat germinal. Sel B juga
menghuni daerah medulasedangkan daerah parakorteksterutarna
mengandung sel T. Modifikasi dari Fudenberg HH. Stities DE,
Caldwell JL, Wells JV. Basic and Clinical Immunology. Los Altos
California : Lange Publications, 1979;82.

Gambar 1 memperlihatkan bagan stmktur kelenjar


limfe, yang terbagi dalam tiga bagian utama yhtu: korteks,
para korteks dan medulla: Di dalam korteks didapati folikelfolikel yang berbentuk sferis, yang terisi penuh limfosit B.
Di tengah folikel-folikel ini dapat ditemukan daerah yang
berwarna agak pucat yang dinamakan pusat germinal
("centrum germinativum") yang di dalamnya dapat
ditemukansel blast, sel besar clan makrofag; yang memberi

garnbaran seperti "langit berbintang". Daerah parakorteks


berisi limfosit T, sedang daerah medulla pada dasarnya
dihuni oleh sel B .

PATOGENESIS TRANFORMASI DAN MlGRASl


LlMFOSlT
Berbeda dengan sel hematopoeitik yang lain, limfosit kecil
(matangltua) bukanlah merupakan sel tahap akhir dari
perkembangannya, akan tetapi mereka dapat merupakan
permulaan liqopoiesis baru yang timbul sebagai reaksi
terhadap rangsangan antigen yang tepat. Hal ini dibuktikan
oleh Nowcll pada tahun 1960 dsn peneliti lain yang
memperlihatkan sel limfosit kecil (matang) mampu .
mengadakan perubahan morfologi (transformasi) dan
berproliferasi sebagai reaksi terhadap rangsangan lektin
nabati (plant lectin)
Seperti sel darah lainnya, sel limfosit dalam kelenjar
limfejuga berasal dari sel-sel induk multipotensialdi dalam
sumsum tulang. Sel induk multipotensial pa& tahap awal
bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit yang
kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian
mengalami "pematangan" dalam kelenjar thymus untuk
menjadi sel limfosit T, dan sebagian lagi menuju kelenjar
/
limfe atau tetap berada dalam sumsum tulang dan
berdiferensiasi mknjadi sel limfosit B.
Apabila ada rangsangan oleh antigen yang "sesuai"
maka limfosit T maupun B &an bertransformasi menjadi
bentuk aktif dan berproliferasi. Limfosit T aktif
menjalankan fungsi respon imunitas seluler, sedangkan
lirnfosit B aktif menjadi imunoblas yang kemudian menjadi
sel plasma yang membentuk imunoglobulin. Terjadi
perubahan morfologi yang mencolok pada perubahan ini,
dirnana sitoplasmayang sedikit I kecil pa& limfosit B "ma"

menjadi bersitoplasma banyaklluas pada sel plasma,


perubahan ini terjadi pada sel limfosit B disekitar atau di
dalam "centrumgenninativum"; sedangkan limfosit T aktif
berukuran lebih besar dibanding limfosit T "tua". (Gambar
2
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limforna
merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu
sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada
dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi
akibat adanya rangsangan imunogen). Hal yang perlu
diketahui adalah proses ini terjadi di dalam kelenjar getah
bening, dimana sel limfosit tua berada diluar "centrum
genninativum" sedangkan imunoblast berada di bagian
paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa
perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1).
Ukurannya makin besar; 2). Kromatin inti menjadi
lebihWhalus";3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein
permukaan sel mengalami perubahan (reseptor ?).
Hal mendasar lain yang perlu diingat adalah bahwa sel
yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap
mempertahankan sifat "dasar"nya. Misalnya sel kanker
dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudahmasuk
aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah,
sedangkan sel kanker dari imunoblas amat jarang masuk
ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat mitosis yang
tinggi.

ETlOLOGl DAN FAKTOR RlSlKO


Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun
terdapat beberapa.faktor risiko terjadinya LNH, antara lain:
ImunoDefisiensi: 25% kelainan herediter langka yang
berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah:
severe combined immunodeficiency, hypogamma

Gambar 2. Transforrnasi limfosit B dan T menurut konsep Lukes. Modifikasi dari Lukes RJ.
Boerhave Committee for Postgraduate Medical Edcuation. International Course on Malignant
Lymphomas, Noorwijkerhout, 1979, V-2.
/

Penulis

1. Rappaport

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Gambar 3. Transformasilimfosit B dan T menurut konsep Lennert.


E Sheep E receptor, EAC= complement receptor, S-lg= Surface
Immunoglobulin, C-lg= lntacytoplasmic Immunoglobulin,
Ag=Antigenic stimulation. Modifikasidari Lennert K, Stein H, Mohri
N, Katserling E, Muller-Herrnelink HK.Malignant Lymphomas other
than Hogkin's disease. Berlin. Springer-Verlag, 1978: 99.

globulinemia, common variable immunodeficiency,


Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia.
Lirnfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan
tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Bm
virus (EBV) dan jenisnya beragam, mulai dari hiperplasia
poliklonal sel B hingga limfoma monoklonal.
Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma
Burkit endemik, dan lebihjarang ditemukan pada limfoma
Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma
Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV
terhadap terjadinya limfoma Burkit belurn dlketahui. Sebuah
hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor
lingkungan dapat meningkatkan jurnlah prekursor yang
terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya
kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan
posttransplant lymphoproliferative disorders (PTLDs)dan
AIDS-associated lymphomas.
Paparan L i k u n g a n dan Pekerjaan:Beberapapekerjaan
yang sering dihubungkan dengan risiko tinggi adalah
peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini
disebabkan adanya paparan herbisida clan pelarut organik.
Diet dan paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada
orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani,
merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet.

KLASlFlKASl I-IMFOMA NON HODGKIN


Penggolongan histologis LNH mempakan masalah yang
rurnit dan sukar, yang kerap mengunakan istilah-istilah
yang dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda beda
sehingga tidak memungkinkan diadakannya perbandingan
yang bermakna antara hasil hasil berbagai pusat penelitian.
Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Lukes
Lennert
Gerard Marchant
Bennet
Dorfman
WHO
Formulasi Praktis

9. REAL revised10. WHO IREAL

Tahun

1966 dan
1976
1974
1974
1974
1974
1974
1976
1982

1993
1997

Nama Klasifikasi
Modified Rappaport
Lukes-Collins
Lennert
Kiel
BNLC*
Dorfrnan
WHO"
Formulasi Praktis 1
Working Formulation 1
WF
REAL
WHO 1 REAL

* British National Lymphoma Classification


" World Health Organization

6-cell neoplasms
I. Precursor B-cell neoplasm: precursor B-acute
lyrnphoblast~cleukemiallymphoblastic lymphoma (8ALL, LBL)
II. Peripheral B-cell neoplasms
A. B-cell chronic lymphocytic leukemialsmall
lymphocytic lymphoma
B. B-cell prolymphocytic leukemia
C. Lymphoplasmacytic lymphomalimmunocytoma
D. Mantle cell lymphoma
E. Follicular lymphoma
F. Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT
type
G. Nodal marginal zone B-cell lymphoma &monocytoid
B-cells)
H. Splenic marginal zone lymphoma &villous
lymphocytes)
I. Hairy cell leukemia
J. Plasmacytomalplasma cell myeloma
K. Diffuse large B-cell lymphoma
L. Burkitt's lymphoma
T-cell and putative NK-cell neoplasms
I. Precursor T-cell neoplasm: precursor T-acute
lymphoblastic leukemiallymphoblastic lymphoma
(TALL, LBL)
II. Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms
A. T-cell chronic lymphocytic leukemialprolymphocytic
leukemia
B. T-cell granular lymphocytic leukemia
C. Mycosis fungoideslSezary syndrome
D. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise
characterized
E. Hepatosplenic gammaldelta lymphoma
F. Subcutaneus panniculitis-like T-cell lymphoma
G. ~n~iommunoblastic
T-cell lymphoma
H. Extranodal T-INK-cell lymphoma, nasal type
I. Enteropathy-type intestinal T -cell lymphoma
J. Adult T-cell lymphomafleukemia (HTLV I + )
K. Anaplastic large cell lymphoma, primary systemic
type
L. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneous
type
M. Aggressive NK-cell leukemia

Perkembangan terakhir klasifikasi yang banyak dipakai


dan diterima dibanyak pusat kesehatan adalah formulasi
praktis ("Working Formu1ation"lWF) dan REAL / WHO.
WF menjabarkan karakteristik klinis dengan deskriptif
histopatologis, namun belum menginformasikan jenis sel
limfosit B atau T, maupun berbagai patologis klinis yang
baru. WF membagi LNH atas derajat keganasan rendah,
menengah dan tinggi yang mencerminkan sifat agresifitas
mereka. Klasifikasi WHOmEAL beranjak dari karakter
imunofenotip (sel B, sel T dan sel NK) dan analisa
"lineage" sel limfoma. Klasifikasi terakhir ini diharapkan
menjadi patokan baku dan cara berkomunikasi di antara
ahli hernatologi-onkologimedik.
Hal yang perlu dicatat idalah 25% pasien LNH
menunjukkan gambaran sel limforna yang bermacam macam
pada satu lokasi yang sama; maka dalam ha1 ini
pengobatannya hams berdasarkan gambaran histologis
yang paling dominan. Oleh karena itu diagnosis klasifikasi
LNH harus selalu berdasarkan biopsi KGB dan bukan
evaluasi sitologi atau biopsi surnsum tulang semata.

Low grade lymphomas


A.
Small lymphocytic.
consistent with CLL
plasmacytoid
B. Follicular, predominantly
small cleaved cell
C. Follicular, mixed small
cleaved and large cell
Intermediategrade
lymphomas
D. Follicular, large cell
E.
Diffuse, small cleaved cel
F. Diffuse, mixed small and
large cell
G. Diffuse large cell
Highgrade lymphomas
H. Large cell, immunoblastic
I.
Lymphoblastic
J.
Small, non-cleaved cell
Burkis, Non-Burkilt's

B-cell neoplasma (REAL)

PENDEKATAN DlAGNOSTlK
Anamnesis
Umum:
Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum
- Berat badan menumn 10%
gejala
dalam waktu 6 bulan
- Demam tinggi 38C 1 minggu
sistemik
tanpa sebab
- Keringat malam
Keluhan anemia
Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)
Penggunaan obat (Diphantoine)
Khusus:
Penyakit autoimun (SLE, Sjogren, Reuma)
Kelainan darah
Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis,
tuberkulosis lues, penyakit cakar kucing)

I+

WF

T-cell neoplasma (REAL)

WF

T-cell CLUPLL
LGL
ATUL (chronic and smouldering types
Mywsis fungoides/Sezarysyndrome

A.E
A-E
A.E

Small lymphocytic CLUPLL


Lymphoplasmacytoid-immunocytoma

Plasmacytomalrnyeloma
Hairy cell leukemia

A,F

Other
Other

Marginal zone lymphoma


Splenic
ExtranodallMALT
Nodal
Follicle center, follicular
Grade1
Grade 1
I
Grade Ill
Follicle center, diffuse small cell
Mantle cell lymphoma
Diuse large B-cell, including :
T-cell rich
lmmunoblastic
Mediastinal
Precursor B-cell (lymphoblastic)
Burkitt's lymphoma
Burkilt's-like (High grade B-cell lymphoma)

A,B,E,F
F
G,H
G,H
I
J
J

Peripheral T-cell lymphoma


(+I- HTLV-1)
Unspecified
Angioimmunoblastic
Anoiccentric
Intestinal

Anaplastic large cell lymphoma


Precursor T-cell (Lymphoblatsic)

E,F,G,H,J
E.F,G,H
E.F.G,H
E.G,H

H
I

Referensi : Rosenberg SA, Berard CW; Brown BW et al. National Cancer Institute Sponsored study of Classification of Non-Hodgkin's
Lymphomas. Cancer 1982;49(10):2112-35. Harris NL, Jaffe ES, Stein H et al. Revised European-American Classification of Lymphoid
neoplasms : a proposal from the International Lymphoma study group, Blood 1994 ;84(5):1361-92. Shipp MA, Mauch PM, Harris NL. Non
Hodgkin's Lymphoma . In DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer : Principles and Practice of Oncology, Srnedition.
Philadhelphia : Lippincott-Raven, 1997.pp 2165-220.

Pemeriksaan Fisik
Pembesaran KGB
Kelainanlpembesaran organ
Performace status: ECOG atau WHOlKarnofsky
Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Rutin
Hematologi:
- Darah perifer lengkap (DPL)
- Gambaran darah tepi (GDT)
Urinanalisis:
- Urinlengkap
Kirnia W:
- SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam
urat
- Alkali fosfatase
- Gula darah puasa dan 2 jam pp
- Elektrolit: Na, K, C1, Ca, P
Khusus
- GarnmaGT
- Cholinesterase (CHE)
- LDWfraksi
- Serum Protein Elektroforesis (SPE)
- lmuno Elektroforese (IEP)
- Tes Coombs
- B, Mikroglobulin
b. Biopsi
Biopsi KGB dilakukan hanya 1 kelenjar yang paling
representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat
kelenjar periferlsuperfisial yang representatif,maka
tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal.
Spesimen kelenjar diperiksa:
- Rutin
Histopatologi: REAL-WHO dan Working
Formulation
- Khusus
Imunoglobulin permukaan
Histolsitokimia
Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi
dan sito1ogi:FNAB dilakukan atas indikasi tertentu.
Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi.
c. Aspirasi sumsum tulang (BMP)dan biopsi sumsum
tulang dari 2 sisi spina iliaca dengan hasil spesimen
sepanjang 2 cm.
d. Radiologi
- Rutin:
- Toraks foto PA dan lateral
- CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah)
- Khusus:
- CT scan toraks
- USGAbdomen
- Limfografi, limfosintigrafi
e. Konsultasi THT: Bila cincin Waldeyer terkena, dilakukan

gastroskopi atau foto saluran cerna atas dengan kontras.


f. Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan
serebrospinal jika dilakukan punksilaspirasi diperiksa
sitologi dengan cara cytospin, di samping pemeriksaan
rutin lainnya.
g. lmmunophenon,pirzg:Parafin panel: CD 20, CD 3.

STADIUM PENYAKIT
Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan
sebelum pengobatan dan setiap lokasi jangkitan harus
didata dengan cermat, digambar secara skematik dan didata
tidak hanya jumlah namun juga ukurannya. Hal ini sangat
penting dalam menilai hasil pengobatan.

Stadium

Keterangan

Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hanya


1 regio
I E: jika hanya terkena 1 organ ekstra limfatik
tidak difus Ibatas tegas
Pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih
satu s~sidiafragma
11 2: pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi
diafragma
11 3: pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisl
diafragma
II E: pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1
sisi diafragma dan 1 organ ekstra limfatik tidak
difus 1 batas tegas
Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma
Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih
tetapi secara difus

II

111
IV

Catatan: 1. Untuk kesepakatankode S: Spleen (jika terkena limfa)


H: Hepar (jika terkena hati) P: Pulmo (jika terkena parulpleura) C:
Cerebral (jika terkena susunan syaraf pusat) 0 : 0 s (jika terkena
tulang) I: Intestinal (jika terkena saluran cerna) 2.Yang dimaksud
dengan organ limfatik adalah: KGB, timus, limpa, plagues payer,
appendix 3. Cervical dan supraclavicula disisi yang sama adalah
1 lokalisasi 4. Aksila dan infraclavicula disisi yang sama adalah 1
lokalisasi 5. Mediastinum dan hilus adalah 1 lokalisasi 6.
Pertumbuhanjaringan paru sekitar hilus atau paket KGB Mediastinal adalah ekstra nodal tetapi bukan stadium IV 7 . Bulky Mass
adalah massa tumor dengan diameter terpanjang lebih atau sama
dengan 10 cm dan ratio mediastinurn: thoraks > 0,35. Setiap
pernbesaran KGB dicatat ukurannya. Stadium A bila tidak ditemui
gejala sistemik dan B bila diternui 1 atau lebih gejala sistemik.

FAKTOR PROGNOSTIK
LNH dapat dibagi kedalarn 2 kelompok prognostik:
Indolent Lymphomu dan AgresifLymphoma. LNH Indolen
memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median
survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan
pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah
noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki

perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat


disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi
kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien
dengan gambaran histologis "divergen" baik pada
kelompok Indolen maupun Agresif.
International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk
memprediksi outcome pasien dengan LNH Agresif Difus
yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang
mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan
pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang
mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH, status
performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra
nodal. Tiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga abnormalitas dijumlahkan untuk
mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat antara
0-5. Pada pasien usia <60 " (age ndj~tstedIPI), indeks yang
digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor
stadium anatomis, serum LDH, dan status "peformance",
tanpa status ekstra nodal.

Umur

-< 60 tahun = 0
> 60 tahun = 1

TUMOR STAGE
ANN ARBOR

I atau II = 0
Ill atau 1V = 1

LDH serum

Normal = 0
Meningkat = 1

ECOG
PERFORMANCE
STATUS

Tak ada gejala


Ada gejala

= 0-=0
= I--

Bedridden < 112 day = 2-----Bedridden 1112 day = 3


Chronically bedridden = 4--Keterlibatan
ekstranodal

=1

< 1 tempat = 0
> Itempat = I
Skor Total

Kev scores
Low risk = 0.1
Intermediate = 2

high intermediate = 3
high risk = 4.5

LNH lndolen
Indolen, Stadium I dan Stadium II,Kontrol penyakitjangka
panjang atau perbaikan masa bebas penyakit ("diseasefree
survival ") secara bermakna dapat dicapai pada sejumlah
pasien LNH indolen stadium I atau stadium I1 dengan
menggunakan dosis radiasi 2500-4000 cGy pada lokasi yang
terlibat atau pada lapangan yang lebih luas yang mencakup
lokasi nodal yang berdekatan. (termasuk sistem KGB terkait
dengan ekstra nodal yang terlibat)
Standar pilihan terapi: 1). Iradiasi 2). Kemoterapi

dengan terapi radiasi 3). Extended (regional) irradiasi,


untuk mencapai nodal yang bersebelahan. 4). Kemoterapi
saja atau "Wait arzd see" jika terapi radiasi tidak dapat
dilakukan. 5). Sub totalltotal iradiasi lymphoid ('jarang).
Radioterapi luas tak meningkatkan angka kesembuhan dan
dapat menurunkan toleransi terhadap kemoterapi lanjutan
nantinya
Indolen, Stage II/III/IV, Pengelolaan optimal pada LNH
indolen stadium lanjut masih kontroversial dan masih
melalui berbagai penelitian klinis. Standar pilihan terapi:
Tanpa terapilwait and see: pasien asimptomatik
dilakukan penundaan terapi dengan observasi. Pasien
stadium lanjut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak
mempengaruhi harapan hidup. Remisi spontan dapat
terjadi. Terapi diberikan bila ada gejala sistemik,
perkembangan tumor yang cepat dan komplikasi akibat
perkembangan tumor.(misal: obstruksi atau effusi )
Rituximab (anti CD 20 monoclonal antibodi; Rituxan,
Mab Thera) sebagai '5rst line therapy" , diberikan
tunggal atau kombinasi. Merupakan anti CD20 antibodi
monoklonal kimera yang telah disetujui untuk terapi
LNH indolen yang relaps atau refrakter. Obat ini bekerja
dengan cara aktivasi antibodi-dependent sitotoksik Tsel, mungkin melalui aktivasi komplemen dan
memperantarai sinyal intraseluler:
- Untuk LNH indolen, dihasilkan ORR 50% dengan
lama respons bertahan sekitar 1 tahun. Pada large
cell lymphoma, dihasilkan respons sekitar 30%.
Kombinasi kemoterapi dengan rituximab bersifat
sinergis.
- Dosis baku rituximab 375 mglm2 IV setiap minggu
selama 4 sampai 8 minggu dan dosis maksimum yang
bisa ditoleransi belum ditentukan. Terapi ulang
memberikan respons 40%.
- Efek samping berupa demam dan menggigil biasa
dijumpai terutama pada infus pertama. Efek samping
yang fatal (seperti anafilaksis, ARDS dan sindrom
lisis tumor) pernah juga dilaporkan terutama pada
pasien dengan sel limfoma dalam sirkulasi atau CLL
Purine nucleoside analogs (Fludarabin atau 2klorodoksiadenosin; kladribin) memberikan respons
sampai 50% pada pasien yang telah diobatiikambuh.
Alkylating Agent Oral (dengan atau tanpa steroid)
- Siklofosfamid
- Klorambusil
Kemoterapi Kombinasi. Terutama untuk memberikan
hasil yang cepat. Biasanya digunakan kombinasi
klorambusil atau siklofosfamid plus kortikosteroid, dan
fludarabin plus mitoksantron. Kemoterapi tunggal atau
kombinasi menghasilkan respons cukup baik (60-80%).
Terapi ditemskan sampai mencapai hasil maksimum.
Terapi "maintenance" tak meningkatkan harapan hidup,
bahkan dapat memperlemah respons terapi berikut dan
mempertinggi efek leukemogenik

,
I
!

protokol pengobatan LNH derajat keganasan menengah


atau tinggi. Kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sel
induk untuk kasus ini harus dipertimbangkan.
Primary Cutaneous B-Cell Lymphoma ( C B C L ) .
Didefinisikan sebagai limfoma tanpa penyebaran
ekstrakutan pada waktu didiagnosa dan selama paling
sedikit 6 bulan berikutnya. Penyebaran ke kaki memberikan
prognosis yang lebih jelek. CBCL yang terlokalisir diobati
dengan radioterapi,juga unhlk yang multifokal. Kemoterapi
dicadangkan untuk kasus dengan lesi anatomik "non-contiguous" atau penyebaran ekstrakutan.
Terapi eksperimental. Beberapa antibodi monoklonal
dengan target antigen CD23, CD 19,CD20, CD22 atau untuk
beberapa antigen yang lebih umum sifatnya seperti CD5,
CDU, CD80, CD40.
Alemtuzumab (Campath - lH), antibodi terhadap CD52
untuk terapi CLL, prolimfositik leukemia dan beberapa
jenis lirnforna sel T.
Imunotoksin
Vaksin idiotipe
Antisense oligonukleotida
Inhibitor selektif
Transplantasi sumsum tulang autologus atau dukungan
terapi sel induk perifer, setelah kemoterapi dosis tinggi
sedang diteliti secara mendalam.
Transplantasi sumsum tulang alogenik atau
transplantasi sel induk. Dianjurkan pada pasien usia
muda yang refrakter dengan donor yang masih ada
ikatan keluarga dan digunakan sebagai cadangan
terakhir.
Indolen, rekuren. Standar Pilihan terapi:
Terapi radiasi paliatif
Kemoterapi
Rituximab (anti CD 20-monoclonal antibodies)
Transplantasi sumsum tulang (masih dalam tahap
evaluasi klinis)

Beberapa protokol kombinasi antara lain:


- CVP : Siklofosfamid+ Vinkristin + Prednison
- C(M)OPP :Siklofosfarnid+Vinkristin + Prokarbazin
+ Prednison
- CHOP :Siklofosfamid + Doksorubisin + Vinkristin
+ Prednison
- FND :Fludarabin+Mitoksantron +- Deksametason
Antibodi Monoklonal Radioaktif. Angka respons
berkisar antara 50-80% pada kasus yang pemah diterapi.
Sediaan yang tersedia antara lain :I3'I-anti CD20
(tositumomab, Bexxars) dan "Y-anti CD20
(1britumomabtiuxetan,Zevalin8),
digunakan pada
pasien relaps denganltanpa keterlibatan sumsum hllang
minimal (< 25%). Suatu penelitian acak yang
membandingkan tiuxetan vs rituximab menunjukan
tingkat respon pengobatan (80% vs 55%) dan remisi
lengkap (30% vs 15%) untuk keuntungan radio imunokonjugasi.
Kemoterapi Intensif denganltanpa "total-body irradiation" diikuti dengan transplantasi sumsum tu1angl"stem
cell perifer autologous atau allogenic"1 PBSCT (masih
dalam evaluasi klinis).
Kemoterapi dibandingkan dengan kemoterapi diikuti
anti-idiotype vaccine (penelitian fase 111)
EW-a. Penggunaan IFN-alpha pada limfoma folikular
sampai sekarang belum jelas. Hasil beberapa penelitian
menunjukkan efek potensiasi angka respons,
perpanjangan waktu remisi dan kemungkinan
pengaruhnya pada harapan hidup.
Radioterapi paliatif. Diberikan pada kasus tumor
besar (bulky) atau untuk mengurangi obstruksi dan
nyeri.

Konversi histologis. LNH indolen yang bertransformasi


menjadi agresif memiliki prognosis jelek dan dapat
melibatkan sistem saraf pusat (terutama: meningeal).
Biasanya memberikan respons terapi yang baik dengan

Number of risk Factor


All Patients (adverse risk factors, age >60y;
performance status 2 2 LDH greater than
normal; Ann Arbor Stage Ill or IV; 2 2
extranodal sites)
0.1 Low
2 Low intermediate
3 High intermediate
4.5 High
Patients 5 60 y old (adverse risk factors:
Ann Arbor stage Ill or IV, LDH greater than
normal, performance status 22
0 Low
1 Low intermediate
2 High intermediate
3 High

Percentage
Of patients

5-Y

Complete
Response
Rate(%)

5.Y Dlseasefree survlval

("4

Suwlval

87
67
55

73
51
43
26

83
69
46
32

35
27
22
16

44

70
50
49
40

22
32
32
14

92
78
57
46

86
66
53
58

. .

("4

LNH Agresif

R dan Djumhana melaporkan di Indonesia angka angka ini


lebih rendah, belum diketahui faktor pasti penyebabnya.
Penelitian secara acak terhadap protokol CHOP (generasi
pertama) dibandingkan dengan beberapa protokol generasi
I1 / I11 seperti: m-BACOD, MACOP-B, dan ProMACECYtaBOM oleh "The Inter Group Study" melaporkan tidak
ada perbedaan bermakna dari sudut angka harapan hidup
dan masa bebas penyakit. Harapan hidup aktuarial berkisar
antara 40% sampai 45%. Dengan demikian protokol CHOP
tetap merupakan protokol baku terapi awal LNH agresif.
Selain itu, hasil GELA study (Coifier et a]) menunjukkan
bahwa pasien usia tua dengan LNH agresif dengan
penambahan rituximab pada setiap siklus CHOP
meningkatkan overall survival dengan pengamatan 3
tahun dari 49% menjadi 62% bila dibandingkan dengan
CHOP saja. Selain itu, regimen yang sama dapat

LNH Zntermediate/High Grade Terlokalisir. Non bulky


stadium IA dan IIA, dengan keterlibatan ekstranodal (E),
dapat diterapi dengan regimen yang mengandung
doxorubicin (CHOPICHVmPlBV) minimal 3 siklus,
dilanjutkan dengan IFRT (ekuivalen dengan 3000 cGy dalam
10 fraksi). Kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada
stadium awal memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan kemoterapi saja.

Stadium1-11(BuUcy),IIIdan N.diterapi dengan CHOP siklus


lengkap-atau CHVmPIBV 8 siklus (dalam penelitian). Untuk
daerah "bulky" IFRT dapat diberikan guna meningkatkan
lokal kontrol. Mc Kelvey melaporkan dengan regimen CHOP
50% sampai 7 1% pasien mencapai remisi lengkap dan 75%
diantaranya bertahan hidup lebih dari tiga tahun. Harryanto

Response Category

Physical Examinations

Lymph node

Lymph Node Masses

Bone Marrow

CR

Normal

Normal

Normal

Normal

Cru

Normal
Normal
Normal
Normal
Decrease in LiverISpleen
Enlarging IiverISpleen, new sites

Normal
Normal
Normal
> 50% decrease
> 50% decrease
New or increased

Normal
>75% decrease
Normal
2 50% decrease
2 50% decrease
New or increased

Indeterminate
Normal or indeterminate
Positive
Irrelevant
Irrelevant
Reappearence

PR
Relapse/Progression

WHO

Stadium

Umur

Premier1
Residif

Trial

W & S, chloorambucil,
fludarabine atau CVP

LNH limfoplasmasiter
makroglobulinemia
LNH ektranodal
Sel B zone Marginaljenis MALT

Lambung l dan HP t
Lambung l dan HP I IV

Eradikasi HP
RT, chloorambucil,CVP
W 8 S. RT, (chirurgie);
chloorambucil. CVP
Chloorambucil, CVP,
fludarabine

PIR
PIR
PIR

LNH sel , zona marginal nodal

PIR

LNH sel B zona marginal pada limpa


LNH follicular derajat 1-2

Splenectomi, chloorambucil
1/11

> 15

1111
18

> 65

> 18

LNH folikular derajat 3


R-CHOP = CHOP + rituximab

'hanya bila CD 20 +
" bila residif Irefrakter pada berbagai pengobatan
S dalam waktu dekat
setelah 1 atau 2 protokol yang tanpa antrasiklin
W & S Wait and see

EORTC 20971' IF-RT


+I- low dose TBI

R
2

Terapi dalam Trial

R of
refractair

PIR

HOVON 48"
(bila CWPR setelah 8x
CVP oral 1 bila tidak
90y - ibritumomab
tiuxetan (Zevalin)
HOVON 47 :
chloorambucil vs 2 x 2
Gy IF-RT
EORTC 209811 HOVON
39*" R-CHOP vs
CHOP, +I- rituximab
"maintenance"
Lihat LNH difus

IF-RT
W & S, chloorambucil, CVP.
RT
W 8 S, chloorambucil. CVP.
fludarabine

W 8 S, chloorambucil,CVP,
fludarabine, RT
CVP, chloorambticil,
fludarabine, RT. CHOP; p.m.
non-myeloablativeallo SCT*'

menghasilkan "disease control" (cure) sekitar 30-40%


pada pasien stadium lanjut LNH derajat keganasan
menengah dan tinggi

LNH intermediate/high grade yang refrakterl


relaps:
pasien refrakter yang gaga1 mencapai complete respons
diberikan terapi salvage dengan RT jika area yang
terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila mungkin
adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi
stem cell autologus/PBSCT
Kemoterapi salvage terdiri dari high-dose sitosin arabinose, kortikosteroid dan cisplatin dengan atau tanpa
etoposide. Pilihan lain ICE, MINE, dan yang lain seperti
CEPPIB, EVA, miniBEAM, VAPEC B dan infus EPOCH.
Kemoterapi dosis tinggi dengan RT diikuti PBSCT
Allogenic BMT

MCL (Mantle Cell lymphoma) agresif. Hyper CVAD alternating dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin
dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk regimen ini.
Pasien <65 tahun dipertimbangkandilakukan transplantasi
autologus atau alogenik setelah dua atau empat siklus
kemoterapi. Siklus regimen ini diulang setiap 21 hari.
Protokol Leiden khususnya untuk stadium 111 dan IV,
mengikuti "European Intergroup Trial" membandingkan
rnieloablatif radiokemoterapi diikuti dengan transplantasi

WHO

Umur

I
II

< 66

PIR
P

IIIIIV

< 66

Il-IV

>65

Il-IV

18-65

> 65

LNH sel B sel


besar difus

Mediastinal
LNH sel B besar
LNH mantel sel

Premier1

Stadium

sumsum tulang atau dosis pemeliharaan dengan INF-a


setelah tercapai remisi dan sitoreduksi dengan kemoterapi
yang mengandung kombinasi antrasiklin
Terapi induksi 1 :(R-Hyper VCAD)
Rituximab 375 mg/m2 IV hari I dan 8
Siklofosfamid 300mg/m2IV setiap 12jam hari 1-3
Vinkristin 2mg IV hari ke 4 dan 1 1
Doksorubisin 25 mglm2, infus selama 24 jam hari ke 4
dan 5
Deksametason 40 mg IV atau PO, hari 1-4 dan hari ke 1114
Granulosit Colony-stimulatingfactor (G-CSF), 5pgJkg
IV atau SC setiap hari, dimulai hari ke 6 sarnpai neutropil
>4500/pL
Terapi Induksi 2: (dimulai setelah pulih dari siklus 1)
Rituximab 375mg/m2iv infus hari I
Metotreksat 200 mg/m2iv bolus hari 1, diikuti 800mgI
m2 infus IV selam 24 jam; berikan lamtan IV alkalin
Leukovorin, 50mg PO diberikan 24 jam setelah infus
metotreksat selesai diikuti 15mgPOsetiap 6 jam total 8
dosis (dosis disesuaikan berdasarkan kadar serum
metotreksat)
Sitarabin 3000mg/m2iv selama 1jam setiap 12jam total
4 dosis dimulai hari ke 2 (dosis dikurangi menjadi
1000mg/m2 perdosis untuk pasien >60 tahun dengan
serum kreatinin lebih dari 1Jmg/dl)

Trial
HOVON 26 :
LDH > 1.5 x ULN) CHOP vs i-CHOP
HOVON 26 :
(LDH < 1.5 x ULN)
HOVON 46' :
(aa-IPI" 2 LI) CHOP - 14 +Irituximab
HOVON 44' :
DHAP-VIM-DHAP +I- rituximab,
diikuti SCT auto

II - IV
I IV
Il-IV

<66

P
R
P

Lihat LNH sel B besar difus + IF-RT


Lihat LNH sel B besar difus
HOVON 45" :
3 x R-CHOP, HD-Ara-C + auto SCT

2 66

HOVON 46"
(lihat LNH sel B sel besar)

R
* hanya apabila CD 20 +
"aa-IPI = age-adjusted IPI
$ dalam waktu dekat dibuka
Y ingat criteria inklusi pada penelitian P35
ULN = upper limit of normal
R-CHOP = CHOP + rituximab

Terapi dalam trial


3 x CHVmPIBV + RT
8 x CHVmPIBV
8 x CHVmPIBV
8 x CHVmPlBV

HOVON 44, tanpa rituximab


p.m. non-myeloablatieveallo
SCT
DHAP, (CHOP), RT; p.m. nonmyeloablatieveallo SCT
6 x CHVmPIBV + IF-RT

8 X C H V ~ P I B+~auto SCT;
p.m. nyeloablatievepada usia
muda
8 x CHV~PIBV'

DHAP

WHO

Stadium

Trial

LNH lirnfoblastik
LNH Burkitt

I - IV
I - IV

ALL-4
ALL 3-95

T e r a ~Dalam
i
Trial
ALL-4
ALL 3-95

Lirnfoblastik limfoma. Terapi sama dengan ALL (misal:


protokol ALL-4 ). Pasien dengan prognosis jelek
dipertimbangkan untuk transplantasi sumsum tulang awal
atau regimen kemoterapi awal yang lebih intensif. Universitas Stanford mengusulkan regimen:
Terapi induksi 1 bulan
Profilaksis CNS 1 bulan
Terapi konsolidasi 3 bulan
Terapi maintenance 7 bulan.

Regimen
Siklofosfamid 400 mgIm2 PO untuk 3 hari pada minggu
1,4,9,12,15dan 18
Doksorubisin 50mg/m2iv pada rninggu 1,4,9,12,15dan
18
Vinlaistin2mgIVminggu1,2,3,4,5,6,9,12,15,dan18
Prednison 40 mglm2 setiap hari selama 6 minggu
(tappering 08,
dilanjutkan selama 5 hari pada minggu
9,12,15,dan 18
Profilaksis CNS dengan radioterapi whole-brain (2400
cGy dalam 12 fraksi) dan metotreksat intratekal(l2 mg
setiap kali untuk 6 dosis) diberikan antara minggu 4
dan 9.
L-asparaginase 6000 Ulm2 (maximum 10.000 U) untuk 5
dosis pada awal peberian profilaksis CNS.
Terapi maintenance terdiri dari metotreksat (30 mglm2
PO setiap minggu) dan 6-merkaptopurin (75 mglm2 PO
setiap hari) dari minggu 23 sampai 52.
Difuse Small Cleaved Cell/Burkitt's Limfoma.Terapijenis
ini sama dengan limfoma agresif (sel besar difuse) stadium
lanjut ;mengunakan regimen kombinasi yang agresif. Pasien
dengan lirnfomajenis ini mempunyai risiko 20-30 % selama
perjalanan hidupnya untuk menyebar ke SSP; pemberian
metotreksat intratekal(4- 6 kali) direkomendasikan untuk
semua pasien. Beberapa pusat kesehatan
mempertimbangkan konsolidasi dengan transplantasi
sumsum tulang.

Adult Non-Hodgkin's Lymphoma (PDQ") Treatment- Health Professional Version. National Cancer Institute. U.S. National lnstitutes of Healt
Armitage J 0 , et al, Non Hogkin Lymphomas. Cancer, principal and
practice of oncology. Editor: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg
SA. 2001;2256-303.
Atmakusuma D. Aspek Selular dan Molekular Limfoma
NonHodgkhDivisi Hematologi Onkologi Medik Departemen

llmu Penyakit Dalam FKUI RSCM.


Childhood NonHodgkin's Lymphoma (PDQ"). National Cancer
Institute
Coiffier B, Herbrecht R, Tilly H, Sebban C, et al. Gela Study
Comparing CHOP and R-CHOP in elderly patients with DLCL:3year median follow-up with an analys~saccording to comorbidity
factors.Presentation at the 39'" Annual Meeting of the
American Society of Clinical Oncology, 31 May-3 June 2003,
Chicago, USA
Complete Summary of GUIDEL1NE:The use of chemotherapy and
growth factors in older patients with newly diagnosed, advancedstage, aggressive histology non-Hodgkins' lymphdma. 19982004 National Guideline Clearinghouse
Czuczman MS, Weaver R, Alkuzweny B, Berlfein J, Grillo-Lopez
AJ. Prolonged Clinical and Molecular Remission in Patients
With Low-Grade or Follicular Non-Hodgkin's Lymphoma
Treated With Rituximab Plus CHOP Chemotherapy: 9-year
Follow-Up. Journal of Clinical Oncology. Volume 22. Number
23. December 1 2004
Davis TA, Grillo-Lopez A, White CA, et.al. Rituximab Anti-CD2O
Monoclonal Antibocy Therapy in Non-Hodgkins's Lymphoma:
Safety and Efficacy of Re-Treatment. Journal of Clinical
Oncology, Vol 18 No. 17, 2000:pp 3135-43.
Emmanouillides C , Casciato DA. Hodgkin and non-Hodgkin
lymphoma.In Manual of clinical oncology, 5Ih Ed. Edited by
Casciato DA. Lippincot Williams & Wilkins, 2004 : 435-56.
Fisher RI, Mauch PM, Harris LN, Friedberg JW. Non Hodgkins
lymphomas.In Cancer priciples & practice of oncology 7Ih Ed.
Edited by DeVita VT, Hellman S. Rosenberg SA. 2005 : 1957
931
Fisher RI, Gaynour ER, Dahlberg S et al. Comparison of standart
regimen (CHOP) with three intensive chemotherapy regimen
for advanced NHL. N Engl J Med 1993; 328: 1002-6.
Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. The summary: the
addition of rituximab to a combination of fludarabine.
cyclophosphamide, mitoxantrone (FCM) significantly increases
the response rate and prolongs survival as compared to FCM
alone in patients with relapsed and refractory follicular and
mantle cell lymphomas - results from a prospective randomized study of the German Low Grade Lymphoma Study Group
(GLSG). Blood 2004;104:3064-71.
Ghiemilmini Michele, Schmitz Shu-Fang Hsu, Cogliatti Sergio B.et.a.1.
Prolonged treatment with rituximab in patients with follicular
lymphoma significantly increases event-free survival and
response duration compared with the standard weekly x 4
schedule. Blood, 14 June 2004.Volume 103, Number 12
Gordon LI. Non-Hodgkin lymphoma. Manual of clinical Hematology, 3" Ed. Edited by Mazza JJ. Lippincot Williams & wilkins,
2002 : 318-33.
Gutierrez Martin, Wilson WH. Non-Hodgkin lymphoma. In Bethesda
handbook of clinical oncology. Edited by Abraham J, Allegra U.
Lippincot williams & wilkins, 2001: 319-31.
Hematologie klapper.Editor Ottolander GJ, Willemze R. NonHodgkin lymphoma (NHL). Hematologie leids universitair
medisch centrum.Leiden ,1999 :82-98
http:llwww.nci.nih.govl cancer: Adult Non-Hodgkin lymphoma.
2004.
International Non-Hodgkin's Lymphoma Prognostic Factors Project
A predictive model for aggressive non-Hodgkins lymphoma . N
Engl J Med 1993; 329 : 987-94.
McLaughlin P, Grillo-Lopez AJ et. Al. Rituximab Chimeric Anti-CD
2 0 Monoclonal Antibody Therapy for Relapsed Indolent

Lymphoma: Half of Patients Respond to a Four-Dose


Treatment progra& Journal of Clinical Oncology, Vol 16, No
8, 1998:pp2825-33

Mounier N. Brier J, Gisselbrecht C, et.al. Rituximab plus CHOP (RCHOP) overcomes bcl2-associated resistance to chemotherapy
in elderly patients with diffuse large B-cell lymphoma
(DLBDCL).Blood. I June 2003. Volume 101, number 11.
National Comprehensive Cancer Network. Clinical Practice
Guidelines in Oncology-v. 1.2004.
Non-Hodgkin's Lymphoma Version1.2004. National Comprehensive Cancer Network

Pathology and genetis tumours of haematopoeitic and lymphoid


tissues. WHO classification of tumours. Edited by Jaffe ES,
Hams NL. Steir H, Vardiman JW. 2001
Pettengell Ruth, Linch David. Position paper on the therapeutic
use of rituximab in CD2O-positive diffuse large B-cell nonHodgkin's lymphoma. British Journal of Haematology.
2003.121.44-48

Pfreundschuh M. et al. Frist Analysis of the completed MabThera'


International (MInT) Trial in young patients with low risk
diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL): Addition of rituximab
to a CHOP-like regimen significantly improves outcome of all
patients with the identification of a very favorable subgroup

with IPI=O and no bulky disease. Oral presentation at ASH


2004.

Protokol Limfoma Non Hodgkin.Timja Kanker Darah dan KGB.


Reksodiputro H, Cosphiadi I. Limfoma non-Hodgkin.Buku ajar Ilmu
penyakit dalam .Jilid II.Ed 3.Balai penerbit FKUI,2001: 60720.
Rituximab plus chemotherapy: expanding first-line treatment
options in indolent non-Hodgkin's lymphoma. Highlight from
Ash 2003. Roche Pharmaceuticals

Rituximab for Aggressive Non-Hodgkin's Lymphoma. National


Institute for Clinical Excellence. Technology Appraisal 65.
September 2003

Robinson AS and Goldstone A. Clinical Use of Rituximab in


Haematological Malignancies. Britisth Journal of Cancer ( 2 M 3 )
89. 1389-1394

Stein RS. John PG. Non Hodgkin lymphoma. In Hand book of


cancer chemotherapy. 6Ih Ed. Editor Skeel RT. Lippincot
williams & wilkins. 2003: 503-23
The Use of Chemotherapy and Growth Factors in Older Patients
with Newly Diagnosed. Advance-Stage. Aggressive Histology
Non-Hodgkin's Lymphoma. Patience Guideline Report #6-7,
June 25, 2003. Program in Evidence-Based Care - A Cancer
Care Ontario Program.

PENYAKIT HODGKIN
Rachmat Sumantri

PENDAHULUAN
Penyalut Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular
yaitu limfoma malignum,yang terbagi dalam limfoma
malignum Hodgkin dan limfoma lalignum non Hodgkin.
Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis,
di mana pada limfoma Hodgkin ditemukan sel ReedSternberg.
Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas
Hodgkin pada tahun 1832,kemudian gambaran
histopatologis dilaporkan oleh Langerhans tahun
1872,disusuloleh laporan teipisah dari Sternberg dan Reed
yang menggambarkan suatu sel raksasa yang kemudian
diberi nama Sel Reed-Sternberg.
Analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed Sternberg
berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan struktur
pada imunoglobulin,sel ini juga mengandung suatu faktor
transkripsi inti sel (NFlcl3),kedua ha1 tersebut menyebabkan
gangguan apoptosis.

EPlDEMlOLOGl BAN FAKTOR RlSlKO


Di Amerika Serikat terdapat 7500 kasus baru Penyakit
Hodgkin setiap tahunnya,rasio kekerapan antara laki-laki
dan perempuan adalah 1,3-1,4 berbanding 1 . Terdapat
distribusi umur bimoda1,yaitu pada usia 15-34 tahun dan
usia di atas 55 tahun.
Faktor risiko untuk penyakit ini adalah infeksi
virus;infeksi virus onkogenik diduga berperan dalam
menimbulkan lesi genetik,virus memperkenalkangen asing
ke dalam sel target. Virus-virus tersebut adalah virus
Epstein-Barr, Sitomegalovirus, HIV dan Human Herpes
Virusd (HHV-6).Faktor risiko lain adalah defisiensi imun,
misalnya pada pasien transplantasi organ dengan
pemberian obat imunosupresif atau pada pasien cangkok

sumsum tulang. Keluarga dari pasien Hodgkin (adik-kakak)


juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit Hodgkin.

Terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang tidak


nyeri.
Gejala sistemik yaitu demam (tipe Pel-Ebstein),berkeringat
malam hari,penurunan berat badan, lemah badan rlan pruritus terutama pada jenis Nodular Sklerosis.Selain itu
terdapat nyeri di daerah abdomen alubat splenomegali atau
pembesaran kelenjar yang masif, nyeri tulang akibat
destruksi lokal atau infiltrasi sumsum tulang

GEJALA KLlNlS
Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak
nyeri
Demam, tipe Pel-Ebstein
Hepatosplenomegali
Neuropati
Tanda-tanda obstruksi seperti edema ekstrimitas,
sindrom vena cava, kompresi medulla spinalis, disfungsi
hollow viscera.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan darah: anemi, eosinofilia, peningkatan laju
endap darah, padaflow cytometry dapat terdeteksi limfosit
abnormal atau lirnfositosis dalarn sirkulasi.
Pada perneriksaan faal hati terdapat gangguan faal hati

yang tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma pada hati.


Peningkatan alkali fosfatase dan adanya ikterus kolestatik
dapat merupakan gejala paraneoplastik tanpa keterlibatan
hati. Dapat terjadi obstruksi biliaris ekstrahepatik karena
pembesaran kelenjar getah bening porta hepatis.
Pemeriksaan faal ginjal: peningkatan kreatinin dan
ureum dapat diakibatkan obstruksi ureter. Adanya
nefropati urat dan hiperkalsemi dapat Inemperberat fungsi
ginjal. Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik
dapat terjadi pada limfoma Hodgkin. Hiperurikemi
merupakan manifestasi peningkatan turn-over akibat
limfoma. Hiperkalsemi dapat disebabkan sekunder karena
produksi limfotoksin (osteoclast activating factor) oleh
jaringan 1imfoma.KadarLDH darah yang meningkat dapat
menggambarkan massa tumor dan turn-over. Poliklonal
hipergamaglobulinemi sering didapatkan pada limfoma
Hodgkin dan Non Hodgkin.

Biopsi sumsum tulang


Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging,
keterlibatan sumsum tulangpada limfoma Hodgkin sulit
didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang.
Radiologis
Pemeriksaan foto torak untuk melihat limfodenopati hilar
dan mediastinal, efusi pleura atau lesi parenkim paru.
Obstruksi aliran limfotik mediastinal dapat menyebabkan
efusi chylous (seperti susu).
USG abdomen kurang sensitif dalam mendiagnosis
adanya limfodenopati. Pemeriksaan CT Scan torak untuk
mendeteksi abnormalitas parenkim paru dan mediastinal
sedangkan CT Scan abdomen memberi jawaban
limfodenopati retro peritoneal, mesenterik, portal,
hepatosplenomegali atau lesi di ginjal.

PENTAHAPAN(STAGING)
Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai
prognosis. Staging dilakukan menurut Cotswolds (1990)
yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Ann Arbor
(1971).
StadiumI keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau
struktur jaringan limfoid (limpa, timus, cincin Waldeyer)
atau keterlibatan 1 organ ekstralimfatik.
Stadium I1 Keterlibatan 22 regio kelenjar getah bening pada
sisi diafragma yang sama (kelenjar hilus bila terkena pada
kedua sisi termasuk stadium 11); keterlibatan lokal 1 organ
ekstranodal atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada
Jumlah regio anatomik yang
sisi diafragma yang sarna (m).
terlibat ditulis dengan angka (contoh 91,).
Stadium I11 Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada
kedua sisi diafragma (111), dapat disertai lien (IIIs), atau

keterlibatan 1organ ekstranodal (mE)atau keduanya (IIISE).


111, Dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening
splenik, hilar,seliak atau portal.

n12

keterlibatai
kelenjar getah bening paraaotl,

Dengan
iliaka dan mesenterika.

Stadium IV Keterlibatan difusldiseminata padal atau lebih


ekstranodal atau Jaringan dengan atau tanpa
keterlibatan kelenjar getah bening.
Keterangan yang dicantumkan pada setiap stadium:
A Tanpa gejala
B Demarn (suhu >38 "C),keringat malarn, penurunan berat
badan >10 % dalam waktu 6 bulan sebelumnya)
X Bulky disease (pembesaran mediastium >1/3, adanya
massa kelenjar dengan diameter maksimal10 cm)
E Keterlibatan 1 organ ekstranodal yang contiguous atau
proksimal terhadap regio kelenjar getak bening
CS Clinical stage
PS Pathologic stage (rnisalnya ditentukan pada laparotomi)

Karakteristik

Limfoma
,odgkin

Ternpat asal

Nodal

Distribusi nodal

Sentripetal
(aksial)

Penyebaran
nodal
Keterlibatan
susunan saraf
pusat
Keterlibatan
hepar
Keterlibatan
surnsurn tulang
Keterlibatan
surnsurn tulang
mempengaruhi
buruknya
prognosis
Sembuh dengan
kemoterapi

Contiguous
Jarang
(el %)
Jarang
Jarang

Limfoma n o n Hodgkin
In termedia t l
Low grade
high grade
Ekstranodal
(10%)
Sentrifugal

Ekstranodal
(35%)
Sentrifugal

Noncontiguous Noncontiguous
Jarang
(< 1 %)

Sering
(> 50 %)
Sering (>50 %)

(< 10%)

Jarang
(~10%)
Jarang
Jarang
(c20 %)

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tldak

Ya

Biopsi kelenjar secara eksisi biasanya memberi hasil


gambaran histopatologis lebih jelas dari biopsi cucuk jamm
(Fine Needle Biopsy);

Klaslfikasi Rye:
Lymphocyte Predominant
Nodular sclerosis
Mixed cellularity
Lymphocyte depletion

and
Parker

Lukes and Butler

Rye Conference

WHO classification

REAL classification

Paragranuloma

Lymphocytic or
histiocytic, nodular
Lymphocytic or
histiocytic, diffuse

Lymphocytepredominant

Nodular lymphocyte-predominant
classic HD
Lymphocyte -rich classic HD

Lymphocyte predominant,nodular HD
Lymphocyte-rich classic HD

Granuloma

Nodular sclerosis
Mixed cellurarity

Nodular sclerosis
Mixed cellularity

Nodular sclerosis
Mixed cellularity

Nodular sclerosis
Mixed cellularity

Sarcoma

Diffuse fibrosis
Reticular

Lymphocyte-depleted

Lymphocyte-depleted

Lymphocyte -depleted
Unclassifiable classic HD

Klasifikasi WHO:
Nodular lymphocyte predominance Hodgkin
Lymphoma (Nodular LPHL):Saat ini dikenal sebagai
indolent B-cell Non Hodgkin Lymphoma dan bukan
true Hodgkin Disease. Tipe ini mempunyai sel limfosit
dan histiosit, CD 20 positif tetapi tidak memberikan
gambaran sel Reed-Stenberg.
Classic Hodgkin Limphoma: Lymphocyte rich, Nodular sclerosis, Mixed cellurarity, Lymphocyte depleted.

Pengobatan lirnfoma Hodgkin adalah radioterapi ditambah


kemoterapi, tergantung dari staging (Clinical stage = CS)
dan faktor risiko.
Radioterapi meliputi Extended Field Radiotherapy
(EFRT), Involved Field Radiotherapy (IFRT) dan
radioterapi (RT) pada Limfoma Residual atau Bulky
Disease.
Faktor risiko untuk terapi menurut German Hodgkin's
Lymphomastudy Group (GHSG) meliputi:
Massa mediastinal yang besar
Ekstranodal
Peningkatan laju endap darah, 2 50 untuk tanpa gejala
atau 2 30 untuk dengan gejala (B)
Tiga atau lebih regio yang terkena
Menurut EORTCIGELA (European Organization for
Research and Treatment of CarcinomdGroupe dJEtude
des Lymphomes de I'Adulte) faktor risiko yaitu:
Massa mediastinal yang besar
Usia SO tahun atau lebih
Peningkatan laju endap darah
4 regio atau lebih
Dalam guideline yang dikeluarkan oleh National
Comprehensive Cancer Network (2004) kemoterapi yang
direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V sebagai
kemoterapi terpilih.
Terapi lain Penyakit Hodgkin yang masih diteliti adalah:
Imunoterapi dengan antibodi monoklonal anti CD 20,

imunotoksin anti CD 25, bispesifik monoklonal antibodi


C D 16ICD 3 0 bispesifik antibodi dan radio
immunoconjugates.

PENYAKIT HODGKIN DAN KEHAMILAN


Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada kehamilan,
beberapa ha1 penting yang perlu diketahui:
Tidak ada transmisi penyakit Hodgkin ke bayi
Bila memerlukan radiasi sebaiknya ditunda sampai
melahirkan kecuali pada "BulkyDisease" dan diberikan
dengan pelindung.
Bila diperlukan radiasi pada semester pertama dapat
dipertimbangkan abortus terapeutik. Malformasi fetus
terjadi pada 15% kasus bila kemoterapi diberikan pada
semester pertama, tidak terjadi pada semester
berikutnya.
Hindarkan kemoterapi dalam 3 minggu sebelum
melahirkan untuk menghindari netropeni pada bayi.

Kelompok

Stadium

Rekomendasl

Stadium dini
(favorable)

CS I-IIA 16 tanpa
faktor risiko

EFRT (30-36 Gy) atau


4-6 siklus kemoterapi
+ IFRT 20-36 Gy

Stadium dini
(unfavorable)

CS 1-11 N B + RF

4-6 siklus kemoterapi


+ IFRT 20-36 Gy

Stadium lanjut

CS IIB +RF;CS
IIINB
CS IV N B

6-8 siklus kemoterapi


+ RT 20-36 Gy
pada limfoma residual
dan bulkv disease

PROGNOSIS
Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi
masa bebas progresi penyakit FFR (Freedom From
Progression), yaitu : 1). Jenis Kelarnin, 2). Usia >45 tahun;
3). Stadium W,4). Hb < l o gr%;5). Leukosit > 15000/mm3;
6). Limfosit <600/mm3 atau <8 % leukosit; 7). Serum
alburnin <4 gr%

Regimen

Dosis
(mglm2)

Pemberian

Jadwal (hari)

IV

21

MOPP

- Mechloretamine
- Oncovin
- Procarbazine
- Prednisone

Siklus
(hari)

6
1,4
100
40

PO
PO.

1,8
13
1-14
1-14

- Procarbazine
- Prednisone

650
1,4
100
40

IV
IV
PO
PO

1,8
1,8
1-14
1-14

ABVD
- Adriamycin
- Bleomycin
- Vinblastine
- Dacarbazine

25
10
6
375

IV
IV
IV
IV

lY

COPP

- Cyclophosphamide
- Oncovin

Stanford V
- Mechlorethamine
- Adriamycin
- Vinblastine
- Vincristine
- Bleomycin
- Etoposide
- Prednisone
- G-CSF

Pasien tanpafaktor risiko FFP= 84%,dengan satu faktor


risiko FFP = 77%, dengan dua faktor risiko FFP = 67%, tiga
faktor risiko FFP = 60%, empat faktor risiko FFP = 5 1 %,
lima faktor risiko atau IebihFFP = 42%.

Terapi
Relaps setelah

.rarlint~rani
--.- .- .* Nodal relaps CS I - II
tanpa gejala B,

Kemoterapi

F.

tanpa radioterapi
sebelumnya
Progresif prlmer
Relaps dini
Relaps !anjut

Radioterapi salvage

High dose chemotherapy (HDCT)


diikuti oleh transplantasi sel asal
"Autologous Stem Cell
Transplantation" (ASCT)

12 minggu
minggu 1,5,9
minggu 1,3,5.9,11
minggu 1,3,5,9,11
minggu 2,4,6,8,10,12
minggu 2,4,6,8,10,12
minggu 3,7,11
minggu 1-9, tappering
minggu 10 - 12

REFERENSI
Hodgkin's Disease ; National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice Guidelines in Oncology, Version 1, 2004
Diehl V, Mauch PV, Harris N L : Hodgkin's Disease in Vincent T
Devita Jr Eds. Cancer, Principles and Practice of Oncology,
Lippincot Williams & Wilkins, 6Ih Ed., 2001, pp 2339-87.
Stein RS and Morgan DS : Hodgkin's Disease in Wintrobe's
Clinical Hematology,, Lippincott Williams & Wilkins, 1 IthEd.,
2004, pp 2521-51.
Iman Supandiman, Rachmat Sumantri, Heri Fadjari, Pandji Irani
Fianza, Amaylia Oehadian : Pedoma~iDiagnosis dan Terapi
Hematolog - Onkologi Medik, Bandung, 2003.

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT


Panji Irani Fianza

Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal


dari sel-sel prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, selsel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya mempakan
leukemia sel T. Leukemia ini mempakan bentuk leukemia
yang paling banyak pada anak-anak. Walaupun dernikian,
20% dari kasus LLA adalah dewasa. Jika tidak diobati,
leukemia ini bersifat fatal.

Insidensi LLA adalah 1160.000 orang per tahun, dengan


75% pasien berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi
puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan
pada pria daripada perempuan. Saudara kandung dari
pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih besar untuk
berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot
dari pasien LLA mempunyai risiko 20% untuk berkembang
menjadi LLA.

Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak


diketahui. Faktor keturunan dan sindroma predisposisi
genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada
anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis
yang berhubungan dengan LLA adalah : 1). Radiasi ionik.
Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki mempunyai risiko relatif
keseluruhan 9,l untuk berkembang menjadi LLA; 2).
Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan
aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan
leukemia; 3). Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA

pada usia di atas 60 tahun; 4). Obat kemoterapi; 5).


Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan
LLA L3; 6). Pasien dengan sindroma Down dan WiskottAldrich mempunyai risiko yang meningkat untuk menjadi
LLA.

PATOGENESISMOLEKULAR
Kelainan sitogenetik yang paling sering ditemukan pada
LLA dewasa adalal~t(9;22)/BCR-ABL(20-30%) dan t(4; 1I)/
ALL1-AF4 (6%). Kedua kelainan sitogenetik ini
berhuhungar~dengan prognosis yang buruk. Fusi gen
BCR-ABL merupakan hasil dari translokasi kromosom 9
dan 22 [t(9;22)(q34;qll)] yang dapat dideteksi hanya
dengan pulse-field gel electrophoresis atau reversetranscriptase polymerase chain reaction. ABL adalah
nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik
mentransfer molekul fosfat ke substrat protein, sehingga
terjadi aktivasijalur transduksi sinyal yang penting dalam
regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel.
Kelainan yang lain yaitu -7, +8, dan karyotipe
hipodiploid berhubungan dengan prognosis yang
buruk; sedangkan t(10; 14) dan karyotipe hiperdiploid
tinggi berhubungan dengan prognosis yang baik.
Mekanisme umum lain dari pembentukan kanker adalah
hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor yang
mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi
siklus sel, misalnya p16(INK4A) dan p15(INK4B).
Kejadian yang sering adalali delesi, mikrodelesi, dan
penyusunan kembali gen (gene rearrangement) yang
melibatkan p16(INK4A) dan p16(INK4B). Kelainan
ekspresi dari gen supresor tumor Rb dan p53 ternyata
lebih sering terjadi. Kelainan yang melibatkan dua atau
iebih gen-gen ini ditemukan pada sepertiga pasien LLA
dewasa.

KLASIFIKASI
Klasifikasi lmunologi
Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL)70%:commonALL (50%), nullALL, pre-BALL
TALL (25%)
B-ALL (5%)
Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas ada atau
tidak adanya berbagai antigen permukaan sel. Subtipe
imunologi yang paling sering ditemukan adalah common
ALL. Null cellALL berasal dari sel yang sangat primitif dan
lebih banyak pada dewasa. B-ALL merupakan penyakit yang
jarang, dengan morfologi L3 yang sering berperilaku sebagai
limfoma agresif (varian Burlutt).

Klasifikasi Morfologi the French-AmericanBritish (FAB):


L1: Sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit
sitoplasma dan nukleoli yang tidak jelas
L2: Sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli
yang jelas dan rasio inti-sitoplasma yang rendah
L3: Sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofilik
Kebanyakan LLA pada dewasa mempunyai morfologi
L2, sedangkan tipe L1 paling sering ditemukan pada anak.'
Sekitar 95% dari semua tipe LLA kecuali sel B rnempunyai
ekspresi yang meningkat dari terminal deoxynucleotidyl
transferuse (TdT), suatu enzim nuklear yang terlibat dalam
pengaturan kembali gen reseptor sel T dan imunoglobulin.
Peningkatan ini sangat berguna dalam diagnosis. Jika
konsentrasi enzim ini tidak meningkat, diagnosis LLA
dicurigai.

GAMBARAN KLlNlS

(c)
Gambar 1. Morfologi sel blas LLA. (a) Tipe L1; (b) Tipe L2; (c)
Tipe L3

Presentasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya


gejala klinis rnenggambarkan kegagalan sumsum tulang
atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia.
Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang
menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah
perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan
anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi
yang jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA,
sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga pasien
yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan yang berat
jarang terj adi.
Gejala-gejaladan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan:
Anemia: rnudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
Anoreksia
*. Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsurn tulang
oleh sel-sel leukemia)
Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis,
atau sepsis. Penyebab yang paling sering adalah
~ ~ l o k o k ustreptokokus,
s,
dan bakteri gram negatif
usus, serta berbagai spesies jamur.
Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis),
perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna,
perdarahan otak
Hepatomegali
Splenomegali
Limfadenopati
Massa di rnediastinum (sering pada LLA sel T)
Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah
(gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan dalam
status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI
dan VII, kelainan neurologk fokal
Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura,
perikardium,tonsil

GAMBARANLABORATORILIM
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk
konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan
perencanaan terapi yang tepat, yaitu :

Hitung Darah Lengkap (Complete Blood


Count) dan Apus Darah Tepi
Jurnlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada
saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm3)terjadi
pada kira-kira 15%pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3.
Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia.
Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0
sampai 100%.Kira-kira sepertigapasienmempunyai hitung
trombosit kurang dari 25 .000/mm3.
Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirrnasi diagnosis dan Masifikasi, sehingga semua pasien LLA hams
menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat harus
diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan
immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak
hiperselular dengan lirnfoblas yang sangat banyak, lebih
dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang
seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia,maka aspirasi
sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint darijaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran
sitologi.
Sitokimia
Ganbaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau
sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan
LLA dari leukemi mieloblastik akut (LMA). Pada LLA,
pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan
memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah
enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari
prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas
LMA. Sitokimia juga berguna 'untuk membedakan
precurs'or B dan B-ALL dari T-ALL. Pewamaan fosfatase
asam akan positif pada lirnfosit T yang ganas, sedangkan
sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan
periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh
limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan
imunoperoksidase atauflow cytometry.
lmunofenotip (dengan sitometri arus/Flow
cytometry)
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi
LLA. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifrkasi
subtipe imunologi adalah antibodi terhadap:
Untuk sel prekursor B: CDlO (common ALL
antigen),CD19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy
chain, dan TdT

Untuk sel T: CD la, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7 ,CD8 dan
TdT
Untuk sel B: kappa atau lambda, CD 19,CD20, dan CD22
Pada Sekitar 1554% LLA dewasa didapatkan ekspresi
antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi
adalahCD13, CD15, danCD33.
Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid
dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini
jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk.

Sitogenetik
Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa
kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA
tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik (tabel
1).Translokasi t(8;14),t(2;8), dan t(8;22) hanya ditemukan
pada LLA sel B, dan kelainan kromosom ini menyebabkan
disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc
pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenetik dapat
ditemukan pada LLA atau LMA, misalnya kromosom
Philadelphia, t(9;22)(q34;ql I) yang khas untuk leukemia
mielositik kronik dapat juga ditemukan pada 4 % LMA
dewasa dan 20%-30% LLA dewasa.
Biologi Molekular
Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin
gagal, dan untuk mendeteksi t(12;21) yang tidak terdeteksi
dengan sitogenetik standar. Tehik ini juga hams dilakukan
untuk medeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk.
Pemeriksaan Lainnya
Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi
intravaskulardiseminatajarang terjadi. Kelainan metabolik
seperti hiperurikemia dapat terjadi terutarna pada pasien
dengan sel-sel leukemia yang cepat membelah dan tumor
burden yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada saat
diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal.Perlu atau

Kelainan

Prognosis

Perubahan nurnerik
Hiperdiploiditinggi (lebih dari 50 kromosom)
Hiperdiploidi(47-50)
Pseudodiploidi(46 dengan perubahan st~kturlnumerik
Hipodiploidi (kurang dari 46)
Kelainan struktur
Kromosom Philadelphia t(9;22)*
t (12;21)*.
t (1;19)
t ( 4 1 1)
t (8; 14)'"

Baik
Sedang
Sedang
Bu~k

Gen yang terlibat


BCR-ABL
TEL-AMLI
E2A-PBX1
MLLAF4
MYC

Buruk
Baik
Baik
Bumk
Baik

-- HaNS dibedakan dari krisis blas limfoid dari leukemia mieloid kronik
...Terjadi
pada 30% kasus LLA anak.
Terdapat pada LLA sel B dengan morfologi L3

1269

LEUKEMIA L.IMFOBLASTIKAKVT

tidaknya tindakan ini dilakukan pada pasien dengan


banyaknya sel blas yang bersirkulasi masih kontroversi.
Definisi keterlibatan susunan saraf pusat (SSP) adalah bila
ditemukan lebih dari 5 leukosit/mL cairan serebrospinal
dengan morfologi sel blas pada spesimen sel yang
disentrifugasi.

Aspirasi dan biopsi sumsum tulang :


- Pewarnaan sitokimia, analisis sitogenetik, analisis
imunofenotip,analisis molekular BCR-ABL

DIAGNOSIS BANDING

Limfositosis, limfadenopati dan hepatosplenomegali


yang berhubungan dengan infeksi virus dan limfoma
Anemia aplastik

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pendekatan diagnosis L L A dewasa :

Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratonum :
- Hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan
koagulasi, kadar fibrinogen, kimia darah, golongan
darah ABO dan Rh, penentuan HLA
Foto toraks atau computed tomography
Pungsi lumbal

Keberhasilan terapi LLA terdiri dari kontrol sumsum tulang


dan penyakit sistemiknya, juga terapi atau pencegahan
SSP. Hal ini dapat tercapai dengan kombinasi pemberian
kemoterapi dan terapi pencegahan SSP (kemoterapi
intratekal danlatau sistemik dosis tinggi, dan pada

Studi dengan > 500 pasien


GMALL 02/84

1993

562

28

V,P,A,D,C,
AC, M,MP

FGTALL

1993

581

33

MRC-UKALL XA
MRCIECOG

1997
1999

618
920

> 15

V,P,DIR,C[
AD,AC]
V,P.A,D
V,P,D,A,C,
AC,MP

GMAL! 05!93

2001

1163

35

V,P,A,D,C,
AC,M,MP

GIMEMA 0288

2002

794

28

V,P,A,D,C,
[HDAC,Mi]

Total (% = we~ghfec!
mean)

V,
DX,AD,AC.C,T
G,VM
AD,AC,A
[AC,VP,D,TG]
HDM,A
[AC,VP,V,DX,D.
C,TG] SCT
V,DX,AD,AC,C,
TG,VM,AC,HD
M,A,C
[HDAC,Mi]
V,HDM,HDAC,
DX,VM

MP,M

75%

39% pd 7th

MP,M,V,C,P,AD
,AC
MP,M,V,P
MP,M,V,P

76%
82%
89%

30% pd
10th
28% pd 5th

MP,M

83%

MP,M,V,[AC,Mi,
VM,HDAC,HDM
,DX]

82%

29%pd9th

82%

31%

86%

41% pd 4th

85%

36% pd 3th

85%

36% pd 3th

91%
84%

38% pd 5th
49% pd 3th

82%

35% pd 5th

4638

Studi terbaru dengan > 100 pasien


Pethema ALL-93

1998

108

28

V,P,D,A,C

CALGB

1998

198

35

V,P,D,A,C

Sweden

1999

120

44

MDACC
Lombardra

2000
2001

204
121

39
35

HDAC,
C,D,V,BX
V,AD,DX,C
I,V.A,P,[C]

Netherlands

2001

193

33

Standar

HDM,
V,D,P,A,C,VM,A

C,MP,AC,V,A,M,
AD,DX,TG,P
AD,HDAC,V,BX,
C,D,VP SCT
HDM,HDAC,C,P
I,V,C,VM,HDAC,
HDM,DX SCT
HDAC, VP 16 +
allo/auto SCT

MP,M
[V,P,Mi,A,C,VM,
ACI
MP,M,V,P
Tidak
dilaporkan
MP,M,V,P
MP,M

944
86% 38%
Total (% = weighted
mean)
* median umur atau rentang
Singkatan: CR complete remission; LFS, leukemia free suwival; V, vinkrrstin; P, prednison; A, asparaginase; D, daunorubisin; C,
cyclophosphamide;
AC, cytarabine; M, methotrexate; MP, merca~topurine;DX, deksametason; AD, adriamisin; TG, tioguanin; VM, teniposide; R,
rubidazone; VP, etoposide; HDAC, high dose AC; HDM, high dose M; SCT, stem cell transplantation; Mi, mitoxantrone; EX,
betametason; I, idarubisin.

INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI
PADA PROSES INFLAMASI
Kusworini Handono, Handono Kalim, Meddy Setiawan

PENDAHULUAN
Banyak penelitian pada hewan coba dan manusia
memberikan bukti tentang adanya komunikasi antara
sistem imun dan susunan saraf pusat (SSP), dan
pentingnya peran komunikasi tersebut pada terjadinya
kerentanan terhadap penyakit keradangan maupun pada
gejala-gejala keradangan itu sendiri. Sistem imun dan SSP
merupakan bagian tubuh yang selalu menjadi benteng
menghadapi gangguan lingkungan yang mengancam
kelangsungan hidupnya. Kedua sistem tersebut dirancang
untuk mengenal adanya gangguan lingkungan dan
memberikan respons terhadap gangguan tersebut untuk
mengembalikan homeostasis. Masing-masing sistem
mengenal gangguan asing yang berbeda : kimiawi,
antigenik atau infeksi oleh sistem imun danpsikologis atau
fisik oleh SSP, tetapi mereka menggunakan banyak sistem
tranduksi yang sama untuk mencetuskan respons terhadap
gangguan yang ada.
Sistem tranduksi tersebut mungkin hormonal atau
mungkin juga neuronal. Dengan demikian sitokin-sitokin
sistem imun tak hanya mempengaruhi sel-sel imun yang
lain,tapi juga bekerja sebagai hormon untuk merangsang
SSP yang mengontrol respons stres. Sebaliknya, hormonhormon respons stres tak hanya mempengaruhi kelenjarkelenjar neuro endokrin,tapijuga menekan atau merubah
respons imun dan keradangan. Sistem imun juga dapat
memberikan sinyal pada SSP melaluijalur neuronal, seperti
saraf vagus, dan SSP dapat memberikan sinyal pada sistem
imun melalui jalur saraf perifer atau simpatik.
Berbagai tahap komunikasi antara sistem imun clan SSP
tersebut merupakan mekanisme fisiologik penting untuk
mengatur intensitas respons imun dan keradangan,
mengatur kerentanan dan ketahanan terhadap penyakit

keradangan. Pemutusan komunikasi tersebut pada tahap


yang mana saja dan melalui mekanisme apa saja akan dapat
meningkatkan kerentanan atau menambah beratnya
penyakit keradangan. Sebaliknya,pemulihan komunikasi
tersebut akan mengurangi keradangan. Dengan demikian,
beratnya' keradangan sebagai respons terhadap
rangsangan asing tak hanya tergantung pada sifat-sifat
rangsangan itu sendiri tapi juga tergantung pada intensitas
respons neuronal dan neuro endokrin yang timbul.
Pengetahuan tentang ha1 ini dapat memberikan dasar
rasional mengenai mekanisme bagaimana "stress" dapat
mempengaruhi timbulnya maupun beratnya penyakit
keradangan dan autoimun, oleh karena hormon.respons
stres yang dicetuskan oleh stres mempunyai efek yang
nyata pada respons imun atau keradangan.
Dalam makalah ini akan dibicarakan beberapa aspek
tentang interaksi neuroendokrin dengan sistem imun: 1).
Respons fisiologis sistem endokrin dan sistem saraf dalam
menghadapi stres. 2). Responsl aktivasi sistem endokrin
dan sistem saraf pada keradangan. 3). Pengaruh sistem
neuro-endokrin yang secara simultan memberi sumbangan
pada patogenesa dan gambaran klinis keradangan dan 4).
Pendekatan alternatif yang didasarkan pada aspek
neuro-endokrin untuk terapi keradangan.

Lingkungan

Respons neuro endokri

0k

dan an

L
Gambar 1. Beratnya penyakit keradangan merupakan hasil akhir
keseimbangan antara aktivitas respons imun dan respons neuro
endokrin dalam menghadapi gangguan dari lingkungan luar.

RESPONS STRES NEURO ENDOKRIN


Hipotalamusyang mempakan organ sentral resppon stress
neuro endokrin,akan memberikan respons terhadap
berbagai rangsangan dengan mensintesa dan mensekresi
neuropeptida corticothropin-releasing hormon (CRH).
CRH akan merangsang hipofise anterior mensekresi
adrenocorticotropin (ACTH), yang selanjutnya akan
merangsang kelenjar adrenal untuk mensekresi
i
oleh hipotalamus dikontrol
kortikosteroid. ~ e k r e sCRH
ketat oleh beberapa sistem neurotransmiter yang akan
merangsang sekresi tersebut (sistem noradrenergik,
serotonergik,dan dopaminergik) dan beberapa sistem lain
yang akan menghambat (y-aminobutyric acid: GABA,
benzodiasepin maupun glukokortikoid).
.pBehavior v..

neuroendokrin juga mempakan unsur fisiologis yang


penting dari respons stres.

RESPONSNEUROENDOKRINPADAKERADANGAN

Selama terjadi proses keradangan lokal terdapat sejumlah


mediator yang dilepaskan oeleh sel-sel imun yang dapat
mempengaruhi sel-sel disekitarnya (parakrin) maupun selsel ditempat yang jauh melalui aliran darah (endokrin),
seperti TNF,IL- 1, IL-2, IL-6, IL- 10, IL- 12 dan interferon-*.
Di samping imun mediator ini, sel-sel imun yang teraktivasi
juga beredar diseluruh tubuh. Pada tempat k e r a b g a n
lokal, serabut afferen saraf sensoris teraktivasi oleh faktor
kimiawi, mekanis, panas dan rangsangan imun, sehingga
akan terlepas sejumlah neurotransmiter disekitar saraf terminal. Ketiga mekanisme ini (mediator imun, sel-sel yang
teraktivasi, afferen saraf sensoris) semuanya akan
menemskan rangsangannya ke SSP dan organ-organ lain
(hati, kelenjar adrenal, kelenjar gonad, dll).

PERUBAHAN Dl 'TINGKAT SENTRAL PADA


HIPOTALAMUS DAN HlPOFlSE

Immune
System

4-"'.

Garnbar 2. Skerna komunikasi antara sistern imun dan neuro


endokrin

Di samping pengaruh neouroendokrinnya melalui


hipofise, CRH juga bekerja sentral dalam otak sebagai
suatu neuropeptida, untuk mencetuskan sejumlah
perubahan perilaku seperti peningkatan kewaspadaan,
perhatian dan penekanan h g s i - h n g s i vegetativ seperti
pencernaan dan reproduksi. Bersama-sama respons seperti
itu dikenal sebagai respons "kabur atau melawan".
Komunikasi sistem CRH hipotalamus dengan denganjalur
noredrenergikjuga teraktivasi selama respons stres, melalui
hubungan anatomis antara hipotalamus dan pusat
noredrenergik dibatang otak. Sebaliknya, sistem
noredrenergik batang otak mengirim sinyal ke perifer
melalui saraf simpatis. Melalui hubungan seperti itu, unsur
fisiologik respons stres, seperti peningkatan denyut
jantung, tonus otot dan keringat, bersamaan dengan
respons perilaku, membentuk respons stres seluruhnya.
Penelitian dalam waktu akir-akhir ini menunjukkan bahwa
modulasi respons imun baik dleh sistem simpatis maupun

Pada rangsangan mediator prokeradangan yang h a t , SSP


akan bereaksi dengan mengaktifkan aksis hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA) merangsang peningkatan kadar
hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan steroid adrenal
(Gambar 3). Peningkatan aktivitas saraf simpatik akan
menyebabkan peningkatan sekresi neurotransmiter
disekitar saraf terminal. Tetapi, sitokm prokeradangan yang
sama misalnya IL- 1,TNF atau endotoxin, akan menghambat
sekresi gonadotropin-releasing hormon dari hipotalamus,
Iuteinizing hormon dari kelenjar pituitari, dan berdampak
pada produksi testosteron pada pria dan estrogen pada
wanita. Secara fisiologis, selama proses keradangan
sistemik sistem reproduksi terhambat dan aksis HPA
teraktivasi.
Pada manusia dan t~kuspada keadaan akut (hari ke 1
terapi IL-6), IL-6 akan merangsang hipotalamus dan diikuti
sekresi dari ACTH. Keadaan yang sama juga terjadi pada
pemberian sitokin yang lain seperti IL-1 pada tikus, IL-2
pada manusia serta TNF pada manusia dan tikus.
Pemberian sitokin jangka panjang seperi IL-6 akan
menghasilkan respons ACTH yang tumpul pada manusia.
Pada acute adjzrvant-induced arthritis terjadi aktivasi yang
h a t pada ACTH, dimana pada artritis kronik akan diikuti
oleh CRH hipotalamik yang rendah tetapi dengan kadar
arginin vasopresin yang meningkat. Keadaan ini
menunjukkan adanya perubahan respons pada tingkat
hipotalamus dan kelenjar pituitari jika sitokin ditingkatkan
secara kronik (misal selama keradangan kronik). Pada
keadaan seperti itu sekresi CRH dan ACTH relatif rendah
meskipun kadar sitokin meningkat.

MTERAKSI NEUROIMUNOENIXlKRINOLOCIPADAPROSES MPI

Adaptasi (perubahan respons) pada hipotalamus


tersebut merupakan prinsip yang fisiologis, namun belum
diketahui berapa konsentrasi sitokin dan waktu yang
diperlukan untuk menginduksi proses adaptasi ini pada
tingkat hipotalamus atau hipofise pada pasien dengan
keradangan menahun. Apabila pada pasien tidak terjadi
peningkatan kadar perangsangan sitokin yang konstan,
maka perubahan adaptasi pada tingkat ini mungkin tidak
teiadi.
Terdapat beberapa cara bagaimana sitokin dari sistem
imun di perifer dapat merangsang SSP.Sitokin mungkm
secara aktif dibawa dari darah ke otak melewatibarier otakdarah,atau munglun melewati secara pasif melalui beberapa
titik kebocoran tertentu di barier tersebut. Jalur tersebut
mungkin lebih banyak timbul pada keradangan atau
penyakit lain dimana barier otak-darah menjadi lebih
permiabel.~k&tetapi sitokin juga dapat menimbulkan
efeknya tanpa masuk ke otak.Sitokin dapat diekspresikan
pada endotel pembuluh darah otak dan dapat merangsang
dilepaskannya mediator kedua, seperti prostaglandin dan
nitric oxid, di jaringan otak sekitarnya dan merangsang
neuron pada daerah tersebut. Fakta bahwa efek demam
yang ditimbulkan oleh IL-1 dapat dihambat oleh obat anti
inflamasi nonsteroid (OAINS) memberikan bukti tentang
adanya mekanisme seperti itu. Di samping pengaruhnya
langsung pada SSP, sitokinjuga dapat mempengaruhiotak
melaluijalur saraf, terutama saraf vagus.
Perubahan di Tingkat Perifer : Kelenjar Adrenal
dan Gonad
Beberapa penelitian pada pasien AR menunjukkan sekresi
kortisol yang rendah dan tidak seimbang dalam
hubungamya dengan kadar sitokin prokeradangan dan
keradangan sisternik. Pada penyakit keradangan kronik lain
terdapat penurunan relatif kadar kortisol, misalnya pada :
Crohn's disease, Sjorgen's syndrome, SLE dan penyakitpenyakit yang lain. Data tersebut menunjukkan adanya
ketidak seimbangan antara sekresi kortisol yang rendah
dengan keradangan kronik yang berkelanjutan seperti pada
artritis reumatoid Reseptor glukokortikoid didapatkan normal atau meningkat pada monosit pasien AR, yang
sebelumnya tidakmendapat terapi glukokortikoid. Hal ini
mendukung konsep gangguan sekresi kortisol pada
beberapa penyakit keradangan menahun seperti artritis
reumatoid.
Pada pasien AR didapatkan juga penurunan kadar serum androgen adrenal yang bermakna . Keadaan yang
sama (dengan penurunan androgen adrenal), terutama
DHEASjuga terjadi pada penyakit keradangan kronik lain,
seperti Crohn's disease, Ulcerative colitis, SLE, Systemic
Sclerosis dan Polymyalgia rheumatica.
Sitokin prokeradangan (IL- 1, TNF) merupakan
penghambat yang penting pada berbagai fase produksi
hormon seksual, seperti halnya aktivitas enzim P450 ssc

dan P450c17 pada sel Leydig. Kondisi ini menyebabkan


pengurangan hormon seksual dalam kelenjar gonad.
Sebaliknya sitokin prokeradanganyang sama (IL-1, TIW)
dan IL-6 mampu merangsang aktivitas enzim aromatase
kompleks pada jaringan nongonadal, dan menyebabkan
konversi androgen disepanjang jalur estrogen di perifer.
Jadi pada jaringan kaya makrofag, didapatkan hubungan
bermakna antara aktivitas aromatase dan produksi IL-6,
yang menghasilkan kadar androgen rendah dan kadar
estrogen tinggi. Hasil rasio yang tinggi antara estrogen :
androgen telah diamati pada cairan sinovial pada pasien
AR pria dan wanita. Selama proses keradangan, terdapat
pengurangan produksi hormon seksual pada tingkat
kelenjar gonad diikuti oleh kadar androgen yang rendah
pada serum dan cairap tubuh. Namun kadar estrogen relatif
tetap normal karena sitokin prokeradangan merangsang
produksi estrogen dari prekursor di sel-sel perifer (sel-sel
mama, osteoblast, sel-sel lemak, makrofag)
Secara keseluruhan respons SSP/neuro endokrin
ditujukan untuk menghambat proses keradangan di perifer.
SSP menghambat keradangan di perifer dengan
menggunakan duajalur secara paralel: 1)Aksis HPAdengan
hormon anti keradangan utamanya yaitu kortisol, dan 2).
Sistem saraf simpatik dengan anti keradangan utama
neurotransmiter norepinefiin (melalui badrenoseptor),
adenosin (melalui adenosin 2 [A21 reseptor) dan opioid
endogen.Kedua aksis ini mempunyai kemampuan sebagai
anti keradangan yang sangatkuatjika mereka bekerja secara
paralel. Namun pada AR, aksis-aksis ini mengalami
gangguan secara nyata, sehingga menyebabkan hilangnya
kemampuan anti keradangan yang di perantarai oleh SSP
pada keradangan artikular lokal.

~ u m o i a li Neuronal

Gambar 3. Jalur umpan balik anti-keradangan pada proses


keradangan sistemik (model : artritis rematoid).

Perubahan di Tingkat Perifer : Saraf Simpatis dan


Sensoris.
Beberapa penelitian membuktikan pengaruh sistem saraf
simpatis pada binatang model dengan artritis menahun.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa a-2 adrenergik
dan reseptor A1 terlibat pada sensitisasi serabut afferen
saraf sensoris, yang menyebabkan pelepasan
prokeradangan substansi P ke dalam lumen sendi.
Sebaliknyapada penelitian lain menunjukkan bahwa artritis
eksperimental dapat dikurangi dengan pemberian
b- adrenergrk agonis. Sistem saraf simpatis memainkan dua
peran penting tergantung dari ikatan antar*
neurotransmitersimpatik dengan a-2 atau P- adrenoseptor
dan A1 atau A2 adenosin reseptor secara berurutan
(Gambar 4). Perbedaan efek dari neurotransmiter simpatik
(norepineprin, epineprin, adenosin) konsisten dengan
konsep bahwa stimulasi b-adrenoseptor atau A2 reseptor
meningkatkan cAMP intraselular, dan menghambat
produksi sitokin prokeradangan seperti TNF,interferon y,
IL-2, dan IL-12. Efek yang berlawanan terjadi jika a-2
adrenoseptor atau A1 reseptor di rangsang (Tabel 1).

Hormon atau
Neurotransmiter

Modulasi fungsl imun alami dan adaptif

Kortisol

Menghambat
kerusakan
oksidatif,
phagositosis,
produksi
kollagenase,
presentasi antigen, COX-2, 11-1, IL-2, IL-6,
IL-12, INF y, TNF, NF-KB dsb.
DHEA
Menghambat produksi radikal oksigen, IL1, IL-6, TNF
Testosteron
Menghambat IL-6, aktivitas NK sel
Estrogen
Menstimulasi produksi immunoglobulin
(konsentrasi fisiologis), menghambat IL-1,
IL-6, TNF (konsentrasi farrnakologis)
CAMP
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, ekspresi HLA klas I and II,
IL-2, IL-12, INF y, TNF (tetapi
meningkatkan jalur Th2)
Norepinephrin(a2) Menghambat cAMP intraseluler
(meningkatkan of TNF)
Norepinephrin (P)
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, aktivitas NK sel, ekspresi
HLA klas II, IL-2, INF y, IL-12, TNF (tetapi
meningkatkan jalur Th 2)
Adenosin (Al)
Menghambat cAMP intraseluler
Adenosin (A2)
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, aktivitas NK sel, IL-8, IL-12,
INF y, TNF (tetapi meningkatkanjalur Th2)
Substansi P
Menstimulasi radikal oksigen,
phagositosis, kernotaksis monosit,
aktivitas NK sel, IL-1, IL-2, IL-4, IL-8, IL-10,
IL-12. TNF, produksi immunoglobulin,
prostaglandin E2

Konsentrasi lokal neurotransmiter simpatik sangatpenting


untuk imunomodulasi, sehingga kehilangan secara
lengkap dari serabut saraf simpatik pada eksperimen
simpatektomi akan mengurangi keradangan karena jalur
a-2 adrenergik di hilangkan.

Dari salah satu studi menunjukkan konsentrasi yang


rendah dari P-adrenoseptor pada limfosit sinovial pasien
AR, dan menyebabkan penurunan kadar cAMP
intraselular (penurunan jumlah reseptor 1) sehingga
menimbulkan keadaan prokeradangan dari sel tersebut.
Pada studi yang lain tidak mengkonfmasikan jumlah yang
rendah dari P--adrenoseptor, tetapi mendapatkan
penurunan ekspresi dan aktivitas G protein receptor coupled kinase dalam monosit pasien AR. Pengurangan
aktivitas kinase akan menghasilkan stabilisasi jalur
signaling b-adrenoseptor (Gambar 4), jalur kemokin dan
substansi P. Hal ini ditunjukkan melalui peningkatan
produksi cAMP dan penghambatan sekresi TNF oleh
rangsangan P-2 adrenergik pada monosit pasien AR.
Pengobatan yang menggunakan bahan penginduksi
cAMP pada pasien AR memberi efek yang
menguntungkan, pengobatan dilakukan dengan injeksi
p- adrenergik agonis atau sintesis analog cAMP kedalam
sendi. Dosis rendah methotrexate (MTX) memberikan efek
anti-keradangan, melalui induksi akumulasi adenosin
ekstraselular yang berikatan dengan reseptor A2 dan
peningkatan cAMP intraselular. Studi terakhir dengan
kelompok yang sama menunjukkan bahwa obat anti
reumatik yang lain seperti sulfasalazin atau salisilat
menimbulkan efek anti keradangan melalui peningkatan
konsentrasi adenosine ekstraselular.
Kemungkinan lain efek lokal sistem simpatis melalui
pelepasan opioid endogen yang terlokalisir pada ujung
terminal saraf simpatik. Beberapa studi saat ini
menunjukkan bahwa injeksi intra artikular terutama
menggunakan p-opioid-agonis morfin spesifik dapat
mengurangi keradangan pada AR yang kronik.
Neurotransmiter simpatis norepineprin (melalui P),
adenosin (melaluiA2) atau opioid endogen (melalui p) akan
dapat menimbulkan efek anti-keradangan, hanya jika
serabut saraf simpatik ada pada jaringan sinovial. Studi
terakhir yang panjang pada pasien AR yang lama
(rata-rata sakit 10 tahun) menunjukkan pengurangan
serabut saraf simpatis yang sangat bermakna
dibandingkan pasien OA, keadaan ini tergantung dari
derajat keradangan pasien AR Hal ini bunglunkan karena
pengurangan serabut saraf simpatis pada penyakit kronik
akan menyebabkan uncoupling keradangan lokal dari
input anti-keradangan oleh SSP
Substansi P sebagai neurotransmiter utama
prokeradangan, telah diakui sacara luas. (Tabel 1)
Pemberian lokal antagonis substansi P secara bermakna
mengurangi beratnya keradangan pada binatang model.
Lebih lanjut pada keadaan normal substansi P
mensensitisasi serabut saraf afferen artikuler dan pada
tikus yang mengalami keradangan pada sendi lututnya,
sehingga menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap
tekanan mekanik, nyeri dan peningkatan terus menerus
dari pelepasan substansi P ke dalam lumen sendi. Substansi
P memberikan rangsangan sensasi nyeri yang terus

[NTERAKSINEUR0UlNNOENDOKRINOUX;I PADAPROSESINF

menerus di perifer. Kapsaisin sebagai obat analgesik, yang


primer merusak terminal afferen saraf sensoris, saat ini telah
dipergunakan sebagai obat topikal analgesik pada artritis
reumatoid.
Ada tidaknya afferen serabut saraf sensoris pada
jaringan sinovial yang terkeradangan sampai saat ini masih
menjadi pertanyaan. Seperti pada penemuan serabut saraf
simpatlk, kadar substansi P berkurang pada jaringan sinovial
AR. Pada suatu studi perbandingan menunjukkan bahwa
kadar substansi P yang agak tinggi di dapatkan pada pasien
AR dibandingkan dengan pasien OA. Perbandingan
langsung substansi P dan serabut simpatik menunjukkan
jumlah yang lebih besar dari 10:1, untuk afferen sensoris
primer dibandingkandengan efferen simpatis,jurnlah afferen
sensoris yang besar ini tergantung dari keradangan lokal.
Kesimpulannya adalah bahwa jumlah yang berlebihan ini
mungkm menyebabkan keadaan prokeradangan yang tidak
baik, kondisi ini mendukung proses penyakit AR.

di sel-sel perifer seperti makrofag. Androgen seperti halnya


testosteron, mempunyai kemampuan anti keradangan.
DHEA dan DHEAS, merupakan kumpulan hormon yang
bertanggungjawab pada kondisi anti-keradangan di perifer,
pada saat kelenjar gonad mengalami involusi selama proses
penuaan. DHEA mempunyai reseptor intraselular yang
berpengaruh langsung pada efek anti-keradangan pada
manusia dan hewan.
Secara umum, androgen pada konsentrasi fisiologis
cenderung untuk menekan respons imun. Pada konsentrasi
fisiologis (10-8 M) dan farmakologis (konsentrasi yang
lebih tinggi dari fisiologis) (lo4 M) testosteron mampu
menghambat sekresi IL-1P oleh monosit pada pasien AR.
Pada konsentrasi fisiologis testosteron menghambat
sintesa IL-1 pada Mturprimer makrofag sinovial manusia.
Pada studi lain dihidrotestosteron mampu menekan
ekspresi dan aktivitas human IL-6 gen promotor pada
fibroblast manusia. Hal ini mendukung konsep anti
keradanganlefek imunosupresif androgen.
Secara umum pada konsentrasi fisiologis, estrogen
meningkatkan respons imun dan terutama berperan
sebagai stimulator imunitas hurnoral. (Gambar 5). Dari hasil
penelitian dilaporkan bahwa 17 P - estradiol mampu
meningkatkan produksi IgG dan IgM oleh PBMC pada
pria dan wanita, tanpa merubah viabilitas atau proliferasi
sel.Studi lebih lanjut mengkonfirmasikan bahwa 17 Pestradiol mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
produksi poliklonal IgG yang meliputi anti double stranded
DNA IgG pada PBMC pasien SLE oleh peningkatan
aktivitas sel B melalui IL-10. Efek estrogen bimodal pada
produksi sitokin (IL-1, IL-6, TNF), pada konsentrasi
farmakologis yang tinggi
M) terjadi penurunan
sintesa, dan peningkatan produksi sitokin terjadi pada
konsentrasi fisiologis (51O4M). Ditunjukkanjuga bahwa
estrogen mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
sekresi matriks rnetaloproteinase oleh sinoviosit . Kadar
estrogen serum pasien dengan AR tidak mengalami
perubahan yang berbeda dengan kadar androgen.
Hormon steroid dapat dikonversi di sepanjang jalur
aktivasi hormon di perifer. Dari hasil penelitian ditunjukkan
. bahwa konversi DHEA terjadi di dalam makrofag dan
tergantung dari status diferensiasi serta adanya endotoksin.
Pada wanita posf menopause dan pria tua, ketersediaan
DHEA adrenal sangat penting untuk memelihara kadar
hormon seksual secara bermaha di perifer. Sampai saat ini
belum diketahui secara pasti makrofag atau sel imun perifer
lain yang mampu mensintesishormon steroid dalam jumlah
cukup dengan menggunakan kolesterol.
'

'

Gambar 4. Keterlibatan dari serabut saraf simpatik dan sensoris


pada keradangan jaringan sinovial artritis reumatoid

PERAN NEURO ENDOKRIN PADA MODULASI


RESPONS IMUN

Selama lebih dari 50 tahun telah dipelajari secara intensif


efek multipel anti keradangan kortisol. Hormon ini
mempunyai aktivitas yang multipel sebagai anti
keradangan, meliputi: penghambatan sitokin, fagositosis,
kerusakan oksidatif, dan menginduksi siklooksigenase 2
(Tabel 1). Selain itu, kortisol secara langsung mengaktifkan
respons imun Th-2 in vivo, melalui peningkatan sitokin
anti keradangan IL-10. Beberapa studi menunjukkan
efektivitas dari terapi glukokortikoid pada binatang
dengan artritis clan pada pasien AR. Disimpulkan bahwa
pada konsentrasi fisiologis yang tinggi, kortisol (1C610") akan berfungsi sebagai anti keradangan
Dua horrnon adrenal yang disekresikan karena
pengaruh stimulasi ACTH adalah dehydroepiadrosterone
@HEA) dansulfatedderivativeDHEAS. DHEA merupakan
hormon aktif, yang dapat dkonversi dari reaksi androgen

PENGARUH SISTEM SIMPATIS PADA RESPONS


IMUN

Hormon epineprin adrenal, neurotransmiter simpatis


norepineprin dan adenosin (setelah konversi dari ATP)

mempunyai peran. ganda dalam imunomodulasi, karena


ikatan mereka pada G protein-coupled receptor subtypes
yang berbeda. Epinefiin lebih cenderung berikatan dengan
P-adrenoceptor (reseptor 1, pada konsentrasi fisiologis
tinggi a-adrenoseptorjuga menunjukkan sebagai reseptor
2), dan norepineprin lebih senang berikatan dengan
a-adrenoceptor (reseptor 2, pada konsentrasi fisiologis
tinggi P-adrenoceptorjuga menunjukkan sebagai reseptor
1). Adenosin lebih suka berikatan dengan reseptor A1
(reseptor 2). Pada konsentrasi fisiologis tinggi juga
berikatan dengan reseptor A2 (reseptor 1). Ikatan Padrenoseptor atau reseptor A2 meningkatkan kadar CAMP
intraselular, dan ikatan a,-adrenoceptor atau reseptor A1
menurunkan kadar cAMP intraselular(Garnbar 6).
Synovlal fluld, Cartilage, Bone
TNF
IL-~P
IL-6

IgG

IL-4
11-2
lFb

~~
Macrophage

B lymphocyte

T lymphocyte/

Synovlal tissue

Garnbar 5. Efek langsung dan tidak langsung dari androgen (A)


dan estrogen (E) pada produksi sitokinlimunoglobulinoleh sinoviall
sel-sel imun pada jaringan sinovial pasien Rheumatoid Arthritis.
Tanda (+) : perangsangan dan tanda (-) : penghambatan.

kadarnya, ha1 ini berhubungan dengan aktivitas antikeradangan yang maksimum hanya terjadi pada konsentrasi
fisiologis 1O4 M.
Sampai saat ini substansi P (Neurotransmiter afferen
sensoris) dipandang merupakan neurotransmiter
prokeradangan (Tabel 1). Sebagai contoh, substansi P
mampu menstimulasi IL- 1, IL-2, TNF dan Nuklear Factor
KB dari beberapa tipe sel. Hal ini menunjukkan bahwa
substansi P merupakan agen prokeradangan yang poten.
Peran agen prokeradangan ini pada artritis akut telah
dibuktikan.
Aktivasi aksis HPA dan aksis adrenergik secara
bersamaan telah dibuktikan mempun yai efek modulasi
respons imun yang lebih h a t dari pada efek masingmasing aksis tersebut secara terpisah.Misalnya, pada
pengobatan asma secara lokal atau sistemik,P-adrenergik
agonis dan glukokortikoid mempunyai efek sinergistik
dalam mengeliminasi obstruksi bronkus. Aktivasi yang
simultan aksis HPA melalui peningkatan kortisol dan aksis
adrenerglk melalui peningkatan norepineprin, mempunyai
efek tambahan dalam meningkatkaa cAMP intraselular
(Gambar 6), seperti yang ditunjukkan pada beberapa sel.
Kortisol akan membantu meningkatkan produksi
norepineprin dan epineprin dari saraf simpatisterminal dan
medulla adrenal, melalui sintesa enzim. Sehingga
peningkatan kadar kortisol dan norepineprin secara
bersamaan dengan konsentrasi lokal lo4 - 10" M
mempunyai efek anti-keradangan yang lebih besar dari
pada substansi tersebut berada dalam keadaan tunggal.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedua sistem antikeradangan yaitu aksis HPA dan aksis adrenergik hams
diaktivasi secara simultan untuk mendapatkan efek antikeradangan yang maksimal. Komunikasi aksis HPA dan
aksis adrenergik terlihat terganggu pada penyakit
keradangan kronik.

PERJALANAN PENYAKIT ARTRlTlS RELIMATOID:


SEBUAH MODEL UNTUK INTERAKSI NEUROENDOKRIN IMUN

Garnbar 6. Jalur anti-keradangan yang sinergistik antara kortisol


dan neurotransmiter- neurotransmiter simpatik.

Secara umum peningkatan tonus simpatik akibat dari


aktivitas saraf simpatis akan menghasilkan peningkatan
kadar epineprin, norepineprin, dan adenosin (sesudah
konversi dari ATP) pada sirkulasi sistemik dan disekitar
saraf terminal. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
CAMPintraselular pada beberapa sel target. Peningkatan
CAMPoleh mekanisme ini mampu merangsang beberapa
efek anti-keradangan pada mekanisme imun. Konsentrasi
lokal molekul efektor simpatik penting untuk diperkirakan

Pada fase awal atau aktivasi dari penyakit, jalur imun


alamiah clan adaptif diaktifkan untuk mengelirninasi faktor
pencetus yang mungkin untuk AR, pada lingkungan mikro
sinovial. Pada fase ini, adanya respons imun
prokeradangan yang kuat untuk mengeliminasi faktor
pencetus lokal, akan menyebabkan aktivasi organ-organ
jauh seperti SSP, kelenjar pituitari, kelenjar adrenal dm
hati .Pada fase awal respons prokeradangan, terjadi umpan
balik anti-keradangan untuk mengontrol proses
keradangan di sendi-sendi yang jauh. Namun, setelah
beberapa rninggu, proses keradangan tidak dapat dikontrol
lagi secara adekuat karena aksis HPA dan aksis HPG akan
menghasilkan hormon steroid anti-keradangan dalam
jumlah yang kurang dan sangat tidak sesuai untuk

2441

INTERAKSl NEUROlMUN0ENDOKRLNOUX;I PADA PROSES INFLAWIS1

mengatasi keradangan tersebut. Pada kenyataanya serum


kortisol dan kadar androgen gonadladrenal rendah pada
keradangan menahun, tetapi kadar serum estrogen tetap
normal. Secara simultan dalam periode 14 hari dari fase
akut penyakit, jumlah serabut saraf simpatis dan serabut
saraf sensoris menurun. Regenerasi serabut saraf terjadi
inkomplit dan terbatas hanya pada serabut saraf sensoris
saja setelah fase akut keradangan. Hasilnya substansi P
dari serabut saraf hampir mencapai kadar normal selama
perjalanan panjang dari penyakit, tetapi didapatkan kadar
yang sangat rendah dari serabut saraf simpatis.
Selanjutnya,kedua hormon steroid dan neurotransmiter
anti-keradangan dari sistem saraf simpatis (antikeradangan hanya terdapat pada konsentrasi tinggi) di
sekresi dalam jumlah rendah yang sangat tidak memadai
(Gambar 7).Kondisi ini menyebabkan ketidak seimbangan
yang berkelanjutan pada lingkungan mikro sinovial dan
menyebabkan perburukan penyakit, walaupun pada situasi
tanpa adanya trigger awal yang persisten. Pada skenario
patogenesa AR ini, mekanisme patogenik yang telah
diketahui pada lingkungan mikro sinovial lokal (mekanisme
imun lokal) juga dipertimbangkan bersama-sama dengan
konsep yang mengalami beberapa perubahan dari dua jalur
umpan balik utama sistem anti-keradanganyaitu aksis HPA
dan aksis HPG (Gambar 7)

Taraet

Teraai

Substitusi kelenjar
adrenal
Substitusi kelenjar gonad

Kortisol dan analognya :


dehidroepiandrosteron
Testosterone (pasien pria);
progesteron (estrogen)
Adenosin lokal (meningkat
dengan metotrexat, sulfasalazin,
salisilat); opioid lokal (popioidergic seperti morpin);
P-agonis adrenergik lokal;
mekanisme peningkatan CAMP
lokal
Antagonis Neurokinin receptor;
kaspaisin lokal

Substitusi sistem saraf


simpatis lokal Qalurantikeradangan)

Blokade substansi P

Pada suatu studi besar double blind dengan kontrol


plasebo terhadap pasien dengan SLE aktif ringan,
menunjukkan bahwa DHEA menghasilakan efek hemat
glukokortikoid. Pada waktu yang lebih singkat (4 bulan)
studi terbuka terhadap pasien AR, tidak ditemukan efek
DHEA pada aktivitas penyakit, namun studi ini tidak
difokuskan pada densitas mineral tulang dan paramater
jangka panjang lainnya. Efek klinis yang positif, misalnya
terpeliharanya densitas mineral tulang dan perlindungan
dari atherosklerosisdiharapkan timbul setelah 1 tahun dan
bukan dalam waktu 4 bulan.
DHEA di perifer di ubah oleh sel target (rnisal makrofag)
menjadi sejumlah testosteron dan estrogen yang
mencukupi, sehingga DHEA dapat dipakai sebagai
tambahan terapi pengganti testosteron atau
i
i
dn.w.*;,
; '
'
a;
.......
11
........
I.
.
.
.
.
.
estrogen
pada pria
atau wanita
dewasa
yang menderita
AR. Terapi penganti hormon dengan DHEA dapat
dipertimbangkanuntuk dipakai sebagai terapi pada pasien
AR, jika kadar hormon tersebut menurun secara signifikan.
Hal ini bermanfaat pada pasien yang secara simultan
menerima terapi kortikosteroid dan berisiko tinggi untuk
osteoporosis. Studi jangka panjang diperlukan untuk
Gambar 7. Ringkasan skenario patogenesis penyakit kronik pada
mengevaluasi efek yang mungkin timbul dari terapi
reurnatoid artritis
pengganti hormon pada pasien tanpa osteoporosis.
Kadar serum estrogen yang normal pada pasien AR
dan
fimgsi estrogen sebagai pemacu respons imun seperti
PlLlHAN PENGOBATAN BERDASARKAN
diuraikan
sebelumnya, menunjukkan kerterkaitan yang
PERSPEKI'IF IN'TERAKSI NEUROENDOKRIN-IMUN
lemah dalam pengujian terapi pengganti hormon estrogen
pada pasien AR. Ketertarikan akan pengaruh estrogen ini
Pendekatan terapeutik yang baru hams dipertirnbangkan
terlihat pada penggunaan kontrasepsi oral yang rnemiliki
seiring dengan adanya perubahan jalur umpan balik antiefek protektif terhadap perkembangan RA. Hasil dari
keradangan pada AR (Tabel 2). Berkenaan dengan adanya
beberapa studi terkontrol dengan kontrasepsi oral ternyata
interaksi imun-endoknn, substitusi kortisol pada pasien
memberikan hasil yang saling bertentangan. Studi terbaru
AR merupakan prinsip terpenting karena adanya sekresi
menunjukkan hanya pada pemakaian awal dari kontrasepsi
yang rendah dari hormon ini sehubungan dengan
oral, pada saat fase inisiasi dari AR yang memiliki efek
keradangan. Saat ini penggantian kortisol dosis rendah
proteksi dari keradangan poliarthritis. Sampai saat ini,
(2 7,5 mg Prednisonlhari) telah ditetapkan dalam
belum ada kesepakatan yang dicapai sehubungan dengan
pengobatan AR. Lebih jauh lagi pemberian androgen
penggunaan kontrasepsi oral dan kaitannya dengan
adrenal seperti DHEA sepertinya menghasilkan efek yang
prevensi dan perkembangan RA. Namun jika ada efek, ha1
menguntungkan pada penyakit keradangan kronik.
Ikh*no

.d.ofmkl.m

'

i2

itu merupakan efek yang kecil karena kontrasepsi oral


hanya merupakan modulator yang lemah pada AR.
Mungkin penggunaan modulator reseptor selektif
estrogen (SERM - Selective Estrogen Receptor
Modulators) dapat diperhitungkan.Kandidat SERM dapat
menginduksi pembentukan tulang tanpa menginduksi efek
prokeradangan sel imun.
Mempertimbangkan aktivitas imunosupresif yang
dihasilkan androgen, hormon pria dan derivatnya,
tampaknya memberikan pendekatan terapeutik yang
paling menjanjikan. Studi terbaru mendukung adanya efek
positif dari terapi pengganti androgen adjuvan pada pasien
AR pria. Obat anti reumatik Cyclosporin A dapat
menghasilkan efek anti-keradangan dengan memacu kadar
testosteron lokal dan metabolitnya di target sel sinovial.
Terapi penggantian sistem saraf simpatis iokal hams
ditujukan pada mekanisme yang merangsang kadar CAMP
intasel pada sel imun target (Tabel 1). Peningkatan lokal
dari adenosin atau noerepineprin dapat menjadi tujuan
terapi. Adenosin ekstrasel yang meningkat akan
menghasilkan efek anti-keradangan melalui reseptor A2
sebagai akibat dari terapi dengan MTX dosis rendah dan
dengan sulfasalazin atau salisilat. MTX dosis rendah
merupakan salah satu prinsip lain dalam terapi AR, yang
dapat mendukung pendapat bahwa kehilangan serabut
saraf simpatis menyebabkan rendahnya kadar adenosin,
ini menunjukkan sebagai suatu faktor penting dalam
patogenik penyakit. Penggantian lokal dari agonis
m-opiodergik dan agonis b-adrenergik akan menjadi prinsip
yang sangat penting. Substansi-P merupakan
neurotransmiter prokeradangan yang penting, sehingga
inhibisinya dengan neurokrin 1 antagonis atau
kapsaisin lokal dapat dipertimbangkan dalam terapi lokal
AR
Berdasarkan pilihan terapi ini, perlu dikaji beberapa
percobaan farmakologi klinis untuk dilakukan pada pasien
dengan AR. Ini di mungkinkan untuk dijadikan percobaan
di masa mendatang, yang memerlukan penelitian
multisenter dengan cara kontrol-plasebodan double blind,
sebagai berikut : 1) Terapi kombinasi sistemik setidaknya
1 tahun dengan MTX dosis rendah, kortikosteroid dosis
rendah plus DHEA dibandingkan dengan MTX dan
kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi,
paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara
radiologis, densitas mineral tulang), 2) Terapi sistemik
kombinasi pada pasien pria setidaknya 1 tahun dengan
MTX dosis rendah, kortikosteroid dosis rendah plus
testosteron dibandingkan dengan MTX dan kortikosteroid
saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi, paramater
keradangan sistemik, kerusakan sendi secara radiologis,
densitas mineral tulang), 3) Terapi kombinasi sistemik
setidaknya 1 tahun dengan MTX dosis rendah,
korikosteroid dosis rendah plus obat anti depresan (misal
amitriptilin dosis rendah atau antagonis substansi-P yang
baru, MK-869) dibandingkan dengan MTX dan

kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi,


paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara
radiologis, densitas mineral tulang), 4) Terapi lokal dengan
kombinasi kortikosteroid plus morfin dosis rendah
dibandingkan dengan kortikosteroid saja (pengukuran
hasil akhir :pembengkakan sendi, skor nyeri, durasi efek).
Hal-ha1 yang diungkapkan di atas merupakan 4 contoh
kemungkinan percobaan klinik yang menunjukkan
pandangan yang sesuai dengan patogenitas penyakit. Hal
tersebut menunjukkan adanya pilihan pengobatan yang
menawarkan strategi tambahan terhadap pengobatan AR
berdasarkan pendekatan yang difokuskan pada faktor
imun-neuroendokrin.

Dari uraian yang telah disajikan di atas, pernyataan berikut


ini menjadi jelas : 1). Sekresi yang rendah dan tidak
memadai dari kortisol sehubungan dengan keradangan
merupakan gambaran yang tipikal dari penyakit
keradanagan menahun 2). Sekresi androgen adrenal
berkurang secara signifikan, yang menjadi problem pada
wanita postmenopause dan pria usia lanjut karena
kekurangan hormon seks. 3). Kadar serum testosteron
berkurang secara nyata pada penyakit keradangan
menahun. 4). Serabut saraf simpatik berkurang secara nyata
di jaringan sinovial pada pasien dengan artritis menahun
sedangkan serabut saraf sensorik prokeradangan
(substansi-P) masih ada. 5). Substansi-P bekerja untuk
terus menerus merasakan rangsang nyeri di perifer, dan
input nosiseptif dari sendi yang meradang menunjukkan
amplifikasi yang besar pada medula spinalis. Hal ini
menyebabkan nyeri yang terus menerus dengan stabilisasi
input afferen sensori dan pelepasan yang kontinyu dari
substansi-P prokeradangan di lumen sendi.
Dari fakta ini jelas bahwaperubahan sistem umpan balk
anti-keradangan memberikan sumbangan yang penting
pada patogenesis artritis menahun. Terapi yang di tujukan
pada perubahan ini, harus menghasilkan sebuah
mekanisme untuk menggantikan kelenjar adrenal
(glukokortikoid), kelenjar gonadal (androgen), dan serabut
saraf simpatik (peningkatan adenosin oleh MTX dosis
rendah, sulfasalazin dan salisilat) untuk mengintegrasikan
efek imunosupresinya di tempat lokal dari proses
keradangan sendi tersebut. Walaupun proses lokal dari
sistem imun adaptif penting pada patogenesis fase akut
artritis, mekanisme ini menjadi kurang penting pada fase
kronik dari penyakit ini dimana tidak ditemukan faktor
pencetus yang spesifik. Adanya defek dari sistem umpan
balik anti-keradangan merupakan faktor penting pada
perburukan artritis menahun. Pendekatan terapi kombinasi
dengan dasar imun-neuroendoknn merupakan kepentingan
yang mendasar dalam terapi artritis menahun yang
berorientasi secara patogenik.

-1

NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI PADA PROSESINFLAMASI

Baenvald CG, Laufenberg M, Specht T. Von Wichert P, Burmester GR,


Krause. A Impaired sympathetic influence on the immune
response in patients with rheumatoid arthritis due tolymphocyte
subset- spesific modulation of beta 2-adrenergic receptor. BrJ
Rheumatol 1997;36: 1262-9.
Blab S, Engel J-M, Burmester G-R. The immunologic homunculus in
rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1999 ; 42 : 2499 - 506.
Carson DA. Rheumatoid arthritis: pathogenesis and future
therapies. Annual Scientific Meeting of the American College
of Rheumatology; 1999 Nov 13-1 7;Boston.
Castagnetta L, Cutolo M, Granata OM, DI Falco M, Bellavia V,
Carmba G. Endogrine end-points in rheumatoid arthritis. Ann N
Y Acad Sci 1999:876: 180-91; discussion 191-2.
Chikanza IC, Petrou P, Kingsley G, Chrousos G, Panayi GS.
Defective hypothalamic response to immune and
inflammatory stimuli in patients with rheumatoid arthritis.
Arthritis Rheum 1992;35:1281 - 8.
Chrousos GP. The hypothalamic-pituitary-adrenal axis and
imune-mediated inflammation. N Engi J Med 1995:332:1351 - 62.
Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Barone A, Sulli A, Balleari E, et al.
Androgen metabolism and inhibition of interleukin-1 sythesis
in primary cultured human synovial macrophages. Mediators
Inflamm 1995;4: 138.
Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Clerico P, Indiveri F, Carmba G, et
al. Evidence for the presence of androgen receptors in the
synovial tissue of rheurnatiod arthritis patients and healthy
controls. Arthritis Rheum 1992 ; 35 :1007-15.
Cutolo M, Sulli A, Seriolo B, Accardo S, Masi AT, Estrogens, the
immune response and autoimmunity. Clin exp Rheumatol 1995;
13:2 17-26.
Cutolo M, Wilder R. Different roles for androgens and estrogens in
the susceptibility to autoimmune rheumatic diseases. Rheum
Dis Clin North Am 2000 ; 26:825 - 39.
Ebringer A, Wilson C, Tiwana H. Is rheumatoid arthritis a form of
reactivearthritis ? J Rheumatol 2000 ; 27 : 559 - 63.
Ehrhart-Bomstein M, Hinson JP, Bomstein SR, Scherbaum WA,
Vinson GP. Intraadrenal interactions in the regulation of
adrenocortical steroidogenesis. EndocrRev 1998;19: 101 -43.
Eijsbouts A, van den HF, Laan R, de Waal MM, Hermus A, Sweep C,
et al. Similar response of adrenocorticotrophic hormone,
cortisol and prolaction to surgery in rheumatoid arthritis and
osteoarthritis (letter). Br J Rheumatol 1998;37: 1 138-9.
Firestein CIS, Nguyen K, Aupperle KR, Yeo M, Boyle DL, Zvaifler
NJ. Apoptosis in rheumatoid arthritis: p53 overexpresion in
rheumatoid arthritis synowium. Am J Pathol 1996: 149:2 143 - 5 1.
Hales DB, Interleukin-l inhibits leydig cell steroidogenesis
primarily by decreasing 17 alpha-hydroxylase / C 17-20 lyase
cytochrome p450 expression. Endrocrinologi 1992;13 1:2 165-72.
Harbuz MS, Jessop DS. Is there a defect in cortisol production in
rheumatoid arthritis ? Rheumatology (Oxford) 1999:38:298 - 302.
Hu SK, Mitcho YL, Rath NC. Effect ofestradiol on interleukin 1
synthesis by macrophages. Int J Immunopharmacol 1988;
10:247 - 52.
Imai S, Takunaga Y, Konttinen YT, Maeda T, Hukuda S, Santavirta
S. Ultrastructure of ihe synovial sensory peptidergic fibers is
distinctively altered in different phases of adjuvant induced
arthritis in rats : ultramorphological study
Janossy G, Panayi G, Duke 0, Bofill M, Poulter LW, Goldstein G.
Rheumatoid arthritis : a disease of T-lymphocte/macrophage
immunoregulation. Lancet 1981 ; 2: 839-42.

2443

Kanda N, Tamaki K. Estrogen enhances immunoglobulin


production by human PBMCs: J , A l l e r g y Clin lmmunol
1999;103:282 - 8.
Khalkali-Ellis Z, Seftor EA; Nieva DRC, Handa RJ, Price RH Jr,
Kirschmann DA, et al. Estrogen And progesterone regulation of
human fibroblast-like synoviocyte function -in vitro:
implications in rheumatoid arthritis. J *Rheumatol-2000;27:1622-3
1.
Konttinen YT, Kemppinen P, Segerberg M, Hukkanen 'M, Rees R,
Santavirta S, et al. Peripheral and spinal neural 'mechanism in
arthritis, with particular reference to treatment of inflammation~andpain. Arthritis Rheum 1994 ; 37 : 965 - 82..
Laemont KD, Schaefer CJ, Juneau pL,' Schrier DJ. Effects of the
phosphodiesterase inhibitor rolipram on streptococcal cell
wall-induced arthritis in rats. Int J Immunopharmacol
1999;21:711-25.
Lechner 0, Wiegers GJ, Oliveira-Dos-Santos AJ, Dietrich H, Recheis
H, Waterman M, et al. Glucocorticoid production in the murine
thymus. Eur J Immunol 2000;30:337 - 46.
Levine JD, dark R, Devor M, Helms C, Moskowitz MA, Basbaum
Al. lntraneuronal substance P contributes to the severity of
experimental arthritis. Science 1984;226:547-9.
Li ZG, Danis VA, Brooks PM. Effect ofgonadal steroids on the
production of IL-I and 1L-6 by blood mononuclear cells in
vitro. Clin Exp Rheumatol 1993;! 1:157-62.
MacDiarmid F, Wang D, Duncan LJ, Purohit A, Ghilchick MW,
Reed MJ. Stimulation of aromatase activity in breast fibroblasts
by tumor necrisis factor alpha. Mol cell Endocrinol Metab 1994;
106:17-21.
Mapp PI, Kidd BL, Gibson SJ, Terry JM, Revel1 PA, Ibrahim NB, et
al. Substance P, calcitonin gene-related peptide- and C flanking
peptide of neuropeptide Y-immunoreactive fibres are present
in notmal synovium but depleted in patients with rheumatoid
arthritis. Neuroscience 1990;37:143-53.
Masi AT, Bijisma JW, Chikanza IC, Pitzalis C, Cutolo M. Neuroendocrine, immunologic, and microvascular system interactions
in rheumatoid arthritis : physiopathogenetic and theraupeutic
perspectives. Semin Arthritis Rheum 1999 ; 29:65-81.
Matucci-Cerinic MM, Konttinen Y, Generini S, Cutolo M. Neuropeptides and steroid hormones in arthritis. Curr Opin Rheumatol
1998 ; 17 : 64 - 102.
Miller LE, Justen H-P, Scholmerich J, Straub RH. The loss of
sympathetic nerve fibers in the synovial membrane of patient
with rheumatoid arthritis is accompanied by increased norepineprine release from synovial cells. FASEB J 2000,14:20972107.
Muller-Ladner U, Kriegsmann J, Franklin BN. Matsumoto S, Geiler
T, Gay RE, et al. Synovial fibroblasts of patients with rheumatiod
arthritis attach to and invade normal human cartilage when
engrafted into SC 1 D mice. Am J Pathol 1996: 149: 1607-15.
33. Naitoh Y, Fukata J, Tominaga T, Nakai Y, Tamai S, Mori K, et
al. Interleukin-6 stimulates the secretion of adrenocorticotropic hormone in conscious, freely-moving rats. Biochem Biophys
Res Commun 1988; 155:1459 - 63.
Niijima A, Hori T, Aou S, Oomura Y. The effects of interleukin- l
beta on the activity of adrenal, splenic and renal sympathetic
nerves in the rat. J Auton Nerv Syst1991;36:183-92.
Sanden S, Tripmacher R, Weltrich R, Rohde W, Hiepe F, Burmester
OR, et al. Glucocorticoid dase dependent downregulation of
glucocorticoid receptors in patient with reumatic diseases. J
Rheumatol 2000;27: 1265-70.
Schmidt M, Kreutz M, Loffler G, Scholmerich J. Straub RH.
Conversion of dehydroepiandrosterone to downstream steroid

hormones in macrophages. J Endocrinol 2000:164:161 9.


Seriolo B, Cutolo M, Gamero A, Accardo S. Relationships between
serum 17 beta-oestradiol and anticardiolipin antibody
concentrations in female patients with rheumatoid arthritis.
Rheumatology (Oxford) 1999;38: 1159 - 6 1.
Spector TD,Perry LA, Tubb G, Silman AJ, Huskisson EC. Low free
testosterone levels in rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis
1988;47:65 8.
Strenberg EM, Komarow HD. Neuroendocrine immune interactions.
Principles and relevance to systemic lupus erythematosus. In
Wallace DJ., Hahn BH (eds). Dubois lupus erythematosus 6' ed.
Lipincott William, Wilkins. Philadelphia.-2002. 319-338.

Takeda T, Mizugaki Y, Matsubara L, Imai S, Koike T, Takada K.


Lytic Epstein-Barr virus infection in the synovial tissue of
patients with rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 2000;43 :
1218 25.
Trang LE, Lovgren 0, Roch-Norlund AE. Horn RS, Waalas 0, Cyclic
nucleotides in joint fluit in rheumatoid arthritis and in reiter's
syndrome. Scand J Rheumatol 1979;8:91-6.
Van der Poll T, Barber AE, Coyle SM, Lowry SF. Hypercortisolemia
increases plasma interleukin-10 concentrations during human
endotoxemia - a clinical research center study. J. Clin Endocrinol
Metab 1996;81:3604 - 6.

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS


PENYAKIT MUSKULOSKELETAL
Harry Isbagio, Bambang Setiyohadi

Sebelum melangkah lebih lanjut sebaiknyaterlebih dahulu


dikenal berbagai terminologi yang sering digunakan dalam
bidang penyakit reumatik. Hal ini diperlukan untuk
kesamaan pengertian agar kita tidak rancu dalam
menggunakannya.
Berbagai istilah yang perlu diketahui adalah :
Artralgia: merupakan keluhan subyektif berupa rasa
nyeri di sekitar sendi, pada pemeriksaan fisis tidak
didapatkan kelainan.
Artritis: kelainan sendi obyektif, berupa inflamasi sendi
disertai tanda inflamasiyang komplit (tumor, rubor, kalor,
dolor, gangguan hngsi)
Monohtis: h t i s yang hanya mengenai satu sendi saja.
Oligo artritislpausi-artikular:artritis yang menyerang 2
sampai 4 sendi atau kelompok sendi kecil. Dalam ha1 ini
sendi interfalang distal = DIP, sendi interfalang proksirnal
= PIP, sendi metakarpofalangeal = MCP, sendi karpalis,
sendi metatarsofalangeal = MTP dan sendi tarsalis
merupakan kelompok sendi yang kecil yang di hitupg
sebagai satu sendi walaupun yang terserang beberapa
sendi. Contoh bila yang diserang sendi PIP 11, PIP 111,
PIP IV, dan PIP V baik secara serentak atau berurutan
maka di hitung hanya sebagai satu sendi yang terserang.
Poliartritis: artritis yang menyerang lebih dari 4 sendi
atau kelompok sendi kecil.
Sinovotis: inflamasi sinovia sendi yang klinis nyata
Tenosinovitis: inflamasi sarung tendon
Tendinitis: inflamasi tendon
Bursitis : inflamasi bursa
Entesopati: inflamasi atau kelainan entesis (tempat
melekatnya ligamen, tendon, atau kapsul sendi ke
periosteum tulang).

Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal


diagnosis semua penyakit, termasuk pula penyakit
reumatik. Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat
penyakit yang deskriptif dan kronologis; ditanyakan pula
faktor yang memperberat penyakit dan hasil pengobatan
untuk mengurangi keluhan pasien.

Umur
Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi
fiekuensi setiap penyakit terdapat pada kelompok umur
tertentu. Misalnya osteoartritis lebih sering ditemukan
pada pasien usia lanjut dibandingkan dengan usia muda.
Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih sering di
temukan pada wanita usia muda dibandingkan dengan
kelompok usia lainnya.
Jenis Kelamin
Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin
berbeda pada beberapa kelompok penyakit. Pada tibe1 2
dapat dilihat perbedaan tersebut.
Nyeri Sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien reumatik.
Pasien sebaiknya diminta menjelaskan lokasi nyeri serta
punctum maximumnya, karena mungkin sekali nyeri
tersebut menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan
karakteristikyang disebabkan oleh penekanan radiks saraf.
Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan
perubahan mekanis dengan nyeri yang disebabkan
inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang
setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari mempakan

tanda nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri inflamasi akan


bertarnbahberat pada pagi hari saat bangun tidur dan disertai
kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan
berkurang setelah melakukan aktivitas. Pada artritis
reumatoid, nyeri yang paling berat biasanya pada pagi hari,
membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam
hari. Sebaliknya pada osteoartritis nyeri paling berat pada
malam hari, pagi hari terasa lebih ringan dan membaik pada
siang hari. Pada artritis gout nyeri yang terjadi biasanya
berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari,
sedangkan pada malam hari sebelumnya pasien tidak
merasakan apa-apa, rasa nyeri ini biasanya serlimiting dan
sangat responsif dengan pengobatan. Nyeri malam hari
terutama bila dirasakan seperti suatu regangan merupakan
nyeri akibat peninggian tekanan intra-artikular akibat suatu
nekrosis avaskular atau kolaps tulang akibat artritis yang
berat. Nyeri yang menetap sepanjanghari (siang dan malarn)
pada tulang merupakan tanda proses keganasan.

Usia
Muda
(2-25 th)

Usia
pertengahan
(30-50 th)

Penyakit Still
+
+/Spondilitis ankilosis
++
+
Penyakit Reiter
++
+
Demam reumatik
++
+
Artritis pada kolitis ulseratif
+
++
Artritis septik
++
+
Gonokok
Stafilokok dan infeksi lain
+
++
+I++
Artritis gout
Lupus eritematosus sistemik
+++
++
Artritis reumatoid
++
++
+
++
Polimiositis
+
++
Skleroderma
SLE akibat obat
+
+
+
Penyakit paget
+
Osteoartritis
Polimialgia reumatika
+
Penyakit deposit kalsium
pirofosfat
+
+IOsteopenia
+
Mestastasis karsinoma atau
mieloma multipel
- : hampir tak pernah terjadi; +/- : sangat jarang;
+ : jarang; ++ : sering terjadi; +++ : sering terjadi

Artritis reurntoid
Lupus eritematosus sistemik
Spondilitis ankilosis
Penyakit Reiter
Artritis psoriatik
Artropati intestinal
Artropati reaktif
Artritis gout
Osteoartritis koksae
Osteoartritis lutut dan tangan

Usle
lanju(

(65+th)

+/+/-

+++
++
+
++
++
++

+++
++
+++
++
+++
+++

+++

Pria c wanita (1 : 3)
Pria c wanita
Pria > wanita
Pria > wanita
Pria c wanita
Pria = wanita
Pria = wanita
Pria > wanita
Pria = wanita
Pria wanita

biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar


jaringan yang mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia,
atau bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau
setelah istirahat. Setelah digerak-gerakkan, cairan akan
menyebar dari jaringan yang mengalami inflamasi dan
pasien merasa terlepas dari ikatan (wears o f l . Lama dan
beratnya kaku sendi pada pagi hari atau setelah istirahat
biasanya sejajar dengan beratnya inflamasi sendi (kaku
sendi pada artritis reumatoid lebih lama dari osteoartritis;
kaku sendi pada artritis reumatoid berat lebih lama daripada
artritis reumatoid ringan).
Bengkak Sendi dan Deformitas
Pasien yang sering mengalami bengkak sendi, ada
perubahan warna, perubahan bentuk atau perubahan posisi
struktur ekstremitas.Biasanya yang dirnaksud pasien dengan
deformitas ialah posisi yang salah, dislokasi atau sublukasi.
Disabilitas dan Handicap
Disabilitas terjadi apabila suatu jaringan, organ atau sistem
tidak dapat berfungsi secara adekuat. Handicap terjadi bila
disabilitas mengganggu aktivitas sehari-hari, aktivitas sosial
ataumengganggu pekerjaanljabatanpasien. Disabilitas yang
nyata belum tentu menyebabkan handicap (seorang yang
amputasi kakinya di atas lutut mungkm tidak akan mengalami
kesukaran bila pekerjaan yang bersangkutan dapat
dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya disabilitas ringan
justru dapat mengakibatkan handicap.
Gejala Sistemik
Penyakit sendi inflamatoir baik yang disertai maupun tidak
disertai keterlibatan multisistem lainnya akan mengakibatkan
peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau
CRP. Selain itu akan disertai gejala sistemik seperti panas,
penurunan barat badan, kelelahan, lesu dan mudah
temngsang. Kadang-kadang pasien mengeluh ha1 yang tidak
spesifik, seperti merasa tidak enak badan. Pada orang usia
lanjut sering disertai gejala kekacauan mental.
Gangguan Tidur dan Depresi
Faktor yang berperan dalam gangguan pola tidur antara
lain: nyeri kronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti
inflamasi nonsteroid (indometasin). Pada artropati berat
terutama pada koksae dan lutut akan berakibat gangguan
aktivitas seksual yang akhirnya akan menimbulkan problem
perkawinan dan sosial. Perlu diperhatikanpula adanyagejala
depresi terselubung seperti rqtardasi psikomotor, konstipasi, ;
mudah menangis dsb.

Kaku Sendi

Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa


sukar untuk menggerakan sendi (worn

on.Keadaan ini

Pemeriksaanjasmani khusus pada sistem muskuloskeletal


meliputi :

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN P~SSP E N Y MUSKU~SKELETAL


~

Inspeksi pada saat diam 1 istirahat


Inspeksi pada saat gerak
Palpasi

Gaya Berjalan
Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase, yaitu heel
strike phase, loading/stance phase, toe off phase dan
swingphase. Pada heel strikephase, lengan diayun diikuti
gerakan tungkai yang berlawanan yang terdiri dari fleksi
sendi koksae dan ekstensi sendi lutut. Pada loading/
stance phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur
melakukan rotasi ke depan bersamaan dengan akhir
gerakan tungkai pada heel strikephase. Pada toe offphase,
sendi koksae ekstensi dan turnit mulai terangkat dari lantai.
Pada swingphase sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi
talokruralis.
Gaya berjalan
Heel strike phase
Loading/stance phase
Toeoflphase
Swing phase.
rya berjalan yang abnormal :
Gaya berjalan antalgik,yaitu gaya berjalan pada pasien
artritis di mana pasien akan segera mengangkat tungkai
yang nyeri atau deformitas sementara pada tungkai
yang sehat akan lebih lama diletakkan di lantai; biasanya
akan diikuti oleh gerakan lengan yang asimetri.
Gaya berjalan Trendelenburg, disebabkan oleh abduksi
koksae yang tidak efektif sehingga panggul
kontralateral akan jatuh pada swing phase.
Waddle gait, yaitu gaya berjalan Trendelenburg
bilateral sehingga pasien akan berjalan dengan pantat
bergoyang.
Gaya berjalan histerikaltpsikogenik, tidak memiliki pola
tertentu.
Gaya berjalan paraparetik spastik, kedua tungkai
melakukan gerakan fleksi dan ekstensi secara kaku dan
jari-jari kaki mencengkeram h a t sebagai usaha agar
tidak jatuh.
Gaya berjalan paraparetik flaksid (high stepping
gait=steppage gait), yaitu gaya berjalan seprti ayam
jantan, tungkai diangkat vertikal terlalu tinggi karena
terdapat foot drop akibat kelemahan otot tibialis
anterior.
Gaya berjalan hemiparetik, tungkai yang parese akan
digerakkan ke samping dulu barn diayun ke depan
karena koksae dan lutut tidak dapat difleksikan.
Gaya berjalan ataktiklserebelar(broad basegait), kedua
tungkai dilangkahkan secara bergoyang goyang ke
depan dan ditapakkan secara ceroboh di atas lantai
secara berjauhan satu sarna lain.
Gaya berjalan parkinson (stopping,festinant gait), gerak
berjalan dilakukan perlahan, setengah diseret, tertatih-

2447

tatih dengan jangkauan yang pendek-pendek. Tubuh


bagian atas fleksi ke depan dan selama gerak berjalan,
lengan tidak diayun.
Scissor gait, yaitu gaya berjalan dengan kedua tungkai
bersikap genu velgum sehingga lutut yang satu berada
di depan lutut yang lain secara bergantian.

Gays Berjelan
1. Heel sfrike phaser, 2. Loadinglsfancaphaser, 3. Toe-offphase; ISwingphas

Garnbar 1. Gaya berjalan


1. heel strike phase; 2. loading/stance phase;3. toe off phase;4.
swing phase

Sikaplpostur Badan
Perlu diperhatikanbagaimana cara pasien mengatur posisi
bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya
mempunyai tekanan intra-artikularyang tinggi, oleh karena
itu pasien akan berusaha menguranginya dengan mengatur
posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya dalam
posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal
dengan bantal. Pada sendi bahu (glenuhomeral) dengan
cara lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu
menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan.
Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka
pasien akan merasa sangat kesakitan karena terjadi
peningkatan tekanan intraartikular. Ditemukannya postur
badan yang membengkok ke depan disertai pergerakan
vertebra yang terbatas merupakan gambaran khas
spondilitis ankilosa.
Deformitas
Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan
diam, tetapi akan lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu
dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi
(misalnya disebabkan gangguanjaringan lunak) atau tidak
dapat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul sendi atau
kerusakan sendi). Berbagai deformitas di lutut dapat terjadi
antara lain genu varus, genu valgus, genu rekuvatum,
subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian
pula deformitas fleksi di siku. Pada jaringan tangan antara
lain boutonniere finger, swan neck yifirtger, ulnar
deviation, subluksasi sendi metalcarpal dan pergelangan
tangan. Pada ibu jari tangan ditemukan unstable-Zshaped

'

thumbs. Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan


melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibu jari
kaki ke atas. Pada pergelangan kaki terjadi valgue ankle.

merupakan tanda artropati atau penyakit kapsular. Nyeri


raba periartikular agak jauh dari batas daerah sendi
merupakan tanda bursitis atau entesopati.

~erubahanKulit
Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau
penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik.
Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis
dan eritema nodosurn. Kemerahan disertai deskuamasipada
kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi
periartikular,yang sering pula merupakan tanda arttitis septik
atau artritis kristal.

Pergerakan
Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada
keadaan pasif dan aktif dan dibandingkan kiri dan kanan
Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak
sendi pada semua arah. Tenosinovitis atau lesi periartikular
hanya menyebabkan berkurangnya gerak sendi pa& satu
arah saja. Artropati akan memberikan gangguan yang sama
dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih luas
dibandingkan dengan gerakan aktif maka kemunghan ada
gangguan pula pada otot atau tendon. Nyeri gerak
merupakan tanda diagnostik yang bermakna, nyeri ringan
hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan
gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan
disebut sebagai stress pain. Bila didapatkan stress pain
pada semua arah gerak, maka maka keadaan tersebut
merupakan tanda khas untuk gangguan yang berasal dari
luar sendi (tenosinovitis). Nyeri yang dirasakan sama
kualitasnya pada semua arah gerak sendi, lebih
menunjukkan gangguan mekanik dari nyeri inflamasi.
Resisted active movement merupakan suatu cara
pemeriksaan untuk menemukan adanya gangguan
periartikular.Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara
pasien melawan gerakan yang dilakukan oleh tangan
pemeriksa, akibatnya terjadi kontraksi otot tanpa disertai
gerakan sendi. Bila timbul rasa nyeri maka ha1 tersebut
barasal dari otot, tendon, atau insersi tendon, misalnya
pada :
Tahanan pada aduksi sendi koksae yang mengakibatkan
timbulnya rasa nyeri pangkal paha merupakan tan&
tendinitis aduktor.
Tahanan pada aduksi glenohumeral yang
mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pada lengan atas
merupakan tanda gangguan otot suprasinatus dan lesi
pada tendon.
Tahanan pada ekstensi siku yang menyebabkan nyeri
pada epikondilus lateralis merupakan tanda tennis
elbow.
Sama halnya dengan di atas, pada passive stress test,
bila pasien mengkuti gerakan tangan pemeriksa akan timbul
rasa nyeri sebagai akibat regangan ligamen atau tendon,
misalnya uji Finkelstein pada tenosinovitis De Quervain
(passive stress otot abduktor polisis longus dan ekstensor
polisis brevis menimbulkan rasa nyeri).

Kenaikan Suhu Sekitar Sendi


Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan
akan dirasakan adanya kenaikan suhu disekitar sendi yang
mengalami inflamsi.

Bengkak Sendi
Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan
lunak atau tulang. Cairan sendi yang terbentuk biasanya
akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang
resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk
yang khas pada tempat tersebut, misalnya :
Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan
medial dan kantung suprapatelar mengakibatkan
pembengkakan di atas dan sekitar patela yang berbentuk
seperti ladam kuda.
Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pa& sisi
posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamen
kolateral bagian lateral.
Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan
segitiga di antara klavikula dan otot deltoid di atas otot
pektoralis.
Pada efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi
pembengkakan pa& sisi anterior.

Bulge sign ditemukanpada keadaan efusi sendi dengan


jumlah cairan yang sedikit &lam rongga yang terbatas.
Misalnya pada efusi sendi lutut bila dilakukanpijatanpada
cekungan medial maka cairan akan berpindah sendiri ke
sisi medial. Baloon sign ditemukan pada keadaan efusi
denganjumlah cairan yang banyak. Bila dilakukan tekanan
pada satu titik akan menyebabkan penggelembungan di
tempat lain. Keadaan ini sangat spesifik pada efusi sendi.
Pembengkakan kapsul sendi merupakan tanda spesifik
sinovitis. Pada pembengkakan tergambar batas kapsul
sendi, yang makin nyata pada pergerakan dan teraba pada
pergerakan pasif.
Nyeri Raba
Menentukan lokasi nyeri raba yang tepat merupakan ha1
yang penting untuk menentukan penyebab keluhan pasien.
Nyeri raba kapsuldartikular terbatas pa& daerah sendi

Krepitus
Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba
sepanjang gerakan struktur yang terserang. Krepitus halus
merupakan krepitus yang dapat di dengar dengan
menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang
di sekitarnya. Keadaan ini ditemukan pada radang sarung

ANAMNESIS DAN PEMEWCSAAN PISISPENYAKIT MUSKULOSKELXTAL

tendon, bursa atau sinovia. Pada krepitus kasar, suaranya


dapat terdengar dari jauh tanpa bantuan stetoskop dan
dapat diraba sepanjang tulang. Keadaan ini disebabkan
kerusakan rawan sendi atau tulang.
Bunyi Lainnya
Ligamentous snaps merupakan suara tersendiri yang
keras tanpa rasa nyeri. Keadaan ini merupakan ha1 yang
biasa terdengar di sekitar femur bagian atas sebagai clicking hips. Cracking merupakan bunyi yang diakibatkan
tarikan pada sendi, biasanya pada sendi jari tangan,
keadaan ini disebabkan terbentuknya gelembung gas
intraartikular. Cracking tidak dapat diulang selama
beberapa menit sebelum gas tersebut habis diserap.
Cloncking merupakan suaril yang ditimbulkan oleh
permukaan yang tidak teratur (iregular), suara ini
ditemukan misalnya pada gesekan antara skapula dengan
iga.
Atrofi dan Penurunan Kekuatan Otot
Atrofi otot merupakan tanda yang sering ditemukan. Pada
sinovitis segera terjadi hambatan refleks spinal lokal
terhadap otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada
artropati berat dapat terjadi atrofi periartikular yang luas.
Sedangkan pada jepitan saraf, gangguan tendon atau otot
terjadi atrofi lokal. Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini
lebih penting dari besar otot.
KetidakstabilanlGoyah
Sendi yang tidak stabiVgoyah dapat terjadi karena proses
trauma atau radang pada ligamen atau kapsul sendi. Pada
artropati dapat terjadi sendi goyah sebagai akibat
kerusakan rawan sendi atau inflamasi kapsul atau ruptur
ligamenl perlu dibandingkan sendi yang goyah dengan
sendi sisi lainnya.
Gangguan Fungsi
Fungsi sendi dinilai dengan obsewasi pada penggunaan
normal; seperti bangkit dari kursi dan berjalan dapat
digunakan untuk menilai sendi koksae, lutut dan kaki.
Kekuatan genggam dan ketepatan menjepit benda halus
untuk manilai tangan. Sedangkan aktivitasnya hidup
sehari-hari (activities of daily living = ADL) seperti
menggosok gigi, buang air besar, memasak dan
sebagainya lebih tepat ditanyakan dengan kuesioner
daripada diperiksa langsung.
Nodul
Nodul sering ditemukan pada berbagai artropati, umurnnya
ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan,
siku, tumit belakang, sakrum). Nodul sering ditemukan
pada artritis gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul
reumatoid).

2449

Perubahan Kuku
Perubahan kuku sering ditemukan pada penyakit reumatik,
antara lain:
Jari tabuh (clubbing finger) berhubungan dengan
osteoartropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis
fibrotik.
Thimble pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk
lubang) dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati
psoriatik dan penyakit Reiter kronik.
Serpihan berdarah (splinter haemorhages) pada
vaskulitis pembuluh darah kecil.
Lesi Membran Mukosa
Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau
artropati reaktif) atau dengan gejala (lupus eritematosus
sistemik, vaskulitis, sindrom Behcet). Perlu diperhatikan
adanya ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung,
telangiektasia.
Gangguan Mata
Gangguan mata meliputi :
Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid,
vaskulitis dan polikondritis.
Intis pada spondilitis ankilosis dan penyakit Reiter
kronik.
Irdosklitis pada arh-itisjuvenilkronik jenis pausiartikular.
Konjungtivitis pada penyakit Reuter akut dan sindrom
sika.
EVALUASI SEND1SATU PERSATU
Sendi Temporomandibular (temporomandibular
joint = TMJ)
TMJ terletak di anterior liang telinga, dibentuk oleh
kondilus mandibula dan fossa temporalis. Sendi ini dapat
di palpasi dengan meletakkanjari di anterior liang telinga
dan menyuruh pasien untuk membuka dan menutup mulut
dan menggerakan mandibula ke lateral kiri dan kanan
bergantian. Gerak vertikal TMJ dapat diukur dengan
mengukurjarak gigi seri atas dan bawah pada pada waktu
pasien membuka mulut secara maksimal, normal sekitar
3-6 cm. Berbagai artritis dapat mengenai TMJ, seperti
artritis kronik juvenilis yang dapat menyebabkan
pertumbuhan tulangmandibula terhenti dan
mengakibatkan mikrognatia. Pada artritis yang berat, dapat
dipalpasi dan diauskultasi bunyi krepitus atau clicking.
Sendi Sternoklavikular, Manubriosternal dan
Sternokostal
Sendi sternoklavikular dibentuk oleh ujung medial
klavikula dan kedua sisi batas atas sternum. Di keduanya
terdapat sendi sternokostal I. Sendi manubriosternal

terletak setinggi sendi sternokostalI1. Sendi stemokostal


111 sampai dengan VII terletak sepanjang kedua sisi sternum di distal sendi sternokostal 11. dari ketiga sendi
tersebut, hanya sendi sternoklavikular yang bersifat
diartrosis., sedangkan sendi yang lain merupakan
amfiartrosis atau sinkondrosis. Sendi sternoklavikular,
berada tepat di bawah kulit, sehingga sinovitis pada sendi
ini akan mudah dillhat dan dipalpasi. Sendi ini juga sering
terserang spondilitis ankilosa, artritis reumatoid dan
osteoahtis. Pada sendi sternokostal, sering hdapatkan
nyeri pada sendi tersebut atau rawan iga, keadaan ini
disebut osteokondritis.
Sendi Akromioklavikular(acromioclavicularjoint
ACJ)
ACJ dibentuk oleh ujung lateral klavikula dan tepi medial
prosesus akromion skapula. Pada orang tua sering
didapatkan penebalan tulang pada sendi ini. Nyeri lokal
pada bahu bersamaan dengan aduksi lengan melewati
depan dinding dada, menunjukkan adanya kelainan pada
ACJ.
Sendi Bahu
Sendi bahu merupakan sendi peluru yang dibentuk oleh
kaput humeri dan fossa glenoid skapula. Nyeri pada bagian
lateral sendi ini mungkin berasal dari bursa subdeltoid,
sedangkan nyeri sepanjang kaput longus bisep biasanya
berasal dari tendinitis bisipitalis. Efusi, bila terlihat, akan
menggembung ke anterior. Palpasi sendi bahu dan strkturstruktur di sekitarnya hams di ikuti dengan pemeriksaan
lingkup gerak sendi. Pertama kali, pemeriksa harus
memeriksa kemungkinan cedera dan rotator cuff. Tendon
yang membentuk rotator cuff terdiri dari ligamen
supraspinatus, infraspinatus. Teres minor dan
subskapularis. Untuk mencari adanya lesi pada tendontendon bahu, dilakukan resisted active movements sendi
bahu, yaitu tes Speed dan tes Yergasson untuk mencari
lesi pada tendon bisep, resisted active abduction untuk
mencari lesi pada tendon supraspinatus, resisted active
external rotation untuk mencari lesi pada tendon
infiaspinatus dan teres minor dan resisted active internal
rotation untuk mencari lesi pada tendon suskapularis.
Tes Speeddilakukanpadaposisi siku ekstensi, kemudian
pasien melakukan fleksi sendi bahu sementara pemeriksa
menahannya. Tes ini positif bila pasien merasa nyeri pa&
bahunya. Pada tes Yergasson, siku pasien difleksikan 90,
kemudian pasien melakukan supinasi, sementarapemeriksa
berusaha menahan agar supinasi tidak terjadi. Tes positif
bila pasien kesakitan. Pada resistedactiveabduction pasien
melakukan abduksi sendi bahu dan pemeriksa menahannya.
Tes positif bila pasien kesakitan. Bila pasien nyeri pada
lateral sendi bahu tetapi resisted actived abduction pasien
tidak menimbukan nyeri, maka nyeri berasal d m bursa
subakrornnion. Pada resistedactive external rotation pasien

melakukan rotasi eksternal sendi bahu dan pemeriksa


menahannya. Tes positif bila pasien kesakitan, sedangkan
resisted active internal rotation pasien melakukan rotasi
internal sendi bahu dan pemeriksamenahannya.Tes positif
bila pasien kesakitan. Selain kelainan di atas, juga hams
dicari kemungkman robekan rotator cuffyangdapat diperiksa
dengan drop-armsign, yaitu pasien tidak mampu menahan
abduksi pasif 90" sendi bahu.
Sendi Siku
Sendi siku dibentuk oleh 3 sendi, yaitu sendi humeroulnar
yang merupakan sendi engsel serta sendi radiohumeral
dan radioulnar proksimal yang memungkinkan rotasi
lengan bawah. Untuk memeriksa sendi siku, jempol
pemeriksa diletakkan di antara epikondilus lateral dan
lateral sulkus paraolekranon, sedangkan latau 2 jari lainnya
pada medial olekranon. Siku harus dalam keadaan santai,
digerakkan fleksi, ekstensi dan rotasi secara pasif, dicari
keterbatasan gerak dan krepitus. Bursitis olekranon, akan
tampak dan teraba di atas olekranon, biasanya timbul
setelah trauma atau akibat artritis. Pada siku pasien gout
juga dapat timbul tofus. Nyeri pada epikonhlus lateral
dan medial menandakan adanya epikondilitis lateral

BAHU

--

: ;.-.A

a---,*

*- .

BAHU
atduksii adduks!

10mm

Garnbar 2. Gerak sendi siku

a
mm 1
0

ANAMNESIS DAN PENlEWCSAAN FISIS PENYAKIT MUSKULOSI

(tennis elbow) dan epikondilitis medial (golfer elbow).


Dalam keadaan normal, sendi siku dapat difleksikan
150 - 160" dan ekstensi 0". Gangguan ekstensi penuh
menunjukkan tanda awal sinovitis. Hiperekstensi lebih dari
5" menunjukkan hipermobilitas.
Pergelangan Tangan
Pergelangan tangan merupakan sendi yang kompleks.
Tulang-tulangkarpal, terdiri dari 8 tulang pendek skafoid,
lunatum, trikuetrum, pisiform, trapezium, trapezoid,
kapitatum dan hamatum. Kedelapan tulang tersebut, di
proksimal bersendi dengan radius dan ulna, sedangkan di
distal bersendi dengan tulang-tulang metakarpal. Tendon
otot-otot fleksor longus tangan melewati bagian folar
pergelangan tangan di dalam sarung tendon di bawah
fleksor retinakulurn (ligarnen transversum karpal). Fleksor
retinakulum dan dasar tulang-tulang karpal membentuk
terowongan karpal. N e w s medianus melalui terowongan
ini superfisial terhadap tendon fleksor. Aponeurosis
palmar juga menyebar keluar ke daerah palma manus dari
fleksor retinakulum. Pada kontraktur Dupuytren,
aponeurosispalmar menebal dan kontarktur sehinggajarijari terfleksi pada sendi metakarpal. Yang sering terkena
adalah jari ketiga, disusul jari keempat dan kelima. Jari
pertama dan kedua jarang terkena. Pada sisi dorsal
pergelangan tangan, sering timbul pembesaran kistik yang
disebut ganglion. Sinovitis pada pergelangan tangan, lebih
mudah terlihat dari sisi dorsal, karena banyak tendon pada
sisi polar yang tumpang tindih. Dalam keadaan normal,
pergelangan tangan dapat difleksikan 80"-90, ekstensi 70,
deviasi ulnar 50" dan deviasi radial 30".
Jepitan n e w s medianus pada terowongan karpal, akan
menyebabkan carpal tunnel syndrome, yang dapat
diketahui dengan melakukan perkusi nervus medianus
pada retinakulum fleksor yang akan menyebabkan
parestesia pada daerah yang dipersarafi nervus medianus,
yaitu jempol, telunjuk dan jari tengah (tanda tinel). Palmar
fleksi sendi pergelangan tangan selama 30-60 detik juga
PERGELANGAN TANGAN
FIebl- ebtend

PERGELANGAN TANGAN
dwlasl radlwnler

Gambar 3. Gerak pergelangan tangan


Sendi metakarpopalangeal, interfalang proksimal dan distal
(Metacarpophalangeal, proximal and distal interphalangeal
joints = MCP, PIP, DIP)

akan mencetuskan parestesi (Phallen 's wristflexion sign).


Pada tenosinovitis otot abduktor polisis longus dan
ekstensor polisis brevis (de quervain's stenosing
tenosynovitis), deviasi ulnar secara pasif dengan posisi
jari-jari dalam keadaan fleksi akan menimbulkan nyeri pada
daerah radial pergelangan tangan (tes Finkelstein).
Berbagai deformitas yang dapat terjadi antara lain
adalah squaring pada tangan, akibat osteofitosis pada
sendi karpometakarpal.
Sendi MCP, PIP dan DIPmerupakan sendi engsel. Pada
waktu jari-jari fleksi, dasar proksimal falang akan bergeser
ke depan kaput metakarpal. Kulit pada permukaan palmar
tangan cukup tebal yang menutupi lemak dan tulang
metakarpal di bawahnya sehingga palpasi pada permukaan
palmar tangan lebih sukar di bandingkan permukaan
dorsal tangan.
Artritis reumatoid merupakan kelainan yang sering
terjadi pada pergelangan tangan dan tangan yang di tandai
oleh pembengkakan pada sendi interfalang proksimal
menyebabkan jari berbentuk fusiformis; deviasi ulnar;
deformitas &an neck yang merupakan fleksi kontraktur
sendi MCP, hiperekstensi sendi PIP dan fleksi sendi DIP;
dan deformitas boutonniere yang merupakan kontraktur
fleksi sendi PIP dan hiperekstensi sendi. Selain itu dapat
juga di temukan deformitas Z jari I yang merupakan
kombinasi fleksi sendi metakarpofalangeal I dan
hiperekstensi interfalangI. Pada osteoartritistangan sering
didapatkan adanya nodus Herberden pada sendi
interfalang distal dan nodus Bouchard pada sendi
interfalang proksimal.
Kelainan lain adalah jari teleskopik akibat resorpsi
falang pada artritis psoriatik sehingga menimbulkan lipatan
kulit yang konsentrik (opera-glass hand atau la main en
lorgnette).
Selain kelainan sendi, kelainan pada kulit dan kukujuga
harus diperhatikan, misalnya fenomen Reynaud,
sklerodaktili pada sklerosis sistemik, onikolisis dan
hiperkeratosis subungual yang khas untuk artritis psoriatik
dan jari tabuh (clubbingfinger) yang khas untuk
osteoartritis hipertrofik.
Sendi Koksae
Sendi koksae dibentuk oleh kaput femoris dan asetabulurn.
Lingkup geraknya cukup luas, tapi tidak seluas sendi bahu.
Stabilitas sendi dijaga oleh kapsul sendi yang h a t dan
dikelilingi oleh berbagai ligamen seperti lig iliofemoral
Bertini, lig pubofemoral clan lig iskiokapsular.Send koksae
juga dikelilingi oleh otot-otot yang h a t . Otot fleksor yang
utama adalah otot iliopsoas yang dibantu oleh otot sartorius dan rektus femoris. Aduksi koksae, dilakukan oleh
otot-otot aduktor longus, brevis dan magnus dan dibantu
oleh otot grasilis dan pektineus. Otot gluteus maksimus
merupakan otot abduktor utama, sedangkan gluteus
maksimus dan harmstring muscle merupakan otot

6070

a
4
30

&

d,
B"

KOKSAE

Fleksi
(Tungkai
Hiprekstensi
lurus)

60 70 6o
50
40
Y)

20

20

10

-------

10

- --.
..

.~.
..

10

.0

.-,--.'
,
,

10

lW
"O,,

60 70

KOKSAE

Fleksl (lulut d~tekuk)

50
40

10

50

-0

10

KOKSAE
M.

M QO

adukasi -adukasl

70

40

40
Y)

Em.

Y)

INT.

INT.

;
'

10

' Y )

10

20

Em.

R.

Gambar 4. Gerak 'sendi koksae

ekstensor koksae.
Pemeriksaan koksae dimulai dengan mengamati pasien
dalam keadaan berdiri di muka pemeriksa. Bila panggul
terlihat miring, maka munglun terdapat skoliosis, anatomic
leglength discrepancy atau kelainan koksae. Kontraktur
koksae akan ditandai oleh deformitas abduksi dan aduksi.
Pada kontraktur aduksi, pelvis akan miring ke atas pada
sisi yang sehat, dan kedua tungkai ekstensi. Pasien dengan
kelainan sendi koksae, akan memiliki 2 gaya berjalan yang
abnormal yaitu gaya berjalan antalgik akibat nyeri pada
koksae danlatau gaya berjalan Trendelenburg pada
kelemahan otot abduktor. Untuk menilai kelemahan otot
abduktor gluteus medius, dapat dilakukan tes
Trendelenburg,yaitu dengan menyuruh pasien berdiri pada
sisi tungkai yang sakit; pada keadaan normal, otot abduktor
akan menjaga agar pelvis tetap mendatar, bila pelvis pada
sisi yang sehat jatuh, maka dikatakan tes positif dan
terdapat kelemahan otot gluteus medius.
Pada posisi terlentang, kontraktur fleksi koksae dapat
dilihat dari adanya lordosis lumbal dan pelvis yang miring
sehingga tungkai tetap lurus pada meja pemeriksaan.
Untuk menilai adanya kontraktur fleksi, dapat dilakukan
tes Thomas, yaitu dengan memfleksikantungkai yang sehat
sehingga lordosis lumbal hilang, akibatnya tungkai yang
sakit akan ikut fleksi. Pada posisi terlentang, juga dapat
diukur leg-length discrepancy, yaitu pada posisi kedua
tungkai ekstensi. True leg-length discrepancy diukur dari

SIAS ke maleolus medialis dengan perbedaan yang dapat


di toleransi adalah 1 cm atau kurang. Bila pelvis miring
atau terdapat kontraktur abduksi atau aduksi, maka
pengukuran dilakukan dari maleolus medial ke titik tubuh
yang tetap, misalnya xifisternum dan hasilnya disebut
apparent leg-length discrepancy. Lokasi nyeri pada sendi
koksae sangat penting untuk menilai sumber nyeri. Nyeri
pada daerah lateral, biasanya diakibatkan oleh bursitis
trokanterik. Nyeri pada daerah anterior atau inguinal
biasanya berasal dari bursitis iliopsoas, atau kelainan lain
seperti hernia, aneurisma femoral atau abses psoas.
Sedangkan nyeri di daerah posterior biasanya berasal dari
sendi sakroiliaka, vertebra lumbal atau bursa iskial. Nyeri
akibat kelainan sendi koksae biasanya terasa di daerah
anterior atau inguinal.
Untuk menilai secara cepat geraksendi koksae, dapat
dilakukan tes Patrick, yaitu dengan meletakkan turnit pada
bagian medial lutut kontralateral, kemudian menekan lutut
ke lateral menuju permukaan meja. Bila kedua lutut dalam
keadaan fleksi 90' clan dilakukan prosedur yang sama, maka
disebut tes Fabere.
Sendi Lutut
Sendi lutut merupakan gabungan dari 3 sendi, yaitu
patelofemoral, tibiofemoral medial dan tibiofemoral lateral.
Pada sendi tibiofemoral, terdapat meniskus lateral dan
medial. Sendi lutut diperkuat oleh kapsul sendi yang kuat,
ligamen kolateral lateral dan medial yang menjaga
kestabilan lutut agar tidak bergerak ke lateral dan medial;
dan ligamen krusiatum anterior dan posterior yang menjaga
agar tidak terjadi hiperfleksi dan hiperekstensi sendi lutut.
Fleksi lutut, akan diikuti rotasi internal tibia, sedangkan
ekstensi lutut akan diikuti rotasi eksternal femur. Patela
mempunyai fimgsi untuk memperbesar momen gaya pada
waktu lutut ekstensi sehingga kerja otot quadriseps
femoris tidak terlalu berat. Pada inspeksi lutut, hams
diperhatikan kemungkinan adanya genu varus, genu
valgus dan genu rekurvatum. Pembengkakandi atas patela,
biasanya berasal dari bursitis prepatelar, sedangkan
sinovitis lutut biasanya lebih difus. Pembengkakan
posterior di fossa poplitea, biasanya berasal dari kista
baker. Nyeri pada sisi medial tibia di bawah sendi lutut,
biasanya berasal dari bursitis anserin. Nyeri pada bagian
bawah patela pada usia muda biasanya berasal dari sindrom
Sinding-Larsen-Johansson, sedangkan pada usia yang
lebih tua biasanya berasal dari tendinitis patelar (jumper b
knee). Nyeri pada tuberositas tibia pada anak muda,
biasanya disebabkan oleh epifisiolisis (Osgood-Schlatter5.
disease)
Pada waktu palpasi lutut, dapat teraba krepitus pada
waktu lutut difleksikan atau diekstensikan. Hal ini
menunjukkan kerusakan rawan sendi, misalnya pada
osteoartritis. Selain itu, pada waktu palpasi juga dapat
diperiksa adanya ehsi sendi. Stabilitas ligamen kolateral

2453

ANAMNIBIS DAN PEMER~KSAAN


FISISPENYAKIT MUSKULOSKELETAL

dapat diperiksa dengan memfleksikan lutut 100;kondilus


femoral dipegang dengan tangan pemeriksa yang satu
sernentara tangan yang lain menggerakan tungkai bawah
ke depan dan kebelakang. Untuk menilai stabilitas ligamen
krusiatum, lutut di fleksikan 90, kemudian tungkai
bergerak (drawersignp~sitfi,berarti sudah ada kelemahan
ligamen krusiatum. Kerusakan meniskus dapat diperiksa
dengan melakukan tes Mc-Murray, yaitu tungkai
diekstensikan secara penuh, kemudian tangan pemeriksa
yang satu menggenggam lutut pasien dengan posisi
jempol pada 1 sisi dan jari-jari yang lain pada sisi yang
satu lagi, kemudian tangan pemeriksa yang satu lagi
memegang pergelangan kaki pasien. Pada posisi tungkai
bawah rotasi eksterna 15", bunyi snap yang teraba atau
terdengar pada waktu tungkai bawah pasien di gerakkan
dari posisi ekstensi ke fleksi 90" menunjukkan adanya
robekan meniskus medial. Bunyi yang sama yang terdengar
pada waktu tungkai bawah dirotasi internal 30" dan
digerakkan dari fleksi ke ekstensi, menunjukkan robekan
pada meniskus lateral.

Gambar 5. Deforrnitas sendi lutut dan Gerak sendi lutut

Pergelangan Kaki
Pergelangan kaki terdiri dari 2 sendi, yaitu sendi tibiotalar
(true ankle joint) yang merupakan sendi engsel dengan
pergerakan dorsofleksi dan plantar-fleksi, sedangkan sendi
subtalar memunglunkan gerak inversi dan eversi dari kaki.
Maleoli tibia dan fibula memanjang ke bawah, menutupi
talus dari medial clan lateral dan memberikan kestabilan
sendi pergelangan kaki. Kapsul sendi pergelangan kaki
sangat h a t pada bagian posterior dan memungkinkan
untuk pergerakan dorso dan plantar-fleksi.
Pada bagian belakang sendi ini terdapat tendon achiles
yang merupakan tendon otot gastroknemius dan soleus
yang memanjang ke bawah dan berinsersi pada permukaan
posterior os kalkaneus. Radang pada tendon ini,
menyebabkan rasa nyeri bila banyak berjalan atau bila

tendon itu di tekan atau penekanan pada insersinya di


kalkaneus. Gerak plantar-fleksi dilakukan oleh otot
gastroknemius dan soleus, dorso-fleksi oleh otot tibialis
anterior, sedangkan inversi oleh otot tibialis posterior dan
eversi oleh otot peroneus longus dan brevis.
m - o Q 4 0 ~
'O

EmEWMW
Fleksi ~lantar-dorsal

Gambar 6. Gerak pergelangan kaki

Kaki
Yang dimaksud dengan kaki adalah midfoot yang terdiri
dari 5 tulang-tulang tarsal selain talus dan kalkaneus dan
fore foot yang terdiri dari tulang-tulang metatarsal dan
jari-jari k&. Kaki mempunyai struktur melengkung ke
dorsal yang memungkinkan penyebaran berat badan ke
kalkaneus di posterior dan ke-2 tulang sesamoid pada
tulang metatarsal I dan kaput metatarsal 11-V di anterior.
Fungsi lengkung kaki adalah untuk menjaga fleksibilitas
kaki pada waktu bejalan dan berlari. Lengkung ini dapat
betambah akibat kelainan neurologik dan disebutpes cavus
atau berkurang dan disebut pes planus. Deformitas lain
pada kaki adalah hallux valgus, hammertoe deformity,
mallet toe dan cock-up toe. Hallux valgus adalah deviasi
medial metatarsal sehingga kaki menjadi lebar dan kadangkadang timbul bunion. Hammertoe deformity adalah
hiperekstensi sendi metatarsofalangeal(MTP) diikuti fleksi
sendi PIP. Deformitas fleksi sendi DIP manghasilkan
mallet toe, sedangkan fleksi sendi PIP dan DIP yang diikuti
ekstensi dan subluksasiglantar sendi MTP disebut
cock-up toe deformity.
Nyeri pada turnit, sering disebabkan oleh plantar, spur,
sedangkan peradangan pada MTP I, sering disebabkan
oleh artritis gout.

Gambar7. kaki

Vertebra
Vertebra hams diperiksa dalarn posisi duduk atau berbaring
telungkup, tetapi untuk menilai kesegarisan vertebra,
pemeriksaan harus dilakukan dalam posisi berdiri.
Kemiringan pelvis dan bahu mancurigakan ke arah kelainan
kurvatura vertebra atau leg-length discrepancy. Otot-otot

paraspinal hams selalu di palpasi untuk mencari adanya


nyeri dan spasmus.
Gerak vertebra servikal, meliputi antefleksi45", ekstensi
50"-60, laterofleksi 45" dan rotasi 60"-80". Separuh dari
fleksi dan ekstensi total servikal terjadi pada ketinggian
oksiput C 1, sedangkan,sisanya terbagi rata pada C2-C7.
Selain itu, separuh dari rotasi servikal terjadi pada sendi
atlantoaksial (odontoid) sedangkan sisanya terbagi rata
pada C2-C6. Pada laterofleksi, semua vertebra servikal
mempunyai andil yang sama besar. Pemeriksaan khusus
yang harus dilakukan vertebra servikalis adalah
foraminal compression test, tes Valsava dan tes Adson.
Tiga tes yang pertama digunakan untuk menilai adanya
jepitan saraf. Pada foraminal compression test, leher
dirotasi dan dilaterofleksi ke sisi yang sakit, kemudian
kepala ditekan kebawah, bila ada jepitan saraf akan
menimbulkan nyeri yang menjalar ke lengan atau sekitar
skapula. Bila kepala distraksi ke atas (distraction test),
nyeri akan berkurang. Pada shoulder depression test, 1
tangan pemeriksa diletakkan pada bahu dan tangan
pemeriksa yang lain diletakkanpada kepala kemudian bahu
di tekan ke bawah sedangkan kepala dilaterofleksi ke arah
yang berlawanan, jepitan pada saraf servikal akan
menyebabkan nyeri radikular atau parestesia. Tes Valsava
digunakan untuk menilai adanya tumor intra tekal atau
hernia nukleus pulposus. Pasien disuruh ekspirasi dalam
keadaan glotis tertutup, adanya kelainan di atas akan
menyebabkan nyeri yang menjalar ke dermatom yang
sesuai. Tes Adson, digunakan untuk menilai adanyajepitan
pada arteri subklavia. Pemeriksa melakukan palpasi pada
denyut arteri radialis, kemudian pasien melakukan inspirasi
maksimal sambil melakukan rotasi maksimal kepala ke sisi
yang diperiksa, jepitan arteri subklavia akan menyebabkan
denyut arteri radialis melemah atau menghilang.
Pada pemeriksaan vertebra lumbal, pasien sebaiknya
disuruh melepaskan pakaiannya, sehingga dapat dinilai
berbagai deformitas seperti lordosis lumbal, kifosis torak
dan skoliosis. Gaya berjalan dan gerakan pinggul juga
hams diperhatikan. Lingkup gerak tulang-tulang spinal,
dapat dinilai dengan melakukan tes Schober, yaitu dengan
menyuruh pasien melakukan antefleksi maksimal,
kemudian ditentukan4 titik mulai dari prominentia spinosus
sakralis superior ke arah atas denganjarak antara satu titik
dengan titik lainnya masing-masing 10 cm. Kemudian
pasien disuruh berdiri tegak dan jarak titik-titik tersebut
diukur lagi, dalam keadaan normal akan tejadi pemendekan

jarak titik-titik tersebut berturut-turut dari bawah ke atas


adalah 50%, 40% dan 30%. Cara lain adalah dengan
mengukurjarak C7-Th 12dan T 1 2 41dalam keadaan berdiri
tegak, kemudian pasien disuruh antefleksi maksimal, maka
jarak C7-T12 akan memanjang 2-3 cm, sedangkan jarak
T12 - S1 akanmemanjang7-8cm.
Untuk menilai iritasi radiks, dapat dilakukan tes
Lasegue dan Femoral nerve stretch test. Tes Lasegue (SLR
= sraight legraising) merupakan tes yang sering dilakukan.
Pasien disuruh berbaring telentang dalam keadaan santai,
kemudian tungkai bawah difleksikan perlahan-lahan
sampai 70" dengan lutut dalam keadaan ekstensi, catat
sudut yang dicapai pada waktu pasien merasakan nyeri.
Kemudian pasien disuruh memfleksikan lehemya sampai
dagunya menyentuh dinding dada, atau secara pasif
kakinya didorsofleksikan,nyeri yang timbul menandakan
regangan dura, rnisalnya pada HNP sentral; bila nyeri tidak
timbul, maka nyeri SLR diakibatkan oleh kelainan otot
harmstring, atau nyeri dari daerah lurnbal atau sakroiliakal.
Bila pada waktu SLR dilakukan, timbul nyeri pada tungkai
kontra latecal (cross over sign atau well leg raises test),
menandakan adanya kompresi intratekal oleh lesi yang
besar. Bila kedua tungkai difleksikan bersarna (SLR

Blleteral SLR

Garnbar 8. Gerak sewikal

--snemw

Garnbar 8. Schober test, Laseque test, Femoral Nerve Strech


Test

ANAMNESIS DAN-P

PISISPENYAKIT MUSKULQSKELETAL

bilateral), nyeri yang timbul sebelum sudut mencapai 70"


mungkin berasal dari sendi sakroiliaka, sedangkan bila
nyeri timbul pada sudut 70" mungkin berasal dari daerah
lumbal.
Pada femoral nerve stretch test, pasien disuruh
berbaring pada sisi yang tidak sakit dengan koksae dan
lutut sedikit fleksi, pinggang dan punggung lurus dan
kepala difleksikan. Kemudian secara perlahan, fleksi lutut
ditambah dan koksae diekstensikan.Bila timbul nyeri pada
tungkai bagian anterior, menandakan adanya iritasi pada
L2, L3 dan LA.
Sendi sakroiliakajuga hams diperiksa dengan seksama,
karena pada spondiloartropati seronegatif, sering disertai
sakroilitis. Pemeriksaan khusus untuk sendi ini adalah tes
distraksi dan tes lutut ke bahu. Pada tes distraksi, kedua
sisi pelvis ditekan ke bawah pada pasien dalam keadaan
berbaring terlentang atau pada satu sisi, tes positif bila
timbul nyeri. Pada tes lutut ke bahu, pasien dalam posisi
berbaring terlentang, koksae difleksikan dan di aduksi,
kemudian lutut difleksikan ke arah bahu kontralateral. Tes
mi hanya bermakna bila lumbal clan koksae dalam keadaan
normal.

2455

Doherty M, Doherty J. Clinical examination rheumatology.


London :Wolfe Publishing; 1992.
Gattler RA, Scumacher HR. A practical handbook of joint fluid
analysis. 2nded. Philadelphia: Lea & Febiger; 1991.
Michet CJ, Hunder GC. Evaluation of the joint. In: Kelly WN,Hans
JED. Ruddy S et al eds. Textbook of Rheumatology. 4Ih ed.
Philadelphia :WB Saunders; 1993.p.35 1-67.
Shmeiling RH, Liang MH. Laboratory evaluation of rheumatic
disease. In: Scumacher HR, Klippel JH,Koopman WJ,eds. Primer
o n t h e rheumatic diseases. loahed. Arthritis Foundation.
1993.p.64:6

ARTROSENTESIS DAN
ANALISIS CAIRAN SENDI
Sumariyono

PENDAHULUAN

SlNOVlA

Artrosentesis (aspirasi cairan sendi) dan Analisis cairan


sendi merupakan pemeriksaan yang sangat penting di
bidang reumatologi, baik untuk diagnosis maupun
tatalaksana penyakit reumatik. Analisis cairan sendi bisa
di analogikanseperti pemeriksaan urinalisis untuk menilai
kelainan traktus urinarius. Pemeriksaan ini terdiri dari
pemeriksaan makros, mikroskopis, dan beberapa
pemeriksaan khusus, dimana dari pemeriksaan ini cairan
sendi abnormal dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori,
yaitu non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik.
Walaupun dari masing-masing kategori tersebut terdapat
beberapa penyakit yang menyebabkanya, tetapi paling
tidak pemeriksaan ini dapat mempersempit diagnosis
banding. Berdasarkan hasil analisis sejumlah penelitian,
Shrnerling menyimpulkan bahwa ada dua alasan terpenting
dari analisis cairan sendi adalah untuk identifikasi infeksi
sendi dan diagnosis artropati kristal. Pa& umumnya cairan
sendi diperoleh dari lutut, walaupun dapat juga dari
sendi-sendi lainnya seperti bahu, siku, dan pergelangan
kaki.

Sinovia (cairan sendi) adalah lapisan cairan tipis yang


mengisi mang sendi normal, cairan sendi ini memberikan
nutrisi esensial dan membersihkan sisa metabolisme &ri
kondrosit di dalam rawan sendi. Selain itu sinovia juga
befingsi sebagi pelumas dan sebagai perekat. Sebagai
pelumas sinovia melumasi permukaan sendi yang mendapat
beban mekanik, sedang sebagai perekat, sinovia
meningkatkan stabilitas clan menjaga agar permukaan sendi
tetap pada posisi normalnya (pada relnya) pada saat sendi
digerakkan. Viskositas yang tinggi dari cairan sendi terjadi
karena adanya asam hyaluronat yang disekresi oleh
$broblas-like B cells di dalam sinovium.

Sinovium adalahjaringan yang menutupi semua permukaan


sendi, kecuali weight bearing surface sendi diartrodial
manusia normal. Jaringan ini terdiri dari 1-3 lapis sel dan
menutupi suatu matriks, dimana matriks tersebut bisa
berupa jaringan lemak, jaringan fibrosa, areolar atau
periosteal, tergantung dari lokasinya di dalam sendi.
Sinovium normal memiliki vaskularisasi yang baik dan
menghasilkan sinovia atau cairan sendi.

FlSlOLOGl SlNOVlA (CAIRAN SENDI)


Cairan sendi normal adalah ultra filtrat atau dialisat dari
plasma. Dengan demikian kadar ion-ion dan molekulmolekul kecil ekivalen dengan kadarnya didalam plasma,
sedang protein kadarnya lebih rendah. Molekul-molekul
yang berpindah dari plasma ke cairan sendi pertama
hams melewati endotel mikrovaskular, kemudian hams
melalui matriks di sekeliling sel sinovia. Barier yang
paling kritikal adalah endotel. Protein plasma yang
melewati barier ini bergerak melalui difusi dengan tingkat
kecepatan yang berbanding terbalik dengan ukuran
molekulnya.
Sebaliknya kembalinya cairan dari cairan sendi ke
plasma tidak size selective . Setelah molekul protein
melewati endotel dan masuk ke interstitiel, protein ini akan
dibersihkan kembali ke plasma melalui saluran limfe.
Konsentrasi protein-protein tertentu di dalam cairan

ARTROSENTESIS DAN ANALlSA CAIRAN SEND1

sinovia mencerminkan keseimbangan dari dua proses


tersebut. Hal inilah yang menjelaskan kenapa rasio
konsentrasi cairan sendi dengan plasma (CSIP) dari
protein besar lebih rendah dari protein yang lebih kecil
seperti albumin. Rasio albumin adalah 0.2-0.3pada sendi
lutut normal, sedang rasio fibrinogenjauh lebih kecil karena
ukuranya jauh lebih besar. Relatif tidak adanya fibrinogen
pada cairan sendi ini menjelaskan kenapa cairan sendi
normal tidak membeku. Pada efusi patologis, permeabilitas
endotel meningkat dan kadar proteinya meningkat
mendekati kadarnya di plasma, sehingga kadar fibrinogen
juga meningkat yang menyebabkan aspirat cairan sendi
menjadi beku.

Bahan dan Alat


Spuit sesuai dengan keperluan
Jarum spuit :no 25 untuk sendi kecil, no 21 untuk sendi
lain, no 15 -8 untuk efusi purulen @us)
Desinfektan iodine
Alkohol
Kasa steril
Anestesi lokal (bila diperlukan)
Sarung tangan
Pulpen
Plester
Tabung gelas
Tabung steril untuk kultur
Lain-lain sesuai kebutuhan : media kultur, kortikosteroid

ARTROSENTESIS
lndikasi
Diagnostik
Membantu diagnosis artritis
Memberikan konfirmasi diagnosis klinis
Selama pengobatan artritis septik, artrosentesis
dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah
leukosit, pengecatan gram dan kultur cairan sendi.
Terapeutik
Artrosentesis saja
- Evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada
pseudogout akut dan crytal induced arthritis yang
lain.
- Evakuasi serial pada artritis septik untuk
mengurangi destruksi sendi.
Pemberian kortikosteroid intraartikular
- Mengontrol inflamasi steril pada sendi, bila obat
anti inflamasi non steroid telah gagal, kemungkman
akan gagal atau merupakan kontraindikasi.
- Mempersingkat periode nyeri pada artritis gout.
- Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat
- Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi.
Kontraindikasi
Diagnostik
Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi
Bakteriemi
Secara anatomis tidak bisa dilakukan
Pasien tidak kooperatif
Terapeutik
Kontraindikasi diagnostik
Instabilitas sendi
Nekrosis avaskular
Artritis septik

Prosedur Tindakan (umum)


Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi :
- Lakukan pemeriksaan fisik sendi dan bila perlu
periksa foto sendi yang akan diaspirasi
- Harus dikuasai anatomi regional sendi yang
akan diaspirasi untukmenghindari kerusakan
struktur-struktur vital seperti pembuluh darah dan
saraf.
Harus dilakukan teknik yang steril untuk menghindari
terjadinya artritis septik. Untuk desinfekti dipakai
iodine dan alkohol. Dokter hams memakai sarung
tangan untuk menghindari kontak dengan darah dan
cairan sendi pasien.
Untuk mengurangi rasa nyeri dapat digunakan
semprotan etiklorida. Bila diperlukan dapat digunakan
prokain untuk anastesi lokal.
Selama dilakukan prosedur aspirasi harus diingatkan
kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak banyak
menggerakkan sendi.
PROSEDURTINDAKAN (KHUSUS)
Sendi Lutut
Pada efusi sendi lutut yang besar, tusukan dari lateral
secara langsung pada tengah-tengah tonjolan
suprapatela lebih mudah dan lebih enak untuk
pasien.Tonjolan suprapatela ini dapat diperjelas dengan
menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan
menggunakan ujung pulpen dilakukan pemberian tanda
pada daerah target yaitu lebih kurang pada tepi atas
patella (cephalad border of patella). Tada ini akan masih
terlihat dalam waktu yang cukup untuk melakukan
desinfeksi, anastesi dan artrosentesi. Pada efusi sendi
yang sedikit lebih baik dilakukan tusukan dari medial di
bawah titik tengah patella.

purulen atau 5) hemoragik. Diagnosis spesifikjarang bisa


dibuat hanya berdasar pemeriksaan makroskopis saja.
Gambaran analisis cairan sendi normal dan patologis dapat
dilaihat pada Tabel 2 dan 3.

Gambar 1. Tusukan sendi lutut dari lateral pada


efusi sendi yang banyak.

Jenis pemeriksaan

Nilai normal

Rata rata

PH
Jumlah leukosiffrnrn3
PMN
Limfosit
Monosit

7.3 - 7.43
13 -180
0 -25
0 -78
0 -71

7.38
63
7
24
48

0 -12

Protein total gldl

1.2- 3.0

1.8

Albumin (%)

56

Globulin (%)

37 -44

Sel sinovia

Garis tengah patela

- 63

0.3

Hyaluronat gldl

~oninflamasi n f l a m a s i
(grup 11)
(grup 1)
Biasanya > 4
Biasanya > 4
Xantokrom
Xantokrom
atau putih
Transparan
Translusen
atau opak
Rendah
Tinggi

Pumlen
(Grup Ill)
Biasanya > 4
Putih

Sedang
sampai buruk
Sering
3.000 -50.000

Buruk

Bekuan spontan
Jumlah leukositlmm3

Sedang
sampai baik
Sering
< 3000

Polimorfonuklear (%)

< 25 %

> 70 %

Kriteria

Gambar 2. Tusukan sendi lutut dari medial

Volume (ml, lutut)


Warna
Kejernihan
Viskositas

Jenis-jenis Pemeriksaan Cairan Sendi


Jenis-jenis pemeriksaan yang dilakukan pada analisis
cairan sendi dapat dilihat pada Tabel 1.

Rutin
Perneriksaan makroskopis: warna, kejernihan, viskositas,
potensi terbentuknya bekuan, volume
Perneriksaan mikroskopis: jurnlah leukosit, hitung jenis
leukosit, pemeriksaan sediaan basah dengan mikroskop
polarisasi dan fase kontras
Khusus
Mikrobiologi: pengecatan khusus (silver, PAS, Ziehl
Nielsen), kultur bakteri, jamur, virus atau M tuberkulosis,
analisis antigen atau asarn nukleat rnikroba (PCR)
Serologi: kadar kornplernen hernolitik (CHSo), kadar
Komponen kornplernen (C3 dan C4), autoantibodi (RF. ANA,
Anti CCP)
Kimiawi: glukosa, protein total, pH, p02, asarn organik
(asarn laktat dan asam suksinat), LDH (lactate
dehydrogenase)
Keterangan :
ANA: antinuclear antibody; CCP :cyclic citrullinated peptide;
PAS : periodic acid Schiff, RF : rheumatoidfactor

60
40

Bekuan musin

Opak
Sangat
rendah

Sering
50.000300.000
> 90 %

BEKUAN
Cairan sinovia sedikit sekali kandungan protein
pembekuan seperti fibrinogen, protrombin, faktor V, faktor
VII dan tromboplastin jaringan. Sehingga cairan sinovia
normal tidak akan membeku. Tetapi pada kondisi inflamasi
"membran dialisat " sendi menjadi msak sehingga protein
dengan berat molekul yang lebih besar seperti proteinprotein pembekuan akan menerobos masuk ke cairan
sinovia, sehingga cairan sinovia pada penyakit sendi
inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknya
bekuan berkorelasi dengan derajad inflamasi sinovia.

VOLUME
PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS
Pemeriksaan makroskopis cairan sendi merupakan
pemeriksaan bedside. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
menentukan cairan sendi tersebut termasuk dalam
kelompok : 1) normal, 2) non inflamasi, 3) inflamasi, 4)

Sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan


sendi., bahkan pada sendi besar seperti lutut hanya
mengandung 3 -4 ml cairan sinovia. Pada kondisi sinovitis,
yang mengakibatkan msaknya "membran dialisat" sendi,
sejumlah besar cairan bisa berakumulasi pada mang sendi.

ARTROSENTESIS DAN ANALlSA CAlRAN SEND1

Meskipun volume cairan sendi tidak dapat membedakan


kelainan sendi inflamasi dan noninflamasi, tetapi volume
aspirat pada aspirasi serial bermanfaat untuk menilai hasil
pengobatan karena penurunan volume aspirat biasanya
sesuai dengan perbaikan klinis.

Cairan sendi normal sangat kental, karena tingginya


konsentrasi polimer hyaluronat . Asam hyaluronat
merupakan komponen non protein utama cairan sinovia
dan berperan penting pada lubrikasi jaringan sinovia. Pada
penyakit sendi inflamasi asam hyaluronat rusak atau
mengalami depolimerisasi, yang m e n d a n viskositas
cairan sendi.viskositas merupakan penilaian tidak langsung
dari konsentrasi asam hyaluronat pada cairan sinivia.
Penilaian viskositas cairan sendi dilakukan dengan
pemeriksaan "string test", yaitu melihat cairan sendi pada
saat dialirkan dari spuit ke tabung gelas. Pada cairan sendi
normal akan dapat membentuk juluran (string out)
7 cm - 10 cm atau lebih. Pemeriksaan lain adalah dengan
menggunakan viscometer. Pemeriksaan bekuan musin juga
merupakan pemeriksan untuk menilai konsentrasi polimer
asam hyaluronat. Pemeriksaan bekuan musin dilakukan
dengan cara menarnbahkan 1 bagian cairan sendi ke dalam
4 bagian asam asetat 2%. Pada cairan sendi normal atau
kelompok I akan membentuk bekuan, sedang pada cairan
sendi kelompok I1 dan I11 (inflamasi dan purulen) akan
terbentuk bekuan yang buruk atau kurang baik.

selanjutnya akan mengalami kerusakan yang akan


memberikan warna kekuningan (xantochrome)pada cairan
send inflarhasi. Leukosit akan membuat wama cairan sendi
menjadi putih, sehingga semakin tinggi jumlah leukosit
cairan sendi akan berwama putih atau krem seperti pada
artritis septik. Selain dipengaruhi oleh jumlah eritrosit dan
leukosit, warna cairan sendi juga dipengaruhi oleh jenis
kuman dan kristal yang ada dalam cairan sendi. Staphylococcus aureus akan memberikan pigmen keemasan,
serratia marcescens akan memberikan warna kemerahan
dan laistal monosodium urat akan memberikan warna putih
seperti susu.

Normal

Inflamasi

Purulenlseptik Hemoragk

Gambar 4. Warna beberapa kelompok cairan sendi

Jumlah dan hitung Jenis Leukosit


Pemeriksaan jumlah dan hitung jenis leukosit sangat
membantu dalam mengelompokkan cairan sendi. Paling
tidak pemeriksaan ini dapat membedakan kelompok
inflamasi clan non inflamasi. Pada caiian sendi kelompok I1
seperti artritis reumatoid jumlah leukosit umumnya
3000-50.000 s e l l ml, sedang pada kelompok I11 jumlah
leukosit biasanya di atas 50.000/ml. Pada cairan sendi
normal umurnnya PMN kurang dari 25%, sedang pada
kelompok inflamasi PMN umumnya lebih dari 70%
(inflamaii kelompok I1 PMN > 70%, kelompok 111> 90%).

Gambar3. Pemeriksaan viskositas (kekentalan)


cairan sendi dengan string test

WARNA DAN KEJERNIHAN


Cairan Sendi normal tidak berwarna seperti air atau putih
telor. Pada sendi inflamasi jumlah leukosit dan eritrosit
pada cairan sinovia meningkat. Eritrosit pada sinovia

Kristal
Pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan
basah segera setelah aspirasi cairan sendi. Kristal
monosodium urat dapat diperiksa dengan mikroskop
cahaya biasa, tetapi untuk pemeriksaan yang lebih baik
memerlukan mikroskop polarisasi. Pada mikroskop
polarisasi ini terdapat dua polarizing plate. Pertama
disebut polarizer yang diletakkan antara sumber cahaya
dan gelas objek (bahan), kedua disebut analyzer yang
diletakkan antara gelas objek (bahan) dan observer dan
diletakkan pada posisi 90 derajad dari polarizel: Dengan
posisi demikian tidak ada cahaya yang ke mata observer,

yang dilihat observer hanya lapangan gelap. Setiap bahan


yang membiaskan cahaya (termasuk MSU atau CPPD) bila
diletdckan pada objek gelas di antara kedua polarizing
plate tersebut akan membiaskan cahaya dan tamp&
sebagai warna putih pada lapangan gelap. Gambaran pada
lapangan gelap dapat .diperkuat dengan menambahkan
kompensator merah yang diletakkan di antara kedua
polarizingplate. Aksis dari kompensator ini diletakkan 45
derajat terhadap analzer maupun
.
-polarizer. Kompensator
ini akan menghambat komponen merah dari cahaya sebesar
seperempat panjang gelombang, yang mengakibatkan
lapangan pandang menjadi berwarna merah. Pada kondisi
demikian kristal MSU atau CPPD akan berwarna kuning
atau biru tergantung posisi aksis dari kristal terhadap aksis
dari slow vibration dari cahaya pada kompensator. Dengan
cara memutar MSU atau CPPD 90 derajad akan merubah
kristal biru menjadi kuning dankuning menjadi biru
Kristal MSU berbentuk batang dengan ukuran sekitar
40 urn (4 kali leukosit). Kristal ini sangat berpendar
sehingga pada mikroskop polarisasi tampak sangat terang.
Pada mikroskop polarisasi yang ditambahkan kompensator
merah, MSU akan berwama kuning bila arah kristal paralel,
dan berwarna biru bila arah kristal tegak lurus dengan aksis
dari slow vibration dari kompensator. Kristal CPPD
ukuranya hampir sama dengan MSU, tetapi lebih sering
berbentuk rhomboid. CPPD berpendar lemah sehinggabagi
yang belum berpengalaman sulit untuk melihat kristal ini.
Kebalikan dari kristal MSU, pada mikroskop polarisasi
yang ditambahkan kompensator merah, kristal CPPD akan
berwarna biru bila arah kristal paralel, dan akan berwarna
kuning bila arah kristal tegak lurus dengan aksis dari slow
vibration dari kompensator.

PEMERIKSAAN MlKROBlOLOGl

Artritis septik hams selalu dipikukan terutarna pada artritis


inflamasi yang : tejadi bersama dengan infeksi ditempat
lain (endokarditis, selulits, pneumonia), sebelumnya
terdapat kerusakan sendi serta pada pasien-pasien
diabetes dan pasca transplantasi. Pada pengelompokkan
cairan sendi, arhitis septik termasuk kelompok 111, yang

EVEPIECE
BirsMngent Crystal
on mse background

ANALYZER

c o m ~ ~ k s m ~

SODIUM URATE
cmAL

r i 6 '

Garnbar 6. Kristal Monosodium urat


a.Kristal MSU pada mikroskop cahaya biasa.
b.Kristal MSU pada lapangan pandang gelap dengan
menggunakan mikroskop polarisasi tanpa kompensator.

Garnbar 5. Prinsip-prinsip mikroskop polarisasi

biasanya jumlah leukositnya lebih dari 50.000/ml. Tetapi


kadang-kadang cairan sendi septik dapat memberi
gambaran sebagai kelompok 11, sebaliknya cairan sendi
kelompok I11 dapatjuga terjadi pada artritiis inflamasi non

c.Krista1 MSU pada mikroskop polarisasi dengan kompensatar


merah; disini tampak kristal MSU berwarna kuning bila aksis kristal
paralel dengan aksis dari slow vibration dari kompensator, dan
berwarna biru bila aksis kristal MSU tegak lurus dengan aksis
slow vibration dari kompensaror.

Gambar ini dibuat oleh Divisi Reumatologi, Dept. Ilmu


Penyakit Dalm FKUYRSCM.

2461

ARTROSENTESISDANANALISA CAIRAN SENDI

infeksi seperti gout dan pseudogout. Pada umumnya


pemeriksaan dengan pengecatan gram dan kultur bakteri
cukup untuk analisis cairan sendi, tetapi beberapa
pengecatan dan biakan pada media khusus sangat
membantu pada kondisi tertentu seperti misalnya untuk
mycobacterium tuberkulosis dan jamur.

serta identifikasi kristal terutama monosodium urat dan


CPPD dengan menggunakan mikroskop biasa dan lebih
baik lagi bila dilakukan dengan menggunakan mikroskop
polarisasi. Manfaat lain dari pemeriksaan ini adalah
dapat mempersempit diagnosis banding artritis.

REFERENSI
KESIMPULAN
Artrosentesi dan analisis cairan sendi m e r u ~ a k a n
pemeriksaan yang penting dibidang reumatologi baik
untuk tujuan diagnostik maupun terapeutik. Analisis
cairan sendi terdiri dari pemeriksaan makroskopis,
mikroskopis dan beberapa pemeriksaan khusus.
Berdasarkan pemeriksaan analisis cairan sendi, cairan
sendi abnormal dapat diielompokkan menjadi cairan sendi
non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik.
Manfaat utama analisis cairan sendi adalah identifikasi
infeksi dengan pengecatan gram dan biakan cairan sendi,

Fye KH. Arthrocentesis, synovial fluid analysis, and synovial biopsy. In: Klippel JH. Primer on the rheumatic diseases. 12Ih
edit. 2001 : 138-144.
Gatter RA, Schumacher HR. A practical handbook of joint fluid
analysis. 2" edit. 199 1.
Mikuls TR. Synovial fluid analysis. In : Koopman WJ and Moreland
LW. Arthritis and allied conditions. ISth edit. 2005 : 81-96.
Setiyohadi, sumaryono. Aspirasi cairan sendi I artrosentesis. In :
Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW . Prosedur tindakan di bidang
Ilmu Penyakit Dalam. 1999 : 227-233.m
Swan A, Amer H, Dieppe P. The value of synovial fluid assay in the
diagnosis of joint disease : a literature survey. Ann Rheum Dis
2002 ; 61: 493-498.

PEMERIKSAAN CRP, FAKTOR REUMATOID,


AUTOANTIBODI DAN KOMPLEMEN
Arnadi, IUG Suryadhana, Yoga IKasjmir

Pada sebagian besar penyakit reumatik,proses inflamasi


merupakan garnbaran patologik jaringan yang utama. Pada
proses inflamasi akan terjadi peningkatan protein fase akut
akibat kerusakanjaringan.Di samping itu faktor imunologis
juga mendasari sebagian besar penyakit reumatik. Oleh
karena itu, dalam menegakkan diagnosis dan
penatalaksanaanpenyakit reumatik diperlukan pemeriksaan
penunjang laboratorium.

C-REACTIVE PROTEIN (CRP)

CRP merupakan salah satu protein fase akut. CRP terdapat


dalam konsentrasi rendah (trace) pada manusia. CRP
adalah suatu alfa globulin yang timbul dalarn serum setelah
terjadinya proses inflamasi.Awa1nyaprotein ini disangka
mempunyai respons spesifik terhadap C polisakarida dari
pneumokokus, tetapi ternyata protein ini adalah suatu
reaktan fase akut yang timbul akibat proses inflamasi. CRP
terdiri atas berbagai ligan biologik yaitu berupa
fosfokolin,fosfolipid lainnya serta protein histon dan
merupakan konstituen dari membran sel dan inti sel, yang
akan terpapar bila terjadi kerusakan jaringan. CRP
mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi jalur klasik
komplemen setelah berintegrasi dan berikatan dengan
berbagai ligan biologik, kemudian memacu perubahan sel
fagosit melalui jalurproinflamasi dan anti inflamasi.Pada
proses tersebut., CRP diduga mempunyai peranan dalam
proses inflamasi.
Adanya stimulus inflamasi akut, konsentrasi CRP akan
meningkat secara cepat dan mencapai puncaknya setelah
2-3 hari.Secara umum, konsentrasi CRP merefleksikan
luasnya kerusakan jaringan. Bila tidak ada stimulus
inflamasi maka konsentrasi CRP serum akan turun dengan

relatif cepat dengan waktu paruh sekitar 18 jam.


Peningkatan konsentrasi CRP secara persisten
menggambarkan adanya proses inflamasi kronik seperti
arthritis rheumatoid, tuberkulosis dan keganasan.
Pengukuran konsentrasi CRP secara akurat
menggunakan immunoassay atau nefelometri laser. Kadar
CRP pada manusia dewasa sehat < 0,2 mgldl.

Normal atau
peningkatan tidak
signifikan ( < 1 mgldl )

Peningkatan
Sedang
( 1 - 10 mgldl )

Peningkatan
tinggi
( > 10 mgldl )

Kerja berat
Common cold
Kehamilan
Gingivitis
Stroke
Kejang
Anaina

lnfark miokard
Keganasan
Pankreatitis
lnfeksi mukosa
bronkitis, sistitis )
Penyakit reumatik

lnfeksi bakteri akut


Trauma berat
Vaskulitis sistemik

Hamplr selalu ada

Serlng ada

Kadangkadangada

Demam reumatik,
artritis reumatoid,
infeksi bakteri akut,
hepatitis akut

Tuberkulosis
aktif,tumor ganas
stadlum lanjut,
leprosy, sirosis
aktif, luka bakar
luas, peritonitis

Sklerosis multipel,
sindroma Guillain
Barre, cacar air,
pasca bedah,
penggunaan alat
kontrasepsi intrauterin

Pengukuran CRP berguna untuk menegakkan


diagnosis dan penatalaksanaan penyakit reumatik seperti
halnya pengukuran laju endap darah. Hanya pengukuran
CRP menawarkan suatu kelebihan sebagai pengukuran
yang dapat dilakukan secara langsung dalam menentukan
adanya protein fase akut yang mencerminkan besaran

inflamasi dan perubahan-perubahan fase akut oleh


peralihan yang relatif cepat dari CRP.' Terutama pada
penyakit-penyakit yang manifestasi kliniknya tidak begitu
mudah di evaluasi secara berkesinambungan misalnya
penyakit crohn, vaskulitis, infeksi bakteri yang sulit di
monitor. Melalui teknik biologi baku berupa seri
pemeriksaan CRP akan lebih mudah diikuti perkembangan
dari hasil suatu pengobatan. Determinasi CRP terutama di
anjurkan dalam situasi sebagai berikut:
1. Penapisan proses radanglnekrotik
2. Diagnosis/monitoring proses radang seperti neonatal,
septikemia, meningitis, pneumonia, pyelonefritis,
komplikasi pasca bedah, kondisi keganasan.
3. Penilaian gambaran klinik pada kondisi radang seperti
kelompok penyakit reumatik atau selama episode akut
ataupun infeksi intermiten
4. Diagnosis diferensial kondisi radangseperti SLE, AR
ataupun penyakit artritis lainnya, kolitis ulseratif dan
kistitis akutlpielomielitis

CARA PEMERIKSAAN CRP

Semula CRP dideteksi melalui reaksi endapan dengan


polisakarid C kuman pneumokokus. Setelah tahun 1947
berhasil dilakukan kristalisasi CRP dan dari sini dapat
dibuatkan antisera yang spesifik sehingga membuka
peluang pemeriksaan protein secara irnunokimiawi. Teknik
endapan kapiler merupakan cara imunokimiawi yang
pertama dan digunakan secara luas sampai lebih dari 25
tahun. Cara pemeriksaan semi kuantitatif tidak dapat
mendeteksi konsentrasi yang kurang dari 10 mikrograd
cc. Pengenalan teknik imunodifusi radial memungkinkan
penghitungan CRP yang lebih tepat sampai ambang
2 mikrogradcc, sementara teknik radioimunoassay yang
amat sensitif telah pula dikembangkan tetapi cara ini
sebenarnya tidak diperlukan untuk tujuan klinik karena
tidak praktis tetapi lebih di utarnakan &lam pengembangan
penelitian laboratorium klinik. Bagaimanapunjuga, akhirakhir ini dikembangkan cara nephelometrik yang
mengandalkan penggunaan peralatan yang rnenjamin
ketepatan dan kecepatan pemeriksaan kuantitatif.
Sementara itu telah banyak dipasarkan pemeriksaan CRP
dengan menggunakan sistem aglutinasi lateks dalam
bentuk kit yang rneskipun tidak kuantitatif tetapi mungkin
memiliki nilai terbatas dalam kecepatan sebagai awal
penapisan adanya CRP.

Prinsip kerja pemeriksaan ini menggunakan partikel lateks


polystyrene yang permukaannya dibungkus dengan anti
CRP sehingga dapat direaksikan dengan serum kontrol
positif ataupun negatif pada permukaan kaca benda atau

slide plastik hitam. Pertama-tamaserum pasien di inaktifkan


pada suhu 56" Celcius. Lalu diencerkan dan masing-masing
diteteskan di atas kaca benda. Kemudian masing-masing
satu tetes suspensi lateks anti-CRP ditempatkan di atasnya,
dicampur dengan menggunakan batang kayu yang telah
disediakan atau digerak-gerakkan menggunakan alat
penggoyang (shaker). Diperhatikan ada tidaknya endapan
yang biasanya akan tampak setelah 2 menit. Perlu kehatihatian atas kemungkinan terjadinya fenomena prozone
yaitu terhadap hasil positif yang sebenarnya sangat h a t
tetapi tidak tampak pada serum yang tidak di encerkan
sehingga perlu dibuktikan dengan cara pengenceran.
Dengan teknik kit ini dapat dikembangkan lebih lanjut ke
arah semi kuantitatif. Di samping itu CRP juga dapat
ditentukan dengan teknik endapan kapiler, difusi
Ouchterloni, imuno difusi radial dan nephelometri.
Yang perlu diperhatikan dengan teknik ini ialah
kemungkinan positif semu oleh adanya faktor reumatoid.
Terutamakalau kadar FR nya >I200 I.U/cc. Karenaitu &lam
pemasaran kit selalu disertakan larutan absorbsi yang
terdiri dari larutan antibodi diperoleh dari biri-biri yang
digunakan untuk menyisihkan faktor reumatoid tersebut.
Bahan Pemeriksaan
Dapat diperoleh dari sekitar 2cc darah pasien yang
dibiarkan membeku dalam keadaan segar penyimpanan
maksimum 8 hari pada suhu 2 sampai 8 celcius atau
sementara dapat disimpan dalam lemari es suhu di bawah
minus 25" Celcius sampai 3 bulan. Serum bekuan ini
dihindari pencairan yang berulang-ulang. Bahan serum
hams dijaga kejernihannya dengan memusingkan sehingga
benar-benar tidak mengandung partikel-partikel ataupun
fibrin setelah sentrifugasi.

FAKTOR REUMATOID

Faktor Reumatoid (FR) merupakan antibodi sendiri


terhadap determinan antigenik pada fragmen Fc dari
imunoglobulin. Klas imunoglobulin yang muncul dari
antibodi ini ialah IgM, IgA IgG dan IgE. Tetapi yang selama
ini diukur ialah faktor reumatoid kelas IgM. Istilah
reumatoidnya diberikan karena faktor ini kebanyakan
diberikan pada penyakit artritis reumatoid. Berbagai teknik
telah dikembangkan, untuk mengukur adanya antibodi
tersebut. Dapat disebutkan seperti uji aglutinasi,
presipitasi, pengikatan komplemen, imunofluoresensidan
radioimun.
Sejarah Faktor Reumatoid
Faktor Reumatoid pertamakali di introduksi oleh patolog
Nonvegia, Eric Waaler, tahun 1937. Pada waktu itu beliau
melihat bahwa eritrosit biri-biri yang tersensitasi dengan
zat antinya yang diperoleh dari serum kelinci, dapat

digumpalkan oleh serum pasien lues dan artritis reumatoid


(AR). Hasilnya, suatu aglutinasi yang agak aneh dibanding
hernolisis biasa, kemudian ditelusuri berbagai literatur clan
ternyata peneliti lainnya juga menemukan fenomena yang
sama, pada pasien sirosis hati dan bronkitis kronis.
Terputus oleh perang dunia kedua, hasil penemuan
Waaler ini, seakan-akan telah dilupakan. Akhirnya
fenomenayang sama ditemukan oleh Rose dkk (1948) yang
pada waktu itu bekerja untuk pasien Rickettsia. Lebih lanjut
mereka melakukan pemeriksaan yang sama terhadap pasien
AR, Spondilitis Ankilosa, demam reumatik dan penyakit
reumatik lainnya. Hasilnya amat menyolok, dibanding
pasien AR sendiri yang sekaligus menunjukkan korelasi
yang kuat dengan aktivitas penyakit. Meskipun,
penerapan klinik yang dilakukan Waaler, masih belum jelas
dibandingkan dengan Rose tetapi Waaler dengan jelas
menampilkan aspek-aspek imunologiknya sehingga uji
pemeriksaan FR, sampai sekarang dikukuhkan sebagai
pemeriksaan Waaler-Rose /Rose Waaler.
Istilah Reumatoid Faktor, pertamakali digunakan oleh
Pike dkk, tahun 1949, karena faktor ini kebanyakan
ditemukan pada penyakit AR. Mulai sejak itu, berbagai
upaya modifikasi telah dilakukan, di antaranya Heler dkk
(1956) menyatakan kelemahan uji Rose-Waaler oleh adanya
faktor imunoglobulin manusia sebagai penghambat
aglutinasi. Atas dasar itu, maka diajukan suatu cara yang
lebih sensitif yang sifatnya non-imunologik, dengan
mengabsorbsikan imunoglobulin manusia pada tanned
eritrosit biri-biri.
Dasar sistem ini selanjutnya lebih berkembang lagi
dengan menggunakan partikel lateks, partikel bentonit,
partikel bakteri. Uji Rose-Waaler, memang amat spesifik
terhadap AR, terbukti dari sekitar 90% pasien dengan RW
pos, menunjukkan AR. Sebaliknya uji RW hanya positip
pada sekitar 60% pasien AR. Pengamatan lebih lanjut,
menunjukkan bahwa FR itu bukan suatu antibodi tetapi
merupakan suatu kelompok zat anti IgG dengan aviditas
dan afinitas yang berbeda.

Ciri-ciri Faktor Reumatoid


Faktor Reumatoid mencakup semua klas imunoglobulin,
tetapi yang mendapat perhatian khusus hanyalah IgM-FR
dan IgG-FR. Sedangkan FR klas imunoglobulin lainnya,
sifat patologiknya belum banyak diketahui. Misalnya IgEFR, kadang-kadang dapat ditemukan pada pasien AR
dengan manifestasi ekstra artikular ataupun penyakit paru.
IgM-FR mudah ditemukan dalam darah dengan daya
aglutinasinya yang kuat. Tidak dapat bergabung mandiri
seperti yang terjadi pada IgG-FR. IgM-FR juga
menunjukkan kemampuan mengikat komplemen yang lebih
besar dibanding IgG-FR.
Faktor Reumatoid merupakan suatu reaksi normal
imunitas humoral tubuh terhadap rangsangan antigen
tertentu, yang tersebar secara luas dalam irama kehidupan.

Reaksi positif uji FR yang selama ini ditunjukkan baik


terhadap gamma globulin manusia ataupun kelinci,
terutama termasuk dalam kelas IgM antibodi.
Kemungkinan klas lainnya juga ditemukan yaitu IgG dan
IgA antibodi dalam bentuk intermediate complex dan
terdapat terutama di dalam cairan sendi.
Titer yang tinggi bukanlah indikasi beratnya penyakit.
Kebanyakan pasien dengan AR hasil pemeriksaan FR nya
bisa positif ataupun negatif dengan titer yang berfluktuasi
dalam hitungan bulan/tahun4 Sedangkan pemberian
NSAID tidak selamanya dapat mempengaruhi titer FR.
Sebaliknya penicillamine dan preparat emas dqpat
menurunkan secara perlahan sampai menjadi seronegatif.
FR yang negatif, dapat digunakan sebagai petunjuk
penyakit-penyakit reumatik lainnya seperti ankilo
spondilitis, sindrom reiter, enteropati berasosiasi artritis,
psoriatik artropati, gout, kondrokalsinosis, piogenik artritis
dan penyakit Still.

Terjadinya Faktor Reumatoid


Banyak teori yang mencoba mengungkapkan mekanisme
terjadinya FR. Faktor reumatoid itu sendiri sebenarnya
tidak patogenik. Dasar imunopatogenik AR, dimulai
dengan aktivitas imunologik yang berlangsung terusmenerus. Aktivitas ini berperan sentral dalam patogenesis
penyakit AR dan terjadi sebagai respons terhadap seuantigen (endogenous) ataupun non self-antigen
(exogenous). Pada keadaan pertama, tubuh seakan-akan
sudah tidak mengenal lagi komponen tubuhnya sendiri,
yang kemudian menjadi konsep dasar penyakit oto-imun.
Kegagalan pengenalan diri ini dapat terjadi sebagai akibat
perubahan komponen tubuh sendiri (altered antigen),
ataupun perubahan respons imunologik tubuh terhadap
komponen tubuh yang normal. Masalahnya kemudian
adalah mengapa perubahan-perubahan itu terjadi. Maka
mulai dipikirkan adanya faktor luar (exogenous) yang
bertindak sebagai Special Stimulating Antigene yang
justru menjamin kelangsungan aktivitas imunologik
tersebut. Faktor-faktor luar yang akhir-akhir ini paling
banyak di bicarakan, ialah virus yang berperanan sebagai
infective agent.
Dalam hubungan dengan terjadinya FR, dimulai dengan
terjadinya infeksi yang cenderung bersifat kronik dan
berkembang dalam persendian merangsang pembentukan
antibodi. Zat ini lalu bergabung dengan infective agent
tersebut dan menimbulkan perubahan antigenik molekul
IgG-nya. Adanya ikatan kompleks dan altered IgO sebagai
antigen baru inilah yang membangkitkan produksi zat
antibodi baru yang dikenal sebagai zat anti antibodi. Zat
inilah yang pada hakekatnya dikenal sebagai Faktor
Reumatoid (FR).
Selanjutnya sarana yang paling adekuat bagi
perkembangan lanjut reaksi ini ialah persendian. Karena
itu tidak jarang terjadi pada tiap infeksi asalkan melibatkan

PEMEW(SAAN CPR, FAIClDR REUMATOID, AmANTlBODI DAN KOWLEhIEN

h s u r imunologik, selalu membawa dampak kesakitan pada


persendian yang maksudnya' agar individu yang
bersangkutan menjalani istirahat sehingga proses
pemulihan dapat berlangsung secara alami. Ternyata
persendian, memiliki kualifikasi yang cocok bagi
berkembanglmenetapnya respons imun. Tiadanya
anyaman pembuluh darah dalam tulang rawan
memungkinkan kompleks Ag-Ab menjadi tersembunyi
sehingga terhindar dari jangkauan aparat imun. Kombinasi
antara FR dan IgG membentuk kompleks imun yang
mengaktifkan sistem komplemen dengan manifestasi
timbulnya pemanggilan sel-sel neutrofil ke tempat
terjadinya radang (kemotaksis). Sel-sel ini kemudian akan
memfagosit kompleks imun tadi, dengan melepaskan enzim
lisozim. Namun enzim ini sebalilcnyaakan bertindak sebagai
mediator kimiawi atas terjadinya radang sinovitis. Juga
Cell-mediated immunity ikut berperanan dengan
melepaskan limfokin yang juga dapat menimbulkan radang
tersebut yang ditujukan untuk melawan oto-antigen yang
persisten. Memang telah dibuktikan bahwa FR diproduksi
didalam sel-sel plasma pada jaringan subsinovial dan
persendian yang meradang. Dengan demikian maka FR
terdapat di dalam darah ataupun di dalam cairan sendi.
Beberapa kemungkinan mekanisme kejadian FR ditunjukan
dalam beberapa postulat sebagai berikut:
1. Agregat IgGI kompleks imun melahirkan nilai antigen
baru pada bagian Fc dari IgGI denaturasi.
2. Daya gabung yang meningkat dari agregat IgG terhadap
reseptor dengan afinitas rendah dari sel-sel yang
berpotensi membentuk FR.
3. Anomali struktur IgG nya sendiri
4. Kegagalan fungsi kendali dari sel-T penekan,
menimbulkan kecenderungan pembentukan autoantibodi terhadap IgG oleh sel B.
5. Interaksi antara ideotip-antiideotip
6. Reaksi silang antara nilai antigenik Fc. IgG dengan
antigen lain terutama antigen dari bahan inti sel.
7. Sensitisasi selama kehamilan
8. Latar belakang genetik yang dikaitkan dengan
HLA-DR4.
Penemuan terakhir menunjukkan bahwa artritis
reumatoid seropositif, berhubungan erat dengan antigen
keselarasan jaringan yaitu HLA-D yang diekspresikan oleh
limfosit B dan makrofag. Lebih dari 50% pasien seropositif
memiliki HLA-D ini. Sel B poliklonal, memang berpotensi
h a t dalam menginduksi produksi FR.
Spesifisitas I Sensitivitas
IgM-FR poliklonal memiliki aneka sfesifisitas. Tidak dapat
disebutkan, suatu kekhasan antigenik tertentu, yang benarbenar memegang peranan penting dalam proses terjadinya
AR. Dengan demikian, spesifitas FR pada AR, cenderung
lebih heterogen daripada penyakit kronik lainnya yang
bukan AR. Karena itu FR pada AR cenderung lebih banyak

2465

bereaksi dengan IgG hewan daripada FR non reumatik.


Demikian juga aviditasnya terhadap agregat IgG lebih
tinggi dibanding FR monomerik oleh multivalensi
kompleks IgG. Mengenai IgG-FR poliklonal, tidak banyak
yang diketahui. Petanda antigenik dari bagian Fc IgG bagi
FR klas imunoglobulin lainnya, juga belum jelas.
Kenyataan, FR itu merupakan bagian dari imunoglobulin
biasa dari orang sehat.
Seperti telah dikemukakan dalam banyak kepustakaan
(Suryadhana dkk, 198l), FR ini tidak spesifik terhadap AR.
Kenyataan, faktor ini secara urnum ditemukan pada pasienpasien keradangan akut dan kronis, bahkan juga pada
individu normal.
Berbagai penyakit kronis lain dengan nama RF yang
menunjukkan adanya faktor ini dapat di klasifikasikan
sebagai berikut :
Infeksi viral akut: mononukleosis, hepatitis, influenza
dan banyak yang lainnya, sebagai akibat vaksinasi.
Infeksi parasit: tripanosomiasis, kala azar, malaria,
schistosomiasis, filariasis, dsb.
Penyakit radang kronik: TBC, lepra, lues, brucellosis
endokarditis bakterial subakut, salmonellosis,
periodontitis. Hepatitis, paru, Cryobulinemia
Polutan: silikosis, asbestosis
Neoplasma: setelah iradiasi ataupun kemoterapi.
Adanya faktor ini cenderung ditandai oleh antigemia
persisten yang lebih lanjut dapat dibuktikan melalui
percobaan hiper imunisasi kelinci dengan antigen bakteri.
Banyak kelainan ini dikaitkan dengan keadaan
hipergammaglobulinemia ataupun kompleks imun yang
beredar dalam darah, maka dapat pula di masukan, penyakit
hati kronik, paru kronik, cryobulinemia.
Dengan kenyataan ini, maka FR itu sendiri sering
merupakan indikator in vivo terhadap penyakit-penyakit
dengan latar belakang kompleks imun dengan
kecenderungan menjadi kronik. Walaupun tak spesifikAR,
tetapi faktor ini dapat menjadi perintis timbulnya penyakit
AR. Sementara hasil positifjuga ditemukan pada penyakit
reumatik laimya seperti sjogren, SLE, sklerosis sistemik
dan penyakit jaringan ikat campuran (MCTD). Pada
individu normal sehat, prevalensi lateks positif cenderung
meningkat seiring meningkatnya usia.
Arti spesifitas bagi imunolog ialah adanya struktur
imunokimiawi tertentu pada IgG-nya sedangkan bagi
reumatolog, hanya mempersoalkan efisiensi diagno
sisnya. Dalam hubungan ini berbagai upaya modifikasi
telah dicoba seperti yang tiada henti-hentinya dilakukan
Klein dkk
Tempat Diproduksinya Faktor Reumatoid
Pada pasien AR, seperti juga pada individu yang sehat
hanya sedikit imunoglobulin ataupun FR yang diproduksi
oleh sdl-sel yang berada dalam sirkulasi.
Bagaimanajuga, limfosit-limfosityang terdapat dalam

aliran darah, dapat dirangsang oleh mitogen sel-sel-B untuk


memproduksi imunoglobulin secara in vitro. Tetapi
sejumlah besar sel-sel dari kompartemen lainnya, telah
dapat ditunjukkanmemproduksi FR. Telah diketahui bahwa
cairan sinovial reumatoid kaya dengan IgG-FR, IgM-FR
dan IgA-FR. Jadi FR pada cairan sendi, kemungkinan besar
diproduksi secara lokal oleh limfosit-limfosit yang terletak
dalam membran sinovial ataupun cairannya sendiri. Agen
yang merintis produksi lokal, sampai saat ini masih belum
dlketahui.Agaknya memang berbagai faktor itu datangnya.
secara bertahap ataupun simultan yang tanpa disadari
terekam oleh tubuh sedikit demi sedikit dan akhirnya
tinggal memerlukan hadirnya suatu penyulut (trigger)
untuk timbulnya penyakit tersebut.
Mengenai tempat diproduksinya FR pada penyakit
kronik lainnya belum dapat diungkapkan, tetapi
kemungkinan seperti modus produksi imunoglobulin
umurnnya.
lmunopatogenesis Faktor Reumatoid
Sebenarnya, FR bersifat non-patogenik. Terbukti pada
tranhsi dengan IgM-FR tidak dapat menginduksi artritis
bahkan IgM-FR dapat mengurangi serum sickness, lisis
oleh komplemen dan aktivitas sitotoksik selular, tetapi
hadirnya FR dapat menjadi pemacu clan pemantapan proses
yang ditunjang oleh hal-ha1 sebagai berikut:
Pasien seropositif, menunjukkan penampilan klinik dan
komplikasi yang lebih berat dibanding seronegatif.
Pasien seronegatif, mempunyai prognosa yang lebih
baik.
Pengamatan in-vitro menunjukkan bahwa IgM-FR
diproduksi secaxa spontan oleh limfosit perifer pa&
seropositif, sedang seronegatif, tidak.
*. Pasien dengan titer FR yang tinggi, menunjukkan
prognosis yang buruk dan lebih sering tampil dalam
manifestasi ekstra artikular seperti nodul-nodul
subkutan, fibrosis paru, vaskulitis, perikarditis. Hal ini
dikaitkan dengan ditemukan CIC (Circulating Immune
Complex).
IgM-FR poliklonal mampu mangaktifkan kom-plemen,
sehingga tidak diragukan keterlibatannya, dalam
berbagai kerusakanjaringan.
Meningkatnya kadar IgG-FRYdikaitkan dengan
meningkatnya kekerapan timbulnya nodul subkutan,
LED, jumlah persendian yang terlibat dan menurunnya
kadar komplemen.

Kemungkinan efek patologiknya ialah kenyataan data


klinik yang menunjukkan hubungan FR dengan aktivitas
penyakit terutama manifestasi ekstra-artikularnya.Hal ini
juga berlaku bagi IgG-FR, yang lebih cenderung berkaitan
dengan penyakit sistemik dan vaskulitis dibanding
sinovitis.
Efek biologiknya, yang utama ialah kemampuannya
mengikat komplemen melalui kompleks imun. Dan sinilah

dimulai rangkaian reaksi imun berkepanjangan, yang


berakhir dengan kerusakanjaringan. Hampir semua klinisi
reumatologi, telah mengamati tidak jelasnya hubungan
titer IgM-FR yang tinggi dengan jumlah sendi yang
meradang. Tetapi pada negara yang sedang berkembang,
titer yang tinggi, dengan jelas menampilkan gambaran khas
AR.
Pada anak-anak, adanya IgM-FR menunjukkan
poli-artikular tipe dewasa dari JRA. Beberapa studi,justru
IgG-FR yang menunjukkan korelasi lebih baik dibanding
IgM-FR dengan aktivitas penyakit dan manifestasi ekstra
artikular, termasuk nodul-nodul subkutan dari pasien AR
seropositif. Hal ini berarti, bahwa IgG-FR kemungkinan
lebih berperan di banding IgM-FR dalam patogenesis AR.
Inflamasi dan respons imun pada hakekatnya
merupakan suatu penampilan dari mekanisme pertahanan
tubuh yang saling kait mengkait. Berbagai kerusakan
persendian yang terjadi pada AR dimulai dengan suatu
inflamasi yang melepaskan zat-zat prostaglandin dari
tipe-tipe sel makrofag, sel dendrit, sel endothelial dan
beberapa sel limfosit. Hadirnya prostaglandin justru
mempunyai arti penting dalam ikut mempertahankan
keseimbangan imunologik. Hal ini dimungkinkan karena
prostaglandin langsung bekerja terhadap sel-T penekan
yang memiliki reseptor prostaglandin, lalu menghambat
aktivitas sel-T penekan sehingga meningkatkan hngsi
sel-T penolong. Akibatnya sel-T penolong, bekerja tanpa
kendali dengan tidak lagi mengindahkan norma-norma sel
recognition sehingga terbentuklah antibodi yang tidak
dikehendaki (Auto-antibodi). Kenyataan dengan
ditemukannya prostaglandin yang berlebihan pada daerah
sendi inflamasi, praktis menutup kerja sel-T penekan.
Rangkaian proses ini dimungkinkan karena sel-T penolong
melepaskan zat IL-2 dan IL-3. Interleukin-2, menjamin
aktivitas sel-TA, sedangkan IL-3 sebagai mediator aktif
dalam proses radang. Dalam situasi seperti ini, maka FR
lah yang pertama dibentuk dari tempat terjadinya inflamasi.
Dari sinilah kemudian dimulai rangkaian proses imunologi
yang berkelanjutan dengan berbagai efek kliniknya.
Artntis reumatoid, merupakan penyakit kompleks imun
ekstravaskular, yang terutama menyerang daerah
persendian. Karena cairan sendi pasien AR tidak seperti
serumnya, sering mangandung agregat IgG dengan kadar
komplemen yang rendah. Jadi faktor ini, justru memegang
peranan utama dalam patogenesis penyakit kompleks imun
ekstravaskular yang nantinya menghasilkan sinovitis
reumatoid, tetapi dengan kenyataan ditemukan faktor ini
pada penyakit-penyakit lainnya yang bukan AR, telah
menurunkan arti dan peranan FR tersebut, tetapi dengan
berbagai alasan dan respek terhadap peranan faktor ini,
maka hadirnya FR ini, antara penyakit AR dan penyakit
non-reumatik, masih dapat dibedakan pada Tabel 4.
Jadi spesifitas jaringan dan kronisitas sinovitis
reumatoid, sebagian besar dapat diterangkan dengan
kemampuan unik dari faktor reumatoid. Masih ada contoh

PEMERlKSAANCPR,FAKTQR REUMATOID,AUTOANTIBOD1DAN KOMPLEMEN

Penvakit Rematik

Artritis Reumatoid. L u ~ u s
Eritematosus ~istemik.
Skleroderma, Mixed Connective
Tissue Disease, Sindrom
Sjogren's
Acquired immunodeficiency
syndrome, mononukleosis,
hepatitis, influenza dan setelah
vaksinasi
Trypanosomiasis, kala azar,
malaria, schistomiasis, filariasis
Tuberkulosis, leprosi, sifilis,
brucelosis, infektif endokarditis,
salmonelosis
Pasca radiasi atau kemoterapi,
PurPura
hipergammaglobulinemia,
kryoglobulinemia, penyakit hati
kronik, penyakit paru kronik

lnfeksi Viral

lnfeksi parasit
lnfeksi bakterialis kronik

Neoplasma
Hyperglobulinemic state

Faktor Reumatoid

Artritis
Reumatoid

Penyakit nonreumatik

Tinggi

Rendah

lengkap

tidak lengkap

klM, IgG, IgA


Sinovium dan
tempat
ekstravaskular
lainnya

terutama IgM
tidak jelas, tetapi
bukan pada
daerah sinovial.

Titer
Heterogenitas
- Reaksinyaterhadap
gammaglobulin
manusia dan hewan
- Klas imunoglobulin
- Lokasi produksi

++

lain dari autoantibodi dengan afinitas rendah dengan ciriciri unik yang membawakan sifat patogeniknya dalam
situasi khusus. Memang secara teoritis, hadirnya faktor
ini, justru menunjukkan salah satu kegagalan sistem imun
tubuh dalam menangani infiltrasi benda asing secara
tuntas.
Antibodi yang mula pertama dilepaskan ternyata tidak
mampu menetralkan benda asing yang masuk. Upaya
tubuh menyelesaikan masalah karena kegagalan
pengenalan diri, justru melahirkan antigen-antigen baru,
akibatnya timbul perkembangan baru, sebagai reaksi
terhadap kenyataan tersebut, dengan membentuk zat antiantibodi yang dikenal dengan sebutan FR.

KEMAKNAAN KLlNlK

Faktor r eumatoid IgM. Klas ini sepertijuga antibodi IgM


lainnya, bersifat multivalen yang karenanya memiliki daya
aglutinator yang kuat terhadap partikel-partikel yang
terbungkus oleh antigen yang bersangkutan. Faktor ini

2467

kemungkinan meningkatkan efek biologik kompleks imun


yang berinteraksi lemah dan menekan efek kompleks imun
yang berinteraksi h a t .
Antibodi inijuga akan mengendapkan agregat IgG, baik
dalam bentuk larutan ataupun dalam bentuk gel. Lebih
sering terjadi, antibodi ini bergabung dengan IgG
monomerik membentuk kompleks yang larut, yang dapat
diperlihatkan dalam banyak serum AR melalui cara
ultrasentrifugal.
Perubahan titer FR selama perjalanan penyakit tidak
memberi makna apapun bagi penyakit yang bersangkutan.
Walaupun suatu obat berhasil menurunkan titer FR sampai
pada keadaan menjadi seronegatif tetapi dapat kembali
menjadi seropositif walaupun secara klinik menunjukkan
adanya pemulihan.
Titer FR yang tinggi pada AR mengindikasikan
prognosis buruk dan kecenderungan manifestasi ekstra
artikuler.

Faktor reumatoid IgG Antibodi ini terdapat berlebihan


dalam serum, terutama cairan sendi dari banyak pasien
dengan AR berat. Konsentrasi IgG yang tinggi dalam
serum dan kecenderungan antibodi ini untuk bergabung
sendiri, daripada bergabung dengan agregat IgG,justru akan
menyulitkan pengenalannya.
Pada prinsipnya FR-IgG ini, dapat dikenal dengan profil
sedimentasinya yang tersendiri sebagai kompleks
intermediate dalam analisis ultrasentrifugal. Teknik
pengenalan antibodi ini telah dikembangkan secara
khusus oleh Feltkamp dkk dengan imunofluoresensitidak
langsung. Sebelumnya memang banyak cara telah
diperkenalkan tetapi praktis tidak dapat dilakukan secara
rutin ataupun dengan cara radio-imun yang ternyata
laborious, demikian juga teknik Elisa.
Teknik yang diungkapkan oleh Feltkam ini amat
sederhana yaitu kaca benda yang telah berisi hapusan
suspensi eritrosit 10% golongan darah 0 , diinkubasi
dengan serum kelinci anti eritrosit, kemudian dengan 1/10
serum pasien ataupun serum kelola. Akhirnya dibubuhi
dengan konyugat serum kelinci anti IgG. Kalau yang
hendak diteksi FR dari klas IgA tentu saja digunakan
konyugat serum kelinci anti IgA. Adanya IgG-FR dalam
jumlah besar justru membawa implikasi yang lebih serius
dibanding IgM-FR. Para ahli menemukan IgG-FR dalam
60% serum pasien reumatoid vaskulitis dan hanya 9% pada
pasien AR. Ditemukan hubungan kuat antara menurunya
kadar IgG-FR dan respons pengobatan dari vaskulitis.
Evaluasi kompleks imun (IgG-FR) yang dideteksi
dengan Clq dan FR berkorelasi lemah dengan gambaran
klinik yang didapat, demikian juga IgM dan IgA-FR Titer
IgG-FR yang tinggi, dikaitkan dengan kejadian vaskulitis
nekrotikan.dan justeru membawa implikasi yang lebih
serius dibanding IgM-FR.
Faktor reumatoid IgA. Mengenai antibodi dari klas IgA, di
samping dengan ca,ra tersebut di atas, juga dapat

ditunjukkan dengan cara imuno-elektroforesis dan


irnunoabsorbsi kuantitatif. Di samping terdapat dalam
serum,juga dapat ditemukan dalam saliva.
Kepentingan pemeriksaan antibodi ini masih
dipertanyakan, karena itu belum dapat dilakukan secara
rutin, namun faktor ini belum banyak dipelajari karena
dipertanyakan nilai kliniknya. Koopman dkkmenemukan
bahwa polimer IgA-FR dibuat oleh sel-sel plasma sinovial
secara in vitro dan produksinya relatif tidak sensitif
terhadap efek stimulasi dari zat-zat mitogenik. Kenyataan
ini menunjukkan perbedaan yang jelas antara sistesis
IgA-FR dan IgM-FR. Dalam ha1 ini dipertanyakan apakah
perbedaan itu mempunyai arti penting secara klinik pada
pasien AR.
Faktor reumatoidIgE. Faktor ini hanya ditemukan dalam
jumlah kecil (50-600 nglcc). Zuraw dkk menemukan
peningkatan kadar faktor ini pada 18 dari 20 pasien AR
seropositif. Karena kompleks imun IgE dapat melepaskan
histarnin dam mediator-mediator lainnya dari sel-sel mastosit
maka kemungkinan bahwa faktor ini mungkin berperanan
dalam memicu terjadinya vaskulitis reumatoid dengan
meningkatkan deposit kompleks IgG dalam dinding
pembuluh darah.

Cara yang paling mudah dalam mengukur IgM-FR ialah


teknik aglutinasi yaitu cara non imunologik menggunakan
lateks dan cara imunologik menggunakan sel darah
biri-biri. Baik lateks ataupun sel darah biri-biri ini
dimaksudkan sebagai perantaralamboseptor yang
memungkinkan pemunculan ikatan antigen antibodi.
Untuk mendapatkan konsistensi hasil pemeriksaan
maka perlu digunakan gabungan serum positif h a t dan
serum positif lemah yang telah diketahui titernya sebagai
kontrol kualitas internal. Idealnya ialah merujuk dua kontrol
sera dari WHO sehingga pengukurannya dapat
diseragarnkan dalam hitungan unit internasional.

Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya


dengan berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik
atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat lebih nyata
pada penyakit-penyakit otoimun termasuk di dalamnya
kelompok penyakit reumatik otoimun seperti Systemic
Lupus Erythematosus (SLE), Rheumatoid arthritis (RA),
sindrom Sjogren dan sebagainya.
Proses patologik yang terjadi berkatan erat dengan
adanya kompleks (oto)antigen (0to)antibodi yang
keberadaannya dapat menimbulkan berbagai masalah yang
seius. Perkembangan yang pesat terhadap deteksi antibodi
membawa pengaruh terhadap fungsi pemeriksaan antibodi.

Adanya antibodi termasuk otoantibodi sering dipakai


dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun
evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
Menjadi suatu pertanyaan sejauh mana peran pemeriksaan
otoantibodi atau antibodi secara umum dalam proses
patogenik penyakit reumatik.
Pembentukan otoantibodi cukup kompleks dan belum
ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara utuh
mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya
dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir,
dikatakan terdapat kekacauan dalam sistem toleransi imun
dengan sentralnya pada T-helper dan melahirkan banyak
hipotesis, antara lain modifikasi otoantigen, kemiripan atau
mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross
reactivepeptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass
idiotipik, aktivasi poliklcnal dan sebaginya. Mekanisme
lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan
mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke
peripher. Kekacauan ini semakin besar kesempatan
terjadinya sejalan dengan sernakinbertambahnya usia seseorang.
Otoantibodi relatif mudah ditemukan pada seseorang
tanpa disertai penyakit otoimun. Tentunya ha1 tersebut
hams ditunjang oleh sensitivitaspemeriksaan labaoratoriurn
yang tinggi. Apabila demikian maka otoantibodi dapat
ditemukan secara universal sebagai mekanisme normal di
dalam badan terhadap produk sel. Dengan kata lain
otoantibodi dapat merupakan ha1 fisiologik. Dari sudut
pemeriksaan laboratorium, adanya anggapan demikian
menimbulkan dua ha1 yang dapat menjadi hambatan dalam
terapan imunologik klinik. Dasarnya adalah, pertama,
otoantibodi dapat ditemukan dalam serum orang normal
tanpamanifestasi penyakit. Umurnnya otoantibodi tersebut
berada dalam titer rendah dan memiliki afinitas buruk
terhadap antigen yang berkesuaian, serta sebagian besar
tergolong imunoglobulin M. Kedua, deteksi otoantibodi
pada umumnya memerlukan data ernpink dalam ha1 ambang
batas nilai positif. Dengan kata lain apabila nilai terukur
berada di atas ambang tersebut baru dikatakan memiliki
kemaknaan klinis.
Umumnya otoantibodi itu sendiri tidak segera
menyebabkan penyakit. Oleh karenanya, lebih baik
otoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses
patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang
dapat naik atau turun dapat berkaitan dengan aktivitas
penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi. Kompleks
(oto)antigen dan otoantibodilah yang akan memulai
rangkaian penyakit otoimun. Hingga saat ini hipotesis
yang dianut adalah otoantibodi baru dikatakan
memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit
reumatik otoimun apabila ia berperan dalam proses
patologiknya.
Otoantibodi yang terbentuk terhadap suatu antigen
dapat dimiliki oleh sejumlah penyakit yang berbeda dan
yang demikian itu dikenal sebagai antibodi yang tidak
spesifik. Salah satunya yang dapat dikelompokkan pada

PENIEW(SAAN CPR. FAlCTOR REUMATOID. AUTOANllEODl DAN KOMPLEMEN

otoantibodi ini adalah anti nuclear antibody (ANA).


Ditemukannya satu jenis antibodi terhadap satu jenis
penyakit reumatik otoimun saja merupakan harapan dari
banyak ahli. Narnun ha1 ini masihjauh dari kenyataan karena
adanya tumpang tindih berbagai penyakit yang
mendasarinya, serta besarnya kemaknaan klinis suatu
otoantibodi. Sayangnya disinilah letak kebanyakan
keterbatasan pemeriksaan otoantibodi.
Antibodi Antinuklear (ANA)
Antinuklear antibodi merupakan suatu kelompok
autoantibodi yang
.
- spesifik terhadap asam nukleat dan
nukleoprotein, diternukan pada connective tissue disease
seperti SLE, sklerosis sistemik, mixed connective tissue
diasease (MCTD) dan sindrom sjogren's primer. ANA
pertama kali ditemukan oleh Hargraves pada tahun 1948
pada sumsum tulang pasien SLE. Dengan perkembangan
pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitasANA
yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Rol
SS-A dan LaISS-B.ANA dapat diperiksa dengan
menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan
sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue
disease.Dengan pemeriksaan yang baik, 99% pasien SLE
menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada pasien
sindrom Sjogrens dan 40% pada pasien skleroderma.ANA
juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.
Antibodi terhadap DNA (Anti dsDNA)
Antibodi terhadap DNA dapat digolongkan dalam antibodi
yang reaktif terhadap DNA natif (double stranded
DNA).Anti dsDNA positif dengan kadar yang tinggi
dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik
dan prognostik. Kadar anti dsDNA yang rendah
ditemukan pada sindrom Sjogrens, artritis reumatoid.
Peningkatan kadar anti dsDNA menunjukkan peningkatan
aktivitas penyakit. Pada SLE,anti dsDNA mempunyai
korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktivitas
penyakit SLE. Pemeriksaan anti dsDNA dilakukan dengan
metoderadioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae
immunofluoresens.
Antihiston (Nukleosom)
Antibodi antihiston merupakan suatu antibodi terhadap
komponen protein nukleosom yaitu kompleks DNAprotein (suatu substruktur dari inaktif kromatin transkripsi).
Potein histon terdiri dari Hl,H2A,H2B,H3 dan H4.Antibodi
ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan ELISA, indirect
immuno~uoresenceatau imunoblot. Pada 50-70% LES
terdapat antibodi antihiston terutarna terhadap protein H1,
H2B diikuti H2A, H3 serta H4, dan biasanya berhubungan
anti dsDNA.Antibodi inijuga ditemukan pada lupus induksi
obat dan berhubungan dengan anti ssDNA. Antibodi
antihiston juga ditemukan dengan kadar yang rendah pada
artritis reumatoid, artritis reumatoid juvenile, sirosis bilier

primer, hepatitis autoimun, sklerodenna,Epstein Barr virus,


penyakit Chagas, schizofrenia, neuropati sensorik,
gammopati monoklonal dan kanker.
Anti-Ku
Anti-Ku adalah suatu antibodi terhadap antigen Ku yang
terdapat pada kromatin 10s. Anti-Ku terdapat pada
scleroderma-polymyositisoverlap syndrome.Anti-Kujuga
ditemukan pada 20-40% serum pasien LES, > 20% pada
pasien hipertensi pulmonal primer dan > 50% serum pasien
penyakit Graves.
Anti snRNP
Anti snRNP adalah suatu auto antibodi terhadap partikel
small nuclear ribocleoprotein dari RNA. Anti-Sm dan anti
U1 snRNP tennasuk golongan anti snRNP. Anti U1 snRNP
memiliki hubungan klinis sebagai petanda untuk MCTD
dan dijumpai 30-40% pasien SLE.Anti Sm mempunyai
spesifisitas yang tinggi terhadap SLE (spesifisitas
99%),walaupun hanya ditemukan pada 20 -30% pasien SLE.
SS-Alanti Ro
Antibodi ini mempuyai spesifisitas yang berbeda terhadap
partikel ribonucleoproteinyaitu partikel ribonucleoprotein
60 kD dan 52 kD. Antibodi Ro ditemukan pada 40-95%
sindroma Sjogren dengan manifestasi ekstraglandular
(keterlibatan neurologis, vaskulitis, anemia, limfopenia,
trombositopenia) dan 40% pasien SLE.
SS-Blanti La
Targen antigen oleh antibodi ini adalah partikel ribonucleoprotein 47 kD yang mempunyai peranan dalarn proses
terminasi transkripsi RNA polimerase 111. Antibodi ini
dijumpai pada 80% pasien sindroma Sjogren, 10% pasien
SLE'&-n 5% pasien skleroderma

Scl70 atau Anti Topoisomerase 1


Topoisomerase 1 merupakan antigen yang terdapat dalam
sitoplasma.Anti topoisomerase 1terdapat pada 2240% pasien
skleroderma dan 25-75% pasien sklerosis sistemik.Secara
umum anti tropoisomerase 1merupakan faktor pediktor untuk
keterlibatan kulit yang difus, lama penyakit atau hubungan
dengan kanker, fibrosisparu, timbulnya parut (scar)pada jari
jari dan keterlibatan jantung.
Antisentromer
Antibodi antisentromer mempunyai target pada proses
mitosis. Antisentromer ditemukan pada 22-36% pasien
sklerosis sistemik.Antisentromer mempunyai korelasi yang
erat dengan fenomena Raynauds, CREST (Calcinosis,
Raynauds phenomenon, esophageal dysmotility,
sclerodactily dan telengiectasia)

PEMERIKSAANKOMPLEMEN
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang
tidak spesifik.Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam
keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen,
kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai
mediatoryang aktif untuk menghancurkA antigen tersebut.
Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang
terdiri dari & 20 protein palasma dan bekerja secara berantai
(sevamplifying) seperti model kaskade pembekuan darah
dan fibrinolisis: Komplemen sudah ada dalam serum
neonatal, sebelum dibentuknya IgM. Dalam mobilitas
elektroforesis,termasuk kelompok alfa dan beta globulin.
Komplemen dihasilkan terutama oleh sel hati dan beredar
dalam darah sebagai bentuk yang tidak aktif (prekursor),
bersifat termolabil. Pengaktifan, berlangsung kelalui dua
jalur, yaitujalur klasik (imunologk)danjalur alternatif (nonimunologik). Kedua jalur berakhir dengan lisis membran
sel atau komplek Ag-Ab. Jalur klasik diprakarsai oleh :CIq,
Clr, Cls, C4 dan C2. Sedangkan jalur alternatifnya
dicetuskan oleh properdin, faktor B, faktor D dan ~ 3 .
Terminal penghancur kedua jalur tersebut ialah C5-9.
Aktivasi ini, masih diimbangi oleh beberapa protein
pengatur yaitu inhibitor C1, inaktivator C3b, protein
pengikat C4, dan faktor H. sebagai konsekuensi biologik
dari aktivitas membranolisis ini dilepaskan berbagai
subkomponen dari beberapa komponen yaitu:
Aktivitas kemotaktik oleh C3a, dan Anafilatoksin oleh
C3a clan C5a, yang melepaskan histamin dari basofil
ataupun mastosit dan seritinin dari platelet.
Aktivasi seperti kinin oleh C2 dan C4, yang bekerja
meningkatkan permebilitas vaskular dalam sisteh
arnplikasi humoral
Memacu fagositosis oleh C3b

Komplemen
clq
Clr
CIS
CI-INH
C4

Penyaklt
SLE, glomerulonefritis, poikilodema
kongenital
SLE, glomerulonefritis, lupus like
syndrome
SLE
SLE,lupus diskoid
SLE,rheumatoid
vasculitis,dermatomyositis.lgA

nephropathy, subacute sclerosing


panecephalitis.sclerodema,sjogrens

C2

syndrome,grave disease
SLE, discoid lupus, polymyositis, HenochSchonlein purpura,Hodgkins
disease,vasculitis,glomerulonefritis,hypog

C3
C5
C6

C7
C8
C9

ammaglobulinemia
Vasculitis, lupus like syndrome.
glornerulonefritis
SLE, infeksi Neisseria
infeksi Neisseria
SLE, rheumatoid arthritis, Raynauds
phenomenon, sclerodactyly, vasculltis,
infeksi Neisseria
SLE ,infeksi Neisseria
infeksi Neisseria

Fagositosis dapat terjadi terhadap kompleks AgAb-C3b, karena pemilikan reseptor C3b pada sel
neutrofil, makrofag, trombosit dan sel B. ha1 ini
memeperbesar bangunan ikatan kompleks tersebut .
sehingga lebih mempermudah pengenalan benda asing
tersebut yang akhimya mempercepat aksi pembersihan.
Dengan demikian C3b mempunyai efek ganda yaitu di
samping sebagai trigger dalam menggiring proses
penghancuran melalui jalur alternatif, juga sebagai
opsonin dalam memacu proses fagositosis. Konsentrasi
C3 dan C4, ditemukan meningkat dalam cairan saku gusi
dari gingiva yang meradang. Jadi komplemen mampu
menyingkirkan kuman setelah bergabung dengan antibodi.
Pada SLE, kadar C 1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah,
tetapi pada lupus kutaneus normal.Penurunan kadar
kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE
terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada
pasien dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen
terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.

REFERENSI
Breedveld F. New Insight in the pathogenesis of RA. J. Rheumatol
25; 1998: 3-7.
Cohen A S. Laboratory diagnostic procedures in the rheumatic
diseases. Gmne & Stratton, Inc. Sidney, Tokyo 1985.
Dunne J. V, Carson DA, Spiegelberg H, dkk. IgA Rheumatoid factor
in the sera and saliva of patient, with RA and Sjogren syndrom.
Ann. Rheum Dis. 38; 1979:161.
Edmonds J. Immunological Mechanism and Investigations, in
Rheumatic Disorders Med Int. 1985:896-900
Feltkamp TEW. Immunopathogenese van Rheumatoide arthritis.
Het Medischyaar 1981. Utrech : Scheltme & Holkema, 1980:
452-464.
Klein F, Bronsveld W, Norde W, dkk. A modified Latex Fixation Test
of the detection of Rheumatoid factors. J Clin Path 1979; 32: 90.
H H Chng. Laboratory test, in rheumatic diseases Singapore med J.
1991; 32: 272-275.
Klippel JH, Crofford LJ, Stone JH, Weyand CM in Primer on
Rheumatic Disease 12Ih ed,Atlanta,Arthritis Fondation 2001.
Kalim H, Handono K, Arsana PM ed in Basic Immuno Rheumatology, Malang, Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, 200
Maddison, P J. the use of the laboratory in diagnostic rheumatology.
Proc 4Ih Asean congress of rheumatology Singapore 1993:
117-122.
Monestier. M, Bellon B, Manheimer dkk, Rheumatoid factor Ann N
Y Acad. Sc 475; 1986: 107.
N.G. Suryadhana. dkk Membandingkan hasil lateks dan tes
hemaglutinasi dalam diagnosis penyakit reumatoid arthritis.
Kopapdi V, 1981: ha1 1675-1691.
Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Budd RC, Sergent JS in Kelleys
Textbook Of Rheumatology 6'h ed,Philadelphia,WB saunders
Company,2001.
Roitt 1. Essential Immunology. Oxford: Blackwell Science. 1997:
399-405
Rose NR. The use of autoantibodies. In. Peter JB, Shoenfeld Y, eds:
Autoantibodies. Elsevier Sciences B.V. 1996: xxvii-xxix

PEMEWWAN CPR,FAKTOR REUMATOID,IA


-

DAN KWWUMW

Suryadhana N G. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit sendi,


bull Rheumatol ind. 1994; 1: 7-1 1.
Suryadhana N G clan Nasution A R. Mekanisme dan pemeriksaan
imunologi pada penyakit sendi. MKI 1993; 43: 24 - 29.
Suryadhana. dkk Hubungan titer FR dengan keaktifan penyakit.
Kopapdi VI, Jakarta 1984 page 2040-2044
Siegert CE, Daha MR, Tseng CM, Coremans IE, Es LA van, Breedveld
FC. Predictive value of IgG autoantibodies against C l q for
nephritis in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis 1993;
52: 851-6.
Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA in Current Medical
Diagnosis & Treatment 43' ed, Lange Medical Books/McGiawHi11,2004.

2471

Tighe H dan Carson DA. Rheumatoid factors. Dalam : Kelley's.


Textbook pf rheumatology. WB. Saunders Co. Tokyo. 1997 : p
24 1-249
Tan E M. Role of autoantibodies: Diagnostic markers, immune
system reporters and initiator of pathogenesis. Proceeding 9th
APLAR Congress. Beijing: Chinese Rheumatology Association.
2000: 10-19.
Yanossy. G, Duke 0.Poultier L.W dkk. RA : A Disease of T
Lymfhosyte I Macrophage immunoregulation Lancet 2;
1981:839.

PEMERIKSAAN PENCITRAAN
DALAM BIDANC REUMATOLOCI
Zuljasri Albar

PENDAHULUAN
Teknik pencitraan dapat membantu penegakan diagnosis,
memungkinkan penilaian aktivitasiberatnya penyakit,
distribusi penyakit, respons terhadap pengobatan secara
obyektif, menilai komplikasi dan kelainan ekstra-artikuler
serta meningkatkan pemahaman bam tentang proses
penyakit. Beberapa pemeriksaan pencitraan yang penting
dalam bidang reumatologi ialah foto polos, tomografi,
computerizedtomography (CT-scan), magnetic resonance
imaging (MRI), ultrasound, radionuclide imaging,
artrografi, pengukuran densitas tulang dan angiografi.
Sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang
keuntungan dan keterbatasan pemeriksaan di atas,
sehingga dapat diketahui pemeriksaan mana yang paling
tepat dan paling cost-effective. Di bawah ini akan
dibicarakan teknik pencitraan dasar dengan melihat aspek
spatial dan resolusi (yang menentukan struktur mana yang
dapat dilihat dengan baik), dosis radiasi terhadap pasien,
kemudahan didapat, tingkat keahlian yang diperlukan
untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan dan
pemakaian spesifik dalam menilai keluhan dan gejala
muskuloskeletal.

FOTO POLOS
Pemeriksaan foto polos mempakan titik tolak sebagian
besar pemeriksaan pencitraan penyakit-penyakit reumatik
walaupun mungkin setelah itu akan dilakukan pemeriksaan
MRI.Biayanya murah dan resolusi spatial tinggi, sehingga
detil trabekula dan erosi kecil tulang dapat dilihat dengan
baik. Jika diperlukan, resolusi dapat ditingkatkan dengan
teknik pembesaran. Resolusi kontrasnya memang tidak
sebaik CT-scan atau MRI. Keterbatasan ini terutama

dirasakan jika kita ingin mengevaluasi jaringan lunak.


Meskipun foto polos mempakan sarana yang berguna
untuk menilai pengamh massa jaringan lunak terhadap
tulang yang berdekatan atau untuk mendeteksi kalsifikasi
dalam jaringan lunak, teknik ini tidak cocok untuk
mengevaluasi jaringan lunak.
Dosis radiasi yang dihasilkan pada pemeriksaan
struktur perifer seperti tangan dan kaki relatif rendah,
sehingga pemeriksaan serial dapat dilakukan tanpa hams
kuatir terhadap radiasi yang berlebihan. Dilain pihak,
pemeriksaan terhadap struktur sentral seperti vertebra
lumbal dan bagian lain tubuh mengakibatkan radiasi dosis
tinggi terhadap pasien. Kedekatan dengan kelenjar kelamin
dan sumsum tulang meningkatkan potensi timbulnya efek
yang merugikan terhadap pasien. Sedapat mungkin daerah
panggul perempuan hamil atau yang masih dapat hamil
tidak terkena radiasi. Demikian juga radiasi terhadap anakanak hendaklah diusahakan seminimal munglun. Jikapada
pasien ini memang diperlukan pemeriksaan radiologii, ahli
fisika radiasi &pat menghitung dosis radiasi minimum yang
diperlukan untuk pemeriksaan pencitraan. Prinsip dasar
ini berlaku untuk semua jenis pemeriksaan pencitraan.
Pemeriksaan radiologi konvensional mudah didapat
dan menyenangkan. Tambahan lagi, pengetahuan tentang
kelainan radiologi (konvensional)pada bermacam-macam
penyakit reumatik sudah banyak diketahui dan sudah
tersebar luas.

Teknik ini sangat berguna untuk pemeriksaan daerah


dengan anatomi yang kompleks, dimana struktw yang
berhimpitan akan mengaburkan gambaran anatomi.
Biayanya harnpir sarna dengan CT-scan. Resolusi struktur

PEMEW(SAAN PENCITRAAN DALAM BIDANG REUMAMLOGl

tulang sedikit lebih baik, sedangkan visualisasi jaringan


lunak jauh lebih buruk. Dosis radiasi lebih tinggi daripada
CT-scan. Dalam praktek, teknik ini telah digantikan oleh
CT-scan.

COMPUTED TOMOGRAPHY

Meskipun relatif mahal, CT-scan lebih murah daripada MRI.


Resolusi spatial lebih baik daripada MRI, tetapi lebih buruk
daripada foto konvensional. CT-scan dapat memperlihatkan
kelainan jaringan lunak lebih baik daripada foto
konvensional, walaupun tidak sebaik MRI. CT tersebar
luas dan banyak dokter dapat membaca hasil fotonya.
CT-scan merupakan teknik yang sangat baik untuk
mengevaluasi penyakit degeneratif diskus intervertebralis
dan kemungkinan herniasi diskus pada orang tua.
Penekanan tulang pada kanalis spinalis dan foramen
intervertebralis lebih mudah dievaluasi daripada MRI.
Mielografi CT dan CT-scan dengan bahan kontras intravena
merupakan teknik tomografi lain yang digunakan untuk
mengevaluasi penyakit diskus intervertebralis dan kelainan
vertebra lain. MRI lebih disukai sebagai pilihan
kedua-setelah foto polos-untuk menyelidiki penyakit
diskus intervertebralis,tetapi CT-scan merupakan alternatif
yang baik dan mungkin bermanfaat pada situasi di mana
keterangan lebih lanjut tentang osteofit sangat diperlukan.
CT-scan juga bermanfaat untuk mengevaluasi struktur di
daerah dengan anatomi yang kompleks di mana struktur
yang saling berhimpitan menyulitkan pandangan pada foto
konvensional. Misalnya koalisi talokalkaneus yang tidak
dapat dilihat pada foto konvensional, sakroilitis (terutama
yang disebabkan infeksi) dan kolaps kaput femoris akibat
osteonekrosis yang memerlukanjoint replacement. Sendi
sternoklavikular yang sangat sulit dilihat dengan foto
konvensional, cukup jelas terlihat dengan CT-scan.
Dosis radiasi CT-scan relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan satu foto konvensional pada daerah yang sama.
Tetapi dosis radiasi ini sebandingjika diperlukan beberapa
foto konvensional pada satu daerah. Akibatnya, dosis
radiasi lebih rendah daripada tomografi konvensional pada
banyak keadaan.
Berhubung sejumlah penyakit reumatik berkaitan
dengan kelainan paru-paru, cukup beralasan bahwa
pemeriksaan CT-scan dengan resolusi tinggi pada
paru-paru dapat memperlihatkan detil penyakit yang tidak
dapat dilihat dengan CT-scan irisan tebal. Terlihatnya
infiltrat 'ground glass' menunjukkan proses aktif yang
mungkin memberikan respons terhadap pengobatan.

MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)

MRI membawa keuntungan besar bagi pencitraan


muskuloskeletal karena kesanggupannya memperlihatkan

struktur jaringan lunak yang tidak dapat diperlihatkan oleh


pemeriksaan radiologi konvensional. Teknik ini
memperoleh informasi struktur berdasarkan densitas
proton dalam jaringan dan hubungan proton ini dengan
lingkungan terdekatnya. MRI dapat memberi penekanan
pada jaringan atau status metabolik yang berbeda-beda.
Dengan perkataan lain, pencitraan yang berbeda dapat
diperoleh dari tempat anatomi yang sama dengan
mengubah parameter tertentu.
MRI relatif lebih mahal daripada pemeriksaan
pencitraan lain, terutama karena harga peralatan dan waktu
yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan.
Di masa depan, perlu dipertimbangkan pengurangan
sekuens pencitraan sehingga dapat menurunkan biaya
pemeriksaan. Juga perlu dikembangkan sekuens pencitraan
yang lebih cepat, yang dapat mengurangi waktu dan biaya
MRI di samping memungkmkanstudi dinamika gerakan sendi.
MRI bebas dari bahaya ionisasi akibat radiasi, suatu
keuntungan besar dalam memeriksa bagian sentral tubuh
di mana pemeriksaan radiologi menimbulkan dosis radiasi
yang tinggi. Meskipun demikian, ada juga beberapa
bahayanya. Medan magnet yang kuat dapat menggerakkan
obyek metal seperti logam asing dalam mata, menyebabkan
gangguan alat pacu jantung, memanaskan bahan logam
sehingga menimbulkan luka bakar dan menarik bahan
logam kedalam magnet. Bahan logam yang berdekatan
dengan medan magnet juga dapat mempengaruhi kualitas
pencitraan MRI. Karena itu, operator MRI hams menyaring
pasien dan pengunjung lain dengan teliti. Kadang-kadang
pasien kurang cocok dengan gadolinium, suatu bahan
kontras yang digunakan pada pemeriksaan MRI. Akhirnya,
pasien perlu dilengkapi dengan proteksi telinga karena
pengaktifan medan magnet menimbulkan bising.
Struktur jaringan lunak sendi seperti meniskus dan
ligamen krusiatum lutut dapat diperlihatkan dengan jelas.
Jaringan sinovium juga dapat dilihat, terutama dengan
menggunakan bahan kontras paramagnetik intravena
seperti gadolinium. Demhan juga kelainan lain seperti ehsi
sendi, kista poplitea, ganglioma, kista meniskus dan
bursitis dapat dilihat dengan jelas dan intergritas tendo
dapat dinilai. MRI makin populer untuk mengevaluasi
ligamen antara tulang-tulang karpal dan fibrokartilago
trianguler.
Kalsifikasijaringan ikat terlihat tidak sebaik foto biasa
karena pancaran sinyal yang rendah. Mula-mula diduga
bahwa tulang yang juga mempunyai pancaran sinyal yang
rendah akan menimbulkan problem. Tetapi karena sumsum
tulang yang mempunya sinyal tinggi, MRI menjadi sangat
sensitif untuk mendeteksi kelainan tulang. Dalam praktek,
mikrofraktur akibat trauma atau stres sering disebut bone
bruises tidak dikenal sebelum MRI. Sekarang, keberadaan
mikrofraktur ini penting untuk diketahui. Sebagai contoh,
kebanyakan nyeri yang menyertai robekan meniskus akut
mungkin disebabkan oleh mikrofraktur yang ditemukan
bersama-sama. Ketika mikrofraktur menyembuh, nyeri

hilang walaupun robekan meniskus masih ada. Penemuan


ini mempunyai pengaruh penting dalam pengobatan. Ini
juga membantu menerangkan mengapa MRI lutut pada
usia tua sering menunjukkan robekan meniskus yang
asimtomatik. Mikrofrakturjuga mempunyai hubungan erat
dengan cedera ligarnen.
Setelah foto polos, MRI merupakan cara yang bagus
untuk mempelajari tulang belakang dan isinya seperti pada
kasus tersangka hemiasi diskus intervertebralis terutama
pada pasien muda karena tidak menimbulkan ionisasi.
MRI merupakan sarana terbaik untuk mendiagnosis
osteonekrosis. Osteonekrosis dapat menyerupai penyebab
lain nyeri sendi, terutama sendi panggul. Pada masa awal
penyakit, foto polos tidak menunjukkankelainan. MRI juga
merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi luasnya
neoplasma jaringan lunak dan tulang, dan telah
menggantikan CT-scan dalam ha1 ini, meskipun foto polos
tetap merupakan cara terbaik untuk mendiagnosis tumor
tulang. CT-scan mungkin juga bermanfaat dalam
mengidentifikasikarakteristikkalsifikasi matriks yang akan
membantu diagnosisjenis tumor.
MRI sensitif terhadap adanya infeksi tulang karena
perubahan sinyal sumsum tulang. Ini merupakan pilihan
yang baik untuk mengevaluasi daerah tertentu yang
diduga terkena osteomielitis, meskipun radionuclide bone
scan lebih disukai untuk penilaian proses hematogenik
yang multifokal. MRI juga dapat mengidentifikasi abses
jaringan lunak.
Kelainan otot seperti robekan dan memar dapat
diidentifikasi dengan MRI. Aktivitas masing-masing otot
selama gerakan sendi dapat dipelajari dengan
memperhatikan perubahan sinyal yang terjadi selama
aktivitas otot. MRI merupakan pemeriksaan terpilih untuk
mengevaluasi osteokondritis disekans jika kita ingin
mengetahui apakah sebuah hgmen tulang terlepas atau tidak.
Perubahan rawan sendi dapat dilihat dengan MRI.
Tetapi hams diingat bahwa penemuan kelainan minimal
hanya bermanfaat secara klinis jika ha1 ini mengubah
pengobatan yang diberikan. Pengobatan medikamentosa
biasanya diteruskan sampai diperlukan penggantian sendi,
yang dapat didiagnosis dengan foto polos biasa.
Pada keadaan tertentu, MRI merupakan pilihan pertarna
yang cost efective dalam menilai sendi lutut di mana diduga
terdapat kerusakan internal, karena artroskopi terbukti tidak
perlu pada sebagian besar kasus.

Tehik ini merupakan cara yang mudah untuk melihat pola


keterllbatan sendi dan keadaan aktivitas penyakit. Sintigrafi
setelah pemberian intravena beberapa bahan seperti 99m
teknisiurn metilen difosfat (99mTc MDP) untuk sken tulang,
99mTc sulfur koloid untuk sken sumsum tulang, galium
sitrat (67Ga sitrat) dan leukosit yang diberi label dengan

Indium (111In-labeled WBCs) berguna untuk


mengevaluasi berbagai macam kelainan muskuloskeletal.
Biaya pemeriksaannya hampir sama dengan CT-scan dan
dosis radiasinya sebanding dengan pemeriksaan CT-scan
abdomen. Sintigrafi cukup sensitif untuk menemukan
banyak proses penyakit, dan seluruh tubuh dapat diperiksa
sekaligus. Tetapi t e h i k ini tidak spesifik karena sejurnlah
proses penyakit dapat menyebabkan akumulasi
radionuklid. Jika terdapat daerah dengan uptake yang
meningkat, sering diperlukan pemeriksaan tambahan
seperti pemeriksaan radiologik untuk meningkatkan
spesifisitas guna mengidentifikasi jenis kelainan. Pada
situasi Minis di mana kelainan tulang tidakjelas, sken tulang
mungkin berguna untuk menyingkirkan penyakit.
Sendi yang terkena oleh proses inflamasi atau
degeneratif menunjukkan uptake yang meningkat dan
dapat memetakan luas penyakit dalam 1 kali pemeriksaan.
Secara umum ini tidak selalu berguna, tetapi mungkin
bermanfaat pada keadaan tertentu. Misalnya pada pasien
dengan artritis inflamasi dan kelainan yang luas pada
pemeriksaan radiologik, sintigrafi dapat membantu
menentukan daerah di mana terdapat inflamasi aktif. Sken
tulang merupakan pilihan yang masuk aka1 untuk
penemuan dini osteonekrosis jika tidak ada MRI. Sken
tulang juga dapat mendeteksi cedera akibat stres seperti
avulsi tendo, fraktur akibat stres, shin splints yang kadangkadang menyerupai keluhan artritis.

USG memberikan informasi unik dengan menimbulkan


gambaran berdasarkan lokasi interface akustik dalam
jaringan. Relatif murah, mudah didapat dan bebas dari
bahaya radiasi. Resolusi spatial sama dengan CT-scan dan
MRI, bergantung kepada transducer. Tetapi resolusi
dibatasi oleh dalamnya jaringan yang diperiksa. Resolusi
jauh lebih baik pada jaringan superfisial.
Salah satu kekurangan USG ialah ketergantungannya
kepada operator. Seorang peneliti tidak selalu dapat
mengulang hasil pemeriksaan peneliti lain. Karena USG
tidak memiliki gambaran potong lintang yang lengkap
untuk menentukan orientasi, sulit bagi orang
yang tidak hadir pada waktu pemeriksaan dilakukan
menginterpretasikan hasil pemeriksaan orang lain.
Pada beberapa pusat pemeriksaan telah terbukti bahwa
USG dapat mendeteksi robekan rotator cufdengan tepat.
Hasilnyajuga baik dalam mengevaluasipenumpukan cairan
seperti efusi sendi, kista poplitea dan ganglioma, sehingga
dapat dipakai untuk menuntun aspirasi cairan sendi maupun
ditempat lain. Tendo yang terletak superfisial seperti tendo
Achiles dan patela dapat diperiksa untuk kemungkinan
adannya robekan.
USG sangat baik untuk membedakan tromboflebitis
dengan pseudotromboflebitis. Dengan teknik real-time

dan penekanan, trombosis vena dan kista poplitea dapat


diidentifikasi.
USG tampak menjanjikan untuk evaluasi osteoporosis. Hantaran gelombang melalui tulang memberikan
informasi tentang struktur mikrotrabekula yang berkaitan
dengan kekuatan tulang, tetapi tidak dapat dinilai langsung
dengan teknik radiografi. Informasi ini salingmelengkapi
dengan informasi tentang komposisi mineral tulang dalam
mengevaluasi risiko ffaktur pada pasien. USG juga telah
dipakai untuk menilai sifat permukaan rawan sendi.

ARTROGRAFI
Pada artrografi diperlukan suntikan bahan kontras kedalam
sendi, diikuti oleh pemeriksaan radiologi. Pada artrografi
konvensional, ruang sendi diisi dengan bahan kontras
yang mengandung yodium dan kadang-kadarig udara.
Biaya pemeriksaan lebih mudah daripada CT-scan atau
MRI dan dapat dilakukanjika tersedia fluoroskopi. Tetapi
kenlungkinan masuknya bakteri kedalam sendi atau adanya
reaksi terhadap bahan kontras atau anestesi lokal hams
dipertimbangkan, meskipun komplikasi ini sangatjarang.
Salah satu alasan utama melakukan artrografi ialah
untuk memeriksa struktur dalam sendi seperti meniskus
sendi lutut yang tak dapat dilihat dengan pemeriksaan
radiologi konvensional. Sekarang struktur ini sudah dapat
dilihat secara non-invasif dengan MRI. Meskipun
demikian, masih ada ha1 tertentu yang memerlukan
artrografi.
Artrografi konvensional menggunakan bahan kontras
yang mengandung yodium, baik sendiri maupun
dikombinasikan dengan udara dapat dengan tepat
mendeteksi robekan total rotator cufl CT-scan dapat
ditambahkan pada artrogram udara kontras (artrografi CT),
memberikan hasil yang sangat baik untuk mempelajari
labrurn glenoidalis yang sebanding dengan atau mungkin
lebih baik daripada MRI.
Artrogram lutut dapat memastikan diagnosis kista
poplitea dan memungkinkan dilakukannya suntikan
steroid pada waktu yang sama. Teknik ini merupakan
pengganti yang tepat untuk mengevaluasi meniskus pada
pasien klaustrofobia atau pasien yang ukuran badannya
menyebabkan pemeriksaan MRI tidak mungkin dilakukan.
Artrografi pergelangan tangan sangat baik untuk
mengevaluasi integritas fibrokartilago trianguler, ligamen
antara os skafoid dan os lunatum serta ligamen
antara os lunatum dan os trikuetrum. Dalam keadaan ini
sebagian besar klinikus lebih menyukai artrografi daripada

MRI.
Artrografi MRI dilakukan dengan mengembangkan
sendi bahu memakai bahan kontras larutan encer
Gadolinium. Teknik ini telah dipelajari dengan mendalam
dan mungkin meningkatkan ketepatan diagnosis robekan
labrum glenoidalis dan rotator cufl

Artrografi dengan kontras digunakan untuk memastikan


lokasi jarum intraartikuler setelah aspirasi cairan sendi dari
sendi yang diduga terinfeksi. Artrografi merupakan
satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk
memastikan asal spesimen.

DENSITOMETRITULANG
Densitometri tulang digunakan terutama untuk
mengevaluasi osteoporosis. Dua teknik yang akurat dan
telah dipergunakan secara luas ialah dual-energy x-ray
absorptiometry (DEXA) dan quantitative computed
tomography (QCT).
DEXA menggunakan berkas sempit sinar-X yang
mengubah enersi. Sebuah reseptor yang sensitif
mendeteksi fraksi sinar-X yang melintasi tubuh, yang
menghasilkan profil jumlah radiasi yang didefleksikan oleh
tubuh. Karena karakteristik absorpsi tulang dan jaringan
lunak tidak sama pada tingkat enersi sinar x yang berbedabeda, jumlah radiasi yang diabsorpsi oleh tulang dapat
dihitung. Dari hasil ini, jumlah tulang pada jalur sinar x
pada setiap titik sepanjang penyidik dapat ditentukan.
DEXA relatif murah dan radiasinya rendah. Jadi
merupakan pilihan yang baik untuk pemeriksaan yang
hams diulang-ulang. Setiap bagian tubuh dapat diperiksa.
Telah dibuat nilai standar untuk vertebra lumbal dan bagian
proksimal femur, yang merupakan bagian yang paling
banyak dipelajari.
QCT menyidik beberapa vertebra lumbal bersama-sama
dengan sebuah fantom yang berisi materi yang
bone-equivalent dengan konsentrasi yang berbeda-beda.
Dari nilai konsentrasi materi dan pengaruhnya terhadap
pengurangan CT dibuat sebuah kurve standar, dan
kemudian densitas tulang pada setiap lokasi yang disidik
ditentukan dengan merujuk ke kurve standar. Biaya
pemeriksaannya sedang dan dosis radiasi cukup rendah,
meskipun tidak serendah DEXA. Keuntungan teknik ini
ialah dapat mengevaluasi bagian tengah vertebra karena
korteks dan bagian posterior vertebra tidak diukur. Bagian
trabekular lebih cepat terpengaruh dibandingkan dengan
korteks pada waktu terjadi kehilangan massa tulang.

Angiografi berguna dalam mendiagnosis penyakit reumatik


di mana terdapat komponen vaskular. Pada poliarteritis
nodosa, adanya aneurisma kecil yang multipel pada arteri
viseral yang berukuran sedang merupakan gambaran yang
penting. Pada lupus eritematosus sistemik, angiografi
mungkin bermanfaat dalam mendiagnosis keterlibatan
susunan saraf pusat.
Biaya angiografi lebih tinggi daripada MRI dan
merupakan prosedur invasif. Sebaiknya hanya dilakukan

pada situasi tertentu di mana cara lain tidak dapat


memberikan data diagnostik yang diperlukan.
Teknik pencitraan lain yang kadang-kadang dipakai
misalnya:
Sialografi: untuk memperlihatkanpengaruh sindrom sika
terhadap kelenjar ludah dan membedakannya dengan
sumbatan mekanis akibat batu kelenjar ludah.
Tenografi: untuk memperlihatkan ruptur tendo atau
massa akibat hipertrofi sinovium.
Mielografi, radikulografi, ascending lumbar venography dan diskografi : untuk menilai nyeri pinggang atau
penyakit reumatik pada vertebra serfial.
Tennografi:dasarnya ialah pancaran panas infra-merah
dari kulit di atas tulang dan sendi. Aktivitas sinovitis
dan respons terhadap pengobatan dapat dilihat dan
diukur.
Teknik inijuga dapat digunakanuntuk menyelidiki aliran
darah perifer yang berkurang misalnya pada fenomen
Raynaud dan peningkatan aliran darah pada tulang,
misalnya pada penyakit Paget.

Harnpir semua pemeriksaan pencitraan sebaiknya dimulai


dengan foto polos. Sering pemeriksaan foto polos ini saja
sudah cukup. Jika diperlukan informasi diagnostik lain
yang mungkin akan mengubah tindakan klinis, MRI sering
merupakan pilihan kedua. Dalam banyak kasus, hasil
pemeriksaan MRI hams dikorelasikan dengan foto polos
karena MRI tidak dapat memperlihatkan kalsifikasi atau
erosi ringan pada korteks.
Penelitian MRI akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
sering terdapat kelainan anatomi yang tidak berkaitan
dengan keluhan. Karena itu gejala klinis dan kelainan
pencitraan hams dinilai bersama-sama. Pemeriksaan
pencitraan sebaiknya tidak dilakukan, kecuali jika mereka
mempunyai potensi untuk menjawab pertanyaan klinis.
Pada kebanyakan kasus, pemeriksaan pencitraan yang
biayanya murah sudah dapat memberikan informasi yang
diperlukan untuk mengambil keputusan klinis. Jika foto

polos bahu memperlihatkan subluksasi kaput humeri


keatas dan menyentuh bagian inferior akromion, klinikus
&pat memastikan tanpa pemeriksaan MRI bahwa rotator
cufltelah robek dan atrofi. Foto lutut anteroposterior dan
posteroanterior (fleksi) dalam keadaan berdiri baru dapat
memperlihatkan kelainan jika rawan sendi sudah habis,
tetapi tidak dapat memperlihatkan erosi minimal yang
tampak pada MRI.
Akhirnya, sangat penting bagi klinikus untuk bekerja
sama dengan ahli radiologi untuk memutuskan dengan
tepat apa yang diharapkan dari pemeriksaan pencitraan,
lalu menetapkan pemeriksaan apa yang dipilih untuk
memperoleh informasi tersebut. MRI dapat memberikan
banyak informasi dari beragam struktur, sehingga
pemeriksaan MRI secara mendalam mungkin tepat pada
penyakit sendi yang membingungkan. Pada situasi lain,
pemeriksaan MRI standar atau pemeriksaan pencitraan lain
yang lebih sederhanamungkindapat memberikan informasi
diagnostik yang spesifik dalam waktu yang lebih singkat
dengan biaya yang lebih murah.

Bellamy N, Buchanan WW.Clinica1 evaluation in the rheumatic


diseases. 1n:Koopman WJ Editor. Arthritis and allied conditions
a textbook of rheumatology. 13Ih ed., Ba1timore:Williams and
Wilkins; 1997, Vol. I, Ch. 3, p 47-70.
Katthagen B-D. Ultrasonography of the shoulder. New York:Thieme
Med Publ; 1990.
Marcelis S, Daenen B, Ferrara MA. Peripheral musculoskeletal
ultrasound atlas. Dondelinger RF editors, New York:Thieme
Med Publ; 1996.
Peterfy C 4 Genant HK : Magnetic resonance imaging in arthritis.
In: Koopman WJ,editor. Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 13'h ed. Baltimore:Williams and
Wilkins; 1997.p.115-49.
Resnic D, Yu JS, Sartoris D.Diagnostic tests and procedures in
rheumatic diseases - imaging. 1n:Kelley WN editors.Textbook
of rheumatology. 5Ih ed., WB Saunders; 1997.p. 626-86.
Scott Jr WW. Imaging techniques. 1n:Klippel JH, editor. Primer on
the
rheumatic
d i ~ e a s e s l l ' ~ ed.
At1anta:Arthritis
Foundation;1997.p. 106-1 5.
Van Holsbeeck M, Introcaso JH. Musculoskeletal Ultrasound. St.
Louis:Mosby-Year Book; 1991.

Bambang Setiyohadi

Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang


ditandai dengan compromised bone strength sehingga
tulang mudah fiaktur. Osteoporosis merupakan keadaan
yang sering didapatkan karena setelah menopause,
seorang wanita akan kehilangan hormon estrogen didalarn
tubuhnya dan proses resorpsi tulang menjadi tidak
terkendali dan tidak dapat diimbangi oleh proses formasi
tulang. Di Amerika, 44 juta penduduknya mengalami
osteoporosis atau densitas massa tulang yang rendah.
Osteoporosis merupakan keadaan yang serius karena akan
mengakibatkan fiaktur dan meningkatkan angka morbiditas
dan mortalitas. Dianosis osteoporosis sangat mudah
dilakukan, yaitu dengan cara mengukur densitas massa
tulang (Bone Mineral Density, BMD) dan osteoporosis
akan dapat dideteksi lebih dini sebelum fiaktur terjadi.
Pengobatan osteoporosis juga tersedia lengkap saat ini
yang dapat menurunkan risiko fiaktur sampai 50%.
Densitometri tulang merupakan tehnik yang noninvasif yang dapat mengukur kepadatan tulang. Ada
bermacam-macam tehnik densitometri mulai dari yang
sederhana sampai yang canggih. Saat ini yang banyak
digunakan adalah tehnik Dual X-ray absorptiometry

@=I.

Sebelum membicarakan DXA secara lebih detail, ada


baiknya dibicarakan dulu berbagai tehnik densitometri
secara garis besar yang meliputi teknik radiografik, single
energy densotimetry, dual energy densitometry,
quantitative computed tomography dan quantitative
ultrasound.

TeKnik radiografik. Berkembang sebelum densitometer


kuantitatif berkembang seperti saat ini. Tehnik ini
membandingkan gambaran tulang pada film radiografik

yang lebih terang dibandingkan dengan sekitarnya yang


lebih gelap. Pada tulang yang mengalami demineralasisi,
gambarannya akan lebih gelap mendekati gambaran
jaringan lunak. Walaupun dernikian, dibutuhkan kehilangan
massa tulang mkinimal30% agar didapatkan gambaran yang
jelas pada pemeriksaan radiologik konvensional. Karena
metode ini tidak sensitif, maka dikembangkan metode
pengukuran secara radiologik yaitu dengan cara
absorpsiometri radiografik uotodensitometri) dan
radiogrametri. Pada tehnik absorpsiometi radiografik,
keabu-abuan gambaran radiografik dikalibrasi dengan
menggunakan potongan alumunium atau hidroksiapatit
yang berbentuk baji yang diletakkan dipermukaan film dan
difoto bersama dengan obyeknya. Sedangkan tehnik
radiogrametri mengukur ketebalan korteks tulang pada film,
biasanya diambil tulang-tulang tangan, humerus atau
radius. Yang tersering diambil adalah pada mid-metakarpal 11.
Single Energy Densitometry. Tehnik ini menggunakan
gelombang radiasi yang melalui lengan bawah distal dan
dibandingkan antara radiasi yang dipancarkan oleh alat
(radiasi insiden) dengan radiasi yang keluar setelah melalui
obyek (disebut radiasi tarnsmisi) sehingga didapatkan
penipisan radiasi (atenuasi) karena diserap oleh obyek
tersebut. Makin tinggi mineralisasi tulang, makin besar
atenuasinya. Densitas massa tulang (Bone Mineral
Density, BMD) diukur dengan cara membagi Bone content
(sesuai dengan atenuasi) &ngan area tulkg yang diukur.
Walaupun demikian, cara ini memiliki beberapa kelemahan,
misalnya :
1. Teknik ini membutuhkan isotop radioaktif sebagai
sumber radiasi yang harganya mahal dan dapat
menghasilkan eror pada pengukuran bila sumber
tersebut diganti. Karena itu tehnik ini disebutjuga Single
photon absorptiometv (SPA).
2. Teknik ini tidak praktis, karena obyek yang akan diukur
harus direndam dalam air debngan tujuan untuk

menghilangkan absorpsi radiasi pada jaringan lunak


yang akan mengganggu pengukuran densitas tulang.
Oleh sebab itu, tehnik ini hanya dapat mengukur
densitas tulang perifer, seperti lengan bawah distal atau
tumit dan tidak dap'at digunakan untuk mengukur
densitas tulang aksial.
Dengan berkembangnya tehnik radiologik, maka
penggunaan isotop sebagai sumber radiasi akhirnya
diganti dengan sinar-X dan tehnik ini disebut Single Xray absorptiometry (SXA).

Dual Energy Absorptiometry. Menggunakan 2 energi


radiasi sehingga pengaruhjaringan lunak dapat dieliminir.
Semula sumber energi yang digunakan adalah isotop
sehingga tehnik ini disebut Dua photon absorptiometry
(DPA), kemudian sumber energinya diubah menjadi sinarX dan teknlk ini disebut DualX-ray absorptiometry (DXA).
Tehnik DXA inilah yang saat ini banyak digunakan, karena
dapat mengukur densitas tulang di daerah lumbal, femur
proksirnal, lengan bawah, dan bahkan total body. Dengan
perkembangan tehnologi, digunakan tehnik fan beam geometry yang dapat meningkatkan waktu scanning.
Quantitative Computed Tomography (QCT),mempakan
satu-satunya tehnik non-invasif yang dapat mengukur
densitas tulang secara 3 dimensi. Hasil dari tehnik QCT
adalah densitas volumetrik (dalam gram/cm3).QCT sangat
baik digunakan untuk mengukur densitas tulang belakang
dan sementara ini belurn dapat digunakan untuk mengukur
area yang lain. Walaupun demiluan, QCT membutuhkan
radiasi yang besar dibandingkandengan DXA, karena DXA
hanya membutuhkan radiasi 1-5 mSv, sedangkan QCT
membutuhkan radiasi sampai 60 mSv.
Quantitative Ultrasound (QUS). Dengan menggunakan
tehnik ultrasonografik,dapat diukur densitas tulang, tetapi
terbatas pada tulang-tulang perifer, rnisalnya tumit,jari atau
lengan bawah. Walaupun demikian, sampai saat ini tidak
jelas, struktur tulang yang mana yang diukur dengan tehnik
ini, mungkin ukuran trabekula atau ukuran kristal atau
struktur lainnya. Walaupun tehnik ini sangat menjanjikan
karena ukurannya yang kecil, waktu scanning yang relatif
cepat dan tidak ada radiasi, tetapi presisinya buruk dan
akurasinyajuga diragukan bila dibandingkan dengan tehnik
sinar-X, sehingga sementara ini hanya digunakan untuk
penapisan massal dan belum digunakan untuk patokan terapi.

DXA merupakan tehnik BMD yang banyak dipakai secara


luas. Di Arnerika sendiri saat ini terdapat sekitar 10.000alat
DXA. Di Indonesia terdapat sekitar 15 alat DXA yang
tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,
Balikpapan dan Makassar. DXA mempakan baku emas
untuk pengukuran BMD yang dapat mengukur tulang-

tulang sentral (aksial) yang meliputi tulang belakang dan


femur proksimal; maupun tulang-tulang perifer seperti
lengan bawah, bahkan dapat mengukur BMD seluruh
tubuh (total body). Data-data epidemiologik osteoporosis dengan menggunakan DXA juga sudah banyak
dipublikasikan dan secara in vitro diketahui berkorelasi
baik dengan kekuatan tulang. Tujuan pengukuran BMD
adalah untuk mendiagnosis osteoporosis, memprediksi
risiko fralctur dan memonitor terapi.
Pada pengukuran BMD dengan DXA, akan didapatkan
nilai BMD areal (dalam satuan gr/cm2),T-score dm Z-score.
T-score adalah perbadingan nilai BMD pasien dengan
BMD rata-rata orang muda normal dan dinyatakan dalam
skore deviasi standard (SD); sedang Z-score
membandingkan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata
orang seusia pasien, juga dinyatakan dalam skore deviasi
standard.
Pada pengukuran BMD spinal (tulang belakang), maka
semua L 1-L4 hams diukur rata-rata BMDnya, kecuali bila
terdapat perubahan struktur atau artefak pada ruas
vertebra yang bersangkutan. Dalam ha1 ini, gunakan 3 mas
vertebra bila 4 mas tidak mungkin, atau 2 ruas bila 3 ruas
tidak mungkin, tetapi tidak dapat diukur bila hanya
digunakan 1 ruas vertebra. Selain itu pengukuran spinal
lateral juga tidak dapat digunakan untuk diagnosis, kecuali
untuk pemantauan, karena memiliki presisi yang lebih buruk
dibandingkan dengan BMD spinal PA, tetapi memiliki
respons yang baik terhadap pengobatan. Pada penyakit
degeneratif (osteoartritis) lumbal atau adanya fraktur pada
mas-mas tulang lumbal, akan menyebabkan BMDnya
lebih tinggi, sehingga dalam ha1 ini mas-mas lumbal yang
mengalami penyakit degeneratif atau mengalami fraktur
tidak dapat ikut dinilai untuk mendiagnosis osteoporosis.
Beberapa artefak lain yang juga dapat mengganggu
penilaian BMD spinal adalah kalsifikasi aorta, larninektomi,
fusi spinal, kontras gastrointestinal, tablet kalsium, batu
ginjal atau kandung empedu, kalsifikasi pankreas, alat-alat
metal yang diimplan kedalam tubuh, kancing baju, dompet,
perhiasan dan lain sebagainya.
Pada BMD panggul, dapat dipilih apakah akan diukur
sisi kiri atau kanan, karena tidak ada perbedaan BMD yang
bermakna. Dari ROI ini yang dapat digunakan untuk
diagnosis adalah BMD yang terendah dari femoral neck,
totalproximalfemur atau trokanter. Ward's area tidak boleh
digunakan untuk diagnosis osteoporosis karena akan
didapatkan hasil positif palsu, karena area Ward pada hasil
DXA hanya menunjukan area kecil di leher femur yang
terendah BMDnya dan tidak sesuai dengan area Ward
secara anatomis. Selain itu BMD pada Wardarea memiliki
presisi dan akurasi yang buruk dan tidak termasuk dalam
kriteria WHO. Selain itu pengukuran rata-rata BMD
panggul kiri dan kanan juga tidak perlu dilakukan, karena
tidak ada data yang menggambarkan nilai rata-rata tersebut
lebih baik untuk diagnosis osteoporosis.

Wanita berusia di atas 65 tahun


Wanita pasca menopause berusia < 65 tahun dengan
faktor risiko
Laki-laki berumur 70 tahun atau lebih
.
Orang dewasa dengan fraktur fragilitas
= Orang dewasa dengan risiko fraktur panggul, misalnya
tinggi badan > 5 t l 7 in, berat badan < 127 Ib, riwayat
merokok, riwayat maternal dengan fraktur panggul.
Orang dewasa dengan penyakit atau kondisi yang
berhubungan dengan densitas massa tulang yang rendah
atau kehilangan massa tulang, misalnya
hiperparatiroidisme, sindrom malabsorpsi,
hemigastrektomi, hipertiroidisme dsb
Orang dewasa yang minum obat-obatan yang potensial
menyebabkan densitas massa tulang rendah atau
kehilangan massa tulang, misalnya glukokortikoid, anti
konvulsan, heparinisasi kronik dsb
Setiap orang yang dipertimbangkan memerlukan terapi
farmakologik untuk osteoporosis
Seseorang dalam terapi osteoporosis, untuk memantau
efek pengobatan
Seseorang yang terbukti mengalami kehilangan massa
tulang yang karena satu dan lain ha1 sehingga tidak
mendapatkan terapi, walaupun sesungguhnya
membutuhkan terapi
.

BMD pasien - BMD rata-rata orang dewasa muda


T-score =
1 SD BMD rata-rata orangdewasa muda

BMD pasien - BMD rata-rata orang seusiapasien


Z-score =
1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien

Z-score yang rendah (< -2,O) mencurigakan kearah


kemungkinan osteoporosis sekunder, walaupun tidak ada
data pendukung. Selain itu setiap penderita harus dianggap
menderita osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada
penyebab osteoporosis sekunder

Bagian-bagian tulang yang diukur (Region of Interest, ROI):


1. Tulang belakang (Ll-L4)
2. Panggul
- Femoral neck
- Total femoral neck
- Trokanter
3. Lengan bawah (33% radius), bila :
- Tulang belakang danlatau panggul tak dapat diukur
- Hiperparatiroidisme
- Sangat obese
Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah
yang digunakan untuk diagnosis osteoporosis

Klasifikasi
Normal
Osteopenia
Osteoporosis
Osteoporosis berat

T-score
-1 atau lebih besar
Antara -1 dan -2,5
-2,5 atau kurang
-2.5 atau kurang damfraktur fragilitas

T-score

Risiko
fraktur

Tindakan

> +1

Sangat
rendah

0 sld +1

Rendah

-1 sld 0

Rendah

-1 sld -2,5

Sedang

<-2,5
tanpa fraktur

Tinggi

<-2,5
dengan fraktur

Sangat
tinggi

Tidak ada terapi


Ulang densitornetri tulang bila
ada indikasi.
Tidak ada terapi
- Ulang densitornetri tulang
setelah 5 tahun
- Tidak ada terapi
- Ulang densitornetri tulang setelah
2 tahun
- Tindakan pencegahan
osteoporosis
- Ulang densitornetri tulang setelah
1 tahun
- Tindakan pengobatan osteoporosis
- Tindakan pencegahan dilanjutkan
- Ulang densitornetri tulang dalarn
1-2 tahun
- Tindakan pengobatan osteoporosis
- Tindakan pencegahan dilanjutkan
- Tindakan bedah atas indikasi
- Ulang densitornetri tulang dalarn
6 bulan -1 tahun

Secara rutin, untuk diagnosis osteoporosis cukup


dilakukan BMD pada ROI spinal dan femur proksimal.
Walaupun demikian, bila kedua ROI tersebut tidak dapat
dinilai atau pada keadaan sangat obese atau pada pasien
hiperparatiroidisme, dapat dilakukan pengukuran BMD
pada lengan bawah. Berbeda engan lumbal maupun femur
proksimal, BMD lengan bawah merupakan prediktor yang
baik untuk menilai densitas tulang kortikal. Pada ROI ini,
pilihlah ROI 33% radius (kadang-kadang disebut 113
radius) pada lengan bawah non-dominan. Kriteria WHO
tidak boleh digunakan untuk menilai BMD perifer, kecuali
pada ROI 33% radius. BMD perifer juga tidak dapat
digunakan untuk memantau hasil terapi, kecuali untuk
menilai risiko fraktur.
ROI lain yang dapat dinilai pada pemeriksaan BMD
adalah total body. BMD total body sangat baik untuk
menilai tulang kortikal, karena 80% rangka manusia terdiri
dari tulang kortikal. Kadang-kadang BMD total body juga
digunakan untuk menilai komposisi tubuh, misalnya lean
body mass, persentase lemak tubuh. Dalam ha1 ha1 yang
terakhir ini diperlukan piranti lunak yang khusus dan
standardisasi tersendiri yang biasanya sudah disediakan
oleh pabrik yang memproduksi mesin BMD yang
bersangkutan. BMD total body juga menjadi pilihan ROI
untuk menilai densitas tulang anak-anak di bawah umur
20 tahun, selain BMD lumbal.
Nilai T-score -2,5 atau kurang, tidak selalu menunjukkan
osteoporosis, karena pada osteomalasia juga akan
memberikan hasil T-score yang rendah. Selain itu,
diagnosis osteoporosis juga dapat ditegakkan walaupun
T-score lebih besar dari -2,5, misalnya bila didapatkan
fraktur vertebra atraumatik. Pada pengguna glukokortikoid

jangka panjang (>6 minggu) atau dosis tinggi (dosis


prednison >7,5 mg/hari), maka terapi dapat dimulai bila
nilai T-score - 1 3 atau lebih rendah. Selain itu nilai T-score
yang rendah juga tidak berhubungan dengan penyebab
osteoporosis, sehingga hams dilakukan evaluasi terhadap
kemungkinan adanya faktor risiko osteoporosis yang
mungkin membutuhkan penatalaksanaantersendiri. Setiap
pasien osteoporosis harus dianggap menderita
osteoporosis sekunder sampai dapat disingkirkan semua
kemungkinan penyebab osteoporosis yang diderita
pasien, apalagi bila didapatkan 2-score -2 atau lebih
rendah.
Mengapa untuk diagnosis osteoporosis digunakan
T-score dan bukan Z-score ?
Nilai T-score berhubungan dengan kekuatan tulang
dan risiko fraktur. Bila digunakan nilai Z-score untuk
diagnosis osteoporosis maka akan didapatkan banyak
hasil negatif palsu walaupun terdapat fraktur fragilitas dan
osteoporosis tidak akan makin meningkat dengan
bertambahnya umur.

PREDlKSl RlSlKO FRAKTUR


Sampai saat ini masih diperdebatkan, apakah BMD yang
endah merupakan prediktor fraktur fragilitas yang penting.
Beberapa faktor risiko fraktur yang lain yang juga hams
diperhatikan adalah tinggi badan >5 ft 7 in, berat badan
<127 lb, merokok dan riwayat maternal dengan fraktur
panggul. Setiap penurunan BMD 1 SD identik dengan
peningkatan risiko fraktur relatif sebesar 1,9-3,O. Tetapi
ha1 ini juga ditentukan oleh umur pasien, karena ternyata
umur di atas 60 tahun merupakan faktor risiko fraktur
tersendiri yang tidak tergantung pada BMD. Pasien
benunur 80 tahun dengan T-score -1,9 akan memiliki risiko
fraktur yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
berumur 50 tahun dengan T-score yang sama. Data risiko
fraktur pada orang berusia lanjut ternyata harnpir sama
pada semua lokasi tulang walaupun lokasi yang diukur
dan mesin yang digunakan berbeda. Oleh sebab itu, hasil
BMD yang rendah pada satu lokasi tulang sudah
menunjukkan penurunan BMD pada tulang-tulang yang
lain. Kekecualian hanyalah pada prediksi risiko fraktur
panggul, karena yang nilai prediksinya paling tinggi hanya
BMD pada femoral neck.
Saat ini diketahui bahwa faktor kekuatan tulang
memegang peran yang sangat penting sebagai faktor risiko
fraktur akibat osteoporosis. Ada 2 variabel yang hams
diperhitungkan yang menentukan kekuatan tulang,
yaitu kuantitas tulang dan kualitas tulang. Kuantitas
tulang meliputi ukuran tulang dan densitas tulang,
sedangkan kualitas tulang meliputi bone turnover,
arsitektur tulang, akumulasi kerusakan tulang, derajat
mineralisasi dan kualitas kolagen pada jaringan tulang
tersebut.

DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS PADA WANITA


PREMENOPAUSAL,LAKI-LAKIDANANAK-ANAK
Kriteria klasifikasi diagnosis osteoporosis tidak dapat
digunakan untuk kelompok wanita premonopausal sehat
(umur 20 tahun sampai usia menopause), laki-laki dan
anak-anak.
Pada wanita pre-menopausal, tidak ada data hubungan
BMD dengan risiko fraktur sebagaimana didapat pada
wanita pasca menopause. Oleh sebab itu, adanya fraktur
pada wanita premenopausal yang disertai BMD yang
rendah sudah cukup untuk mendiagnosis osteoporosis.
Dalarn ha1 ini, nilai Z-score lebih memiliki nilai diagnostik
daripada T-score. Selain itu, osteoporosis pada anita
premenopausal juga dapat didiagnosis bila didapatkan
BMD yang rendah dengan penyebab osteoporosis
sekunder, misalnya pengguna steroid jangka
panjang, pengguna anti konvulsan, hipogonadisme,
hiperparatiroidisme dan sebagainya.
Pada laki-laki yang berumur 65 tahun atau lebih atau
laki-laki yang berumur 50-64 tahun dengan faktor rislko
osteoporosis, maka nilai T-score dapat digunakan untuk
mendiagnosis osteoporosis dan osteoporosis didiagnosis
bila didapatkan nilai T-score -2,s atau lebih rendah. Pada
laki-laki yang berumur 20-50 tahun atau laki-laki yang
berumur 50-64 tahun tetapi tidak memiliki faktor risiko
osteoporosis, maka tidak dapat digunakan T-score untuk
mendiagnosis osteoporosis. Dalam ha1 ini, sama halnya
dengan diagnosis osteoporosis pada wanita
premenopausal, dimana nila Z-score lebih berkorelasi
dengan risiko fraktur daripada nilai T-score. Walaupun
demikian, nilai-nilai ini masih memerlukan standardisasi
lebih lanjut. Diagnosis osteoporosis pads laki-laki yang
berumur <50 tahun tidak dapat hanya didadasarkan pada
nilai BMD. Bila didapatkan risiko osteoporosis sekunder
pada laki-laki pa& setiap umur, maka diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan secara klinis.
Pada anak-anak, baik laki-laki maupun wanita yang
berumur <20 tahun, nilai T-score tidak dapat digunakan
untuk diagnosis osteoporosis, sebagai gantinya
digunakan nilai Z-score. Selain itu, diagnosis
osteoporosis pada anak-anak tidak boleh hanya didasarkan
pada nilai BMD. Terminologi BMD rendah pada anak-anak
ditetapkan bila nilai Z-score <-2,O. Selain itu ROI yang
dianjurkan pada anak-anak adalah lumbal dan total body.
Penggunaan nilai BMD untuk prediksi fraktur pada anakanak sampai saat ini masih belum ditentukan.

BMD SERIAL
BMD serial dilakukan untuk menentukan bilamana terapi
osteoporosis dapat dimulai pada pasien-pasien dengan
risiko kehilangan massa tulang yang bermakna atau
terdapat indikasi untuk terapi osteoporosis.Selain itu BMD

serial juga dapat menilai respons terhadap terapi


osteoporosis. Dalam ha1 ini, pada pasien-pasien yang tidak
memberikan respons yang baik terhadap pengobatan,
dapat dilakukan re-evaluasi terhadap terapi yang diberikan
atau evaluasi terhadap kemungkinan adanya pemyebab
osteoporosis sekunder yang harus diterapi secara terpisah.
Interval BMD serial tergantung pada keadaan klinik pasien.
Pada pasien yang baru mendapatkan terapi atau baru
diubah terapinya, maka BMD ulangan dapat dilakukan
setiap tahun dan bila hasilnya sudah menetap, maka dapat
dilakukan BMD serial tiap 2 tahun. Pada pasien-pasien
dengan risiko kehilangan massa qlang yang besar, seperti
pada pengguna steroid, maka BMD serial dapat dilakukan
lebih cepat, misalnya setiap 6 bulan.
Untuk melakukan BMD serial, setiap Pusat BMD harus
menentukan Least Sign$cant Change (LSC). Selain itu
setiap pergantian sistem DXA atau perubahan operator
BMD,juga harus dihitung presisinya. Bila perubahan BMD
serial sama atau lebih dari LSC yang telah dihitung, maka
perubahan tersebut dianggap bermakna. Pada BMD
serial, yang dibandingkan adalah nilai BMD areal, bukan
nilai T-score. Selain itu BMD yang dilakukan dengan alat
yang berbeda tidak dapat dibandingkan, karena mungkin
berbeda surnber energinya, berbeda kalibrasinya, berbeda
detektomya dan berbeda ROInya.

Gambar

PELAPORAN BMD
Pelaporan hasil pemeriksaan BMD awal dan BMD ulangan
berbeda dan harus diperhatikan baik oleh operator, analis
yang mengevaluasi hasil BMD maupun dokter yang
membaca hasil BMD tersebut.
Pelaporan BMD awal harus meliputi data demografik
(umur,jenis kelamin, ras, tinggi badan, berat badan), dokter
yang meminta pemeriksaan BMD, dokter yang membaca
hasil pemeriksaan BMD, indikasi pemeriksaan, status
menopause pasien, alat BMD yang digunakin, hasil BMD
yang meliputi ROI, BMD areal dalam gr/cm2, T-score,
Z-score, I&teria diagnostik WHO, risiko-fiaktur, anjuran
evaluasi medik untuk mencari kemungkinan penyebab
osteoporosis sekunder, anjuran untuk BMD ulangan
berikutnya.
Pada pelaporan BMD ulangan (serial) harus
dicantumkan ROI yang sebelumnya dan berikutnya yang
dibandingkan, nilai LSC di Pusat BMD tersebut, pelaporan
adanya perubahan yang bemalcna atau tidak, baik dalam
g/cm2 maupun &lam%, dan anjuran untuk pemeriksaan
BMD berikutnya.
Selain itu, pada pelaporan BMD juga dapat
dicantumkan rekomendasi untuk menyingkirkan
kemungkinan etiologi osteoporosis sekunder, evaluasi
laboratorium, identifikasi faktor risiko fraktur dan
kehilangan massa tulang yang cepat, evaluasi radiolog&,
tindakan pencegahan umum dan anjuran terapi.

Gambar 2. Densitornetri lurnbal

Gambar 3. Densitornetri panggul

REFERENSI

Gambar 4. Densitometri lengan bawah

Bonnick SL. Bone Densitometry in Clinical Practice: Application


and Interpretation. Humana Press, 1998, New Jersey.
Bonnick SL, Faulkner KG, Miller PD, McCLung MR. ISCD
Certification Course Clinical Track: Learning objectives, Core
teaching points and Suggested readings. International ociety of
Clinical Densitometry, 2000.
Faulkner KG. Clinical Use of Bone Densitometri. In: Marcus R,
Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis, vol 2, 2nd edition.
Academic Press, San Diego 2001:433-58.
Kanis JA. Assessment of Fracture Risk: Who Should be Screened ?
In: Favus MJ et a1 (eds). Primer on the Mertabolic one Diseases
and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society
of Bone and mineral Research, Washington DC 2003:316-22.
Miller PD, Bonnick SL. Clinical Application of Bone
Densitomeby. In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Mertabolic
one Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed.
American Society of Bone and mineral Research, Washington
DC 1999: 152-9.

NYERI
Bambang Setiyohadi, Sumariyono, Yoga I.
Kasjmir, Harry Isbagio, Handono Kalim

Menurut The International Association for the study of


pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai pengalaman
sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial
akan menyebabkan kerusakan jaringan. Persepsi yang
disebabkan oleh rangsangan yang potensial dapat
menimbulkan kerusakan jaringan disebut nosisepsion.
Nosisepsion merupakan langklah awal proses nyeri.
Reseptor neurologik yang dapat membedakan antara
rangsang nyeri dengan rangsang lain disebut nosiseptor.
Nyeri dapat mengakibatkan impairment dan disabilitas.
Impairment adalah abnormalitas atau hilangnya strvktur
atau fungsi anatomik, fisiologik maupun psikologik.
Sedangkan disabilitas adalah hasil dari impairment, yaitu
keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk melakukan
aktivitas yang normal.
Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang
potensial dapat menyebabkan kerusakan jaringan disebut
nosisepsi, yang merupakan tahap awal proses timbulnya
nyeri. Reseptor yang dapat membedakan rangsang noksius
dan non-noksius disebut nosiseptor. Pada manusia,
nosiseptor merupakan terminal yang tidak tediferensiasi
serabut a-delta dan serabut c. Serabut a-delta merupakan
serabut saraf yang dilapisi oleh mielin yang tipis dan
berperan menerima rangsang mekanik dengan intensitas
menyakitkan, dan disebut juga high-threshold
mechanoreceptors. Sedangkan serabut c merupakan
serabut yang tidak dilapisi mielin.
Intensitas rangsang terendah yang menimbulkan
persepsi nyeri, disebut ambang nyeri. Ambang nyeri
biasanya bersifat tetap, misalnya rangsang panas lebih
dari 50C akan menyebabkan nyeri. Berbeda dengan
ambang nyeri, toleransi nyeri adalah tingkat nyeritertinggi
yang dapat diterima oleh seseorang. Toleransi nyeri
berbeda-beda antara satu individu dengan inhividu lain
dan dapat dipengaruhi oleh pengobatan. Dalam praktek

sehari-hari, toleransi nyeri lebih penting dibandingkan


dengan ambang nyeri.

'rERMINOLOGI NYERI
Alodinia adalah nyeri yang dirasakan oleh pasien akibat
rangsang non-noksius yang pada orang normal,
tidakenimbulkan nyeri. Nyeri ini biasanya didapatkanpada
pasien dengan berbagai nyeri neuropatik, misalnya
neuralgia pasca herpetik, sindrom nyeri regional kronik
dan neuropati perifer lainnya.
Hiperpatia adalah nyeri yang berleblhan, yang ditirnbulkan
oleh rangsang berulang. Kulit pada area hiperpatia biasanya
tidak sensitif terhadap rangsang yang ringan, tetapi
memberikan respons yang berlebihan pada rangsang
multipel. Kadang-kadang, hiperpatia disebutjugadisestesi
sumasi.
Disestesi adalah adalah parestesi yang nyeri. Keadaan ini
dapat ditemukan pada neuropati perifer alkoholik, atau
neuropati diabetik di tungkai. Disestesi akibat kompresi
n e w s femoralis lateralis akan dirasakan pada sisi lateral
tungkai dan disebut meralgia parestetika.
Parestesi adalah rasa seperti tertusuk jarum atau titik-titik
yang dapat timbul spontan atau dicetuskan,misalnya ketika
saraf tungkai tertekan. Parestesi tidak selalu disertai nyeri;
bila disertai nyeri maka disebut disestesi.
Hipoestesia adalah turunnya sensitifitas terhadap
rangsang nyeri. Area hipoestesia dapat ditimbulkan dengan
infiltrasi anestesi lokal.
Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri pada rangsangan
nyeri yang normal. Secara konsep, analgesia merupakan
kebalikan dari alodinia.

Anestesia dolorosa, yaitu nyeri yang timbul di daerah yang


hipoestesi atau daerah yang didesensitisasi.
Neuralgia yaitu nyeri yang timbul di sepanjang distribusi
suatu persarafan. Neuralgia yang timbul di saraf skiatika
atau radiks S1, disebut Skiatika. Neuralgia yang tersering
ddalah neuralgia trigeminal.

sudah tidak ada. Biasanya pasien merasakan rasa seperti


terbakar, seperti tersengat listrik atau alodinia dan
disestesia.
Nyeri psikogenik, yaitu nyeri yang tidak memenuhi knteria
nyeri somatik dan nyeri neuropatik, dan memenuhi kriteria
untuk depresi atau kelainan psikosomatik.

Nyeri tabetik, yaitu salah satu bentuk nyeri neuropatik


yang timbul sebagai komplikasi dari sifilis
Nyeri sentral, yaitu nyeri yang diduga berasal dari otak
atau medula spinalis, misalnya pada pasien stroke atau
pasca trauma spinal. Nyeri terasa seperti terbakar dan
.lokasinya sulit dideskripsikan.
Nyeri pindah (referredpain) adalah nyeri yangdirasakan
ditempat lain, bukan ditempat kerusakan jaringan yang
menyebabkan nyeri. Misalnya nyeri pada infark miokard
yang dirasakan di bahu kiri atau nyeri akibat kolesistitis
yang dirasakan di bahu kanan.

(
Nyeri nosiseptifi

Nyeri somatik

Nyeri viseral

Nyeri
Nyeri neuropatik
Nyeri non-nosiseptif
Nyeri psikogenik

Nyeri fantom yaitu nyeri yang dirasakan paada bagian


tubuh yang baru diamputasi; pasien merasakan seolaholah bagian yang diamputasi itu masih ada.
Substansi algogenik adalah substansi yang dilepaskan
oleh jaringan yang rusak atau dapat juga diinjeksi
subkutaneusdari luar, yang dapat mengaktifkan nosiseptor,
misalnya histamin, serotonin, bradikinin, substansi-P, K',
Prostaglandin. Serotonin, histamin, K
'
, H', dan prostaglandin terdapat di jaringan; kinin berada di plasma;
substansi-Pberada di terminal saraf aferen primer; histarnin
b e d didalam granul-granul sel mast, basofil dan trombosit
Nyeri akut, yaitu nyeri yang timbul segera setelah
rangsangan dan hi@ng setelah penyembuhan.
Nyeri kronik, yaitu nyeri yang menetap selama lebih dari
3 bulan walaupun proses penyembuhan sudah selesai.

KLASlFlKASl NYERl
Nyeri nosiseptif, adalah nyeri yang timbul sebagai akibat
perangsangan pada nosiseptor (serabut a-delta dan
serabut-c) oleh rangsang mekanik, termal atau kemikal.
Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non
viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metastatik, nyeri
tulang, nyeri artritik.
Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ viseral,
biasanya akibat distensi organ yang berongga, misalnya
usus, kandung empedu, pankreas, jantung. Nyeri viseral
seringkali diikuti referred pain dan sensasi otonom, seperti
mual dan muntah.
Nyeri neuropatik, timbul akibat iritasi atau trauma pada
saraf. Nyeri seringkali persisten, walaupun penyebabnya

MEKANISMENYERl
Proses nyeri mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus
noxiuos sampai terjadinya pengalaman subyektif nyeri
adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bisa
dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu: transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi.
Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi
nociceptor oleh stimulus noxiuos pada jaringan, yang
kemudian akan mengakibatkan stimulasi nosiseptor dimana
disini stimulus noxious tersebut akan dirubah menjadi
postensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi
reseptor. Selanjutnya potensial aksi tersebut akan
ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang
berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi
adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu
dorsalis medula spinalis, pada kornu dorsalis ini neuron
aferen primer bersinap dengan neuron susunan sarap
pusat. Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik keatas
di medula spinalis menuju batang otak dan talamus.
Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara talamus
dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi
respons persepsi dan afektif yang berhubungan dengan
nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptifptif tidak selalu
menimbullcan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri
bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptifptif. Terdapat proses
modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri
tersebut, tempat modulasi sinyal yang paling diketahui
adalah pada kornu dorsalis medula spinalis. Proses terakhir
adalah persepsi, dimana pesan nyeri di relai menuju ke
otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak
menyenangkan.

Lower limb

---,

T~nk

Antemlateral

neuron susunan saraf pusat di kornu dorsalis medula


spinalis.
Medula Spinalis
Kornu dorsalis medula spinalis merupakan relay point
pertama yang membawa informasi sensoris ke otak dari
perifer. Gray matter mengandung badan sel saraf dari
neuron-neuron spinalis dan white matter mengandung
axon yang naik atau turun dari otak. Rexed membagi gray
matter menjadi 10lamina. Lamina I - VI terdapat pa& komu
dorsalis dan mengandung interneuron yang merelay
informasi sensoris menuju ke otak .
Pada kornu dorsalis serabut aferen nosisepsi
membentuk hubungan dengan neuron-neuron proyeksi
atau interneuron inhibisi atau eksitasi lokal untuk mengatur
aliran informasi nosisepsi ke pusat yang lebih tinggi.
Terdapat 3 kategori neuron pada korna dorsalis yaitu
neuron proyeksi, interneuron eksitasi dan interneuron
inhibisi. Neuron proyeksi bertanggung jawab untuk
membawa signal aferen ke pusat yang lebih tinggi, yang
terdiri dari 3 tipe neuron yaitu nocicptive-spesiJc cells
(NS), low treshold (LT) neuron dan wide dynamic range
(WDR) neuron.

NEUROTRANSMI'TER PADA KORNU DORSALIS


Dorsal root ganglion

---

Garnbar 1. Mekanisme proses nyeri

Type

Conduction
velocity

(mls)
Aa

Ap
AT
AS
B
C

60-120
50-70
'3570
530
530
<3

Neuron
diameter

Characteristics

~um)
12-22
4-12
4-12
1-5
1.54
< 1.5

Skeletal motor (M)


Touch, vibration, light pressure (M)
lntrafusal proprioception (M)
Primary nociceptive afferent (M)
Autonomic preganglionic(M)
Primary noclceptive afferent (unM)
Autonomic postgangllonic (unM)

Aspek Perifer Nosisepsi


Terdapat 2 tipe serabut saraf aferen primer nosiseptif yaitu
serabut A dan serabut C. Dua b g s i utama serabut saraf
aferen primer adalah transduksi stimulus dan transmisi
stimulus menuju susunan saraf pusat. Badan sel dari
neuron-neuron ini terdapat pada ganglion radix dorsalis.
Axon dari neuron ini memiliki dua cabang yaitu yang
menuju perifer, yang bagian terminalnya sensitif terhadap
stimulus noxious; dan cabang lainya yang menuju susunan
saraf pusat, dimana kemudian akan bersinap dengan

Terdapat banyak neurotransmiter yang berperanan pada


proses nosiseptif di kornu dorsalis. Meskipun
neuropeptida dan asam amino tertentu berperan penting,
tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan adanya
neurotransmiter tunggal untuk nyeri. Distribusi dari
neuropeptida ini bisa berbeda di antara beberapa jaringan.
Misalnya neuron radix dorsalis yang menginervasi viseral
umunmnya umumnya kaya akan substansi P dan CGRP
dibanding dengan yang menginervasi kulit. Stimulus
noxious akan mencetuskan pelepasan glutamat dan dan
beberapa asam amino lain yang terdapat bersama-sama
peptida pada terminal aferen primer.
Glutamat dan aspartat adalah neurotransmiter utama
dalam exitatory transmission pada tingkat spinal. Bahan
ini disimpan pada terminal aferen primer nosiseptor dan
dilepaskan sebagai respons terhadap aktivitas nosiseptif.
Terdapat banyak neurotransmiter inhibitor yang
memodulasi nosisepsi di segrnen kornu dorsalis, seperti
somatostatin, GABA, adenosin, alfa 2 adrenergik, taurin
dan endocanabinoid.
Dari Medula Spinalis Menuju ke Otak
Sinyal nosiseptif yang menuju ke kornu dorsalis di relay
menuju pusat yang lebih tinggi di otak melalui beberapa
jalur yaitu traktus spinotalamikus, yang merupakan jalur
nyeri utama; traktus spinoretikularis dan traktus
spinomesencephalic

Di Tingkat Otak
Terdapat beberapa nukleus pada talamus lateral yaitu
nukleus ventral posterior lateral, nukleus ventral
posterior medial, nukleus ventral posterior inferior dan
bagian posterior dari nucleus ventromedial; serta di daerah
medial talamus yaitu talamus centrolateral, bagian
ventrocaudal dari nukleus dorsomedial dan nukleus para
fasikular yang berperanan pada proses nyeri. Didaerah
kortex cerebri yang memiliki fungsi nosisepsi adalah
korteks somatosensor primer, somatosensor sekunder serta
daerah disekitarnya di parietal operculum, insula, anterior
cingulate cortex. dan korteks prefrontal.

MODULASI NOSISEP'TIF
Terdapat beberapa tempat modulasi nyeri, tetapi yang
paling banyak diketahui adalah pada komu dorsalis medula
spinalis. Eksitabilitas neuron-neuron di medula spinalis
tergantung dari keseimbangan dari input yang berasal dari
nosiseptor aferen primer, neuron intrinsik medula spinalis
dan descending system yang berasal dari supra spinal.

KONTROL SEGMENTAL (SPINAL)


Modulasi pada tingkat spinal aktivitas nosiseptif
melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental,
keseimbangan aktivitas antara input nosiseptif dan input
aferen lainya serta descending control mechanism.
Reseptor opioid merupakan tempat kunci dalam
analgesia. Mekanisme analgesi utama dari opioid adalah
melalui inhibisi presinap dari injuly-evoked neurotransmitter release dari neuron nosiseptif aferen primer (lebih
dari 70% dari total OP3 (%) receptor site terdapat pada
terminal aferen primer). Opioid endogen tampaknya juga
menyebabkan inhibisi postsinap neuron nociresponsive
kornu dorsalis. Transrnisi input nosiseptif pada medula
spinalis bisa dihambat oleh aktivitas segmental dan
aktivitas neuron descenden dari pusat supraspinal. GABA
dan glisin berperan penting pada inhibisi segmental nyeri
di medula spinalis. GABA memodulasi transmisi aferen
informasi nosiseptif melalui mekanisme presinap dan
postsinap. Konsentrasi terbesar GABA adalah pada kornu
dorsalis, dimana disini merupakan neurotransrniterinhibisi
utarna. Mekanisme modulasi informasi nosiseptif glisin di
kornu dorsalis adalah melalui inhibisi postsinap.

Gate Control Theory


Aktivitas neuron di medula spinalis yang menerima input
dari serabut nosiseptif dapat dirnodifikasi oleh input dari
neuron aferen non-nosiseptif. Konsep ini diperkenalkan
oleh Melzac dan Wall pada 1965 sebagai gate control
theoly. Menurut teori ini aktivitas pada serabut aferen AP
menghambat respons neuron kornu dorsalis dari input

serabut A dan serabut C. TENS untuk menghilangkan


nyeri didasarkan pada teori ini.

Kontrol SupraspinallDescendingControl
Kontrol nyeri supraspinal melalui dua jalur yang berasal
dari midbrain (periaqueductal gray matter dun locus
cemleus) dan medula oblongata(nuc1eus raphe magnus
dan nukleus reticularis giganto cellularis). Sistem modulasi
nyeri ini menuju medula spinalis melalui h i k u l u s dorsolateral. Neuron-neuron di rostroventral medula oblongata
membuat koneksi inhibisi pada komu dorsalis lamina I, I1
dan V. Sehingga stirnulasi neuron di rostroventral medula
oblongata akan menghambat neuron-neuron komu dorsalis neuron-neuron traktus spinotalamikus yang
memberikan respons stimulasi noxious. Serabut desenden
lain yang berasal dari medula oblongi\tabn pons juga
berakhir pada kornu dorsalis superfiiial dan menekan
aktivitas nosiseptif neuron kornu dorsalis.
Neurotransmiter utama yang berperanan pada descendingpain control ini adalah serotonin (5-hydroxytryptamine,
5 HT) dan norepineprin (noradrenalin). Neuron-neuron
serotoninergikdan noradrenergik turun melalui funikulus
dorsolateral dari batang otak menuju medula spinalis dan
berakhir pada kornu dorsalis, sangat berperanan pada
modulasi nyeri. Aktivasi Reseptor 2 adrenergik akan
mengakibatkan antinosisepsi. Sejumlah subtipe reseptor
serotoninergik telah diketahui di medula spinalis dan
berberanan dalam transmisi nyeri. Stimulasi elektrik pada
daerah periaqueductal dan nukleus raphe magnus akan
mengakibatkan analgesia melalui pelepasan serotonin dan
norepineprin endogen.

Gambar 2. Teori gate control

NYERl INFLAMASI
Pada proses inflamasi, misalnya pada artritis, proses nyeri
terjadi karena stimulus nosiseptor akibat pembebasan

berbagai mediator bikomiawi selama proses inflamasi


terjadi. Inflamasi terjadi akibat rangkaian reaksi imunologik
yang dimulai oleh adanya antigen yang kemudian diproses
oleh antigen presenting cells (APC) yang kemudian akan
diekskresikan ke permukaan sel dengan determinan HLA
yang sesuai. Antigen yang diekspresikan tersebut akan
diikat oleh sel T melalui reseptor sel T pada permukaan sel
T membentuk kompleks trimolekuler. Kompleks
trimolekuler tersebut akan mencetuskan rangkaian reaksi
imunologik dengan pelepasan berbagai sitokin (IL- 1, IL-2)
sehingga terjadi aktifasi, mitosis dan proliferasi sel T
tersebut. Sel T yang teraktifasi juga akan menghasilkan
berbagai limfokin dan mediator inflamasi yang bekerja
merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas
fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi
sel B untuk memproduksi antibodi.
Setelah berikatan dengan antigen, antibodi yang
dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan
menendap pada organ target dan mengaktifkan sel radang
untuk melakukan fagositosis yang diikuti oleh pembebasan
metabolit asam arakidonat, radikal oksigen bebas, enzim
protease yang pada akhimya akan menyebabkan kerusakan
pada organ target tersebut.
Kompleks imun juga dapat mengaktifasi sistem
komplemen dan membebaskan komponen aktif seperti C3a
dan C5a yang merangsang sel mast dan trombosit untuk
membebaskan amina vasoaktif sehingga timbul
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.
Selain itu komponen komplemen C5ajuga mempunyai efek
kemotaktik sehingga sel-sel polimorfonuklear dan
mononuklear akan berdatangan ke daerah inflamasi.
Sejak tahun 1971, telah diuketahui bahwa produukjalur
siklooksigenase (COX) metabolisme asam arakidonat
mempunyai peranan yang besar pada proses inflamasi.
Terdapat 2 isoform jalur COX yang disebut COX-1 dan
COX-2. Jalur COX-1 mempunyai fungsi fisiologis yang
aktifasinya akan membebaskan eikosanoid yang terlibat
dalam proses fisiologis sepeertiprostasiklin, tromboksanA, danprostaglandin-E, (PGE,). Sebaliknya,jalur COX-2
akan menghasilkanprostaglandinproinjlamatifyang akan
bekerjasama dengan berbagai enzim protease dan
mediator inflamasi lainnya dalam proses inflamasi.
Dalam proses inflamasi, berbagai jenis prostaglandin
seperti PGE,, PGE,, PGI,, PGD, dan PGA,, dapat
menimbulkan vasodilatasi dan demam. Di antara berbagai
jenis prostaglandin tersebut, PGI,, merupakan vasodilator
terkuat.
Peranan prostaglandin dalam menimbulkan nyeri pada
proses inflamasi ternyata lebih kompleks. Pemberian PGE
pada binatang percobaan tidak terbukti dapat
memprovokasi nyeri secara langsung, tetapi hams ada
kerjasama sinergistik dengan mediator inflamasi yang lain
seperti histamin dan bradikinin.
Selain itu, tidak terdapat bukti yang kuat bahwa prostag:
landin dapat menimbulkan kerusakan jaringan secara

langsung. Sebagian kerusakan jaringan pada proses


inflamasi disebabkan oleh radikal hidroksil bebas yang
terbentuk selama konversi enzimatik dari PGG, menjadi
PGH, atau pada proses fagositosis.
Pada proses inflamasi, terjadi interaksi 4 sistem yaitu
sistem pembekuan darah, sistem kinin, sistem fibrinolisis
dan sistem komplemen, yang akan membebaskan berbagai
protein inflamatif baik amin vasoaktif maupun zat
kemotaktik yang akan menarik lebih banyak sel radang ke
daerah inflamasi.
Pada proses fagositosis oleh sel polimorfonuklear,
terjadi peningkatan konsumsi 0, dan produksi radikal
oksigen bebas seperti anion superoksida (0;) dan
hidrogen peroksida (H,O,). Kedua radikal oksigen bebas
ini akan membentuk radikal hidroksil reaktif yang dapat
menyebabkan depolimerisasi hialuronat sehingga dapat
merusak rawan sendi clan m e n d a n viskositascairan sendi.

NYERl PSI'KOGENIK

Nyeri dapat merupakan keluhan utama berbagai kelainan


psikiatrik, psikosomatik dan depresi terselubung. Pasien
nyeri kronik akibat trauma yang berat, misalnya kecelakaan,
peperangan dan sebagainya, seringkali mennjukkan
gambaran posttraumatic stress disorder, dimana pasien
selalu merasa dirinya sakit walaupun secara medikkelainan
fisiknya sudah sembuh. Dalam ha1 ini, pasien harus
diyakinkan bahwa keadaan psikologik ini sering terjadi dan
dia hams berusaha untuk mengatasinya dengan baik
karena keadaan fisiknya sebenamya sudah sembuh.
Nyeri pada merupakan salah satu bentuk kelainan
psikosomatik, dimana pasien mengekspresikan konflik
yang tidak disadarinya sebagai keluhan fisik. Keluhan ini
dapat sedemikian beratnya sehingga mempengaruhi
aktivitas sehari-harinya, termasuk pekerjaannya, aktivitas
sosialnya dan hubungan interpersonalnya. Biasanya
pasien akan merasa selalu sakit dan membutuhkan
perhatian medik mengenai penyakitnya. Pasien dengan
nyeripsikosomatik akan mengeluh nyeri pada satu bagian
tubuhnya atau lebih sedemikian beratnya sehingga
membutuhkan perhatian dokter. Keluhan nyeri ini sangat
menonjol dan tampak bahwa faktor-faktorpsikologik akan
sangat mempengaruhi timbulnya nyeri, perjalanan
penyakit dan eksaserbasi nyerinya, tetapi ha1 ini tidak
disadari oleh pasien dan selalu akan disangkal sehingga
sangat menyulitkan pengobatan. Pasien akhirnya akan
tergantung pada berbagai obat analgesik, apalagi bila
psikoterapi tidak berhasil atau diabaikan.

DEPRESI PADA NYERl KRONIK

Secara tradisional perbedaan nyeri akut dan kronik


didasarkan pada interval waktu sejak mulainya nyeri, ada

yang menyebutkan 3 bulan dan ada yang menyebutkan 6


bulag sejak mulainya nyeri digunakan sebagai batas nyeri
akut dan kronik. Batasan lain nyeri kronik adalah nyeri
yang terus berlangsung melebihi periode penyembuhan
cedera jaringan. Batasan ini relatif tidak tergantung pada
batasan waktu, tetapi sayangnya berapa lama proses
penyembuhan itu berlangsung masih belum begitu pasti.
Penulis lain mengartikan nyeri kronik sebagai nyeri yang
menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri yang membutuhkan
waktu perbaikan yang lebih lama dari yang seharusnya
atau yang norma.
Nyeri akut biasanya dicetuskan oleh cedera jaringan
tubuh dan aktivasi nociceptor pada tempat kerusakan
jaringan. Secara umum nyeri akut akan berakhir selama
waktu yang singkat dan sembuh bila kelainan yang
mendasari sudah sembuh.
Nyeri kronik biasanya dicetuskan oleh cedera tetapi
mungkin diperberat oleh faktor-faktor yang baik secara
patogenesis maupun fisik jauh dari penyebab aslinya. Pada
nyeri kronik, karena nyeri terus berlangsung tampaknya
faktor lingkungan clan afektif akhimya berinteraksi dengan
kerusakan jaringan, yang berpengaruh pada terjadinya
persistensi nyeri dan perilaku nyeri.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian
depresi pada pasien nyeri kronik dan kejadian nyeri kronik
pada pasien depresi lebih tinggi dibanding populasi umum.
Pada penelitian epidemiologi di Kanada, yang meneliti
prevalensi dan korelasi depresi mayor pada pasien nyeri
pinggang kronik didapatkan bahwa depresi mayor 5,9%
pada populasi yang tidak nyeri dan 19,8% pada populasi
nyeri pinggang kronik6.Pada penelitian ini juga didapatkan
orang-orang dengan nyeri pinggang kronik 6.2 kali
kemungkinan untuk depresi dari pada orang yang tidak
nyeri. Demikianjuga sebaliknyaangka kejadian nyeri pada
pasien depresi lebih tinggi (30-60%) dari pada orang yang
tidak depresi. Tetapi penelitian penelitian tersebut tidak
menjelaskan apakah depresi menyebabkan nyeri kronik
atau sebaliknya nyeri kronik yang menyebabkan depresi5.
Terdapat beberapa teori yang berusaha menjelaskan
hubungan antara depresi dan nyeri kronik yaitu teori
biologi, psikologi dan sosiologi. Pada makalah ini akan
dibahas mekanisme kaitan nyeri kronik dan depresi dari
sudut pandang teori biologi.

Sensitivitas Nyeri
Banyak dibuktikan bahwa pasien-pasien depresi memiliki
lebih banyak keluhan nyeri dari pada yang tanpa depresi.
Beberapa penelitian menujukkan angka kejadian nyeri lebih
tinggi pada pasien depresi dibandingpopulasi umum. Data
prevalensi depresi di antara pasien klinik nyeri bewariasi,
tergantung metode penilaian dan populasi yang dinilai
yaitu antara 10%- 100%. Sebaliknya keluhan nyeri
didapatkan pada 30-60% pada pasien depresi. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa pasien depresi memiliki

sensitivitas yang lebih tinggi terhadap stimulus noxious,


dengan kata lain pasien depresi memiliki ambang nyeri
yang lebih rendah. Pada penelitian terdahulu beberapa
penelitian mendukung teori ini, tetapi pada penelitian akhirakhir ini tidak terbukti. Nilai ambang nyeri baik terhadap
stimulus thermal maupun electric didapatkan meningkat
pada pasien depresi. Pada penelitian Lautenbacher dkk
didapatkan bahwa nilai ambang nyeri pasien depresi justru
lebih tinggi dari pada pasien dengan panic disorder
maupun orang sehat.

Biogenic Amine : Serotonin dan Norephineprine


Tingginya variasi hubungan antara tingkat beratnya cedera
dan beratnya nyeri telah diketahui sejak penelitian Henry
Behcer terhadap tentara di Anzio Beach pada perang dunia
ke dua. Sejak th 1970 banyak kemajuan yaitu identifikasi
adanya central nervous system mechanism of
endogenous pain modulaition.
Stimulasi pada rostra1 ventomedial medulla atau
dorsolateral pontine tegmentum akan mengakibatkan
analgesia pada binatang percobaan dan inhibisi dari
spinal pain transmission. Rostra1 ventromedial
medulla adalah tempat utama neuron serotoninergik yang
menuju ke komu dorsalis medula spinalis. Dorsolateral
pontine tegmentum merupakan tempat utama neuron
noradrenergik yang menuju kornu dorsalis. Kedua
neurotransmitter ini menghambat nociceptive neuronneuron komu dorsalis.
Terdapat hipotesis bahwa mekanisme analgesia dan
antidepresi obat antidepresan yang memberikan efek
analgesia melalui peningkatan neurotransmisi
serotoninergik dan noradrenergik. Saling ketergantungan
antara sistem opioid dan nonopioid sudah dipikirkan pada
penelitian-penlitian yang menunjukkan peningkatan
analgesi opioid bila diberikan antidepresan,dan penurunan
analgesia opioid setelah penurunan serotonin dan
norephineprin. Berdasarkan ha1 ini tampaknya biogenic
amine berperan sangat penting pada modulasi nyeri
endogen. Oleh karena terdapat deplesi atau gangguan
fungsi biogenic amine seperti serotonin dan norefineprin
pada depresi, maka bisa dipahami bahwa ha1 ini bisa
berperanan pada pengalaman dan penyampaian rasa nyeri
pada pasien depresi mayor.

KAJIAN 4WAL TERHADAP RASA NYERI


Terdapat beberapa ha1 penting yang menjadi dasar kajian
awal terhadap rasa nyeri yang dikeluhkan seorang pasien,
yaitu:

Lokasi Nyeri
Mintalah pada pasien untuk menjelaskan daerah mana
yang merupakan bagian paling nyeri atau sumber nyeri.

Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa lokasi


anatomik ini belum tentu sebagai sumber rasa nyeri yang
dikeluhkan pasien. Misalnya pada keluhan nyeri sciatic
yang dirasakan pasien sepanjang tubngkai bagian
belakang, bukanlah lokasi sumber nyeri yang sebenarnya.

Gejala Lain yang Menyertai


Apakah pasien menderita keluhan lainnya di samping rasa
nyeri seperti mual dan muntah, konstipasi, gatal,
mengantuk atau terlihat bingung, retensio urinae serta
kelemahan?

lntensitas Nyeri
Pada umunya dipakai rating scale dengan analogi visual
atau dikenal sebagai Visual Analogue Scale (VAS).
Mintalah pasien membuat rating terhadap rasa nyerinya
(0-10) baik yang dirasakan saat ini, kapan nyeri yang
paling buruk dirasakan atau yang paling ringan dan pada
tingkatan mana rasa nyeri masih dapat diterima.

Kesan dan Perencanaan Pengobatan


Buatlah kesimpulan akan nyeri yang diderita pasien serta
lakukan pemeriksaan fisik termasuk terhadap tanda-tanda
vital. Evaluasi terhadap pengobatan sebelumnya dan
apakah masih memberikan manfaat dalam mengatasi rasa
nyeri yang diderita pasien atau tidak. Pada bagian ini perlu
dievaluasi pula seberapa jauh pasien memahami akan
masalah nyeri yang dialaminya. Selanjutnya pengobatan
nyeri itu sendiri sebaiknya dikomunikasikan lehih dalam
dengan pasien agar terdapat kesenjangan yang dapat
ditekan sekecil mungkin antara harapan seorang pasien
terhadap pengobatan yang diberikan oleh dokter dan hasil
pengobatan sebagai suatu kenyataan. Pada pengobatan
nyeri perlu diingat bahwa pendekatan awal adalah
menggunakan tekhnik yang non invasif, sebagai contoh
menggunakan alat fisioterapi seperti ultra sonic lebih
diutamakan dibandingkan blok saraf dan sebagainya.
Mengenai pemeriksaan fisik nyeri reurnatik, maka
diperlukan tekhnik tersendiri guna mendapatkan gambaran
rasa nyeri yang diderita pasien. Terdapat beberapa metoda
untuk mengkaji nyeri tekan, yaitu menggunakan 4-point
compression technique, two-point technique, two-thumb
technique, single tuhum pressure technique, dan two
finger technique. Terhadap nyeri gerak umumnya
dilakukan gerakan pasif fleksi ekstensi sesuai dengan batas
lingkup gerak sendi (LGS) dari setiap sendi yang akan
diperiksa.

Kualitas Nyeri
Gunakan terminologi yang dikemukakan oleh pasien itu
sendiri seperti nyeri tajam, seperti terbakar, seperti tertarik,
nyeri tersayat dan sebagainya.
Awitan Nyeri, Variasi Durasi dan Ritme
Perlu ditanyakan kapan mulai nyeri terjadi, variasi lamanya
kejadian nyeri itu sendiri serta adakah irama atau ritme
terjadinya maupun intensitas nyeri. Apakah nyeri tetap
berada pada lokasi yang diceritakan pasien? Apakah nyeri
menetap atau hilang timbul (breakhtrough pain)?
Cara Pasien Mengungkapan Rasa Nyeri
Perhatikan kata yang diungkapkan untuk menggambarkan
rasa nyeri yang berbeda dari satu pasien ke pasien lainnya
dan tergantung dari pengalaman sebelumnya. Beberapa
kata di bawah ini yang biasanya diungkapkan pasien
berkaitan dengan rasa nyeri, yaitu: aching, stabbing,
tendei; tiring, numb, dull, crampy, throbbing, gnawing,
burning, penetrating, miserable, radiating, deep,
shooting, sharp, exhausting, nagging, unbearable,
squeezing dan pressure.
Faktor Pemberat dan yang Meringankan Nyeri
Apa saja yang dapat memperberat rasa nyeri yang diderita
pasien dan faktor apa yang meringankan nyeri hendaklah
ditanyakan kepada pasien tersebut.
Pengaruh nyeri
Dampak nyeri yang perlu ditanyakan adalah seputar
kualitas hidup atau terhadap hal-ha1 yang lebih spesifik
seperti pengaruhnya terhadap pola tidur, selera makan,
enerji, aktivitas keseharian (activities of the daily living),
hubungan dengan sesama manusia (lebih mudah
tersinggung dan sebagainya) atau bahkan terhadap mood
(sering menangis, marah atau bahkan berupaya bunuh diri),
kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan atau pembicaraan
dan sebagainya.

PENGUKURAN NYERl
Kesulitan dalam mengukur rasa nyeri ini disebabkan oleh
tingkat subyektivitas yang tinggi dan tentunya memberikan
perbedaan secara individual. Di samping itu sebagaimana
dikemukakanpada kajian awal terhadap nyeri di atas, belurn
terdapat metoda yang baku baik klinis maupun
menggunakan alat atau pemeriksaan yang dapat diterapkan
pada semuajenis nyeri. Sebagaisalah satu contoh sulitnya
mengukur nyeri adalah ketidaktepatan apa yang
dikemukakan oleh pasien, misalnya kesulitan pasien
mendapatkan kata yang tepat dalam mendeskripsikanrasa
nyeri, kebingungan, kesulitan mengingat pengalaman, dan
penyangkalan terhadap intensitas nyeri.
Pengukuran nyeri seyogyanya dilakukan seobyektif
mungkin dan dapat menggunakan beberapa metoda
pengukuran dan terbanyak adalah dengan kwesioner serta
obsewasi pola perilaku terkait dengan rasa nyeri. Kategori
pengukuran nyeri beragam sekali namun yang termudah

yaitu: pengukuran nyeri dengan skala kategorikal,


numerikal dan pendekatan multidimensional. Masingmasing pendekatan pengukuran nyeri ini memiliki kelebihan
dan kekurapgan masing-masing serta tingkat obyektifitassubyektifitas berbeda-beda dan area yang menjadi tujuan
pengukuran apakah sensorik saja, apakah mencakup afektif
serta adakah sifat evaluatif dari instrumen dimaksud.
Pengukuran nyeri dapat merupakan pengukuran satu
dimensional saja (one-dimensional) atau pengukuran
berdimensi ganda (multi-dimensional).Pada pengukuran
satu dimensional umumnya hanya mengukur pada satu
aspek nyeri saja, misalnya seberapa berat rasa nyeri
menggunakan pain rating scale yang dapat berupa
pengukuran kategorikal atau numerikal misalnya visual
analogue scale (VAS). Sedangkan pengukuran multidimensionaldimaksudkan tidak hanya terbatas pada aspek
sensorik belaka, namun juga termasuk pengukuran dari
segi afektif atau bahkan prosesd evaluasi nyeri
dimungkinkanoleh metoda ini.
Pengukuran Nyeri Secara Kategorikal
Pengukuran nyeri tipe ini disebut sebagai pengukuran satu
dimensi (one dimensional)dan baik pasien maupun dokter
dapat menggunakannya dengan mudah. Umumnya
pengukuran kategorikal ini menempatkan pasien pada
bebeapa kategori yang umum dipakai yaitu: tidak ada nyeri,
nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri hebat. Satu contoh
kelompok ini yang banyak dipakai adalah verbal rating
scale.
Tidak terdapat nyeri tentunya diartikan pasien sebagai
tidak merasakan rasa nyeri. Sedangkan nyeri ringan
umumnya diartikan sebagai nyeri yang umumnya bersifat
siklik dan tidak mengganggu aktivitas keseharian.
Analgetikum biasanya efektif mengatasi nyeri ringan ini.
Dikatakan nyeri sedang bila nyeri bersifat episodik,
terdapat masa eksaserbasi. Umumnya nyeri masih dapat
ditolerir walaupun pasien membutuhkan analgetikum.
Pengobatan dengan analgetikum ini umumnya tidaklah
menghilangkan nyeri secara total. Rasa nyeri yang terjadi
akan meningkat apabila terjadi peningkatan aktivitas
eseharian atau aktivitas yang tidak biasa dilakukan pasien.
Apabila pasien dalam melakukan aktivitas kesehariannya
merasa nyeri dan. rasa nyeri tersebut mengganggu
aktivitasnya maka dikatakan pasien menderita nyeri hebat.
Nyeri hebat tidak dapai diatasi dengan analgetikum
sederhana atau hanya memberikan respons yang minimal.

pain

Mild

Moderate

Severe

Likert pain scale

possible
pain

Kelemahan dari pengukuran nyeri secara kategorikal


ini adalah kecenderungan pasien untuk lebih condong
pada kategori ke arah tengah yaitu nyeri sedang
dibandingkan ke arah ringan atau hebat. Juga tidak terdapat
panduan deskripsi rasa nyeri yang memadai.
Pengukuran Nyeri Secara Numerikal
Numerical rating scale (NSR) merupakan pengukuran nyeri
dimana kepada pasien dimintakan untuk memberikan angka
1 sampai 10. No1 diartikan sebagai tidak ada nyeri
sedangkan angka 10 diartikan sebagai rasa nyeri yang
hebat dan tidak tertahankan oleh pasien. Pengukuran ini
lebih mudah dipahami pasien baik bila kepada pasien
tersebut dmintakan secara lisan atau mengisi form kesioner.
Salah satu bentuk yang dianggap oleh sebagian peneliti
tidak identik adalah penggunaan visual analogue scale
atau VAS.

Bentuk di atas dapat diubah menjadi bentuk lain yang


dikenal dengan 11-points box scale dimana angka-angka
diletakkan dalam kotak berjajar serial. Pasiendmintauntuk
memberikan tanda silang pada intensitas nyeri yang
dirasakan.

Angka 0 menunjukkan tidak terdapat rasa nyeri


sedangkan 10 menandakan nyeri yang sangat hebat dan
tidak tertahankan.
Visual Analogue Scale
VAS adalah instrumen pengukuran nyeri yang paling
banyak dipakai dalam berbagai studi klinis dan diterapkan
terhadap berbagai jenis nyeri. Metoda pengukuran ini
sebagaimanayang dikembangkan oleh Stevenson KK dan
kawan-kawan dari Pusat Penanganan Nyeri Kanker di
Wisconsin. Terdiri dari satu garis lurus sepanjang 10 cm.
Garis paling kiri menunjukkan tidak ada rasa nyeri sama
sekali, sedangkan garis paling kanan menandakan rasa
nyeri yang paling buruk. Kepada pasien dimintakan untuk
memberikan garis tegak lurus yang menandakan derajat
beratnya nyeri yang dirasakannya. Sebagai contoh bila
pasien tidak merasakan nyeri apapun, maka ia hams
menggariskannya pada ujung sisi kiri dari garis VAS
tersebut. Instrumen VAS ini tidak menggambarkan jenis
rasa nyeri yang dialamai pasien, mislanya shootingpain
dan sebagainya. Jadi sebagaimana pengukuran

kategorikal, maka VAS juga mengukur nyeri secara satu


dimensi saja.
Pengukuran dengan VAS pada nilai di bawah 4
dikatakan sebagai nyeri ringan; nilai antara 4-7 dinyatakan
sebagai ny'eri sedang dan di atas 7 dianggap sebagai nyeri
hebat.
Visual analogue scale ini memiliki beberapa tipe.
Namun tetap mencermmkan satu dirnensi pengukuran nyeri
saja.
Dua bentuk lagi hampir sama dengan tipe a namun
dalam posisi vertikal serta satu lainnya dibagi menjadi 20
skala interval.
Masih dalam kategori ini terdapat skala pengukran
nyeri yang lebih banyak dipakai pada anak-anak dan
dikenal sebagaifaces scale. Intensitas nyeri digambarkan
oleh karikatur wajah dengan berbagai bentuk mulut.
No
pain

Extreme
pain

No
Pain1
No
Pain1

Mild

Moderat

severe

Mild Modetra Severe

Extreme
pain

Extreme
pain

No change
Extreme
pain

severe

No

Slight pain

Pada skala ini digambarkan garadasi emosional mulai


dari keadaan gembira sampai kesedihan yang dialami
pasien.
Pada dasarnya kedua jenis pengukuran di atas
merupakan pengukuran terhadap skala nyeri (painscale).
Hingga saat ini terdapat 40 instrumen yang potensial
dipakai dalam pain scale tersebut. Adapun berbagai
pengukuran nyeri yang sering dijumpai adalah: verbal
rating scale, VAS, numerical rating scale, wisconsin brief
pain questionaire (Dout 1983) yang digunakan untuk
mengukur nyeri pada saat nyeri hebat, berapa lama
bertahan, rerata rasa nyeri dan nyeri saat h i , serta dampak
nyeri pada fimgsi dan hasil pengobatan; memorial pain
questionaire (Fishman 1987)berupa kartu dua sisi dimana
salah satu sisi menggarnbarkan intensitas nyeri dan mood
pasien dan sisi lain merupakan modifikasi Tursky.
Perrlgukuran Nyeri Secara Multi-dimensional
Pengukuran nyeri dengan cara ini memberikan skala pada

berbagai dimensi yang berbeda-beda. Mislanya skala 3


dimensi yaitu: sensorik, afektif clan evaluatif sebagaimana
terlihat pada salah satu pengukuran yang paling banyak
dipakai untuk pendekatan multi-dimensional ini yaitu the
McGill Pain Questionaire (MPCi, Melzack 1975) dalam
bentuk format lengkap atau Short Form (SF-MPQ). McGill
Pain Questionaire di atas membutuhkan waktu sekitar
5-10 menit untuk mengisinya, sedangkan Short form nya
cukup 2-5 menit saja. Apabila dikaitkan dengan artritis,
maka arthritis impact measurement scales atau AIMS
(Meenan 1980) lah yang umumnya dipakai. AIMS ini
mengukur sembilan skala dimensi berbeda yaitu mulai dari
nyeri, mobilitas, aktivitas fislk, peran sosial, aktivitas sosial,
aktivitas hidup keseharian, depresi, ansietas dan
dexterity.
Bentuk-bentuk lain pengukuran nyeri multidimensional adalah: Patient outcome questionare didesain
untuk mengukur beratnya nyeri, intervensi, kepuasan
terhadap kontrol nyeri dan beberapa aspek lain dalam
pengobatan dan pemberian obat; Descriptor diflerential
scale (Gracey 1988) yang megukur komponen sensorik dan
afektif nyeri meggunakan skala rasio; Integratedpainscore
(Ventafridda 1983)yang mengukur baik intensitas maupun
durasi nyeri; Pain perceptionprojle (Tursky 1976) yang
digunakan untuk pengukuran dimensi sensorik, afektif dan
intensitas nyeri; West Haven-Yale multidimensional pain
inventoly (Kerns 1985) berupa 52 itens pengukuran nyeri
kronik; Brief pain inventory (cleeland 1994) bagi
pengukuran nyeri kanker, demiluan pula halnya dengan
Unmet analgesic needs questionaire dan masih banyak
lagi yang dibuat untuk tujuan pengukuran ini baik pada
pasien dewasa maupun pada pasien anak-an&.
Pengukuran Nyeri Menggunakan Alat Elektromekanikal atau Alat Mekanis
Dolorimeter merupakan alat mekanis yang dipakai untuk
kwantifikasi ambang nyeri baik pada sendi maupunjaringan
lunak. Alat yang paling banyak dipakai adalah Chatillon
dolorimeter yang merupakan bentuk penyempurnaan dari
dolorimeter kuno Steinbrockerpalpometer dan Hollander
palpameter. Dua jenis Chatillon dolorimeter yaitu dengan
tekanan 10 pound dan 20 pound. Angka sepuluh pound
dikemukakan oleh McCarty sebagai tekanan maksimurn
ibujari pada pemeriksaan sendi. Analogi ibujari digantikan
dengan rubber stopper setebal 1.5 cm pada alat tersebut.
Selanjutnya alat ini memiliki pula pegas lingkar dan
readingpoiater yang akan memberikan pembacaan pada
skala tertentu. Kepada pasien dimintakan untuk
memberitahukan manakala ambang rasa nyeri tercapai
dengan dilakukannya tekanan sebesar 5 pounds per detik
atau 2 kg per detik. Alat serupa dengan tekanan 20 pound
dipakai apabila dengan alat 10 pound terlihat skor yang
rendah. Jenis lain dolorimeter adalahpneumaticpressure
dolorimeter dari Langley.

PENATALAKSANAAN NYERl DENGAN OBATOBATAN


Terapi obat yang efektif untuk nyeri seharusnya memiliki
risiko relatif rendah, tidak mahal, dan onsetnya cepat. WHO
menganjurkan tiga langkah bertahap dalam penggunaan
analgesik. Langkah 1 digunakan untuk nyeri ringan dan
sedang, adalah obat golongan non opioid seperti aspirin,
asetaminofen, atau AINS, ini diberikan tanpa obat
tambahan lain. Jika nyeri masih menetap atau meningkat,
langkah 2 ditambah dengan opioid, untuk non opioid
diberikan dengan atau tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri
terus-menerus atau intensif, langkah 3 meningkatkan dosis
potensi opioid atau dosisnya sementara dilanjutkan non
opioid dan obat tambahan lain.
Dosis pengobatan hams dijadwal secara teratur untuk
memelihara kadar obat dan mencegah kambuhnya nyeri.
Dosis tambahan yang onsetnya cepat dan durasinya
pendek, digunakan untuk nyeri yang menyerang tiba-tiba.
Obat-Obatan Untuk Nyeri RinganSampai Sedang
Banyak orang dapat mengelola sakit dan nyeri dengan
analgesik OTC, termasuk aspirin, asetaminofen, dan
ibuprofen atau naproksen pada dosis 200 mg dosis
formulasi. Untuk nyeri yang sedang, salisilat,AINS, atau
asetaminofen dosis yang lebih tinggi sering sudah
memadai, jika tidak dokter dapat meresepkan obat-obatan
seperti kodein atau oksikodon.

Aspirin. Aktivitas aspirin terutama disebabkan oleh


kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin.
Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara
irreversibel (prostaglandin sintetase), senyawa yang
mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa
endoperoksida; pada dosis tepat, obat ini akan menurunkan
pembentukan prostaglandin maupun tromboksanA2 tetapi
tidak ieukohien. Sebagian besar dari dosis anti-inflamasi
aspirin akan cepat dideasetilasi membentuk metabolit aktif
salisilat yang menghambat sintesis prostaglandin secara
reversibelAspirin umumnya digunakan sebagai obat pilihan
pertarna untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang,
aspirin ini merupakan antipiretik efektif dan agen anti
inflarnasi. Efek analgesik dapat dicapai pada dosis yang
lebih rendah dibanding efek anti inflamasinya. Aspirin
tersedia dalam berbagai bentuk sediaan oral, yaitu 81;325;
dan 500 mg. Biasanya penggunaan 1 atau2 tablet (325-650
mg) setiap 4 jam saat diperlukan, diminum dengan air minum.
Iritasi gastrointestinal dapat dikurangi dengan makanan
dan an'tasida. Aspirin dalam bentuk enteric coated yang
mana lebih mahal (Ecotrin dan lain-lain) sangat penting
untuk mencegah iritasi lambung tetapi absorbsinya lambat.
Efek samping utama aspirin terutama pada dosis tinggi atau
pemberianjangka panjang adalah iritasi lambung dan pada
pemeriksaan mikroskopik, perdarahan terjadi pa& usus.
Kadang-kadang ini menjadi perdarahan gastrointestinal

masif, biasanya pada peminum berat atau pasien dengan


riwayat ulkus peptik. Alergi aspirin jarang terjadi dan
mungkin bermanifestasi sebagai rinorrhea, polip
nasal, asma, dan sangat jarang terjadi anafilaksis.
Aspirin pada dosis tinggi dapat menghasilkan zat yang
mempengaruhi vitamin K, sehingga memperpanjangwaktu
penggumpalan.

Asetaminofen. Asetaminofenpada dosis yang sama dengan


aspirin (650 mg oral setiap 4jam) mempunyai efek analgetk
dan antipiretikyang sebandingtetapi efek antiinflamasinya
lebih rendah dibanding aspirin. Ini sangat berguna untuk
orang yang tidak dapat mentoleransi aspirin atau pada
gangguan perdarahan dan pada pasien yang mempunyai
risiko Reye b syndrome. Pada setiap dosis tinggi (misal>4
mg/hari pada pemberian jangka panjang, >7 mglhari
sekaligus) asetaminofen dapat menyebabkan hepatotoksik,
manifestasinya nekrosis hepatis yang ditandai dengan
meningkatnya kadar aminotransferase serum. Toksisitas
dapat terjadi pada dosis lebih rendah pada pengguna alkohol
kronik.
Anti Inflamasi Non Steroid. Semua obat AINS mempakan
analgesik, antipiretik dan antiinflamasi yang kerjanya
tergantung dosis. Prinsipnya, obat-obat tersebut digunakan
untuk mengontrol nyeri tingkat sedang pada beberapa
gangguan muskuloskeletal, nyeri menstruasi dan lainnya
terutama keadaan yang bisa sembuh sendiri termasuk
ketidaknyamanan pasca operasi.Aktivitas AINS
menghambat biosintesis prostaglandin. Prostaglandin
adalah famili hormone-like chemicals, beberapa di
antaranya dibentuk karena respons kerusakan jaringan.
Mekanisme yang lazim untuk semua AINS adalah
menginhibisi enzim siklooksigenase (COX). COX ini
diperlukan dalam pembentukan prostaglandin.
Enzim ini dikenal dalam dua bentuk, COX- 1yang melindungi
sel-sel lambung dan intestinal dan COX-2 yang terlibat pada
proses inflamasi jaringan, tidak identik dengan
siklooksigenase yang ada pada kebanyakan sel lain di
dalam tubuh (COX-1). Banyak dari obat ini pada
beberapa tingkat, menginhibisi agregasi platelet dan bisa
menyebabkan perdarahan lambung (risiko ini berhubungan
dengan perdarahan traktus gastrointestinal atas 1,5 kali
normal dan hidensi lebih tinggi pada pasien berusia lanjut),
kerusakan ginjal (termasuk gaga1 ginjal akut, penurunan
filtrasi glomerulair, sindroma nefiotik, nekrosis papilaris,
nefiitis interstitial, dan asidosis renal tubuler tipe IV),
supresi sumsum tulang, rash, anoreksia, dan nausea.
Kemsakan ginjal lebih sering terjadi pada laki-laki tua,
pengguna diuretik, dan pasien dengan penyakit jantung.
AINS secara umum tidak diberikan pada pasien
yang menerima terapi antikoagulan oral. Keuntungan lain
AINS dibanding aspirin adalah durasi kerjanya yang
lebih lama sehingga frekuensi pemberian lebih
rendah dan kepatuhan pasien lebih baik dan frekuensi
efek samping pada gastrointestinal lebih rendah.

Obatobatan untuk Nyeri Sedang sampai Berat


Opioid analgesik diindikasikan untuk nyeri sedang sampai
berat yang tidak berkurang dengan obat lain. Contohnya
termasuk nyeri akut pada trauma berat, luka bakar, infark
miokard, batu ureter, pembedahan dan nyeri kronik pada
penyakit progresif seperti AIDS. Opioid efektif, mudah
dititrasi dan mempunyai rasio manfaat-risiko yang baik.
Dosis besar opioid dibutuhkan untuk mengontrol nyeri
jika nyeri berat dan penanganan lebih luas diperlukan jika
nyerinya kronik. Opioid analgesik berguna juga untuk
menangani pasien yang dengan jalan yang lain tidak
berhasil. Terapi opioid yang berkelanjutan seharusnya
ldidasarkan pada evaluasi dokter terhadap kesimpulan
penanganan (tingkat pengurangan nyeri, perubahan fungsi
fisik dan psikologis, jumlah peresepan, nomor telepon,
kunjungan klinik atau unit kegawatan, rawat inap di rumah
sakit, dan lain-lain).
Pemberian opioid dalam dosis terapi secara berulang
terus-menerus dapat mengakibatkan toleransi
(peningkatan dosis opioid yang dibutuhkan untuk
mendapatkan efek analgesik yang sama) dan
ketergantungan fisik (gejala putus obat terjadi bila
tiba-tiba opioid dihentikanl withdrawal syndrome atau
abstinence syndrome, teriadi variasi tingkat dan periode
penggunaan). Toleransi dan ketergantungan fisik
merupakan reaksi fisiologik normal dari terapi opioid dan
jangan dibingungkan dengan adiksi. Adiksi adalah
ketergantungan psikologik karena penyalahgunaan obat
(bervariasi dari manipulasi mencari obat sampai
penggunaan obat terus-menerus dengan tujuan non medis
dengan efek yang merugikan). Pasien dan anggota
keluarga dapat diedukasi tentang perbedaan toleransi,
ketergantungan fisik, serta adiksi dan risiko kecil adiksi
pada penggunaan opioid jangka panjang atau dosis tinggi
untuk mengurangi nyeri.
Contoh obat agonis opioid yang sering digunakan antara
lain:

Morfin Sulfat. Merupakan opioid yang sering diresepkan


dan tersedia dalam beberapa bentuk. Morfin 8-15 mg
subkutan atau intrarnuskularefektif untuk mengontrol nyeri
berat pada pasien dewasa. Pada infark miokard akut atau
edema pulmo akut terjadi kegagalan vaskular kiri, 2-6 mg
disuntikkan pelan-pelan intravena pada 5 ml cairan salin.
Metadon. Metadon 5-10 mg secara oral tiap 6-8 jam sering
digunakan untuk menangani adiksi karena durasi kerjanya
lama.
Kodein (sufat atau fosfat). Kodein sering digunakan
bersama dengan aspirin atau asetaminofen untuk
memperkuat efek analgesiknya. Kodein adalah penekan
batuk yang kuat pada dosis 15-30 mg oral tiap 4 jam.
Oksikodondan hidrokodon.Obat-obat ini diberikansecara
qral dan diresepkan bersama analgesik lain. Dosisnya 5-73

mg setiap 4-6 jam pada tablet yang mengandung aspirin


325 mg atau 500 mg.

Meperidin. Meperidin 50-150 mg secara oral atau


intramuskuler setiap 3-4jam memberikan efek analgesikyang
sama seperti morfin pada nyeri akut tetapi sebaiknya
dihindari pada nyeri kronik yang berat karena durasi
kerjanya pendek dan pada insufisiensi renal karena
akumulasi toksik metabolit obat ini mencetuskan kejang.
Tramadol. Tramadol adalah analgesik atipikal dengan
garnbaran opioid dan non opioid, mempunyai kerjarangkap.
Tramadol dan metabolitnya mengikat reseptor opioid:
tramadol bekerja seperti trisiklik dan antidepresan untuk
memblok pengambilan kembali norepinefiin dan serotonin.
Dosis yang dianjurkan adalah 50- 100mg tiap 4-6 jam sampai
dosis total 400 mgihari (maksimum 300 mgihari pada pasien
umur 75 tahun atau lebih).

Obatan-obatan Adjuvant untuk Mengontrol Nyeri


Kortikosteroid sangat membantu manajemen nyeri kanker.
Deksametason 16-96 mghari secara oral atau intravena
atau prednison 40-1 00 mghari secara oral mempunyai
aktivitas antiinflamasi dan mengurangi edema serebral dan
medula spinalis. Karena obat-obatan ini mempunyai efek
anti emetik dan menstimulasi nafsu makan, ini
menguntungkan untuk penanganan kakeksia dan anoreksia.
Antikonvulsi (misalnya Fenitoin 300-500 mhhari per
oral, Carbamazepin 200- 1600 mgihari per oral, Gabapentin
900-1 800 mglhari per oral), antidepresan (misalnya
Amitriptilin atau Desipramin 25- 150 mglhari per oral), dan
anestesi lokal (misalnya Bupivacaine) sangat berguna
pada manajemen nyeri neuropati. Antikonvulsan generasi
baru, Gabapentin (neurontin) meningkatkan kadar
gamaaminobutirat otak, efektif untuk nyeri neuropati secra
luas. Neuroleptik (misalnya Metotrimeprazin40-80 mgihari
intramuskuler) membantu pada sindroma nyeri kronik
karena mempunyai efek antiemetik dan anti cemas.

PENATALAKSANAAN NYERl DENGAN METODE


YANG LAIN
Macam terapi non obat untuk manajemen nyeri adalah.

Blok Saraf. Blok saraf sederhana dengan anestetik lokal


jangka panjang ditambah suntikan steroid dapat
meringankan nyeri bahu, nyeri dada dan nyeri paha. Blok
pada saraf simpatik dapat membantu untuk mengurangi
nyeri abdomen kronik, nyeri pelvis kronik dan anginakronik.
Injeksi pada sendi. Injeksi pada sendi menggunakan
steroid dan anestesi lokal dapat mengurangi nyeri dan
radang pada sendi spinal. Prosedur ini kalau perlu dilakukan
dengan bimbingan sinar X. Prosedur ini juga dapat
meredakan nyeri kronikpada sendi panggul dan sendi bahu.

Terapi Stimulasi
ENS (Trans Cutaneous Electrical Stimulation)
menggunakan bantal khusus yang. dihubungkan
dengan mesin kecil yang menghantarkan a h a n listrik
lemah ke perrnukaan kulit dari area nyeri .'.,.,. .
Akupuntur
.I
'

Program Manajemen Nyeri dan Bantuan @$ikologi


Merupakan program rehabilitasi berdasarkan 'psikologi
untuk pasien dengan nyeri kronik yang tidak pulih de&an
metode terapi. Program ini bertujuan untuk mengurangi
disabilitas dan distress yang disebabkan oleh nyeri kronik
melalui pengajaran fislk, psikologis dan teknis praktis untuk
memperbaikikualitas nyeri. Program ini meliputi pemulihan
fisik, penerapan teknik relaksasi, informasi dan edukasi
tentang nyeri dan manajemennya, penatalaksanaan
psikologis dan intervensi (terapi kognitif), bersamaan
dengan pemulihan aktivitas harian secara bertahap.
Pembedahan. Pada beberapa kasus, terapi bedah diperlukan
untuk mengurangi nyeri kronik. Terapi ini merupakan lini
terakhir yang dilakukan bila semua usaha untuk mengurangi
nyeri gagal.

REFERENSI
Basbaum A. Anatomy and Physiology of Nociception. In: Kanner R
(ed). Pain Managemen secrets. 9Ih ed. Hanley & Belfus Inc.
Philadelphia, 1997:8- 12
Bellamy N. Musculoskeletal clinical metrology. London: Kluwer
Academic Publisher. 1993: 65-76 dan 117-134.
Beaulieu P, Rice ASC. Applied physiology of nociception. In :
Rowbotham DJ, Macintyre PE : Clinical pain management,
Acute pain. 2003 : 1-16.
Currie SR, Wang JL. Chronic back pain and major depression in
general Canadian population. Pain 2004 ; 107 54-60.
Handono K, Kusworini H. Penatalaksanaan nyeri yang rasional.
Kursus penatalaksanaan nyeri. Jakarta 2004 : 3-8.
IASP Task Force on Taxonomy. Merskey H, Bogduk N. Eds.
Classification o f chronic pain. Seattle: IASP Press. 1994:
209-2 14.
Meliala KRT. L. Terapi rasional nyeri, Tinjauan khusus nyeri
neuropatik. 2004.
Sullivan MD, Turk DC. Psychiatric illness, depression, and
psychogenic pain. In : Bonicas, Management o f pain. 3rd
edition . 2001 : 483-500.
Turk DC, Okifuji A. Pain terms and taxonomi of pain. In : Bonicas,
Management of pain. 3rd edition . 2001 :17-25

ARTRITIS REUMATOID
:[ Nyoman Suarjana

PENDAHULUAN
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang
ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif,
dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik
klasik AR adalah poliartritis simetrik yang terutama
mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain
lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organorgan diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru
dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya
komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal,
keganasan dan adanya komorbiditas. Menegakkan
diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat
menurunkan progresifitas penyakit. Metode terapi yang
dianut saat ini adalah pendekatanpiramid terbalik (reverse
pyramid), yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk
menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat
terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi,
deformitas dan disabilitas. Morbiditas dan mortilitas AR
berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi.
Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan
DMARD biologik, memberi harapan baru dalam
penatalaksanaan penderita AR.

Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif


konstan yaitu berkisar antara 0,s -1 %. Prevalensi yang
tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian
masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%.5PrevalensiAR di
India dan di negara barat h a n g lebih sama yaitu sekitar
0.75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina
prevalensinya kurang dari 0,4%, baik didaerah urban
maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah

mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.2% di daerah rural


dan 0.3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang
dilakukan di Malang pada pendduduk berusia diatas 40tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten. Di Poliklinik
ReurnatologiRSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta, kasus
baru AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun
2000 dan pada periode Januari sld Juni 2007 didapatkan
sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan
sebanyak 1.346 orang (15,1%)? Prevalensi AR lebih banyak
ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki
dengan rasio 3 : 1 dan dapat terjadi pada semua kelompok
umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada
dekade keempat dan kelima.

Faktor genetik
Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat
interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap
kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi
penyakit sebesar 60 %. Hubungan gen HLA-DRB 1 dengan
kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun
beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR
sepertidaerah 18q21 dari gen TNFRSRl 1A yang mengkode
aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-KB).Gen
ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor
genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena
aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme
methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor
genetik.gJOPada kembar monosigot mempunyai angka
kesesuaian untuk berkembangnyaAR lebih dari 30% dan

pada orang kulit putih dengan AR yang mengekspresikan


HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian
sebesar 80%.
Hormon sex
Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperanan
dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi
didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR selama
kehamilan. Perbaikan ini diduga karena : 1. Adanya
aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang
HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop
HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit.
2. Adanya perubahan profil hormon. Placental corticotropinreleasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi
dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel
adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap
respon imun selular dan humoral. DHEA merupakan
substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral
(Th2) dan menghambat respon imun selular (Thl). Oleh
karena pada AR respon Thl lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan
terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral
dilaporkan mencegah perkembanganAR atau berhubungan
dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.
Faktor infeksi. Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai
agen penyebab penyakit seperti tampak pada Tabel 1.
Organisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host)
dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga
mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum
ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai
penyebab penyakit.

Agen infeksi
Mycoplasma
Parvovirus B19
Retrovirus
Enteric bacteria
Mycobacteria
Epstein-Barr Virus
Bacterial cell walls

Mekanisme patogenik
lnfeksi sinovial langsung,
superantigen
lnfeksi sinovial langsung
lnfeksi sinovial langsung
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Aktifasi makrofag

mempunyai 65% untaian yang homolog. Hipotesisnya


adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen
infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang
limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan
molekul (molecular mimicry)

FAKTOR RlSlKO
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan
terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, ada
riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua,
paparan salisilat dan merokok. Konsurnsi kopi lebih dari
tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated munglun
juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh
dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan
penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR
mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama
kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah
melahirkan.

PATOGENESIS
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi malcrofag
dan fibroblas sinovial setelah adanya faktor pencetus,
berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi
daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel,
yang selanjutnyaterjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah
pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuanbekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan
yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami
inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus
menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang.
(Gambar 1) Berbagai macarn sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.
(Gambar 2 dan 3).

Protein heat shock (HSP)


HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada
semua spesies sebagai respon terhadap stres. Protein ini
mengandunguntaian (sequence)asam amino homolog. HSP
tertentu manusia dan HSP mikobakterium tuberkulosis

Gambar 1. Destruksi

sendi oleh jaringan pannus

e-GIII

Mearophngs
~thlpolon

aothlntmn

PffmBtlo"
or rnrumnmm
gnator

lmrnlnr
oomclrx
*metion
and

CytoWnuz.

aotlYBtl0n

FlbroblnI.ts
a~mndrocvtea
Svnovial aelk,

wolnrrntmn

~IOPOSIID~

mwraobn
01 Pdha%slon
rnolaculra

Ae10am3
01 a*towrrrl

Wbolont
mtlgsnDraanlW
Od1

-.

RaIor aollnoanesa. stromrly.ln.


m d omrr rnrymea
alpotaao.

Somt lnlury

-mulOtton
01
RIknmmatow
aalm

L r ~ e n l l l S
Tormetl~n:
dsatruatlon 01 bone. aartIlags; M r o s t s ; - l O l m ~

Gambar 2. Patogenesis artritis reumatoid.

Gambar 3. Peran sitokin dalam patogenesis artritis reumatoid

Peran sel T
Induksi respon sel T pa& artritis reumatoid di awali oleh
interaksi antara reseptor sel T dengan share epitope dari
major histocompatibility complex class ZZ(MHCI1-SE) dan
peptida pada antigen-presenting cell (APC) sinovium atau
sistemik. Molekul tambahan (accessory) yang
diekspresikan oleh APC antara lain ICAM-1 (intracellular adhesion molucle-1) (CD54), OX40L (CD252),
inducible costimulator (ICOS) ligand (CD275), B7-1
(CD80) dan B7-2 (CD86), berpartisipasi &lam aktivasi sel
T melalui ikatan dengan lymphocyte finction-associated
antigen &FA)-1 (CDl la/CD18),OX40 (CD134),

ICOS (CD278), and CD28. Fibroblasf-likesynoviocytes


(FLS) yang aktif mungkin juga berpartisipasi dalam
presentasi antigen dan mempunyai molekul tambahan
seperti LFA-3 (CD58) dan ALCAM (activated leukocyte
cell adhesion molecule) (CD166) yang berinteraksi dengan
sel T yang mengekspresikan CD2 dan CD6. Interleukin
(1L)-6 dan transforming growth factor-beta (TGF-P)
kebanyakan berasal dari APC aktif, signal pada sel Th17
menginduksi pengeluaran 11-17.
IL-17 mempunyai efek independen dan sinergistik
dengan sitokin proinflarnasi l a i ~ y (TNF-a
a
dan IG1 P)
pada sinovium, yang menginduksi pelepasan sitokin,

produksi metaloproteinase, ekspresi ligan RANK/RANK


(CD265/CD254), dan osteoklastogenesis.Interaksi CD40L
(CD154) dengan CD40jugamengakibatkan aktivasi monosit1
makrofag (Mo/Mac) sinovial, FLS, dan sel B. Walaupun
pada kebanyakan penderita AR didapatkan adanya sel T
regulator CD4+CD25hi pada sinovium, tetapi tidak efektif
dalam mengontrol inflamasi dan munglun di non-aktifkan
oleh TNF-asinovial. IL-10 banyak didapatkan pada cairan
sinovialtetapi efeknya pada regulasi Th17 belum ddcetahui.
Ekspresi molekul tambahan pada sel Th17 yang tampak pads.
Gambar 4 adalah perkiraan berdasarkan ekspresi yang
ditemukan padapopulasi sel T hewan coba. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk menetukan struktur tersebut
pada subset sel Th17 pada sinovium manusia.

morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF juga


bisa mencetuskan stimulus diri sendiri untuk sel B yang
mengakibatkan aktivasi dan presentasi antigen kepada
sel Th, yang pada akhirnya proses ini juga akan
memproduksi RE Selain itu kompleks imun RF juga
memperantarai aktivasi komplemen, kemudian secara
bersama-sama bergabung dengan reseptor Fcg,
sehingga mencetuskan kaskade inflamasi.
4. Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam
patogenesis AR. Bukti terbaru menunjukkan bahwa
aktivasi ini sangat tergantung kepada adanya sel B.
Berdasarkan mekanisme diatas,menginddcasikan bahwa
sel B berperanan penting dalam penyakit AR, sehingga
layak dijadikan target dalarn terapi AR.

Peran sel B
Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui
secara pasti, meskipun sejumlah peneliti menduga ada
beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B.
Keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui
mekanisme sebagai berikut :
1. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal
kostimulator yang penting untuk clonal expansion dan
h g s i efektor dari sel T CD4+.
2. Sel B dalam membran sinovialAR juga memproduksi
sitokin proinflamasi seperti TNF-adan kemokin.
3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang
memproduksi faktor reumatoid (RF). AR dengan RF
positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit
artikular yang lebih agresif, mempunyai prevalensi
manifestasi ekstraartikular yang lebih tinggi dan angka

Gambar 5memperlihatkan peranan potensial sel B dalam


terpapar
regulasi respon imun pada AR. Sel B mature
oleh antigen dan stimulasi TLR (Toll-like rebeptor ligand)
akan berdiferensiasi menjadi short-livedplasma cells atau
masuk kedalam reaksi GC (germinal centre) sehingga
berubah menjadi sel B memori dan long-livedplasma cells
yang dapat memproduksi autoantibodi. Autoantibodi
membentuk kompleks imun yang selanjutnya akan
mengaktivasi sistem imun melalui reseptor Fc dan reseptor
komplemen yang terdapat pada sel target. Antigen yang
diproses oleh sel B mature selanjutnya disajikan kepada
sel T sehingga menginduksi diferensiasi sel T efektor untuk
memproduksi sitokin proinflamasi, dimana sitokin ini
diketahui secara langsung maupun tidak langsung terlibat
dalam destruksi tulang dan tulang rawan. Sel B mature juga
dapat berdiferensiasi menjadi sel B yang memproduksi
IL-10 yang dapat menginduksi respon autoreaktif sel T.

y_ang

Effector Phase

-- . .-- -. -- .-- - -Gambar 4. lnteraksi sel Th17 patogenik dalam synovial microenvironmentpada artritis reumatoid
-

--

Gambar 5. Partisipasi sel B pada artritis reumatoid

Awitan (onset)
Kurang lebih 213 penderita AR, awitan terjadi secara
perlahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang
lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang
lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa
minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan
filminant berupa artritis poliartikular, sehingga diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15%
penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian
tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh
kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama
satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai
gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan,
anoreksia dan demam ringan.
Manifestasi artikular
Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri
dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga
peoderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa
sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi
(nyeri,bengkak, kemerahan dan teraba hangat) munglun
ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan
(flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin
tidak dijumpai pada AR yang kronik.
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu
adanya inflamasi pada membran sinovial yang
membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena
adalah persendian tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi
persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena.

Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada


presentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan
menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi
deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang
(destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang
yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi
khususnya pada pergelangan tangan dan kaki. Sendi
pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga
sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi
interfalang distal dan sakroiliaka tidak pernah terlibat.
Distribusi sendi yang terlibat pada AR tampak pada
Tabel 2.

Metacarpophalangeal(MCP)
Pergelangan tangan
Proximal interphalangeal (PIP)
Lutut
Metatarsophalangeal (MTP)
Pergelangan kaki (tibiotalar + subtalar)
Bahu
Midfoot (tarsus)
Panggul (Hip)
Siku
Acromioclavicular
Vertebra servikal
Temporomandibular
Sternoclavicular

Manifestasi Ekstraartikular
Walaupun a t i t i s merupakan manifestasi klinis utama,

tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga banyak


penderita juga mempunyai manifestasi ekastraartikular.
Manifestasi ekastraartikular pada umumnya didapatkan
pada penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid (RF)
serum tinggi. Nodul reumatoid meppakan manifestasi kulit
yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak
rnernerlukan intervensikhusus. Nodul reumatoid umurnnya
ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon
achilles atau bursa olekranon. Nodul reumatoid hanya
ditemukan pada penderita AR dengan faktor reumatoid
positif (sering titernya tinggi) dan munghn dikelirukan
dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau
nodul yang berhubungan dengan demam reumatik, lepra,
MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis.
Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa
perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi.
Beberapa manifestasi ekstraartikulerseperti vaskulitis dan
Felty syndromejarang dijumpai, tetapi sering memerlukan
terapi spesifik. Manifestasi ekstraartikularAR dirangkum
dalam Tabel 3.

Bentuk deformitas*

Keterangan

Deformitas leher angsa (swanneck)


Deformitas boutonniere

Hiperekstensi PIP dan


fleksi DIP.
Fleksi PIP dan
hiperekstensi DIP.
Deviasi MCP dan jari-jari
tangan kearah ulna.
Dengan penekanan
manual akan terjadi
pergerakan naik dan turun
dari ulnar styloid, yang
disebabkan oleh rusaknya
sendi radioulnar.
Fleksi dan subluksasi
sendi MCP I dan
hiperekstensidari sendi
interfalang.
Sendi MCP, PIP, tulang
carpal dan kapsul sendi
rnengalami kerusakan
sehingga terjadi instabilitas
sendi dan tangan tarnpak
mengecil (opereff? glass
hand).
MTP I terdesak kearah
medial dan jernpol kaki
rnengalarni deviasi kearah
luar yang terjadi secara
bilateral.

Deviasi ulna
Deformitas kunci piano (pianokey)

Deforrnitas Z-thumb

Arthritis mutilans

Hallux valgus
Sistern organ
Konstitusional
Kulit

Mata

Kardiovaskular
Paru-paru

Hematologi

Gastrointestinal
Neurologi
Ginjal
Metabolik

Manifestasi
Demam, anoreksia, kelelahan (fatigue),
kelemahan, limfadenopati
Nodul rematoid, accelerated
rheumatoid nodulosis, rheumatoid
vasculitis, pyoderma gangrenosum,
interstitial granulomatosus dermatitis
wHh arthritis, palisaded neutrophilic dan
granulomatosis dermatitis, rheumatoid
neutrophilic dermatitis, dan adult-onset
Still disease.
Sjogren syndrome (keratoconjunctivits
sicca), scleritis, episcleritis,
scleromalacia.
Pericarditis, efusi perikardial,
edokarditis, valvulitis.
Pleuritis, efusi pleura, interstitial
fibrosis, nodul reurnatoid pada paru,
Caplan's syndrome (infiltrat nodular
pada paru dengan pneumoconiosis).
Anemia penyakit kronik, trornbositosis,
eosinofilia, Felty syndrome ( AR
dengan neutropenia dan splenomegali).
Sjiigren syndrome (xerostomia).
amyloidosis, vaskulitis.
Entrapment neuropathy,
myelopathylmyositis.
Amyloidosis, renal tubular acidosis,
interstitial nephritis.
Osteoporosis.

Deformitas
Kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon dan
ligamenturn)menyebabkan terjadinya deformitas. Bentukbentuk deformitas yang bisa diternukan pada penderita
AR dirangkum dalam Tabel 4.

*Lihat foto artritis reumatoid

KOMPLlKASl
Dokter hams melakukan pemantauan terhadap adanya
komplikasi yang terjadi pada penderita AR. Komplikasi
yang bisa terjadi pada penderita AR dirangkum dalam
Tabel 5 dan Tabel 6.

PEMERIKSAAN PENUNJANG DlAGNOSTlK


Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitif untuk
konfirrnasi diagnosis AR. The American College of Rheumatology Subc0,mmittee on Rheumatoid Arthritis
(ACRSRA) merekomendasikanpemeriksaan laboratorium
dasar untuk evaluasi antara lain : darah perifer lengkap
(complete blood cell count), faktor reurnatoid (RF),laju
endap darah atau C-reactiveprotein (CRP). Pemeriksaan
fungsi hati dan ginjal juga direkornendasikan karena akan
membantu dalam pemilihan terapi.Bila hasil pemeriksaan
RF dan anti-CCP negatif bisa dilanjutkan dengan
pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita AR
yang mempunyai risiko tinggi mengalami prognosis buruk.
Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang bisa digunakan
untuk menilai penderita AR antara lain foto polos (plain
radiograph) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging).
Pada awal perjalanan penyakit rnungkin hanya ditemukan
pernbengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada

Komplikasi

Keterangan

Anemia

Berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit; 75% penderita AR mengalami anemia karena
penyakit kronik dan 25% penderita tersebut memberikan respon terhadap terapi besi.
Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan; kejadian limfoma dan leukemia
2 -3 kali lebih sering terjadi pada penderita AR; peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid;
penurunan risiko terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan karena penggunaan OAINS.
113 penderita AR mungkin mengalami efusi perikardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan;
miokarditis bisa terjadi, baik dengan atau tanpa gejala; blok atnoventrikular jarang ditemukan.
Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas, hati-hati
bila melakukan intubasi endotrakeal; mungkin ditemukan hilangnya lordosis servikal dan
berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6, penyempitan celah sendi pada
foto sevikal lateral. Myelopati bisa terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada ekstremitas
atas dan parestesia.
Episkleritis jarang terjadi.
Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena, terhubungnya bursa dengan kulit.
Umumnya merupakan efek dari terapi AR.
Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal; deformitas boutonniere (fleksi PIP dan
hiperekstensi DIP); deformitas swan neck (kebalikan dari deformitas boutonniere); hiperekstensi
dari ibu jari; peningkatan risiko ruptur tendon
Beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain : frozen shoulder, kista popliteal, sindrom
terowongan karpal dan tarsal.
Nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan pembentukan lesi kavitas; Bisa ditemukan
inflamasi pada sendi cricoarytenoid dengan gejala suara serak dan nyeri pada laring; pleuritis
ditemukan pada 20% penderita; fibrosis interstitial bisa ditandai dengan adanya ronki pada
pemeriksaan fisik (selengkapnya lihat Tabel 6).
Ditemukan pada 20 -35% penderita AR, biasanya ditemukan pada permukaan ekstensor
ekstremitas atau daerah penekanan lainnya, tetapi bisa juga ditemukan pada daerah sklera, pita
suara, sakrum atau vertebra.
Bentuk kelainannya antara lain : arteritis distal, perikarditis, neuropati perifer, lesi kutaneus,
artentis organ viscera dan arteritis koroner; terjadi peningkatan risiko pada : penderita perempuan,
titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam DMARD;
berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya infark miokard.

Kanker

Komplikasi kardiak

Penyakit tulang belakang


leher (centical spine
disease)
Gangguan mata
Pembentukan fistula
Peningkatan infeksi
Deformitas sendi tangan

Deformitas sendi lainnya


Komplikasi pernafasan

Nodul reumatoid

Vaskulitis

PIP = proximal interphalangeal; DIP = distal interphalangeal; RF = rheumatoid factor

Pleural disease
Pleural effusions, Pleural fibrosi
lnterstltial lung disease
Usual interstitial pneumonia, Nonspecific interstitial pneumonia, Organizing pneumonia, Lymphocytic interstitial
pneumonia. Diffuse alveolar damage, Acute eosinophilic pneumonia, Apical fibrobullous disease, Amyloid, Rheumatoid
nodules
Pulmonary vascular disease
Pulmonary hypertension, Vasculitis, Diffuse alveolar hemorrhage with capillaritis
Secondary pulmonary complications
Opportunistic infections
Pulmonary tuberculosis, Atypical mycobacterial infections, Nocardiosis, Aspergillosis. Pneumocystis jeroveci
pneumonia, Cytomegalovirus pneumonitis
Drug toxicity
Methotrexate, Gold, D-penicillamin, Sulfasalazin

pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya


penyakit mungkin akan lebih banyak ditemukan kelainan.
Osteopenia juxtaarticular adalah karakteristik untuk AR
dan chronic inflammatory arthritides lainnya. Hilangnya
tulang rawan artikular dan erosi tulang mungkin timbul
setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang
lebih 70% penderitaAR akan mengalami erosi tulang dalam
2 tahun pertama penyakit, dimana ha1 ini menandakan
penyakit berjalan secara progresif Erosi tulang bisatampak
pada semua sendi, tetapi paling sering ditemukan pada
sendi metacarpophalangeal, metatarsophalangeal dan

pergelangan tangan. Foto polos bermanfaat dalam


membantu menentukan prognosis, menilai kerusakan
sendi secara longitudinal, dan bila' diperlukan terapi
pembedahan.Pemeriksaan MRI mampu mendeteksi adanya
erosi lebih awal bila dibandingkan dengan pemeriksaan
radiografi konvensional dan mampu menampilkan struktur
sendi secara rinci, tetapi membutuhkan biaya yang lebih
tinggi. Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk AR
dirangkum pada Tabel 7 dan perbandingan sensitivitas
dan spesifisitas pemeriksaan autoantibodi pada AR
tampak pada Tabel 8.

Pemeriksaan penunjang
C-reactive protein (CRP)'
Laju endap darah (LED)'
Hernoglobinlhematokrit'
Jumlah lekosit'
Jurnlah trombosit'
Fungsi hati*
Faktor reumatoid (RF)'

Foto polos sendi*

MRI
Anticyclic citrullinated peptide
antibody (anti-CCP)
Anti-RA33
Antinuclear antibody (ANA)
Konsentrasi komplemen
lrnunoglobulin (lg)
Pemeriksaan cairan sendi
Fungsi ginjal
Urinalisis

Penemuan yang berhubungan


Umurnnya meningkat sampai > 0,7 picograrnlmL, bisa digunakan untuk monitor
perjalanan penyakit.
Sering rneningkat > 30 mmljam, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit.
Sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10 gldL, anemia norrnokrornik, mungkin juga
normositik atau mikrositik
Mungkin meningkat.
Biasanya meningkat.
Normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat.
Hasilnya negatif pada 30% penderita AR stadium dini. Jika perneriksaan awal negatif
dapat diulang setelah 6 - 12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif
pada beberapa penyakit seperti SLE, skleroderma, sindrom Sj6gren1s, penyakit
keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus, parasit atau bakteri). Tidak akurat untuk
penilaian perburukan penyakit.
Mungkin normal atau tarnpak adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada
stadium dini penyakit. Foto pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk
data dasar, sebagai pernbanding dalarn penelitian selanjutnya.
Marnpu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos,
tarnpilan struktur sendi lebih rinci.
Berkorelasi dengan perburukan penyakit, sensitivitasnya rneningkat bila dikornbinasi
dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibandingkan dengan RF. Tidak semua
laboratoriurn rnempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP.
Merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP negatif.
Tidak terlalu bermakna untuk penilaian AR.
Normal atau meningkat.
lg a-I dan a-2 mungkin rneningkat.
Diperlukan bila diagnosis rneragukan. Pada AR tidak diternukan kristal, kultur negatif
dan kadar glukosa rendah.
Tidak ada hubungan langsung dengan AR, diperlukan untuk mernonitor efek samping
terapi.
Hernaturia rnikroskopik atau proteinuria bisa diternukan pada kebanyakan penyakit
iarinaan ikat.

* Direkornendasikan untuk evaluasi awal AR

(%I
RF titer > 20 Ulrnl
RF titer tinggi (2
50 Ulml)
Anti-CCP
Anti-RA33

55
45

(%)
89
96

("/.)
84
92

41
28

98
90

96
74

'PPV = positive predictive value

Pada penelitian klinis, AR didiagnosis secara resmi dengan


menggunakan tujuh kriteria dari American College ofRheumatology seperti tampak pada Tabel 9. Pada penderita AR
stadium awal (early)munglun sulit menegakkan diagnosis
definitif dengan menggunakan kriteria ini. Pada kunjungan
awal, penderita hams ditanyakan tentang derajat nyeri,
durasi dari kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan
fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk
mengamati adanya ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas.
Liao dkk30 melakukan modifikasi terhadap kriteria ACR
dengan memasukkan pemeriksaan anti-CCP dan membuang

kriteria nodul reumatoid dan perubahan radiologis,


sehingga jumlah kriteria menjadi enam. Diagnosis AR
ditegakkan bila terpenuhi 3 dari 6 kriteria. Kriteria
diagnosis ini ternyatamemperbaiki sensitivitas dari knteria
ACR (74% :5 I%), tetapi spesifisitasnya lebih rendah dari
knteriaACR(81% : 91%).

DIAGNOSIS BANDING

AR hams dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya


seperti artropati reaktif yang berhubungan dengan infeksi,
spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat
lainnya seperti lupus eritematosus sistemik (LES), yang
mungkin mempunyai gejala menyerupai AR. Adanya
kelainan endohin juga hams disingkirkan. Artritis gout
jarang bersama-sama dengan AR, bila dicurigai ada artritis
gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan.
PROGNOSIS

Prediktor prognosis bumk pada stadium dini AR antara


lain : skor fungsional yang rendah, status sosialekonomi

Ada

Kaku pagi hari (morning


stiffness)
Artritis pada 3 persendian
atau lebih

Artritis pada persendian


tangan
Artritis yang sirnetrik
Nodul reumatoid
Faktor reumatoid serum
positif
Perubahan gambaran
radiologis

Kekakuan pada sendi dan sekitarnya yang berlangsung


paling sedikit selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
Paling sedikit 3 sendi secara bersamaan menunjukkan
pembengkakan jaringan lunak atau efusi (bukan hanya
perturnbuhan tulang saja) yang diobsewasi oleh seorang
dokter. Ada 14 daerah persendian yang mungkin terlibat
yaitu : PIP, MCP, pergelangan tangan, siku, lutut,
pergelangan kaki dan MTP kanan atau kiri.
Paling sedikit ada satu pembengkakan (seperti yang
disebutkan diatas) pada sendi : pergelangan tangan, MCP
atau PIP.
Keterlibatan sendi yang sama pada kedua sisi tubuh secara
bersamaan (keterlibatan b~lateralsendi PIP. MCP atau MTP
dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris).
Adanya nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang,
permukaan ekstensor atau daerah juxtaartikular yang
diobsewasi oleh seorang dokter.
Adanya titer abnormal faktor reumatoid serum yang
diperiksa dengan metode apapun, yang memberikan hasil
positif < 5% pada kontrol subyek normal.
Terdapat gambaran radiologis yang khas untuk artritis
reumatoid pada foto posterioanterior tangan dan
pergelangan tangan, berupa erosi atau dekalsifikasi tulang
yang terdapat pada sendi atau daerah yang berdekatan
dengan sendi (perubahan akibat osteoartrit~ssaja tidak
memenuhi persyaratan).

gejala atau tanda* :


Tidak ada

39

14

32

13

33
29
50
74
79

Diasumsikan bahwa probabilitas keseluruhan (overallprobability)untuk AR adalah 30%

- Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 4 atau lebih dari kriteria di atas, kriteria 1 - 4 sudah berlangsung minimal selama 6 minggu
rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga
dekat menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP
atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau antiCCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit,
ada nodul reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya.
Sebanyak 30% penderitaAR dengan manifestasi penyakit
berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun
sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan
penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan
respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan
oleh Lindqvist dkk pada penderita AR yang mulai tahun
1980-an, rnemperlihatkan tidak adanya peningkatan angka
mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah
diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada
penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah
1,6.Tetapi hasil ini rnungkin akan rnenurun setelah
penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.

Setiap kunjungan penderita AR, dokter hams menilai


apakah penyakitnya aktif atau tidak aktif (Tabel 10).Gejala
penyakit inflamasi sendi seperti kaku pagi hari, lamanya
kelelahan (ratigue) dan adanya sinovitis aktif pada
pemeriksaan sendi, mengindikasikan bahwa penyakit

Setiap kunjungan, evaluasi bukti subyektif and obyektif untuk


penyakit aktif :
- Derajat nyeri sendi (diukur dengan visual analog scale

Durasi
WAS) kaku pagi hari
Durasi kelelahan
Adanya inflamasi sendi aktif pada pemeriksaan fisik
(jumlah nyeri tekan dan bengkak pada sendi)
- Keterbatasanfungsi
Evaluasi secara rutin terhadap aktivitas atau progresivitas
penyakit
Bukti progresivitas penyakit pada pemeriksaan fisik
(keterbatasan gerak, instabilkas, malalignment, danlatau
deformltas)
Penlngkatan LED atau CRP
Perburukan kerusakan radlologls pada eendl yang
terllbat
Parameter laln untuk menilai respon terapi
Physician's global assessment of disease activlty
Patlent's global assessment of dlsease act/v/ty
Penllaian status fungsional atau kualltas hldup
dengan menggunakan kuesioner standar

dalam kondisi aktif sehingga perubahan program terapi


perlu dipertimbangkan. Kadang-kadang penemuan pada
pemeriksaan sendi saja mungkin tidak adekuat dalam
penilaian aktivitas penyakit dan kerusakan struktur,
sehingga pemeriksaan LED atau CRP, demikian juga

radiologis hams dilakukan secara rutin. Status fungsional


bisa dinilai dengan kuesioner, seperti Arthritis Impact
Measurement Scale atau Health Assessment Questionnaire. Perlu ditentukan apakah penurunan status
fungsional akibat inflamasi, kerusakan mekanik atau
keduanya, karena strategi terapinya berbeda.
Ada beberapa instumen yang digunakan untuk
mengukur aktivitas penyakit AR antara lain : Disease
Activity Index including an 28-joint count (DAS28),
Simplified Disease Activity Index (SDAI), European
League Against Rhezrmatism Response Criteria
(EULARC), Modified Health Asse.ssment Questionnaire
(M-HAQ) dan Clinical Disease Activity Index (CDAI).
Parameter-parameter yang diukur dalam instrumen tersebut
antara lain :
1. TenderJoint Count (TJC) : penilaian adanyanyeri tekan
pada 28 sendi.
2. Swollen Joint Count (SJC) : penilaian pembengkakan
pada 28 sendi.
3. Penilaian derajat nyeri oleh pasien : diukur dengan
Visual Analogue Scale (VAS, skala 0 - 10 crn).
4. Patient glohal assessment ofdiseuse activity (PGA) :
penilaian umuln oleh pasien terhadap aktivitas penyakit,
diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS, skala O10 cm).
5. Physician glohal assessment of' disease activity
(MDGA) : penilaian umum oleh dokter t e r h a d a p
aktifitas penyakit, diukur dengan Viszral Analogue
Scale (VAS, skala 0 - 10 cm).
6. Penilaian fungsi fisik oleh pasien : instrumen yang
sering digunakan adalah HAQ (HealthA s s e s s m e n f
Questionnaire)atau M-HAQ (ModifiedHealth Assessrnmf
Questionnaire).
7. Nilai acute-phase reacfants : yaitu kadar C-reactive
protein (CRP) atau nilai laju endap darah (LED)
DAS28 cukup praktis digunakan dalam praktek seharihari. Perhitungan DAS 28 (DAS28-LED) menghasilkan skala
0-9,84 yang menunjukkan aktivitas penyakit seorang
penderita AR pada saat tertentu. Nilai arnbang batas
aktivitas penyakit berdasarkan skor DAS28-LED dan
DAS28-CRP tampak pada Tabel 11.
Kelebihan DAS28 adalah selain dapat digunakan dalam
praktek sehari-hari, juga bermanfaat untuk melakukan
titrasi pengobatan. Keputusan pengobatan dapat diambil
berdasarkan nilai DAS28 saat itu atau perubahan nilai

oenvakit

Remisi
Rendah
Sedang
Tinaai

< 2,6
-< 3,2
> 3,2 sld 5 5,l
> 5.1.

-< 2,3
< 2,7
> 2,7 sld < 4,l
> 4.1

DAS28 dibandingkan dengan nilai sebelum pengobatan


dimulai. Terdapat korelasi yang jelas antara nilai rata-rata
DAS28 dengan jumlah kerusakan radiologis yang terjadi
selama periode waktu tertentu. DAS28 dan penilaian
aktivitas penyakit (tinggi atau rendah) telah divalidasi.
Dalam praktek sehari-hari pengukuran DAS28 dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

Tender 28 = nyeri tekan pada 28 sendi,


Swollen 28 = pembengkakan pada 28 sendi,
ESR = laju endap darah dalam 1 jam pertama,
GH = Patient's assessment ofgeneral health diukur
dengan VAS

American College O f Rheumatology (ACR) membuat


kriteria perbaikan untuk AR, tetapi kriteia ini lebih banyak
dipakai untuk menilai outcome dalam uji klinik dan tidak
dipakai dalam praktek klinik sehari-hari. Kriteria perbaikan
ACR 20% (ACR20) didefinisikan sebagai perbaikan 20%
jumlah nyeri tekan dan bengkak sendi disertai perbaikan
20% terhadap 3 dari 5 parameter yaitu : patient's global
assessment,physician b glohal assessment, penilaian nyeri
oleh pasien, penilaian disabilitas oleh pasien dan nilai
reaktan fase akut. Kriteria ini juga diperluas menjadi kriteria
perbaikan 50% dan 70% (ACRSO dan ACR7O)
Kriteria remisi
Menurut kriteria ACR, AR dikatakan inengalami remisi bila
memenuhi 5 atau lebih dari kriteria dibawah ini dan
berlangsung paling sedikit selama 2 bulan berturut-turut :
1. Kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari 15 rnenit
2. Tidak ada kelelahan
3. Tidak ada nyeri sendi (rnelalui anamnesis)
4. Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi
5. Tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau sarung
tendon
6. LED < 30 mrntjam untuk perernpuan atau < 20 mrntjam
untuk laki-laki (dengan metode Westergren)

Destruksi sendi pada AR dimulai dalarn beberapa rninggu


sejak timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan
rnenurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu
sangat penting untuk inelakukan diagnosis dan rnemulai
terapi sedini mungkin. ACRSRA mekomendasikan bahwa

penderita dengan kecurigaan AR hams dirujuk dalarn 3


bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis
dan inisiasi terapi DMARDs (Disease-modifying
antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi
terapi non farmakologik dan farmakologik.
Tujuan terapi pada penderita AR adalah :
1. Mengurangi nyeri
2. Mempertahankan status fungsional
3. Mengurangi inflamasi
4. Mengendalikan keterlibatan sistemik
5. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
6. Mengendalikan progresivitas penyakit
7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

'TERAPI NON FARMAKOLOGIK


Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada
penderita AR. Terapi puasa, suplementasi asam lemak
esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang
baik. Pemberian suplemen minyak ikan (codliver oil) bisa
digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada penderita
AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin
dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaatjangka
pendek. Penggunaan terapi herbal, acupuncture dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan.
Pembedahan hams dipertimbangkan bila : 1. Terdapat
nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi
yang ekstensif, 2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau
keterbatasan fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.

TERAPI FARMAKOLOGIK
Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi
obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk
mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau
intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin
digunakan seperti acetaminophen,opiat, diproqualone dan
lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik
untuk AR menggunakan pendekatan piramid yaitu :
pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai saat
diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau
penambahan terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan
gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse
pyramid) lebih disukai, yaitu pemberian DMARD sedini
mungkin untuk menghambat perburukan penyakit.
Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat
dari beberapa penelitian yaitu : 1. kerusakan sendi sudah
terjadi sejak awal penyakit; 2. DMARD memberikan
manfaat yang bermakna bila diberikan sedini mungkin; 3.
Manfaat DMARD bertambah bila diberikan secara
kombinasi; 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia
dan terbukti memberikan efek menguntungkan.

Penderita dengan penyakit ringan dan hasil


pemeriksaan radiologis normal, bisa dimulai dengan terapi
hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat, sulfasalazin atau
minosiklin, meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi
pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau
ada perubahan radiologis hams dimulai dengan terapi
MTX. Jika gejala tidak bisa dikendalikan secara adekuat,
maka pemberian leflunomide, azathioprine atau terapi
kombinasi (MTX ditambah satu DMARD yang terbaru)
bisa dipertimbangkan. Katagori obat secara individual akan
dibahas dibawah ini.
OAINS
OAJNS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi
nyeri dan pembengkakan. Oleh karena obat-obat ini
tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh
digunakan secara tunggal. Penderita AR mempunyai risiko
dua kali lebih sering mengalami komplikasi serius akibat
penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita
osteoartritis,oleh karena itu perlu pemantauan secara ketat
terhadap gejala efek samping gastrointestinal.
Glukokortikoid
Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang
dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala
dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid
hams diberikan dalam dosis minimal karena risiko tinggi
mengalami efek samping seperti osteoporosis, katarak,gejala
Cushingoid, dan gangguan kadar gula darah. ACR
merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi
glukokortikoid hams disertai dengan pemberian kalsium
I500 mg dan vitamin D 400 - 800 IU per hari. Bila artritis
hanya mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas
yang bermakna, maka injeksi steroid cukup aman dan efektif,
walaupun efeknya bersifat sementara.Adanya artritis infeksi
hams disingkirkan sebelum melakukan injeksi. Gejala
mungkin akan kambuh kembali bila steroid dihentikan,
terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga
kebanyakan Rheumatologist menghentikan steroid secara
perlahan &lam satu bulan atau lebih, untuk menghindari
rebound efect. Steroid sistemik sering digunakan sebagai
bridging therapy selama periode inisiasi DMARD sampai
timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi DMARD
terbaru saat ini mempunyai mula kerja relatif cepat.
DMARD
Pemberian DMARD hams dipertimbangkan untuk semua
penderita AR. Pemilihan jenis DMARD harus
mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit,
pengalaman dokter dan adanya penyakit penyerta.
DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX,
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin,
leflunomide, infliximab dan etanercept. Sulfasalazin atau
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan

yang merupakan chimeric IgGl anti-TNF-a antibody.


Penderita AR dengan respons buruk terhadap MTX,
mempunyai respon yang lebih baik dengan pemberian
infliximab dibandingkan plasebo. Adalimumabuga
merupakan rekombinan human IgGl antibody,
yang mempunyai efek aditif bila dikombinasi dengan
MTX.58 Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya infeksi, khususnya
reaktivasi tuberkulosis.
Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor
interleukin-1. Beberapa uji klinis tersamar ganda
mendapatkan*bahwaanakinra lebih efektif dibandingkan
dengan plasebo, baik diberikan secara tunggal
maupun dikombinasi dengan MTX. Efek sampingnya
antara lain iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan
risiko infeksi dan leukopenia. Rituximab merupakan
antibodi terhadap reseptor permukaan sel B (anti-CD2O)
menunjukkan efek cukup baik.Antibodi terhadap reseptor
interleukin-6 juga sedang dalam evaluasi. Jenis-jenis
DMARD yang digunakan dalam terapi AR dirangkum
dalam Tabel 12.

sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat,


MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai
terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukkan bahwa
kombinasi DMARD lebih efektif dibandingkan dengan
terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur
(childbearing) harus menggunakan alat kontrasepsi yang
adekuat bila sedang dalam terapi DMARD, oleh kerena
DMARD membahayakan fetus.
Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor
terhadap enzim intraselular yang diperlukan untuk sintesis
pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide
memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur
secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang
baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun. Antagonis
TNF menurunkan konsentrasi TNF-a, yang
konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi
penderita AR. Etanercept adalah suatu soluble
TNF-receptor fusion protein, dimana efek jangka
panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat
dalam memperbaiki gejala, sering dalam 2 minggu
terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab,

DMARD

Mekanisme kerja

Dosis

Waktu
Timbuinya

Efek Sarnping

NON BIOLOGIK
(Konvensional)

2 - 6 bulan

Mual, sakit kepala, sakit


perut, myopati, toksisitas
pada retina

1-2bulan

Mual, diare, kelemahan,


ulkus mulut, ruam, alopesia,
gangguan fungsi hati,
penurunan leukosit dan
trombosit, pneumonitis,
sepsis, penyakit hati, limfoma
yang berhubungan dengan
EBV, nodulosis
Mual, diare, sakit kepala,
ulkus mulut, ruam, alopesia,
mewarnai lensa kontak,
oligospermia reversibel,
gangguan fungsi hati,
leukopenia
Mual, leukopenia, sepsis,
limfoma

Hidroksiklorokuin
(Plaquenil),
Klorokuin fosfat

Menghambat: sekresi
sitokin, enzim lisosomal
dan fungsi makrofag

200 -400mg p.0.

Methotrexate
(MTX)

Inhibitor dihidrofolat
reduktase,
menghambat
kemotaksis, efek antiinflamasi melalui
induksi pelepasan ,
adenosin

7,5- 25 mg p.0, IM

Sulfasalazin

Menghambat : respon
sel B, angiogenesis

2 -3 gr p.0. per hari

1 3 bulan

Azathioprine
(Imuran)

Menghambat sintesis
DNA

50-150 mg p.o.per

2 - 3 bulan

Leflunomide
(Arava)

Menghambat sintesis
pirimidin

100 mg p.0. per hari


selama 3 hari
kemudian 10 20
mg p.0. per hari

4 -12minggu

Cyclosporine

Menghambat sintesis
IL-2 dan sitokin sel T
lainnya

2,5- 5 mglkgBB p.0.

2 - 4 bulan

per hari
250 mg p.0. per hari

atau SC per minggu

hari

per hari

Mual, diare, ruam, alopesia,


sangat teratogenik meskipun
obat telah dihentikan,
leukopenia, hepatitis,
trombositopenia
Mual, parestesia, tremor,
sakit kepala, hipertrofi gusi,
hipertrikosis, hipertensi,
gangguan ginjal, sepsis

DMARD

Mekanlsme kerja

Dosls

Waktu
timbulnya
respons

~ f e sarnping
k

D-Penicillamine
(Cuprimine)

Menghambat fungsi
set T helper dan
angiogenesis

250 -750 mg p.0.


per hari

3 - 6 bulan

Mual, hilangnya rasa kecap,


penurunan trombosit yang
reversibel

Garamemas
thiomalate
(Myochrysine)

Menghambat :
makrofag,
angiogenesis dan
protein kinase C
Menghambat
makrofag dan fungsi
PMN

25-50mg IM
setiap 2 - 4 minggu

6 - 8 minggu

3 mg p.o.2 kali per


hari atau 6 mg p.0.
per hari

4 - 6 bulan

Ulkus mulut, ruam, gejala


vasomotor setelah injeksi,
leukopenia, trombositopenia,
proteinuria, kolitis
Diare, leukopenia

Antibodi TNF
(human)

40 mg SC setiap 2
minggu

-4

Anakinra
(Kineret)

Antagonis reseptor
IL-1

100 - 150 mg SC
per hari

12-24
minggu

Etanercept
(Enbrel)

Reseptor TNF
terlarut (soluble)

lnfliximab
(Remicade)

~ntibodi
TNF
(chimeric)

Rituximab
(Rituxan. Mabthera)

Antibodi anti-set B
(CD20)

25 mg SC
2 kali per minggu
atau 50 mg SC per
minggu
3 mglkgBB IV (infus
pelan) pada minggu
ke- 0,2 dan 6
kemudian setiap 8
minggu
1000 mg setiap 2
minggu x 2 dosis

Abatacept
(Orencia)

10 mg/kgBB (500,
750 atau 1000 mg)
setiap 4 minggu

6 bulan'

Belimumab

Menghambat
aktivitas sel T
(costimulation
blockers)
humanized
monoclonal antibody
terhadap Blymphocyte
stimulator (BlyS)

1 mg, 4 mg atau 10
mg/kgBB IV pada
hari 0, 14,28
kemudian setiap 28
hari selama 24
minggu

24 minggu'

Uji klinis fase II

Tocilizumab
(Actemra TM)

Anti-IL-6 receptor
MAb

24 minggu'

Uji klinis fase Ill (OPTION


trial)

Ocrelizumab

humanized antiCD20 antibody

4 minggu*

Uji klinis fase II

lmatinib
(Gleevec)
Denosumab

Inhibitor protein
tirosin kinase
human monoclonal
lgG2 antibody
terhadap RANKL
human
anti-TNF-a antibody

4 mg atau 8
mg/kgBB infus
setiap 4 minggu
10 mg, 50 mg, 200
mg. 500 mg, dan
1000 mg infus pada
hari 1 dan 15
400 mg per hari

3 bulan*

Uji klinis fase II

60 mg atau 180mg
SC setiap 6 bulan
selama 1 tahun
1 mg; 5 mg atau 20
mg/kgBB infus
tunggal
300 mg, 700 mg
atau 1000 mg infus
pada hari 0 dan 14

6 bulan'

Uji Klinis fase II

4 minggu*

Uji klinis fase II

24 minggu*

Uji Klinis fase II

Auranofin
(Ridaura)
BlOLOGlK
Adalimumab
(Humira)

Certolizumab Pegol
(CDP870)
Ofatumumab (HuMaxCD20)

human monoclonal
anti-CDPO lgG1
antibody

Beberapa hari
bulan

Beberapa hari

- 12 minggu

Reaksi infus, peningkatan


risiko infeksi termasuk
reaktifasi TB, gangguan
demyelinisasi
lnfeksi dan penurunan
jumlah netrofil, sakit kepala,
pusing, mual,
hipersensitivitas
Reaksi ringan pada tempat
suntikan, kontraindikasi
pada infeksi, demyelinisasi

Beberapa hari
- 4 bulan

Reaksi infus, peningkatan


risiko infeksi termasuk
reaktivasi TB, gangguan
demyelinisasi

3 bulan'

Reaksi infus, aritmia


jantung, hipertensi, infeksi,
reaktivitas hepatitis B,
sitopenia, reaksi
hipersensitivitas
Reaksi infus, infeksi, reaksi
hipersensitivitas,eksasebasi
COPD

DMARD

Atacicept

Golimumab

Fontolizumab

Mekanisrne kerja

Dosis

Waktu
Timbulnya
respons

Efek sarnping

Recombinant fusion protein


yang mengikat dan
menetralkan 19lymphocyte
stimulator (BlyS dan a
proliferation-inducingligand
(APRIL)
Fully human protein
(antibody) yang mengikat
TNF-a

70 mg, 210 mg, atau


630 mg SC dosis
tunggal atau 70 mg,
210 mg atau 420 mg
SC dosis berulang
setiap 2 minggu
50 mg atau 100 mg
SC setiap 2 atau 4
minggu

3 bulan'

Uji klinis fase Ib

16 minggu*

Uji klinis fase II (Uji


klinis fase Ill mulai
Februari 2006-Juli
2012)

humanised anti-intefferon
gamma antibody

Uji klinis fase II

Keterangan :
'Waktu terpendek yang ditetapkan oleh peneliti untuk mengevaluasi respon terapi
IM = intramuscular; IV = intravenous; p.0. = per oral; SC = subcutan; EBV = Epstein-Barr Virus; MMPs = matrix
rnetalloproteinases; TB = tuberkulosis; PMN = polymorphonuclear; MAb =

PEMANTAUAN KEAMANAN TERAPI DMARD

Terapi Kornbinasi
Banyak penelitian memperlihatkan bahwa efikasi
terapi kombinasi lebih superior dibandingkan
dengan terapi tunggal, tanpa memperbesar toksisitas.
Regimen terapi kombinasi yang efektif dan aman digunakan
untuk penderita AR aktif yang tidak terkontrol adalah salah
satu dari kombinasi berikut : MTX + hidroksiklorokuin,
MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine, MTX +
sulfasalazine+ prednisolone, MTX + leflunomide, MTX +
infliximab,MTX + etanercept, MTX + adalimumab, MTX
+ anakinra, atau MTX +rituximab.
Penderita AR yang memberikan respons suboptimal
dengan terapi MTX saja, akan memberikan respons yang
lebih baik bila diberikan regimen terapi kombinasi.
Terapi kombinasi juga efektif dalam menghambat
progresivitas penyakit dan kemsakan radiografi, temtama
untuk regimen terapi kombinasi MTX + inhibitor TNF, tetapi
harganya jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan
regimen kombinasi MTX + hidroksiklorokuin atau
sulfasalazine.

Sebelum pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar


terhadap keamanan pemberian. DMARD tersebut. ACR
merekomendasikan evaluasi dasar yang hams dilakukan
sebelum memberikan terapi DMARD antara lain: darah perifer
lengkap (complete blood counts), kreatinin serum dan
transaminase hati. Untuk pemberian hidroksiklorokuin atau
klorokuin fosfat perlu dilakukan pemeriksaan oftalmologik
berupa pemeriksaan retina dan lapangan pandang.
Sedangkan penderita yang mendapat methotrexate dan
leflunomide perlu pemeriksaan tambahan yaitu screening
terhadap hepatitis B dan C. (Tabel 13) Setelah DMARD
diberikan perlu dilakukan pemantauan secara berkala
untuk mengidentifikasi sedini mungkin adanya toksisitas.

REKOMENDASI KLlNlK
Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan oleh dokter dalam
penanganan penderita AR dalam praktek klinik sehari-hari
tampak dalam Tabel 14.

Jenis DMARD

Non biologik
Hidroksiklorokuinl
Klorokuinfosfat
Leflunomide
Methotrexate
Minocycline
Sulfasalazine
Blologlk
Semua aaen bioloaik
*CBC = complete blood counts

Perneriksaan
Kreatlnln
Hepatitis
serum
B dan C

CBC*

Transarnlnase
hat1

X
X
X
X

X
X
X
X

X
X
X
X

Oftalrnologik

X
X
X

Rekomendasi klinik

Tingkat bukti
(evidence rating)

Penderita AR harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala dan
menghambat perburukan penyakit.

Penderita dengan inflamasi sendi persisten ( lebih dari 6 - 8 minggu) yang sudah
mendapat terapi analgetik atau OAlNS harus dirujuk ke insitusi rujukan reumatologi, lebih
baik sebelum 12 minggu.

Melakukan edukasi satu per satu untuk penderita AR setelah diagnosis ditegakkan.
OAlNS untuk meredakan gejala harus diberikan dengan dosis rendah dan harus
diturunkan setelah DMARD mencapai respons yang baik.
8

Gastroproteksi harus diberikan pada penderita usia > 65 tahun atau ada riwayat ulkus
peptikum.
lnjeksi kortikosteroid intra-artikular bermanfaat, tetapi tidak diberikan lebih dari 3 kali dalam
setahun.

Kortikosteroid dosis rendah efektif mengurangi gejala tetapi mempunyai risiko tinggi
terjadinya toksisitas, oleh kerena itu berikan dosis paling rendah dengan periode
pemberian yang pendek.
Kombinasi terapi lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal.
8

Efikasi terapi harus dimonitor, perubahan hemoglobin, LED dan CRP merupakan indikator
respon terapi dan penggunaan instrumen kriteria respon dari European League Against
Rheumatismbermanfaat untuk menilai perburukan penyakit.
Pendekatan secara multidisiplin bermanfaat, paling tidak dalam jangka pendek, oleh
karena itu penderita harus bisa mendapatkan perawatan profesional secara luas, yang
meliputi dokter pelayanan primer, ahli reumatologi, perawat khusus, ahli terapi fisik, ahli
occupational, ahli gizi, ahli perawatan kaki (podiatrists), ahli farmasi dan pekerja sosial.

Latihan bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas aerobik dan kekuatan otot tanpa
memperburuk aktivitas penyakit atau derajat nyeri.
-

FOTO ARTRlTlS REUMATOID

--

Foto 1. Pembengkakan PIP

Foto 4. Deformitas boutonnMre dengan


nodul reumatoid multipel

Foto 2. Erosi sendi

Foto 5. Deviasi ulna

Foto 3. Deformitas leher angsa (swan


neck)

Foto 6. Deformitas Z-thumb

Foto 7. Artritis mutilans

Foto 8. Nodul reumatoid

Foto 10. Hallux valgus

Foto 1l.Vaskulitis reurnatoid

Foto 13. Scleritis pada AR

Foto 14. Sclerornalacia perforans


pada AR

REFERENSI
Buch M,Emery P. The aetiology and pathogenesis of rhaumatoid
arthritis. Hospital Farm 2002;9:5-10.
Cush JJ, Kavanaugh A, Stein CM. Rheumatology Diagnosis &
Therappeutics. 2Ih ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2005. p.323-333.
Smith HR. Rheumatoid arthritis. (dikutip tanggal 21 Oktober 2008).
Dapat diperoleh di URL : http://www.emedicine.com/med/
TOICZO24.HTM.
Rindfleisch JA, Muller D. Diagnosis and Management of
Rheumatoid arthritis. Am Fam Physician 2005;72:1037-47.
Silman AJ, Pearson JE. Epidemiology and genetics of rheumatoid
arhtritis. Arthritis Res 2002; 4 (suppl 3):S265-S272.
Mijiyawa M. Epidemiology and semiology of rheumatoid arthritis
in Third World countries. Rev Rhum Engl Ed 1995;62(2):121-6.

Foto 9. Accelerated rheumatoid


nodulosis

Foto 12. Episcleritis pada AR

Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD.The epidemiology of rheumatoid arthritis in Indonesia. Br J Rheumatol
1993;32(7):537-40.
Albx Z . Perkembangan Pengobatan Penyakit Rematik. Kajian khusus
terhadap farmakoterapi artritis reumatoid masa kini dan
perkembangannya di masa depan. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007. 54 hal. Pidato Pengukuhan Guru
Besar.
Bowes J, Barton A. Recent advances in the genetics of RA susceptibility. Rheumatology 2008 47(4):399-402.
Turesson C, Matteson EL. Genetics of rheumatoid arthritis. Mayo
Clin Proc 2006;81(1):94-101.
Nelson JL, Hughes KA, Smith AG, Nisperos BB, Branchaud AM,
Hansen JA. Maternal-Fetal Disparity in HLA Class I1 Alloantigens and the Pregnancy-Induced Amelioration of Rheumatoid
Arthritis. N Engl J Med 1993;329:466-71.

Firestein GS. Etiology and pathogenesis of rheumatoid arthritis. In:


Ruddy S, Hams ED, Sledge CB, Kelley WN, eds. Kelley's Textbook of rheumatology. 7th ed. Philadelphia: W.B. Saunders,
2005:996-1042.
Harris ED. Clinical features of rheumatoid arthritis. In: Ruddy S,
Harris ED, Sledge CB, Kelley WN, eds. Kelley's Textbook of
rheumatology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders, 2005:1043-78.
Mikuls TR, Cerhan JR, Criswell LA, Merlino L, Mudano AS, Burma
M, et al. Coffee, tea, and caffeine consumption and risk of
rheumatoid arthritis: results from the Iowa Women's Health
Study. Arthritis Rhetrm 2002;46:83-91.
Merlino LA, Curtis J, Mikuls TR, Cerhan JR, Cnswell LA, Saag KG
Vitamin D intake is inversely associated with rheumatoid
arthritis: results from the Iowa Women's Health Study, Arthritis
Rheum 2004;50:72-7.
Feldmann M, Brennan FM, Maini RN. Role of cytokines in rheumatoid arthritis. Annu Rev Immunol. 1996; 14:397-440.
Goldman JA. Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis and Its Implications for Therapy - The Need for EarlyIAggressive Therapy.
(dikutip Tanggal 6 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL :
http://www.prince~oncme.com/pdf/programs/report629.pdf:
Choy EHS, Panayi GS. Cytokine pathways dan joint inflammation
in rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2001 ;344:907-16.
Lundy SK, Sarkar S, Tesmer LA, Fox DA. Cells of the synovium in
rheumatoid arthritis. T lymphocytes. Arthritis Research &
Therapy 2007;9(1): 1 - 1 1.
Shaw T, Quan J, Totoritis MC. B cell therapy for rheumatoid arthritis: the rituximab (anti-CD2O) experience. Ann Rheum Dis
2003;62:55-59.
Mauri C, Ehrenstein MR. Cells of the synovium in rheumatoid
arthritis. B cells. Arthritis Research & Therapy 2007;9(2): 1-6.
Wikipedia. Rheumatoid Arthritis. (dikutip tanggal 6 Oktober 2008).
Dapat diperoleh di URL : http://en.wikipedia.org/wiki/
Rheumatoid-arthritis.
Syah A, English JC. Rheumatoid arthritis: A review of the
, cutaneous manifestations. J Am Acad Dermatol 2005;53: 191-209.
Brown KK. Rheumatoid lung disease. Proc Am Thorac Soc
2007;4:443-448.
American College of Rheumatology Subcommittee on
Rheumatoid Arthritis Guidelines. Guidelines for the management o f rheumatoid arthritis: 2002 update. Arthritis Rheum
2002;46:328-46.
Nell VPK, Machold KP, Stamm TA, Eberl G, Heinz H, Uffmann M,
et al. Autoantibody profiling as early diagnostic and
prognostic tool for rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis
2005;64;173 1-36.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of early
rheumatoid arthritis. SIGN No. 48. (dikutip tanggal 6 Oktober
2008). Dapat diperoleh di URL : http://www.sign.ac.uk/

guidelines/fulltext/48/index.html.
Avouac J, Gossec L, Dougados M. Diagnostic and predictive value of
anti-CCP (cyclic citrullinated protein) antibodies in rheumatoid arthritis: a systematic literature review. Ann Rheum Dis
2006; doi: 10.1 136/ard.2006.05 1391.
Nishimura K, Sugiyama D, Kogata Y, Tsuji G, Nakazawa T, Kawano
S, et al. Meta-analysis: Diagnostic Accuracy o f Anti-Cyclic
Citrullinated Peptide Antibody and Rheumatoid Factor for
Rheumatoid Arthritis. Ann Intern Med. 2007;146:797-808.
Liao KP, Batra KL, Chibnik L, Schur PH, Costenbader KH.
Anti-CCP revised criteria for the classification of rheumatoid
arthritis. Ann Rheutn Dis 2008: doi: 10.1 136lard. 2007.082339.
Amen FC, Edworthy SM, Bloch DA, McShane DJ, Fries JF, Cooper
NS, et al. The American Rheumatism Association 1987 revised

criteria for the classification of rheumatoid arthritis. Arthritis


Rheum 1988;3 1 :3 15-24.
Berglin 'E. Predictors of disease onset and progression in early rheumatoid arthritis. A clinical, laboratory and radiological study
(dikutip tanggal 12 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL :
h , t t v : / / w w w . d i v a - ~ o r l a l . o r e / d i v a /
getDocument?urnnbn s
e
u
m
u
f
.
Boers M. Rheumatoid arthritis. Treatment of early disease. Rheum
Dis Clin North Am 2001;27:405-14.
Lindqvist E, Eberhardt K. Mortality in rheumatoid arthritis patients with disease onset in the 1980s. Ann Rheutn Dis
1999;58:11-4.
Chehata JC, Hassell AB, Clarke SA, Mattey DL, Jones MA, Jones
PW, et al. Mortality in rheumatoid arthritis: relationship to
single and composite measures of disease activity. Rheumatolo g y 2001;40:447-52.
Leeb BF, Andel I, Leder S, Leeb BA, Rintelen B. The patient's
perspective and rheumatoid arthritis disease activity indexes.
Rheumatology 2005;44:360-365.
Smolen JS, Breedveld FC, Schiff MH, Kalden JR, Emery P, Eberl G,
e t al. A simplified disease activity index for rheumatoid
arthritis for use in clinical practice. Rheumafology
2003;42:244-257.
Aletaha D, Landewe R, Karonitsch T, Bathon J, Boers M,
Bombardier C, et al. Reporting disease activity in clinical trials
of patients with rheumatoid arthritis: EULARIACR collaborative recommendations. Ann Rhetrm Dis 2008;67;1360-64.
Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis
Rhettm 2008;59: 762-784.
lnoue F, Yamanaka H, Hara M, Tomatsu T, Kamatani N.
Comparison of DAS28-ESR and DAS28-CRP threshhold values. Ann Rheum Dis 2006;doi: 10.1 1361 ard. 2006. 054205.
EULAR. Disease activity score in rheumatoid arthritis (dikutip
, tanggal 12 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : htfp:N
www.das-score. nl.
van Gestel AM, Haagsma CJ, van Riel PLCM. Validation of rheumatoid arthritis improvement criteria that include simplified joint
counts. Arthritis Rheum 1998;41: 1845-50.
Leeb BF, Andel I, Sautner J. Fassl C, Nothnagi T, Rintelen B. The
Disease Activity Score in 28 Joints in Rheumatoid Arthritis and
Psoriatic Arthritis Patients. Arthritis Rheum 2007;57: 256-60.
Felson DT, Anderson JJ, Boers M, Bombardier C, Furst D, Goldsmith C, et al. ACR Preliminary Definition of Improvement In
Rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum I995;38:727-35.
Makinen H, Hannonen P, Sokka T. Definitions of remission for
rheumatoid arthritis and review of selected clinical cohorts and
randomised clinical trials for the rate of remission. Clin Exp
Rheumatol 2006; 24 (Supp1.43):S22-S28.
Emery P, Breedveld FC, Dougados M, Kalden JR, Schiff MH, Smolen
JS. Early referral recommendation for newly diagnosed rheumatoid arthritis: evidence based development of a clinical guide.
Ann Rheum Dis 2002;61:290-7.
Belch JJ, Ansell D, Madhok R, O'Dowd A, Sturrock RD.Effects of
altering dietary essential fatty acids on requirements for nonsteroidal anti:inflammatory drugs in patients with rheumatoid
. . arthritis: a double blind placebo controlled study. Ann Rheum
Dis 1988;47;96-104.
Kavuncu V, Evcik D. Physiotherapy in Rheumatoid Arthritis.
Medscape General Med 2004;6:3.
Verhagen AP, Bierma-Zcinstra SM. C'ardoso JR, de Bie RA, Boers M,

de Vet HC. Balneotherapy for rheumatoid arthritis. Cochrane


Database Syst Rev 2008;(4): CD0005 18.
Van Den Ende CH, Vliet liel land TP, Munneke M, Hazes JM. Dynamic exercise therapy for rheumatoid arthritis. Cochrane
Database Syst Rev 2008;(1):CDq00322.
Galarraga B, Ho M, Youssef HM,Hill & McMahon H, Hall C, et al.
Cod liver oil (n-3 fatty acids) ad:arrnon-steroidal anti-inflammatory drug sparing agent in rheumatoid arthritis. RheumatolI:
....
ogy 2008;47:665-9. .
. ..,..
..
Egan M, Brosseau L, Farmer M, Ouimet MA, Rees S, Wells G, et al.
Splints/orthoses in the treatment of rheumatoid arthritis.
Cochrane Database Syst Rev 2001;(4): CD0040 18.
Olsert NJ, Stein CM. New drugs for rheumatoid arthritis. N Engl J
Med 2004;350: 2167-79.
~ i j l s m aJWJ, Boers M, Saag KG, Furst DE. Glucocorticoids in the
treatment of early and late RA. Ann Rheum Dis 2003;62;1033-37.
van Everdingen AA, Jacobs JW, Siewertsz Van Reesema DR, Bijlsma
JW. Low-dose prednisone therapy for patients with early active
rheumatoid arthritis: clinical efficacy, disease-modifying properties, and side effects. Ann Intern Med 2002;136: 1-12.
Cohen S, Cannon GW, Schiff M, Weaver A, Fox R, Olsen N, et al;
Two-year, blinded, randomized, controlled trial of treatment of
active rheumatoid arthritis with leflunomide compared with
methotrexate. Arthritis Rheum 2001;44:1984-92.
Bathon JM, Martin RW, Fleischmann RM, Tesser JR, Schiff MH,
Keystone EC, et al. A comparison of etanercept and methotrexate in patients with early rheumatoid arthritis. N Engl J Med
2000;343: 1586-93.
Lipsky PE, van der Heijde DM, St Clair EW, Furst DE, Breedveld
FC, Kalden JR, et al. Infliximab and methotrexate in the heatment of rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2000;343:1594-602.
Weinblatt ME, Keystone EC, Furst DE, Moreland LW, Weisman
MH, Birbara CA, et al. Adalimumab, a fully human anti-tumor
necrosis factor alpha monoclonal antibody, for the treatment
of rheumatoid arthritis in patients taking concomitant
methotrexate: the ARMADA trial. Arthritis Rheum 2003;48:35-45.
Nuki Q Breshnihan B, Bear MB, McCabe D. Long-term safety and
maintenance of clinical improvement following treatment with
anakinra (recombinant human interleukin-l receptor
antagonist) in patients with rheumatoid arthritis: extension phase
of a randomized, double-blind, placebo-controlled trial.
Arthritis Rheum 2002; 46: 2838-46.
Finger E, Scheinberg MA. Rituximab (Mabthera), a new
approach for the treatment of rheumatoid arthritis. A systematic review. Einstein 2007;5(4):378-86.
Siddiqui MAA. The Efficacy And Tolerability Of Newer Biologics In
Rheumatoid Arthritis: Best Current Evidence. Curr Opin
Rheumatol 2007;19(3):308-13.
McGonagle D, Tan AL, Madden J, Taylor L, Emery P. Rituximab
use in everyday clinical practice as a first-line biologic therapy
for the treatment of DMARD-resistant rheumatoid arthritis.
Rheumatology 2008;47(6):865-67,
Jois RN, Masding A, Somerville M, Gaffney MK, Scott DGI.
Rituximab therapy in patients with resistant rheumatoid arthritis: real-life experience. Rheumatology 2007;46:980-82.
Lee ATY, Pile K. Disease modifying drugs in adult rheumatoid arthritis. Aust Prescr 2003;26:36-40.
Genovese MC, Becker JC, Schiff M, Luggen M, Sherrer Y, Kremer J,
et al. Abatacept for Rheumatoid Arthritis Refractory to Tumor
Necrosis Factor d Inhibition. N Engl J Med 2005;353: 1114-23.
67. Shankar S, Handa R. Biological agents in rheumatoid arthritis. J
Postgrad Med 2004;50:293-9.
'

Cohen SB, Dore RK,Lane NE, Ory PA, Pete* CG, Sharp JT, et al.
Denosumab treatment effects on structural damage, bone mineral density, and bone turnover in rheumatoid arthritis: a twelvemonth, multicenter, randomized, double-blind, placebo-controlled, phase I1 clinical trial. Arthritis Rheum 2008;58(5):1299309.
Yazici Y. B-Cell-Targeted Therapies: Reports From the ACR 2007
Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : http://www. medscape. com /viewarticle/
567522.
Fox RI. Update on Novel and Emerging Therapies for RA: Report
From the ACR 2007 Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober
2008). Dapat diperoleh di URL : http://www.medscape.com/
viewarticle/567521.
Smolen J. The investigational compound tocilizumab (ActemraTM)
significantly reduces disease activity in patients with moderate
to severe rheumatoid arthritis (RA) who have an inadequate
response to methotrexate, researchers announced at the European League Against Rheumatism (EULAR) 2007 (dikutip
tanggal 17 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://
www.medicalnewstoday.com/ healthnews. php?newsid=74370.
Kelly J. Progress in RA with rituximab, belimumab, and 2 novel
approaches (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh
di URL : http://www.medscape.com/ viewarticle/538181.
EULAR 2007. Preliminary Results Show Potential Of Ofatumumab
In Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008).
Dapat diperoleh di URL : http://www.medicalnewstoday.com/
articled7443 7.php.
Novartis Pharma AG. A Study of Imatinib 400 Mg Once Daily in
Combination With Methotrexate in the Treatment of Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : htip://clinicaltrials.gov/ct2/show/
NCT00154336? term=imatinib & rank=30.
Tak PP. Thurlings RM, Rossier C, Nestorov I, Dimic A, Mircetic V,
et al. Atacicept in patients with rheumatoid arthritis: Results of
a multicenter, phase Ib, double-blind, placebo-controlled, doseescalating, single- and repeated-dose study. Arthritis Rheum
2008;58(1):6 1-72.
Centocor, Inc. A Study of the Safety and Efficacy of Golimumab
(CNTO 148) in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis
Previously Treated With Biologic Anti-TNFa Agent(s) (dikutip
tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://
clinicaltrials.gov/ct/show/~C~O0299546.
Kay J, Matteson EL, Dasgupta B, Nash P, Durez P, Hall S, et al.
~olimlimabin patients with active rheumatoid arthritis despite
treatment with methotrexate: A randomized, double-blind, placebo-cqntrdled, dose-ranging study. Arthritis Rheum
2008;58:964-75.
BioPharma, 'Inc. A Phase 2 Study to Evaluate the Safety, Tolerability, and Activity of Fontolizumab in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : http://clinicaltrials.gov/ct2/show/record/
~~~00281294:
Kremer JM, Westhovens R, Leon M, Giorgio ED, Alten R, Steinfeld
S, et al. Treatment of Rheumatoid Arthritis by Selective Inhibition of T-cell Activation with Fusion Protein CTLA4Ig. N
Engl J Med 2003;349:1907-15.
Weinblatt ME, Kremer JM, Bankhurst AD, Bulpitt KJ, Fleischmann
RM, Fox RI, et al. A Trial of etanercept, a recombinant tumor
necrosis factor receptor : Fc fusion protein, in patients with
rheumatoid arthritis receiving methotrexate. N Engl J Med
1999;340:253-9.

Edwards JCW, Szczepafiski L, Szechifiski J, Filipowicz-Sosnowska


A, Emery P, Close DR, et al. Efficacy of B-Cell-Targeted
Therapy with Rituximab in Patients with Rheumatoid Arthritis.
N Engl J Med 2004;350:2572-81.
O'Dell JR. Therapeutic Strategies for Rheumatoid Arthritis. N Engl
J Med 2004;350:2591-602.
Breedveld FC, Emery P, Keystone E, Patel K, Furst DE, Kalden JR,
et al. Infliximab in active early rheumatoid arthritis. Ann Rheum
Dis 2004;63;149-55.
Furst DE, Breedveld FC, Kalden JR, Smolen JS, Burmester GR, Sieper
J, et al. Updated consensus statement on biological agents for
the treatment of rheumatic diseases, 2007. Ann Rheum Dis
2007;66;iii2-iii22.
Goekoop-Ruiterman YPM, de Vries-Bouwstra JK, Allaart CF, van
Zeben D, Kerstens PJSM, Hazes JMW, et al. Comparison of
Treatment Strategies in Early Rheumatoid Arthritis.
A Randomized Trial. Ann Intern Med. 2007;146:406-415.
Sebba A. Tocilizumab: The First Interleukin-6-Receptor Inhibitor.
Am J Health-Syst Pharm 2008;65(15): 1413- 18.
Scott DL, Smolen JS, Kalden IR, van de Putte LBA, Larsen A, Kvien
TK, et al. Treatment of active rheumatoid arthritis with
leflunomide: two year follow up of a double blind, placebo controlled trial versus sulfasalazine. Ann Rheum Dis 2001;60;91323.
Hochberg MC, Tracy JK, Hawkins-Holt M, Flores RH, et al. Comparison of the efficacy of the tumour necrosis factor a blocking
agents adalimumab, etanercept, and infliximab when added to
methotrexate in patients with active rheumatoid
arthritis. Ann Rheum Dis 2003;62(Suppl II):iil3-iil6.
Fan PT, Leong KH. The Use of Biological Agents in the
Treatment of Rheumatoid Arthritis. Ann Acad Med Singapore
2007;36: 128-34.
Gossec L, Dougados M. Combination therapy in early rheumatoid
arthritis. Clin Exp Rheumatol 2003; 21 (Suppl. 31):S174-S178.
Capell A, Madhok R, Porter DR, Munro RAL, McInnes IB, Hunter
JA, et al. Combination therapy with sulfasalazine and methotrexate is more effective than either drug alone in
patients with rheumatoid arthritis with a suboptimal response
to sulfasalazine: results from the double-blind placebo-controlled
MASCOT study. Ann Rheum Dis 2007;66;235-41.

Strand V, Cohen S, Schiff M, Weaver A, Fleischmann R, Cannon 4


et al. Treatment of Active Rheumatoid Arthritis With
Leflunomide Compared With Placebo and Methotrexate. Arch
Intern Med 1999;159:2542-50.
van der Heijde D, Klareskog L, Singh A, Tornero J, Melo-Gomes J,
Codreanu C, et al. Patient reported outcomes in a trial of combination therapy with etanercept and methotrexate for rheumatoid arthritis: the TEMPO trial. Ann Rheum Dis
2006;65;328-34.
Burmester GR, Mariette X, Montecucco C, Monteagudo-Sbez I,
Malaise M, Tzioufas AG, et al. Adalimumab alone and in
combination with disease-modifying antirheumatic drugs for
the treatment of rheumatoid arthritis in clinical practice: the
Research in Active Rheumatoid Arthritis (ReAct) trial. Ann
Rheum Dis 2007;66;732-39.
van Riel PLCM, Taggart AJ, Sany J, Gaubitz M, Nab HW, Pedersen
R, et al. Efficacy and safety of combination etanercept and
methotrexate versus etanercept alone in patients with
rheumatoid arthritis with an inadequate response to methotrexate: the ADORE study. Ann Rheum Dis 2006;65;1478-83.
O'Dell JR, Haire CE, Erikson N, Drymalski W, Palmer W, Eckhoff
J, et al. Treatment of rheumatoid arthritis with
methotrexate alone, sulfasalazine and hydroxychloroquine, or
a combination of all three medications. N Engl J Med
1996;334: 1287-91.
Saag K 4 Teng G 4 Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifying Antirheumatlc Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis
Rheum 2008;59:762-84.
Saag KG Teng G 4 Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic DiseaseModifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rheum 2008;59:762-84.

SINDROM SJOGREN
Yuliasih

PENDAHULUAN
Sindrom Sjogren (SS) adalah penyakit sistemik autoimun
yang mengenai kelenjar eksokrin dengan perkembangan
penyakit yang larnbat. Gejala kliniknya tidak terbatas hanya
pada gangguan sekresi kelenjar tetapi disertai pula dengan
gejala sistemik atau ekstraglanduler.Gejala awal biasanya
ditandai dengan mulut dan mata kering yang kadangkadang disertai pembesaran kelenjar parotis. Secara
histopatologi kelenjar eksokrin penuh dengan infiltrasi
limfosit yang mengganti epitel yang berfungsi untuk
sekresi kelenjar (exocrinopathy).Patogenesisnyadikaitkan
dengan adanya autoantibodi yaitu anti-Ro (SS-A) clan antiLa (SS-B).
Berdasarkan penyakit yang mendasari SS
dikelompokkan menjadi 2, primer bila tidak terkait dengan
penyakit autoimun yang lain, dan sekunder bila ada
penyakit autoimun yang mendasari misalnya SLE, RA,
skleroderma. SS pertama kali dilaporkan oleh Hadden,
Leber dan Mikulicz tahun 1800, kemudian Sjogren di
Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa SS terkait dengan
poliartritis dan penyakit sistemik lainnya. Pada tahun 1960
baru ditemukan adanya autoantibodi anti-Ro dan antiLa. Sinonim SS ini antara lain Mickulicz's d i s e ~ s e ,
Gougerot h syndrome, Sicca syndrome, dan autoimune
expcrinopathy

SS bisa dijumpai pada semua umur, terutama perempuan


dengan perbandingan perempuan dengan pria 9: 1.
Sampai saat ini prevalensinya belum diketahui dengan
pasti karena seringnya sindrom ini bertumpang tindih
dengan penyakit reumatik lainnya. Selain itu gejala klinik
yang muncul pada awal ljenyakit sering kali tidak spesifik.

di Amerika diperkirakan yang menderita SS sekitar 2-4


juta orang, hanya lima puluh persennya saja yang tegak
diagnosisnya, dan hampir 60% ditemukan bersamaan
dengan penyakit autoimun lainnya antara lain AR, LES,
skleroderma .

Reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi SS tidak


hanya sistem imun selular tetapi juga sistem imun humoral.
Bukti keterlibatan sistem humoral ini dapat dilihat adanya
hipergammaglobulin dan terbentuknya autoantibodi yang
berada dalam sirkulasi. Autoantibodi yang dapat dideteksi
pada SS ini ada dua jenis yaitu:
Antibodi spesifik organ: autoantibodi kelenjar saliva,
tiroid, mukosa gaster, eritrosit, pankreas, prostat dan
serat saraf. Autoantibodi ini dijumpai sekitar 60% pasien
SS
Antibodi non spesifik organ : faktor reumatoid, ANA,
anti-Ro, anti-La
Gambaran histopatologi yang dijumpai pada SS adalah
kelenjar eksokrin dipenuhi dengan infiltrasi dominan
limfosit T dan B terutama daerah sekitar saluran kelenjar
atau duktus gambaran histopatologi ini dapat ditemui di
kelenjar saliva, lakrimal serta kelenjar eksokrin yang lainnya
misalnya kulit, saluran napas, saluran cerna, dan vagina.
Fenotip limposit T yang mendominasi adalah sel T
CD4+,Sel-sel ini memproduksi berbagai interleukin antara
lain IL-2, IL-4, IL-6, IL-lb dan TNF-a, sitokin sitokin ini
merubah fungsi sel epitel dalam mempresentasikan
protein, merangsang apoptosis sel epitelial kelenjar melalui
regulasi Fas. Sel B selain menginfiltrasi pada kelenjar, sel B
ini juga memproduksi imunoglobulin dan autoantibodi.
Adanya infiltrasi limfosit yang mengganti sel epitel
kelenjar eksokrin, menyebabkan menurunnya fungsi

kelenjar yang menimbukan gejala klinik. Pada kelenjar


saliva dan mata menimbulkan keluhan mulut dan mata
kering. peradangan dengan manifentasi kelenjar eksokrin
pada pemeriksaan klinik sering dijumpai pembesaran
kelenjar.
Gambaran serologi yang didapatkan pada SS biasanya
suatu gambaran hipergammaglobulin. Peningkatan
imunoglobulin antara lain faktor reumatoid, ANA dan
antibodi non spesifik organ. Pada pemeriksaan dengan
teknik imunofloresen Tes ANA menunjukkan gambaran
spekledyang artinya bila diekstrak lagi maka akan dijurnpai
autoantibodi Ro dan La (profil ANA).
Pada tahun 1984 ditemukan autoantibodi terhadap
Ro(SS-A) yang dikenal sebagai ribonukleoprotein
partikel yang terdiri dari hY-RNA dan 60 k Da protein,
sedang anti-La (SS-B) juga suatu ribonukleoprotein
partikel yang dihubungkan dengan RNA polimerase 111
transkrip.
Adanya antibodi Ro dan anti-La ini dihubungkan
dengan gejala awal penyakit, lama penyakit, pembesaran
kelenjar parotid yang berulang, splenomegali,
limfadenopati dan anti-La sering dihubungkan dengan
infiltrasi limfosit pada kelenjar eksolain minor
Oligoklonal hiperaktiviti serta monoklonal garnmopati
merupakan imunologi humoral dijumpai pada SS.
Produksi globulin dan autoantibodi melalui infiltrasi
pada kelenjar eksokrin minor, dan fenotip sel B yang
mensintesis imunoglobulin adalah CD5+.
Faktor genetik, infeksi, hormonal serta psikologis
diduga berperan terhadap patogenesis, yang mungkin
sistem imun teraktivasi

Artritis reumatoid
Lupus eritematosus sistemik
Skleroderma
Mixed connective tissue disease
Sirosis biliar primer
Miositis
Vaskulitis
Tiroiditis
Hepatitis kronik aktif
Mixed cryoglobulinemia

Mata
Menurunnya produksi air mata dapat merusak epitel
kornea maupun konjungtwa, bila kondisi ini berlanjut, maka
kornea maupun konjungtiva mendapat iritasi kronis, iritasi
kronik pada epitel kornea dan konjungtiva memberikan
gambaranklinik keratokonjungtivitisSicca.Gejalanyayaitu
pasien mengeluh rasa panas seperti terbakar, seolah-olah
di dalam kelopak mata seperti ada pasir atau benda asing,
gatal, mata merah dan fotosensitif. Pada pemeriksaan
didapatkan pelebaran pembuluh darah di daerah
konjungtiva, perikornea dan pembesaran kelenjar
lakrimalis.

GAMBARAN KLlNlK
Gambaran klinik sindrom Sjogren sangat luas, berupa
suatu eksokrinopati yang disertai gejala sistemik atau
ekstraglandular. Xerostomia dan xerotmkea merupakan
gambaran eksokrinopati pada mulut. Gambaran
eksokrinopati pada mata berupa mata kering atau
keratoatokunjungtivitis sicca akibat mata kering.
Manifestasi ekstraglandular dapat mengenai paruparu, ginjal, pembuluh darah maupun otot. Gejala
sistemik yang dijumpai pada SS, sama seperti penyakit
autoimun lainnya dapat berupa kelelahan demam, nyeri
otot, artritis. Poliartritis non erosif merupakan bentuk
artritis yang khas pada SS. Raynaud"~phenomena
merupakan gangguan vaskular yang sering ditemukan,
biasanya tanpa disertai teleektasis ataupun digital
ulserasi. Manifestasi ekstraglandular lainya tergantung
pada penyakit sistemik yang terkait misalnya AR, LES,
dan sklerosis sistemik. Meskipun sindrom Sjogren
tergolong penyakit autoimun yang jinak, sindrom ini
bisa berkembang menjadi suatu malignansi. Hal ini
diduga adanya transformasi sel B ke arah keganasan

Gambar 1. Keratokunjungtivitis sicca

Orofaringeal
Keluhan xerostomia meupakan eksokrinopatipada kelenjar
ludah yang menimbukan keluhan mulut kering karena
menurunnya produksi kelenjar saliva Akibat mulut kering
ini seringkalipasien mengeluh kesulitan menelan makanan

dan berbicara lama. Selain itu kepekaaan lidah berkurang


dalam merasakan makanan, geligi banyak yang mengalami
karies. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa mulut
yang kering dan sedikit kemerahan, atropi papila filiformis
pada pangkal lidah, serta pembesaran kelenjar parotis.
Organ lain
Kekeringan bisa terjadi pada saluran napas serta orofaring
yang sering menimbulkan suara parau, bronkitis berulang
serta pnemonitis. Gejala lain yang munglun dijumpai adalah
menurunnya h g s i kelenjar pankreas
MANlFESTASlEKSTRAGANDULAR
Manifestasi kulit
Manifestasi kulit merupakan gejala ekstraglandular yang
paling sering dijumpai, dengan gambaran klinik yang luas.
Kulit kering dan gambaran vaskulitis merupakan keluhan
yang sering dijumpai. Manifestasi vaskulitis pada kulit
bisa mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil.
Vaskulitis pembuluh darah sedang biasanya terkait dengan
krioglobulin, dan vaskulitis pada pembuluh darah kecil
berupa purpura. Dikatakan bahwa vaskulitis di kulit
merupakan petanda prognosis buruk.
Manifestasi pada Paru
Manifestasi paru yang paling menonjol yaitu gambaran
penyakit bronkial dan bronluolar dan saluran napas kecil
yang sering kali terkena. Zntersititial lung disease lebih
sering dijumpai pada SS primer dengan gambaran patologi
infiltrasi limfosit pada intersisial atau fibrosis yang berat.
Adanya pembesaran kelenjar limfe parahiler yang sering
menyerupai suatu limfoma (pseudolimfoma)
Manifestasi paru pada SS primer dan sekunder
memberikan gambaran yang berbeda. Pada sekunder SS,
manifestasi parunya disebabkan oleh primer penyakit yang
mendasari
Manifestasi Pembuluh Darah
Vaskulitis ditemukan hanya sekitar 5% dapat mengenal
pembuluh darah sedang maupun kecil dengan manifestasi
klinik berbentuk purpura, urtikaria yang berulang, ullcus
kulit dan mononeuritis multiplek. Vaskulitis pada organ
internal jarang ditemukan. Berdasarkan infiltrasi selnya
terdapat 2 macam bentuk vaskulitis, vaskulitis dengan
infiltrasi sel mononuklir, neutrofil, dan vaskulitis dengan
tipe infiltrasi sel neutrofil seringkali dihubungkan dengan
hipergammaglobulin
Raynaud's fenomena dijumpai pada 35% kasus dan
biasanya muncul setelah sindrom sicca terjadi sudah
bertahun-tahun, dan tanpa disertai teleektasis dan ulserasi
seperti pada skleroderma

a. Kutaneus vaskulitis
Sjogren sindrom yang terkait dengan
pembuluh darah kecil
Kryoglobulinemia vaskulitis
Vaskulitis urtikaria
Vaskulitis leukoklastik
Sindrom Sjogren yang terkait dengan
pembuluh darah sedang
b. Manifestasi kutaneus yang lain
Fotosensitive cutaneus lesions
Erythema nodosum
Livedoretikularis
Trombositopenic purpura
Lichen planus
Vitiligo
Nodular vaskulitis
Kutaneus amyloidosis
Granuloma anuler
Granulomatus panikulitis

vaskulitis

vaskulitis

Manifestasi pada ginjal


Keterlibatan ginjal hanya ditemukan sekitar 10%.
Manifestasi yang tersering berupa kelainan tubulus
dengan gejala subklinis. Gambaran kliniknya dapat berupa
hipophospaturia, hipokalemia, hiperkloremik, renal tubular asidosis tipe distal. Yang sering dijumpai di klinik
gambarannya tidak jelas dan acapkali menimbulkan
komplikasi batu kalsium dan gangguan h g s i ginjal. Gejala
hipokalemiaseringkali dijumpai di klinik dengan manifestasi
kelemahan otot. Pada biopsi ginjal didapatkan infiltrasi
limfosit pada jaringan intersisial Manifestasi glomuruler
kondisinya lebih serius dan biasanya terkait dengan
knoglobulinemia.
Manifestasi Neuromuskular
Manifestasi neurologi yaitu diakibatkan vaskulitis pada
sistem saraf dengan manifestasi klinik neuropati perifer.
Kranial neuropati juga dapat dijumpai pada SS, gambaran
klinis kranial neuropati biasanya mengenai serat saraf
tunggal, misalnya neuropati trigeminal, atau neuropati
optik. neuropati sensorik merupakan komplikasi neurologi
yang tersering pada sindrom Sjogren kemungkinan terjadi
kerusakan neuron sensorik pada dorsal root dan ganglia
gasserian
Kelainan muskular hanya berupa mialgia dengan enzim
otot dalam batas normal
Gambaran Gastrointestinal
Keluhan yang sering dijumpai adalah disfagia, karena
kekeringan daerah kerongkongan, mulut dan esofagus,
selain itu faktor dismotilitas esofagus akan menambah
kesulitan proses menelan. Mual dan nyeri perut daerah
epigastrik juga sering dijumpai. Biopsi mukosa lambung
menunjukkan gastritis kronik atropik yang secara
histopatologi didapatkan infiltrasi limfosit. Gambaran ini

Multiple sklerosis like disease


Mielopati : Akut dan kronik myelitis
Centralpontine my8linalisis
Parkinson
Dystonic spasme
Bell's palsy
Neuritis optik
SSP Vaskulitis
SSP T lirnforna
Cerebralamyloid angiopathy

persis seperti yang didapati pada kelenjar liur. didapatkan


juga Hepatomegali,AMA positif, serta peningkatan alkali
fosfatase, sirosisbilier primer lebih sering pada tipe primer

Artritis
Lima puluh persen didapatkan gejala artritis pada sindrom
Sjogren. Artritisnya mungkin muncul'lebih awal sebelum
gejala sindom sicca muncul. Artritis pada sindom Sjogren
tidak erosif. Atralgia, kaku sendi, sinovitis, poliartritis
kronis gejala lain yang munglun dijumpai. Pada beberapa
kasus ditemukan dengan Jaccoud b arthropathy
Manifestasi Hematologi
Gambaran hematologi tidak spe'sifik seperti pada penyakit
autoimun lainnya. Pada pemeriksaan rutin laboratorium
hanya didapatkan anemia ringan. Leukopenia hanya
didapatkan lo%, peningkatan LED tanpa disertai
peningkatan CRP khas pada SS primer,hipergammaglobulin
ditemukan hampir pada 80% .

Rose Bengal Staining


Kerato konjuntivitis merupakan sequele pada komea dan
konjungtiva karena menurunnya air mata. Dengan
pengecatan rose bengal yang menggunakan anilin, yang
dapat mewarnai epitel kornea maupun konjungtiva.
Dengan pengecatan ini keratokonjungtivitis sicca tampak
sebagai keratitis puntata, bila dilihat dengan slit lamp
Tear film break up: tes ini dilakukan untuk melihat
kecepatan pengisian flouresin pada kertas film
Sialometri
Sialometri adalah mengukur kecepatan produksi kelenjar
liur tanpa adanya rangsangan, baik untuk mengukur
kelenjar parotis, submandibula, sublingual atau pun total
produksi kelenjar liur, Pada SS menunjukkan p e n m a n
kecepatan sekresi
Sialografi
Pemeriksaan secara radiologis untuk menetapkan kelainan
anatomi pada saluran kelenjar eksokrin. Pada pemeriksaan
ini tampak gambaran teleektasis
Skintigrafi
Untuk mengevalusi kelenjar dengan menggunakan 99m
Tc, dengan pemeriksaan ini dilihat ambilan 99m TC di mulut
selama 60 menit setelah injeksi intravena
Biopsi
Biopsi kelenjar eksokrin minor memberikan gambaran yang
sangat spesifik yaitu tampak gambaran infiltrasi lirnfosit
yang dominan

Beberapa tes untuk mendiagnosis kerato konjungtivitis

DIAGNOSIS
Tes Schimer's
Tes ini digunakanuntuk evaluasi produksi kelenjar air mata.
Tes dilakukan dengan menggunakan kertas filer dengan
panjang 30 mrn, caranya kertas ditaruh kelopak mata bagian
bawah dibiarkan selama 5 menit. Setelah 5 menit kemudian
dilihat seberapa panjang pembasahan air mata pada kertas
filter, bila pembasahan kurang dari 5 mm dalam 5 menit
maka tes positif.

Banyak gejala SS yang non spesifik sehingga seringkali


menyulitkan dalam mendiagnosis. Ketepatan membuat
diagnosis diperlukan waktu pengamatan yang panjang.
Oleh karena manifestasi yang luas dan tidak spesifik
akhimya American European membuat suatu konsensus
untuk menegakkan diagnosis SS kriteria ini mempunyai
sensitivitas spesifisitas sebesar 95%
Adapun kriteria tersebut:
gejala mulut kering
gejala mata kering
tanda mata kering dibuktikan dengan tes Schimer atau
tes Rose Bengal
tes fungsi kelenjar saliva, abnonnalflow rate dengan
skintigrafiatau sialogram
biopsi kelenjar ludah minor
autoantibodi(SS-A, SS-B)
SS bila memenuhi 4 kriteria, 1 di antaranya terbukti pada
biopsi kelenjar eksokrin minor atau positip autoantibodi

Diagnosis Banding
amiloidosis
diabetes melitus
sarkoidosis
infeksi virus
trauma
psikogenik

'

Sindrom mata kering bisa disebabkan oleh amyloidosis, inflamasi kronik blefaritis, konjungtivitis, pemfigoid,
sindrom Steven Johnson, hipovitaminosis A. Sedangkan
pembesaran kelenjar parotis ditemukan juga pada
akromegali, gonadal hipofungsi, penyakit metabolik,
pankreatitis kronik, diabetes melitus, sirosis hepatis, infeksi
virus

PENGELOLAAN
Prinsipnya hanyalah simtomatik menggantikan fungsi
kelenjar eksokrin dengan memberikan lubrikasi. Lubrikasi
pada mata kering dengan tetes mata buatan membantu
mengurangi gejala akibat sindrom mata kering, efek samping
pemberian air mata buatan adalah pandangan kabur .Untuk
mengurangi efek samping sumbatan drainage air mata
pengganti air mata bisa diberi lensa kontak, tetapi
sayangnya risiko infeksi sangat besar. Tetes mata yang
mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena
merangsang infeksi
Bila gaga1 dengan terapi tersebut dapat diberikan
sekretagogum yaitu stimulat muskarinik reseptor. Ada 2
jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu
golongan pilokaepin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg
4 kali sehari selam 12 minggu sedangkan cevimelin 30-15
mg diberikan 3 kali sehari
Pengobatan' xerostomia sangat sulit sampai saat ini
belum ada obat yang dapat untuk mengatasinya. Pada
umumnya terapi hanya ditujukan pada perawatan gigi,
kebersihan mulut, merangsang kelenjar liur, memberi sintetik
air liur. Sintetik yang ada di pasaran yaitu oral balance7,
karena tidak bertahan lama sangat baik kalau diberikan
malam hari. Cara lain untuk mengurangi xerostamia adalah
merangsang sekresi kelenjar liur dengan memberikan gula.
Nasihat lainnya adalah hindari makanan kering, merokok,
obat-obat kolinergik.

OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskletal,


hidroksi klorokuin digunakan untuk atralgia, mialgia,
hipergammaglobulin.Kortlkosteroid sistemik 0,5- 1Ikglhari
dan imunosupresan antara iain siklofosfamid digunakan
untuk mengontrol gejala ekstraglandular misalnya difus
intersisial lung diseases, glomerulonefritis, vaskulitis.

REFERENSI
Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 14 '*
edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia
2 0 0 5 . ~1736-73.
.
Brun JG, Madland TM, Gjesdal CB, Bertelsen LT. Sjogren syndrome
in an out-patient clinic:classification of patients according to
the preliminary European criteria and the proposed modified
Europian criteria.Rheumato1. 2002:4 1 ;301-4.
Bossini N, savoldi S, Franceschini F, Mombelloni S, Baronio M,
Cavazzana I, et al. Clinical'and morphological features of
kidney involvement in primary Sjogren syndrome.
Nephrol.Dial.Transplant.200 1; 16:2328-36.
Christoper LC, Elizabeth B, Roman GC. Treatment of myelopathy
in Sjogren syndrome with a combination of prednisone and
cyclophosphamide. Arch. Neurol. 2001;58:815-9.
Casals MR, Tzioufas AG,Font J. Primary Sjogren syndrome: new
clinical and therapeutic concepts. Ann. Rheum. Dis 2005:64:34754.
Kassan SS, Moutsopulos HM. Clinical manifestation and early diagnosis of Sjogren syndrome. Arch. Int. Med. 2004;164:1275-84
Kovacs L, Paprika D, Takaes R, Kardos A,Tamas T, Lengyel C, et
al. Cardiovascular autonomic dysfunction in primary Sjorgren
Syndrome.
Moutsopulos HM, Tzioufas AG. Sjogren syndrome. In :
Rheumatology.Klippel JH, Dieppe K PA,eds. 1" Edition
.Hongkong: Mosby -Year Book Europe Limited; Hongkong.
1994.p. 6.27.7.1-12
Moore PM, Richardson B. Neurology o f the vasculitides and
connective tissue diseases. J Neuro1.Neorosurg. Psychiatry.1998:65;10-22
Papiris SA, Maniati M, Constantopoulos SH, Roussos C, Moutsopulos
HM, Skopouli FN. Lung involment in primary Sjogren Syndrome is mainly related to the small airway disease.
Ann.Rheum.Dis. 1999 :58;61-4.
Price EJ, Venables PJW. Dry eyes and mouth syndrome- a subgroup
of patients presenting with sicca symptoms. Rheumatol.
2002;41: 416-25.

ARTRITIS REUMATOID JUVENIL


(ARTRITIS IDIOPATIK JUVENIW
ARTRITIS KRONIS JUVENIL)
Yuliasih
.

PENDAHULUAN

KLASlFlKASl

Arthritis rematoid juvenile (ARJ) merupakan penyakit


artritis kronis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun.
Penyakit ini ditandai dengan keradangan pada sinovium
dan pada tipe tertentu disertai gejala sistemik. Sarjana
Cortil pertama kali melaporkan 4 kasus artritis pada anakanakurnur 12 tahun, selanjutnya George Frederik Still tahun
1896 melakukan penelitian terhadap 19 kasus artritis pada
anak dan membagi ARJ ini dalam subtipe. ARJ dikenal juga
sebagai Still S disease.
Ada beberapa terminologi untuk mengelompokkan
artritis ini. Istilah ARJ lebih banyak digunakan di Amerika
Serikat (AS) yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut
artritis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun yang tidak
diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan
istilah rematoid karena pada umumnya anak-anak tersebut
mempunyai orang tua atau keluarga yang menderita artritis
rematoid dengan faktor rematoid positif. Istilah artritis
kronik juvenil lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa).
Adanya kerancuan dalam ha1 pengunaan istilah ini, maka
timbul kesepakatan pada pertemuan EULAR (European
League Agaiust Rhematism) untuk mengunakan istilah
yang seragam. lstilah yang disepakati oleh EULAR adalah
artritis idiopatik juvenil (AIJ) yang dibagi dalam 7 subtipe.
ARJ sering memberikan dampak buruk pada anak-anak
berupa kecacatan atau gangguan psikososial.
Permasalahan yang sering mereka hadapi antara lain
ketergantungan, keterlambatan proses belajar,
permasalahan dalam keluarga, depresi, atau kesulitan
mencari pekerjaan. Untuk itu ARJ memerlukan penanganan
yang serius.

Ada 2 kriteria klasifikasi yaitu klasifikasi yang dipakai AS


dan klasifikasi menurut EULAR, Klasifikasi yang dipakai
di AS ditetapkan tahun 1973 dan telah direvisi tahun 1977,
sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan pada
tahun 1995. Perbedaan kedua kriteria ini dapat dilihat pada
Tabel 1.

ARJ (AS)
~

Umur saat
onset
Lama sakit
Tanda artritis
Subtipe
setelah 6
bulan

Artritis Kronik Juvenile


(EULAR 1

4 6 tahun

<I6 tahun

> 6 bulan
Bengkak, efusi, nyeri
tekan ROM terbatas,
hangat pada perabaan
Pausiartikular 5 4
Poliartikular 2 5
Artritis sistemik

> 3 bulan

Pausiartrikular 5 4
Poliartikular 2 5
IgM RF +
IgM RF
Artritis Sistemik
Artrltis psorlatik
Entesitis
Lain-lain

Menurut kriteria ARJ yang dipakai di AS, artritis ini dibagi


dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang
berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan
Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak
disertai bercak kemerahan dan manifestasi
ekstraartrikular lainnya.
Pausiartrikular ditandai dengan artritis yang mengenai
sendi 5 4
Poliartrikular ditandai dengan nyeri sendi 2 5

Penyaklt

Krlterla

Eksklusl

Diskripsi

Artritis sistemik

Demam setiap hari


Minimal selama 2 minggu
Artritis
Disertai satu atau lebih dari berikut
ini :
Bercak kemerahan yang tidak
- menetap
Limfadenopati,
- Serositis,
- hepatosplenomegali
Artritis 1-4 sendi pada 6 bulan awal
dibagi dalam 2 kelompok.
Persisten: menyerang tidak lebih dari
4 sendi.
Eksten: menyerang >4 sendi setelah
6 bulan pertama.

Menyingkirkan infeksi
keganasan

Umur saat artritis.


Pola artritis pada 6 bulan pertama:
oligoartritisl poliartritisl tanpa artritis.
Pola artritis setelah 6 bulan
oligoartritis,lpoliartritisltanpa artritis.
Faktor rematoid positif
kadar CRP meningkat

Riwa~atkeluarga + ~soriatik,
spondilitis ankilosing (HLA 827).
Faktor rematoid + laki-laki HLA
B27+, munculnya artritis setelah
Btahun menderita artritis
slstemlk

Umur saat artritis


Pola artritis 6 bulan
Hanya sendi besar
Hanya sendi kecil
Terutama ekstremitas bawah
Artritis simetris
Uveitis anterior
Tes ANA positif
HLA klas 11II faktor predeposisi
Umur saat artritis
Artritis simetris
Tes ANA positif
Uveitis akut Ikronis
umur saat artritis
artritis simetris
tes ANA positif imunogenetik
umur saat artritisl psoriatik pola
artritis 6 bulan pertama hanya sendi
besar terutama ekstremitas bawah
sendi yang terserang khas, dan
simetris. bentuk artritis :
oligolpoliartritistes ANA positif uveitis
anterior kronis lakut
umur saat terjadinya arthritis1
entesitis
pola artritis 6 bulan pertama hanya
sendi besar terutama ekstremitas
bawah
sendi yg terserang khas, dan simetris
bentuk artritis : oligolpoliartritis
tes ANA positif uveitis anterior kronis
lakut

Oligoartritis

Poliartritis RF
negatif

artritis > 4 sendi


pertama RF negatif

pada 6 bulan

RF positif artritis sistemik

Poliartritis
RF positif

artritis > 4 sendi pada 6 bulan


pertama RF positif

RF negatif arthritis sistemik

artritis psoriatik

artritis dan psoriasis dan minimal 2


gejala daktilitis, nail pitting onikolisis.
dengan riwayat keluarga + psoriasis

RF positif artritis sistemik

Entesitis terkait
artritis

Artritis dan entesitis artritis atau


entesitis dengan gejala minimal 2
nyeri SII inflamasi spinal positif HLA
827 riwayat keluarga positif

Riwayat keluarga + psoriasis

EPlDEMlOLOGl DAN E'TIOLOGI


ARJ merupakan artritis yang lebih sering dijumpai pada
anak-anak, insidennya dilaporkan hanya sekitar 1%
pertahunnya dengan perjalanan penyakit ARJ bervariasi,
17% berkembang menjadi artritis kronik, 20% dengan
gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa
pasien ARJ yang berlangsung lebih 7 tahun, 60%
mengalami kecacatan. Prevalensi ARJ dilaporkan sekitar
1-21100.000populasi, di Rochester sekitar 111100.0001tahun
dan Minnesota 351100.000ltahun.ARJ banyak menyerang
anak-anak dengan tingkat umur terbanyak sekitar 4-5
tahun. Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3: 1.
Faktor suku diduga kuat sangat terkait pada ARJ. Suku
Afrika dibanding suku Amerika dan Kaukasia lebih sering
terkena di Amerika. Di AS Schwartz melaporkan bahwa

ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang lebih


dewasa, khususnya pada kelompok oligo-artrikular,
dengan RF positif. Etiologi penyakit ini belum banyak
diketahui, diduga terjadi karena respons yang abnormal
terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan.
Peran imunogenetik diduga sangat kuat mempengaruhi

ARJ merupakan penyakit autoimun multisistem, yang


terdiri dari beberapa kelompok penyakit dengan perbedaan
klinik dan derajat penyakit. Sampai sekarang
patogenesisnya belum banyak diketahui. ARJ merupakan
penyakit artritis kronis heterogen yang umumnya
menyerang perempuan ditandai dengan amitis kronik yaitu

ditemukannya tanda keradangan pada sinovium. Tanda


adanya respons imun yai9 ditemukan autoantibodi pada
pasien ARJ. Adapun autoantibodi tersebut antara lain
antibodi ANA, faktor rematoid dan antibodi heat shock
protein. Peran HLA juga sangat besar dalam patogenesis

ART.
Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan
sebukan sel radang kronik yang didominasi sel mononuklir,
hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast, dan
makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada
sinovium. Mediator-mediator tersebut antara lain IL-2,
IL-6, TNF- a, GM-CSF. Jelaslah bahwa sangat besar peran
sel T dalam meni~libulkankeradangan di sinovium.
Bagaimana sel T menjadi autoreaktif itu yang masih menjadi
pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel
T autoreaktif tak lepas dari peran HLA, ha1 ini dibuktikan
dengan dilakukan penghambatan gen TCR (TCRVI14+)
yang bertanggung jawab klonasi sel T. HLA yang
bertanggung jawab pada manifestasi klinik antara lain
HLADRB1*0801,DQA 1*0401,clan DQB 1*0402.
Sitokinjuga memegang peran dalam patogenesisARJ.
Berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, ada 2 tipe sel T. Sel
T tipe I lebih banyak melepaskan sitokin IL-2, IFNy dan
TNF P, sedangkan pada tipe 2 sitokin yang dilepaskan
IL-4, IL-5, IL-6, IL-1 0, dan IL-13. Secara klinis sitokin ini
mempengamhi keseimbangan respons selular dan humoral.
Pada artritis rematoid dewasa diketahui bahwa sel T tipe I
yang lebih dominan, temyata demikianjuga yang ditemukan
pada ARJ, kecuali padapausiarbikular,sel T tip2 yang dominan.
Kemokm diduga ikut berperan dalam patogenesis ARJ.
Kemokin merupakan faktor penentu migrasi subtipe sel T.
Beberapa reseptor kemokin bertangung jawab terhadap
klonasi sel T, yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCR8 yang
bertanggung jawab proliferasi sel T tipe 2, CXCR3 dan
CCR5 biasanya dominan pada ekspresi sel T tipe 1,

Acute diseases
Initiator

*
lnhibitoiy

lmmunelinflammatory
response

Chronic diseases
lnhibito$'y'
loop

Damagelapoptosis

Irnrnunelinflammatory
Autoamplifying
loop

Garnbar 1. Peran infeksi dalarn mencetuskan penyakit autoimun

sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggungjawab terhadap


kedua tipe sel T. Adanya perbedaan ekspresi inilah yang
menentukan perbedaan patogenesis. Dari penelitian
Thompson SD dkk, melaporkan bahwa pada ARJ CCR4 sel
T memegang peran patogenesis ARJ dan yang menentukan
subtipenya.
Aktivasi komplemen banyak dilaporkan pada
penelitian-penelitian tentang patogenesis ARJ. Dilaporkan
bahwa aktivasi komplemen yang membentuk terminal attack complex yang terbanyak dijumpai pada sinovium
pasien ARJ, kulit, dan limpa. Aktivasi komplemen pada
ARJ dapat melalui 2 jalur baik klasik maupun alternatif.
Dari beberapa laporan pada ARJ aktivasi komplemen
terbanyak melalui jalur alternatif.
Infeksi virus dan bakteri sebagai faktor lingkungan
yang berperanan dalam patogenesis ARJ. Infeksi dikatakan
dapat sebagai bahan pencetus terjadinya autoreaksi sel T.
Hal ini ditunjukkan pada penelitian tentang peran HSP 60
dalam pengontrolan aktivasi sel T yang menimbulkan
artritis.
GAMBARAN KLlNlK
Artritis Sistemik
Penyakit ini merupakan kelompok ARJ yang sangat seriys
dibanding dengan kelompok lainnya, lebih sering dijumpai
pada kelompok umur di bawah 4 tahun. Gejalanya sangat
spesifik. ditandai dengan anak mendadak sakit berat yang
diawali dengan panas tinggi mendadak, dan mencapai
puncaknya pada sore hari dan selanjutnya kembali normal
keesokan harinya. Saat panas kadang disertai bercak
kemerahan seperti warna daging ikan salmon. Bercak ini
dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Sifat
bercaknya biasanya berkelompok, bentuknya makula atau
pruritus, biasanya bercak menghilang bila panas turun.
Pada pemeriksaan patologi anatomi bercak hanya
didapatkan edema dan inflitrasiperiarhikuler.
Gejala lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan
hepatosplenomegali. Beberapa pasien didapatkan
serositis atau perikarditis. Pada % kasus ditemukan
limpadenopati yang secara patologi anatomi hanya
didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin dapat
terus berlangsung beberapa minggu atau bulan, sehingga
diagnosis sangat sulit. Sendi yang sering terkena adalah
lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jarijari tangan dapat terkena tetapi jarang. Gambaran
laboratoriknya menunjukkan lekositosis dengan jumlah
leukosit di atas 20.000mm3, anemia non hemolitik yang
berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar
feritin yang tinggi, jumlah trombosit meningkat, seringkali
tipe inidengan komplikasi KID. Gejala inibiasanya membak
setelah satu tahun, sedangkan 50% pasien jatuh ke kronik
artritis dan 25% dengan gambaran erosi pada sendinya,

komplikasi lainya yaitu karditis, hepatitis, anemia, infeksi


dan sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.

OligoartritislPausi-Artrikular
Insidennya 35% dari ARJ, ditandai dengan artritisnya pada
1-4 sendi, tanpa gejala sistemik. Sebanyak 40-70%
mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak
perempuan dengan umur 1-3 tahun dan sering dengan
komplikasi uveitis kronik, unilateral atau bilateral. Dari
beberapa kasus merupakan kelompok artritis psoriatik atau
ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang adalah
lutut, pergelangan kaki, siku, danjari-jari tangan. Pada lakilaki lebih sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA
~ 2 positif.
7
Dikelompokkan 2 yaitu persisten dan eksten. Kelompok
persisten ditandai dengan artritis yang tidak bertambah
meskipun telah lebih 6 bulan, sedangkan kelompok eksten
artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka
mortalitasnya rendah dengan komplikasi yang tersering
kemakan artikular maupun periartrikular dan uveitis kronis.

Poliartritis
Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang
perempuan, gambaran artritisnya mirip artritis rematoid
dewasa, lebih banyak menyerang perempuan, umur sekitar
12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan,
RF bisa positif maupun negatif.

Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan,


dan anemia. Uveitis sangat jarang pada kelompok ini,
artritisnya bersifat simetris, baik pada sendi kecil maupun
besar, tetapi dapat pula diawali dengan artritis yang hanya
pada beberapa sendi dan baru beberapa bulan kemudian
terjadi poliartritis, sendi servikal C1-2 seringkali terkena
dan seringkali menimbulkan subluksasi.
Pada kelompok RF positif biasanya pada usia yang
lebih muda, ditandai erosi sendi yang hebat, dengan
manifestasi ekstra-artrikular jarang, 25% didapatkan tes
ANA positif, pada RF negatif hanya terdapat 5%.

Entesitis yang Terkait dengan Artritis


Hanya 15-20% dari ARJ yang biasa menyerang anak umur
8 tahun dengan HLA B27 positif. Artritisnya asimetrik,
menyerang sendi besar. Keluhan yang sering dijumpai
adalah nyeri pinggang khususnya pagi hari, kesulitan
duduk maupun berdiri lama, jarang sekali tidur nyenyak,
pada pemeriksaan fisik didapatkan entesitis pada patela
atau kalkaneus gambaran sendi sakroilika pada awal
penyakit normal. Artritis psoariatik hanya terjadi sekitar
40-50%.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan darah
lengkap, urin lengkap, faal hati, faal ginjal, tes ANA, dan
faktor rematoid. Pada ARJ didapatkan kadar CRP

~RTRITIS
KRONISJUVENIL)

meningkat khususnya pada kelompok artritis sistemik.


Selain peningkatan CRP terdapat pula peningkatan LED,
C3, C4 amiloid serum, feritin, kadar trombosit, dan leukosit.
Protein-protein ini selain disintesis hati, juga disintesis
makrofag dan sel endotel pada daerah inflamasi.CRP yang
disintesis di hati dirangsang pembentukannya oleh IL-6,
karena CRP merupakan komponen komplemen.
Peningkatan CRP ini merefleicsikan aktivasi komplemen
yang meningkat. CH'O, C3, C4 tidak berkorelasi
dengan aktivitas penyakit karena adanya peningkatan
komponen.
Pemeriksaan Radiologi
Tidak semua sendi kelompok ARJ menunjukkan gambaran
erosi, biasanya hanya didapatkan pembengkakan jaringan
lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada
kelompok poliartrikular.

Diagnosis Banding
Infeksi: bakteri, virus, tuberkulosis
Post-infeksi streptokokus
Trauma
Kelainan hematologi: leukemia, hemofilia
Penyakit kolagen

PROGNOSIS
Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang
sangat banyak tergantung umur saat onset penyakit serta
tipe dari ARJ pada tipe sistemik artritis dengan demam
tinggi,' membutuhkan steroid dosis tinggi, dan
trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek, hanya
25% tipe poliartrikular remisi dalam 5 tahun dan 213 pasien
ARJ mengalami erosi sendi.
Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk:
Tipe sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama
Poliartritis
Perempuan

2523

Faktor reumatoid positif


Kaku sendi yang persisten
Tenosinovitis
Nodul subkutan
Tes ANA +
Artritis pada jari tangan dan kaki pada awal penyakit
Erosi yang progresif
Pausiartrlkular tipe eksten

PENGELOLAAN
Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi
nyeri. Banyak ha1 yang harus diperhatikan selain mengatasi
nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi
kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan
sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah
farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan,
nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien ARJ
pertumbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi
zat gizi yang kurang atau menurunnya nafsu makan akibat
sakit atau efek samping obat.
Mengontrol Nyeri
Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah.
Masalahnya sangat kompleks, karena pada urnumnya anakanakbelum dapat mengutarakan nyeri. Obat anti-inflamasi
non-steroid (OAINS) merupakan.antinyeri pada umumnya
yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak. Selain
untuk mengurangi nyeri OAINS juga dapat digunakan
mengontrol kaku sendi. Efek analgesik sangat cepat. Efek
samping yang sering dijumpai antara lain nyeri perut,
anoreksia, gangguan fungsi hati, ginjal, dan gastrointestinal. Nehtis interstitial merupakan efek samping pada ginjal
yang sering dijumpai, sehingga dianjurkan pemeriksaan
urinalisis setiap 3 bulan. Adanya peningkatan SGOT dan
SGPT maka dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara
teratur setiap 3-6 bulan sekali, dan para orang tua hams
tahu dan waspada terhadap efek-efek samping ini. Macam
OAINS yang sering digunakan pada anak-anak:
Aspirin 75-90 mgkg/hari. Dosis yang lebih tinggi dapat
ditoleransi pasien yang lebih dewasa. Pemberiannya 4
kali sehari setelah makan. Peningkatan kadar SGOT,
SGPT dapat terjadi pada beberapa anak.
Tolmetin 25 mgkg/hari, dibagi dalam 4 dosis.
Naproksen 15 mgkghari dibagi dalam 2 dosis.
Ibuprofen 35 mgkghari dibagi dalam 4 dosis.
Diklofenak 2-3 mgkghari terbagi dalam 2 d~sis.

DMARD (DiseaseModiflying Antirheumatic Drugs).


Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi yang lebih
lanjut
Hidroksiklorokuin:4-6 mglkghari, maksimal300 mg/
hari. Mempunyai efek itnunomodulatordan menghambat
enzim kolagenase. Efek samping yang sering dilaporkan

adalah toksik pada retina sehingga dianjurkan evaluasi


retina tiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi
saluran cerna dan supresi sumsum tulang. Angka
kesembuhan berkisar antara 15-75%.
Preparat emas oral maupun intra muskular dosis 5 mgl
minggu. Dosis dapat ditingkatkan 0,75-1 mg /kglminggu.
Efek sampingnyaadalah supresi sumsum tulang dan ginjal.
D-penisilamin: 10 mg/kg/hari, tidak banyak laporan
tentang efektivitas penggunaan obat ini.
Obat-obat sitotoksik:
- Azatioprin: Tidak banyak laporan tentang
pengunaannya
- Sulfasalazin dilaporkan efektif untuk mengontrol
ARJ. Dosis yang dianjurkan 50 mg/kg/hari sampai
2,5gr/kg/hari. Tidak dianjurkan untuk anak-anak
yang sensitif terhadap sulfasalazin.
- Metotreksat (MTX): Dosis 10mghd luas permukaan
tubuhlminggu. MTX aman digunakan jangka
panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh
para rematologis oleh karena efek sampingnya yang
lebih ringan dan memberikan respons yang sangat
tinggi. Efek samping MTX yang tersering yaitu oral
ulcer, gangguan gastrointestinal, supresi sumsum
tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan
kejadiannya sangat tinggi, ha1 ini dapat dikurangi
dengan cara mengurangi konsumsi alkohol dan
mengurangi obat-obat hepatotoksik.
- Leflunamid: tidak banyak laporan tentang
pengggunaan leflunamid pada ARJ meskipun
banyak laporan tentang efektivitas obat ini pada
artritis rematoid dewasa.
- Etanercept: belum banyak anjuran meskipun
beberapa penelitian menunjukkan hasil yang baik.
- Infliximab laporan penggunaan infliximabpada ARJ
juga masih belum banyak.

Glukokortikoid
Baik untuk mengontrol gejala sistemik artritis,
perikarditis,dan demam. Dosis yang dipakai 0,5-2 mg/kgl
hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang
berat. Injeksi intra-artrikular bermanfaat artritis yang tidak
terlalu banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan
uveitis anterior biasanya diberikan topikal. Bila berat &pat
diberikan per oral dengan dosis 30 mg/kg/hari selama 3
hari berturut-turut. Pada kasus tertentu membutuhkan
imunosupresan.
Fisioterapi
Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya
antara lain untuk mengontrol nyeri, dengan cara
pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi, dan
TENS. Hidroterapi pemanasan dengan air pada suhu 96OF
sangat membantu mengurangi nyeri. Selain dapat
membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-

anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat


berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif
sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan
pengawasan. Latihan aktif, dengan atau tanpa beban
sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga
berguna untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta
mempertahankan pertumbuhan normal.

Pengelolaan Nutrisi
Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal
karena kerusakan pusat pertumbuhan tulang maupun
umun karena asupan nutrisi yang kurang dan menurunnya
produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan
inflamasi laonis mempunyai risiko untuk terjadi malnutrisi
oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan
menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat
berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan
juga mempengaruhi penuninan nafsu makan. Obat-obatan
yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS,
klorokuin. Penyebab lain penuninan nafsu makan adalah
adanya keradangan pada temporo mandibula.
Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, ha1
ini disebabkan karena kurangnya aktivitas, intake makanan
yang berlebihan atau akibat efek samping kortikosteroid.
Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin,
zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet.
Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka
diperlukan vitamin D. Dosis untuk anak umur 1- 10 tahun
adalah vitamin D 400IU dan kalsium 400 mg sedangkan
kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.

REFERENSI
Aggraval A, Bhadwaj A, Alam S,Misra R. Evidence for activation of
the alternate complement pathway in patients with juvenile
rheumatoid arthriti~.Rheumato2003;39:
189-92.
Carter BD, Kronenenberger WG, Edwards JF, Marshal GS, Schikler
KN, Causey DL. Psychological symptoms in chronic fatigue
and juvenile rheumatoid arthritis.Pediatric.1999;103:975-9.
Gottlieb BS, Keenan GF, Lu Theresa,Illowite NT. Discontinuation
o f methotrexate in juvenilew rheumatoid arthritis. Pediatric. 1997; 100;994-7.
Giannini EH, Ruperto N, Ravelli A, Lovell DJ, Felson DT,Martini
A. Prelimanary definition of improvement in juvenile arthritis.
Haskes PJ, Friedland 0,Uziel Y. New treatments for juvenile
idiopathic arthritis. IMAJ 2002;4:39-43.
ilowite NT. Current treatment of juvenile rheumatoid arthritis.
Pediatric.2002; 109-1 5.
Jarvis JN, Dozmorov I, Jiang K, Frank MB, Szodoray P, Alex P,et al.
Novel approaches to gene expression analysis o f active
polyarticular juvenile rheumatoid arthritis. Arthritis Res Ther.
2004;6: R15-R32
Kietz DA, Pepmueller PH, Moore TL. Therapeutic use of etanercept
in polyarticuler couse juvenile idiopathic arthritis over atwo
year period. Ann. Rheum.Dis. 2002; 61 : 171-3.

ARTRITISREUMATOIDJUVENIL (ARTIUTIS~DIOPATIK
JUVENWARTRITISKRONIS JUVENIL)

Malleson PN, Beauchamp RD. Rheumato: diagnosing musculos


keletal pain in children . CMAJ. 2001;24:183-188
Murray K, Thomson SD, Glass DN. Pathogenesis of juvenile chronic
arthritis:
genetic
and
environmental
factors.
Arch.Dis.Child.1997; 77:530-4
Meeder G, Van eden W, Rijkers GT, Prakken BJ, Kuis W Voorhorst
Ogink MM,et al. Juvenile chronic artrhitis: T cell reactivity to
human HSP60 in patients with a favorable course of arthritis.
J Clin. Invest 1995;95:934-40.
Nepom B. The immunogenetic of juvenile rheumatoid arthritis .
Rheum Dis.Clin.North. Am. 1991;17:825-42.
Patience W. Juvenile chronic arthritis. In : Rheumatology.Klippe1
JH, Dieppe K PA. I" Edition .Hongkong: Mosby -Year Book
Europe Limited; 1994.p.3.17.1-10
Rose CD and Singsen BH. Pathology and pathogenesis. In :
Rheumatology Klippel JH, Dieppe K PA,eds. 1" edition
.Hongkong: Mosby-Year Book Europe Limited; 1994.p.3.19.1-6
Seppanen OK,Savolainen A.Changes in the incidence of juvenile
rheumatoid arthritis in Finland. Rheumato2001;40:928-32.
Thomson SD, Luyrink LK, Graham BT, Soras M, Ryan M, Passo
MH,et al. Chemokin reseptor CCR4 on CD+4 T cells in
juvenile rheumatoid arthritis synovial fluid defines a subset of
cells with increased IL-4:IFN-g mRNA ratios. The Journal Of
Immunology 2001; 166:6899-6906

2525

Thomson SD, Grom AA, Luyrink LK, Passo M, Glass DN,Enmund


C. Dominant T-cell-receptor 1 chain variable region V i14+
clones in juvenile rheumatoid arthritis. Proc Natl. Acad.Sci.USA
1993; 90;11104-8.
Villla J, Lee S, Giannini EH, Braham TB, Passo MH, Filipovich A,et
al. Natural killer cell dysfunction is a distinguishing feature of
systemic onset juvenile rheumatoid arthritis and macrophage
activation syndrome. Arthritis Res Ther. 2005;7:R30-R37
Smolewska E, Brozik H, Smolewski P, Zielinska MB, Danynkiewicz
Z,Stanczyk J. Apoptosis of pheripheral blood lymphocytes in
patients with juvenile idiopathic arthritis. Ann.Rheum.Dis
2003;62:761-3.
Victoria M, Morin G, graham TB, Blebea JS, Dardzinski BJ, Laor T,
et al.Knee in early juvenile rheumatoid arthritis: MR imaging
findings.Radio200 1;220:696-706.
Weyand CM, Gorony JJ. Pathogenesis of rheumatoid arthritis.
Med.Clin.North. Am 1997;8 1:29-55
Warren RW,Perez MD, Curry MR, Wilking AP, Myones BL.
Juvenile idiopathic arthritis Cjuvenile rheumatoid arthritis).
In: Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology.
14 ed edition.Philladelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2005.p.1270-323.
Wilkinson N, Jackson G, Medwin JG. Biologic therapies for juvenile
arthritis. Arch.Dis.Child. 2003;88:186-91.

SPONDILITIS ANKILOSA
Jeffrey A.Ongkowijaya

PENDAHULUAN
Spondilitis ankilosa merupakan prototipe dari
spondiloatropati seronegatif, yang terdiri atas artritis
psoriatik, artritis reaktif dan artritis enteropati . Berasal
dari bahasa Yunani ankylos yang berarti bengkok dan
spondylos yang berarti vertebra. Spondilitis ankilosa
merupakan inflamasi kronik yang melibatkan sendi-sendi
aksial dan perifer, entesitisdan bisa mempunyai manifestasi
ekstraarthlar.

Garnbar 1. Famili Spondiloartropati seronegatif

Prevalensi spondiloartropati mencapai 1-2% dari


populasi urnurn dan risiko akan meningkat menjadi 20.kali
lipat pada individu dengan HLA-B27 positif. Spondilitis
ankilosa terutama mengenai laki-laki, dewasa muda dengan
awitan pada umur kurang dari 40 tahun dan puncaknya
pada 20-30 tahun. Rasio pada laki-laki dibanding wanita
mencapi 3 : 1.Di Amerika Serikat,prevalensi mencapai 1,4%
dengan variasi pada berbagai kelompok etnis; ha1 ini
menggambarkan perbedaan ekspresi HLA-B27 pada
kelompok etnis tersebut. Ekspresi HLA-B27 lebih banyak
ditemukan pada populasi kulit putih dibandingkan kulit

hitam. Populasi spondilitis ankilosa pada individu dengan


HLA-B27 positif mencapai 10-20% sedangkan jumlah
pasien spondilitis ankilosa yang menekspresikan HLAB27 mencapai 80-95%.
Perjalanan penyakit sangat bervariasi dari ringan
tanpa gangguan status hngsional sampai berat dengan
berbagai disabilitas. Keterlibatan vertebra merupakan
determinan utama yang mempengaruhi status fungsional
pasien.

Etiologi clan spondilitisankilosa belurn dlketahui. Penelitian


menunjukkan hubungan kuat dengan HLA-B27 yang
berarti ada faktor imun yang berperan, dan diperlukan
peran dari infeksi bakteri gram negatif untuk mencetuskan
penyakit. Hasil riset yang ada menggambarkan peran
Klebsiela pneumonia dalam patofisiologi spondilitis
ankilosa. Klebsiela mempunyai 6 asam amino yang
homolog dengan HLA-B27 yang mengesankan adanya
moIecuIar mimicry. Ekspresi HLA-B27 menyebabkan
peningkatan respon imunologik atau setidaknya
menyebabkan perubahan toleransi imun terhadap bakteri
gram negatif. Banyak bukti yang mendukung peran sitokin
proinflamasi seperti TNFa dan IL-1 serta adanya infiltrasi
sel-sel inflamasi pada jaringan patologis pasien spondilitis
ankilosa.
HLA-B27 sendiri mempunyai 45 subtipe dimana
sebagian berhubungan dengan spondilis ankilosa seperti
HLA-B2705, -B2702 dan -B2704 sehngkan-B2706 dan
-B2709 malah tidak berhubungan. Populasi di Indonesia
umumnya mempunyai HLA-B2706. HLA-B60 dan
HLA-DR1 dilaporkanjuga mempunyai keterkaitan dengan
penyakit ini.

Gambaran patologis spondilitis ankilosa yang unik pertama


kali .dideskripsikanoleh Ball (1971) dan disempumakanoleh
Bywaters (1984). Lokasi patologis primer adalah entesis
yaitu insersi dari ligament, kapsul dan tendon ke tulang.
Perubahan .entesopati yang terjadi adalah fibrosis dan
osifikasi jaringan. Pada vertebra, entesopati pada situs
insersi annulus fibrosus menyebabkan squaring dari
korpus vertebra, destruksi vertebral endplate, dan formasi
sindesmofit.Osifikasi pada regio diskus, epifiseal dan sendi
sakroiliaka serta ekstraspinal diinisiasi oleh lesi pada insersi
ligament.

menyebabkan resorpsi tulang yang diikuti perubahan


reparasi pada korpus vertebra akan berperan dalam
terjadinya squaring. Jaringan granulasi akan mengalami
metaplasia kartilago yang diikuti dengan kalsifikasi pada
tepi vertebra dan sisi luar annulus; dan menyebabkan
gambaran sindesmofit pada foto polos. Kertelibatan
menyeluruh seluruh vertebra memberikan gambaran
bamboo spine.
Lesi ekstraspinal terjadi di daerah artikular dan
nonartikular. Lesi artikular meliputi sendi sinkondrotik
seperti simfisis pubis dan sendi manubriosternal, sendi
synovial seperti sendi panggul dan lutut dan entesis.
Inflamasi pada situs nonartikular meliputi uvea, katup
jantung, fibrosis apeks paru.

GAMBARAN KLlNlS

Gambar 2. Squaring korpus vertebra. Tanda panah


adalah sklerosis tulang pada situs entesopati

Spondilitis ankilosa dapat bermanifestasi pada skeletal


maupun ekstraskeletal. Presentasi klasik terjadi pada
dewasa muda yang mengeluh nyeri punggung bawah dan
kekakuan yang sering memburuk pada pagi hari atau
setelah istirahat lama. Nyeri akan menghilang dengan
aktivitas fisik dan biasanya terpusat di vertebra lumbosacral
meski bisa juga terasa pada sendi panggul dan pantat dan
kadang-kadang menjalar ke paha. Kekakuan biasanya
berlangsung lebih dari 30 menit.

Gambar 4. Distribusi nyeri pada pasien


spondilitis ankilosa
Gambar 3. Sindesmofit

Perjalanan penyakit tipikal dirnulai dari sendi sakroiliaka.


~akroilitisditandai dengan sinovitis dan formasi panus
dan jaringan granulasi. Semua proses tersebut akan
mengerosi, mendestruksi dan mengganti rawan sendi dan
tulang subkondral. Tulang parartikular juga akan menipis
akibat peningkatan aktivitas osteoblastik. Inflamasi pada
sendi sakroiliaka mempunyai predileksi pada sisi iliaka,
ha1 ini mungkin karena jaringan fibrokartilago yang lebih
banyak dan shear stress yang lebih besar pada sisi
tersebut.
Pada vertebra terjadi inflamasi kronik di annulus
fibrosus, khususnya pada insersi ke tepi vertebra,

Pasien bisa mengeluh nyeri dan kaku pada vertebra


torakalis, leher dan bahu. Keterlibatan kostovertebral
menyebabkan gangguan ekspansi dada. Sendi perifer
dapat mengalami sinovitis, terutama sendi besar dan
proksimal seperti bahu dan panggul. Umumnya
monoartikular atau oligoartikular asimetris. Nyeri
pergelangan kaki bisa tejadi akibat entesopati di calcaneus sedangkan Tendinitis Achiles cukup sering
ditemukan.
Manifestasi ekstraskeletal yang bisa timbul adalah
gejala konstitusional seperti kelemahan, penurunan berat
badan dan subfebril; gangguan mata, kardiovaskuler, paru,
neurologis dan ginjal

Nyeri punggung bawah inflamasi pada usia muda


Keluhan berlangsung sekurangnya 3 bulan
Gambaran radiologis menunjukkan sakroilitis
Berkurangnya mobilitas vertebra
Berkaitan dengan anterior uveitis
Riwayat keluarga yang menderita spondilits ankilosa.
psoriasis, inflammatory bowel disease
Risiko meningkat pads individu dengan HLA-627 positif

Garnbar 5. Tes Schobe

Keterlibatanmata merupakan manifestasi ekstraskeletal


yang cukup sering pada pasien spondilitis ankilosa,berupa
uveitis anterior atau iridosiklitis. Umumnya unilateral dan
sering berulang dengan terjadi jaringan parut dan
glaucoma sekunder.
Manifestasi kardiovaskuler bempa aortitis, regurgitasi
katup aorta, gangguan konduksi dan perikarditis.
Keterlibatan paru cukupjarang dan mempakan manifestasi
lanjut dari spondilitis ankilosa, berupa fibrosis lobus
superior yang progresif lambat. Nefropati IgA dan
amiloidosis sekunder dapat ditemui pada pasien spondilitis
ankilosa.
Komplikasi neurologi yang sering timbul adalah akibat
fraktur, instabilitas, kompresi atau inflarnasi. Fraktur sering
pada vertebra C5-C6 or C6-C7, instabilitas mengakibatkan
subluksasi sendi atlantoaksial dan atlanto oksipitalis.
Osifikasi dari' ligament longitudinal posterior akan
menyebabkan kompresi mielopati dan stenosis spinalis.
Sindroma kauda equina jarang terjadi tapi merupakan
komplikasi serius.

PEMERIKSAAN FlSlK
Kelainan dini pada spondilitis ankilosa adalah nyeri pada
sendi sakroiliaka d m nyeri akibat spasme otot paraspinal
vertebra lumbalis. Tes SLR (straight leg-raising test)
yang sering dipakai untuk mendeteksi iritasi nervus
sciatic biasanya negatif. Untuk mendeteksi adanya
sakroilitis dapat dilakukan beberapa tes sepertipelvic rock
sign, kompresi lateral dari pelvis dan tes Gaenslen.
Gangguan pada vertebra biasanya timbul seiring
dengan perjalanan penyakit. Manifestasinya bempa
berkurangnya kurvatura lordosis dan restriksi pergerakan
pada semua bidang dari vertebra terutama lumbal.
Tes Schober berguna untuk mendeteksi keterbatasan
gerakan fleksi dari vertebra lumbal. Tes ini dilakukan
dengan memberi tanda pada prosesus spinosus
vertebra lumbal V (setinggi spina iliaka posterosuperior)
lalu beri tanda lagi 10 cm diatasnya. Pasien diminta
untuk membungkuk semaksimal mungkin tanpa
membengkokkan kaki. Pada orang normal jarak antara
kedua titik akan mencapai 15 cm. Gerakan fleksi ke lateral
juga berkurang dan rotasi spinal bisa merangsang nyeri.
Kelaingn yang mengenai vertebra torakalis akan

menyebabkan gangguan ekspansi dada. Pengukuran


dilakukan pada ruang antar iga V saat inspirasi dan
ekspirasi maksimal, normalnya .mencapai 5 cm.
Keterbatasan ini disebabkan fusi dari sendi kostovertebral.
Gangguan pada vertebra servikalis biasanya merupakan
manifestasi lambat dari spondilitis ankilosa. Kekakuan
menyebabkan pasien kesulitan untuk mengekstensi kepala.
Beratnya deformitas ini dapat diukur dengan mengukur
jar& oksipital-dinding.
Manifestasi lain yang bisa didapatkan pada
pemeriksaan fisik pasien spondilitis ankilosa adalah artritis
perifer, biasanya asimetris dan pada sendi proksimal,
yang cenderung menyebabkan kontraktur dini dan
manifestasi ekstraartikular seperti uveitis, regurgitasi
aorta.

PEMERIKSAANPENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai gambaranyang
khas untuk pasien spondilitis ankilosa. HLA-B27 akan
didapatkan pada lebih dari 90% pasien dan akan mencapai
100%jika disertai dengan uveitis atau gangguan jantung.
Laju endap darah (LED) dan C-reactiveprotein (CRP) akan
meningkat tapi tidak berhubungan dengan aktivitas
penyakit. Bisa didapatkan anemia normokrom normositer
ringan dan trombositosis ringan. Kadar IgA serum juga
meningkat tapi belum diketahui hubungan dengan
spondilitis ankilosa.
Tes fungsi paru biasanya baru menunjukkan kelainan
jika vertebra torakalis sudah terlibat dimana akan terjadi
penurunan kapasitas vital paru dan peningkatan volume
residual pam.
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk mendeteksi
abnormalitas yang terjadi. Kelainan yang paling
mendukung adalah ditemukannya inflamasi pada
sendi sakroiliaka. Gambaran yang tampak adalah erosi
pada sisi iliaka temtama pada sepertiga bawah sendi
sakroiliaka. Seiring dengan perjalanan penyakit akan
terjadi pseudowidening dari sendi dan selanjutnya
akan mengalami fusi. Teknik yang lebih superior
adalah MRI dan CT yang bisa mendeteksi kelainan
lebih dini. Keunggulan MRI adalah bisa memvisualisasi

Grade

0
1

2
3
4

PenAaian
Normal
Mencurigakan
Sklerosis, sedikit erosi
Erosi berat, pelebaran celah sendi, sebagian ankilosis
Ankilosis kom

lesi katilago dan entesis.


Perubahan pada vertebra pada fase awal spondilitis
adalah erosi yang dikelilingi sklerosis pada tepi korpus
vertebra sebagai akibat inflamasi pada situs insersi
annulus fibrosus di korpus vertebra (tanda Romanus).
Selanjutnya periostitis di perifer korpus vertebra akan
menyebabkan terbentuknya squaring. Karakteristik yang
penting adalah formasi sindesmofit akibat dari kondritis
vertebra dan osteitis subkondral yang diikuti dengan
fibrosis dan osifikasi. Orientasi dari sindesmofit adalah
vertical yang akan membedakannya dengan osteofit akibat
penyakit degeneratif. Pada tahap akhir, gambaran
radiologis vertebra dikenal dengan nama bamboo spine.

Kriterla
1.

Nyerl punggung bawah sekurangnya berlangsung 3


bulan, membaik dengan latihan dan tldak berkurang
dengan istirahat
2. Llmitasi pergerakan vertebra lumbal~spada bidang
r;
frontal dan sagital
& ,
3. Berkurangnya ekspansi dada
4. a Sakrollltls unilateral gr 3-4
5. b. Sakrollitls bilateral gr 2-4
' Diagnosis pasti jika dldapatkan kriterla 4a atau 4b diserta~
salah satu kritena 1 - 3
Diagnosis probable hanya ada kriterla klinis saja atau hanya
kr~teriaradlologis tanpa gejala kllnis

DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang hams dipikirkan sebagai diagnosis banding adalah spondylosis lumbalis, strain lumbal,
penyakit lain dalam kelompok spondiloartropati
seronegatif, diffuse idiopathic skeletal hyperostosis
(DISHIpenyakit Forestier) dan osteitis condensan iliaka.
~engawasan
Status Penyakit Spondilitis Ankilosa
Untuk mengawasi perkembangan spondilitis ankilosa,
beberapa parameter yang dapat dipakai adalah Bath AS
Disease Activity Index (BASDAI), Bath AS Punctional
Index (BASFI), Bath AS Patient Global Score (BAS-G),
Bath AS Metrology Index (BASMI), visual analog scale
(VAS) untuk menilai nyeri, pemeriksaan radiologis k t u k
menil'aikemsakan strukturaldan manifestasi ekstra artikular.

Gambar 6.Tampak fusi dari sendi sakroiliaka bilateral dan


bamboo spine

DIAGNOSIS
Seperti penyakit lain dengan etiologi yang belum
sepenuhnya jelas, diagnosis spondilitis ankilosa
bergantung pada kombinasi gambaran klinis, radiologis
dan hasil laboratorium. Kriteria klasifikasi untuk
spondilitis ankilosa yang banyak dipakai saat ini adalah
kriteria New York modifikasi 1984 (Tabel 3). Meskipun
demikian, keberatan utama pada kriteria ini adalah kurang
sensitif untuk mendeteksi pasien dengan penyakit yang
masih dini.

Penatalgksanaan
Modalitas penata1aksr)naanadalah program fisioterapi dan
modifrkasi gaya hidup, terapi farmakologis untuk nyeri dan
kekakuan serta deteksi dan penanganan yang tepat untuk
komplikasi artikular dan ekstra artikular. Sangat penting
bagi pasien untuk mendapatkan edukasi tentang perjalanan
penyakit dan berbagai modalitas penatalaksanaan yang
dianjurkan. Menghentikan merokok sangat dianjurkan pada
pasien spondilitis ankilosa.
Program fisioterapi bertujuan untuk mempertahankan
postur tubuh ysng tepat u ~ t u kberbagai aktivitas. Pasien
hams tidur pada kasur yang agak keras dengan bantal
tipis. Berjalan dan berenang merupakan cara yang cukup
baik untuk mempertahankan mobilitas sendi. Tujuannya
adalah untuk mempertahankan mobilitas spinal atau
setidaknya mencegah deformitas dan disabilitas spinal.
Terapi farrnakologis biasanya membutuhkan OAINS
untuk mengatasi nyeri dan kekakuan dengan
mempertimbangkan.risiko efek samping yang mungkin
terjadi. Sulfasalazip dapat mengatasi keluhan spinal
terutama pada tahap dini. Metotreksat, siklofosfamid dan

Steroid eyedrops
If symptoms persisx r 3 days
refer to opthalrnologin (or
if symptoms are severe or
recurrent)

Upper bbe pulmonary (sbm


Treatment: ignore!

Cheat wall pain


Secondary w enthesopathy.
maunem-local

icrjcctbn

Psorluk
1. Trea skin lesions with
local therapy

2. Conslder sulfuahrjm if
mild anhropathy
or
methotrerate if additional
-re
ythrltis
Treat as separate entity

~rea&n+gd

Cardiac dbsease
Usually mild. No specific
rreatment needed

Irritable hlp
Mildlmoderate,withou
severc radiographic change:
intra-anicular steroid
If sewre-rota1 hip
reflacement

Dactytldr
fnflltrate with steroid

Arth-thy
Imra-artlcutar steroid

ptWpks

1. Education
2 Exercise = keep fit
3. Stop smoking
4. Specik physiotherapy and hydrotherapy
5. NSAlD for rpinal d l s e a ~
6. ? Sulfardazinefor periphval joint disease
7. Self-help group ifavailable (e.6 NASS)

A c h l W tendlntds
lntratesional steroid
with Feat c a n to avoid
ruprure

Gambar 7. Beberapa modalitas penatalaksanaan pada spondilitis ankilosa

azatioprinjuga &pat membantu walaupun efikasinya belum


didukung penelitian klinis. Pemberian anti malaria tidak
bermanfaat. Pemberian steroid sistemik dan lokal dapat
diberikan pada keadaanflare. Terapi anti reumatik baru
yang mempunyai potensi pengobatan pada spondilitis
ankilosa adalah anti TNF-a.Dengan penghambatan sitokin
tersebut, dilaporkan terjadi penurunan kekakuan dan nyeri
nokturnal, perbaikan asesment global pasien, indeks
fungsional dan memperbaiki ROM spinal dan dada serta
resolusi entesitis.
Operasi merupakan pilihan jika ada deformitas yang
mengganggu f h g s i tubuh atau keluhan nyeri yang tidak
teratasi dengan terapi farmakologis. Beberapa prosedur
yang sering dilakukan pada pasien dengan spondilitis
ankilosa adalah total hip replacement (THR), total knee
replacement (TKR), osteotomi servikal dan lumbal untuk
mengurangi derajat kifosis dan stabilisasi subluksasi
atlanto-axial.

PROGNOSIS
Perjalanan spondilitis ankilosa sangat bervariasi. ~ e b e r a ~ a
pasien mengalami progresi yang berat meski dengan terapi.
Sebagian mengalami ankilosis secara gradual dengan

sedikit ketidaknyamanan dan beberapa hanya mengalami


sakroilitis tanpa keterllibatan spinal.
Meski spondilitis ankilosa tidak bisa disembuhkan,
program rehabilitasi mempunyai pencapaian yang cukup
impresif sehingga dianjurkan untuk tetap dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA
Alvares I, Lopez de Castro. HLA-B27 and immunogenetics of
spndyloarthropathies. Curr Opin Rheumatol 2000; 12: 248
253
Aufdermaur M. Pathogenesis of square bodies in ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 1989;48:628-631
Barkham N, Kong KO, Tennant A, Fraser A, Hensor A et al. The
unmet need for anti-tumour necrosis factor (anti-TNF) therapy
in ankylosing spondy litis. Rheumatology 2005;44: 1277-1281
Brandt I, Listing I, Haibel H, Sorensen H et al. Long-term efficacy
and safety of etanercept after readministration in patients with
active ankylosing spondylitis. Rheumatology 2005;44:342-348
Brown MA. Breakthrough in genetics studies of ankylosing spondylitis. Rheumatology 2008;47;132-137
Ebringer A, Rashid T ,Wilson C, Ptaszynska T,Fielder M. Ankylosing
Spondylitis, HLA-B27 and Klebsiella - An Overview: Proposal
for early diagnosis and Treatment. Cum Rheumatol Rev 2006,
2: 55-68
Gadsby K, Deighton C. Characteristics and treatment responses of

patients satisfying the BSR guidelines for anti-TNF in ankylosing


spondylitis. Rheumatology 2007;46:439-441
Gorman JD, Imboden JB. Ankylosing Spondylitis and the Arthritis
of Inflammatory Bowel Disease. In: lmboden JB, Hellmann
DB, Stone JH (eds). Current Rheumatology Diagnosis and Treatment 20d ed. McGraw Hill, New York. 2007: 175 - 182
Jois RN, Leeder J, Gibb J, Gaffney K et al. Low-dose infliximab
treatment for ankylosing spondylitis: clinically and cost-effective. Rheumatology 2006;45: 1566-1569
Sidiropoulos PI, Hatemiz G, Song IH et al. evidence based
recommendations for the management of ankylosing
spondylitis: systematic literature search of the 3E Iniatiative in
Rheumatology involving a broad panel of experts and practicing rheumatologist. Rheumatology 2008; 47: 355-361
Sieper J, Braun J, Rudwaleit M, Boonen A, Zink A. Ahkylosing
Spondylitis: an overview. Ann Rheum Dis 2002; 6l(supl 111):
iii8 - iiil8

.
'

Van der Heijde D. Ankylosing Spondylitis. A. Clinical Features. In:


Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH (eds). Pnmer on
the Rheumatic Diseases 13Ihed. Spinger, New York. 2008; 193199
Van der Linden S, Valekburg HA. Cats A. Evaluation of diagnostic
criteria for ankylosing spondylitis. A Proposal for modification
of New York Criteria. Arthritis Rheum 1984; 27: 361-368
Van der Linden S, van der Heijde D, Maksymowych WP.Ankylosing
Spondylitis. In: Firestein GS, Budd RC. Harris Jr ED et a1 (eds).
Kelley's Textbook of Rheumatology 81h ed. Saunders, Philadelphia. 2009; 1169 -- 1190
Yoong KCJ. Ankylosing Spondylitis. N Engl J Med 2008; 359:4
Zeboulon N, Dougados M, Gossec L. Prevalence and characteristics
of uveitis in the spondyloarthropathies: a systematic literature
review. Ann Rheum Dis 2008;67:955-959
Zochling J, van der Heijde D. Burgos-Vardas R, Collanter E et al.
ASASJEULAR recommencation for the management of
ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 2006; 65: 442-452

ARTRITIS PSORIATIK
Zuljasrl Albar

Spondiloartropati seronegatif merupakan sekelompok


penyakit radang multisistem yang saling berhubungab
satu sama lain. Sebagai penyakit reumatik, mereka
mengeriai tulang belakang, sendi perifer struktur
periartikuler atau ketiga-tiganya. Mereka juga berkaitan
dengan manifestasi ekstra-artikuler yang berbeda-beda.
Misalnya inflamasi traktus gastrointestinal atau traktus
urinarius baik akut maupun kronik yang kadang-kadang
akibat infeksi bakteri, inflamasi mata bagian anterior, lesi
kulit dan kuku yang psoriasiform dan- jarang lesi pangkal
aorta, sistem konduksi jantung dan apeks paru.
Kebanyakan kelainan ini menunjukkan peningkatan
prevalensi pada individu yang memiliki gen HLA-B27.
Kelainan-kelainan yang telah diketahui sebagai
diagnostic entity dalam kelompok spondiloartropati
seronegatif ini ialah spondilitis ankilosa, artritis reaktif,
spondilitis dan artritis perifer yang berkaitan dengan
psoriasis atau penyakit radang usus, spondiloartropati
juvenile onset dan beragam kelainan yang agak sulit
diklasifikasikan yang sering disebut undifferentiated
spondiloarthropathy atau - lebih singkat - spondiloartropati
saja.
Berbagai kriteria diagnostik untuk bermacam-macam
spondiloartropati telah diajukan dalam 3 dekade terakhir.
Dalam makalah ini akan dibicarakan diagnosis dan
pengobatan salah satu kelainan yang termasuk dalam
kelompok spondiloartropati seronegatif, yaitu artritis
psoriatika.

GEJALA KLlNlS
Variasi gambaran klinis artritis psoariatika sangat luas. Dari
segi diagnosis dan pengobatan, penderita dapat dibagi
dalam tiga kelompok :
1. Monoartritis atau oligoartritis asimetris :30 % - 50 %.
2 Poliarhitis, sering simetris sehingga rnirip dengan artritis
reumatoid : 30 % - 50 %.
3. Terutama mengenai sendi aksial (spondilitis, sakroiliitis
dan atau artritis sendi panggul dan bahu yang
menyerupai spondilitis ankilosa) dengan atau tanpa
kelainan sendi perifer :5 %.
Terkenanya sendi DIP (prevalensi 25 %), artritis mutilans
(5 %), sakroiliitis (35 %)
dan spondilitis (30 %) dapat ditemukan pada setiap
kelompok ini. Perubahan gambaran klinis dari satu bentuk
ke bentuk lain tidak jarang tejadi sehingga menghasilkan
gambaran klinis yang heterogen.
Pada sekitar 70 % penderita, psoriasis timbul bertahuntahun sebelum artritis, atau timbul bersamaan dengan
artritis (+ 15 %). Walaupun onset artritis biasanya sarnarsamar, pada 113 kasus onsetnya akut. Jarang terdapat gejala
konstitusional. Pada sebagian kecil penderita dewasa
(+I5 %) - lebih sering pada anak-anak artritis timbul
sebelum terdapat perubahan pada kulit atau kuku (artritis
sine psoriasis). Kebanyakan penderita mempunyai riwayat
psoriasis atau gambaran klinis tertentu pada anggota
keluarga yang lain, sehingga dapat membantu diagnosis.

Kelainan sendi

Prevalensi artritis psoriatika di Amerika Serikat + 0.1 %.


Artritis timbul pada + 5-7 % penderitapsoriasis. Psoariasis
relatif sering pada bangsa kulit putih dan jarang pada
penduduk Asia.

Oligoartritis atau monoartritis. Manifestasi awal yang


paling sering, ditemukan pada 213 kasus ialah oligo- atau
monoartritis yang mirip dengan artritis perifer pada
spondiloartropati lain. Pada 113 - 112 penderita ini, artritis
akan berkembang menjadi poliartritis simetris yang sulit
dibedakan dari artritis reumatoid.

Oligoartritisyang klasik mengenai sendi besar misalnya


sendi lutut- dengan 1 atau 2 sendi interfalang dan daktilitis
salah satu jari atau ibu jari. Pada beberapa kasus artritis
timbul setelah trauma. Jika pada anamnesis didapatkan
riwayat psoriasis pada keluarga, pencarian psoriasis pada
daerah yang tersembunyi (kulit kepala, umbilikus dan
daerah perianal) disertai kelainan radiologis yang khas akan
menghasilkan bukti penting untuk diagnosis yang tepat.
Lesi psoriatik mungkin terbatas pada 1 atau 2 tempat
dengan atau tanpa terkenanya kuku. Terkenanya sendi
DIP merupakan tanda yang khas dan hampir selalu
berkaitan dengan perubahan psoriatik pada kuku.
Poliartritis. Poliartritis simetris yang mengenai sendi kecil
pada tangan dan kaki, pergelangan tangan, pergelangan
kaki, lutut dan siku merupakan pola arhitis psoriatik yang
paling sering. Artritis mungkin sukar dibedakan dari AR,
tetapi sendi DIP lebih sering terkena dan terdapat
kecenderungan ankilosis tulang pada sendi PIP dan DIP
yang mengakibatkan deformitas 'claw' atau 'paddle' pada
tangan. Penderita dengan poliartritis simetris dan
psoriasis tetapi tanpa gambaran klinis (daktilitis, entesitis,
terkenanya sendi DIP atau sakroiliaka) atau radiologis yang
khas serta faktor reumatoidnya positif mungkin secara
bersamaan juga menderita AR.
Artritis mutilans. Artritis mutilans akibat osteolisis jari
dan tulang metakarpal Cjarang pada kaki) jarang, tetapi jika
ada merupakan gambaran yang sangat karakteristik untuk
artritis psoriatika. Kelainan ini mengakibatkan timbulnya
jari teleskop, ditemukan pada 5 % kasus.
Kelainan sendi aksial. Kelairlan sendi aksial &pat terjadi
pada penderita artritis perifer yang faktor reumatoidnya
negatif dan sering asimtomatik. Pria dan wanita sama
kemungkinan terkenanya. Biasanya timbul beberapa tahun
setelah artritisperifer. Keluhan low back pain inflamatif atau
nyeri dada mungkin tidak ada atau minimal meskipun
kelainan radiologis tarnpak lanjut.
Manifestasi lain. Peradangan pada tempat melekatnya
tendo dan ligarnen pada tulang (entesitis) sebuah gambaran
yang karakmistik untuk spondiloartropati sering ditemukan
terutama pada insersi tendo Achilles dan fasia plantaris
pada hlhneus. Entesopati cenderung lebih sering terjadi
pada bentuk oligoartritis. Konyungtifitis tidak jarang,.
ditemukan pada 113 kasus. Sebagaimana halnya dengan
spondilitis ankilosa, komplikasi seperti insufisiensi aorta,
uveitis, fibrosis paru yang mengenai lobus superior dan
amiloidosis dapac$rjadi tetapi jarang.

Kelainan Kulit
Lesi psoriatik yang khas berupa plak kemerahan yang
berbatas tegas disertai sisik seperti perak yang tampak
jelas. Ditemukan pada permukaan ekstensor siku, lutut,
kulit kepala, telinga dan daerah presakral.

Dapat juga ditemukan pada bagian tubuh yang lain


seperti telapak tangan dan kaki, bagian fleksor, pinggang
bawah, batas rambut, perineum dan genitalia. Ukurannya
bervariasi, berkisar dari 1 rnm atau kurang pada psoriasis
akut awal sampai beberapa sentimeter pada penyakit yang
well-established.
Terkenanya kuku merupakan satu-satunya gambaran
klinis untuk mengetahui penderita psoriasis mana yang
mungkin akan mengalami artritis. Kelainan kuku dapat
berupa pitting, onikolisis (terlepasnyakuku dari nail-bed),
depresi melintang (ridging) dan retak, keratosis subungual, warna kuning-kecoklatan (oil drop sign) dan leukonychia dengan permukaan yang kasar. Tidak ada kelainan
kuku yang spesifik untuk artritis psoriatik. Meskipun
pitting tidak jarang pada orang normal, multipel pit
(biasanya lebih dari 20) pada satu kuku pada jari yang
mengalami daktilitis atau peradangan sendi DIP dianggap
khas untuk artritis psoriatik.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Ada beberapa kelainan radiologis yang khas untuk
penyakit ini. Perubahan tulang pada artritis psoriatik
merupakan gabungan antara erosi - yang membedakan
dengan spondilitis ankilosa - dan produksi tulang dengan
distribusi yang spesifik - yang membedakan dengan AR.
Gambaran yang khas ialah :
1. Pembengkakan jaringan lunak yang fusifom dengan
distribusi bilateral asimetris, mineralisasi yang normal;
2 Hilangnya celah sendi dengan atau tanpa ankilosis
sendi IP tangan dan kaki
3. Destruksi sendi IP dengan pelebaran celah sendi;
4. Proliferasi tulang pada pangkal falang distal dan
resorpsi ujung falang distal yang bersangkutan;
5. Erosi sendi dengan pengecilan falang proksimal
disertai proliferasi tulang falang distal (pencil-in-cup
deformity)
6. Flu& periostitis.
Kelainan radiologis ditemukan pada (dimulai dari yang
paling sering) tangan, kaki,
sendi sakroiliaka dan tulang belakang. Sakroiliitis
mungkin unilateral atau sirnetris pada fase awal, tetapi
dapat berlanjut menjadi fusi bilateral.

DIAGNOSIS BAN.DING
Artritis psoriatik perlu dibedakan terutama dari
spondiloartropati lain dan AR. Kelainan tulang belakang
tidak seberat pada spondilitis ankilosa dan timbul pada
usia yang lebih tua (> 30 tahun). Perbedaan lain ialah
kelainan psoriatik pada kulit atau kuku, riwayat psoriasis

pada keluarga dan kelainan radiologis yang kurang sirnetris.


Adanya daktilitis dan entesitis, kelainan psoriatik pada
kulit dan kuku, riwayat psoriasis pada keluarga, terkenanya
sendi DIP, faktor reumatoid negatif, adanya kelainan tulang
belakang atau sakroiliitis dan adanya pembentukan tulang
baru atau ankilosis tulang yang tampak pada pemeriksaan
radiologis dapat membantu membedakannya dari AR.
Yang lebih sulit ialah membedakan artritis psoriatik dari
spondiloartropati seronegatif lain. Artritis reaktif, artritis
yang berkaitan dengan penyakit radang usus dan artritis
psoriatik memiliki banyak kemiripan dalam gejala klinis.

dihindarkan suntikan steroid lokal melalui lesi psoriatik


karena mungkin terdapat koloni kuman disana.
Penggunaan anti-TNF untuk pengobatan artritis
psoriatik menunjukkan efek yang baik terhadap keluhan
artritis perifer dan tulang belakang. Preparat yang banyak
digunakan adalah ialah Infliximab dan Etanercept
Pada penderita dengan nyeri sendi yang tidak dapat
diatasi (intractable) dan hilangnya fungsi sendi,
diperlukan tindakan operatif.

PROGNOSIS
PENGOBATAN
Pembicaraan dalam ha1 ini dititlk beratkan pada pengobatan
kelainanlkeluhan sendi. Prinsip dasar penganganan
penderita AR atau spondilitis juga berlaku untuk artritis
psoriatik. Pengobatan bergantung kepada jenis penyakit
sendi (aksial atau perifer) dan beratnya kelainan sendi dan
kulit.
Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) efektif pada
sebagian besar penderita. Pada penderita yang responnya
terhadap OAINS tidak adekwat serta penderita dengan
penyakit poliartikuler,progresif dan erosif,
DMARD hendaknya diberikan sedini mungkin.
Metotreksat efektifbaik pada kelainan kulit maupun artritis
perifer pada penderita oligoartritis dan monoartritis.
Diberikan 7.5 mg - 25 mglminggu, disesuaikan dengan
respon dan toleransi penderita.
Sulfasalazin 2-3 g/hari bermanfaat pada artritis aksial dan
artritis perifer, tetapi tidak bermanfaat untuk kelainan kulit.
Kortikosteroid boleh digunakan dalam dosis rendah baik
dalam bentuk kombinasi dengan DMARD maupun sebagai
bridge therapy sambil menunggu DMARD berkerja.
Pengobatan kombinasi ini dipertimbangkan pada penderita
dengan penyakit yang agresif dan destruktif, yang tidak
memberikan respon adekwat terhadap 1 macam obat,
Flare yang hanya mengenai 1 atau 2 sendi dapat diatasi
secara baik dengan suntikan kortikosteroid lokal. Hams

Secara ynurn, keluhan sendi artritis psoriatika tidak seberat


pada AR. Faktor prognostik yang pasti belum ada.
Meskipun demikian, riwayat keluarga adanya artritis
psoriatik, onset penyakit dibawah 20 tahun, adanya
HLA-DR3 atau DR4, kelainan sendi poliartikuler atau erosif
dan kelainan kulit yang luas diduga berkaitan dengan
prognosis yang buruk. Penderita seperti ini memerlukan
pengobatan yang lebih agresif.

Khan MA : An overview of Clinical Spectrum and Heterogeneity of


~~ond~loarthropathie's.
Rheum Dis Clin North Amer 18:1,
1-10, Febr 1992.
Boumpas DT, Tassiulas I 0 : Psoriatic Arthritis. Dalam Klippel JH
(Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. 11th ed, Arthr
Foundation, Atlanta, GA, 1997.
Gladman DD : Psoriatic Arthritis : Recent Advances in Pathogenesis
and Treatment. Rheum Dis Clin North Amer 18:1, 247-256,
Febr 1992.
Jackson CG, Clegg DO : The Seronegative Spondyloarthropathies
(Ankylosing Spondylitis, Reactive Arthritis, Psoriatic
Arthritis). Dalam Weisman MH et al (Eds.) Treatment of the
Rheumatic Diseases. Companion to Kelley's Textbook of
Rheumatology. 2nd ed., Philadelphia, WB Saunders Co., 200 1 .
Inman RD : Treatment of Seronegative Spondyloarthropathy. Dalam
Klippel JH (Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. 1 lth ed,
Arthr Foundation, Atlanta, GA, 1997.

REACTIVE ARTHRITIS
Rudi Hidayat

PENDAHULUAN

PATOGENESIS

Reactive arthritis (ReA) atau sindrom Reiter merupakan


salah satu bentuk atau varian dari spondiloartropati
seronegatif. ReA didefinisikan sebagai suatu kondisi
inflamasi yang steril, setelah adanya infeksi ekstraartikular,
terutama infeksi urogenital dan enterik. Banyak studi yang
telah dilakukan untuk memahami bagaimana patogenesa
terjadinya ReA, dan diduga adanya reaksi imun baik
serologis maupun seluler terhadap suatu patogen
penyebab, meskipun patogen tersebut tidak dapat
diidentifikasi lagi di jaringan maupun cairan sinovial.
Insidens lebih banyak ditemukan pada usia dewasa muda
(20-40 tahun), tidak ada perbedaan pada laki-laki dan
perempuan.
Suatu studi prospektif di Swedia mendapatkan
insidens ReA adalah 28 kasus 100.000 penduduk, lebih
tinggi dibandingkan insiden RA (241100.000). Pada studistudi yang lain seperti di Yunani, Finlandia, dan Norwegia,
rata-rata didapatkan 33-10 kasus per 100.000 penduduk.
Angka kejadian ini juga dipengamhi oleh karakteristik
populasi tertentu, seperti ReA yang lebih sering
ditemukan pada populasi Eskimo Alaska, atau ReA yang
ditemukan lebih banyak pada kelompok dewasa
dibandingkan anak-anak setelah adanya wabah
Salmonella. Faktor genetik terutama yang berkaitan
dengan human leukocyte antigen-B27 (HLA-B27) juga
dianggap berperan.
Dari suatu studi epidemologi didapatkan lebih dari
50% kasus ReA atau oligoartritisyang tidak terklasifikasi,
didapatkan hubungan dengan patogen yang spesifik baik
dengan pemeriksaan serologis maupun kultur. Organisme
yang terdeteksi terutama Chlamydia sp (patogen
urogenital), Salmonella, Shigella, Yersinia dan
Campylobacter sp (patogen enterik). Beberapa organisme
yang lain juga terdeteksi dari beberapa studi regional.

Dari berbagai organisme yang telah terbukti menjadi


pemicu terjadinya ReA, Chlamydia sp merupakan
penyebab paling sering, dan juga paling sering diamati.
Pada jaringanlcairan sinovial, atau darah tepi penderita
ReA dapat ditemukan Chlamydia DNA, mRNA, rRNA
maupun Chlamydia like-cells. Menetapnya Chlamydia
sp atau komponennya, karena kemampuan organisme ini
untuk menurunkan ekspresi major outer membrane
protein, meningkatkan ekspresi heat shock protein (HSP)
dan lipopolysaccharide(LPS). Selain itu juga menurunkan
ekspresi major histocompatibility complex (MHC)
antigen pada permukaan sel yang terinfeksi, meriginduksi
apoptosis sel-T dengan cam merangsang produksi lokal
tumor necrosing factor (TNF), serta menghambat
apoptosis sel host dengan menurunkan pelepasan
cytocrome C dan menghilangkanprotein kinase C-delta.
Hingga saat ini masih menjadi pertanyaan bagaimana
infeksi sebelumnyadapat menyebabkan inflamasi dan erosi
(proses autoimun) pada persendian tanpa adanya
organisme yang viable. Selain adanya komponen
mikroorganisme yang menetap, juga diduga adanya
molecular mimicry yang menyebabkan reaktivitas silang
sel host dengan antigen microbial. Analisa pada tikus yang
terinfeksi S. typhimurium ternyata menghasilkan
pembahan peptida tertentu yang homolog dengan peptida
dari DNA C. trachomatis. HLA-B27 juga dianggap
berperan pada mekanisme molecular mimicry, dimana
struktur antigeniknya dapat menyerupai protein dari
mikroorganismepencetus. Proses inflamasinya melibatkan
fibroblas sinovial yang menimbulkan diferensiasi dan
aktifasi osteoklas.
Sebagaimana kelompok spondiloartropati seronegatif
yang lain, kaitan ReA dengan HLA-B27 telah banyak
dianalisa, namun masih belum dapat dibuktikan adanya

hubungan yang kuat seperti pada kasus ankilosing


spondilitis. Kecuali dua ha1 yang telah diketahui
berhubungan dengan HLA-B27, yaitu sel imun dengan
HLA-B27 ternyata kurang efektif kemampuannya
membunuh salmonella dibandingkan sel kontrol, dan
adanya perangsangan LPS yang menghasilkan
peningkatan sekresi TNF. Selain itu dianalisajuga besamya
peran sel T CD8+ yang herhubungan dengan molekul
MHC kelas I temasukHLA-B27. Observasi pada kelompok
individu dengan defisiensi sel T CD4+ termasuk acquired
immune deficiency syndrome (AIDS), ternyata masih
terdapat manifestasi ReA.
GAMBARAN KLlNlS
Karakteristik klinis dari ReA adalah oligoartritis asimetrik
terutama pada ekstrimitas bawah, meskipun pada 20%
kasus dapat berupa poliartritis. Keterlibatan daerah
panggul dan 'ekstrimitas atas sangat jarang. Sendi yang
terlibat mengalami bengkak, hangat dan nyeri sehingga
menyerupai gambaran artritis septik. Aspirasi dan analisa
cairan sendi akan membedakan kedua keadaan tersebut.
Gejala khas yang lain yaitu entesitis (inflamasi pada insersi
ligamenltendon ke tulang), terutarna tendinitis achilles dan
fasiitis plantaris. Keluhan sakit pingganghlang belakang
dan bokong ditemukan pada lebih dari 50% pasien, tapi
tidak progresif seperti pada ankilosing spondilitis.
Beberapa manifestasi ekstraartikular dapat membantu
penegakan diagnosis, terutama pada keadaan dimana
infeksi pemicunya tidak diketahui. Keratoderma
blenoragika adalah ruam papuloskuamosa yang mengenai
telapak tangan dan kaki. Gambaran klinis dan
histopatologinya menyerupai psoriasi pustular, termasuk
adanya distropi kuku. Balanitis sirsinata adalah ulkus yang
dangkal di batang atau glans penis, berupa plak dan
hiperkeratotik. napat ditemukan eritema maupun ulkus
yang tidak nyeri di palatum durum atau lidah, lebih jarang
di uvula, palatum mole atau tonsil. Sedangkan uveitis
anterior akut dapat ditemukan pada 20% kasus, dengan
keluhan mata merah, nyeri, berair, kabur dan fotofobia.
Gejala sistemik seperti demam dan malaise, atau
keterlibatan organ lain seperti ginjal dan jantung lebih
jarang ditemukan. Perjalanan penyakitnya diperkirakan
akan mereda dalam jangka waktu 3-6 bulan. kecuali pada
sekitar 20% kasus yang menetap sampai lebih dari 12 bulan,
sebagian besar berhubungan dengan HLA-B27 positif.
DIAGNOSIS
Hingga saat ini belum ada kriteria diagnosis ReA yang
tervalidasi dengan baik, tetapi pada tahun 1996 the Yd
International Workshop on Reactive Arthritis telah
menyepakati kriteria untuk ReA, yaitu didapatkannya dua

gambaran :
1. Inflamasi akut arthritis, sakit pinggang inflamasi, atau
entesitis
2. Bukti adanya infeksi 4-8 minggu sebelumnya
Bukti adanya infeksi diperoleh dan hail tes laboratoriurn
seperti kultur dari feses, urin, atau swab urogenital, maupun
ditemukannya antibodi terhadap patogen. Pemeriksaan
laboratoriurnyang lain menunjukkan proses inflamasi yaitu
, peningkatan laju endap darah (LED) dan C-reactive
protein (CRP). Diagnosis semakin h a t dengan adanya
suseptibilitasgenetik HLA-B27, dan ha1 ini ditemukanpada
30-60% kasus. Jika dilakukan pemeriksaan analisa cairan
sinovial didapatkan gambaran inflamasi ringan sampaiberat,
sedangkan pada biopsi sinovialjuga menunjukkan adanya
reaksi inflamasi. Penunjang radiologis dapat diharapkan
gambaran entesitis atau sakroilitis dari pemeriksaan
ultrasonografi, foto polos, MRI atau CT scan.
Probabilitas penegakan diagnosis ReA dapat
diperkirakan berdasarkan gambaran klinis, radiologis
maupun laboratoris yang ditemukan:

pinggang inflarnasi, atau entesitis


PLUS
Riwayat adanya gejala uretritis,
servisitis atau enteritis akut
PLUS
Tes bakteri positif (kultur atau
serologi)
PLUS
HLA-627 positif

30 - 50%
70 - 80%
>80%

Diagnosis banding yang hams dipikirkan antara lain


arthritis septik dengan konsekuensi tata laksana yang
sangat berbeda. Selain itu juga hams dibedakan dengan
arthritis gout, rheumatoid arthritis, arthritis psoriatik, dan
ankilosing spondilitis. Dengan anmnesis yang baik banyak
informasi yang dapt digunakan untuk membedakan
berbagai diagnosis tersebut.

TATA LAKSANA

. .

Pilihan pertama tata laksana ReA adalah obat anti-inflarn~i'


non-steroidal (OAINS), yang pada banyak keadaan marnpu
memperbaiki keluhan arthritis, entesitis dan sinovitis akut.
Selain itu juga perlu disarankanuntuk menghindari aktifitas
yang berlebihan pada sendi yang terlibat. Pada monoartritis
dapat diberikan injeksi kortikosteroid intraartikular (pada
tempat-tempat yang aman untuk dilakukan injeksi).
Sedangkan untuk keratoderma blenoragika, balanitis
sirsinata dan uveitis anterior digunakan kortikosteroid
topikal yang ringan, seperti golongan hidrokortison valerat.
Pilihan berikutnya pada keadaan sinovitis yang menetap

2537

REACTIVE ARTHRITIS

adalah penggunaan sulfasalazin dan metotreksat, seperti


pada RA. Kortikosteroid sistemik dianggap tidak banyak
memberikan manfaat klinis.
Patogenesa ReA yang berkaitan dengan adanya
pemicu infeksi sebelumnya, menimbulkan pertanyaan
tentang penggunaan antibiotika. Beberapa studi
mengmakan siprofloksasin 2x500 mg atau lyrnecyclin 3x300
mg selama tiga bulan, mendapatkan manfaat perbaikan
yang signifikan hanya pada ReA dengan pencetus
Chlamidya. Penggunaan antibiotika ini dianggap hanya
mampu mencegah penyebaran infeksinya, terutama pada
kasus yang dapat diisolasi mikroorganisme penyebabnya,
dan dianggap tidak mempengaruhi perjalanan penyakit
KeA.

PROGNOSIS
I'ada umurnnya prognosis baik, dan sebagian besar sembuh
total setelah bebernpa bulan. Hanya beberapa kasus
rnenjadi kronik dan menetap lebih lama, atau terjadi
rekurensi dengan pencetus infeksi yang baru atau faktor
stress non-spesifik. Pada beberapa studi juga didapatkan
sekitar 20-70% kasus, pada follow-up selanjutnya
diketahui mengalami masalah di persendian termasuk
osteoartritis.

REFERENSI
lnman RD. Reactive and enteropathic arthritis. In : Klippel JH,
Stone JH, Croford LJ, White PH, editors. Primer o n the
rheumatic diseases. 13Ih ed. New York: Arthritis Foundation;
2008. p. 217-23.
Toivanen A. Reactive arthritis: clinical features and treatment.
In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblat ME, Weisman
MH, editors. Rheumatology. 3* ed. Edinburg 2003: Elsevier;
2003, p. 1233-40.
David TYY, Peng TF. Reiter's syndrome, undifferentiated
spondyloarthropathy, and reactive arthritis. In: Harris ED, Budd
RC, Firestein GS, Genovese MC. Sergent JS, Ruddy S, editors.
Kelley's textbook of rheumatology. 7" ed. Philadelphia: Elsevier;
2005. p. 1142-54.
El-Gabalawy HS, Lipsky PE. Reactive arthritis: etiology and
pathogenesis. In: In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS,
Weinblat ME, Weisman MH, editors. Rheumatology. 3'* ed.
Edinburg 2003: Elsevier; 2003. p. 1225-32.
Burmester GR, Dorner T, Sieper J. Spondyloarthritis and chronic
idiopathic arthropathies. In: Rose NR, M a ~ k a y , ~ ~ ! ~ e d i t o r s .
The autoimmune Diseases. 4Ih ed. Amsterdam: E'lsevler; 2006.
p. 437-41.
Sieper J, Fendler C, Laitho S, Sorensen H, Gripenberg LC, Hiepe F,
et al. No benefit of long-term ciprofloxacin treatment in
patients with reactive arthritis and undifferentiated
oligoarthritis: a three-month, multicenter, double-blind, randomized, placebo-controlled study. Arthritis Rheum
1999;42(7): 1386-96.
Laaslla K, Laasonen L, Repo ML. Antibiotic treatment and long
term prognosis of reactlve arthrltls. Ann Rheum Dis
2003;62:655-8.

OSTEOARTRITIS
Joewono Soeroso, Harry Isbagio, Handono Kalim, Rawan Broto, Riardi Pramudiyo

PENDAHULUAN
Osteoae(~(fis
(OA) merupakan penyakit sendi degeneratif
yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi.
Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering
terkena OA. Prevalensi OA lutut radiologis di
Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria,
dan 12.7% pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh
nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada
pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang
lebih berat nyeri dapat -dirasakanterus menerus sehingga
sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi
yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik-progresif,OA
mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan
1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita
cacat karena OA. Pada abad mendatang tantangan
terhadap dampak OA akan lebih besar karena semakin
banyaknya populasi yang berumur tua.
Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalnya
dengan pengendalian faktor-faktor risiko, latihan,
intervensi fisioterapi, dan terapi farmakologis, pada OA
fase lanjut sering diperlukan pembedahan. Untuk
mernbantu mengurangi keluhan nyeri pada OA, biasanya
digunakan analgetika atau obat anti-inflamasi non steroid
(OAMS). Karena keluhan nyeri pa& OA yang kronik dan
progresif, penggunaan OAINS biasanya berlangsung lama,
sehingga tidak jarang menimbulkan masalah. Di Amerika,
penggunaan OAINS menelurkan sekitar 100.000 pasien
tukak lambung dengan 10.000-15.000 kematian setiap
tahun. Atas dasar masalah-masalah tersebut di atas, para
ahli berusaha mencari terapi farmakologis yang dapat
memperlambat progresifitas kerusakan kartilago sendi,
bahkan kalau mungkin mencegah timbulnya kerusakan
kartilago. Beberapa obat telah dan sedang dilakukan uji
pada binatang maupun uji klinis pada manusia. Obat-obat

baru tersebut sering disebut sebagai chondroprotective


agents atau disease modifying osteoarthritis drugs
(DMOADs).

ETIOPATOGENESIS OSTEOARTRITIS
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi dua
yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer
disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak
diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit
sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA
sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan
endokrin, inflamasi, metabolik, perturnbuhan, herediter,
jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama.
Osteoartritis primer lebih sering ditemukan dibanding OA
sekunder (Woodhead, 1989;Sunarto, 1990;Rahardjo, 1994).
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari
suatu proses ketuaan yang tidak dapat dihindari. Para pakar
yang meneliti penyakit ini sekarang berpendapat bahwa
OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis
dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur
proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas
diketahui (Woodhead, 1989). Jejas mekanis dan kimiawi
pada sinovia sendi yang terjadi multifaktorial antara lain
karena faktor umur, sees mekanis atau penggunaan sendi
yang berlebihan, defek anatomik, obesitas, genetik,
humoral dan faktor kebudayaan (Moskowitz, 1990).Jejas
mekanis dan kimiawi ini diduga merupakan faktor penting
yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan
produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi
yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan
kondrosit dan nyeri (Ghosh, 1990: Pelletier, 1990).
Osteoartritisditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang
berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari
sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit sebagai
kompensasi perbaikan (repair) (Brandt, 1993).Osteoartritis

terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan


&Mi, ~bhdddllih&tulitig dan inflarhasi cairan sendi
(Woodhead, 1989).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa rawan
sendi ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri dimana
kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi
matriks baru (Woodhead, 1989; Dingle, 1991). Proses
perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu
polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu
komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi kondrosit
untuk mensistesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan
protein seperti kolagen serta proteoglikan. .Eaktor
pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth
factor (IGF-I), growth hormon, transforming growth
factor p (TGF-P) dan coloni stimulating factors (CSFs).
Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan
penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Pada
keadaan inflamasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap
efek IGF- 1 (Pelletier, 1990).
Faktor pertumbuhan TGF-P mempunyai efek multipel
pada matriks kartilago yaitu merangsang sintesis kolagen
dan proteoglikan serta menekan stromelisin, yaitu enzym
yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi
prostaglandin E, (PGE,) dan melawan efek inhibisi
sintesis PGE, oleh interleukin-1 (IL-I). Hormon lain yang
inempengaruhi sistesis komponen kartilago adalah
testosteron, P-estradiol, platelet derivat growth
factor (PDGF), jibroblast growth factor dan kalsitonin
(Moskowitz, 1990; Pelletier, 1991)
Pathogenesis of OA
Pathogenesis of OA
T ~ a t r i xdegeneration
Cytokin

' Enzymes

Nitric oxide
Genetic

Chondroitin $Matrix synthesis

Chondroitin

+ Chondroitin

Chondroitin
IGF-I = insulin like gmwth fector
TGF-p transforming gmwth fector

Garnbar 1. Patogenesis OA. Proses perbaikan rawan sendi dan


faktor keseimbangan antara sintesis matriks dan hilangnya matriks
(surnber : Doherty & Jones, 1994)

Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah


keseimbangan metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk
hasil degradasi matriks rawan sendi ini cenderung
berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan
sendi serta mengawali suatu respons imun yang
menyebabkan inflamasi sendi (Woodhead, 1989; Pelletier,
1990).Rerata perbandingan antara sintesis dan pemecahan,
matriks rawan sendi pada pasien OA kenyataannya lebih

rendah.$$anding,no,rmal yaitu 0,29 dibanding 1 (Dingle,


. ,1991j.
Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses
peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas
fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya
penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh
darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia
dan nekrosisjaringan subkhondral tersebut (Ghosh, 1992).
Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti
prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya
menimbulkan bone angina lewat subkhondral yang
diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat
menghantarkan rasa sakit (Moskowitz, 1987). Penyebab
rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya
mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang
menyebabkan radang sendi (Brandt, 1987), peregangan
tendo atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra
artikuler akibat kerja yang berlebihan (Ruoff, 1986). Sakit
pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang
menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari
medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler
akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling
pada&Ma dan subkondrial(Moskowitz, 1987;Brandt, 1987).
Peran makrofag didalam cairan sendi juga penting,
yaitu apabila dirangsang oleh jejas mekanis, material asing
hasil nekrosis jaringan atau CSFs, akan memproduksi
sitokin aktivator plasminogen (PA) yang disebut katabolin.
Sitokin tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF a dan P, dan
interferon (IFN) a dan z (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1990;
Dingle, 1991). Sitokin-sitokin ini akan merangsang
kondrosit melalui reseptor permukaan spesifik untuk
memproduksi CSFs yang sebaliknya akan mempengaruhi
monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara
langsung. Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi
pada cairan sendinya (Moskowitz, 1990). Sitokin ini juga
mempercepat resorpsi matriks rawan sendi (Ghosh, 1992).
Interleukin-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan
sendi, yaitu meningkatkan sistesis enzim yang
mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan
kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan
normal kondrosit. Pada percobaan binatang ternyata
pemberian human recombinant IL- 1a sebesar 0,O 1ng dapat
menghambat sistesis glukoaminoglikan sebanyak 50%
pada hewan normal (Dingle, 1991). Kondrosit pasien OA
mempunyai reseptor IL-1 2 kali lipat lebih banyak
dibanding individu normal (Pelletier, 1990) dan khondrosit
sendiri dapat memproduksi IL- 1 secara lokal (Dingle, 1991).
Faktor pertumbuhan dan sitokin tarnpaknya mempunyai
pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA.
Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen
matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan
merangsang sintesis, padahal IGF-1 pasien OA lebih rendah
dibandingkan individu normal pada umur yang sama
(Moskowitz, 1990;Pelletier, 1990). Percobaan pada kelinci
membuktikan bahwa puncak aktivitas sintesis terjadi

setelah 10 hari perangsangan dan kembali normal setelah


3-4 minggu (Dingle, 1991).

Kelainan disekitar rawan sendi tergantung pada sendi yang


terkena, tetapi prinsipnya adalah adanya tanda-tanda
inflamasi sendi, perubahan fungsi dan struktur rawan sendi
seperti persambun-gan sendi yang tidak normal, gangguan
fleksibilitas, pembesaran tulang serta gangguan fleksi dan
ekstensi, terjadinya instabilitas sendi, timbulnya krepitasi
baik pada gerakan aktif maupun pasif.

Peran NO (nitric Oxide) pada Kerusakan Kartilago


N O merupakan gas yang diproduksi oleh berbagai sel
tubuh dan mempunyai peran sentral pada pertahanan
tubuh dan imunitas.Produksi NO di rangsang oleh nitric
oxide synthase (NOS), dimana terdapat 3 isoforin NOS:
Constitutively expressed NOS (cNOS, mis; neuronal
cNOS = ncNOS = NOS-I)
-. Endothelial cNOS (ecNOS =NOS-III)
InducibleNOS (iNOS=NOS-II)
NeuronalcNOS dan ecNOS adalah konstitutif dan
fisiologis, sedangkan iNOS bersifat patologis. iNOS
merangsang produksi NO berlebihan yang kemudian
bereaksi dengan 0, membentukperoksinitrit yang toksik.
Sakurai dkk. (1995), mendapatkan peningkatan kadar
inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada pasien OA
maupun rheumatoid arthritis (RA). Mc Innes (1996), juga
melaporkan peningkatan kadar NO pada kultur kartilago
pasien kedua penyakit tersebut.
Hayashi dkk (1997), juga mendapatkan adanya
peningkatan ekspresi iNOS mRNA pada kartilago pasien
OA. Pada eksplan (kultur dari eksisijaringan) kartilago
yang di tambah dengan S-nitroso- acetyl penicillamine
(donor NO), juga terjadi peningkatan produksi tumor
necrosisfactor (TNF) a oleh makrofag dan sinoviosit. NO
dapat bersifatpro- inflamasi, karena NO mempunyai efek
vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler,
walaupun secara kostitutif N O mempunyai efek
anti-inflamasi (Tabel 2.) .
Efek NO terhadap kondrosit meliputi:
inhibisi produksi kolagen dan proteoglikan
aktivasi metaloproteinase
meningkatkan kepekaan trauma oksidan lain (H,O,)
menurunkan ekspresi IL-1 reseptor antagonis
inhibisi polimerisasi &tin dan sinyal IL-1 integrin
apoptosis (programmed cell death)
Kartilago normal tidak memproduksi T
W kecuali atas
rangsangan IL-1, tetapi pada eksplan kartilago pasien OA
dan RA produksi NO masih berlangsung setelah 72 jam
pada keadaan tanpa rangsangan lipopolysacharide (LPS),

IL-1 atau TNF yang dapat memperpanjang waktu p a d


NOS rnRNA atau protein tertentu. Ini menunjukkan adanya
NOS up-regulating factors lain pada kartilago yang
meliputi:
1. sitokin dan growth factors produksi kondrosit
2. interaksi dengan komponen matriks yang meningkatkan
NOS
3. difusi soluble stimuli ke matriks dari sumber sinovial
lain.

cNOS
(NOS-I)
Lokasi

Stimuli

Lokalisasi
kromosom
Lokalisasi
enzim

Neuron
susunan
syaraf pusat
dan perifer,
platelet, sel b,
pankreas, sel
epitel
NMDA,
insulin,
trombin

Cnos

(NOS-Ill)

(iNOS atau
NOS-11)

Endotel,
neuron, miosit
jantung

Makrofag,
endotel,
kondrosit,
hepatosit,
sinoviosit, set
otot polos

Asetilkolin,
ADP, trombin,
shear stress,

Endotoksin,
Interferon g,
IL-I, TNF a

12 (rnanusia)

VEGF
7 (manusia)

Sitosol

Kaveolae

17 (manusia).
Il(tikus)

Sitosol

Pro-inflamasi
Vasodilatasi dan hiperpermeabilitas
Hypotensi dan kolaps vaskular pada sepsis
Efek sitotoksik
Aktivasi cyclo-oxygenase
Bereaksi dengan 0 2 membentuk peroksinitrit yang
toksik
lnhibisi sintesis NO pada artritis eksperimental
Stimulasi produksi TNFa pada sinoviosit

Pada kartilago sendi sapi yang diberi stres oksidan,


menunjukkan NO pada cairan sendi merupakan mediator
apoptosis kondrosit yang tergantung IL-1 (IL-1 dependent
apoptosis). Proses ini disertai deplesi nicotiamide adenine
dinucleotide (NAD) dan aktivasi ensim stress
activated protein kinase (SAPK). Pada kultur kartilago
pasien OA juga ditunjukkan adanya deplesi NAD dan
peningkatan aktivitas SAPK. Aktivasi SAPK juga
merangsang produksi metaloproteinase pada kartilago
dengan OA. Pada IL- 1 dependent apoptosis IL- 1 yang
berperan adalah IL- 1P.

Regulasi NO dan Mediator Radang pada Kartilago


Eksplan kartilago OA juga mengekspresikan
cyclooxygenase-2 (COX-2) dan prostaglandin E, (PGE,).
Inhibisi NOS dengan L-monomethyl-L-arginine (L-NMA)
meningkatkan PGE, maupun matrix metalloproteinase-3

(MMP-3) dua kali lipat pada kartilago OA, sedangkan


penambahan nitroprusid natrium yang merupakan donor
NO, dapat menghambat PGE2 dan MMP-3. Produksi
spontan dari mediator inflamasi (NO dan PGE,) pada
eksplan kartilago OA dan RA menghasilkan stimuli yang
berlanjut dengan degradasi kartilago, misalnya ekspresi
IL-1P yang menyebabkan pelepasan NO dan PGE,. IL-6,
IL-8 dan TNF juga terlibat dalam degradasi kartilago. NO
dan PGE, juga meningkatkan IL-17 yang independen
dengan peningkatan IL- 1P.

FAKTOR-FAKTOR RlSlKO OSTEOAR'TRITIS

Untuk penyakit dengan penyebab yang tak jelas, istilah


faktor risiko (faktor yang meningkatkan risiko penyakit)
adalah lebih tepat. Secara garis besar faktor risiko untuk
timbulnya OA (primer) adalah seperti di bawah ini. Hams
diingat bahwa masing-masing sendi mempunyai
biomekanik, cedera dan persentase gangguan yang
berbeda, sehingga peran faktor-faktor risiko tersebut untuk
masing-masing OA tertentu berbeda. Dengan melihat
faktor-faktor risiko ini, maka sebenarnya semua OA individu
dapat dipandang sebagai
Faktor yang mempengaruhi predisposisi generalisata.
Faktor-faktor yang menyebabkan beban biomekanis tak
normal pada sendi-sendi tertentu.
Kegemukan, faktor genetik dan jenis kelarnin adalah
faktor risiko umum yang penting.
Umur
Dari semua faktor risiko untuk timbulnya OA, faktor ketuaan
adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin
meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tak
pemah pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40
tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi
harus diingat bahwa OA bukan akibat ketuaan saja.
Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan berbeda
dengan perubahan pada OA.
Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi,
dan lelaki lebih sering terkena OA paha, pergelangan
tangan dan leher. Secara keseluruhan, di bawah 45 tahun
frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita,
tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuknsi
OA lebih banyak pada wanita daripada pria. Hal ini
menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis OA.
Suku Bangsa
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada OA nampaknya
terdapat perbedaan di antara masing-masing suku bangsa.
Misalnya OA paha lebih jarang di antara orang-orang kulii
hitam dan Asia daripada Kaukasia. OA lebih sering

dijumpai pada orang-orang~merikaasli (Indian) daripada


orang-orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan
dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada
frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan
Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA
misalnya, pada ibu dari seorang wanita dengan OA pada
sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden)
terdapat 2 kali lebih sering OA pada sendi-sendi tersebut,
dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai 3
kali lebih sering, daripada ibu dan anak perempuanperempuan dari wanita tanpa OA tersebut. Adanya mutasi
dalam gen prokolagen I1 atau gen-gen struktural lain untuk
unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX
dan XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan
berperan dalam timbulnya kecendemgan familial pada OA
tertentu (terutama OA banyak sendi).
Kegemukan dan Penyakit Metabolik
Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan
meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik pada wanita
maupun pada pria. Kegemukan temyata tak hanya berkaitan
dengan OA pada sendi yang menanggung beban, tapi juga
dengan OA sendi lain (tangan atau stemoklavikula). Oleh
karena itu di samping faktor mekanis yang berperan (karena
meningkatnya beban mekanis), diduga terdapat faktor lain
(metabolik) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut.
Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan antara
OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya kaitan
antara OA dengan penyakit jantung koroner, diabetes
melitus dan hipertensi. Pasien-pasien osteoartritis
temyata mempunyai risiko penyakit jantung koroner dan
hipertensi yang lebih tinggi daripada orang-orang tanpa
osteoartritis.
Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olah raga
Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi
yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetii kapas)
berkaitan dengan peningkatan risiko OA tertentu.
Demikian juga cedera sendi dan olah raga yang sering
menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan risiko OA
yang lebih tinggi. Peran beban benturan yang berulang
pada timbulnya OA masih menjadi pertentangan.
Aktivitas-aktivitastertentu dapat menjadi predisposisi OA
cedera traumatik (misalnya robeknya meniscus, ketidak
stabilan ligamen) yang dapat mengenai sendi. Akan tetapi
selain cedera yang nyata, hasil-hasil penelitian
tak menyokong pemakaian yang berlebihan sebagai suatu
faktor untuk timbulnya OA. Meskipun demikian,
beban benturan yang berulang dapat menjadi suatu
faktor penentu lokasi pada orang-orang yang
mempunyai predisposisi OA dan dapat berkaitan
dengan perkembangan dan beratnya OA.

Kelainan Pertumbuhan
Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha (misalnya
penyakit Perthes dan dislokasi kongenital paha) telah
dikaitkan dengan timbulnya OA paha pada usia muda.
Mekanisme inijuga diduga berperan pa& lebih banyaknya
OA paha pada laki-laki dan ras tertentu.
Faktor-faktor Lain
Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat
meningkatkan risiko timbulnya OA. Hal ini mungkin
timbul karena tulang yang lebih padat (kern) talc membantu
mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang
rawan sendi. Akibatnya tulang rawan sendi menjadi
lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan
pada lebih tingginya OA pada orang gemuk dan pelari
(yang umumnya mempunyai tulang yang lebih padat) dan
kaitan negatif antara osteoporosis dan OA.
Merokok dilaporkan menjadi faktor yang melindungi
untuk timbulnya OA, meskipun mekanismenya belum
jelas.
Faktor-faktor untuk Timbulnya Keluhan
Bagaimana timbul rasa nyeri pada OA sampai sekarang
masih belum jelas. Demikian juga faktor-faktor apa
yang membedakan OA radiografik saja (asimtomatik)dan
OA simtomatik masih belum diketahui. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa wanita clan orang yang
gemuk cenderung lebih sering mempunyai keluhan
daripada orang-orang dengan perubahan yang lebih
ringan. Faktor-faktor lain yang diduga meningkatkan
timbulnya keluhan ialah hipertensi, merokok, kulit putih
dan psikologis yang tak baik.
Gangguan

Cedera

Ketidaksfabllan

Kelainan
metabolik

Ketuaan.
faktor-faktor intrinsik.
ekstrinsik

lama.

Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhankeluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang
secara perlahan-lahan.

Nyeri Sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama yang seringkali
membawa pasien ke dokter (meskipun mungkin sebelumnya sendi sudah kaku dan berubah bentuknya).
Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit
berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu
kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih
dibanding gerakan yang lain. Nyeri pada OA juga dapat
berupa penjalaran atau akibat radikulopati, misalnya pada
OA semikal dan lumbal. OA lumbal yang menimbulkan
stenosis spinal mungkin menimbulkan keluhan
nyeri di betis, yang biasa disebut dengan claudicatio
intermitten.
Hambatan Gerakan Sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan
pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.

Keluhanlketldakmarnpuan:
rlngadudak ada

tulang belakang, lutut dan paha) adalah nyata sekali.


Sebagai perbandingan, OA siku, pergelangan tangan,
glenohumeral atau pergelangan kaki jarang sekali dan
terutama terbatas pada orang tua. Distribusi yang selektif
seperti itu sampai sekarang masih sulit dijelaskan. Salah
satu teori mengatakan bahwa sendi-sendi yang sering
tekena OA adalah sendi-sendi yang paling akhir mengalami
perubahan-perubahan evolusi, khususnya dalam kaitan
dengan gerakan mencengkeram dan berdiri dua kaki.
Sendi-sendi tersebut munglun mempunyai rancang bangun
yang sub optimal untuk gerakan-gerakan yang mereka
lakukan, mempunyai cadangan mekanis yang tak
mencukupi, dan dengan demikian lebih sering gagal
daripada sendi-sendi yang sudah mengalami adaptasi lebih

Dekwrnpensata

Keluhan/keUdakrnarnpuan:

I(

Osteoflt
Osteoflt

Metabolsme
Kondrcslt

Jawaban Slnovlel

Reaksl kapsul

I1

Gambar 4. Penggambaran OA sebagai suatu proses petbalkan


yang dapat kornpensata atau gagal dalamjawaban pada betbagai
gangguan

Kaku Pagl
Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul
setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil
dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun
tidur.

SENDlSENDl YANG 'TERKENA

Krepltasl
Rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada
sendi yang sakit.

Adanya predileksi OA pada sendi-sendi tertentu


(carpometacarpal I, metatarsophalangeal I, sendi apofiseal

Pembesaran Sendi (deformltas)


Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya

(seringkali terlihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan


membesar.
Perubahan Gaya Berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan paasien.
Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut
atau panggul berkembang menjadi pincang. Gangguan
berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan
ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA yang
umumnya tua.

PEMERIKSAAN FlSlS
Harnbatan Gerak
Perubahan ini seringkali sudah ada mekipun pada OA yang
inasih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat
dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya
bisa dogoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan
gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun
eksentris (salah satu arah gerakan saja).
Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut.
Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu
yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang
memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit,
krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini
mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang
sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif di
manipulasi.
Pernbengkakan Sendi yang Seringkali Asirnetris
Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi
pada sendi yang biasanya tak banyak (< 100 cc). Sebab
lain ialah karena adanya osteofit, yang dapat mengubah
permukaan sendi.
Tanda-tanda Peradangan
Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan,
gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna
kemerahan) mungkin dijumpai pada OA karena adanya
sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tak menonjol dan
timbul belakangan, seringkali dijumpai di lutut,
pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan
kaki.
Perubahan Bentuk (deformitas) Sendiyang permanen
Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang
lama, perubahan permukaan sendi, berbagai kecacatan dan
gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan
sendi.

Perubahan Gaya Berjalan


Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri
karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai
pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan
stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan bahu,
siku dan pergelangan tangan, osteoartritis juga
menimbulkan gangguan fungsi.

PEMERIKSAANDlAGNOSTlK
Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis
dan radiografis.
Radiografis Sendi yang Terkena
Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang
terkena osteoartritis sudah cukup memberikan garnbaran
diagnostik yang lebih canggih.
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA
ialah :
Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris
(lebih berat pada bagian yang menanggung beban).
Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral.
Kista tulang
Osteofit pada pinggir sendi
Perubahan struktur anatomi sendi.
Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi di atas,
secara radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan sampai
berat (kriteria Kellgren dan Lawrence). Harus diingat bahwa
pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih
normal.
Pemeriksaan penginderaan dan radiografi sendi lain.
Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan
magnetik mungkin diperlukan pada beberapa
keadaan tertentu. Bila osteoartritis pada pasien
dicurigai berkaitan dengan penyakit metabolik atau
genetik seperti alkaptonuria, oochronosis, displasia
epifisis, hiperparatiroidisme, penyakit Paget atau
hemokromatosis (terutama pemeriksaan radiografi pada
tengkorak dan tulang belakang).
Radiografi sendi lain perlu dipertimbangkanjuga pada
pasien yang mempunyai keluhan banyak sendi
(osteoartritis generalisata).
Pasien-pasien yang dicurigai mempunyai penyakitpenyakit yang meskipun jarang tetapi berat
(osteonekrosis, neuropati Charcot, pigmented
sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih mendalam.
Untuk diagnosis pasti penyakit-penyakit tersebut
seringkali diperlukan pemeriksaan lain yang lebih
canggih seperti sidikan tulang, penginderaan dengan
resonansi magnetic (MRI), artroskopi dan artrografi.
Pemeriksaan lebih lanjut (khususnya MRI) dan
mielografi mungkinjuga diperlukan pada pasien dengan

----

-~

.,

.'

OA tulang belakang untuk menetapkan sebabLsebab


gejala dan keluhan-keluhan kompresi radikulk atau
medulla spinalis.

i,,.;:

Hasil pemeriksaan laboratorium p a d a - biasanya


~~
tak
banyak berguna. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju
endap darah) dalam batas-batas normal, kecuali OA
generalisata yang harus dibedakan dengan artritis
peradangan. Pemeriksaan imunologi'(ANA, faktor
reumatoid dan komplemen) juga normal,.Pada OA yang
disertai peradangan, mungkin didapatkan . penurunan
viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan
ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein.

PEMANTAUAN PROGRESIVITAS DAN OUTCOME


OA
Terdapat 3 cara utama untuk memantau progresivitas dan
outcome OA :
Pengukuran nyeri sendi dan disabilitas pada pasien
(patient-related measures of joint pain and diability),
misalnya nilai algofungsional dari WOMAC, indeks
beratnya nyeri lutut dan panggul.
Pengukuran perubahan struktural (anatomi) pada sendi
yang terserang (measurement of the structural /
anatomical changes in the aflected joints) misalnya
radiografi polos, MRI, artroskopi dan ultrasound
frekuensi tinggi
Pengukuran proses penyakit yang dinyatakan dengan
perubahan metabolisme atau perubahan kemampuan
fungsional dari rawan sendi artikuler, tulang subkondral
atau jaringan sendi lainnya (measurements of the
disease process exemplified by changes in metabolism o r functional properties of the articular
cartilage, subchondral bone or other joints tissues)
misalnya marker rawan sendi dalam cairan tubuh,
skintigrafi tulang, pengukuran resistensi terhadap
kompresi pada rawan sendi dengan mengukur
kemampuan identasi atau penyebaran.
Nilai algofungsional, radiologik polos dan artroskopi
telah banyak digunakan pada berbagai uji klinik OA,
tetapi hanya nilai algofungsional saja yang telah divalidasi
sebagai instrumen outcome
Foto polos sendi selama ini digunakan sebagai
standard emas untuk menilai perubahan struktur sendi
pada berbagai uji klinik penggunaan obat DMOA
(Disease Mod~fiing Osteoartritis Drugs). Kelemahan
teknik ini terletak pada kenyataan bahwa teknik ini hanya
dapat menilai secara tidak langsung, suatu surrogate
marker, perubahan yang tetjadi akibat destruksi rawan

sendi dan bukan penilaian secara langsung proses yang


terjadi pada rawan sendi. Hal yang sama ditemukan pada
MRI, hingga saat ini MRI tidak dapat memantau kualitas
dan komposisi rawan sendi, informasi yang diperoleh
hanyalah pengukuran tidak langsung dari proses penyakit.
Melihat ha1 tersebut maka diperlukan suatu metode yang
secara cepat memberikan infonnasi dari fungsi, komposisi
dan proses metabolik pada rawan sendi yang dapat
digunakan untuk memantau hasil pengobatan.
Destruksi rawan sendi pada OA melibatkan prQses
degradasi matriks molekul yang akan dilepaskan kedalam
cairan tubuh seperti dalam cairan sendi, darah dan urin.
Beberapa marker molekuler dari metabolisme matriks
rawan sendi dapat digunakan dalam diagnosis, prognostik
dan monitor penyakit sendi seperti pada RA dan OA dan
dapat digunakan pula mengidentifikasi mekanisme
penyakit pada tingkat molekuler. Walaupun banyak
publikasi yang telah melaporkan bahwa pada OA terjadi
peningkatan pelepasan marker rawan sendi, tulang dan
sinovia ke dalam cairan sendi, serum dan urin, namun
penggunaan marker ini untuk memantau proses penyakit
pada OA masih sukar dilakukan.
Kata marker telah digunakan pada berbagai keadaan.
Pada OA maka yang dimaksud dengan marker ialah sitokin,
enzim protease dan inhibitomya, komponen matriks rawan
sendi dan fiagmennya, antibodi terhadap kolagen rawan
sendi dan membran protein kondrosit serta hormon
pertumbuhan.

JENIS MARKER MOLEKULAR,PADA OSTEOARTRI'TIS


Terdapat berbagai jenis marker molekuler yang dapat
ditemukan dalarn cairan sinovia atau dalam serum pasien
OA yang berasal dari berbagai komponen ekstraselular
matriks (lihat Tabel 3)

HUBUNGAN ANTARA KONSENTRASI MARKER


DENGAN METABOLISME RAWAN SEND1
Hal yang perlu dipertirnbangkandalam ha1marker molekuler
pada OA ialah :
Pengetahuan tentang hubungan antara konsentrasi
marker molekul dengan tingkat metabolisme dari rawan
sendi.
Pengetahuan tentang hubungan antara konsentrasi
marker molekul pada berbagai cairan tubuh seperti pada
cairan sendi, serum dan urin .
Pengaruh adanya perubahan tubuh seperti inflamasi
sinovial, gangguan fungsi hati dan fungsi ginjal
terhadap konsentasi marker.
Spesifitas dari marker molekul pada tulang rawan
terutama pada rawan sendi.

Marker
Cartilage
Aggrecan
Core Protein epitopes
Core Protein epitopes
(cleavage site specificneoepitopes)
Keratan Sulfate epitopes
Chondroitin sulfate ratio
(846, 383, 7D4, etc.)
Chondroitin sulfate ratio 65145
Small proteoglicans
Cartilage matrix proteins
Cartilage oligometric matrix protein
Cartilage collagens
Type II collagen C-propeptide
Type II collagen a chain fragments
Matrix metalloproteinases and
inhibitors
Meniscus
Cartilage oligometric matrix protein
Small proteoglicans
Synovium
Hyaluronan
Matrix metalloproteinases and
inhibitors
Stromelvsin (MMP-3)
Interstitial collagenase (MMP-1)
Tissue inhibitors of metalloproteinases
Type Ill collagen N-propeptide
Bone
Bone sialoprotein
Osteocalcin
3-hidroxypyridinium crosslinks

Marker OA pada cairan


sendi

Proses

Marker OA
pada serum

Degradasi dari agregan


Degradasi dari agregan
Degradasi dari agregan
Sintesis Idegradasi dari agregan
Sintesis Idegradasi dari agregan
Degradasi dari proteoglikan kecil
Degradasi dari COMP
Sintesis dari kolagen tipe II
Degradasi dari kolagen tipe II
Sintesis dan sekresi
Degradasi dari COMP
Degradasi dari proteoglikan kecil
Sintesis dari hialuronan
Sintesis dan sekresi dari MMP-3
Sintesis dan sekresi dari MMP-1
Sintesis dan sekresi dari TlMPs
Sintesisldegradasi dari kolagen
tipe Ill
Sintesisldegradasi dari BSP
Sintesis dari osteokalsin
Degradasi dari kolagen tulang

Pengetahuan tentang hubungan antara perubahan


konsentrasi marker pada berbagai cairan tubuh dan
perubahan metabolisme matriks sangatlah terbatas.
Sebagai contoh bahwa konsentrasi dari marker degradasi
matrlks dalam cairan tubuh tidak hanya tergantung pada
tingkat degradasi matriks rawan sendi tetapi juga tergantung
banyak faktor seperti kecepatan eliminasi (bersihan)
fiagmen molekul tersebut dari cairan tubuh dan jumlah
matriks rawan sendi yang inasih tersisa. Walaupun ada
faktor perancu tersebut konsentrasi marker dalam cairan
tubuh sangatlah erat hubungannya dengan tingkat
metabolisme matriks molekul rawan sendi, Komponen yang
seperti itu antara lain: agrekan, COMP (cartilage
ologomeric matrix protein) dan collagen 11C -propeptide
yang nampak berubah konsentrasinya dalam cairan tubuh
setelah cedera atau pada OA. Perubahan ini konsisten baik
pada hewan percobaan in vivo atau pada rawan sendi OA in vitro
Identifikasi dari sumber asal fragmen molekul
merupakan pula masalah dalam hubungan antara proses
dengan jaringan. Suatu peningkatan pelepasan fragmen
molekul ke dalam cairan tubuh dapat berasal dari suatu
proses degradasi saja (dengan akibat kerusakan jaringan)
atau sebagai akibat peningkatan degradasi yang
bersamaan pula dengan peningkatan pembentukan barn/
perbaikan (yang menghasilkan keadaan steady state),

dengan demikan diperlukan marker untuk kondisi


degradasi (misalnya fragmen agrekan) dan sintesis
(misalnya collagen 11pro-peptide)
Masalah lain ialah bila suatu marker katakanlah tidak
berhubungan dengan proses degradasi tetapi hanyalah
berhubungan dengan proses sintesis maka sumber spesifik
fragmen tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut. Suatu
fiagrnen molekul yang telah diidentifikasi dapat berasal dari:
pemecahan matriks barn yang belum masuk ke dalam
matriks fingsional
pemecahan matriks yang sudah matang

Selain itu masih ada masalah lagi ialah berasal dari


kompartemen yang mana marker molekuler yang ditemukan
di cairan tubuh tersebut, apakah dari periselular, matriks
teritorial atau matriks interteritorial

POTENSI PENGGUNAANMARKER
Kebutuhan pemakaian marker berbeda tergantung pada
kegunaannya yaitu untuk uji diagnostik, uji prognostik
atau uji evaluatif.
Uji diagnostik biasanya lebib diarahkan pada
kemampuan untuk nembedakan antara individu yang

terserang dengan individu yang tidak terserang yang


biasanya diekspresikan sebagai sensitivitas $an spesivitas
uj i tersebut
Uji evaluatif diarahkan pada kemampuan marker
tersebut untuk memantau perubahan sepanjang waktu
pada seorang pasien yang diekspresikan pada sensitivitas
uji tersebut pada perubahan.
Uji diagnostik yang sering digunakan di bidang
reurnatologi misalnya pemeriksaan Faktor Reurnatoid (RF)
dan ANA pada Artritis reumatoid. Marker yang dapat
digunakan sebagai uji diagnostik pada OA antara lain
Keratan sulfat dalam serum yang dapat digunakan untuk
uji diagnostik pada OA generalisata. Problema yang
muncul ialah ternyata marker tersebut tidak seperti yang
diharapkan walaupun marker serum ini erat hubungannya
dengan degradasi proteoglikan rawan sendi, terdapat
tumpang tindih di antara individu yang terserang dengan
yang tidak terserang, selain itu marker ini dipengaruhi
umur dan gender. Marker uji diagnostik lainnya ialah
konsentrasi fragmen agrekan, fragmen COMP,
metaloproteinase matriks dan inhibitornya dalam cairan
sendi. Walaupun hasil penelitian menunjukkan tumpang
tindih yang moderat, tetapi peneltian yang ada masih
bersifat potong-lintang dan retrospektif, karena itu
untuk dapat digunakan lebih luas perlu penelitian
prospektif.
Marker sering pula digunakan untuk menentukan
beratnya penyakit. Pada penyakit bukan OA misalnya
pada penyakit tiroid maka TSH selain dapat digunakan
sebagai uji diagnostik dapat pula digunakan untuk
menentukan beratnya penyakit. Pada OA beratnya
penyakit biasanya ditentukan dengan berbagai cara antara
lain: derajat radiologik Kellgren dan Lawrence, jumlah
kehilangan rawan sendi pada artroskopi dan derajat
kapasitas fungsional pasien. Penggunaan marker
molekuler dapat digunakan sebagai tambahan dalam
menentukan derajat penyakit. Penelitian lebih lanjut masih
perlu dilakukan oleh karena marker molekuler mempunyai
potensi yang cukup besar dalam memberikan informasi
tentang kualitas rawan sendi yang tidak dapat diperoleh
dengan pemeriksaan lainnya.
Marker molekuler dapat digunakan pula sebagai marker
prognostik untuk membuat prediksi kemungkinan
memburuknya penyakit. Pada OA maka hialuronan
serum (bukan keratan sulfat) dapat digunakan untuk
membuat prediksi pada pasien OA lutut akan terjadinya
progresivitas OA dalam 5 tahun. Peningkatan COMP
serum dapat membuat prediksi terhadap progresifitas
radiologik pasien OA dalarn 5 tahun. Seperti halnya dengan
penggunaan untuk petanda lainnya maka marker
untuk prognostik ini masih perlu diteliti lagi secara
prospektif dan longitudinal dengan jumlah pasien yang
lebih besar.
Marker dapat digunakan pula untuk membuat prediksi
terhadap respons pengobatan, contoh pada penyakit

bukan OA ialah pengukuran reseptor estrogen pada kanker


payudara. Pada OA maka analisa dari fragmen matriks
rawan sendi yang dilepaskan dan yang masih tertinggal
dalam rawan sendi mungkin dapat memberikan informasi
penting dari perangai proses metabolik atau peranan dari
protease. Sebagai contoh maka fragmen agrekan yang
dilepaskan dalam caiaran tubuh dan yang masih tertinggal
dalam matriks, sangatlah konsisten dengan aktivitas 2
enzim proteolitik yang berbeda hngsinya terhadap matriks
rawan sendi pada OA. Enzim tersebut ialah stromielisin
dan agrekanase. Penelitian penggunaan marker ini sedang
di kembangkan.
Marker dapat digunakan pula untuk monitor respons
pengobatan. Marker ini perlu dikembangkan agar
dapat digunakan dalam memantau hasil pengobatan
dengan DMOA (Disease modifyang osteoarthritic
drugs) yaitu obat yang dapat mempengaruhi perjalanan
penyakit.

PENGELOLAAN
Pengelolaan OA berdasarkan atas distribusinya (sendi
mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang
terkena. Pengelolaannya terdiri dari 3 ha1
Terapi non-farmakologis :
- Edukasi atau penerangan;
- Terapi fisik dan rehabilitasi;
- Penurunan berat badan.
Terapi farmakologis :
- Analgesik oral non-opiat;
- Analgesik topikal;
- OAINS (obat anti inflamasi non steroid);
- Chondroprotective;
- Steroid intra-artikuler
Terapi Bedah :
- Malaligment, deformitas lutut Valgus-Varus dsb;
- Arthroscopic debridement dan joint lavage;
- Osteotomi;
- Amoplasti sendi total.

TERAPI NON-FARMAKOLOGIS
Penerangan
Maksud dari penerangan adalah agar pasien mengetahui
sedikit seluk-beluk tentang penyakitnya, bagaimana
menjaganya agar penyakitnya tidak bertambah parah
serta persendiannya tetap dapat dipakai.

Terapl Flslk dan Rehabllltaal

Terapi ini untuk melatih pasieli agar persendiannya tetap


dapat dipakai dan melatih pasie'n u n a melindungi sendi
yang sakit.

Penurunan Berat Badan


Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor
yang akan memperberat penyakit OA. Oleh karenanya
berat badan hams selalu dijaga agar tidak berlebihan.
Apabila berat badan berlebihan, maka haius diusahakan
penurunan berat badan, bila mungkin mendekati berat
badan ideal.
TERAPI FARMAKOLOGIS
Analgesik Oral Non Opiat
Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati
sendiri penyakitnya, terutama dalam ha1 mengurangi
atau menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali obat-obatan
yang dijual bebas yang mampu mengurangi rasa sakit.
Pada umumnya pasien mengetahui ha1 ini dari iklan pada
media masa, baik cetak (koran), radio maupun televisi.
Analgesik Topikal
Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan
dipasaran dan banyak sekali yang dijual bebas.
Pada umurnnya pasien telah mencoba terapi dengan cara
ini, sebelum memakai obat-obatan peroral lainnya.
Obat Anti lnflamasi Non Steroid (OAINS).
Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak berhasil,
pada umurnnya pasien mulai datang kedokter. Dalam ha1
seperti ini kita pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh
karena obat gologan ini di samping mempunyai efek
analgetikjuga mempunyai efek anti inflamasi. Oleh karena
pasien OA kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obatobatanjenis ini hams sangat berhati-hati. Jadi pilihlah obat
yang efek sampingnya minimal dan dengan cara pemakaian
yang sederhana, di samping itu pengawasan terhadap
kemungkmantimbulnya efek samping selalu hams dilakukan.
Chondroprotective Agent
Yang dimaksud dengan chondroprotective agent
adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang
perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA.
Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut
dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs)
atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs
(DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam
kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat,
kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C,
superoxide desmutase dan sebagaimya
Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai kemampuan
untuk menghambat kerja enzim MMP dengan cara
menghambatnya. Salah satu contoh adalah doxycycline,
sayangnya obat ini baru dipakai pada hewan dan belum
dipakai pada manusia.

Asam hialuronat disebut juga sebagai viscosupplement


oleh karena salah satu manfaat obat ini adalah dapat
memperbaiki viskositas cairan sinovial, obat ini
diberikan secara intra-artikuler. Asam hialuronat
ternyata memegang peranan penting dalam
pembentukan matriks tulang rawan melalui agregasi
dengan proteoglikan. Di samping itu pada binatang
percobaan, asam hialuronat dapat mengurangi inflamasi
pada sinovium, menghambat angiogenesis dan
khemotaksis sel-sel inflamasi.
Glikosaminoglikan,dapat menghambat sejumlah enzim
yang berperan dalam proses degradasi tulang rawan,
antara lain : hialuronidase, protease, elastase dan
cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang sintesis
proteogllkan dan asam hialuronat pada kultur tulang
rawan sendi manusia. Dari penelitian Rejholec tahun
1987 (dikutip dari Fife & Brandt, 1992) pemakaian
glikosaminoglikan selama 5 tahun dapat memberikan
perbaikan dalam rasa sakit pada lutut, naik tangga,
kehilangan jam kerja (mangkir), yang secara statistik
bermakna. Juga dilaporkan pada pemeriksaan radiologis
menunjukkan progresivitas kerusakan tulang rawan
yang inenurun dibandingkan dengan kontrol.
Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada
jaringan kelompok vertebrata, dan terutama terdapat
padamatriks ekstraselular sekeliling sel. Salah satu
jaringan yang mengandung kondroitin sulfat adalah
tulang rawan sendi dan zat ini menlpakan bagian dari
proteoglikan. Menurut Hardingham (1998), tulang rawan
sendi, terdiri dari 2% sel dan 98% matriks ekstraselular
yang terdiri dari kolagen dan proteoglikan. Matriks ini
membentuk satu struktur yang utuh sehingga mampu
menerima beban tubuh. Pada penyakit sendi degeneratif
seperti OA terjadi kerusakan tulang rawan sendi dan
salah satu penyebabnya adalah hilangnya atau
berkurangnya proteoglikan pada tulang rawan tersebut.
Menurut penelitian Uebelhart dkk (1998) pemberian
kondroitin sulfat pada kasus OA mempunyai efek
protektif terhadap tejadinya kerusakan tulang rawan
sendi. Sedang Ronca dkk (1998) telah mengambil
kesimpulan dalam penelitiannya tentang kondroitin
sulfat sebagai berikut :efektivitas kondroitin sulfat pada
pasien OA mungkin melalui 3 mekanisme utama, yaitu :
1) anti inflamasi; 2) efek metabolik terhadap sintesis
hialuronat dan proteoglikan; 3) anti-degradatif melalui
hambatan enzim proteolitik dan menghambat efek
oksigen reaktif.
Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat
aktivitas enzim lisozim. Pada pengamatan ternyata
vitamin C mempunyai manfaat dalam terapi OA. (Fife &
Brandt, 1992)
Superoxide Dismutase, dapat dijumpai pada setiap sel
mamalia dan mempunyai kemampuan untuk
menghllangkan superoxidedan hydroxil radicals. Secara
in vitro, radikal superoxide mampu merusak asam

hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang


hydrogen peroxyde dapat merusak kondrosit secara
langsung. Dalam percobaan klinis dilaporkan bahwa
pemberian superoxide dismutase ini dapat mengurangi
keluhan-keluhan pada pasien OA.(Fifi & Brandt, 1992)
Steroid intra-artikuler, pada penyakit artritis reumatoid
menunjukkan hasil yang baik. Kejadian inflamasi
kadang-kadang dijurnpai pada pasien OA, oleh karena
itu kortikosteroid intra artlkulertelah dipakai dan mampu
mengurangi rasa sakit, walaupun hanya dalam waktu
yang singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan
keuntungan yang nyata pada pasien OA, sehingga
pemakaiannya dalam ha1 ini masih kontroversial.

TERAPI BEDAH
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak
berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk
melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang
mengganggu aktivitas sehari-hari.

REFERENSI
Adnan HM. Diagnosis arthritis rheumatoid dan perbandingannya
arthritis-artritis lain. Kongres nasional I, Ikatan Reumatologi
Indonesia, Semarang tgl. 28,29,30 Juli 1983, hal. 43-57.
Altman R, Asch E, Bloch D. et al. Development of criteria for the
classifications of osteoarthritis. Classification of osteoarthritis
of the knee. Arthritis. Rheum. 1986;29 : 1039-44.
Bennet JC. Osteoarthritis. Controlling pain and stiffness; avoiding
degenerative changes; pinpointing low back pain. Modern
Medicine Nov 1981; 58-74.
Bland JH. Osteoarthritis. Pathology and clinical patern, in : Text
Boox of Rheumatology. Vol 11, Philadelphia, WB Saunders Coy,
1981 : 1471-90.
Bonomo I. Osteoarthritis. The management. In : Rheumatology,
1982; 7 : 64-9.
Brandt kd. Pathogenesis of Osteoarthritis. Text Boox of
Rheumatology. Vol 11, Philadelphia, WB Saunders Coy, 1981 :
1457-67.
Brandt KD. Management of osteoarthritis. In : Textboox of
rheumatology. Eds : Kelley WN, Harris DE, Ruddy S, Sledge CB.
Philadelphia : WB Saunders Company, 1997 : 1394-1403.
Clancy RM, Amin A, Abramson S. The role of nitric oxide in
inflammation and immunity. Arthritis Rheum. 1998; 41 :114 151.
Clancy RM, Rediske J, Nijher N, Abrarnson SB. Activation of stress
activated protein kinase in osteoarthritic cartilage: Evidence
.o~
for nitric oxide dependence at a c r ~ r h e u m a t o 1 o ~ v 1998.
Darmawan J, Wirawan S. Soenarto P, Soeharjo H. Prevalensi penyakit
reumatik di pedesaan di Jawa Tengah. Simposium Reumatologi.
Eds : Tanwir JM, Pramudiyo R, Tohamuslim A. Bandung :
Universitas Padjadjaran 1987 : 20-36.
Fife RS 1. A short history of Osteoarthritis. In : Moskowitz RW,
Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ. Eds. Osteoarthritis
diagnosis and medical /surgical management. 2ed ed. WB Saunders
Company, Philadelphia, Pennsylvania 19106, USA, pp: 11-14, 1992.

Fife RS2. Osteoarthritis. A Epidemiology, Pathology, and


Pathogenesis. In : Klippel JH, Weyand CM, Wortmann RL.
Eds. Primer on the Rheumatic Diseases. 1led. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia, USA, pp : 216-217, 1997.
Fife RS & Brandt KD. Other approaches to therapy. In : Moskowitz
RW, Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ. Eds. Osteoarthritis
Diagnosis and Medical/Surgical Management. 2nded. W.B.
Saunders Coy, Philadelphia, Pennsylvania, USA, pp: 511-526, 1992.
Felson DT, Anderson JJ, Naimark A, Walker AM, Meenan RF.
Obesity and knee osteoarthritis. The Framingham Study. Ann.
Inetrn Med 1988; 109: 18-24.
Goldie I. Osteoarthrosis; a review, Simposium Reumatologi di'Jakarta
13 Maret 1982, ha1 14-21.
Hany Isbagio. Tinjauan tentang praktek sekarang dan masa akan
dating diagnosa dan penanganan klinik dari penyakit-penyakit
reumatik yang banyak di Indonesia. Simposiu~nAnti Rumatik
Baru 19 Juni 1982, ha1 11-29.
Huskisson EC. Pain in rheumatic disorders and its medical control.
Kumpulan naskah nyeri pada pasien reumatik. Biennial
Meeting IRA, ~akarta9 Mei 1981, ha1 23-28.
Hardingham T. Chondroitin sulfat and joint disease. In : Altman RD.
Ed. Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarth Research Soci, 6
Supp A, p :3-5, 1998.
Hochberg MC. Osteoarthritis. B. Clinical features and treatment. In
: Klippel JH, Weyand CM, Wortmann RL. Eds. Primer on the
Rheumatic Diseases. 1led. Arthritis Foundation, Atlanta,
Georgia, USA, pp : 218-221, 1997.
lnoue H. Arthroscopic diagnosis and treatment of the arthritis
(Abstr). 5Ih SEAPAL Congress of Rheumatology, Bangkok, 26
Jan 1984.
Kraus VB. Pathogenesis and treatment of osteoarthritis. In :
Snyderman R & Haynes BE Eds. The Medical Clinics of North
America. W.B. Saunders Coy. Philadelphia, Pensylvania, USA,
81, p : 85-112, 1997
Kuettner KE. Cartilage integrity and homeostasis In : Rheumatology.
Editors : Klippel JH,Dieppe PA. St. Louis Mosby Company 1994:
6.6. 16.
Mathies H. Osteoarthrosis (degenerative joint disease).
Characteristic features of the most important rheumatic
disease. A practical diagnostic guide. Enlar Publishers Blask
Switzerland, 1977 : 64-68.
Muirden KD. Treatment of osteoarthritis. Medical Progress 1980;
7(10):24-8.
Nasution AR. Penatalaksanaan penyakit reumatik pada usia lanjut.
Acta Medica Indonesiana AprilJSept 1979 : 39-50.
Nienhuis RLF. Gambaran Radiologik penyakit sendi. Kumpulan
naskah nyeri pada pasien reumatik. Biennial Meeting IRA,
Jakarta 9 Mei 1981, 66-73.
Uebelhart D, Thonar E. J-M.A, Jinwen Zhang, Williams JM. In :
Altman RD. Ed. Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarth
Research Soci, 6, Supp A, p : 6-13, 1998.
Poople AR. Cartilage in Health and Disease. In : Koopman WJ Ed.
Arthritis and Allied Conditions. A Textboox of Rheumatology.
13" ed. William & Wilkins, Baltimore, Maryland, USA, pp :
225-308, 1997.
Pollison R. Non-Steroidal anti inflammatory drugs : Practical and
the~riticalconsiderations in their selection. Am J Med 1996;
lOO(2A): 2A-3 1s-2A-35s.
Presle N, Cipolletta N, Jouzeau JY, Netter P, Terlain B (1998) In
vivo chondroprotection by,NO synthase (NOS) inhibitor in IL
induced arthritis at acr@.rheumatoloev.org 1998.
Ronca F, Palmieri L, Panicucci P, Ronca G. Anti Inflamatory

'

activity of chondroitin sulfate. In : Altman RD. Ed.


Soemargo Sastrodiwiryo. Aspek neurologik spondiloartrosis
servikalis. Kumpulan naskah nyeri pada pasien penyakit
Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarthr Research Soci, 6, Supp
reumatik. Biennial Meeting IRA, Jakarta 9 Mei 1981, 16-22.
A, p: 14-21, 1998.
Sokoloff L. the remodeling articular cartilage. Rheumatology 1982;
Robinson WD. Management of Degenerative Jolnt Disease. Idem
NO. 3, 1941-9.
,
7 . 11-8.
,: Sterba G. The needle. A useful technique for evaluating ~nflamed
Rodwan GP. Primer on the rheumatic diseases 7Ih Ed. JAMA 1973;
,
joints. Geriatrics 1981; 36 : 5 : 113-26.
224 : 5 : 740-4.
Van der Korst JK. Osteoarthrosis. Penataran Berkala Reumatology,
Rodwan GP, Schumacer HR. Primer on the rheumatic diseases 8Ih
Ed. Published by the Arthritis Foundation, Atlanta GA, 1983 : :;: . ;.. . . Jakarta 9-13 Agustus 1982, 57-63.
. ..
: Wigley RD. clinical diagnosis of osteoarthritis. Kongres Nasional I
104-8.
Ikatan Reumatologi Indonesia, Semarang Juli 1983, 35-42.
Schumacher HR. Osteoarthritis. What to do when it isn't just wear
Zainal Effendi. Pengenalan praktis penyakit reumatik. The journal
and tear. Modem Medicine 1978; 46 (20) : 46-58.
of the Indonesian Family Physician 1983; 3 (1) : 4-9.
.
.
,

",

Tjokorda Raka Putra

Hiperurisemia adalah keadaan di mana tejadi peningkatan


kadar asam urat (AV) darah di atas normal. Hiperurisemia
bisa terjadi karena peningkatan metabolisme AU
(oveltprodaction), penurunan pengeluaran AU urin
(underexcretion), atau gabungan keduanya.
Banyak batasan untuk menyatakan hiperurisemia,
secara umum kadar AU di atas 2 standar deviasi hasil
laboratorium pada populasi normal dikatakan sebagai
hiperurisemia (Schurnacher, 1992). Batasan pragmatis yang
sering digunakan untuk hiperurisemia adalah suatu
keadaan di mana terjadi peningkatan kadar AU yang bisa
mencerminkan adanya kelainan patologi. Dari data
didapatkan hanya 5-10% pada laki normal mempunyai
kadar AU di atas 7 mg%, dan sedikit dari gout mempunyai
kadar AU di bawah kadar tersebut. Jadi kadar AU di atas 7
mg% pada laki dan 6 mg% pada perempuan dipergunakan
sebagai batasan hiperurisemia (Emmerson, 1983; WHO,
1992 ;Cohen et al, 1994; Kelley & Wortmann, 1997:Becker
& Meenaskshi, 2005).
Kejadian yang pasti dari hiperurisemia dan gout di
masyarakat pada saat ini belum jelas. Prevalensi
hiperurisemiadi masyarakat diperkirakan antara 2,3 sampai
17,6%. Sedangkan prevalensi gout bervariasi antara 1,6
sampai 13,6 per seribu penduduk (Kelley & Wortmann,
1997). Prevalensi hiperurisemia dan gout pada penduduk
Maori di Selandia Baru cukup tinggi dibandingkan dengan
bangsa Eropa. Prevalensi hiperurisemia pada laki 24,5%
dan perempuan 23,9%, sedangkan prevalensi gout 6 4 %
(Klemp et al, 1996).
Hiperurisemia yang berkepanjangan dapat
menyebabkan gout atau pirai, namun tidak semua
hiperurisemia akan menimbulkan kelainan patologi berupa
gout. Gout atau pirai adalah penyakit akibat adanya
penumpukan kristal monosodium urat pada jaringan akibat
peningkatan kadar AU (Terkeltaub, 200 1; Becker &
Meenaskshi, 2005). Penyakit gout terdiri dari kelainan

artritis pirai atau artritis gout, pembentukan tophus,


kelainan ginjal berupa nefiopati urat dan pembentukan
batu urat pada saluran kencing (Terkeltaub, 200 1;Kelley
& Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005).

PENYEBAB HlPERURlSEMlA

Penyebab hiperurisemia dan gout dapat dibedakan


dengan hiperurisemia primer, sekunder dan idiopatik.
Hiperurisemia dan gout primer adalah hiperurisemia dan
gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain.
Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia
atau gout yang disebabkan karena penyakit lain atau
penyebab lain. Hiperurisemia dan gout idiopatik
adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer,
kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologi atau
anatomi yang jelas (Schumacher Jr, 1992; Kelley &
Wortmann, 1997).
Hiperurisemia dan Gout Primer
Hiperurisemia primer terdiri dari hiperurisemia
dangan kelainan molekular yang masih belum jelas
dan hiperurisemia karena adanya kelainan enzim
spesifik.
Hiperurisemia primer kelainan molekular yang belum
jelas terbanyak didapatkan yaitu mencapai 99%, terdiri
dari hiperurisemia karena underexcretion (80-90%)
dan karena overproduction (10-20%). Hiperurisemia
primer karena kelainan ensim spesifik diperkirakan
hanya 1%, yaitu karena peningkatan aktivitas varian
dari ensim phoribosyIpyrophosphatase (PRPP)
synthetase, dan kekurangan 'sebagian' dari ensim
hypoxanthine phosphoribosyltranferase (HPRT)
(Kelley & Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi,
2005; Wortmann, 2005).

Tlpe
1. Primer
Kelainan molekular yang belum jelas:
(99% dari gout primer)
- Underexcretion
(80-90% dari gout primer)
- Overproduction
(10-20% dari gout primer)
Kelainan ensim spesifik :
( < I% dari gout primer)
- Peningkatan aktivitas varian dari
enzim PRPP synthetase,
- Kekurangan 'sebagian' dari
enzim HPRT.
2. Sekunder
Peningkatan biosintesis de novo
- Kekurangan menyeluruh enzim
HPRT

- Kekurangan ensim glucosa-6:


phosphatase

kurangan ensim Fructose-Iphosphate aldolase


Peningkatan degradasi ATP,
peningkatan pemecahan asam nukleat

UnderexcretionAU pada ginjal

Kelainan Metabolik

Keturunan

Belum jelas

Poligenik

Belum jelas

Poligenik

overproduction AU ,
peningkatan PP-ribosa-P
Overproduction AU, peningkatan
aktivitas biosintesis de novo karena
peningkatanjumlah PRPP ,pada
sindrom Kelley-Seegmiller
OverproductionAU, peningkatan
biosintesis de novo, pada sindrom
Lesch-Nyhan
Overproduction dan underexcretion
AU, pada glycogen storage disease
tipe I (Von Gierke)
Overproduction dan underexcretionAU

X-linked

Overproduction AU, pada hemolisis


kronis, polisitemia, metaplasia mieloid.

Bukan keturunan

Penurunan filtrasi, hambatan sekresi


tubulus dan atau perubahan resorpsi
dari AU,

Beberapa autosomal dominan,


bukan keturunan, banyak
belum diketahui

Autosomal recessive
Autosomal recessive

Tidak diketahui.

Keterangan
ATP : adenosine triphosphate; HPRT:
phoribosylpyrophosphatasesynthetase.

enzim hypoxanthine phosphoribosyltranferase ; PRPP

Hiperurisemia primer karena underexcretion


kemungkinan disebabkan karena faktor genetik dan
menyebabkan gangguan pengeluaran AU sehingga
menyebabkan hipemrisemia. Keadaan ini telah lama
dikenal, peneliti Garrod telah lama mengetahui, terjadi
gangguan pengeluaran AU ginjal yang menimbulkan
hiperurisemia primer (dikutip :Kelley & Wortmann, 1997).
Kelainan patologi ginjal yang berhubungan dengan
underexcretion tidak menunjukkan gambaran spesifik.
Peneliti Massari PU mendapatkan gambaran patologi pada
ginjal bempa sklerosis glomemlus yang global fokal dan
segmental dengan fokus atropi tubulus, peradangan
intersisial kronis, pembahan basal membran tanpa adanya
deposit electro-dense, Leuman EP mendapatkan focal
tubuloinsterstitiil nephropathy, Puig mendapatkan
gambaran lesi interstitiil tubulus ginjal, dan Simmond
mendapatkan kelainan nefritis interstitil non spesifik
(Massari et al, 1980; Leuman,l098; Puig et al, 1993;
Sirnmonds, 1994). Bagairnana kelainan molekuler dari ginjal
sehingga menyebabkan gangguan pengeluaran AU belum
jelas diketahui. Kemungkinan disebabkan karena

: enzim

gangguan sekresi AU dari tubulus ginjal (Cohen et al,


1994; Reiter et a1 1995; Kelley & Wortmann, 1997).Kadar
ficctional uric acid clearance pada hipemrisemia primer
tipe underexcretion didapatkan lebih rendah dari orang
normal (GibSon et al, 1984; Kelley & Wortmann,l997;
Becker & Meenaskshi, 2005).
Terdapat suatu kelainan yang disebut familial
juvenile gout atau familial juvenile hyperuricaemic
nephropathy (FJHN) yaitu hipemrisemia akibat adanya
penurunan pengeluaran AU pada ginjal dalam suatu
keluarga yang diturunkan secara genetik (Moro, 1991;Puig
et al, 1993; Simmonds, 1994; Saeki, 1995;Reiter et al, 1995).
Kelainan ini sering diturunkan secara autosomal
dominant. Secara klinis sering terjadi pada usia muda,
mengenai laki dan perempuan, terjadi penurunanfiactional
uric acid clearance (FUAC) dan sering menyebabkan
penumnan fungsi ginjal secara cepat (Simmonds, 1994).
Kelainan molekular dari FJHN belum diketahui,
kemungkinan karena kelainan pada gen yang
menyebabkan penumnan fungsi pengeluaran AU ginjal,
kemungkinan melalui kelainan transporter AU pada basal

membran atau pad@brush border dari tubulus proksimalis


ginjal (Simmonds, 1994).
Hiperurisemia primer karena kelainan ensim spesifik
akibat peningkatan aktivitas varian dari ensim PRPP
synthetase menyebabkan peningkatan pembentukan
purine nucleotide melalui sintesis de novo sehingga terjadi
hiperurisemia tipe overproduction. Telah diketahui ensim
ini disandi oleh DNA pada khromosom X, dan diturunkan
secara dominan (Kamatami, 1994; Kelley & Wortmann,
1997; Becker & Meenaskshi, 2005; Wortmann, 2005).
Hiperurisemia primer karena kelainan ensim spesifik
yang disebabkan kekurangan 'sebagian' dari ensim HPRT
disebut sindrom Kelley-Seegmiller.Ensim HPRTberperan
dalam mengubahpurine bases menjadi purine nucleotide
dengan bantuan PRPP dalam proses pemakaian ulang dari
metabolisme purh Kekurangan enzirn HPRTmenyebabkan
peningkatan produksi (overproduction)AU sebagai akibat
peningkatan de novo biosintesis. Diperkirakan terdapat
tiga mekanisme overproductionAU. Pertama, kekurangan
ensim menyebabkan kekurangan inosine mono
phosphate (IMP) ataupurine nucleotide yang mempunyai
efek feedback inhibition proses biosintesis de novo.
Kedua, penurunan pemakaian ulang menyebabkan
peningkatan jumlah PRPP yang tidak dipergunakan.
Peningkatan jumlah PRPP menyebabkan biosintesis de
novo meningkat. Ketiga, kekurangan ensim HPRT
menyebabkan hipoxanthine tidak bisa di ubah kembali
menjadi IMP, sehingga terjadi peningkatan oksidasi
hypoxathine menjadi AU (Kelley & Wortmann, 1997).
Kekurangan enzim HPRT diturunkan secara X-linked dan
bersifat resesif, sehingga didapatkan terutama pada
laki-laki. Telah diketahui terjadi berbagai jenis mutasi
genetik dari kelainan ensim ini (Kamatami, 1994: Kelley &
W o m 1997;Becker & Memaskshi,2005;Wortmann,2005).
Hiperurisemia dan Gout Sekunder
Hiperurisemiadan gout sekunder dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan
biosintesis d e novo, kelainan yang menyebabkan
peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat
dan kelainan yang menyebabkan underexcretion.
Hiperurisemia sekunder karena peningkatan biosintesis
de novo terdiri dari kelainan karena kekurangan menyeluruh
ensim HPRT pada sindrom Lesh-Nyhan, kekurangan ensim
glucosa 6-phosphatase pada glycogen storage disease
(Von Gierkee), dan kelainan karena kekurangan enzim
fructose-1 -phosphate aldolase
Sindrome Lesh-Nyhan disebabkan karena kekurangan
menyeluruh ensim HPRTyang diturunkan secara X-linked
dan bersifat resesif. Telah diketahui terdapat berbagai jenis
mutasi dari kelainan gen penyandi enzim ini. Kekurangan
ensim HPRT akan menyeb,abkanpeningkatan biosintesis
de novo sehingga terjadi hiperurisemia tipe overproduction. Sindrom ini terjadi pada usia anak-anak

dengan gejala hiperurisemia tipe overproduction, dan gout


prematur bersama gejala neurologis berupa retardasi
mental berat, self mutilation, choreoathetosis, dan
spastisitas. Kelainan neurologis ini kemungkinan
karena aktivitas ensim HPRT berkurang sehingga
menyebabkan dishngsi neurokemikal otak (Wilson et al,
1984). Diagnosis sindrom ini dibuat berdasarkan
klinis dengan pemeriksaan aktivitas ensim HPRT pada
eritrosit. Kekurangan aktivitas ensim ini dapat mencapai
1-70% (Wilson et ul, 1984; Katami, 1994; Kelley &
Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005; Wortmann,
2005).
Penyakit glycogen storage disease tipe I (Von Gierke),
akibat penurunan ensim glucosa 6-phosphatase
(G 6-Pase) menyebabkan hiperurisemia yang bersifat
automal resesif Hiperurisemia terjadi karena kombinasi
overproduction dan underexcretion karena peningkatan
pemecahan dari ATP (adenosine triphosphate). Ensim G
6-Pase berperan mengubah glucosa 6-phospate (G 6-P)
menjadi glukosa dalam metabolisme karbohidrat, sehingga
kekurangan ensirn ini gampang menyebabkanhipoglikemia.
Untuk memenuhi kebutuhan glukosa, tubuh mengadakan
pemecahan glikogen di hati (glikogenolisis). Karena
kekurangan ensim G 6-Pase, glukosa tidak terbentuk
sehingga menimbulkan penumpukan G 6-P (Becker &
Meenaskshi, 2005; Kelley & Wortmann, 1997).Terjadijuga
glikolisis anaerob yaitu pemecahan glukosa menjadi G 6-P
dengan pemecahan ATP dengan hasil lain berupa
peningkatan asam laktat, asam lemak bebas, trigliserida
dan piruvat (Rosenthal, 1998). Hipenuisemia disebabkan
karena overproduction melalui peningkatan melalui
biosintesis de novo akibat peningkatan PRPP Peningkatan
PRPP ini diperkirakan melalui dua mekanisme. Pertama,
peningkatan glukosa 5-phospate menyebabkan
peningkatan reaksi pentosa phosphate pathway
peningkatan ribose 6-phosphate dan menghasilkan PRPP.
Kedua, berkurangnya feedback inhibition terhadap
biosintesis de novo pada hati selama terjadi hipoglikemia
sehingga menyebabkan peningkatan ensim amido PRT
dan PRPP synthetase (Becker & Meenaskshi, 2005).
Underexcretion diperkirakankarena adanya hasil metabolit
yaitu hiperlaktemia clan ketonemia (Lihat Gambar 1).
Tanda klinis sindrom ini adalah terjadi pada usia anakanak dengan tanda yang khas berupa bentuk tubuh
pendek, dengan hepatomegali dan gejala hipoglikemia
yang berulang (Kelley & Wortmann, 1997; Becker &
Meenaskshi, 2005; Wortmann, 2005).
Hiperurisemia juga dapat disebabkan oleh penyakit glycogen storage disease tipe 111, V dan VI yang disebut
hiperurisemia miogenik. Aktivitas fisik yang berat secara
normal dapat menyebabkan hiperurisemia karena terjadi
pemecahan ATP dan adanya resorpsi abnormal pada ginjal.
Pada keadaan normal atau keadaan anaerob, aktivitas yang
menyebabkan peningkatan hasil pemecahan ATP berupa
inosine, hypoxanthine, dan didalam hati dipecah menjadi

1994; Kelley & Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi,


2005).
Pada penyakit hereditalyfiuctose intolerance karena
kekurangan ensirn Fructose-1-phosphate aldolase
dapat rnenyebabkan hiperurisernia. Ensim Fructose-lphosphate aldolase mengubah fructose 1-phosphate
menjadi dihidroksi-asetofosfonat dan gliseraldehida.
Kekurangan ensirn ini dan dengan diet tinggi fruktosa
menyebabkan penumpukan fructosa 1-phosphate,
kernudian akan diubah menjadi fructosa 6-phosphate
dengan bantuan ATP sebagai surnber fosfat
(Lihat Skema 3).
Asam, lemakbebas,

Gambar 1. Skema hiperurisemia sekunder pada penyakit


glycogen sforage disease tipe I (Von Gierke).

xantine clan AU.


Pada penyakit glycogen storage disease tipe 111, V
dan VI, akan terjadi hiperurisernia walaupun hanya
rnelakukan aktivitas fisik ringan, terjadi pernecahan ATP
yang tinggi akibat tidak cukup bahan karbohidrat
pembentuk ATP. Pemecahan ATP akan rnernbentuk
adenosine mono phosphate (AMP) dan berlanjut
membentuk inosine mono phosphate (IMP) atau purine
nucleotide dalam metabolisme purin (Lihat Gambar 2).
Penyebab glycogen storage disease tipe I11
karena gangguan debranching enzime, tipe V karena
kekurangan ensirn myophosphorilase dan tipe VII karena
kekurangan enzim phosphocytokinase pada otot (Katarni,

Asidosis laktat

underexcretionH Hiperurisemia

1.

Gambar 2. Skema mekanisme hiperursemia miogenik pada


glycogen storage disease (Kelley & Wortmann, 1997)

&IMSI~
mor~phosphafeG1P :glume I- phosphate. GBP: glucare 6
phospheleF6P: hudw 6 phosphate, IMPlnoslnemono phosphate
gl~nslomgedlseeseUpe l (van Glerke) kamnepenurunan ens1rrGE-R
Ill : glycogenslwege diseese tp Ill karena gmgwan debrandiing enzyme.
tipe V ksmna kekurangan enslm
V :glymgsnstoregedlsaase
myophosphwilsse. VII :giycogenslor6gedseese Upe VII karena kekurangan

Gambar 3. Skema hiperurisemia sekunder pada penyakit


Heredifary fructose intolerance

Fructose 6-phospate juga merupakan salah satu


senyawa antara di jal& glikolisis anaerob (Hardjasasmita,
1999). Peningkatan pemecahan ATP rnenyebabkan
pernbentukan AU rneningkat, dan laktic acidosis serta
renal tubular acidosis rnenyebabkan harnbatan
pengeluaran AU rnelalui ginjal, sehingga terjadi
hiperurisemia (Kelley & Wortrnann, 1997; Becker &
Meenaskshi, 2005).
Hiperurisemia sekunder tipe overproduction dapat
disebabkan karena keadaan yang rnenyebabkan
peningkatan pemecahan ATP atau peningkatan pemecahan
asarn nukleat clan intisel. Peningkatanpemecahan ATP akan
rnernbentuk AMP dan berlanjut rnernbentuk IMP atau
purine nucleotide dalam rnetabolisme purin. Keadaan ini
bisa terjadi pada penyakit akut yang berat seperti pada
infark rniokard, status epileptikus atau pa& pengisapan
asap rokok yang rnendadak (Kelley & Wortmann, 1997).
Pemecahan inti sel akan rneningkatkan produksi
purine nucleotide dan berlanjut rnenyebabkan peningkatan

produksi AU. Keadaan yang sering menyebabkan


pemecahan inti sel adalah penyakit hemolisis kronis,
polisitemia, psoriasis, keganasan dari rnieloproliferatif d h
limfoproliferatif atau keganasan lainnya (Katami, 1994,
Kelley & Wortmann, 1997;Becker & Meenaskshi, 2005).
Beberapa penyakit atau kelainan dapat menyebabkan
hiperurisemia sekunder karena gangguan pengeluaran AU
melalui ginjal (underexcretion). Gangguan pengeluaran
AU melalui ginjal dapat melalui gangguan dalam filtrasi,
reabsorpsi, sekresi dan reabsorpsi paska sekresi.
Hiperurisemia sekunder yang disebabkan karena
underexcretiondikelompokkan dalam beberapa kelompok
yaitu karena penurunan masa ginjal, penurunan filtrasi
glomerulus, penurunanfiactional uric acid clerance dan
pemakaian obat-obatan.(Nulu, 1998). Hiperurisemia karena
p e n m a n masa ginjal disebabkan penyakit ginjal kronik
yang menyebabkan gangguan filtrasi AU. Hiperurisemia
karena penurunan filtrasi glomerulus dapat terjadi pada
dehidrasi, dan diabetes insipidus. Hiperurisemia karena
gangguan fractional uric acid clerance adalah pada
penyakit hipertensi, myxodema, hiperparatiroid, sindrom
Down, peningkatan asam organik seperti pada latihan berat,
kelaparan, peminum alkohol, keadaan ketoasidosis, lead
nephropaty, sarkoidosis, sindrom Barter dan keracunan
berilium. Pemakaian obat seperti obat diuretik dosis
terapeutik, salisilat dosis rendah, pirasinamid, etambutol,
asam nikotinat dan siklosporin.
Gangguan pengeluaran AU melalui ginjal dapat
dihitung dengan pemeriksaan fractional uric acid
clerance. Pada keadaan normal pengeluaran AU melalui
ginjal (kliren urat) berbanding lurus dengan kliren kreatinin,
sehingga kadar AU darah berkorelasi dengan kadar
kreatinin darah . Pada keadaan gaga1 ginjal karena penyakit
ginjal primer penmnan pengeluaran AU akan diikuti
dengan peningkatan kadar AU darah, namun tidak pemah
melebihi 10 mg% . Diperkirakan terjadi peningkatan
pengeluaran AU melalui ekstra renal, sebagai kompensasi
hambatan pengeluaran melalui ginjal walaupun belum
diketahui secara pasti jumlahnya (Ernmerson BT,1983).
Hiperurisemia sekunder karena gangguan fungsi ginjal
jarang sampai menyebabkan penyakit gout (Kelley &
Wortmann, 1997).

PEMERIKSAANPENUNJANGLlNTUK MENENTllKAN
PENYEBABHlPERURlSEMlA
Secara umum penyebab hiperurisemia dapat ditentukan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan (Emrnerson, 1983; Kelley &
Wortmann, 1997).
Anamnesis terutama ditujukan untuk mendapatkan
faktor keturunan, dan kelainan atau penyakit lain sebagai
penyebab sekunder hiperurisemia. Apakah ada keluarga
yang menderita hiperurisemia atau gout. Untuk mencari

'

penyebab hiperurisemia sekunder perlu ditanyakan apakah


pasien peminum alkoh~l,memakan obat-obatan tertentu
secara teratur, adanya kelainan datah, kelainan ginjal atau
penyakit lainnya.
Pemeriksaan fisik untuk mencari kelainan atau penyakit
sekunder, terutama menyangkut tanda-tanda anemia
atau phletora, pembesaran organ limfoid, keadaan
kardiovaskular dan tekanan darah, keadaan dan tanda
kelainan ginjal serta kelainan pada sendi.
Pemetiksaan penunjang ditujukan untuk mengarahkan
dan memastikan penyebab hiperurisemia. Pemeriksaan
penunjang yang dikerjakan dipilih berdasarkan perkiraan
diagnosis setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik (Kelley & Wortmann,1997). Pemenksaan penunjang
yang rutin dikerjakan adalah pemeriksaan darah
rutin untuk AU darah dan kreatinin darah, pemeriksaan
urin rutin untuk AU urin 24 jam dan kreatinin urin 24 jam;
dan pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan.
Pemeriksaan ensim sebagai penyebab hiperurisemia
dilaksanakan tergantung pada perkiraan diagnosis.
Pemeriksaan AU dalam urin 24 jam penting dikerjakan
untuk mengetahui penyebab dari hiperurisemia
apakah overproduction atau underexcretion . Kadar AU
dalam urin 24 jam di bawah 600 mghari adalah normal
pada orang dewasa yang makan pantang purin selama 3-5
hari sebelum pemeriksaan. Namun anjuran untuk
pantang makan purin selama 3-5 hari sering tidak praktis.
Maka pada orang yang makan biasa tanpa pantang
purin kadar AU urin 24 jam di atas 1000 mglhari
adalah abnormal (hipereksresi AU), dan kadar 800
sampai 1000 mglhari adalah borderline (Kelley &
Wortmann, 1997;Becker & Meenaskshi, 2005). Kadar AU
urin 24 jam di atas 800 m g h dengan makan biasa tanpa
pantang purin merupakan tanda hipereksresi AU
(SchurnacherJr, 1992).
Batasan overproduction AU adalah kadar AU urin 24
jam di atas normal, kadar 1000 mgflnari pada orang yang
makan biasa tanpa pantang purin dapat dikatakan
overproduction (l3ecker & Meenaskshi, 2005). Cohen MG
mengatakan apabila kadar AU urin 24 jam lebih dari 670
mglhari pada diet rendah purin perlu diteliti kemungkinan
adanya kelainan overproduction karena keturunan.
Overproduction dapat juga diketahui dengan menghitung
perbandingan AU urin 24 jam dan kreatinin urin 24 jam
atau perbandingan kliren AU dan kliiren kreatininfiactional
uric acid clearance (FUAC) yaitu perbandingan
kliren urat dibagi kliren kreatinin dikalikan 100.
Nilai perbandingan AU kreatinin urin lebih dari 0.75
menyatakan adanya overproduction.
Dengan data dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, terutama kadar AU darah dan
pemeriksaan AU dan kreatinin urin 24 jam dapat
diperkirakan faktor penyebab hiperurisemia sehingga
penanganan hiperurisemia dapat diberikan sacara
menyeluruh dan rasional.

Hiperurisemiaadalah keadaan di mana terjadi peningkatan


kadar AU darah di atas normal. Asam urat adalah bahan
normal dalam tubuh dan merupakan hasil akhir dari
metabolisme purine, yaitu hasil, degradasi dari purine
nucleotide yang merupakan bahan penting dalam tubuh
sebagai komponen dari asam nukleat dan penghasil energi
dalam inti sel
Hiperurisemia bisa terjadi karena peningkatan
metabolisme AU (overproduction), penurunan
pengeluaran AU urin (underexcretion), atau gabungan
keduanya. Penyebab hiperurisemia dan gout dapat
dibedakan dengan hiperurisemia primer, sekunder dan
idiopatik .
Hiperurisemia dan gout primer adalah hiperurisemia dan
gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain, terdiri
dari hiperurisernia primer dengan kelainan molekular yang
masih belum jela~dan hiperurisemiaprimer b e n a adanya
kelainan ensim.
Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia
atau gout yang disebabkan karena penyakit lain atau
penyebab lain. Hiperurisemia dan gout sekunder dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu kelainan yang
menyebabkan peningkatan biosintesis de novo, kelainan
yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau
pemecahan asam nukleat dan kelainan yang menyebabkan
underexcretion.
Hiperurisemia dan gout idiopatik adalah hiperurisemia
yang tidak jelas penyebab primer, kelainan genetik, tidak
ada kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas.
Penyebab hiperurisemia dapat ditelusuri dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang rutin dikerjakan adalah
pemeriksaan darah rutin AU darah, kreatinin darah,
pemeriksaan urin rutin, kadar AU urin 24 jam, kadar
kreatinin urin 24 jam, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Becker & Meenaskshi J 2005. Clinical gout and pathogenesis of


hyperuricaemia. In Arthritis and Allied Conditions, A textbook
of Rheumatology. 13th Ed, Vol 2, Editor WJ Koopman, Baltimore: Williams & Wilkins a Wavelry comp, 2303-2339.
Calabrese 4 Simmond HA, Cameron JS, Davies PM, 1990. Precoious
Familial Gout with Reduced Fractional Urate Clearance and
Normal Purine Enzymes. Quarterly J of Med.75(277):
441-450.
Cohen MG, Emmerson BT, 1994. Gout. In Rheumatology.Editor JH
Klippel, PA Dippe, Part 2, St Louis Baltimore: Mosby.12.
1-12.16.

Emmerson,BT, 1983. Hyperuricaemia and Gout in Clinical Practice. Sydney: ADIS Health Science Press.
Gibson T, Watenvorth R, Hatfield P, Robinson G, Bremner K, 1984.
Hyperuricaemia, Gout and Kidney Function in New Zealand
Maori Men. British J of Rheumatology. 23:276-282.
Kamatami N, 1994. Genetic Enzyme Abnormalities and Gout. Asian
Med J. 37(2): 651-656.
Kelley WN, Wortmann RL, 1997. Gout and Hyperuricemia. In
Textbook of Rheumatology, Fifth Edition, Editor WN Kelley, S
Ruddy, ED Harris, CB Sledge, Philadelphia: WB Saunder Comp,
1314-1350.
Klemp P, Stanfield SA, Caste1 B, Robertson MC, 1996. Prevalence
hyperuricaemia and gout in New Zealand. Eight APLAR
Congress of Rheumatology, April 2 126.Melbourne.(Abstrak).
Leumann EP, Wegmann W, 1983. Familial nephropathy with
hyperuricaemia and gout. Nephron. 34(1): 51-57.
Massari PU, Hsu CH, Barnes RV, Fox IH, Gikas PW, Weller JM,
1980. Familial hyperuricemia dan renal disease. Arch Intern
Med. 140(5): 680-684.
Moro F, Ogg CS, Simmond HA, Cameron JS, Chantler C, McBride
MB, Duley JA, Davis PM, 1991. Familial juvenile gouty
nephropathy with renal urate hypoexcretion preceding renal
disease. Clin Nephrol. 35(6): 263-269.
Nuki G, 1998. Gout. Medicine International. l2(42) :54-59.
Puig JG. Miranda ME, Mateos FA, Picazo ML, Jimenez ML, Calvin
TS, Gil AA, 1993. Hereditary nephropathy associated with
hyperuricaemia and gout. Arch Intern Med. 153(3): 357365.(Abstrak).
Reiter L, Brown MA, Edmonds J, 1995. Familial hyperuricaemic
nephropathy. Am J K ~ d n e yDis.25(2):235-241.
Rosenthal AN, 1998. Crystal arthropathies. In: Oxford Textbook
o f Rheumatology, Second Ed.,Voll, Ed. PJ Madison, DA
Isenberg, P Woo, DN Glass. Oxford New York Tokyo; Oxford
University Press, 1555-1581.
Saeki A, Hosoya T. Okabe H, Saji M, Tabe A, Ichida K, Itoh K, Joh
K, Sakai 0 , 1995. New discovered familial juvenile gouty
nephropathy in a Japanese family. Nephron. 70(3): 356-366.
Schumacher Jr HR, 1992. Hiperuricaemia and Gout. In Rheumatology APLAR 1992, Proceding of the 7th APLAR Congress of
Rheumatology, 13th-18th September 1992, Bali, Indonesia,
Edit.: A.R.Nasution, J.Darmawan and Harry Isbagiao, New York,
Edinburgh, London, Merbourne and Tokyo: Churchill
Livingstone, 293-243.
Simmonds HA, 1994. Purine and pyrimidine disorder. In the
Inherited Metabolic Diseases,Second Edition, Edinburg: Churchill
Livingstone, 297-349.
Terkeltaub,R., 2001. Gout, Epidemiology, Pathology and
Pathogenesis. In Primer on the Rheumatic Diseases, Ed. 12,
Edit. J.H.Klippe1, Atlanta Georgia : Arthritis Foundation,
307-312.
WHO, 1992. Rheumatic diseases, Report of a WHO Scientific
Group,Geneva, 55-58.
Wilson JM, Young AB, Kelley WN, 1984. Hypoxathine-Guanine
Phosphoribosyltraferase deficiency. N Engl J Med,309(15):
900-9 10.
Wortmann RL, 2005. Disoder o f purine and pyrimidine
metabolisme.In: Harrison's Principle of Internal Medicine 16
th Ed., Vo1.2, Editor DL Kasper, AS Fauci, D L Longo, EB
Braunwald, AL Hauser, JL Lameson. MacGraw-Hill. New York,
2308-23 13.

ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT)


Edward Stefanus Tehupeiory

PENDAHULUAN
Artritis pirai (gout) adalah penyakit yang sering ditemukan
dan tersebar di seluruh dunia. Artritis pirai merupakan
kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi
kristal 'monosodium urat pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraselular.
Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut,
akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi),
batu asam urat dan yang jarang adalah kegagalan ginjal
(gout nefropati). Gangguan metabolisme yang
mendasarkan gout adalah hipenuisemia yang didefinisikan
sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,O mVdl dan 6,O
mg/dl.

pasien gout yang mengobati sendiri (self medication).


Satu study yang lama di Massachusetts ( ~ r a m i n ~ h a m
Study) mendapatkan lebih dari 1% dari populasi dengan
kadar asam urat kurang dari 7 mg/100 ml pemah mendapat
serangan artritis gout akut. Hasil penelitian terlihat pada
Tabel 1.

Kadar Sodium
(rng1100 ml)

Total Pasien
diperiksa

<6

6 - 6,9
7 - 7,9

Total
-.~
~

Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa.


Sebagaimana yang disampaikan oleh Hippocrates bahwa
gout jarang pada pria sebelum masa remaja (adolescens)
sedangkan pada perempuan jarang sebelum menopause.
Pada tahun 1986 dilaporkan prevalensi gout di Amerika
Serikat adalah 13.611000 pria dan 6.411000 perempuap.
Prevalensi gout bertambah dengan meningkatnya
taraf hidup. Prevalensi di antara pria Afican American
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pria
caucasian.
Di Indonesia belum banyak publikasi epidemiologi
tentang artritis pirai (AP). Pada tahun 1935 seorang dokter
kebang~aanBelanda bernama Van der Horst telah
melaporkan 15 pasien artritis pirai dengan kecacatan
(lumpuhkan anggota gerak) dari suatu daerah di Jawa
Tengah. Penelitian lain7mendapatkan bahwa pasien gout
yang berobat, rata-rata sudah mengidap penyakit selama
lebih dari 5 tahun. Hal ini mungkin disebabkan banyak

Artritis Gout
Yang Tirnbul

1281
970
162

No
11
27
28

Persen
0,9
23
17,3

2463

86

3.5

Dikutip dari Framingham Study (11)

PATOLOGI GOUT
Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma
dikelilingi oleh butir kristal monosodiumurat (MSU). Reaksi
inflamasi disekeliling kristal terutama terdiri dari sel
mononuklear dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks
tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul fibrosa biasanya
prominen di sekeliling tofi. Kristal dalam tofi berbentuk
jarum (needle shape) dan seringmembentuk kelompok kecil
secara radier.
Komponen lain yang penting dalam tofi adalah
lipid glikosaminoglikandan plasma protein.' Pada artritis
gout akut cairan sendi juga mengandung krital
monosodium urat monohidrat pada 95% kasus.

ARMS

PIRAI (ARMS

2557

GOUT)

Pada cairan aspirasi dari sendi yang diambil segera pada


saat inflamasi akut akan ditemukan banyak kristal di
dalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses
fagositosis.

PATOGENESISARTRlTlS GOUT
Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan
perubahan kadar asam urat serum, meninggi ataupun
menurun. Pada kadar urat serum yang stabil, jarang
mendapat serangan. Pengobatan dini dengan alopurinol
yang menurunkan kadar urat serum dapat mempresipitasi
serangan gout akut. Pemakaian alkohol berat oleh pasien
gout dapat menimbulkan fluktuasi konsentrasi urat serum.
P e n m a n urat serum dapat mencetuskan pelepasan
kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi
(crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang
dengan hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan
pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya
tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian
gout, seperti juga pseudogout, dapat timbul pada keadaan
asirnptomatik.Pada penelitian penulis didapat 2 1% pasien
gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperatur, PH dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout akut.
Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih
rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat
menjelaskan mengapa kristal MSU diendapkan pada kedua
tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristal
MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan
juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada
daerah tersebut.
Penelitian Simkin didapatkan kecepatan difusi molekul
urat dari ruang sinovia kedalam plasma hanya setengah
kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam
cairan sendi seperti MTP- 1 menjadi seimbang dengan urat
dalam plasma pada siang hari selanjutnya bila cairan sendi
diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan kadar
urat lokal. Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya
awitan (onset) gout akut pada malam hari pada sendi yang
bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi urat
in vitro melalui pembentukan dari protonatedsolidphases.
Walaupun kelarutan sodium urat bertentangan terhadap
asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi, pada
p e n m a n pH dari 7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran pH
serta kapasitas bufSer pada sendi dengan gout, gaga1untuk
menentukan adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan pH secara akut tidak signifikan mempengaruhi
pembentukan kristal MSU sendi.
Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting
pada artritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan
reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari
kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari
proses inflamasi adalah:
Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab;

Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang


lebih luas.
Peradangan pada artritis gout akut adalah akibat
penumpukan agen penyebab yaitu kristal monosodium urat
pada sendi. Mekanisme peradangan ini belum diketahui
secara pasti. Hal ini diduga oleh peranan mediator kimia
dan selular. Pengeluaran berbagai mediator peradangan
akibat aktivasi melalui berbagai jalur, antara lain aktivitas
komplemen (C) dm selular.

AKTIVASI KOMPLEMEN
Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui
jalur klasik dan jalur alternatif. Melalui jalur klasik, terjadi
aktivasi komplemen C 1 tanpa peran imunoglobulin. Pada
kadar MSU meninggi, aktivasi sistem komplemen melalui
jalur alternatifterjadi apabilajalur klasik terhambat.Aktivasi
C l q melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi kolikrein
dan berlanjut dengan mengaktifkan Hageman faktor
(Faktor XII) yang penting dalam reaksi kaskade koagulasi.
Ikatan partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses
opsonisasi. Proses opsonisasi partikel mempunyai
peranan penting agar partikel tersebut mudah dikenal, yang
kemudian difagositosis dan dihancurkan oleh netrofil,
monosit atau makrofog. Aktivasi komplemen C5 (C5a)
menyebabkan peningkatan aktivitas proses kemotaksis sel
neutrofil, vasodilatasi serta pengeluaran sitokin IL-1 dan
TNF. Aktivitas C3a dan C5a menyebabkan pembentukan
membrane attack complex (MAC). Membrane attack
complex merupakan komponen akhir proses aktivasi
komplemen yang berperan dalam ion channel yang
bersifat sitotoksik pada sel patogen maupun sel host. Hal
ini membuktikan bahwa melaluijalur aktivasi komplemen
cascade ", kristal urat menyebabkan proses peradangan
melalui mediator IL- 1 dan TNF serta sel radang neutrofil
dan makrofag.
"

ASPEK SELULAR ARTRlTlS GOUT


Pada artritis gout, berbagai sel dapat berperan dalarn proses
peradangan, antara lain sel makrofag, neutrofil sel sinovial
dan sel radang lainnya. Makrofag pada sinovium
merupakan sel utama +lam proses peradangan yang dapat
menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL-1,
TNF, IL-6 dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophage
Colony-Stimulating Factor). Mediator ini menyebabkan
kerusakan jaringan dan mengaktivasi berbagai sel radang.
Kristal urat mengaktivasi sel radang dengan berbagai cara
sehinggga menimbulkan respons fungsional sel dan gene
expression. Respons fungsional sel radang tersebut antara
lain berupa degranulasi, aktivasi NADPH oksidase gene
expression sel radang melalui jalur signal transduc&ion

pathway dan berakhir dengan aktivasi transcription


factor yang menyebabkan gen berekspresi dengan
mengeluarkan berbagai sitokin dan mediator kimiawi lain.
Signal transduction pathway melalui 2 cara yaitu, dengan
mengadakan ikatan dengan reseptor (cross-link) atau
dengan langsung menyebabkan gangguan non spesifik
pada membran sel.
Ikatan dengan reseptor (cross-link) pada sel membran
akan bertambah kuat apabila kristal urat berikatan
sebelumnya dengan opsonin, misalnya ikatan dengan
imunoglobulin (Fc dan IgG) atau dengan komplemen (C 1q
C3b). Kristal urat mengadakan ikatan cross-link dengan
berbagai reseptor, seperti reseptor adhesion molecule
(Integrin), non tyrosin kinase, reseptor FC, komplemen
dan sitokin. Aktivasi reseptor melalui tirosin kinase dan
second messenge akan mengaktifkan transcription factor.
Transkripsi gen sel radang ini akan mengeluarkan berbagai
mediator kimiawi antara lain IL-1.Telah dibuktikanneutrofil
yang diinduksi oleh kristal urat menyebabkan peningkatan
mikrokristal fosfolipase D yang penting dalam jalur
transduksi signal. Pengeluaran berbagai mediator akan

'I

"

'

menimbulkan reaksi radang lokal maupun sistemik dan


menimbulkan kerusakanjaringan.

Manifestasi klinik gout terdiri dari artritis gout akut,


interkritikal gout dan gout menahun dengan tofi. Ketiga
stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat
deposisi yang progresif kristal urat.

STADIUM AR'TRI'TIS GOUT AKUT


Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul
sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada
gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang
hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat
monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri,
bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik
berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang

i
i

Endotel
Pernbuluh da&

IL-8

Neutral protease 1

Low

Molecular
Medjator

mllagenase
Proteoglicanase

(PQE,POR,NO)

1
i

i
'8,

; <;,

t t r c ~ ,

'

'

Kerusakanjantung

---

--

.- >--

~ a 4 b i i r ' l 'Mediator
.
Kirniawi pada Peradangan Akut

Keterangan :
Stimulasi dapat berupa produk bakteri (plisakarida bakteri, eksotoksin), mediator kimiawi yang
iritan antara lain kristal urat, radiasi dan molekul e n d o ~ nseperti kompleks imun dan fiagmen
komplemen. HEV = high endothelial vessel, MSU= mono sodium urate, NO = nitrit oksid, PGE
= prostaglandin E, POR = produk oksigen reaktif, TNF = tumor necrosisfactor, IL-I = interleukin
-1, IL-6 = interleukin - 6, IL-8 = interleukin - 8. (19,20)

paling sering pada MTP-1 yang biasanya disebut


podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat terkena
sendi lain yaitu pergelangan tangankaki, lutut dan siku.
Serangan akut ini dilukiskan oleh Sydenham febagai:
sembuh beberapa hari sampai beberapa minggu, bila tidak
diobati, rekuren yang multipel, interval antar serangan
singkat dan dapat mengenai beberapa sendi.16 Pada
serangan akut yang tidak berat, keluhan-keluhan dapat
hilang dalam beberapa jam atau hari. Pada serangan akut
berat dapat sembuh dalam beberapa hari sampai beberapa
minggu.
Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa
trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres,
tindakan operasi, pemeaian obat diuretik atau penurunan
dan peningkatan asam urat. P e n m a n asam urat darah
secara mendadak dengan alopurinol atau obat urikosurik
dapat menimbukan kekambuhan.

STADIUM INTERKRITIKAL

Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana


terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara
klinik tidak didapatkan tanda-tanda radang akut, namun
pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini
menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut,
walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu
atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10 tahun
tanpa serangan akut. Apabila tanpa penanganan yang baik
dan pengaturan asam urat yang tidak benar, maka dapat
timbul serangan akut lebih sering yang dapat mengenai
beberapa sendi dan biasanya lebih berat. Manajemen yang
tidak baik, maka keadaan interkritik akan berlanjut menjadi
stadium menahun dengan pembentukan tofi.

STADIUM ARTRlTlS GOUT MENAHUN

Stadium ini umumnya pada pasien yang mengobati sendiri


(selfmedication) sehingga dalam waktu lama tidak berobat
secara teratur pada dokter. Artritis gout menahun biasanya
disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi
ini sering pecah dan sulit sembuh dengan obat,
kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Pada tofus
yang besar dapat dilakukan ekstirpasi, namun hasilnya
kurang memuaskan. Lokasi tofi yang paling sering pada
cuping telinga, MTP- 1, olekranon, tendon Achilles dan
jari tangan. Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu
saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.

DIAGNOSIS

Dengan menemukan kristal urat dalam tofi merupakan

diagnosis spesifik untuk gout. Akan tetapi tidak semua


pasien mempunyai tofi, sehingga tes diagnostikini kurang
sensitif. Oleh karena itu kombinasi dari penemuanpenemuan di bawah ini dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis:
Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus
pada sendi MTP- 1;
Diikuti oleh stadium interkntlk di mana bebas simptom;
Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan
kolkisin;
* Hiperurisemia.
Kadar asam urat normal tidak dapat menghindari
diagnosis gout. Logan dkk mendapatkan 40% pasien gout
mempunyai kadar asam urat normal. Hasil penelitianpenulis
didapatkan sebanyak 21% artritis gout dengan asam urat
normal. Walaupun hiperurisemia dan gout mempunyai
hubungan kausal, keduanya mempunyai fenomena yang
berbeda. Kriteria untuk penyembuhan akibat pengobatan
dengan kolkisin adalah hilangnya gejala objektif inflamasi
pada setiap sendi dalam waktu 7 hari. Bila hanya ditemukan
artritis pada pasien dengan hiperurisemia tidak bisa
didiagnosis gout. Pemeriksaan radiografi pada serangan
pertama artritis gout akut adalah non spesifik. Kelainan
utama radiografipada kronik gout adalah inflamasi asirnetri,
artritis erosif yang kadang-kadang disertai nodul jaringan
lunak.

PENATALAKSANAANARTRlTlS GOUT

Secara umum penanganan artritis gout adalah memberikan


edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan.
Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi
kerusakan sendi ataupun komplikasi lain, misalnya pada
ginjal. Pengobatan artritis gout akut bertujuan
menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan
dengan obat-obat, antara lain kolkisin, obat anti inflamasi
non steroid (OAINS), kortikosteroid, atau hormon ACTH.
Obat penurun asam urat seperti alopurinol atau obat
urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut. Namun
pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam
urat, sebaiknya tetap diberikan. Pemberian kolkisin dosis
standar untuk artritis gout akut secara oral 3-4 kali, 0,5-0,6
mg per hari dengan dosis maksirnal6 mg. Pemberian OAINS
dapat pula diberikan. Dosis tergantung dari jenis OAINS
yang dipakai. Di samping efek anti inflamasi obat ini juga
mempunyai efek analgetik. Jenis OAINS yang banyak
dipakai pada artritis gout akut adalah indometasin. Dosis
obat ini adalah 150-200 mglhari selama 2-3 hari dan
dilanjutkan 75-100 mghari sampai minggu berikutnya atau
sampai nyeri atau peradangan berkurang. Kortikosteroid
dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak
efektif atau merupakan kontra indikasi. Pemakaian
kortikosteroid pada gout dapat diberikan oral atau

parenteral. Indikasi pemberian adalah pada artritis gout


akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular).
Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan
adalah untuk menurunkan kadar asam urat, sampai kadar
normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar
asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin
dan pemakaian obat allopurinol bersama obat urikosurik
yang lain.

Becker MA. Clinical gout and the pathogenesis of hyperuricemia.


In Koopman WJ editor. Arthritis and allied condition. 14'h
edition. Williams & Ailkins; 2001 .p.2281-306.
Becker MA, Jolly M. Clinical gout and the pathogenesis 'of
hyperuricemia.In: Arthritis and allied condition. A textbook of
Rheumatology. Koopman WJ,editor. 15Ih edition. Baltimore:
Lippincott Williams and Wilkins;2005.p.2303-33.
Darmawan J, Rasker JJ, Nuralim H. The effect of control and self
medication of chronic gout in a developing country : Outcome
after 10 years. J Rheumatol 2003 ; 30 ; 2437-43.
Emmerson BT. Hyperuricemia and gout in clinical practice. Sydney:
Adis Health Sciences; 1983.p.3-60.
Eichenfield LF, Jhonston RB. The complement system. Sigal LH,
Ron Y,editors. Immunology and Inflammation. Basic and
clinical consequences. New York: Mc Graw Hill; 1994.p.359-86
Felson DT. Epidemiology of the rheumatic diseases. gout and
hyperuricemia. Koopman WI, Moreland LW,editors,l6Ih
edition.Philadelphia:Lippencott WL Wilkins; 205.p.29-30.
Hochberg MC, Thomas J, Thomas DJ, et al. Racial differences in
the incidence of gout the role of hypertension. Arthritis Rheum.
1995; 381628-32.
Healey LA. Epidemiology of Hyperuricemia. Gout and purine
metabolism. Proceeding of a conferrence The Arthritis
Foundation 1974 : 709-12.
Hall AP. Barry PE. Dawber TR, et al.Epidemiology of gout and
hyperuricemia. Am J Med. 1965;39 : 242-51.

Mc. Carty DJ. Gout without hyperuricemia. JAMA. 1994 ; 2 1 : 2 175-6.


Naccache PH, Bourgoin S, Plante E et al. Crystal induced neutrofil
activation 11. Evidence for the activation of a phosphatidyl
choline specific phospholipase D. Arthritis and Rheumatism.
1993 ; 30 : 117-25.
Klippel JH Gout. Epidemiology, pathology and pathogenesis.
In: Primer on the rheumatic diseases.121h edition.
At1anta:Arthriti.s Foundation 2001.p.307-24.
Kelley WN, Wortman RL. Gout and hyperuricemia. Kelley, Ruddy
S, editors. Textbook of rheumatology SLhed Philadelphia: WB
Saunders; 1997.p. 13 14-50.
Logan JA. Morrison E. Mc Gill P,Serum uric acid in acute gout. Ann
Rheum Dis 1997 ; 56: 696-7.
Peterson F, Symes Y, Springer P. Perspective on pathophysiology.
Coopstead editors. Philade1phia:W.B Saunders; 1999.p.173.
Rodnan GP Gout : A Clinical round table conference. When and how
to treat New York:Park Row Pub1;1980.p.6-23.
Tehupeiory ES. Gouty arthritis and uric acid distribution in several
ethnic group in Ujung Pandang disertasi 1992.
Terkeltaub RA. Pathogenesis and treatment of crystal induced
inflammation. 1n:Arthritis and allied condition. a textbook of
rheumatology. Koopman WJ. Ed 151h edition. Baltimore:
Lippencott Williams and Wilkins; 2005.p.2357-69.
Tjokorda RP. Hubungan interleukin-1 (IL-1) dan IL-I reseptor
antagonis dengan keradangan pada artritis pirai akut disertasi,
Surabaya 2004.
Telketaub RA. Gout . N Engl J Med.2003: 349 : 17.
van der Horst. Het Voorkonien Van Jicht. Ned Ind Tv.G 1935; 12:1483-5.
Walker BAM, Fantone JC. The inflammatory response.
Immunology and inflammation basic and clinical consequences.
Sigal LH, Ron Y,editors. New York: Mc Graw-Hill; 1994.p.359-84.
Walport MJ, Duff GW. Cells and mediators. Maddison PJ Isenberg
DA,editors. Oxford textbook of rheumatology . 2ndedition
Oxford University Press; 1988.p.503-24.
Wallace SL, Bemstein D, Diamond H. Diagnosis value of colchicine
therapeutic trial .JAMA ; 1967 ; 199 : 525-8.

KRISTAL ARTROPATI SELAIN GOUT


Faridin

PENDAHULUAN
Sampai dengan tahun 1960, penyebab radang sendi akibat
kristal monosodium urat (MSU crystal) dikenal dengan
artritis gout. Namun berkat kemajuan pemeriksaan analisis
cairan sendi, diketahui bahwa selain kristal MSU juga
ditemukan suatu kristal yang tidak sama dengan kristal
MSU menyebabkan suatu penyakit yang mempunyai
gejala-gejala keradangan sendi yang mirip dengan gout
(pseudogout), dikenal sebagai calcium pyrophosphate
dehidrogenase crystal (CPPD) dengan rumus kimia
Ca,P,O, 2H,O. Istilah pseudogout dipakai untuk
menggambarkan serangan radang akut yang mirip gout
dan sering tampak pada pasien-pasien dengan
penimbunan kristal CPPD.
Penimbunan kristal CPPD hanya ditemukan di sekitar
sendi dan ditandai dengan kalsifikasi rawan sendi,
meniskus, sinovium, danjaringan sekitar sendi. I d e n t i f h i
kristal CPPD dalam cairan sinovial atau jaringan sekitar
sendi penting untuk membedakan antara penyakit akibat
deposisi kristal CPPD dengan keradangan sendi akibat
penimbunan kristal dan penyakit degeneratif sendi lainnya.
Istilah chondrocalcinosis didasarkan atas ditemukannya
kristal kalsium pada pemeriksaan radiologis sebagai
radiolusen di sekitar sendi. Penimbunan kristal CPPD tidak
terbatas hanya pada rawan sendi, namun kristal CPPD
dapat tertimbun pada synovial lining, ligamentum-ligamentum, tendon-tendon otot, dan jarang pada jaringan
lunak periartikular seperti tofus pada artritis gout kronik.,
Beberapa kristal yang telah dikenal selain kristal MSU
dan CPPD adalah kelompok apatite like crystal yang
menyebabkan peradangan sendi yaitu basic calcium phosphate (BCP), meliputi carbonate subtituted apatite,
octacalcium phosphate, tricalcium phosphate
(whitlockite), dan dicalcium phosphate dihidrate (brushite) (Lihat tabel 1).Kristal ini merupakan bentuk kristal

periartikular patologik yang menyebabkan keradangan


sendi mirip dengan keradangan sendi gout dan
pseudogout. Selanjutnya kelompok ini dikenal sebagai
kelompok apatit atau BCP.

Monosodium urat monohidrat


Calcium pyrophosphate dihydrate
Basic Calcium Phosphate (BCP)
Apatite
Tricalcium phosphate
Octacalcium phosphate
Dicalcium phosphate dihydrate (brushite)
Calcium magnesium phosphate (whitlokite)
Calcium carbonates (calcite and aroganite)
Calcium oxalate (monohydrate and dihydrate)
Lipid
Kristal kolesterol
Krisral - kristal lipid
Kristal - kristal protein
Kryoglobulin
Hematoidin
Charcot-Leyden
Kristal - kristal steroid (karena suntikan steroid intra artikuler)

Laporan mengenai data epidemiologi penyakit radang


sendi akibat penimbunan kristal (artropati kristal) sangat
jarang. Pseudogout sering ditemukan pada umur
pertengahan dan umur yang lebih tua, data yang pernah
dilaporkan menyatakan bahwa 10- 15% mengenai mereka
yang berusia 65-70 tahun dan akan meningkat 30-60% pada
usia di atas 80 tahun, perempuan lebih sering dibanding
laki-laki dengan perbandingan 2-3: 1. Penelitian-penelitian
prevalensi dari CPPD hanya berdasarkan gambaran
radiologis dan patologi dari kondrokalsinosis. Pada suatu

penelitian radiologis, prevalensi kondrokalsinosis pada


populasi umum sekitar 0,9 per 1000 penduduk.
Kondrokalsinosis akan meningkat sesuai dengan
peningkatan umur dan urnurnnya asimptomatik. Hubungan
antara CPPD dengan osteoartritis masih kontroversi. Suatu
penelitian kohort pasien 70 tahun, pada awal penelitian
insiden kondrokalsinosis 7,8%, padafollow up 7-10 tahun
kemudian dengan pemeriksaan radiologis, tidak
memperlihatkanpeningkatan risiko kejadian osteoartritis.
Prevalensi penyakit timbunan kristal kalsium
hidroksiapatit (HA) masih belum diketahui, demikian pula
dari kelompok BCP lain. Kejadian radang sendi akibat
penimbunan kristal HA pernah dilaporkan pada pasien
umur 30 tahun, di mana biasanyajarang terjad osteoartritis.
Berdasarkan data-data epidemiologi di atas maka
pembahasan tentang kristal artropati selain gout dibatasi
pada penjelasan mengenai radang sendi akibat penimbunan
kristal CPPD dan kelompok BCP.

PSEUDQGOUT
Pseudogout merupakan sinovitis mikrokristalinyang dipicu
oleh penimbunan kristal CPPD, dan dihubungkan dengan
kalsifikasi hialin serta fibrokartilago. Ditandai dengan
garnbaran radiologis berupa kalsifikasi rawan sendi di mana
sendi lutut dan sendi-sendi besar lainnya merupakan
predileksi untuk terkena radang.
Patogenesis
Penyebab dari pseudogout adalah timbunan kristal CPPD
di dalam struktur sendi. Penyebab penimbunan dari kristal
ini belum diketahui secara pasti. Kristal yang terbentuk
akan memicu proses fagositosis, selanjutnya akan
melepaskan enzim-enzim lisosom yang akan mengakibatkan
keradangan. Pembentukan kristal CPPD pada kartilago
disebabkan peningkatan kadar kalsium atau pirofosfat
inorganik (PPi) dari perubahan di dalam matriks yang
mencetuskan pembentukan kristal atau dari kombinasi
keduanya.
Episode akut serangan artritis pseudogout timbul
karena terjadinya pelepasan kristal CPPD dari deposit-deposit yang terdapat dalam fibrokartilagodan kartilago hialin
yang mekanismenya meliputi: kelarutan parsial dari kristal
atau perubahan matriks kartilago sekitarnya, keduanya
dapat mempercepat pelepasan kristal ke dalam ruang sendi.
Pada pasien dengan kristal CPPD, biasanya tidak terjadi
peningkatan kadar plasma PPi dan peningkatan ekskresi
melalui urin. Konsentrasi PPi cairan sinovial meningkat
pada beberapa sendi pasien dengan kristal CPPD.2
Sumber utama PPi secara biologis adalah berasal dari
pemecahan nukleotida trifosfat atau berhubungan dengan
senyawa seperti uridin difosfoglukose pada kartilago.
Tenembaun dalam penelitiannya mengatakan bahwa

pembentukan PPi oleh karena adanya ATP dan ekstrak


tulang rawan pasien deposisi CPPD.
Komposisi ion matriks juga mempengaruhi
pembentukan kristal CPPD, di mana ionfewo menghambat
pirofosfatase, ion ferri menurunkan pembentukan kristal
CPPD in vitro dan memperlambat degradasi intraselular
kristal CPPD. Sedangkan hipomagnesemia dihubungkan
dengan kondrokalsinosis dimana magnesium adalah
kofaktor untuk pirofosfatase dan meningkatkan kelarutan
kristal CPPD, sehingga bila terjadi defisiensi akan
menurunkan hidrolisis PPi dan dapat memperlambat
kelarutan knstal.
Kerusakan sendi akibat penimbunan kristal CPPD
disebabkan oleh faktor fisis dan perubahan kimia pada
rawan sendi yang mempermudah pembentukan kristal.
Bepasnya kristal CPPD pada ruang sendi diikuti oleh
fagositosis neutrofil dari kristal dan lepasnya substansi
inflamasi, di samping itu neutrofil akan membebaskan
glikopeptida yang bersifat suatu kemotaktik untuk neutrofil
yang memperhebat proses keradangan. CPPD juga dapat
mengaktivasi faktor Hagemen yaitu kinin dan bradikinin
yang mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin,
selanjutnya akan mengkativasi siklus komplemen yang
merupakan mediator untuk inflamasi akut.
Manifestasi Klinis
.Gambaran klinis pasien dengan penimbunan kristal CPP
dapat asimtomatik atau dengan gejala-gejala keradangan
sendi yang nyata. (Lihat Tabel 2).

Mono atau oligoartritis akut dengan serangan pseudogout


Osteo-artritis tipe peculai
Artropati pirofosfat
Pseudo spondilitis ankilosing
Artropati destruktif
Bentuk tofaseous atau pseudoturnoral
Osteokromatosis sinovial
Deposit pada mata
Bursitis, tendinitis
Carpal tunnel syndrome
Cubital t u n ~ esyndrome
l
Ruptur tendon
Nyeri punggung akut
Stenosis spinal
Mielopati servikal
Pseudomeninaitis

Pseudogout memberikan serangan akut atau subakut,


episodik dan dapat menyerupai penyakit gout, di mana
inflamasi sinovium merupakan gejala yang khas. Menurut
Mc ~ i r t yartritis
;
CPPD akut disebut pseudogout, karena
sangat menyerupai gout.
Pada saat serangan akut didapatkan adanya
pembengkakan yang sangat nyeri, kekakuan dan panas
lokal sekitar sendi yang sakit dan disertai eritema. Gambaran

KWSTALARTROPATI S E W N GOUT

tersebut sangat menyerupai gout. Serangan akut dapat


pula diprovokasi oleh tindakan operasi, dan dapat bersifat
self-limiting.
Sekitar 5% dari pasien dengan penimbunan kristal
CPPD memberikan gambaran klinis seperti artritis
pseudoreumatoid. Gejala-gejalanyamirip dengan gambaran
artritis reumatoid, seperti melibatkan beberapa sendi
bersifat simetris, kekakuan pagi hari, penebalan sinovium,
dan peningkatan laju endap darah, dan sekitar 10%pasien
dengan penimbunan kristal CPPD mempunyai titer faktor
reumatoid serum yang rendah. Hal ini biasa akan
mengacaukan diagnosis dengan artritis reumatoid.
Penimbunan CPPD pada tulang belakang khususnya
pada segmen servikal a k a berrnanifestasi klinis berupa
nyeri tengkuk, kekakuan, dan kadang-kadang disertai
demam, sehingga menyerupai meningitis.
Resnik, dkk,sekitar 9 1% pasien CPPD servikal, akan
mengalami kelainan vertebra servikal seperti hilangnya
diskus intervertebral, subluksasi vertebra servikal,
destruksi vertebra, dan pseudo-angkilosing spondilitis.

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tidak ada yang spesifik, laju endap
darah meninggi selama fase akut, leukosit PMN sedikit
meninggi. Sekitar 20% pasien dengan timbunan kristal
CPPD ditemukan hiperurisemia dan 5% disertai kristal MSU.
Pemeriksaan cairan sinovium dengan menggunakan
mikroskop cahaya biasa dapat terlihat bentuk kristal seperti
kubus (Rhomboid), atau batang pendek bersifat
birefringece positif lemah. Pada keadaan lain dapat
berbentuk jarum seperti kristal MSU. Kedua bentuk kristal
ini bersifat birepingence pada pemeriksaan kristal dengan
menggunakan mikroskop polarisasi cahaya.
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis timbunan kristal CPPD dapat
memperlihatkan gambaran kondrokalsinosis berupa bintikbintik atau garis-garis radioopak yang sering ditemukan
di meniskus fibrokartilago sendi lutut. Dapat pula berupa
kalsifikasi pada sendi radio-ulner distal, simfisis
pubis, glenoid serta anulus fibrous diskus intervertebralis.
Pemeriksaan skrining dapat dilakukan dengan pemeriksaan
foto pada sendi lutut (dalam keadaan tanpa beban) dengan
posisi antero-posterior (AP), foto pelvis posisi AP untuk
melihat sekitar simfisis pubis dan panggul, dan posisi
postero-anterior dari pergelangan tangan.
Diagnosis
Pseudogout dicurigai bila didapatkan adanya serangan
radang sendi yang bersifat rekuren, episodik, ditandai
dengan sinovitis mikrostalin dan didukung dengan
penemuan pemeriksaan radiologis yang memperlihatkan
adanya kondrokalsinosis.

Mc Carty, mengajukan kriteria diagnosis untuk


timbunan kristal CPPD yang didasarkan atas gambaran
kristal dan radiologis (Tabel 3).

Kategori
Definit
: Harus memenuhi kriteria I atau Ila
Probable : Harus memenuhi kriteria Ila atau Ilb
Possible : Kriteria llla atau lllb seharusnya mengingatkan
klinisi kemungkinan penyakit dasar timbunan
CPPD
Kriteria
I. Ditemukan kristal CPPD secara definitif dari aspirat
cairan sendi, biopsi atau nekroskopi
II. a. ldentifikasi kristal monoklinik atau triklinik yang
memperlihatkan positif lemah, atau kurang jelas
refraksi ganda
(membias) dengan mikroskop biasa berpolarisator.
b. Adanya kalsifikasi fibrokartilago dan kartilago hialin
yang khas pada gambaran radiologis.
Ill. a. Artritis akut, terutama pada lutut atau sendi besar
lainnya, dengan atau tanpa bersamaan hiperurisemia.
b.Artritis kronik terutama pada lutut, pangkal paha,
pergelangan tangan, tangan, siku, sendi bahu dan
sendi metakarpofalangeal,
terutama
bila
disertai eksaserbasi akut; artritis kronik yang
menunjukkan gambaran tersebut membantu untuk
membedakan dengan OA.
- Letak OA yang tidak lazim, seperti sendi
pergelangan tangan, sendi metakarpofalangeal,
atau sendi bahu.
- Gambaran radiologis misalnya penyempitan celah
sendi radiokarpal, atau patelofemoral, terutama
bila terisolasi (patela yang membungkus femur).
- Pembentukan kista subkondral
- Degenerasi progeresif berat: kolaps tulang
subkondral (mikrofraktur), dan fragmentasi
dengan pembentukan badan-badan radiodens
intra artikular.

Pengobatan
Pada serangan akut sendi besar dapat dilakukan
aspirasi sekaligus dilanjutkan dengan pemberian steroid
intraartikular. Tindakan ini di samping bertujuan untuk
mengurangi tekanan intra artikular juga sebagai tindakan
diagnostik untuk pemeriksaan kristal.
Pemberian OAINS berupa fenilbutazon dosis 400-600
mg/hari untuk beberapa hari dapat bermanfaat, indometasin
dosis 75- 150 mghari atau dengan OAINS lainnya, dengan
tetap memperhatikan efek samping OAINS pada saluran
cerna dan pemberian pada usia lanjut.
Kolkisin efektif menghambat pelepasan faktor-faktor
kemotaktik seperti sel-sel neutrofil dan mononuklir dan
juga menghambat ikatan sel neutrofil dengan endotel.
Pemberian kolkisin intravena efektif untuk pengobatan
pseudogout, sedangkan kolkisin oral tidak sebaik pada
pengobatan gout dibanding pseudogout (primer), tapi
untuk pencegahan serangan dapat digunakan kolkisin oral.

Mepgisti~abatkansendi penting selama serangan akut


dan lat*qq 6Ndilakukan setelah serangan akut bertujuan
memperbaiki ketegangan otot dan lingkup gerak sendi
untuk menghindari kontraktur.
Radang sendi akibat timbunan kristal Basic Calcium
Phosphate
Penimbunankelompok basic calciumphosphate (BCP)
ditemukan pada jaringan sendi, kulit, pembuluh darah arteri
dan jaringan lainnya. Pada sistem muskuloskletal, kristal
dapat ditemukan pada tendon otot, diskus intervertebral,
kapsul sendi, sinovium,dan kartilago. Umumnya kalsifikasi
krbbentuk tunggal, dapat pula multipel. Dari kelompok ini
yang terbanyak ditemukan adalah kristal hidroksiapatit
(HA). Timbunan HA merupakan faktor penting pada
kejadian artropati kronik destruktif yang sangat berat,
terjadi pada usia lanjut dan sering terjadi pada sendi lutut
dan bahu. Meskipun pepyakit ini jarang, namun
manifestasi klinis yang kadang-kadang mirip dengan OA,
maka perlu difikirkan kemungkinan kristal HA dan
golongannya.
Peranan kristal BCP dalam patogenesis penyakit sendi
belum diketahui. Hipotesis yang dikemukakan,kristal BCP
dapat mengakibatkan peradangan sendi, dan memicu
terjadinya radang sendi.
Menggunakan mikroskop elektron, kristal HA
mempunyai ukuran 5-120 pn, berbentuk bundar atau
gumpalan tidak beraturan, tidak bersifat birefringence.
Sindrom bahu Milwaukee (Milwaukee shoulder
syndrome)
Sindrom bahu Milwaukee, inerupakan kelainan pada
bahu yang umumnya ditemukan pada perempuan usia
lanjut. Gambaran klinis mirip dengan kelainan-kelainan
pada sendi bahu, seperti tendinitis rotator cufi robekan
tendon otot-otot rotator cu& bursitis. Pada sindrom ini
biasa ditemukan efusi, robekan tendon otot-otot rotator
cufyang luas, gambaran radiologis ditemukan kalsifikasi
periartikular, subluksasi kaput humeral. Analisis cairan
sendi ditemukan kristal BCP,jumlah leukosit sinovial yang
rendah. Gambaran klinis berupa nyeri bahu ringan sampai
berat, keterbatasan lingkup gerak sendi bahu, pada
beberapa kasus terdapat subluksasi sendi bahu. Belum

diketahui cara pengobatan ataupun pencegahan


penimbunan kristal BCP. Pengobatan hanya ditujuan pada
gejala-gejala yang ditemukan.
Beberapa radang sendi akibat penimbunan kristal
kelompok BCP yaitu periartritis kalsifikasi, dan kalsinosis,
narnun sangatjarang ditemukan. Secara urnum patofisiologi
dan gambaran klinis sama dengan HA, sehingga pada
makalah ini tidak dijelaskan semuanya.

REFERENSI
Finckh A, Linthoudt VD, Duvoisin B, Bovay P,Gerster JC.The
cervical spine in calcium pyrophosphate dihydrate deposition
disease. A prevalent case control study. J Rheumatol. 2004;3 1:
545-9
Gatter RA, Schumacher HR . Special studies for crystalline material.
In Joint fluid a n a l y ~ i s . 2 "edition,
~
Philade1phia:Lea &
Fabiger;1991 .p.78-84
Halversos PB., Ryan LM.: Arthritis asociated with calcium
containing crystal. In: Klippel JH.Primer on the rheumatic disease, 12Ih edition, At1anta:Arthritis foundation; 2001.p.298-306
Halverson PB. Basic calcium phosphate (apatite, octacalcium
phosphate, tricalcium phosphate) crystal deposition and calcinosis. In: Arthritis and allied conditions, 15th ed vol. 2, Koopman
WJ, Moreland LW. Philade1phiaL:Lippincot William & Wilkins;
2005.p.2397-416
Pons-Estel BA, Gimeniz C, Sacnon M, et al .Familial osteoarthritis
and Milwaukee shoulder associated with calcium pyrophosphate
and apatite crystal deposition. J Rheumatol. 2000;27 : 471-80
Rosenthal AK, Ryan LM : Calcium pyrophosphate crystal deposition disease, pseudogout, and articular chondrcalcinosis. In
Arthritis and allied conditions, 15th edition, Koopman WJ,
Moreland LW. Philade1phia:Lippincot William & Wilkins;
2005.p.2373-96
Reginato AJ, Reginato AM.Diseases association with deposition of
calcium pyrophosphate or hydroxyapatite. In Kelley textbook
of rheumatology. 6Ih edition, Ruddy S, Harris ED, Sledge CB.
Philade1phia:W.B. Saunders; 2001 .p. 1377-90
Soenarto.Krista1 artropati selain gout. Dalam: Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi ketiga jilid I, Editor: Noer S, Waspaji
S,Rachman AM, dkk. Jakarta:Balai Pustaka FKUI;1996.p.89-96
Tehupeiory ET, Faridin HP .Pseudogout. Dalam: Naskah lengkap
temu ilmiah reumatologi 2000, Bambang Setyohadi, Yoga I
Kasjmir, Siti Mahfudzohv editors, Jakarta, 6-8 Oktober 2000 :
49-52

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK


Harry Isbagio, Yoga IKasjmir, Bambang Setyohadi, Nyoman Suajana

Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik


autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas,
yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan.
Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti.
Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan
multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan.
Faktor genetik diduga berperanan penting dalam
predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi
secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik, berbagai
faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui
faktor yang bertanggung jawab.
Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis
hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi
kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan
dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan
pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun
merupakan konstributor yang penting dalam
perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun,
meningkatnya beban antigenik (antigenic loaq, bantuan
sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan
peralihan respon imun dari T helper l(Th1) ke
Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi
autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar
faktor eksternaVlingkunganseperti radiasi ultraviolet (UV)
atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa
juga menyebabkan disregulasi sistem imun.
Pemahaman terhadap patogenesis/imunopatologi
SLE merupakan ha1 y'ang sangat penting agar bisa
memberikan terapi yang sesuai. Dalam makalah ini akan
dibahas berbagai faktor yang terlibat dalam patogenesis
SLE.

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu


penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE
diberbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada
berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara
2.9/100.000-400/100.000.SLE lebih sering ditemukanpada
ras tertentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga
Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi
dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit.
Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi
paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).
Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi
pada pria berkisar antara (5,s-9) : 1. Pada lupus
eritematosus yang disebabkan obat (drug induced LE),
rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari
pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari 3 peneliti di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia1 RS. Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta yang melakukan penelitian pada periode yang
berbeda diperoleh data sebagai berikut: antara tahun
1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); selama
periode 5 tahun (1972- 1976) ditemukan 1 kasus SLE dari
setiapa 666 kasus yang dirawat (insidensi sebesar 15 per
10.000 perawatan); antara tahun 1988-1990 (3 tahun)
insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000perawatan.
Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-beda, yaitu
berturut-turut kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA
dan kriteria ARA yang telah diperbaiki.
Insidensi di Yogyakarta anatara tahun 1983- 1986ialah
10,l per 10.000 perawatan (Punvanto, dkk). Di Medan
anatara tahun 19840-1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4
per 10.000perawatan (Tarigan).

LJUJ

FAKTOR GENETIK
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik
(25%) dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%);
peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE
dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan
prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan
dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis
SLE.
Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan
penyakit. Pada sebagian kecil pasien (< 5%), hanya
gen tunggal yang bertanggungjawab. Sebagai contoh
pasien dengan defisiensi homozigot dari komponen awal
komplemen mempunyai risiko terkena SLE atau penyakit
yang menyerupai lupus (lupus-like disease). Tetapi
pada sebagian besar pasien inemerlukan keterlibatan banyak
gen. Diperkirakan paling sedikit ada empat susceptibility
genes yang terlibat dalam perkembangan penyakit.
Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya
terhadap SLE pada manusia adalah gen dari Kompleks
Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi
menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan
polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen) kelas
11. Hubungan HLA DR2 dan DR3 dengan SLE pada
umumnya ditemukan pada etnik yang berbeda, dengan risiko
relatif terjadinya penyakit berkisar antara 2 sampai 5. Gen
HLA kelas I1 juga berhubungan dengan adanya antibodi
tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearmprotein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear
protein) clan anti-DNA. Gen HLA kelas 111, khususnya yang
mengkode komponen komplemen C2 dan C4, memberikan
risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Penderita dengan
homozygous C4A null alleles tanpa memandang latar
belakang etmk, mempunyai risiko tinggi berkembang menjadi
SLE. Selain itu SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi
Clq, Clrls dan C2. Penurunan aktivitas komplemen
meningkatkan kepekaan terhadap penyakit oleh karena
berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik
terhadap antigen diri sendiri (selfantigen) maupun antigen
asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan
dari sistem imun, maka autoimunitasmungkin terjadi.
Selain itu banyak gen non-MHC polimorfik yang
dilaporkan berhubungan dengan SLE, termasuk gen
yang mengkode mannose bindingprotein (MBP), TNFa, reseptor sel T, interleukin 6 (IL-6),CR1, imunoglobulin
Gm dam Km allotypes, FciiRIIIA dan heat shockprotein 70 (HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang
multipel (multiple chromosome regions) sebagai risiko
berkembangnya SLE, mendukung pendapat bahwa SLE
merupakan penyakit poligenik.

FAKTOR HORMONAL
SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang

perempuan. Serangan pertama kali SLE jarang terjadi pada


usia prepubertas dan setelah menopause.
Metabolisme estrogen yang abnormal telah
ditunjukkan pada kedua jenis kelamin, dimana peningkatan
hidroksilasi 169 dari estrone mengakibatkan peningkatan
yang bermakna konsentrasi 169 hidroksiestron. Metabolit
169 lebih kuat dan merupakan feminising estrogen.
Perempuail dengan SLE juga mempunyai konsentrasi
androgen plasma yang rendah, termasuk testosteron,
dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron (DHEA) dan
dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini
mungkin disebabkan oleh peningkatan oksidasi
testosteron pada C-17 atau peningkatan aktivitas
aromatase jaringan. Konsentrasi androgen berkorelasi
negatif dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron
plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi
luteinising hormone (LH) ditemukan pada beberapa
penderita SLE laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan
dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat
pada laki-laki maupun perempuan, mungkin
bertanggungjawab terhadap perubahan respon imun.
Konsentrasi progesteron didapatkan lebih rendah pada
penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol
sehat.
Prolactin (PRL) adalah hormon yang terutama berasal
dari kelenjar hipofise anterior, diketahui menstimulasi
respon imun homural dan selular, yang diduga berperanan
dalam patogenesis SLE. Selain kelenjar hipofise, sel-sel
sistem imun juga mampu mensintesis PRL. Fungsi PRL
menyerupai sitokin, yang mempunyai aktivitas endokrin,
parakrin dan autokrin. PRL diketahui inenstimulasi sel T,
sel natural killer (NK), makrofag, neutrofil, sel hemopoietik
CD34+ dan sel dendritik presentasi antigen.
Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam
patogenesis SLE adalah leptin. Penelitian konsentrasi leptin
serum pada penderita SLE perempuan yang dilakukan oleh
Garcia-Gonzales dkk,4' mendapatkan kadar leptin pada
penderita SLE lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
sehat.

Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah


produksi autoantibodi. Antibodi ini ditujukan kepada self
molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma,
permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti
IgG dan faktor koagulasi. Antibodi antinuklear (ANA)
adalah antibodi yang paling banyak ditemukan pada
penderita SLE ( labih dari 95%). Anti-double strandedDNA
(anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi
yang spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan dalam
kriteria klasifikasi dari SLE. Antigen Sm merupakan suatu
small nuclear ribonucleoprotein (snRNP), terdiri dari
rangkaian uridine yang kaya molekul RNA, berikatan

LUPUSERITEMATOSUS SISTEMlK

dengan kelompok protein inti dan protein lain yang


berhubungan dengan RNA. Anti-Sm antibodi berikatan
dengan protein inti snRNP, sedangkan antibodi anti-DNA
berikatan dengan conserved nucleic acid determinant
yang tersebar luar dalm DNA. Titer antibodi anti-DNA
sering kali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas
penyakit, sedangakan titer antibodi anti-Sm biasanya
konstan. Antibodi anti-DNApada umumnya berhubungan
dengan adanya glomerulonefritis,walaupun korelasi antara
antibodi anti-DNA dengan nefritis lupus tidaklah sempuma
karena beberapa penderita dengan nefritis lupus yang aktif
tidak ditemukan antibodi anti-DNA, sedangkan beberapa
penderita dengan titer antibodi anti-DNA yang menetap
tinggi, tidak menunjukkan adanya keterlibatan ginjal.
Keterlibatan antibodi anti-DNA pada nefritis lupus
didukung oleh adanya bukti-bukti : 1. Observasi klinis pada
sebagian besar pasien menunjukkan bahwa nefritis aktif
berhubungan dengan peningkatan titer anti-DNA dan
p e n m a n nilai total komplemen hemolitik. 2. Antibodi antiDNA lebih suka mengendap di ginjal, sehingga diduga
bahv~akompleks imun DNA-antibodi anti-DNA merupakan
mediator inflamasi yang utama. Meskipun gangguan ginjal
mungkin akibat terbentuknya kompleks imun yang
mengandung antibodi anti-DNA, tetapi keberadaan
kompleks imun dalam sirkulasi sulit dideteksi oleh
karenadalam serum konsentrasinya rendah. Antibodi antiDNA berikatan dengan bagian DNA yang melekat pada
membran basal dari glomerulus melalui histon atau
berinterkasi dengan antigen glomerular yang lain seperti
C lq, nukleosom, heparan sulfat dan laminin. Ikatan
antibodi anti-DNA dengan antigen ini akan menginisiasi
inflamasi lokal dan aktivasi komplemen sehingga terbentuk
kompleks imun di ginjal.
Meskipun telah ditemukan hubungan yang jelas antara
gainbaran klinis tertentu dari SLE dengan autoantibodi
seperti antibodi anti-ribosomal P dengan psikosis, antibodi
anti-Ro dengan blok jantung bawaan dan lupus kutaneus
subakut, tetapi patogenisitas dari antibodi ini belum diteliti
secara adekuat. Sehingga mekanisme imunologis yang
pasti dari kelainan ini masih belum jelas. Patogenesis dari
manifestasi selain glomerulonefritisbelurn diketahui secara
baik, meskipun kemungkinan mekanisme yang mendasari
adalah deposisi kompleks imun dengan aktivasi
komplemen pada tempat-tempat tertentu. Hal ini
ditunjukkan dengan seringnya didapat hubungan antara
hipokomplemenemia dengan tanda-tanda vaskulitis pada
SLE yang aktif. Kerusakan langsung yang diperantarai oleh
antibodi dan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel pada
jaringan target, merupakan mekanisme yang mungkin
mendasari. Walaupun antibodi anti-dsDNA adalah antibodi
yang paling banyak diteliti pada penderita SLE, namun
ada antibodi lain yang juga berperan dalam manifestasi
klinis khususnya pada anemia hemolitik autoimun,
trombositopenia, kelainan kulit dan lupus neonatus.
Autoantibodi yang umum didapatkan pada penderita SLE

dan hubungannya dengan manifestasi SLE tampak pada


Tabel 3.
Adanya antibodi anti-Ro, anti-La atau kedua-duanya
pada kehamilan memberikan risiko terkena blok jantung
fetus sebesar 1-2%.Antigen Ro terpapar pada permukaan
otot jantung fetus (tetapi tidak pada ibu) sehinggajantung
mengalami remodeling melalui apoptosis, dan antibodi
anti-Ro dari ibu melewati plasenta kemudian berinteraksi
dengan antigen Ro. Autoantibodi dari ibu akan merusak
jaringan konduksi jantung fetus.Tidak adanya efek pada
jantung ibu memperlihatkan pentingnya keberadaan
autoantibodi dan paparan antigen secara bersama-sama
pada jaringan jantung.
Antibodi terhadap reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA) mungkin berperanan penting dalam sistem
susunan saraf pusat dari SLE. NMDA adalah asam amino
excitatoly yang dikeluarkan oleh sel saraf. Penelitian yang
dilakukan oleh Kawal dkk mendapatkan serum penderita
SLE yang mengandung antibodi DNA dan reseptor NMDA
menyebabkan gangguan kognitif dan kerusakan
hipokampusjika disuntikkan secara intravena kepada tikus.
Mereka juga menemukan antibodi anti-reseptor-NMDA
pada jaringan otak penderita lupus serebral.

Antigen
spesifik
.
Anti-dsDNA
Nukleosom
RO
La

Prevalensi
(%)
70-80
60-90
30-40

15-20
10-30
Reseptor NMDA
33-50
Fosfolipid
20-30
a-Actinin
20
Clq
40-50
NMDA = N-methyl-D-aspartate

Sm

Efek klinik utama


Gangguan ginjal, kulit
Gangguan ginjal, kulit
Gangguan kulit, ginjal,
gangguan jantung fetus
Gangguan jantung fetus
Gangguan ginjal
Gangguan otak
Trombosis, abortus
Gangguan ginjal
Gangguan ginjal

Baik antibodi anti-Ro dan anti-nukleosom memegang


peranan dalam lupus kutaneus. Antibodi anti-Ro
berhubungan dengan peningkatan risiko berkembangnya
ruam fotosensitif. Antibodi anti-nukleosum bisa ditemukan
dari jaringan biopsi kulit, pada sebagian kecil penderita
dengan nefritis lupus aktif tanpa ruam pada kulit.
Autoantibodi yang merusak sel darah merah dar~trombosit
berperanan penting dalam kejadian anemia hemolitik dan
trombositopenia pada penderita 1upus.Pujo dkk,
mendapatkan korelasi yang h a t antara trombositopenia
dengan adanya antibodi anti-trombosit.
Beberapa autoantibodi seperti antinuklear, anti-Ro,
anti-La dan antifosfolipid pada umumnya sudah terbentuk
beberapa tahun sebelum timbulnya gejala SLE.
Autoantibodi yang lain seperti anti-Sm dan anti-nuklear
ribonukleoprotein muncul hanya dalam beberapa bulan
sebelum diagnosis SLE. Sedangkan autoantibodi antidsDNA berada dipertengahan antara kedua kelompok

seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak


disertai menggigil.

Lain-lain
Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita LES
dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas
penyakitnya seperti rambur rontok, hilangnya nafsu makan,
pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala,
mual dan muntah
Manifestasi Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik
yang paling sering dijumpai pada penderita LES, lebih dari
90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi
(artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak
jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali dianggap
sebagai manifestasi Artritis reumatoid karena keterlibatan
sendi yang banyak dan simetris. Untuk ini perlu dibedakan
dengan Artritis reumatoid dimana pada umumnya LES tidak
menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang
berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Satu ha1
yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya
koinsidensi penyakit autoimun lain seperti Artritis
reumatoid, Polymyositis, Sklerodema atau manifestasi
klinis penyakit-penyakit tersebut merupakan bagian gejala
klinis LES.
Manifestasi Kulit
Ruam kulit merupakan manifestasi LES pada kulit yang
telah lama dikenal oleh para ahli. Sejak era Rogerius,
Paracelsus, Hebra sebelum abad 19 manifestasi kulit seperti
seborea kongestifa, herpes esthimones dan sebagainya
telah diperdebatkan sebagai suatu lesi kulit pada LES. Lesi
muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian LES dapat
berupa reaksi fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), subacute
cutaneous lupus erythematosus (SCLE), lupus profundus
/ paniculitis, alopecia, lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, teleangiectasia, fenomena
raynaud's atau vaskulitis atau bercak yang menonjol
benvama putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema
pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau
depigmentasi pada bibir.
Manifestasi Paru
Berbagai manifestasi kilinis pada paru-paru dapat terjadi
baik berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru,
atau shrinking lung syndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau
berlanjut menjadi kronik. Pada keadaan akut perlu
dibedakan dengan pneumonia bakterial dan apabila terjadi
keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas
bronkhoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak,

batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini


terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada
alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis
atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang
baik dengan pemberian steroid.
Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila
merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan
memerlukan penanganan yang tepat, dimana tidak hanya
penggunaan steroid namun tindakan pengobatan lain
seperti lasmaferesis atau pemberian sitostatika.

Manifestasi Kardiologis
Baik perikardium, miokardium, endokardium atau-pun
pembuluh darah oroner dapat terlibat pada penderita LES,
walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium.
Perikarditis hams dicurigai apabila dijumpai ada-nya
keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran
silhouette sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG,
Echokardiografi. Apabila dijumpai adanya aritmia atau
gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang
tidak jelas penyebabnya, maka kecu-rigaan adanya
miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada
penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina
pectoris, infark miokard atau gaga1 jantung kongestif.
Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES
usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta
penggunaan steroid jangka panjang.
Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi
merupakan komplikasi lain yang juga sering dijumpai pada
penderita LES. Vegetasi pada katub jantung merupakan
akumulasi dari kompleks imun, sel mononuklear, jaringan
nekrosis, jaringan parut, hematoxylin bodies, fibrin dan
trombus trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai
adalah bising jantung sistolik dan diastolik.
Manifestasi Renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% pen-derita yang
sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES . Rasio
wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10:1, dengan
puncak insidensi antara usia 20 - 30 tahun.
Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya
tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma
nefiotik. Pemeriksaan terhadap protein urin >500 mgl24
jam atau 3+ semi kwantitatif, adanya cetakan granuler,
hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta pyuria
(>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan
kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan
ginjal pada penderita LES. Akan tetapi melalui biopsi ginjal
akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai
keterlibatan ginjal ini. WHO membagi klasifikasi
keter-libatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi 6 klas.
Kajian yang masih kontroversil dan menarik untuk
dibahas adalah kaitan antara gambaran klinis, laboratorik,

klasifikasi patologi. Kajian ini diperlukan sehubungan


dengan kepentingan strategi pengobatan dimana tujuan
utamanya adalah mempertahankan fungsi ginjal
(chat Tabel 1). Namun demikian adanya proteinuria, piuria
serta bumknya bersihan kreatinin dapat diakibatkan sebab
lain seperti infeksi, glomerulonefritis, efek toksik obat pada
ginjal.
ManifestasiGastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita
LES, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan
berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat
pengobatan.
Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada
esofagus, mesenteric vasculitis, injlamatory bowel
disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.
Disfagia mempakan keluhan yang biasanya menonjol
pada saat penderita dalam keadaan tertekan dan sifatnya
episodik, walaupun tidak dapat dibuktlkan adanya kelainan
pada esofagus tersebut, kecuali gangguan motilitas.
Keluhan dispesia yang dijumpai pada lebih kurang 50%
penderita LES ,lebih banyak dijumpai pada mereka yang
memakai glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga
berkaitan dengan pemakaian obat ini.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi
pada peritoneum, yang dibuktikan dengan pemeriksaan
autopsi.
Kelainan lain seperti IBS sulit dibedakan dengan causa
idiopatik karena gambaran klinis yang tidak banyak berbeda.
Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenterik perlu
mendapat perhatian yang besar karena, walaupun jarang,
dapat mengakibatkan perforasi usus halus atau colon yang
berakibat fatal. Keluhan ditandai dengan nyeri di daerah
abdominal bawah yang hilang timbul dalam periode
beberapa minggu atau bulan. Pembuktian adanya
vaskulitis ini dilakukan dengan arteriografi.

Mesangial
IIA
Gejala
Hipertensi
Proteinuria gldl
Hematuria EriILPB
Piuria LILPB
Cetakan
LFG mllmin
CH50
C3
Anti-dsDNA
Kompleks imun

IIB

Focal
prolif.
111

Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% penderita


LES. Keluhan ditandai dengan adanya nyeri abdominal
bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan
serum amilase. Sampai saat ini penyebabnya masih
dipertanyakan apakah memang karena LES itu sendiri atau
akibat pengobatan seperti steroid, azathioprin yang
diketahui dapat menyebab-kan pankreatitis. Namun
demikian dijumpai pula pankreatitis pada penderita yang
tidak mendapatkan steroid.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang
banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan
serum SGOTISGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.
Kelainan ini berkaitan dengan aktifitas penyakit dan
penggunaan anti inflamasi non steroid, terutama salisilat.
Kecurigaan terhadap LES perlu dipikirkan apabila pada
seorang wanita muda dengan poliartritis dan mendapatkan
salisilat didapatkan peningkatan serum SGOTISGPT.
Transaminase ini akan kembali normal apabila akitifitas
LES dapat dikontrol dan anti inflamasi dihentikan. Belum
jelas hingga kini apakah kelainan hati yang terjadi
merupakan bagian dari LES, koinsidensi dengan LES, atau
mempakan lupoid hepatitis (autoimmune chronic active
hepatitis) dan tidak dijumpai bukti adanya kaitan infeksi
virus hepatitis B (HBV).
Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan
karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini
dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan
psikiatrik.
Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis
dengan menyingkirkan kemunkginan lain seperti sepsis,
uremia, dan hipertensi berat.
Pembuktian adanya keterlibatan syaraf pusat tidak
terlalu banyak membantu proses penegakkan diagnosis
ini. Dapat dijurnpai kelainan EEG namun tidak spesiflk,pada

Diffuse
prolif.
IV

Membranous

GG,SN
sering
1-20
Banyak
Banyak
Banyak
<60
<<
<<

SN
Late onset
3,5-20

>>
>>

Tubulointerstisial

lnfeksi

Druginduced

N
N
N
N
N

Late onset

Disuria
Late onset

+
+

Banyak

N
N
N
N
N

N
N
N
N
N

+
+

Keterangan:
~ri=~ritr;sit, LPB=luas pandang besar, L=leukosit, LFG=Laju filtrasi glomerulus, CHSO=komplemen hemolitik serum total
(dalam 50% hemolitik unit), C3=komplemen 3, N=Normal, +=jarang, sedikit, >=meningkat, <=menurun, >>=sangat
meningkat, <<=sangat menurun, GG=gagal ginjal, SN=sindroma nefrotik

2571

LUPUS E R I T E M A ~ U SSETEMU<

Kriteria

Batasan

Ruam malar
Ruam diskoid

Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat nasolabial.
Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLEi keratotik dan sumbatan folikular.
Pada SLEi lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari
anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa.
Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeli, bengkak dan efusi

Fotosensitifitas
Ulkus mulut
Artritis non-erosif
Pleuritis atau
perikarditis

Gangguan renal

Gangguan neurologi

Gangguan
hematologik

Pleuritis - riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh dokter
pemeriksa atau bukti efusi pleura.
atau
Perikarditis - bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial.
a. Proteinuria menetap 20.5 gram per hari atau >3+
atau
b. Cetakan selular- dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan.
a. Kejang - tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik.
misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbanganelektrolit.
atau
b. Psikosis - tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik,
misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit.
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau
Leukopenia - <4.000/mm3pada dua kali pemeriksaan
atau
c. Limfopenia - <1 .500/mm3pada dua kali pemeriksaan
atau
d. Trombositopenia- ~100.000/mm3
tanpa disebabkan oleh obat-obatan.
a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal
atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar
serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus
antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes positif
palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponemal.
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensiatau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan
penyakit tanpa keterlibatan obat.
b.

Gangguan
imunologikb

Antibodi antinuklear
positif (ANA)

Keterangan:
Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi
secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.

cairan serebrospinal dapat ditemukan kompleks imun,


kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA dan atau IgM,
peningkatan jumlah sel , peningkatan kadar protein atau
penurunan kadar glukosa.
Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat
bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi syaraf
kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis
transversal. Sedangkan pada susunan syaraf tepi akan
bermanifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis
atau mononeuritis multiplex. Dari segi psikiatrik, gangguan
fungsi mental dapat bersifat organik atau non-organik.

Manifestasi Hemik-limfatik
Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering
dijumpai pada penderita LES ini. Kelenjar getah bening
yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal,
dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran
bervariasi sarnpai 3-4,cm.
Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada
penderita LES adalah splenomegali yang iasanya disertai
oleh pembesaran hati.
Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan
dengan adanya lupus antikoagulan. Bahkan pernah

dilaporkan adanya ruptur arteri lienalis walaupun tidak


dijumpai bukti vaskulitis.
Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam
perkembangan penyakit LES ini. Diklasifikasikan sebagai
anemia yang diperantaraiproses imun dan non-imun. Pada
anemia yang bukan diperantarai proses imun diantaranya
berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi besi,
sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk
anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi
sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia
hemolitik otoimun dan beberapa kelainan lain yang
dikaitkan dengan proses otoimun seperti anemia
pernisiosa, acute hemophagocytic syndrome.

Diagnosis
Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran
klinik dan laboratorim American College ofRheumatology
(ACR), pada tahun 1982, mengajukan 1 1 kriteria untuk
klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka
diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah :
1. Ruammalar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitifitas
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 grl hari,
atau adalah silinder sel
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau
lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia
10. Kelainan imunologlk,yaitu sel LE positif atau anti DNA
posistif, atau anti Sm positif atau tes serologik untuk
sifilis yang positif palsu.
11. Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA)
positif
Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 (dua)
atau lebih keterlibatan organ sebagaimana tercantum di
bawah ini, yaitu:
1. jender wanita pada rentang usia reproduksi.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti
infeksi) dan penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal:artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash),
fotosensitivitas, SLEi membrana mukosa, alopesia,
fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindrorna nehtik
6. Gastrointestinal:mual, muntah, nyeri abdomen
7. Pam-paru:pleurky, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim
paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis,miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati,
splenomegali,hepatomegali)

10. Hematologi: anemia, leukopenia, clan trombositopenia


1 1. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik,
mielitis transversa, neuropati kranial dan perifer.

PRlNSlP UMUM DALAM PENATALAKSANAAN SLE


Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting
diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE,
terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini
dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada
penderita atau dengan membentuk kelotnpok penderita
yang bertemu secara berkala untuk membicarakan
masalah penyakitnya.
Pada umumnya, penderita SLE mengalami
fotosensitifitas, sehingga penderita harus selalu
diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar
matahari. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan
krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi
atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di
kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari
jendela.
Karena infeksi sering terjadi pads pend&ita SLE, rnaka
penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam
yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita
yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat
sitotoksik, penderita dengan gaga1 ginjal, vegetasi katup
jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika
hams dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan
prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita
SLE, terutama penderita dengan nefritis, atau penderita
yang mendapat obat-obat yang merupa kan kontraindikasi
untuk kehamilan, misalnya anti malaria atau siklifosfamid.

I. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.


2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing
tipe tersebut.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan
terutarna yang terkait dengan pernakaian steroid seperti
osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu rnaupun
diet, rnengatasi infeksi secepatnya maupun pernakaian
kontrasepsi.
4. Pengenalan rnasalah aspek psikologis: bagairnana
pernaharnan diri pasien SLE, rnengatasi rasa lelah, stres
ernosional, trauma psikis, rnasalah terkait dengan
keluarga atau ternpat kerja dan pekerjaan Itu sqndlrl,
rnengatasi rasa nyeri.
5. Pernakaian obat rnencakup jenis, dosis, lama pernberian
dan sebagainya. Perlukah suplernentasi mineral dan
vitamin? Obat-obatan yang dipakai jangka panjang
contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis
lainnya terrnasuk antibiotikurn.
6. Dirnana pasien dapat rnemperoleh lnformasi tentang SLE
ini, adakah kelornpok pendukung, yayasan yang bergerak
dalarn pernasyarakatan SLE dan sebagainya

LUPUS ERlTEMATOSUSSlSTElWC

Kehamilanjuga dapat mencetuskan eksaserbasi akut SLE


dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab
itu pengawasan aktifitas penyakit hams lebih ketat selama
kehamilan.
Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, hams
diputuskan dulu apakah penderita tergolong yang
memerlukan terapi konservatif, atau imunisupresif yang
agresif.
Pada umumnya, penderita SLE yang tidak mengancam
nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ,
dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini
mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor,
maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang
meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan
lainnya.

TERAPI KONSERVATIF

Artritis, artralgia dan mialgia. Artritis, Artralgia dan


Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
penderita SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan
analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid.
Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini
adalah efek sampingnya, agar tidak memperberat keadaan
urnurn penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan,misalnya dengan
memeriksa kreatinin serum secara berkala. Bila analgetik
dan obat antiinflamasi non steroid tidak memberikan
respons yang baik, dapat dipertimbangkanpemberian obat
antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin400 mglhari. Bila
dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang
baik, hams segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3
bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan
evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek
toksik terhadap retina. Pada beberapa penderita yang tidak
menunjukkan respons adekwat dengan analgetik atau obat
anti-inflamasi non-steroid atau obat anti malaria, dapat
dipertirnbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah,
dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi.
Metotreksat dosis rendah (73- 15 mglminggu),juga dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi artritis pada penderita
SLE.Nyeri pada 1 atau 2 sendi yang menetap pada penderita
SLE yang tidak menunjukkan bukti tambahan peningkatan
aktifitas penyakitnya, harus dipikirkan kemungkinan
adanya osteonekrosis, apalagi bila penderita mendapat
terapi kortikosteroid. Osteonekrosis awal, sering tidak
menunjukkan gambaran yang bermakna pada foto
radiologk konvensional, sehinggamemerlukan pemenksaan
MRI.
Lupus kutaneus.Sekitar 70% penderita SLE akan mengalami
fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE dapat timbul bila
penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah,
panas dan kadang-kadangjuga sinar fluoresensi. Penderita

fotosensitifitas harus berlindung terhadap paparan


sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung,
kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan
langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar
sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotio atau gel
yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon,
salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar
ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu
dipakai ulang setelah mandi atau bila berkeringat.
Glukokortikoidlokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan
preparat topikal hams hati-hati, karena glukokortikoid
topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat
menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis clan
fragilitas. Untuk kulit muka dianjur kan penggunaaan
preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak
diflorinasi, misalnya hidrokortison, sedangkan untuk kulit
badan dan lengan dapat di-gunakan steroid topikal
berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan
triamsinolon asetonid. Untuk lesi-lesi hipertrofik, misalnya
didaerah palmar dan plantar pedis, dapat digun
akan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi,
misalnya betametason dipropionat. Penggunaan
krem glukokortikoid berkekuatan tinggi hams dibatasi
selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang
berkekuatan lebih rendah. Obat-obat antimalaria sangat baik
untuk meng-atasi lupus kutaneus, baik lupus kutaneus
subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai
efek sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan.
Efek imunosupresan antimalaria berhubungan dengan
ikatannya pada membran lisosomal sehingga mengganggu
metabolisme rantai a dan 13 HLA klas 11. Selain itu
antimalariajuga mengurangi pelepasan interleukin (1L)- 1,
IL-6 dan tunor necrosis factor (TNF)-a oleh makrofag dan
IL-2 dan Interferon (1FN)-y oleh sel T. Antimalaria juga
mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen.
Pada penderita yang resisten terhadap anti-malaria,
dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid
sistemik dan obat eksperimental lainnya. Dapson dapat
dipertimbangkan pemberiannya pada penderita
lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LE berbula. Hams
diperhatikan efek toksiknya terhadap sistem hematopoetik,
seperti methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia dan
anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruarn
LE di kulit.
Fatigue dan keluhan sistemik Fatigue merupakan keluhan
yang sering didapatkan pada penderita SLE, demikianjuga
penurunan berat badan dan demam. Fatigue juga dapat
timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan
berat badan dan fever dapat juga diakibatkan oleh
pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpatik dalam
mengatasi masalah ini. Seringkaliha1 ini tidak memerlukan
terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan
mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat

menunjukkan peningkatan aktifitas SLE dan pemberian


glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.

Serositis. Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita


SLE dapat merupakan tanda serositis. Pada beberapa
penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat
antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid
dosis rendah (15 mghari). Pada keadaan yang berat, harus
diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol
penyakitnya.

Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian


glukokortikoid dosis tinggi harus segeradimulai bila timbul
manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya
vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliartritis,
poliserositis, miokarditis pneumonitis lupus,
glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik,
trombositopenia,sindrom otak organik, defek kognitif yang
berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam
tinggi, prostrasi).
Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan
dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan diberikan.
Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek
panjang seperti deksametason, sebaiknya dihindari.
Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih
mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral,
sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari.
Pada manifestasi minor SLE, seperti artritis, serositis dan
gejala konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/
kgBBhari, sedangkan pada manifestasi major dan serius
dapat diberikan prednison 1- 1,5mgikgBBkari. Pemberian
bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mgkgBB
selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan
dengan prednison oral 1- 1,5 mg/kgBBl hari. Respons terapi
dapat terlihat sedini mungkm, tetapi dapatjuga dalam waktu
yang cukup lama, seperti 6-10 minggu. Toksisitas SLE
merupakan problem tersendiri pada penatalaksanaan SLE.
Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6
minggu, maka hams mulai dilakukan penurunan dosis
secara bertahap, dimulai dengan 5- 10% setiap minggu bila
tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednison
mencapai 30 mghari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5
mg/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai 10-15
mghari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila
timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai
ke dosis efektif sebelum nya sampai beberapa minggu,
kemudian dicoba diturunkan kembali.
Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian
glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan
yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan
imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2dalam 250 ml

NaCl0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan


2-3 liter124 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan
secara luas pada terapi SLE. siklofosfamid diindikasikan pada:
1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi
(steroid sparing agent)
2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap
steroid dosis tinggi
3. Penderita SLE kambuh yang telah diterapi dengan
steroid jangka lama atau berulang
4. Glomerulonefitis difus awal
5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap
steroid.
6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkat an
kreatinin serum tanpa adnya faktor-faktor ekstrarenal
lainnya
7. SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai
50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/
m2.Setelah pemberian siklofosfamid,jumlah lekosit darah
hams dipantau. Bilajumlah lekosist mencapai 1500lm1,maka
dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan
menekanjumlah lekosit sampai 4000lrnl menunjukkan dosis
siklofosfamidyang tidak adekuat, sehingga dosisnya hams
ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya.
Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1
bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama
pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara
bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya.
Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea dan vomitus,
alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan
fungsi ovarium dan azoospermia.
Obat sitotoksik lain yang toksisitas dan efektifitasnya
lebih rendah dari siklofosfamid adalah azatioprin. Azatioprin
merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai
alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mgl
kgBBkari dan diberikan secara per-oral. Obat ini dapat
diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE; setelah
penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah
seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat
diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya
betul-betul terkontrol dengan baik. Toksisitas azatioprin
meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim
hati dan mencetuskan keganasan.
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk
pengobatan SLE adalah Siklosporin-A dosis rendah (3-6
mg/kgBB/hari)dan mofetil rnikofenolat. SiklosporinAdapat
digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun
dengan nefropati membranosa. Selama pemberian hams
diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin
darah. Bila kadarkreatinin darah meningkat 20% dari kadar
kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin A, maka
dosisnya hams diturunkan.
Terapi lain yang masih dalam taraf penelitian adalah
terapi hormonal, imunoglobulin dan afaresis
(plasmafaresis, lekofaresis dan kriofaresis). Salah satu

2575

LUPUS HUTFMATOSUS SISTEMIK

Jenis Obat

Dosis

Jenis toksisitas

Azatioprin

50-150 mg per
hari, dosis
terbagi 1-3,
tergantung berat

Mielosupresif,
hepatotoksik,
gangguan
limfoproliferatif

Siklofosfamid

Per oral: 50-150


mg per hari.
IV: 500 mgIM2
dalam Dextrose
250 ml, infus
selama 1 jam.

Metotreksat

7.5 - 20 mg I
minggu, dosis
tunggal atau
terbagi 3. Dapat
diberikan pula
melalui injeksi.

Mielosupresif,
gangguan
limfoproliferatif,
keganasan,
imunosupresi.
sistitis hemoragik,
infertilitas
sekunder
Mielosupresif,
fibrosis hepatik,
sirosis, infiltrat
pulmonal dan
fibrosis.

Siklosporin A

2 . 5 5 mglkg BB,
atau sekitar 100
- 400 rng per
hari dalarn 2
dosis, tergantung
berat badan.

Mofetil
mikofenolat

2000 mglhari mg
dalam 2 dosis.

Pembengkakan,
nyeri gusi,
peningkatan
tekanan darah,
peningkatan
pertumbuhan
rambut, gangguan
fungsi ginjal, nafsu
rnakan rnenurun,
tremor.
Mual, diare,
leukopenia.

Pemantauan
Laboratorik
Gejala
Darah tepi lengkap
Darah tepi
lengkap,
mielosupresif
tiap 1-2 minggu dan
kreatinin, AST I
selanjutnya 1-3 bulan
ALT
interval. AST tiap
tahun dan pap smear
secara teratur.
Darah tepi
Darah tepi lengkap
Gejala
lengkap, hitung mielosupresif,
dan urin lengkap tiap
hematuria dan
bulan, sitologi urin
jenis leukosit,
infertilitas.
dan pap smear tiap
urin lengkap.
tahun seumur hidup.
Evaluasi Awal

Klinis

Darah tepi
lengkap, foto
toraks, serologi
hepatitis B dan
C pada pasien
risiko tinggi,
AST, fungsi
hati, kreatinin.
Darah tepi
lengkap,
kreatinin, urin
lengkap, LFT.

Gejala
.
mielosupresif,
sesak nafas,
mual dan
muntah, ulkus
mulut.

Darah tepi lengkap


terutama hitung
trombosit tiap 4-8
minggu, AST IALT
dan albumin tiap 4-8
minggu, urin lengkap
dan kreatinin.

Gejala
hipersensitifitas
terhadap castor
oil (bila obat
diberikan injeksi),
tekanan darah,
fungsi hati dan
ginjal.

Kreatinin, LFT, Darah


tepi lengkap.

Darah tepi
lengkap, fese
lengkap.

Gejala
gastrointestinal
seperti mual,
muntah.

Darah tepi lengkap


terutarna leukosit dan
hitung jenisnya.

terapi hormonal yang banyak digunakan adalah danazol,


suatu androgen, yang bermanfaat untuk mengatasi
trombositopenia pada SLE. Mekanisme kerjanya tidak
diketahui secara pasti. Pemberian imunoglobulin intravena
juga berguna untuk mengatasi trombositopenia, dengan
dosis 300-400 mglkg BBIhari, diberikan selama 5 hari
berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan
untuk mencegah kekambuhan. ~ontraindikasi-mutlak
pemberian imunoglobulin pada pada penderita defisien
IgA yang kadang-kadang ditemukan pada penderita SLE.

PENATALAKSANAANKEADAAN KHUSUS
Trombosis pada SLE
Trombosis seringkali merupakan manifestasi dari SLE dan
sering berhubungan dengan adanya antibodi
antifosfolipid.Dalam keadaan ini, antdcoagulan merupakan
obat pilihan untuk mengatasinya, misalnya warfarin, dan
mempertahankan nilai INR (International Normalization
Ratio) 3-33. Hal ini terutama sangat penting pada
,

trombosis arteri karotis interna. Trombosis arteri biasanya


mempunyai prognosis buruk. Antikoagulan lupus,
biasanya mempunyai respons yang baik terhadap
glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan antibodi
antikardiolipin sangat resisten baik terhadap
glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lain.

Abortus berulang pada SLE


Abortus berulang pada penderita SLE dapat diakibatkan
oleh aktifitas SLEnya atau adanya antibodi antifosfolipid.
Untuk menekan aktifitas SLE, glukokor-tikoid cukup aman
clan tidak mempengaruhi janin, kecuali betametason dan
deksametason karena dapat mencapai janin dalarn bentuk
yang aktif. Pada penderita dengan antibodi antifosfolipid
yang belum pernah mengalami abortus, dapat
dipertimbangkan untuk tidak memberikan terapi apapun.
Makin sering terjadi abortus, maka kemungkinan untuk
mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi
hams diberikan. Ada beberapa pilihan terapi, antara lain
aspirin dosis rendah, kombinasi aspirin dosis rendah dengan
glukokortikoid dosis sedang, glukokortikoid dosis tinggi

dengan atau tanpa aspirin atau penggunaan heparin (warfarin bersifat teratogenikpada kehamilan trimester I). Semua
regimen ini meningkatkan angka keberhasilan kehamilan
secara bermakna. Selain itu pemantauan terhadap ibu dan
janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.

LllPUS NEONATAL

Lupus neonatal merupakan sindrom pada neonatus yang


lahir dari ibu yang menderita SLE. Gejala yang paling sering
adalah ruam kemerahan di kulit disertai plakat. Lesi ini
berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A)
melalui plasenta. Kelainan lain yang lebih serius tapi jarang
adalah blok jantung kongenital yang dapat fatal. Itulah
sebabnya setiap wanita penderita SLE yang hamil harus
diperiksa terhadap kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.
Trombositopenia pada SLE
Pada penderita SLE yang mengalami trombositopenia,
harus dievaluasi kemungkinan penyebab trombositopenia
yang lain, misalnya efek samping obat, purpura
trombositopenia trombotik, infeksi virus (HIV, HBV, CMV)
dan infeksi bakteri (endokarditis bakterialis, sepsis gramnegatif). Berikan prednison 0,5-1 mglkgBBhari selama 3-4
minggu, bila jumlah trombosit <50.000/ml,kemu-dim dosis
prednison diturunkan secara bertahap. Target terapi ini
adalah jumlah trombosit mencapai >50.000/ml. Bila
prednison tidak memberikan efek perbaikan, dapat
dipertimbangkan pemberian danazol 400-800 mghari,
imunoglobulin atau splenektomi. Pada penderita yang
resisten terhadap semua modalitas atau pada penderita
dengan keterlibatan organ mayor, dapat diberikan bolus
siklofosfamid tiap bulan sarnpai 6 bulan.
SLE pada Susunan Saraf Pusat (SSP).
Penderita SLE pada Susunan Saraf Pusat dapat dibagi 2,
yaitu penderita dengan strok dan penderita dengan
kelainan SSP yang lebih luas. Pada penderita dengan strok,
pemberian antikoagulan lebih banyak gunanya daripada
imunosupresan, sedangkan pada penderita dengan
kelainan SSP yang has, apalagi bila disertai vaskulitis
perifer, maka pengobatan dengan imunosupresan
merupakan pilihan. Pada penderita SLE yang mengalami
kejang-kejang tanpa keterlibatan aktifitas pada organ lain,
seringkalipemberian antikonvulsan tanpa imunosupresqn
cukup memadai. Demikian juga penderita psikotik tanpa
manifestasi SLE yang lain, seringkali cukup diberikan obatobat psikoaktif. Kelainan kognitif yang ringan dapat juga
diberikan prednison 30 mghari selama beberapa minggu,
kemudian diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada
sindrom otak organik yang berat, koma atau mielopati,
diperlukan terapi yang agresif dengan glukokortikoid dosis
tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.

Pengobatan lupus serebral pada dasarnya bersifat empirik


karena belum banyak ditunjang dengan bukti uji klinis.
1. Pada keadaan yang berat atau terjadi perburukan cepat
dapat diberikan pulse steroid therapy menggunakan
metil prednisolon 1 glhari selama 3 hari berturut-turut.
Altematif lain adalah pemberian deksametason 12-20
mg. Bila tidak memberikan respon baik dapat diberikan
siklofosfamid intra vena dengan dosis 0,75- 1.00 g/m2
setiap 3-6 minggu.
2. Pada kondisi pasien tidak terlalu buruk berikan
prednison 1 mglkgBBlhari dalam dosis terbagi.
3. Bila terdapat bukti vaskulitis yang berat maka
pemberian kortikosteroid dosis tinggi harus diberikan
segera. Demikian pula pemberian obat sitotoksik.
4. Atasi trombosis terutama bila terkait dengan adanya
antibodi antifosfolipid. Hati-hati pemberian heparin
berlebihanjustru dapat memperburuk keadaan.
5. Pasien dengan gejala kejang dapat diatasi dengan
pemberian anti konvulsan seperti fenitoin. Kecuali bila
terjadi status epileptikus atau kejang berulang, berikan
kortikosteroid dosis tinggi.
6. Pengobatan lain yang dapat diberikan adalah
plasmaferesis, imunoglobulin intravena (IVIG), terapi
oksigen hiperbarik, intratecal CSF-feresis, transplantasi
stemcell

NEFRI'I'IS LUPUS
Penatalaksanaan umum :
1. Pada semua penderita yang diduga menderita nefritis
lupus harus dilakukan biopsi ginjal bila tidak ada kontra
indikasi, karena ha1 ini akan menentukan strategi
penatalaksanaan lebih lanjut.
2 Kurangi asupan gararn bila ada hipertensi, asupan lemak
bila ada dislipidemia dan asupan protein bila fungsi
ginjal mulai terganggb. Perhatikan asupan kalsium
untuk mencegah osteoporosis akibat steroid.
3. Berikan loop diuretics untuk mengtasi udem
4. Hindari penggunaan salisilat dan obat anti inflamasi
non-steroid.
5. Terapi agresif terhadap hipertensi
6. Hindari kehamilan, karena penderita nefiitis lupus yang
hamil akan benisiko tinggi untukmengalamigaga1ginjal.
7. Pada penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE
di kulit, dapat dipertimbangkan pemberian antimalaria
8. Pemantauan berkala aktifitaspenyakit dan fimgsi ginjal
yang meliputi tekanan darah, sedimen urin, kreatinin
serum, albumin serum, protein urin 24 jam, komplemen
C3 dan anti DNA.

Berdasarkan hasil biopsi ginjal, maka diberikan terapi


spesifik untuk nefritis lupus sebagai berikut :
1. Klas I. Tidak diperlukan terapi spesifik
2. Klas II. Beberapa penderita dengan lesi mesangial, tidak
memerlukan terapi spesifik. Penderita kelas 1% dengan
proteinuria >1 gramlhari, titer anti ds-DNA yang tinggi
dan C3 yang rendah, hams diberikan prednison 20 mgl

LUPUS ERlmMATOSUS SISTEMLK

hari selan~a6 minggu sampai 3 bulan, kemudian


dosisnya diturunkan secara bertahap, tergantung
&tititas penyakit.
;. K1~z.q111dun IV. Pada keadan ini, risiko untuk terjadinya
gaga1 ginjal dalam 10 tahun lebih dari SO%, sehingga
hams dibenkan terapi yang agresif. Berikan prednison
1 mg/kgBB/hari minimal selama 6 minggu tergantung
respons kliniknya. kemudian dosisnya diturunkan
secara bertahap dan dipertahankan pada dosis 10-15
mglhari selamn 2 tahun. Bila respons terhadap
glukokortikoid tidak dapat dicapai, berikan
siklofosfamid 500-1000mg/m2setiap bulan selama 6
bulan kemudian 3 bulan sekali selama 2 tahun. Bila
setelah dicapai perbaikan kemudian timbul perburukan
lagi, dosis siklofosfamid bulanan dapat diulang kembali
atau diberikan tambahan bolus metilprednisolon tiap
bulan. Bila terjadi perburukan fungsi ginal, dapat
dipertimbangkan pemberian bolus metilprednisolon
atau afaresis. Sebagai pengganti siklofosfamid, dapat
juga diberikan azatioprin, tetapi efektifitasnya lebih
rendah daripada siklofosfamid.
4. Klas V. Diberikan prenison 1 mg/kgBB/hari sela-ma
6-12 minggu, kemudian dosis diturunkan secara
bertahap sampai mencapai 10mglhari dan dipertahankan
samapai 1-2 tahun. Obat sitotoksik jarang diperlukan,
kecuali bila ada komponen proliferatif. Lesi membranosa
murni sangat jarang ditemukan, dan bila ditemukan
dapat dipertimbang kan pemberian siklosporin-A.
5. Penderita dengan kadar kreatinin serum lebih dari 3 mg/
dl untuk jangka panjang, tidak dianjurkan pemberian
obat sitotoksik. Penderita ini memerlukan dialisis atau
transplantasi ginjal. Untuk mengontrol manifestasi
ekstrarenal, dapat diberikan prednison dosis
pemeliharaan 5- 10 mghari. Restriksi protein dan garam
juga harus diperhatikan, demikian juga tekanan
darahnya.

REFERENSI
Silva C, Isenberg DA. Aetiology and pathology of systemic lupus
erythematosus. Hospt Pharm 2001 ;7: 1-7.
Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus.
J Clin Pathol 2003;56:481-490.
Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis o f systemic lupus
erythematosus. J Nether1 Med 2003;61(11):343-346.
Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S,
Stankovic A. The significance of cytokines in diagnosis of
autoimmune diseases. Jugoslov Med Biohem 2006;25:363-372.
Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al. Systemic lupus erythematosus: clinical and immunologic patterns of disease expression
in a cohort of 1,000 patients. The European Working Party on
Systemic Lupus Erythematosus. Medicine (Baltimore)
1993;72: 1 13-24.
Formiga F, Moga 1, Pac M, et al. Mild presentation of systemic
lupus erythematosus in elderly patients assessed by SLEDAI.
Lupus 1999;8:462-5.

French MA, Hughes P. Systemic lupus erythematosus and


Klinefelter's syndrome. Ann Rheum Dis 1983;42:471-3.
Lahita RG, Bradlow HL, Kunkel HG, et al. Alterations of estrogen
metabolism in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
1979;22: 1 195-8.
Athea N,Tron F,
Jungers P. Nahoul K. PClissier C,
Bach JF. Plasma androgens in women with disseminated lupus
erythematosus. Presse Med 1983; 12:685-8.
Lahita RG, Bradlow HL, Ginzler E, et al. Low plasma androgens in
women with systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
1987;30:241-8.
Lahita RG, Kunkel HG, Bradlow HL. Increased oxidation of
testosterone in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
1983;26:1517-21.
Folomeev M, Dougados M, Beaune J, et al. Plasma sex hormones
and aromatase activity in tissues of patients with systemic lupus
erythematosus. Lupus 1992;l: 191-5.
Sequeira JF, Keser G, Greenstein B, et al. Systemic lupus erythematosus: sex hormones in male patients. Lupus 1993;2:315-17.
' M o k CC, Lau CS. Profile of sex hormones in male patients with
systemic lupus erythematosus. Lupus 2000;9:252-7.
McMurry RW, May W (2003) Sex hormones and systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum 2003;48:2 100-1 0.
Sthoeger ZM, Chiorazzi N, Lahita RG. Regulation of the immune
response by sex hormones. I. In vitro effects of estradiol and
testosterone on pokeweed mitogen-induced human B cell
differentiation. J Immunol 1988;14 1 :91-8.
Kanda N, Tamaki K. Estrogen enhances immunoglobulin production by human peripheral blood mononuclear cells. J Allergj
Clin Immunol 1999; 103:282-8.
Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Estrogen enhancement of
anti-double-stranded DNA antibody and immunoglobulin G production in peripheral blood mononuclear cells from patients
with systemic lupus erythematosus. Arthrrtis Rheum
1999;42:328-37.
Evans MJ, MacLaughlin S, Marvin RD, et al. Estrogen decreases in
vitro apoptosis of peripheral blood mononuclear cells from
women with normal menstrual cycles and decreases TNF-alpha
production in SLE but not in normal cultures. Clin Imrnunol
Immunopathol 1997;82:258--62.
Wyle FA, Kent JR. Immunosuppression by sex steroid hormones.
The effect upon PHA- and PPD-stimulated lymphocytes. Clin
Exp Immunol 1977;27:407-15.
McMurray RW, Ndebele K, Hardy KJ, et al. 17-beta-estradiol
suppresses IL-2 and IL-2 receptor. Cvtokine 2001:14:324-33.
Rider V , Foster RT, Evans M, et al. Gender differences in autoimmune diseases: estrogen increases calcineurin expression in
systemic lupus erythematosus. Clin Immunol Immunopathol
1998;89: 171-80.
Rider V, Jones S, Evans M, et al. Estrogen increases CD40 ligand
expression in T cells from women with systemic lupus erythematosus. J Rheumatol 2001 ;28:2644-9.
Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Testosterone inhibits immunoglobulin production by human peripheral blood mononucleal. cells.
Clin Exp Immunol 1996; 106:410-15.
Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Testosterone suppresses anti-DNA
antibody production in peripheral blood mononuclear cells from
patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
1997;40:1703-11.
Suzuki T. Suzuki N, Daynes RA, et al. Dehydroepiandrosterone
enhances 1L-2 production and cytotoxic effector function of
human T cells. Clin Immunol Immunopathol 199 1;61:202-10.

.-

Suzuki T, Suzuki N, Engleman EG, et al. Low serum levels of


dehydroepiandrosterone may cause deficient IL-2 production
by lymphocytes in patients with systemic lupus erythematosus.
Clin Exp Immunol 1995;99:251-5.
Jimena P, Aguirre MA, Lopez-Curbelo A, de Andres M, GarciaCourtay C, Cuadrado MJ. Prolactin levels in patient with
systemic lupus erythematosus: a case controlled study. Lupus
1998;7:383-386.
Yu-Lee LY. Prolactin modulation of immune and inflammatory
responses. [cited2007November7]. Available from http://
rphr. endojournals. org/cgi/reprint/5 7/ 11435
Jacobi AM, Rohde W, Ventz M, Riemekasten G, Burmester GR,
Hiepe F. Enhanced serum prolactin (PRL) in patients with
systemic lupus erythematosus: PRL levels are related to the
disease activity. Lupus 2001; 10:554-61.
Blanco-Favela F, Quintal-Alvarez G, Lean-0s-Miranda A.
Association between prolactin and disease activity in systemic
lupus erythematosus. Influence of statistical power. J Rheumatol
1999;26:55 - 59.
Leaiios-Miranda A, Chavez-Rueda KA, Blanco-Favela F.
Biologic activity and plasma clearance of prolactin-IgG complex in patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis
Rheum 200 1;44:866-75.
Jara-Quezada L, Graef A, Lavalle C. Prolactin and gonadal hormones during pregnancy in systemic lupus erythematosus.
J Rheumatol 1991;18:349-53.
Ferreira C, Paes M, Gouveia A, Ferreira E, Padua F, Fiuza T. Plasma
homovanillic acid and prolactin in systemic lupus erythematosus. Lupus 1998;7:392-7.
Rovensky J, Jurankova E, Rauova L, Blazickova S, Lukac J, Veselkova
Z, et al. Relationship between endocrine, immune, and clinical
variables in patients with systemic Lupus erythematosus.
J Rheumatol 1997;24:2330-4.
Jara LJ, Gomez-Sanchez C, Silveira LH, Martinez-Osuna P, Vasey
FB, Espinoza LR. Hyperprolactinernia in systemic lupus erythematosus: association with disease activity. Am J Med Sci
1992;303:222-6.
Buskila D, Lorber M, Neumann L, Flusser D, Shoenfeld Y. No
correlation between prolactin levels and clinical activity in
patients with systemic lupus erythematosus. J Rheumatol
1996;23:629-32.
Pacilio M, Migliaresi S, Meli R, Ambrosone L, Bigliardo B, Di Carlo
R. Elevated bioactive prolactin levels in systemic lupus erythematosus: association with disease activity. J Rheumatol
2001;28:2216-21.
Miranda JM, Prieto RE, Paniagua R, Garcia Amato D, Barile L,
Jara LJ. Clinical significance of serum and urine prolactin levels
in lupus glomerulonephritis. Lupus 1998;7:378-39 1.
Alvarez-Nemegyei J, Cobarrubias-Cobos A, Escalante-Triay F,
Sosa-MuRoz J, Miranda JM, Jara LJ. Bromocriptine in systemic
lupus erythematosus: a double-blind, randomized, placebocontrolled study. Lupus 1998;7:414-419.
Garcia-Gonzales A, Gonzales-Lopez L, Valera-Gonzales IC, CardonaMunoz E 4 Salazar-Paramo M, Gonzales-Ortiz M, et al. Serum
leptin levels in women with systemic lupus erythematosus.
Rheumatol Int 2002;22: 138-141.
Faggioni R, Feingold KR, Grunfeld C. Leptin regulation of the
immune response and the immunodeficiency of malnutrition.
FASEB J 2001;15:2565-2571.
Karmiris K, Koutroubakis IE, Kouroumalis EA. The emerging role
of adipocytokines as inflammatory mediators in inflammatory
bowel disease. Inflamm Bowel Dis 2005; 11:847-855.

Lavens D, Montoye T, Piessevaux J, Zabeau L, Vandekerckhove J,


Gevaert K, et al. A complex interaction pattern of CIS and
SOCS2 with the leptin receptor. J Cell Sci 2006;119:22142224.
Huising MO, Kruiswijk CP, Flik G. Phylogeny and evolution of
class-I helical cytokines. J Endocrinol 2006; 189: 1-25.
Fantuzzi G, Faggioni R. Leptin in the regulation of immunity,
inflammation, and hematopoiesis. J Leukoc Biol 2000;68:437446.
Lam QL, Lu L. Role of leptin in immunity. Cell Mol Immunol
2007;4(1): 1-13.
Matarese G, La Cava A, Sanna V, Lord GM, Lechler RI, Fontana S,
Zappacosta S. Balancing susceptibility to infection and autoimmunity: a role for leptin? Trend Immunol2002;23(4):182-187.
Lord GM, Matarese 4 Howard JK, Baker RJ, Bloom SR, Lechler RI.
Leptin modulates the T-cell immune response and reverses starvation-induced immunosuppression. Nature 1998;394:897-901.
La Cava A, Matarese G. The weight of leptin in immunity. Nature
Rev 2004;4:37 1-379.
Mak A, Cheung BMY, Mok CC, Leung R, Lau CS. Adrenomedullin a
potential
disease
activity
marker
and
suppressor of nephritis activity in systemic lupus erythematosus. Rheumatol 2006;45: 1266-72.
Tan EM, Cohen AS, Fries JF, et al. The 1982 revised criteria for the
classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
1982;25:1271-7.
Bootsma H, Spronk P, Derksen R, et al. Prevention of relapses in
systemic lupus erythematosus. Lancet 1995;24;345:1595-9.
Kalaaji M, Mortensen E, Jorgensen L,Olsen R, Rekvig OP.
Nephritogenic lupus antibodies recognize glomerular basement
membrane-associated chromatin fragments released from
apoptotic intraglomerular cells. Am J Path01 2006, 168:17791792.
van Bruggen MC, Kramers C, Walgreen B, et al. Nucleosomes and
histones are present in glomerular deposits in human lupus nephritis. Nephrol Dial Transplant 1997;12:57-66.
Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. N Eng J
Med 2008;358:929-39.
Mok CC, Wong RWS. Pregnancy in systemic lupus erythematosus.
Postgrad Med J 2001;77:157-65.
Clancy RM, Kapur RP, Molad Y, Askanase AD, Buyon JP.Immunohistologic evidence supports apoptosis, IgG deposition, and novel
macrophagelfibroblast crosstalk in the pathologic cascade leading to congenital heart block. Arthritis Rheum 2004;50: 173-82.
Kowal C, Degiorgio LA, Lee JY, et al. Human lupus autoantibodies
against NMDA receptors mediate cognitive impairment. Proc
Natl Acad Sci U S A 2006;103:19854-9.
Sontheimer RD, Maddison PJ, Reichlin M, Jordon RE, Stastny P,
Gilliarn IN.Serologic and HLA associations in subacute cutaneous lupus erythematosus, a clinical subset of lupus erythematosus. Ann Intern Med 1982;97:664-7 1.
Grootscholten C, van Bmggen MC, van der Pijl JW, et al. Deposition of nucleosomal antigens (histones and DNA) in the epidermal basement membrane in human lupus nephritis. Arthritis
Rheum 2003;48:1355-62.
Quismorio FP. Other serologic abnormalities in systemic lupus
erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois' lupus
erythematosus. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2007:527-49.
Pujol M, Ribera A, Vilardell M, Ordi J, Feliu E. High prevalence of
platelet autoantibodies in patients with systemic lupus erythematosus. Br J Haematol 1995;89: 137-41.

LUPUS ERITEkW'SUS SISTEMlK

Arbuckle M, McClain MT, Rubertone MV, Scofield RH,Dennis GJ,


James JA, et al. Development of autoantibodies before the clinical onset of systemic lupus erythematosus. N Engl J Med
2003;349: 1526-33.
Hahn BH. Antibodies to DNA. N Engl J Med 1998;338:1359-68.
Klinman DM, Shirai A, Ishigatsubo Y, et al. Quantitation of IgMand IgG-secreting B cells in the peripheral blood of patients
with systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
1991;34:1404-10.
Liossis SN, Kovacs B, Dennis G, et al. B cells from patients with
systemic Lupus erythematosus display abnormal antigen receptor-mediated early signal transduction events. J Clin Invest
1996;98:2549-57.
Linker-Israeli M, Deans RJ, Wallace DJ, et al. Elevated levels of
endogenous IL-6 in systemic lupus erythematosus. A putative
role in pathogenesis. J Immunol 1991;147:117-23.
Monneaux F, Muller S. Epitope spreading in systemic lupus
erythematosus: identification of triggering peptide sequences.
Arthritis Rheum 2002;46: 1430-8.
La Cava A. T-regualtory cells in systemic lupus erythematosus.
Lupus 2008; 17:42 1-25
Valencia X, Yarboro C, Illei G, Lipsky PE. Deficient
CD4+CD25(high) T regulatory cell function in patients with
active systemic lupus erythematosus. J Immunol
2007;178:2579-88.
Dean GS, Tyrrell-Price J, Crawley E, Isenberg DA. Cytokines and
systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis 2000;59:243251.
Houssiau FA, Lefebwe C, Vanden Berghe M, et al. Serum interleukin
10 titers in systemic lupus erythematosus reflect disease
activity. Lupus 1995;4:393-5.
Park YB, Lee SK, Kim DS, et al. Elevated interleukin-10 levels
correlated with disease activity in systemic lupus erythematosus. Clin Exp Rheumatol 1998;16:283-8.
Grondal G, Gunnarsson I, Ronnelid J, et al. Cytokine production,
serum levels and disease activity in systemic lupus erythematosus. Clin Exp Rheumatol 2000; 18:565-70.
Charles PJ, Smeenk RJ, De Jong J, Feldmann M, Maini RN.Assessment of antibodies to double-stranded DNA induced in rheumatoid arthritis patients following treatment with infliximab, a
monoclonal antibody to tumor necrosis factor alpha: findings
in open-label and randomized placebo-controlled trials. Arthritis Rheum 2000;43:2383-90.
Mohan AK, Edwards ET, Cot6 TR, Siege1 JN,Braun MM. Druginduced systemic lupus erythematosus and TNF-alpha blockers.
Lancet 2002;360:646.
Gabay C, Cakir N, Moral F, et al. Circulating levels of tumor
necrosis factor soluble receptors in systemic lupus erythematosus are significantly higher than in other rheumatic diseases and
correlate with disease activity. J Rheumatol 1997;24:303-8.

Herrera-Esparza R, Barbosa-Cisneros 0 , Villalobos-Hurtado R,


Avalos-Diaz E. Renal expression of IL-6 and TNF-8 genes in
lupus nephritis. Lupus 1998;7: 154-8.
Aringer M, Graninger WB,Steiner G, Smolen JS. Safety and efficacy
of tumor necrosis factor alpha blockade in systemic lupus
erythematosus: an open-label study. Arthritis Rheum
2004;50:3 16 1-9.
Crow MK,Kirou KA. Cytokines and Interferons in Lupus. In: Wallace
DJ, Hahn BH, eds. Dubois' lupus erythematosus. 7th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007:161-75.
Illei GG, Tackey E, Lapteva L, Lipsky PE. Biomarkers in systemic
lupus erythematosus. 11. Marker of disease activity. Arthritis
Rheum 2004;50:2048-65.
Tsokos, GC. Exploring complement activation to develop
biomarkers for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
2004;50:3404-3407.
Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus
erythematosus. J Nether1 Med 2003;61:343-346.
Hemnann M, Voll RE, Zoller OM, et al. Impaired phagocytosis of
apoptotic cell material by monocyte-derived macrophages from
patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
1998;41:1241-50.
Linker-Israeli M, Quismorio FP Jr, Horwitz DA. CD8+
lymphocytes from patients with systemic lupus erythematosus
sustain, rather than suppress, spontaneous polyclonal IgG production and synergize with CD4+ cells to support autoantibody
synthesis. Arthritis Rheum 1990;33:1216-25.
Munoz LE, van Bavel C, Franz S, Berden J, Hemnann M, van der
Vlag J. Apoptosis in the pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Lupus 2008;17:371-375.
Dieker, JW, van der Vlag, J, Berden, JH. Deranged removal of
apoptotic cells: its role in the genesis of lupus. Nephrol Dial
Transplant 2004; 19: 282-285.
Savill, J, Dransfield, I, Gregory, C, Haslett, C. A blast from the past:
clearance of apoptotic cells regulates immune responses. Nut
Rev Immunol 2002; 2: 965-975.
Ronnblom, L, Eloranta, ML, Alm, GV. The type I interferon
system in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2006;
54: 408-420.
Dieker, JW, Fransen, JH, van Bavel, CC, et al. Apoptosis-induced
acetylation of histones is pathogenic in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2007; 56: 1921-1933.
Hepburn, AL, Lampert, IA, Boyle, JJ, et al. In vivo evidence for
apoptosis in the bone marrow in systemic lupus erythematosus.
Ann Rheum Dis 2007; 66: 1106-1 109.
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan Duiagnosis dan Pengelolaan
Lupus Eritematosus Sistemik, 2004.

KEHAMILAN PADA
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Yuliasih

PENDAHULUAN
Dengan kemajuan pengetahuan di bidang pengobatan
five years survival rate pasien LES bisa mencapai 90%
sehingga kehamilan pada pasien LES tidak dapat
dihindarkan. Pasien LES diperbolehkan hamil tetapi
dengan syarat penyakitnya harus dalam fase tenang
dan hams mendapat pengawasan ketat.
Kehamilan pada LES perlu dibahas tersendiri, karena
merupakan kehamilan risiko tinggi. Diketahui bahwa
kehamilan normal memberikan beberapa perubahan
pada tubuh, yang mana perubahan-perubahan ini dapat
mencetuskan aktivitas penyakit LES, meningkatkan
risiko kehamilan pada pasien LES terutama dengan
gangguan fungsi jantung atau ginjal, serta adanya
autoantibodi-autoantibodi pada ibu yang mungkin dapat
menembus plasenta atau bahkan mempengaruhi
pertumbuhan plasenta. Dari laporan menyatakan bahwa
kehamilan dengan LESterdapat gangguan pertumbuhan
plasenta oleh berbagai sebab antara lain trombosis,
vaskulopati dan vaskulitis
Jadi jelaslah bahwa kehamilan pada LES bisa
berdampak buruk pada ibu, kehamilan maupun janinnya
sendiri. Risiko pada ibu antara lain memberatnya
penyakit lupus atau timbulnya kobaran, sedangkan pada
janin menimbulkan abortus, partus prematur, kematian
janin intra uterin, gangguan pertumbuhan serta
kongenital lupus.
Pengelolaan kehamilan dengan LES diperlukan
kerjasama antara spesialis penyakit dalam konsultan
reumatologi, spesialis kebidanan dan spesialis anak
perinatologi dengan harapan mendapatkan hasil
kehamilan yang baik.

PENGARUH KEHAMILAN NORMAL TERHADAP


PENYAKIT LES
Pada kehamilan normal terdapat peningkatan volum
cairan, meningkatnya volum cairan dalam tubuh
berdampak buruk pada pasien LES dengan gangguan
fungsijantung, ginjal serta hipertensi. Kenailcan volum
intravaskular sampai 30% tidak mampu ditoleransioleh
pasien LES dengan gangguan fungsi ginjal danjantung.
Perubahan hormonal antara lain peningkatan hormon
estrogen, dan prolaktin serta penurunan progesteron.
Hormon-hormon ini diyakini berperan dalam
patogenesis lupus, sehingga bila ada gangguan
keseimbangan hormon ini dapat mencetuskan kobaran
atau memburuknya LES. Banyak laporan mengenai
gangguan pertumbuhan plasenta pada kehamilan
dengan LES.
Pada kehamilan normal umur trombosit menurun,
sedangkan produksinya meningkat ha1 ini seringkali
menimbulkan trombopenia yang mana kadang
menimbulkan kesalahan dalam menginterprestasi nya.
Pada kehamilan normal terjadi peningkatan aktivasi
sistem koagulasi yang disertai dengan peningkatan
sintesis faktor koagulan. Faktor-faktor koagulan yang
meningkatpada kehamilan antara lain fibrinogen,faktor
V, VIII, X, VWF, trombosit activation inhibitorl,
trombin-antitrombin kompleks. Aktivasi sistem
koagulasi ini dapat mencetuskan atau mengaktifkan
penyakit lupus.

BEBERAPAASPEKYANG PERLU DlTlNJAU PADA


KEHAMILAN DENGAN LES
tingkat kesuburan

PADA LUPUS ElUTEbM'SUS SlSTEMK

perencanaan kehamilan
risiko obstetrik
segi pediatrik
pengelolaan
masa laktasi
jenis kontrasepsi

Kehamilan
Sistem hematologi
Anemia karena hemodilusi
Menurunnya masa hidup
trombosit
Peningkatan fibrinogen
Sistem endokrin
Meningkatnya kortisol
Meningkatnya estrogen
Ginjal
Menurunnya kliren

Diduga eksaserbasi LES


Diduga LES aktif
Diduga ada eksaserbasi
Merangsang remisi
Memperburuk LES

Volum overload atau


preeklamsia,
eksaserbasi
lupus nefritis
Dikutip : Locksin MD, Sammaritano LR , and Schwartzman S.
Lupus Pregancy. In :Systemic lupus erythematosus editor by Lahita
RG. 4rd edition . Elsevier Academic Press London,2004 ; p659

TINGKAT KESUBURAN PASIEN LES


Tingkat kesuburan pasien LES sama dengan perempuan
tanpa LES, kecuali pada pasien-pasien yang pernah
mendapat terapi kortikosteroid dosis tinggi, siklofosfamid
dosis tinggi atau menderita gagal ginjal terminal. Dilaporkan
bahwa pemakaian siklofosfamid pada pasien dengan
lupus neliitis sering menimbulkan ovarianfailure. Insiden
Ovarian failure karena siklofosfamid berkisar antara
11-59%.Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko
ovarian failure karena siklofosfamid yaitu urnur relatif
muda saat pemberian, pemberian secara oral dan dosis
kurnulatif yang besar. Dilaporkan bahwa ovarian failure
lebih sering terjadi pada pasien yang mendapat
siklofosfamid per oral dibandingkan dengan intravena.

PERENCANAANKEHAMllAN
Sejumlahpenelitian menujukkan bahwa LES aktif bukanlah
waktu yang tepat untuk memulai kehamilan, karena
dilaporkan bahwa angka kekambuhan LES dengan
kehamilan sangat tinggi. Mengingat adanya beberapa
risiko kehamilan maka dianjurkan pasien LES yang
merencanakan kehamilan sebaiknya dipersiapkan sebaik
mungkin. Kehamilan baru dimulai bila penyakit dalam
kondisi tenang minimal 6 bulan. Beberapa data retrospektif
melaporkan data angka kekambuhannya berkisar 87%,
sedangkan pada kehamilan dengan lupus neliitis angka
kekambuhan berkisar 7,4%-63%. Bila ada lupus nefiitis saat

kehamilan, maka lupus nefritisnya akan mudah jatuh ke


arah gagal ginjal akut. Kekambuhan LES dengan kehamilan
dapat tejadi setiap saat baik saat awal kehamilan maupun
pasca persalinan. Gejala klinik biasanya, hanya berupa
artritis atau bercak di kulit, demam, lelah, serositis, atau
trombositopenia, sedangkan yang mengenai organ mayor
seperti ginjal, CNS berkisar antara 5-46%.
Penghentian obat-obatan perlu dipertimbangkansejak
perencanaan kehamilan. Klorokuin atau hidroksiklorokuin
sebaiknya dihentikan sebelum kehamilan terjadi, idealnya
dihentikan 6 bulan sebelum kehamilan, dengan asumsi 3
bulan awal waktu yang dibutuhkan untuk mengekskresi
obat secara keseluruhan dan 3 bulan berikutnya untuk
mengamati apakah terjadi kekambuhan setelah obat
tersebut dihentikan. Siklofosfamid, metotreksat dan
warfarin bersifat teratogenik maka bila ada kehamilan
segera mungkin dihentikan, bila pasien mendapat warfarin
sebaiknya dilanjutkan dengan suntikan heparin.

Gambaran klinik kobaran pada LES dengan kehamilan


biasanya ringan
Kekambuhan LES dapat terjadi setiap saat, mulai awal
kehamilan sampai pada pasca persalinan
LES dengan kehamilan perlu diperhatikan karena termasuk
dalam kelompok risiko tinggi dan diperlukan pemantauan
secara ketat aktivitas

RlSlKOOBSTETRlKPADA KEHAMllAN DENGAN LES

Preeklamsia
Pasien dengan LES mempunyai risiko tinggi terjadi
preeklamsia selama kehamilan. Insidennya lebih tinggi
dibanding bukan pasien LES, yaitu berkisar 5-38%.
Risiko eklamsia ini makin meningkat pada primigravida,
adanya riwayat hipertensi, preeklamsia, abortus
sebelumnya,obesitas, dan antibodi fosfolipid. Peningkatan
tromboksan A, plasental diduga berperan pada timbulnya
preeklamsia.
Membedakan preeklamsia dengan lupus nefiitis pada
kehamilan dengan LES cukup sulit, sebab keduanya dapat
menimbulkan hipertensi,proteinuria, edema dan faal ginjal
yang cepat memburuk. Ada beberapa patokan yang
membantu untuk membedakan kedua kondisi hi. Pada
proteinuria yang terkait dengan lupus nefritis biasanya
ditemukan tanda aktivitas penyakit LES pada organ lain,
misalnya ulkus di mulut, artritis, vaskulitis, ruam,
limfadenopati. Sedimen urin pada lupus neliitis lebih sering
menunjukkan gambaran sedimen yang aktif yaitu
didapatkan peningkatan leukosit, eritrosit dan torak
grander. Sifat proteinuria pada lupus nefritis biasanya
lebih cepat memburuk dibandingkan preeklamsia.
Pemeriksaan komplemen dan anti-dsDNA juga sangat
membantu. Pada preeklamsia kadar C3 dan C4 biasznya

normal, sedangkanpada lupus nefritis C3 dan C4 menurun


dan disertai peningkatan kadar anti ds-DNA. Pemberian
prednison pada preeklamsia akan memperburuk kondisi,
sedangkanpada lupus nefritis menunjukkan respons yang
baik. Kedua kondisi ini hams dipastikan dengan segera
karena cara pengelolaannya jauh berbeda.
Kehamilan dengan LES yang mempunyai riwayat
preeklamsia berat pada kehamilan sebelumnya hams
dilakukan terminasi kehamilannya pada atau sebelum umur
kehamilan mencapai 32 minggu.

Lupus nefritis terdapat


Artritis, vaskulitis, ruam, limfadenopati, ulkus mulut, dan
proteinuria cepat memburuk
Perbaikan klinis pada pemberian kortikosteroid
Penurunan C3 dan C4, peningkatan C l q B
Anti ds-DNA positif dan meningkat
Proteinuria persisten postpartum

Lupus Nefritis dengan Kehamilan


Insiden lupus nefritis pada kehamilan dengan LES sangat
tinggi bisa mencapai 60% dibanding pada LES tanpa
kehamilan. Gambaran klinis lupus nefritisnya juga lebih
berat dan sering mencetuskan eklamsia dan gaga1 ginjal
akut. Pasien lupus nefiitis jenis histopatologis proliferatif
difus, sindrom nefrotik, hipertensi berat, dan serum
kreatinin >2mgldL dianjurkan untuk tidak hamil. Menurut
Boumpas and Balow pasien lupus nefritis diperbolehkan
hamil dengan syarat yaitu penyakitnya terkontrol
berlangsung paling sedikit 6 bulan, proteinuria < lgrhari
dengan fungsi renal yang stabil dan kadar C3 yang
normal. Secara umum lebih lama pasien dalam keadaan
remisi akan lebih baik kehamilannya. Bila lupus nefritis
dengan kehamilan yang menunjukkan kliren kreatinin
mencapai 50 mL/dt dianjurkan untuk segera dilakukan
hemodialisis.
Trombositopenia
Merupakan kelainan hematologi yang paling sering
dijumpai pada pasien LES dengan kehamilan, terutama
pasien dengan antifosfolipid.
Penyebab trombositopenia pada kehamilan dengan LES:
Kehamilannya sendiri
Sindrom antibodi antifosfolipid
LESaktif
Preeklamsia
Keadaan trombositopenia yang perlu diperhatikan pada
kehamilan:
Bila trombositopeniaterjadi pada awal kehamilan(<l5
minggu) dengan fospolipid antibodi positif, "tanpa
disertai dengan tanda aktivitas penyakit LES maka

sebaiknya diberi pengobatan aspirin.


Trombositopeniayang terjadi pada umur kehamilan 25
minggu, dan tidak terkait dengan aktivitaspenyakit LES.
Ini merupakan petanda akan terjadinya preeklamsia
atau sindrom HELLP. Pengobatan yang dianjurkan
adalah melakukan terminasi dengan segera bila
memunglunkan.
Trombositopenia tanpa disertai tanda aktivitas LES
maka trombositopenia ini merupakan bentuk dari ITP,
bila trombositopenia disertai tanda aktivitas LES,
trombositopenia ini mencerminkan aktivitas penyakit
LES. Biasanya trombositopenia ini respons terhadap
steroid.
Trombositopenia ringan yang tidak terkait dengan LES,
bisa terjadi pada akhir kehamilan.
Anemia
Anemia karena penyakit kronis merupakan komplikasi yang
tersering dijumpai pada LES. Anemia autoimun hemolitlk
sangat jarang dan biasanya disebabkan oleh sindrom
antifosfolipid. Anemia pada kehamilan sesegera mungkin
diatasi, mungkin diperlukan steroid yang agak tinggi atau
tranfisi untuk mencegah hipoksia pada janin. Perlu diingat
keharnilan sendiri menimbulkan anemia.

lnsiden preeklamsia meningkat


Hipertensi, lupus nefritis dan keberadaan ACA meningkatkan risiko pre-eklamsia
Insiden abortus, prematuritas, janin mati dan IUGR
meningkat
Hipertensi, hipokomplemen, lupus nefritis aktif pada
konseosi dan ACA meninakatkan risiko kematian ianin

SEGl PEDlATRlK
Kehamilan dengan LES mempunyai risiko tinggi terdapat
peningkatan insiden abortus, prematuritas, janin mati dan
IUGR, insidennya berkisar antara 6-35%. Faktor risikonya
antara lain hipertensi, lupus nefritis dan keberadaan
antibodi fosfolipid. Risiko abortus pada lupus dengan
kehamilan bervariasi antara 6-35%. Antifosfolipid
merupakan faktor prediktor terjadinya "eta1 wastages".
Keberadaan antibodi fospolipid yaitu IgG ACA dan LA
(lupus aritikoagulan) serta hipokomplemen (C3 yang
rendah) merupakan prediktor kuat terjadi kematian
janin.
Bagaimana mekanisme antibodi fosfolipid ini
dalam menimbulkan kematian janin atau abortus belurn
diketahui dengan pasti. Diduga antibodi fosfolipid
bereaksi terhadap b2GPI (beta 2 glikoprotein I), yang terikat
dengan trofoblas menekan produksi HCH (Human
chorionic gonadotropin) dan menimbulkan gangguan

PADA LUPUS -TOSUS

2583

SISTEMIK

perlekatan plasenta.Faktor lain yang dapat menimbulkan


kematian janin atau abortus yaitu adanya aktivasi
komplemen yang menimbulkan trombosis pada plasenta
Pemberian heparin sub-kutan 20.000 U h bersamaan
dengan aspirin dosis rendah 80mgIhr pada kehamilan
dengan LES sangat efektif untuk mencegah abortus
maupun kematian janin akibat adanya antibodi fosfolipid.
Demikian juga dengan pemberian prednison 40 mglhr
bersama aspirin dosis rendah sama efektifnya dengan
pemberian heparin bersama aspirin dalam mencegah
abortus dan kematian janin.
Pasien dengan kecenderungan preeklamsia dan
pecah ketuban dini lebih baik menggunakan heparin dari
pada prednison. Profilaksis aspirin baru bermanfaat
pada keharnilan dengan kadar antibodi fosfolipid yang
tinggi terutama untuk primipara tanpa riwayat
kehilangan janin dengan atau pada semua ibu hamil
dengan LES.
Segi obstetrik dan pediatrik LES dengan kehamilan
Meningkatnya risiko terjadinya preeklamsia
Hipertensi sistolik dan lupus nefiitis
Antifosfolipid merupakan faktor risiko preeklamsia dan
fetal loss
Fetal wastage, prematur dan IUGR sering terjadi

SINDROM NEONATALLUPUS ERITEMATOSUS


Sindrom NLE (Neonatal Lupus Eritematosus) terdiri dari
CHB (congenital heart block; paling sering), ruam
kutaneus transien, sitopenia, dan manifestasi sistemik
lainnya dari LES. Tidak hanya pada LES, NLE juga dapat
timbul pada ibu hamil dengan sindrom Sjogren dan
penyakit reumatik lain yang membawa antibodi Anti SSAI
Ro dan Anti SSBLa
The Research Registryfor Neonatal Lupus di AS membuat
knteria diagnosis NLE:
Ibu dengan hasil tes terhadap 52 kD Anti SSA/Ro, 60 kD
Anti SSAIRo, atau 48 kD Anti SSBILa, atau anti
ribonukleoprotein.
CHB atau ruam kutaneus transien

Insiden CHB adalah sekitar 0,005% pada bayi lahir


hidup. Pada pasien LES dengan anti SSAIRo positif risiko
CHB adalah sekitar 1,5% dan 20,5%. Patogenesis CHB
belum jelas, diduga anti SSAIRodan anti SSBLa menembus
plasenta pada trimester 2 clan menimbulkanjejas imunologik
pada sistem hantaran jantung. Uji saring terhadap anti
Ro dan anti La sangat penting pada kehamilan dengan

LES.
Ekokardiografijanin hams dilakukan pada kehamilan
16-24 minggu termasuk untuk mendeteksi kemungkinan
miokarditis dan regurgitasi. Jika pada ekokardiogram
serial kondisi klinis janin memburuk, misalnya
timbul dekompensasi jantung maka dapat diberikan

deksametason melalui ibunya, walaupun banyak yang


masih meragukan.

P-OwKEHAMllANDANPASCAPrinsip Umum
Ibu hamil dengan LES, jelas merupakan kehamilan dengan
risiko sangat tinggi. Sejak awal kehamilan harus dibuat
sistem yang dapat mengawasi perubahan aktivitas penyakit,
termasuk pelibatan suami dan keluarganya. Sejak diketahui
ada kehamilan maka secepat mungkin menentukan organ
yang terkena,aktivitas penyakit, pada trimester pertama harus
dievaluasi tiap bulan dan evaluasi ditingkatkan menginjak
trimester I1 dan 111, pengukuran tekanan darah,
perkembangan janin, jantung janin, NST= non-stress test.
Evaluasi kondisi muskuloskletal khususnya pelvis dan hip
untuk mengantisipasi kemungkman adanya komplikasijuga
sangat penting.
Pemeriksaan anti Ro dan anti La diperlukan untuk
memprediksi kemungkinan adanya neonatal lupus, selain
itu pemeriksaan antibodi antifosfolipiduntuk memprediksi
kemungkinan abortus, prematur atau IUGR. Pada paruh
pertama kehamilan evaluasi dilakukan tiap bulan, dilakukan
pemeriksaan fisik, mulai dari tanda-tanda vital, kobaran
seperti; panas, ruam, peningkatan tensi. Pemantauan
laboratorium juga dilakukan (Tabel 5). Jika terdapat tandatanda kobaran baik selarna hamil maupun postpartum hams
dilakukan terapi yang agresif. Bila ada lupus nefiitis dan
atau tanpa HT aspirin dosis rendah mulai pada minggu
ke- 10 untuk mencegah preeklamsia, IUGR danfetal loss
Pemantauan terhadap pertumbuhan janin dilakukan
melalui USG, ekokardiografi, dan non-stress test. Sectio
Caesaria harus dilakukan pada ibu dengan hipertensi

Anjuran

Pemeriksaan

Kunjungan pertama

Darah lengkap
Urin 24 jam pada nefritis lupus
Bun, serum kreatinin, kliren
kreatinin
Glukosa darah
0 Tes Coombs, C3 dan C4
VDRL, ACA dan APTT
8 Anti ds-DNA, anti SSA, anti
SSB, anti UlRNP
Darah lengkaplurinalisis
Kliren kreatinin.
Protein uria 24 jam komplemen
Anti ds-DNA
Antenatal fetal heart rate testing
(non-stress teso

Kunjungan perbulan
setiap trimester
Tiap minggu pada akhir
trimester
(ibu dengan APL+)
Pada minggu 18 dan 2
(ibu dengan antiRolLa+)

Fetal echocardiogram

berat, trombositopenia berat, ganguan fungsi ginjal berat,


penyelamatan nyawa ibu dengan kelainan jantung dan
paru yang berat, avaskular nekrosis pada caput femoris,
fetal distress, non-stress test yang abnormal, dan indikasi
obsterik biasa seperti disproporsi kepala panggul dan letak
lintang. Aktif lupus bukan indikator untk terminasi
kehamilan, beberapa indikator ibu untuk mengakhiri
kehamilan: LESflare yang berat yg mengancam jiwa ibu,
gaga1 terapi, psikologis, sosialfetal distress, amniotikfluid
indeks < 5 cm, eklamsia yang progresif, sindrom HELLP,
payah jantung berat dan trombositopenia berat
Penanganan Janin Selama Kehamilan
Pertumbuhan dan perkembanganjanin hams diperhatikan,
beberapa yang mempengaruhi terkait dengan aktivitas
penyakit ibu, antibodi fosfolipid, anti Rolanti La,
meningkatnya a fetoprotein pada pasien LES
mengindikasikan pratus prematur, tingginya dosis
prednison yang diterima ibu serta adanya antibodi
fosfolipid IgG mediasi trombositopenia mungkin dapat
melalui plasenta. Demikian juga IgG Coombs hemolitik
antibodi dapat menembus plasenta sehingga menimbulkan
anemia hemolitik pada janin, anti ds-DNA juga dapat
menembus plasenta tapi tidak berefek pada janin,
sedangkan antibodi fosfolipid sering menyebabkan
plasenta insufisiensi, IUGR& kematian janin. Sedangkan
antibodiAnti Rolanti La menyebabkan neonatal lupus serta
heart block sehingga dianjurkan untuk elektrokardiografi
pada kehamilan 15-25 minggu. Kecepatan pertumbuhan
janin dan volum plasenta sebaiknya dievalusi dengan USG
serninggu sekali antepartumfetal heart rate testing, bila
ada bradikardi merupakan prediktor komplikasijanin.

OBAT-OBATAN PADA LES DENGAN KEHAMllAN


Aspirin dan OAINS
Aspirin dalam dosis besar (>3gr) dapat memperpanjang
waktu kehamilan maupun kelahiran, menimbulkan
oligohidroamnion, menyebabkan penutupan prematur
duktus arteriosus, hipertensi pulmonal, dan perdarahan
postpartum, walaupun demikian aspirin tidak menimbulkan
anomali kongenital. OAINS (obat anti inflarnasi nonsteroid)
dapat bersifat teratogenik, mempengaruhi kontraksi uterus,
mengganggu fungsi trombosit, dan menimbulkan
penutupan prematur duktus arteriosus. Sebaiknya OAINS
dan aspirin dosis tinggi dihindari pada ibu hamil dengan
LES. Pada suatu RCT (Randomised Controlled Trial) dari
aspirin dosis rendah (0,45 mg/kg/BB) yang dikombinasi
dengan heparin menurunkan angka abortus dan
prematuritas serta meningkatkan angka lahir hidup (71%)
dibanding aspirin dosis rendah saja (42%) odds rasio 3,37
(95% CI 1,40-8,lO). Penggunaan aspirin dosis rendah juga
mencegah pre eklamsia. Aspirin dosis rendah dapat

diberikan pada ibu hamil dengan LES yang tidak menderita


hipertensi, mulai minggu ke-10 sampai ke-36 untuk
meminimalis timbulnya pre eklamsia.Aspirin dosis rendah
bersama dipiridamol dapat menurunkan insiden IUGR
secara signifikan.Aspirin pada postpartum tetap diberikan
1 bulan setelah postpartum untuk mencegah trombosis
sedang yang mengunakan heparin diganti dengan
antikoagulan oral selarna 3 bulan.
Kortikosteroid
Prednison dan metilprenisolon sangat kecil dapat
menembus plasenta meskipun diberikan dosis besar pada
ibu, sehingga aman diberikan pada ibu hamil, golongan
deksametason dan betametason sebaiknya tidak
digunakan, karena dapat menembus plasenta. Penggunaan
kortikosteroid dapat menimbulkan palatoskisis pada
hewan, tetapi jarang pada manusia. Prednison,
prednisolon, metilprednisolon hanya sedikit yang melewati
plasenta ke janin, sehingga merupakan kortikosteroid
pilihan pada kehamilan. Fluorinat kortikosteroid seperti
deksametason dan betametason jangan digunakan pada
kehamilan karena dapat melewati plasenta jauh lebih
banyak dan hanya digunakan untuk mengobati kelainan
pada fetus. ~ortikosteroihdosis tinggi dapat menimbulkan
ketuban pecah dini, IUGR (intrauterine growth restriction). Pada pasien cangkok ginjal hamil yang diberi terapi
berbagai imunosupresan kortikosteroid yang memberi
insiden malformasi leblh tinggi (33%) dibanding azatioprin
dan mofetil mikofenolat.
Ibu hamil yang menggunakankortikosteroid lebih dari
2 tahun harus dipikirkan adanya insufisiensi adrenal
terutama menjelang partus. Untuk itu perlu pemberian
kortikosteroid selama partus, misalnya dengan pemberian
hidrokortison i.v 100 mg tiap 8jam segera sebelum partus.
Pada hari ke-2 diturunkan 50 mg tiap 8 jam, kemudian
pada hari ke-3 diberikan sesuai dosis kortikosteroid
sebelumnya.
Klorokuin
Hidrosiklorokuin yang biasanya digunakan untuk artritis
atau untuk pencegahan kobaran, bisa diteruskan pada
kehamilan. Hidroksiklorokuin memang aman, tetapi
klorokuin dilaporkan dapat menimbulkan anomali
kongenital. Dilaporkan dari 36 kehamilan yang
memakai hidrosiklorokuin tidak terdapat anomali
kongenital.
Azatioprin
Azatioprin banyak digunakan untuk transplan ginjal dan
dilaporkan aman untuk kehamilan dengan LES, Azatioprin
bersifat teratogenik pada binatang, tetapi pada manusia
dilaporkan tidak menimbulkan anomali kongenital yang
berat, kecuali sangatjarang dapat menimbulkanpolidaktili
dan pes ekuinovarus pada janin. Dilaporkan, pemberian

KEHANllLAN PADA LUPUS ERITEMATOSUS SiSTEMIK

azatioprin bersama prednison dapat menimbulkan IUGR,


BBL (berat badan lahir) rendah dan prematuritas pada
pasien cangkok ginjal. Sebaliknya banyak dilaporkan ibu
hamil dengan LES yang sukses dengan pemberian
azatioprin bersama kortikosteroid.
Siklofosfamid
Sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan karena bersifat
teratogenik, walaupun ada laporan kehamilan yang sukses
dengan siklofosfamid. Siklofosfamid juga menimbulkan
risiko kanker yang meningkat pada janin yang pernah
terpapar.
Siklosporin A
Siklosporin A tidak teratogenik pada binatang, juga tidak
ada peningkatan risiko anomali kongenital pada manusia.
Pada pasien cangkok dengan 154kehamilan hanya didapat
BBL rendah tanpa adanya kelainan kongenital.
Studi prospektif pada 22 anak dari ibu yang diterapi
dengan siklosporinmenunjukkan tidak ada efek nefiotoksd
Mofetil Mikofenolat
Mofetil mikofenolat mempakan imunosupresanyang relatif
baru. Pada terapi lupus nefritis, mofetil mikofenolat
menunjukkan hasil yang setara dengan siklofosfamid.
Belum ada laporan yang luas dari penggunaan mofetil
mikofenolat pada ibu hamil dengan LES. Terdapat satu
laporan kasus malformasi kongenital dari penggunaan
mofetil mikofenolat pada kehamilan.

Aspirin dosis tinggi dan OAINS sebaiknya dihindari


terutarna pada beberapa rninggu trimester ke-3
Kortikosteroid dan hidroksiklorokuin dapat digunakan
dengan hati-hati
Azatioprin dan siklosporin rnasih dapat digunakan sebagai
irnunosupresan pada ibu harnil dengan LES
Siklofosfarnid harus dihindari karena teratogenik

MASA LAKTASI
Laktasi dan Aktivitas LES
Prolaktin mempunyai peran multipel pada sistem imun dan
bersifat imunostimulan. Pada kehamilan kadar
prolaktin meningkat pada trimester 2 atau 3 dan menetap
selama laktasi. Peningkatan ini disebabkan karena
adanya makroprolaktinemia yang persisten akibat adanya
antibodi antiprolaktin. Diduga peningkatan prolaktin
meningkatkan aktivitas LES dan berperan pada kobaran
postpartum. Sebaiknya pada ibu menyusui dilakukan
pemantauan yang lebih ketat untuk mengantisipasi
kobaran.

Obat-obatan pada Laktasi


Aspirin sangat mudah melintas ke dalam AS1 dm dapat
menimbulkan intoksikasi salisilat pada bayi. Pada
pemberian aspirin 450-650 mg pada ibu hamil, 0,1%-2 1%
akan mencapai janin dalam waktu 24 jam. AAP (American
Academy of Pediatrics) merekomendasikanbahwa aspirin
hams diberikan dengan peringatan dan dosis yang besar
hams dihindari pada ibu yang menyusui. Kebanyakan
OAINS tidak diekskresi ke ASI. AAP merekomendasi
indometasind m naproksen atau OAJNS kerja pendek yang
lebih aman untuk ibu hamil, sedangkanOAJNS yang lewat
siklus enterohepatik (misalnya; sulindac) sebaiknya
dihindari.
AAP menganggap prednison dan prednisolon aman
untuk ibu menyusui. Tidak ada data pada penggunaan
deksametason dan betametason pada ibu menyusui.
Hidroksiklorokuin hanya sedikit diekskresi pada ASI, tetapi
AAP memperbolehkan penggunaannya pada ibu menyusui
dengan peringatan, karena hidroksiklorokuin eliminasinya
cukup lama. Siklofosfamid, azatioprin dan metotreksat
tidak direkomendasikan untuk ibu menyusui.
Dikhawatirkan bisa timbul imunosupresi, gangguan
pertumbuhan dan karsinogenesis pada bayi.

= Laktasi dapat meningkatkan insiden kobaran


= Aspirin dosis tinggi harus dihindari
OAINS adalah kontraindikasi pada ibu LES yang menyusui
= Prednison, prednisolon, dan hidroksi klorokuin bisa
diberikan
= Pada ibu LES yang rnendapat irnunosupresan seperti
siklofosfarnid, azatioprin, siklosporin dan rnetotreksat tidak
boleh rnenyusui.

Estrogen memang berperan pada patogenesis LES.


Beberapa laporan kasus menunjukkan kontrasepsi oral
yang mengandung estrogen meningkatkan insiden
kobaran. Jungers et a1 melaporkan insiden kobaran
sebesar 43% pada pasien LES dengan nefritis yang
menerima kontrasepsi oral, sebaliknya Julkunen et a1
tidak menemukan kobaian pada 3 1 pasien LES yang
memakai kontrasepsi oral selama 12 minggu, sedangkan
Buyon et a1 melaporkan insiden kobaran sebesar 13%
pada pasien LES yang memakai kontrasepsi oral.
Studi Safety of Estrogens Lupus Erythematosus National
Assessment (SELENA) di AS yang sedang berlangsung
akan memberi informasi yang lebih baik tentang pengaruh
kontrasepsi estrogen pada LES.
Terdapat peningkatan insidens tromboemboli pada
pasien LES dengan ACA yang menggunakan kontrasepsi
oral lebih banyak. Kontrasepsi oral tidak boleh diberikan
kepada pasien dengan ACA. Pada pasien LES muda,

normotesif, tanpa ACA dan riwayat keluarga dengan


tromboemboli, dan penyakit yang inaktif stabil tidak
dikontradiksikan untuk kontrasepsi oral. Pemantauan ketat
tanda tromboemboli hams dilakukan selama penggunaan
kontrasepsi oral. Progestogen dan depot progestogen
(Depo-Provera) dapat digunakan pada LES sebagai
pengganti preparat estrogen, tetapi dapat memberi efek
samping seperti iregularitas menstruasi, amenore,
spooting, edema dan peningkatan berat badan. IUD pada
pasien LES sering menimbulkan infeksi terutama pada
pemakai imunosupresan. Paling aman adalah kontrasepsi
mekanis seperti kondom dan diafragma.

= Estrogen dosis rendah dapat diberikan kepada pasien


dengan penyakit inaktif, tanpa risiko tromboemboli dan ACA
negatif.
Progestogen dapat digunakan jika estrogen merupakan
kontraindikasi
IUD dapat meningkatkan risiko infeksi intrauterine.
* Kondom dan diafragma paling aman

Boumpas DT, Howard A. Austin HA, Ellen M. Vaughan EM, Cheryl


H. Yarboro, CH John H. Klippel JH, James E. Ballow JE.
Risk for sustained amenorrhea in patients with systemic lupus
erythematosus receiving intermittent.
Cortez-Hernandez J, Ordi-Ros J, Prededes F, Casselas M, Castillo F,
Villardel-Tarres. Clinical predictors of fetal and maternal
outcome in systemic lupus erythematosus: A prospective study
on 103 pregnancies. Rheumatology 2002;41:643-50.
Costedoat-Chalumeau N, Amoura Z, Hong DLT, Wechler B, VauthierBrouzes D, Ghilani P, Papo T fain 0 , Musset L, Piette JC.
Question about dexamethasone use for the prevention of
anti-SSA related congenital heart block. Ann Rheum D ~ S
2003:62:1010-12.
Danesy R, Del Tacca M. Teratogenesis and immunosuppressive
treatment (abstract). Transplant Proc. 2004 Apr;36(3):705-7.
Georgiou PE, Politi EN, Katsimbri P, Sakka V, Drosos AA.,Outcome
of lupus pregnancy: A controlled study. Rheumatology
2000;39: 1014-19
Huong DLT, Wechsler B, Vautjier -Brouzes D, Seebacher J, Lefebvre,
Bletry 0 , Darbois J, Godeau P, Piette JC. Outcome of planned
pregnancies in systemic lupus erythematosus: A prospective
study on 62 pregnancies. Brit J Rneumatol. 1997;36:772-777.
Hardy CJ, Palmer BP, Morton SJ, Muir KR, Powell RJ. Pregnancy
outcome and family size in systemic lupus erythematosus. A
case control study. Rheumatology 1999;38:559-663.
Ioannou Y, Isenberg DA. Current concepts for the management of
systemic lupus erythematosus in adults: a therapeutic challenge
Postgraduate Medical Journal 2002;78:599-60.

SINDROM VASKULITIS
Laniyati Hamijoyo

BENDAHULUAN
Vaskulitis adalah suatu proses inflamasi pada pembuluh
darah dan menyebabkan kerusakan struktur dinding
pembuluh darah. Kehilangan integritas dinding
pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan, dan
adanya gangguan pada lumen pembuluh darah
menimbulkan iskemik maupun nekrosis. Secara umum,
vaskulitis dapat mengenai berbagai ukuran, tipe maupun
lokasi pembuluh darah, dan berhubungan dengan suatu
kelainan yang spesifik. Vaskulitis dapat terjadi sebagai
suatu proses primer ataupun sekunder dari penyakit lain
(penyakit reumatik, keganasan atau infeksi dll.).
Pembahasan di sini lebih ditujukan kepada vaskulitis
primer.

Epidemiologi vaskulitis masih sulit dilaporkan karena


beberapa hal, antara lain: 1) kejadian vaskulitisyang masih
relatif jarang; 2) seringkali ditemukan kesulitan dalam
menegakkan diagnosis vaskulitis yang tepat (terutama
untuk membedakan satu bentuk vaskulitis dari yang lain);
3) kenyataan penyebab sebagian besar vaskulitis masih
belum diketahui; dan 4) riwayat ketidak pastian dalam
klasifikasi vaskulitis ini. Meskipun demikian epidemiologi
beberapa jenis vaskulitis telah dilaporkan.
Gambaran epidemiologi vaskulitis sangat bervariasi
sesuai dengan sebaran geografi. Variasi ini dapat
merefleksikanketerlibatan faktor genetik, paparan terhadap
lingkungan yang berbeda, dan prevalensi faktor risiko yang
lain. Sebagai contoh penyakit Behcet, jarang sekali terjadi
di utara Amerika namun angka kejadian penyakit ini
beberapa ratus kali lebih banyak di negara-negara jalur

sutera. Demikianjuga arteritis Takayasu dilaporkan hanya


ada 3 kasus baru per tahun di AS namun dilaporkan
merupakan penyebab paling sering stenosis arteri renal di
India, dimana insidensnyamencapai 200-300 kasus per satu
juta penduduk.
Usia juga merupakan suatu pertimbangan penting
dalam menegakkan diagnosis vaskulitis. Delapan puluh
persen penderita penyakit Kawasaki berusia di bawah 5
tahun. Sebaliknya arteritis temporalis tidak pernah terjadi
pada penderita berusia kurang dari 50 tahun. Usia juga
berpengaruh pada parahnya penyakit dan prognosis
penderita. Pada purpura Henoch Schonlein, mayoritas
kasus terjadi pada anak-anak clan umumnya sembuh sendiri
dalam beberapa minggu. Namun pada orang dewasa
sering menjadi kronis dan menyebabkan gangguan ginjal
yang buruk.
Distribusi jenis kelamin juga berpengaruh terhadap
bentuk vaskulitis. Penyakit Buerger predominan pada pria.
Predileksi tersebut mungkin disebabkan karena prevalensi
merokok lebih banyak di antara kaum pria. Sebaliknyaarteritis Takayasu bertendensi lebih sering terjadi pada
wanita (9: 1) dibandingkan pria, kenyataan ini masih belum
dapat dijelaskan hingga saat ini.
Beberapa bentuk vaskulitis lebih banyak pada suatu
etnik tertentu misalnya granulomatosa Wegener dan
arteritis temporalis lebih banyak pada orang kulit putih
sedangkan Takayasu dan Kawasaki lebih banyak pada
keturunan Asia.
Meskipun faktor risiko genetik tidak diragukan
merupakan faktor yang penting, namun kejadian vaskulitis
dalam keluarga sangatjarang. Hal ini menunjukkan bahwa
penyakit ini poligenik dan kompleks. Contoh salah
satu vaskulitis yang berhubungan suatu gen tertentu
dengan vaskulitis adalah penyakit Behcet dengan gen
HLA-B5 1.

Mekanismepasti yang mendasari kelainan ini masih belum


jelas. Ada beberapa patogenesis berbeda yang diajukan
untuk membantu menjelaskan mengapa lesi pada jenis
vaskulitis tertentu hanya ditemukan pada pembuluh darah
tertentu.
1. Distribusi antigen yang bertanggung jawab terhadap
vaskulitis menentukan pola pembuluh darah yang
terlibat.
2. Akumulasi infiltrat radang ditentukan oleh sel endotel,
termasuk ekspresi dari molekul adhesi, sekresi peptida
dan hormon, dan interaksi yang spesifk dengan sel-sel
inflamasi.
Beberapa sel inflamasi lebih lanjut menarik sela-sel
radang, sernentara sel yang lain tidak. Struktur non-endotel
dinding pembuluh darah bekerja mengontrol proses
keradangan. Selain sel endotel yang berfungsi sebagai
ko-stimulator, komponen sel-sel lain berfungsi sebagai
antigentpresenting cell (APC) dan berkontribusi terhadap
mediator proinflamasi. Inflamasi umurnnya terjadi pada
pembuluh darah arteri, namun dapat juga melibatkan
pembuluh vena maupun kapiler.
Tanda dan gejala khas keradangan vaskular timbul
akibat gangguan fungsi dan perfusi serta terjadi kerusakan
pada organ yang terkena, contoh ekstrim adalah terjadinya
infark organ akibat adanya proses inflamasi pada lumen
pembuluh darah. Secara histologi, infiltrasi mielornonosit
yang prominen tampak pada dinding pembuluh darah yang
terlibat.
Infiltrasi granuloma seringkali tampak sebagai
gambaran khas beberapa tipe vaskulitis. Infiltrasi ini pada
pembuluh darah arteri kadang menyebabkan destruksi
lamina elastik intema dan menimbulkan kelainan pada
lapisan intima, medial dan adventisia, membentuk trombus
dan menyebabkan oklusi total lumen pembuluh darah.

Vaskulitis seringkali merupakan penyakit yang serius dan


fatal yang membutuhkan deteksi dan terapi yang cepat.
Gejala yang melibatkan organ tubuh dapat muncul secara
terisolasi maupun kombinasi dengan keterlibatan organorgan lain. Keterlibatan suatu organ tertentu dapat menjadi
petunjuk untuk jenis vaskulitis tertentu namun dapat juga
terjadi overlap. Keterlibatan berbagai organ pada penyakit
vaskulitis ini dengan beragam manifestasi menjadi suatu
tantangan bagi klinisi untuk menegakkan diagnosa dan
memberikan terapi yang tepat. Selain itu, pengenalan
proses patologik yang tepat sedini mungkin dapat
menolong mencegah sekuele yang berat yang dapat terjadi
akibat penyakit ini. Pengobatan dini yang tepat dan efektif
dapat memberikan perbaikan klinis maupun fungsional
yang berarti bagi penderita.

Selama lebih dari setengah abad, berbagai klasifikasi


vaskulitis telah diajukan, namun sampai saat ini belum ada
yang memuaskan, karena pengetahuan mengenai kondisi
penyakit ini terus berkembang. Semua skema klasifikasi
masih terus dalam perbaikan.
Vaskulitis dapat dibedakan berdasarkan pembuluh
darah yang dominan terlibat (Tabel 1).

Pembuluh darah yang


dominan

Tipe vaskulitis
-

~embuluhdarahbesar:

Pembuluh darah sedang


Pembuluh darah sedang
dan kecil
Pembuluh darah kecil

Arteritis temporal (Giant cell


arteritis)
Arteritis Takayasu
Polilarteritis nodosa
Penyakit Kawasaki
Granulomatosa Wegener
Sindrom Churg-Strauss
Poliangiitis mikroskopi
Purpura Henoch-Schonlein
Krioglobulinemia
Vaskulitis lekositoklastik
kutaneus

Klasifikasi vaskulitis berdasarkan konsensus


Chapel Hill 1994
American college of Rheumatology (ACR) mengeluarkan
suatu seri klasifikasi vaskulitis pada tahun 1990 yang
mengelompokan tujuh kelainan vaskulitis. Kriteria ini
dirancang untuk mengidentifikasi kelainan inflamasi pada
pembuluh darah danjuga untuk membedakan satu kelainan
vaskulitis dari yang lain (Tabel 2)
Pada tahun 1994 suatu panel intemasional yang terdiri
dari para dokter dan ahli patologi mengeluarkan suatu
konsensus yang dinamakan Konsensus Chapel Hill untuk
menjawab beberapa kebingungan dalam kriteria yang
dikeluarkan oleh ACR 1990. (Table 3).
Mereka mengemukakan penjelasan terhadap definisi
penyakit dan menetapkan terminologi diagnostik standart
yang digunakan dalam menggambarkan vaskulitis.
Klasifikasi yang dilakukan adalah menggolongkan
keradangan pembuluh darah berdasarkan kaliber pembuluh
darah yang terlibat. Pembuluh darah besar meliputi aorta
dan cabang-cabangpaling besar (misalnya arteri subklavia
dan karotid); pembuluh darah sedang meliputi arteri utama
yang memberikan suplai darah ke organ-organ dalam
(misalnya arteri renal, hepatika, koroner dan mesenterika);
dan pembuluh darah kecil meliputi arteriol, kapiler dan
venul, termasuk di dalamnya arteri kecil yang memperdarahi
parenkim organ-organ yang terlibat (misalnya arteri renal
terminal yang berhubungan dengan arteriol aferen pada
ginjal). Sebagai tambahan dari kriteria ACR, klasifikasi
Chapel Hill ini mengikutkan kadar antibodi sitoplasmik anti
netrofil (ANCA) dalam penentuan diagnosis. Contohnya

Vaskulitis pembuluh darah besar


Arteritis temporalis
(Giant cell arteritis)

Usia 250 tahun


Awitan nyeri kepala baru
LED 250 mmljam
Bukti histologik arteritis nekrosis, dengan inflamasi granulomatosa
disertai sel-sel giant yang multinuklear

Arteritis Takayasu

Usia 540 tahun


Klaudikasio pada ekstremitas
Penurunan pulsasi arteri brakialis
Perbedaan tekanan darah sistolik > I 0 mmHg antara kedua lengan
Bruit pada arteri subklavia atau aorta
Bukti adanya penyempitan atau oklusi pada aorta, cabang
primernya atau arteri besar ekstremitas proksimal atas maupun
ekstremitas bawah pada arteriografi

Vaskulitis pembuluh darah sedang


Poliarteritis nodosa

Penurunan berat badan 24 kg


Livedo retikularis
Nyeri dan nyeri tekan testikular
Mialgia
Mononeuropati atau polineuropati
Tekanan darah diastolik >90 mmHg
Peningkatan kadar BUN atau serum kreatinin
Adanya hepatitis B antigen dalam serum
Arteriografi abnormal
Pada biopsi terdapat infiltrasi granulosit atau leukosit campuran
pada dinding pembuluh darah

Vaskulitis pembuluh darah kecil


Granuloma-tosa
Wegener

Hematuria (sediment sel eritrosit atau >5 sel darah merah per
lapang pandang kecil)
Kelainan pada foto toraks (nodul, kavitas atau infiltrat)
Ulkus mulut atau sekret hidung
Bukti histologi adanya keradangan granulomatosa

Sindrom ChurgStrauss

Asma
Eosinofilia > l o % pada hitung jenis lekosit
Mononeuropati (termasuk multipleks), polineuropati
lnfiltrat pada paru yang tidak menetap
Kelainan sinus paranasal
Bukti histologi adanya eosinofilia ekstravaskular pada dinding
pembuluh darah

Purpura HenochSchonlein

Usia 520 years


Purpura yang dapat diraba
Nyeri perut akut
Bukti histologi adanya granulosit pada dinding pembuluh darah
arteriol atau venul

Vaskulitis
hipersensitivitas

Usia 216 tahun


Riwayat obat-obatan pada saat awitan penyakit yang mungkin
merupakan faktor presipitasi
Purpura yang dapat diraba; ruam makulopapular
Bukti histologi adanya granulosit sekitar arteriol or venul

Klasifikasi vaskulitis berdasarkan konsensus Chapel Hill 1994

granulomatosa Wegener, sindrom Churg-Strauss dan


poliangiitis mikioskopi berhubungan erat dengan ANCA
yang positif.
Selain itu kriteria ACR tidak memisahkan
poliangiitis mikroskopi sebagai suatu kriteria tersendiri
melainkan memasukkannya kedalam PAN. Istilah vaskulitis
hipersensitif dihilangkan karena bukti adanya
hipersensitivitas sering tidak ditemukan pada
banyak kasus, mereka lebih memilih istilah angiitis
lekositoklastik kutaneus karena penyakit ini tipikal
melibatkan kulit dan predominan sel netrofil. Berbeda
dengan poliangiitis mikroskopi, angiitis lekositoklastik
kutaneus tidak melibatkan ginjal, paru-paru, saraf
perifer dan organ dalam lainnya dan tidak berhubungan
dengan ANCA.

Vaskulitis pembuluh darah


besar
Arteritis ternporalis (Giant cell
afteritis))

Arteritis Takayasu

Vaskulitis pembuluh darah


sedang
Poliarteritis nodosa
Penyakit Kawasaki

Vaskulitis pembuluh darah kecil


Granuloma-tosa Wegener *)

Sindrorn Churg-Strauss*)

Poliangiitis rnikroskopi')

Purpura Henoch-Sch6nlein

Vaskulitis hipersensitivitas

*) berhubungan dengan ANCA

Klasifikasi vaskulitis untuk pediatrik berdasarkan


EULAR 2006
Dengan berkembangnyajaman, kriteria vaskulitis ini masih
dirasakan belum sempuma karena itu Pediatric Rheumatology European Society (PRES) dan European League
against Rheumatism (EULAR) berusaha mencari koreksi
terhadap kekurangan dalam kriteria klasifikasi vaskulitis
khususnya untuk penderita anak-anak. Alasan dibuat
suatu klasifikasi baru ini adalah tidak semua vaskulitis
dijumpai pada anak, dan adanya perbedaan etiologi,
manifestasi klinis, faktor prognosis penderita anak dengan
dewasa terutama untuk penyakit granulomatosa Wegener
dan poliarteritis nodosa. Pada tahun 2006 panelis kelompok
kerja ini menyusunkriteria klasifikasi untuk lima vaskulitis
yang bermanifestasi pada anak-anak yaitu: purpura

Arteritis granulornatosa yang rnelibatkan aorta dan


cabang utarnanya dengan predileksi cabang-cabang
ekstrakranial arteri karotis. Sering rnengenai arteri
ternporalis. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50
tahun dan sering dihubungkan dengan polirnialgia
reumatika
Keradangan granulornatosa aorta dan cabang-cabang
utamanya. Biasanya terjadi pada usia kurang dari 50
tahun.

Keradangan nekrosis pernbuluh darah sedang dan


kecil tanpa glornerulonefritis atau vaskulitis pada
arteriole, kapiler dan venul.
Arteritis yang rnelibatkan arteri besar, sedang dan
kecil
serta berhubungan dengan sindrom
rnukokutaneus- kelenjar getah bening. Arteri koronaria
sering terkena, juga aorta dan vena. Umurnnya terjadi
pada anak-anak.
Keradangan granulornatosa yang rnelibatkan traktus
respiratorius, vaskulitis pernbuluh darah kecil dan
sedang (seperti kapiler, venul, arteriol dan arteri).
Urnurnnya terjadi glomerulonefritis nekrosis.
Hipereminofilia dan keradangan granulornatosa yang
rnelibatkan traktus respiratorius, dan vaskulitis
nekrosis yang rnengenai pembuluh darah kecil dan
sedang, serta
berhubungan dengan asrna dan
eosinofilia.
Vaskulitis nekrosis dengan sedikit atau tanpa deposit
irnun, rnengenai pernbuluh darah kecil (seperti kapiler,
venul dan arteriol). Arteritis nekrosis yang rnelibatkan
arteri kecil dan sedang. Glornerulonefritis nekrosis
dan kapilaritis pulrnonal sering terjadi.
Vaskulitis dengan deposit irnun lg-A yang dominan,
rnengenai pembuluh darah kecil (seperti kapiler, venul
dan arteriol). Penyakit ini khas rnelibatkan kulit,
saluran cerna dan glomerulus, dan berhubungan
dengan artralgia atau artritis.
Vaskulitis dengan deposit irnun krioglobulin, rnengenai
pernbuluh darah kecil (seperti kapiler, venul atau
arteriol) dan berhubungan dengan krioglobulin dalarn
serum. Kulit dan glomerulus sering terlibat.

Henoch-Schonlein, penyakit Kawasaki, ~oliarteritis


nodosa, granulomatosa Wegener dan arteritis Taka~asu
(Tabel 4)
PR3-ANCA: proteinase 3 antineutrophil cytoplasmic
antibodies atau C-ANCA: cytoplasmic - ANCA
Klasifikasi kriteria berdasarkan EULAR ini lebih jauh
membagi vaskulitis pembuluh darah kecil menjadi
keradangan granulomatosus dan bukan granulomatosus.
PanelinimenPsulkan~engPnaankata~redominandalam

membagi kelainan tertentu berdasarkan pembuluh darah


yang terlibat. Sehingga keterlibatan pembuluh darah
sedang bersama pembuluh darah kecil dapat terjadi.

PATOFlSlOLOGl

Pembentukan kompleks imun dan deposit produknya pada


pembuluhdarahdapatmenerangkanpatofisiologi

Vaskulitis pembuluh darah besar


Arteritis Takayasu

Vaskulitis pembuluh darah sedang


Poliarteritis nodosa pada anak

Penyakit Kawasaki

Kriteria wajib: Angiografi yang abnormal pada aorta atau cabang-cabang


utamanya (secara konvesional, CT atau MRI)
ditarnbah 21 dari 4 kriteria berikut:
- berkurangnya pulsasi arteri perifer atau klaudikasio ekstremitas;
- perbedaan tekanan darah >10 mmHg;
bruit pada aorta atau cabang-cabang utamanya;
hipertensi (relatif terhadap data normotensi pada anak)
Kriteria wajib: Suatu penyakit sistemik yang khas dengan adanya vaskulitis
nekrosis arteri kecil dan sedang pada biopsi ATAU angiografi yang abnormal
(aneurisma atau oklusi)
ditarnbah 22 kriteria berikut:
keterlibatan kulit (livedo retikularis; nodul subkutaneus yang nyeri
pada penekanan dan lesi vaskulitis lain);
mialgia atau nyeri tekan otot;
hipertensi sistemik (relatif terhadap data normotensi pada anak);
mononeuropati atau polineuropati;
analisis urin yang abnormal atau gangguan fungsi ginjal;
nyeri dan nyeri tekan testis;
tanda dan gejala mengarah pada vaskulitis sistim organ tubuh
(gastrointestinal,jantung, pulmonal atau sistim saraf pusat)
Kriteria wajib: Demam menetap sekurang-kurangnya 5 hari ditarnbah 24 dari
5 kelainan berikut:
Adanya perubahan pada ekstremitas bagian perifer atau area
perineal;
- eksantem polimorfi;
injeksi konjungtiva bilateral;
perubahan pada bibir dan rongga mulut (injeksi mukosa mulut dan
farings);
limfadenopati servikal;
Jika terdapat keterlibatan arteri koronaria (terdeteksi lewat ekokardiografi
maka demam ditambah <4 kriteria di atas sudah mencukupi

Vaskulitis pembuluh darah kecil


Granulomatosus
Granuloma-tosa Wegener

Harus terdapat 23 di antara 6 kondisi berikut:


- urinalisis yang abnormal (hematuria atau proteinuria);
- keradangan granulomatosa pada biopsi;
- keradangan sinus nasal;
stenosis subglotis, trachea atau endobronkhial;
- Radiografi toraks atau CT scan yang abnormal;
PR3-ANCA atau C-ANCA positif

Non-granulomatosus
Purpura Henoch-Schtinlein

Kriteria wajib: Purpura yang dapat diraba


Ditambah adanya 21 di antara 4 kondisis berikut:
- Nyeri abdomen yang difus;
- Bukti histologis adanya predominan deposisi IgA;
- artritis atau artralgia;
- keterlibatan ginjal (baik hematuria maupun proteinuria)
PR3-ANCA: proteinase 3 antineutrophil cytoplasmic antibodies atau C-ANCA: cytoplasmic - ANCA

vaskulitis ini. Sistim organ yang umumnya terkena adalah


yang kaya akan pembuluh darah kecil seperti kulit
menimbulkan suatu rash lekositoklastik dengan purpura
yang dapat diraba, pada sendi menyebabkan poliartritis
inflamasi dan pada ginjal menyebabkan glomerulonefritis
dengan mediasi imun kompleks. Pada saat kompleks imun
ini menetap pada dinding pembuluh darah, maka timbul
aktivasi jalur efektor (seperti reseptor FcR, kaskade
komplemen klasik). Mediator mediator ini kemudaian
menyebabkan kelainan pada jaringan dan organ tubuh
melalui aktivasi kaskade komplemen dan pengumpulan selsel mielomonosit.
Mekanisme patofisiologi granulomatosa Wegener atau
poliangiitis mikroskopi berbeda dengan vaskulitis yang
lain. Pada kedua vaskulitis tersebut arteriole dan arteri otot
yang berukuran sedang dan kecil merupakan target
inflamasi sehingga terjadi kerusakan jaringan dan organ
terminal akibat hipoperfusi. Infark dapat melibatkan saraf
perifer, saluran cerna dan fungsi ginjal. Kelompok antibodi
tertentu diperkirakan berperan dalam patogenesis
vaskulitis ini yaitu antibodi anti netrofil sitoplasma
(ANCA) yang bekerja melawan granula sitoplasmik dalam
netrofil polimorfonuklear sirkulasi. Antibodi tersebut
mengikat dan mengaktivasi netrofil yang berada dalam
dinding pembuluh darah, menyebabkan sitoplasmik
melakukan degranulasi dan merangsang respon
keradangan. Hasil akhir adalah kerusakan yang berlanjut
pada dinding pembuluh daran dan jaringan parenkim yang
diperdarahinya.

Meskipun gambaran klinis vaskulitis sangat beragam,


gambaran umum dapat dikelompokan menjadi 5 kategori
klinis yang merujuk kecurigaan ke arah vaskulitis. (Tabel 5).
Gambaran klinis yang pertama adalah gejala-gejala
konstitusional (seperti demarn, malaise, berkeringat, lelah,
nafsu makan menurun, dan berat badan turun). Gejala-gejala
yang tidak spesifik ini, tanpa adanya tanda yang lebih
khusus untuk suatu penyakit tertentu, biasanya
mengelabui perjalanan panyaht vaskulitis. Petunjuk kedua
adalah awitan yang subakut dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan. Bertolak belakang dengan
penderita infeksi akut, penderita vaskulitis tidak dapat

1. Gejala-gejala konstitusional
2. Awitan yang subakut
3. Tanda dan gejala inflarnasi
4. Nyeri
5. Bukti adanva ~envakitrnultisistirn

menentukan dengan pasti jam atau hari di mana sakitnya


dimulai. Hal ini seringkali menyebabkan diagnosis
vaskulitis menjadi terlambat. Petunjuk ketiga adalah tandatanda inflamasi berupa demam, artritis, rash, perikarditis,
anemia karena penyakit kronis, atau peningkatan LED yang
bermakna. Nyeri merupakan petunjuk berikutnya, bisa
berasal dari banyak sumber seperti artritis, mialgia, atau
infark pada jari, pembuluh saraf, saluran cerna maupun
testis. Petunjuk kelima adalah penyakit vaskulitis umurnnya
menyebabkan kelainan yang melibatkan banyak sistim
tubuh. Kulit, sendi, sistim saraf, ginjal, paru-paru atau
saluran cerna merupakan organ target yang sering terkena
pada vaskulitis.
Selanjutnya manifestasi yang timbul dapat dibedakan
menurut tipe pembuluh darah yang terkena (Tabel 6).
Petunjuk 'manifestasi ini dapat membantu menentukan
pembuluh darah yang terlibat.

DIAGNOSIS

Menegakkan diagnosis vaskulitis merupakan tantangan


bagi para klinisi, dengan anamnesis yang teliti dan
pemeriksaan fisik yang seksama dan didasarkan pada gejala
umum serta gejala dan tanda yang lebih spesifik bagi
pembuluh darah tertentu yang terlibat, dapat dibangun
suatu alur diagnosis (Gambar 1). Kriteria diagnosis
membantu dalam penggolongan penyakit ini dan biopsi
merupakan kunci pada sebagian besar diagnosis penyakit
vaskulitis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium yang abnormal dapat dijumpai


pada penyakit vaskulitis menyertai kelainan klinis yang
terjadi. Beberapa kelainan tidaklah spesifik seperti
peningkatan laju endap darah (LED) dan anemia dapat

Pernbuluh darah besar

Pernbuluh darah sedang

Pernbuluh darah kecil

Klaudikasio ekstrernitas
Tekanan darah asirnetrik
Tidak ada pulsasi
Bruit
Dilatasi aorta

Nodul kutaneus
Ulkus pada kulit
Livedo retikularis
Ganggren pada jari
Mononeuritis rnultipleks
Mikroaneurisrns

Purpura
Lesi vesikulobulous Urtikaria
Glornerulonefritis
Hemoragik alveolus
Granuloma kutaneus
nekrosis ekstravaskular Splinter hernoragik
Uveitislepiskleritislskleritis

khususnya daerah Indonesia kawasan Timur (Irian,


Maluku, Timor Timur, NTT, Kalimantan dan sebagian besar
Sulawesi), beberapa daerah Sumatera (Lampung, Riau,
Bengkulu dan Sumatera Barat dan Utara) dan sebagian
kecil Jawa (Jepara, sekitar Yogya dan Jawa Barat).
Walaupun kina merupakan obat pertama yang
digunakan untuk mengobati demam (diduga oleh
malaria) pada tahun 1820 oleh Pelletier dan Caventou,
obat untuk malaria baru dapat disintesa secara kimiawi
yaitu primakuin (1924), quinacrine (1930), klorokuin
(1934), amodiaquine(l946), primakuin (1950) dan
pirimetamin (1951). Dengan meluasnya resistensi
terhadap pengobatan kloroquin, sulfadoksinpirimetamin serta onat-obat lainnya, WHO melalui RBM
( Roll Back Malaria) telah mencanangkan perubahan
pemakaian obat baru yaitu kombinasi artemisinin
(Artemisinin-base Combination Therapy = ACT) untuk
mengatasi masalah resistensi pengabatan dan
menurunkan morbiditas dan mortalitas.

DlSTRlBUSl DAN INSIDEN


Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100negara di benua
AiEka, Asia, Amerika (bagian Selatan) dan daerah Oceania
dan kepulauan Caribia. Lebih dari 1.6 triliun manusia
terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300
juta dan mortalitas lebih dari 1 juta pertahun. Beberapa
daerah yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat, Canada,
negara di Eropa (kecuali Rusia), Israel, Singapura,
Hongkong, Japan, Taiwan, Korea, Brunei dan Australia.
Negara tersebut terhindar dari malaria karena vektor
kontrolnya yang baik; walaupun demikian di negara
tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang di
import karena pendatang dari negara malaria atau
penduduknya mengunjungi daerah-daerah malaria.
P.falciparum dan P. malariae umumnya di jumpai pada
semua negara dengan malaria; di Afiika, Haiti dan Papua
Nugini umumnya P. falciparum; P. vivax banyak di Arnerika
Latin. Di Amerika Selatan,Asia Tanggara, negara Oceania
dan India umumnya P falciparum dan P. vivax. P. ovale
biasanya hanya di Afrika. Di Indonesia kawasan Timur
mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah samapai ke Utara,
Maluku, Irian Jaya dan dari Lombor sampai Nusatenggara
Timur serta Timor Timur merupakan. daerah endemis
malaria dengan P. falciparum dan P. vivax. Beberapa daerah
di Sumatera mulai dari Lampung, Riau, Jambi dan Batam
kasus malaria cendemng meningkat.

anopheles betina menggigit manusia dan nyamuk akan


melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana
sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati
dan sebagian kecil sisanya akan mati di darah. Di dalam sel
parenkim hati mulailah perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony atau pre-erythrocytes schizogony).
Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk
plasmodium falciparum dan 15 hari untuk plasmodium
malariae. Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk
sizont hati yang apabila pecah akan mengeluarkanbanyak
merozoit ke sirkulasi darah. Pada P v i v a dan ovale,
sebagian parasit di dalam sel hati membentuk hipnozoit
yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk
ini yang akan menyebabkan terjadinya relaps padamalaria.
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan
menyerang eritrosit dan masuk melalui reseptor permukaan
eritrosit. Pada T1 vivax reseptor ini berhubungan dengan
faktor antigen Duffi Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan
individu dengan golongan darah DufJj, negatif tidak
terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P falciparum
diduga suatu glycophorins, sedangkan pada P malariae
dan P ovale belurn diketahui. Dalam waktu kurang dari 12
jam parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P.
falciparum menjadi bentuk stereo - headphones, yang
mengandung kromatin dalam intinya dlkelilingi sitoplasma.
Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam
metabolismenya membentuk pigment yang disebut
hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit
yang berparasit menjadi lebih elastik dan dinding berubah
lonjong, pada P falciparum dinding eritrosit membentuk
tonjolan yang disebut knob yang nantinya penting dalam
proses cytoadherence dan resetting. Setelah 36 jam invasi
kedalam eritrosit, parasit berubah menjadi sizont, dan bila
sizont pecah akan mengeluarkan 6 - 36 merozoit dan siap
menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada P
falciparum, I? v i v a dan P ovale ialah 48 jam dan pada P
malariae adalah 72jam. (Gambar 1)
Di dalam darah sebagian parasit akan mernbentuk gamet
jantan dan betina, dan bila nyamuk menghisap darah

TRANSMlSl DAN EPlDEMlOLOGl


Daur Hidup Parasit Malaria
Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk

Gambar I.
Daur hidup plasmodiumdanmekanisme invasi eritrosit.
(disalin dari: Miller LH . The pathogenic basis of Malaria. Nature
2002,415 : 673 - 679)

manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh


nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygote
dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet yang
menembus dinding perut nyamuk dan akhimya menjadi
bentuk oocyst yang akan menjadi masak dan mengeluarkan
sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk
dan siap menginfeksi manusia.
Tingginya side positive rate (SPR) menentukan
endemisitas suatu daerah dan pola klinis penyakit malaria
akan berbeda. Secara tradisi endemisitas daerah dibagi
menjadi :
HIPOENDEMIK : bila parasit rate atau spleen rate
0 - 10%
MESOENDEMIK : bila parasit rate atau spleen rate
10-50%
HIPERENDEMIK : bila parasit rate atau spleen rate
50 - 75%
HOLOENDEMIK :bilaparmitrate atauspleenrate > 75%
Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada
pemeriksaan anak-anak usia 2 - 9 tahun. Pada daerah
holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia
berat, pada daerah hiperendemik dan mesoendemik mulai
banyak malaria serebral pada usia kanak-kanak (2 - 10
tahun), sedangkan pada daerah hipoendemikldaerah tidak
stabil banyak dijumpai malaria serebral, malaria dengan
gangguan fungsi hati atau gangguan fungsi ginjal pada
usia dewasa.

PATOGENESISDAN PATOLOGI
Setelah melalui jaringan hati f? falciparum melepaskan
18-24 merozoit ke dalam sirkulasi. Merozoit yang di
lepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang 1010s dari filtrasi
dan fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit.
Selanjutnyaparasit berkembang biak secara aseksual dalam
eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah
yang bertanggung jawab dalam patogenesa terjadinya
malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak
diteliti adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh
P falciparum.
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor
parasit dan faktor penjamu (host). Yang termasuk dalam
faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit
dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor
penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal,
genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. Parasit
dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2
stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium
matur pada 24 jam ke 11. Permukaan EP stadium cincin
akan menampilkan antigen RESA (Ring-erythrocyte
surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk
stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan

mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan


Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen
utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami
merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu
glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan
TNF-a dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.

Sitoadherensi. Sitoaderensi ialah perlekatan antara EP


stadium matur pada permukaan endotel vaskuler.
Perlekatanterjadi dengan cara molekul adhesif yang terletak
dipermukaan knob EP melekat dengan molekul-molekul
adhesif yang terletak dipermukaan endotel vaskular.
Molekul adhesif di permukaan knob EP secara kolektif
disebut PfEMP-1, Pfalciparum erythrocyte membrane
protein-1. Molekul adhesif dipermukaan sel endotel
vaskular adalah CD36, trombospondin, intercellularadhesion molecule-I (ICAM-I), vascular cell adhesion
molecule - 1 (VCAM), endothel leucocyte adhesion
molecule-1 (ELAM-I) dan glycosaminoglycan
chondroitin sulfate A. PfEMP- 1 merupakan protein-protein hasil ekspresi genetik oleh sekelompok gen yang
berada dipermukaan knob. Kelompok gen ini disebut gen
VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas variasi antigenik yang
sangat besar.
Sekuestrasi. Sitoadheren menyebabkan EP matur tidak
beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit
matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut
EP matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.
falciparum yang mengalami sekuestrasi,karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh
darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital
dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi
tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal,
paru jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini diduga
memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria
berat.
Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang
diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit.
Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga
yang dapat melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan
obstruksi aliran darah lokalldalam jaringan sehingga
mempermudah terjadinya sitoadheren.
Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan
makrofag setelah mendapat stimulasi dari malaria toksin
(LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-a (tumor necrosis
factor-alpha), interleukin-1 (IL-I), interleukin-6 (IL-6),
interleukin-3 (IL-3), LT (lymphotoxin) dan interferongamma (INF-g). Dari beberapa penelitian dibuktikan
bahwa penderita malaria serebral yang meninggal atau
dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai
kadar TNF-a yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa
komplikasi kadar TNF-a, IL-1, IL-6 lebih rendah dari
malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak
konsisten karenajuga dijumpai penderita malaria yang mati

dengan TNF normallrendah atau pada malaria serebral


yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya
diduga adanya peran dari neurotransmitter yang lain
sebagaifi-ee-radicaldalam kaskade ini seperti nitrit-okside
sebagai faktor yang penting dalam patogenesa malaria
berat.
Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik dalam menumbuhkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya
NO justru memberikan efek protektif karena membatasi
perkembangan parasit dan menurunkan ekspresi
molekuladesi. Diduga produksi NO lokal di organ
terutama otak yang berlebihan dapat mengganggu
fungsi organ tersebut. Sebaliknya pendapat lain
menyatakan kadar NO yang tepat, memberikan
perlindungan terhadap malaria berat. Justru kadar NO
yang rendah mungkin menimbulkan malaria berat,
ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrat dan nitrit total
pada cairan serebrospiral. Anak-anak penderita malaria
serebral di Afrika, mempunyai kadar arginin pada pasien
tersebut rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan
NO pada patogenesis malaria berat masih controversial, banyak hipotesis yang belum dapat dibuktikan
dengan jelas dan hasil berbagai penelitian sering saling
bertentangan.

Studi patologi malaria hanya dapat dilakukan pada


malaria falsiparum karena kematian biasanya disebabkan
oleh l? falciparum. Selain perubahan jaringan dalam
patologi malaria yang penting ialah keadaan
mikro-vaskular dimana parasit malaria berada. Beberapa
organ yang terlibat antara lain otak, jantung-paru, hatilimpa, ginjal, usus, dan sumsum tulang. Pada otopsi
dijumpai otak yang membengkak dengan perdarahan
petekie yang multipel pada jaringan putih (white
matter). Perdarahan jarang pada substansi abu-abu.
Tidak dijumpai herniasi. Hampir seluruh pembuluh kapiler
dan vena penuh dengan parasit. Pada jantung dan paru
selain sekuestrasi, jantung relatif normal, bila anemia
tampak pucat dan dilatasi. Pada paru di jumpai gambaran
edema paru, pembentukan membran hialin, adanya
aggregasi leukosit. Pada Ginjal tampak bengkak, tubulus
mengalami iskemia, sekuestrasi pada kapiler glomerulus,
proliferasi sel mesangial dan endotel. Pada pemeriksaan
imunofluorensen dijumpai deposisi imunoglobulin pada
membran basal kapiler glomerulus. Pada saluran cerna
bagian atas dapat terjadi perdarahan karena erosi, selain
sekuestrasi juga dijumpai iskemia yang menyebabkan
nyeri perut. Pada sumsum tulang dijumpai
dyserythropoises, makrofag mengandung banyak
pigmen, dan elythrophagocytosis.

Imunitas terhadap malaria sangat kompleks, melibatkan


hampir seluruh komponen sistim imun baik spesifik
maupun non-spesifik, imunitas humoral maupun seluler,
yang timbul secara alami maupun didapat (acquired) akibat
infeksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik timbulnya lambat.
Imunitas hanya bersifat jangka pendek (short lived ) dan
barangkali tidak ada imunitas yang permanen dan
sempurna.
Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan
atas : 1). Imunitas alarniah non-imunologis berupa kelainankelainan genetik polimorfisme yang dikaitkan dengan
resistensi terhadap malaria. Misalnya: hemoglobin S (sickle
cell trait), hemoglobin C, hemoglobin E, talasemia arb,
defisiensi glukosa-6 pospat dehidrogenase (G6PD),
ovalositosis herediter, golongan darah Duf& negatif kebal
terhadap infeksi P. vivax, individu dengan human
Ieucocyte antigen (HLA) tertentu misalnya HLA Bw 53
lebih rentan terhadap malaria dan melindungi terhadap
malaria berat; 2). Imunitas didapat non-spesifik (nonadaptive/innate). Sporozoit yang masuk darah segera
dihadapi oleh respon imun non-spesifik yang terutama
dilakukan oleh makrofag dan monosit, yang menhasilkan
sitokin-sitokin seperti TNF, IL- 1 ,IL - 2 , IL- 4 , IL - 6 ,
IL-8, IL- 10, secara langsung menghambat pertumbuhan
parasit (sitostatik), membunuh parasit (sitotoksik); 3).
Imunitas didapat spesifik. Tanggapan sisti~nimun terhadap
infeksi malaria mempunyai sifat spesies spesifik, strain
spesifik, dan stage spesifik. Imunitas terhadap stadium
siklus hidup parasit (stage spesiJic), dibagi menjadi:
Imunitas pada stadium eksoeritrositer :
Eksoeritrositer ekstrahepatal (stadium sporozoit),
respons imun pada stadium ini : a). antibodi yang
menghambat masuknya sporozoit ke hepatosit. b).
antibodi yang membunuh sporozoit melalui opsonisasi
Contoh : Sirkumsporozoid protein (Circumsporozoid
proteinlCSP), Sporozoid Threonin andasparagin rich
protein (STARP), Sporozoid and liver stage antigen
(SALSA), Plasmodium falcifamm sporozoite surface
protein-2 ( SSP-2 I Trombospondin- relatedanonymous
protein = TRAP).
Eksoeritrositer intrahepatik, respons imun pada
stadium ini: Limfosit T sitotoksik CD8+, antigen1
antibodi pada stadium hepatosit: Liver stage antigen I (LSA-l), LSA-2, LSA-3
Imunitas pada stadium aseksual eritrositer berupa:
antibodi yang mengaglutinasi merozoit, antibodi yang
menghambat cytoadherance, antibodi yang
menghambat pelepasan atau menetralkan toksin-toksin
parasit.
Contoh :Antigen dan antibodi pada stadium merozoit :
Merozoit surface antigen/ protein 1(MSAtMSP-1),
MSA-2, MSP-3, Apical membrane Antigen (AMA-I),

Eritrocyte Binding Antigen - 175 (EBA- 175), Rhoptry


Associated Protein - 1 (RAP- l), Glutamine Rich
Protein (GLURP)
Antigen dan antibodi pada stadium aseksual eritrositer
: Pf - 155lRing Eritrocyte Surface Antigen (RESA),
Pf- 155Ring Eritrocyte Surface Antigen (RESA), Serine
n
Histidine Rich protein-2
Repeat ~ n t i ~ e(SERA),
(HRP-2), l? falcifarum Eritrocyte Membrane Protein 1 1 Pf - EMP-1, Pf-EMP-2, Mature Parasite Infective
Erytrocyte Surface Antigen (MESA), Pf-EMP-3, Heat
Shock Protein-70 (HSP-70)
Imunitas pada stadium seksual berupa : antibodi yang
membunuh gametosit, antibodi yang menghambat
fertilisasi,antibodi yang menghambat transformasi zigot
menjadi ookinete, antigenlantibodi pada stadium
seksual prefertilisasi : Pf- 230 (Transmission blocking
antiboal), Pf - 48/45, Pf- 7125, Pf-16, Pf-320, dan antigenlantibodipada stadium seksual post fertilisasi, misal
: Pf-25, Pf-28
Perhatian pembuatan vaksin banyak ditujukan pada
stadium sporozoit, terutama dengan menggunakan epitop
tertentu dari sirkumsporozoid. Respon imun spesifik ini
diatur danlatau dilaksanakan langsung oleh limfosit T
untuk imunitas seluler dan limfosit B untuk imunitas humoral.

MANIFESTAS1MALARIA TANPA KOMPLlKASl


Dikenal4 jenisplasmodium (P) yaitul? vivax, merupakan
infeksi yang paling sefing dan menyebabkan malaria
tertianal vivax, P. falciparum, memberikan banyak
komplikasi dan mempunyai perlangsungan yang cukup
ganas, mudah resisten dengan pengobatan dan
memyebabkan malaria tropikdfalsiparum, P. malariae,
cukup jarang namun dapat menimbulkan sindroma nefiotlk
dan menyebabkan malaria quartand malariae dan l? ovale
dijumpai pada daerah Afiika dan Pasifik Barat, memberikan
infeksi yang paling ringan dan sering sembuh spontan
tanpa pengobatan, menyebabkan malaria ovale.
Manifestasi Umum Malaria
Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam
periodik, anemia dan splenomegali. Masa inkubasi
bervariasi pada masing-masing plasmodium. (Tabel 1)
~ e l u h &prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam
berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang,
merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam
ringan, anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadangkadang dingin. Keluhan prodromal sering terjadi pada l?
vivax dan ovale, sedang pada l?falciparum dan malariae
keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat
mendadak.
Gejala yang klasik yaitu terjadinya " Trias Malaria
secara berurutan: periode dingin (15-60 menit) : mulai
menggigil, penderita sering membungkus diri dengan
selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh
badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan
meningkatnya temperatur; diikuti denganperiodepanas :
penderita muka merah, nadi cepat, dan panas badan tetap
tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat;
kemudian periode berkeringat : penderita berkeringat
bBnyak dan temperatur turun, dan penderita merasa
sehat.Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi l?vivax,
pada l?falciparum menggigil dapat berlangsung berat
ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12
jam pada F! falciparum, 36 jam pada l?vivax dun ovale, 60
jam pada l? malariae.
Anaemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada
infeksi malaria. Beberapa mekanisme terjadinya anaemia
ialah : pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan
eritropoiesis sementara, hemolisis oleh karena proses
complement mediated immune complex, eritrofagositosis,
penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh
sitokin. Pembesaran limpa (splenomegali) sering dijumpai
pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3- hari
dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri
dan hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting
dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria,
penelitian pada binatang percobaan limpa menghapuskan
eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan metabolisme,
"

GEJALA KLlNlS
Manifestasi klinik malaria tergantung pada imunitas
penderita, tingginya transmissi infeksi malaria. Beratl
ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium
(l? Falciparum sering memberikan komplikasi), daerah asal
infeksi (pola resistensi terhadap pengobatan), umur (usia
lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi
genetik, keadaan kesehatan dan nutrisi, kemoprofilaktis
dan pengobatan sebelumnya. (Gambar 2)

~l
I

Faktor parasit :

- Resistensi obat
- Kecepatan

multiplikasi
- Cara invasi
- Sitoadherens
- Roseting,
Polimorfisme
antogenik
Variasi antigenic(PfEMP1)
- Toksin malaria

1-

Faktor sosial dan geografi :

Faktor pejamu (Host):

- Imunitas
- Sitokin

- Akses mendapat
pengobatan

pminflamasi
Genetik
Umur
Kehamilal

- Faktor faktor

budaya dan
ekonomi

- ~tabjlitaspolitik
- Intensitas

transmisi nyamuk

1
Manifestasi klinik
Asimptomatik

Demam
(spesifik)

Malaria berat

Kematian

Gambar 2. Garnbaran klinis ditentukan oleh faktor parasit, pejamu


dan sosial4eografi. (Sumber : Miller LH, Baruch D I, Marsk K,
Dournbo Ok. The pathogenesis basis of malaria, Nature 2002;
415:673)

Plasmodium

Masa lnkubasi (hari)

Falsiparum

12 (9-14)

Vivax
Ovale
Malariae

13 (12-17) + I 2 bulan
17 (16-18)
28 (18-40)

---

TiT:r
24,36,
48

Relaps

Recrudensi

--

Gejala gastrointestinal; hemolisis; anemia; ikterus


hemoglobinuria; syok; algid malaria; gejala
serebral; edema paru; hipoglikemi; gangguan
kehamilan; kelainan retina; kematian.
Anemia kronik; splenomegali ruptur limpa.
sama dengan vivax
Rekrudensi sampai 50 tahun; splenomegali
menetap;limpajarang ruptur; sindroma nefrotik.

++

48
48
72

--

++

--

Manifestasi Klinik

(disalin dari Cook 1988)

6a

BANG PlROGENlTAS

SIMPTOM
KLlNlS
PARASmMlA
PATEN

PARASITEMIA
PATEN
Stadlurn jaringan hatl
Primer 8 Sekunder/
1. Mass lnkubsd

2. Mass Prepaten

3. Serangan phmer pamksisnal

3. Ma6a hten ( rnasa bten Minis)


4. Rekrudensi
5. Masa laten

5s. Masa laten parasit


6. Rekurensi Minis (relaps ranjang)
6a. Relaps parasit

Gambar 3. Pejalanan klinis infeksi malaria

antigenik dan rheological dari eritrosit yang terinfeksi.


Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi
malaria ialah: (Gambar 3)
Serangan primer : yaitu keadaan mulai dari akhir masa
inkubasi dan mulai terjadi serangan paroksismal yang
terdiri dari dinginlmenggigil; panas dan berkeringat.
Serangan paroksismal ini dapat pendek atau panjang
tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan
immunitas penderita.
Periode latent : yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi malaria. Biasanya terjadi
diantara dua keadaan paroksismal.

Recrudescense:berulangnya gejala klinik dan parasitemia


dalam masa 8 minggu sesudah berakhimya seranganprimer.
Recrudescense dapat terjadi berupa berulangnya gejala
klinik sesudah periode laten dari serangan primer.
Recurrence : yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhimya serangan primer.
Relapse atau Rechute: ialah bemlangnya gejala klinik
atau parasitemia yang lebih lama dari waktu diantara
serangan.periodikdari infeksi prime yaitu setelah periode
yang lama dari masa latent (sampai 5 tahun), biasanya
terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk diluar

eritrosit (hati) pada malaria vivaks atau ovale.


Manifestasi Klinis Malaria Tertianal M.Vivax1
M.Benigna.
Inkubasi 12-17 hari, ladang-kadang lebih panjang
12 - 20 hari. Pada hari-hari pertama panas iregular, kadangkadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut
perasaan dingin atau menggigil jarang terjadi. Pada akhir
minggu tipe panas menjadi intermiten dan periodik setiap
48 jam dengan gejala klasik trias malaria. Serangan
paroksismal biasanya terjadi waktu sore hari. Kepadatan
parasit mencapai maksimal dalam waktu 7-14 hari.
Pada minggu kedua limpa mulai teraba. Parasitemia
mulai menurun setelah 14 hari, limpa masih membesar dan
panas masih berlangsung, pada akhir minggu kelima panas
mulai turun secara krisis. Pada malaria vivaks manifestasi
klinik dapat berlangsung secara berat tapi kurang
membahayakan, limpa dapat membesar sampai derajat 4
atau 5 (ukuran Hackett). Malaria serebral jarang terjadi.
Edema tungkai disebabkan karena hipoalbuminemia.
Mortalitas malaria vivaks rendah tetapi morbiditas tinggi
karena seringnyaterjadi relapse. Pada perideritayang semiimmune perlangsungan malaria v i v a tidak spesifk dan
ringan saja; parasitemia hanya rendah; serangan demam
hanya pendek dan penyembuhan lebih cepat. Resistensi
terhadap kloroquin pada malaria vivaks juga dilaporkan di

Irian Jaya dan di daerah lainnya. Relaps sering terjadi karena


keluarnya bentuk hipnozoit yang tertinggal di hati pada
saat status imun tubuh menurun.
Manifestasi Klinis Malaria MalariaelM. Quartana
M. malariae banyak dijumpai didaerah Aiika, Amerika latin,
sebagian Asia. Penyebarannya tidak seluas Pvivax dan
rlfalcipai~um.Masa inkubasi 18 - 40 hari. Manifestasi klinik
seperti pada malaria vivax hanya berlangsung lebih ringan,
anaemia jarang terjadi, splenomegali sering dijumpai
walaupun pembesaran ringan. Serangan paroksismal
terjadi tiap 3-4 hari, biasanya pada waktu sore dan parasitemia sangat rendah < 1%.
Komplikasijarang terjadi, sindroma nefiotik dilaporkan
pada infeksi plasmodium malariae pada an&-anak Afrika.
Diduga komplikasi ginjal disebabkan oleh karena deposit
kompleks immun pada glomerulus ginjal. Hal ini terbukti
dengan adanya peningkatan Ig M bersama peningkatan
titer antibodinya. Pada pemeriksaan dapat dijumpai edema,
asites, proteinuria yang banyak, hipoproteinaemia, tanpa
uremia dan hipertensi. Keadaan ini prognosisnya jelek,
respons terhadap pengobatan anti malaria tidak menolong,
diet dengan kurang garam dan tinggi protein, dan diuretik
boleh dicoba, steroid tidak berguna. Pengobatan dengan
azatioprin dengan dosis 2-2,s mgkg B.B selama 12 bulan
tarnpaknya memberikan hail yang baik; siklofosfamid lebih
sering memberikan effek toksik. Recrudescense sering
terjadi padaplasmodium malariae, parasit dapat bertahan
lama dalam darah perifer, sedangkan bentuk diluar eritrosit
(di hati) tidak terjadi pada P malariae.
Manifestasi Klinis Malaria Ovale
Merupakan bentuk yang paling ringan dari semua jenis
malaria. Masa inkubasi 11-16 hari, serangan paroksismal
3-4 hari terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10 kali
walaupun tanpa terapi. Apabila terjadi infeksi campuran
dengan plasmodium lain, maka I? ovule tidak akan tampak
didarah tepi, tetapi plasmodium yang lain yang akan
diternukan. Gejala klinis hampir sarna dengan malaria vivaks,
lebih ringan, puncak panas lebih rendah dan
perlangsungan lebih pendek, dan dapat sembuh spontan
tanpa pengobatan. Serangan menggigil jarang terjadi dan
splenomegalijarang sampai dapat diraba.
Manifestasi Klinis Malaria TropikalM. falsiparum
Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat,
ditandai dengan panas yang ireguler, anaemia,
splenomegali, parasitemia sering dijumpai, dan sering
terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9- 14 hari. Malaria tropika
mempunyai perlangsungan yang cepat, dan parasitemia
yang tinggi dan menyerang semua bentuk eritrosit. Gejala
prodromal yang sering dijumpai yaitu sakit kepala, nyeri
belakangl tungkai, lesu, perasaan dingin, mual, muntah,

dan diare. Parasit sulit ditemui pada penderita dengan


pengobatan supresif. Panas biasanya ireguler dan tidak
periodik, sering terjadi hiperpireksia dengan temperatur
di atas 40oC. Gejala lain berupa konvulsi, pneumonia
aspirasi dan banyak keringat walaupun temperatur
normal. Apabila infeksi memberat nadi cepat, nausea,
muntah, diarea menjadi berat dan diikuti kelainan paru
(batuk). Splenomegali dijumpai lebih sering dari
hepatomegali dan nyeri pada perabaan; hati membesar
dapat disertai timbulnya ikterus. Kelainan urin dapat
berupa albuminuria, hialin dan kristal yang granuler.
Anemia lebih menonjol dengan leukopenia dan
monositosis.

DIAGNOSISMALARIA
Diagnosa malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat
dari penderita tentang asal penderita apakah dari daerah
endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah malaria,
riwayat pengobatan kuratip maupun preventip.
Pemeriksaan Tetes Darah Untuk Malaria
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan
adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan
diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatip tidak
mengenyampingkandiagnosa malaria. Pemeriksaan darah
tepi 3 kali dan hasil negatip maka diagnosa malaria dapat
dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh
tenaga laboratorik yang berpengalaman dalam
pemeriksaan parasit malaria. Pemeriksaan pada saat
penderita demam atau panas dapat meningkatkan
kemungkinan ditemukannya parasit. Pemeriksaan dengan
stimulasi adrenalin 1:1000 tidak jelas manfaatnya dan
sering membahayakan terutama penderita dengan
hipertensi. Pemeriksaan parasit malaria melalui aspirasi
sumsum tulang hanya untuk maksud akademis dan tidak
sebagai card diagnosa yang praktis. Adapun pemeriksaan
darah tepi dapat dilakukan melalui :

Tetesan preparat darah tebal. Merupakan cara terbaik


untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah
cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan
mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan.
Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk
memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit
dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang
pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat
dinyatakan negatip bila setelah diperiksa 200 lapang
pandangan dengan pembesaran kuat 700-1000 kali tidak
ditemukan parasit. Hitung parasit dapat dilakukan pada
tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200
leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya
ialahjumlah parasit dikalikan 50 merupakan jumlah parasit
per mikro-liter darah.

Tetesan darah Tpis. Digunakan untuk identifikasi jenis


plasmodium, bila dengan preparat darah tebal sulit
ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung
parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah
eritrosit yang mengandung parasit per 1000 -sel'darah
merah. Bilajumlah parasit > 100.000/uldarah mknandakan
infeksi yang berat. Hitung parasit pentiig untuk
menentukan prognosa penderita malaria, walaupun
komplikasi juga dapat timbul dengan jumlah parasit yang
minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau
Leishman's, atau Field's dan juga Romanowsky.
Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada beberapa
laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah
dengan hasil yang cukup baik.

Tes Antigen : P-F test


Yaitu mendeteksi antigen dari PFalciparum (Histidine
Rich Protein II). Deteksii sangat cepat hanya 3 - 5 menit,
tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik,
tidak memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen
vivaks sudah beredar di pasaran yaitu dengan metode ICT.
Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari
plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromatographic
telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Optimal
dapat mendeteksi dari 0 - 200 parasidul darah dan dapat
membedakan apakah infeksi P Falciparum atau P viva.
Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif salah lebih rendah
dari tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai
tes cepat (Rapid Test). Tes ini tersedia dalam berbagai
nama tergantung pabrik pembuatnya
Tes Serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan
memakai tehnik indirectfluorescent antibody test. Tes ini
berguna mendeteksi adanya antibodi specifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal.
Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab
antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia.
Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian
epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200
dianggap sebagai infeksi baru; dan test > 1: 20 dinyatakan
positip. Metode-metode tes serologi antara lain indirect
haemagglutination test, immuno-precipitation
techniques, ELISA test, radio-immunoassay.
Pemeriksaan PCR (PolymeraseChain Reaction)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan
teknologi amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup cepat
dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi.
Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat
sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru
dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk
pemeriksaan rutin.

DIAGNOSIS BANDING MALARIA


Demam merupakan salah satu gejala malaria yang
menonjol, yang juga dijumpai pada hampir semua penyakit
infeksi seperti infeksi virus pada sistim respiratorius,
influenza, bruselosis, demam tifoid, demam dengue, dan
infeksi bakterial lainnya seperti pneumonia, infeksis saluran
kencing, tuberkulosis. Pada daerah hiper-endemik sering
dijumpai penderita dengan imunitas yang tinggi sehingga
penderita dengan infeksi malaria tetapi tidak menunjukkan
gejala klinis malaria. Pada malaria berat diagnosa banding
tergantung manifestasi malaria beratnya. Pada malaria
dengan ikterus, diagnosa banding ialah demam tifoid
dengan hepatitis, kolesistitis, abses hati, dan leptospirosis. Hepatitis pada saat timbul ikterus biasanya tidak
dijumpai demarn lagi. Pada malaria serebral harus dibedakan
dengan infeksi pada otak lainnya seperti meningitis,
ensefalitis, tifoid ensefalopati, tripanososmiasis.
Penurunan kesadaran dan koma dapat terjadi pada
gangguan metabolik (diabetes, uremi), gangguan serebrovaskular (strok), eklampsia, epilepsi, dan tumor otak.

MALARIA PADA KEHAMILAN


Malaria lebih sering dijumpai pada kehamilan trimester I
dan I1 dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Malaria berat juga lebih sering pada wanita hamil dan masa
puerperium di daerah mesoendemik dan hipoendemik. Hal
ini disebabkan karena penurunan imunitas selama
kehamilan. Beberapa faktor yang menyebabkan turunnya
respon imun pada kehamilan seperti : peningkatan dari
hormon steroid dan gonodotropin, a foetoprotein dan
penurunan dari lmfosit menyebabkan kemudahan
terjadinya infeksi malaria. Ibu hamil dengan infeksi HIV
cenderung mendapat infeksi malaria dan sering
mendapatkan malaria congenital pada bayinya dan berat
bayi lahir rendah.
Komplikasi pada kehamilan karena infeksi malaria
ialah abortus, penyulit pada partus (anemia,
hepatosplenomegali), bayi lahir dengan berat badan
rendah, anemia, gangguan fungsi ginjal, edema paru,
hipoglikemia dan malaria kongenital. Oleh karenanya perlu
pemberian obat pencegahan terhadap malaria pada wanita
hamil di daerah endernik. Pencegahan terhadap malaria pada
ibu hamil dengan pemberian klorokuin 250 mg tiap minggu
mulai dari kehamilan trimester I11 sampai satu bulan postP.-

PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN


MALARIA
Yaitu penyakit atau keadaan klinik yang sering dijurnpai

MALARIA

pada daerah endemik malaria yang ada hubungannya


dengan infeksi parasit malaria yaitu Sindrom Splenomegali
Tropik (SST), Sindroma Nefiotik (NS) dan Burkit Lirnfoma
@L).

Sindrom Splenomegali Tropik (SST)


SST sering dijumpai dinegara tropik yang penyebabnya antara
lain malaria, kala-azar, schistosomiasis, disebutjuga Hyperreactive Malarial Splenomegaly (Big Spleen
Disease) SST berbeda dengan splenomegali karena
malaria. Splenomegalikarena malaria sering dijumpai di daerah
endernik malaria dengan parasitemia intermitendan ditemukan
hemozoin (pigmen malaria) pada sistem retikulo-endotelial.
Sering pada umur dewasa dengan terbentuknya imunitas,
parasitemia men&lang dan limpa mengecil. Pada SST terjadi
pada penduduk daerah endemik biasanya anak-anak, spleen
tidak mengecil, bahkan membesar, terjadi peningkatan serum
IgM and antibodi terhadap malaria. Etiologi diduga
merupakanrespon imunologkterhadap malaria dimana terjadi
peningkatan dari IgM.
Gejala klinik berupa bengkak pada perut karena
splenomegali, merasa lemah, anoreksia, berat badan turun
dan anemia. Pembesaran limpa mencapai umbilikus sampai
fossa iliaka (derajat 4-5 Hackett). Anemia biasanya
normokromik-normositik dengan peningkatan retikulosit.
Anemia hemolitik dapat terjadi pada kehamilan dengan SST,
sedangkan trombositopenia jarang menyebabkan
manifestasi perdarahan. Kriteria diagnostik yang dipakai
untuk menegakkan SST yaitu :
splenomegali (limpa > 10 cm bawah arcus costarum)
dan anemia.
antibodi terhadap malaria meningkat
IgM meningkat > 2 SD dari normal setempat
penurunan besarnya limpa, IgM dan antibodi setelah 3
bulan pengobatan kemoprofilaktis
limfositosis pada sinusoid hati
respons imunitas selluler dan hurnoral normal terhadap
antigen.
respons limfosit normal terhadap Phytohaemagglutinin (PHA) .
hipersplenism terjadi hanya pada beberapa kasus dan
berhubungan dengan besarnya splenomegali
limfositosis perifer dan pada sumsum tulang.
volume plasma meningkat.
Pengobatan :
pemberian kemoprofilakstis dalam jangka waktu
panjang akan menurunkan besarnya limpa dan
immunogolbulin.
splenektomi tidak dianjurkan karena mortalitas
yang meningkat karena memudahkan terjadinya
infeksi.
tanpa pengobatan prognosis jelek, 50% meninggal
dalamfollow up.

2821
Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) dengan gambaran karakteristik
berupa albuminuria, hipoalbumin, edema dan
hiperkolesterolemia, dapat terjadi pada penderita anakanak dengan infeksi plasmodium malariae. Gambaran
patologi dapat bervariasi berupa penebalan setempat dari
kapiler glomerulus, sklerosis sebagian, dan peningkatan
sel-sel mesangial. Gambaran klinik penderita umumnya
< 15 tahun, edema, proteinuria > 3 g/24 jam, serum albumin
< 3 g/dl, dan dijumpai asites. Hipertensi dan uremi dijumpai
pada penderita SN dewasa dan jarang pada anak-anak.
Komplikasi berupa infeksi, trombosis yang dapat
menyebabkan kematian. Pengobatan secara konservatif
dengan pemberian diuretika, diet, mengkontrol hipertensi
dan mencegah infeksi. Pemberian steroid hanya
bermanfaat pada lesi minimal dan biasanya mudah relaps.
Apabila
steroid tidak berhasil dapat dicoba dengan
siklofosfamid, azathioprin. Pemberian hanya obat antimalaria pada SN oleh karena malaria tidak menunjukkan
manfaat, akan tetapi penulis lain menyatakan perbaikan
yang dramatik. Akan tetapi Giles dalam penelitian di
Nigeria mengobati SN dengan anti malaria selarna 6 bulan
temyata tidak membawa hasil.
Burkitt's Limfoma (BL)
Pada daerah hiper atau holo-endemik malaria sering
dijumpai Burkttt's limfoma yaitu merupakan tumor limfosit
B. Terjadinya tumor ini belum diketahui, diduga gangguan
pada sel-sel penolong/supresi T dipengaruhi oleh
P falciparum sehingga sel limfosit T kurang menghambat
pembiakan virus Epstein Ban: BL sering dijumpai pada
usia 2 - 16 tahun dengan puncak pada usia 4 dan 9 tahun,
dan pria lebih sering dari wanita. Tumor dijumpai pada
rahang atau massa pada perut, ovarium, ginjal dan kelenjar
limfe mesenterial. Tumor dapat berkembang dengan cepat,
ukuran dapat menjadi dobbel dalam 3 hari dan pada gastro
intestinal dapat memberikan tanda-tanda obstruksi.
Pengobatan dengan sitostatika memberikan survival yang
panjang kira-kira 50%.

Malaria Oleh Karena Trasfusi Darah


Malaria karena transfusi darah dari donor yang terinfeksi
malaria cukup sering terutama pada daerah yang
menggunakan donor komersial. Dilaporkan 3500 kasus
malaria oleh karena transfusi darah dalam 65 tahun terakhir.
Parasit malaria tetap hidup dalam darah donor kira-kira
satu minggu bila dipakai anti-coagulant yang mengandung
dekstrose dapat sampai 10 hari. Bila komponen darah
dilakukan ciyopresewed, parasit dapat hidup sampai 2
tahun. Inkubasi tergantung banyak faktor, asal darah,
berapa banyak darah dipakai, apa darah yang disimpan di
Bank Darah, dan sensitivitas dari penerima darah.
Umumnya inkubasi berkisar 16 - 23 hari (bervariasi P

falciparum 8 - 29 hari, l?vivax 8 - 30 hari).


Bila seseorang pernah mendapat transhsi darah, dan
setelah 3 bulan terjadi demam yang tak jelas penyebabnya,
harus dibuktikan terhadap infeksi malaria dengan
pemeriksaan darah tepi berkali-kali tiap 6-8 jam.

Pencegahan terhadap malaria akibat transfusi :


deteksi darah donor dengan pemeriksaan tetes tebal :
biasanya sulit karena parasit malaria biasanya hanya
sedikit.
pemeriksaan serologis donor dengan metode indirect
fluorescent antibody (IFA), bila negatif boleh sebagai
donor, bila hasill :256 tidak boleh sebagai donor (infeksi
baru).
pengobatan pencegahan untuk semua donor darah rutin.
pengobatan terhadap donor tiba-tiba, 48 jam sebelum
Parah diambil.
pengobatan terhadap recipient (penerima darah)

RESlSTENSl TERHADAP OBAT MALARIA


Kira-kira 40 tahun lalu telah terdeteksi beberapa strain
PFalciparum yang resisten terhadap proguanil dan
pirimetamin. Ini menandakan kemampuan PFalciparum
tetap hidup dengan pemberian kemoterapi anti malaria.
Beberapa laporan tentang resisten terhadap obat malaria,
yaitu terhadap 4 Aminokuinolin (Klorokuin dan
Amodiakuin) tahun 1957 di Thailand dan tahuii 1959
diperbatasan Kolumbia dan Venezuela. Tahun 1978
dilaporkan beberapa daerah Afrika yang resisten terhadap
klorokuin, yaitu Kenya, pulau Komoro, Madagaskar,
Tanzania,Uganda dan Zambia, dan tahun 1983 di daerah
Pasifik Barat, India dan Cina Selatan.Tahun 1993beberapa
daerah PFalciparum yang masih sensitif terhadap
klorokuin antara lain Karabia, Terusan Panama, Oman dan
daerah perbatasan Yaman dengan Arab Saudi.
Malaria Falsiparum yang resisten terhadap klorokuin
in vitro atau in vivo pernah dilaporkan di 27 propinsi Indonesia dengan bervariasi dari derajat RI - RIII. Resistensi
terhadap sulfadoksin-pirimetamindi 11 propinsi (Irianjaya,
Lampung, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Aceh, Riau,
Sulawsi Selatan, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan
Sulawesi Utara), dengan derajat RI-RII, resisten terhadap
kina di 5 propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, NTT, Irian
Jaya dan Kalimantan Timur) sedangkan terhadap meflokuin
di 3 propinsi (Jawa Tengah, Irian Jaya dan Kalimantan
Timur) dengan derajat RI - RIII dan Halofantrin di
Kalimantan Timur, walaupun obat-obatan tersebut belum
dipakai di Indonesia. Kasus resistensi yang ditemukan di
DIU Jakartadan Bali adalah merupakan kasus impor. Dalam
5 tahun terakhir perkembangan kasus resistensi sudah
demikian meluas, tercatat sudah lebih dari 10 propinsi yang
mengalami resistensi lebih dari 25% terhadap obat
klorokuin maupun SP.

Respons

Keterangan

Kegagalan
Pengobatan Dini
(ETF= Early
Treatment Failure)

Bila penderita berkembang dengan salah


satu keadaan :
- Ada tanda bahayalmalaria berat pada
H1,H2,H3 dan parasitemia.
- Parasitemia pada H2 > HO.
- Parasitemia pada H3 >= 25 % HO.
- Parasitemia pada H3 dengan Temp. >
37,5 C
Kegagalan
Bila penderita berkembang dengan salah
Pengobatan
satu keadaan sbb pada H4-H28 yang
Kasep
sebelumnya tidak ada persaratan ETF
(LTF=Late
sbb:
Treatment Failure) - Ada tanda bahayal malaria berat
setelah H3 dan parasitemia (jenis
parasit =HO).
- Parasitemia pada H4 - H 28 disertai
temperature > 37,5C disebut Late
clinical Failure = LCF )
- Parasitemia pada H71 HI41 H211 H28
(jenis parasit=HO), tanpa demam
disebut Late ParasitologicalFailure (
LPF)
Respon Klinis
Bila pe;lderita sebelumnya tidak
Memadal
berkembang dengan salah satu
(ACR=Appropriate persaratan ETF dan LTF, dan tidak ada
Clinical Respon) parasitemia selama diikuti.

DETEKSI RESlSTENSl TERHADAP OBAT


MALARIA
Tes In Vivo
Secara praktis, dugaan resistensi terhadap obat malaria
dapat dilihat pada kasus akut malaria falsiparum yang tidak
berespon dengan pengobatan standar atau terjadi
rekrudesensi dari gejala dan parasit dalam darah yang
terdeteksi setelah hilang sementara waktu oleh karena
pengobatan. Kriteria untuk mengetahui parasit malaria
resisten terhadap 4 Aminokuinolin dipergunakan sejak
tahun 1974 sebagai prosedur baku untuk menentukan
respons parasit malaria terhadap klorokuin dan telah
direkomendasi oleh WHO. Tes in vivo meliputi tes
standard yaitu dilakukan pemeriksaan darah tets tebal
malaria setiap hari selama 7 hari yang biasanya dilakukan
di RS atau PUSKESMAS rawat nginap; atau tes
diperpanjangllengkap (extended test) yang basanya
dilakukan di lapangantdi lokasi yaitu tes selama 28 hari,
pemeriksaan malaria ditambah dengan hari 14,21 sarnpai
28 hari setelah pengobatan. Untuk mengetahui resistensi
lebih awal dipergunakan tes 3 hari (SimpliJied 3 days
resistency test), yaitu dilakukan pemeriksaan malaria tiap
hari sampai 48 jam setelah pengobatan (hari ke-3).
Interpretasi hasil tes :
resisten derajat I11 : bila parasit tidak menurun atau
malahan naik pada standard tes 7 hari; atau hitung

parasilt pqd8 48 jam pengobatan tidak turun di bawah


75 % m
Q
n
l&
a
q
hari I (sebelum terapi) pada tes 3 hari.
9
resisten' hrajat I1 : bila parasit menurun tetapi tidak
pernah hilang selama 7 hari atau hilang sementara
kemudian mupcul kembali pada hari ke-7 pada tes
standar.
* resistensi derajat I dini : parasit menjadi negatip selama
7 hari, tetapi muncul kembali setelah hari ke-8 sampai
hari ke-14.
* resistensi derajat I kasep :parasit menjadi negatif selama
7 hari, tetapi muncul kembali setelah hari ke- 15 sampai
hqi ke- 28.
Tes resistensi di atas hanya ditentukan berdasarkan
pemeriksaan parasit, oleh karena WHO pada tahun 1996
yang disempurnakan pada tahun 2001 menetapkan
penentuan respons terhadap pengobatan yang
memasukkan kriteria klinis di samping pemeriksaan
parasitologis.
,

Tes In Wtro
Dengan menggunakan:tes standar kit yang didistribusi
oleh WHO di Manila. Medium yang sama digunakan pada
TRAGER'S kultur. Tes terdiri dari :

Nama
Obat
Artesunat

KemasanfrableV
C ~ D
Oral : 50 m i l
200mg
lnjeksl imliv : 60
mglamp

Artemeter

Suppositoria : 1001
200 mglsup
Oral : 40mgI 50mg
lnjeksi 80 mglamp

Artemisinin

Oral 250mg
Suppositoria:
100120013001
4001 500mglsupp

Dihidroarte
mlslnin

Artheether

Asam
artellnlk

Oral : 20/60/80 mg
Suppositoria : 80
mgl sup
lnjeksi i.m :
150mglamp

Dosis
Hari 1 : 2 mglkg BE, 2 x
sehari, hari II-V : dosis
tunggal
2,4 mglkg hari 1; 1,2
mglkgl hari minimal 3
hari Ibisa minum oral
1600 mgl 3 hari atau 5
mglkgl12 jam
4mglkg dibagi 2 dosis
hari I; 2rngIkgl hari untuk
6 hari
3,2 mglkg BE pada hari I;
1,6 mglkg selama 3
haril bisa minum oral
20mgIkg dibagi 2 dosis
hrl; l0mgIkg untuk 6
hari
2800mgl3 harl; yaitu 600
mg dan 400mg hari I
dan 2 x 400 mg , 2 hari
berikutnya
2mglkg BBIdosis 2 x
seharl hari I dan Ix
sehari 4 hari selanjutnya

p arteeher (artemotil) :
4,8 dan 1,6 rnglkg 6 jam
kemudian dan hari 1; 1,6
mglkg 4 harl selanjutnya

piringan plastik ukuran 8 X 12 cm,mengandung 12 obat


yang diencerkan (klorokuin, quinine atau meflokuin
sesuai kebutuhan) dan kontrol.
darah heparinEDTAditeteskanpadamedi~rn~kemudian
diinkubasi pada suhu 37,50 C selama 24 - 26 jam
setelah itu supernatan diambil dan dibuat preparat tebal.
setelah pengecatan, hasil tes didapat dengan
menghitung proporsi schizont dewasa dibandingkan
dengan kontrol.

PENANGANAN PENDERITATANPAKOMPLlKASl
(MALARIA BIASA)

Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan


ditemukannya plasmodium aseksual didalam darahnya,
malaria klinis tanpa ditemukanparasit dalam darahnya perlu
diobati.
Prinsip pengobatan malaria : I). Penderita tergolong
malaria biasa (tanpa komplikasi) atau penderita malaria
berat/ dengan komplikasi. "Penderita dengan komplikasil
malaria berat memakai obat parenteral (lihat bab.
Penanganan Malaria berat), malaria biasa diobati dengan
per oral"; 2). Penderita malaria harus mendapatkan
pengobatan yang efektif, tidak terjadi kegagalan
pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu
dengan pengobatan ACT (Artemisinin base Combination
Therapy); 3). Pemberian pengobatan dengan ACT hams
berdasarkan hasil pemeriksaan malaria yang positif dan
dilakukan monitoring efeklrespon pengobatan; 4).
Pengobatan malaria klinisl tanpa hasil pemeriksaan
malaria memakai obat non-ACT
PENGOBATAN PENDERITA MALARIA

Secara global WHO telah menetapkan dipakainya


pengobatan malaria dengan memakai obat ACT
(Artemisinin base Combination Therapy). Golongan
artemisinin (ART) telah dipilih sebagai obat utama karena
efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan
pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh
plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit.
Juga efektif terhadap semua spesies, I?falciparum, I?vivax
maupun lainnya. Laporan kegagalan terhadap ART belum
dilap~rkansaat ini.
Golongan Artemisinin
Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut
dalam bah. Cina sebagai Qinghaosu. Obat ini termasuk
kelompok seskuiterpen lakton mempunyai beberapa
formula seperti : artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat,
asam artelinik dan dihidroartemisinin. Obat ini bekerja
sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2 jam, larut
dalam air, bekerja sebagai obat sizontocidal darah. Karena

beberapa. penelitian bahwa pemakdan obat tunggal


menimbulkan terjadinya rekrudensi, makii direkomendasikan untuk dipakai dengan kombinasi obat lain,. Dengan
demikianjuga akan memperpendek pemakaian obat. Obat
ini cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan penyediaan
a& yang oral, parenterallinjeksi dan suppositoria.

PengobatanACT (Artemisinin base Combination


Therapy)
Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi akan
mengakibatkan terjadinya rekrudensi. Karenanya WHO
memberikan petunjuk penggunaan artemisinin dengan
mengkombinasikan dengan obat anti malaria yang lain.
Hal ini disebut Artemisinin base Combination Therapy
(ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis
tetap fixed dose) atau kombinasi tidak tetap (non-Jxed
dose). Kombinasi dosis tetap lebih memudahkan pemberian
pengobatan. Contoh ialah "Co-Artem" yaitu kombinasi
artemeter (20mg)+ lumefantrine (120mg). Dosis Coartem 4
tablet 2 x 1 sehari selama 3 hari. Kombinasi tetap yang lain
ialah dihidroartemisinin(40mg) +piperakuin (320mg) yaitu
"Artekin". Dosis artekin untuk dewasa : dosis awal2tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam dan 32 jam, masingmasing 2 tablet.
Kombinasi ACT yang tidak tetap misalnya :
Artesunat + meflokuin
Artesunat + amodiakin
Artesunat + klorokuin
Artesunat + sulfadoksin-pirimetamin
Artesunat + pironaridin
Artesunat + chlorproguanil-dapson (CDAlLapdap
plus)
Dihidroartemisinin-t Piperakuin + Trimethoprim
(Artecom)
Artecom + primakuin (CV8)
Dihidroartemisinin+ naptokuin
Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat
ini ialah kombinasi artesunate + amodiakuin dengan nama
dagang "ARTESDIAQUINE" atau Artesumoon. Dosis
untuk orang dewasa yaitu artesunate (5Omgltablet)200mg
pada hari 1-111(4 tablet). Untuk Arnodiakuin (200mgltablet)
yaitu 3 tablet hari I dan I1 dan 1112 tablet hari 111.
Artesumoon ialah kombinasi yang dikemas sebagai
blister dengan aturan pakai tiap blister1 hari (artesunate +
amodiakuin) diminum selama 3 hari. Dosis amodiakuin
adalah 25 -30 mgkg BB selama 3 hari.
Pengembangan terhadap pengobatan masa depan ialah
dengan tersedianya formula kombinasi yang mudah bagi
penderita baik dewasa maupun anak (dosis tetap) dan
kombinasi yang paling poten dan efektif dengan toksisitas
yang rendah. Sekarang sedang dikembangkan obat semi
sinthetik artemisinin seperti artemison ataupun trioksalon
sintetik.
Catatan :Untuk pemakaian obat golongan artemisinin

HARUS disertaildibuktikan dengan pemeriksaan parasit


yang positif, setidak-tidaknya dengan tes cepat antigen
yang positif. Bila malaria klinisltidak ada hasil pemeriksaan
parasitologik TETAP menggunakan obat non-ACT.

Pengobatan Malaria Dengan Obat-obat Non-ACT


Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan
non ACT telah dilaporkan dari seluruh propinsi di Indonesia,
beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap
klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin (kegagalan
masih kurang 25%). Dibeberapa daerah pengobatan
menggunakan obat standard seperti klorokuin dan
sulfadoksin- pirimetamin masih dapat digunakan dengan
pengawasan terhadap respon pengobatan.
Obat non - ACT ialah
Klorokuin DifosfatlSulfat, 250 mg garam (150 mg basa),
dosis 25 mg basalkg BB untuk 3 hari, terbagi 10 mgkg BB
hari I dan hari 11, 5 mg /kg BB pada hari 111. Pada orang
dewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hari I & I1 dan 2 tablet
hari 111. Dipakai untuk P Falciparum maupun P Vivax.
Sulfadoksin-Pirimetamin(SP),(500 mg sulfadoksin + 25
mg pirimetamin), dosis orang dewasa 3 tablet dosis tunggal
(1 kali). Atau dosis anak memakai takaran pirimetamin 1,25
mglkg BB. Obat ini hanya dipakai untuk plasmodium
falciparum dan tidak efektif untuk Pvivax. Bila terjadi
kegagalan dengan obat klorokuin dapat menggunakan
SP

Kina Sulfat : (1 tablet 220 mg), dosis yang dianjurkan


ialah 3 x 10mgl kg 'BB selama 7 hari, dapat dipakai untuk P
Falciparum maupun P Vivax.Kina dipakai sebagai obat
cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin
dan SP. Pemakaian obat ini untuk waktu yang lama (7 hari)
menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai selesai.
Primakuin : (1 tablet 15 mg), dipakai sebagai obat
pelengkaplpengobatan radical terhadap P Falciparum
maupun P Vivax. Pada P Falciparum dosis nya 45mg (3
tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet; sedangkan
untuk I? Eva dosisnya 15mgl hari selama 14 hari yaitu
untuk membunuh gamet dan hipnozoit (anti-relaps).

Penggunaan Obat Kombinasi Non-act


Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi
multiresistensi, dan belum tersedianya obat golongan
artemisinin, dapat menggunakan obat standar yang
dikombinasikan. Contoh kombinasi ini adalah sebagai
berikut : a). Kombinasi Klorokuin + SulfadoksinPirimetamin; b). Kombinasi SP + Kina; c). Kombinasi
Klorokuin + Doksisiklid Tetrasiklin; d). Kombinasi SP +
DoksisiklidTetrasiklin; e). Kina + Doksisiklin Tetrasiklin;
f). Kina + Klindamisin
Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus

dilakukan monitorillg respon pengobatan sebab


perkembangan resistensi terhadap obat malaria
berlangsung cepat dan meluas.

PENCEGAHAN DAN VAKSIN MALARIA


Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk
individu yang non-imun, khususnya pada turis nasional
maupun internasional. Kemo-profilaktis yang dianjurkan
ternyata tidak memberikail perlindungan secara penuh.
Oleh karenanya masih sangat dianjurkan untuk
memperhatikan tindakan pencegahan untuk
mepghindarkan diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara
: 1). Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu
impregnated (dicelup peptisida : pemethrin atau
deltamethrin). 2). Menggunakan obat pembunuh nyamuk
(mosquitoes repellents) : gosok, spray, asap, elektrik; 3).
Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat
menggigit atau harus memakai proteksi (baju lengan
panjang, kauslstocking).Nyamuk akan menggigit diantara
jam 18.00 sampaijam 06.00. Nyamukjarang pada ketinggian
di atas 2000 m; 4). Memproteksi tempat tinggavkamar tidw
dari nyamuk dengan kawat anti-ny amuk.
Bila akan di gunakan kemoprofilaktis perlu di ketahui
sensitivitas plasmodium di tempat tujuan. Bila daerah
dengan klorokuin sensitif (seperti Minahasa) cukup
profilaktis dengan 2 tablet klorokuin (250 mg klorokuin
diphosphat) tiap minggu 1 minggu sebelum berangkat dan
4 minggu setelah tiba kembali. Profilaktis ini juga dipakai
pada wanita hamil di daerah endemik atau pada individu
yang terbukti imunitasnya rendah (sering terinfeksi
malaria). Pada daerah dengan resisten klorokuin dianjurkan
doksisiklin 100mglhari atau mefloquin 250 mglminggu atau
klorokuin 2 tablet1 minggu ditambah proguanil 200 mgl
hqri. Obat baru yang dipakai untuk pencegahan yaitu
primakuin dosis 0,5 mgkg BBI hari; Etaquin, Atovaquonel
Proguanil (Malarone) dan Azitromycin.
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam
pengembanganl. Hal yang menyulitkan ialah banyaknya
antigen yang terdapat pada plasmodium selain pada
masing-masing bentuk stadium pada daur
plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah
Pfalciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan
vaksin untuk proteksi tehadap l? falciparum. Pada
dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu

vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik), vaksin terhadap


bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk
melawan bentuk gametosit. Vaksin bentuk aseksual yang
pernah dicoba ialah SPF-66 atau yang dikenal sebagai
vaksin Patarroyo, yang pada penelitian akhir-akhir ini tidak
dapat dibuktikan manfaatnya. Vaksin sporozoit bertujauan
mencegah sporozoit menginfeksi sel hati sehingga
diharapkan infeksi tidak terjadi. Vaksin ini dikembangkan
melalui ditemukannya antigen circumspol-ozoit.Uji coba
pada manusia tampahnya memberikan perlindungan yang
bermanfaat, walaupun demikian uji lapangan sedang dalam
persiapkan. HOFFMAN berpendapat bahwa vaksin yang
ideal ialah vaksin yang multi-stuge (sporozoit, aseksual),
multivalen (terdiri beberapa antigen) sehingga memberikan
respon multi-imun. Vaksin ini dengan teknologi DNA akan
diharapkan inemberikan respon terbaik dan harga yang
h a n g mahal.

Krogstad DJ :Plasmodium spesies ( Malaria). In. G.L. Mandell, J.E.


Bennett, R. Dolin (eds). Mandell, Douglas and Bennett's Principles and Practice of Infectious Diseases..Sth edition. U.S.A:
Churchill Livingstone; 2000.p. 28 17 - 283 1.
Olliaro PL, Taylor WR : Developing artemisinin based drug combinations for the treatment of drug resistant falciparum malaria:
A review. Journal of Post Graduate Medicine 2004; 50 :40-44
RBM : ACT : the way foeward for treating malaria. Http:ll
www.rbm.who.int/cmc~upload/0100010 1513641 RBM
Infosheet-9. htm
Taylor TE, Strickland GT: Malaria. In. Strickland GT. Hunter's
Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases, 8th edition., USA: WB Saunders; 2000.p. 614 - 43
White NJ, Breman JG: Malaria and Babesiosis: Diseases caused by
Red Blood Cell Parasites. In Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E,
Hauser SL, et al (eds), Harrison's Principles of Internal Medicine. Vol.1, 16 th ed. New York: Mcgraw -Hill; 2005, p : 1218 1233.
White NJ. : Malaria. In : Cook GC (Ed). Manson's Tropical Disease,
20th ed.,London: W.B. Saunders; 1996 : 1087 - 64
WHO : A global strategy for malaria control, Geneve, World Health
Organization : Geneva, 1993
WHO : The use of Artemisinin & Its derivates as AntiMalarial
Drugs. Report of ajoint CTD/DMP/TDR, Geneve June, 1998 .
WHO : Antimalarial Drug Combination Therapy. Report of a WHO
Technical Consultation, April 2001
Woodrow CJ, Haynes RK and Krishna S : Review. Artemisinins.
Postgraduate Medical Journal 2005; 81:71-8.

Iskandar Zulkarnain, Budi Setiawan, Paul N. Harijanto

PENDAHULUAN
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan protozoa, genus plasmodium dan hidup intra sel, yang dapat
bersifat akut atau kronik. Transmisi berlangsung di lebih
dari 100 negara di benua Afrika, Asia Oceania, Amerika
Latin, Kepulauan Karibia dan Turki. Kira-kira 1,6 miliard
penduduk daerah ini berada selalu dalam risiko terkena
malaria. Tiap tahun ada 100 juta kasus dan meninggal 1
juta di daerah Sahara Afrika. Sebagian besar yang
meninggal adalah bayi dan anak-anak. P.malariae dan
Pfalcifarum terbanyak di negara ini.
Di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika
Serikat, Kanada, Jepang, Australia dan lain-lain, malaria
telah dapat diberantas. Hanya Plasmodium falcifarum
yang dapat menyebabkan malaria berat. Selain J?falcifarum
malaria berat dapat juga disebabkan J? Vivax dan P.
knowlesi. Malaria berat terutama malaria serebral yang
merupakan komplikasi terberat yang sering menyebabkan
kematian.

KOMPLIKASI MALARIA BERAT


Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena

J? falciparum dan sering di sebut pernicious manyestations. Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala
sebelumnya, dan sering terjadi pada penderita yang tidak
imun seperti pada orang pendatang dan kehamilan.
Komplikasi terjadi 5- 10% pada seluruh penderita malaria
yang dirawat di RS dan 20% dari padanya merupakan kasus
yang fatal. Data di Minahasa insiden malaria berat ialah
6% dari kasus yang dirawat di RS dengan mortalitas
10-20%.
Penderita malaria. dengan komplikasi umumnya
digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO

didefinisikan sebagai infeksi J? falciparum dengan satu


atau lebih komplikasi sebagai berikut:
1. Malaria Serebral (coma) yang tidak disebabkan oleh
penyakit lain atau lebih dari 30 menit setelah serangan
kejang; derajat penurunan kesadaran hams dilakukan
penilaian berdasar GCS (Glasgow Coma Scale);
2. Acidemialacidosis:pH darah < 7.25 atau plasma bicarbonate < 15mrnoV1, kadar laktat vena o 5 mmoY1, klinis
pernafasan dalamlrespiratory distress;
3. Anemia berat (Hb < 5 g/dl atau hematokrit < 15%)pada
keadaan parasit > 10.000/ul; bila anemianya hipokromik
danlatau miktositik hams dikesampingkan adanya
anemia defisiensi besi, talasemial hemoglobinopati
lainnya;
4. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 my24 jam pada
orang dewasa atau 12 mVkg BB pada anak-anak) setelah
dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin > 3 mgldl; 5).
Edema paru non-kardiogeniWARDS (Adult Respitarory
Distress Syndrome);
5. Hipoglikemi : gula darah < 40 mg/dl; 7). Gagal sirkulasi
atau Syok :tekanan sistolik < 70 mmHg (anak 1-5 tahun
<50 mmHg); disertai keringat dingin atau perbedaan
temperatur kulit-mukosa > 100C; 8). Perdamhan spontan
dari hidung, gusi, saluran cerna, danl atau disertai
kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi
intravaskuler; 9). Kejang berulang lebih dari 2 kali.124
jam; 10). Makroskopik hemoglobinuri oleh karena
infeksi malaria akut (bukan karena obat anti malaria 1
kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD); 11). Diagnosa
post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat
pada pembuluh kapiler pada jaringan otak.
Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai
malaria berat sesuai dengan gambaran klinis daerah
setempat ialah : 1). gangguan kesadaran ringan (GCS < 15)
di Indonesia sering dalam keadaan delirium;2). kelemahan
otot (tak bisa duduk/ berjalan) tanpa kelainan neurologik;

3). hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik atau


daearah tak stabil malaria; 4). ikterik (bilirubin > 3 mgldl)
bila disertai gaga1 oragan lain; 5). hiperpireksia (temperatur
rektal > 400 C) pada orang dewasalanak.
Pada kriteria WHO 2006 telah dimasukkan ke dalam
kriteria malaria berat ialah malaria dengan klinis klinis
jaundiceliktorik dan juga malaria dengan hiperlaktemia.

Penelitian patogenesis malaria berat terutama malaria


slrebral berkembang pesat akhir-akhir ini, meskipun
demikian penyebab yang pasti masih belum diketahui
dengan jelas. Perhatian utama dalam patogenesis malaria
berat adalah sekuestrasi eritrosit yang berisi parasit
stadium matang kedalam mikrovaskuler organ-organ vital.
Faktor lain seperti induksi sitokin TNF-a dan sitokinsitokin lainnya oleh toksin parasit malaria dan produksi
nitrik oksid (NO) juga diduga mempunyai peranan penting
dalam patogenesa malaria berat. (Gambar 1)
.-~ m K s l

u T m 0-

e'?tR$+Y1
. -

~~Too'~(aIs
FALBIFARUM

Garnbar 1. lnteraksi sel-sel utama dalam patogenesis malaria.


(Sumber: Elsevier. Infectious diseases. 2nd edition.
www.idreference.com. 2004)

Seperti pada penyakit-penyakit infeksi lainnya faktorfaktor yang berperan dalam terjadinya malaria berat antara
lain : a). Faktor Parasit antara lain meliputi intensitas
transmisi, dan virulensi parasit. Densitas parasit dengan
semakin tingginya derajat parasitemia berhubungan
dengan semakin tingginya mortalitas, dernikian pula halnya
dengan virulensi parasit; b). Faktor host meliputi
endemisitas, genetik, umur, status nutrisi dan imunologi.
Pada daerah endemis malaria yang stabil, malaria berat
terutama terdapat pada anak kecil, sedangkan di daerah
endemisitasrendah, malaria berat terjadi tanpa memandang
usia.

Setelah sporozoit dilepas sewaktu nyamuk anopheles


menggigit manusia selanjutnya akan masuk kedalam selsel hati (hepatosit) dan kemudian terjadi skizogoni ekstra
eritrositer. Skizon hati yang matang selanjutnya akan pecah
(ruptur) dan selanjutnya merozoit akan menginvasi sel
eritrosit dan terjadi skizogoni intra eritrositer, menyebabkan
eritrosit yang mengandung parasit (EP) mengalami
perubahan struktur dan biomolekular sel untuk
mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut
meliputi mekanisme transpot membran sel, penurunan
deformabilitas, perubahan reologi, pembentukan knob,
ekspresi varian neoantigen dipermukaan sel, sitoaderen,
rosseting dan sekuestrasi. Skizon yang matang akan pecah,
melepaskan toksin malaria yang akan menstimulasi sistim
RES dengan dilepaskamya sitokin proinflamasi seperti
TNF alfa dan sitokin lainnya dan mengubah aliran darah
lokal dan endoteliumvaskular, mengubah biokimia sistemik,
menyebabkan anemia, hipoksia jaringan dan organ.

GEJALA KLlNlS
Manifestasi malaria berat bervariasi, dari kelainan
kesadaran sampai gangguan organ-organ tertentu dan
gangguan metabolisme. Manifestasi ini dapat berbedabeda menurut katagori umur pada daerah tertentu
berdasarkan endemisitas setempat. Pada daerah
hipoendemik malaria serebral dapat terjadi dari usia anak
sampai dewasa.
Faktor predisposisi terjadinyamalaria berat : 1).An&anak usia balita; 2). Wanita hamil; 3). Penderita dengan
daya tahan tubuh yang rendah, misalnya penderita
penyakit keganasan, HIV, penderita dalam pengobatan
kortiko streroid; 4). Penduduk dari daerah endemis malaria
yang telah lama meninggalkan daerah tersebut dan kembali
ke daerah asalnya; 5). Orang yang belum pernah Itinggal
di daerah malaria. Gejala-gejalaklinis meliputi :

Malaria Serebral
Terjadi kira-kira 2% pada penderita non-imun, walaupun
demikian masih sering dijumpai pula didaerah endemik
seperti di Jepara (Jawa Tengah), Sulawesi Utara, Maluku,
dan Irian Jaya. Secara sporadikjuga ditemui pada beberapa
kota besar di Indonesia umumnya sebagai kasus import.
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan
memberikan mortalitas '20-50% dengan pengobatan .
Penelitian di Indonesia mortalitas berkisar 21,5%- 30,5%.
Gejala malaria serebral dapat ditandai dengan koma yang
tak bisa dibangunkan, bila dinilai dengan GCS (Glasgow
Coma Scale) ialah di bawah 7 atau equal dengan keadaan
klinis soporous. Sebagian penderita terjadi gangguan
kesadaran yang lebih ringan seperti apati, somnolen, de-

lirium dan perubahan tingkah laku (penderita tidak mau


bicara). Dalam praktek keadaan ini harus ditangani sebagai
malaria serebral setelah penyebab lain dapat disingkirkan.
P e n m a n kesadaran menetap untuk waktu lebih dari 30
menit, tidak sementara panas atau hipoglikemi membantu
meyakinkan keadaan malaria serebral. Kejang, kaku kuduk
dan herniparese dapat terjadi walaupun cukupjarang. Pada
pemeriksaan neurologikreaksi mata divergen, pupil ukuran
normal dan reaktif, funduskopi normal atau dapat terjadi
perdarahan. Papiledemajarang, refleks kornea normal pada
orang dewasa, sedangkan pada anal refleks dapat hilang.
Refleks abdomen dan kremaster normal, sedang Babinsky
abnormal pada 50% penderita. Pada keadaan berat
penderita dapat mengalami dekortikasi (lengan flexi dan
tun*
extensi), decerebrasi (lengan dan tungkai extensi),
opistotonus, deviasi mata ke atas dan lateral. Keadaan ini
sering disertai dengan hiperventilasi. Lama koma pada
orang dewasa dapat 2-3 hari, sedang pada anak satu hari.
Diduga pada malaria serebral terjadi sumbatan kapiler
pembuluh darah otak sehingga terjadi anoksia otak.
Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang
mengandung parasit sulit melalui pembuluh kapiler karena
proses sitoaderensi dan sekuestrasi parasit. Akan tetapi
penelitian Warrell DA menyatakan bahwa tidak ada
perubahan cerebral blood flow, cerebro vasculer
resistence, ataupun cerebral metabolic rate for oxygen
pada penderita koma dibandingkan penderita yang telah
pulih kesadarannya. Kadar laktat pada cairan serebro-spinal (CSS) meningkat pada malaria serebral yaitu > 2.2 rnrnoV
1(19,6 mg/dl) dan dapat dijadikan indikatorprognosis; yaitu
bila kadar laktat > 6 mmoVl mempunyai prognosa yang
fatal. Pada pengukuran tekanan intrakranial meningkat
pada anak-anak (80%), sedangkan pada penderita dewasa
biasanya normal. Pada pemeriksaan CT scan biasanya
normal, adanya edema serebri hanya dijumpai pada
kasus-kasus yang agonal. Pada malaria serebral biasanya
dapat disertai gangguan h g s i organ lain seperti ikterik,
gagal ginjal, hipoglikemia dan edema paru. Bila terjadi lebih
dari 3 komplikasi organ, maka prognosa kematian > 75%.
Gagal Ginjal Akut (GGA)
Kelainan fungsi ginjal sering terjadi pada penderita
malaria dewasa. Kelainan h g s i ginjal dapat pre-renal
karena dehidrasi (> 50%) dan hanya 5-10% disebabkan
nekrosis tubulus akut. Gangguan ginjal diduga
disebabkan adanya anoksia karena p e n m a n aliran darah
ke ginjal akibat dari sumbatan kapiler. Sebagai akibatnya
terjadi p e n m a n filtrasi pada glomerulus. Secara klinis
dapat terjadi fase oliguria ataupun poliuria. Pemeriksaan
laboratorium yang diperlukan yaitu urin mikroskopk, berat
jenis win, natrium urin, serum natrium, kalium, ureum,
kreatinin, analisa gas darah serta produksi win. Apabila
berat jenis (B.9urin < 1.010 menunjukkan dugaan nekrosis
tubulus akut; sedangkan urin yang pekat B.J. > 1,015,

rasio urea urin: darah > 4:1, natrium urin < 20 mmoM
menunjukkan keadaan dehidrasi. Beberapa faktor risiko
yang mempermudah terjadmya GGA ialah hiperparasitemia,
hipotensi, ikterus, hemoglobinuri. Penanganan penderita
dengan kelainan fungsi ginjal di Minahasa memberikan
mortalitas 48%. Dialisis merupakan pilihan pengobatan
untuk menurunkan mortalitas. Seperti pada
hiperbilirubinemia, anuria dapat terus berlang negatif
Ditandai dengan tanda-tanda penurunan kesadaran
berupa apatis, disorientasi, somnolen, stupor, sopor, koma
yang dapat terjadi secara perlahan dalam beberapa hari
atau mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam, yang sering
kali disertai kejang. Gejala lainnya berupa gejala-gejala
upper motorneuron, tidak didapatkan gejala-gejala
neurologi yang fokal, kelumpuhan saraf kranial, kaku
kuduk, deserebrasi, deviasikonjuge, dan kadang-kadang
ditemukan perdarahan retina. Penilaian penurunan
kesadaran ini dievaluasi berdasarkan GCS (Glasgow Coma
Score). P e n m a n kesadaran ini selain karena kelainan
neurologis, tetapi juga dapat diperberat karena gangguan
metabolisme, seperti asidosis, hipoglikemi, yang berarti
gangguan ini dapat terjadi karena beberapa proses
patologis.
Kelainan Hati (Malaria Biliosa)
Jaundice atau ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria
falsiparum. Pada penelitian di Minahasa dari 836 penderita
malaria, hepatomegali 15,9%, hiperbilirubinemi 14,9% dan
peningkatan serum transarninase 5,7%. Pada malaria biliosa
(malaria dengan ikterus) dijumpai ikterus hemolitik 17,2%;
ikterus obstruktip intra-hepatal 11,4% dan tipe campuran
parenkimatosa, hemolitik dan obstruktip 78,6%,
peningkatan SGOTrata-rata 121rnUln-11dan SGPT 80,8 mu/
ml dengan ratio de Ritis 1,5. Peningkatan transaminase
biasanya ringan sampai sedang dan jarang melebihi 200
iu, ikterus yang berat sering dijumpai walaupun tanpa
diikuti kegagalan hati. Penelitian di Minahasa pada 109
penderita malaria berat, kadar bilirubin tertinggi ialah 36,4
mgldl, bilirubin normal (< 1,2 mgldl) dijumpai 28 penderita
(25%) mortalitasnya 1 1%, bilirubin 1,2 mg% - 2 mgldl
dijumpai pada 17 penderita (16%) mortalitasnya 17%,
bilirubin > 2 mgldl - 3mgldl pada 13penderita (12%) dengan
mortalitas 29% serta bilirubin > 3 mgldl dijumpai pada 5 1
penderita (46%) dan mortalitasnya 33%. Serum SGOT
bervariasi dari 6 -243 d l sedangkan SGPT bervariasi dari 4
- 154 d l . Alkali fosfatase bervariasi dari 5 534 u/l dan
gamma-GT bervariasi 4 - 603 d l . White (1996) memakai
batas bilirubin >2,5 mgldl, SGOTI SGPT > 3 x normal
menunjukkan prognosis yang jelek. Penderita malaria
dengan ikterus termasuk dalam kriteria malaria berat.

Hipoglikemia
Hipoglikemi dilaporkan sebagai keadaan terminal pada
binatang dengan malaria berat. Hal ini disebabkan karena

kebutuhan metabolik dari parasit telah menghabiskan


cadangan glikogen dalam hati. Hipoglikemia dapat tanpa
gejala pada penderita dengan keadaan umum yang berat
ataupun penurunan kesadaran. Pada penderita dengan
malaria cerebral di Thailand dilaporkan adanya hipoglikemi
sebanyak 12,5%, sedangkan di Minahasa insiden
hipoglikemia berkisar 17,4%-21,8%. Penyebab terjadinya
hipoglikemi yang paling sering ialah karena pemberian
terapi kina (dapat terjadi 3jam setelah infus kina). Penyebab
lainnya ialah kegagalan glukoneogenesis pada penderita
dengan ikterik, hiperparasitemia oleh karena parasit
mengkonsumsi karbo-hidrat, dan pada TNF-a yang
meningkat. Hipoglikemi &pat pula terjadi pada primigravida
dengan malaria tanpa komplikasi. Hipoglikemia kadangkadang sulit diobati dengan cara konvensionil, disebabkan
hipoglikemia yang persisten karena hiperinsulinemiaakibat
kina. Mungkin dengan pemberian diazoksid dimana terjadi
hambatan sekresi insulin merupakan cara pengobatan yang
dapat dipertimbangkan.
Blackwater Fever (Malaria Haemoglobinuria)
Adalah suatu sindrom dengan gejala karakteristikserangan
akut, menggigil, demam, hemolisis intravaskular,
hemoglobinemi, hemoglobinuri dan gagal ginjal. Biasanya
terjadi sebagai komplikasi dari infeksi l?falciparum yang
berulang-ulang pada orang non-imun atau dengan
pengobatan kina yang tidak adekuat. Akan tetapi adanya
hemolisis karena kina ataupun antibodi terhadap kina
belurn pemah dibuktikan. Malaria hemoglobinuria dapat
terjadi pada penderita tanpa kekurangan ensim G-6-PD dan
biasanya parasit falsiparum positif, ataupun pada
penderita dengan kekurangan G-6-PD yang biasanya
disebabkan karena pemberian primakuin.
Malaria Algid
Yaitu terjadinya syok vaskular, ditandai dengan hipotensi
(tekanan sistolik kurang dari 70 mrnHg), perubahan tahanan
perifer dan berkurangnya pefisi jaringan. Gambaran klinik
berupa perasaan dingin dan basah pada kulit, temperatur
rektal tinggi, kulit tidak elastik, pucat. Pemafasan dangkal,
nadi cepat, tekanan darah turun dan sering tekanan sistolii
tak terukur dan nadi yang normal. Keadaan ini sering
dihubungkan dengan terjadinya septisemia gram negatif
Hipotensi biasanya berespon dengan pemberian NaCl
0,9% dan obat inotropik.

Kecenderungan Perdarahan
Perdarahan spontan berupa perdarahan p s i , epistaksis,
perdarahan di bawah kulit berupa petekie, purpura, hematoma dapat terjadi sebagai komplikasi malaria tropika.
Perdarahan ini dapat terjadi karena trombositopenia, atau
gangguan koagulasi intravaskular ataupun gangguan
koagulasi karena gangguan fungsi hati. Trombositopenia
disebabkan karena pengaruh sitokin. Gangguan koagulasi

intravaskular jarang terjadi kecuali pada stadium akhir


dari suatu infeksi l?falciparum yang berat.
Edema Paru
Sering terjadi pada malaria dewasa dan jarang pada anak.
Edema paru merupakan komplikasi yang paling berat dari
malaria tropika dan sering menyebabkan kematian. Edema
paru dapat terjadi karena kelebihan cairan atau adult
respiratory distress syndrome. Beberapa faktor yang
memudahkan timbulnya edema paru ialah kelebihan cairan,
kehamilan, malaria serebral, hiperparasitemi, hipotensi,
asidosis dan uremi . Adanya peningkatan respirasi
merupakan gejala awal, bila fiekwensi pernafasan> 35 kalil
menit prognosanya jelek. Pada otopsi dijumpai adanya
kombinasi edema yang difus, kongestif paru, perdarahan,
dan pembentukan membran hialin. Oleh karenanya istilah
edema paru mungkin kurang tepat, bahkan sering disebut
sebagai insuffisiensi paru akut atau adult respiratory
distress syndrome. Pada pemeriksaan radiologik dijumpai
peningkatan gambaran bronkovaskular tanpa pembesaran
jantung .
Manifestasi Gastro-intestinal
Manifestasi gastro-intestinal sering dijumpai pada malaria,
gejala-gejalanya ialah : tak enak diperut, flatulensi, mud,
muntah, diare dan konstipasi. Kadang-kadang gejala
menjadi berat berupa sindroma billious remittent fever
yaitu gejala gastro-intestinal dengan hepatomegali, ikterik
(hiperbilirubinemia dan peningkatan SGOTISGPT) dan
gagal ginjal, malaria disenteri menyerupai disenteribasiler,
dan malaria kolera yang jarang pada l? falciparum berupa
diare cair yang banyak, muntah, kramp otot dan dehidrasi
Hiponatremia
Hiponatremia sering dijumpai pada penderita malaria
falsiparum dan biasanya bersamaan dengan penurunan
osmolaritas plasma. Terjadinya hiponatremia dapat
disebabkan karena kehilangan cairan dan garam melalui
muntah dan mencret ataupun terjadinya sindroma
abnormalitas hormon anti-diuretik (SAHAD), akan tetapi
pengukuran hormon diuretik yang pemah dilakukan hanya
dijumpai peningkatan pada 1 diantara 17 penderita.
Gangguan Metabolik Lainnya
Asidosis metabolik ditandai dengan hiperventilasi
(pemafasan Kussmaul), peningkatan asam laktat, pH turun
dan peningkatan bikarbonat. Asidosis biasanya disertai
edema paru, hiperparasitemia, syok, gagal ginjal dan
hipoglikemia. Gangguan metabolik lainnya berupa :
Hipokalsemia dan hipophosphatemia
Hipermagnesemia
Hiperkalemia (pada gagal ginjal)
Hipoalbuminemia
Hiperfosfolipedemia

Hipertriglisererniadan hipokolesterolemia
T-4 rendah, TSH basal normal (sick euthyroid
syndrome)

PENANGANAN PENDERITA MALARIA BERAT


Penanganan malaria berat tergantung kecepatan dan
ketepatan dalam melakukan diagnosa seawal mungkin.
Sebaiknyapenderita yang diduga menderita malaria berat
dirawat pada bilik intensif untuk dapat dilakukan
pengawasan serta tindakan-tindakan yang tepat.
Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan
penanganan dan pengobatan yang perlu dilakukan adalah:
Tindakan umurnl suportif
Pengobatan simptomatik
Pemberian obat anti malaria
Pengobatan komplikasi

Tindakan umumlsuportif :
Apabila fasilitas tidaklkurang memungkinkan untuk
merawat penderita malaria berat maka persiapkan penderita
dirujuk ke rumah sakitlfasilitaspelayanan yang lebih tinggi,
yang memiliki fasilitas perawatan intensif. Tindakan
tersebut antara lain :
1. Pertahankan fungsi vital : sirkulasi, kesadaran,
kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi.
2. Hindarkan trauma : dekubitus,jatuh dari tempat tidur
3. Hati-hati komplikasidari tindakan kateterisasi, i n h s
yang dapat memberikan infeksi nosokomial dan
kelebihan cairan yang menyebabkan edema paru
4. Monitoring : temperatur, nadi, tensi, dan respirasi tiap
112 jam. Perhatikan timbulnya ikterus dan perdarahan,
ukuran dan reaksi pupil, kejang, tonus otot.
5. Baringkanl posisi tidur sesuai dengan kebutuhan
6. Pertahankan sirkulasi: bila hipotensi, lakukan posisi
Tredenlenburg's; perhatikan wama dan temperatur kulit
7. Cegah hiperpireksi: 1). tidak pemah memakai botol
panasl selimut listrik, 2). kompres airlair eslalkohol, 3).
kipas dengan kipas anginkertas 4). baju yang tipisl
terbuka, 5). cairan cukup
8. Pemberian cairan :
Pemberian cairan merupakan bagian yang penting
dalam penanganan malaria berat. Pemberian cairan
yang tidak adekuat (kurang) akan menyebabkan
ti&bulnya tubuler nekrosis ginjal akut. Sebaliknya
pemberian cairan yang berlebihan dapat
menyebabkan edema paru. Pada sebagian penderita
malaria berat sudah mengalami sakit beberapa hari
lamanya sehingga mungkin intake sudah kurang,
penderita juga sering muntah-muntah, dan bila
panas tinggi akan memperberat keadaan dehidrasi.
Ideal bila pemberian cairan dapat diperhitungkan
secara lebih tepat, dengan cara : 1). Maintenence

cairan diperhitungkan berdasar BB, misal untuk BB


50 kg dibutuhkan cairan 1500cc. ( 30 mVkg BB).
Derajat dehidrasinya:dehidrasi ringan ditambah 10
%, dehidrasi sedang ditambah 20% dan dehidrasi
berat ditambah 30% dari kebutuhan maintenence,
2). Setiap kenaikan suhu l o ditambah 10%
kebutuhan maintenence, 3). Monitoring pemberian
cairan yang akurat dilakukan dengan pemasangan
CVP line, 4). Cara diatas tidak selalu dapat dilakukan
pada fasilitas kesehatan tingkat Puskesmas/RS
Kabupaten. Sering kali pemberian calran Jenyan
perkiraan , misalnya 1500 - 2000 ccl 24 jam dapat
sebagai pegangan. Mashaal membatasi cairan 1500
cc I 24 jam untuk menghindari edema paru. Cairan
yang sering dipakai ialah 5% Dekstros untuk
menghindari hipoglikemi khususnya pada
pemberian kina. Bila dapat diukur kadar elektrolit
(natrium)dan natrium rendah ( <120 meqIL), perlu
dipertimbangan pemberian cairan NaC1.
9. Diet : porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat
dan garam.
10. Perhatikan kebersihan mulut
11. Perhatikan diuresis dan defekasi, aseptik kateterisasi.
12. Kebersihan kulit : mandikan tiap hari dan keringkan .
13. Perawatan mata : hindarkan trauma, tutup dengan
kainlgaas lembab.
14. Perawatan pasien tidak sadarl koma meliputi :
Selalu memakai prinsip ABC ( A=Airway,
B=Breathing, C=Circulation) + D=Drug
(dejibrilasi)
Airway (jalan nafas ). l).Jaga jalan nafas agar
selalu bersihltanpa hambatan, dengan cara :
Bersihkan jalan nafas dari saliva, muntahan, dll, 2).
Pasien posisi lateral, 33. Tempat tidur datarltanpa
bantal, 4). Mencegah aspirasi cairan lambung masuk
ke saluran pemafasan, dengan jalan : posisi lateral
dan pemasangan NGT untuk menyedot isi lambung.
Breathing (pemafasan)
Bila takipnoe, pernafasan asidosis : berikan
penunjang pemafasan, misal : 02, dan bila perlu
pemasangan ventilator
Sirkulasi (kardiovaskular)
o Periksa dan catat : Nadi, tensi, JVP, CVP (bila
memungkinkan), turgor kulit, dll.
o Jaga keseimbangan cairan : lakukan pemantauan
cairan dengan mencatat asupan dan keluaran
cairan secara akurat.
o Pemasangan kateter urethra dengan drainage1
bag tertutup untuk mengukur volume urin. Bila
fungsi ginjal baik, adanya dehidrasi atau
overhidrasi dapatjuga diketahui dari volume win.
o Normal volume urin : 1 mlKg BBljam. Bila
volume urin < 30 mlljam, mungkin terjadi
dehidrasi (periksa juga tanda-tanda lain
dehirasi). Bila terbukti ada dehidrasi, tambahkan

o
o

o
o

intake cair'an melalui IV-line. Bila volume urin


> 90 mlljam, kurangi intake cairan untuk
mencegah overload yang mengakibatkan udem
paru. Monitoring paling tepat dengan
menggunakan CVP-line.
Buat grafik suhu, nadi dan pemafasan secara
akurat.
Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya
trombophlebitis dan infeksi yang sering terjadi
melalui IV-line maka IV-line sebaiknya diganti
setiap 2-3 hari.
Pasang k a ~ c t e rurethra dengan drainasel
kantong tertutup. Pemasangan kateter dengan
memperhati-kan kaidah antisepsis.
Mata dilindpngi dengan pelindung mata untuk
menghindari ulkus kornea yang dapat terjadi
karena tidak adanya refleks mengedip pada
pasien tidak sadar.
Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah
infeksi rongga mulut pada pasien tidak sadar.
Merubahhalik posisi lateral secara teratur untuk
mencegah luka dekubitus dan pneumonia
hipostatik.
Hal-ha1 yang perlu dimonitor : 1). Tensi, nadi,
suhu dan pernafasan setiap 30 menit, 2).
Pemeriksaan derajat kesadaran dengan
modifikasi Glasgow coma scale (GCS) setiap 6
jam, 3). Hitung parasit setlap 12-24jam, 4). Hb,
lekosit, bilirubin dan kreatinin pada hari ke 111,
dan VII, 5). Gula darah setiap 4 jam, 6). Parameter lain sesuai indikasi (misal: ureum, kreatinin
dan kalium darah pada komplikasi gagal ginjal ).

Penggbatqn Sir;llptomat.ik
o Pemberian aotipiretik 'untuk mencegah hipertermia :
pwwetamol15 mgkg bblx, beri setiap 4 jam clan lakukan
juga kompres hangat.
o Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 510 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mdmenit)
ulang 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan
diberikan lebih dari 100 md24 jam.
Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai altematif dapat
dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x (dewasa) diberikan 2 x
sehari.
Pemberian Obat Anti Malaria
Pemberian ' ,::>- apti
malaria(0AM) pada malaria berat
. ,
berbeda deftgqg.:&ari:ria'l3iasa karena pada malaria berat
diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan
bertahan cukup lama didarah untuk segera menurunkan
derajat parasitemianya. Oleh karenanya dipilih pemakaian
obat per parenteral (intravena, per infusl intra muskuler)
yang berefek cepat dan kurang menyebabkan terjadinya
resistensi.

at

Derivat artemisinin :Merupakan obat baru yang berasal


dari China (Qinghaosu) yang memberikan efektivitas yang
tinggi terhadap strain yang multi resisten. Artemisinin
mempunyai kemampuan farmakologik sebagai berikut,
yaitu: i) mempunyai daya bunuh parasit yang cepat dan
menetap ii) efektif terhadap parasit yang resisten, iii)
memberikan perbaikan klinis yang cepat, iv) menurunkan
gametosit, v) bekerja pada semua bentuk parasit baik pada
bentuk tropozoit dan schizont maupun bentuk-bentuk lain,
vi) untuk pemakaian monoterapi perlu lama pengobatan 7
hari. Artemisinin juga menghambat metabolisme parasit
leblh cepat dari obat anti malaria lainnya. Ada 3 jenis
artemisinin yang di pergunakan parenteral untuk malaria
berat yaitu artesunate, artemeter dan arteether.
Artesunate lebih superior dibandingkan artemeter dan
artemotil. Pada studi SEQUAMAT, artesunate telah
dibandingkan dengan kina HC1, artesunate menurunkan
mortalitas 34.7%.
a. Pemberian OAM (Obat Anti Malaria) secara
parenteral :
Artesunate injeksi ( 1 flacon = 60 mg), Dosis i.v 2,4 mgkg
BB/ kali pemberian.
o Pemberian intravenous :dilarutkan pada pelarumya lml
5% bikarbonat dan diencerkan dengan 5-10 cc 5%
dekstrose disuntikan bolus intravena. Pemberian pada
jam 0,12 jam, 24 jam dan seterusnya tiap 24 jam sampai
penderita sadar. Dosis tiap kali pemberian 2,4 m&gBB.
Bila sadar diganti dengan tablet artesunate oral 2 mg/
kgBB sampai hari ke-7 mulai pemberian parenteral.
Untuk mencegah rekrudensl dikombinasikan dengan
doksislklin 2 x 100mghari selama 7 hari atau pada wanita
hamiV anak diberikan klindamisin 2 x 10mgkg BB. Pada
pemakaian artesunate TIDAK memerlukan
penyesuaian dosis biIa gagal organ berlanjut. Obat
lanjutan setelah parenteral dapat menggunakan obat ACT

Artemeter i.m (1 ampul80mg). Diberikan atas indikasi:


1). Tidak boleh pemberian intravenal infis, 2). T i d a k
ada manifestasi perdarahan ( purpura dsb), 3). Pada
malaria berat di RS periferIPuskesmas, 4). Dosis
artemeter : xi I : 1,6 mgkg BB tiap 12jam, Hari-2 - 5 :
1,6 mgtkg BB.

Kina HCI (1 ampul = 500 mg/ 2 ml). 1. C q a Kina 8jam


berkesinambungan : Dosis 10 mgKg BB ( 500 mg untuk
BB 40-50 Kg) dalam infus 5% dekstrose 500 cc selama
8 jam secara terus menerus sampai penderita sadar dan

diganti Kina dosis oral. 2. Cara lain : Kina HCL 25 %


(perinfus) dilarutkan dalam 500 cc dextrose 5 %, dosis
1OmgKg BBldosisl4jam diberikan setiap 8 jam, diulang
dengan cairan dan dosis yang sama setiap 8 jam sampai
penderita dapat minum obat dan diganti dosis oral.

Catatan :
Dosis loading (awall pemberian I) dapat diberikan dosis
20mglkg BB, asal dipastikan tidak mendapat kina1
mefloquin sebelumnya, dapat ditimbang BB nya(tidak
estimasi) dan tidak usia> 70 thn atau QT interval yang
panjang. Dosis ini sesuai rekomendasi WHO dan
memberikan bersihan parasit lebih cepat.
Bila penderita sadar setelah pemberian kina perinfus,
kina dilanjutkan per oral dengan dosis 3 x IOmglkgBB
1hari sampai hari ke 7.
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena,
karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat
tinggi sehingga menyebabkan toksisitas pada jantung
dan kematian.
Bila karena alasan kina tidak dapat diberikan melalui
infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama
pada paha bagian depan masing-masing 112 dosis pada
setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila
mungkin untuk pemakaian IM, kina diencerkan dengan
normal saline untuk mendapatkan konsenhasi 60- 100
mdd

Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian


48 jam kina parenteral, maka dosis maintenance kina
diturunkan 112 nya dan lakukan pemeriksaan
parasitologi serta evaluasi klinik terhadap kemungkinan
diagnosis lain.
Dosis kina yang diperlukan :
Hari 0 : 30 mgKg BB
Dosis maksimum dewasa : 2.000 mghari.
Bila pada hari ke-3 keadaan tidak membaik, dosis kina
diturunkan menjadi : 15-20 mg/Kg BB
Hindari sikap badan tegak pada pasien akut sela~na
terapi kina untuk menghindari hipotensi postural
berat.
.* Monitor.ii~gpada pengobatan kina parenteral ialah :
1). Kadar gula darah tiap 8 jam, 2). Tekanan darah dan
nadi, bila nadi ireguler buat EKG, 3). Serum bilirubin
dan kreatinin pada hari ke-3, 4). Hitung parasit tiap
hari
Cara pemberian yang lain :
Dosis loading 20 mglkg BB sebagai dosis awal
pemberian kina, diberikan per-infus dengall larutan dextrose 5% atau NaCl250 ml diberikan selama 2 - 4 jam.
Dosis ini dilanjutkan dengan dosis 10 mglkg BB selama
2-4 jam setiap 8 jam berikutnya. Bila dipakai dosis loading, beberapa ha1 hams diperhatikan :
BB penderita hams ditimbang, TIDAK diperkirakanl
diduga.
.
24 jam sebelumnya tidak memakai kina/ meflokuin
Tidak ada pemanjangan QTc interval pada EKG
Pemberian cepat di ICU, 7mglkg BB i.v injeksi melalui
pumpa infus selama 30 menit, diikuti 10 mglkgBB
perinfus selama 4 jam

sodium artesunate, kemudi& dilarutkan dalah 5 ml5% dextrose untuk siap diberikan intra-ve;;ouslintr~-r;)uscular
Dosis 2,4 mglkg BB pada hari pertama diberikan tiap 12 jam, kemudian dilanjutkan dosis 2,4 mglkg BB pada hari ke-2 - 71 24
jam. Tidak diperlukan penyesuaianl penurunan dosis pada gangguan fungsi ginjall hati; tidak menyebabkan hipo- glikemia dan
tidak menimbulkan aritmial hipotensi
Artemeter ( 1 flacon=80 mg) Dosis : 3,2 mg1kgBB i.m sebagai dosis loading dibagi 2 dosis (tiap 12 jam) hari pertama, diikuti
dengan 1,6 mgIkgBB1 24 jam selama 4 hari. Karena pemberian intramuskuler absorpsinya sering tidak menentu. Tidak
menimbulkan hipoglikemia
Kina HCL (1 Ampul = 220 mg) Dosis 10 mglkgBB Kina HCI dalam 500cc cairan 5% Dextrose (atau NaCl 0,9%) selama 6 jam8 jam, selanjutnya diberikan dengan dosls yang sama diberikan tiap 6-8 jam. Tergantung status kebutuhan cairan 1500 2000cc. Dosis loading 20 mglkg BB dipakai bila jelas TIDAK memakai kina 24 jam sebelumnya atau mefloquin, penderitanya
tidak usia lanjut dan tidak ada Q-Tc memanjang pada rekaman EKG. Kina HCL dapat juga diberikan intra muskuler yang dalam
pada paha.
Kinidin Gluconate Dosis 10 mglkg BB per infuse selama 2 jam dilanjutkan 0,02 mglkglmenit sampai parasit < 1 %, digantikan
oral 3 x 600 mg sampai negatif
Artesunate ( 50mgl100 m g l 400 m g )
Dosis 10mglkg BB diberikan dosis tunggal 400mg pada orang dewasa
Artemislnln
Dosis 10-40mglkgBB diberikan pada 0 jam, 4, 12,24.48, dan 72 jam.
Dihydroartemisinln 40 mg. 80 mg
Dosis dewasa 80 mg dan dilanjutkan 40mg pada jam 24 dan 48.

MALARIABERAT

Manifestasil Komplikasi
Koma (malaria serebral)

Hiperpireksia
Convulsilkejang
Hipoglikemia (GI darah < 40
mg%)
Anemia berat ( Hb < 5 gr%
atau PCV < 15% )
Edema Paru Akut, sesak
napas, resp > 35 x
r.
Gagal Ginjal Akut
Perdarahan spontanl
koagulopati
Asidosis Metabolik
Syok
Hiperparasitemia

Tindakan awal
Pertahankan oksigenasi, letakkan pada sisi tertentu, sampingkan penyebab lain dari koma
(hipoglikemi, strok, sepsis, diabetes koma, uremia, gangguan elektrolit), hindari obat tak
bermanfaat, intubasi bila perlu.
Turunkan suhu badan dengan kompress, fan, air condition, anti-piretika
Pertahankan oksigenasi, pemberian anti-kejang ivl per rektal diazepam, i.m. paraldehyde
Beri 50 ml dextrose 40% dan infus dextrose 10% smapai gula darah stabil, cari penyebab
hipoglikemia
Berikan transfusi darah darah segar, cari penyebab anemianya
Tidurkan 450, oksigenasi, berikan Furosemide 40 mg iv, perlambat cairan infus, intubasiventilation PEEP
Kesampingkan gagal gijal pre-renal, bila dehidrasi 3 koreksi; bila gagal ginjal renal segera
dialysis
Berikan vitamin K 10 mgl hari selama 3 hari; transfusi darah segar; pastikan bukan DIC
Kesampingkanl koreksi bila hipoglikemia, hipovolemia, septichaemia. Bila perlu dialisisl
hemofiltrasi
Pastikan tidakhipovolemia, cari tanda sepsis, berikan anti-biotika broad-spektum yang adequat
Segera anti malaria (artesunate), transfusi ganti (exchange transfusion)

Transfusi ganti :(exchange transfusion)


Parasitemia > 30 % tanpa komplikasi berat
Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat seperti :
serebral malaria, ARF, ARDS, jaundice (bilirubin total >
25 mg%) dan anemia berat.
Parasitemia > 10 % dengan gagal pengobatan setelah
12-24jam anti malaria.
Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (lanjut usia,
late stage parasiteslskizon pada darah perifer)
Pastikan darah transfusi bebas infeksi (malaria, HIV,
Hepatitis)
PENANGANANKERUSAKANIGANGGUANFUNGSI
ORGAN.
TindakanlPengobatan Tambahan Pada Malaria
Serebral
Kejang merupakan salah satu komplikasi dari malaria
serebral. Penangananlpencegahan kejang penting untuk
menghindarkan aspirasi. Penanganan kejang dapat dipilih
di bawah ini :
Diazepam : i.v 10 mg; atau intra-rektal0,5- 1,O mgkgBB.
Paradelhid :0,l mgkgBB
K1ormetiazol (bila kejang bemlang-ulang) dipakai 0,8%
larutan infus sampai kejang hilang
Fenitoin : 5 mgkgBB i.v diberikan selama 20 menit.
* Fenobarbital
Pemberian fenobarbital 3,5 mg/kgBB (umur di atas 6
tahun) mengurangi terjadinya konvulsi.
Anti-TNF dan pentoksifilin dan desferioksamin,
prostasiklin, asetilsistein merupakan obat-obat yang
pemah dicoba untuk malaria serebral dan tidak terbukti
manfaatnya, sedangkan heparin, dekstran, sislosporin,

epinefrin dan hiperimunglobulintidak terbukti berpengaruh


menurunkan mortalitas. Kortikosteroid seperti
deksametason baik dengan dosis sedang ataupun dosis
tinggi tidak terbukti menurunkan mortalitas pada malaria
serebral, karena itu seyogyanyatidak dipergunakan lagi.
Penggunaan steroidjustru memperpanjang lamanya koma
dan menimbulkan banyak efek samping seperti pneumoni
dan perdarahan gastrointestinal.
TindakanlPengobatan pada Gagal Ginjal Akut
Bila terjadi oliguri (dehidrasi) infus 300-500 ml NaCl0,9
untuk rehidrasi sesuai dengan perhitungan kebutuhan
cairan , kalau produksi urin kurang dari 60 mll jam,
diberikan hosemid 40-80 mg i.v. Setelah2 - 3 jam tak ada
urin, pertimbangan melakukan dialysis, semakin dini
'dialysis dilakukan prognosa lebih baik. Bila penderita
hipotensi, dopamin dapat diberikan dengan dosis 2,5-5,O
ugkglmenit. Kebutuhan protein dibatasi 20 ghari dan
kalori diberikan dengan diet karbohidrat 200 glhari.
Hemodialisis lebih baik dari peritoneal-dialisis karena efek
samping perdarahan dan infeksi. Indikasi dialisis antara
lain ialah gejala uremia, gejala kelebihan cairan seperti edema
paru atau gagal jantung kongestif, adanya bising gesek
perikard, hiperkalemia, asidosis HC03 < 15 meqll. Bila
terjadi hiperkalemia, diberikan regular insulin 10unit i.vl
i.m bersama-sama 50 ml dekstrose40%, monitor gula damh
dan serum kalium. Sebagai pilihan lain dapat diberikan
10-20 ml kalsium glukonat 10% i.v pelan-pelan.Altematif
lain yaitu resonium A 15 g/8 jam per oral atau resonium
enema 30 g/8 jam. Bila pemeriksaankadar kaliurn darah tak
tersedia dapat dilakukan monitoring dengan pemeriksaan
elektrokardiografi.
Hipokalemi terjadi 40% dari penderita malaria serebral.
Bila kalium 3,O - 3,5 meqll diberikanKC1per infus 25 meq;

kalium 2,O - 2,9 meqll diberikan KC1 per infus 50-75 meq.
Pemberian KC1 tidak melebihi 100 meqlhari dan tidak
diberikan i.v bolus. Hiponatremi dapat memberikan
penurunan kesadaran. Kebutuhan Natriuin dapat dihitung:
BB (kg) x 60% x Na. defisit (meqll). Satu liter NaCl0,9% =
154 meq; 1 g NaCl puyer = 17 meq. Asidosis (pH < 7,15)
merupakan komplikasi akhir dari malaria berat dan sering
bersama-sama dengan kegagalan fungsi ginjal.
Pengobatannya dengan pemberian bikarbonat. Kebutuhan
Bikarbonat (meq) = 113 B.B(kg) x defisit bikarbonat
dikonfersikan dalam jumlah ml 8,4% NaHC03. Bila
pemberian natrium dikuatirkan terjadinya edema paru,
dapat diberikan THAM (tris-hydroxymethyl-aminomethan)
atau pyruvate dehydrogenase activator dichloroacetate.
Dialisis merupakan pilihan terbaik.
Tindakan Terhadap Malaria Biliosa
Vitamin K dapat diberikan 10 mg/hari i.v selama 3 hari untuk
memperbaiki faktor koagulasi yang tergantung vitamin K.
Gangguan faktor koagulasi lebih sering dijumpai pada
penderita dengan ikterik yang berat. Hati-hati dengan
obat-obatan yang mengganggu fungsi hati seperti
parasetamol, tetrasiklin.

Periksa kadar gula darah secara cepat dengan glukometer


pada setiap penderita malaria berat (malaria serebral,
malaria dengan kehamilan,malana biliosa). Bila kadar gula
darah kurang dari 40 mg/dl, maka diberikan 50 ml Dekstrose
40%i.v dilanjutkan dengan glukosa 10% per infus.
Monitor gula darah tiap 4-6 jam, bila gula darah masih di
bawah 40 mgldl, diulang pemberian bolus 50 ml Dextrose
40%. Bilaperlu obat yang menekan produksi insulin seperti
diazokside, glukagon atau somatostatin analogue.
Penanganan Malaria Algid
Tujuan dalam penanganan malaria algidlmalaria dengan
syok yaitu memperbaiki gangguan hemodinamik. Diberikan
cairan infus plasma atau NaCl0,9% untuk mengembalikan
volume darah (1 L cairan mengandung dekstranlplasma
diberikan dalam 1jam). Bila belum ada perbaikan tekanan
darah dan denyut jantung, di berikan lagi 1 L cairan
isotonis (NaCl 0,9%). Hipotensi biasanya berespon
terhadap cairan. Bila tak berhasil dapat dipakai dopamin
dengan dosis 2-4 ampul dopamin (lamp = 200 mg) dalam
500 ml Dekstrose 5%, dengan tetesan infus mulai 1-2 mcg/
kglmenit. Tetesan sampai 5 mcglkglmenit dopamin
menyebabkan vasodilatasi dan memperbaiki sirkulasi ginjal.
Penanganan Edema Paru
Edema paru merupakan komplikasi yang fatal, pada

malaria berat sebaiknya dilakukan penanganan untuk


mencegah terjadinya edema paru. Pemberian cairan
dibatasi, sebaiknya menggunakan monitoring dengan
CVP line. Peinberian cairan melebihi 1500 ml cenderung
memberikan edema panl. Bila ada anemi, transfusi darah
diberikan perlahan-lahan. (1 unit darah dalam 4 jam).
Mengurangi beban jantung kanan dengan tidur setengah
duduk, pada edema paru karena kelebihan cairan dapat
diberikan diuretika, yaitu furosemide 40 mg i.v. Untuk
memperbaiki hipoksia diberikan oksigen konsentrasi tinggi
(6-8 llmenit) dan bila mungkin dengan bantuan respirator
mekd.
Penanganan Anemi
Bila anemi kurang dari 5 gldl atau hematokrit kurang dari
15% diberikan tranfusi darah whole blood atau packed
cells. Darah segar lebih baik dibanding darah biasa.
Transfusi sebaiknya pelan-pelan, kalau perlu dengan
monitoring CVP line atau dengan memberikan hrosemid
20 mg sebelum transfusi.
Penanganan Terhadap lnfeksi SekunderlSepsis
Infeksi sekunder yang sering terjadi yaitu pneumonia
karena aspirasi, sepsis yang berasal dari infeksi perut dan
infeksi saluran kencing karena pemasangan kateter.
Antibiotika yang dianjurkan sebelum diperoleh hasil kultur
ialah kombinasi ampisilin dan gentamisin, atau bila
mungkin sefalosporin generasi ke I11 (seftizoksim,
seftriakson atau ceftazidime), atau karbapenem
Prognosis
Pada infeksi malaria hanya terjadi mortalitas bila mengalami
malaria berat. Pada malaria berat, mortalitas tergantung
pada kecepatan penderita tiba di RS, kecepatan diagnosa
dan penanganan yang tepat. Walaupun demikian
mortalitas penderita malaria berat di dunia masih cukup
tinggi bervariasi 15%-60% tergantung fasilitas pemberi
pelayanan. Makin banyak jumlah komplikasi akan diikuti
dengan peningkatan mortalitas, misalnya penderita dengan
malaria serebral dengan hipoglikemi, peningkatan
kreatinin, dan peningkatan bilirubin mortalitasnya lebih
tinggi dari pada malaria serebral saja.
Prognosis pada malaria berat tergantung pada:
Kecepatanlketepatandiagnosis dan pengobatan. Makin
cepat dan tepat dalam menegakkan diagnosis dan
pengobatannya akan memperbaiki prognosisnya serta
memperkecil angka kematiannya.

Kegagalan fungsi organ. Kegagalan fungsi organ dapat


tejadi pada malaria berat terutama organ-organ vital.
Semakin sedikit organ vital yang terganggu dan mengalami
kegagalan dalam fungsinya, semakin baik prognosisnya.

Ke~adatanparasit. Pada pemeriksaan hitung parasit


(paiasite count) semakin padat/banyak jumlah parasitnya
yang didapatkan, semakin bumk prognosisnya, terlebih
lagi bila didapatkan bentuk skizon dalam pemeriksaan
&rah tepinya.

REFERENSI
Baird JK. Effectiveness of antimalarial drugs. New Eng J Med.
2005;352: 1565-77.
Barnes KI, Mwenechanya J, Tembo M et all : Efficacy of rectal
artesunate compared with parenteral quinine in initial treatment of moderately severe malaria in Afrika children and adults:
a radomised study. Lancet 2004 : 363 (9421) : 1598 - 605
Harijanto, PN : Management of Cerebral Malaria. Medical Progress
1999 : 23 -7.
Harijanto PN : Penanganan Malaria Berat. Penerbit Buku
Kedokteran ECG 2000 : 224 -236
Harijanto PN. Gejala klinik malaria berat. Da1am:Harijanto PN
(ed). Malaria: Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis,
dan Penanganan. Jakarta:EGC. 1999.p. 166-84.
Krudsood S, Wilairatana P, Vannaphan S, et all : Clinical experience
with intravenous quinine, intramuscular artemether and intravenous artesunate for the treatment of severe malaria in Thailand. SouthEast Asia J. Trop Med Public Health 2003: 34(1):
5 4 -61.

Njuguna PW, Newton CR : Management of severe fakiparum


malaria. Journal of Post Graduate Medicine 2004; 50 :45- 50
Pasvol G. Malaria. 1n:Cohen J. Powderly WG,(eds). Infectious
Diseases. Edinburgh. London. New York. Oxford. Philadelphia.
St.Louis. Sydney Toronto. Mosby, 2004. p.1579-91.
. Squth East Asian Quinine Artesunate Malaria Trial (SEAQUAMAT)
group. Artesunate versus quinine for treatment of severe falcifarum
malaria: a randomized trial. Lancet. 2005;366:77-25.
.Trapuz A, Jereb M, Muzlovic I et all : Clinical review : Severe
Malaria. Critical Care 2003 : 7 :315 -323
Warrell DA, Molyneux ME, Beales PF. Severe and Complicated
Malaria. 2nd ed. World Health Organization Division of Control of Tropical Diseases.
White NJ, Breman JG. In: Braunwald E, Fauci A, 15th ed. Harrison's
Principles of Internal Medicine, 2001 .p.1203-13.
White NJ 1n:Sherman IW. Malaria : Parasite Biology, Pathogenesis
and Protection. 1998.p.371-85.
WHO : Severe Falcipamm Malaria. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 2000
WHO. The diagnosis and management of severe and complicated
falsifamm malaria. Paret I1 Tutor's Guide. Training Unit Division of Control of Tropical Diseases World Health Organization. Geneva, 1995.
WHO. Severe falsifarum malaria. World Health Organization 2000.
WHO. Guidelines for the treatment of malaria 2006. World Health
Organization 2006.
~

DIARE AKUT

ENA INFEKSI

Budi Setiawan

3iare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang


neningkat dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari
lengan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan
3ersifat mendadak datangnya serta berlangsung dalam
waktu kurang dari dua minggu. Menurut WHO (1980) diare
adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali
sehari.
Diare akut adalah diare yang awalnya mendadak dan
berlangsung singkat, dalam beberapa jam atau hari dan
berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu, dan
disebut diare persisten hila berlangsung selama 2 sampai
dengan 4 minggu. Bila berlangsung lebih dari 4 minggu
disebut sebagai diare kronik.
I

Pada tahun 1995 diare akut karena infeksi sebagai penyebab


kematian pada lebih dari 3 juta penduduk dunia. Kematian
karena diare akut dinegara berkembang terjadi terutama
pada anak-anak berusia kurang dari 5 tahun, dimana dua
pertiga diantaranya tinggal didaerahllingkungan yang
buruk, kumuh dan padat dengan sistem pembuangan
sampah yang tidak memenuhi sarat, keterbatasan air bersih
dalam jumlah maupun distribusinya, kurangnya sumber
bahan makanan disertai cara penyimpanan yang tak
memenuhi syarat , tingkat pendidikan yang rendah, serta
kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan .
Di Amerika Serikat dengan perbaikan sanitasi dan
tingkat pendidikan, prevalensi diare karena infeksi
berkurang. Data dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) menunjukan bahwa infeksi karena
Salmonella, Shigella. Listeria, Escherichia coli, dan
Yersinia berkurang berkisar 20-30% berkat perhatian atas
kebersihan &n keamanan makanan. Sementara di beberapa
rumah sakit di Indonesia data menunjukan diare akut karena

infeksi masih menduduki peringkat pertama sampai dengan


keempat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah
sakit.

Lebih dari 90% diare akut disebabkan karena infeksi,


sedangkan sekitar 10% karena sebab-sebab lain antara lain
obat-obatan,bahan-bahan toksik, iskemik dan sebagainya.
Diare akut karena infeksi dapat ditimbulkan oleh :

Bakteri. Escherichia coli, Salmonella typhi, Salmonella


paratyphi A/B/C, Salmonella spp, Shigella dysentriae,
Shigella jlexneri, Vibrio cholerae 01 dun 0139, Vibrio
cholerae non 01, Vibrio parachemolyticus, Clostridium
perfringens, Campylobacter (Helicobacter) jejuni,
Staphlyllococcus spp, Streptococcus spp, Yersinia
intestinalis, Coccidosis.
Parasit. Protozoa : Entamoeba hystolitica, Giardia
lamblia, Trichomonas hominis, Isospora sp. Cacing: A.
lumbricoides, A. duodenale, N. americanus, Ttrichiura,
O.vermicularis, S.stercoralis, I: saginata, T sollium.
Virus. Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus.
Pola mikro organisme penyebab diare akut berbedabe& berdasarkan umur, tempat dan waktu. Di negara maju
penyebab paling sering Nonvalk virus, Holicobacter
jejuni, Salmonella sp, Clostridium dvficile, sedangkan
penyebab paling sering di negara berkembang adalah
Enterotoxicgenic Escherichia coli (ETEC), Rota virus
dan Y cholerae.
Penelitian di RS. PersahabatanJakarta T i(1993- 1994)
pada 123 pasien dewasa yang dirawat di bangsal diare
akut, didapatkan hasil isolasi sebagaimana terlihat pada
Tabel 1.

DIAREAKUT KARENA INFEKSI

Jenis

E. coli
V. cholarae ogawa
Aerornonas sp
S. flexneri
Salmonella sp.
E. hystolitica
A. lumbriciodes
Rotavirus
Candida sp.
NAG vibrio
T. trichiura
P. shigelloides
B. horninis
Jumlah

Jumlah

YO

67
32
25
11
10
9
6
5
3
2
2
1
1

38.29
18,29
14,29
6,29
5,71
5,14
3,43
2,86
1,71
1,14
1 ,I4
0,57
0,57

175

100

(Surnber dari : Budi Setiawan. Pola mikrobiologi penyebab diare akut


pada penderita dewasa yang dirawat di bangsal Gastroenteritis UPF.
Penyakit Dalarn RSUP. Persahabatan Jakarta Timur. Final paper
1995)

Sebanyak sekitar 9- 10 liter cairan memasuki saluran cerna


setiap harinya, berasal dari luar (diet) dan dari dalam tubuh
kita (sekresi cairan lambung, empedu dan sebagainya)
Sebagian besar (75%-85%) dari jumlah tersebut akan
diresorbsi kembali di usus halus dan sisanya sebanyak
1500 ml akan memasuki usus besar. Sejumlah 90% dari
cairan tersebut di usus besar akan diresorbsi, sehingga
tersisa sejumlah 150-250 ml cairan yang akan ikut
membentuk tinja.
Faktor-faktor faali yang menyebabkan diare sangat erat
hubungannya satu sama lain, misalnya saja, cairan intraluminal yang meningkat menyebabkan terangsangnya usus
secara mekanismemeningkatnya volume, sehingga motilitas :
usus meningkat. Sebaliknya bila waktu henti makanan di
usus terlalu cepat akan menyebabkan gangguan waktu
penyentuhan makanan dengan mukosa usus sehingga
penyerapan elektrolit, air dan zat-zat lain terganggu.
Bagan patofisiologi diare secara sederhana dapat
dilihat pada gambar 1. Jelas bahwa meskipun infeksi
merupakan penyebab diare akut terbanyak di Indonesia
narnun ia hanya merupakan sebagian dari faktor-faktor faal
yang berperan dalam patofisiologi diare.

Dua ha1 umum yang patut diperhatikan pada keadaan diare


akut karena infeksi adalah faktor kausal (agent) dan faktor
penjamu (host). Faktor penjamu adalah kemampuan tubuh
untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang
dapat menimbulkan diare akut, terdiri atas faktor-faktor
daya tangkis atau lingkungan intern traktus intestinalis

seperti keasamam lambung, motilitas usus, imunitas dan


juga mencakup lingkungan mikroflora usus, sekresi
mukosa, dan enzim pencernaan.
Penurunan keasaman lambung pada infeksi shigella
terbukti dapat menyebabkan serangan infeksi yang lebih
berat dan menyebabkan kepekaan lebih tinggi terhadap
infeksi oleh Fcholerae. Hipomotilitas usus pada infeksi
usus memperlama waktu diare dan gejala penyakit, serta
mengurangi absorbsi air dan elektrolit, tambahan lagi akan
mengurangi kecepatan eliminasi sumber infeksi. Peran
imunitas dibuktikan dengan didapatkannya frekuensi
pasien Giardiasis yang lebih tinggi pada mereka yang
kekurangan IgA, demikian pula diare yang terjadi pada
penderita HIVIAIDS karena gangguan imunitas. Percobaan
lain membutikan bahwa bila lumen usus dirangsang oleh
suatu toksoid berulang kali, akan terjadi sekresi antibodi.
Pada percobaan binatang untuk mempelajari hubungan
antara mikroflora usus dan tantangan infeksi, didapatkan
perkembangan Salmonella typhi murium dapat dikurangi
pada mikroflora usus yang normal.
Faktor kausal yang mempengaruhi patogenesis antara
lain adalah daya lekat dan penetrasi yang dapat merusak
sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang
mempengaruhi sekresi cairan di usus halus. Kuman
tersebut dapat membentuk koloni-koloni yang juga dapat
menginduksi diare. Patogenesis diare disebabkan infeksi
bakteri terjadinya oleh:
Bakteri Non-invasi (Enterotoksikgenik)
Diare yang disebabkan oleh bakteri non-invasi disebut
juga diare sekretorik, atau watery diarrhea.
Pada diare tipe ini disebabkan oleh bakteri yang
memproduksi enterotoksin yang bersifat tidak merusak
mukosa. Bakteri non-invasi misalnya V.cholerae non 0 1,
V.cholerae 0 1 atau 0 139, Enterotoxigenic E.coli (ETEC),
C.perf?ingens, Staph.aureus, B.cereus, Aeromonas spp.
V.cholerae eltor mengeluarkan toksin yang terikat pada
mukosa usus halus 15-30 menit sesudah diproduksi dan
enterotoksin ini mengakibatkan kegiatan berlebihan
nikotinamid adenin dinukleotid pada dinding sel usus,
sehingga meningkatkan kadar adenosin 3',5'-siklik
monfosfat (siklik AMP) dalam sel yang menyebabkan
sekresi aktif anion klorida ke dalarn lumen usus yang diikuti
oleh air, ion bikarbonat, kation Natrium dan Kalium. Namun
demikian mekanisme absorbsi ion Na melalui mekanisme
pompa Na tidak terganggu; karena itu keluamya. ion C1(disertai ion HCO;, H20,Na+dan K+)dapat dikompensasi
oleh meningkatnya absorbsi ion Na (didiringi oleh H20,
K+,HCO; dan C1-). Kompensasi ini dapat dicapai dengan
pemberian larutan glukosa yang diabsorbsi secara aktif
oleh dinding sel usus. Glukosa tersebut diserap bersama
air, sekaligusdiiringi oleh ionNa+,K+,C1-dan HCO;. Inilah
dasar terapi oralit per oral pada kolera, sebagaimanaterlihat
pada skema berikut (Gambar 1).

Dindlna
- eDnel
.
Enlem loksln

Lumen

Sel epltel usus

Plnlu absorbsi glukw


Glukosa (dllrlngl (HpK.ka. ACO)

CI

Na*(dlinngl (HQK. Na, VCO)

Diare pada keadaan ini ditandai dengan kerusakan dan


kematian enterosit, dengan peradangan minimal sampai
berat, disertai gangguan absorbsi dan sekresi.
Setelah kolonisasi awal, kemudian terjadi perlekatan
bakteri ke sel epithel dan selanjutnya terjadi invasi bakteri
kedalam sel epithel, atau pada IBD mulai terjadinya
inflamasi. Tahap berikutnya terjadi pelepasan sitokin antara
lain interleukin 1 (IL-l), TNF-a, dan kemokin seperti
interleukin8 (IL-8)dari epithel clan subepithelmiofibroblas
(Gambar2).

HCO,
I DIRECTCEU D A M O E DEITH

Pompa naiiium
(sodium pump)

PUUNl

~hblDYUsl

w
d
"
,

Romrlnn

m l l a
9010111

BrUm

Gambar 1. Mekanisme keja enterotoksin AMF siklik dan cara


kornpensasioleh larut glukosa elektrolit (Dikutip dari Hendarwanto,
2000)

Secara klinis dapat ditemukan diare berupa air seperti


cucian beras dan meninggalkan dubur secara deras dan
banyak(vo1uminous). Keadaan ini disebut sebagai diare
sekretorik isotonikvoluminial. (watery diarrhea).
ETEC mengeluarkan 2 macam enterotoksin ialah labile
toxin (LT) dan stable toxin (ST). LT bekerja secara cepat
terhadap mukosa usus halus tetapi hanya memberikan
stimulasi yang terbatas terhadap enzim adenilat siklase.
Dengan demikianjelas bahwa diare yang disebabkan E.coli
lebih ringan dibandingkan diare yang disebabkan
V.cholerae.
Clostridium perfringens (tipe A) yang sering
menyebabkan keracunan makanan menghasilkan
enterotoksin yang bekerja mirip enterotoksin kolera yang
menyebabkan diare'yang singkat dan dahsyat.
Bakteri Enterovasif
Diare yang disebabkan bakteri enterovasifdisebut sebagai
diare Inflammatory. Bakteri non-invasif misalnya:
Enteroinvasive E.coli (EIEC), Salmonella spp, Shigella
spp, Cjejuni, Kparahaemolyticus, Ersinia, C.petjhgens
tipe C, Entamoeba histolytica, Pshigelloides, C.d@cile,
Campylobacter spp. Dihe terjadi disebabkan kerusakan
dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya
sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat tercarnpur dengan
lendir dan darah. Walau demikian infeksi oleh kuman-kuman
ini dapat juga bermanifestasi sebagai suatu diare
sekretorik . Pada pemeriksaan tinja biasanya didapatkan
sel-sel eritrosit dan leukosit.

U IMMUNE 8 Y 8 l W Y W l T C D CEU DIMLOE ID U T H

1
muuld-'

DyplmmFwa
LHlP

Gambar 2. 1. Kerusakanlkematian sel-sel entrosit akibat invasi


mikroorganisme secara langsung; II. Kenrsakanlkematiansel-sel
entrosit berdasarkan mekanisme imunologi

IL-8 adalah molekul kemostatik yang akan mengaktikm


sistim fagositosis setempat dan merangsang sel-sel
fagositosis lainnya ke lamina propia. Apabila substansi
kemotaktik (IL-8) dilepas oleh sel epitel, atau oleh
mikroorganisme lumen usus (kemotaktik peptida) dalam
konsentrasi yang cukup kedalam lumen usus, maka
neutrofil akan bergerak menembus epitel dan membentuk
abses kripta, dan melepaskan berbagai mediator seperti
prostaglandin, leukotrin,
actifating factor, dan
hidrogen peroksida dari sel fagosit akan merangsang
sekresi usus oleh enterosit, dan aktifitas saraf usus.
-Terdapat3 mekanisme dare inflamatori, kebanyakan
disertai kerusakan brush border clan beberapa kematian
sel enterosit disertai ulserasi.
Invasi mikroorganisme atau parasit ke lumen usus
secara langsung akan merusak atau membunuh sel-sel,
enterosit.
Jika infeksi mikrorganisme begitu kompleks, misalnya

infeksi Nematoda (cacing tamhang) maka diare yang


tejadi terutama karena terjadinya reaksi anafilaksis
usus. Infeksi cacing akan mengakibatkan enteritis
inflamatori yang ringan yang disertai pelepasan
antibodi IgE dan IgG untuk melawan cacing. Selama
terjadinya infeksi atau reinfeksi, maka akibat reaksi
silang reseptor antibodi IgE atau IgG di Mast sel, terjadi
pelepasan mediator inflamasi yang hebat seperti
histamin, adenosin, prostaglandin, dan lekotrin.
Respons patofisiologi di usus hampir sama seperti
seperti yang terjadi di dalam saluran nafas pada rhinitis
alergika atau asthma, yang mana terdapat respon
anafilaksis di usus yang diikuti oleh peradangan
(infla~nasi)dengan akibat lebih lanjut terjadi proses
sekresi yang hebat disertai kontraksi otot usus untuk
mengeluarkan nemotoda dari usus.
Mekanisme imunologi akibat pelepasan produk dari sel
lekosit polimorfonuklear, makrophage epithelial, limfosit
T akan mengakibatkan kerusakan dan kematian sel-sel
enterosit.
Pada keadaan-keadaan di atas sel epitel, makrofag,
dan subepithel miofibroblas akan melepas kandungan
(matriks) metaloprotein dan akan menyerang membrana
basalis dan kandungan molgkul interstitial, dengan akibat
akan terjadi pengelupasan sel-sel epithel dan selanjutnya
terjadi remodeling matriks (isi sel epithel) yang
mengakibatkan vili-vili menjadi atropi, hiperplasi kriptakripta di usus halus dan regenerasi hiperplasia yang tidak
teratur di usus besar (kolon). Pada akhirnya terjadi
kerusakan atau sel-sel imatur yang rudimenter dimana vilivili yang tak berkembang pada usus halus dan kolon. Selsel imatur ini akan mengalami gangguan dalam fungsi
absorbsi dan hanya mengandung sedikit (defisiensi)
disakaridase, hidrolase peptida, berkurangnya Itidak
terdapat mekanisme Nu-coupled sugar atau mekanisme
transport asam amino, dan berkurangnyaftakterjadi transport absorbsi NaC1. Sebaliknya sel-sel kripta dan sel-sel
baru vili yang imatur atau sel-sel permukaan
mempertahankan kemampuannya untuk mensekresi C1(mungkin HC0,-). Pada saat yang sama dengan
dilepaskannya mediator inflamasi dari sel-sel inflamatori
di lamina propia akan merangsang sekresi kripta hiperplasi
dan vili-vili atau sel-sel permukaan yang irnatur. Kerusakan
immune mediated vaskular mungkin menyebabkan
kebocoranprotein dari kapiler. Apabila terjadi ulserasi yang
berat, maka eksudasi dari kapiler dan limfatik dapat beperan
terhadap terjadinya diare. Setelah mengalami kerusakan,
epitel akan mengalami pemulihan dan proliferasi dan secara
sekunder akan terjadi pelepasan prostaglandin dan faktor
pertumbuhan, seperti transforming growth factor,
hepatocyt growth factor , keratinocyt GI;: epidermal GI;:
danfzbroblast GF dari sel-sel epithel, sel-sel imun,
miofibroblas.Proses-proses inilah yang akan memperbaiki
sel-sel epitel permukaan.Bila terjadi peradangan (infiamasi)

yang berulang maka terjadinya fibrosis akan lebih dominan


dibanding proses penyembuhan. Aktifasi limfosit dan
netrofil akan melepaskan IL- 1 dan TNF-or ke dalam darah,
selanjutnya di otak akan menyebabkan timbulnya gejalagejala sistemik berupa reaksi peradangan yang berat
(demam, malaise, anoreksia, dan obtudation). Sitokinsitokin juga akan menggiatkan corticotropin-realesing
factor di otak yang akan merangsang aksis hipotalamusadrenal dan memprakasai respon stress glukokortikoid.
Terdapat 4 katagori inflamatori diare : infeksi,
hipersensitif, sitostatik (anticancer) agent, dan penyakit
idiopatik (mungkin autoimun).

Penularan diare akut karena infeksi melalui transmisi fekaloral langsung dari penderita diare atau melalui makananl
minumaan yang terkontaminasi bakteri patogen yang
berasal dari tinja manusiakewan atau bahan muntahan
penderita. Penularan dapat juga berupa transmisi dari
manusia ke manusia melalui udara (droplets infection)
misalnya Rotavirus, atau melalui aktifitas seksual kontak
oral-genital atau oral-anal.
Diare akut karena infeksi bakteri yang mengandungl
memproduksi toksin akan menyebabkan diare sekretorik
(watery diarhhea) dengan gejala-gejala mual, muntah,
dengan atau tanpa demam yang umumnya ringan, disertai
atau tanpa nyerikejang perut, dengan feses lembeklcair.
Umumnya gejala diare sekretorik timbul dalam beberapa
jam setelah makadminuman y ang terkontaminasi.
Diare sekretorik (watery diarrhea) yang berlangsung
beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang
adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan
cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau
karena gangguan biokimiawi bempa asidosis metabolik
yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang akan
merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung,
lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun
serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini
disebabkan deplesi air yang isotonik.
Sedangkan kehilangan bikarbonas dan asam karbonas
berkurang yang mengakibatkan penurunan pH darah.
Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan
sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam
(pernafasan Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha badan
untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH darah dapat
kembali normal. Gangguan kardiovaskular pada tahap
hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi yang cepat (> 120/menit),tekanan
darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah
muka pucat ujung-ujung ektremitas dingin dan kadang
sianosis karena kehilangan kalium pada diare akut juga
dapat timbul aritmiajantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi

ginjal menurun dengan sangat dan akan timbul anuria. Bila


keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa
nekrosis tubulus ginjal akut, yang dapat mengakibatkan
gaga1 ginjal akut.
Sedangkan keadaan asidosis metabolik menjadi lebih
berat, akan terjadi kepincangan pada pembagian darah
dengan pemusatan darah yang lebih banyak dalam
sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting sekali karena
dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang
menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.
Bakteri yang invasif akan menyebabkan diare yang
disebut sebagai diare inflarnasi dengan gejala mual, muntah
dan demam yang tinggi, disertai nyeri perut, tenemus, diare
disertai lendir Can darah.
Pada diare akut karena infeksi, dugaan terhadap bakteri
penyebab dapat diperkirakan berdasarkan anamesis
makananlminuman dalam beberapajamlhari terakhir (Tabel
I), dan anamesis/observasi bentuk diare (Tabel 2).

Sarana
Air

Makanan
Unggas
Sapi, Juice buah yg
tidak dipasteurisasi
Babi
Seafood & kerang

Keju, susu
Telur
Mayonnaise +
makanan & cream
Nasi goreng
Berrie segar
Sayuran atau buahbuahan kaleng
Kecamba h
Hewan ke manusia
Manusia ke manusia
(termasuk seksual
kontak)
Day care center

Rumah sakit, antibiotic,


Khemoterapi
Kolam renang
Wisatawan asing

Bakteri Patogen
Vibrio cholerae, Norwalk agent,
Giardia, Cryptospordium
(termasuk makanan yg dicuci
dengan air tsb)
Salmonella, Campylobacter, dan
Shigella spp.
Enterohemorrhagic Escherichia
coli.
Cacing pita (Tapeworm).
V.cholerae non
01, V.parahaernolyticus;vibrio
spp, Salmonella Spp,
Aeromonas spp, Hepatitis
A,B,C.
Tapeworm dan anisakla.
Listeria spp.
Salmonella spp.
Staphylococcus dan Clostridium.
Bacillus cereus.
Cycklospora spp.
Clostridium.spp.
Enterohemorrhagic E.coli dan
Salmonella spp.
Salmonella,Campylobacter, Crypt
osporidium, Giardia spp.
Semua bakteri enterik, virus,
parasit.

Yersinia dapat menginvasi mukosa ileum terminalis dan


kolon bagian proksimal, dengan nyeri abdomen disertai
nyeri tekan di regio titik Mc. Burney dengan gejala seperti
Apendisitis akut.
Diare akut karena infeksi dapat disertai gejala-gejala
sistemik lainnya, seperti Reiter Z syndrome (arthritis,
uretritis, dan konjungtivitis) yang dapat disebabkan oleh
Salmonella, Campylobacter, Shigella, dan Yersinia.
Shigella dapat menyebabkan hemolytic-uremic syndrome.
Diare akut dapat juga sebagai gejala utama beberapa
infeksi sistemik antara lain hepatitis virus akut, listeriosis,
legionellosis, dan toksik renjatan sindrom.

Travelers Diarrhea
Sebagian besar travelers diarrhea bersifat watery
diarrhea. Penyebab travelers diarrhea paling sering
enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC), Shigella spp,
Campylobacter jejuni, Samonella spp, Plesiomonas
shigeloides, non cholerae vibrio, dan Aeromonas spp.
Watery diarrhea yang berat, dan segera disertai
dehidrasi yang berat patut dicurigai kemungkinan
disebabkan oleh K cholerae 0 1 atau 0 139.
Diare Karena Antibiotika
Kemungkinan terjadinya diare pada penderita yang
sedang mendapat pengobatan antibiotika berspektrum luas
sekitar 20%, tetapi hanya sekitar 30-50% yang dapat
diketahui penyebabnya yaitu Clostridium dzjficile yang
mengakibatkan kolitis pseudomembran. Gejala yang
ditimbulkan dapat berupa diare yang hebat yang dapat
mengakibatkan kematian.
Diare pada Perawatan Sehari-hari
Diare dapat terjadi pada perawatan sehari (day-care),
umumnya dapat terjadi dengan penularan bakteri dalarn
jumlah rendah misalnya Shigella, Giardia, Cryptosporidium, atau karena rotavirus, astrovirus,
adenovirus.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah
- Darah perifer lengkap.
- Ureum, kreatinin.
- Serum elektrolit :Na', K', C1-.
- Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda
gangguan keseimbangan asam basa (pernafasan
Kusmaull)
- Immunoassay : toksin bakteri (C.dzflcile), antigen
virus (rotavirus), antigen protozoa (Giardia,
E.histolytica)
Feses
- Feses lengkap (mikroskopis : peningkatan jumlah
,

Shigella, Campylobacter,
Cryptosporidium, Giardia spp.,
Virus,, Clostridium difficle.
C.difficile.
Giardia dan Cryptospondium spp.
E.coli,Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Giardia,
Cryptosporidium spp., Entamoeba
histolytica.

lekosit di feses pada injlamatoly diarrhea; parasit


: amoeba bentuk tropozoit, hypha pada jamur)
Biakan dan resistensi feses (colok dubur)

Pemeriksaan penunjang diperlukan dalam


penatalaksanaan diare akut karena infeksi, karena dengan
tata cara pemeriksaan yang terarah akan sampai pada terapi
definitif

DIAGNOSIS

Diare akut karena infeksi dapat ditegakkan diagnostik


etiologi bila anamesis, manifestasi klinis dan pemeriksaan
penunjang menyokongnya.
Beberapa petunjuk anamnesis yang mungkin dapat
membantu diagnosis : 1). Bentuk feses (wately diarrhea
atau disentri diare); 2). Makanan clan minuman 6-24 jam
terakhir yang dimakadminum oleh penderita. (Tabel 2); 3).
Adakah orang lain sekitarnya menderita ha1 serupa, yang
mungkin oleh karena keracunan makanan atau pencemaran
sumber air; 4). Dimana tempat tinggal penderita. Asrama,
penampungan jompolpengungsi dan lain-lain, dapat
merupakan tempat kontak dengan Shigella, Giardia; 5).
Siapa:
Wisatawan asing patut dicurigai kemungkinan kholera,
E.coli, amoebiasis, Giardiasis.
Pola kehidupan seksual.
Umumnya diare akut bersifat ringan dan merupakan
selJllimiteddisease.Indikasi untuk melakukan pemeriksaan
lebih lanjut yaitu diare berat disertai dehidrasi, tampak darah
pada feses, panas > 38,5O C, diare > 48 jam tanpa tandatanda perbaikan, kejadian luar biasa (KLB), nyeri perut
hebat pada penderita berusia > 50 tahun, penderita usia
lanjut > 70 tahun, dan pada penderita dengan daya tahan
tubuh yang rendah.
PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang


dewasa terdiri atas: 1). Rehidrasi sebagai prioritas utama
pengobatan; 2). Memberikan terapi simptomatik; 3).
Memberikan terapi definitif.
'
Rehidrasi sebagai Prioritas Utama Pengobatan
Ada ha1 yang penting diperhatikan agar dapat memberikan
rehidrasi yang cepat dan akurat, yaitu :
Jenis cairan yang hendak digunakan. Pada saat ini cairan
Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena tersedia
cukup banyak di pasaran, meskipunjumlah kaliumnya lebih
rendah bila dibandingkan dengan kadar Kalium cairan tinja.
Apabila tidak tersedia cairan ini, boleh diberikan cairan
NaCl isotonik. Sebaiknya ditambahkan satu ampul

Nabikarbonat 7,5% 50 ml pada setiap satu liter infus NaCl


isotonik. Asidosis akan dapat diatasi dalam 1-4jam. Pada
keadaan diare akut awal yang ringan, tersedia di pasaran
cairanlbubuk oralit, yang dapat diminum sebagai usaha
awal agar tidak terjadi rehidrasi dengan berbagai akibatnya.
Jumlah cairan yang hendak diberikan.Pada prinsipnya
jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai denganjumlah
cairan yang keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan
dapat dihitung dengan memakai cara :
B.D. Plasma dengan memakai rumus :
Kebutuhan cairan :
BD plasma- 1.025 x BB x 4 ml
0.00 1

Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang


diberikan penilaiadskor sebagai berikut:
Jalan masuk atau cara pemberian cairan. Rutepemberian
cairan pada orang dewasa terbatas pada oral clan intravena.
Untuk pemberian per oral diberikan larutan oralit yang
komposisinya berkisar antara 29g glucosa, 3,5 g NaCl, 2,5
g Na bikarbonat dan 1,5 g KC1 setiap litemya. Cairan per
oraljuga digunakan untuk mempertahankan hidrasi setelah
rehidrasi inisial.
Jadwal pemberian cairan. ~ n t u jadwil
k
rehidrasi inisial
yang dihitung dengan rumus BD plasma atau sistem skor
Daldiyono diberikan dalam waktu 2 jam. Tujuannyajelas
agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin. Jadwal
pemberian cairan tahap kedua yakni untuk jam ke-3,
didasarkan kepada kehilangan cairan selama 2 jam
pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya, rehidrasi
diharapkan lengkap pada akhirjam ke-3.
Melakukan Terapi Simtomatik
Pemberian terapi simtomatik haruslah berhati-hati dan
setelah benar-benar dipertimbangkan karena l'ebihbanyak
kerugian daripada keuntungannya.
Anti motilitas seperti Loperamid akan memperburuk
diare yang diakibatkan oleh bakteri yang entero invasif
karena potensial akan memperpanjang waktu kontak antara
bakteria dengan epitel usus. Kalau memang dibutuhkan
karena pasien amat kesakitan diberikan dalam jangka
pendek (1-2 hari saja) dan jumlah sedikit serta
memperhatikan ada tidaknya glaukoma atau hipertropi
prostat.
Hal yang sama harus sangat diperhatikan pada
pemberian antiemetik, karena Metoklopropamid misalnya
dapat memberikan kejang pada anak dan remaja akibat
rangsangan ekstrapiramidal.
Pada diare akut yang ringan kecuali rehidrasi peroral,
bila tak ada kontraindikasi dapat dipertiinbangkan
pemberian Bismuth subsalisilat maupun loperamid dalam
waktu singkat. Pada diare yang berat obat-obat tersebut
dapat dipertimbang dalam waktu pemberian yang singkat

dikombinasi dengan pemberian obat antimikrobial.


Pada penderita diare mungkin &pat disertai dengan
keadaan lactosa intolerance, oleh karena itu sementara
hindari pemberian makanan/minuman yang mengandung
susu sampai diarenya membaik. Makanan yang pedas atau
banyak mengandung lemak dapat memperberat
penyakitnya.

Melakukan Terapl Definltlf


Pada infeksi saluran cerna pencegahan sangat penting.
Higiene perorangan, sanitasi lingkungan dan imunitas
melalui vaksinasi memegang peran. Terapi kausal dapat
diberikan pada infeksi :
* Kolera eltor : Tetrasiklin 4x500 mghari, selama tiga
hari atau Kortimoksazol, dosis awal2x3 tab, kemudian
2x2 tab selama 6 hari atau Kloramfenikol, 4x500 mg/
hari selama 7 hari atau golongan Fluoroquinolon
K parahaemolyticus
E. coli : ETEC, enterohemorrhagic E.coli
C.pet@ingens : spesifik
S.aureus :kloramfenikol4x500 mghari
Salmonellask :Ampisilin 4x1g M atau kotrikmoksazol
2x2 tab masing-masing selama 10-1 hari atau
golonganfluoroquinolon seperti Siprofloksasin 2x500
mg selarna 3-5hari.
Shigellasis : Ampisilin 4xlghari selama 5 hari atau
Kloramfenikol 4x500 mghari selama 5 hari. Telah
dilaporkan adanya Shigella yang resisten terhadap
Ampisilin.
Infeksi helikobakterjejunieritromisin 3x500 atau 4x500
mg/hari selama 7 hari.
a.
Amubiasis :Metronidazol4~500mg/hari selama 3 hari
atau Tinidazoldosis tunggal2ghari selama 3 hari atau
Seknidazol dosis tunggal 2g/hari selarna 3 hari atau
tetrasiklin 4x500 mghari selama 10hari.

Giardiasis : Quinakrin 3xlOOmghari selama 1 minggu


atau Khloroquin 3x100 mghari selama 5 hari atau
Metronidazol3~250mghariselama 7 hari.
Balantidiasis :Tetrasiklin 3 x500 mghari selama 10 hari.
Kandidosis :Nistatin 3~500.000unit selama 10hari
Virus : simtomatik dan suportif.

REFERENSI
Ahlquist David A, Camilleri M. Diarrhea & Costipation. Dalam
buku: Horrison's Principles of Internal Medicine. l 51h edition.
Braunwald, Fauci, Kasper et all (Editor). 2001, 241 - 50.
Cook G.C, Tropical Gastroenterological Problems. Dalam buku:
Manson's Tropical Diseases. 21" edition. Cook GC, Zumla A.
(Editor). London : WB Saunders Co Itd; 2003.p. 817-22.
Daldiyono. Diare. Buku ajar Gastro Enterologi Hepatologi,
Infonnatika, 1990 edisi 1: 21.
Hendarwanto. Diare akut karena infeksi. Dalam buku: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Sarwono WP (Editor),Jakarta: Balai Penerbit
U1; 2000.p.451 - 7.
Nelwan R.H.H dan Soemarsono. Pathogenesis dan Pathofisiologi
Diarre pada Orang Dewasa, Diare , Penaggulangan dan hasilhasilnya, editor Broto Warsito, Dirjen P3M Depkes RI,
1979,70.
Nelwan R.H.H dan Soemarsono. Penatalaksanaan diare pada orang
dewasa, Diare, penanggulangan dan hasil-hasilnya, editor Broto
Warsito, Dirjen P3M Depkes RI, 1979,70.
Pavia AT. Diarrhea and food borne Illness. Dalam buku: Infectious
Diseases. 2ndedition. Cohen J, Powderly W.G (Editor). London
: Mosby. Elsevier Ltd; 2004.p. 1445 - 591.
Pietzak M, Fasano A. Acute Infectious Diarrhea. Dalam buku: Conn's
Current Therapy 2003, Rakel R.E, Bope E.T (Editor). Philadelphia USA: Elsevier Science; 2003.p. 20-27.
Powel Don W: Approach to the patient with diarrhea. Dalam buku
: Textbook of Gastroenterology. 4Ih edition. Yamada T (Editor). Philadelphia . USA: Limphicot Williams & Wiekeins;
2003.p.844 - 893.

KOLERA
H. Soemarsono

PENDAHULUAN
Kolera adalah penyakit infeksi yang disebabkan Vibrio
cholerae dengan manifestasi diare disertai muntah yang
akut dan hebat akibat enterotoksinyang dihasilkan bakteri
tersebut. Bentuk manifestasi Minisnya yang h a s adalah
dehidrasi, berlanjut dengan renjatan hipovolemik dan
asidosis metabolik yang terjadi dalarn waktu sangat singkat
akibat diare sekretorik dan &pat berakhir dengan kematian
bila tidak ditanggulangi dengan adekuat. Kolera dapat
menyebar sebagai penyakit yang endemlk, epidemik, atau
pandemik. Meskipun sudah banyak penelitian berskala
besar dilakukan, namun kondisi penyalut ini tetap menjadi
suatu tantangan bagi dunia kedokteran modern.

fibrio cholerae adalah kuman aerob, Gram negatif


bendcuran 0,2-0,4 mm x 1,5-4,Ornrn, mudah dikenal dalam
sediaan tinja kolera dengan pewarnaan Gram sebagai
batang-batang pendek sedikit bengkok (koma), tersusun
berkelompok seperti kawanan ikan yang berenang.
Z cholerae dibagi menjadi 2 biotipe, Masik d& El Tor,
yang dibagi berdasarkan struktur biokimiamya dan
parameter laboratorium lainnya. Tiap biotipe dibagi lagi
menjadi 2 serotipe, Inaba dan Ogawa.
Diagnosis presumtif secara cepat dapat dibuat dengan
menggunakan mikroskop fluoresensi. dengan memakai
antibodi tipe spesifik yang telah dilabel dengan fluoresein,
atau dengan uji mobilisasi vibrio dengan memakai serum
tipe-spesifik dan dilihat dengan mikroskop lapangan gelap
atau mikroskop fase.
Vibrio chalerae tumbuh cepat dalam berbagai macam
media selektif seperti agar garam empedu, agar-gliserintelurit-taurokolat, atau agar thiosulfate-citrate-bile salt-

sucrose (TCBS). Kelebihan medium TCBS ialah


pemakaiannya tidak memerlukan sterilisasi sebelumnya.
Dalam medium ini koloni vibrio tampak berwana kuningsuram. Identifikasi Vibrio cholerae biotipe El Tor penting
untuk tujuan epidemiologis. Sifat-sifat penting yang
membedakannya dengan biotipe kolera klasik ialah
resistensi terhadap polimiksin B, resistensi terhadap
kolerafaga tipe IV (Mukerjee) dan menyebabkan hemolisis
pada eritrosit kambing.

Sejak tahun 1917 dikenal tujuh pandemi yang


penyebarannya bahkan mencapai Eropa. Vibrio yang
bertanggungjawab terhadap tejadinya pandemik ke-7 yaitu
cholerae 0 1, biotipe El Tor. Pandernik ke-7 baru-baru ini
dimulai pada tahun 1961 ketika Vibrio pertama kali muncul
menyebabkan epidemi kolera di Sulawesi, Indonesia.
Penyakit ini lalu menyebar dengan cepat ke Negara Asia
timur lainnya dan mencapai Bangladesh pa& tahun 1963,
India pada tahun 1964, dan Uni soviet, Iran dan Iraq pada
tahun 1965-1966.
Pada tahun 1970kolera menyebar ke Afiika barat, suatu
wilayah yang belum pernah mengalami penyakit ini selama
lebih dari 100 tahun. Penyakit ini menyebar dengan cepat
ke beberapa negara dan menjadi endemik pada banyak
benua. Pada tahun 1991 kolera menyerang Amerika latin,
di mana penyakit ini juga telah hilang selama lebih dari
satu abad. Dalam waktu setahun penyakit ini menyebar ke
11 negara dan secara cepat menyebar lintas benua..
Sampai tahun 1992, hanya serogrup E cholerae 01
yang menyebabkan epidemi kolera. Serogrup lainnya dapat
menyebabkan kasus-kasus diare yang sporadis, tapi tidak
dapat menyebabkan epidemi. Pada akhir tahun 1992
ledakan kasus kolera dimulai di India dan Bangladeshyang

disebabkan oleh serogrup K cholerae yang sebelumnya


belum teridentifdcasi, yaitu serogrup 0 139 atau Bengal.
Keadaan ini dikenal pula sebagai pandemik ke-8. Isolasi
dari Vibrio ini telah dilaporkan dari 11 negara di Asia
Tenggara..Namun masih belum jelas apakah K cholerae
0 1 39 akan menyebar ke daerahlwilayah lain, dan
pengawasan epidemiologik yang cermat dari situasi ini
sedang dilakukan.

Pada daerah endemik, air terutama berperan dalam


penularan kolera; namun pada epidemi yang besar
penularan juga terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi oleh tinja atau air yang mengandung
K cholerae. Khususnya pada kolera El Tor, yang dapat
bertahan selama beberapa bulan di air. Penularan dari
manusia ke manusia dan dari petugas medis jarang terjadi.
Pasien dengan infeksi yang ringan atau asimtomatik
berperan penting pada penyebaran penyakit ini.
Perbandingan antara penderita asimtomatik dengan
simtomatik (bermanifestasi klinis yang khas) pada suatu
epidemi diperkirakan4: 1 pada kolera Asiatika, sedangkan
untuk kolera El Tor, diperkirakan 10: 1 . Dengan kata lain
terdapat fenomena gunung es. Hal ini merupakan masalah
khususnya dalam upaya pemberantasan kolera El Tor. Pada
kolera El Tor angka karier sehat (pembawa kuman)
mencapai 3 %. Pada karier dewasa Mbrio cholerae hidup
dalam kantong empedu.
Prevalensi kolera di daerah endemik pada anak lebih
besar dibandingkan dengan orang dewasa yaitu 10:1. Pada
orang dewasa insiden pada pria lebih tinggi dari wanita.
Pada keadaan epidemis, insiden tidak berbeda pada
kelompok umur maupun jenis kelamin tertentu.

Gambar 1. Pandemic spread of vibrio cholerae

PATOGENESIS DAN IMUNITAS


Kolera ditularkanmelalui jalur oral. BilaVibrioberhasil 1010s
dari pertahanan primer dalam mulut dan tertelan, bakteri
ini akan cepat terbunuh dalam asam lambung yang tidak
diencerkan. Bila Vibrio dapat selamat melalui asam
lambung, maka ia akan bekembang di dalam usus halus.
Suasana alkali di bagian usus halus ini merupakan medium
yang menguntungkan baginya untuk hidup dan
memperbanyak diri. Jumlahnya bisa mencapai sekitar 10
per ml cairan tinja. Langkah awal dari patogenesis
terjadinya kolera yaitu menempelnya Vibrio pada mukosa
usus halus. Penempelan ini dapat terjadi karena karena
adanya membran protein terluar dan adhesin flagella.
Vibrio cholerae merupakan bakteri non invasif,
patogenesis yang mendasari terjadinya penyakit ini
disebabkan oleh enterotoksin yang dihasilkan K cholerae
yang menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit yang
masif yang disebabkan oleh kerja toksin pada sel epitel
usus halus, terutama pada duodenum dan yeyunum.
Enterotoksin adalah suatu protein, dengan berat
molekul84.000 Dalton, tahan panas dan tak tahan asam,
resisten terhadap tripsin tapi dirusak oleh protease. Toksin
kolera mengandung 2 sub unit yaitu B (binding) dan A
(active). Sub unit B mengandung 5 polipeptida, dimana
masing-masing molekul memiliki berat 11500 dan terikat
pada gangliosid monosialosil yang spesifdc, reseptor GM1,
yang terdapat pada sel epitel usus halus. Sub unit A
kemudian dapat masuk menembus membran sel epitel. Sub
unit ini memiliki aktivitas adenosine diphospate (ADP)
ribosyltransferase dan menyebabkan transfer ADP ribose
dari nicotinamide-adenine dinucleotide(NAD) ke sebuah
guanosine triphospate (GTP) binding protein yang
mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal ini menyebabkan
peningkatan produksi CAMP,yang menghambat absorpsi

NaCl dan merangsang ekskresi klorida, yang menyebabkan


hilangnya air, NaCI, kalium dan bikarbonat. (Tabel 1)

Natrium

Kalium

124
I01

16
27

Klorida

Bikarbonat

90
92

48
32

Dewasa
Anak

Toksin-toksintambahan dan faktor-faktor lain sekarang


telah diketahui terlibat pada patogenesis kolera. Zonula
occludens toxin (Zot) meningkatkan permeabilitas mukosa
usus halus dengan mempengaruhi struktur tight junction
interseleluler.Accessoly cholera exotoxin (Ace) ditemukan
pada tahun 1993 dan diketahui meningkatkan transpor ion
transmembran.
Imunitas terhadap toksin kolera clan antigen permukaan
bakteri sama dengan respon infeksi alami. Kebanyakan
studi terhadap respon imun telah mengukur antibodi
bakterial serum, meskipun proteksi in vivo kemungkinan
besar dimediasi oleh IgA sekretorik.
Kolera ditandai dengan diare yang sangat berat yang
dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan
elektrolit dan hipovolemia, dengan angka kematian
(mortality rate) yang berkisar kurang dari 1% hingga 40%.
Terdapat spektrum yang luas mulai dari yang asimtomatik,
ringan hingga berat.

Ada beberapa perbedaan pada manifestasi klinis kolera


baik mengenai sifat dan beratnya gejala. Terdapat
perbedaan pada kasus individual maupun pada terjadi
epidemi. Masa inkubasi kolera berlangsung antara 16-72
jam. Gejala klinis dapat bervariasi mulai dari asimtomatik
sampai dengan gejala klinis berupa dehidrasi berat.
Infeksi terbanyak bersifat asimtomatik atau terjadi
diare ringan dan umumnya pasien tidak memerlukan
perawatan.
Manifestasi klinis yang khas ditandai dengan diare
yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa niulas
maupun tenesmus. Dalam waktu singkat tinja yang semula
berwarna dan berbau feses berubah menjadi cairan putih
keruh (seperti air cucian beras), tidak berbau busuk maupun
amis, tapi 'manis' menusuk. Cairan yang menyerupai air
cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan
gumpalan-gumpalanputih. Cairan ini akan keluar berkalikali dari anus pasien dalam jumlah besar. Muntah timbul
kemudian setelah diare, dan berlangsung tanpa didahului
mual. Kejang otot dapat menyusul, baik dalam bentuk
fibrilasi atau fasikulasi, maupun kejang klonik yang nyeri
dan mengganggu. Otot-otot yang sering terlibat ialah betis,
biseps, triseps, pektoralis dan dinding perut. Teriakan

ataupun rintihan pasien karena kejang yang nyeri itu dapat


disangka sebagai teriakan nyeri karena kolik. Kejang otot
ini disebabkan karena berkurangnya kalsium dan klorida
pada sambungan neuromuskular.
Gejala dan tanda kolera terjadi akibat kehilangan cairan
dan elektrolit serta asidosis. Pasien berada dalam keadaan
lunglai, tak berdaya, namun kesadarannya relatif baik
dibandingkan dengan berat penyakitnya. Koma baru akan
terjadi pada saat-saat terakhir. Pada kurang lebih 10% bayi
dan anak-anak, dapat dijumpai kejang sentral dan stupor,
yang disebabkan hipoglikemia. Tanda-tanda dehidrasi
tampakjelas, nadi menjadi cepat, nafas menjadi cepat, suara
menjadi serak seperti suara bebek Manila (vox cholerica),
turgor kulit menurun (kelopak mata cekung memberi kesan
hidung yang mancung dan tipis, tulang pipi yang
menonjol), mulut menyeringai karena bibir kering, perut
cekung (skafoid) tanpa ada stelJirng maupun kontur usus,
s w a peristaltik usus bila ada jarang sekali. Jari jari tangan
dan kaki tampak kurus dengan lipatan-lipatan kulit,
terutama ujung jari yang keriput (washer women hand),
diuresis berangsur-angsur berkurang dan berakhir dengan
anuria. Diare akan bertahan hingga 5 hari pada pasien yang
tak diobati.
TANDA-TANDAGAGAL SlRKULASl

Berkurangnya volume cairan disertai dengan viskositas


darah yang meningkat, akhirnya menyebabkan kegagalan
sirkulasi darah. Tanda utama yang dianggap khas adalah
suhu tubuh yang rendah (34 hingga 24,5OC), sekalipun
sedang berlangsung infeksi. Frekuensi nadi menjadi cepat
dengan isi yang kurang dan akhirnya menjadi cepat dan
kecil (filiform). Denyut jantung cepat, suara jantung
terdengar jauh dan kadang-kadang hanya suara sistolik
yang terdengar, namun dengan irama yang tetap
teratur.Tekanan darah menurun sebagai tanda renjatan
hipovolemik, akhirnya terukur hanya dengan palpasi.
Warna kulit, bibir dan selaput mukosa serta kukujadi ungu
akibat sianosis, memberi kesan pasien berwarna hitam
pada orang yang berkulit gelap; pada perabaan kulit
terasa lembab. Sianosis yang terjadi adalah bersifat
perifer. Asidosis metabolik terjadi akibat kehilangan
bikarbonat jumlah besar dan metabolisme anaerob akibat
kegagalan sirkulasi. Tampilan klinis berupa pernapasan
yang cepat, mula-mula dangkal, namun akhirnya
dalam (Kussmaul). Perubahan patofisiologis ireversibel
lainnya pada organ agaknya tidak terjadi, bahkan
homostasis masih tetap dapat dipertahankan atau masih
mudah dikoreksi.
Penyakit kolera dapat berakhir dengan penyembuhan
ad integrum (sehat utuh) atau kematian. Penyulit yang
diakibatkan oleh penyakitnya sendiri tidak ada. Penyulit
yang terjadi biasanya disebabkan oleh keterlambatan
pertolongan atau pertolongan yang tidak adekuat, seperti

uremia dan asidosis yang tidak terkompensasi. Gaga1 ginjal


dengan anuria yang berkepanjangan terjadi dalam
persentase kecil berupa nekrosis tubular yang akut (ATN)
yang umumnya dapat diatasi dengan terapi konsematif
dan tidak memerlukan dialisis.
Penyulit lain yang perlu perhatian ialah abortus
pada pasien dengan hamil muda, komplikasi iatrogenik
seperti gaga1 jantung, reaksi infus berupa demam,
infeksi nosokomial (tromboflebitis, sepsis bakterial).
Pada umumnya dengan pengobatan dini dan adekuat,
prognosis pasien kolera cukup baik dan tidak sampai
menyebabkan kematian.

DIAGNOSIS
Diagnosis kolera meliputi diagnosis klinis dan
bakteriologis. Tidak sukar untuk menegakkan diagnosis
kolera berat, terutama di daerah endemik. Kesulitan
menentukan diagnosis biasanya terjadi pada kasus ringan
dan sedang, terutama di luar endemik atau epidemik. Kolera
yang khas dan berat dapat dikenali dengan gejala diare
sering tanpa mulas diikuti dengan muntah tanpa didahului
rasa mual, cairan tinja serupa air cucian beras, suhu badan
tetap normal atau menurun, dan keadaan bertambah buruk
secara cepat karena pasien mengalami dehidrasi, renjatan
sirkulasi dan asidosis.
Bila gambaran klinis menunjukkan dugaan yang kuat
ke arah penyakit ini, pengobatan hams segera dimulai,
tanpa menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Diare
sekretorik lain dengan gambaran klinis mirip dengan kolera,
dapat disebabkan oleh enterotoxigenic Eschericia coli
(ETEC). Berbagai bakteri penyebab diare sekretorik dapat
dilihat pada Tabel 2.

Vibrio cholerae
Vibrio cholerae non 0 group 1
Escherichia coli
Clostridium perfringens
Bacillus cereus
Staphylococcus aureus

Jika tinja segar pasien kolera yang tanpa pewarnaan


diarnati di bawah mikroskop lapangan gelap, akan tampak
mikroorganisme berbentuk spiral yang memiliki pola
motilitas seperti shootingstar. Untukpemeriksaan biakan,
cara pengambilan bahan pemeriksaan tinja yang tepat
adalah apus rektal (rectal swab) yang diawetkan dalam
media transport carry-blair atau pepton alkali, atau
langsung ditanam dalam agar TCBS, akan memberikan
persentase hasil positif yang tinggi. K cholerae 0 1
menghasilkan koloni yang oksidase-positif yang berwarna
kuning, yang dapat dikonfirmasi dengan slide aglutinasi
spesifik dengan antiserum.

PENATALAKSANAAN
Dengan diketahuinya patogenesis dan patofisiologi
penyakit kolera, saat ini tidak ada masalah dalam
pengobatannya. Dasar pengobatan kolera adalah terapi
simtomatik dan kausal secara simultan. Tatalaksana
mencakup penggantian kehilangan cairan tubuh dengan
segera dan cermat, koreksi gangguan elektrolit dan
bikarbonat (baik kehilangan cairan melalui tinja, muntahan,
kemih, keringat, dan kehilangan insensibel), serta terapi
antimikrobial.
Rehidrasi dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu terapi
rehidrasi dan rumatan. Pada kedua tahap ini perlu
diperhitungkan kebutuhan harian akan cairan dan nutrisi,
terutama bila diare berlangsung lama dan pada pasien
pediatri. Pada dehidrasi berat yang disertai renjatan
hipovolemik, muntah yang tak terkontrol, atau pasien
dengan penyulit yang berat yang dapat mempengaruhi
keberhasilan pengobatan, terapi rehidrasi hams diberikan
secara infus intravena. Pada kasus sedang dan ringan,
rehidrasi dapat dilakukan secara per oral dengan cairan
rehidrasi oral atau oral rehydration solution (ORS).
Sedang tahap pemeliharaan dapat dilakukan sepenuhnya
dengan cairan rehidrasi oral, baik pada kasus dehidrasi
berat, sedang maupun ringan.
Untuk keperluan rumatan dapat diberikan cairan
dengan konsentrasi garam yang rendah seperti: air minum
biasa, atau susu yang diencerkan, dan air susu ibu terutama
untuk bayi dan anak-anak. Petunjuk terapi rehidrasi dan
pemeliharaan secara umum dapat dilihat masing-masing
pada Tabel 3 dan 4.

Derajat
dehidrasi

Macam
cairan

Ringan

ORS

Sedang

ORS

Berat

lntravena
Ringer
Laktat

Jumlah cairan
50 ml1kgBB
Maks. 750
mlljam
100 mllkgBB
Maks. 750
mlljam
110 mllkgBB

Jangka waktu
pemberian
3-4 jam
3 jam

3 jam pertama
guyur sampai
nadi teraba
kuat, sisanya
dibagi dalam 2
jam berikutnya

KRI'TERIA DERAJAT DEHlDRASl


Untuk dapat memberikan panatalaksanaan pengobatan
sebaiknya pada pasien diare akut perlu dilakukan
penentuan derajat dehidrasinya antara lain berdasarkan:
1). Penilaian klinis, 2). Perhitungan skor Daldiyono, 3). Berat
jenis plasma/plasma specific gravity (PSG), 4). Tekanan
vena sentral (CVP).

Jumlah Diare
Dlare rlngan
Tidak lebih dari
I x mencret setiap
2 jam atau lebih
lama, atau
kurang dari 5 ml
tinjal kgBBljam
Dlare sedang
Leblh dari I x
mencret setlap 2
jam atau lebih
dari 5 ml tinjal
kgBB1jam

Dlare berat
Dengan tanda
tanda dehidrasil
renjatan

Macam
Calran

Jumlah
Cairan

Cara
Pemberlan

ORS .

100 mllkg
BB/hari
sampai
diare
berhenti

Oral di
rumah

ORS

Ganti
kehliangan
volume tinja
dengan
volume
cairan. Bila
tak terukur
beri 10-15
mllkgbbljam

Oral di
rumahl
rumah
sakit

Beri
pengobatan
untuk
dehidrasi berat
(tabel31

Penilaian Klinis
Cara menentukan penilaian tingkat dehidrasi yang tepat
secara klinis sulit didapat karena pengaruh subyektivitas.
Secara klinis derajat dehidrasi dibagi menurut tingkatan
dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sesuai kehilangan
cairan 5%, 8% dan 10%dari berat badan. Kriteria ini praktis
penggunannya untuk pengobatan massal pada suatu
wabah dan dapat dilakukan oleh tenaga paramedik setelah
dilatih.
Skor Daldiyono
Modifikasi cara penilaian klinis dilakukan Daldiyono
dengan menilai derajat dehidrasi inisial berdasarkan
gambaran klinis yang diterjemahkan ke dalam nilai skor
(Tabel 5). Kemudian penjumlahan skor tersebut dibagi
dengan nilai skor maksimal yaitu 15.Defisit cairan dihitung
dengan mengkalikan hasil perhitungan tersebut dengan
defisit cairan pada dehidrasi berat yaitu 10% dari berat
badan. Secara matematis perhitungan tersebut dituangkan
dalam rumus empirik:
Defisit cairan (ml)= Skor/lS x berat badan (Kg) x 0,1 x 1000

Berat Jenls Plasma


Cara penilaian derajat dehidrasi yang lebih tepat untuk
mengukur kebutuhan cairan yang akan diberikan ialah
dengan menentukan berat jenis plasma, dengan memakai
rumus:
'

Berat jenis pbma/0,001 (ml) = 1,025 x berat badan (Kg) x 4 ml

Cara yang digunakan di rumah sakit ini lebih tepat dan bila
perlu dapat pula diusahakan pemakaiannya di suatu pusat
rehidrasi danuat pada suatu endemi.

Klinis

Skor

Rasa haus Imuntah


Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg
Tekanan darah sistolik < 60 mmHg
Frekuensi nadi >I20 xlmenit
Kesadaran apatis
Kesadaran somnolen, sopor atau koma
Frekuensi napas >30 xlmenit
Fasies kolerika
Vox cholerica
Turgor kullt rnenurun
'Washer woman's hand" tangan keriput seperti
kena air
Ekstremitas dingin
Sianosis
Umur 50-60 tahun
Umur >6O tahun

1
1
2
1
1
2
1
2
2
I
I
1
2
-1
-2

Tekanan Vena Sentral


Cara menghitung keperluan cairan yang tepat lainnya ialah
dengan pengukuran tekanan vena sentral (CVP). Cara yang
invasif ini memerlukan keahlian dan tidak dapat diterapkan
di lapangan. Nilai CVP normal adalah 12-14cm air.
Menentukan pemilihan jenis cairan yang akan diberikan
adalah langkah berikutnya. Dalam sejarah pengobatan
kolera sejumlah besar cairan telah diciptakan orang,
kebanyakan tidak memberikan hasil baik karena tidak sesuai
dengan patofisiologi penyakit ini.
Cairan yang terbukti baik manfaatnya ialah ringer laktat
yang komposisinya kurang lebih sama dengan susunan
elektrolit tinja kolera dan terbukti dapat perfhi ke sel
tubuh dengan baik. Cairan lainnya yang juga bermanfaat
ialah NaCl fisiologis dan larutan segar isotonik bikarbonas
natrikus 1 !4 % dalam perbandingan 2: 1.
Sebagai pengganti bikarbonas, dapat pula diberikan
larutan 116 mol Na laktat dalam larutan Darrow
glukosa, yang lebih stabil berada dalam larutan daripada
bikarbonas natrikus. Dalam pemakaianjenis cairan ini perlu
diberikan substitusi kaium dalam bentuk oral atau
parenteral. Susunan elektrolit tersebut dapat dilihat pada
Tabel 6.
Suatu perkembangan maju dalam usaha pengobatan
kolera ialah tindakan rehidrasi oral dengan cairan khusus
rehidrasi oral (ORS). Dasar patofisiologinya ialah
kemampuan usus pasien kolera untuk resorpsi elektrolit
dan cairan dari dalam lumen bila ditambahkan glukosa
dalam jumlah yang tepat akan meningkatkan resorpsi
tersebut. Suhu suam cairan oral akan membantu
tercapainya net gut balance (balans usus netto) yang
maksimal.
Rehidrasi oral dengan ORS diberikan sebagai terapi
inisial pada kasus ringan dan sedang, serta sebagai terapi
pemeliharaan pa& kasus berat. Pada keadaan terpaksa
ORS dapat diberikan pada kasus berat sekalipun.
Pemberian secara konsekuen dan sabar terbukti juga
berhasil baik (Tabel 6).

2848

TROPIKINFEKSI

Cairan camDuran:
1. a) 2 L ga;am isotonik
b) 1 L 1,3 % Bik. Nat.
2. a) 2 L garam isotonik
b)lL116Nalaktat
Cairan Tunggal:
1. 5:4:1
5 a NaCl
4 NaHC03
1 g KCllliter
2. Ringer laktat
Cairan Rehidrasi Oral:

175

I55

158

lo355

27

133
130

14
4

99
109

28

s9

48

1. WHO
2. Orqlit
3. Kristalit
4. P3M
5. Pediallt

Terqpi rehidrasi dengan cairan oral (ORS)


pelaksanaannya sederhana sekali, namun memerlukan
pencatat& yang seksama tentang pengeluaran cairan tinja
clan pemasukan cairan oral. Untuk memperkirakan volume
cairan pemeliharaan, dapat dipakai cholem cot.
Cara pengobatan yang efektif ini mempunyai efisiensi
&lam segi klinis berupa meminirnalkan risiko seperti hidrasi
berlebihan dengan segala akibatnya, efek samping pada
terapi infus, di samping keuntungan dalam penghematan
cairan infus dengan 50-80%, sekaligus memecahkan problem logistik pada keadaan epidemi.
Selai~
terapi rehidrasi secwa intravena maupun dengan
cairan oral pada kolera, tidak kalah pentingnya adalah terapi
kausal dengan antibiotika. Terapi antibiotik dini mungkin
dapat segera mengeradikasi Vibrio dan mengurangi
fiekuensi serta volume diare secara bermakna. Tetrasiklin
dengan dosis 500mg 4 kali sehari secara oral selama 3 hari
pada umumnya cukup efektif. Sebagai alternatif dapat
dipilih obat-obat lain seperti siprofloksasin, doksisklin dan
trirnetoprim-sulfametoksasol. (Tabel 7).

Terapi Lini Pertama


Dewasa

Tetrasiklin 500 mg
per oral 4 kali
sehari selama 3
hari
Doksisiklin 300 mg
per oral dosis
tunggal

Anak

Tetrasiklin 12,5 mg
kg per oral 4 kali
sehari selama 3
hari +
Doksisiklin 6 mglkg
per oral dosis
tunggal

PENCEGAHAN
Imunisasi dengan vaksin komersial standar (cholera sec)
yan$mengandung 10milyar Vibrio mati per ml,mernberikan
proteksi 60-80% untuk masa 3-6bulan, Valcsin ini tidak
berpengaruh pada karier dalam pencegahan penularan
hingga vaksinasi kolera tidak lagi menjadi persyaratan
sertifikat kesehatan internasional. Imunisasi dengan
toksoid pada manusia tidak memberikan hasil lebih baik
daripada vaksin standar, sehingga pada saat ini perbaikan
higiene saja yang qemberikan perlindungan yang berarti
dalam mewegah kolera.

Alternatif
Siprofloksasin 1000 mg
per oral dosis tunggal
Eritromisin 250 mg per
oral 4 kali sehari selama
3 hari
trimetoprimsulfametoksasole
(5 mgl kg trimetroprim +
25 mglkg
sulfametoksasol) per
oral 2 kali sehari selama
3 hari
Furazolidon 100 mg
peroral 4 kali sehari
selama 3 hari
Eritromisin 10 mglkg per
oral 3 kali sehari selama
3,hari
Trimetoprimsulfametoksasol(5
mglkg trimetroprim + 25
mglkg sulfametoksasol)
per oral 2 kali sehari
selama 3 hari
Furazolidon 1,25 mglkg
per oral 4 kali sehari
selama 3 hari

Dipakai jika dicurigai lini pertama telah resisten @taupaslen alergi


terhadap terapi linl pertama
' Tldak dianjurkan pada anak di bawah 8 tahun

'

REFERENSI
Arduino RC, W o n t HL. enteritis, Enterocolitis and Infectious Diarrhea Syndromes. In: Cohen's Infectious Disease. Hq1 35.1-39,
Bannister BA, Begg NT. Imported and Travel-assacigted Disgese,
In: Infectious ~ i & a s e2nd edition. Losd~n;Blwltwall 8ci$n~@,
2OOO.p.440-2.

Daldiyono, Muthalib A, Gultom' L, Ruslyn E, Nasution R,


Soemarsono.' Experiences with a Scoring System for the Determination of Rehydration Fluid Needed in patients with Acute
Gastroenteritis. Act Med Ind. 1972; 111 (3-4): 1-6.
~ a m i rDH, Cash RA. Secretory Diarrheas: Cholera and
Enterotoxigenic Eschericia Coli. In: Cohen's Infectious Disease. Hal 22.1 -4.
Hart CA, Shears P. Gastrointestinal Bacteria. In: Manson's Tropical
Diseases 21st edition. London: Saunders: 2003.p. 928-32.
Keusch GT, Walder MK. Cholera and Other Vibriosess. In: ~arrisbns
Priciples of Internal Medicine 15th edition. New York: McGrawHill; 2001.p.980-6.
Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare Akut. Si_mposium
Penatalaksanaan Kedamratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
11, Jakarta: 2002.
~ o e m a r s o n o , Nelyan RHH. Beberapa Pengalaman dalam
Penggunaan cairan Elektrolit Glukosa per os Pada Penderita
Kolera Eltor. Dalam: Koiman I, Prosiding Pertemuan Ilmiah
Penyakit Diare di Indonesia. Badan Litbang Kes. RI. Jakarta,
1983; 256.
'

'

'

Soemarsono. Effort on Development of Method of Treatment of


Dehydration and Shock in Cholerae, with special reference on
the Estimation of amounts of Rehydration Fluid Needed, with
Method of Clinical Scoring System. Proceeding Seareo Interreginal Meeting on the Treatment of acute Diarrhea (WHO)
i,:,.: ,.~akarta,Jan 10-19 1983: 1-11.
:i. ~oem&sono.Beberapa Pandangan Baru Tentang Pengelolaan Diare
Akut. Proceeding Symposium Hospital Administration dan
Penyakit Tropik Infeksi. Jakarta 5 Nov 1983: 1-1 1.
. "?wCitd:;~~~lth
Organization: Guidelines for cholera control. Geneva:
. .
world' Health Organization; 1993.
World Health organization: Management of the patient with cholera. Geneva: World Health Organization; 1992.
woiid ~ k a l t hOrganization: Cholera fact sheet. Geneva: World
Health Organization; 2000
World Health Organization: Cholera: basic facts for travelers.
Geneva: World Health Organization; 1998.
World Health Organization: WHO cholera web pages. Geneva: World
Health Organization; 2000.
World Health Organization: Cholera cases reported to WHO, by
country, 1998 (annual). Geneva: World Health Organization;
1999.

Eddy Soewandojo Soewondo

PENDAHULUAN
Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, kolitis ameba)
adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh
parasit usus Entamoeba histoiytica. Penyakit ini tersebar
hampir di seluruh dunia terutama di negara sedang
berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini
disebabkan karena faktor kepadatan penduduk, higiene
individu, dan sanitasi lingkungan hidup serta kondisi
sosial ekonomi dan kultural yang menunjang.
Sekitar 90% infeksi asimtomatik, sementara sekitar 10%
lainnya menimbulkan berbagai sindrom klinis, mulai dari
disentri sampai abses hati atau organ lain.

Penyakit ini ditularkan secara fekal oral baik secara


langsung (melalui tangan) maupun tidak langsung (melalui
air minum atau makanan yang tercemr). Sebagai sumber
penularan adalah tinja yang mengandung kista amuba
yang berasal dari carrier (cyst passer). Laju infeksi yang
tinggi didapatkan di tempat-tempat penampungan anak
cacat atau pengungsi dan di negara-negara sedang
berkembang dengan sanitasi lingkungan hidup yang buruk.
Di negara beriklim tropis lebih banyak didapatkan strain
patogen dibandingkan di negara maju yang beriklim
sedang. Oleh karena itu di negara sudah maju banyak
dijumpai penderita asimtomatik, sementara di negara
sedang berkembang yang beriklim tropis banyak dijumpai
pasien yang simtomatik. Kemungkinan faktor diet rendah
protein, di samping perbedaan strain ameba, memegang
peran. Di negara yang sudah maju misalnya Amerika
Serikat prevalensi amebiasis berkisar antara 1-5%.
Walaupun selama tiga dekade terakhir insidensnya
menurun, akan tetapi penyakit ini masih tetap ada, terutarna

di daerah atau di tempat-tempat dengan keadaan sanitasi


yang buruk, misalnya di tempat perawatan pasien cacat
mental serta tempat penampungan Indian dan imigran.
Di Indonesia, laporan mengenai insidens amebiasis
sampai saat ini masih belum ada. Akan tetapi berdasarkan
laporan mengenai abses hati ameba pada beberapa rumah
sakit besar, dapat diperkirakan insidensnya cukup tinggi.
Penularan dapat terjadi lewat beberapa cara, misalnya:
pencemaran air minum, pupuk kotoran manusia,juru masak
Cfood handlers), vektor lalat dan kecoak, serta kontak
langsung seksual oral-anal pada homoseksual. Penyakit
ini cenderung endemik, jarang menimbulkan epidemi.
Epidemi sering terjadi lewat air minum yang tercemar.
Sekitar 10% populasi hidup terinfeksi entamoeba,
kebanyakan oleh entamoeba dispar (E. Dispar) yang non
infeksius. Perbedaan dan persamaan sifat antara
E.histolytica dan E. Dispar dapat dilihat pada Tabel 1.

Persamaan
1. Kedua spesies dibedakan lewat adanya infeksi kista
(cvste)
2. Kista dari kedua spesies tersebut secara morfologi sama
(identik)
3. Kedua s~esiesini menakolonisasi intestinal luar
Perbedaan
1. Hanya E. histolytica yang dapat mengakibatkan penyakit
2. Hanya infeksi E. histolytica yang menunjukkan serologi
ameba positif
3. Kedua spesies mempunyal perbedastlgekudnei mRNA.
4. Kedua spesies mempunyai perbedaan Bntigen
permukaan dengan masker isoantigen
5. SallSalNAC lectin dapat dipakai untuk membedakan
kedua spesies dalam stool ELISA.
6. E. dispar tidak mempunyai kapasitas mgnyebabkan
penyaklt infeksi.

E. histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup


sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di usus
besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah
menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding
usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan
ulserasi. Siklus hidup ameba ada 2 macam bentuk, yaitu
bentuk trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista.
Bentuk trofozoit ada 2 macam, trofozoit komensal (<10 rnrn)
dan trofozoit patogen (>10 rnm).
Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa
menyebabkangejala penyakit. Bila pasien mengalami diare,
maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Pada pemeriksaan
tinja di bawah mikroskop tampak trofozoit bergerak aktif
dengan pseudopodinya dan dibatasi oleh ektoplasma yang
terang seperti kaca. Di dalamnya ada endoplasma yang
berbentuk butir-butir kecil dan sebuah inti di dalamnya.
Sementara trofozoit patogen yang dapat dijumpai di
lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun di luar
usus (ekstraintestinal), mengakibatkan gejala disentri.
Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (sampai
50 mrn) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya,
karena trofozoit ini sering menelan eritrosit
(haernatophagous trophozoite). Bentuk trofozoit ini
bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala penyakit
namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia.
Bentuk kista ada 2 macam yaitu kista muda dan kista
dewasa. Kista muda berinti satu mengandung satu
gelembung glikogen dan badan-badan kromatoid yang
berbentuk batang berujung tumpul. Kista dewasa berinti
empat. Kista hanya terbentuk dan dijuvpai di dalam
lumen usus, tidak dapat terbentuk di luar tubuh dan tidak
dapat dijumpai di dalarn dinding usus atau di jaringan tubuh
di luar usus (Gambar 1).
Bentuk kista bertanggung jawab terhadap penularan
penyakit, dapat hidup lama di luar tubuh manusia, tahan
terhadap asam lambung, dan kadar klor standard di dalam
sistem air minum. Diduga faktor kekeringan akibat
penyerapan air sepanjang usus besar, menyebabkan
trofozoit berubah menjadi kista. E. histolytica oleh
beberapa penulis dibagi menjadi dua ras yaitu ras besar
dan ras kecil, bergantung pada apakah dapat membentuk
kista berdiameter lebih besar atau lebih kecil dari 10 mrn.
Strain kecil ternyata tidak patogen terhadap manusia, dan
dinyatakan sebagai spesies tersendiri yaitu E. hartmanni.
Dengan teknik elektroforesis, enzim yang dikandung
trofozoit dapat diketahui. Pola enzim dapat menunjukkan
patogenitas ameba (zymodeme).Ameba yang didapat dari
pasien dengan gejala penyakit yang invasif menunjukkan
pola zymodeme.
Imunitas terhadap ameba sampai saat ini masih belum
banyak diketahui dengan pasti perannya. Beberapa
sarjana meragukan adanya peran tersebut, karena di daerah
endemik banyak terjadi infeksi berulang, dan morbiditas

Gambar I. Skematis E. histolytica (pembesaran 2000 X)


A : Trofozoit mengandung eritrosit
B : Ameba benhdc pre kisw
C : Kista muda berinti sahl
D : Kista berinti dua
E : Kista dewasa berinti empat

c
ect

: chromatoid bodies

end
g
k
n
r.b.c

: endoplasma

: ectoplasma

: glycogen V ~ C U O ~ ~

: karyosoma
: nucleus/inti
: sel darah merah

(dikutip dari Textbook of Clinical Parasitology. 2nd ed., 1952, New York,
Appleton-Cenruy-Crogts).

serta mortalitasnya meningkat sesuai dengan


bertambahnya usia. Pendapat tersebut kurang tepat
karena telah terbukti bahwa ullcus ameba dapat kambuh
kembali apabila pasien menerima tindakan yang
menurunkan daya tahan tubuh, misalnya splenektomi,
radiasi, obat-obat imunosupresif, dan kortikosteroid.
Berdasarkan penyelidikan pada binatang dan manusia
dapat dibuktikan bahwa E. histolytica dapat merangsang
terbentuknya imunitas humoral dan selular. In vivo,
imunitas humoral mampu membinasakan ameba, tetapi in
vitro tidak. Belum diketahui apa sebabnya keadaan
tersebut dapat terjadi. Tampaknya irnunitas yang terbentuk
tidak sempurna dan hanya dapat mengurangi beratnya
penyakit, tidak dapat mencegah terjadinya penyakit.
Diduga imunitas selular lebih besar perannya daripada
imunitas humoral.Antibodi di dalam serum (terutama klas
IgG) terutama berperan dalam uji' serologik.
PATOGENESIS DAN PATOFlSlOLOGl
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di dalarn
lumen usus besar, dapat berubah menjadi patogen,
menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Faktor
yang menyebabkan perubahan sifat trofozoit tersebut
sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Diduga
baik faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan
(virulensi) ameba, maupun lingkungamya mempunyai

peran. Faktor-faktor yang dapat menurunkan kerentanan


tubuh misalnya kehamilan, kurang gizi, penyakit
keganasan, obat-obat imunosupresif, dan kortikosteroid.
Sifat keganasan ameba ditentukan oleh strainnya. Strain
ameba di'daerah tropis ternyata lebih ganas daripada strain
di daerah sedang. Akan tetapi sifat keganasan tersebut
tidak stabil, dapat berubah apabila keadaan lingkungan
mengizinkan. Beberapa faktor lingkungan yang diduga
berpengaruh, misalnya suasana anaerob dan asam (pH 0,6
- 6,5), adanya bakteri, virus dan diet tinggi kolesterol, tinggi
karbohidrat, dan rendah protein. Ameba yang ganas dapat
memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang
dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan
dinding usus. Bentuk ulkus ameba sangat khas yaitu di
lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan
submukosa dan muskularis melebar (menggaung).
Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus
menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal.
Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Gambaran
ini sangat berbeda dengan disentri basiler, di mana mukosa
usus antara ulkus meradang. Pada pemeriksaan mikroskopik
eksudat ulkus. tampak sel leukosit dalarn jumlah banyak,
akan tetapi lebih sedikitjika dibandingkan dengan disentri
basiler. Tampak pula kristal Charcot Leyden dan kadangkadang ditemukan trofozoit. Ulkus yang terjadi dapat
menimbulkan perdarahan dan apabila menembus lapisan
muskular akan terjadi pefforasi dan peritonitis. Ulkus dapat
terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan
frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah sekum, kolon
asenden, rektum, sigmoid, apendiks, dan ileum terminalis.
Infeksi kronik dapat menimbulkan reak-si terbentuknya
massa jaringan granulasi yang disebut ameboma, yang
sering terjadi di daerah sekum dan sigmoid. Dan ulkus di
dalam dinding usus besar, ameba dapat mengadakan
"metastasis" ke hati lewat cabang vena porta dan
menimbulkan abses hati. Embolisasi lewat pembuluh darah
atau pembuluh getah bening dapat pula terjadi ke paru,
otak, atau limpa, dan menimbulkan abses di sana, akan
tetapi peristiwa ini jarang terjadi.

Berdasarkanberat ringannya gejala yang htirnbulkan maka


amebiasis dapat dibagi menjadi: carrier (cyst passer),
amebiasis intestinal ringan (disentri ameba ringan), amebiasis intestinal sedang (disentri ameba sedang), disentri
ameba berat, disentri ameba kronik.

Carrier (Cyst Passer)


Pasien tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini

disebabkan karena ameba yang berada di dalam lumen usus


besar, tidak mengadakan invasi ke dinding usus.
Amebiasis Intestinal Ringan (Disentri Ameba
Ringan)
Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan.
Penderita biasanya mengeluh perut kembung, kadangkadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat
timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau
busuk. Kadang-kadang tinja bercampur darah dan lendir.
Sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid. Jarang nyeri di
daerah epigastrium yang mirip ulkus peptik. Keadaan
tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum
pasien biasanya baik, tanpa atau disertai demam ringan
(subfebril). Kadang-kadang terdapat hepatomegali yang
tidak atau sedikit nyeri tekan.
Amebiasis Intestinal Sedang (Disentri Ameba
Sedang)
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding
disentri ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan
aktivitas sehari-hari, tinja disertai darah dan lendir. Pasien
mengeluh perut kram, demam dan lemah badan, disertai
hepatomegali yang nyeri ringan.
Disentri Ameba Berat
Keluhan dan gelala klinis lebih hebat lagi. Penderita
mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 1.5
kali sehari. Demam tinggi (40C - 40,5"C), disertai mual dan
anemia. Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan
pemeriksaan sigmoidoskopikarena dapat mengakibatkan
perforasi usus.
Disentri Ameba Kronik
Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, seranganserangan diare diselingi dengan periode normal atau tanpa
gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala
neurastenia. Serangan diare biasanya terjadi karena
kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.

PEMERIKSAANPENUNJANG
Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium
yang sangat penting. Pada disentri ameba biasanya tinja
berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk
pemeriksaan mikroskopik, perlu tinja yang masih baru
(segar). Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan berulangulang, minimal 3 kali seminggu, dan sebaiknya dilakukan
sebelum pasien mendapat pengobatan. Apabila
direncanakan akan dibuat foto kolon dengan barium
enema, pemeriksaan tinja harus dikerjakan sebelurnnya atau

minimal 3 hari sesudahnya. Pada pemeriksaan tinja yang


berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari bentuk kista,
karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan.
Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat,
berkilau seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan
kromatoid yang berbentuk batang, dengan ujung tumpul,
sedang inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya dibuat
sediaan dengan larutan lugol. Sebaliknya badan-badan
kromatoid tidak tampak pada sediaan dengan lugol ini.
Bila jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan
dengan metoda konsentrasi yaitu dengan larutan seng
sulfat dan eterformalin. Dengan larutan seng sulfat, kista
akan terapung di permukaan, sedang dengan larutan
eterformalin kista akan mengendap.
Di dalam tinja pasien akan ditemukan bentuk trofozoit.
Untuk itu diperlukan tinja yang masih segar. Apabila
pemeriksaan ditunda untuk beberapa jam, maka tinja dapat
disimpan di lemari pendingin (4OC) atau dicampur di dalam
larutan polivinil alkohol. Sebaiknya diambil bahan dari
bagian tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada
sediaan langsung dapat dilihat trofozoit yang masih
bergerak aktif seperti keong, dengan menggunakan
pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan
nampak ameba dengan eritrosit di dalamnya.
Bentuk inti akan nampak jelas bila dibuat sediaan
dengan larutan eosin. Untuk membedakan dengan leukosit
(makrofag), perlu dibuat sediaan dengan cat supravital,
misalnya buf-fered methylene blue. Dengan menggunakan
mikrometer, dapat disingklrkan kemungkinan E. hartmanni.
Pemeriksaan prostoskopi, sigmoidoskopi, dan
kolonoskopi berguna untuk membantu diagnosis penderita
dengan gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan
tinja tidak ditemukan ameba. Pemeriksaan ini tidak berguna
untuk carrier. Tampak ulkus yang khas dengan tepi
menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus
antara ulkus-ulkus tampak normal. Pemeriksaan
mikroskopis bahan eksudat atau bahan biopsi jaringan
usus akan ditemukan trofozoit.
Foto rontgen kolon tidak banyak membantu, karena
sering ullcus tidak tampak. Kadang-kadang pada amebiasis
kronik, foto rontgen kolon dengan barium enema tampak
ulkus disertai spasme otot. Pada ameboma nampakJilling
defect yang mirip karsinoma.
Ameba hanya dapat dibiakkan pada media khusus,
misalnya media Boeck Dr. Bohlav. Tetapi tidak semua
strain dapat dibiakkan. Oleh karena itu pemeriksaan ini
tidak dikerjakanrutin.
Pemeriksaan uji serologi banyak digunakan sebagai
uji bantu diagnosis abses hati amebik dan epidemiologis.
Uji serologi positif apabila ameba menembus jaringan
(invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien
abses hati dan disentri ameba, dan negatif pada earner.
Hasil uji serologi positif belum tentu menderita amebiasis
aktif, tetapi bila negatif pasti bukan amebiasis. Indirect
ji'uores-cent antibody (IFA) dan enzyme linked

immunosorbant assay (ELISA) merupakan uji yang paling sensitif. Juga up indirectfluorescent anti-body (IFA)
dan agar gel difjsionprecipitin. Sedang uji serologi yang
cepat hasilnya adalah latex aglutination test dan cellulosa
acetate dijiusion. Oleh karena antibodi yang terbentuk
lama sekali menghilang, maka nilai diagnostlknyadidaerah
endemis rendah.

DIAGNOSIS
Amebiasis intestinal kadang-kadang sukar dibedakan dari
irritable bowel syndrome (IBS), divertikulitis, enteritis
regional, dan hemoroid interna, sedang disentri ameba
sukar dibedakan dengan disentri basilar (shigellosis) atau
salmonelosis, kolitis ulserosa, dan skistosomiasis (terutarna
di daerah endemis). Pemeriksaan tinja sangat penting. Tinja
penderita amebiasis tidak banyak mengandung leukosit,
tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru
dapat ditegakkan apabila ditemukan ameba (trofozoit).
Akan tetapi dengan diketemukan ameba tersebut tidak
berarti menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit
lain, karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan
penyakit lain pada seorang pasien. Sering amebiasis
terdapat bersamaan dengan karsinoma usus besar. Oleh
karena itu bila pasien amebiasis yang telah mendapat
pengobatan spesifk masih tetap mengeluh perutnya sakit,
perlu dilakukan pemeriksaan lain misalnya endoskopi, foto
kolon dengan barium enema, atau biakan tinja.
Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses
piogenik, neoplasma dan kista hidatidosa. Ultrasonografi
dapat membedakannya dengan neoplasma, sedang
ditemukan echinococcus dapat membedakannya dengan
abses piogenik. Salah satu cara adalah dengan pungsi
abses.

Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri ameba, baik


berat maupun ringan. Sering sumber penyakit di usus
sudah tidak menunjukkan gejala lagi atau hanya
menunjukkan gejala ringan, sehingga yang menonjol
adalah gejala penyulitnya (komplikasi). Keadaan ini sering
terjadi pada penyulit ekstra intestinal, yang disebut amebiasis ekstra intestinal. Berdasarkan lokasinya, penyulit
tersebut dapat dibagi menjadi:

Komplikasi Intestinal
Perdarahan usus. Terjadi apabila ameba mengadakan
invasi ke dinding usus besar dan merusak pembuluh darah.
Bila perdarahan hebat dapat berakibat fatal.
Perforasi usus. Terjadi apabila abses menembus lapisan
muskular dinding usus besar. Sering mengakibatkan peri-

tonitis yang mortalitasnya tinggi. Peritonitis juga dapat


terjadi akibat pecahnya abses hati ameba.

Ameboma. Terjadi akibat infeksi kronik yang


mengakibatkan reaksi terbentuknya massa jaringan
granulasi. Biasa terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid,
sukar dibedakan dengan karsinoma usus besar. Sering
mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus.
Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic)
yang memerlukan tindakan operasi segera.
Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri
kronik, akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat
ameboma.
Komglikasi Ekstra Intestinal
Amebiasis hati. Abses hati ameba merupakan penyulit
ekstra intestinal yang paling sering terjadi. Di daerah tropis,
terutama di Asia Tenggara, insidensnya berkisar 5-40%.
Lebih banyak terdapat pada laki-laki daripada wanita,
tersering pada usia 30-40 tahun. Abses dapat timbul
beberapa minggu, bulan atau tahun sesudah infeksi ameba;
kadang-kadang terjadi tanpa diketahui menderita disentri
ameba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi
ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang
lewat pembuluh getah bening. Mula-mula terjadi "hepatitis ameba" yang merupakan stadium dini abses hati,
kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses),
yang akan bergabung menjadi satu, membentuk abses
tunggal yang besar. Dapat pula terjadi abses majemuk.
Sesuai dengan arah aliran vena porta, maka abses hati
ameba terutama banyak terdapat di lobus kanan. Abses
berisi "nanah" kental yang steril tidak berbau, berwama
kecoklatan (cho-colatepaste), terdiri atas jaringan sel hati
yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang berwama
kuning kehijauan, karena bercampur dengan cairan
empedu.
Pasien sering mengeluh nyeri spontan di perut kanan
atas, kalau berjalan posisinya membungkuk ke depan
dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Hati teraba di
bawah lengkung iga, nyeri tekan disertai demam tinggi
yang bersifat intermiten atau remiten. Kadang-kadang
terasa nyeri tekan lokal di daerah antara iga ke-8, ke-9 atau
ke-10,jarang terjadi ikterus. Padapemeriksaanlaboratorium
ditemukan leukositosis moderat (15.000- 25000/mm3)yang
terdiri atas 70% leukosit polimorfonuklear. Faal hati jarang
terganggu dan jarang ditemukan ameba di dalam tinja.
Ameba dapat ditemukan di dalam bahan cairan aspirasi
abses bagian terakhir atau bahan biopsi dinding abses.
Pada pemeriksaan penerawangan tampak peninggian
hemidiafragma kanan, gerakannya menurun atau kadangkadang terjadi gerakan paradoksal (pada waktu inspirasi
diafragma justru bergerak ke atas). Pada pemeriksaan foto
dada postero-anterior maupun lateral kanan, tampak sudut
kostofienik kanan tumpul di bagian depan (pada abses

hati piogenik, tumpul di bagian belakang).

Amebiasis pleuropulmonal. Dapat terjadi akibat ekspansi


langsung abses hati. Kira-kira 10-20% abses hati ameba
dapat mengakibatkan penyulit ini. Dapat timbul cairan
pleura, atelektasis, pneumonia, atau abses paru.
Abses paru dapat pula terjadi akibat embolisasi ameba
langsung dari dinding usus besar. Dapat terjadi hiliran
(fistel) hepatobronkial,penderita batuk-batuk dengan sputum berwama kecoklatan yang rasanya seperti hati.
Abses otak, limpa, dan organ lain. Abses otak, limpa, dan
organ lain dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung
dan dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun
sangat jarang terjadi.
Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari
dinding usus besar, dengan membentuk hiliran (fistel).
Sering terjadi di daerah perianal atau di dinding perut.
Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi
ameba yang berasal dari anus.

PENGOBATAN
Ameba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dalam
dinding usus maupun di luar usus. Hampir semua obat
amebisid tidak dapat bekerja efaktif di semua tempat
tersebut, terutama bila diberikan obat tunggal. Oleh karena
itu sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan
hasil pengobatan.

Amebiasis Asimtomatik (CarrierAtau Cyst Passer).


Carrier atau cyst passer, walaupun tanpa keluhan dan
gejala klinis, sebaiknya diobati. Hal ini disebabkan karena
ameba yang hidup sebagai komensal di dalam lumen usus
besar, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi patogen. Di
samping itu carrier juga merupakan sumber infeksi utama.
Trofozoit banyak dijumpai di lumen usus besar tanpa atau
sedikit sekali menimbulkan kelainan mukosa usus. Ulkus
yang ditimbulkan hanya superfisia1,tidakmencapai lapisan
submukosa. Kelainan tersebut tidak menyebabkan
gangguan peristaltik usus, sehingga tidak menimbulkan
keluhan dan gejala klinis. Obat yang diberikan adalah
amebisid luminal, misalnya:

Diloksanit furoat (diloxanitefuroate). Dosis : 3 x 500 mg


sehari, selama 10 hari. Saat ini obat ini merupakan amebisid
luminal pilihan, karena efektivitasnya cukup tinggi (8085%), sedangkan efek sampingnya sangat minimal hanya
berupa mual dan kembung.
Diyodohidroksikin (Diiodohydroxyquin).Dosis : 3 x 600
mg sehari, selama 10 hari.
YodoMorohidroksikin (lodochlorohydroxyquin) atau
Miokinol (clioquinol). Dosis : 3 x 250 mg sehari, selama
10 hari.

Kedua obat tersebut termasuk halogenated hydroxyquinolin yang cukup efektif sebagai amebisid luminal.
Efektivitasnya60-70%. Efek samping yang terjadi biasanya
ringan, berupa mual, muntah, tetapi dapat juga berat,
berupa subacute myelooptic neuropathy (SMON). Efek
samping ini hanya terjadi apabila dosis dan jangka waktu
pemberian obat melebihi aturan pakai yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, obat ini tidak dianjurkan untuk
diberikan kepada penderita yang mengidap penyakit optic neuropathy. Juga sebaiknya tidak diberikan kepada
penderita yang mengidap penyakit kelenjar gondok,
karena obat ini dapat mengakibatkan pembesaran kelenjar
gondok.

Karbarson (Carbarsone). Dosis 3 x 500 mg sehari, selama


7 hari.
Bisthmuth glycoarsanilate. Dosis 3 x 500 mg sehari,
selama 7 hari.
Kedua obat tersebut merupakan obat golongan arsen,
yang saat ini sudah jarang dipakal lagi. Sering timbul efek
samping diare.
Klefamid (Clefamide). Dosis 3 x 500 mg sehari, selama
10-13 hari.
Paromomycin. Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari.
Oleh karena ada kemungkinan invasi amuba ke mukosa
usus besar, maka walaupun tidak mengakibatkan gangguan
peristaltik usus, dianjurkan untuk menambah amebisid
jaringan sebagai profilaksis. Obat amebisidjaringan yang
dapat dipakal adalah :

Klorokuin difosfat (chloroquine diphosphate). Dosis 2 x


500 mg sehari, selama 1-2 hari, kemudian dilanjutkan
dengan 2 x 250 mg sehari, selama 7-12 hari. Obat anti
malaria ini mudah diserap dan saluran pencemaan, tetapi
lambat ekskresinya. Konsentrasi obat di dalam jaringan,
terutama jaringan hati sangat tinggi sehingga dipakai untuk
profilaksis timbulnya abses hati ameba.
Efek samping obat berupa mual, pusing dan nyeri kepala.
,Pemberian jangka lama dapat mengakibatkan retinopati.
Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada wanita hamil,
karena dapat mengakibatkan anak lahir tuli.
Metronidazol.Dosis 35-50 mgkg berat badan atau 3 x 500
mg sehari, selama 5 hari.
Tinidazol. Dosis 50 mgkg berat badan atau 2 g sehari,
selama 2-3 hari.
Ornidazol. Dosis 50-60 mgkg berat badan atau 2 gm
sehari, selama 3 hari. Ketiga obat tersebut termasuk
golongan nitroimidazol yang dapat bekerja baik di dalam
lumen usus, di dalam dinding usus maupun di luar usus
(ekstraintestinal).
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah,
pusing dan nyeri kepala. Tidak dianjurkan untuk diberikan
kepada pasien yang mengidap penyakit darah (blood

discrasia), juga kepada ibu hamil karena terbukti pada


binatang percobaan obat ini mempunyai sifat karsinogenik
dan teratogenik serta dapat mengakibatkan mutasi bakteri.
Disentri Ameba Ringan-Sedang
Pada pasien ditemukan ulkus di mukosa usus besar yang
dapat mencapai lapisan submukosa, dan dapat
mengakibatkan gangguan peristaltik usus. Pasien akan
mengalami diare atau disentri, tetapi tidak berat, sehingga
tidak memerlukan infis cairan elektrolit atau transksi darah.
Oleh karena didapatkantrofozoit di &lam lumen dandi &lam
dinding usus besar, maka sebagai obat pilihan adalah
mettonidazol dengan dosis 3 x 750 mg sehari selarna 5-10
hari. Dapat pula dipakai tinidazol atau ornidazol dengan
dosis seperti tersebut di atas. Oleh karena pada pasien yang
sudah sembuh dengan pengobatan metronidazol dapat
timbul abses hati ameba dalam jangka waktu 3-4 bulan
kemudian, maka dianjurkan untuk menambah dengan obat
amebisid luminal. Obat ini akan memberantas sumber
trofozoit di dalam lumen usus. Dapat dipakai
diyodohidroksikin, kliokinol, atau diloksanid firoat dengan
dosis seperti tersebut di atas. Dapat pula diberi tetrasiklin,
dengan dosis 4 x 500 mg sehari, selama 5 hari.

I.

"Carrier" Asirntomatik (Luminal Agents) :


1. lodoquinol (tablet 650 rng), dosis 650 rng tiga kali
sehari selama 20 hari.
2. Paromomycin (tablet 250 rng), dosis 500 rng tiga kali
sehari selama 10 hari.

II. Kolitis Akut


Metronidazole (tablet 250 atau 500 mg), dosis 750 mg per
oral atau "intravena" (IV) tiga kali sehari selarna 5-10 kali
ditambah dengan bahan luminal dengan dosis yang
sama.
Ill. Abses Hati Ameba
1. Metronidazole, dosis 750 rng per oral atau i.v tiga kali
sehari selama 5-10 hari.
2. Tinidazole, dosis 2 g per oral
3. Omidazole, dosis 2 g per oral ditambah bukan
luminal dengan jumlah yang sama.

Disentri Ameba Berat


Pasien ini tidak hanya memerlukan obat amebisid saja,
tetapi juga memerlukan infus cairan elektrolit atau transfusi
darah. Selain pengobatan seperti pada disentri ameba
ringan dan sedang perlu ditambah emetin atau
dehidroemetin. Obat ini diberikan secara suntikan
intramuskular atau subkutan yang dalam. Tidak
diperbolehkan memberikan secara intravena. Dosis emetin
1 mgkg berat badan sehari (maksirnurn 60 mg sehari)selama
3-5 hari; dehidro-emetin 11,s mglkg berat badan sehari
(maksimum 90 mg sehari) selama 3-5 hari. Penderita
sebaiknya dirawat di rumah sakit dan tirah baring selama
pengobatan. Hal ini disebabkan karena bahaya efek

samping emetin terhadap jantung. Pemberian dosis tinggi


dapat mengakibatkan nekrosis otot jantung dan penderita
meninggal mendadak.
Oleh karena itu penderita perlu diobservasi dengan
teliti, terutama tekanan darah, denyut nadi, dan
elektrokardiografi. Kelainan EKG yang sering terjadi adalah
kelainan gelombang T yang mendatar atau terbalik. Dapat
pula terjadi aritmia.
Amebiasis Ekstra Intestinal dan Ameboma
Penderita abses hati ameba dapat diberi metronidazol atau
obat lain golongan nitroimidazol dengan dosis seperti
tersebut di atas. Dapat pula diberi klorokindifosfat dengan
dosis 1 g sehari, selama 1-2 hari; dilanjutkan dengan 600
mg sehari, selama 4 minggu. Masing-masing obat tersebut
perlu ditambah dehidroemetin atau emetin dengan dosis
seperti tersebut di atas selama 10 hari. Kadang-kadang
apabila abseS hati sangat besar (lebih dari 5 cm), akan
sukar sembuh, sehingga perlu dipertimbangkan tindakan
pungsi abses untuk mempercepat penyembuhan. Pada
amebiasis ekstraintestinallainnya dan ameboma obat-obat
tersebut di atas dapat diberikan, kecuali klorokin.

PROGNOSIS
Prognosis ditentukan oleh berat-ringannya penyakit,
diagnosis dan pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan
ameba terhadap obat yang diberdcan. Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama yang tanpa
komplikasi. Pada abses hati ameba kadang-kadang
diperlukan tindakan pungsi untuk mengeluarkan nanah.
Demikian pula dengan amebiasis yang disertai pe~yulit
ehsi pleura. Prognosis yang kurang baik adalah abses
otak ameba.

PENCEGAHAN
Makanan, minuman, dan keadaan lingkungan hidup yang
memenuhi syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan
penyakit yang sangat penting. Air minum sebaiknya
dimasak dulu, karena kista akan binasa bila air dipanaskan
50C selama 5 menit. Pemberian klor dalam jumlah yang
biasa digunakan dalam proses pembuatan air bersih,
ternyata tidak dapat membinasakan kista. Penting sekali
adanya jamban keluarga, isolasi, dan pengobatan carrier.
Carrier dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala
pekerjaan yang berhubungan dengan makanan. Sampai
saat ini belum ada vaksin khusus. Pemberian
kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi
daerah endemis tidak dianjurkan. Pengobatan massal
secara berkala dengan metronidazol dan dilosanid furoat
hanya dikerjakan dalam keadaan tertentu.

ASPEK KHUSUS
Oleh karena amebiasis erat hubungannya dengan
kebersihan individu dan lingkungan hidup maka higiene
dan sanitasi merupakan faktor yang penting. Air dari
persediaan air minum (PAM) perlu dimasak dulu sebelum
diminum karena kista ameba tahan terhadap kadar klor
standar yang ada didalamnya. Vaksinasi merupakan
pencegahan penyakit yang ideal bagi individu atau
masyarakat yang belum memiliki kekebalan terhadap amebiasis.

Adam EB, McLeod. Invasive amebiasis. Medicine 1977;56:315-7.


Akbar N, Sulaiman A, Noer HM. Combined treatment of metronidazole and chloroquine in fulminant amebic dysentri complicated by hepatic and lung amoebiasis. Acta Medica Indoneslana
1975:19-25.
Amebae. In: Joklik EK. Willet HP, Bernard Amos D. Zinsser Microbiology 18" ed. Norwalk, Connec-ticut: Appleton Century-crofts
1984: 1206-9.
Balasegaram M. Amoeblasis: diagnosis and sur-gical treatment with
emphasis on hepatic aspects. Med.Progr 1976; 16-17.
Behrens MM. Optic atrophy in children after diiodohydroxyquin
therapy. JAMA 1974: 228-693.
Garcia EG. Treatment of amebiasis in Southeast Asia. Mod. Progr.
1981; 8: 11-4.
Hunter GW, Swartnvelder JC, Clyde DR. Amebiasis. In: Trop. Mod.
5"' Ed. Phi1adelphia:WB Saunders;1976.p.323-44.
Krupp IM, Powell SJ. Antibody respons to invasive amebiasis in
Durban, South Africa. Am.J.Trop. Med.Hyg. 1971; 20: 414-20.
Latonio AA. Treatment of amebiasis : reminders and pit falls.
Med.Progr. 1976; 5: 13-4.
Moerdowo R, Bakta IM. Beberapa segi klinis abses hati amubik dl
RSUP Sanglah, Denpasar Bali. Naskah Lengkap Simposium
Penyakit Hati Menahun, Jakarta 1979: 351-7.
Paterson M, Heaty GR, Shabot JM. Serologic testing for amoebiasis.
Gastroenterology 1980;78: 136-41.
Plorde JJ. Amebiasis. 1n:Harrison's Principles of Inter-nal Medicine. Editors: Wllson JD, Braunwald E, Isselbacher KJ, Martin
JB, Petersdorf RQ, Fauci AS, Root RK. I l t hEds. New YorkToronto: McGrawHill. Inc; 1991.p.778-8 1.
Reed SL. Amebiasis and infection with free-living amebas. In:
1n:Harrison's Principles of Inter-nal Medicine. Editors:Kasper DL,
Fauci DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jarneson JL. 16
Eds. New York-Toronto: McGrawHill. Inc; 2005.p. 1214-18.
Signh U. Diagnosis and management of amebiasis. Clin Infect Dis
29.1999:117.
Stamm WP. Amoebic aphorism. Lancet 1970; 2:1355-6.
Sulaiman A, Pang RTL. Noer HMS. Amubiasis hati: diagnosis dan
pengobatannya. KPPIK FKUI VII, 1972: 12-16.
TrissI D. Immunology of Entamoeba histolytica in human and animal hosts. Rev Inf Dis. 1982; 1154-71
Zaman V. Amoebiasis in Southeast Asia. Life-cycle and pathology
of Entameba histolytica. Med. Progr. 1976; 5: 11-2.

"

DISENTRI BASILER
Akmal Sya'roni

PENDAHULUAN

CARA INFEKSI

Disentri basiler atau shigellosis adalah suatu infeksi akut


pada kolon yang disebabkan kuman genus shigella. Shigella adalah basil nonmotil, gram negatif, famili
enterobacteriaceae. Ada 4 spesies shigella yaitu S.
dysentriae, S.Jexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat
43 serotipe 0 dari shigella. S. sonnei adalah satu-satunya
spesies yang memiliki serotipe tunggal. Karena kekebalan
tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik, maka
seorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang
berbeda Genus ini mempunyai kemampuan menginvasi sel
epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam jumlah
lo2-1O3 organisme. Penyakit ini, kadang-kadang ringan dan
kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang
jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit.
Secara klinis mempunyai tanda-tanda sebagai berikut :
diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, kram perut dan
tenesmus.

Shigella memasuki host melalui mulut. Karena secara genetik


bertahan terhadap PH yang rendah, mereka dapat melewati
barier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air,
makanan, lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Secara
endemik pada daerah tropis penyebaran melalui air yang
tercemar oleh tinja pasien, makanan yang tercemar oleh
lalat, dan pembawa hama (carrier). Untuk menemukan
carrier diperlukan pemeriksaan biakan tinja dengan teliti
karena basil shigella mudah mati, untuk itu diperlukan
tinja yang baru.

Di dunia sekurangnya 200juta kasus dan 650.000 kematian


terjadi akibat disentri basiler pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun. Kuman penyakit disentri basiler didapatkan
di mana-mana di seluruh dunia, tetapi kebanyakan
ditemukan di negara-negara sedang berkembang, yang
kesehatan lingkungannya masih kurang.
Di Amerika Serikat, insidensipenyakit ini rendah. Setiap
tahunnya kurang dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke
Centersfor Disease Control and Prevention (CDC).
Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa rumah
sakit di Indonesia dari Juni 1998 sampai dengan Nopember
1999,dari 3848 orang penderita dime berat, ditemukan 5 %
shigella.

Gambar 1. Siklus transmisi (Contoh transmisi: makanan, jari-jari.


tangan, air, lalat

KELAINAN ANATOMIS

Basil disentri tidak ditemukan di luar rongga usus dan tidak


merusak selaput lendir. Kelainan pada selaput lendir
disebabkan oleh toksin kuman. Lokasi usus yang terkena
adalah usus besar dan dapat mengenai seluruh usus besar,

dengan kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid,


sedang pada ileum hanya ditemukan hiperemik saja.
Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus
hiperemis, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi
biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk
ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir
lipatan transversum didapatkan ulkus yang dangkal dan
kecil, tepi ulkus menebal dan adanya infiltrat, tetapi tidak
pernah berbentuk ulkus bergaung (seperti pada disentri
amuba). Selaput lendir yang rusak ini mempunyai warna
hijau yang khas. Pada infeksi yang menahun akan
terbentuk selaput tebalnya sampai 1,5 cm sehingga dinding
usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil.
Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum.

tetapi bisa juga subnormal. Nadi cepat halus, muntahmuntah. Nyeri otot dan kejang kadang-kadang ada.
Perkembangan selanjutnya berupa keluhan-keluhan yang
bertambah berat, keadaan umum memburuk, inkotinensia
urin dan alvi, gelisah, tapi kesadaran masih tetap baik,
kelainan-kelainan menjadi bertambah berat.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi
perifer, anuria, dan koma uremik. Angka kematian
bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan.
Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi, dan keadaan
darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini
selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi
memerlukan waktu penyembuhan yang lama,
penyembuhan yang cepat jarang terjadi.

KELUHAN DAN GEJALA KLlNlS

Bentuk yang sedang. Keluhan dan gejalanya bervariasi,


tinja biasanya lebih berbentuk, mungkin dapat
mengandung sedikit darahllendir

Masa tunas penyakit ini berlangsung dari beberapa jam


sampai 3 hari, jarang lebih dari 3 hari. Mulai terjangkit
sampai timbulnya gejala khas biasanya berlangsung cepat,
sering secara mendadak, tetapi dapat juga timbul perlahanlahan. Gejala yang timbul bervariasi : defekasi sedikitsedikit dan dapat terus-menerus, sakit perut dengan rasa
kolik dan mejan, muntah-muntah, sakit kepala. Sifat kotoran
mulanya sedikit-sedikit sampai isi usus terkuras habis,
selanjutnya pada keadaan ringan masih dapat
mengeluarkan cairan, sedangkan bila keadaan berat tinja
berlendir dengan warna kemerah-merahan (red currant
jelly) atau lendir yang bening dan berdarah, bersifat basa.
Secara mikroskopik didapatkan sel-sel pus, sel-sel darah
putihlmerah, sel makrofag yang besar, kadang-kadang
dijumpai Entamoeba coli. Suhu badan bervariasi dari
rendah-tinggi, nadi cepat, dan gambaran sel-sel darah tepi
tidak mengalami perubahan.
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan,
sedang sampai yang berat. Bentuk yang berat (jiulminating cases) : biasanya di sebabkan oleh S.dysentriae.
Berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air, muntahmuntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi,
renjatan septik, dan dapat meninggal bila tidak cepat
ditolong. Kadang-kadang gejalanya tidak khas dapat
berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan. Pada
kasus yang berat ini gejala-gejalanya timbul secara
mendadak dan berat, dengan pengeluaran tinja yang
banyak berlendir dan berdarah serta ingin berak yang terus
menerus. Akibatnya timbul timbul rasa haus, kulit kering
dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka
menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin, dan
viskositas darah meningkat (hemokosentrasi).
Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit
diikuti pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut
menjadi cekung. Di daerah anus terjadi luka dan nyeri,
kadang-kadang timbul proplaps. Bila ada hemoroid yang
biasanya tidak timbul akan menjadi mudah muncul ke luar.
Suhu badan tidak khas biasanya lebih tinggi dari 39C

Bentuk yang ringan. Keluhan-keluhadgejala tersebut di


atas lebih ringan.
Bentuk yang menahun. Terdapat serangan seperti bentuk
akut secara menahun. Bentuk ini jarang sekali bila mendapat
pengobatan yang baik.

GAMBARAN ENDOSKOPI

Gambaran endoskopi, memperlihatkan mukosa hemoragik


yang terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang tertutup
dengan eksudat. Sebagian besar lesi berada dibagian distal kolon dan secara progresif berkurang di segmen
proksimal usus besar.

KOMPLIKASI DAN GEJALA SlSA

Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler, terjadi


pada pasien yang berada di negara yang masih
berkembang dan seringnya kejadian ini dihubungkan
dengan infeksi oleh S.dysentriae tipe 1 dan S.$exneri pada
pasien dengan keadaan gizi yang buruk. Misalnya
bakteremia, relatifjarang terjadi di Amerika Serikat, tetapi
di Dacca Bangladesh, bakteriemia tercatat 8% dari seluruh
pasien disentri basiler yang dirawat. Adanya bakteriemia,
akan menyebabkan angka kematian yang tinggi pada
pasien yang berumur kurang dari 1 tahun. Faktor lain yang
memperberat bakteriemia di Amerika Serikat yaitu apabila
pasien dengan acquired immunodefiency syndrome (AIDS).
Komplikasi lain disenti basiler oleh infeksi S.dysentriae
tipe 1 adalah izaemolytic uremic syndrome (HUS). Biasanya
HUS ini timbul pada akhir minggu pertama disentri basiler,
pada saat disentri basilernya mulai membaik. Tanda-tanda
HUS dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit
( sampai 10% dalam 24 jam) dan secara progresif timbul

anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan gagal


jantung. Dapat pula dengan HUS ini, terjadi reaksi
leukemoid (leukosit lebih dari 50.000 per mikro liter),
trombositopenia (30.000-100.000 trombosit per mikro liter).
Juga dapat tiinbul hiponatremia dan hipoglikemia berat.
Bisa pula timbul gejala susunan saraf pusat, termasuk disini
keluhan ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang
aneh.
Selanjutnya pada disentri basiler, dapat timbul
komplikasi berupa artritis, yang biasanya timbul pada masa
penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama
lutut, biasanya dihubungkan dengan infeksi S.jlexneri.
Kelainan ini dapat terjadi pada kasus yang ringan, cairan
sinoval sendi mengandung leukosit polimorfonuklear.
Penyembuhan dapat sempurna, sedangkan keluhan artritis
ini dapat berlangsung sampai berbulan-bulan.
Stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus
menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus,
walaupun ha1 ini jarang terjadi. Neuritis periferjarang terjadi,
biasanya timbul setelah serangan S.dysentriae yang
toksik. Iritis atau iridosiklitis biasanya timbul bersama
dengan artritis.
Komplikasi intestinal seperti tokslk mega kolon, prolaps
rektal dan perforasi. Peritonitis karena perforasi jarang
terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau
setelah serangan berat. Peritonitis dengan perlekatan yang
terbatas mungkin pula terjadi pada beberapa tempat
mempunyai angka kematian yang tinggi. Komplikasi lain
yang dapat timbul adalah bisul dan hemoroid.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding disentri basiler ialah radang kolon yang


disebabkan oleh kuman enteroheinoragik dan enteroinvasif
E.coli, Campylobacter jejuni, Salmonella entereditis
serotipe, Yersinia enterocolitica, Clostridium diSJicile dan
protozoa Entamoeba histolytica.
Diagnosis banding yang tidak berhubungan dengan
infeksi yaitu kolitis ulseratif atau Chron k colitis.

DIAGNOSIS DENGAN CARA KHUSUS

Pemeriksaan lain yang dapat membantu untuk menegakkan


diagnosis disentri basiler ialah pemeriksaan tinja secara
langsung terhadap kuman penyebab juga untuk ameba
dan kista ameba serta biakan hapusan (rectal swab).
Metode diagnostik lainnya adalah polymerase chain
reaction (PCR) yang spesifik dan sensitif, tetapi belum
dipakai secara luas. Pemeriksaan enzim immunoassaydapat
rnendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita
yang terinfeksi dengan S. dysentriae tipe 1, atau toksin
yang dihasilkan E.coli. Pada stadium lanjut dilakukan

pengerokan daerah sigmoid untuk pemeriksaan sitologi


(sigmoidoskopi). Aglutinasi karena aglutinin terbentuk
pada hari kedua, maksimum pada hari keenam. Pada
S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada
pengenceran 1/50, dan pada S.jlexneri aglutinasi antibodi
sangat kompleks, dan oleh karena adanya banyak strain
maka jarang dipakai.

PROGNOSIS

Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali


bila mendapatkan pengobatan dini. Tetapi pada bentuk
yang sedang, biasanya angka kematian rendah; bentuk
dysentriae biasanya berat dan masa penyembuhan lama
meskipun dalam bentuk yang ringan. Bentuk j7exneri
mempunyai angka kematian yang rendah.

PENGOBATAN

Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat


mencegah atau memperbaiki dehidrasi, dan pada kasus yang
berat diberikan antibiotika.
Cairan dan Elektrolit
Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan
cairan rehidrasi oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu
sering, dehidrasi akan terjadi dan berat badan penderita
akan turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui
i n h s untuk menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi
jika penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan melalui
minuman atau pemberian air kaldu, atau dapat juga oralit.
Jika penderita berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai
dapat diberikan.
Diet
Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang
dari 5 kalikari, kemudian diberikan makanan ringan biasa
bila ada kemajuan.
Pengobatan Spesifik
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis
pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari
pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan
selama 5 hari. Bila tak ada perbaikan antibiotika diganti
dengan jenis yang lain. Jika dengan pengobatan dengan
antibiotika yang kedua pasien tidak menunjukkan
perbaikan diagnosis hams ditinjau ulang dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis tinja, kultur dan resistensi
mikroorganisme.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin,
klorainfenikol dan tetrasiklin, hampir universal terjadi dan

banyak shigella saat ini resisten terhadap ampisilin dan


sulfametoksazol.
Situasi pada tiap wabah penyakit ini menimbulkan
resistensi yang berbeda-beda, karena itu pada wabah
sebaiknya disiapkan obat khusus yang hanya diberikan
pada pasien-pasien yang gawat. Sangat ideal bila pada
setiap kasus dilakukan uji resistensi terhadap kuman
penyebabnya, tetapi tindakan ini akan mengakibatkan
pengobatan dengan antibiotika jadi tertunda.
Kuman Shigella biasanya resisten terhadap ampisilin,
namun apabila ternyata dalam uji resistensi kilman
terhadap ampisilin masih peka, maka masih dapat
digunakan, dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mglhari,
selama 5 hari. Begitu pula dengan trimetoprimsulfametoksazol, dosis yang diberikan 2x 960 mglhari
selama 3-5 hari. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam
pengobatan disentri basiler, karena tidak efektif.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal
fluorokuinolon seperti siprofloksasin, atau makrolide
azithromisin berhasil baik untuk pengobatan disentri
basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500
mghari selama 3 hari. Pemberian siprofloksasinmerupakan
suatu kontraindikasi terhadap an&-anak dan wanita hamil.
Dosis azitromisin yang dianjurkan adalah 1 g dosis tunggal
dan untuk sefiksim 400 mglhari selama 5 hari.
Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman
S. dysentriae tipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat,
diberikan asam nalidiksik dengan dosis 3x1 ghari selama
5 hari. Tidak ada antibiotika yang dianjurkan dalam
pengobatan stadium carrier disentri basiler.
Obat-obat antispamodik (misal, tinktura beladona)
dapat menolong dalam pengobatan bila terjadi kram yang
berat. Obat-obat yang menghambat peristaltik usus
(paregorik, difenoksilat dengan atropin dan loperamid)
belum jelas penggunaannya dalam fase permulaaan
disentri basiler. Obat-obat ini, mempunyai efek membantu
dalam membatasi diare. Obat-obat ini tidak diindikasikan
pada fase disentri.

Belum ada rekomendasi pemakaian vaksin untuk shigella.


Penularan disentri basiler dapat dicegah dengan
lingkungan yang bersih dan diri yang bersih.
Membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang tidak
terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih dapat
mengurangi penularan disentri basiler. Pengobatan
antibiotikatidak dianjurkan untuk karier yang asimptomatik.

Arizona Department of Health Services. Shigellosis. Arizona Department of Health Services.com. August, 2004.
Centre for Disease Control and Prevention National Centre for
Infectious Diseases. Shigellosis. September, 2003.
Chambers HF. Infectious diseases: bacterial and chlamydial. In:
Tiemey LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current medical diagnostic and treatment. 43 th ed. USA: Mc Graw Hill;
2004.p.1363-64.
ICD-9 004; ICD-10 A03. Shigellosis (Bacillary Dysentery).527-531.
Keusch GT. Shigellosis. In: Isselbacher, Wilson, Braunwald et al,
editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16Ih ed.
USA: Mc Graw Hill; 2005.p. 902-6.
Kroser JA. Shigellosis. eMedicine.com. Inc. May 17, 2002.
Listing of disease related to water and environmental sanitation.
Bacillary Dysentery, Shigellosis. Controlling and Preventing
Disease.
Maryland Department of Health and Mental Hygiene- Epidemiology
and Disease Control Program. Shigellosis fact sheet. May, 2002.
Master PA, 0 Bryan TA, Zurlo J, Miller DQ. Trimethoprime
sulfamethoxazole revisited. Archieves of Internal Medicine.
2003;163: 402-10.
Nivogi SK. Shigellosis. The Journal of Microbiology. Vo1.43. No.2.
Apri1,2005: 133-143.
Smith.JF. Medical library. Shigellosis. May I I, 2005.http ://
www.cholibrary.org
Subekti D, Oyofo BA, Tjaniadi P et al. Shigella spp. Surveillance in
Indonesia: the Emergence or Re-emergence of S. dysenteriae.
Emerging Infectious Diseases. Vo1.7 No. I. January, 2001.
WHO. Weekly Epidemiological Record. September, 2004:355-356.

HIVIAIDS Dl INDONESIA
Zubairi Djoerban, Samsuridjal Djauzi

PENDAHULUAN
Masalah HIVIAIDS adalah masalah besar yang
mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia.
UNAIDS, Badan WHO yang mengurusi masalah AIDS,
memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia pada
Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak
ada negara yang terbebas dari HIVIAIDS. HIVIAIDS
menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan,
menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan
negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis
kemanusiaan. Dengan kata lain HIVIAIDS menyebabkan
krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS
memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan
layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang
terinfeksi HIV.

AIDS (Acquired lmmunodejiciency Syndrome) dapat


diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat
infeksi oleh virus HIV (Human Immunodejiciency Virus)
yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi H N

SWARAH
Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981.
Meskipun demikian, dari beberapa literatur sebelurnnya
ditemukan kasus yang cocok dengan definisi sumeilans
AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat.
Sampel jaringan potong beku dan serum dari seorang pria

berusia 15 tahun di St. Louis, AS, yang dirawat dengan


dan meninggal akibat Sarkoma Kaposi diseminata dan
agresif pada 1968, menunjukkan antibodi HIV positif
dengan Western Blot dan antigen HIV positif dengan
ELISA. Pasien ini tidak pernah pergi ke luar negeri
sebelumnya, sehingga diduga penularannya berasal dari
orang lain yang juga tinggal di AS pada tahun 1960-an,
atau lebih awal.
Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc
Montagnier pada tahun 1983 yang pada waktu itu diberi
nama LAV (lymphadenopathy virus) sedangkan Robert
Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada 1984 yang
saat itu dinamakan HTLV-111. Sedangkan tes untuk
memeriksa antibodi terhadap HIV dengan cara Elisa baru
tersedia pada tahun 1985.
Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah
Odha (orang dengan HIVIAIDS) lebih dianjurkan agar
pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi, sebagai subjek
dan tidak dianggap sebagai sekadar objek, sebagai
pasien.
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara
resmi oleh Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada
seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum
itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985yang
secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan
hasil tes Elisa tiga kali diulang, menyatakan positif. Hanya,
hasil tes Western Blot, yang saat itu dilakukan di Amerika
Serikat, hasilnya negatif sehinggatidak dilaporkan sebagai
kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada
bulan Maret 1986di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien
hemofilia dan termasuk jenis non-progessor, artinya
kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama
17 tahun tanpa pengobatan, dan sudah dikonfirmasi
dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di RSUPN
Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002.

TROPIK IN-I

Penularan HIVIAIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh


yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan
seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum
suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen
darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang
dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok rislko tinggi
terhadap HIVIAIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja
seks komersil dan pelanggannya, serta narapidana.
Narnun, infeksi HIVIAIDS saat ini juga telah mengenai
semua golongan masyarakat, baik kelompok rislko tinggi
maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar
odha berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah
terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara
heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat.
Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya
menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan
heteroseksual.
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat
jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada
periode itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian
jumlah kasus baru HIVIAIDS semakin meningkat dan sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam
yang terutama disebabkan akibat penularan melalui
narkotika suntik. Sampai dengan akhir Maret 2005 tercatat
6789 kasus HIVIAIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu
masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen
Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah
penduduk Indonesia yang terinfeksl HIV adalah antara
90.000 sampai 130.000 orang.
Sebuah survey yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun
menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersil
(PSK) yang terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 19951
1996 menjadi lebih dari 8,38% pada tahun 2000. Sementara
itu survey yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan
angka infeksi HIV yang cukup tinggi di lingkungan PSK di
Merauke yaitu 5-26,5%, 3,36% di JakartaUtara, dan 5 3 % di
Jawa Barat.
Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa
peningkatan infeksi HIV yang semakin nyata pada
pengguna narkotika. Padahal sebagian besar odha yang
merupakan pengguna narkotika adalah remaja dan usia
dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif.
Anggapan bahwa pengguna narkotika'hanya berasal dari
keluarga broken home dan kaya juga tampaknya semakin
luntur. P e n g a ~ hteman sebaya (peer group) tampaknya
lebih menonjol.
Pengguna narkotika suntik mempunyai risiko tinggi
untuk tertular oleh virus HIV atau bibit-bibit penyakit lain
yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah
penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang
yang lazim dilakukan oleh sebagian besar pengguna
narkotika. Satu jarum suntik dipakai bersama antara 2
sampai lebih dari 15 orang pengguna narkotika. Survey

sentinel yang dilakukan di RS Ketergantungan Obat di


Jakarta menunjukkan peningkatan kasus infeksi HIV pada
pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi
yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi
40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001.
Bahkan suatu survei di sebuah kelurahan di Jakarta Pusat
yang dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu menunjukkan 93%
pengguna narkotika terinfeksi HIV.
Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya
digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan infeksi
HIVIAIDS pada masyarakat umum. Jikapada tahun 1990
belum ditemukan darah donor di Palang Merah Indonesia
(PMI) yang tercemar HIV, maka pada periode selanjutnya
ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya makin lamamakin
meningkat. Persentase kantung darah yang dinyatakan
tercemar HIV adalah 0,002% pada periode 199211993,
0,003% pada periode 199411995,0,004% pada periode 19981
1999 dan 0,016% pada tahun 2000."
Prevalensi ini tentu perlu ditafsirkan dengan hati-hati,
karena sebagian donor darah berasal tahanan di lembaga
pemasyarakatan, dan dari pasien yang tersangka AIDS di
nunah sakit yang beluln mempunyai fasilitas laboratorium
untuk tes HIV. Saat ini, tidak ada lagi darah donor yang
berasal dari penjara.
Pada narapidana, suatu survey cross sectional di
penjara narkotika di Bandung, memperlihatkan prevalensi
HIV pada warga binaan yang 10 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan angka nasional.
Survey yang dilakukan pada tahun 1999-2000 pada
beberapa klinik KB, puskesmas dan rumah sakit di Jakarta
yang dipilih secara acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu
hamil dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV
ternyata positif terinfeksi HIV.

Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena


virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan
CD4. Limfosit CD4+ behngsi mengoordinasikan sejumlah
fimgsi imunologis yang penting. Hilangnya hngsi tersebut
menyebabkan gangguan respons imun yang progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model
infeksi akut Simian ImmunodeJiciency firus (SIV). SIV
dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada m k o s a
vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cells ke
kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus
dideteksi pada kelenjar getah bening makaka dalam 5 hari
setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening
yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan
hibridisasi in s i b dalam 7 sampi 14 hari setelah inokulasi.
Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak
jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah
, bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV.
Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid

'

HIV/AlDS Dl INDONESIA

kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan


sementara dengan pembentukan respons imun spesifik.
Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah
peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun demikian tidak
dapat dikatakan bahwa respons sel limfosit CD8+
menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV.
Replikasi HIV berada pada keadaan 'steady-state'
beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif
stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat
bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi
HIV tersebut, dengan demikan juga perjalanan kekebalan
tubuh pejamu, adalah heterogeneitas kapasitas replikatif
virus dan heterogeneitas intrinsik pejamu.
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu
setelah infeksi, namun secara umum dapat dideteksi
pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai
ke level 'steady- state'. Walaupun antibodi ini umumnya
memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi
virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus
dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan
melakukan adaptasi pada amplop-nya, termasuk
kemampuannya mengubah situs glikosilasi-nya, akibatnya
konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi
yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi.

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA


sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV,
seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang
yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap
AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan
gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit
tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis,
sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang
juga bertahap.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda
atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak
khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau
batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini
umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada
sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat
cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang
perjalanannya lambat (non-progressor).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh,
odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama,
rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,
tuberkulosis, infeksijamur, herpes, dll.

Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa


tahun tidak menunjukkan gejala, secara bertahap sistem
kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan
memburuk, dan akhimya pasien menunjukkan gejala klinik
yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang
disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnyabukan
laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV. Manifestasi
dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah
kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening
dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat
dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian
besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan
di peredaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa
sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu
terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10partikel setiap hari.
Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan
seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan
replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,
untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar lo9sel setiap hari.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna:
narkotika. Lebih dari 80% pengguna narkotika terinfeksi
virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah
penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika
dan biasanya tidak ditemukan pada odha yang tertular
dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik
berbanding lurus dengan dengan infeksi pneumonia dan'
tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan
narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia
dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan
menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman
penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah
dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat'
pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus
di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif.
Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada
pengguna narkotika ini juga tercermin dari hasil penelitian
di RS dr. Cipto Mangunkusumo pada 57 pasien HIV
asimptomatik yang berasal dari pengguna narkotika,
dengan kadar CD4 lebih dari 200 sel/mm3.Temyata 56,14%
mempunyai jumlah virus dalam darah (viral load) yang
melebihi 55.000 kopilml, artinya penyakit infeksi HIV nya
progresif, walaupun kadar CD4 relatif masih cukup baik.
i

TES HIV
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti
apakah seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karenc
pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah'
bertahun-tahun lamanya.
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar

dapat di$&i meqjqdi pemeriksan serologik untuk


mendeteks'i adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan
untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya
virus HIV dalarn tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan
biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetik
dalam darah pasien.
Pemeriksaan yang lelrih mudah dilaksanakan adalah
pemeriksaan terhadap antibodi HIV, Sebagai penyaring
biasanya digunakan teknik ELIS4 (enzyme-linked
immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot
immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakaq
di Indonesia adalah dengan ELISA.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes
terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya masa jendela. Masa
jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai
mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan
pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu
setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada
seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat
memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan
akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan
pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.
World Health Organization (WHO) menganjurkan
pemakaian salah satu dari 3 strategi pemeriksaan antibodi
terhadap HIV di bawah ini, tergantung pada tujuan
penyaringan keadaan populasi dan keadaan pasien (Tabel 1).

~ u j u a nPemeriksaan
Keamqnan .,.
transfusi dan
transplantasi
Surveillance
Diagnosis

Prevalensi
infeksi HIV

Strategi
Pemeriksaan

Semua
prevalensi

>I0 %

Bergejala
infeksi HIV
/AIDS
Tanpa gejala

-<I0 %

>30 %

-c30 %

>I0 %
4 0%
-

Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya Strategi I,


hanya dilakukan 1kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan
reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan
bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi
HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada
strategi ini hams memiliki sensitivitasyang tinggi (> 99%).
Strategi I1 menggunakan 2 kali pemeriksaanjika serum
pada pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Jika
pada pemeriksaan pertama hasilnya non-reaktif, maka
dilaporkan hasil tesnya negatif. Pemeriksaan pertama
menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan
pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih
spesifik serta berbeda jenis antigen atau tekniknya dari
yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil

pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai


terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua
adalah non-reaktif, maka pemeriksaan harus diulang
dengan ke-2 metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka
dilaporkan sebagai indeterminate.
Strategi I11 menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil
pemeriksaan pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat
disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV.
Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes
pertama reaktif, kedua reaktif dan ketiga non-reaktif atau
pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan
ini disebut sebagai equivocal atau indeterminate
bila pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan
terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan
bila hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada
orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak
berisiko tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan
sebagai non-reaktif. Perlu diperhatikan juga bahwa pada
pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal
antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifisitas yang
lebih tinggi.
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang
reaktif, pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
konfmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HlV, yang
paling sering dipakai saat ini adalah tehnik Western Blot

W).
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk
keperluan diagnosis hams mendapatkan konseling pra
tes. Hal ini hams dilakukan agar ia dapat mendapat
infoimasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIVI
AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik
untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya
nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling
pra tes karena orang yang dites tidak akan diberitahu hasil
tesnya.
Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling
pasca tes, baik hasil tes positif maupun negatif. Jika
hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai
pengobatan untuk memperpanjangmasa tanpa gejala serta
cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif,
konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan
informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak
berisiko.

KRI'TERIA DIAGNOSIS

Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan


pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi HIV,
baik dengan meteode pemeriksaan antibodi atau
pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam
tubuh.
Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans
ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik (Tabel 2)
atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/rnrn3.

HIV/AlDS Dl INDONESIA

getah bening)
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIVa
Herpes sirnpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronkitis,
pneurnonitis, atau esofagitis
Histoplasrnosis, diserninata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esofagus
Kanker sewiks invasive
Koksidiodornikosis, diserninata atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptosporidiosis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Leukoensefalopati rnultifokal progresif
Lirnforna, Burkitt
Lirnforna, irnunoblastik
Lirnforna, primer pada otak
Mikobakteriurn aviurn kompleks atau M. kansasii, diserninata
atau ekstraparu
Mikobakteriurn tuberkulosis, paru atau ekstraparu
Mikobakteriurn, spesies lain atau spesies yang tidak dapat
teridentifikasi, diserninata atau ekstrapulrnoner
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekurenb
Sarkoma Kaposi
Septikernia Salmonella rekuren
Toksoplasrnosis otak
Wasting syndromeC
'Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggukerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan
oleh penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit
lain dilakukan pemeriksaan lumbal punksi dan pemeriksaan
pencitraan otak (CT Scan atau MRI)
b~erulang
lebih dari satu episode dalam 1 tahun
qerdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare
kronik (minimal 2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan
dernam lama (>30 hari, intermiten atau konstan), tanpa dapat
dijelaskan oleh penyakitlkondis~lain (mis. kanker, tuberkulosis.
enteritis spesifik) selain HIV

PENATALAKSANAAN
HIVIAIDS sampai saat ini memang belum dapat
disembuhkan secara total. Namun, data selama 8 tahun
terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV
(obat anti retroviral, disingkat obat ARV) bermanfaat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi
HIV. Orang dengan HIVIAIDS menjadi lebih sehat, dapat
bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui
pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya
kerentanan odha terhadap infeksi oportunistik.
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas
beberapa jenis, yaitu: a). pengobatan untuk menekan
replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), b).
pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan
kanker yang menyertai infeksi HIVJAIDS, seperti jamur,
tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi,
limfoma, kanker serviks, c). pengobatan suportif, yaitu

makanan yang mempunyai nilai' gizi yang lebih baik dan


pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial
dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan
perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang
lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan
hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat
berkurang.
T E M P I ANTIRETROVIML (ARV)
Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan
odha menjadijauh lebih baik. Infeksi kriptosporidiasisyang
sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah ditangani.
Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti
infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakteriumatipikal,
dapat disembuhkan. Pneumonia Pneumocystis carinii pada
odha yang hilang timbul, biasanya mengharuskan oclha
minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun sekarang
dengan minum obat ARV teratur, banyak odha yang tidak
memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia.
Terdapat penurunan kasus kanker yang terkait dengan
HIV seperti Sarkoma Kaposi dan limfoma dikarenakan
pemberian obat-obat antiretroviral tersebut. Sarkoma
Kaposi dapat spontan membaik tanpa pengobatan khusus.
Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan
penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat
menstimulasi pertumbuhan Sarkoma Kaposi. Selain itu
pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat
membentuk respons imun yang efektif terhadap human
herpesvirus 8 (HHV-8) yang dihubungkan dengan kejadian
sarkoma kaposi.
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti
nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nucleotide
reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. Tidak
semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia (Tabel 3).
Waktu memulai terapi ARV hams dipertimbangkan
dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam
jangka panjang. Obat ARV direkomendasikanpada semua
pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk
masuk dalam kriteria diagnosis AIDS,atau menunjukkan
gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit
CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien
asimptomatik dengan llimfosit CD4+ kurang dari 200 sell
mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350
se1/mm3dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sell
mm3danviral load leblh clan 100.000 kopi/ml terapi ARV
dapat dimulai, namun dapat pula ditunda.Terapi ARV tidak
dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih
dari 350 sel/mm3danviral Ioadkurang dari 100.000kopi/ml.
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan
WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV.Terdapat beberapa
regimen yang dapat dipergunakan(Tabe1 4), dengan

Dagang
Duviral

Tablet, kandungan: zidovudin 300 rng, 2 x I tablet


larnivudin 150 rng
Kapsul:
2 x 4 0 mg
<:2x3Omg
30 mg, 40 mg
Tablet 150 mg Lar.oral 10 mglml
2x150mg

w:

Stavir
Zerit
Hiviral
3TC

Stavudin (d4T)

NsRTl

Lamivudin (3TC)

NsRTl

Viramune
Neviral

Nevirapin (NVP)

NNRTl

Tablet 200 mg

Retroyir
Adovi
Avlmid
Videx

Zidovudin (ZDV, AZT)

NsRTl

Kapsul100 mg

Didanosin (ddl)

NsRTl

Tablet kunyah: 100 mg

Efavirenz
(EFV,EFZ)
Nelfinavir (NFV)

NNRTI

Kapsul200 mg

Stocrin,

-:

2 mglkg, 2xlhari
1 x 200 mg selama 14 hari,
dilaniutkan
2 x 200 mg
2 x 300 mg, atau 2 x 250 mg
(dosis alternatif)
> 60 kq: 2 x 200 mg, atau 1 x
400 mg
< 60 kq: 2 x 125 mg, atau 1 x
250 mg
1 x 600 mg, malam

Nelvex
,
PI
Tablet 250 mg
2 x 1250 mg
Viracept
NsRTI= nucleoside reverse transcriptase inhlbitor, NNRTl = non-nucleosidereverse transcnptase inhibitor, PI = protease inhibrtor Diperbaharui
dari: (37)

keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi


obat antiretroviral lini pertama yang umumnya digunakan
di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV)/lamivudin
(3TC), dengan nevirapin (NVP) .
ObatARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus
seperti pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar
dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV @ostexposure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari
ibu ke bayi.
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
dengan pemberian obat ARV penting untuk mendapat
perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa bayi di
Indonesia yang tertular HIV dari ibunya. Efektivitaspenulamn
HIV dari ibu ke bayi adalah sebesar 10-30%.Artinya dari 100
ibu harnil yang terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi yang
akan tertular. Sebagianbesar penularan terjadi sewaktu proses
melahirkan, dan sebagian kecil melalui plasenta selama
kehamilan dan sebagian lagi melalui air susu ibu.
Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk
nevirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat
mudah untuk diterapkan dan ekonomis. Sebetulnya
pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV yang
dikombinasikan dengan operasi caesar, karena dapat
menekan penularan sampai 1%. Namun sayangnya di
negara berkembang seperti Indonesia tidak mudah untuk
melakukan operasi sectio caesaria yang murah dan aman.

lnteraksi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Masalah koinfeksi tuberkulosis dengan HIV merupakan
masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada

prinsipnya, pemberian OAT pada odha tidak berbeda


dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV,
terutama efek hepatotoksisitasnya, harus sangat
diperhatikan. Pada odha yang teIah mendapat obat ARV
sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap
diteruskan dengan evaluasi yang lebih ketat. Pada odha
yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat
disesuaikan dengan kondisinya (Tabel 5)
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV
golongan nukleosida, kecuali ddI yang hams diberikan
selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai bufjr
antasida.
Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV
golongan non-nukleosida dan inhibitor protease. Obat
ARV yang dianjurkan digunakan pada odha dengan TB
pada kolom B (Tabel 4) adalah evafirenz. Rifampisin dapat
menurunkan kadar nelfinavir sampai 82% dan dapat
menurunkan kadar nevirapin sampai 37%. Namun, jika
evafirenz tidak memungkinkan diberikan, pada pemberian

Kolom A
lamivudin + zidovudin
lamivudln + dldanosin
lamivudln + stavudin
lamivudln + zldovudln
lamivudln + stavudin
lamivudin + didanosin
lamivudin + zidovudin
,,,-- . lamivudin
+ stavudin
,
lamivudin + didanosin

Kolom B
Evaflrenz*
Nevlrapln
Nelvinafir

Tidak dianjurkan pada WX


hamil trimester pertarn? atau
r
.
wani$ yang berpotensi tinggi untuk hamil
Catatan.: kombinasi vana
- - sama sekali tidak boleh adalah : ~id~vudin
+ stavudin

WIV/AU)S Dl INDONESIA

Kondisi

Rekomendasi

TB paru, CD4 < 50 sel/mm3,


atau TB ekstrapulmonal

Mulai terapi OAT. Segera


mulai terapi ARV jika toleransi
terhadap OAT telah tercapai.
Mulai terapi OAT. Terapi ARV
dimulai setelah 2 bulan.

TB paru, CD4 50-200


sel/mrn3atau hitung limfosit
total < 1200 sel/rnrn3
TB paru, CD4 > 200
sel/rnm3atau hitung limfosit
total > 1200/mrn3

lstilah

Definisi

Kegagalan
virologis

Gagal untuk mencapai:


VL (viral load) < 400cImL dalam 24
minggu atau
VL < 50cIrnL dalam 48 minggu atau
Konsisten (pada 2 pengukuran
berurutan) VL > 50cImL setelah VL <
50cImL.
Catatan: kebanyakan pasien akan
rnengalami penurunan pada VL > Iloglo
c/rnL pada 1-4 rninggu.
Hitung CD4 gagal meningkat menjadi 2550 cell/mm3 dalarn satu tahun.
Catatan: kebanyakan pasien mengalami
peningkatan hitun 1 CD4 150 celllmm3
dalarn 1 tahun pertarna dengan HAART
pada pasien yang belum pernah diobati.
Terjadinya atau kekarnbuhan gejala
terkait HIV lebih dari 3 bulan setelah
terapi HAART dirnulai.
Catatan: diagnosis sindrom
rekonstitusional imunologis harus
disinakirkan.

Mulai terapi TB. Jika


rnemungkinkan monitor hitung
CD4. Mulai ARV sesuai
indikasi setelah terapi TB
selesai.
Kegagalan
imunologis

bersama rifampisin dan nevirapin, dosis nevirapin tidak


perlu dinaikkan.
Kegagalan klinis

EVALUASI PENGOBATAN
Pemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah merupakan.
indikator yang dapat dipercaya untuk memantau beratnya
kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan memudahkan
kita untuk mengambil keputusan memberikan pengobatan
ARV. Jika tidak terdapat sarana pemeriksaan CD4, maka
jumlah CD4 dapat diperkirakan dari jumlah limfosit total
yang sudah dapat dikerjakan di banyak laboratorium pada
umumnya.
Sebelum tahun 1996, para klinisi mengobati,
menentukan prognosis dan menduga staging pasien,
berdasarkan gambaran klinik pasien dan jumlah limfosit
CD4. Sekarang ini sudah ada tambahan parameter baru
yaitu hitung virus HIV dalam darah (viral load) sehingga
upaya tersebut menjadi lebih tepat.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan
pemeriksaan viral load, kita dapat memperkirakan risiko
kecepatan perjalanan penyakit dan kematian akibat HIV.
Pemeriksaan viral load memudahkan untuk memantau
efektifitas obat ARV.
Sejak awal pengobatan ARV, masalah kegagalan terapi
ARV lini pertama menjadi ha1 yang banyak diteliti. Definisi
kegagalan terapi dapat dilihat pada Tabel 6.
Obat-obat golongan protease inhibitor (PIS) seperti
lopinavirl ritonavir, atazanavir, saquinavir, fosamprenavir,
dan darunavir memiliki barier genetik yang tinggi terhadap
resistensi. Obat golongan lain memiliki barier yang rendah.
Walau demikian, kebanyakan pasien yang mendapatkan
PIS- terkait HAART (highly active anti-retmviral therapy)
yang mengalami kegagalan virologis biasanya memiliki
strain virus HIV yang masih sensitif,kecuali bila digunakan
jangka panjang. Obat golongan lain biasanya menjadi
resisten dalam waktu yang lebih singkat ketika terdapat
kegagalan virologis.
Indikasi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi
adalah progresi penyakit secara klinis dimulai setelah > 6
bulan memakai ARV

Pada WHO stadium 3: penurunan BB > 10 %, diare


atau demam > 1 bulan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya,
oral hairy leukoplakia terdapat infeksi bakterial yang berat
atau "bedridden " lebih dari 50% dari satu bulan terakhir
Tes resistensi seharusnya dilakukan selama terapi atau
dalam 4 minggu penghentian regimen obat yang gagal.
Interpretasi hasil tes resistensi merupakan ha1 yang
kompleks, bahkan terkadang lebih baik dikerjakan oleh
ahlinya.

lndikasi

Tidak
diindikasikan

Kegagalan virologis dengan VL (viral load) >


1.000 c/mL
Supresi viral suboptimal dengan VL >
1.000clrnL
lnfeksi HIV akut
Baseline, untuk mendapatkan terapi inisial.
Setelah penghentian terapi antiretroviral > 1
bulan terapi
VL < 1.000 c/mL

UPAYAPENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN


Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses
diterapkan di beberapa negara dan amat dianjurkan oleh
Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk dilaksanakan secara
sekaligus, yaitu a). pendidikan kesehatan reproduksi untuk
remaja dan dewasa muda; b). program penyuluhan sebaya
(peer group education) untuk berbagai kelompok sasaran;
c). program kerjasama dengan media cetak dan elektronik;
d). paket pencegahan komprehensif untuk pengguna
narkotika, termasuk program pengadaanjarum suntik steril;

'

e). program pendidikan agama; f). program layanan


pengobatan infeksi menular seksual (IMS); g).prograin
promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat;
h), pelatihan ketrampilan hidup; i). program pengadaan
tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling; j). dukungan
untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak; (k)
integrasi program pencegahan dengan program
pengobatan, perawatan dan dukungan untuk odha; dan
(1) program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
dengan pemberian obat ARV.
Sebagian besar program tersebut sudah dijalankan di
Indonesia. Dengan kata lain, kita sebenarnya sudah inampu
melakukannya. Hanya sayangnya program-program
tersebut belum dilaksanakan secara berkesinambungan
dan belum merata di seluruh Indonesia.
Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja
dan dewasa muda, perlu dipikirkan strategi penerapannya
di sekolah, akademi dan universitas dan untuk remaja yang
ada di luar sekolah. Walaupun sudah ada SK Mendiknas
mengenai masalah ini, namun secara nasional belum
diterapkan.
Selain itu, sampai saat ini kurikulum nasional
pendidikan HIVIAIDS untuk mahasiswa kedokteran,
kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, dan tenaga
keperawatan masih dalam proses awal penyusunan.
Penyelesaian kurikulum ini penting untuk disegerakan
mengingat kebutuhan akan tenaga kesehatan yang
mengerti seluk-beluk HIVIAIDS sudah amat mendesak.
Untuk program penyuluhan sebaya, cukup banyak
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai
pengalaman dengan sasaran yang berbeda-beda. Program
magang, akan berguna untuk daerah-daerah yang belum
mengerjakan atau ingin memperluas cakupan kelompok
sasarannya. Sistem magang antar LSM yang sekarang ini
sudah berjalan terasa sekali manfaatnya dan perlu
ditingkatkan.
Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik
sudah terbina dengan baik, sehingga tinggal melanjutkan
agar ada kesinambungan. Setiap momentum yang terkait
dengan HIVIAIDS perlu dimanfaatkan untuk mendorong
partisipasi media untuk mendukung kegiatan-kegiatan
tersebut.
Kehidupan beragama yang berjalan baik selama ini
tentu tidak lepas dari pendidikan agama di sekolah dan
di rumah. Namun demikian ada beberapa ha1 yang
mungkin dapat diperbaiki. Di antaranya, diperlukan
strategi belajar-mengajar yang berpijak pada kehidupan
sehari-hari, termasuk dalam penggunaan bahasa dan
idiom-idiom yang disesuaikan dengan peserta didik.
Sebagai misal, istilah khamr atau alkohol tidak dikenal
dalam bahasa sehari-hari remaja. Demikan pula istilah
heroin, metiletilendioksi metamfetamin, kokain, dan LSD
tidak begitu dikenal oleh remaja kita. Mereka lebih
mengenalnya dengan nama putauw, ekstasi, dan
cimeng.

Pelatihan keterampilan hidup amat diperlukan oleh


remaja agar mengenal potensi diri, tahu memanfaatkan sistem
informasi, serta mengenal kesempatan dan cara-cara
mengembangkan diri. Bila kehidupan ekonomi dan
pendidikan membaik, niscaya penularan HIVIAIDS dapat
ditekan.
Pengadaail tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling
yang mudah dicapai dan suasana akrab dengan klien akan
menyebabkan orang-orang yang merasa mempunyai risiko
tinggi beringan kaki mendatangi tempat-tempat tes dan
konseling HIV tersebut. Dengan konseling, diharapkan
orang yang terinfeksi HIV akan menerapkan seks aman
dan tidak menularkan HIV ke orang lain. Sayangnya
teinpat-tempat tersebut masih langka sekali. Di Jakarta
hanya ada beberapa buah, sementara di luar Jakarta sukar
ditemukan.
Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan
prostitusi anak memang bukan merupakan kegiatan yang
mudah dikerjakan. Untuk melaksanakan kegiatan ini
diperlukan kepedulian dan partisipasi aktif berbagai lapisan
masyarakat seperti LSM, ahli hukum, ahli ilmu sosial, media massa, kepolisian, Departemen Sosial, Departemen
Kesehatan, dan lain-lain.
Mengintegrasikan program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan, dan dukungan untuk odha
merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan program
penanggulangan HIVIAIDS. Bila kita melaksanakan program pencegahan saja, hasilnya tidak akan sebaik bila
dilakukan bersama program pengobatan, layanan dan
dukungan untuk odha. Masyarakat yang mendapat
penyuluhan saja, kemudian merasa mempunyai perilaku
risiko tinggi tidak akan mau melakukan tes HIV bila ia
melihat tidak ada yang mau merawat odha, atau bila ia
mengetahui ada odha yang dipecat dari pekerjaannya, dan
dikucilkan dari keluarga dan masyarakat.
Sudah cukup banyak program kegiatan penanggulangan
HIVIAIDS yang terbukti efektif dan mampu laksana, yang
sudah kita terapkan untuk menekan kecepatan peningkatan
prevalensi HIVIAIDS di Indonesia. Namun demikian
perbaikan masih hams dilakukan di sana-sini. Bukan hanya
yang menyangkut kualitas program, namun juga perluasan
cakupan penerima program.

REFERENSI
Borrow P, Lewicki H, Hahn BH, Shaw GM, Oldstone MB. Virusspecific CD8+ cytotoxic T-lymphocyte activity associated with
control o f viremia in primary human immunodeficiency virus
type 1 infection. J Virol 1994; 68:6103-10.
CDC. 1993 revised classification system for HIV infection and expanded surveillance case definition for AIDS among adolescents
and adults. MMWR 1992;41(no. RR-17).
Chakrabarti L, Isola P, Cumont M-C, et al. Early stages of simian
immunodeficiency virus infection in lymph nodes. Am J Pathol
1994; 144: 1226-34.

CD8(+) T cell depletion in simian immunodeficiency virusinfected macaques. J Exp Med 1999; 189:991-8.
ted
Sarcoma: Biology and ndvel theraKrown SE. ~ l ~ s - ~ e i aKaposi's
peutic strategies. Dalam: Perry MC, Chung M, Spahlinger M,
editor. Proceeding of 38th Annual Meeting of ASCO; 18- 21
May 2002; Orlando,FL.Alexandria:ASC0;2002.h. 249-59..
Komlsi Penanggulangan AIDS Nasional. Ancaman HIVIAIDS di
Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata.
Jakarta: Depkes RI; 2002.
Kovacs JA, Masur H. Prophylaxis against opportunistic infection
in patients with human immunodeficiency patients. N Eng J
Med 2Ob0;342(19): 1416-29.
Lederman MM, Valdez H. Immune restoration with antiretroviral
therapies. JAMA 2000;284(2):223-8.
Lathey JL, Hughes MD,Fiscus Sa, Pi T, Jacson B, Rasheed S et al.
Variability and Prognostic Values of Virologic and CD4 Cell
Measures in Human Immunodeficiency Virus Type1 - Infected
Patients with 200-500 CD4 cells/mm3 (ACTG 175). J Infect
Dis 1998; 177:6 17-24.
Lydia A. Hitung Limfosit Total sebagai Prediktor Hitung Limfosit
CD4 pada Pasien AIDS. Tesis Program Pendidikan Dokter
Spesialis 1 Ilmu Penyakit Dalam, FKUI. 1996
Internal error: Invalid file format. I In-line.WMF *]Gal~yRF, Witte
MH, Gottlieb AA, Elvin-Lewis M, Gottlieb MS, Witte CL,
Alexander SS, Cole WR, Drake WL Jr. Documentation of an
AIDS virus infection in the United States in 1968. JAMA. 1988
Oct 14;260(14):2085-7.
Montagnier L, Chermann JC, Barre-Sinoussi F, Klatzmann D, WainHobson S, Alizon M, et al.Lymphadenopathy associated virus
and its etiological role in AIDS. Princess Takamatsu Symp.
1984;15:3 19-31.
Monitoring the AIDS Pandemic (MAP). The Status and Trends of
HIVIAIDSISTI Epidemics in Asia and the Pacific. Washington
DC:;2001.
Mercader M, Nickoloff BJ, Foreman KE. Induction of Human Immunodeficiency Virus I Replication by Human Herpesvirus 8.
Arch Pathol Lab 2001;125:785-9.
Palella FJ,DelaneyKM, Moorman AC, Loveless MO,FuhrerJ, Satten
health/rtis/MTCT/mtct~consultation~october~2000/
GA,et al. Declining Morbidity and Mortality among Patients
consultation~documents/efficacy~of~arv~regimens/
with Advanced Human Immunodeficiency Virus Infection. N
efficacy~of~antiretroviral~regimens.en.html
Eng J Med 1998,38(13):853-60
Gotlieb MS. AIDS-Past and Future. N Engl J Med 2001;344(23):1788Pantaleo G, Graziosi C, Demarest JF, et al. Role of lymphoid organs
90.
in the pathogenesis of human immunodeficiency virus (HIV)
Goldie SJ, Kaplan JE, Losina E, Weinstein MC, Paltiel AD, Seage GR
infection. Immunol Rev 1994; 140: 105-30.
3rd, et al.Prophylaxis for human immunodeficiency virus-reReimann KA, Tenner-Racz K, Racz P, et al. lmmunopathogenic
lated Pneumocystis carinii pneumonia: using simulation modelevents in acute infection of Rhesus monkeys with simian iming to inform clinical guidelines. Arch Intern Med
munodeficiency virus of Macaques. J Virol 194;68:2362-70.
2002;162(8):921-8.
Sarngadharan MG, DeVico AL, Bmch L, Schupbach J, Gallo RC. HTLVGortmaker SL, Hughes M, Cervia J, Brady M, Johnson GM, Seage
111: the etiologic agent of AIDS. Princess Takamatsu Symp.
GR. Effect of Combination Therapy including Protease Inhibi1984; 15:30 1-8.
tors on Mortality among Children and Adolescents Infected
Subdit PMS & AlDS Ditjen PPM & PLP Depkes RI. Statistik Kasus
with HIV-I. N Engl J Med 2001; 345: 1522-28
HIVIAIDS di Indonesia: s.d Maret 2005. Majalah Support.
Huminer D, Rosenfeld JB, Pitlik SD. AIDS in the pre-AIDS em. Rev
Jakarta: Yayasan Pelita Ilmu.2005.
Infect Dis. 1987 Nov-Dec;9(6): 1102-8.
Suryamin M. Hitung limfosit total sebagai indikasi memulai terapi
Jones JL, Hanson DL, Dworkin MS, et al. Surveillance for AIDS
antirehoviral pada pasien HIVIAIDS. Tesis Program Pendidikan
Dokter Spesialis 1 Ilmu Penyakit Dalam, FKUI.2002.
defining opportunistic illnesses, 1992-1997. MMWR CDC
Surveil1 Summ 1999;48(SS-2): 1-22.
UNAIDS-WHO. Revised recommendations for the selection and
Jones JL,Hanson DL, Dworkin MS,et al. Incidence and trends in
use of HIV antibody tests. Weekly Epidemiological Report
Kaposi's sarcoma in the era of effective antiretroviral therapy.
1997;72:81-8.
J Acquir Immune Defic Syndr 2000;24:270-4.
O'Brien WA, Hartigan PA, Martin D, Esinhart J, Hill A, Benoit S et
Jin X, Bauer DE, Tuttleton SE, Lewin S, Gettie A, Blanchard J, Irwin
al. Changes in Plasma HIV-1 RNA and CD4+ Lymphocyte Counts
CE, Safrit JT, Mittler J, Weinberger L, Kostrikis LG, Zhang L,
and the Risk of Progression to AIDS, N Engl J
Perelson AS, Ho DD. Dramatic rise in plasma viremia after
Med1996;334:426-43.

Collier AC, Coombs RW, Schoenfeld DA, Bassett RL, Timpone J,


Baruch A. Treatment of Human Immunodeficiency Virus Infection with Saquinavir, Zidovudine, and Zalcitabine. N Engl J
Med 1996; 334: 101 1-8.
Djoerban Z. Membidik AIDS: lkhtiar memahami HIV dan odha. Ed
1 . Yogyakarta:Penerbit Galang;1999
Ditjen PPM & PL Depkes RI. Pedoman Nasional - Perawatan,
dukungan dan pengobatan bagi odha.Jakarta:Departemen
Kesehatan RI, 2003.
Djoerban Z, Wydiatna, Solehudin U, Sri Wahyuningsih. KAP STUDY
on Narcotics and HIVIAIDS among Teenagers in South Jakarta.
Proceeding of the XI11 International AIDS Conference . 9-14
Juli 2000; Durban, South Africa. Bologna:Monduzzi Ed;2000.
D~tjenPPM & PL Depkes RI. Rencana strategis penanggulangan
HIVIAIDS di Indonesia 2003-2007,Jakarta:Departemen
Kesehatan RI.2003
Djauzi S, Djoerban Z, Eka B, Djoko P, Sulaiman A, Rifayani A,dkk.
Profile of drug abusers in Jakarta's urban poor community. Med
J Ind 2003;Kustin, Djauzi,dkk. Hasil survey pada wanita hamil
di Jakarta 1999-2000. Yayasan Pelita Ilmu, 2000.
Djauzi S. Penatalaksanaan indeksi HIV. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Uji Diri. Jakarta: Yayasan Penerbit
ID1,1997.UNAIDS/WHO. AlDS epidemic update 2004. [accessed Jan 20 20051. Available at url: http://www.unaids.org/
wad2004lreport.html
Djoerban Z. Viral Load Profiles in Drug Users with Asymptomatic
HIV Infection with Normal CD4 Cell Counts. Med J Ind
2002; 1 l(3).
Depkes RI. Protap TB
Panel on Clinical Practices for Treatment of HIV Infection.
Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in HIV-Infected
Adults and Adolescents.0ctober 29 2004. [access 10 Jan 20051,
available at url: http://aidsinfo.nih.gov/
Farley T, Buyse D, Gaillard P, Perriens J. Efficacy of Antiretroviral
Regimens for the Prevention of Mother to Child Transmission
of HIV and Some Programmatic Issue. Background documents
for WHO Technical Consultation October 2000. [accessed 20
Feb 20031, available at url:http:/lwww.who.int/reproductive-

Vaccher E, Spina M, Talamini R, Zanetti M, di Gennaro Ci Nasti 4 et al.


Improvement of systemic human immunodeficiency virus-related
non-Hodgkin lymphoma outcome in the era o f highly active
antiretroviral therapy. Clin Infect Dis. 2003;37(11):1556-64.
Wei X, Decker JM, Wang S, Hui H. Kappes JC, Wu X, SalazgrGonzalez JF, Salazar MG, Kilby JM, Saag MS. Komarova NL,
Nowak MA, Hahn BH, Kwong PD, Shaw GM. Antibody neutralization and escape by HIV-I. Nature 2003; 422:307-12.
Wigati. Hubungan antara pola penggunaan jarum suntik dengan risiko
terjadinya infeksi rnaupun penurunan sistem imun selular pada

pengguna heroin suntik. Tesis Program Pendidikan Dokter


Spesialis I llmu Penyakit Dalam, FKUI. 2003.
Wahl SM, Greenwell-Wild T, Peng G, Hale-Donze H, Doherty 'TM,
Mizel D, Orenstein JM. Mycobacterium Avium Complex augments macrophage HIV-I production and increases CCRS expression. Proc Natl Acad Sci 1998;95: 12574-9.
WHO. The use o f antiretroviral therapy: A simplified approach for
resource-constrained countries. New Delhi. World Health
Organization.2002.

INFEKSI JAMUR
Nasronudin

PENDAHULUAN
Infeksi jamur, dikenal sebagai mikosis semakin dikenal
sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien
yang rawat inap di rumah sakit terutama yang
imunokompromis. Indonesia sebagai negara berkembang
belum sepenuhnya berhasil membasmi penyakit
infeksi jamur, kini dihadapkan pada masalah baru dengan
hadirnya infeksi HIVJAIDS. Penyakit ini potensial
mendesak status imun penderita kearah imunokompromais
sehingga infeksi jamur dapat tumbuh kembang dengan
subur.
Infeksi jamur pada manusia dibagi menjadi infeksi
jamur endemik dan infeksi jamur oportunistik. Infeksi
jamur oportunistik tidak saja merupakan bagian dari
infeksi HIVIAIDS tetapi juga merupakan infeksi
oportunistik pada leukemia, tumor padat, limfoma maligna,
transplantasi organ. Beberapa keadaan dapat mendorong
individu terinfeksi jamur. Infeksi jamur umumnya akibat
paparan dari sumber lingkungan dan aktivasi flora jamur
endogen akibat penyakit yang melandasi maupun sebagai
akibat dari intewensi diagnostik dan terapi. Infeksi jamur
tidak hanya mengenai bagian tubuh luar saja, tetapi
juga menimbulkan penyakit sistemik yang mengancam
jiwa.
Akibat paparan jamur sangat tergantung dari derajat
dan jenis respons imun host. Respons imun selular
merupakan mediator utama perlawanan terhadap infeksi
jamur. Neutrofil dan fagosit mempunyai peran penting
dalam mengeliminer infeksi jamur.
Di masa lalu infeksijamur mash kurang diperhitungkan,
maka kini harus mendapatkan perhatian serius karena bukan
saja diagnosisnya yang sering terlewatkan, tetapi
potensi mendorong penderita ke kearah kematian semakin
tinggi.

Infeksi jamur atau mikosis digolongkan menjadi infeksi


jamur endemik (histoplasmosis, blastomikosis,
koksidioidomikosis, dan parakoksidio-idomikosis), dan
infeksijamur oportunistik. Kandidiasis, merupakan mikosis
dengan insidens tertinggi pada infeksi oportunistik. Hal
tersebut disebabkan karena jamur tersebut merupakan
bagian dari mikroba flora normal yang beradaptasi dengan
baik untuk hidup pada inang manusia, terutama pada
saluran cerna, saluran urogenital, dan kulit. Histoplasmosis,
meskipun ditemukan diberbagai belahan dunia, terutama
di Amerika utara dan tengah. Koksidioidomikosis,terutama
di Arizona dan California, Mexico dan Texas, sertaAmerika
selatan. Kriptokokus, kebanyakan ditemukan di daerah
subtropik dan tropik termasuk Australia, Asia Tenggara,
Afrika, dan Amerika. Sebelum era highly active
antiretroviral theraphy (HAART), kriptokokus meliputi
5-10% penderita AIDS terutama bila CD4 kurang 50 seV
mm3. Pada populasi non AIDS, kriptokokus terutama
sebagai infeksi oportunistik pada individu yang mengalami
transplantasi organ, penderita yang mendapatkan
imunosupresan jangka lama, penderita diabetes melitus,
gaga1 ginjal, penyakit hati kronik, penyakit paru kronik.
Sekitar 20% terjadi infeksi kriptokokus tanpa diketahui
penyakit yang mendasari.

STRUKTUR DAN PERTUMBUHANJAMUR


Ada dua tipe jamur, yaitu : yeasts atau ragi dan molds.
Yeasts tumbuh kembang melalui sel tunggal secara
aseksual. Molds tumbuh kembang dengan bentuk filamen
panjang (hyphae) dan berbentuk kusut semacam tikar
(mycelium). Beberapa hifa membentuk dinding
transversal (septate hyphae).

TROPIK INFEKSI

Pertumbuhan dalam bentuk mold melalui produksi


koloni filamentosa multisenter. Koloni ini mengandung
tubulus silindns dari 2- 10mm. Kumpulan hifa jalin-menjalin
dan berakumulasi selama pertumbuhan aktif disebut
miselium. Beberapa hifa terbagi oleh dinding pemisah atau
septa, yang secara khas terbentuk pada interval yang
teratur selama pertumbuhan hifa. Ragi merupakan sel
tunggal, biasanya berbentuk bulat atau elips, diametemya
bervariasi dari 3-15 mm. Kebanyakan ragi bereproduksi
melalui pertunasan. Spesies yang gaga1 melepaskan diri
menghasilkan ragi rantai panjang disebut pseudohifa.
Semua jamur mempunyai dinding sel kaku yang penting
untuk menentukan bentuknya.
Struktur sel jamur terdiri dari dua bagian penting, yaitu:
1). Dinding sel jamur terdiri dari chitin. Chitin tersusun
dari rangkaian panjang N-acetylglocosamine. Dinding sel
jamur juga mengandung polisakarida yang merupakan
bagian penting yaitu beta-glucan, merupakan polimer
D-glukosa. Di bidang medis beta-glucan ini mempunyai
arti penting karena merupakan tempat interaksi obat
antifungal caspofungin. 2). Membran sel jamur
mengandung ergosterol, tidak seperti meinbran sel manusia
yang mengandung kolesterol. Aktivitas obat-obatan anti
jamur seperti amfoterisin B, azole (flukonazol, ketokonazol)
terhadap jamur sangat tergantung dari perbedaan sterol
mernbran.
Beberapa karakter penting dari jamur antara lain adalah
dimorfik termal ;membentuk struktur yang berbeda-beda
pada temperatur yang berbeda. Molds terbentuk pada
keadaan saprofit, situasi yang bebas pada temperatur
ambient dan yeasts pada jaringan host pada temperatur
tubuh. Kebanyakan jamur adalah obligate aerobes ;
beberapa facultative anaerobes ; tetapi tidak ada yang
obligate anaerobes. Semua jamur memerlukan karbon
organik. Habitat alamiahjamur sebagian besar berada bebas
di lingkungan,kecuali Candida albicans yang merupakan
flora normal pada manusia.
Beberapa jamur berkembang biak secara seksual melalui
mating dan membentuk spora seksual yaitu zygospores,
ascospores, dan basidiospores. Zygospore merupakan
spora sederhana dan besar dengan dinding tebal;
ascospora berbentuk semacam kantong yang disebut
ascus; dan basidiospores dibagian luar terdapat pedestal
yang disebut basidium.
Kebanyakan jamur berkembang biak secara aseksual
dengan membentuk conidia (asexual spores). Bentuk,
warna, dan susunan conidia membantu di dalam
identifikasi jamur. Beberapa conidia penting adalah: 1).
arthrospores,yang berkembang melalui fiagmentasi melalui
ujung hyphae dan cara transmisi pada Coccidioides
immitis;2). chlamydospores,berbentuk bulat, mempunyai
dinding tebal, dan tidak mudah terlepas (bagian terminal
chlamydospores C.albicans); 3). blastospores, berbentuk
semacam bintang; 4). sporangiospores, berbentuk kantong
(sporangiurn).

Berbagaijenis jamur dapat menginfeksi manusia dan hidup


dalam jaringan ekstraseluler maupun dalam fagosit. Kulit
yang intak sangat efektif sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi jamur (kandidiasis, dermatofitosis),kulit
yang lesi memudahkan masuknya jamur. Asam lemak di
kulit dapat menghambat pertumbuhan dermatofit.
Saluran nafas, membran mukosa nasofaring penting
untuk melindungi tubuh dari pengaruh invasi sporajamur
yang terinhalasi, demikian juga makrofag alveolar.
Jamur yang masuk kedalam tubuh akan mendapat
tanggapan melalui respons imun host. IgM dan IgG didalam
sirkulasi diproduksi sebagai respons terhadap infeksi
jamur, tetapi peranan didalam proteksi tubuh masih belum
diketahui. Respons cell-mediated immune (CMI) adalah
protektif karena dapat menekan reaktivasi infeksi jamur
asimptomatis dan mencegah terjadinya infeksi jamur
oportunistik. Respons imun yang terjadi terhadap infeksi
jamur merupakan kombinasi pola respons imun terhadap
mikroorganisme ekstraselulerclan respons imun intraseluler
fakultatif. Respons imun seluler merupakan mediator utama
perlawanan terhadap infeksi jamur. Sel T CD4+ dan CD8+
bekerja sama untuk mengeliminer jamur. Dan subset sel T
CD4+, respons sel Thl merupakan respons protektif,
sedangkan respons sel Th2 merugikan host. Oleh karena
itu inflamasi granulomatosa sering merupakan penyebab
kerusakan jaringan pada host yang terinfeksi jamur
intraselular
Respons cell-mediated immune (CMI) dapat
menginduksi terbentuknya granuloma. Granuloma terutama
terbentuk oleh berbagai penyakit jamur sistemik, misalnya
koksidioidomikosis, histoplasmosis, dan blastomikosis
Supurasi akut, ditandai oleh adanya neutrofil di dalam
eksudat, juga terjadi pada penyakit jamur tertentu seperti
aspergilosis dan sporotrichosis. Jamur tidak memiliki
endotoksin pada dinding sel dan tidak memiliki produk
bakterial seperti eksotoksin.
Aktivasi sistem CMI menghasilkan respons delayed
hypersensitivity pada tes kulit. Skin tes positif
menunjukkan adanya paparan antigen jamur di masa
lampau. Skin tes negatif untuk diagnosismenyulitkan bagi
penderita imunokompromais. Karena pada umumnya
individu membawa kandida sebagai flora normal, tes kulit
dengan menggunakan antigen kandida berguna untuk
menentukan apakah CMI normal.
Kulit yang terinfeksi akan berusaha menghambat
penyebaran infeksi dan sembuh, menimbulkan resistensi
terhadap infeksi berikutnya. Resistensi ini diduga
berdasarkan reaksi imunitas seluler, karena penderita
umumnya menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe IV
terhadap jamur bersangkutan.Gangguan dalam reaksi
hipersensitivitas tipe IV menyebabkan terjadinya infeksi
kronik atau kepekaan untuk kandidiasis. Hal ini sering
terjadi pada penderita yang mendapat obat imunosupresif.

Diagnosis
Ada 4 pendekatan diagnosis laboratoris pada infeksi jamur,
yaitu: 1). pemeriksaan mikroskopik langsung, 2). biakan,
3). DNA probe test, dan 4). pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dengan
bahan dari sputum, biopsi pam, kulit, kuku. Beberapa yang
dapat didiagnosis melalui pemeriksaan mlkroskopik adalah
: 1). sphemles pada C.immitis dan 2). kapsul Ciyptococcus neoformans dengan pengecatan India ink.
Pemeriksaan dengan DNA probe mampu mendiagnosis
lebih cepat. Dapat menentukan infeksi Cocciodiodes,
Histoplasma, Blastomyces, dan Ciyptococcus.
Kebanyakan diagnosis definitif ditegakkan memakai
berbagai pemeriksaan yang berbeda-beda dari satu dengan
daerah lain pada daerah endemik. Untuk menegakkan
diagnosis definitif dapat dilakukan biopsi, dilanjutkan
pemeriksaan histopatologi, serta biakan.
Pemeriksaan serologis temtama digunakan untuk
pemeriksaan histoplasmosis dan koksidioidomikosis.
ELISA terutama untuk menentukan antigen guna membantu
menentukan keterlibatan histoplasmosis pada pasien
AIDS.
Pada infeksi jarnur oportunistik, diagnosis invasif sering
mengalami kesulitan. Kandida sp. merupakan flora
normal, dapat tumbuh pada tempat yang kotor seperti
sputum. Penentuan antibodi, antigen dan metabolit
kandida umumnya kurang sensitif dan spesifik.
Pemeriksaan yang spesifik dan sensitif melalui pengukuran
aglutinasi latex terhadap kapsul polisakharida C.
Neofomzans.Pemeriksaan histopatologis dari jaringan oleh
intervensi infeksi jamur oportunistik penting dilakukan
untuk diagnostik, terutama pada individu dengan sakit
berat.
Terapi
Obat-obatan untuk terapi bakteri tidak mempengaruhi
penyakit jamur. Penisilin dan aminoglikosida dapat
menghambat pertumbuhan berbagai bakteri tetapi tidak
mempengaruhi pertumbuhann jamur. Hal tersebut
dimungkinkan akibat perbedaan struktur, misalnya pada
bakteri terdapat peptidoglikan dan 70s ribosom, tetapi tidak
dimiliki oleh jamur. Obat antifungal yang efektif adalah
amfoterisin B dan golongan azole karena adanya
ergosterol pada membran sel jamur tetapi tidak terdapat
pada bakteri maupun membran sel manusia. Antifimgal
lain, caspofungin (Candidas), dapat menghambat sintesis
beta glucan.
Terapi mutakhir anti jamur meliputi target ergosterol
membran seljarnur (polyenes, azoles, allylamines), glucans
pada dinding seljarnur (echinocandins), serta sintesis DNA
dan RNA jamur (flucytosine).
Amfoterisin B merupakan obat terpilih pada semua
infeksi jamur, tetapi terdapat keterbatasan yaitu pada
toksisitasnya. Efek toksik pada ginjal terjadi pada pasien

yang mendapatkan terapi amfoterisin. Formulasi lipid dapat


mengurangi toksisitas amfoterisin B. Ada 3 formulasi
amfoterisin saat ini yaitu: amfotericin B liposomal,
amfoterisin B kompleks lipid, dan amfoterisin dispersi
koloid.
Ada 4 azole yang belakangan dapat dipergunakan
secara sistemik, yaitu: ketokonazol, itrakonazol,
flukonazol, dan varigonazol. Golongan azole bersifat
hngistatik tetapi preparat terbaru m&un)ai sifat fungisid
temtama untuk jamur filamentous. Toksisitas golongan
azole sangat bervariasi tergantung spesifitas dalam
mengikat ergosterol pada sel jamur. Karena besarnya
toksisitas, absorpsinya kurang baik, serta aktivitas
spektrum moderate maka ketokonazol sekarang sudah
jarang digunakan.
Itrakonazol mempakan azole terpilih temtama untuk
infeksi jamur endemik, juga digunakan untuk infeksi yang
disebabkan oleh beberapa infeksi jamur oportunistik dan
beberapa infeksi jamur superfisial. Karena absopsi yang
kurang baik pada kapsul itrakonasol, maka penggunaan
secara oral digunakan bentuk suspensi atau pemberian
secara intravenus.
Flukonazol dapat diberikan secara oral maupun
intravenal. Sering digunakan untuk pengobatan berbagai
infeksi jamur termasuk kandida sp, C.neoforman,
koksidioides immitis dan beberapa infeksi jamur
oppoutinistik. Efek farmakologis flukonazol sangat
sempurna tetapi aktivitas spektmmnya paling sempit
diantara azole yang lain, termasuk tidak mempunyai
aktivitas aspergillus
Vankonazol tersedia dalam bentuk oral (50 dan 200 mg),
dan maupun intravena (vial 200 mg), mempakan bentuk
triazol terbam. Pada dewasa diberikan rerata 6 mg/kg i.v.
setiap 12 jam, dilkuti 4 mglkg i.v. tiap 12 jam. Bila telah
memungkinkan atau menunjukkan perbaikan di teruskan
per oral 200 mg, 2 kali sehari, kalau dipandang perlu dosis
peroral dapat dinaikkan menjadi 2 kali 300 mg per hari.
Aktivitas genetik polirnorfismedi kendalikan oleh CYP2C19,
yang memandu dan menentukan berbagai substansi yang
dilibatkan didalam metabolisme voriconazol. Variconazol
diabsorbsi dengan baik pada mukosa s a l u ~ ncerna dan di
metabolisisme sempurna oleh liver melalui kendali CYP2C9,
CYP2C 19 dan CYP3A4. Varikonazol mempunyai spektrurn
yang luas termasuk terhadap semua spesies kandida dan
C.neoforman, mempunyai efek fbngisid terhadap aspergillus dan beberapa filamen jamur.
Semua bentuk azol berinteraksi secara berbeda-beda
dengan enzim sitokrom p-450. Potensi terjadinya interaksi
obat hams selalu diperhatikan sebelum pemberian. Semua
azole mempunyai efek hepatotoksik, oleh karena itu
pemeriksaan secara berkala terhadap faal hati perlu
dilakukan.
Bentuk obat lain adalah yang mempakan sintesis
ergosterol adalah allylamine terbinafine. Digunakan pada
infeksi primer kulit tetapi kadang-kadang digunakan secara

kombinasi dengan anti jamur yang lain pada infeksijamur


opportunistik berat.
Caspofimgin merupakan echinocandin pertama yang
digunakan pada nianusia. Echinocandin bermanfaat untuk
menghambat sintesis betaglucan pada dinding sel jamur,
bekerja fungisid terhadap spesies kandida dan aspergillus tetapi tidak mampu melawan C.neoformans.
Caspofungin hanya tersedia intravena dan memiliki
toksisitas minimal.
Flucytosine (5-fluorocytosine) merupakan bentuk oral
fluorinated pyrimidine yang merupakan konversi ke
5-fluorourasil yang mempunyai kinerja terhadap sintesis
DNA dan RNA jamur. Terutama digunakan untuk terapi
kriptokosis dan kandidiasis. Selama penggunaannya perlu
difollow up terhadap terjadinya efek samping penekanan
sumsum tulang.

yang terkontaminasi kotoran burung dan sebagai yeast di


jaringan. Meskipun namanya kapsulatum, tetapi jamur ini
tidak mempunyai kapsula.
Epidemiologi
Histoplasmosis,meskipun ditemukan diberbagai belahan
dunia, terutama di Amerika utara dan tengah. Merupakan
penyebab infeksi jamur endemik tersering di Amerika,
terutama di lembah Missisipi dan Ohio. Infeksi ini self
limited, tetapi dapat menyebabkan infeksi pulmoner alcut
berat.
Patogenesis
Masuknya mikrokonidia per inhalasi kedalam alveoli,
menimbulkan infeksi pulmoner lokal. Neutrofil dan
makrofag berusaha memfagositosisjamur tersebut. Jamur
yang mampu bertahan dari terkaman makrofag akan
meningggalkan makrofag menuju nodus lirnfatikusdi hilar
dan mediastinum, ke sistem retilculoendotelial. Setelah
beberapa minggu sel T tersensitisasi oleh antigen H.
Capsulatum, kemudian mengaktifasi neutrofil, makrofag
untuk mengeliminerjamur intreaseluler.
Di jaringan mikroorganisme yang berada di dalam
makrofag berubah menjadi oval yeast sehingga masuk ke
&lam fase yeast. Di &lam makrofag tetap mempertahankan
hidupnya dengan memproduksi substansi alkalin, seperti
bikarbonat, amonia, meningkatkan pH sehingga terhindar
dari pengaruh degradasi enzim fagolisosom.
Mikroorganisme yang mencoba tetap bertahan di dalam
makrofag akan menuju ke pembuluh limfe hilus dan
mediastinal. Selanjutnya menyebar luas secara hematogen
ke seluruh tubuh, sehingga mencapai organ-organ penting ,
terutama hati dan limpa. Individu dapat mengalami infeksi
simtomatis maupun asimtomatis. Meskipun demikian
sebagian besar infeksi berlangsung asimtomatis, fokus
granulomatus kecil-kecil sembuh dengan meninggalkan
kalsifikasi. Bila paparan terjadi terus-menerus akan
berkembang ke arah manifestasi klinis histoplasmosis
pulmonalis primer akut. Pada keadaan tertentu, terutama
pada sistem kekebalan yang tertekan seperti pada AIDS.
atau pada saat terjadi penurunan aktivitas CMI, maka
infeksi berkembang kearah kronik. Manifestasinya berupa
histoplasmosis pulmonalis progresif kronik yang dapat
disertai terbentuknya kavitas dan jaringan fibrosis. Pada
situasi tersebut penyakit dapat berkembang menjadi
histoplasmosis diseminata berat yang progresif dan
berakhir fatal.
Pada pasien AIDS, lesi ulseratif pada lidah merupakan
ciri khas histoplasmosis diseminata kemudian
memunculkan infeksi pulmoner.

Garnbar 1. Histoplasma capsulatum. Yeast di dalam


makrofag (dikutip dari Levinson).

INFEKSI JAMUR ENDEMIK


Infeksi jamur: histoplasmosis, blastomikosis,
koksidioidomikosis,dan parakoksidioidomikosispotensial
menimbulkan infeksi jamur endemik. Derajat beratnya
infeksi tergantung dari intensitas paparan maupun status
imun host. Jamur yang terinhalasi melalui saluran nafas
selanjutnya memasuki sirlculasi hematogen dan menjadi
reaktif beberapa tahun kemudian. Infeksi jamur endemik
menyerupai dengan infeksi bakteriil yang menyerang paru,
kulit, maupun berbagai organ lain. Diagnosis infeksi jamur
di daerah nonendemik kurang mendapat perhatian dari
pada daerah endemik. Dengan semakin lajunya mobilisasi
penduduk akhir-akhir ini kemungkinan terinfeksijamur di
daerah endemik dan non endemik meningkat.

HISTOPLASMOSIS
Histoplasmosisdisebabkan oleh Histoplasma capsulatum.
Merupakanjamur dimorfik, sebagai mold di tanah terutama

Manifestasi Klinis
'

Histoplasmosispulmoner akut. Meskipun ada infeksi

tetapi sering asimtomatik. Infeksi pulmoner simtomatik


umumnya selflimited beberapa minggu setelah paparan.
Simtomatikterutarna ditandai panas, menggigil, kelelahan,
batuk non produktif, rasa kurang enak di dada depan,
nyeri otot: Artritis dan artralgia, sering ditandai eritema
nodartralgiaosum yang terjadi pada 5-10% pasien
dengan histoplasmosis pulmoner akut. Pada foto toraks
tampak gambaran nodul lobar atau multilobar infiltrat.
Deferensial diagnosis histoplasmosis pulmoner akut
adalah dengan pneumonia yang disebabkan oleh
Blastomises dermatidis, Mikoplasma pneumoniae,
Legionella spp., dan Chlamydia pneumoniae.Kecurigaan
kuat ke rah infeksi Histoplasmosis pulmoner akut bila
didapatkan pembesaran nodus limfatikus pada hiler dan
mediastinal.
Histoplasmosis pulmoner kronik. Histoplasmosis
pulmoner kronik berjalan progresif, berkembang ke
penyakit pulrnoner obstruktif dan berakhir fatal. Keluhan
terutama panas, kelemahan, nafsu makan menurun,
penurunan berat badan, batuk produktif dengan sputum
purulen, dan hemoptoe. Foto toraks menunjukkan
gambaran infiltrat uni atau bilateral pada lobus atas dengan
multipel kavitas, serta fibrosis luas pada lobus bawah.
Fistula bronkopleural serta pneumotoraks sering terjadi.
Histoplasmosis pulmonar kronik sering bersamaarn dengan
tuberkulosis, pneumonia fungal lain terutama
blastomikosis, dan sporotrikosis.
Histoplasmosis diseminata. Histoplasmosis simtomatik
diseminata terjadi terutama pada pasien imunokomprornais.
Pasien AIDS dengan CD4 kurang dari 150 sel/mm3,
keganasan hematologi, transplantasi organ atau
terapi kortikosteroidberislko tinggi mengalami histoplasmosis diseminata akut. Keluhan dan gejala yang
muncul diseminata adalah menggigil, panas, nafsu
makanmenurun, berat badan menurun, hipotensi,
sesak nafas, hepatosplenomegali, lesi pada kulit dan
mukosa. Pansitopenia, infiltrat pulmoner difus pada
gambaran radiologis, koagulasi intravaskular diseminata,
gaga1 nafas akut sering terjadi.Gejala tersebut sulit
dipisahkan dengan sepsis karena bakteri maupun
virus. Pada pasien AIDS, diferensial diagnosis dengan
infeksi sitomegalo, infeksi mikobakterium avium
kompleks diseminata, dan tuberkulosis.
Histoplasmosis diseminata progresif kronik
merupakan bentuk histoplasmosis yang fatal. Ditandai
demam, berkeringat malam, penurunan berat badan, nafsu
makan menurun, dan kelemahan. Penderita nampak
mengalami sakit kronik, hepatosplenomegali, ulserasi
mukokutaneus, dan adrenal insufisiensi. Peningkatan
laju endap darah, peningkatan posfatase alkali,
pansitopenia, dan infiltrat retikulonoduler difus
pada gambaran foto toraks. Untuk ini perlu disingkirkan
tuberkulosis milier, limfoma, dan sarkoidosis. Hampir
semua organ terdapat kelainan pada infeksi ini.

Diagnosis
Sampel dari biopsi jaringan atau aspirasi sumsum tulang,
sel jamur oval di dalam makrofag dapat terlihat pada
pemeriksaan mikroskop. Biakan memakai agar Sabouraud5
dapat terlihat hyphae dengan makronidia tuberkulae.
Antigen Histoplasma dapat ditentukan dengan radioimmunoassay atau DNA probe. Pada kondisi
irnunokompromais bila antibodi dalam urin tidak terdeteksi,
dapat dilakukan pemeriksaan antigen dalam urin. Kultur
dapat dilakukan melalui sampel yang diambil darijaringan,
lavas brokhoalveoler, cairan tubuh, sputum, dan darah.
Biakan darah merupakan langkah terbaik menggunakan
sistem lysis-centrifugation (isolator tube). Biopsi liver dan
sumsum tulang perlu dilakukan untuk membuat diagnosis
H.capsulatum dseminata.
Jika histoplasmosis pulmoner dicurigai, maka
pemeriksaan biakan dengan medium khusus dari sampel
pulmoner. Terhadap penderita serangan akut, biopsi
jaringan harus dikerjakan guna menentukan adanyajamur
oval, ukuran 2-4 mm. Biopsi hams segera disusul dengan
melakukan pengecatan dengan methenamine silver atau
pengecatan periodik acid- Schiff: Pada penderita
diseminata, sampel yang diambil dari susum tulang, liver,
kulit, dan lesi mukokutaneus dapat menunjukkan
beberapa organisme. Organisme juga dapat ditunjukkan
melalui pengecatan Wright 5 dari darah perifer penderita
infeksi diseminata. Bagi penderita histoplasmosis
pulmoner kronik atau mediastinitisgranulomatous,biopsi
paru atau nodus limfatikus dapat menunjukkan
organisme. Pemeriksaan serologi mempunyai peran
penting pada beberapa bentuk histoplasmosis. Complement-assay dapat dipergunakan untuk membedakan
miselial dan jamur. Pemeriksaan immunod~fision(ID)
lebih spesifik dari pada CF tes, tetapi CF tes lebih sensitif.
Titer antibodi CF sering memberikan hasil positif pada
titer rendah jamur setelah terinfeksi. Pemeriksaan
serologis merupakan sarana diagnostik penting guna
menentukan diagnosis histoplasmosis pulmoner akut.
Diagnosis ditegakkan bila ada kenaikan titer empat kali
lipat titer CF. Pemeriksaan serologis kurang definitif pada
pasien limpadenopati mediastinal dan hams selalu
dikonfirmasi dengan biopsi jaringan. Hasil positif palsu
CF terjadi pada limfoma, tuberkulosis, sarkoidosis, dan
infeksijamur lain.
Pemeriksaan enzim immunoassay ferhadap antigen
polisakarida H.capsulatum pada urin dan serum sangat
membantu penderita diseminata yang dilandasi AIDS.
Terapi
Itrakonazol merupakan obat terpilih bagi infeksi histoplasmosis ringan dan sedang, dan amfoterisin B bagi
infeksi berat. Flukonazol kurang aktif dan perlu
dipertimbangkan penggunaan sebagai lini kedua.
Ketokonazol dapat menjadi obat lini kedua karena
toksisitasnya yang tinggi daripada itrakonazol.

Histoplasmosis pulmoner asimtomatis tidak


memerlukan pengobatan khusus. Tetapi bila gejala muncul
dapat diberikan itrakonazol200 mg per hari selama 6-12
minggu. Pada keadaan outbrake atau pada kondisi
imunokompromais hams diberikan terapi. Terapi awal
diberikan amfoterisin B 0.7-1 mg/kg perhari diikuti
itrakonazol oral. Terapi antifungal perlu diberikan bagi
histoplasmosis pulmoner kronik. Itrakonazol200 mg satu
atau dua kali sehari untuk 12-24 bulan. Itrakonazol6-12
bulan di rekomendasikan terhadap pasien mediastinitis
granulomatus simtomatis. Bila nodus menyebabkan
obstruksi pembedahan diindikasikan.
Semua pasien histoplasmosis diseminata simtomatik
perlu mendapatkan terapi antifungal. Pasien dengan infeksi
simtomatik ringan-sedang diseminata akut dan histoplasmosis diseminata progresif kronik dapat diberikan
itrakonazol 200 mg dua kali sehari. Terapi adekuat bila
diberikan 12 bulan. Pasien AIDS perlu terus mendapat
terapi itrakonazol 200 mg per hari setelah sebelumnya
mendapat itrakonazol dua kali sehari selama 12 minggu.
Pasien imunokompromais dengan infeksi sedang
hingga berat harus diberi amfoterisin B 0.7- 1 mglkg per
hari. Kebanyakan pasien dapat diteruskan oral itrakonazol
begitu telah membaik.

Gambar 2. Stadium Coccidioides lmmitis (dikutip dari Levinson).

KOKSlDlOlDOMlKOSlS
Merupakan penyakit jamur sistemik disebabkan
Koksidioides Spp. Penyebab C. Immitis dan C. posadasii
merupakan fungi dimorfik yang diklasifikasikan sebagai
ascomisetes yang homolog gen ribosom. C. immitis
mempunyai dua bentuk, yang pada sebagian besar media
perbenihan tumbuh sebagai bentukjamur yang putih tetapi
pada jaringan tubuh pejamu atau pada keadaan khusus,
tumbuh berbentuk sferis tanpa tunas, yaitu bentuk
sperula. Setelah infeksi, arthrokonidium membesar,
berdiameter 75 mm,berubah menjadi sperula. Pa& kondisi
matur, sperula berdinding tebal, refraktil ganda, diameter
80 mm. Sperula terbungkus bersama endospora, bila

dindingnya pecah akan melepaskan endospora dan


kemudian membentuk sperula baru.
C. Immitis menghasilkan koloni seperti kapas. Hifa
membentuk rantai arthrokonidia, yang mudah terpecah
menjadi arthrokonidia individual. Bentuk ini mudah tersebar
di udara, sangat resisten terhadap kondisi lingkungan
yang buruk. Arthrokonidia individual, ukuran 3 x 6 mm,
dapat bertahan lama bertahun-tahun, dan sangat infeksius.
Epidemiologi
Koksidioides sp. dapat ditemukan di tanah, ditempattempat dengan curah hujan yang sedang, suhu udara
dingin dan kelembaban yang rendah. Infeksi ini bersifat
endemis di daerah terbatas dari Amerika barat daya, Arnerika
tengah, Amerika selatan. Risiko infeksi pada daerah
endemik sekitar 3%, dengan 150.000 infeksi baru setiap
tahunnya. Lebih dari 60% infeksi baru terjadi di Arizona.
Patogenesis
Rangkaian arthrokonidia yang terbentuk dari hifa bersifat
mudah terlepas menjadi arthrokonidia tunggal. Bentuk ini
mudah tersebar di udara, sangat resisten terhadap kondisi
lingkungan yang buruk. Arthrokonidia tunggal, ukuran 3
x 6 mrn, dapat bertahan lama hingga bertahun-tahun, dan
sangat infeksius.
Infeksi pada manusia teQadi &bat inhalasi artrospora
yang berasal dari tanah yang terbawa oleh angin.
Arthrokonidia yang terhisap tersebut akan masuk ke
bronkioli terminal mengawali terjadinya infeksi koksidioida.
Inhalasi arthrokonidia menyebabkan infeksi primer yang
asimtomatis pada 60 % penderita. Adanya infeksi dapat
diketahui dengan terbentuknya presipitin serum dan
terjadinya konversi tes kulit menjadi positif dalam waktu
2-4 minggu. Empat puluh persen yang lain menunjukkan
simtom infeksi berupa sindroma semacam flu, yaitu batuk,
demam, malaise, nyeri sendi, nyeri otot, dan sakit kepala.
Kurang lebih 1% penderita mengalami infeksi sistemikberat
atau koksidioidomikosissekunder yang mengancamjiwa.
Potensi terjadinya infeksi sistemik ini umurnnya dilandasi
oleh adanya umur ekstrim, gangguan imunitas cell mediated
Laki-laki umurnnya lebih rentan daripada wanita, kecuali
wanita hamil yang ha1 ini dipengaruhi oleh efek hormon
seks terhadap jamur. Hal ini dimungbkan karena C. Immitis
mengandung protein spesifik yang mampu berikatan
dengan estrogen serta progesteron yang kemudian
menstimulir pertumbuhan jamur. Pada penderita AIDS
karena terjadi imunosupresi seluler, terganggunya respons
imun cell-mediated, maka mempunyai potensi besar
terinfeksi koksidioidomikosis sistemik. Pada individu yang
terserang AIDS, manifestasi koksidioidomikosis
merupakan pneumonitis retikulonoduler difusa.
C. immitis memicu reaksi granulomatosakronikdi &am
jaringan tubuh penjamu dengan nekrosis yang disertai
proses kaseasi. Lesi pada paru dan kelenjar limfe hiler &pat

INFEKSIJAMUR

memperlihatkan kalsifikasinya. Baik antibodi IgM maupun


IgG yang bereaksi terhadap C. immitis akan ditimbulkan
dengan adanya infeksi. Jumlah antibodi IgG yang spesifik
merupakan patokan kasar untuk mengukur masa antigen,
yaitu intensitas infeksi, dan titer antibodi IgG yang tinggi
merupkan tanda prognostik yang jelek. Timbulnya
hipersensitivitaslarnbat terhadap antigen C. immitis sering
ditemukan diantara bentuk klinis penyakit ini dengan
pronosis baik, seperti penyakit pulmoner primer yang
sembuh sendiri. Hasil tes kulit yang negatif terhadapantigen Coccidioides terdapat pada kurang lebih separuh
penderita dan menunjukkan pronosis yang buruk.
Pada pemenksaan radiologis, infeksi koksidioidomikosis
dapat memberikan gambaran adenopati hilus disertai
adanya infiltrat pulmoner, garnbaran pneumonia, terkadang
efusi pleura maupun nodul-nodul atau kavitas.
Selain paru sebagai organ sasaran, infeksi ini juga bisa
mengenai organ lain termasuk tulang, kulit, persendian dan
selaput otak.
Manifestasi Klinis
Infeksi pulmoner primer yang simtomik manifestasinya
adalah febris, batuk, nyeri dada, malaise, kadang-kadang
reaksi hipersensitivitas.Foto toraks dapat memperlihatkan
infitrat, adenopati hiler, ataupun efusi pleura. Pemeriksaan
darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia yang ringan.
Pembentukan kavitas kronik dengan dinding tipis ditandai
gejala batuk atau hemoptisis pada separuh kasus, sebagian
pasien lain tetap asimtomatik. Koksidioidomikosis
pulmonalis progresif kronik menyebabkan gejala batuk
kronik, disertai sputum, febris, dan penurunan berat badan.
Pada beberapa kasus akan mengalami reaktivasi, dan
penyebarluasan infeksi (diseminasi) setelah beberapa
tahun kemudian. Keadaan tersebut terutama jika terdapat
penyakit Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, transplantasi
ginjal, penyakit AIDS, atau keadaan imunosupresi lainnya.
Proses diseminasi tersebut harus dicurigai bila terdapat
gejala febris, malaise, limfadenopati hiler atau paratrakeal,
kenaikan laju endap darah, dan titer fiksasi komplemen
yang tinggi.
Diagnosis
Bila ada kecurigaan infeksi koksidioidmikosis, maka
spesimen untuk biakan meliputi sputum, eksudat dari lesi
kulit, cairan spinal, urine, biopsi jaringan, dan pus hams
diperiksa untuk menemukan C. Immiti. Permintaan
pemeriksaan laboratorium hams menyebutkan dengan
jelas adanya kecurigaan terhadap kemungkinan
koksidioidmikosis karena jenis jamur ini hams ditangani
dengan ekstra hati-hati untuk mencegah terjadinya infeksi
pada petugas laboratorium. Pada biopsi, sperula bedcuran
kecil, hams dibedakan dengan bentuk tanpa tunas dari
Blastomyces dan Cryptococcus, namun gambaran sperula
yang matur merupakan petunjuk diagnosis.

Tes serologi sangat membantu dalam menegakkan


diagnosis koksidioidmikosis. Tes aglutinasi lateks dan
difusi gel agar merupakan pemeriksaan yang berguna untuk
melakukan skrining serum guna menemukan antibodi
terhadap jamur, terutama 2-4 minggu setelah infeksi. Tgs
fiksasi komplemen (CF) dipakai pada pemeriksaan cairan
serebrospinal dan untuk memastikan serta mengukur kadar
antibodi (IgG) dalam serum yang terdeteksi lewat tes
skrining. Jumlah kasus dengan hasil tes fiksasi komplemen
positif akan tergantung pada beratnya penyakit dan
laboratorium yang mengerjakan tes tersebut. Hasil tes
positif setidaknya sering ditemukan diantara pasien-pasien
dengan kavitas pulmoner yang soliter atau dengan infeksi
paru, sementara pemeriksaan serum dari pasien dengan
penyakit diseminata pada lebih dari satu organ tubuh
hampir seluruhnya memperlihatkan hasil yang positif.
Serokonversi amat membantu dalam menegakkan diagnosis
koksidioidmikosispulmonalis primer tetapi mungkin baru
ditemukan 8 minggu setelah paparan. Hasil tes fiksasi
komplemen positif pada cairan serebrospinal yang tidak
dipekatkan merupakan petunjuk diagnostik untuk
meningitis. Kadang-kadang fokus para meningen akan
menyebabkan hasil pemeriksaan serologi cairan
serebrospinal yang positif. Pada pasien AIDS dengan
kokosidioidomikosis, pemeriksaan serologi tersebut sering
memberi hasil negatif.
Konversi tes kulit dari hasil positif menjadi negatif
(indurasi2 5 rnm setelah 24 atau 48jam), dengan koksidiodin
dan sferulin 2 jenis antigenjamur yang tersedia dipasaran,
terjadi pada hari ketiga hingga ke-21 setelah timbulnya
gejala pada gejala koksidiodomikosis pulmonalis primer.
Tes kulit juga dapat membantu dalam penelitian
epidemiologi, seperti penyelidikan terhadap kelompok
kasus atau penentuan daerah endemik.
Terapi
Koksidioidomikosis pulmonalis primer biasanya akan
sembuh spontan. Amfoterisin B intravena selama
beberapa minggu diberikan bila pasien memperlihatkan
kecenderungan ke arah berat atau infeksi primer yang
berlarut-larut, dengan harapan mencegah terjadinya
penyakit pulmonalis kronik atau diseminata.
Pasien koksidioidomikosis diseminata yang berat atau
yang berjalan progesif dengan cepat hams segera dimulai
pengobatannya dengan penyuntikan amfoterisin B
intravena yang dosisnya 0,5 hingga 0,7 mglkg BB per hari.
Pasien yang keadaannya membaik setelah penyuntikan
amfoterisin B atau memperlihatkan infeksi diseminata yang
tidak aktif dapat dilanjutkan ketokonazol, 400 hingga 800
mg/hari, atau itrakonazol, 200 hingga 400 mghari. Preparat
oral ini berguna untuk tindakan supresi infeksi jangka
panjang dan harus dilanjutkan selama beberapa tahun.
Untuk pasien meningitis koksidioides, pengobatan
biasanya dapat dimulai dengan flukonazol400mg per hari
tetapi pasien tersebut mungkm pula memerlukan pemberian

amfoterisin B intratekal. Hidrosefalus merupakan


komplikasi yang sering ditemukan pada meningitis yang
tidak terkontrol. Tindakan debridemen lesi tulang atau
drainase abses dapat membantu. Reseksi lesi pulmoner
yang progesif kronik merupakan tindakan pelengkap
kemoterapi kalau infeksi hanya terbatas pada paru dan
pada satu lobus. Kavitas berdinding tipis yang tunggal
cenderung menutup spontan dan biasanya tidak
direseksi.
lnfeksi Jamur Oportunistik
~ e n i n ~ k a t ninfeksi
~ a jamur dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pasien imunokoinpromais di
rumah sakit. Infeksi jamur oportunistik dapat disebabkan
oleh organisme semacam jamur maupun filamen jamur.
Penyebab tersering infeksi jamur oportunistik adalah
kandidiasis. Spesies kandida merupakan flora normal pada
manusia terutama pada saluran cerna maupun saluran
urogenital, serta kulit. Infeksi terjadi melalui inhalasi atau
inokulasi kulit. Kebanyakan non kandida patogen adalah
filamen jamur termasuk genus Aspergillus dan klas
Zygomycetes serta Ciyptococcus neoformans. Kejadian
infeksi ini sering akibat berbagai keadaan yang
menginduksi imunosupresan. Pada situasi imunokompromais terjadi penyebar luasan infeksi secara
angioinvasijamur temtama Aspergillus, Pseudallescheria,
Zygomycetes, danFusarium, C.neoformans.Berbagaijenis
jamur tersebut dapat menyebabkan meningitis dengan atau
tanpa melibatkan organ lain.

Individu dalam posisi imunokompeten umumnya resisten


terhadap infeksi jamur, tetapi pada situasi imunokompromise sangat rentan terhadap infeksi jamur.
Candida albicans merupakan penyebab kandidiasis
yang paling sering di temukan, namun C. tropicalis, C.
parapsilosis, C. guilliermondii, C. glabrata, C. krusei
serta beberapa spesies lainnya dapat menyebabkan
kandidiasis profundus dan bahkan membawa akibat yang
fatal. C . parapsilosis sering sebagai penyebab
endokarditis. C. tropicalis menyebabkan sekitar sepertiga
kandidiasis profundus pada pasien neutropenia. Semua
spesies kandida yang patogenik untuk manusia juga
ditemukan sebagai mikroorganisme komensal pada
manusia, khususnya di kulit, dalam mulut, tinja, dan
vagina. Spesies ini tumbuh dengan cepat pada suhu 25
hingga 37C pada media perbenihan sederhana sebagai
sel-sel oval dengan pembentukan tunas. Pada media
perbenihan yang khusus akan terbentuk hifa atau struktur
cabang memanjang yang .dinamakan pseudohifa.
C. albicans dapat dikenali secara presumtif dengan
kemampuanya untuk membentuk tabung benih (gemr

tubes) dalam serum atau dengan tebentuknya spora besarbesar berdinding tebal yang diriamakan klamidospora.
Identifikasi akhir semua spesiesjamur tersebut memerlukan
tes biokimiawi.
Patogenesis
Kandidiasis merupakan infeksi jamur sistemik yang paling
sering. Respons imun cell-mediated terutama sel CD4
penting dalam mengendalikan kandidiasis mukokutan.
Neutrofil penting terutama dalam resistensi terhadap
kandidiasis sistemik. Kandidiasis sistemik terjadi bila
kandida masuk ke dalam aliran darah terutama pada saat
ketahanan fagositik host menurun.
Faktor-faktor lokal atau sistemik dapat mempengaruhi
invasi Candida ke dalam jaringan tubuh. Usia mempakan
faktor penting mengingat kolonisasi neonatal sering kali
menyebabkan kandidiasis oral (oral thrush). Perempuan
dengan kehamilan trimester ketiga cenderung untuk
mengalami kandidiasis vulvoginal. Pasien diabetes
mellitus, keganasan hematologi, pasien yang mendapatkan
antibiotik spektrum luas atau kortikosteroid dosis tinggi
rentan terhadap kandidiasis. Kandidiasis oral sering
dijumpai kapan saja dalam perjalanan infeksi HIV. Dengan
terjadinya penurunan jumlah sel CD4, esofagitis Candida
juga sering ditemukan. Terganggunya keutuhan kulit atau
membran mukosa dapat memberikanjalan ke jaringan tubuh
yaiig lebih dalam. Contohnya adalah perforasi traktus
gastrointestinal oleh trauma, pembedahan serta ulserasi
peptikum; pemasangan kateter indwelling untuk
pemberiaan alimentasi intravena (enternal feeding),
dialisisperitoneal serta drainase traktus urinarius; luka
bakar yang berat; dan penyalahgunaan obat bius intravena.
Kandidemia merupakan penyebab urutan keenam sepsis
akibat penggunaan kateter intravena atau infus.
Spesies Cundida, kecuali C. glabrata tampak dalam
jaringan sebagai jamur maupun pseudohifa. Lesi viseral
ditandai oleh nekrosis dan respons inflamatorik neutrofilik.
Sel neutrofil membunuh sel jamur Candida serta merusak
segmen pseudohifa secara in vitro. Kandidiasis viseral
akan menimbulkan komplikasi neutropenia sehingga
menunjukkan peranan utama neutrofil dalam mekanisme
pertahanan pejamu terhadap jamur ini. Melalui sirkulasi,
kadida dapat menimbulkan berbagai infeksi pada ginjal,
hepar, menempel pada katup jantung buatan, meningitis,
arthritis, endophthalmitis.
ManifestasiKlinis
Kandidiasis kulit dan mukosa sering menyertai berbagagai
keadaan seperti penyakit AIDS, diabetes, kehamilan, usia
ekstrim, trauma. Kandidiasis oral (oral thrush) ditemukan
sebagai bercak berwarna putih yang konfluen dan melekat
pada mukosa oral serta faring, khususnya di dalam mulut
dan lidah. Lesi ini biasanya tanpa rasa nyeri tetapi
pembentukan fisura pada sudut mulut dapat menimbulkan

MFEKSl JAMUR
t ,

nyeri. Kandidiasis kulit ditemukan sebagai dherah


intertriginosa yang mengalami maserasi serta menjadi .
merah, paronikia, balanitis, ataupun pruritus ani.
Kandidiasis kulit di daerah perineum dan skrotum dapat
disertai dengan lesi pustuler yang diskrit pada permukaan
dalam paha. Kandidiasis mukokutaneus kronik atau
kandidiasis granulomatosa secara khas ditemukan sebagai
lesi kulit sirkumskripta yang mengalami hiperkeratosis, kuku '
jari yang mengalami distrofi serta hancur, alopesia parsial
di daerah lesi pada kulit kepala, dan kandidiasis oral serta
vagina. Gejala lainnya mencahp epiderrnofitosis kronik,
displasia gigi, dan hipofungsi kelenjar paratiroid, adrenal,
serta tiroid. Kandidiasis vulvaginalis menyebabkan gejala
pruritus, terkadang nyeri pada saat hubungan sek atau
buang air kecil. Pemeriksaan dengan speculum
memperlihatkan mukosa yang mengalami inflamasi dan
eksudat encer yang sering dengan cairan bewarna putih.
Ulserasi kecil, dangkal, soliter hingga miltipel akibat
Candida dapat terlihat dalam esophagus cenderung
terdapat pada bagian sepertiga distal dan dapat
menyebabkan keluhan disfagia atau nyeri subternal. Lesi
laimya seperti itu cenderung bersifat asimtomatik tetapi
mempunyai arti yang penting pada pasien leukemia
sebagaiport d 'entreuntuk kandidiasis diseminata. Dalam
traktus urinarius, lesi yang paling sering ditemukpn dapat
berupa abses renal atau kandidiasis kandung kemih. Invasi
ke dalam kandung kemih biasanya terjadi setelah tindakan
kateterisasi. Atau instnunentasi pada penderita diabetes
atau pada pasien yang mendapatkan antibiotik
berspektrum-luas. Lesi umumnya asimtomatik dan benigna.
Invasi retrograd ke dalam pelvis renalis menyebabkan
nekrosis papilla renal.
Penyebar luasan kandida secara hematogen diternukan
dengan gejala demam tinggi. Dapat timbul abses di retina,
perlahan-lahan abses ini meluas ke dalam vitreus. Pasien
dapat mengeluh nyeri orbital, penglihatan yang kabur,
skotoma, atau opasitas yang melayang-layang dan
menghalangi lapangan penglihatan. Kandidiasis
pulmonalis hampir selalu terjadi secara hematogen dan
terlihat pada foto toraks, bila abses tersebut cukup banyak
untuk menimbulkan infiltrat noduler yang samar-samar atau
. difus. Kandidiasis pada endokard atau di sekitar prostesa
intrakardial menyerupai infeksi bakteri pada tempat-tempat
ini. Meningitis atau arthritis kandida kronik dapat terjadi
akibat penyakit diseminata atau penyisipan prostesa dalam
ha1 arthritis atau infeksi pintas ventrikuloperitoneal.
Manifestasi fokal penyakit diserninatayangjarang dijumpai
mencakup ostemiolitis, lesi kulit yang pustuler, miositis,
dan abses serebri.
t

Diagnosis
Diagnosis laboratorik dapat dilakukan melalui pemeriksaan
spesimen, pemeriksaan mikroskopis, biakan, dan serologi.
Gambaran psedohifa pada sediaan apus, dikonfirmasi

lewat pemeriksaan kultur merupakan pilihan untuk


menegakkan diagnosis kandidiasis superficial. Kerokan
untuk pembuatan sediaan apus dapat di lakukan pada kulit,
kuku, dan mukosa oral serta vaginal. Diagnosis pada lesi
kandida yang lebih dalam lagi dapat dilakukan dengan
pemeriksaan histologi terhadap sayatan spesimen hasil
, biopsi atau dengan pemeriksaan kultur cairan serebrospinal,
darah, cairan sendi, atau spesimen bedah. Pemeriksaan
kultur darah sangat berguna untuk endokarditis
kandidiasis dan sepsis. Pemeriksan ini sering tidak
memberikan hasil yang positif pada bentuk penyakit
diseminata lainnya.

Terapi
Kandidiasis oris dan kandidiasis mukokutan dapat diobati
dengan nystatin topikal, gentian violet, ketokonazol,
maupun flukonazol. Terapi kandidiasis kulit pada daerah
yang mengalami maserasi, memperlihatkan respons
terhadap upaya untuk mengurangi kelembaban kulit dan
iritasi dengan pemakaian preparat antifungus yang
dioleskan secara topikal dalam bahan dasar nonoklusif.
Serbuk nisatin atau krem yang mengandung preparat
siklopiroks atau azol cukup berkasiat. Klotrimazol,
mikonazol, ekonazol, ketonazol, sulkonazol, dan
oksikonazol tersedia dalam bentuk krem atau losion. Vulvovaginitis Candida memberikan respons yang lebih baik
terhadap golongan azol daripada terhadap preparat
supositorianistatin. Di antara formula vaginal klotrimazol,
mikazol, tikonazol, butakonazol, dam terkonazol hanya
terdapat sedikit perbedaan pada khasiatnya. Pengobatan
sistemik terhadap vulvovaginitis Candida dengan
menggunakan ketokonazol atau flukonazol lebih mudah
dilakukan daripada pengobatan topikal, tetapi potensi
preparat tersebut untuk menimbulkan efek merugikan yang
lebih besar. Preparat troches klotrimazol yang dapat
diberikan lima kali sehari lebih efektif untuk mengatasi
kandidiasis oral dan esophagus dibandingkan suspensi
nistatin. Ketokonazol dengan dosis 200 hingga 400 mg
per hari juga berkhasiat untuk esofagitis Candida tapi
banyak pasien yang kurang dapat menyerap obat tersebut
dengan baik karena mendapatkan preparat antagonis
reseptor H-2 atau karena menderita penyakit AIDS. Pada
pasien penyakit AIDS, flukonazol dengan dosis 100 hingga
200 mg per hari merupakan preparat yang paling efektif
untuk mengatasi kandidiasis oral dan asofagus.
Kalau gejala esophagus yang terjadi sangat menonjol
atau pada kandidiasis sistemik, pemberiaan amfoterisin B
intravena dengan dosis 0,3 mgkg BB per hari selama 5
hingga 10 hari dapat bermanfaat. Kandidiasis kandung
kemih akan memperlihatkan respons terhadap tindakan
irigasi dengan larutan amfoterisin B, 50 gImL, selama 5
hari. Jika tidak ada kateter kandung kemih, preparat oral
flukonazol dapat digunakan untuk mengendalikan
kandiduria. Ketokozanol dengan dosis dewasa 200 mg per

hari kemungkinan merupakan obat pilihan untuk


kandidiasis mukokutsneus yang kronik.
Amfoterisin B intravena merupakan obat pilihan pada
kandidiasis diseminata,dosis 0,4 hingga 0,5 m a g BB per
hari. Candidayang diisolasi dari pemeriksaan kultur darah
yang diambil dengan benar hams dianggap signifikan; hasil
positif- palsu yang sejati jarang terdapat. Semua pasien
dengan Candida yang dikultur dari darah perifer hams
mendapatkan amfoterisi B intravena untuk mengatasi
infeksi yang akut dan memcegah sekuele lanjut. Pa& pasien
tanpa neutropenia, endokarditis, atau fokus infeksi yang
dalam lainya, pengobatan selama 2 minggu sering sudah
memadai. Pemeriksaan funduskopi lewat pupil yang dilatasi
sangat bermanfaat untuk mendeteksi endoftalmitis
sebelum kehilangan penglihatan permanen terjadi.
Kesulitan sering didapatkan terutama dalam
menentukan diagnosis awal dari kandidiasis sistemik karena
gejala klinis kurang spesifik, biakan sering negatif.
Penelitian terhadap resipien cangkok sumsum tulang,
terapi profilaksis setiap hari dengan flukonazol, 400mg,
akan menurunkan jumlah kasus kandidiasis profundus.
Flukonazol juga dapat digunakan untuk melengkapi
pengobatan kandidiasis diseminata kronik, terutarna bila
amfoterisin B diberikan sampai pasien tidak lagi
memperlihatkan neutropenia.

REFERENSI
Abbas AK, Lichtman AH . Effector Mechanisms of Cell-Mediated
Immunity. In: Cellular and Molecular Immunology. Fifth edition. International edition. China. 2005.p.298-317.
Bennett JE. Diagnosis and Treatment of Fungal Infections.
In: Harrison's Principles of Internal Medicine. Vol.1. 16 th
Edition. Editors: Kasper DL, Fauci AS, Longo D, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL. New York: McGraw-Hill Medical
Publishing Division. 2005.p. 1176-88.
Burik JV,Myerson D, Schreckhise RW, Bowden RA (1998). Panfungal
PCR Assay for Detection of Fungal Infection in Human Blood

Specimens. Journal of Clinical Microbiology 36, 1169-75.


Chen KY, KO SC, Hsueh PR, Luh KT, Yang CP. Pulmonary Fungal
Infection: Emphasis on Microbiological Spectra, Patient
Outcome, and Prognostic Factors. Chest 2005; 120, 177-84.
Digby J, Kalbfleisch J, Glen A, Larsen A, Browder W, Williams D
(2003). Serum Glucan Levels Are Not Specific for Presence of
Fungal Infections in Intensive Care Unit Patients. Clinical and
Diagnostic Lboratory Immunology 10, 882-5.
Findik D . Nosocomial Fungal Infections in a Teaching Hospital in
Turkey: Identification of the Pathogens and Their Antihngal
Susceptibility Patters. Turk J Med Sci 2002;32-35
Galgiani JN . Coccidioidomycosis. In: Cecil Textbook of Medicine.
22nd ed. Editors: Goldman L, Ausiello D.Philadelphia:
2004.p.2046-47.
Jawetz,'Melnick, Adelberg's. Medical Mycology.In: Medical
Microbiology.Editors: Brooks GF, Butel JS, Morse SA. McGrawHill Companies Inc.2005.p. 313-352.
Kauffman CA. Introduction to the Mycosis. In: Cecil Textbook of
Medicine. 22" ed. Editors: Goldman L, Ausiello D.Philadelphia:
2004.p. 2042-43.
Kauffman CA Histoplasmosis. In: Cecil Textbook of Medicine.
22nd ed. Editors: Goldman L, Ausiello D.Philadelphia:
2004.p.2043-45.
K a u h CA. Candidiasis. In: Cecil Textbook of Medicine. 22"d ed.
Editors: Goldman L, Ausiello D. Philadelphia, 2004.p.2053-56.
Kresno SB . Respons lmun Terhadap Infeksi Jamur. Dalam:
Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. FKUI,
Jakarta:ZOO.p. 181-2.
Levinson W, Jawetz E Mycology. In: Medical Microbiology and
Immunology. Seventh Edition. Editors: Levinson W, Jawetz E.
International Edition. Singapore, 2003.p.299-313.
Rex JH, Walsh TJ. Sobel JD, Filter SG, Pappas PG, Dismekes WE,
Edwards JE. Practice Guidelines for the Treatment of Candidiasis. Clinl Infectious Diss 2000;30: 662-78.
Sobel JD. Practice Guidelines for the Treatment of Fungal
Infections. Clin Infectious Dis 2000;30:652.
Spicer WJ. Fungi. In: Clinical Bacteriology, Mycology and
Parasitology. Melbourne:, 2000.p.62-70
Wheat J. Sarosi G, McKinsey D, Hamill R, Bradsher R, Johson P,
Loyd J, K a u t h a n C . Practice Guidelines for the Management
of Patients with Histoplasmosis. Clin Infectious Dis 2000);
0:688-95.

TOKSOPLASMOSIS
Herdiman T. Pohan

PENDAHULUAN
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan
oleh parasit Toxoplasmagondii, yang dikenal sejak tahun
1908. Toksoplasma (Yunani: berbentuk seperti panah)
adalah sebuah genus tersendiri. Infeksi akut yang didapat
setelah lahir dapat bersifat asimtomatik,namun lebih sering
menghasilkan kista jaringan yang menetap kronik. Baik
toksoplasmosis akut maupun kronik menyebabkan gejala
klinis termasuk limfadenopati,ensefalitis, miokarditis, dan
pneumonitis. Toksoplasmosis kongenital adalah infeksi
pada bayi baru lahir yang berasal dari penularan lewat
plasenta pada ibu yang terinfeksi. Bayi tersebut biasanya
asimtomatik, namun manifestasi lanjumya bervariasi baik
gejala maupun tanda-tandanya, seperti korioretinitis, strabismus, epilepsi, dan retardasi psikomotor.
Toxoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali
ditemukan pada binatang mengerat, yaitu Ctenodactylus
gundi, di suatu laboratorium di Tunisia dan pada seekor
kelinci di suatu laboratorium di Brazil. Pada tahun 1973
parasit ini ditemukan pada neonatus dengan ensefalitis.
Walaupun transmisi intrauterin secara transplasental sudah
diketahui, tetapi baru pada tahun 1970 daur hidup parasit
ini menjadi jelas, ketika ditemukan daur seksualnya pada
kucing (Hutchison). Setelah dikembangkan tes serologi
yang sensitif oleh Sabin dan Feldman (1948), zat anti
T. Gondii ditemukan kosmopolit, terutama di daerah
dengan iklim panas dan lembab.

EPlDEMlOLOGl
Di Indonesia prevalensi zat anti I: gondii yang positif
pada manusia berkisar antara 2% dan 63%. Sedangkan
pada orang Eskimo prevalensinya 1% dan di El Salvador,
Amerika Tengah 90%. Prevalensi zat anti i7 gondii pada

binatang di Indonesia adalah sebagai berikut: pada kucing


25-73%, pada babi 11-36%, pada kambing 11-61%, pada
anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10%. Di
Amerika Serikat didapatkan sekitar 3-70% orang dewasa
sehat telah terinfeksi dengan Toxoplasma gondii.
Toksoplasmagondiijuga menginfeksi 3500 bayi yang barn
lahir di Amerika serikat. Pada pasien dengan HIV positif
didapatkan angka sekitar 45% telah terinfeksi Toxoplasma
gondii. Di Eropa Barat dan Afrika prevalensi Toxoplasma
gondii pada penderita HIVIAIDS sekitar 50-78%. Sementara
itu prevalensi ensefalitis toksoplasma (ET) pada pasien
HIV di Amerika Serikat sekitar 16% dan 37% di Perancis.
Pada umumnya prevalensi zat anti yang positif
meningkat dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria
dan wanita. Di dataran tinggi prevalensi lebih rendah,
sedangkan di daerah tropik prevalensi lebih tinggi.
Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengamhi
oleh banyak faktor, seperti kebiasaan makan daging
kurang matang, adanya kucing yang temtama dipelihara
sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan
burung sebagai hospes perantara yang merupakan
binatang buruan kucing, adanya sejumlah vektor seperti
lipas atau lalat yang &pat memindahkan ookista dari tinja
kucing ke makanan. Cacing tanah juga berperan untuk
memindahkan ookista dari lapisan dalam ke permukaan
tanah.

Toxoplasma gondii adalah parasit intraselular yang


menginfeksi burung dan mamalia. Tahap utama daur hidup
parasit adalah pada kucing (pejamu definitif). Dalam sel
epitef usus kecil kucing berlangsung daur aseksual
(skizogoni) dan daur seksual (gametogoni, sporogoni)
yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersarna tinja.

Ookista yang bentuknya lonjong dengan ukuran 12,5


mikron menghasilkan 2 sporokista yang masing-masing
mengandung 4 sporozoit.
Bila ookista ini tertelan oleh mamalia lain atau burung
(hospes perantara), maka pada berbagai jaringan hospes
perantara ini dibentuk kelompok-kelompok trofozoit
yang membelah secara aktif dan disebut takizoit (tachyzoit
= bentuk yang membelah cepat). Takizoit dapat menginkksi
dan bereplikasi seluruh sei pada mamalia kecuali sel
darah merah. Kecepatan takizoit Toksoplasma membelah
berkurang secara berangsur dan terbentuklah kista
yang mengandung bradizoit (bentuk yang membelah
perlahan); masa ini adalah masa infeksi klinis menahun
yang biasanya merupakan infeksi laten. Pada hospes
perantara tidak dibentuk stadium seksual, tetapi dibentuk
stadium istirahat, yaitu kista jaringan.
Hasil dari proses ini adalah infeksi organ yang
memberikan gambaran sitopatologi khas. Kebanyakan
takizoit dielirninasi oleh respon imun pejamu. Gsta jaringan
yang mengandung banyak bradizoit berkembang 7-1 0 hari
setelah infeksi sistemik oleh takizoit. Kista jaringan terdapat
di berbagai organ, namun menetap terutama di sistem saraf
pusat (SSP) dan otot. Infeksi aktif pada pejamu
imunokompromais biasanya diakibatkan pembebasan
spontan parasit di dalam kista yang kemudian
bertransfomasi cepat menjadi takizoit di SSP.
Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes
perantara yang terinfeksi, maka terbentuk lagi berbagai
stadium seksual di dalam sel epitel usus kecilnya. Bila
hospes perantara mengandung kista jaringan Toksoplasma
maka masa prapaten (sampai dikeluarkan ookista) adalah
3-5 hari, sedangkan bila kucing makan tikus yang
mengandung takizoit, masa prapaten biasanya 5-10 hari.
Tetapi bila ookista langsung tertelan oleh kucing,
maka masa prapaten adalah 20-24 hari. Kucing lebih
mudah terinfeksi oleh kista jaringan daripada oleh
ookista.
Di berbagai jaringan tubuh kucing juga ditemukan
trofozoit dan kista jaringan. Pada manusia takizoit
ditemukan pada infeksi akut dan dapat memasuki tiap sel
yang berinti. Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit
dengan satu ujung yang runcing dan ujung lain yang agak
membulat. Panjangnya 4-8 mikron dan mempunyai satu
inti yang letaknya kira-kira di tengah. Takizoit pada manusia
adalah parasit obligat intraselular.
Takizoit berkembang biak dalam sel secara endodiogeni.
Bila sel penuh dengan takizoit, maka sel menjadi
pecah dan takizoit memasuki sel-sel di sekitarnya
atau difagositosis oleh sel makrofag. Kista jaringan
dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah
telah membentuk dinding. Kista jaringan ini dapat
ditemukan di dalam hospes seumur hidup terutama di otak,
ototjantung, dan otot lurik. Di otak kista berbentuk lonjong
atau bulat, sedangkan di otot kista mengikuti bentuk sel
otot.

PATOGENESIS

Jika kista jaringan yang mengandung bradizoit atau ookista


yang mengandung sporozoit tertelan oleh pejamu, maka
parasit akan terbebas dari kista oleh proses pencemaan.
Bradizoit resisten terhadap efek dari pepsin dan menginvasi
traktus gastrointestinal pejamu. Di dalam eritrosit, parasit
mengalami transfonnasi morfologi, akibatnyajumlah taluzoit
invasif meningkat. Takizoit ini mencetuskan respon IgA
sekretorik spesifik parasit. Dari traktus gastrointestinal,
parasit kemudian menyebar ke berbagai organ, terutama
jaringan limfatik, otot lurik, miokardium, retina, plasenta, dan
SSP. Di tempat-tempat tersebut, parasit menginfeksi sel
pejamu, bereplikasi, dan menginvasi sel yang berdekatan.
Terjadilah proses yang khas yakni kematian sel dan nekrosis
fokal yang dikelilingi respon inflamasi akut.
Pada pejamu imunokompeten, baik imunitas humoral
maupun seluler mengontrol infeksi. Respon imun terhadap
takizoit bemacam-macam, termasuk induksi antibodi
parasit, aktivasi makrofag dengan perantara radikal bebas,
produksi interferon gamma, dan stimulasi limfosit
T sitotoksik. Limfosit spesifik antigen ini mampu
membunuh baik parasit ekstraselular maupun sel target
yang terinfeksi oleh parasit. Selagi takizoit dibersihkan dari
pejamu yang mengalami infeksi akut, kista jaringan yang
mengandung bradizoit mulai muncul, biasanya di dalam
SSP dan retina. Padapejamu imunokompromaisatau pada
janin, faktor-faktor imun yang dibutuhkan untuk
mengontrol penyebaran penyakit jumlahnya rendah.
Akibatnya takizoit menetap dan penghancuran progresif
berlangsung menyebabkan kegagalan organ (necrotizing
encephalitis, pneumonia, dan miokarditis).
Infeksi menetap dengan kista yang mengandung
bradizoit biasa ditemukan pada pejamu imunokompeten.
Infeksi ini biasanya menetap subklinis. Meski bradizoit
menjalani fase metabolik lambat, kista tidak mengalami
degenerasi dan ruptur di dalam SSP. Proses degeneratif ini
bersamaan dengan perkembangan kista baru yang
mengandung bradizoit merupakan sumber infeksi bagi
individu imunokompromais dan merupakan stimulus untuk
menetapnya titer antibodi pada pejamu imunokompeten.
Pada pasien dengan keadaan imunokompromais seperti
pada pasien HIVIAIDS, terjadi suatu keadaan adanya
defisiensi imun yang disebabkan oleh defisiensi kuantitatif
dan kualitatif yang progresif dari subset limfosit T yaitu T
helper. Subset sel T ini digambarkan secara fenotip oleh
ekspresi pada permukaan sel molekul CD4 yang bekerja
sebagai reseptor sel primer terhadap HIV. Setelah beberapa
tahun, jumlah CD4 akan turun di bawah level yang kritis
(< 2001~1)dan pasien menjadi sangat rentan terhadap
infeksi oportunistik. Walaupun demikian, dengan kontrol
viremia plasma dengan terapi antiretroviral yang efektif,
bahkan pada individu dengan CD4 yang sangat rendah,
telah dapat meningkatkan survival meskipun jumlah
CD4nya tidak meningkat secara signifikan.

Oleh karena itu infeksi oportunistik seperti Toxoplasma


gondii mudah menyerang penderita HIVIAIDS yang tidak
mendapatkan terapi antiretroviral yang efektif. Imunitas
seluler menjadi sangat penting dalam mengontrol infeksi
Toksoplasma dengan bantuan dari imunitas humoral.
Interferon gamma dan Interleukin-12 (IL- 12) merupakan
substansi pertahanan tubuh yang sangat penting untuk
menghadapi infeksi.
Interferon gamma menstimulasi aktivitas anti Tgondii,
tidak hanya makrofag tetapi juga sel non fagosit. Produksi
Interferon gamma dan IL- 12 distimulasi oleh CD 154
(diekspresikan pada sel CD4 yang teraktivasi) yang
bertindak dengan menstimulasi sel dendritik dan makrofag
untuk memproduksi IL- 12 dan produksi Interferon gamma
oleh sel T.
Pada pasien dengan demam yang berkepanjangan dan
tubuh yang terasa lemah terdapat limfositosis,peningkatan
sel T supresor dan penurunan ratio sel T helper-sel T
supresor.Pada pasien ini memilikijumlah sel T helper yang
lebih sedikit. Pada pasien dengan infeksi yang berat terjadi
penurunan yang sangat drastis jumlah sel T helper dan
ratio sel T helper dibanding dengan sel T supresor.
Mekanisme timbulnya infeksi oportunistik dalam ha1 ini
Toxoplasma gondii pada pasien HIVIAIDS sifatnya
multipel. Mekanisme ini termasuk penurunan kadar sel
CD4, gangguan produksi IL- 12 dan interferon gamma, serta
gangguan hngsi limfosit T sitotoksik. Fungsi dan jumlah
sel pertahanan tubuh pada pasien HIVIAIDS terutama
IL-12, interferon gamma, serta sel CD154 yang menurun
sebagai respons terhadap Toxoplasma gondii. Defisiensi
sistem imun ini memegang peranan dalam timbulnya infeksi
Toxoplasma gondii.
Toxoplasma gondii dapat menular ke manusia melalui
beberapa rute, yaitu:
pada toksoplasmosis kongenital transmisi
Toksoplasma kepada janin terjadi in utero melalui
plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu ia
hamil
pada toksoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi, bila
makan daging mentah atau kurang matang (misalnya
sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan
atau takizoit Toksoplasma. Pa& orang yang tidak makan
daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang
dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan.
infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang
yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi
dengan i? gondii, melalui jarum suntik dan alat
laboratorium lain yang terkontaminasi dengan i? gondii.
Wanita hamil tidak dianjurkan untuk bekerja dengan
i? gondii yang hidup. Infeksi dengan i? gondii juga
pemah terjadi waktu mengerjakan autopsi.
infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari
donor yang menderita toksoplasmosis laten.
transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan
infeksi.

Walaupun makan daging kurang matang merupakan


cara transmisi yang penting untuk i? gondii, transmisi
melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat
mengeluarkan sampai 10juta butir ookista sehari selama
2 minggu. Ookista menjadi matang dalam waktu 1-5 hari
dan dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang panas
dan lembab. Ookista mati pada suhu 45"-5SC, jugamati
bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, amonia,
atau larutan iodium. Transmisi inelalui bentuk ookista
menunjukkan infeksi i? gondii pada orang yang tidak
senang, makan daging atau terjadi pada binatang
herbivora.

Kematian sel dan nekrosis fokal sebagai akibat replikasi


takizoit menginduksi respon inflamasi mononukleus di
semua jaringan atau sel yang khas terinfeksi. Takizoit
jarang terlihat pada pewarnaan histopatologik rutin lesi
inflamasi. Namun, pewamaan imunofluoresensi dengan
antibodi spesifik antigen parasit dapat menampakkan
organisme atau antigen. Sebaliknya, kista yang
mengandung bradizoit hanya menyebabkan inflamasi pada
tahap awal perkembangan. Saat kista mencapai maturitas,
proses inflamasi tidak dapat terdeteksi lagi, dan kista
menetap di otak sampai mengalami ruptur.
Kelenjar Getah Bening (KGB)
Selama terjadinya infeksi akut, biopsi KGB menunjukkan
gambaran khas termasuk hiperplasia folikular dan kluster
tidak beraturan makrofag jaringan dengan sitoplasma
eosinofilik. Granuloma jarang ditemukan. Meski takizoit
biasanya tidak terlihat, mereka dapat terlihat dengan
subinokulasijaringan terinfeksi ke mencit atau dengan PCR.
Mata
Pada mata, infiltrat monosit, limfosit, dan sel plasma dapat
menghasilkan lesi uni atau multifokal. Lesi granulomatosa
dan korioretinitis dapat dilihat di bilik mata belakang
mengikuti kejadian retinitis nekrotik akut. Komplikasi
infeksi lainnya termasuk iridosiklitis,katarak, dan glaukoma.

SSP
Jika SSP terlibat, dapat terjadi meningoensefalitis lokal
maupun difus dengan ciri khas nekrosis dan nodul
mikroglia. Ensefalitis nekrotikans pa& pasien tanpa AIDS
memiliki ciri khas lesi difus berukuran kecil denganperivascular cufJing pada daerah berdekatan. Pada pasien AIDS,
selain monosit, limfosit, dan sel plasma dapat pula
ditemukan leukosit PMN. Kista mengandung bradizoit
sering ditemukan bersebelahan dengan perbatasan
jaringan nekrotik.

TROPIK INFEKSI

Paru
Di antara pasien AIDS yang meninggal akibat
toksoplasmosis, sekitar 40-70% memiliki keterlibatan pada
jantung dan pprunya. Pneumonitis interstisial dapat terjadi
pada neonatus dan pasien imunokompromais. Tampak
penebalan dan edema septum alveolus yang terinfiltrasi
dengan sel monondcleus dan sel plasma. Inflamasi ini dapat
meluas ke dinding endotel. Takizoit dan kista yang
mengandung bradizoit ditemukan pada membran alveolus. Bronkopneumonia superimposed dapat disebabkan
oleh mikroba lain.
Jantung
Kista dan parasit yang mengalami agregasi di otot jantung
ditemukan pada pasien AIDS yang meninggal akibat
toksoplasmosis.Nekrosis fokal yang dikelilingi sel lnflamasi
berhubungan dengan terjadinya nekrosis' hialin dan
kekacauan struktur sel rniokardium. Perikarditis terjadi pada
beberapa pasien.
Lain-lain
Otot lurik, pankreas, lambung, dan ginjal pasien AIDS dapat
terlibat disertai nekrosis, invasi sel inflamasi, dan
ditemukannya takizoit pada pewarnaan rutin (jarang). Lesi
nekrosis besar dapat menyebabkan destruksi jaringan
secara langsung. Efek sekunder infeksi akut organ-organ
tersebut antara lain pankreatitis, miositis, dan
glomerulonefritis.

GAMBARAN KLlNlS
Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit
memasuki sel atau difagositosis. Sebagian parasit mati
setelah difagositosis,sebagian lain berkembang biak dalam
sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang selsel lain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan
limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen
ke seluruh badan mudah terjadi. Parasitemia berlangsung
selama beberapa minggu. T gondii dapat menyerang
semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah
merah (tidak berinti).
Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan
dapat ditemukan di berbagai alat dan jaringan, mungkin
untuk seurnur hidup. Kerusakan yang terjadi pada jaringan
tubuh, tergantung pada: 1). umur, pada bayi kerusakan
lebih berat daripada orang dewasa; 2). virulensi strain
Toksoplasma, 3). jumlah parasit, dan 4). organ yang
diserang.
Lesi pa& susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih
berat dan permanen, oleh karena jaringan ini tidak
mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Kelainan
pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang disertai
dengan kalsifikasi. Penyumbatan akuaduktus Sylvii oleh

karena ependimitis mengakibatkan hidrosefaluspada bayi.


Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan
fokal dengan edema dan infiltrasi leukosit yang dapat
menyebabkan kerusakan total dan pada proses
penyembuhan menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina
dan koroid, disertai pigmentasi. Di otot jantung dan otot
bergaris dapat ditemukan T gondii tanpa menimbulkan
peradangan. Di alat tubuh lainnya, seperti limpa dan hati,
parasit ini lebih jarang ditemukan.
Untuk kemudahan dalam penanganan klinis,
toksoplasmosis dapat dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu :
1). Infeksi pada pasien imunokompeten (didapatl
acquired, baru dan kronik); 2). Infeksi pada pasien
imunokompromais (didapat dan reaktifitas); 3). Infeksi mata
(okular); 4). Infeksi kongenital.
lnfeksi Akut pada Pasien lmunokompeten
Pada orang dewasa hanya 10-20% kasus toksoplasmosis
yang menunjukkan gejala. Sisanya asimtomatik dan tidak
sampai menimbulkan gejala konstitusional. Tersering
adalah limfadenopati leher, tetapi mungkinjuga didapatkan
pembesaran getah bening mulut atau pembesaran satu
gugus kelenjar. Kelenjar-kelenjar biasanya terpisah atau
tersebar, ukurannya jarang lebih besar dari 3 cm, tidak
nyeri, kekenyalannya bervariasi dan tidak bernanah.
Adenopati kelenjar mesentrial atau retroperitoneal dapat
menyebabkan nyeri abdomen.
Gejala dan tanda-tanda berikutnya yang mungkin
dijurnpai adalah demam, malaise, keringat malam, nyeri otot,
sakit tenggorok, eritema makulopapular, hepatomegali,
splenomegali. Gambaran klinis umum seperti yang
disebabkan infeksi virus mungkin juga dijumpai.
Korioretinitis dapat terjadi pada infeksi akut yang baru,
biasanya unilateral. Berbeda dengan korioretinitis bilateral
pada toksoplasmosis kongenital. Perjalanan penyakit pada
pasien yang imunokompeten seperti yang diterangkan
terdahulu bersifat membatasi diri (selflimiting). Gejalagejala bila ada, menghilang dalam beberapa minggu atau
bulan dan jarang di atas 12 bulan.
Limfadenopati dapat bertambah atau menyusut atau
menetap &lam waktu lebih dari satu tahun. Pada orang
yang kelihatannya sehat,jarang sekali penyakit ini menjadi
terbuka atau meluas mengancam maut. Karena manifestasi
klinis toksoplasmosis tidak khas, diagnosis banding
limfadenopati yang perlu diperhatikan antara lain
tuberkulosis, limfoma, mononukleosis infeksiosa, infeksi
virus sitomegalo, penyakit gigitan kucing (cat bite fever,
tularemia), penyakit cakaran kucing (cat scratch fever),
sarkoidosis, dan sebagainya.
Toksoplamosis yang melibatkan banyak organ tubuh
dapat menyerupai gambaran penyakit hepatitis,
miokarditis, polimiositis dengan penyebab lain atau demam
berkepanjangan yang tidak diketahui sebabnya (F.U.0).
Amat disayangkan bahwa limfadenopati kurang
banyak diingat sebagai diagnosis banding, padahal

Oleh karena itu infeksi oportunistik seperti Toxoplasma


gondii mudah menyerang penderita HIVIAIDS yang tidak
mendapatkan terapi antiretroviral yang efektif. Imunitas
seluler menjadi sangat penting dalam mengontrol infeksi
Toksoplasma dengan bantuan dari imunitas humoral.
Interferon gamma dan Interleukin-12 (IL- 12) merupakan
substansi pertahanan tubuh yang sangat penting untuk
menghadapi infeksi.
Interferon gamma menstimulasi aktivitas anti Tgondii,
tidak hanya makrofag tetapi juga sel non fagosit. Produksi
Interferon gamma dan IL- 12 distimulasi oleh CD 154
(diekspresikan pada sel CD4 yang teraktivasi) yang
bertindak dengan menstimulasi sel dendritik dan makrofag
untuk memproduksi IL-12 dan produksi Interferon gamma
oleh sel T.
Pada pasien dengan demam yang berkepanjangan dan
tubuh yang terasa lemah terdapat limfositosis,peningkatan
sel T supresor dan penurunan ratio sel T helper-sel T
supresor. Pada pasien ini memiliki jumlah sel T helper yang
lebih sedikit. Pada pasien dengan infeksi yang berat terjadi
penurunan yang sangat drastis jumlah sel T helper dan
ratio sel T helper dibanding dengan sel T supresor.
Mekanisme timbulnya infeksi oportunistik dalam ha1 ini
Toxoplasma gondii pada pasien HIVIAIDS sifatnya
multipel. Mekanisme ini termasuk penurunan kadar sel
CD4, gangguan produksi IL-12 dan interferon gamma, serta
gangguan fungsi limfosit T sitotoksik. Fungsi dan jumlah
sel pertahanan tubuh pada pasien HIVIAIDS terutama
IL- 12, interferon gamma, serta sel CD154 yang menurun
sebagai respons terhadap Toxoplasma gondii. Defisiensi
sistem imun ini memegang peranan dalarn timbulnya infeksi
Toxoplasma gondii.
Toxoplasma gondii dapat menular ke manusia melalui
beberapa rute, yaitu:
pada toksoplasmosis kongenital transmisi
Toksoplasma kepada janin terjadi in utero melalui
plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu ia
hamil
pada toksoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi, bila
makan daging mentah atau kurang matang (misalnya
sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan
atau takizoit Toksoplasma. Pada orang yang tidak makan
daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang
dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan.
infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang
yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi
dengan T. gondii, melalui jarum suntik dan alat
laboratorium lain yang terkontarninasi dengan T gondii.
Wanita hamil tidak dianjurkan untuk bekerja dengan
T. gondii yang hidup. Infeksi dengan T. gondii juga
pernah terjadi waktu mengerjakan autopsi.
infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari
donor yang menderita toksoplasmosis laten.
transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan
infeksi.

Walaupun makan daging kurang matang merupakan


cara transmisi yang penting untuk T. gondii, transmisi
melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat
mengeluarkan sampai 10juta butir ookista sehari selama
2 minggu. Ookista menjadi matang dalam waktu 1-5 hari
dan dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang panas
dan lembab. Ookista mati pada suhu 45"-55"C, juga mati
bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, amonia,
atau larutan iodium. Transmisi ~nelaluibentuk ookista
menunjukkan infeksi T. gondii pada orang yang tidak
senang, makan daging atau terjadi pada binatang
herbivora.

Kematian sel dan nekrosis fokal sebagai akibat replikasi


takizoit menginduksi respon inflamasi mononukleus di
semua jaringan atau sel yang khas terinfeksi. Takizoit
jarang terlihat pada pewarnaan histopatologik rutin lesi
inflamasi. Namun, pewarnaan imunofluoresensi dengan
antibodi spesifik antigen parasit dapat menampakkan
organisme atau antigen. Sebaliknya, kista yang
mengandung bradizoit hanya menyebabkan inflamasi pada
tahap awal perkembangan. Saat kista mencapai maturitas,
proses inflamasi tidak dapat terdeteksi lagi, dan kista
menetap di otak sampai mengalami ruptur.
Kelenjar Getah Bening (KGB)
Selama terjadinya infeksi akut, biopsi KGB menunjukkan
gambaran khas temasuk hiperplasia folikular dan kluster
tidak beraturan makrofag jaringan dengan sitoplasma
eosinofilik. Granuloma jarang ditemukan. Meski takizoit.
biasanya tidak terlihat, mereka dapat terlihat dengan
subinokulasijaringan terinfeksi ke mencit atau dengan PCR.
Mata
Pada mata, infiltrat monosit, limfosit, dan sel plasma dapat
menghasilkan lesi uni atau multifokal. Lesi granulomatosa
dan korioretinitis dapat dilihht di bilik mata belakang
mengikuti kejadian retinitis nekrotik akut. Komplikasi
infeksi lainnya termasuk iridosiklitis, katarak, dan glaukoma.

SSP
Jika SSP terlibat, dapat terjadi meningoensefalitis lokal
maupun difus dengan ciri khas nekrosis dan nodul
mikroglia. Ensefalitis nekrotikans pada pasien tanpa AIDS
memiliki ciri khas lesi difus berukuran kecil denganperivascular cuffing pada daerah berdekatan. Pada pasien AIDS,
selain monosit, limfosit, dan sel plasma dapat pula
ditemukan leukosit PMN. Kista mengandung bradizoit
sering ditemukan bersebelahan dengan perbatasan
jaringan nekrotik.

Paru
Di antara pasien AIDS yang meninggal akibat
toksoplasmosis, sekitar 40-70% memiliki keterlibatan pada
jantung dan p w y a . Pneurnonitis interstisial dapat terjadi
pada neonatus dan pasien imunokompromais. Tampak
penebalan dan edema septum alveolus yang terinfiltrasi
dengan sel mononukleus clan sel plasma. Inflamasi ini dapat
meluas ke dinding endotel. Takizoit dan kista yang
mengandung bradizoit ditemukan pa4a membran alveolus. Bronkopneumonia superimposed dapat disebabkan
oleh mikroba lain.
Jantung
Kista dan parasit yang mengalami agregasi di otot jantung
ditemukan pada pasien AIDS yang meninggal akibat
toksoplasmosis. Nekrosis fokal yang dikelilingi sel inflarnasi
berhubungan dengan terjadinya nekrosis hialin dan
kekacauan struktur sel miokardium. Perikarditis terjadi pada
beberapa pasien.
Lain-lain
Otot lurik, pankreas, lambung, clan ginjal pasien AIDS dapat
terlibat disertai nekrosis, invasi sel inflamasi, dan
ditemukannyatakizoit pada pewarnaan rutin (jarang). Lesi
nekrosis besar dapat menyebabkan destruksi jaringan
secara langsung. Efek sekunder infeksi akut organ-organ
tersebut antara lain pankreatitis, miositis, dan
glomerulonefiitis.

GAMBARAN KLlNlS
Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit
memasuki sel atau difagositosis. Sebagian parasit mati
setelah difagositosis, sebagian lain berkembang biak dalam
sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang selsel lain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan
limfosit, makapenyebaran secara hematogen dan limfogen
ke seluruh badan mudah terjadi. Parasitemia berlangsung
selama beberapa minggu. T gondii dapat menyerang
semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah
merah (tidakberinti).
Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan
dapat ditemukan di berbagai alat dan jaringan, mungkin
untuk seumur hidup. Kemsakan yang terjadi pada jaringan
tubuh, tergantung pada: 1). umur, pada bayi kemsakan
lebih berat daripada orang dewasa; 2). virulensi strain
Toksoplasma, 3). jumlah parasit, dan 4). organ yang
diserang.
Lesi pa& susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih
berat dan permanen, oleh karena jaringan ini tidak
mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Kelainan
pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang disertai
dengan kalsifikasi. Penyumbatan akuaduktus Sylvii oleh

karena ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi.


Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan
fokal dengan edema dan infiltrasi leukosit yang dapat
menyebabkan kerusakan total dan pada proses
penyembuhan menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina
dan koroid, disertai pigmentasi. Di otot jantung dan otot
bergaris dapat ditemukan T gondii tanpa menimbulkan
peradangan. Di alat tubuh lainnya, seperti limpa dan hati,
parasit ini lebih jarang ditemukan.
Untuk kemudahan dalam penanganan klinis,
toksoplasmosis dapat dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu :
1). Infeksi pada pasien imunokompeten (didapatl
acquired, baru dan kronik); 2). Infeksi pada pasien
imunokompromais (didapat dan reaktifitas); 3). Infeksi mata
(okular);4). Infeksi kongenital.
lnfeksi Akut pada Pasien lmunokompeten
Pada orang dewasa hanya 10-20% kasus toksoplasmosis
yang menunjukkan gejala. Sisanya asimtomatik dan tidak
sampai menimbulkan gejala konstitusional. Tersering
adalah limfadenopati leher, tetapi mungkin juga didapatkan
pembesaran getah bening mulut atau pembesaran satu
gugus kelenjar. Kelenjar-kelenjar biasanya terpisah atau
tersebar, ukurannya jarang lebih besar dari 3 cm, tidak
nyeri, kekenyalannya bervariasi dan tidak bernanah.
Adenopati kelenjar mesentrial atau retroperitoneal dapat
menyebabkan nyeri abdomen.
Gejala dan tanda-tanda berikutnya yang mungkin
dijumpai adalah demam, malaise, keringat rnalam, nyeri otot,
sakit tenggorok, eritema makulopapular, hepatomegali,
splenomegali. Gambaran klinis umum seperti yang
disebabkan infeksi virus mungkin juga dijumpai.
Korioretinitis dapat terjadi pada infeksi akut yang baru,
biasanya unilateral. Berbeda dengan korioretinitis bilateral
pada toksoplasmosiskongenital. Perjalanan penyakit pada
pasien yang imunokompeten seperti yang diterangkan
terdahulu bersifat membatasi diri (selflimiting). Gejalagejala bila ada, menghilang dalam beberapa minggu atau
bulan dan jarang di atas 12 bulan.
Limfadenopati dapat bertambah atau menyusut atau
menetap dalam waktu lebih dari satu tahun. Pada orang
yang kelihatannya sehat,jarang sekali penyakit ini menjadi
terbuka atau meluas mengancam maut. Karenamanifestasi
klinis toksoplasmosis tidak khas, diagnosis banding
limfadenopati yang perlu diperhatikan antara lain
tuberkulosis, limfoma, mononukleosis infeksiosa, infeksi
virus sitomegalo, penyakit gigitan kucing (cat bite fever,
tularemia), penyakit cakaran kucing (cat scratch fever),
sarkoidosis, dan sebagainya.
Toksoplamosis yang melibatkan banyak organ tubuh
dapat menyerupai gambaran penyakit hepatitis,
miokarditis,polimiositis dengan penyebab lain atau demam
berkepanjangan yang tidak diketahui sebabnya (F.U.0).
Amat disayangkan bahwa limfadenopati kurang
banyak diingat sebagai diagnosis banding, padahal

toksoplasmosis merupakan 7- 10% dari limfadenopati yang


klinis jelas. Titer tes serologi untuk diagnosis
toksoplasmosis akut biasanya didapatkan sesudah biopsi
kelenjar yang dicurigai sebagai toksoplasmosis.
lnfeksi Akut Toksoplasmosis pada Pasien
lmunokompromais
Pasien imunokompromais mempunyai risiko tinggi untuk
mengidap toksoplasmosis yang berat dan sering fatal
akibat infeksi baru maupun reaktifitas. Penyakitnya dapat
berkembang dalam berbagai bentuk penyakit susunan
saraf pusat seperti ensefalitis, meningoensefalitis atau
space occupiying lesion (SOL). Selanjutnya dapat pula
miokarditis atau pneumonitis, pada transplantasi jantung
toksoplasmosis timbul pada pasien seronegatif yang
menerima jantung dari donor yang seropositif, dan
nlanifestasinya dapat menyerupai rejeksi organ seperti
yang terbukti dengan biopsi endomiokard. Penemuan lain
ialah bahwa pasien yang menerima jantung dari donor
seropositif menunjukkan titer antibodi IgM dan IgG yang
meningkat sesudah transplantasi. Pada pasien dengan
transplantasi sumsum tulang, toksoplasmosis timbul
sebagai akibat reaktivitas infeksi yang laten.
Pada pasien HIV, manifestasi klinis terjadi bila jumlah
limfosit CD4 < 100lml. Manifestasi klinis yang tersering
pada pasien HIVIAIDS adalah ensefalitis. Ensefalitis terjadi
pada sekitar 80% kasus. Rabaud et al. menunjukkan bahwa
selain otak terdapat beberapa lokasi lain yang sering
terkena, yaitu mata (50%), paru-paru (26%), darah tepi
(3%), jantung (3%), sumsum tulang (3%), dan kandung
kemih (1%).
Pada pasien dengan ET, gejala-gejala yang sering
terjadi adalah gangguan mental (75%), defisit neurologik
(70%), sakit kepala (50%),demam (45%),tubuh terasa lemah
serta gangguan nervus kranialis. Gejala lain yang juga
sering terdapat yaitu gejala parkinson, focal dystonia,
rubral tremor, hemikorea-hemibalismus, dan gangguan
pada batang otak. Medula spinalis juga dapat terkena
dengan gejala seperti gangguan motorik dan sensorik di
daerah tungkai, gangguan berkemih d m defekasi. Onset
dari gejala ini biasanya subakut.
Pneumonitis akibat Toxoplasma gondii juga makin
meningkat akibat kurangnya penggunaan obat
antiretroviral serta profilaksis pengobatan toksoplasma
pada penderita HIVIAIDS. Pneumonitis ini biasanya
terjadi pada pasien dengan gejala AIDS yang sudah
lanjut dengan gejala demam yang berkepanjangan dengan
batuk dan sesak nafas. Gejala klinis tersebut kadang
susah dibedakan dengan pneumonia akibat Pneumocystis
carinii dengan angka kematian sekitar 35% meski sudah
diterapi dengan baik.
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gangguan
pada mata. Biasanya timbul korioretinitis dengan gejala
seperti penurunan tajam penglihatan, rasa nyeri pada mata,

melihat benda berterbangan, serta fotofobia. Pada


pemeriksaan funduskopik terdapat daerah nekrosis yang
multifokal atau bilateral. Keterlibatann. Optikus tejadi pada
10% kasus.
Gejala klinis lain yang jarang timbul pada pasien HIVI
AIDS dengan toksoplasmosis yaitu panhipopituari dan
diabetes insipidus, gangguan gastrointestinal dengan
nyeri perut, asites, serta diare. Gaga1 hati akut dan
gangguan muskuloskeletal juga dapat timbul. Kegagalan
multiorgan dapat terjadi dengan manifestasi klinis gaga1
nafas akut serta gangguan hemodinamik yang menyerupai
syok sepsis.
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan pembesaran
KGB yang kenyal, tidak nyeri, berkonfluens, clan paling
sering timbul di daerah servikal. Pemeriksaan fisik lain
biasanya menunjukkan low grade fever, hepatosplenomegali d m timbul rush pada kulit. Pada pemeriksaan
hduskopik menunjukkan multipleyellowish white,bercak
menyerupai wol dengan batas yang tidak jelas di daerah
kutub posterior. Pada ET pemeriksaan fisik yang mendukung
adalah gangguan status mental, kejang, kelemahan otot,
ganggguan nervus kranialis, tanda-tanda gangguan
serebelum,meningismus, serta movement disorder.
Sebenarnya dalam klinik dewasa, toksoplasmosis
ini sangat underdiagnosed pada pasien-pasien
imunokompromais. Hal ini terlihat dari banyaknya kasuskasus yang terdiagnosis pada beberapa institusi, besarnya
jumlah kasus positif pada laporan-laporan otopsi, dan
dari persentase toksoplasma yang non spesifik
dan beraneka ragam ini. Infeksi akut susunan saraf
pusat hams dibedakan dengan meningoensefalitis oleh
penyebab lainnya seperti herpes simpleks, fungus dan
tuberkulosis, abses otak, lupus, dan sebagainya. Pada
pasien imunokompromais, bila ditemukan pleiositosis
mononuklear dengan kadar protein tinggi, tanda-tanda
adanya bakteri atau fungus perlu dipertimbangkanadanya
toksoplasmosis.
Toksoplasmosis Mata Pada Orang Dewasa
Infeksi toksoplasma menyebabkan korioretinitis. Bagian
terbesar kasus-kasus korioretinitis ini merupakan akibat
infeksi kongenital. Pasien-pasien ini biasanya tidak
menunjukkan gejala-gejalasampai usia lanjut. Korioretinitis
pada infeksi baru bersifat khas unilateral, sedang
korioretinitis yang terdiagnosis waktu lahir khasnya bilateral. Gejala-gejala korioretinitis akut adalah :penglihatan
kabur, skotoma, nyeri, fotofobia dan epifora. Gangguan
atau kehilangan sentralterjadi bila terkena rnakula. Dengan
membaiknya peradangan, visus pun membaik, namun
sering tidak sempurna. Panuveitis dapat menyertai
korioretinitis. Papilitis dapat ditemukan apabila ada
kelainan susunan saraf pusat yang jelas. Diagnosis
banding adalah tuberkulosis, sifilis, lepra, atau
histoplasmosis.

lnfeksi Kongenital

antaranya memiliki IgM positif saat diperiksa dalam 4 bulan


setelah onset limfadenopati. 22% di antaranya tetap positif
saat diperiksa lebih dari 12 tahun setelah onset. Pada
beberapa kasus, IgM reaktif tidak dapat terdeteksi.
Anti-IgE immunosorbent agglutination assay diduga
merupakan pemeriksaan yang lebih akurat untuk
mendeteksi toksoplasmosis akut. Namun, pemeriksaan ini
masih perlu penelitian lebih lanjut.
Pemeriksaan CT Scan otak pada pasien dengan
ensefalitis toksoplasma (ET) menunjukkan gambaran
menyerupai cincin yang multipel pada 7040% kasus. Pada
pasien dengan AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG
Toxoplasnza gondii dan gambaran cincin yang multipel
pada CT Scan sekitar 80% merupakan TE. Lesi tersebut
terutama berada pada ganglia basal dan corticomedullary
junction.
MRI merupakan prosedur diagnostik yang lebih baik
dari CT Scan dan sering menunjukkan lesi-lesi yang tidak
terdeteksi dengan CT Scan. Oleh karena itu MRI merupakan
prosedur baku bila memungkinkan terutama bila pada CT
Scan menunjukkan gambaran lesi tunggal. Namun
gambaran yang terdapat pada MRI dan CT Scan tidak
patognomonik untuk ET. Salah satu diagnosis banding
yang penting adalah limfoma dengan lesi multipel pada
40% kasus.
Pengapman Polymerase Chain Reaction (PCR) dalarn
mendeteksi Toxoplasma gondii telah digunakan dewasa
ini. Dengan teknik ini dapat dibuat diagnosis dini yang
cepat dan tepat untuk toksoplasmosis kongenital prenatal dan postnatal dan infeksi toksop!asmosis akut pada
wanita hamil dan penderita imunokompromais. Spesimen
tubuh yang digunakan adalah cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal,cairan amnion, dan darah. Jose E Vidal et a1
mendapatkan bahwa PCR memiliki sensitivitas yang tinggi
yaitu 100% dengan spesifitas 94,4%. Lamoril J et a1
menunjukkan bahwa PCR memiliki spesifitas yang rendah
(16%) bila bahan yang diambil berasal dari darah. PCR
juga menjadi negatif apabila sebelum dilakukan PCR pasien
telah diberikan pengobatan.

Toksoplasmosis yang didapat dalam kehamilan dapat


bersifat asimtomatik atau dapat memberikan gejala setelah
lahir. Risiko toksoplasmosis kongenital bergantung pada
saat didapatnya infeksi akut ibu. Transmisi T gondii
meningkat seiring dengan usia kehamilan (15-25% dalam
trimester I, 30-54% dalam trimester 11, 60-65% dalam
trimester 111). Sebaliknya, derajat keparahan penyakit
kongenital meningkat jika infeksi terjadi pada awal
kehamilan. Tanda-tanda infeksi saat persalinan ditemukan
pada 21-28% dari mereka yang terinfeksi pada trimester 11,
dan kurang dari 11% pada trimester 111.Ringkasnya, 10%
mengalami infeksi berat.
Manifestasi klinis toksoplasmosis kongenital termasuk
strabismus, korioretinitis, ensefalitis, mikrosefalus,
hidrosefalus, retardasi pslkomotor, kejang, anemia, ikterus,
hipotemia, trombositopenia, diare, dan pneumonitis. Trias
karakteristik yang terdiri dari hidrosefalus, kalsifikasi
serebral, dan korioretinitis berakibat retardasi mental,
epilepsi, dan gangguan penglihatan. Hal ini merupakan
bentuk ekstrim dan paling berat dari penyakit mi.
Korioretinitis pada pasien imunokompeten hampir
selalu akibat sekunder dari infeksi kongenital. Diperkirakan
213 individu dengan infeksi kongenital asimtomatik
mengalami korioretinitis dalam hidupnya (biasanya dalam
4 dekade). Lebih dari 30% mengalami relaps setelah terapi.

DIAGNOSIS

Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dipastikan bila


menemukan takizoit &lam biopsi otak atau sumsum tulang,
cairan serebrospinal dan ventrikel. Tetapi dengan cara
pulasan yang biasa takizoit sukar ditemukan dalam
spesimen ini. Isolasi parasit dapat dilakukan dengan
inokulasi pada mencit, tetapi ha1 ini memerlukan waktu
lama. Isolasi parasit dari cairan badan menunjukkan adanya
infeksi akut, tetapi isolasi darijaringan hanya menunjukkan
adanya kista dan tidak memastikan adanya infeksi akut.
Tes serologi dapat menunjang diagnosis
toksoplasmosis. Tes yang dapat dipakai adalah tes warna
Sabin Feldman (Sabin-Feldman dye test) dan tes
hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi
antibodi IgG, tes zat anti fluoresen tidak langsung (IFA),
dan tes ELISA untuk deteksi antibodi IgG dan IgM. Tes
Sabin-Feldman didasarkan oleh rupturnya T gondii yang
hidup dengan antibodi spesifik dan komplemen di dalam
serum yang diperiksa. Pemeriksaan ini masih merupakan
rujukanpemeriksaan serologi.Hasil serologi menjadi positif
dalam 2 minggu setelah infeksi, dan menurun setelah 1-2
tahun. .
Serologi IgG banyak digunakan untuk infeksi lama.
Awalnya IgM muncul terlebih dahulu sebelum IgG,
kemudian menurun cepat, dan merupakan petanda infeksi
dini. Pada kasus limfadenopati toksoplasmosis, 90% di

PENATALAKSANAAN

,.

Obat-obat yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh


bentuk takizoit T gondii dan tidak membasmi bentuk
kistanya, sehingga obat-obat ini dapat memberantas infeksi
akut, tetapi tidak dapat menghilangkan infeksi menahun,
yang dapat menjadi aktif kembali.
Pirimetamin dan sulfonamid bekerja secara sinergistik,
maka dipakai sebagai kombinasi selama 3 minggu atau
sebulan. Pirimetamin menekan hemopoiesis dan dapat
menyebabkan trombositopenia dan leukopenia. Untuk
mencegah efek sampingan ini, dapat ditambahkan asam
falinik atau ragi. Pirimetamin bersifat teratogeruk,maka obat
ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil.

Pirimetamin diberikan dengan dosis 50-75 mg sehari


untuk dewasa selam 3 hari dan kemudian dikurangi menjadi
25 mg sehari (0,5- 1mg/kgBB/hari) selama beberapa minggu
pada penyakit berat. Karena half-lifenya adalah 4-5 hari,
pirimetamin dapat diberikan 2 kalihari atau 3-4 kali sekali.
Asam folinik diberikan 2-4 mg sehari. Sulfonamide dapat
menyebabkan trombositopenia dan hematuria, diberikan
dengan dosis 50- 100 mglkgBB1hari selama beberapa
minggu atau bulan.
Spiramisin adalah antibiotika makrolid, yang tidak
menembus plasenta, tetapi ditemukan dengan konsentrasi
tinggi di plasenta. Spiramisin diberikan dengan dosis 100
mgkgBBhari selama 30-45 hari. Obat ini dapat diberikan
pada wanita hamil yang mendapat infeksi primer, sebagai
obat profilaktik untuk mencegah transmisi T. gondii ke janin
dalam kandungannya.
Klindamisin efektif untuk pengobatan toksoplasmosis,
tetapi dapat menyebabkan kolitis pseudomembranosa atau
kolitis ulserativa, maka tidak dianjurkan untuk pengobatan
mtin pada bayi dan wanita hamil. Kortikosteroid digunakan
untuk mengurangi peradangan pada mata, tetapi tidak
dapat diberikan sebagai obat tunggal.
Obat makrolid lain yang efektif terhadap T. gondii
adalah klaritromisin dan azitromisin yang diberikan bersama
pirimetamin pada penderita AIDS dengan ensefalitis
toksoplasma. Obat yang bam adalah hidroksinaftokuinon
(atovaquone) yang bila dikombinasi dengan sulfadiazin
atau obat lain yang aktif terhadap I: gondii, dapat
membunuh kista jaringan pada mencit. Tetapi hasil
penelitian pada manusia masih ditunggu. Toksoplasmosis
akuisita yang asimtomatik tidak perlu diberikan
pengobatan. Penderita imunokompromais (AIDS,
keganasan) yang terjangkit toksoplasmosis akut hams
diberi pengobatan.
lnfeksi pada Kehamilan dan Kongenital
Pada toksoplasmosis kehamilan, pengobatan dapat
ditujukan untuk ibu, janin, atau bayi baru lahir. Spiramisin
merupakan antibiotik makrolid yang terkonsentrasi di
plasenta, sehingga mengurangi infeksi plasenta sebesar
60%. Obat ini tidak secara terus-menems melalui barier
plasenta dan digunakan untuk mengurangi transmisi
vertikal. Spiramisin 3 g/hari dalam dosis terbagi 3 selama 3
minggu diberikan pada wanita hamil yang mengalami
infeksi akut sejak diagnosis ditegakkan hingga kelahiran,
kecuali terbukti terjadi infeksi pada janin. Pada kasus
demikian, regimen terapi diubah ke sulfadiazin 4 g dan
pirimetamin 25 mg, serta asam folat 15 mghari hingga
persalinan. Risiko mengidap penyakit serius pada
kehamilan dini membawa risiko efek teratogenik antifolat.
Semua bayi baru lahir yang terinfeksi hams mendapat
pengobatan anti I: gondii (sulfadiazin 50 mglkg 2 kali per
hari dan pirimetamin 1 mg/kgBBhari, serta asam folat 5
mgkgBBhari selama sedikitnya 6 bulan). Belum ada
pengobatan yang menurunkan angka kejadian

korioretinitis.
Untuk memastikan terjadinya infeksi janin, diperlukan
pemeriksaan USG dan cairan amnion untuk pemeriksaan
PCR dan kultur I: gondii. Pengambilan darahjanin dengan
kordosentesis telah sering digunakan untuk mendeteksi
antibodi janin dan kultur I: gondii. Pengakhiran kehamilan
biasanya ditawarkan pada wanita dengan serokonversi
dalam 8 minggu pertama kehamilan dan mereka yang
mengalami infeksi dalam 22 minggu pertama jika infeksi
janin terbukti. Pendekatan yang lebih konservatif untuk
menganjurkan aborsi adalah hanya jika pada USG didapat
hidrosefalus, meski hanya kasus dalam presentasi kecil
mengalami gangguan neurologik pada saat lahir.
lnfeksi pada Pasien lmunokompromais
Pasien AIDS hams diterapi untuk toksoplasmosisnya,
karena pada pasien imunokompromais infeksi dapat
menjadi fatal bila tidak diobati. Regimen untuk pasien
dengan ensefalitis adalah pirimetamin (dosis awa1200 mg,
lanjutan 50-75 mghari) dan sulfadiazin (4-6 ghari dosis
terbagi 4) selama 4-6 minggu sampai tampak perbaikan
radiologik. Leucovorin (calcium folinate, 10-15 mghari)
diberikan untuk pencegahan toksisitas sumsum tulang
berkaitan dengan pirimetamin. Baik pirimetamin maupun
sulfadiazin melewati sawar darah-otak. Komplikasi obat
ini antara lain gangguan hematologik, kristaluria,
hematuria, batu ginjal radiolusen, dan nefrotoksisitas.
Pirimetamin dan sulfadiazin hanya aktif untuk takizoit,
sehingga pada pasien imunokompromais terapi awal hams
diberikan selama 4-6 minggu. Merekajuga hams mendapat
terapi supresif seumur hidup dengan pirimetamin (25-50
mglhari) dan sulfadiazin (2-4 ghari). Jika sulfadiazintidak
dapat ditoleransi, kombinasi pirimetamin (75 mghari) dan
klindamisin (450 mg 3 kali per hari) dapat digunakan.
Dapsone (diaminodiphenylsulfone) merupakan
alternatif efektif pengganti sulfadiazin karena memiliki
waktu paruh lebih lama dan berkurangnya toksisitas.
Spiramisin diberikan untuk mengurangi transmisi plasenta.
Klindamisin diabsorbsi baik oleh saluran cerna dan kadar
puncak dalam serum tercapai 1-2 jam setelah pemberian.
Kombinasi pirimetamin oral (25-75 mglhari) beserta
klindamisin intravena (1200-4800 mghari) terbukti efektif
untuk pasien AIDS dengan ensefalitistoksoplasmosis. Efek
samping klindamisin termasuk mual, muntah, netropenia,
ruam, dan kolitis pseudomembranosa.
Penelitian menunjukkan bahwa makrolid tunggal tidak
efektif, namun kombinasi pirimetamin dan klaritromisin
tampaknya efektif. Atovaquone (750 mg 3-4 kali per hari)
merupakan pilihan bagi mereka yang intoleransi obat lain.
Glukokortikoid dapat digunakan untuk terapi edema
intraserebral. Antikonvulsan kadang diperlukan untuk
mengatasi kejang, namun harus diperhatikan interaksi
potensial antara sulfadiazin dan fenitoin. Regimen
kotrimoksazol atau dapson beserta pirimetamin dengan

TROPIK llVFEKSl

leukovorip dapat mencegah perkembangan ensefalitispada


pasien HIV dengan seropositif I: gondii setelah jumlah
limfosit CD4 berkurang hingga mencapai 100/ul.

Toksoplasmosis pada pasien imunodefisiensi mempunyai


prognosis yang buruk.

REFERENSI
Toksoplasmosis dapat dicegah di tiga tingkatan yang
berbeda:
pencegahan infeksi primer
* pencegahan transmisi vertikal dalam penyakit kongenital
pencegahan penyakit pada individu yang imunokompromais
Untuk mencegah infeksi primer, pajanan parasit dapat
dikurangi dengan edukasi kesehatan. Faktor risiko utama
adalah makan daging belum matang Cjarang) dan hidup
bersama kucing. Kistajaringan dalam daging tidak infektif
lagi bila sudah dipanaskan sampai 66C atau diasap.
Setelah memegang daging mentah Cjagal, tukang masak),
sebaiknya tangan dicuci bersih dengan sabun. Makanan
hams ditutup rapat supaya tidak dijamah lalat atau lipas.
Sayur-mayur sebagai lalap hams dicuci bersih atau
dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya diberi makanan
matang dan dicegah berburu tikus dan burung.
Saat ini belum tersedia vaksin untuk mencegah
toksoplasmosis. Imunitas maternal akibat toksoplasmosis
yang diturunkan sebelum terjadi konsepsi melindungijanin
dari infeksi. Pasien imunokompromais yang mendapat
kotrimoksazol sebagai profilaksis untuk infeksi
pneumosistis juga terlindungi dari toksoplasmosis.
Serologi IgG untuk I: gondii hams dilakukan pasien
sebelum dilakukannya transplantasi organ. Transplantasi
organ padat dari donor seropositif ke resipien seronegatif
hams dihindari. Jika transplantasi seperti itu dilakukan,
maka resipien harus mendapat terapi anti I: gondii
setidaknya selama 2 bulan.
Individu dengan HIV dan yang memiliki seronegatif
hams dihindari dari pajanan dengan parasit. Skrining
maternal masih merupakan kontroversi. Skrining serologik
ditujukan untuk mendeteksi infeksi maternal akut. Namun,
kadang sulit untuk menentukan apakah benar terjadi infeksi
maternal akut dan janin. Saat diagnosis infeksi akut
ditegakkan pada wanita hamil, terapi anti T gondii dan
pemeriksaan lanjutan atas kemungkinan infeksi pada janin
diberikan, dan aborsi ditawarkan.

PROGNOSIS
Toksoplasma akut untuk pasien imunokompeten
mempunyai prognosis yang baik. Toksoplasmosis pada
bayi dan janin dapat berkembang menjadi retinokoroiditis.
Toksoplasmosis kronik asimtomatik dengan titer antibodi
yang persisten, umurnnya mempunyai prognosis yang baik
I
dan berhubungan erat dengan imunitas seseorang.

Carlos S Subauste. Toxoplasmosis and HIV. University of Cincinnati


College o f Medicine. HIV Insite. Knowledge Base
Chapter.January. 2004. Diakses dari www.hivinside.com pada
tanggal 16 September 2005.
Cohen 0 , Weissman D, Fauci AS. The immunopathogenesis of HIV
infection. In: Paul WE, ed. Fundamental Immunology. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1999:1455-1509.
Ezpinosa, Luis. Toxoplasmosis. In : HIV/AIDSPrimary Guide.
FloridaICarribean AIDS Education and Training Center. Florida.
USA. 2005; Chapter 11-section 6.
Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus (HIV): AIDS
and Related disorders. In: Braunwald, et.al (Eds). Hamson's Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw-Hill;
2001: 1852-1913.
Frenkel JK. Toxoplasmosis. Hunter's London, WB Saunders. 7 th ed
1991: 200-2
Ganda Husada S, Sutanto I. Kumpulan makalah Simposium Toxoplasmosis. 1990.
Gandahusada S. Toxoplasma gondii. Dalam: Parasitologi Kedokteran.
Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000: 153-161.
Jones JL, Hanson DL,Dworkin MS. Survailance for AIDS-defining
Oportunistic IIlnesses, 1992- 1997. MMWR CDC Surveil1 Summ.
1999. Apr;48(2): 1-22.
Jose E Vidal, Fabio A Colombo, Roberto Foccacia. PCR Assay Using
Cerebrospinal fluid for Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in
Brazilian AIDS Patient. Journal o f Clinical Microbiology.
October 2004. Vol. 42, No 10; p4765-4768.
Juwono R. Perkembangan diagnosis dan indikasi pengobatan
toksoplasmosis. Dalam Jotas : Alkatiri J, Akil Ham ed : Naskah
Lengkap KOPAPDI VII jilid 111. Ujung Pandang, Agustus 1987.p.
'
124-32.
Kasper LH. Toxoplasma Infection. In: Braunwald, et.al (Eds).
Harrison's Principles of Internal Medicine 15th ed. New York:
McGraw-Hill; 200 1: 1222-1226.
Lamoril J, Molina JM. Detection by PCR of Toxoplasma gondii in
blood in the Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in Patients with
AIDS. Journal Clinical Pathology. January. 1996. 49(1):89-92.
Mathew MJ, Chandy MJ. Central nervous system toxoplasmosis in
acquired immunodeficincy syndrome : An emerging disease in
India. Neurol India 1999; 47: 182-7.
Mcleod R. Remington, JS. Dalam : Hamson's Principles of Internal
Medicine 11th edition. New York. Mc. Grawhill. I988 : 791-7
Nelwan RHH, Kusharyono, Daldiyono, Soemarsono. Toxoplasmosis in Indonesia. Acta Med. Indones. 1975; 36.
Nicole and Manceauk. Toxoplasma. Dalam : Manson's Tropical
Disease. Ed Balliere-Tindal London, 17 th edition. 1980;
148-52, 886-7.
Rabaud C, May T, Amiel C. Extracerebral Toxoplasmosis in
Patients Infected with HIV. A French National Survey. Baltimore. 1994. November;73(6) :306-14.
Remington J S and Desmonts GS: Toxoplasmosis. Dalam Proc.
Symposium Bio Merieuk. Ed. Rhone-Puollenc, 187-201.
Spicer WJ. Sporozoa. In: Clinical Bacteriology, Mycology and
Parasitology. London: Churchill Livingstone; 2000.~: 72-3.

A. Guntur H.

INFEKSI DAN INFLAMASI


Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan
berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila
kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan
jaringan di sebut penyakit infeksi. ~ a d penyakit
a
infeksi
terjadijejas sehingga timbulah reaksi inflamasi. Meskipun
dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya
tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh.
Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau
dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala
sisternik.
Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua
bentuk jejas. Pada dasamya inflamasi adalah suatu reaksi
pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di tempat
jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini
terhadap agen penyebab jejas dan kejadian yang
berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar
dimungkinkan oleh produksi dan pelepasan berbagai
macam mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang
mengalami inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan
adalah sama.
Manifestasi klinik yang berupa inflamasi sistemik
disebut sistemic injlammation respons syndrome (SIRS).
Sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa sepsis
adalah SIRS dengan dugaan infeksi.

Definisi untuk sepsis dan gaga1 organ serta petunjuk


penggunaan terapi inovatif pada sepsis berdasarkan Bone
et al.
Systemic Injlammatory Response Syndrome adalah
pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria sebagai
berikut:

1.
2.
3.
4.

Suhu > 38 OC atau < 36 OC.


Denyut jantung > 90 denytimenit.
Respirasi >20/menit atau Pa CO, < 32 mrnHg.
Hitung leukosit > 12.000/mm3atau > 10% sel imatur
(band).

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang


diketahui (ditentukan dengan biakan positip terhadap
organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak hams
positip. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya
berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak hams terdapat
bakteriemia. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri
hidup dalam komponen cairan darah. Bakteriemia bersifat
sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada
permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi
teridentifikasi) atau seringkali sekunder terhadap fokus
infeks'i intravaskuler atau ekstravaskular.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan
disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi.
Kelainan h i p o p h s i meliputi ( tetapi tidak terbatas ) pada:
1. Asidosis laktat.
2. Oliguria.
3. Atau perubahan akut pada status mental.
Berdasarkan konferensi intemasionalpada tahun 200 1,
terdapat tambahan terhadap kriteria sebelumnya. Dimana
pada konferensi tahun 2001 menambahkan beberapa
kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang
terpenting adalah dengan memasukkan petanda
biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive
protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosa
sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari
suatu sistem tingkatan Predisposition, insult Infection,
Response, and Organ disfunction (PIRO) untuk
menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan
karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko
yang individual.

yang disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor/TNF) dan interleukin 1 (IL-I), IL-6 dan IL-8 yang
merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat
tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang
mengalami sepsis.

Gambar 1. Faktor predisposisi, infeksi, respons klinis, dan


disfungsi organ pada sepsis (PIRO) (Dikutip dari Levy MM, et al.
1256)

ETlOLOGl SEPSIS
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-)
dengan prosentase 60 sampai 70% kasus, yang
menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel
irnun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator
\
inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap
sepsis adalah lipopolisakarida(LPS). LPS atau endotoksin
glikoprotein kompleks merupakan komponen utama
membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang
peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang
terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggungjawab
terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci,
Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positip
lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka
kejadian 20 sampai 40% dari keseluruhan kasus. Selain itu
jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau
protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat
menyebabkan sepsis, walaupun jarang.
Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari
semua kuman, pemberian i f i s substansi ini pada binatang
akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin.
Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi
trombosit.
Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam
b a n , misalnya a-hemolisin (S. A m ) , E. Coli haemolisin
@. Coli) dapat merusak integritasmembran sel imun secara
langsung.
Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting
adalah LPS endotoksin gram negatip dan dinyatakan
sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung
mengaktifkan sistem irnun seluler dan humoral, yang dapat
inenimbulkanperkembangan gejala septikemia. LPS sendiri
tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang
pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab
terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida,

Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus


infeksijaringan sebagai sumber bakteriemia, ha1 ini disebut
sebagai bakteriaemia sekunder. Sepsis gram negatip
merupakan komensal normal dalam salwan gastrointestinal, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan,
seperti pada peritonitis setelah perforasi apendikal, atau
bisa berpindah dari perineum ke urethra atau kandung
kemih. Selainitu sepsis gram negatif fokus primernya dapat
berasal dari saluran genitourinarium, saluran empedu dan
saluran gastrointestinum. Sepsis gram positip biasanya
timbul dari infeksi M i t , saluran respirasi dan juga bisa
berasal dari luka terbuka, misalnya pada luka bakar.
Inflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap
berbagai macam stimulasi imunogen dari luar. Inflamasi
sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk
menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab.
Berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi
berbagai jenis mediator inflamasi termasuk berbagai
sitokin. Mediator inflamasi sangat komplek karena
melibatkan banyak sel dan mediator yang dapat
mempengaruhi satu sama lain.
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri
dalam sepsis. Masih banyak faktor lain (non sitokin) yang
sangat berperanan dalam menentukan perjalanan suatu
penyakit. Respon tubuh terhadap suatu patogen
melibatkan bermacam-macam komponen sistem imun dan
berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat proinflamasi
dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah
TNF,IL- 1, Interferon (EN-y) yang bekerja rnembantu sel
untuk menghancurkan mikroorganisme yang mengmfeksi.
Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1reseptor
antagonis (IL- 1ra), IL-4, IL- 10 yang bertugas untuk
memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang
berlebihan. Apabila keseimbangan kerja antara
pro-inflamasi dan anti-inflarnasimediator ini tidak tercapai
dengan sempurna maka dapat memberikan kerugian bagi
tubuh.
Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak
berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram (-)
maupun eksotoksin gram (+). Endotoksin dapat secara
langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibodi
dalam serum darah penderita membentuk LPSab (Lipo Poli
Sakarida Antibodi). LPSab yang berada dalam darah
penderita akan bereaksi dengan makrofag m e l a l ~
TLRs4
(Toll Like Receptors 4) sebagai reseptor transmembran

SEPSIS

dengan perantaraan reseptor CD 14-t dan makrofag


mengekspresikan imuno modulator, ha1 ini hanya dapat
terjadi pada bakteri gram negatip yang mempunyai LPS
dalam dindingnya.
Pada bakteri gram positif eksotoksin dapat merangsang
langsung terhadap makrofag dengan melalui TLRs2 (Toll
Like Receptors 2 ) tetapi ada juga eksotoksin sebagai
superantigen.
Padahal sepsis dapat terjadi pada rangasangan
endotoksin, eksotoksin, virus dan parasit, maka mekanisme
tersebut diatas masih kurang lengkap dan tidak dapat
menerangkan patogenesis sepsis dalam arti keseluruhan,
oleh karena konsep tersebut tidak melibatkan peran limfosit
T dalam keadaan sepsis dan kejadian syok septik.
Di Indonesia dan negara berkembang sepsis tidak
hanya disebabkan oleh gram negatip saja, tetapi juga
disebabkan oleh gram positip yang mengeluarkan
eksotoksin. Eksotoksin, virus, dan parasit yang dapat
berperan sebagai superantigen setelah di fagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen
Processing Cell dan kemudian ditampilkan dalam Antigen
Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan
polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocornpatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan
peptida MCH kelas I1 akan berikatan dengan CD4' (limfosit
Thl dan Th2) dengan perantaraan TCR (T Cell Receptor).
Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis
maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Thl yang
berfungsi sebagai imuno modulator yaitu : IFN-y, IL-2 dan
M-CSF (Macrophage colony stimulatingfactor).Limfosit
Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.
IFN-y merangsang makrofag mengeluarkan IL-1b dan TNFa . IFN-y, IL-1P dan T N F - a merupakan sitokin
proinflamatori, sehingga pada keadaan sepsis terjadi
peningkatan kadar IL- 1 P dan TNF-a serum penderita. Pa&
beberapa kajian biasanya selama terjadi sepsis tingkat ILL P dan TNF-a berkolerasi dengan keparahan penyakit
dalam kematian, tetapi ternyata sitokin IL-2 dan TNF-a
selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat pula
merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanismenya
sampai dengan saat ini belum jelas. IL-1 P sebagai imuno
regulator utama juga mempunyai efek pada sel endotelial
tennasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin E2 (PGE,) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1
menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh
granulocyte-macrophage colony stimulatingfactor (GMCSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi endotel
dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah, yaitu :
1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan
oleh endotel dan L-selektin neutrofil dalam mengikat
ligan respektif.
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan
aktivasi neutrofil yang mengikat intergretin CD-11 atau
CD- 18, yang melekatkan neutrofil pada endotel dengan

molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel.


3. Transmigrasi netrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan
megeluarkan lisosim yang akan menyebabkan dinding
endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga
membawa superoksidan yang termasuk dalam radial bebas
yang akan mempengaruhi oksigenasipada mitokondria dan
siklus GMPs. Akibat dari proses tersebut endotel menjadi
nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh
darah. Ternyata kerusakan endotel pembuluh darah
tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan vaskuler
(Vascular leak) sehingga menyebabkan kerusakan organ
multipel sesuai dengan pendapat Bone bahwa kelainan
organ multipel tidak disebabkan oleh infeksi tetapi akibat
inflamasi yang sistemik dengan sitokin sebagai mediator.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Cohen bahwa kelainan
organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi
dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik
yang berakhir dengan kematian.
Syok septik merupakan diagnosis klinik sesuai dengan
sindroma sepsis disertai dengan hipotensi (tekanan darah
turun < 90 mmHg) atau terjadi penurunan tekanan darah
sistolik > 40 mmHg dari tekanan darah sebelumnya. Organ
yang paling penting adalah hati, paru dan ginjal, angka
kematian sangat tinggi bila terjadi kerusakan lebih dari
tiga organ tersebut. Dalam suatu penelitian disebutkan
angka kematian syok septik adalah 72% dan 50% penderita
meninggal bila terjadi syok lebih dari 72 jam, 30% - 80%
penderita dengan syok septik menderita ARDS.
Menurut Dale DC, bahwa pada penderita diabetes
melitus, sirosis hati, gaga1 ginjal kronik dan usia lanjut
yang merupakan kelompok IC lebih mudah menderita
sepsis. Pada penderita IC bila mengalami sepsis sering
terjadi komplikasi yang berat yaitu syok septik dan berakhir
dengan kematian. Untuk mencegah terjadinya sepsis yang
berkelanjutan,Th-2 mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin
anti inflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-%
TNF-a dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaikijaringan
yang rusak akibat paradanganApabila 1L-10 meningkat lebih
tinggi, kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis
dapat dicegah.
Dengan mengetahui konsep patogenesis sepsis dan
syok septik, maka kita dapat mengetahui, sitokin yang
berperan dalam syok septik dan dapat diketahui apakah
terdapat perbedaan peran sitokin pada beberapa penyakit
dasar yang berbeda.

GEJALA KLlNlK
Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya
didahului oleh tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi
demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah,
malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak
khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak

macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi


yang palkg sering : paru, tr&tur digestifus,traktus urinaris,
kulit, jaringan lunak dan saraf puaat. Sumber infeksi
merupakan diterminan penting untuk terjadinya berat dan
tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan
menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita
diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan
granulosiopenia.Yang sering diikuti gejala MODS sampai
dengan terjadinya syok sepsis.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi :
sindroma distress pernafasan pada dewasa,
koagulasi intravaskular,
gagal ginjal akut,
perdarahan usus,
gagal hati,
*. disfungsi sistem saraf pusat ,
*. gagal jantung, 8). kematian

Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi,


pengambilan riwayat medis yang cermat,pemeriksaan fislk,
uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status
hemodinamik.
. .

Riwayat
Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari
kornunitas atau nosokomial dan apakah pasien
imunokompromis. Rincian yang hams diketahui meliputi
paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya
di tempat kerja, penggunaan alkohol, seizure, hilang
kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang
mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu.
Beberapa tan& terjadinya sepsis meliputi:
1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai
keganasan atau instrumentasi.
2. Hipotensi, Oliguria atau anuria.
3. Takipnea atau hiperpnea, Hipotermia tanpa penyebab
jelq.
4. Perdarahan.

Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada


semua pasien neutropenia dan pasien dengan dugaan
infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan
rekturn, pelvis, dan genital. Pemeriksaan tersebut akan
mengungkap abses rektal, perirektal, dadatau perineal,
penyakit danlatau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis.

Datq laboratorium
Uji lab~ratoriurnmeliputi Complete Blood Count (CBC)
dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi,

glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit,uji fungsi


hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram,
dan ronsen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan ternpat
lain yang terinfeksi hams dilakukan. Lakukan Gram stain
di tempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular,
ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang
menganggap 3) biakan darah hams diperoleh dalam periode
24 jam. Volume sampel sering terdapat kurang dari 1
bakteriurnlml pada dewasa (pada anak lebih tinggi). Atnbil
10.20 ml per sampling pada dewasa (1-5 ml pada anak) dan
inokulasikan dengan trypticase soy broth dan
thioglycolate soy broth. Waktu sampel untuk spike demam
interrniten, bakteremia dominan O,5jam sebelum spike. Jika
terapi antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik
&pat dideaktivasi di laboratorium klinis.
Tergantung pada status klinis pasien dan resiko resiko
terkait, penelitian dapat juga mengunakan foto ronsen
abdomen, CT Scanning, MRI, ekokardiografi, danlatau
lumbar puncture.

Temuan laboratorium lain:


Sepsis awal. leukositosis dengan shift kiri,
trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria.
Dapat terjadi leukopenia. Neutrofil mengandung granulasi
toksik, badan Dohle, atau vakuola sitoplasma.
Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respirator.
Hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita
diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum
meningkat.
Se1anjutnya.Trombositopeniamemburuk disertai
perpanjangan waktu trombin, penurunan fibrinogen, &n
keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azoternia dan
hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim
liver) meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi
akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik (peningkatan
gap anion) terjadi setelah alkalosis respirator. Hipoksemia
tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%.
Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis
yang memperburuk hipotensi.
Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan
jurnlah gejala SIRS dan berat proses penyakit.

Sindroma distres pernapasan dewasa (ARDS, adult


respiratory disease syndrome)
Koagulasi intravaskulardiserninata (DIC, disseminated
intravascular coagulation)
, Gagal ginjal akut (ARF, acute renalfailure)
Perdarahan usus
Gagal hati
Disfungsi sistem saraf pusat
'Gagaljantung
. Kematian

SEPSIS

Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada


SIRS dan sepsis dalam penelitian berbeda adalah 19%
untuk dishngsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal
hati, 9-23% untuk ARF, dan 8- 18% untuk DIC.
Pada syok septik, ARDS dijumpai pada sekitar 18%,
DIC pada 38%, dan gagal ginjal50%.

Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu:


1. Stabilisasi Pasien Langsung
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis
berat adalah pemulihan abnormalitas yang membahayakan
jiwa (ABC: airway, breathing, circulation). Pemberian
resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat
diberikan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan
stabilitas hemodinamik. Perubahan status mental atau
penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan
perlindungan langsung terhadap jalan napas pasien.
Intubasi diperlukanjuga untuk memberikan kadar oksigen
lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu
inenurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan
peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain.
Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada
tekanan darah memerlukan terapi empirik gabungan yang
agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan
inotroplvasopresor (dopamin, dobutamin, fenilefrin,
epinefrin, atau norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan
pemantauan peredaran darah. CVP 8-12 mm Hg; Mean
arterialpressure > 65mm Hg; Urine output > 0.5 mL/kgl/
jam-'; Central venous (superior vena cava) oxygen
saturation 2 70% atau mixed venous > 65%. (Sepsis
Campaign, 2008).
Pasien dengan sepsis berat hams dimasukkan dalam
ICU. Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut jantung,
laju napas, dan suhu badan) hams dipantau. Frekuensinya
tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung
dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan
dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan
darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif,
misal, dopamin, dobutamin, atau norepinefiin.
2. Pemberian antibiotlk yang adekuat
Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan
pasien. Diyakini bahwa antimikrobial tertentu
menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga
menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien.
Antimikrobial yang tidak menyebabkan pasien memburuk
adalah: karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida,
aminoglikosida, dan quinolon.
Perlu segera diberikan terapi empirik dengan
antimikrobial, artinya bahwa diberikan antibiotikasebelum
hasil kultur dan sensivitas tes terhadap kuman didapatkan.

Pemberian antimikrobial secara dini diketahui m e n d a n


perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil
kultur dan sensivitas didapatkan maka terapi empirik
dimbah menjadi terapi rasional sesuai dengan hasil kultur
dan sensivitas, pengobatan tersebut akan mengurangi
jumlah antibiotikayang diberikan sebelumnya (dieskalasi).
Diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum
aktivitas luas sesuai dengan hasil kultur. Hal ini karena
terapi antimikrobial hampir selalu diberikan sebelum
organisme yang menyebabkan sepsis diidentifikasi.
Obat yang digunakan tergantung surnber sepsis*
1. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya
digunakan 2 regimen obat. Biasanya sefalosporin
generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim)
diberikan dengan aminoglikosida(biasanya gentamisin).
2. Pneumonia nosokomial: Sefipim atau iminem-silastatin
dan aminoglikosida
3. Infeksi abdomen: imipenem-silastatin atau pipersilintazobaktam dan aminoglikosida
4. Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin dan
aminoglikosida atau pipersilin-tazobaktam dan
amfoterisin B.
5. Kulitljaringan lunak: vankomisin dan imipenemsilastatin atau piperasilin-tazobaktam.
6. Kulitljaringan lunak nosokomial: vankomisin dan
sefipim.
7. Infeksi traktus urinaris: siprofloksasin dan
aminoglikosida
8. Infeksi traktus urinaris nosokomial: vankomisin dan
sefipim
9. Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi
ketiga atau meropenem
10. Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin
*Obat berubah sejalan dengan waktu. Pilihan obat tersebut hanya
untuk menunjukkan bahwa bahan antimikrobial yang berbeda
dipilih tergantung pada penyebab sepsis.
Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan
bila organisme penyebab sepsis telah diidentifikasi dan
uji sensitivitas antibiotik menunjukkan macam
antimikrobial yang terhadapnya organisme memiliki
sensitivitas.

3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi.


Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen,
khususnya untuk infeksi anaerobik. Angkat organ yang
terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang
gangren.
4. Pemberian Nutrisi yang adequat
Pemberian nutrisi merupakan terapi tarnbahan yang sangat
penting bempa makro dan mikronutrient. Makronutrient
terdiri dari omega-3 clan golongan nukluetida yaitu glutamin
sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan trace
element.

5. TerM sqpalttif
Eli Lillywd Company mengurnumkanbahwa hail uji klinis
Phase 111 menunjukkan drotrecogin alfa (protein C
tera&i%an rekombinan, Zovant) menurunkan resiko relatif
kematian qkibat sepsis dengan disfungsi organ akut terkait
(dikenal sebagai sepsis berat) sebesar 19,4persen. Zovant
merupakan antikoagulan.

Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial,


ada yaog mengunakan pa* awal terjadinya sepsis, ada
yang menggunakan terapi steroid seusai dengan
kebutuhan dan kekurangan yang ada di dalam darah
dengan memeriksa kadar steroid pada saat itu (pengobatan
suplementasi). Penggunaan steroid ada yang
menganjurkan setelah terjadi septic shock. Penggunaan
kortikosteroid direkomendasikanpdalah dengan low doses
corticosteroid > 300 mg hydrocotisone per hari dalam
keadaan septic shock. Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama sekali pada keadaan sepsis dan
septic shock. (sepsis campaign, 2008).

GLUKOSA KONTROL
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula
darah yang tidak mengalami dan yang mengalami
diabetes mellitus. Sebaiknya kadar gula darah
dipertahankan sampai dengan < 150mg 1 dL. Dengan
rnelakukan monitoring pada gula darah setiap 1-2jam dan
dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari.
Mencegah terjadinya stress ulcer dapat diberikan
profilaksis dengan menggunakan H, broker protonpan
inhibitor.
Apabila terjadi kesulitan pernafasan penderita
memerlukan ventilator dimana tersedia di ICU.

PENCEGAHAN
Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang
biasanya dihuni bakteri Gram-negatif
Gunakan trimetoprirn-sulfametoksazolsecaraprofilaktik
pada anak penderita leukemia
Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau
sulfamilon secara profilaktik pada pasien luka bakar.
Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring
posterior untuk mencegah pneumonia Gram-negatif
nosokomial
Sterilisasiflora aerobik lambung dengan polimiksin dan
gentamisin dengan vankomisin dan nistatin efektif
dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada pasien
neutropenia.

Lingkunganyang protektif bagi pasien beresiko kurang


berhasil karena sebagian besar infeksi berasal dari dalarn
(endogen).
Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B
ambil apusan (swab) vaginalrektum pada kehamilan 35
hingga 37 minggu. Biakkan untuk Streptococcus
agalactiae (penyebab utama sepsis pad neonatus). Jika
positif untuk strep Grup B, berikan penisilin intraparturn
pada ibu hamil. Hal ini akan menurunkan infeksi Grup B
sebesar 78%.

Barron RL. Patophysiology Septic Shock and Implicat~onsfor


Therapy. Clinical Pharmacy. 1993.12: 829-845.
Belanti J. Immunologi III Yogyakarta. Gadjah Mada University
Press. 1993. 443-448.
Billiau A, Vandeckerckhove. Cytokines and Their Interactions with
other Inflammatory Mediator. In the Pathogenesis of Sepsis
and Septic Shock. Eur J Clin Invest. 1991. 21: 73-559.
Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ
failure and guidelines for the use of innovative therapies in
sepsis. The ACCPISCCM Consensus Conference Committee.
American College of Chest PhysicianslSociety of Critical Care
Medicine. Chest. 1992. 10I:I644-1655.
Bone RC, Grodzin CJ, Balk RA. Sepsis: A New Hypothesis of Pathogenesis of the Disease Proces. Chest. 1997. 112 : 235-243.
Bone RC. Gram-positive organisme and Sepsis. Arch Intern Med.
1994. 54: 26-35.
Carrigan SD, Scott G, Tabrizian M. Toward Resolving the Challenges of Sepsis Diagnosis. Clinical Chemistry. 2004.
50(8):1301-1314.
Cohen J. Sepsis Syndrom. Journal of Med Int. Infection. 1996. 31-34.
Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathologic Basic of Disease. WB
Saunders Co. London Toronto. 1999. 6Ih edition.
Dale DC. Septic Shock. In Horison's Text Book of Internal Medicine. 1995. 232-238.
Endo YYS, Kikuchi SM, Wakabayashi N 4 Tanaka T, Taki K, Inada
K. Interleukin 1 Receptor Antagonis and Interleukin 10 Level
Clearly Reflect Hemodynamics during Septic Shock. 1999.
Hamblin AS. Cytokines in pathology and therapy. Citokines And
Citokines Receptor. 1993. 65-75.
Hoeprich MC, Miyajima A, Coffman R. Cytokines Paul Fundamental Immunology. 1994. 3Ihedition. 763-790.
Howard MC, Miyajima A, Coffman R. Cytokines Paul Fundamental Immunology. 1994. 3Ihedition. 763-790.
Israel LG, Israel ED. Neutrophil function mechanism hematology.
1997. 2" edition. 121-123.
Janeway, Traver. The Immune System In Health And Disease.
Immunobiology. 1996. 2" edition. 9-15.
Jawetz E, Melnick J, Adelberg E. Review of Medical Microbiology.
14. 1997.
Kelly JL, Sulivan, Riordain M. Is circulating endotoxin the trigger
for systemic Inflammatory respons syndrom seen after injury.
Ann Surg. 1997. 225 ( 5 ): 530-541.
Kremer JP, Jarrar D, Srckholzer U, Ertel W. Interleukin-I, -6 and
TNF-alfa release is down regulated in whole bloodfrom septic
patients. 1996.
Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, et al. 2001 SCCMI

SEPSIS

ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions


Conference. Crit Care Med. 2003. 3 1: 1560-1567.
Muraille E and Leo 0.Resiviting the Thl / Th2 Paradigm. Scandinavian Journal of Immunology. Instistute of immunology and
Rheumatology Norway. 1997. 1-6.
Openheim JJ. Cytokines Basic and Clinical Immunology. 1995. 7Ih
edition. 78-98.
R.Phillip Dellinger et al, 2008, Surviving Sepsis Campaign :
International guidelines for management of severe sepsis and
septic shock. CritCare Med 2008 Vol 36 No.1
Rangel-Frausto, M. Ptett D., Costigan M., et al. The natural history
of the systemic inflammatory response syndrome (SIRS). JAM.
1995. 273:117-123.
Roger, Bone C. The Pathogenesis of Sepsis. Ann in Med. 1991. 1 15:
68-457.
Sands KE. Epidemiology of Sepsis Syndrom in 8 Academic Medical
Centers. .JAMA. 1997. 278: 234-240.
Sissons P & Carmicael A. The Immunology of Infection. Med.

Intertrational Infection. Australia and Far East Edition. 1996.


35 (10): 1-5.
Srikadan S, Cohen J. The Pathogenesis of Septic Shock. Journal of
Infection. 1995. 30: 20 1-206.
Thijs LG Introduction To Mediators Of Sepsis. 5'" Symposium On
Shock & Critical Care. 1998. 67-70.
Unenue ER. Macrophages, Antigen - Presenting Cell and the
Phenomena of Antigen Handling and Presentation. In Fundamental Immunology. Raven Press. 1993. 3'd edition. 111-118.
Warren J. Sepsis in Textbook of the Biologic & Clinic Basic of
Infectious Diseases. Stanford. 1994. 4Ih edition. 52 1-437.
Werdan K, Pilz G. Suplement immunoglobulin in sepsis : a critical
apprasial. Clin Exp Immunol. 1996.104: 83-90.
Whitnack E. Sepsis in Mechanisme of Microbial Disease. Williams
& Wilkins. 1993. 2"* edition. 770-778.
Yoshida M. Human response in Endotoxemia, endotoxin Pathophysiology and Clinical Aspects. One Day Sympos~umon
Endoroxin. Jakarta. 1994. 7-10.

PEMAKAIAN ANTIMIKROBA
SECARA RASIONAL DI KLINIK
R.H.H. Melwan

PENDAHULUAN

KEADAAN KLlNlS PASIEN

Beberapa masalah yang berupa dampak negatif pada


penggunaan antimikroba yang tidak rasional meliputi : 1.
pesatnya pertumbuhan kuman-kuman yang resisten; 2).
efek samping yang potensial berbahaya untuk pasien; 3.
beban biaya untuk pasien yang tidak memiliki asuransi
kesehatan.
Kenyataan menunjukkan bahwa di negara-negara yang
sedang berkembang urutan penyakit-penyakit utama
nasional masih ditempati oleh berbagai penyakit infeksi
yang memerlukan antibiotikalantimikroba sehingga
amplifikasi permasalahan dengan sendirinya akan terjadi
bilamana penggunaan antimikroba tidak rasional. Perlu
selalu diingat bahwa pemakaian obat antimikroba yang
tidak tepat akan memboroskan dana yang tersedia baik
milik pemerintah maupun pasien sendiri. Selain itu seperti
telah diutarakan di atas akan dapat membahayakan
kenyamanan pasien.

Beberapa faktor yang perlu diperhitungkan pada


pemberian antimikroba dari segi keadaan pasien adalah :

KRlTERlA POKOK PENGGUNAAN ANTlBlOTlKA

Sebelum pemberian antimikroba dimulai, selalu hams


dipertanyakan lebih dahulu apakah ada pembenaran
pemakaian antimikroba. Pertanyaan berikut menyangkut
obat yang akan digunakan, dosis, cara dan lamapemberian,
serta apakah perlu tindakan tambahan seperti insisi dan
sebagainya. Selanjutnya perlu untuk selalu diingat agar
obat yang akan digunakan efektif untuk hampir semua
pasien dengan penyakit sejenis.
Pemilihan antimikroba ditentukan oleh : 1. keadaan
klinis pasien; 2. kuman-kuman yang berperan (parameter
mikrobiologis); 3. sifat obat antibiotika itu sendiri
(parameter farmakologis).

Kegawatan atau Bukan Kegawatan


Dalam suatu kegawatan yang mungkin didasari infeksi
berat, diperlukan lebih dari satu jenis antimikroba.
Sebaliknya suatu keadaan yang tidak gawat dan baru mulai
serta tidakjelas etiologinya tidak memerlukan antimikroba
kecuali bilamana dapat ditunjukkan dengan jelas melalui
pemeriksaan penunjang bahwa yang sedang dihadapi
adalah suatu infeksi bakterial.
Usia Pasien
Pasien usia lanjut sering memiliki patologi multipel clan
perlu diingat bahwa kelompok pasien ini lebih peka
terhadap pemberian obat. Juga distribusi dan konsentrasi
obat dapat berbeda mengingat penurunan konsentrasi
albumin darah dan fungsi ginjal.
lnsufisiensi Ginjal
Beberapa antimikroba seperti bensilpenisilin dan
gentamisin ekskresinya hanya melalui ginjal sedangkan
yang lainnya masih memilik mekanisme ekskresi altematif
atau mengalami metabolisme dalam tubuh.
Antimikroba yang nefrotoksik seperti amfoterisin B
(untuk jamur sistemik) tidak boleh diberikan pada
insufisiensi ginjal berat. Aminoglikosid potensial
nefrotoksik dan bila terjadi akurnulasi dapat juga bersifat
neurotoksik. Mengukur konsentrasi obat dalam darah
&pat memandu pengobatan.
Pa& anuria beberapa antimikroba yang tidak berbahaya
yang dapat diberikan tanpa mengurangi dosis antara lain

kloramfenikol, eritromisin, rifampisin dan kelompok


penisilin (kecuali tikarsilin).
Pada pasien dengan dialisis perlu diingat baBwa
beberapa antimikroba seperti : amfoterisin B, klindamisin,
linkomisin dan teicoplanin tidak dapat dibersiM6.n melalui
dialisis. Penisilin yang stabil terhadap penisilinase hanya
sebagian dapat dibersihkan melalui dialisis.
Gangguan Faal Hati
Hati berperan dalam metabolisme dan detoksifikasi obat.
Antimikroba yang tidak dapat didetoksifikasi karena
terdapat gangguan pada faal hati akan dapat memberikan
efek samping yang serius. Kloramfenikol, asam nalidiksik,
sulfonamida dan norfloksasin dikonjungasi dengan asam
glukuronida dalarn hati untuk selanjutnya diekskresi dalam
urin. Jenis antibiotika ini merupakan kontraindikasi pada
penyakit hati yang berat terutama bila terdapat gangguan
fungsi hepatorenal.
Demikian pula antibiotika yang diekskresi melalui hepar
ke dalam saluran cerna seperti siprofloksasin, sefoperason,
seftriakson dan eritromisin hams digunakan secara hatihati pada pasien dengan hepatitis dan sirosis.
Dosis tetrasiklin sebanyak 2-4 glhari dapat
menyebabkan distrofi hepar dengan akibat fatal. Obat-obat
tuberkulostatik oral seperti rifampisin, isoniazid dan
pirazinamida dapat pula menyebabkan gangguan fungsi
hati.
Gangguan Pembekuan Darah
Bilarnana pada pasien terdapat dugaan gangguan
pembekuan darah, obat-obat antimikroba yang cenderung
menyebabkan masalah perdarahan seperti latamoksef,
tikarsilin sefoperason, aztreonam dan imipenem perlu
dihindari.
Gangguan Granulositopenia
Pada keadaan granulositopenia daya tahan tubuh sangat
menurun sehingga perjalanan penyakit selanjutnya
cenderung untuk didominasi oleh infeksi-infeksiberat kulit,
selaput lendir dan organ-organ tubuh. Daya tahan terhadap
infeksi makin menurun pada penggunaan kelompok obat
sitostatik untuk keganasan.
Setelah diambil spesimen u'ntuk pemeriksaan
mikrobiologik,kombinasi obat bakterisidal perlu diberikan
segera dan biasanya sesuai suatu protokol tertentu.
Penurunan demam merupakan petunjuk terbaik berhasilnya
pengobatan yang diberikan. Bila belum ada respons dapat
diberikan lagi obat antimikroba lainnya dan bila tetap masih
belum ada perbaikan hams dipertimbangkan apakah
diperlukan obat antijamur.
Kehamilan dan Laktasi
Dalam trimester pertama semua antimikroba yang memiliki
efek sitotoksik seperti kloramfenikol, kotrimoksasol,

rifampisin, kuinolon, nitrofurantoin, nitromidazol, serta obat


anti jamur seperti amfoterisin B, flusitosin dan griseofulvin perlu dihindari.
Dalam trimester kedua dan ketiga, obat antimikroba
seperti tetrasiklin dan kelompok amimoglikosid perlu
dihindari terkecuali pada keadaan di mana jiwa pasien
terancam.
Dalam minggu terakhir kehamilan sulfonamid,
kotrimoksasol dan nitrofurantoin merupakan kontra
indikasi. Pada umumnya penisilin, sefalosporin dan
eritromisin aman diberikan bila tidak terdapat alergi
terhadap obat-obatan ini. Pada masa laktasi obat-obat
seperti metronidazol dan tetrasiklin sebaiknya dihindari
karena kemungkinan timbulnya efek samping pada bayi.

PARAMETER MlKROBlOLOGlS
Tiga ha1 yang perlu dikuasai dari segi milcrobiologis adalah
1. Pengertian kepekaan, 2. Relevansi hasil pemenksaan
laboratorium, 3. Bagaimana cara untuk membatasi dan
menghindari penyebaran galur-galur yang resisten.
Pengertian Kepekaan
Kadar hambat minimal merupakan konsentrasi terendah
obat antimikroba.yang dapat menghambat pertumbuhan
kuman setelah diinkubasi selama satu malam. Karena
metoda dilusi untuk menetapkan. ini agak rumit untuk
dikerjakan, yang lebih popular dan lebih mudah untuk
dilaksanakan adalah metoda difusi.
Lempeng (disc) antimikroba yang diletakkan di tengahtengah pembiakan kuman akan mengakibatkan
ketidaktumbuhankuman di sekitarnya dan tergantung zona
yang tampak sekitarnya yaknijarak antara pinggir lempeng
dan batas kuman yang tumbuh dan tidak tumbuh dapat
diinterpretasikan sebagai sensitif, indiferen atau
resisten.
Relevansi Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Situasi di mana pasien ternyata dapat disembuhkandengan
sebuah antibiotika tertentu walaupun laporan laboratorium
menunjukkan kuman tersebut sudah resisten terhadap
antibiotika yang digunakan dapat dijumpai diklinik d&
sebaliknya tidak asing juga keadaan di mana kuman yang
tidak resisten terhadap antibiotika yang dipakai tetapi
pasien tidak dapat disembuhkan dengan obat yang sudah
tepat tersebut. Inkonsisten seperti h i dapat mengakibatkan
polifannasi dan preskripsi irasional. Perlu selalu diingat
bahwa obat yang digunakan in vivo sangat dipengaruhi
faktor-faktor environmental. Kadang-kadang hanya
diperlukan analisis sederhana untuk dapat
menginterprestasi hasil yang inkonsisten tersebut dan
kadang-kadang baru dapat dijawab setelah proses
penelitian yang panjang.

TROPIK INFEKSI

Antimikroba yang in vitro berkhasiat terhadap suatu


jenis kuman tertentu tidak automatis juga efektif in vivo.
Untuk memastikan khasiat ini perlu dilaksanakan uji klinis
yang obyektif dan pedoman penggunaan antimikroba
tersebut harus berdasarkan hasil-hasil uji klinis yang telah
dilaksanakan sesuai GCRP (good clinical research
practice).
Mencegah Berkembangnya Resistensi Mikroba
Penggunaan rasional antimikroba akan mengurangi
perkeinbangan resistensi.
Setiap wilayah perlu mengembangkan suatu
kebijaksanaan penggunaan antimikroba sesuai prevalensi
resistensi setempat. Kebijaksanaan ini perlu diterapkan
untuk setiap antibiotika yang akan dapat digolongkan
sebagai antibiotika yang boleh digunakan secara bebas
atau yang perlu dibatasi pemakaiannya (restriktif). Kadangkadang perlu dilarang penggunaan antibiotika tertentu
untuk sementara waktu.
Situasi penggunaan antibiotika memang perlu
dievaluasi dari waktu ke waktu dan disesuaikan
dengan hasil monitoring kepekaan kuman yang
mutakhir serta masukan yang dapat diberikan oleh para
klinikus.

PARAMETER FARMAKOLOGIS
Parameter ini dapat dibagi dalam farmakodinamik,
farmakokinetik, penggunaan kombinasi antimikroba dan
efek samping antimikroba.
Farmakodinamik Antimikroba
Ciri antibiotika yang ideal adalah bebas dari efek pada.
sistem atau organ pasien. Terjadinya depresi sistem
hemopoetik pada penggunaan kloramfenikol dan gangguan
vestibular pada kelompok obat aminoglikosid sebenarnya
sangat tidak ideal sehingga untung rugi pemakaian obat
ini perlu selalu diperhitungkan atau digunakan obat
alternatif lainnya yang tidak menyebabkan efek samping
tersebut.
Efek farmakodinamik pada kuman dapat berupa
pengrusakan terhadap sintesis dinding luar (kelompok
betalaktam) atau gangguan pada sintesis komponen
sitoplasma (kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosid
dan eritromisin) atau gangguan pada sintesis asam
nukleat (kuinolon dan rifampisin). Pengetahuan
mengenai mekanisme kerja akan dapat memperbaiki
pemilihan obat kombinasi yang tepat agar tercapai
sinergi atau potensiasi kerja terutama bilamana
kombinasi yang digunakan memiliki mekanisme kerja
yang berlainan. Tetapi segala sesuatu dengan sendirinya
harus melalui proses pengujian dalam klinik.

Farmakokinetik Antimikroba
Untuk antibiotika yang diberikan secara oral perlu
dipastikan agar absorpsi berlangsung dengan baik
sehingga konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan kuman dapat tercapai.
Pada infeksi-infeksi serius atau di mana terdapat
gangguan seperti mual dan muntah perlu diberikan terapi
parenteral. Selanjutnya perlu selalu diingat bahwa tempat
infeksi hams dapat dicapai oleh obat dalam konsentrasi
yang cukup untuk menghambat pertumbuhan dan
penyebaran kuman. Difusi obat dalam jaringanlorgan atau
sel-sel tertentu sangat menentukan dalam pemilihan
antimikroba. Beberapa antimikroba seperti misalnya
seftriakson mencapai konsentrasi berpuluh kali lebih tinggi
di empedu dibandingkan dengan konsentrasi dalam darah.
Selain itu juga selalu harus diingat cara ekskresi obat
sehingga dapat dicegah gangguan negatif dan akumulasi
obat dalam tubuh pasien.
Pada umumnya dianggap bahwa hanya bagian
antibiotika yang tidak terikat protein darah memberikan
efek antimikrobial. Tetapi sebenamya yang hams diingat
adalah bahwa keadaan ini berupa suatu ekuilibrium. Dalam
jaringan yang mengalami radang dapat terkumpul banyak
protein sehingga konsentrasi antibiotika yang aktif bekerja
pada tempat-tempat tersebut lebih besar.
Proses metabolisme antibiotika sangat bervariasi.
Melalui proses oksidasi, reduksi, hidrolisis atau konjungasi
dihasilkan senyawa-senyawa yang inaktif tetapi
kadang-kadang dapat terjadi produk yang toksik inisalnya
pada asetilisasi sulfonamid. Sebaliknya beberapa
antibiotika memiliki metabolit yang aktif seperti misalnya
metabolit sefotaksim sehingga mempakan suatu sifat yang
sangat menguntungkan pada penggunaannya.
Eliminasi antibiotika pada umumnya melalui ginjal,
beberapa jenis seperti seftriakson, sefoperason dan
rifampisin mengalami eliminasi terutama melalui empedu.
Konsentrasi intraluminal antimikroba tersebut dalam
saluran cerna dapat meningkat terutama bila diekskresi
secara utuh.
Kombinasi Antimikroba
Biasanya digunakan pada infeksi berat yang belum
diketahui dengan jelas kuman atau kuman-kuman
penyebabnya. Dalam ha1 ini pemberian kombinasi
antimikroba ditujukan untuk mencapai spektrum
antimikrobial yang seluas mungkin.
Selain itu kombinasi digunakan untuk mencapai efek
sinergistik dan juga untuk menghambat timbulnya
resistensi terhadap obat-obat antimikroba yang digunakan.
Efek Samping Antimikroba
Efek samping dapat berupa efek toksis, alergis atau
biologis. Efek samping seperti paralisis respiratorik dapat
terjadi setelah instilasi neomisin, gentamisin, tobramisin,

PEMMWANANTIWKROBA SECARA RASIONAL DI KWNIK

streptomisin atau amikin secara intraperitoneal atau intrapleural. Eritromisin estolat sering menyebabkan
kolestasisl hepatitis. Perlu juga diingat bahwa antimikroba
yang bekerja pada metabolisme kuman seperti rifampisin,
kotrimoksasol dan isoniasid potensial hemato dan
hepatotoksik. Yang dapat menekan hngsi sumsum tulang
adalah pemakaian kloramfenikol yang melampaui batas
keamanan dan menyebabkan anemia dan neutropenia.
Anemia aplastik secara eksplisit merupakan efek samping
yang dapat mengakibatkan kematian pasiem setelah
pemakaian kloramfenikol.
Efek samping alergi lainnya terutama disebabkan oleh
penggunaan penisilin dan sefalosporin. Yang paling jarang
adalah kejadian renjatan anafilaktik. Lebih sering timbul
r u m , urtikaria dan sebagainya. Pasien yang alergi terhadap
sulfonamid dapat mengalami sindrom Steven Johnson. Efek
samping biologis disebabkan karena pengaruh antibiotika
terhadap flora normal di kulit maupun di selaput-selaput
lendir tubuh. Biasanya terjadi pada penggunaan obat
antiinikroba berspektrum luas. Candida albicans dalam
hubungan ini dapat menyebabkan super infeksi seperti
stomatitis, esofagitis, pneumonia, vaginitis dan
sebagainya.
Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan
penyebaran dari jenis kuman Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis yang berat dan
yang memerlukan pengobatan intensif dapat juga
disebabkan oleh penggunaan antibiotika seperti
klindamisin, tetrasiklin dan obat antibiotika berspektrum
lebar lainnya.

POLA PEMBERIANANTlMlKROBA
Berdasarkan parameter yang telah diuraikan di atas,
kemoterapi antimikrobial dapat diberikan berdasarkan
beberapapola tertentu, antara lain: a).direktif, b). kallculatif,
c). interventif, d). omnispektrif dan e). profilaktif.
Pzlda terapi antimikroba direktif kuman penyebab
infeksi sudah diketahui dan kepekaan terhadap
antimikroba sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat

EFEK SAMPING

FARMAKOLOGI
ANTIMIKROBIAL

1
I

HOSPES

MlKROBlOLOGl

SlTUS
(EVIDENCE BASED)
-

Garnbar 1. lnteraksi terapi rasional

---

antimikroba efektif dengan spektrum sempit, misalnya


infeksi saluran napas dengan penyebabnya Streptococcus
pneumoniae yang sensitif terhadap penisilin diberikan
penisilin saja. Jelas bahwa kesulitan yang dihadapi dalam
ha1 ini terletak pada tersedianya fasilitas pemeriksaan
mikrobiologis yang cepat dan tepat.
Pada terapi antimikrobakalkulatif, obat diberikan secara
best guess. Dalam ha1 ini pemilihan hams didasarkan pada
antimikroba yang diduga akan ampuh terhadap mikroba
yang sedang menyebabkan infeksi pada orgadjaringan
yang dikeluhkan. Misalnya infeksi kulit yang sering
disebabkan stafilokok berbeda pemilihan antimikroba
dengan infeksi saluran kemih yang sering disebabkan
enterobakteri. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan
kemungkinan kuman penyebab sangat penting dalam
penerapan terapi antimikroba kalkulatif.
Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antimikroba
selalu hams berpedoman pada sebuah protokol pemberian
antimikroba dan dapat menambah kelompok obat
antimikroba lainnya bilamana tidak berhasil didapat
respons yang memuaskan dengan terapi antimikroba
inisial. Protokol-protokol ini akan menyesuaikan diri
dengan perkembangan-perkembangan dan pengalamanpengalaman mutakhir dengan penggunaan berbagai jenis
antimikroba yang baru. Misalnya protokol penggunaan
obat antimikroba pada infeksi pasien keganasan yang
mengalami granulositopenia. Cara pengobatan ini juga
dikenal sebagai terapi antimikrobial interventif bertahap.
Terapi antimikroba omnispektrif diberikan bilamana
hendak dijangkau spektrum antimikroba seluas-luasnya
dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan
yang memerlukan terapi semacam ini meliputi infeksi pada
leukemia, luka bakar, peritonitis dan renjatan septik.
Sebagai profilaksis, obat antimikroba dapat digunakan
untuk mencegah infeksi baru pada seseorang atau untuk
mencegah kekambuhan dan terutama digunakan untuk
mencegah komplikasi-komplikasi serius pada waktu
dilakukan tindakan pembedahan.

PENUTUP
\

Keinginan dari segi individual pasien perlu kita hormati


yakni pemberian obat yang akan menyebabkan dirinya
cepat sembuh dari infeksi dalam jangka waktu sependek
mungkin dan tanpa menimbulkan reaksi-reaksi yang
tidak diinginkan. Sisi lain dari keinginan ini bermakna
global. Dari segi pengertian global perlu dirumuskan
apa yang diartikan dengan pemberian obat rasional.
Sesuai perumusan yang telah disepakati dalam jajaran
organisasi kesehatan sedunia pengertian ini meliputi
pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian dan
penghentian obat yang berkualitas baik yang
manfaatnya sudah terbukti, aman pada pemakaian dan
terjangkau harganya oleh pasien.

REFERENSI
Nelwan RHH.Usaha ke arah penggunaan antibiotika secara rasional
di Jakarta. Dalam : Naskah lengkap Lokakarya Nasional
Penggunaan Antibiotika Sacara Rasional 11, Surabaya, Januari
1992.

Simon C, Stlle W, Wilkens PJ. Antibiotic Therapy in Clinical Practice 24Ih Edition, Schattauen-Stutgart.1993

RESISTENSI ANTIBIOTIK
Usman Hadi

PENDAHULUAN
Resistensi antibiotika merupakan suatu masalah yang besar
yang berkembang diseluruh dunia. Kurnan-kuman resisten
yang muncul akibat penggunaan antibiotika yang
berlebihan, akan menimbulkan masalah yang serius dan
sulit diatasi. Saat ini kuman resisten antibiotika yang sudah
banyak dikenal dan menimbulkan banyak masalah di seluruh
dunia diantaranya adalah methicillin-resistance Staphylococcus aureus (MRSA) , vancomycin resistance enterococci, penicillin-resistance pneumococci, extendedspectrum betalactamme-producingKlebsiela pneumoniae
(ESBL), carbapenem-resisten Acinetobacter baumanni,
dan multi resisten lMycobacterium tuberculosis.
Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya kuman
resisten terhadap antibiotika, faktor yang paling penting
adalah faktor penggunaan antibiotika dan pengendalian
infeksi. Oleh karena itu penggunaan antibiotika secara
bijaksana merupakan ha1 yang sangat penting, di samping
penerapan pengendalian infeksi secara baik untuk
mencegah berkembangnya kuman-kuman resisten tersebut
ke masyarakat.

TERMlNOLOGl RESlSTENSl
Resistensi antibiotika dapat diklasifikasikan menjadi dua
kelompok yaitu: resistensi alami dan resistensi yang
didapat.
Resistensi alami merupakan sifat dari antibiotika
tersebut yang memang kurang atau tidak aktif terhadap
suatu kuman, contohnya Pseudomanas aeruginosa yang
tidak pernah sensitive terhadap khlorampenikol, juga
Streptococcus pneumoniae secara alami 25% resisten
terhadap antibiotika golongan makrolid (erythromycin,
clarithromycin, azithromycin).

Resistensi yang didapat yaitu apabila kuman tersebut


sebelumnya sensitif terhadap suatu antibiotika kemudian
berubah menjadi resisten. Contohnya resistensi yang
didapat ialah Paeuruginosa resisten terhadap ceftazidime,
Haemophillus influenzae resisten terhadap imipenem,
P.aeruginosa resisten terhadap siprofloksasin,
H.influenzae resisten terhadap ampisiliin, dan Escherichia
coli resisten terhadap ampisilin. Resistensi antibiotika
yang didapat dapat bersifat relatif atau mutlak.
Resistensi antibiotika didapat yang relatif: yaitu apabila
didapat secara 'bertahap peningkatan dari minimal inhibitory concentration (MIC) dari suatu ltuman terhadap
antibiotika tertentu contohnya resistensi yang didapat
pada gonococci;, dan pneumococci.
Resisten antibiotika didapat yang mutlak (absolute)
terjadi apabila berdapat suatu mutasi genetic selama atau
setelah terapi ailtibiotika sehingga kurnan tersebut yang
sebelumnya sensitif berubah menjadi resisten dengan
peningkatan yang: sangat tinggi M C yang tidak dapat
dicapai dengan pernberian antibiotika dengan dosis terapi.
Psuedo-resistance: pada test kepekaan didapat hasil
resisten tetapi di dal.amtubuh (in vivo) masih efektif, contoh
E coli dan Klebsiela pneumoniae resisten terhadap
sulbactam/ampicill~in,Paeruginosa resisten terhadap
ameonam.
Resistensi silanp (cross-resistance):contoh Extendedspectrum B-lactam~rs'eyang diproduksi untuk cefiazidime
menghasilkan res istensi untuk seluruh sefalosporin
generasi ke 111.

MEKANISME TEIRJADINYA RESlSTENSl


Selaput Bagia~nLuar Kuman Gram-negatif
(Gram-negative( Outer Membrane)
Untuk mendapatka~n effek terapi, antibiotika pertarna kali

sebagaimana pada a-laktam binding protein yang normal.

hams mencapai target kedalam sel kuman. Kuman gram


negatif mempunyai outer membrane yang sedikit
menghambat antibiotika masuk kedalam sitoplasma.
Selanjutnya apabila terjadi mutasi dari lubang pori outer
membrane berakibat antibiotika menjadi lebih sulit masuk
ke dalam sitoplasma atau menurunnya permeabilitas
membrane terhadap antibiotika, oleh karena lubang pori
dari outer membrane tersebut tidak bersifat selektif maka
satu mutasi dari pori tersebut dapat menghambat
masuknya lebih dari satu jenis antibiotika.

Resistensi terhadap antibiotika golongan glikopeptida.


Mekanisme resistensi pada vancomycin masih belum
diketahui secarajelas, tetapi nampaknya melibatkan 2 gen
(vanA dan vanB) merupakan pengkode protein yang
menggabungkan D-ala-D-hydroxybutirate sebagai
pengganti D-ala-D-ala kedalam UDP-muramilpentapeptida. Bentuk D-hydroxybutyrate tidak mengikat
vankomisin tapi masih dikenal oleh enzyme
transglycosylating dan transpeptidation dari bakteri. Jadi
sintesis peptidoglikan terus berlangsung dengan adanya
antibiotika.

lnaktivasi Antibiotika Melalui Jalur Enzimatik


Resistensi terhadap antibiotika golongan b-Laktam. Salah
satu mekanisme timbulnya resistensi terhadap antibiotika
golongan b-laktam terutama pada kuman gram negatif
adalah enzim b-laktamase yang dapat memecah cincin
b-laktam sehingga antibiotika tersebut menjadi tidak aktif.
b-laktamase disekresi ke rongga periplasma oleh kuman
gram negatif dan ke cairan ekstra selular oleh kuman gram
positif.

Resistensi terhadap tetrasiklin. Tipe resistensi yang


penting terhadap tetrasiklin ini adalah perlindungan
terhadap ribosome. Perlindungan ini diberikan oleh protein sitoplasma, bila protein sitoplasma ini muncul pada
sitoplasma bakteri maka tetrasiklin tidak akan mengikat ke
ribosome. Tipe resistensi ini sekarang sudah diketahui
secara luas pada beberapa kuman patogen, termasuk
kuman-kuman gram positif, mikoplasma, dan beberapa
kuman gram negatif seperti Neisseria, Haemophillus, dan
Bakteriodes. Tiga jenis pengkode genetik untuk tipe
resistensi ini adalah tetM, tetO, dan tetQ.

Resistensi terhadap golongan aminoglikosida. Berbeda


dengan b-laktamase yang berkerja dengan memecah ikatan
C-N pada antibiotika maka aminoglycosida-modzbing
enzyme menginaktifkan antibiotika dengan menambah
group phosphoryl, adenil atau aceryl pada antibiotika.
Pada kuman gram negatif aminoglycoside-modzbing
enzyme terletak di luar membrane sitoplasma. Modifikasi
dari antibiotika tersebut akan mengurangi transport dari
antibiotika ke dalam sel sehingga fungsi antibiotika akan
terganggu. Serta pengeluaran secara aktif antibiotika dari
dalam sel kuman (active efflx).

Resistensi terhadap makrolide dan linkosamide.


Mekanisme kerja antibiotika ini adalah dengan mengikat
ribosome dengan adanya perubahan pada ribosome oleh
enzyme rRNA methylase maka tidak terjadi ikatan
antibiotika dengan ribosome kurnan.
Resistensi terhadap kuinolon dan rifampin. Resistensi
terhadap quinolon pada umumnya muncul dari titik mutasi
yang merubah afinitas dari DNA gyrase B-subunit untuk
antibiotika.
Resistensi terhadap rifampin oleh karena adanya mut~si
pada B-subunit dari RNA polymerase yang mengurangi
afinitas sub unit tersebut terhadap antibiotika tetapi RNA
polymerase tersebut masih tetap berhngsi.

Resistensi terhadap tetrasiklin. Telah ditemukan bahwa


terdapat enzim yang menginaktifkan tetrasiklin, tetapi cara
kerjanya masih belum diketahui dengan jelas.
Modifikasi pada Target Antibiotika
Resistensi Terhadap Antibiotika Golongan b-Laktam.
Terjadi perubahan pada target antibiotika sehingga
antibiotika tersebut tidak dapat berikatan dengan kuman.
Ikatan yang spesifik daripenicillin-bindingprotein (PBP)
telah dirubah pada strain resisten. Mekanisme resistensi
ini yang pada umumnya terjadi pada kuman-kuman gram
positif, dan saat ini yang menyebabkan banyak masalah
di klinik.
Resistensi oleh karena P-laktamase dapat ditanggulangi
dengan P-laktamase inhibitor, tetapi tidak dapat pada
resistensi oleh karena perubahan pada penisilin binding
protein.
Contoh mekanisme resistensi tipe ini adalah mecagene
pengkode resisten terhadap meticilin yang ditemukan pada
S.aureus. Gene resisten ini mengkode penisilin binding
protein 2' (PBP2 '), yang tidak mengikat metisilin

Kuman Mengembangkan Jalur Metabolisme Lain


yang Memintas (Bypass) Reaksi yang Dihambat
oleh Antibiotika

'

Penyebaranlperpindahan gene resisten. Kuman dapat


menjadi kebal terhadap antibiotika dengan cara mutasi gen
yang sudah ada, tetapi sebagian besar kasus resistensi
terjadi oleh karena mendapat gen baru yang resisten.
Walaupun kuman dapat memperoleh gen baru melalui
bacteriophage, transduction atau melalui transformation,
tipe transfer seperti ini hanya terjadi terutama diantara
anggota-anggota spesies yang sama. Masalah klinis yang
besar ialah adanya perpindahan gene pada genus atau
spesies yang berbeda, penyebaran secara luas ini sangat
mungkin diperantarai dengan conjugation (perpindahan)
dari DNA melalui saluran yang dibentuk dari

penggabungan sel membrane dua bakteria. Ada dua jenis


bahan konjugat yaitu plasmid dan conjugatiftransposons
Plasmid. Plasmid yang dapat berpindah sendiri dari satu
sel ke sel yang lain harus membawa sejumlah gene
pengkode protein yang diperlukan untuk konjugasi
(tra genes). Beberapa plasmid yang tidak dapat berpindah
sendiri masih dapat berpindah melalui konjugasi .Plasmid
tersebut dapat lebih kecil dari plasmid yang bisa berpindah
sendiri karena hanya memerlukan satu atau dua gene saja
(mob genes). Kedua jenis plasmid tersebut dapat membawa
beberapa gene resistensi antibiotika.
Conjugatif Transposons. Merupakan elemen
konjugasi yang biasanya terletak pada kromosom bakteri
dan dapat berpindah sendiri dari kromosom donor ke
kromosom penerima, dan dapat pula berintegrasi ke dalam
plasmid. Conjugatiftransposons ini dapat berpindah dari
kuman gram negatif ke kuman gram positif atau sebaliknya.

ART1 KLlNlS RESISTENS1AN'I'IBIOTIK


Beberapa contoh berikut akan menunjukkan pengaruh
penggunaan antibiotika terhadap munculnya kumankurnan resisten terhadap antibiotika tersebut.
Gonokokus: Ketika sulfonamid pertama kali digunakan
untuk pengobatan gonore pada akhir tahun 1930-an,
hampir semua kasus dapat disembuhkan dengan obat ini.
Beberapa tahun kemudian, sebagian besar strain
gonokukus sudah menjadi resisten terhadap sulfonamid
dan gonore jarang dapat disembuhkan dengan obat ini.
Namun, sebagian besar gonokukus masih sangat peka
terhadap penisilin. Beberapa dasawarsa berikutnya, pelanpelan resistensi terhadap penisilin meningkat, tetapi
dengan dosis tinggi obat ini masih dapat menyembuhkan
penyakit itu. Pada tahun 1970-an timbul gonokukus
penghasil b-laktamase, pertama-tama di Filipina dmAfXca
Barat, kemudian menyebar sehingga menimbulkan pusat
endemik diseluruh dunia. Infeksi gonokukus ini tidak dapat
diobati secara efektif dengan penisilin, tetapi diobati
dengan spektinomisin. Sekarang mulai timbul resistensi
terhadap spektinomisin. Dianjurkan menggunakan
. sefalosporin generasi kedua dan ketiga atau kuinolon
untuk mengobati gonoroe.
Meningokokus :Sampai tahun 1962, semua meningokukus
peka terhadap sulfonamid, dan obat ini efektif untuk
profilaksis maupun terapi. Kemudian, meningokukus yang
resisten terhadap sulfonamid menyebar luas, dan sekarang
sulfonamid telah kehilangan kegunaannya untuk infeksi
meningokukus. Penisilin masih efektif untuk terapi, dan
rifampin digunakan untuk profilaksis. Namun,
mengingokukus resisten rifampin masih terdapat pada
sekitar 1% penderita yang telah mendapat rifampin untuk
profilaksis.

Stapilokokus: pada tahun 1944, sebagian besar


stapilokukus peka terhadap penisilin, meskipiun ditemukan
beberapa strain yang resisten. Setelah meluasnya
penggunaan penisilin, pada tahun 1948, 65-85%
staphilokukus yang diisolasi di rumah sakit ternyata
menghasilkan P-laktamase sehingga resisten terhadap
penisilin-G. Ditemukannya penisilin yang resisten terhadap
P-laktamase (misalnya, metisilin) dapat mengatasi
sementara, tetapi sekarang kadang-kadang timbul wabah
infeksi MRSA. Pada tahun 1986,MRSA tidak hanya dijumpai
pada bakteri yang ditemukan di rurnah sakit, tetapi juga
pada 80-90% stapilokukus yang diisolasi di>masyarakat.
Organisme ini juga cenderung resisten terhadap obat lain,
misalnya tetrasiklin. MRSA kadang-kadang menyebabkab
wabah di rumah sakit, tetapi untung masih peka terhadap
vankomisin.
Pneumococcus :Sampai tahun 1963, sebagian besar
pneumokukus peka terhadap penisilin-G, pada tahun itu
juga, ditemukan beberapa pneumokukus yang relatif
resisten terhadap penisilin di New Guinea. Sejak tahun
1977,organisme ini telah ditemukan dalam berbagai wabah
di rurnah sakit, mula-mula di Afiika Selatan dan kemudian
di tempat lain. Meskipun pneumokukus tidak
menghasilkan P-laktamase, resistensinya terhadap
penisilin G, mun&n akibat PBP yang berubah.
Bakteri usus gram-negatif. Sebagian besar resistensi
obat pada bakteri usus disebabkan oleh perluasan
penularan plasmid resistensi pada berbagai genus. Pada
saat ini di banyak tempat di dunia kira-kira separuh strain
Shigella sp resisten terhadap obat.
Bakteri Salmonella yang dikandung oleh hewan juga
berkembang menjadi resisten, terutama terhadap obat
(khususnya tetrasiklin) yang digunakan dalam makanan
temak. Kebiasaan mencampurkan obat dalam makanan
hewan menyebabkan temak tumbuh lebih cepat tetapijuga
menyebabkan peningkatan organisme usus yang resisten
terhadap obat dalam flora usus para pekerja petemakan.
Peningkatan infeksi Salmonella yang resisten obat di
Inggris menyebabkan dibuatnya aturan pembatasan
penambahan antibiotika pada makanan ternak.
Penggunaan tambahan tetrasiklin pada makanan temak di
Amerika Serikat ikut menyebabkan penyebaran plasmid
resisten dan salmonela yang resisten obat.
Plasmid pembawa gen
- resistensi obat terdapat pada
banyak bakteri gram negatif pada flora usus normal.
Penggunaan obat antimikroba secara berlebihan
khususnya pada penderita di rumah sakit menyebabkan
penekanan organisme yang peka obat dalam flora usus
dan membantu pertumbuhan bakteri yang resisten obat,
termasuk Enterobacter, Klebsiella, Proteus, Psedomonas,
Serratia, dan jamur. Organisme ini menimbulkan masalah
yang sulit terutama pada penderita dengan granulopenia
. dan imunitasnya tertekan. Rumah sakit, yang merupakan
lingkungantertutup, membantu penularan organisme yang

resisten melalui personelnya dan peralatan, juga kontak


langsung.

PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIBIOTIKA

Kuman tuberkulosis. Telah timbul mutan resisten obat pada


tuberkulosis, khususnya pada pasien yang terinfeksi
dengan HIV. Kuman tuberkulosis resisten dapat
men~ulitkanpengobatan ~enderitatuberlculosis dan dapat
ditularkan pads orang-orang Yang berkontak dengan
penderita tersebut, sehingga menimbulkan infeksi primer
yang resisten obat.

Pembatasa n Anti biotika pads Formularium


Rumah Sakit
Pada pemilihan antbiotik dalam formularium faktor
resistensijuga hams diperhatikan.Antibiotika yang sudah
diketahui rnenimbulkan masalah resistensi hams dibatasi
penggunaannya atau
dimasukkan&lam fomularium
atau penggunaannya hams disetujui oleh ahli penyakit

Antibiotik

Target utama
sel

B-Lactams
(Penisillin dan
sefalosporin)

Dinding sel

Vancomycin

Dinding sel

Bacitracin

Dinding sel

Macrolides
(erythromycin)
Lincosamides
(clindamycin

Sintesa Protein
Sintesa Protein

Cars kerja

Mekanisme Utama Resistensi

Menghambat dinding sel

inaktivasi obat (p-latamase)


membuat target sel menjadi tidak sensitif
menurunkan permeabilitas
pengeluaran antibiotik secara aktif

Penambahan pada
struktur dinding sel
(muramilpepta-pepti)
Merusak dinding sel

Tidak dijelaskan

Bind to 50s ribosomal


subunit
Bind to 50s ribosomal
subunit

perubahan dari target sel


pengeluaransecara aktif
Perubahan pada target sel (ribosomal
methylation)

Binds to 50s ribosomal


subunit
Binds to 30s ribosomal
subunit

lnactivasi obat (chloramphenicol


acetyltransferase)
pengeluaran secara aktif
membuat target sel menjadi tidak sensitif
inaktivasi obat (aminoglicoside-modifying
enzyme)
penurunan permebialitas
pengeluaran obat secara aktif

Perubahan pada target sel

Chloramphenicol

Sintesa Protein

Tetracycline

Sintesa Protein

Aminoglycosides
(gentamicin

sintesa protein

Bind to 30s ribosomal


subunit

Mupirocin

Sintesa Protein

Inhibits isoleucine tRNA


synthetase

Mutasi genetik pada target protein atau


penerimaan gen baru yang menyebabkan
target sel tidak sensitive terhadap antibiotik

Quinupristinldatfopri
stin (Synercid)

Sintesa Protein

Bind to 50s ribosomal


subunit

perubahan dari sel target (ribosomal


methylation: dalfoprist~n)
pengeluaran secara aktif
inaktivasi dari obat (quinipristinand dalfopristin)

Linezolid

Sintesa Protein

Sulfonamides dan
trimethoprim

Metabolisme sel

Bind to 50s ribosomal


subunit

Perubahan dari target sel (mutation of 23s


rRNA)

Kompetisi hambatan
enzim pada sintesa
asam folat

Produksi sel target yang tidak sensitif


(dihydropteroate synthetase) (sulfonamides))
dan produksi dihydrofolate reductase
(trimethoprim) yang memintas hambatan
metabolis dari antibiotik.

Rifampin

Sintesa asam
nukleat

menghambat DNAdependent RNA


polymerase

Membuat target menjadi tidak sensitii (mutasi


dari gen polymerase)

Metronldazole

Sintesa asam
nukleat

Merusak DNA sel

Tidak dijelaskan

Quinolones
(ciprofloxacin)

Sintesa DNA

Menghambat DNA
gymse (A subunit) dan
topoisomerase IV

membuat target menladl tldak eensltif (mutetion


of gymse genes)
pengeluaran antibiotik secara aktif (active
efflux)

Novobiocin

Sintesa DNA

Polymyxins
(polymixin B)

Membrane sel

Menghambat DNA
gyrase (6 subunit)
Menurunkan
permebialitas sel

Tidak dijelaskan
Tidak dijelaskan

infeksi. Sedangkan antibiotika yang diketahui tidak


menimbulkan masalah resistensi penggunaannya tidak
perlu dibatasi.
Pelaksahaan pengendalian infeksi yang baik dapat
meminimalkan masalah resistensi oleh karena penyebaran
kuman resisten di rumah sakit ataupun antar rumah sakit
dapat dibatasi.
Pengendalian resistensi-antibiotika di masyaraKat
tergantung pada pemilihaii antibiotika oleh para dokter di
masyamkat, biasanya penggunaan antibiotikaoral. Umurnnya
para dokter memberikan antibiotika tidak memperhitungkan
efek jangka panjang yaitu munculnya kuman resisten. Jadi
faktor penting mencegah terjadinya kuman resisten di
masyarakat adalah dengan mendidik para dokter untuk
menggunakan antibiotika secara lebih bijaksana yaitu
menggunakan antibiotika dengan indikasi yang jelas.
Suweilans dari kuman-kuman resisten sangat penting
dilakukan dalam upaya mencegah munculnya kuman
resisten. Dan pelaporan hasil suweilans secara teratur dapat
dipakai dasar untuk melihat kecenderungankuman yang akan
menjadi resisten clan kebijakan yang hams dilakukan.

PENGENDALIAN RESlSTENSl ANTlBlOTlKA Dl


RUANG PERAWATAN INTENSIF (INTENSIVE CARE
UNIT)

Ruang perawatan intensif merupakan lokasi yang sangat


penting untuk pertumbuhan dan penyebaran kuman
resisten ini oleh karena itu monitoring penggunaan
antibiotika dan surveilans kuman resisten ditempat
tersebut perlu menjadi perhatian.
Muncul dan berkembangnya kuman resisten sangat
dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu pengendalian
infeksi yang kurang baik dan penggunaan antibiotika
(antibiotic selective pressure).
Tiga kuman utama yang hams menjadi perhatian pada
pengendalian kuman resisten antibiotika adalah:
Methicillin resistant S.aureus (MRSA), Cephalosporinresistant (Extended spectrum beta-1actamaselESBL)
Klebsiela pneumoniae, dan Vancomycin-resistantentero-

Strategl pencegahan yang terbukti berhasil


Ellmlnasl antlblotlk darl makanan binatana
Pembatasan formularium rumah sakit (pingendahan secara
ketat penggunaan antibiotik yang mempunyai potensi
resistensi yang tinggi)
Pengendalian resistensi antibiotik yang berhasil
Pengendalian infeksi nosokomial
Suveilance kuman-kuman untuk mendeteksi masalah
resistensi secara dini
lmplementasi pengendalian infeksi secara cepat untuk
membatasi penyebaran kuman-kuman resisten
Pembatasan forrnularium rumah sakit (mengendalikan
antibiotik yang mempunyai potensi resisten secara ketat)

coccusfaecium (VRE).
Untuk kuman MRSA, pengendalian infeksi merupakan
kunci utama untuk mencegah penyebaran MRSA tersebut.
Dari data di Belanda dan Denmark menunjukkan bahwa
pengendalian infeksi yang ketat dapat menekan
penyebaran kuman tersebut. Diduga bahwa kolonisasi
MRSA pada rongga hidung petugas kesehatan yang sehat
merupakan faktor utama dari MRSA.
Untuk Klebsiela pneumoniae penggunaan antibiotika
secara bijaksana merupakan kunci pengendalian resistensi
antibiotika pada kuman ini. Penggunaan golongan
sefalosporin spektrum luas yang berlebihan akan
memunculkan strain Enterobacteriaceae yang resisten
terutama K. pneumoniae yang resisten terhadap extendedspectrum cephalosporin.
Untuk VRE, pengendalian infeksi dan penggunaan
antibiotika secara bijaksana keduanya merupakan faktor
penting untuk mengendalikan kuman ini.

Bronzwaer S.L.A.M., Cars O., et all. A European Study on the


Relationship between Antimicrobial Use and Antimicrobial
Resistance.Emerg Infect Dis 2002; 8(3):278-82.
Brooks GF., Butel JS, and Ornston LN. In :Jawet, Melnick and
Adelberg. Mikrobiology Kedokteran.(Medical Microbiology)
Alih Bahasa: dr. Edi Nugroho dan dr. RF Maulany editor: dr
Irawati Setiawan Edisi 20 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 1996.p. 157-9.
Christidou A., Gikas A., Sculica E. at all. Emergence of vancomycinresistant enterococci in a tertiary hospital in Crete, Greece: a
cluster of cases and prevalence study on intestinal colonization.
Clin M~cribiolInfect 2004;10:999-1005.
Cunha B.A. Antibiotic Therapy, Part I. The Medical Clinics of
North America. 2000;84: 1407-2 1.
Delisle S., Per1 TM. Antimicrobial management measures to limit
resistance: A process-based conceptual framework. Crit Care
Med 2001; 29(4) suppl.: N121 - N127.
Directorate General of Medical Care Ministry of Health, Republic of
Indonesia.Antirnicrobia1 Resistance, Antibiotic usage and Infection
control : A self-assessment program for Indonesian hospitals (2005)
Filius PMG., and Gyssens IC. Impact of Increasing Antimicrobial
Resistance on Wound Management. Am J Clin Dermatol 2002;
3(1) 1-7.
Man P., Verhoeven BAN., Verbrugh HA. An antibiotic policy to
prevent emergece of resistant bacilli. Lancet 2000;355: p.973-8.
Rice LB. Controlling antibiotic resistance in the ICU: Different
bacteria, different strategies. Clev Clin J of Med 2003.; 70(9)
p.793-800.
Salmenlinna S., Lyytikainen O.,and Vuopio-Varkila J. CommunityAcquired Methicillin-Resiatant Staphylococcus aureus, Finland.
Emerg Inf Dis 2002 ; 8(6): 602 - 605.
Salyers A.A., and Whitt D.D. Antibiotic: Mechanisms of Action and
Mechanism of Bacterial Resistance. In Bacterial Pathogenesis
A. Molecular approach, Washington, D.C: ASM Press; 2005.
p.97 -110.
WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance.
World Health Organization 2001.

INFEKSI NOSOKOMIAL
Iskandar zulkarnain

PENDAHULUAN
,
,

Seorang pasien yang masuk rumah sakit untuk menjalani


perawatan tentu berharap mendapat kesembuhan atau
perbaikan penyakitnya, setidaknya mendapat keringanan
keluhannya. Sebagian besar, terutama pengidap penyakit
akut berhasil memperoleh perbaikanlpenyembuhan tadi.
Namun ada kalanya, terutama pada pengidap penyakit
kronik atau yang keadaan umumnya buruk, justm ia dapat
terkena infeksi baru yang mei~gakibatkanpenyakitnya lebih
berat, lebih lama dirawat, lebih banyak tindakan diagnostik
dan obat yang diperlukan, biaya meningkat dan mungkin
menyebabkankematian. Infeksi yang didapatnya di rumah
sakit tersebut disebut sebagai infeksi yang didapat di
rumah sakit (hospital acquired infection), untuk
membedakannya dengan infeksi yang didapat di
masyarakat (community acquired
Infection). Infeksi yang didapat di rumah sakit lebih
dikenal sebagai infeksi nosokomial (lN).
Definisi Infeksi Nosokomial adalah :
Infeksi yanq didapat di rumah sakit.
Infeksi yanq timbuyterjadi sesudah 72 jam perawatan
pada pasien rawat inap.
Infeksi yanq terjadi pada pasien yang dirawat lebih lama
dari masa inkubasi suatu penyakit.
Pada suatu rumah sakit yang mempunyai ICU, angka
(rate) infeksi nosokomial-nya lebih tinggi dibanding yang
tidak mempunyai ICU. Kejadian infeksi nosokomial juga
lebih tinggi di rumah sakit pendidikan oleh karena lebih
banyak dilakukan tindakan pemeriksaan (diagnostik) dan
pengobatan yang bersifat invasif.

Penularan dapat terjadi melalui cara silang (crossinfection) dari satu pasien kepada pasien lainnya atau
infeksi diri sendiri di mana kuman sudah ada pada pasien,
kemudian melalui suatu migrasi (gesekan) pindah tempat
dan di tempat yang baru menyebabkan infeksi (selfinfection atau auto infection).
Tidak hanya pasien rawat yang dapat tertular, tapi juga
seluruh personil rumah sakit yang berhubungan dengan
pasien, juga penunggu dan pengunjung pasien. Infeksi
ini dapat terbawa ke tengah keluarganya masing-masing.
Infeksi rumah sakit sering terjadi pada pasien berisiko
tinggi yaitu pasien dengan karakteristik usia tua,berbaring
lama, penggunaan obat imunosupresan dan steroid, daya
tahan tubuh yang menurun pada pasien luka bakar, pada
pasien yang dilakukan prosedur diagnostik invasif, infus
lama atau pemasangan kateter urin yang lama dan infeksi
nosokomial pa& luka operasi. Sebagai sumber penularan
dan cara penularan terutama melalui tangan, jarum suntik,
kateter intravena, kateter win, kain hatverban, cara keliru
dalam menangani luka, peralatan operasi yang
terkontarninasi,dan lain-lain

EPlDEMlOLOGl

Bagan di bawah ini sering digunakan untuk memperjelas


bagaimana infeksi nosokomial dapat terjadi di suatu rumah
sakit.

Kuman penyebab infeksi nosokomial yang tersering adalah


Proteus, E.coli, S.aureus, clan Pseu-domonas. Selain itu
terdapat juga peningkatan lN oleh kuman Enterocococus
faecalis (Streptococcus faecalis) .
Dibandingkan dengan kuman yang sama yang ada di
masyarakat

2906

Вам также может понравиться