Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
+
Bila diternukan 1 atau lebih dari :
(-1
1
Gambar 1. Evaluasi pemeriksaan hematuria mikroskopik
Vaskular
Gangguan koagulasi
Kelebihan obat anti koagulan
Trombosis atau emboli arterial
Malforrnasi arteri-vena
Fistula arteri-vena
Nutcracker syndrome
Trombosis vena renalis
Glomerular
Nefropati IgA
Alport sindrom
Glomerulonefritisprimer dan sekunder
lnterstisial
lnterstisial nefritis alergi
Nefropati analgesik
Penyakit ginjal polikistik
Pielonefritis akut
Tuberkulosis
Rejeksi ginjal alograf
Uroepltellum
Keganasan ginjal dan saluran kemih
Latihan yang berlebihan
Trauma
Nekrosis papillaris
Sistitisluretritislprostatitis(biasanya disebabkan infeksi)
Penyakit parasit (misalnya skistosomiasis)
Nefrolitiasisatau batu vesika urinaria
Penyebab Lalnnya
Hiperkalsiuria
Hiperurikosuria
Sickle cell diseaselpenyakit sel sabit
200-1.000
-< 200 mglg
hereditary nepk
Hereditary nept
small vessels (r
Cystic kidney d
neoplasms or u
other than kidn~
Tubulointerstiti~
Urinary tract les
disease
May be present
disease, but mc
tubular necrosi:
kidney disease
failure)
200-1.000
mglg
Non-inflammatc
disease, non-in
tubulonterstitial
affecting mediu
+ risiko linggi I
I Pasien dengan
I fi
AA
Sitologi
Posilif
Ne atif
Evaluasi urologl
L
Gambar 2. Evaluasi urologi pada hematuria asimtomatik mikroskopik
evaluasi
PROTEINURIA
Lucky Aziza Bawazier
PENDAHULUAN
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia
yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24
jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Dalam
keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah
tertentu masih dianggap fungsional. Ada kepustakaan
yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap
fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mglhari pada
dewasa (pada anak-anak 140 mg/m2),tetapi ada juga yang
menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mghari.
Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin
rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal
dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius.
Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya
proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat
sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang
tidak progresif. Lagipula protein dikeluarkan urin dalamjumlah
yang bemariasi sedikit dan secara langsung bertanggung
jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein di
dalarn urin sangadah penting, dan memerlukan penelitian lebih
lanjut untuk menentukan penyebablpenyakit dasarnya.
Adapun prevalensi proteinuria yang ditemukan saat
pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 33%.
Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan
ginjal.
Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila
kadarnya d i atas 200 mglhari pada beberapa kali
pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang
mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah
menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya
hanya sedikit di atas nilai normal. Dikatakan proteinuria
masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mghari
dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin.
Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah
protein yang cukup besar atau beberapa gram protein
PATOFISIOLOGI PROTEINURIA
Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari
ke-4 jalan di bawah ini:
1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti
peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama
albumin.
2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil
protein yang normal difiltrasi.
3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low
Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah
melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus.
4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel
clan sekresi IgA (Irnunoglobulin A) dalam respons untuk
inflamasi.
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin
tergantung mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat
hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal
melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin.
Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah
transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat
molekul besar lainnya untuk menembus dinding
glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalarn urin (proteinuria glomerulus). Protein
yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi
diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu
normal ekskresi kurang dari 150 mghari dari protein total
dan albumin hanya sekitar 30 mghari; sisa protein pada
urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall,
'
'
PROTElNURlA FlSlOLOGlS
Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan
kelainanlpenyakitginjal. Beberapa keadaan fisiologis pada
individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada
keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan
yang jumlahnya kurang dari 200 mglhari dan bersifat
sementara. Misalnya: pada keadaan demam tinggi, gagal
jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat
mencapai lebih dari 1 gramlhari), pasien dalam keadaan
transfusi darahlplasma atau pasien yang kedinginan,
pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang
sebabnya bukan karena kebocoran protein dari
glomerulus tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit
yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif
palsu proteinuria masif). Proteinuria fisiologis dapat pula
terjadi pada masa remaja dan juga pada pasien yang lordotik
(ortostatik proteinuria).
PROTEINURIA PATOLOGIS
Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan
proteinuria, misalnya pada penyakit ginjal polikistik,
penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obat
analgesik dan kelainan kongenital kista dan sebagainya,
sering tidak ditemukan proteinuria.Walaupun demikian,
proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan
merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada
penyakit ginjal diabetes maupun penyakit ginjal non
diabetes, sejak dahulu protenuria dianggap sebagai faktor
prognostik yang bermakna dan paling akurat. Risiko
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular juga meningkat
secara bermakna dengan adanya proteinuria. Di dalam
kepustakaan, banyak definisi diberikan untuk menyatakan
berapa jumlah protein sebenarnya dalam urin yang
dianggap patologis. Ada kepustakaan yang menyatakan,
protein di dalam urin tidak boleh melebihi 150 mgl24jam,
tetapi ada pula yang menyebutkan protein urin di bawah
200 mglhari.
Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif,
terutama pada keadaan nefrotik, yaitu protein di dalarn urin
yang mengandung lebih dari 3 gram124 jam pada dewasa
atau 40 mglm2/jampada anak-anak, biasanya berhubungan
secara bermakna dengan lesilkebocoran glomerulus.
Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi
3,5 gram124jam.
Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti
keadaan diabetes melitus yang cukup lama dengan
retinopati, dan penyakit-glomerulus. Terdapat 3 jenis
proteinuria patologis: 1). Proteinuria glomerulus, misalnya:
mikroalbuminuria, proteinuria klinis; 2). Proteinuria
tubular; 3). Overj-low proteinuria.
PROTElNURlA GLOMERULUS
Bentuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit
ginjal di mana albumin adalah jenis protein yang paling
dominan (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein
dengan berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah
kecil saja.
Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi
glomerulus protein plasma meningkat: 1). Ketika barier
filtrasi diubah oleh penyakit yang mempengaruhi
glomerulus. Protein plasma, terutama albumin, dapat
melalui glomerulus. Pada penyakit glomerulus dikenal
penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan
kegagalan selularitas yang berubah. Pada penyakit ginjal
yang lain sebagaimana GN proliferatif dan nefropati
membranosa, terjadi defek pada ukuran; 2). Faktor-faktor
hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler
glomeruluslfraksi filtrasi mungkin juga menyebabkan
proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang meningkat
tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik
PROTEINURIA TUBULAR
Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah
antara 100-150 mg perhari, terdiri atas P-2 mikroglobulin
dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang
biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal
tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Fankoni,
pielonefritis kronis, dan akibat cangkok ginjal.
OVERFLOW PROTEINURIA
Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel )
berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi rantai
pendeklprotein berat molekul rendah (kurang dari 40000
dalton) berupa Light Chain Imunoglobulin, yang tidak
dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstiklyang
umumnya mendeteksi albuminlpemeriksaan rutin biasa,
tetapi harus pemeriksaan khusus. Protein jenis ini disebut
protein Bence Jones. Penyakit lain yang sering
menimbulkan protein Bence Jones adalah amiloidosis dan
makroglobulinemia. Protein berat molekul rendahlrantai
ringan ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh
glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal.
Presipitat asam sulfosalisilat tidaklah terdeteksi dengan
dipstik, hanya memperkirakan rantai terang (protein Bence
Jones) dan rantai pendek yang secara tipikal dalam bentuk
presipitat, karena protein Bence Jones mengendap pada
suhu 45" dan larut kembali pada suhu 95- 100". Gagal ginjal
dari kelainan ini timbul melalui berbagai mekanisme
obstruksi tubulus (nefropati silinder) dan deposit rantai
pendek.
PROTEINURIA TERlSOLASl
Proteinuria terisolasi adalah sejumlah protein yang
ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang
tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit
sistemik. Proteinuria ini hampir selalu ditemukan secara
kebetulan dapat menetaplpersisten, dapat pula hanya
sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik
tubuh pasien. Biasanya sedimen urin normal. Dengan
pemeriksaan pencitraan ginjal tidak ditemukan gangguan
abnormal ginjal atau saluran kemih dan tidak ada riwayat
gangguan ginjal sebelumnya. Biasanya total ekskresi
protein urin kurang dari 2 glhari. Data insidens dan
prevalensi terisolasi isolated proteinuria ini pada grup usia
berapa dan populasi yang mana, belum ada.Yang jelas pada
berbagai populasi prevalensinya bervariasi antara 0,610,7%.
Proteinul-ia terisolasi dibagi dalam 2 kategori: 1). Jinak,
termasuk yang fungsional, idiopatik, transienltidak
menetap, ortostatik, dan intermiten; 2). Yang lebih serius
lagi adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara
persisten.
Proteinuria Fungsional
Ini adalah bentuk umum proteinuria yang sering
terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena
berbagai penyakit. Biasanya berhubungan dengan
demam tinggi, latihan sternosus, terpapar dengan
dinginlkedinginan, stres emosi, gagal jantung kongestif,
sindrom obstruksi sleep apnea, dan penyakit akut
lainnya. Sebagai contoh: ekskresi protein meningkat 23 kali setelah latihan sternosus tetapi hilang kembali
setelah istirahat. Sebenarnya, kunci keadaan ini
proteinuria tidak tampak dengan segera. Proteinuria
tersebut adalah jenisltipe glomerulus yang diyakini
disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang
meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma.
Penyakit ginjal yang progresif tidak timbul pada pasien
ini.
Proteinuria Transien ldiopatik
Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anakanak dan dewasa muda, yang ditandai oleh proteinuria
yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat
tetapi hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan
kembali. Pasien tidak mempunyai gejala, proteinuria selalu
ditemukan secara insidentil pada penapisan urin rutin, atau
selama pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja dan
pemeriksaan rutin dari asuransi yang biasanya merupakan
fenomena fisiologis pada orang muda. Sebenamya, jika
contoh urin diperiksa cukup sering, banyak orang sehat
muda kadang-kadang akan menimbulkan hasil proteinuria
kualitatif positif. Proteinuria tidak dihubungkan dengan
keadaan yang buruk sehingga tidak diperlukan evaluasi
lebih lanjut.
Proteinuria Intermiten
Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien
yang tidak mempunyai bukti penyebab proteinuria.
Berbagai studi menunjukkan variasi luas dari bentuk
abnormalitas ginjal yang berhubungan dengan keadaan
ini. Pada beberapa kasus dengan berbagai lesi minor
pada glomeruluslinterstitium, tidak ditemukan kelainan
pada biopsi ginjal. Prognosis pada kebanyakan pasien
adaiah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang
setelah beberapa tahun. Kadang-kadang, walaupun
jarang, terdapat insufisiensi ginjal progresif dan risiko
untuk gagal ginjal terminal tidak lebih besar daripada
populasi umum. Keadaan ini biasany a tidak berbahay a
pada pasien lebih muda dari 30 tahun, sedangkan pada
pasien yang lebih tua, lebih jarang, biasanya harus
dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan
fungsi ginjalnya.
Proteinuria
(Deteksl dengan dipstick)
TlDAK ADA
Prote~nuna
ortostatiklpostural
Protelnuna
U l a n g urin
kwantitatif2-3x
30-300 mghari
atau
30-350 mglg
>3500 mglhari
atau
> 3500 mglg
300-3500 mglg
Keteranaan aambar:
Mikroalbuminuria
Silinder eritrosit I
sel-sel darah merah
oada urinalisis
hematuria
-Amiloidosis
m:
Glomerulonefritis)
/\
Horsfall I
1 - p mikrobulin
1
~ , 7 A q * l
(temtamaalbumin)
lrnenaaambarkan berberbaaa~sebab
- Penyaki lesi
kmtk-protein
~i~erte&i
'minimal
plasma)
- Gagal ginjal kronik
- FSGS
I- Diabetes
I
I
1I
I1-
rantai pendek
(Ka t y A )
'
MPGN
2004:66:(suppl.92):S67-S78.
Sukandar E. Nefrologi klinik. 2nd ed. Bandung: Penerbit ITB; 1997.
Verhave JC, Gansevoort RT. An elevated urinary albumin excretion
predicts de ilovo development of renal function impairment in
the general population. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S18S21.
Warnock DG. Inclusion of albumin as a target in therapy guidelines:
guidelines for chronic kidney disease. Kidney Int.
2004:66:(supp1.92): S 12143.
SINDROM POLIURIA
Shofa Chasani
Tujuan
1. Mampu menerangkan definisi poliuria
2. Mampu menerangkan tentang regulasi cairan tubuh oleh
ginjal dan pengaruh hormon ADH terhadap tubulus
ginjal.
3. Mampu menerangkan mekanisme terjadinya poliuri baik
karena faktor osmotik rnaupun faktor hormonal.
4. Mampu menerangkan penyebab poliuria, gambaran
klinik serta diagnosis banding dan gejala ikutannya.
5. Mampu menerangkan mekanisme penanganan
poliuria.
SINDROM POLIURIA
DIABETES INSIPIDUS
eDefisit air
f Perrneabilitas H20
Tubulus distal dan
tubulus koligenitas
f Reabsorbsi H20
Cortex
ETlOLOGl CDI
PREGNANCY
PATOFlSlOLOGlOSMORECEPTORDYSFUNCTION
E'I'IOLOGI NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS
Congenital (X-linked recessive, AVP V2Receptor gene
mutations, autosomal recessive or dominant, aquaporin2 water channel gene mutations).
Drugs induced (demeclocycline, lithium, cisplatin,
mrthoxyflurane)
Hypercalcemia.
Hypokalemia.
Infiltrating lesions (sarcoidosis, amyloidosis).
Vascular (sickle cell anemia).
Mechanical (polycystic kidney disease, bilateral
ureteral obstruction)
Solute dieresis (glucose, mannitol, sodium,
radiocontrast dyes)
Idiophatic.
PATOFlSlOLOGl CDI
Pada umumnya basal AVP hams turun kurang dari 10 -20%
dari normal sebelum oamolality urine basal turun kurang
dari 300mOsm/kg H 2 0 dan aliran urin naik ke level
sirnptomatik (>50 mllKgBW1day). Hasil dari hilangnya air
akan menaikkan osmolalitas plasma dan akan merangsang
rasa haus, sehingga tejadi polidipsi.
Kemampuan kompensasi dari polidipsi terbatas, pada
keadaan mencapai ambang batas maka perlu bantuan
suplementasi AVP.
Karena konservasi ginjal terhadap natrium tidak terganggu
maka adanya kekurangan AVP ini tidak disertai kekurangan
natrium. Pada kasus dimana AVP sama sekali tidak
disekresi (complete DI) pasien akan tergantung seluruhnya
pada intake air untuk keseimbangan air dalam tubuh.
Diabetes Insipidus Sentral ada 2 macam yaitu:
1. Diabetes insipidus idiopatik (autosomal dominan
familial) diduga karena autoimun.
DIAGNOSIS KLlNlK
POLlDlPSl PRIMER
Tes Genetik
Gen-gen yang ditemukan sarnpai sekarang adalah AVPV2
dan AQP2. AVPV2 merupakan satu-satunya gen yang
berhubungan dengan x linked NDI. AQP2 merupakan satusatunya gen yang berhubungan dengan NDI autosomal
resesif dan autosomal dominan.
Tes Penunjang
Tes ini berguna untuk menentukan penyebab DI antara
lain laboratorium klinik dan pemeriksaan radiologi.
TERAPI
Untuk . :semua jenis diabetes insipidus secara umum
adalah:
1. Koreksi setiap defisit air.
2 Mengurangi kehilangan air yang berlebihan lewat urin.
Terapi spesifik tergantung jenis poliurinya dan
tergantung keadaan klinik dari masing-masing diabetes
insipidus.
Koreksi Air
Untuk mengurangi kerusakan susunan syaraf pusat dari
pemaparan hiperosmolality pada kebanyakan kasus DI
maka secepatnya osmolality plasma hams diturunkan
dalam 24 jam pertarna ,hingga 320-330 mOsm/Kg H20 atau
mendekati 50%.
Arginin Vasopressin (Pitressin)
Merupakan sintetis dari AVP manusia, kemasan 20 Unitlrnl
aqua.
Mempunyai short-half life relative (2-4 jam lamanya
efek antidiuretik) dianjurkan tidak diberikan bolus intra
vena kecuali dalam keadan akut mis: postoperative DI,
dilakukan titrasi dosis sampai efek diuresisnya terkontrol.
Efek samping: meningkatkan tekanan darah.
Desmopressin
DDAVP adalah agonist reptor AVPV2, banyak
dikembangkan untuk terapi DI karena mempunyai halflife yang panjang (8-20 jam efek lamanya antidiuretik)dqn
tanpa adanya aktivasi AVP V 1.
Merupakan obat pilihan baik untuk akut maupun
kronis CDI.
Kemasan dalam bentuk intranasal 100 mglml aqua,
nasal spray 10 mg dalam 0,1 ml. atau dosis oral 0,1 atau 0,2
mg.
Dalam keadaan emergensi bisa diberikan intavena atau
Chlorpropamid (Diabenese)
Merupakan obat anti oral diabetes dari golongan
sulfoniurea yang memiliki efek osmotic dari AVP di ginjal.
Dikatakan bahwa chlorpropamid mengurangi polyuria
hingga 25-75% pada pasien dengan CDI.
Titik kerjanya sebagian besar di tubulus ginjal yang
berpotensiasi dengan hidroosmotik dari AVP dalam
sirkulasi, disamping terbukti meningkatkan sekresiAVP di
pitutari.
Dosisnya antara 250-500 mglhari dengan efek
antidiuretika 1-2hari dan maksimum 4 hari.
Sebaiknya tidak diberikan pada penderita hamil dan
anak-anak, serta bukan untuk kasus akut.
Prostaglandin Synthese Inhibitors
Mempunyai efek baik pada otak maupun ginjal, efeknya
masih kurang diketahui. Di otak mempunyai efek
merangsang sekresi AVP sedangkan di ginjal merangsang
efekAVP, dengan demikian bisa digunakan untuk CDI dan
NDI.
Natriuretic Agents
Tiazid merupakan diuretik yang mempunyai efek
paradox antidiuretik pada pasien dengan CDI walaupun
terapi utamanya untuk NDI.
Dosis 50-lOOmgIhari, biasanya dapat mengurangi
diuresis hingga 50% kombinasi dengan DDAVP sering
digunakan pada penderita NDI.
OAINS
Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) seperti
endometasin dapat memacu pemekatan air kemih dan
mengurangi pengeluaran air kemih. Obat ini dapat dipakai
sendiri ataupun kombinasi dengan diuretik tiazid.
Penggunaan OAINS perlu perhatian karena nefrotoksik
maupun kelainan sekresi asam lambung.
Mengingat efek samping indometasin (penghambat
siklooksigenase-l1Cox- 1), maka penggunaan penghambat
Cox-2 diharapkan bisa sebagai penggantinya walaupun
belum ada penelitiannya.
PENGOBATAN PADA KEADAAN TER'TENTU
1. Pengobatan darurat pada dehidrasi.
2 Pengobatan pada keadaan khusus sewaktu tindakan
bedah.
3. Penanganan kelainan ginjal misal hidronefrosis,
hidroureter dan megakistik.
I
Langkah 1:
bagalmena osomolaliis urin?
DIABETES INSIPIDUS
-1 POLIDIPSI
Langkah 3a:
Respon terhedap Vasapresin?
, 1
DIABE;E;ZPIDUS~
TlDAK
1 ,
Lengkah 3b:
Pen'ksaosmoles
di urin dan
tentukan sumbemya
Lnngkah4:
Respon temadap DDAVP
VASOPRESIN
DIABETES INSIPIDUS
NEFROGENIK
Glukosa
Urea
Moniiol
-
REFERENSI
Edoute,Y, Davids,M.R, J0hnston.C. Halperin,M.L. An integrative
physiological approach to polyuria and hypematremia: a dobletake' on diagnosis and therapy in a .patient with schizophrenia.
Q J 'Med.2003. 96: 53 1-40.
Guyton A.C and Hall J,E, Textbook of Medical Physiology, Ninth
Ed, WB Saunders Company, 1996, 349 - 65.
Halperin,M,L. Davids M,R, and Kame1,K.S. Interpretation of urin
electrolyte and Acid-Base Parameter io Branner,B,M & Rector's,
The Kidney, Seventt Edit, Vol2. Chapter 25. WB Saundm.UX)4:
1151- 81.
Johnson ,T,M, Miller,M, Pillon D,J, and Ouslander,J,G, Arginine
vasopressin ang nocturnal polyuria in older adults with frequent
night-time voiding. The Joumal of
Urology, copyright 2003: vol. 170: 480 4.
Knoers, N. Nephrogenic Diabetes Insipidus, Gene Reviews,
www.genetes.org. January. 2005 . 1-19.
GLOMERULONEFRITIS
Wiguno Prodjosudjadi
PENDAHULUAN
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit yang sering
dijumpai dalam praktik klinik sehari-hari dan merupakan
penyebab penting penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, GN dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila
penyakit dasamya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
GN sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit
sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES),mieloma multipel, atau arniloidosis.
Di Indonesia GN masih mempakan penyebab utama
PGTA yang menjalani terapi pengganti dialisis walaupun
data US Renal Data System menunjukkan bahwa diabetes
merupakan penyebab PGTA yang tersering. Manifestasi
klinik GN sangat bemariasi mulai dari kelainan urin seperti
proteinuria atau hematuri saja sampai dengan GN progresif
cepat.
Selectins
E-selectin
1-selectin
P- selectin
19-like family
ICAM-1
ICAM-2
VCAM-1
lntegrins
p1 -integrins
VLA-4
fl-integrins
LFA-I
Mac-I
~150.95
VLA-4: very late antigen-4; LFA-1: lymphocyte-function
associated antigen-1
ICAM-1: intercellular adhesion molecule-I ; ICAM-2; VCAM1:vascular cell adhesion molecule-1
a subfamily
ENA-78
GCP-2
IL-8 (NAP-1)
YIP-10
NAP-2, NAP-4
PF-4
SDF-la, SDF-1P
flsubfamily
MCP-1 (MCAF)
MCP-2, MCP-3
MIP-la, MIP-1P
RANTES
KOMPLEMENPADA KERUSAKANGLOMERULUS
Keterlibatan komplemen terbukti dengan ditemukannya
endapan pada pemeriksaan rnikroskop imunofluoresen (IF)
biopsi ginjal pasien GN. Kadar serum komplemen yang
rendah pada nefritis lupus dan GN pasca infeksi streptococcus akut memperkuat kaitan antara komplemen dan GN.
Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai
mekanisme pertahanan humoral. Pada GN komplemen
berfungsi mencegah masuknya Ag, tetapi dapat pula
menginduksi reaksi inflamasi. Dua jalur aktivasi sistem
komplemen yaitu klasik dan altematif. Kompleks imun yang
Jalur
Klasik
Properdin
Jalur
AlternaUl
GAMBARAN HISTOPATOLOGIS
Klasifikasi GN primer secara histopatologik sangat
bewariasi tetapi secara umum dapat dibagi menjadi GN
proliferatif dan non-proliferatif. Termasuk GN nonproliferatif adalah GN lesi minimal, glomerulosklerosisfokal
dan segmental, serta GN membranosa.
GLOMERULOSKLEROSISFOKAL DANSEGMENTAL
(GSFS)
Secara klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik
dengan gejala proteinuria masif, hipertensi, hematuri, dan
sering disertai gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan
mikroskop cahaya menunjukkan sklerosis glomerulus
yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi
GLOMERULONEFRITISMEMBRANOSA (GNMN)
Glomerulonefritismembranosa atau nefropati membranosa
sering merupakan penyebab sindrom nefrotik. Pada
sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui
sedangkan yang lain dikaitkan dengan LES, infeksi
hepatitis virus B atau C, tumor ganas, atau akibat obat
misalnya preparat emas, penisilinamin, obat anti inflamasi
non-steroid. Pemeriksaan mikroskop cahaya tidak
menunjukkan kelainan berarti sedangkan pada
pemeriksaan mikroskop IF ditemukan deposit IgG dan
komplemen C3 berbentuk granular pada dinding kapiler
glomerulus.Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi
spike-like pada MBG. Gambaran histopatologi pada
mikroskop cahaya, IF dan mikroskop elektron sangat
tergantung pada stadium penyakitnya.
GLOMERULONEFRI'I'IS PROLIFERATIF
Tergantung lokasi keterlibatan dan gambaran histopatologi
dapat dibedakan menjadi GN membranoproliferatif
(GNMP), GN mesangioproliferatif (GNMsP), dan GN
kresentik. Nefropati IgA dan nefropati IgM juga
dikelompokkan dalam GN proliferatif. Pemeriksaan
mikroskop cahaya GNMP memperlihatkan proliferasi sel
mesangial dan infiltrasi leukosit serta akumulasi matrik
ekstraselular.Infiltrasi makrofag ditemukan pada glomerulus dan terjadi penebalan MBG serta double contour. Pada
mikroskop IF ditemukan endapan IgG, IgM, dan C3 pada
dinding kapiler yang berbentuk granular.
PENGOBATAN
Pengobatan spesifik pada GN ditujukan terhadap penyebab
sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas
penyakit. Pemantauan klinik yang reguler, kontrol tekanan
darah dan proteinuria dengan penghambat enzim konversi
angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors,
ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin I1 (angiotensin
I1 receptor antagonists, AIIRA) terbukti bermanfaat.
Pengaturan asupan protein dan kontrol kadar lemak darah
dapat membantu menghambat progresivitas GN.
Efektivitas penggunaan obat imunosupresif GN masih
belum seragam. Diagnosis GN, faktor pasien, efek samping
dan faktor prognostik merupakan pertimbangan terapi
imunosupresif. Kortikosteroid efektif pada beberapa tipe
Ira dan sTNF-a. Produksi oksigen radikal, IL- l a dan ILI p, IL-8, TNF-a oleh makrofag dapat pula diharnbat dengan
pemberian IL- 13.
Terapi genetik merupakan salah satu upaya pengobatan
GN dan penyakit ginjal lain masa &pan. Dengan melakukan
transfer genetik ke dalam sel somatik diharapkan dapat
memperbaiki kelainan genetik. Sel glomerulus merupakan
target utama transfer gen untuk memodifikasi proses
inflamasi. Transfer gen in vivo ke &lam glomerulus dapat
dilakukan dengan perantaraan virus atau liposom. Pada
model GN anti-Thy. 1, transfer ODN antisens dapat
mencegah efek prosklerotik TGF-P dan terjadinya
glomerulosklerosis. Transfer gen pada tubulus lebih sulit
karena setiap segmen tubulus mempunyai fungsi dan jenis
sel yang berbeda.
Med. 19b,8;339:888-99.
Imai E. Isaka Y. Strategies of gene transfer to the kidney. Perspective in basic science. Kidney Int. 1998;53:264-72.
Johnson RJ, Lovett D, Lehrer RI, Couser WG, Klebanoff SJ. Role of
oxidants and proteases in glomerulus injury. Kidney Int.
1994;45:352-9.
Johnson RJ, Rennke H, Feehally J. Introduction to glomerulus disease. Pathogenesis and classifications. In: Johnson RJ, Feehally
J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition.
Edinburgh: Mosby; 2003. p. 243.
Khlar S, Levey AS, Beck GJ, et al. The efffects of dietary protein
restriction and blood pressure control on the progression of
chronic renal disease: Modification of diet in renal disease study
group. N Engl J Med. 1994;330:877-84.
Kluth DC, Rees A. New approaches to modify glomerulus inflammation. J Nephrol. 1999;12:66-75.
Muirhead N. Management of idiopathic membranous nephropathy:
evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl
7O):S47-S55.
Nakao N, Yoshimura A. Morita H, et al. Combination treatment of
angiotensin-I1 receptor blocker and angiotensin converting
enzyme inhibitor in non-diabetic renal (COORPORATE): a
randomized controlled trial. Lancet. 2003;361:117-24.
Phil Mason. Minimal change disease and primary focal segemental
glomerulosclerosis. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition. Edinburg: Mosby;
2003. p. 271.
AMILOIDOSIS GINJAL
M. Rachmat Soelaeman
PENDAHULUAN
SEJARAH
Klasifikasi
r::p:F:
Distribusi:
sistemik (S),
lokal (L)
. .
Penyakit dasar
AL
lmunoglobulin
rantai ringan
S,L
Mielorna rnultipel,
diskrasia plasma
sel plasma,
arniloidosis, AL
primer.
AA
Arniloid serum
A
AP2M
MikroglobulinP2.
S, L
AP
PP AP
AlTR
Transtiretin
Apr P
Protein Prion
L
L
Penyakit Alzheirner
sporadis, penuaan,
sindrom
Down
FAP (tipe Portugis)
Amiloidosis
kardiovaskular senil
CJD sporadis
(iatrogenik)
CJD familial, FFI
AApoAl
Apolipoprotein
Al
S
L
Amiloidosis sisternik
Arteriosklerosis
AApo All
Apolipoprotein
All
Arniloidosis ginjal
herediter
Agel
Gelsolin
Alys
Lisozim
Acys
Sistatin C
Amiloidosis AA
sekunder; infeksi
kronik (malaria, TB)
atau inflamasi (AR,
spondilitis
ankilosing);
keganasan
(limfoma Hodgkin
dan
gastrointestinal,
karsinoma, GU)
Hemodialisis; deposit
primer di sendi.
Afib, or Aa Fibrinogen
rantai a
Al APP
Polipeptida
amil&d
pankreas
Peptida
natriuretik
atrial
Prolaktin
L
L
lnsulinoma
langerhans pankreas
Fibrilasi atrial
Pituitari
L
L
latrogenik
Kornea
A (tbn)
Insulin
Keratoepitelin
tbn
Atau
Protein Tau
Tumor-tumor
Pindborg
Otak
AANF
Apro
Ains
Aker
DIAGNOSIS
PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) telah mengumurnkan
bahwa prevalensi'diabetes melitus (DM) akan meningkat
di seluruh dunia pada milenium ketiga ini, termasuk negara
di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagianbesar
dari penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 40% dari pasien
DM terdapat keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami
bahwa masalah penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan
mengalami peningkatan di era awal abad 2 1ini. Pada dekade
ini juga, di banyak negara maju PGD tercatat sebagai
komponen terbanyak dari pasien baru yang menjalani terapi
pengganti ginjal. Keadaan yang sama sudah mulai juga
kelihatan di Indonesia.
Pada pasien DM, berbagai gangguan pada ginjal dapat
terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi
saluran kemih, pielonefritis akut maupun kronik, dan juga
berbagai bentuk glomerulonefritis, yang selalu disebut
sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien
diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara
patogenesis dengan diabetesnya adalah PGD, yang secara
klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl-Wilson
pada tahun 1936, berupa glomerulosklerosis yang noduler
dan difus.
ClNJAL HIPERTENSI
Kumpulan
Kumpulan
Kategori
urin
24 jam
(mg124hr)
urin
sewaktu
(pglmin)
Urin
sewaktu
(pglmg
creat)
Normal
Mikroalbuminuria
Albuminuria
klinis
~ 3 0
30-299
->300
<20
20-199
->200
<30
30-299
>300
-
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 36 bulan. Hati-hati terhadap proteinuria yang timbul pada
latihan fisik dalam 24 jam terakhir, infeksi, demam, payah
jantung, hiperglikemia yang berat, tekanan darah yang
sangat tinggi, piuria dan hematuria. (Dikutip dari ADA, 2004)
Penanganan Multifaktorial
Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Centre di
Copenhagen mendapatkan bahwa penanganan intensif
secara multifaktorial pada pasien DM tipe 2 dengan
mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan faktor risiko
yang jauh melebihi pananganan sesuai panduan umum
penanggulangan diabetes nasional mereka. Juga
ditunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat
bermakna pada kejadian kardiovaskular, termasuk strok
yang fatal dan non-fatal. Demikian pula kejadian spesifik
seperti nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih
rendah. Yang dimaksud dengan intensif adalah terapi yang
dititrasi sampai mencapai target, baik tekanan darah, kadar
gula darah, lemak darah, dan miroalbuminuria serta juga
disertai pencegahan penyakit kardiovaskular dengan
pemberian aspirin. Dalam kenyataannya pasien dengan
terapi intensif lebih banyak mendapat obat golongan ACEI dan ARB. Demikian juga dengan obat hipoglikernik oral
dan insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak
mendapat statin.
Bagi pasien yang sudah berada pada tahap 5, gagal
ginjal, terapi yang khusus untuk gagal ginjal perlu
dijalankan, seperti pemberian diet rendah protein,
pemberian obat pengikat fosfat dalam makanan,
pencegahan dan pengobatan anemia dengan pemberian
eritropoietin, dan lain-lain.
NEFRITIS LUPUS
Lucky Aziza Bawazier, Dharmeizar, H.M.S. Markum
PENDAHULUAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit
jaringan ikat, etiologinya tidak jelas diketahui dan termasuk
soluble immune complexes disease, di mana gambaran
klinisnya cukup luas dapat melibatkan banyak organ tubuh,
serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan
eksaserbasi.
Walaupun etiologinya tidak diketahui dengan pasti,
tetapi diduga mempunyai hubungan dengan beberapa
faktor perdisposisi seperti kelainan genetika, infeksi
virus, maupun kelainan hormonal. LES merupakan soluble
immune complexes disease, ditandai lesi autoimun disertai
pembentukan antibodi ganda terhadap berbagai jaringan
organ seperti sendi, paru, otot, dan ginjal.
Keterlibatan ginjal sebagai salah satu manifestasi LES
telah diketahui sejak lebih dari '/z abad yang lalu. Sedangkan
gambaran lengkap keterlibatan komplikasi ginjal tersebut
baru sejak 2 dekade yang lalu. Kriteria klasifikasi pasien
dengan LES berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium, pertama kali tahun 1971 oleh American
Rheumatisms Association (ARA) yang kemudian direvisi
tahun 1982. Menurut kriteria ini bila terdapat 4 dari 11
rnanifestasi tersebut, sudah dapat di katagorikan sebagai LES.
Sebelas kriteria ARA yang telah direvisi tersebut
adalah: 1). Malar rash, 2). Discoid rash, 3). Photosensitivity, 4). Oral ulcers (ulserasi mulut), 5). Arthritis non erosif,
6). Serositis (pleuritislperikarditis), 7). Gangguan ginjal
(proteinuria >500 mgthari atau silinder sellcellular cast,
8). Gangguan neurologis (kejang atau psikosis) kelainan
gangguan saraf pusat, 9). Gangguan hematologi (seperti
anemi hemolitik, lekopeni, limfositopeni atau
trombositopeni), 10). Kelainan imunologis (hasil tes sel
lupus eritematosus, terdapat antibodi anti DNA, antibodi
anti sel lupus atau hasil test serologi false positif untuk
sifilis, antibodi anti fosfolipid), 11). Hasil tes positif antibodi
lnfeksi Virus
Percobaan binatang dengan strain tikus New Zealand
infeksi virus concorna (intra uterin) dapat menyebabkan
,
1
Kerusakan n e f r b
lmmune complex
yang rnernpengaruhi
(1)
Podosit
t (2)
I
C5b6 + ~ 7 . 9
Sintesis kolagen
aktivasi
proliferasi dan pelepasar
PGE dan TNF
PGE
PGE
Trornbosit
1
Tx82
Gambar 2.
Kelas
(Katagori
WHO)
Gambaran
Mikroskop
Cahaya
Normal (I)
Normal
Glomerulonefri
tis
mesangial
proliperatif
(11)
Glomerulonefri
tis fokal
segmental
proliferatif
(111)
Normal atau
pelebaran
mesangial
difus dan
hiperselular
Hiperselular
mesangial
difus dengan
fokal dan
segmental,
segmehtal
nekrosis d?n
trombin
hialin
Hiperselular
difus,
interposisi
mesangial,
deposit
subendotel,
nekrosis
segmental,
trombus
hialin, badan
hematoksilin,
infiltrasi sel,
dan
crescents
Hiperselular
mesangial
ringan
deposit
epimembran
a, tonjolantonjolan
Fokal
superimpose
d dan
segmental
atau
sklerosis
pada
kategori IVN
Tubulointerstisi
al akut dan
kronis
Glomerulonefri
tis difus
proliferatif
(W)
Glomerulonefri
tis membran
lupus (V)
Glomerulonefri
tis sklerosis
lanjut
Nefritis
interstisial
Gambaran
Mlkroskop
Elektron
(Deposit
Elektron)
Gambaran
Miroskopls
lmunofluorescenc
(Deposlt lglC
Mes : ++
SE : +
Epi : 0
Mes : ++
CW : +
SE : +
Epi : 0
Mes : +++
SE : +
Epi : 0
Mes : ++
CW : +
SE : +
Epi : 0
Mes : +++
SE : +++
Epi : +++
Mes
CW
SE
Epi
&
.
: +++
:++
: +++
: ++++
deposit
tubulointerstisial
ekstraglomerular
Mes : +++
SE : +
Epi : +++
Mes : +++
CW : +
SE : +
Mes : +
CW : +
Membran
tubulus
basement
Mes : ++++
CW : +
Membran tubulus
basement
++ Variabel
glomerulus
de~osit
++ Lariabel
glomerulus deposi.
GEJALA KLlNlS
Kelainan ginjal ditemukan pada 50-60% dari semua pasien
LES, dan tidak jarang merupakan gambaran klinis pertama
dan satu-satunya yang akan mengikuti periode rernisi dan
eksarsebasi sesuaidengan LESnya. Manifestasinya klinis
NL bervariasi mulai dari kelainan urinalisis tanpa keluhan
dan ditemukan pada pemeriksaan rutin maupun dalam
Kelas
Deskripsi
II
Ill
IV
VI
lndeks kronisitasl
lesi kronis
lndeks aktivitasllesi
aktif
Glomerulus
Tubulo
interstitial
Proliferasi
endokapiler
lnfiltrasi lekosit
Deposit hialin
subendotel
Nekrosis fibrinoidl
karioreksis
lnflamasi interstitial
Sklerosis glomerulus
(glomerulosclerosis)
Bentuk crescent
fibrosis (fibrosis
crescent)
GAMBARAN KLlNlS NL
Glomerulopatilnefropati asimplomatik. Kelainan
urinalisis: proteinuria didapatkan pada semua pasien,
hematuri mikroskopis pada 80% pasien, sedimen urin
(silinder eritrosit, silinder lekosit).
Sindrom nefritik akut (SNA). SNA pada lupus sulit
dibedakan dengan GN pasca infeksi streptokokus,
gangguan tubular pada 60-80% pasien.
S i d r o m RPGN (Rapidlyprogressiveglomemlonephritis).
Ini sulit dibedakan dengan sindrom nefritik akut, gejalagejala khusus RPGN:
1. Onsetnya cepat
2. Penurunan LFG progresif dalam beberapa minggul
bulan lalu mencapai gagal ginjal terminal
3. Hipertensi sistemik yang cukup mencolok
4. Proteinuria 1-3 gram perhari disertai kelainan sedimen
aktif.
Penjelasan
Derajat
1.
2.
LFG (mVmnt/1,73mz) =
LFG (mllmn11.73m2)
2 90
60 - 89
30 - 59
15-29
< 15 atau dialisis
Klasiflkasl
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua ha1
Epldemlologl
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan
insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus
perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi
18juta, diperkirakan terdapat 1800kasus baru gagal ginjal
Penyakit
Penyakit ginjal
diabetes
Penyakit ginjal
non diabetes
Penyakit glomerular
(penyakit otoimun, infeksi
sisternik,obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pernbuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik
(ginjal polikstik)
Penyakit pada
transplantasi
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporinl takrolirnus)
Penyakit recurrent (glornerular)
Transplant glomerulopathy
Penvebab
lnsiden
Diabetes rnellitus
- tipe 1 (7%)
- tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pernbuluh darah besar
Glomerulonefritis
Nefritis interstitialis
Kista dan penyakit bawaan lain
Penyakit sisternik (rnisal, lupus dan vaskulitis)
Neoplasrna
Tidak diketahui
Penyakit lain
Penyebab
lnsiden
Glornerulonefritis
Diabetes Melitus
Obstruksi dan infeksi
Hipertensi
Sebab lain
46,39%
18,65%
12,85%
8,46%
13,65%
PENDEKATAN DlAGNOSTlK
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a).
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes
nielitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritolnatosus Sistemik
(ZES), dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri
dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overloud), neuropati
perifer, pruritus, uremicfrost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain,
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang
dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan u ~ i t ~ ~ l i
memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah
meliputi penurunan kadar hemoglobin: peningkatan kadm
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. asidosis
metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria,
hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b). Pielogdl intravenajarang dikerjakan, karena kontrds sering
tidak bisa melewati filter glomemlus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengamh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau
retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi
ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks y,ang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal
atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan
pada pasien dengan ukuran ginjal yang lnasih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi
ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana
ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney),
ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
(comorbid condition)
memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.
Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal
kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada Tabel 6.
Derajat
LFG
(m11mnt/1,73m~)
Rencana tatalaksana
> 90
60 - 89
- rnengharnbat pernburukan
30 - 59
15-29
< 15
ginjal
LFG
mllmenit
> 60
25 - 60
Nefropati
4
Hipertensi
sistemik
L ~~~~~~~~~~~~~i~
-4
-
Angiotensin II
Kebocoran Protein
lewat glomerulus
- 25
< 60
(sindrom
nefrotik)
0.35 grlkglhr
Fosfat
glkglhari
Tidak
dibatasi
5 log
5 log
C 9g
Penjelasan
Kerusakan ginjal
dengan LFG
normal
Kerusakan ginjal
dengan penurunan
LFG ringan
LFG
(mllmnt)
Komplikasl
2 90
60 - 89
Penurunan LFG
sedang
30 - 59
Penurunan LFG
berat
15 - 29
Gagal ginjal
< 15
Hiperfosfatemia
Hipokalcemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomasistinemia
Malnutrisi
Asidosis Metabolik
Cendrung
hiperkalernia
Dislipidemia
Gagal jantung
Uremia
Anemia
Anemia terjadi pada 80-90%pasien penyakit ginjal kronik.
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan
oleh drtisiensi eritropoitin. Hal-ha1 lain yang ikut berperan
dal:uii trrjaciinyn anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan
darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hernolisis,
defisiensi asam folat, penekanan slimsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin
Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan kornplikasi penyakit ginjal
kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat
pada Gambar 2.
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan
dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pernberian
hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorbsi fosfat di saluran cema. Dialisis yang dilakukan
pada pasien dengan gaga1 ginjal juga ikut berperan dalarn
mengatasi hiperfosfatemia.
Hiperfoslalemla
Asidosis metabolik
---
Gambar 2.
GINJAL HIPERTENSI
Mengatasi Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat
sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik
secara urnum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan
rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung
dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor.
Asupan fosfat dibatasi 600-800 mgkari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk
menghindari terjadinya malnutrisi.
b. ~emberianpengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak
dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida,
gararn magnesium. Garam-garam ini diberikan secara
oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal
dari makanan. Garam kalsiurn yang banyak dipakai
adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium acetate.
Tabel 9 memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat,
efikasi dan efek sampingnya.
c. Pemberian bahan kalsium inemetik (calcium mimetic
ctgerzr).Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang
dapat ~nenghambatreseptor Ca pada kelenjar paratiroid,
dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut
juga calciun~.
rnimetic agent, dan dilaporkan mempunyai
efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang
minimal.
Malnutrisi
lntoksikasi Al
Hipercalcemia
Mual, muntah
lntoksikasi Mg
PENDAHULUAN
Gangguan Ginjal Akut Berat (GGA-Acute Kidney Injury AKI) yang rnernerlukan dialisis, rnernpunyai rnortalitas
tinggi rnelebihi 50%. Nilai ini sangat tinggi apabila disertai
kegagalan rnulti organ. Walaupun terdapat perbaikan yang
nyata pada terapi penunjang, angka rnortalitas belum
banyak berkurang karena penyakit dasar yang berat
seperti trauma, sepsis, usia pasien rnak'in tua dan pasien
tersebut juga rnenderita penyakit kronik lainnya.
Dengan mortalitas yang tinggi rnaka diperlukan
pengertian yang lebih baik mengenai GGA. GGA telah
dikenal oleh William Heberden pada tahun 1802 dan diberi
istilah ischuria renalis. Walaupun beberapa peneliti
terkenal yaitu Bowman, Charcot dan William membuat
beberapa sumbangan pemikiran untuk kondisi ini namun
sindrom ini dilupakan orang. Perhatian terhadap sindrom
ini berkembang kembali saat perang dunia pertama dan
terutama sglama perang dunia ke dua.
Laporan lengkap yang pertama rnengenai GGA ditulis
oleh Hackradt seorang ahli patologi Jerman pada tahun
1917, yang rnenjelaskan keadaan' seorang tentara yang
mengalami luka trauma berat. Laporan ini dilupakan orang
sarnpai terjadinya perang dunia ke-2, pada saat London
mendapat serangan Jerrnan, didapatkan banyak pasien
crush kidney syndroine, yaitu pasien-pasien dengan
trauma berat akibat tertirnpa bangunan kernudian
meninggal akibat GGA. Tonggak yang amat penting adalah
dengan dimulai tindakan hemodialisis pada awal tahun
1950-an yang amat rnengurangi kematian karena korban
trauma akibat peperangan.Perkembangan penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwaGGA yang dapat pulih kembali
ini terjadi juga pada pasien dengan transfusi darah yang
tidak cocok, abortus, gangguan hemodinamik
kardiovaskular, sepsis dan berbagai akibat efek zat
nefrotoksik.
Kenaikan
Kreatinin serum
(m~ldL)
Multivariable OR
(95% CI)
Area under
ROC curve
Kenalkan
biaya total
Kategori
RIFLE
Kriteria UO
Irmvesibk?AKI or persislent
(A) The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the
definition and classification of AKI (i.e. RIFLE criteria)
<0.5 mUkg1jam
Risk
Kenaikan kreatinin serum
for 2 61 jam
-> I .5x nilai dasar atau
penurunan GFR 225%
Injury
1
AKIeadesl Ume
point for
pmviskn
of RRT
M I=
weeks
-I
ESRD
ESRD >3monlhs
<0.5 mUkgljam
atau 21 21jam
Failure
AKIN
<0.3 mLlkg1jam
->24 jam
Kriteria UO
pritmria
Kriteria produksi
urin
Tahap
Kenaikan kreatinin serum > 200% 300% (> 2 - 3 kali lipal) dari
kenaikan nilai dasar kreatinin serum
200% - 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari
nilai dasar
Kenaikan kreatinin serum > 300%
(> 3 kali lipat) dari nilai dasar (or
serum creatinine of more than or
equal to 4.0 mgldl 354 pmoll~)
with an acute increase of at least
0.5 mgldl [44 umollll)
Definisi GGA
Penurunan mendadak fad ginjal dalam 48 jam yaitu berupa
kenaikan kadar kreatinin serum 20.3 rng/dl(> 26.4pmoUI),
presentasi kenaikan kreatinin serum 250% (1.5 x kenaikan
dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria
yang tercatat 5 0.5 mVkg/jam dalam waktu lebih dari 6jam).
Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun
nilai persentasi dari perdbahan kreatinine untuk
menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender,
indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk
pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya
diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air
seni diasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif
dan mudah diukur. Kriteria diatas harus memperhatikan
adanya obstruksi saluran kernih dan sebab-sebab oliguria
lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan
dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan
yang cukup.
Perjalanan GGA dapat :
1. Sembuh sempuma
100
B
C-
2
2
4
5
a
~-AUJTE-~~CMWNIC
KIWYlnsms
TIME
Garnbar 2. Natural history of AKI. Patients who develop AKI may
experience (1) complete recovery of renal function, (2)
development of progressive chronic kidney disease (CKD), (3)
exacerbation of the rate of progression of preexisting CKD; or
(4) irreversible loss of kidney function and evolve into ESRD.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk
membedakan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA postrenal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut
Etiologi
Prerenal
Sedirnen
Torak hialin
lskemia
Nefritis interstitial
akut
GN Akut
Postrenal
Lysis tumor
Arterial Ivenous
thrombosis
Ethylene glycol
FENA+
Fe-urea
<1
<35
>2
>50
>1
<1 early
<l
'early
--zlL&e-
Proteinuria
Tidak ada atau
samar
Samar ringan
Ringan - sedang
Sedang - baik
Eritrosit
Sarnar - Rinnan
Prosedur
Anamnesis dan
pemeriksaanfisik
Mikroskopik urin
Pemeriksaan
biokimia darah
Pemeriksaan
biokimia urin
Darah ferifer
lengkap
USG Ginjal
Bila diperlukan :
CT Scan abdomen
Pemindaian
radionuklir
Pielogram
Biopsi ginjal
Cell death
GAMBARAN KLI.N!S:
; + GANG:@J!W,G!y
.
.- JAL
. .:
< - , AKUT
..
. .
. .. . ,
3
. . . ;, . . p. :.:<,:
,:,
P :; . ?
.
,;:
<
.'
.
:
'
., .
,;,:
..
.,
,,.:.:..:
;<.'-.:;.
:..,*
-:.': ..<>.
.: ,,..
...
Vasokontriksi
renal
Dopamin
dosis rendah
Kerusakan
r e m i
Anti ICAM-1 mAb
Obst~ksi
tubuler
Furosemid
Reseptw
anatognist
endotelin
Anti-CDlB mAb
Manitol
Peptide
natriuretik
atrial
Antagonis
kakium
Peng~kat radikal
bebas
Dopamin
dosis
rendah
Anlagonis
reseplw
leukotrien
Regerensi
tubuler
FaktM
perturnbuhan
epidermal dan
hepatosit
Faktor
pertambahan
hepalosit
insulin-like
growth factor
Penghambat
prostease aMSH
Membran
biikmpatibel ,
PENGELOLMN
Tujuan pengelolaan adalah meencegah terjadinya
kerusakan ginjal, mempertahankan komestasis, melakukan
resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta
mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya
sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai
dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA (sebagai
tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA,
mempertahankan homeostasis, mempertahankan
eopolemia, keseimbangancairan dan elektrolit, mencegah
komplikasi metabolik seperti hiperkalemia, asidosis,
hiperfospatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian
mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang
dipakai.
PENCEGAHAN
GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya
penggunaan zat kontras yang dapat menyebabkan
nefropati kontras. Pencegahan nefmpati akibat zat kontras
adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-asetyl
cystein serta pemakaian purosemid pada penyakit tropik
perlu di waspadai kemungkinan GGA pada gastrointeristis
akut, malaria dan demam berdarah.
Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi
asam urat yang tinggi sehingga menyebabkan GGA. Pada
tabel ini dapat dilihat beberapa upaya pencegahan GGA.
CANGGUANGINJAL AKUT
Komplikasi
Pennobatan
-
FASE PERBAIKAN
Pada tahap ini terjadi poliuria yang sangat banyak sehingga
perlu dijaga keseimbangan carian. Asupan cairan
Kelebihan
volume
intravaskular
Hipobatremia
Hiperkalemia
Asidosis
metabolik
Hiperfosfatemia
Hipokalemia
Nutrisi
KESIMPULAN
Istilah gangguan ginjal akutlacute kidney injury
sebaiknya menggantikan istilah gagal ginjal akut/ARF.
Istilah gangguan ginjal akut memberikan gambaran yang
lebih jelas mengenai proses GGA dengan dibuatnya kriteria
RIFLEYAKIN.
Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir ban!
dalam memahami GGA, pentahapan dari GGA, standardisasi
dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam
Hemodialsis intermitten
Keuntungan
theranv
perdarahan
Lebih banyak waktu untuk
rnencari diagnosis dan
intervensi I terapi.
- Lebih cocok untuk hiperkalernia
berat
- Biaya murah
Kerugian
Ketersediaan perawat HD
Lebih sulit kontrol hemodinamik
Dosis dialisis tidak mencukupi
Kurang kontrol cairan
Nutrisi kurang
Tidak cocok untuk pasien
dengan hipertensi intrakranial
Tidak ada pernbuangan sitokin
Potensial terjadi aktivasi
kornplemen oleh membrane
yang non kornpatibel (tidak
sesuai)
Hernodialiser
Hernodialiser
Hernofilter
lnterrniten
Hernodialiser
Sequential ultrafiltration
& clearance
Continuous
arteriovenous
hernodialysis (CAVHD)
Continuous venovenous
hernodialysis (CWHD)
Dialisis peritoneal
Berkesinarnbungan
Prinsip kerja
Hernodialiser
Slow continuos
ultrafiltration (SCUF)
Dialiser
Hernofilter
Peritoneum
Peritoneum
GANCCUAN GlNJALAKUT
Tahap katabolisme
Ringan
Sedang
Keadaan klinis
Toksik karena
obat
Pembedahan
+ infeksi
lnjuri berat 1
sepsis
Mortalitas
Dialisis I
hemofiltrasi
Pernberian
makanan
Rekomendasi
Energi
(kkallkgBBlh)
Subtrat energi
20%
60%
> 80%
Jarang
Apabila perlu
Sering
Oral
Enterall
parenteral
Enterall
parenteral
25
25 - 30
25 - 35
Glukosa
Glukosa +
lemak
Glukosa + lemak
Glukosa glkg
Lemak glkg
Asam amino I
protein
Nutrien oral I
enteral
Parenteral
3-5
0.5 - 1
0.6 - 0.8 EAA
3-5
0.8- 1.5
0.8 - 1.2 EAA
+ NEAA
3 - 5 (maks 7)
(+NEAA)
Makanan
Formula
Berat
NEAA
Formula
Glukosa 50 -
Glukosa 50 70%
70%
+ emulsi lemak 10 - 20% EAA +
NEAA (biasa atau khusus untuk
ginjal) + multivitamin + multitrace
element
HEMODIALISIS
Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono
PENDAHULUAN
Tahapan gaga1 ginjal kronik dapat dibagi menurut
beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal
ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih
tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha
pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan
minum, obat-obatan, dan lain-Iain tidak memberi
pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut
diberi nama penyakit ginjal kronik (PGK). Pada
stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah
yang dapat membahayakan kelangsungan hidup
pasien. Pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa,
yang diukur dengan klirens kreatinin (KKr), tidak lebih
dari 5 mL/menit/l,73 m2. Pasien PGK, apa pun etiologi
penyakit ginjal nya, memerlukan pengobatan khusus
yang disebut pengobatan atau terapi pengganti
(TP). Setelah menetapkan bahwa T P dibutuhkan,
perlu pemantauan yang 'ketat sehingga dapat
ditentukan dengan tepat kapan T P tersebut dapat
dimulai.
TERAPI PENGGANTI
Seperti diketahui faal ginjal dapat dibagi menjadi faal
ekskresi dan faal endokrin. Pada PGK. kedua golongan
faal ini memburuk walaupun tidak selalu proporsional.
TP yang ideal adalah yang dapat menggantikan fungsi
kedua faal ini. Transplantasi ginjal yang berhasil akan
mengganti keseluruhan faal ginjal yang sakit, sedangkan
dialisis mengganti sebagian faal ekskresi. Pada Tabel 1
tertulis beberapa TP yang dapat dilaksanakan dewasa
ini. Di samping TP tersebut ada juga TP yang hanya
dilakukan dalam keadaan yaag sangat khusus atau pada
penelitian.
Dialisis
A. Dialisis Peritoneal (DP)
- DP intermiten (DP)
- DP mandiri berkesinambungan (DPMB)
- DP dialirkan berkesinambungan (DPDB)
- DP nokturnal (DPN)
B. Hernodialisis (HD)
II
pJ-;ps;
Selaput Semipermeabel
Kompartemen 1
Kompartemen 2
Pembuangan
Dialisat dialirkan pompa
Garnbar 2. Bagan hemodialisis
REFERENSI
Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications during hemodialysis. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis,
edisi 2, Little Brown am Company: 1994. 149-68.
Daugirdas JT. Chronic hemodilysis prescription: a urel kinetic approach. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2. Little Brown am Company; 1994.92-120.
Dialysis Therapy, Ed. Nissenson AA, Fine AN Philadelphia: Hanley
& Belfus; 1986.
Kaaono SD, Darmarini F, Aahimy A. Penyusunan diet pada gagal
ginjal kronik dengan dialisis. Dalam: Sidabutar AP, Suhardjono
(ed). Gizi pada gagal ginja kronik. Beberapa aspek
penatalaksanaan. PERNEFRI 1992.60-74.
DIALISIS PERITONEAL
Imam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A. Roesli
PENDAHULUAN
Dialisis peritoneal (DP) sudah lama dikenal. Sarjana pertama
yang melakukan DP di klinik pada seorang pasien uremia
karena obstruksi ureter akibat kanker kandungan adalah
Ganter ( 1923).Perkembangan selanjutnya memakan waktu
cukup lama dan baru Maxwell (1959) mengajukan teknik
dialisis intermiten yang merupakan modifikasi dari teknik
yang diajukan Grollman, dkk (195 1 ). Sampai saat ini teknik
ini masih tetap terpakai. Perkembangan selanjutnya
ditunjang dengan tersedianya antibiotik serta cairan
dialisat komersial.
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis
untuk membantu penanganan pasien GGA (Gagal Ginjal
Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan
membran peritoneum yang bersifat semipermeabel.Melalui
membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan
Dialisis Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan
hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman
serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus,
sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat
ini pun DP masih menempati kedudukan cukup penting
untuk menangani kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit
besar dan modern.
Cairan Dialisat
Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan
kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi
elektrolit cairan dialisat bervariasi. namun prinsipnya
kurang lebih seperti terlihat pada Tabel 1.Pada umumnya
cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya
untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena
terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien
dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah
terjadinya hipokalemia. dalam cairan dialisat dapat
ditambahkan kalium 33-4,5 mEq1 liter cairan dialisat.
Elektrolit
MEqlL
Tek. Osmosis
lmOsmlLl
Mg++
CILaktatGlukosa
1,5
102,O
43.5
03
102,O
83,3
291,O rnEq/L
15,O gr/L
371,6 rnOsrn/L
=w
P
Cp : Peritoneal Cleamrzce
U : Konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat
y ang kel~lardari kavum peritoneum (mg%).
p : Konsentrasi zat tersebut dalam darah atau
plasma (mg%)
V : Volume cairan dialisat tiap menit (mL)
Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah
besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration-time (dwell tirne = lamanya cairan dialisat berada
dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan
osmosis cairan dialisat, pe~meabilitasperitoneum, dan aliran
darah dalam kapiler peritoneum.
a. Komplikasi mekanis
Perforasi organ abdomen (vsus, aorta, kandung
kencing, atau hati).
Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat
kateter .
Gangguan drainasr (aliran cairan dialisat)
Bocornya cairan dialisat
Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut.
b. Komplikasi metabolik
Gangguan keseimbangan cairan, elek- tronit dan
asam basa.
Gangguan metabolisme karbohidrat perlu
diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa
hiperglikemia tak terkendali d m kemungkinan dapat
juga terjadi hipoglikemia post dialisis.
Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan
dialisat.
Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas
kumpulan gejala-gejala berupa sakit kepala,
muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan
tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat
menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini
dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum
tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi
terlalu cepat dan lebih sering terjadi pada pasien
dengan overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum
diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang
banyak dianut adalah karena lambatnya koreksil
penurunan ureum dalam otak d a n cairan
serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal
ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan
tekanan osmotik dengan akibat edema otak. Teori
lain: teori hipoglikemia, perubahan p C 0 2 dan pH.
pergeseran elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan
perbandingan WCa serum.
c. Komplikasi radang
Infeksi alat pernapasan. biasanya berupa pneumonia atau bronkitis purulenta.
Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan
infeksi fokal di luar peritoneum seperti pneumonia
atau pielonefritis.
Peritonitis.
DlAUSIS PERITONEAL
Prosedur
CAPD adalah suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi
rendah sehingga bila tidak dilakukan 24 jam per hari dan
7 hari per minggu tidak adekuat untuk mempertahankan
pasien GGK stadium akhir. Kebanyakan pasien
memerlukan rata-rata 4 kali pergantian per hari. Saat
pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak
bagi pasien dengan sarat dwell time tidak boleh kurang
dari 4 jam karena dalam waktu 4 jam baru akan terjadi
keseimbangan kadar ureurn antara plasma darah dan
cairan dialisat. Ultrafiltrasi diperlukan untuk
mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai dengan
cairan dialisat hipertonik. Ultrafiltrasi sebanyak 2.000 mL
dapat dicapai dengan 2 kali per- gantian dengan cairan
dialisat 4,25%. Bila ultrafiltrasi kita lakukan terlalu cepat
dapat terjadi kram, mual, muntah, dan hipotensi
ortostatik.
Cairan Dialisat
Cairan dialisat yang ada pada saat ini di Indonesia terdiri
atas 3 macam cairan yaitu dengan kadar dekstrosa 1,5%,
2 3 % dan 4,25% dalarn kantong plastik 2 liter. Susunan
cairan dialisat sama dengan susunan elektrolit plasma
darah normal tanpa kalium dengan osmolalitas lebih tinggi
dari plasma 1Osmolalitasplasma 280 mOsm/L) dan ditambah
laktat (Tabel 1).Bila pasien normokalernia atau hipokalemia,
perlu penambahan: 1 KC1 sampai konsentrasi 4 m E q L
untuk mencegah hipokalemia berat.
Heparin perlu ditambahkan bila ada peritonitis atau
cairan dialisat mengandung fibrin atau protein terlalu
banyak untuk mencegah tersumbatnya kateter dengan
dosis 1.000 -2.000 USP units per liter cairan dialisat.
KONTRAlNDlKASl CAPD
Kontraindikasi CAPD adalah penyakit diskus lumbalis,
hipertrigl (seridemia familial, hernia pada dinding
abdomen (perlu perbaikan dulu) dan pasien yang tidak
bisa bekerjasama. Hati- hati melakukan CAPD bila ada
perlengketan yang luas, distensi usus, kelainan abdomen
yang belum terdiagnosis, luka bakar, dll.
Konsentrasi Osmolalitas
dekstrosa
(mOsMIL)
Per
hari
Air (mL)
Natrium (mEq)
Kalium (mEq)
Kreatinin (mg)
Protein (g)
Calcium (mg)
Fosfor (mg)
Magnesium (mg)
,,,,
Na
Ca
Mg
CI
Laktat
Per kantong
Dekstrosa
03%
1,5%
4,25%
734
129
20
803
7,1
23
313
37
1101
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan
laboratorium guna mernantau perubahan dalam hematologi,
ginjal dan hati, yang dapat mempengaruhi prognosis pasien
dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan
untuk memantau pasien hipertensi pada kehamilan adalah
Hb atau Ht untuk melihat kemungkinan hemokonsentrasi
yang mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Hitung
trombosit yang amat rendah terdapat pada sindrom HELLP
( hemolysis, elevated liver enzyme levels and low platelet
count). Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk
mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui
adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein dalam urin
24jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui fungsi
ginjal, yang pada keharnilan umumnya kreatinin serum
menurun. Asarn urat perlu diperiksa karena kenaikkan asam
urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya preeklampsia.
Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik, seperti
juga pada kehamilan tanpa hipertensi diperlukan
pemeriksaan gula darah, dan kultur urin.
Obat-obat Antihipertensi
Ada 2 macam obat hipertensi, pada keadaan yang akut
atau darurat biasanya diperlukan pengobatan parenteral
atau oral. Qbat-obat injeksi antara lain; injeksi intra venal
abetalol, hidralazin, dan antagonis kalsium. Obat
antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat
dilihat pada Tabel 1.
Vasodilator
1102
tak mempunyai efek penghambat alfa, berkaitan dengan
penurunan aliran darah plasenta dan janin pada kelahiran
apabila dibe~ikanniulai dari awal kehamilan. Labetalol yang
mempunyai efek pengharnbat alfa dan beta dapat
mempertahankan aliran darah utero-plasenta dalam
keadaan yang maksimal.
Obat penghambat beta untuk pengobatan hipertensi
ringan ~neningkatkanrisiko ~nendapatkanbayi yang lebih
kecil (dengan risiko relatif 1,36, pada interval kepercayaan
95% ( I -02- 1,82), ~isikoyang tidak lebih besar dibanding
obat hipertensi yang lain.
Semakin banyak pengalaman yang didapat dari
golongan obat antagonis kalsii~myang terbukti cukup
aman dipakai pada kehamilan. Nifedipin kerja panjang (dosis
maksimum 120 mghari) dan golongan noiidihidropiridin
verapamil dapat diberikan. FDA tidak n~eneriinanifedipin
kerja cepat sebagai pengobatan hipertens1 darurat dan
pemberian sub lingual karena terbukti nienumnkan tekanan
darah berlebihan.
Dari penelitian mengenai pengobatan hipertensi pada
kehamilan didapat kesinipulan bahwa pemilihan
antihipertensi seharusnya tergantung dari pengalaman
dan pengetahuan dari dokter yang mengobati, dalam ha1
efek obat terhadap ibu dan janinnya.
GINJAL HIPERTENSI
KRISIS HIPERTENSI
Jose Roesma
PENBAHULUAN
Krisis Hipertensi rnerupakan suatu keadaan klinis yang
ditandai o l e h tekanan darah yang sangat tinggi dengan
kemungkinan akan tirnbulnya atau telah teqadi kelainan
organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada
pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat
antihipertensi.
Krisis hipertensi rneliputi dua kelornpok yaitu:
Hipertensi darurat (emergency hypertension): di rnana
selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainanl
kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga
tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalarn
rnenit sampai jam) agar dapat rnencegahlmembatasi
kerusakan target organ yang terjadi.
Hipertensi mendesak (urgency hypertension): di rnana
terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak
disertai kelainanlkerusakan organ target yang progresif,
sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan
lebih larnbat (dalarn hitungan jam sampai hari).
Pada umumnya krisis hipertensi diternukan di poliklinik
gawat darurat rumah sakit dan kadang-kadang rnerupakan
jurnlah yang cukup menyolok pada poliklinik gawat darurat
di bagian penyakit dalarn, walaupun keluhan utarnanya
berbeda-beda.
darah
Funduskopi
>220/140 perdarahan
mm Hg
eksudat
edema
papilla
Nt:&i
GEJALA
Hipertensi krjsis urnumnya adalah gejalaorgan target yang
terganggu, hi antarany a nyeri dada dan sesak napas pada
gangguan jantung dan diseksi aorta; rnata kabur pada
edema papila mata; sakit kepala hebat, gangguan
kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gaga1
ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala
dan nyeri tengkuk pada kenaikkan tekanan darah pada
umurnnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya
tekanan darah, gejala dan tanda keterlibatan organ
target.
Selain pemeriksaan fisik, data laboratoriurn ikut
rnernbantu diagnosis dan perencanaan. Urin dapat
rnenunjukkan proteinuria, hernaturi dan silinder. Hal ini
terjadi karena tingginya tekanan darah juga menandakan
keterlibatan ginjal apalagi bila ureurn dan kreatinin
rneningkat.Gangguan elektrolit bisa terjadi pada
hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan
aritrnia.
Jantung
Ginjal
sakit kepala,
kacau
denyut jelas,
uremia
gangguan
kesadaran,
kejang,
lateralisasi
rnernbesar
dekompensasi
oliguria
proteinuria
Gastrointestinal
mual, muntah
PENGOBATAN
Pengobatan hipertensi mendesak cukup dengan obat oral
yang bekerja cepat sehingga menurunkan tekanan darah
dalam beberapa jam.
Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 2.
Pengobatan hipertensi darurat memerlukan obat yang
segera menurunkan tekanan darah dalam menit-.jam
sehingga umunlnya bersifat parenteral. Di Indonesia
banyak dipakai seperti pada Tabel 3. Untuk memudahkan
penilaian dan tindakan dibuat bagan seperti yang
tercantum pada Tabel 4.
R'",:
Obat
Dosis
Efek
Nifedipin
5-10 mg
Kaptopril
12.5-25
mg
Klonidin
75-150 ug
diulang
15 menit
diulangl
112 jam
5-15
menit
4-6 jam
gangguan koroner
15-30
menit
6-8 jam
stenosis a.renalis
diulangl
jam
30-60
menit
8-16 jam
Mulut kering,
ngantuk
Propanolol
10-40 rng
diulangl
112 jam
15-30
menit
3-6jam
Bronkokonstriksi,
Blok jantung
Perhatian Khusus
ye;
Obat
Dosis
Klonidin IV
150 ug
6 amp per
250 cc
Glukosa 5%
mikrodrip
30-60
menit
24 jam
Nitrogliserin
IV
10-50ug
100uglcc per
500 cc
0,5 - 6
uglkglrnenit
2-5 menit
5-10
menit
1-5 menit
15-30
rnenit
Diltiazem lV
5-15
uglkglmenit
lalu sama
1-5 uglkgl
menit
sama
Nitroprusid
IV
0,25
uplkglmenit
Langsung
Nikardipin
IV
2-3
menit
Perhatian
khusus
ensefalopati
dengan
gangguan
koroner
selang infus
lapis perak
Kelom~ok
Tekanan
darah
Biasa
~1801110
Mendesak
Darurat
~1801110
Gejala
tidak ada,
kadangkadang sakit
kepala gelisah
sakit kepala
hebat,
sesak napas
sesak napas,
nyeri dada,
kacau,
gangguan
kesadaran
Pem Fisik
gangguan
organ target
ensefalofati,
edema paru.
gangguan
fungsi ginjal,
CVA, iskemia
jantung
Pengobatan
Rencana
periksa ulang
dalam 3 hari
Periksa ulang
dalam 24 jam
pasang jalur
intravena,
periksa
laboratorium
standar, terapi
obat intravena
rawat
ruanganflCU
Soebandiri
BATASAN
Hemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana
diketahui, darah terbagi atas:
Bagian yang Berbentuk (formed elements). Terdiri atas
sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit)
dan keping-keping darah (trombosit; platelet) yang
hentuknya dapat dilihat dengan mikroskop.
Bagian yang Tidak Berbentuk. Plasma yang terdiri atas
molekul-molekul air, protein-protein, lemak, karbohidrat,
vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut
dalam plasma.
Yang dibicarakan dalam bab ini hanyalah proses
pembentukan sel-sel darah (bagian ke-1 yaitu formed
elements).Akan dibahas 3 komponen (kompartemen) yang
berperan penting pada hemopoesis, yaitu :
Kompartemen sel-sel darah
Kompartemen lingkungan-mikro
Kompartemen zat-zat pemiculperangsang (stimulator)
hemopoesis
KOMPONEN-KOMPONEN HEMOPOESIS
Hemopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang
melibatkan banyak komponen-komponen yang saling
terkait antara lain:
1. Komponen atau Kompartemen yang terdiri atas sel-sel
darah baik sel-sel induk, sel-sel bakal dan sel-sel matur.
2. Komponen atau Kompartemen yang disebut stroma
atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH) atau
hemopoetic-micro-environment.
Komponen 1 dapat dianggap sebagai benih sedangkan
komponen 2 dapat dianggap sebagai tanah di mana
benih itu tumbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendirisendiri tetapi berbaur.
I.1.SIP
1.2.s~l-l-
I
I
I
CFU-G+MY
CFU-reg
I
I
BFU~
I
CFU-E 1
B
--
I
I
CqU-GEMM
I
I
+ ProMY-b MY+
.
v
I
I
I
I
Mo b + ProMo
PMo
I
I
I
I
-..-----,
M P ~
' bTr
~ e g - ~ .
Poli Kromato-
MetaMy
j DARAH TEPllORGAN
Ii
Eo
- I
I
petic
I
ERY
zat yang dapat menstirnulasi pertumbuhan sel-sel induk, selsel bakal, dan sel-sel darah yang lain. Zat-zat ini dinamakan
colony stimulating factors (CSF) atau juga Hemopoetic
Growth Factors (HGF). CSF yang merangsang
pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony
stimukztingfactor (G-CSF), sedangkan yang monosit dan
makrofag disebut Monocyte/Macrophage Colony
Stimulating Factors (M-CSF). Zat-zat ini akan dibahas
lebih lengkap di bagian berikutnya dari bab ini.
Stroma yang terdiri atas fibroblas, monosit, makrofag,
endotel dan sebagainya itu disebut juga sebagai
lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH
ini seakan-&an merupakan tanah yang menghidupi selsel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih
di persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau
defisien maka pertumbuhan sel-sel darah akan terganggu
(hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel bakal darah
melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang
diproduksi oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel
matriks sel bakal dirangsang untuk berdifferensiasi dan
berfungsi seperti yang sudah direncanakan.
Jenls Sel
LMH
Fibroblast
Endotil
Adiposit
Matriks Ekstra
Selular (ECM)
GGSF
GM-CSF
FGF
++
+++
+
+++
++
+
++
+++
+
+
VWF
H-CAM
Selektin
Cadherin
+++
++
++
+++
.+++
+++
+++
PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering
dijumpai di klinik di seluruh dunia, di sarnping sebagai
masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas
kronik (chronic d e b i l i ~ yang
)
mempunyai dampak besar
terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan
fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering,
anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat
perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik.
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai
penurunanjumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit
atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling
lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan
tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan
dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan
akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah
berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit
paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin
dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis
tertentu seperti misalnya kehamilan.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri
(disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam
penyakit dasar (underlyingdisease). Oleh karena itu dalam
diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada
label anemia tetapi hams dapat ditetapkan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena
seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga
apabila ha1 ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi
KRlTERlA ANEMIA
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan
penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin,
disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya
ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi
masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang
dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat
bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis
kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut offpoint)
di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di
Negara Barat kadw hemoglobin paling rendah untuk lakilaki adalah 14 gldl dan 12 gldl pada perempuan dewasa
pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang
berbedq yaitu 12 gldl (hematokrit 38%) untuk perempuan
dewasa, 11gldl (hematokrit 36%)untuk perempuan hamil,
dan 13 gldl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off
point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti
terlihat pada Tabel 1.
Kelom~ok
Laki-laki dewasa
Wanita dewasa tidak hamil
Wanita hamil
< 13 gldl
< 12 gldl
< Ilaldl
A.
PREVALENSIANEMIA
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering diju~npai
baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari
30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita
anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik.
De Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di
dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat pada Tabel 2.
B.
C.
--
Lokasi
Negara rnaju
~egara
berkernbang
Dunia
Anak
0-4th
Anak
5-12 th
Laki
dewasa
Wanita
15-49 th
Wanita
hamil
12%
51%
7%
46%
3%
26%
14%
59%
11%
47%
43%
37%
18%
51%
35%
D.
I.
II.
Ill.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan
penyakit (diseuse erztity), yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit dasar (urzderlying diseuse). Hal ini
penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak
cukup hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat
mungkin kita hams dapat menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam
diagnosis anemia adalah:
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang
akan mempengaruhi hasil pengobatan
)\g3
QENDEKATANTERAPI
Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan dalam pemberian
terapi pada pasien anemia ialah: 1). Pengobatan hendaknya
diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu; 2). Pemberian hematinik tanpa
indikasi yang jelas tidak dianjurkan; 3). Pengobatan
anemia dapat berupa: a). Terapi untuk keadaan darurat
seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia
pasca perdarahan akut yang disertai gangguan
hemodinamik, b). rerapi suportif, c). Terapi yang khas
untuk masing-masing anemia, d). Terapi kausal untuk
mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut; 4). Dalam keadaan di mana diagnosis definitif
tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi
~
Di sini harus dilakukan
percobaan (terapi e .juvantivus).
pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan
perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan
&
Anemia hipokromik
mikrositer
Anemia norrnokromik
normositer
Anemia
makrositer
Lihat Garnbar 2
+I
&/I
ri
Feritin normal
FeritinU
Feritin NIT
ANEMIA
NORMOKROMIK NORMOSITER
I
I Normallmenurun I
4
Sumsum
tulanq
I
Tes Coomb
+
Negatif
CI
t
Positif
Riwayat
keluarga
positif
Hemoglobinopati
Anemia
PENDEKATANTEluIADAP PASIENANEMIA
KESIMPULAN
Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk
penelitian lapangan umumnya dipakai kriteria anemia
menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai
kriteria Hb < 10 gldl atau hematokrit < 30%. Anemia dapat
diklasifikasikan menurut etiopatogenesisnya ataupun
berdasarkan morfologi eritrosit. Gabungan kedua klasifikasi
ini sangat bermanfaat untuk diagnosis. Dalam pemeriksaan
anemia diperlukan pemeriksaan klinis &an pemeriksaan
laboratorik yang terdiri dari: pemeriksaan penyaring,
pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang:
pemeriksaan khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat
dilakukan secara klinis, tetapi yang lebih baik ialah dengan
gabungan pendekatan klinis dan laboratorik. Pengobatan
anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas.
Terapi dapat diberikan dalam bentuk terapi darurat, terapi
suportif, terapi yang khas untuk masing-masing anemia
dan terapi kausal.
ANEMIA APLASTIK
Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder
PENDAHULUAN
EPlDEMlOLOGl
Klasifikasi
Anemia aplastik berat
Selulantas sumsum
tulang
* Sitopenia sedikitnya
dua dari tiga seri sel
da rah
Anemia aplastik sangat
berat
Anemia aplastik tidak
berat
Kriteria
PATOFlSlOLOGlDAN PATOGENESIS
Dahulu, anemia aplastik dihubungkan e 9 t dengan paparan
terhadap bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia
aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahanbahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau
senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan,
hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang
pasien tidak diketahui faktor penyebabnya, maka pasien
digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian besar
kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi
anemia aplastik tercantum dalam Tabel 2.
Anemia aplastik terkait obat terjadi karena
hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat
yang banyak-menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering
Toksisitas langsung
= latrogenik
= Radiasi
Kemoterapi
Benzena
Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Penyebab yang diperantarai imun
latrogenik: transfusion-associatedgraft-versus-host
disease
= Fasciitis eosinofilik
= Penyakit terkait hepatitis
Kehamilan
Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Anemia aplastik idiopatik
Kegagalan Hematopoietik
Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas
kosongnya sumsum tuang yang tampak jelas pada
pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen
core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan
magnetic resonance imaging vertebra memperlihatkan
digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata.
Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietik yang imatur dapat
dihitung dengan flow cytometry. Sel-sel tersebut
mengekspresikan protein cytoadhesive, yang disebut
CD34. Pada pemeriksaanflow cytometry, antigen sel CD34
dideteksi secwa fluoresens satu persatu, sehingga jumlah
sel-sel CD34' dapat dihitung dengan tepat. Pada aneinia
aplastik, sel-sel CD34'j'uga hampir tidak ada yang berarti
bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid,
dan megakatyositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain
untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitif dan
"tenang" (quiescent), yang sangat mirip jika tidak dapat
dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperllhatkan
penunman. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin
telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk
sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut
mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerrninkan oleh
pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia
aplastik.
Destruksi lmun
Banyak data laboratorium yangmenyokong hipotesis
bahwa pad& pasien anemia aplastik didapat, limfosit
bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel
hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa
limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel-sel ini
memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui
adalah interferon-y. Adanya aktivasi respons sel T helper1 (Th,) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan
produksi interferon, tumor necrosisfactor, dan interleukin2 yang berlebihan. Deteksi interferon-y intraselular pada
sampel pasien secaraflow cytometry mungkin berkorelasi
dengan respons terapi imunosupresif dan dapat
memprediksi relaps.
Pada anemia aplastik, sel-sel CD34+dan sel-sel induk
(progenitor) hemopoietik sangat sedikitjumlahnya. Narnun,
meskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid, dan
megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini,
defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit
umurnnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula
fungsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan hemopoiesis
yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif
yang efektif. Jadi, sel-sel asal hemopoietik tampaknya masih
ada pada sebagian besar pasien anemia aplastik.
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi,
khususnya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas,
dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan
penghentian siklus sel (cell-cycle arrest). Sel-sel T dari
pasien membunuh sel-sel asal hemopoietik dengan
perilaku (manner) yang HLA-DR-restricted melalui ligan
Fas. Sel-sel asal hemopoietik yang paling prirnitif tidak
atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau FAS, dan
ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-sel
asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya
bejumlah h a n g dari 10% sel-sel CD34' total, relatif tidak
terganggu oleh sel-sel T autoreaktif; di lain pihak, sel-sel
Jenis keluhan
Pucat
Perdarahan
Kulit
= Gusi
Retina
Hidung
. Saluran cerna
Vagina
Dernarn
Hepatomegali
S~lenorneaali
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu
ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom normositer.
Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau
leukosit rnuda dalam darah tepi menandakan bukan
anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan
rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75%
kasus.
Perdarahan
Badan lemah
Pusing
Jantung berdebar
Dernam
Nafsu rnakan berkurang
Pucat
Sesak napas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung
PEMERIKSAAN FlSlS
Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun
sangat bervariasi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pucat
ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui
luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan
tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum
tulang berselular.
Radionuclide Bone Marrow lmaging (Bone
Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh
scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif
technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum
tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada
transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat
ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh
sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel
induk.
DIAGNOSIS BANDING
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi
menunjukkan aplasia; namun hiposelularitas sumsum
dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji
diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis
banding dan pemahaman kita tentang kegagalan sumsum
tulang (Gambar 3). Perbedaan antara anemia aplastik
didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay
spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu
yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya
muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis
pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau
urogenital.
Sumsum tulang hiposelular dibutuhkan untuk
diagnosis anemia aplastik. Narnun, aspirat kadang-kadang
secara mengejutkan tampak selular meskipun secara
keseluruhan sumsum tulang hiposelular, sebab sebagian
besar pasien masih mempunyai sarang-sarang
hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy
1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas.
Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia
aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki
populasi sel-sel hemoglobinuria nokturnal paroksismal
kecil sampai sedang. Namun, adanya sejumlah kecil selsel blas myeloid, atau gambaran displastik sen myeloid
atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom
myelodisplatik hipoplastik.
Myelodisplasia Hiposelular
Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik
hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada
pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak
Agranulositosis
Aplasia sel
darah rnerah
mum1
Trombos~topen~a
amegakalyos~ttk
myelogenous akut
Anemia aplastikhemoglobinuria
nokturnal paraksismal
PENATALAKSANAAN
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi
atau transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor
seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok
(matched sibling donor), dan faktor-faktor risiko seperti
infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan
untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat
'
TERAPI KONSERVATIF
Terapi lmunosupresif
Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi
terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik.
Obat-obatan yang termasuk dalam terapi irnunosupresif
Gambar 4. Algontme
adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CsA). Mekanisme
kerjaATG atau ALG pada kegagalan surnsurn tulang tidak
diketahui dan mungkin rnelalui:
Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated
pada sel asal,
Stimulasi langasung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.
Regimen irnunosupresi yang paling sering dipakai
adalah ATG dari kuda (ATGam dosis 20 rngkg per hari
selama 4 hari) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5
rngkg per hari selama 5 hari) plus CsA (12-15 m a g , bid)
umumnya selama 6 bulan. Berdasarkanhail penelitian pada
pasien yang tidak berespons terhadap ATG kuda, ATG
kelinci tampaknya sama efektif dengan ATG kuda. Angka
respons terhadap ATG kuda bervariasi dari 70-80% dengan
kelangsungan hidup 5 tahun 80-90%. ATG lebih unggul
dibandingkan CsA, dan kombinasi ATG dan CsA
mernberikan hasil lebih baik dibandingkan ATG atau CsA
saja.
Penarnbahan granulocyte colony-stimulatingfactor
(G-CSF) dapat memulihkan neutropenia tetapi tidak
menambah kelangsungan hidup. Namun respons awal
terhadap G-CSF setelah terapi ATG merupakan faktor
prognostik yang baik untuk respons secara keseluruhan.
Secara urnum, pasien yang berespons terhadap kombinasi
ATG1 CsA mempunyai kelangsungan hidup yang sangat
,
Relaps
Secara konseptual, analog dengan terapi penyakit
keganasan, terapi imunusupresif intensif dengan ATG
dapat dipandang sebagai terapi induksi, yang mungkin
membutuhkan periode pemeliharaan lami dengan CsA atau
bahkan re-induksi. Angka relaps stelah terapi
imunusupresif adalah 35% dalam 7 tahun. Secara umpm,
relaps mempunyai prognosis yang baik dan kelangsungan
hidup pasien tidak memendek. Pasien dengan hitung darah
yang turun dapat menerima CsA, dan jika tidak berhasil,
harus diberikan ATG ulang. Angka respons dapat
dibandingkan dengan yang tampak pada ATG inisial. Pada
beberapa contoh, ATG kelinci dapat dipakai ketimbang
ATG kuda. Siklofosfarnid dosis tinggi telah disarankan
untuk*imunusupresiyang mencegah relaps. Namun, ha1
ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan
siklofosfamid memberikan lama respons lebih dari 1 tahun.
Sebaliknya, 75% respons terhadap ATG adalah dalam 3
bulan pertama, dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun
setelah terapi ATG.
Penyebab
Kelelahan cadangan sel
asal
lmunosupresi tidak cukup
Salah diagnosis
Kegagalan sumsum
tulang herediter
Patogenesis non-imun
1124
HEMAMLOC~
<
.;
"
Kriteria Respons
Kelompok European Bone Marrow Transplantation
. 1 - ?
+"
Hariman H. Soeroso L. Succesful marrow recovery after eHuGMCSF treatment in a patient with idiophatic aplastic anemia.
KONAS VII Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah
Indonesia & International scientific meeting of Haematologist
from Southeast Asian Coutries, Medan, Desember 1993.
Maciejewski JP, Risitano AM. Aplastic anemia: management of adult
patients. Hematology. 2005: 110-17.
Rosenfeld S. Follmann D, Nunez 0 , Young NS. Antithymocyte globulin and cyclosporine for severe aplastic anemia. Association
between hematologic response and long-term outcome. JAMA.
2003;289(9): 1 130-5.
Salonder H. Gambaran klinik anemia aplastik dan kriteria ramalan
pasien berumur pendek. Skripsi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1983.
Thompson LH. Unraveling the Fanconi anemia-DNA repair connection. Nat Genet. 2005;37:921-2.
Yamaguchi H, Calado RT, Ly H, Kajigaya S, Baerlocher GM, Chanock
SJ. et al. Mutation in TERT, the gene for telomerase reverse
transcriptase, in aplastic anemia. N Engl J Med.
2005;352(14):1413-24.
Young NS. The pathophysiology of acquired aplastic anemia. N
Engl J Med. 1997;336(19):1365-72.
Young NS. Acquired aplastic anemia. Ann Intern Med. 2002;136:5346.
PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul
akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis,
karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang. ADB ditandai oleh anemia hipokromikmilcrositer
dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi
kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat
penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem
retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi
masih normal. Pada anemia sideroblastikpenyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang karena gangguan
mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi ke dalam
heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini
digolongkan sebagai anemia dengan gangguan
metabolisme besi.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling
sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau
negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat
dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih
dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak
kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial
yang cukup serius.
METABOLISME BESl
Besi merupakan trace element vital yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin,
mioglobin dan berbagai enzirn. Besi di darn terdapat dalam
jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat
penyerapan besi dalam usus, maka sejak awal manusia
dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber
hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah di mana
B
C
Hemoglobin
Mioglobin
Enzim-enzim
Transferin
Feritin
Hemosiderin
2300 rng
320 mg
80 mg
3 mg
700 mg
300 mg
3803 mg
Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu:
Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tingkat
absorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat
sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi.
Besi hon-heme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan,
tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan
pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya
rendah.
Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorbsi besi
adalah "meat factors" dan vitamin C, sedangkan yang
tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, phytat
dan serat (fibre).Dalam lambung karena pengaruh asam
lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan
senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk
feri ke fero yang siap untuk diserap.
Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa
duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi
secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan
terkendali (carefully regulated).Besi dipertahankan dalam
keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Sel absorptif
terletak pada puncak dari vili usus (apical cell). Pada brush
border dari sel absortif, besi feri dikonversi menjadi besi
fero oleh enzim ferireduktase, mungkin dimediasi oleh
protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor
melalui membran difasilitasi oleh divalent metal
transporter (DMT 1, disebut juga sebagai Nramp
2). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan
dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui
basolateral transporter (ferroprotin disebut juga sebagai
IREG 1) ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi reduksi
dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh
hephaestin, yang identik dengan seruloplasmin pada
I
I
Permukaan Apikal
Permukaan Basolateral
I
1
1129
ANEMIA DEFISIENSIBESI
FASE KORPOREAL
Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati
bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian
dalarn darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin.
Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui
proses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat
maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada
transferin (Fez-Tf) akan diikat oleh reseptor transferin
(transferrin receptors = Tfr) yang terdapat pada
permukaan sel, terutama sel normoblas. Kompleks Fez-TfTfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi
oleh klatrin (clathrin-coatedpit), cekungan ini mengalami
invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa
proton menurunkan pH dalam endosom, menyebabkan
perubahan konformasional dalam protein sehingga
melepaskan ikatan besi dengan transferin. Besi dalam
endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan
DMT1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor
transferin mengalarni siklus kembali ke permukaan sel dan
dapat dipergunakan kembali.
o-[
darah
--
PREVALENSI
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang
paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat.
ADB merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di
negara berkembang. Dari berbagai data yang dikumpulkan
sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia
defisiensi besi seperti tertera pada Tabel 2.
Laki dewasa
Wanita tak
harnil
Wanita harnil
Afrika
Arnerika Latin
Indonesia
6%
20%
3%
17-21%
16 - 50%
25 - 48%
60%
39 - 46%
46 92%
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi hams
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti
disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan
adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
hematokrit. Cut oflpoint anemia tergantung kriteria yang
dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap
kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi,
sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari
defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis
anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat
dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi
dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:
Anemia hipokromik rnikrositer pada hapusan darah tepi,
atau MCV <80 fl dan MCHC <3 1% dengan salah satu dari
a, b, c, atau d.
-. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
- Besi serum <50 mg/dl
- TIBC >350 mgldl
- Saturasi transferin: <15%, atau
Feritin serum <20 mg~l,atau
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's
stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir
hemosiderin) negatif, atau
Dengan pemberian sulfas {erosus 3 x 200 mglhari (atau
preparat besi lain yang setara) selarna4 minggu disertai
kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang
menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap ini sering
merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai
jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang sangat
penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan
yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang
baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.
Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari
sumber perdarahan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi
DIAGNOSIS DIEFERENSIAL
Anemia
Defisiensi Besi
Derajat
anemia
MCV
MCH
Besi serum
Ringan sampai
berat
Menurun
Menurun
Menurun
< 30
Meningkat >360
Menurun < 15%
Anemia Akibat
Penyakit Kronik
Trait
Thalassemia
MenurunlN
MenurunlN
Menurun < 50
Menurun
Menurun
Normal1 t
Menurun ~ 3 0 0
MenurunlN 10-20%
Negatif
Positif
Normal / d,
Meningkat
> 20%
Positif kuat
Meningkat
Meningkat
Normal
Feritin serum
Elektrofoesis
Hb.
Meningkat >50
IJClIl
Hb. A2
meningkat
Saturasi
transferin
Besi sumsum
tulang
Protoporfirin
eritrosit
Anemia
Sideroblastik
Ringan
sampai berat
MenurunIN
MenurunlN
Normal,! ?
Normal! d
Meningkat
>20%
Positif dgn ring
sideroblast
Normal
Meningkat
>50 ygll
N
ANJBUA DEFISIENSIBESI
= (15-Hbsekarang) x BB x
atau 1000 mg
2,4
+ 500
PENCEGAHAN
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di
masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan
yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat
berupa:
Pendidikan kesehatan:
- kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian
jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya
pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah
penyakit cacing tambang
- penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi
makanan yang membantu absorbsi besi
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber
perdarahan kronik paling yang sering dijumpai di daerah
tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat
dilakukan dengan pengobatan masal dengan
anthelmentik dan perbaikan sanitasi.
Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada
segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan
anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan
harnil dan anak balita memakai pi1 besi dan folat.
Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu
mencampurkan besi pada bahan makan. Di negara Barat
dilakukan dengan mecampur tepung untuk roti atau
bubuk susu dengan besi.
Adamson JW. Iron Deficiency and others Hypoproliverative Anemias. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL (editors). Harrison's Principle of Internal Medicine. 15Ih edition. ~ e York:
w
McGraw Hill, 2001. p. 491-762.
Andrews NC. Iron Deficiency and Related Disorders. In: Greer GM,
Paraskevas F, Glader B (editors). Wintrobe's Clinical Hematology. Illh edition. Philadelphia: Lippincot, Williams, Wilkins,
2004. p 947-1009.
Andrews NC. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med
1999;341:1986-1995.
Baker WF. Iron Deficiency in Pregnancy, Obstetrics, and
Gynecology. Hematol/Oncol Clin N Amer 2000;14(2).
Bakta IM. Hematologi Ringkas. Denpasar : UPT Penerbit
Universitas Udayana, 2001.
Bakta IM. Infeksi Cacing Tambang pada Orang Dewasa dan Perannya
sebagai salah satu Penyebab Anemia Defisiensi Besi: studi
imunoepidemiologik di desa Jagapati, Bali (Disertasi).
Surabaya:Universitas Airlangga, 1993.
Bakta IM. Lila IN. Widjana DP & Sutisna P. Anemia dan anemia
defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan,
Kabupaten Tabanan Bali. Yogyakarta : Naskah Lengkap
KOPAPDI VIII, 1990.
Bakta IM. Aspek epidemiologi anemia defisiensi besi. Acta Medica
Indonesiana 1993;XXV:1054-1073.
Bakta IM. Anemia defisiensi besi pada penduduk dewasa desa Jagapati,
Bali. Acta Medica Indonesiana 1993;XXV: 123 1-1244.
Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah
Kedokteran Indonesia 1989; 39: 504-506.
Bakta IM. Anemia Defisiensi Besi pada Praktek Swasta seorang
Spesialis Penyakit Dalam di Denpasar. Majalah Kedokteran
Udayana 1996;27: 112-1 18.
Bakta IM, Budhianto FX. Hookworm anemia in the adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop
PENDAHULUAN
Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau
inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya
ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan
berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis.
Cartwright dan Wintrobe melaporkan bahwa pada tahun
1842, peneliti-peneliti di Perancis telah menemukan adanya
massa eritrosit yang lebih rendah pada penderita tifoid
dan cacar dibandingkan dengan orang normal. Diketahui
di kemudian hari bahwa penyakit infeksi seperti
pneumonia, sifilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit lain
seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker
sering disertai anemia dan disebut sebagai anemia pada
penyakit kronis.
Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai
oleh kadar Hb berkisar 7- 11 gtdL, kadar Fe serum menurun
disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di
jaringan serta produksi sel darah merah berkurang.
c. Produksi Eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah
meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya
gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal
ini memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh
penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Penelitian
akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu mungkin
lebih penting untuk diagnosis daripada untuk patogenesis
anemia tersebut (Tabel 1).
Fe plasma (rng/~)
TlBC
Persen saturasi
Kandungan Fe di
makrofag
Feritin serum
Reseptor
transferin serum
Normal
Anemia
Defisiensi
Fe
Anemia
Penyakit
Kronis
70-90
250-400
30
30
>450
7
30
<ZOO
15
20-200
8-28
10
228
150
8-28
++
+++
GAMBARAN KLlNlS
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan
sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit
dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-1 1 gr/dL umumnya
asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau
debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas
transport 0 2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya
atau memperberat keluhan sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai
konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari
anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari
hasil pemeriksaan laboratorium.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer,
meskipun banyak pasien mempunyai garnbaran hipokrom
dengan MCHC <31 g/dL dan beberapa mempunyai sel
mikrositer dengan MCV <80 fL.Nilai retikulosit absolut
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan
pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung
dari penyakit dasarnya.
Penurunan Fe serum (hipoferemia)merupakan kondisi
sine qua non untuk diagnosis anemia penyakit kronis.
Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau
inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi
protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan
saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi
besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi
dengan meningkatkan transfer Ee dari suatu persediaan
yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid
imatur.
'
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Soenarto
PENDAHULUAN
Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang
disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh
sel megaloblastik. Kriteria anemia dan defisiensi gizi
menurut WHO 1972 sebagai berikut:
Dinyatakan Anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada
ketinggian permukaan laut lebih rendah dari nilai pada
golongan umur yang ada yaitu :
Anak umur 6 bulan - 6 tahun : 11 g/100 ml
: 12g/100ml
6 tahun - 14 tahun
: 13 grJ100 ml
Pria dewasa
Perempuan dewasa tak hamil : 12gr/100 ml
: 11gr1100ml
Perempuan dewasa hamil
Untuk anemia gizi, selain kadar Hb ditambah tolok ukur
kadar besi, asam Folat dan vitamin B 12.
Perlu diingat bahwa peningkatan atau penurunan Hb
dan hematokrit (Ht) adakalanya palsu. Keadaan yang dapat
meningkat palsu ialah: berkurangnya plasma darah,
combusio (luka bakar), diuresis yang berlebihan, dehidrasi.
Kadar rendah palsu contohnya pada keadaan hamil atau
dekompensasi jantung.
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang
disebabkan oleh sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel
yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif
mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel
a4al hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan
sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik
normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi
besar dengan peningkatan rasio dari RNA terhadap DNA.
$el-sel awaVpendahulu eritroid megaloblastik cenderung
dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian
selularitas sumsum tulang sering meningkat tetapi
produksi sel darah merah berkurang, dan keadaan
abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesisyang tidak
efektif (ineffective erythropoiesis).
megaloblastik.
Penyakit seperti anemia hemolitik dapat pula jadi rumit
oleh komplikasi defisiensi folat yang dapat terjadi. Obatobat yang menghambat dihidrofolat reduktase (antara lain
metotreksat, trimetopriin) atau yang dapat mengganggu
absorbsi dan penyimpanan folat dalam jaringan tubuh
(antikonvulsan tertentu, kontraseptif oral) mampu
mengakibatkan penurunan kadar folat dalam plasma, dan
bersamaan waktunya dapat menjadi penyebab anemia
megaloblastik. Hal ini karena adanya gangguan maturasi
yang disebabkan oleh defek inti sel. Jadi gangguan
maturasi yang timbul dalam pertumbuhan sel darah merah
karena defisiensi asam folat atau vitamin B 12 disebabkan
karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda
dalam sumsum tulang.
Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk
dari N5-rnetiltetrahidrofolat, suatu monoglutamat, yang
ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang
khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di
dalam sel, gugus N5-metil dilepas ke dalam reaksi
kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah
menjadi bentuk poliglutamat. Konjugasi pada
polyglutamate mungkin berguna untuk penyimpanan folat
di dalam sel.
Ikatan folat dengan protein tampak dalam plasma, susu,
dan cairan tubuh lain. Fungsi ikatan folat dan ikatan
dengan membran perintisnya hingga kini belum diketahui.
Baik bentuk ikatan maupun perintisnya ada kaitannya
dengan pengangkutan tetrahidrofolat.
Fungsi utama senyawa folat ialah memindahkan "1karbon moieties" seperti gugus-gugus metil dan formil ke
berbagai senyawa organik. Sumber dari "1-karbon moieties" biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan
tetrahidrofolat menghasilkan glisin dan N5-10metilentetrahidrofolat. Sumber pilihan lain adalah asam
formiminoglutamat, suatu lanjutan dalam katabolisme
histidin, yang menyarnpaikan gugus formimino
tetrahidrofolat dan asam glutamat. Derivat-derivat tersebut
menyediakan tempat masuk ke dalam kelompok pemberi
dan mudah saling menukar yang terdiri dari derivat-derivat
tetrahidrofolat pembawa macam-macam "1-carbon
moieties".
Unsur-unsur pokok dari kelompok tersebut dapat
memberikan "1 -karbon moieties" mereka kepada senyawasenyawapenerima yang sesuai, guna membentuk lanjutan
metabolik dengan tujuan akhir mengubah pembentukan
blok-blok yang digunakan untuk sintesis makromolekulmakromolekul. Yang sangat penting dalam pembentukan
blok-blok tersebut adalah:
Purin-purin,di mana atom-atom C-2 dan C-8 dirnasukkan
dalam reaksi ketergantungan pada folat;
Deoksitimidilatmonofosfat (dTMP), disintesis dari N5- 10
metilentetrahidrofolat dan deoksiuridilat monofosfat
(dUMP); dan
ANEMIA MECAL.OBLASTIK
Vitamin Bi2
NS - metil THF
CH2CH2CONH2
S~ntase
dTTP
Dihidrofolat
Reduktase
IL
Homosistein
Metil THF
Folat
FmM
Lumen
Ep~thelium
Ileum terminal
cbl&
Darah
Sel jaringan
GANGGUAN KLlNlS
Sebagaimanatertera dalam klasifikasi anemia rnegaloblastik,
kausa dari anemia rnegaloblastik sangat bervariasi
tergantung dari keadaan wilayah di dunia ini. Di wilayah
dengan udara dingin, defisiensi folat sering terjadi pada
pecandu alkohol, sedangkan defisiensi kobalarnin
disebabkan karena anemia pernisiosa atau aklorhidria
rnerupakan tipe yang sering dari anemia rnegaloblastik.
Di wilayah tropis, sprue adalah endernik yang
merupakan penyebab penting tirnbulnya anemia
rnegaloblastik, sedangkan di Skandinavia, adanya cacing .
pita dalam &an yaitu Difilobotriurnlatumi, rnungkin sebagai
penyebabnya. Tentang infestasi cacing pita di rnasyarakat
Bali perlu rnendapat perhatian.
Defisiensi kobalarnin kebanyakan selalu berkaitan
dengan rnalabsorbsi. Asupan harian kobalamin lebih dari
cukup untuk keperluan tubuh, kecuali pada vegetarian.
Berbeda dengan asupan harian asam folat adalah kecil di
banyak wilayah di dunia. Lebih lanjut, karena sirnpanan
asam folat dalam tubuh relatif rendah, rnaka defisiensi asam
folat dapat tirnbul rnendadak selama periode berkurangnya
asupan atau rneningkatnya keperluan rnetabolik. Dan
terakhir, defisiensi asarn folat dapat disebabkan oleh
rnalabsorbsi. Sering pula dua atau lebih faktor yang
berdampingan akan berakibat pada pasien.
Tidak jarang kornbinasi defisiensi kobalamin dan asam
folat dapat terjadi. Pada para pasien " tropical sprue "
sering tirnbul defisiensi kedua vitamin tersebut.
Lesi biokirniawi sebagai akibat dalam rnaturasi
rnegaloblastik dari sel sel surnsurn tulang juga dapat
rnengakibatkan abnormalitas fungsional dan struktural dari
sel sel epitel yang cepat berproliferasi dari rnukosa
intestinurn. Jadi defisiensi yang berat dari salah satu vitamin dapat rnengakibatkan rnalabsorbsi.
Anemia megaloblastik dapat pula dipengaruhi oleh
faktor faktor yang tak ada kaitannya dengan defisiensi
vitamin. Kebanyakan dari penyebab tersebut dikarenakan
obpt obat yang rnengganggu sintesis DNA. Meskipun
kurang sering, rnaturasi rnegaloblastik dapat rnerupakan
gambaran defek sel induk hernatopoietik yang didapat. Dan
sangat jarang ialah adanya defisiensi enzirn spesifik yang
kongenital.
Defisiensi Kobalamin
Gambaran klinis defisiensi kobalamin rnelibatkan darah,
traktus gastrointestinal, dan sisterna nervorum.
Manifestasi hernatologis sepenuhnya selalu berakibat
anemia, rneskipun sangat jarang purpura, dapat pula
tampak, karena trornbositopeni. Keluhan dari anemia dapat
Anemia Pernisiosa
Anemia pernisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai
penyebab defisiensi kobalamin. Ini disebabkan karena tidak
adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari mukosa
maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk orang orang Asia ha1 tersebut jarang terjadi. Ini merupakan
penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang untuk usia di
bawah 30 tahun, meskipun anemia pernisiosa yang khas
dapat terjadi pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile
pernicious anemia). Adanya kondisi kelainan yang
diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal
maupun sama sekali tidak disekresi akan mengakibatkan
defisiensi pada bayi atau anak sangat muda.
Kejadian anemia pernisiosa secara substansial
meningkat pada penyakit penyakit imunologik, termasuk
penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi
adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipoparatiroidisme.
Pasien anemia pernisiosa juga inempunyai antibodi dalam
sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan
penyakitnya: yaitu 90% mempunyai antibodi sel
antiparietal, yang langsung melawan H+, K+-ATPase,
sedangkan 60% mempunyai antibodi antifaktor intrinsik.
Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50% para
pasien atrofi gaster tanpa anemia pernisiosa, demikian pula
terdapat pada 10 sampai 15% dari populasi pasien yang
tak diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik bjasanya
tidak ada pada para pasien tersebut. Sanak keluarga dari
para pasien anemia pernisiosa terdapat peningkatan
kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena
kemungkinan juga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik
dalam serumnya. Akhirnya pengobatan dengan
kortikosteroid mungkin dapat memperbaiki penyakitnya.
Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapat juga
mempunyai andil dalam destruksi sel sel parietal. Anemia
pernisiosa tidak jarang terdapat pada para pasien dengan
agammaglobinemia. Hal ini menunjang peran pada sistem
imun seluler sebagai patogenesisnya. Dan berbeda dengan
Helicobacter pylori yang tidak mengakibatkan destruksi
sel parietal pada anemia pernisiosa.
Ciri yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah
atrofi lambung yang mempengaruhi bagian yang
mensekresi asam dan pepsin darl lambung; terkecuali
antrum. Perubahan patologis lain adalah defisiensi
kobalamin sekunder; ini termasuk perubahan
megaloblastik dalam lambung clan epitel intestinum dan
Pasca Gastrektomi
Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang
luas karena bahan obat yang merusak, maka akan terjadi
anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah
dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi
kobalarnin yang diberikan oral akan terganggu. Anemia
megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomi parsial,
yang sebabnya belum jelas.
Organisme Intestinal
Anemia rnegaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi
anatomik (striktur, divertikel, anastomosis, blind loops)
atau pseudo obstruksi (diabetes melitus, skleroderma,
amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari
sejumlah besar kumpulan bakteri dalam usus halus yang
mengkonsumsi kobalamin intestinal sebelum diabsorbsi.
Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan
demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu
bila intestinum dihuni lebih banyak oleh kolonisasi bakteri.
Respons hematologis telah diabsorbsi setelah pemberian
antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia
megaloblastik dapat dijumpai pada orang-orang pengidap
cacing pita karena adanya kompetisi dari cacing dalam
memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita
tersebut maka problema tersebut dapat diatasi.
Abnormalitas Ileum
Definisi kobalamin sering dijumpai pada "tropical sprue",
sedangkan ha1 ini merupakan komplikasi yang diluar
kebiasaan dari "~zontropicalsprue" (gluten-sensitive enteropathy). Sebenarnya tiap gangguan yang bersamaan
dengan kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat
menimbulkan defisiensi kobalamin. Keadaan khusus yaitu
termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan
tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh
suatu penyakit dapat mengakibatkan anemia megaloblastik
tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi intestinal
seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga
tampak setelah reseksi ileum.
~ i n d r b mZollinger-Elison (hiperasiditas lambung yang
hebat karena tumor yang mensekresi gastrin) dapat
mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh pengasaman
usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan
R ke faktor intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-FI
komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis kronik dapat juga
mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya
selalu ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin
secara klinis. Akhirnya, gangguan kongenital yang jarang
Nitrous Oxide
Menghirup nitrous oxide sebagai obat bius
menghancurkan kobalainin yang endogen. Pemakaian
seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak
cukup untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara
klinis, tetapi pemakaian berulang atau yang
berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang
mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan
dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan defisit
neurologik akut.
Defisiensi Asam Folat
Penambahan asam folat dalam produk dari biji-bijian dan
padi-padian .telah disarankan oleh US Food and Drug
Administrution sejak Januari 1998,maka kejadian defisiensi
asam folat nyata menurun. Para pasien dengan defisiensi
asam folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan
defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah
serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemia pernisiosa.
Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga
dialami. Namun, berlawanan dengan defisiensi kobalamin,
tidak tampak adanya abnormalitis neurologik.
Manifestasi hematologik dari defisiensi asam folat
adalah sama dengan defisiensi kobalamin. Defisiensi asam
folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih
faktor seperti: asupan yang tak memadai, keperluan yang
meningkat, atau malabsorbsi.
Asupan yang tak memadai. Para peminum alkohol akan
dapat mengalami defisiensi asarn folat karena sumber utama
asupan kalori yang dikonsumsi berasal dari minuman
beralkohol. Alkohol dapat mengganggu metabolisme folat.
Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat
karena malnutrisi. Banyak individu fakir miskin dan usia
lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan menderita
defisiensi folat.
Keperluan yang meningkat.Jaringan jaringan yang relatif
pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum tulang,
mukosa usus, rnemerlukan cukup besar akan folat.
Karenanya, para pasien anemia hemolitik kronik atau
penyebab lain terjadinya eritropoiesis yang aktif akan
mengalami deflsiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko
tinggi untuk terjadi defisiensi folat karena keperluan yang
meningkat bersamaan dengan perkembangan janin. Bila
defisiensi timbul pada minggu pertama kehamilan, maka
dapat mengakibatkan defek saluran saraf pada neonatus.
Obat- obatan
Selanjutnya masalah defisiensi folat atau kobalarnin yang
sering menjadi penyebab anemia megaloblastik adalah obat
obatan. Bahan obat yang mengakibatkan anemia
megaloblastik, disebabkan karena mengganggu sintesis
DNA, baik secara langsung atau melawan kerja folat. Ini
dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Langsung penghambat sintesis DNA, mereka terrnasuk
analog purin (6-tioguanin, azatioprin, 6-merkaptopurin),
analog pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose), dan obat
yang mengganggu sintesis DNA dengan berbagai macam
mekanisme (hidroksiurea, prokarbazin). Obat antivirus
zidovudin (AZT), yang digunakan untuk pengobatan HIV,
sering menimbulkan anemia megaloblastik berat.
Antagonis folat. yang paling toksik dari golongan ini adalah
metotreksat, suatu penghambat yang kuat pada dihidrofolat
reduktase, yang digunakan untuk pengobatan keganasan
tertentu dan penyakit-penyakit reumatik tertentu. Yang
kurang toksik tetapi mampu untuk menimbulkan anemia
megaloblastik adalah beberapa penghambat dihidrofolat
reduktase yang lemah, yang digunakan untuk pengobatan
berbagai macam kondisi nonmalignan. Obat-obatan
tersebut termasuk pentamidin, trimetoprim, triamteren, dan
pirimetamin.
Lain-lain. Sejumlah obat yang melawan folat dari
mekanismenyayang sukar dimengerti, akan tetapi dipikirkan
ikut serta dan menyangkut pada absorbsi dari vitamin oleh
intestinum. Dalam kelompok ini adalah "anticonvulsants"
fenitoin, primidon, dan fenobarbital.Anemia megaloblastik
yang disebabkan oleh obat obat tersebut adalah ringan.
Mekanisme Lain
Sebab herediter. Anemia megaloblastik dapat tampak pada
beberapa penyakit herediter. "Orotic aciduria" suatu
defisiensi orotidilik dekarboksilase dan fosforilase, karena
defek dalam metabolisme pirimidin dan dengan ciri adanya
pertumbuhan yang terlambat dan perkembangan maupun
dari ekskresi sejumlah besar dari asam orotik. Malabsorbsi
folat yang kongenital penyebab anemia megaloblastik,
bersamaan dengan ataksia dan retardasi mental.
Anemia megaloblastik yang responsif dengan tiamin
yang disertai dengan ketulian saraf dan diabetes melitus
pernah dilaporkan pada beberapa anak. Perubahan
megaloblastik yang disertai berinti banyak dari pendahulu
sel darah merah dapat dilihat dalam sumsum dari para
pasien tertentu dengan anemia dyserythropoietik
kongenital, suatu golongan gangguanlpenyakit yang
diwariskan dengan ciri anemia ringan sarnpai sedang dan
perjalananny a tidak ganas.
Defisiensi TC 11, seperti abnormalitas yang diwariskan
pada absorbsi kobalamin sebagai penyebab defisiensi
yang mencolok dari kobalamin pada bayi atau awal masa
kanak kanak. Anemia megaloblastik tak dijumpai pada
defisiensi TC I yang diwariskan.
ANEMIA MEGALOBLASTIKYANG REFRAKTER
Eritropoiesis megaloblastik kadang kadang dapat tampak
pada mielodisplasia. Perubahan megaloblastik terbatas
pada seri sel darah merah. Mielodisplasia sering
menghasilkan perbedaan gambaran morfologik yang lebih
jelas pada normoblas ortokromatik dimana inti
megaloblastik berhubungan dengan sitoplasma yang
sangat hipokromik. Varian ini disebut " megaloblastoid "
yang merujuk pada defek maturasi inti dan sitoplasma.
"Megaloblastoid " tidak berarti " megaloblastoid ringan".
Seperti halnya bentuk lain dari mielodisplasia, anemia
megaloblastik refrakter ada hubungannya dengan
peningkatan kejadian leukemia akut.
Perubahan megaloblastik tampak pada mielosis
eritremik dan eritrolekemia akut, di mana pendahulu sel
darah merah nyata terlibat.
Diagnosis
Guna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu
menelusuri baik pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan
laboratoris darah juga sumsum tulang. Pemeriksaan
laboratorium darah meliputi hemoglobin, hematokrit,
retikulosit, leukosit, trombosit, hitung jenis, laju endap
darah, serum vitamin B 12, serum folat, folat eritrosit,MCV
dan lain-lain tes khusus yang sesuai. Pemeriksaan film1
hapusan darah perifer perlu diperhatikan bentuk bentuk
sel sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Didapatkan
secara nyata makrositosis yaitu MCV lebih dari 100fl maka
ANEMIA ~ B L A S T I K
ANEMl A
Morfologi
SDM
I
Normositik
Normokromik
I Hipoproliferatif I
Hemolisisl
Hemorrhagia
I
Mikro atau
Makrositik
Gangguan
maturasi
- Kehilangan darah
- Hemolisis intravaskular
- Defek
metabolik
-Abnormalitas membran
- Hemoglobinopati
- Defek autoimun
- Hemolisis fragmentasi
- Defek sitoplasma
- Defisiensi Fe
- Talasemia
-Anemia side
- Roblastik
- Defek inti
- Defisiensifolate
HEMATOLOCl
Pengobatan
Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka
perlu memberikan terapi spesifik berkaitan dengan
penyakit dasar yang melatar belakangi, misalnya adanya
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum
perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk
defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek
yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien
diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk
suntikan kobalamin intramuskular.
Awal pelnberian terapi parenteral dengan kobalan~in
1000 ug i.m, tiap minggu sampai 8 minggu, keniudian
dilanjutkan suntikan i.m kohalamin 1000 ug tiap bulan dari
sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola
secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin
B12 sejumlah 2 mg per hari; namun ketidak patuhan lehih
besar pada terapi oral dibanding terapi i.ni.
Respons terapi adalah memuaskan. Segera setelah
terapi dimulai, dan beberapa hari sebelum respons
hematologis tampak nyata dalam darah perifer, pasien
merasakan kekuatan meningkat dan ada perbaikan
kesehatannya. Morfologi sumsum tulang mulai kembali ke
keadaan normal dalam waktu beberapa jam setelah terapi
dimulai. Retikulositosis mulai pada hari ke-4 sampai hari
ke-5 setelah terapi dimulai dan mencapai puncak kurang
lebih 7 hari, dan remisi berikutnya dari anemia setelah
beberapa minggu. Bila retikulositosis Lidak tampak, atau
bila kurang cepat dari yang diharapkan dari kadar
hematokrit, maka perlu dicari kemungkinan faktor lain yang
mengakibatkan anemia (a.1. infeksi, bersamaan dengan
defisiensi besi atau folat, atau hipotiroidisme). Hipokalemia
dan retensi garam dapat tampak lebih awal dalam perjalanan
terapi. TrombosiLosis mungkin ditemukan.
Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua
yang diperlukan guna pengobatan defisiensi kobalamin.
Kadang kadang pasien menunjukkan anemia yang berat
disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan
kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini
perlu dilakukan dengan hati hati, sebab pasien yang
demikian dapat berkemba~igmenjadi gagal jantung karena
adanya kelebihan cairan.
Darah harus diberikan pelan pelan dalam bentuk PRC
(Pocked Red Blood Cells), dan harus selalu dalam
pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi
sedikit akan cukup guna menghindari nasala ah gagal
kardiovaskular akut.
Dengan pengobatan jangka lama selama hidupnya, para
pasien akan mengalami Lidak berlanjutnya manii'cs~asi
defisiensi kobalamin, namun gejala neurologiknya tidak
sepenuhnya dapat dikoreksi meskipun dengan terapi yang
optimal. Pada pasien anemia pernisiosa perlu dengan
cermat diawasi dan selalu diikuti perkembangannya karena
adanya potensi untuk berkembang menjadi karsinoma
lambung.
DEFlSlENSl FOLAT
Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati
dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah
I mg per hari per oral, namun dosis tinggi sampai 5 mg per
hari mungkin diperlukan pada defisiensi folat yang
disebabkan karena malabsorbsi. Pemberian folat parenteral
jarang diperlukan. Respons he~natologissama dengan
yang dapat dijumpai setelah terapi pengganti pada
defisiensi kobalamin, misalnya terjadinya retikulositosis
yang nyata setelah kurang lebih 4 hari, kemudian diikuti
dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan
kemudian. Lama terapi tergantung pada keadaan dasar
defisiensi.
Para pasien dengan keperluan yang terus menerus
lneningkat seperti pada pasien anemia hemolitik atau
mereka yang dengan malabsorbsi atau malnutrisi kronik,
hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan
mengajarkan diet yang optimal dengan kecukupan folat.
ANEMIA MU;ALOBLASTIK
KESIMPULAN
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan
oleh defek sintesis DNA dalam sel-sel terutama dari
hematopoietik. Klasifikasi anemia megaloblastik dapat
dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi
asam folat dan sebab sebab lain.
Asain folat dan vitamin B12 adalah zat yang
berhubungan dengan unsur makanan yang sangat
diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan
vitamin B 12ialah dalam metabolisme intraselular. Bila kedua
zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak
sempurnanya sintesis DNA. Hematopoiesis sangat sensitif
pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah
anemia megaloblastik.
Untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala
klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk penggantian
atau menghilangkan defisiensi tersebut.
'
DIAGNOSIS
Gambar 1. Aktifasi komplemen pada AlHA
ETlOLOGl
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas,
kemungkinan tejadi karena gangguan central tolerance,
dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif
residual.
KARENA
PENDAHULUAN
Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari
nilai normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat
dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.
Patofisiologi
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular.Hal
ini tergantung pada patologi yang mendasari suatu
penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi e~itrosit
terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma
mekanik, fiksasi komplernen dan aktivasi sel pe~mukaanatau
>infeksiyang langsung mendegradasi dan mendestruksi
men~bransel eritrosit. Hemolisis intravaskularjarang terjadi.
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis
.ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi
sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena
sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak
dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga
'difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.
Manifestasi Klinis
Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin
mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien
mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan,
meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan
terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi
penting yang harus ditanyakan saat anamnesis.
Pada perneriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa
kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia
'hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia
dan aliran murmur pada katup jantung.
. Selain hal-ha1 umum yang dapat ditemukan pada
anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan
pemeriksaan fisik hal-ha1 yang bersifzt khusus untuk
anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus
tungkai pada anemia sickle cell.
Pemeriksaan Laboratorium
Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis.
Retikulositosis mencerminkan adanya hiperplasia eritroid
di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu
diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari
setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding
retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan
perbaikan supresi eritropoeisis.
Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun
retikulositosis meningkatkan ukuran mean corpuscular
volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya
hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada
sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun; sel
target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati;
Schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular dan
lain-lain.
Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain,
peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama LDH 2,
dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan
destruksi eritrosit.
Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular,
1159
ANEMIAHEMOIS~~K
NON AUTOIMUN
Defisiensi GGPD
Tipe
Sebab
Kegagalan
degradasi faktor
von Wilebrand
multimer besar
yang tidak biasa
Thrombotic
Trombocytopenia
Purpura
Trombus
trombositfibrin
predominan
di ginjal
Pajanan dengan
toksin Shiga
Klasik, kanak-kanak
atau Hemolytic Uremic
Syndrome yang
berhubungan dengan E.
Coli
Hemolytic Uremic
Syndrome (HUS) familial
(atau rekuren)
Defek faktor H
plasma
Mikroangiopati Trombotik
Mikroangipati trombotik adalah sumbatan mikrovaskular
yang terjadi karena agregasi trombosit sistemik atau
intra,?.~lal,
disertai adanya trombositopenia, dan trauma
mek,.;ni.ksel eritrosit.Yang termasuk kelompok kelainan ini
adalah: Thrombotic Trombositopenia Purpura (TTP) dan
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).
Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP)
~ e l a i n a nini ditandai dengan agregasi trombosit pada
arteriol berbagai organ yang mengakibatkan
trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang
mengalami fragmentasi (schistocytes atau sel helmet).
Agregasi trombosit dapat mengakibatkanoklusi baik parsial
atau total sehingga terjadi disfungsi organ yang biasanya
terjadi pada sistem saraf atau ginjal. Oklusi ini
menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik sehingga
meningkatkan kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit
yang mengalami fragmentasi terjadi karena adanya aliran
darah melalui area turbulen dari rnikrosirkulasi mengalami
oklusi parsial karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi
pada semua usia terutama dewasa muda dan lebih sering
perempuan.
Patogenesis. Pada TTP trombus tombositlagregasi
trombosit mengandung banyak faktor von Willebrand
sedangkan pada DIC tombus trombosit mengandung
banyak fibrin tetapi tidak mengandung faktor von
Presentasi klinis
-
Trombus
tombosit
sistemik
Trombus
renal atau
sistemik
Transplantasi atau
obat (mytomicin,
cyclosporin,
tacrolimus,
quinine)
Hemolytic Uremic
Sydrome atau
Thrombotic
Trombocytopenia
Purpura
Klasifikasi
Ada dua tipe TTP: 1). Familial. Muncul pada masa bayi
atau kanak-kanak dan kambuh dengan interval teratur tiga
minggu (dirujuk sebagai thrombotic trombositopenia
kronik kambuh); 2). Idiopatik didapat. Muncul pada orang
dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan biasanya
merupakan episode akut tunggal. Hanya 11-36% yang
kambuh dengan interval tidak teratur. Biasanya terjadi
dalam beberapa minggu setelah terapi awal trombosis arteri
pada pasien trombosis arteri yang mendapat tiklopidin,
inhibitor adenosis disfosfat (ADP) dan sebagian kecil yang
pasien yang menerima Mopidogrel. Kelainan ini juga bisa
terjadi pada waktu kehamilan terutama trimester akhir atau
periode postpartum.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anemia
hemolitik dengan fragmentasi eritrosit, tes koagulasi
normal, demam, kelainan neur~logidan gangguan fungsi
ginjal, yang merupakan kelainan patognomonik untuklTP.
Meski tidak selalu dibutuhkan untuk diagnosis, biopsis
kulit dan otot, gusi, kelenjar getah bening, atau sumsum
tulang, menunjukkan kelainan arteriol yang khas.
Diagnosis Banding. Idiopathic trombocytopenic purpura
(ITP) atau Evan's Syndrome. Pada kedua kelainan ini
ditemukan juga fragmentasi eritrosit tetapi bukan eritrosit
sferositik. Pada TTP tes Coombs negatif
Terapi. Pada TTP familial, episode TTP dapat dicegah
dengan pemberian fresh frozen plasma yang mengandung
sedikit trombosit, plasma mengandung sedikit kriopresipitat
(cryosupernatant) atau plasma yang dicampur dengan
pelarut dan detergen yang berisi metaloprotease aktif yang
diberikan tiap tiga minggu. Tidak dibutuhkan plasmaferesis.
Pada TTP idiopatik didapat perlu dilakukan plasma
exchage (plasma tukar) yaitu kombinasi plasmaferesis
dengan infus FFP atau cryosupernatant, setiap hari.
Plasmaferesis bertujuan untuk mengeluarkan faktor von
Wilebrand multimer besar yang tidak biasa dan
autoantibodi terhadap ADMTS 13). Jika respon baik
(trombositmeningkat dan LDH menurun) frehensi plasma
tukar dapat dikurangi tetapi kadang-kadang diteruskan
untuk beberapa minggu atau bulan. Lebih dari 90% pasien
dapat bertahan hidup dengan pemberian segera terapi ini.
Pada keadaan dimana autoantibodi ADAMTS 13
Hipersplenisme
Limpa normal berbagi fungsi dengan jaringan lain dalam
ha1 pembentukan, penyimpanan dan penghancuran sel
darah serta produksi antibodi. Namun limpa memiliki
kemampuan unik untuk melakukan penyaringan terhadap
sel darah serta menyingkirkan sel yang abnormal maupun
benda asing.
Limpa memiliki 2 fungsi dasar, yaitu:
Fungsi penyaring dan surveilan terhadap komponen
darah di pulpa merah (oleh makrofag)
Fungsi sintesis antibodi di pulpa putih
Hipersplenisme merupakan proses penghancuran sel
darah yang berlebihan oleh limpa. Hal ini terjadi ketika
ukuran limpa mengalami peningkatan baik sel maupun
jaringan atau desakan pembuluh darah. Keadaan ini
meningkatkan peran fungsi penyaring, sehingga sel darah
normal pun akan mengalami perlambatan serta proses
penghancuran sementara. Walaupun proses penghancuran
granulosit dan trombosit menyebabkan neutropenia dan
trombositopenia, namun ke dua jenis sel tersebut dapat
beradaptasi dengan perlambatan proses penyimpanan di
limpa. Berbeda dengan sel darah merah yang terperangkap
akan mengalami penghancuran menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik.
Dameshek berpendapat bahwa hipersplenisme
umumnya dihubungkan dengan keadaan splenomegali,
~nenyebabkanterjadinya sitopenia yang berakibat
terjadinya kompensasi hipeplasi sumsum tulang.
Kebanyakan kelainan ini harus dikoreksi dengan
splenektomi.
lnfeksi Mikroorganisme
Mikroorganisme memiliki mekanisme yang bermacammacam saat menginfeksi eritrosit menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Ada yang secara langsung menyerang
eritrosit seperti pada malaria, babesiosis dan bartonellosis.
Melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Closrridium
perfringens, pembentukan antibodi atau otoantibodi
terhadap eritrosit. Dapat pula dengan deposit antigen
mikroba atau reaksi kompleks imun pada eritrosit.
Malaria
Pada infeksi malaria, derajat anemia yang terjadi tidak
sesuai dengan rasio jumlah sel yang terinfeksi, namun
penyebabnya masih belum jelas. Fragilitas osmotik pada
sel yang tidak terinfeksi maupun yang terinfeksi mengalami
Bartonellosis
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh Bartonella
baciliformis yang melekat pada permukaan sel eritrosit.
Eritrosit yang terinfeksi mengalami indentasi, invaginasi
serta terbentuknya saluran. Eritrosit yang terinfeksi,
dengan cepat dihancurkan olek hati dan limpa. Anemia
hemolitik akut terjadi pada saat demam "Oroya" di mana
dengan cepat jumlah eritrosit mengalami penurunan
sampai 750.000/uL.
Diagnosis dan terapi. Diagnosis ditegakkan dengan
menemukan B baciliformis pada sel eritrosit. Dengan
pewarnaan Giemsa didapatkan bentuk batang berwarna
merah jingga.
Pengobatan dengan penisilin, streptornisin,klorardenikol
dan tetrasiklin memberikan respons sangat baik.
Babesiosis
Babesia merupakan protozoa intra eritrosit, yang ditularkan
melalui gigitan kutu rambut, yang dapat menginfeksi hewan
ternak maupun hew an liar. Pada manusia penyakit ini tidak
hanya ditularkan melalui gigitan kutu, tetapi juga lewat
,ransfusi darah.
e
PENDAHULUAN
Purpura TrombositopeniaIrnun (PTI) yang dahulu dikenal
sebagai Idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP) dan
kemudian selanjutnya disebut juga sebagai Immune
thrombocytopenic purpura rnerupakan suatu kelainan
didapat yang berupa gangguan autoirnun yang
rnengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya
penghancuran trornbosit secara dini dalam sistern
retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap
trornbosit yang biasanya berasal dari Irnmunoglubolin G
Kata trombositopeniamenunjukkan bahwa terdapat angka
uornbosit yang rendah, sedandkan kata purpura berasal
dari suatu deskripsi akan kulit yang berwama lebam karena
symptom penyakit ini, warna ungu pada kulit ini
disebebkan oleh merernbesnya darah dibawah kulit.
Adanya trombositopenia pada PTI ini akan
rnengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena
uombosit bersarna dengan sistern vaskular faktor koagulasi
darah terlibat secara bersamaan dalam rnernpertahankan
hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat bervariasi
mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang sarnpai
dapat mengakibatkan kejadian-kejadian yang fatal. Kadang
juga asirnptornatik.Oleh karena rnerupakan suatu penyakit
autoirnun maka kortikosteroid rnerupakan pilihan
konvensional dalarn pengobatan PTI. Pengobatan akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan rnengatasi penyakit
yang rnendasari PTI sehingga tidak rnengakibatkan
keterlambatan penanganan akibat perdarahan fatal, atau
pun penanganan-penanganan pasien yang gaga1 atau
relaps. Di dalarn rnakalah ini akan disajikan pegangan
mengenai diagnosis klinis dan laboratoriurn, epidemiologi,
patofisiologi, rnenilai dan rnenentukan respon terhadap
pengobatan dan penangan kasus-kasus refrakter.
Berdasarkan etiologi, PTI dibagi rnenjadi 2 yaitu primer
(idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan onset penyakit
!,
Klon 2 sel B
~
Klon 2 sal T
. ----..---p-.---p...-
Kortikosterold
Gambar 2. Pendekatan terapi purpura trombositopenia purpura berdasarkan mekanisme kerja dari
splenektomi, beberapa obat dan plasmafaresis (Cines dan Blanchette, 2002)
Geneti k
Immune thrombocytopenic purpura telah didiagnosis
pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, dan
telah dikatahui adanya kecenderuangan menghasilkan
autoantibodi pada anggota keluarga yang 'saha. Adanya
peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 pada
beberapa populasi etnik telah diketahui. Ale1 HLA-DR4
dan DRB*0410 telah dihubungkan dengan respon yang
menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid,
Antibodi-anti Trombosit
Autoantibodi yang berhubungan dengan trombositopenia
ditemukan pada 75 % pasien PTI. Autoantibodi IgG
antitrombosit ditemukan pada +50 - 85% penderita.
Antibodi antitrombosit IgA serum ditemukan sesering IgG,
dan hampir 50 % kasus, kedua serotipe imunoglobulin
tersebut ditemukaan pada pasien yang sama. Antibodi
IgM juga ditemukan pada sejurnlahkecil pasien tetapi tidak
pemah sebagai autoantibodi tunggal.
Peningkatan jumlah IgG telah tampak di permukaan
trombosit, dan kecepatan destruksi trombosit pada PTI
adalah proporsional terhadap kadar yang menyerupai
trombosit yang berhubungan dengan imunoglobulin.
Autoantibodi dengan mudah ditemukan dalam plasma
atau dalam eluate trombosit pada pasien dengan
penyakit yang aktif, tetapi jarang ditemukan pada pasien
yang mengalami rernisi. Hilangnya antibodi-antibodi
- berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang
normal.
Masa Hidup Trombosit
Masa hidup trombosit normal adalah sekitar 7 hari, tetapi
memendek pada PTI menjadi berkisar dari 2 - 3 hari sampai
beberapa menit. Pasien yang trombositopenia ringan
sampai sedang mempunyai rnasa hidup terukur yang lebih
lama dibandingkan dengan pasien dengan trombositopenia
berat.
GAMBARAN KLlNlS
PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak,jarang pada umur
dewasa, onset penyakit biasanya mendadak, riwayat
,
infeksi mengawali terjadinya perdarahan b e ~ l a n gsering
dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella)
dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh virus
merupakan 90% dari kasus pediatrik trornbositopenia
imunologik.Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah
varisella zooster dan ebstein barr. Manifestasi perdarahan
PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan
intrakranialterjadi h a n g dari 1% pasien. Pada PTI dewasa,
bentuk akut jarang terjadi, namun dapat mengalami
perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulrninan. PTI
akut pada anak biasanya self limitirig, remisi spontan
terjadi pada 90%penderita ,60% sembuh dalam 4-6 minggu
dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.
PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN
PTI Kronik
Onset PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat
perdarahan sering dari ringan sampai sedang. infeksi dan
pembesaran lien jarang terjadi, dan memiliki perjalar~anklinis
yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu. mungkin
intermitten atau bahkan terus menerus. Relnisi spontan
jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap.
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, peteki,
purpura. Pada umumnya berat dan frekwensi perdarahan
berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum
hubungan antara jurnlah trombosil dan gejala antara lain
bila pasien dengan AT > 50.000 /mL maka biasanya
asimptomatik, AT 30.000 - 50.000 /mL terdapat luka memarl
hematom, AT 10.000 - 30.000 /mL terdapat perdarahan
spontan, menoragi dan perdarahan memanjang bila ada
luka, AT < 10.000 /mL terjadi perdarahan mukosa
(epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria)
dan risiko perdarahan sistem saraf pusat.
Perdarahan gusi dan epistaksis sering terjadi, ini dapat
berasal dari lesi peteki pada mukosa nasal, juga dapat
ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus
genitourinari:l merupakan tempat perdarahan yang paling
sering. menoragi dapat merupakan ge.jala satu-satunya
dari PTI dan n~ungkintampak pertama kali pada pubertas.
Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan
gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih
jarang lngi dengan hematemesis.
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang
paling serius pada PTI. Hal ini mengenai hampir 1%
penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan
biasanya di subarachnoid, sering multipel dan ukuran
bervariasi dari peteki sampai ekqtravasasi darah yang luas.
DIAGNOSIS
Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan
PTI aku: dan kronik. sel-tatidak terdapatnya gejala sistemik
dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk
sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis
pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan
trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan
perdarahan karena trombosit yang rendah (peteki, purpura,
perdarahan konjungtiva dan perdarahan selaput lendir
yang lain). Purpurn Thrombocytopenic Imnrune dewasa
terjadi umumnya pada usia 18 - 40 tahun dan 2-3 kali lebih
sering mengenai wanita dari pada pria.
Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi),
tidak ada limfadenopati . Selain trombositopenia hitung
darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan
untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan
hematologi yang lain. Megatrombosit sering terlihat pada
pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding PTI antara lain: anemia aplastik,
leukemia akul, Disscinlittated intravascular coag~ilutiorz
(DIC), Thrombotic thrornbocytopenicpurpura-hemolytic
uremic syndrome ('TTF-HUS), Antiphospholipid antibody
syndroine (APS), Myelodysplastic syndr-onre,
hipersplenisme, alcoholic liver diseuse, bentuk sekunder
PTI (SLE, HIV, leukemia limfositik kronik),
pseudotrombositopenia karena ethylenediamine
tetraacetate (EDTA), obat-obatan. Untuk menentukan
diagnosis banding PTI tersebut perlu meninjau kembali
patofisiologi klasifikasi trombositopenia pada tabel 1.
Diagram
Perdarahan
Transfusi trombosit
lmunoglobulinintravena
(lglkglhari atau 2-3 hari)
Metilprednisolon
(lglhari atau 3 hari)
Trornboslt
30.000-50.000/mrn3
Trombosit r50.000lrnm~
Prednison atau
tidak diterapi
lidak diterapi
Purpura
trornbositopenia
lmun kronls
Trornbosit
30.000-50.0001mm3
+I
Trornbosit i30.0Wmm3
Pradnison atau
tidak diterapi
Penjarahan
aktif
lmunoglobulin intravena
Metilprednisolon
Solenektomi
lidak ada
perdarahan aktif r Prednison
danazol (10-15 mglkglhari)
dapson (75-100 mglhari)
lmunoglobulin anti-D intravena:
medis
lmunoglobulin intravena
Trombosit c30.0001mm3
,
$- i
Trombosit ~30.0001mm3
Spleniktomi
Splenektomi
Trombosit k0.0001mm3
Tdak dlterapi
Penahambat kllreno t r o m h l t
Prednison
lmunoglobulin lntravena
Alkaloid vinka
Danazol
I
Terapi q d i s
0 b q t ~ b aImunooupreoU
t
Azatioprin
Siklofosfamid
Sikloporin
Obat-ohat percobaan
Antibodi penyerang CD 20
Antibodi penyerang CD.145
Transplantasi sumsum tulang
Trombopoietin
Gambar 3. Pengelolaan PTI awitan dewasa (Sumber: Cines DB, Blanchette VS, 2002)
selama ini dipergunakan sebagai pengobtan limfoma NonHodgkin, telah dipergunakan untuk pengobatan PTI pada
beberapa penelitian pendahuluan dengan respon
berlansung 12 bulan sejak dihiyung dari onset pengobatan
awal diberikan. Relaps jarang terjadi setelah 2,5 tahun dan
sekitar 50% pasien diperkirakan akan terus berespon tanpa
tambahan terapi untuk 5 tahun selanjutnya. Penelitian di
Italia menggunakan dosis pemberian rituximab dosis tinggi
375 mgrlm2 tiap minggu selarna 4 ininggu didapatkan angka
respon secara keseluruhan adalah 52%. Penelitian di
London, Inggris menggunakan rituximab dosis rendah 100
mg per minggu selama 4 minggu menunjukkan rituximab
dosis rendah dapat menghasil kan respon yang signifikan
dan bertahan lama sehubungan dengan deplesi sel B.
PROGNOSIS
Respon terapi dapat mencapai 50%-70% dengan
kortikosteroid . Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil
dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada
PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial
yang berakibat fatal berkisar 2,2 % untuk usia lebih dari 40
tahun dan sampai 47,8 % untuk usia lebih dari 60 tahun.
PAROXYSMAL NOCTURNAL
HEMOCLOBINURIA (PNH)
Made Putra Sedana
PENDAHULUAN
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu
kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya
hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria yang
umumnya terjadi pada saat pasien tidur dimalam hari., yang
disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi somatic
pada totipoten Hematopoetic stem cell yang menyebabkan
kerusakan intrinsic pada membrane sel darah merah
sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen,
hal ini dapat pula menimblkan trombositopenia, lekopenia
dan kegawatan akibat trombosis vena.
Gambaran kelainan ini pertarna kali dipublikasikan oleh
Strubbing pada tqhun 1882, sedangkan karateristik
Winisnya pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan
Nazari pada tahun 1911serta Micheli ditahun 1931, karena
itulah kelainan PNH sering juga disebut MarchiavafaMicheli syndrome. Meskipun PNH umumnya terjadi pada
dekade keempat dan kelima ,tetapi dapat pula terjadi pada
anak-anak dan orang tua.
Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala
anemia, hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta
keluhan gastrointestinal. Penegakan diagnosis dapat
ditentukan melalui pemeriksaan darah, urine, sumsum tulang
dan sitogenetik.
LABORATORIUM
Gambaran anemia hemolitk.
Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia
hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi
besi, dapat pula menyerupai anemia aplastik.
Retikulositosis
~ s ~ h asumsum
si
tulang : hyperplasia eritropoesis atau
hypoplasia.
DIAGNOSIS
Gejala : anemia, hemoglobinuria.
Hapusan Darah Tepi : gambaran anemia hemolitik,
sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat
juga menyerupai anemia aplasrik.
Aspirasi Sumsum Tulang : hiperplasi eritropoesis atau
hypoplasi.
Flowsitometri :pemeriksaan CD 59 pada eritrosit; CD
55 atau CD 59 pada granulosit.
Sucrose waters Test dan Acid Hams Test : positif.
Manifestasi trombosis
Pada Urine : hemoglobinuria; hemosiderinuria.
DIAGNOSIS BANDING
Anemia Hemolitik Lain.
Anemia Defesiensi besi
Anemia aplastik
Black water fevel:
Paroxysmal cold hemoglobinuria.
PENGOBATAN
Bila anemia transfusi darah dengan Washed
Erythrocyte.
PROGNOSIS
Penderita PNH rata-rata hidup 10 - 50 tahun.
Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi:
trombosis; pansitopenia.
Penderita PNH dapat mengalami perubahan menjadi:
Leukemia akut; SindromaMielodisplasia;Mielofibrosis;
PENDAHULUAN
Lupus eiitematosus siste~nik(systemic lupi~sel:\~thenzaionrs,
SLE) daprzt mempengaruhi banyak organ di t ~ ~ b udan
h
menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan
spektrum yaiig luas. Kelainan hematologi seringkali
diremukan pada SLE. Anemia dan trombositopenia,
kelainan hematologi yang sering terjadi pada perjalanan
penyakit pasien SLE, biasanya bukan melvpakan kondisi
yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi
gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen
yang agresif. Leukopeniajuga sering terjadi, halnpir selalu
merupakan limfopenia, bukan granulositopenia,kondisi ini
jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya
tidak niembutuhkan terapi. Trombosis merupakan salah
satu penyebab kematian pada pasien SLE.
Q-iteria Diagnosis SLE d a r i pads
~ ~197
~1 menyatakan
bahwa leukopenia, trombo~ito~enia,
dan anemia hemolitik
lnerupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada
revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi
dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1)
anci~iiahelnolitik autoimun, 2) leukopenia (<4000/pl pada
dua knli atau lebih pemeriksaan), 3) limfopenia (<1500/pl
pada dua kali atau lebih pemeriksaan) dan 4)
trombositopenia (<I 00.000lp1 tanpa pemberian obat).Pada
Cc~rolinaLupus Study, dari 265 pasien SLE yang
didiagnosis antara 1995 sampai 1999, frekuensi kelainan
hematologi pada diagnosis awal adalah 11% anemia
hemolitik, 18% leukopenia, 21% limfopenia, dan 11%
trombositopenia.
Sumsu~ntulang menjadi target pada pasien SLE dengan
sitopenia. Sebuah penelitian pada pasien-pasien SLE
dengan sitopenia, yang tidak menggunakan obat
iinunosupresif, melaporkan gambaran sumsum tulang
ANEMIA
Prevalensi
Sebagian besar pasien menderita anemia pada suatu waktu
di sepanjang perjalanan penyakitnya. Prevalensinyacukup
tinggi, sekitar 5 1-98% pasien pernah menunjukkan kadar
hemoglobin kurang dari 12 gldl. Pada umumnya, yang
terjadi adalah anemia derajat sedang, tetapi beberapa
pasien menunjukkan anemia berat.
Etiologi
Anemia pada pasien SLE dapat merupakan penyakit imun
atau non-imun. Anemia yang merupakan penyakit nonimun adalah anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi
besi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakit ginjal,
anemia diinduksi obat, dan anemia sekunder terhadap
penyakit lain (misalnya anemia sel sabit). Anemia yang
diperantaraiimun pada pasien SLE adalah anemia hemolitik
autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia
aplastik, pure red cell aplasia, dan anemia pemisiosa.
Voulgarelis dkk. melaporkan pada dari 132 pasien SLE,
37,1% menderita anemia pada penyakit kronik, 35,6% anemia defisiensi besi, 14,4% anemia hemolitik autoimun dan
12,9% karena penyebab lain.
Salah satu penyebab anemia pada penyakit kronik dan
1179
Pengobatan
Terapi medikamentosa. Kortikosteroid sisternik, 1-1,s mg/
kg prednison setiap hari, cukup efektif. Steroid diberikan
secara parenteral pada pasien dengan penyakit akut dan
kemudian diganti menjadi obat oral setelah keadaannya
stabil dan membaik. Dosis tersebut diberikan selama 4-6
minggu dan secara bertahap diturunkan.
Pada pasien yang responsif dengan steroid, respons
klinis akan terjadi dalam waktu satu minggu. Stabilisasi
hematokrit terjadi dalam 30-90 hari setelah terapi dimulai.
Pasien dengan anemia hemolitik berat dan progresif
cepat dapat diberikan metilprenisolon 1 g IV selama 3 hari
berturut-turut, diikuti dengan dosis steroid konvensional.
Hitung retikulosit dapat digunakan sebagai indikator
respons terapi dan untuk mendeteksi relaps saat dosis
steroid diturunkan. Hitung retikulosit yang menurun
drastis dihubungkan dengan relaps proses hemolitik.
Pengobatan lainnya yang telah dilakukan adalah
pemberian azatioprin 2-2,5 mglkg dikombinasikan dengan
prednison 10-20 mglhari pada pasien-pasien yang gaga1
dengan pemberian prednison.
Splenektomi. Splenektomi dilakukan pada pasien dengan
AHA tipe hangat idiopatik yang membutuhkan dosis
pemeliharaan prednison yang tinggi (20 mglhari atau lebih),
pasien dengan relaps yang sering, atau mereka yang
menunjukkan efek samping yang serius dengan terapi
steroid.
Mikroangiopati Trombotik
Mikroangiopatik trombotik adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan kondisi-kondisi dimana terjadi
trombosis mikrovaskular terlokalisasi atau difus. Sindrom
ini paling sering ditemukan pada pasien dengan lupus aktif,
dimana perusakan jaringan dan aktivasi komplemen
sedang terjadi.
Etiologi mikroangiopati trombotik sangat sedikit
diketahui tetapi sepertinya trombosit, faktor humoral
(antibodi dan komplemen) dan endotelium mikrovaskular
memegang peranan penting pada patogenesisnya. Cedera
pada pembuluh darah kecil merangsang adhesi trombosit
pada endotelium dan agregasi, menurunnya PGIl dan
1181
peningkatan sintesis tromboksan. Terikatnya antibodi atau
kompleks imun dari sirkulasi juga dapat menjadi awal
terbentuknya mikrolrombus, aktivasi komplemen lokal, dan
kemudian kerusakan endotel.
HIPERSPLENISME
Budi Muljono
PENDAHULUAN
Proses lnflamasi
Akutlsub akut: tifoid, sepsis, abses limpa, infeksi
mononukleosis, endokarditis bakterial subakut
Kronik: tuberkulosis, sifilis, Felty's syndrome, rheumatoid arthritis, malaria, leishmaniasis, trypanosomiasis,
(Amazonian splenomegali dan American splenomegalies,
histoplasmosis), skistosomiasis, ekinokokkosis, sarkoid
Boeck's, beryllium disease.
CongestivelBendungan Splenomegali:
Sirosis hati
Trombosis,stenosis atau cavernous transformasi vena
porta
Trombosis yang dapat terjadi penghambatam vena
splenika
Tidak diketahui penyebabnya
Kegagalan jantung
Hiperplasia Splenomegali
Anemia hemolitik murni
Anemia kronik dengan adaltidak ada kerusakan darah:
- Anemia pernisiosa, anemia mikrositik
- Talasemia, hemoglobin C disease.
- Anemia mieloftisis mielosklerosis, mielosis,
megakariositis aleukemik, metaplasia mieloid
agnogenik
- Penyakit hemolitik sejak bayi
- Lupus eritomatosus sistemik
Trombositopenia purpura
Limfatik hipersplenisme yang jinak: penyakit Grave's
Polisitemia Vera
Splenik neutropenia/panhematopeniaprimer
Kriptogenetik, splenomegali tropikal
'
lnfiltratif SplenomeQali
Penyakit Gaucher's
Penyakit Niemann-pick's
Arniloidosis
Diabetik lipernia
Gargoilisme
Kista dan Neoplasma
Kista limfa (epitel, endotel atau parasit, hemangioma)
Kista palsu (perdarahan, serosa, inflamasi)
Hamartoma
Leukemia
Penyakit Hodgkin's
Bukan penyakit Hodgkin's
Histokistosis X
Metastasis keganasan
GEJALA KLlNlS
Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit di perut
karena pembesaran limpa dan peregangan kapsul limpa,
infark ataupun inflamasi dari kapsul limpa.
Pada anemia hemolitik, pembesaran limpa dapat
jmendadak sakit dan disertai infeksi sehingga dapat terjadi
secara tiba-tiba penghancuran eritrosit yang berat.
Gejala klinis lainnya tergantung dari penyakit yang
mendasari pembesaran limpa (hipersplenisme sekunder).
Demikian juga hasil pemeriksaan laboratorium selain
anemia, leukopenia, trombositopenia, atau kombinasinya
dan ditambah gejala-gejala dari penyakit sekundernya
PENGOBATAN
Pada pasien hipersplenisme primer, splenektomi adalah
yang terutama sedangkan pada hipersplenisme sekunder
sangat tergantung dengan penyakit penyebabnya.
Tindakan splenektomidilakukan bila pemeriksaan sumsum
tulang normal atau hiperselular. Banyak keadaan penyakit
yang disertai pembesaran limpa yang masif seperti
leukemia mielositik kronik, limfoma, leukemia haircell,
mielofibrosis dan metaplasia mieloid, polisitemia Vera,
penyaht gautcher's, leukemia limfositik kronik, dll.
Selain karena trauma, tumor limpa dan penyakit limpa
primer. Tindakan splenektomi biasanya dilakukan pada
pasien anemia karena kelainan bentuk eritrosit, kelainan
hemoglobin dan pada keadaan trombositopeni sehingga
penghancuran eritrosit dan trombosit terhambatl
berkurang. Sehingga splenektomi dapat dilakukan sebagai
pilihan terakhir pengobatan penyakit-penyakit hipertensi
portal, leukemia dan liinfoma.
RlSlKO
Pengangkatan limpa dapat menyebabkan terjadinya infeksi
bakteri atau sepsis terutama 1 sampai 3 tahun setelah
operasi. Setelah pengangkatan limpa terjadi kenaikan cepat
jumlah trombosit yang disertai jurnlah eritrosit.
PENDAHULUAN
RlSlKO TRANSFUSI
Demam
Peningkatan suhu dapat disebabkan oleh antibodi
leukosit, antibodi trornbosit, atau senyawa pirogen.
Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji cocok silang
antara leukosit donor dengan serum resipien pada pasien
yang rnendapat transfusi leukosit. Cara lain adalah
dengan rnernberikan produk darah yang mengandung
sedikit leukosit, leukosit yang harus dibuang pada produk
ini minimal 90% dari jumlah leukosit. Transfusijuga dapat
dilakukan dengan rnernasang mikrofiltrasi yang
mernpunyai ukuran pori 40 mrn. Dengan filter berukuran
tersebut jurnlah leukosit dapat berkurang sampai 60%.
Pemberian prednison 50 rng atau lebih sehari atau 50 mg
kortison oral setiap 6jam selama 48 jam sebelum transfusi
atau aspirin 1 g saat rnulai menggigil atau 1jam sebelum
transfusi, dilaporkan dapat mencegah demam akibat
transfusi.
Reaksi Alergi
Renjatan anafilaktik terjadi 1 pada 20.000 transfusi. Reaksi
alergi ringan yang rnenyerupai urtikaria tirnbul pada 3%
transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat
interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA
spesifik pada plasma resipien.
Reaksi Hemolitik
Reaksi ini terjadi karena destruksi sel darah rnerah setelah
transfusi akibat darah yang inkornpatibel. Reaksi hemolitik
juga dapat terjadi akibat transfusi eritrosit yang rusak akibat
paparan dekstrose 5%, injeksi air ke dalam sirkulasi,
transfusi darah yang lisis, transfusi darah dengan
pernanasan berlebihan, transfusi darah beku, transfusi
dengan darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan
tekanan tinggi.
Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin
memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan
donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibodi pada
tubuh resipien darah atau janin tersebut. Reaksi antara
antigen eritrosit dan antibodi plasma, baik yang spesifik
maupun nospesifik, menyebabkan antibodi merusak
eritrosit. Destruksi eritrosit yang cepat akan melepaskan
hemoglobin bebas ke dalam plasma sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal, toksemia, dan kematian.
Meskipun saat ini pemahaman mengenai antigen sel
darah merah dan implikasi klinisnya telah sangat maju,
namun reaksi hemolitik akibat transfusi masih dijumpai
pada setiap 250 ribu - 1 juta transfusi. Sekitar separuh
kematian akibat reaksi hemolitik tersebut disebabkan oleh
inkompatibilitasABO akibat kelalaian administratif. Sekitar
1 dari 1000 pasien secara Minis menunjukkan manifestasi
reaksi transfusi lambat dan 1 dari 260.000 pasien
menunjukkan reaksi hemolitik yang nyata karena
mempunyai antibodi terhadap antigen eritrosit minor yang
tidak dideteksi oleh tes antibodi rutin sebelum transfusi.
Reaksi ini akan lebih mudah terjadi pada populasi yang
mempunyai risiko seperti penyakit anemia sel bulan sabit
(sickle cell disease).
~ e n u l a r a nPenyakit
Selain masalah reaksi antigen-antibodi, maka transfusi yang
aman juga harus memperhatikan kemungkinan penularan
penyakit yang dapat menular melalui darah, seperti HIV,
hepatitis B, hepatitis C, dan virus lainnya. Bakteri juga
dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga
dapat menyebabkan infeksi dan terjadinya sepsis setelah
transfusi.
Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali
dilaporkan pada tahun 1982. Kebijaksanaan untuk
menyaring orang dengan perilaku risiko tinggi HIV untuk
tidak mendonorkan darahnya serta kemudian dilakukannya
tes penyaring untuk semua sampel darah donor,
diharapkan dapat menurunkan risiko terjadinya penulpran
HIV melalui transfusi darah.
Kontaminasi
Kontarninasi bakteri pada eritrosit paling sering disebabkan
oleh Yersinia enterocolitica. Angka kontaminasi oleh
Zenterocolitica di Amerika Serikat dan Selandia Baru
masing-masing adalah 1 per 1 juta unit sel darah merah
1187
DASAX-DASAR TRANSFUSIDARAH
Golongan Darah
Antigen
Antibodi
A
B
AB
0
A
B
A dan B
Tidak ada
Anti-B
Anti-A
Tidak ada
Anti-A, anti-B, anti-A,B
GOLONGAN DARAH
Sejak ditemukannya sistem ABO oleh Landsteiner pada
1900, sampai dengan tahun 1999, menurut International
Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 25 sistem
golongan darah dan lebih dari 250 antigen golongan darah
yang telah diidentifikasi. Sistem golongan darah terdiri
dari satu atau lebih antigen yang ditentukan baik oleh gen
tunggal atau sebuah cluster dari dua atau lebih gen
homolog yang berkaitan erat dimana benar-benar tidak
terjadi rekombinasi di antara gen-gen tersebut. Simbol
untuk keduapuluh lima sistem golongan darah tersebut
adalah ABO, MNS, P, RH, LU (Lutheran), KEL (Kell), LE
(Lewis), FY (Duffy),JK (Kidd), DI (Diego), YT (Cmright),
XG, SC (Scianna), DO (Dombrock), CO (Colton), LW, CWRG,
H, XK, GE, CROM, KN, IN, OK, dan RAPH.
Antigen yang tidakhelum termasuk ke dalam sistem
golongan darah dimasukkan menjadi koleksi atau seri
golongan darah. Koleksi Golongan Darah adalah suatu
set dari antigen yang secara genetis, biokimia, atau
serologis berhubungan tetapi tidak memenuhi syarat
untuk status sistem, biasanya karena antigen tersebut
tidak menunjukkan ciri-ciri genetis yang benar-benar:
berbeda dari semua sistem golongan darah yang ada.
Antigen yang tidak termasuk ke dalam sistem atau koleksi
golongan darah, digolongkan menjadi Seri Golongan
Darah.
Sistem golongan darah yang diperiksa dalam
pelaksanaan transfusi darah secara rutin adalah sistem
ABO dan Rhesus yang cara penggolonggannya secara
praktis dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Anti Rh,(D)
Kontrol Rh
Positif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Tipe Rh
D+
D- (d)
Harus diulang atau
diperiksa dengan Rh,(D)
typing (Saline tube test)
DONAS1 DARAH
Seleksi Donor Darah
Donor darah harus memenuhi beberapa kriteria untuk dapat
mendonorkan darahnya, yaitu keadaan umum baik, usia
17-65 tahun, berat badan 50 kg atau lebih, tidak demam
(temperature oral < 37,5"C), frekuensi dan irama denyut
nadi normal, tekanan darah 50-100190- 180rnmHg, dan tidak
ada lesi kulit yang berat.
Persyaratan lain adalah menjadi donor terakhir minimal
8 minggu yang lalu, tidak hamil, tidak menderita
tuberkulosis aktif, tidak menderita asma bronkial
simptomatik, pasca pembedahan (6 bulan setelah operasi
besar, luka operasi telah sembuh pada operasi kecil, minimal 3 hari setelah ekstraksi gigi atau pembedahan mulut),
tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat perdarahan
abnormal, tidak menderita penyakit infeksi yang menular
melalui darah.
Imunisasi dan vaksinasi. Calon donor yang baru saja
mendapat imunisasi atau vaksinasi dapat diterima sebagai
donor jika tidak ada gejala setelah tindakan tersebut. Jika
yang didapat adalah vaksin dengan virus hidup yang
dilemahkan, maka calon donor yang tidak menunjukkan
gejala apapun dapat diterima dengan batasan waktu
sebagai berikut:l). cacar air: dua minggu setelah timbul
reaksi imun atau setelah lesi bekas suntikan mereda, 2).
campak, gondong, demarn kuning, polio (oral): dua rninggu
setelah imunisasi terakhir, 3). campak Jerman: dua bulan
setelah imunisasi terakhir.
Malaria. Calon donor yang baru bepergian ke daerah
endemis dapat diterima menjadi donor 6 bulanasetelah
kembali dan terbukti tidak menunjukkan gejala dan tidak
rninum obat antimalaria. Calon donor yang pemah menderita
malaria dapat diterima setelah 3 tahun penyakitnya
admptomatik atau obat dihentikan.
Hn!
Reaksi selama dan sesudah donasi. Reaksi pada donor
jarang terjadi. Reaksi yang dapat terjadi adalah sinkop, rasa
lemas, frekuensi nafas meningkat, pusing, pucat, dan mual.
Reaksi yang jarang terjadi adalah kejang, kehilangan
kesadaran, atau berkemihldefekasi involunter. Masalah
pada jantung, bahkan serangan jantung, dapat terjadi,
walaupun sangat jarang (1 ddri 10 juta donor).
Uji terhadap darah donor. Pengujian yang dilakukan pada
darah donor meliputi a)penetapan golongan darah
berdasarkan ABO, b)penetapan goiongan darah
berdasarkan Rhesus, c)uji terhadap antibodi yang tidak
diharapkan, dilakukan pada darah dari donor yang pemah
mendapat transfusi atau hainil, dan d)uji terhadap penyakit
infeksi, yaitu HBsAg, anti HCV, tes serologi untuk sifilis.
dan tes antibodi HIV.
Uji Cocok-Silang
Uji cocok-silang (crossmatch) atau uji kompatibilitas
adalah prosedur yang paling penting dan paling sering
dilakukan di laboratorium transfusi darah. Uji cocok silang
secara umum terdiri dari serangkaian prosedur yang
dilakukan sebelum transfusi untuk memastikan seleksi
darah yang tepat untuk seorang pasien dan untuk
mendeteksi antibodi ireguler dalam serum resipien yang
akan mengurangi atau mempengaruhi ketahanan hidup dari
sel darah merah donor setelah transfusi.
Terdapat 2 jenis uji cocok-silang, mayor yaitu menguji
reaksi antara sel darah merah donor dengan serum resipien,
dan minor yaitu menguji reaksi antara serum donor dengan
sel darah merah resipien.
Ammann AJ, Cowan MJ, Wara DW, et al. Acquired immunodeficiency in an infant: possible transmission by means of blood
products. Lancet. 1983; 1 :956-8.
Bryant NJ. An introduction to immunohematology. 3rdedition.
Philadelphia: WB Saunders; 1994.
Fatal Bacterial Infections Associated with Platelet Transfusions.
MMWR. 2005;54(7): 168-70.
Finlay HE, Cassorla L, Feiner J, Troy P. Designing and testing a
computer-based screening system for transfusion-related acute
lung injury. Am J Clin Pathol. 2005;124(4):601-9.
Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, first of two parts - Blood transfusion. N Engl-J
Med. 1999;340(6):438-47.
Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, second of two parts - Blood transfusion. N Engl
J Med. 1999;340(7):525-33.
Heather EF, Cassorla L, Feiner J, Toy P.
Kormoczi GF, Mayr WR. Milestones in immunohematology. Transp
Immunol. 2005;14: 155-7.
Possible transfusion-associated acquired immune deficiency syndrome
(AIDS)- California. MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
1982;3 1:652-4.
PENDAHULUAN
I'znggunaun darah untuk traal'usi hendakl;rh selalu
dilakukan secilr-n rasional clan efisien yaitu tlengan
lnelnberi kiln hunya komponen darnhlt1criv;rt pli~snii~
yang
dibutuhkan saja. Pemikirirn i n i didasarkan bnliwa darah
tcrdiri dari berrnncum-rnirca111elemen selular dun jug;^
ber.macam macam protein plasma deagun I'ungsi yarig
berbedil-beda yirng tcntunya dapirt dipisahkan, jugn
biasanya pasien hanyu rnemerlukan kompone11 tertentu
si~jasehingga komponen koniponen darah luinnya dirl>al
cli beriknn pada pasien Iirin yang mcmbututik~~~i.
Triinfusi tlarilh pada hakekatnyir adnlul~per~~beriurl
di1r;rh atau komponen dirrah diiri saiu individu (donor) kc
ilidividu lirinnyu (resipien), diriinna clapat 111cnj;rdi
penyela~natnyawa, tapi dapat pulir berbirhaya cle~~gari
ber-bagni komplikasi yang dapal terjadi sehingga traril'usi
darah henduklah dilukukan tlerigi~riiodiknsi yi11ngjelas t1a11
tepat sehingga diperoleh manfilat yirng ,jiruli lebih Ixsirr
daripadu risiko yuny mungkin terjadi.
Dari sat11 unit duralr Icngkap dotior dcr~gariproses
srntrit'ugasi dengan kecepatan tinggi dapat dipisnhkicn
plasr~lir
tnclijadi sel darah meri~lipckut (SI)Ml'),~ror~ibosit,
scgar hekic =ji.csh ji.o?,c,tr plttstrrtr (I:I:I'), kl.iol)rcsil)itat diui
laill lain, sedangkan dari plasri~adengan proses Iraksioasi
akan didapar bcberapa derivatnya aotara Inin nlbu~nio,
i~~iuooglobulin
dan faktor-faktor koilgulasi pckal ~nis;llny;r
faktor V111 pekat dun laktor 1X pckat.
Dcngan inakin niajunyu teknologi al'ercsis snat ini, riiirkil
peliryanan ~ranl'usidarah dapat lebih tepat rne~nenul~i
krbutuhnn komponen darah melalui penggunaali lncsin
~nultikompoaer~
dengan menggunakan dollor runggul. Hi11
i r i i tlilakuknn untirk ri~crninilnalisasirisiko ~l.allsrr~isi
penyakic y;rrig dischi~bkanoleh trar~l'usidi1r;lli.
DEFlNlSl
MA'AM
Selular
1)aral I Utuh (bvlrolr blooil)
Sel tlarilh ~iicrilhpckilt ( p r c . k ( ~t.rrl
~ l l)loorl r.c.11):
- Scl clilrah r~icrill~
1)ckilt dengan sedikit lekosit
(/)(rt'krcl t ~ t /)loot/
l
r,cll /rlrkoc~~.r~~.s
r.nlrrceil)
Scl durirli ri~el.ilIipckut cuci (prc.Xecl t.c~cl/)loot1 (,ell
~r~cr.shrtl)
Scl claral~111cral1
pckat 1)cku (/)tlc.krrl t.crl blootl c.c~ll
/i-o,-rrr,/~ic~X~.cl
t.c,tl 1)loocl (,ell tlrgl\c~c~t~oli:c.cl).
'I'ror~~hosit
konsentut (c~otrc~c2tr/t~r~c
p1trrcle1.s ):
'Tronrbosit dcrigan scclikit Iekosit (/~lcr/olc~.v
c.c~trc.c~tr-
Non Selular
Plasrni~scgal bcku (/i.c~.slr,/i~o:c~tr
/)l(csttrtr)
I'laslllil dollol' tllliggiII (.sillg/iztk1110r/ ) ~ t r . s t l l t l )
Kriopt~esi1)11;11
I'irkto~,i111ti I i ~ ~ ~ ~ r o ~( '( i. lI i; i\ .r~ ~ ) I . C ~ ( ~ ~ / ) I I ~ I I L ,
AiiN
lndikasi
Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel
darah merah dan volum plasma dalam waktu yang
bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan
kehilangan darah lebih dari 25-30% volum darah total.
Namun demikian, pemberian darah lengkap pada keadaan
tersebut hendaklah tidak menjadi pilihan utama, karena
pemulihan segera volum darah pasied jauh lebih penting
dari pada penggantian sel darah merah, sedangkan
menyiapkan darah untuk tranfusi lnemerlukan waktu.
Kontraindikasi
Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang
bertujuan meningkatkan sel darah merah.
Dosis dan Cara Pemberian
Dosis tergantung keadaan klinis pasien. Pada orang
dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb
sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%. Pada anak-anak darah
lengkap 8 mLkg akan meningkatkan Hb sekitar 1 gldl.
Pemberian darah lengkap sebaiknya melalui filter darah
1191
lndikasi
Sel darah merah pekat ini digunakan untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan
gejala anemia, yang hanya memerlukan massa sel darah
merah pembawa oksigen saja misalnya pada pasien
dengan gagal ginjal atau anemia karena keganasan.
Pemberian unit ini disesuaikan dengan kondisi klinis
pasien bukan pada nilai Hb atau hematrokit.
Keuntungannya adalah perbaikan oksigenasi dan jumlah
eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien
anemia dengan gagal jantung.
Kontraindikasi
Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam
jumlah banyak dalam waktu singkat.
Dosis dan Cara Pemberian
Pada orang dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan
meningkatkan Hb sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%.
Pemberian sel darah ini harus melalui filter darah
standar (170 p). Hematokrit yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya hiperviskositas dan
menyebabkan kecepatan tranfusi menurun sehingga
untuk mengatasinya maka diberikan salin normal 50100 ml sebagai pencampur sediaan sel darah merah
dalam CPD atau CPDA-1 tetapi harus hati hati karena
dapat terjadi kelebihan beban.
lndikasi
Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah
merah pada pasien yang sering mendapadtergantung pada
tranfusi darah dan pada mereka yang sering mendapat
reaksi tranfusi panas yang berulang dan reaksi alergi yang
disebabkan oleh protein plasma atau antibodi lekosit.
Perhatian
Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya
graft versus host disease (GVHD ), sehingga komponen
darah yang dapat diandalkan untuk mencegah ha1 itu ialah
bila komponen darah tersebut diradiasi.
Dosis dan Cara Pemberian
Pemberian komponen sel darah ini paling baik di
berikan dengan menggunakan filter darah generasi
ketiga.
lndikasi
Pada orang dewasa komponen ini dipakai untuk mencegah
reaksi alergi yang berat atau alergi yang berulang, dapat
pula digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi
intrauteri.
Perhatian
Hati hati terhadap kontaminasi bakteri akibat cara
pembuatannya secara terbuka, masih dapat menularkan
hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Karena masih
mengandung sejumlah kecil leukosit yang viable,
komponen ini tidak menjamin pencegahan terjadinya
GVHD atau infeksi CMV pasca tranfusi.
Dosis dan Cara Pemberian
Sebaiknya semua proses tranfusi melalui filter darah tanpa
kecuali.
SEL DARAH MERAH PEKAT BEKU YANG DlCUCl
(PACKED RED BLOOD CELL FROZEN,PACKED
RED BLOOD CELL DEGLYCEROLIZED)
Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan
gliserol suatu sediaan krioprotektif terhadap darah yang
usianya kurang dari 6 hari. Darah ini kemudian dibekukan
pada suhu minus 65Oatau minus 200' Celcius (tergantung
sediaan gliserol) dan dapat disimpan selama 10 tahun.
Karena pada proses penyimpanan beku, pencairan dan
pencuciannya ada sel darah merah yang hilang maka
kandungan sel darah merah minimal 80% dari jumlah sel
darah merah pekat asal, demikian pula hematokrit kurang
lebih 70-80%. Proses pencucian dapat menggunakan
larutan glukosa dan salin. Suhu simpan lo-6OCelcius
dan tidak boleh digunakan lebih dari 24 jam
karena proses pencucian biasanya memakai sistem
terbuka.
lndikasi
Dapat dipakai untuk menyimpan darah langka.
Perhatian
Risiko terjadinya kontaminasi bakteri dapat terjadi
karena sistem terbuka yang dipakai di mana dapat
menularkan hepatitis namun tidak untuk Citomegalo
virus (CMV)
Dosis dan Cara Pemberian
Pemberian komponen darah ini melalui filter darah dan
sediaan ini memiliki massa eritrosit yang rendah karena
banyak sel darah yang hilang selama proses
pembuatan.
DAM
TROMBOSIT PEKAT(C0NCENTRATEPLATELETS)
Berisi trombosit, beberapa lekosit dan sel darah merah
serta plasma. Trombosit pekat ini dapat diperoleh dengan
cara pemutaran (sentrifi~gasi)darah lengkap segar atau
dengan cara tromboferesis. Satu kantong trombosit pekat
yang berasal dari 450 mL darah lengkap dari seorang donor
berisi kira kira 5,s x I 01 trombosit dengan volum sekitar
50 mL. Satu kantong trombosit pekat yang diperoleh
dengan cara tromboferesis seorang donor darah berisi
sekitar 3 x 10" trombosit, setara dengan 6 kantong
trombosit yang berasal dari donor darah biasa.
Tergantung dari jenis mesin yang dipakai, volum berkisar
antara 150-400 mL. Produk ini memungkinkan tranfusi
trombosit yang cocok pada pasien dengan antibodi
terhadap trombosit.
Trombosit pekat ini dapat disimpan pada suhu 20"-24''
Celcius dengan kantong darah biasa yang diletakkan pada
rotatorlagitator yang selalu berputarlbergoyang, trombosit
dapat disimpansel~ma3 hari, sedangkan den& kantong
darah khusus dengan cara penyimpanan yang sama
trombosit dapat disimpan selama 5 hari. Produk ini daya
hemostatiknya kurang, sedangkan viability pasca
tranfusinya lebih baik. Pada suhu 1-60Celciustrombosit
ini dapat disimpan selama 3 hari. Produk ini fungsi
hemostatiknya lebih baik namun viability pasca
tranfusinya kurang.
lndikasi
Trombosit pekat ini diindikasikan pada kasus perdarahan
karena trombositopenia (trombosit <50.000/uL) atau
trombositopati kongenitalldidapat. Juga diindikasikan
pada mereka selama operasi atau prosedur invasif dengan
trombosit <50.000/uL. Profilaksis diberikan pada semua
kasus dengan trombosit 5-10.000 uL yang berhubungan
dengan hipoplasi sumsum tulang akibat kemoterapi, invasi
tumor atau aplasia primer sumsum tulang. Produk ini
ditranfusikan intravena dengan meniakai saringanlfilter
darah standar. Sebaiknya diberi'kan trombosit pekat yang
sama golongan ABO nya dengan pasien.
Kontraindikasi dan Perhatian
Tranfusi trombosit biasanya tidak efektif pada pasien
dengan destruksi trombosit yang cepat seperti: ITP, TTP
dan KID dan tranfusi biasanya dilakukan hanya pada
adanya perdarahan yang aktif. Pasien dengan
trombositopenia yang disebabkail oleh sepsis atau
hipersplenisme biasanya refrakter terhadap tranfusi
trombosit.
Menggigil, panas dan reaksi alergi dapat terjadi pada
tranfusi trombosit. Antipiretik yang dipilih sebaiknya
bukan golongan aspirin karena dapat menghambat
agregasi dan fungsi trombosit. Tranfusi berulang dari
trombosit dapat menyebabkan aloimunisasi terhadap HLA
1193
lndikasi
Trombosit jenis ini dipergunakan untuk pencegahan
terjadinya alloimunisasi HLA terutama pada pasien yang
harus menerima kemoterapi jangka panjang.
Kontraindikasi dan Perhatian
Meskipun sediaan ini dapat meniadakan reaksi febris pada
pasien yang mengalami aloimunisasi terhadap HLA antigen, peng'gunaannya tidak dapat mempercepat terjadinya
pemulihan jumlah trombosit. Untuk mendapatkan hasil
yang baik sebaiknya dilakukan uji cocok serasi. Terjadinya
reaksi tranfusi pada sediaan ini dihubungkan dengan
lamanya penyimpanan akibat dilepaskannya sitokin sitokin
seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF alfa yang dilepaskan
leukosit selama penyimpanan.
lndikasi
Komponen ini dipakai untuk meningkatkan jumlah
granulosit pada pasien sepsis dengan leukopenia yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian
antibiotik,dan pada pemeriksaan sumsum tulang
menunjukkan hipoplasi.
Kontraindikasi dan Perhatian
Terapi antibiotik yang tepat atau penggunaan faktor
pertumbuhan hematopoietik mungkin lebih efektif
dibandingkan dengan tranfusi granulosit. Efek samping
yang mungkin terjadi seperti urtikaria, menggigil, demam,
tidak merupakan indikasi untuk menghentikan transfusi ,
namun kecepatan tranfusi harus diperlambat. Untuk
memperkecil kemungkinan tejadinya efek samping dapat
diberikan antihistamin dan steroid sebelum transfusi.
Risiko penularan terhadap CMV dapat terjadi demikian
pula untuk dapat terjadinya GVHD.
lndikasi
Plasma segar beku dipakai untuk pasien dengan gangguan
proses pembekuan bila tidak tersedia faktor pembekuan
pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi faktor
pembekuan multipel antara lain: penyakit hati, KID, TTP,
dan dilusi koagulopati akibat transfusi masif.
Kontraindikasi dan Perhatian
Plasma sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan
ekspansi volum karena risiko penularan penyakit yang
tinggi. Albumin, fraksi protein plasma, koloid, atau
kristaloid yang tidak menularkan penyakit merupakan
produk yang lebih aman untuk mempertahankan volum
darah.
Dosis dan Cara Pemberian
Produk ini diberikan dalam 6jam setelah pencairan, dengan
memakai saringanlfilter standar. Plasma harus cocok
golongan ABO-nya dengan sel darah merah pasien dan
tidak perlu uji silang. Jika plasma diberikan sebagai
pengganti faktor koagulasi dosisnya adalah 10-20 m l k g
(4-6 unit untuk orang dewasa) dapat meningkatkan faktor
koagulasi 20-30%, dapat pula meningkatkan faktor VIII 2%
(1 unit/kg).
Efek samping yang terjadi dapat berupa menggigil,
demam dan hipervolemia.
KRlOPRESlPlTAT FAKTOR ANTI HEMOFlLlK
(CRYOPRECIPITATEDAHF)
lndikasi
Kriopresipitat digunakan pada pasien dengan kekurangan
F VIII (Hemofilia A) bila F VIII pekat tidak tersedia,
kekurangan F Xm, kekurangan fibrinogen dan untuk pasien
penyakit Von Willebrand.
1195
lndikasi
Konsentrat F VIII diindikasikan untuk pengobatan atau
pencegahan perdarahan pada Hemofilia A dengan
defisiensi F VIII sedang sampai berat atau pasien dengan
inhibitor F VIII titer rendah yang kadariiya tidak lebih dari
5-10 Bethesda unitsIm1.
lndikasi
Konsentrat F IX ini digunakan untuk mengobati pasien
dengan defisiensi F IX yang dikenal sebagai hemofilia B.
Pasien dengan inhibitor dapat diobati dengan kompleks
konsentrat F IX, yang mengandung bypass aktivitas
inhibitor F VIII.
lndikasi
Albumin digunakan untuk meningkatkan volume sirkulasil
resusitasi misalnya pada pasien luka bakar, pasien pada
keadaan hipovolernia dan hipoproteinemia misalnya pasien
dengan syok, pada sindrom nefrotik atau untuk
meningkatkan protein plasma.
IX.
ALBUMIN DAN FRAKSI PROTEIN PLASMA
(ALBUMIN AND PLASMA PROTEIN FRACTION)
Albumin merupakan derivat plasma yang diperoleh dari
darah lengkap atau plasmaferesis, terdiri dari 96% albumin
dan 4% globulin dan beberapa protein lain yang dibuat
dengan proses fraksinasi alkohol dingin. Derivat ini
kemudian dipanaskan 60" C selama 10jam sehingga bebas
virus.
Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan
albumin hanya dalam pemurniannya lebih kurang
dibandingkan dengan albumin dalam proses fraksinasi.
Fraksi protein plasma ini mengandung 83% albumin dan
17% globulin.
Albumin yang tersedia adalah larutan 25% dan 5%,
sementara fraksi protein plasma yang tersedia adalah
larutan 5%. Tiap sediaan mengandung natrium 145 mmoll
L (145 mEqlL). Larutan albumin 5%, osmotik dan
onkotiknya sama dengan plasma sedangkan larutan albumin 25% osmotik dan onkotiknya lima kali lebih besar dari
plasma. Albumin memiliki waktu paruh 16jam dan dapat
disimpan lebih dari 5 tahun pada suhu 2-10" C.
IMUNOGLOBULIN(IMMUNE GLOBULIN)
Imunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi
dengan etanol dingin dari plasma yang dikumpulkan.Berisi
imunoglobulin G (IgG) dengan sedikit IgA dan IgM.
Terdapat dua sediaan yakni intramuskular (IMIG) dan
intravena (IVIG). Pada sediaan intramuskular (IM), produk
ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada
pemberiannya diperlukan waktu 4-7 hari untuk mencapai
kadar puncak dalam plasma, dosis maksimum yang dapat
diberikan dibatasi oleh massa otot dan pada pemberiannya
menyebabkan nyeri . Sediaan IM saat ini diberikan hanya
untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril
dengan konsentrasi protein kurang lebih 16.5 g/dL.
Sediaan intravena gammaglobulin (IVIG)
meminimalisasi kelemahan dari pemberian intramuskular.
Produk IVIG cepat mencapai puncak plasma begitu
diinfuskan. Waktu paruh dari IMIG dan IVIG bervariasi
antara 18-32hari.
lndikasi
Preparat Imunoglobulin dapat digunakan untuk profilaksis
antibodi secara pasif pada orang yang rentan terhadap
penyakit-penyakit tertentu dan sebagai terapi pengganti
pada orang dengan imunodefisiensi primer (misalnya
Sindrom Wiskott Aldrich). IVIG dapat digunakan sebagai
imunomodulator pada pasien-pasien dengan kelainan
autoimun misalnya ITP akut dan ITP kronik pada anak
anak dan dewasa. Dapat pula digunakan untuk
"
RH IMMUNE GLOBULIN
1197
PENDAHULUAN
Sejak diterimanya transfusi sebagai cara pengobatan,
pengertian bahwa darah mengalir di dalam sistem sirkulasi
dan ruang intravaskular dapat diisi cairan dari luar
tubuh,perkembanganya lambat. Trasfusi itu sendiri
dikejakan pertama kali pada tahun 1667. Kemudian selama
perang dunia pertama dan sesudahnya, barulah transfusi
sebagai alat pengobatan berkembang pesat.
Pengertian adanya perbedaan genetik antar individu.
yang diungkapkan oleh Landsteiner merupakan ha1 yang
penting. Pengembangan antikoagulan,pengawetan dan
teknik pengerjaan yang steril, memungkinkan
pengumpulan dan penyimpanan darah untuk diberikan
dikemudian hari. Perkembangan teknik terus berkembang
'kususnya dibidang penggunaan komponen dan fraksi
darah donor,perbaikan cara shining donor,pengembangan
inaktivasi kuman patogen, perkembangan mecing (matching) imunologi produk darah donor dengan resipien
(penerima darah), pengembangan produk rekombinan,
jadilah transfusi medis (transfusion medicine) menjadi
suatu spesialisasi di bidang hematologi.Adanya epidemi
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan
penularan infeksi oleh bahan infeksius lain menyebabkan
terjadinya revolusi kemajuan di bidang transfusi medis.
&
KOMPLIKASITRANSFUSI
Potensi komplikasi transfusi darah itu banyak,tapi pada saat
ini masalah komplikasi hanya terdapat pada pasien yang
perlu berulang-ulang mendapat transfusi atau memerlukan
sejumlah darah yang banyak. Reaksi imunologi ini
disebabkan oleh rangsangan al~antigen~asing
yang terdapat
KOMPLIKASI IMUNOLOGI
Aloimunisasi kepada Antigen Transfusi
Aloantibodi bereaksi terhadap antigen eritrosit, sedikit saja
resipien dengan multitranfusi berkembang menjadi
aloantibodi eritrosit. Umumnya terdapat pada mereka yang
telah menerima sekitar 10 kali transfusi, biasanya antibodi
terhadap sistem Rh, Kell (K), lalu Duffy (Fy),dan Kid (Jk).
Aloantibodi bereaksi terhadap antigen leukosit,
terdapat pada resipien yang ditrasnfusi 2 leukosit dan
trombosit, umumnya mereka ini wanita multipara dengan
multi transfusi.
Aloantibodi terhadap protein plasma, misalnya reaksi
anafilaksis disebabkan karena adanya anti-IgA antibodi.
Reaksi Transfusi Hemolitik
Berkembangnya antibodi yang dapat bereaksi dengan
antigen eritrosit menyebabkan perusakan eritrosit,
biasanya eritrosit donor. Klinis dapat berat,mengancam
kehidupan atau ringan saja. Hemolisis segera terjadi di
daiiiln sirkulasi, yang lanibat terjadi di sistem retikulo
endotelial. Uinuninya terjadi karena kesalahan pencatatan
dan 'ABO mismatching'.
Dapat juga hemolisis terjadi pada darah resipien, bila
plasma yang ditransfusikan mengandung antibodi.
Reaksi transfusi hemolitik segera. Gejala dan keluhan
transfusi hemolitik segera, terjadi segera sesudah darah
yang tidak cocok dilakukan. Klinis kebanyakan berupa
timbulnya panas, dapat dengan menggigil. Dapat juga
dengan cemas, nyeri dada atau punggung, sesak napas,
takikardia dan hipotensi. Keadaan mengancam kehidupan
pada adanya gagal ginjal akut, syok, dan koagulasi
intravaskular. Reaksi hemolisis segera ini terjadi pada:
600.000 transfusi eritrosit, kematian meningkat hingga 44%
bila darah transfusi meningkat mencapai 1 L.
Patogenesis kelainan ini dimulai dengan interaksi
antara antibodi dan membran sel eritrosit yang
mengembang menjadi terbentuknya kompleks imun,
aktivasi kaskade komplemen, mekanisme koagulasi lewat
sitokin dan faktor XII. Mediator vasomotor disini yaitu
histamin, serotonin dan sitokin. Renjatan terjadi karena
pelepasan bahan vasoaktif. Gaga1 ginjal dipikirkan karena
iskemia disebabkan oleh kombinasi hipotensi,
vasokonstriksi dan koagulasi intravaskular.
Penanganan, transfusi harus segera dihentikan begitu
dicurigai adanya reaksi hemolisis. Contoh darah pasca
transfusi dan sisa darah dalam kantung dikirim ke bank
darah (PMI) untuk diteliti penyebab terjadinya reaksi
hemolisis. Beratnya reaksi berhubungan dengan volume
eritrosit yang dimasukkan, walau hanya 30 cc darah yang
tidak cocok mungkin mematikan. Semua reaksi yang berat
memerlukan lebih dari 200cc darah donor. Hidrasi harus
dimulai segera untuk mencegah gagal ginjal. Diberikan
1199
1201
Virus Hepatits B
Virus ini merupakan DNA virus,dengan bungkus
lipoprotein, padanya terdapat HbsAg, dan 'inner m r ' l
inti. Inti ini berisi DNA, DNA polimerase, protein kinase,
dan di ekspresikan dengan nntigenik determinan sebagai
'hepatitis B core' (HBc) antigen. Virus utuh dapat
diperlihatkan dengan mikroskop elektron sebagai benda
s
berukuran 42 nm. Bungkus virus,
dengan b u n g k ~ ~dobel
HbsAg, di dalam serum dapat diidentifikasi dengan metode
serologi. Di dalam sirkulasi, HbsAg ini dapat utuh sebagai
virion atau tidak lengkap sebagai partikel 'sphere' dan
tubulus. Hepatitis B ini ditularkan oleh orang yang sakit
hepatitis B akut atau yang mengidap HbsAg, lewat
parented, hubungan seksual, atau pada perinatal dari ibu
yang infeksius kepada bayinya. Masa inkubasi antara 1-6
bulan. Hanya sekitar 25-40% pasien hepatitis B dengan
jindis, infeksi fulminan (berat) dengan resiko kematian
menimpa sekitar 0,2-0,5YoSemuapasien mengalami hepatitis
sub klinis sementara,yang hanya diketahui dengan
pemeri ksaan laboratorium. Sering dinyatakan infeksi pada
dewasa sekitar 5 1 0 % menjadi karier kronik,kini diduga
yang menjadi kronik lebih rendah lagi, yaitu I%.Dari 1 %
ini,sekitar 25% dapat berkembang menjadi hepatitis kronik,
setelah bertahun-tahun dapat sembuh atau menjadi sirosis
hepatis yang fatal ataupun menjadi karsinoma
hepatoselular. Setelah 12 minggu dnri awal serangan,
umumnya HbsAg menghilang, anti HBs muncul. Pasien
yang menjadi kronik biasanya dengan HbsAg yang tinggi
dan anti HBc positip, tapi anti HBs tidak.Hepatitis Be antigen (HbeAg) berhubungan dengan 'core subcornponen ',
merupakan protein yang larut tapi tak berhubungan
dengan struktur yang dapat dilihat, keberadaanya
berhubungan dengan kadar virus yang tinggi, mempunyai
arti adanya infeksi sekarang atau masih berlangsung
infeksinya dan bersifat infeksius. HbeAg ini menghilang
dari serum mendalui HbsAg, lalu diikuti munculnya anti
Hbe. Semua orang dengan HbsAg harus dianggap
infeksius, walau dengan bervariasi tingkatannya, tapi
adanya HbeAg positip berarti dengan tingkat infeksius
yang tinggi.
Skrining donor untuk hepatitis B. Dengan ditemukannya
HbsAg dan tes sera yang dikembangkan, niaka penurunan
angka kejadian penularan lewat transfusi sangat dramatis.
Sisa infeksius disebabkan oleh menghilangya HbsAg, tapi
membentuk antiHBc, bukanya anti HNs, kini dengan
ditemukanya reaksi rantai polimerase (polymerase chairz
reaction) yang sangat peka, pasien demikian ditemukan
HBV DNAdi dalam serumnya. Kasus demikian di AS diduga
terdapat pada 1per 50000 kasus.
Virus Hepatitis C
Virus ini diduga menyebabkan 90% kasus hepatitis NANB.
Sebelum ditemukan sebabnya hepatitis NANB didasarkan
pada kenaikan serum transaminase tanpa reaksi yang
Virus Hepatitis E
Menular secara 'water borne', menyebar seperti VHA,tidak
bersifat kronik, maka tidak berisiko ditularkan lewat
transfusi.
Virus Hepatitis D
Virus ini mempunyai struktur hibrid,terdiri dari antigen HBs
tertutup sedikit genom RNA yang tidak komplit sehingga
tak dapat bertahan hidup tanpa bantuan fungsi virus B.
Hanya terdapat bila bersama hepatitis B.
Darah transfusi yang mengandung VHD menyebabkan
seorang karier HbsAg yang benigna menjadi hepatitis
fulminan atau penyakit hati berat yang progresif. Karena
VHD hanya dapat ditularkan bila ada VHB, maka adanya
seromarker VHB hams disingkirkan.
Virus Hepatitis A
Dalam praktek transfusi,transmisi hepatitis A ini tidak
meyakinkan. Darah dapat mengandung VHA bila diambil
pada saat viremia fase asimtomatik.
Hepatitis Non-A-B
Sepuluh persen Hepatitis NANB tidak terrnasuk hepatitis
C, dengan penelitian virus tersebut,virus G, SEN dan TT.
Transmisi lewat transfusi relatif sering, tapi bagairnanapun
kini tak terbukti virus ini menyebabkan hepatitis.
Virus Human Immunodeficiency Tipe 1 Dan 2
HIV merupakan retrovirus, dengan RNA dibungkus lipid,
dan 'reverse transkipstase', bagian imunitas ada
dibungkus dan protein core. Penularan lewat parenteral
(transfusi), seksual dan perinatal, dari ibu ke anak. Sesudah
2-3 rninggu terpajan virus, pasien rnenderita seperti
influenza akut atau penyakit rnirip rnononukleosis.
Penyakit rnemasuki masa laten tapi virus terus berkernbang
biak. Fase asirntomatik ini mencapai 10 tahun, lalu C D 4 T
cell menjadi tertekan, pasien berkembang rnenjadi
irnunodefisien berat sehingga mendapat infeksi oportunis
yang berat, neoplasrna atau keduanya dan meninggal.
Pengobatan dengan 'highly active anti retroviral
therapy ', secara drarnatis rnenurunkan rnorbiditas dan
mortalitas di AS.
Vlrus Human T Lymphotropic I Dan li
V HTL L merupakan retrovirus manusia yang pertama
ditemukan di tahun 1978 pada lifoma sel T orang dewasa.
V HTL I1 rne~vpakanretrovirus, diternukan pada tahun 1982
pada pasien dengan lekerni 'hairy sel'. Kedua virus ini
menginfeksi limfosit, berlangsung selama hidup. Virus HTL
I dihubungkan dengan lekemia sel T dewasa atau lirnfoma
dan kelainan nerologi HTLV I associated rnyelopathy
(HAM) atau tropical spastic paraparesis (TSP).
Infeksi V HTL I endernik di Jepang, Karia, Brazil,
Melanesia dan Afrika. Menular lewat hubungan seks,
menyusui, dan pemakaian jarum bersama. Pada transfusi
penularan lewat koponen sel dara, tapi tidak dari kornpnen
plasma yang didinginkan, Limforna sel T dewasa muncul
pada usia 40-60, rnenggambarkan adanya masa infeksi laten
yang lama sebelurn serangan klinisnya muncul. Pada
keadaan transfusi, HAM atau TSP dapat rnuncul dalarn
waktu beberapa bulan atau tahun pasca transfusi.
Skrining donor. Tes donor,dengan rnemeriksa antibodi
pada V HTL 1,tersedia ditahun 1988, ditahun 1997 FDA
rnenginginkan tes untuk antibodi pada V HTL 11. Kemudian
yang dites hanya IgG dengan periode jendela agak lama,
51 hari, perkiraan infeksi lewat transfusi sebesar 1 per 428
000 unit.
Virus Sitomegalo
Virus ini merupakan virus DNA dari keluarga virus herpes.
dipikirkan menyebar lewat sekret mulut,dan kontak seksual.
Dapat juga menular transplasenta, lewat darah transfusi
dan organ donor. Sesudah dengan gejala infeksi dapat
bersifat laten, kemudian dapat mengalarni reaktivasi.
1203
Virus Esptein-barr
Sernbilan puluh persen darah donor mempunyai antibodi
terhadap virus Epstein-Bnrr, karena infeksi berhubungan
dengan leukosit rnaka narnpaknya akan arnan dengan
rnenggunakan darah yang leukositnya dikurangi.
Parvovirus B 19
Virus ini merupakan virus DNA kecil tanpa bungkus,sangat
kebal terhadap pengolahan fisik untuk rnenonaktifkan.
Infeksi sering pada anak urnur 15 tahun. Sekitar 50% anak
telah punya antibodi.Virus menyebar terutarna lewat traktus
respiratorius. Penyakit dengan garnbaran berupa eritema
infeksiosurn dan poliartropati. Pada orang normal virus
B 19 ini menyebabkan penghentian akut produksi eritrosit
yang sembuh dengan sendirinya dalam 4-8 hari. Pada
pasien yang dengan destruksi eritrosit, ha1 ini dapat
rnenyebabkan krisis aplastik akut. Pada pasien dengan
imunodefisien, dapat meni~nbulkananemia kronik yang
mungkin reversibel dengan pemberian imunoglobulin dari
luar. DNA B 19 kebanyakan terdeteksi di dalam, pooled
plasma product', dimana B 19 ini resisten terhadap proses
inaktivasi virus, misalnya dengan pemberian larutan
deterjen dan pemanasan; untuk rnenghindari ini dipakai
cara menghilangkan plasma yang rnengandung banyak
titer DNA B 19.
lnfeksi yang Disebarkan Artropoda
Malaria merupakan penyakit infeksi global narnun di AS
penularan secara transfusi jarang. Donor yang melewati
daerah endemi, setahun tahun tidak boleh menjadi donor,
3 tahun bila pernah tingal di daerah endemik.
Babesiosis, infeksi disebabkan protozoa, menginfeksi
eritrosit, disebarkan oleh kutu, keluhan mulai dari tak ada
Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi merupakan penyebab mayor fatalitas pada
transfusi. Sumber kontaminasi ini, kantong, donor
bakteremia asimtomatik, pembersihan kulit tidak adekuat,
Transfusi tronibosit yang disiinpan pada suhu kamar lebih
sering meninibulkan febris dibanding eritrosit yang
didinpi nkan.
Organisnie yang sering menimbulkan kontaminasi pada
transfusi eritrosit antara lain yersinia, pseudomonas,
enterobakler, dan seratia. Pada trombosit lebih bervariasi
termasuk stafilokokus, streptokokus, klebsila, dan
salmonela. Keluhan dapat berupa seperti febris non
hemolitik sarnpai sepsis akut dengan panas, hipotensi dan
kematian. Keluhan yang berat dihubungkan dengan mikro
organisme derigan endotoksin. Pengobztan sama seperti
pada sepsis karena organisnie lain yang sesuai
Galel SA. ct al. Transfusion metlicine. In: Greer JP, et al, editor.
Wintrobe's clincal hematology. I I!" edition. Vol I. Lippincot
Wiliams & Wilkins: 7003. 11. 83 1-82.
WHO. Adverse effects of transf~~sion.
in the clinicals use of blood in
medicine. obstetl-ic. paediatrics. surfer). and anaesthesia. trauma
and burn. Malta Gcneva: 200 1 . p. 126-52.
Ronald A. Hukom
PENDAHULUAN
Aferesis dalarn bidang Hernelologi-Onkologi rnerupakan
suatu tindakan pengambilan/pengumpulan kornponen
darah tertentu melalui penyandapan darah, dengan
mengernbalikan komponen darah lainnya ke tubuh
seseorang menggunaican alat separasi sel. Tujuan tindakan
aferesis ini adalah untuk mengarnbil sebagian komponen
darah untuk diberikan pada orang lain (aferesis donor),
atau mengurangi junilah komponen darah yang berlebihan
di da!arn tubuh (aferesis terapeutik).
Tindakan rnengarnbil, rnencuci, dan mengembalikan
darah telah dilakukan sej& tahun 1902 di Perancis pada
pasien uremia. Kata aferesis sendiri berasal dari bahasa
Yunani, apo dan hareisis, dengan arti keseluruhan adalah
'suatu proses rnengambil dari sesuatu'. Hemaferesis terrninologi yang sekarang lebih sering digunakan - berarti
pengarnbilan komponen tertentu dari darah dengan
menggunakan alat cell separator. Plasmaferesis untuk
keperluan terapeutik digunakan pertarna kali pada tahun
1952, sebagai usaha mengatasi hiperviskositas pada
penderita rnieloma rnultipel.
Walaupun mula - mula digunakan untuk tujuan terapi,
dalam perkernbangannya sekarang aferesis lebih penting
lag! untuk mernperoleh komponen darah bagi transfusi
(Aferesis Donor). Cell separator digunakan mula - mula
untuk rnemperoleh granulosit dan trombosit dari donor
tunggal bagi pengobatan suportif pada pasien kanker yang
dalam keadaan imunosupresi. Dengan perkembangan
terakhir teknologi aferesis, pelayanan transfusi darah dapat
lebih tepat mernenuhi kebutuhan komponen darah (sel
darah merah, trombosit, dan plasma) melalui penggunaan
mesin aferesis donor multikomponen yang ada. Pada
lekoferesis, sel yang dapat diambil saat ini terrnasuk
lymphocyte killer cells, macrophage-monocyte cells, dan
myeloid stem cells. Hal ini berlangsung sejalan dengan
AFERESIS TERAPEUTIK
Aferesis terapeutik adalah pengambilan bahan patologik
atau abnormal dari sirkulasi darah pasien dengan memakai
mesin aferesis. Tindakan dapat berupa plasmaferesis,
leukaferesis, eritroferesis, trombaferesis, dan
immunoadsorption (pengambilan IgG dan plasmacirculating immune complexes).
Indikasi aferesis terapeutik selain kelainan hematologi
dan onkologi adalah berbagai kelainan neurologi, misalnya
acute inflammatory demyelinating polyneuropathy dan
myasthenia gravis, kelainan metabolik, beberapa penyakit
autoimun dan rematologi. Satu contoh terakhir
penggunaan mesin aferesis adalah LDL (low-density
lipoproteirz) apheresis yang digunakan pada pasien
dengan kolesterol LDL tinggi yang persisten, atau kelainan
LDL genetik yang refrakter terhadap obat. Aferesis LDL
dilakukan dua kali sebulan dan mulai dikembangkan di
1207
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Paraprotein
Metabolit toksis
lmunologis
Vaskulitas
Defisiensifaktor
koagulasi
Sindrom hiperviskositas
Krioglobulinemia
Penyakit cold agglutinin
Hiperkolesterolemiafamilial
Sindrom Goodpasture
Miastenia Gravis
Sindrom Guillain - Barre
Pemfigus
Inhibitor faktor koagulasi
Purpura trombositopenia imun
S.L.E
Glomerulonefritismesangiokapiler
Purpura trombositopenia trombotik
KOMPLlKASl AFERESIS
Dalam pengawasan yang baik, prosedur aferesis adalah
tindakan yang aman. Komplikasi yang dapat terjadi
berhubungan dengan vascular access, perubahan
homodinamik, problem mekanik berkaitan dengan
instrumentasi, deplesi komponen sel dan plasma, reaksi
terhadap cairan pengganti (termasuk antikoagulan), reaksi
alergi, dan infeksi.
Efek samping yang paling sering terjadi pada prosedur
aferesis adalah hipokalsemia, dengan gejala yang timbul
berupa kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan,
dan pandangan gelap. Bila timbul gejala hipokalsemia,
maka perlu diberikan suntikan kalsium sampai gejala hilang.
Kontraindikasi seseorang untuk menjadi donor aferesis
antara lain adalah bila calon donor memiliki nilai Hb/Ht,
lekosit, trombosit, albumin di bawah normal; golongan
MESlN AFERESIS
Pengambilan komponen darah dengan mesin aferesis saat
ini makin luas dilakukan, dengan mesin aferesis yang
jenisnya makin banyak tersedia. Di Amerika Serikat,
trombaferesis biasa dikerjakan dengan Fenwal CS3000,
Fenwal Amicus, COBE (Gambro) Spectra, Gambro Trima
Version 4, dan Haemonetics LN9000. Granulosit dapat
diambil misalnya dengan Fenwal CS3000, COBE (Gambro)
Spectra, Haemonetics LN9000, dan Fresenius AS1 04.
Sistem aferesis Spectra merupakan salah satu alat
mutakhir untuk separasi dan pengambilan komponen darah
dari donor atau pasien. Dari donor, produk darah diambil
untuk ditransfusikan pada pasien, sementara untuk
prosedur terapeutik pada pasien digunakan untuk
penukaran atau deplesi komponen darah. Selain itu sistem
Spectra ini dapat juga digunakan dalam pengambilan
granulosit dan sel mononukleus, termasuk untuk prosedur
pengambilan sel asal darah perifer (PBSC).
Sistem aferesis Spectra ini terdiri dari alat disposable
(preconnected separation channel and blood tubing) dan
mesin aferesis, termasuk suatu alat Return Flow
Controller. Di RS Kanker Dharmais, alat ini banyak
digunakan pada prosedur tromboferesis dari donor
tunggal untuk ditransfusikan pada pasien kanker dengan
t r o m b ~ s i t o ~ e nyang
i a memerlukan transfusi multipel.
PENDAHULUAN
Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan leukemia
yang pertama dltemukan serta diketahui patogenesisnya.
Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan
kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22qatau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22,
yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph).
Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa
kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal
antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis
t(9;22)(q34;ql I), seperti tampak pada Gambar 1.Dengan
kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980
diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami
pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya gabungan
antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34),
yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster
region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22
(22ql1). (Gambar2) Gabungankedua gen ini sering ditulis
sebagai BCR-ABL, diduga h a t sebagai penyebab utama
terjadinyakelainan proliferasipada LGK.
Secara klasifikasi, dahulu LGK tennasuk golongan
penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh proliferasi
dari sen granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga
pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi sen granulosit, mulai dari promielosit
(bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit sampai
granulosit.
Keluhan
Frekuensi (%)
Splenomegali
Lemah badan
Penurunan berat badan
Hepatomegali
Keringat malam
Cepat kenyang
P.erdarahan/purpura
Nyeri perut (infark limpa)
Demam
Sitogenetik
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang
dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK
dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum
diket'ahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima
dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi,
sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak
..-.-..
BCR
ABL
BCR
ABL
Karyotipik
t(9;22)(q34;q12)
t(9;22)(q34;q13)
t(9;22)(q34;qlI )
t(8;22)(pll;ql I )
t(4;22)(ql2;qI 1)
t(9;12)(q34;p13)
De1(4)(q12)
Gen-gen yang
Terlibat
BCR-JAK
BCR-PDGFRB
BCR-FGFRI
BCR-FGFRI
BCR-PDGFRA
ABL-TEL
FIPILI-
lstilah Klinik
LGK atipik
LGK atipik
LGK BCR-ABL negatif
LGK BCRABL negatif
LGK atipik
LGK atipik
LGK hipereosinofilia
PDGFRA
PEMERIKSAANPENUNJANG
Busulfan (Myleran).
- Termasuk golongan alkil yang sangat kuat.
- Dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikkan sarnpai
12mg/hari.Harus dihentikan bila lekosit antara 1020.000/mm3,dan bam dimulai kembali setelah lekosit
>50.000h3.
Tidak boleh diberikan pada wanita harnil.
Interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid, dan
itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan,
sedangkan fenitoin akan.menurunkan efeknya.
Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian
busulfan disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang
baik.
Dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi
sumsum tulang yang berkepanjangan
1213
PROGNOSIS
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara
3-5 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini deilgan
ditemukannya beberapa obat baru, maka median
kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara
signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis
kombinasi hidrea dan interferon median kelangsungan
hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib mesilat memberi hasil
yang lebih rnenjanjikan, tetapi inedian kelangsungan hidup
belum dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa
hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung.
Faktor-faktor di bawah ini m'emperburuk prognosis
pasien LGK, antara lain:
Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala
sistemik seperti penurunan berat badan, demam,
keringat malam.
* Laboratorium: anemia berat, trombositopenia,
trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph
negatif, BCR-ABL negatif
Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk
mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi,
waktu remisi yang singkat
'
POLISITEMIA VERA
M. Darwin Prenggono
PENDAHULUAN
Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti
poly (banyak), cyt (sel), dan hemia (darah) sedang Vera
(benar) adalah suatu penyakit kelainan pada sistem
mieloproliferatif di mana terjadi klon abnormal pada
hemopoetik sel induk (heniatopoietic stern cells) dengan
peningkatan sensitivitas pada growth factors yang
berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadi
peningkatan banyak sel. Ada dua istilah yang sering
diartikan sama antara polisitemia dan eritrositosis, pada
polisitemia (banyak sel) menggambarkan peningkatan dari
dari total kuantitas atau volum (mass) dari sel darah pada
tubuh tanapa memperdulikan jumlah leukosit atau
trombosit.Sedang peningkatan jumlah dan volume saja
dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan
hematokrit adalah lebih benar disebut eritrositosis.
Eritrositosis menggambarkan peningkatan dari volume sel
darah merah atau mass (polisitemia, juga disebut
eritrsitosis absolute) atau menghasilkan penurunan
volume plasma (disebut polisitemia/eritrositosisrelatif atau
spurious). Polisitemia rubra Vera atau polisitemia Vera nama
sinonim lainnya tercatat sebagai polisitemia splenomegalik,
eritrositosis megalosplenik (Senator), penyakit VaquezS,
penyakit Osler S, polisitemia mielopati (Weber), polisitemia
kriptogenik (R. C. Cubot).
Polisitemia Vera selanjutnya disingkat PV, merupakan
suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif yang
melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang
mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik terjadi karena
sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon sel induk
darah yang abnormal. Berbeda dengan keadaan normalnya,
sel induk darah yang abnormal ini tidak membutuhkan
eritropoietin untuk proses pematangannya (eritropoietin
serum <4 mU/mL), ha1 ini jelas mernbedakannya dari
EPIDEMIOLOGI
Polisitemia Vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60
tahun, rasio perbandingan antara pria dan perempuan
antara 2: 1 dan dilaporkan insiden polisitemia Vera adalah
2.3 per 100. 000 populasi dalam setahun. Keseriusan
penyakit polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya
survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati
1,5 - 3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari
10 tahun.
--
--
-- -
'
PEMERIKSAAN LABORATORILIM
Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia Vera pada sad1
perjalanan penyakit ini, peninggian massa eritrosit haruslah
didemonstrasikan. Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6
jutalml pada pria dan >5,5 jutdml pada perempuan, dan
sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik
kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan
anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhir perjalanan penyakit.
Granulosit
Granulositjumlahnya meningkat terjadi pada 2/,kasus PV,
berkisar antara 12-25 ribulml tetapi dapat sampai 60 nbul
mL. Pada dua perliga kasus ini juga terdapat basofilia.
Trombosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribul
mL, bahkan dapat > I jutdmL. Sering didapatkan dengan
morfologi trombosit yang abnormal.
B,, Serum
B,, serumdapat meningkat ha1 ini dijumpai pada 35% kasus
dan dapat pula menurun ha1 ini dijumpai pada k 30% kasus,
dan kadar UB ,,BC meningkat pada >75% kasus PV.
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali
ada kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya
seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi
sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas
normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari seri eritrosit,
Anti Rh,(D)
Kontrol Rh
Positif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Tipe Rh
D+
D- (d)
Harus diulang atau
diperiksa dengan Rh,(D)
typing (Saline tube test)
DIAGNOSIS
Sebagai suatu kelainan mieloproliferatif,PV dapat memberikan
kesulitan dengan gambaran klinis yang hampir sama dengan
berbagai keadaan polisitemia lainnya (polisitemia sekunder).
Karena kompleksnya penyakit ini, lnrernational Polycythemia Study Group ke dua menetapkan 2 kriteria pedoman
dalam menegakkdn diagnosis polisitemia Vera dari 2 kategori
diagnostik, diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika
memenuhi kriteria: a).Dari kategori: Al+A2+A,,atau, b). Dari
kategori: Al+A,+ 2 kategori B.
Kategori A
Meningkatnya massa sel darah merah, ha1 ini diukur
dengan krom-radioaktif CrS1.Pada pria 2 36 rnLkg, dan
pada perempuan 2 32 mL/kg.
Saturasi oksigen arterial > 92%. Eritrositosis yang terjadi
sekunder terhadap penyakit atau keadaan lainnya juga
disertai massa sel darah merah yang meningkat. Salah
satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya
saturasi oksigen arterial, di mana pada PV tidak
didapatkan penurunan. Kesulitan ditemui apabila pasien
tersebut berada dalam keadaan:
- Alkalosis respiratorik, di mana kurva disosiasi p02
akan bergeser ke kiri, dan
- Hemoglobinopati, di mana afinitas oksigen
meningkat sehingga kurva PO, juga akan bergeser
ke kiri.
Spenomegali.
1217
POL~S~TEM~A
VERA
Kategori B
Trombositosis: trombosit 2 400.000/mL,
Leukositosis: leukosit 2 12.000/mL (tidak ada infeksi).
Neutrophil alkaline phospharase (NAP) score
meningkat lebih dari I00 (tanpa adanya panas atau
infeksi).
Kadar vitamin B ,>900 pg/mLdan atau UBl,BC dalam
serum> 2200 p g / k .
Dalarn beberapa leteratur disebutkan usulan modifikasi
kriteria diagnostik PV sebagai berikut:
PENATALAKSANAAN
Kategori A
Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25% di atas ratarata angka normal atau Packed Cell Volume pada lakilaki >0,6 atau pada perempuan 0 5 6
Tidak ada penyebab polisitemia sekunder
spenomegali yang teraba
Petanda klon abnormal (kariotipe abnormal)
Prinsip Pengobatan
Menurunkan viskositas darah sarnpai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengontrol eritropoesis
dengan flebotomi.
Menghindari pembedahan elektif pada fase eriuositiw
polisitemia yang belum terkontrol.
Menghindari pengobatan berlebihan (over treabnent).
Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan
berefek sterilisasi pada pasien usia muda.
Mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor '
radioaktif atau kernoterapi sitostatika pada pasien di
atas 40 tahun bila didapatkan:
Kategori B
Trombositosis >4 00 000 per mm"
Jumlah neutropil r I0 x 109/ L dan bagi perokok r 12,5 x
lo9k
Flebotomy untuk
mempertahankan
hematokrit < 0,45
b
Urnur
70 th
ya
tidak
Adanya r~wayatatau
ada trornbosis atau
phlebotomy yang seringkali atau
jumlah trombosit > 400.000 atau
splenomegali yang progresif
ya
Tanpa rnielosupresi
.':.
ada komplikasi
Media Pengobatan
Flebotomi. Flebotomi dapat merupakan pengobatan
yang adekuat bagi seorang pasien polisitemia selama
bertahun-tahun d a n merupakan pengobatan yang
dianjurkan.
Indikasi flebotomi:
Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht
> 55% (target Ht 555%).
Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada
derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat
hiperviskositas dan.penurunan shear rate, atau sebagai
penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom
paraneoplastik.
Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut ialah
mempertahankan hematokrit 1 4 2 % pada perempuan, dan
5 4 7 % pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas
dan penurunan shear rate. lndikasi flebotomi terutama pada
semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien
yang masih dalam usia subur.
Prosedur flebotomi : a).Pada permulaan, 250-500 cc
darah dapat dikeluarkan dengan blood donor collection
set standard setiap 2 hari. Pada pasien dengan dengan
usia >55 tahun atau dengan penyakit vaskular
aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh
dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti
plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti
plasma (coloid/plasma expander) setiap kali, untuk
mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung
karena hipovolemik; b). Sekitar 200 mg besi dikeluarkan
pada tiap 500 cc darah (normal total body iron + 5 g).
Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan
flebotomi berulang. Gejala defisiensi besi seperti glositis,
keilosis, disfagia, dan astenia dapat cepat hilang dengan
pemberian preparat besi.
Fosfor radioaktif (PJ.Pengobatan dengan fosfor radioaktif
ini sangat efektif, mudah, dan relatif murah untuk pasien
yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi
yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur.
P,, pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2
secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis
dinaikkan 25%. Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu
pemberian P,, pertama: 1). Mendapatkan hasil,
re-evaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat
diulang akan tetapi ha1 ini jarang dibutuhkan. 2). Tidak
mendapatkan hasil selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25%
a!
Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatika:
hanya untuk Polisitemia rubra primer (PV),
flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali
sebulan,
trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis,
urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan
antihistarnin,
splenomegali simptomatiMmengancam ruptura limpa.
Cara pemberian kemoterapi sitostatika:
Hidroksiurea ("Hydrea 500mgltablet) dengan dosis
800-1200 mg/m2/hariatau diberikan sehari 2 kali dengan
dosis 10- 15 mg/kgBB/kali, jika telah tercapai target dapat
dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk
pemeliharaan.
Chlorambucil (@LeukeranSmgltablet) dengan dosis
induksi 0,l-0,2 mg/kgBB/hari selama 3-6 minggu, dan
dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu.
Busulfan (@Myleran2mgltablet) O,O6mg/kgBB/hari atau
1,8 mg/m2/hari, jika telah tercapai target dapat
dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk
pemeliharaan.
Pasien dengan pangobatan cara ini harus diperiksa lebih
sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan
klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit:
Pada pria 9 7 %dan memberikannya lagi jika >52%,
Pada perempuan 142% dan memberikannya lagi jika
>49%.
Kemoterapi biologi (sitokin). Tujuan pengobatan dengan
produk biologi pada PV terutama adalah untuk mengontrol
trombositemia (hitung trombosit >800.000/mm'), produk
biologi yang digunakan adalah Interferon a. Interjeron a
(%~tron-A3 & 5 juta Iu, "overon-A 3 & 9 jutaIu) digunakan
WLISlTEMlA VERA
PROGNOSIS
Polisitemia adalah penyakit kronis dan keseriusan penyakit
Polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya survival
median pasien sesudah terdiagnosa tanpa diobati 13-3
tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.
Penyebab utamamorbiditi dan mortaliti adalah:
Trombosis dilaporkan pada 15-60% pasien, tergantung
pada pengendalian penyakit tersebut dan 10-40%
penyebab utama kematian.
Komplikasi perdarahan timbul 15-35% pada pasien
polisitemia Vera dan 6-30% menyebabkan kematian
Terdapat 3-10% pasien polisitemia Vera berkembang
menjadi mielofibrosis dan pansitopenia
Polisitemia Vera dapat berkembang menjadi leukemia
akut dan sindrom mielodisplasia pada 1 3 % pasien
dengan pengobatan hanya phlebotomy. Peningkatan
risiko transformasi 13,5% dalam 5 tahun dengan
pengobatan klorambusil dan 10,2% dalam 6- 10 tahun
pada pasien dengan pengobatan 32P.Terdapatjuga 5.9%
dalam 15 tahun risiko terjadinya transformasi pada
pasien dengan pengobatan hydroxyurea.
Means RT. Erytrhocytosis. In: Greer JP, Rodgers GM, Foeerster JF.
Paraskevas F, Lukens JN, et al, editors. 11th edition. Volume 2.
Wintrobe's clinical hematology; 2004. p. 1495-505.
Mossuz P, Girodon F, Donnard M. Diagnostic value of serum
erythropoietin level in patients with absolute erythrocytosis.
Haematologica. 2004;l 194-8.
Person TC, Messinezy M, Westwood N, Green AR, Bench,AJ, et al.
A polycythemia Vera update: diagnosis, pathology, and
treatment. American Sociaety of Hematology. 2000;51-65.
Radin AI. Polycythemia rubra vera. Current therapy in
hematology-oncology. 5* edition. 1995. p. 236-42.
Spivak JL. Polycythemia vera. Harrison's principles of internal
medicine. 16Ih edition. 1997. p. 679-81.
Stuart BJ, Viera AJ. Polycythemia vera. American family physician.
2004.
White P. Myeloproliferative and myelodysp1astic syndromes:
polycythemia vera. Handbook of cancer chemotherapy. 3Ih
edition. In: Skeel RT, editor. Boston: Little, Brown & Co; 1991.
p. 324-5.
TROMBOSITOSIS ESENSIAL
Irza Wahid
PENDAHULUAN
Di Amerika Serikat istilah trombositosis esensial disebut
primary (essential) thrombocythemia, sedangkan di Eropa
disebut thromboc.ythenlia Vera. Trombositosis esensial
merupakan anggota dari kelompok gangguan
mieloproliferatif. Schafer A1 menggabungkan
trombositosis esensial dengan gangguan mieloproliferatif
lainnya dengan istilah trombositosis klonal. Dalam ha1 ini
yang digolongkan sebagai trombositosis klonal adalah
trombositosis esensial, polisitemia primer dan
mielofibrosis. Penyakit mieloproliferatif lainnya adalah
leukemia granulositik kronik (BCRJABL positif), leukemia
eosinofilik kronik, leukemia netrofilik kronik serta penyakit
mieloproliferatif yang tidak tergolongkan.
Trombositosis esensial diperkirakan terdapat pada 400
orang dari 1.000.000 populasi. Hampir semua pasien
trombositosis esensial berusia lebih dari 50 tahun,
walaupun demikian pemah dilaporkan kasus pada anak
berusia 2 tahun. Kurang dari 10 % pasien berusia kurang
dari 10 tahun. Prevalensi trombositosis esensial lebih tinggi
pada perempuan dibandingkan pria. Cortelazzo S dkk pada
penelitiannya terhadap 100 orang pasien dengan
trombositosis esensial memperlihatkan rerata usia pasien
adalah 50 tahun (interval 17-82 tahun) dengan
perbandingan pria dan perempuan 39 %:61 %.
GAMBARAN KLlNlS
DIAGNOSIS
Peningkatan jurnlah trornbosit yang rnenetap rnerupakan
gambaran diagnosis utarna trornbositosis esensial.
Walaupun dernikian penyebab lain peningkatan jurnlah
trombosit harus disingkirkan. Trornbositosis yang disertai
dengan splenornegali lebih rnengarahkan diagnosis kepada
trombositosis esensial dibandingkan dengan trombosis
reaktif.
Kriteria diagnosis:
Hitung trornbosit A50.000 ul (dikonfirmasi lebih dari I
Tidak diternukan penyebab lain peningkatan hitung
trornbosit
Tidak diternukan sindrorn mielodisplasia atau gangguan
mieloproliferatif lainnya.
Surnsurn tulang dengan:
hiperplasia rnegakariositik
fibrosis < 113 bagian
Kriteria tarnbahan:
Splenornegali
Invitro: pernbentukan koloni rnegakariositik spontan
DIAGNOSIS BANDING
TROMBOSITOSIS ESENSIAL
Trombosis
Klonal
Penyakit dasar
lskemla
D~g~tallserebmvaskular
Trombosis arteri lvena
besar
Hemoragis
Splenomegah
Gambaran darah tepi
Fungsl trombosit
Gambaran sum-sum
tulang
Jumlah
Morfologl
Trombosis
Reaktif
Tidak ada
Karakteristik
Sering
Tidak ada
Risiko t~nggi
Tidak ada
Risiko Tinggi
Ya, sekltar 40 %
Trombosit raksasa
Mungkln abnormal
Tldak ada
Tidak ada
Trombosit normal
Normal
Meningkat
Giant, dysplastic
forms with
increased ploydy
associated with
larges masses of
platelet debris
Meningkat
Normal
Trombositosis
Esensial
Pollsltemla
Vera
Mlelofibrosls
ldlopatlk
Normal IL
777
.1
12 - 25
Bervariasi,
600 - 2500
450 - 800
450 - 1000
Eritrosit berinti
Jarang
Jarang
Umum
Alkali
fosfatase
leukosit
Normal
Biasanya 7
Normal - 7 7
Sum-sum
tulang
Hiperselular
Megakariosit 7TT
Hiperselular
Cadangan Fe T
Fibroblast
(-1 -7T
(-) - 7
77- 777
40% - 50%
80%
80%- 99%
Transformasi
blastik (%)
5%
10 - 15%
5%- 20%
Pemeriksaan
khusus
Tes fungsi
platelet
abnormal
Masa eritrosit 7
Etitropoetin L
Marrow imaging
tlemog!obin
Leukosit
(xloBn)
Trombosit
(~10~11)
Splenomegali
("1
Be~ariaSi
PENATALAKSANAAN
Hidroksiucea ~nerupakanterapi pilihan pertama pada
trombositosis esensial dengan risiko tinggi. Hal ini
disebabkan oleh efektifitas serta jarangnya timbul efek
samping. Hidroksiurea tidak hanya efektif dalam
nlengurangijurnlah trombosit tetapi juga dalam mengurangi
risiko timbulnya trombosis. Dosis yang digunakan adalah
15 mglkgbb. Efek samping yang dapat timbul adalah
anemia, netropenia, lebih jarang lagi dapat timbul ulkus
pada kakilmulut dan lesi pada kulit. Efek leukemogeniknya
masih dalam perdebatan.
Anagrelid suatu derivat quinazolin dapat menghambat
proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Anagrelid telah
MIELOFIBROSIS
Suradi Maryono
PENDAHULUAN
Mielofibrosis merupakan suatu kelainan yang
dihubungkan dengan adanya tirnbunan substansi kolagen
berlebihan dalam sumsum tulang. Kelainan ini secara
definitif rnerupakan kelainan sel stem hematopoiesisklonal,
dihubungkandengan chronic myeloproliferative
disorders ( C M P D ) , dimana adanya hematopoeisis
ekstramedular merupakan gambaran rnenyolok.
Penyakit ini termasuk jarang didapatkan dalam praktek
sehari-hari, pertama kali dilaporkan oleh Heuck G., pada
tahun 1879 (Sit. Clark dan William 2005), dengan narna lebih
30 macam, termasuk: Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, rnielofibrosis
idiopatik dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis
dengan Metaplasia Mieloid (MMMJ. MMM perlu
dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana
mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder. (
Tabel 1)
Terdapat kelainan bersifat familial yang jarang terdapat,
misalnya primer hyperthrophic osteoarthropathy,
mielofibrosis yang terjadi primer akibat gangguan
pertumbuhan fibroblas sumsum tulang.
Kondisi Neoplastik.
~angguanmielo~roliferatif
kronik
Metaplasia mieloid agnogenik
Polisitemia rubra Vera
Leukemi mieloid kronik
Kondisi neoplastik lainnya.
Leukemia megakarioblastikakut (Mi')
Fibrosis dengan mielodisplasia
Agnogenik transisional
Mielodisplatik metaplasia mieloid
Sindrom mieloproliferatif
Mieoloid akut lain
Leukemia
Leukemia limfoid akut
Leukemia Hairy cell
Mieloma
Karsinoma
Mastositosis sistemik
Kondisi Non Neoplastik.
Penyakit granulomatosa
Penyakit paget
Hipoparatiroidisme
Hiperparatiroidisme
Osteoporosis
Osteodistrofi ginjal
Defisiensi Vitamin D
Gray pletelet syndrome
Lupus eritematosus sistemik
Sklerosis sistemik
Diadaptasi dari Clark dan William (Wintrobe's clinical
hematology, 2005).
HEMATOPOIESISKLONAL
Pada tahun 1951, Dameshak mengelompokkan MMM
dengan CML (chronic myeloid leukemia), PV
PERUBAHANTINGKAT MOLEKULAR
Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor pencetus
yang menghasilkan hemopatia klonal pada MMM.
Abnormalitas sitogenetik ternyata tidak konsisten seperti
halnya perubahan gene bcr/abl pada CML, yang
dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada
patogenesisnya. Perubahan tingkat molekular terjadinya
MMM belum jelas, sampai sekarang masih dalam
penelitian.
Perbedaan ekspresi panel gen kandidat telah diteliti
antara sel progenitor cytokine-independent dari pasien
MMM dengan progenitor cytokine-dependent
(diperkirakan normal). Immunophilin FKBP5 1 berekspresi
berlebihan pada semua pasien yang diteliti dan fungsi ini
terutama pada cytokine- independence. Faktor transkripsi
GATA- 1 aktif pada diferensiasi rnegakariosit normal. Pada
penelitian tikus terdapat kegagalan ekspresi GATA-1
menghasilkan sindrom yang menyerupai MMM. Sehingga
peru-bahan langsung pada GATA-1 penting untuk
terjadinya MMM. Beberapa gen yang berhubungan
dengan pertumbuhan lain telah diteliti, misalnya: Gen
retino-blastoma yang mungkin mengalami delesi atau
perubahan ekspresi dan gen kalsitonin yang mengalami
metilasi. Perkembangan MMM mungkin berhubungan
dengan abnormalitas gen p53 atau gen ras.
GWALA
Pada 25% kasus MMM berpenampilan asimptomatis,
diagnosis disugesti dengan adanya pemeriksaan darah
yang abnormal atau secara insidensil terdapat
splenomegali.(Tabel 2)
Gejala klinis pada umumnya: kelelahan otot dan
penurunan berat badan (7-39%),sindrom hipermetabolik
(demam, keringat malam terdapat 5-20% pasien),
perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut,
Gout dan kolik renal terdapat 4-6%, tophi jarang
didapatkan, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri
substernal kadang diketemukan.
Fatique
Anemia
Le ukositasis
Trombositosis
Senng ditemukan (10-50% kasus)
Asimtomatik
Penuru nan berat badan
Keringat malam
Perdar ahan
Nyeri spleni k
Le ukositopenia
Trombositopenia
Kurang sering ditemukan ( 4 0 % kasus)
Edema perifer
Hipertensi portal
Lim fadenopati
Kuning
Gout
-
- -
TANDA
Splenomegali yang cukup besar mempakan penemuan fisik
yang utama (Tabel 2). Hepatomegali diketemukan separuh
pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti
komplikasi: asites, varises esofagus, perdarahan
gastrointestinal dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan
petekie, ekhimosis dan limpadenopati. Beberapa pasien
mernperlihatkan adanya dermatosis neutrofilik serupa pada
sweet-syndrome dan mengalami hematopoiesis
ekstramedular dermal, osteosklerosisyang sebagian diikuti
periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila
permukaan serosa terlibat dalam hematopoiesis mungkin
akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites. Kadang
diikuti komplikasi neuroplogis berupa: tekanan intralcranial
meninggi, delirium, koma, perdarahan subdural, kemsakan
motorik, sensorik dan paralasis.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit
bentuk tear drop yang dihubungkan adanya eritrosit
berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan platelet besar abnormal (Gambar la,lb). Retikulosit
meningkat; eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target juga sering diketemukan.Abnormalitas morfologi ini
diakibatkan adanya perubahan hematopoiesis, bebasnya
sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoiesis
ekstramedular. Bagaimana perubahan ini terjadi masih
belum jelas.
;?&;?Fif ;""
u., I
.::, . -.
.'k>. ,
-.,,,
SUMSUM TULANG
Aspirasi pada sumsum tulang mungkin tidak berhasil
(dvtap) dan memerlukan biopsi sumsum tulang untuk
menegakkan diagnosis MMM. Suatu konsensus telah
dibuat oleh Italian Society of Hematology.
Data morfologi dan klinis digabungkan untuk
mendiagnosis banding MMM dari penyakit CMPD
lainnya, dan dari sindroma mielodisplasia dengan fibrosis
sumsum tulang. Kriteria tersebut adalah: fibrosis sumsum
tulang dan kelainan morfologi hiperplasia sumsum tulang
dan hematopoiesis ekstramedular. Ketiga elemen tersebut
di atas harus terdapat untuk diagnosis MMM. (Tabel 3)
Gambar 2a. Reticulin stain dari spesimen biopsi sumsum tulang
menampilkan peningkatan kolagen (diperbesar 400x)
(Sumber:Clark dan William, Wintrob's 2005)
Kriteria Mayor
Fibrosis sumsum tulang difus
Hilangnya t9:22 kromosom atau bcr/abl rearrangement pada
sel darah perifer
Splenomegali.
Kriteria Minor
Anisopoikilositosis dengan tear dropred cells
Sel darah merah berinti dalam sirkulasi
Clustred marrow megakaryoblastdan anomalous
megakariocytes
Metaplasia mieloid
'Catatan : Ketiga kriteria mayor ditambah dua'kriteria minor
manapun atau dua kriteria mayor pertama ditambah empat
kriteria minor manapun harus didapatkan, untuk diagnosis
MMM.
*Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)
ABNORMALITAS KROMOSOM
Separuh pasien MMM terdapat abnormalitas klonal
kariotipe. Hanya sedikit pasien memperlihatkan
abnormalitas pada metafase, yang membuktikan pada
pasien MMM. menyisakan sel hematopoiesis
PEMERIKSAAN PATOLOGI
KERUSAKANSISTEM IMUN
Secara klinis abnormalitas sistem imun sering terjadi pada
MMM, hal ini kontras dengan CMPD lainnya. Sel lirnfosit
T dan B langsung terpengaruh oleh defek sel stem pada
MMM dan defek fungsional sel B dan T mungkin dapat
diperlihatkan. Variasi abnormalitas sistem imun humoral
telah ditemukan. Menurumya kadar C3 dapat terjadi dan
menyebahkan naiknya kemungkinan infeksi bakterial.
Autoantibodi patologis dapat ditemukan antara lain:
autoantobodi antieritrosit, antibodi antiplatelet, antibodi
antinuklir, antiimunoglobulin dan antibodi antifosfolilpid.
Pada MMM sumsum tulang difiltrasi limfoid. Gamopati
monoklonal dapat timbul 10% pasien MMM, pada
beberapa kasus kejadian simultan MMM dan diskrasia sel
plasma pemah dilaporkan.
tejjadi
semakin
~ ei.r'!5.!!z.:'
m b , e r asehingga
t~
.
;sp],enomegali..yang
. , .... ,+,;!,!
r , . .....
:!:
-\:.-.I,;
t i q b y \ w s a k.i t. _danan-nyeri
_ . _ . _ ~ I,_.,
I _tulang..
_
,,, g ; j ,.--i:,,
.; ; * ; i
. ;:;19fb,a;gsianpasien terjadi lGpertens1 portal' dengan
vaiises esofagus, akiba't
. . . . . dari:
. .
,~.eriaikan
..:.. .. aliran
_:.
darah
.
splenoportal, trombosis vena hepitika, trombosisvena
portal, hernokromatosis pasca transfusi dan hematopoiesis intrasinusoidal.
Perdarahan dapat akibat: trombositopenia, defek
platelet, Disseminated intravascular coagulation (DIC)
atau defisiensi faktor pernbekuan.
Kematian pasien MMM, bervariasi antara lain: infeksi,
perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents,
gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi ke arah
leukemia dilaporkan 5-20% kasus. Perubahan ke arah
leukemia tidak jelas, beberapa kasus tanpa eksposur terapi
sitostatika,kejadian kearah leukemia limfositik akut serupa
dengan leukemia mieloid akut.
.Ci.,ll
.I!!:!!
&.
.,
_
i
l
PENATALAKSANAAN
' '.I..
,<,,$,,,
t ,
lradiasi
Pasien dengan hipersplenismemungkin dapat memberikan
respon dengan iradiasi splenik, terutama bila ada
kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien
mengalami perbaikan keluhan nyeri dan 2 50% terjadi
pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan memberikan
perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan
pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy, 2-3 kali per
rninggu. Dosis total 700-2400 cGy dapat memberikan hasil
yang nyaman dengan toleransi toksisitas. Hasil sementara
baru dapat dilihat setelah beberapa bulan terakhir. Tumor
hematopoiesisekstramedular simptomatisjuga memberikan
respons terhadap terapi iradiasi, terutama cocok pada nyeri
tulang dari tumor atau periostitis dan pada deposit susunan
saraf pusal.
Splenektomi
Splenektomi dipertimbangkan pada pasien refrakter
terhadap terapi: Sitopenia, hipertensi portal, atau gejala
akibat hipersplenisme. Dengan splenektomi memberikan
perbaikan: simptom hipersplenisme, hipertensi portal,
anemia dan trombositopenia, walaupun perbaikan ini tidak
selalu dapat dipertahankan setelah satu tahun tindakan.
Splenektomi pada MMM harus hati-hati, karena
organomegali yang besar sehingga mungkin terjadi
adhesi, naiknya aliran darah dan status compromised
pasien. Adanya DIC(K1D) ringan yang ditandai kenaikan
kadar D-dimer sering ditemukan pada MMM, dengan
risiko perdarahan yang tidak mudah diperbaiki preoperatif.
Mortalitas operasi akut dapat mencapai 38%, pada
stadium awal penyakit, sedangkan mortalitas pada
perawatan rumah sakit yang lebih modern turun <lo%
dan 25% dalam 3 bulan. Splenektomi kadang menimbulkan
krisisaplastik, karena lien menjadi tempat hematopoeisis
ekstramedular, pada fibrosis sumsum tulang berat.
Dilaporkan adanya komplikasi splenektomi yang
bermakna: infeksi intraabdominal, trombositosis berat
dengan trombosis dan hepatomegali yang cepat
membesar. Dua terakhir tersebut mungkin memerlukan
siklus kemoterapi pascaoperatif.
Pengobatan Lain
\
Interferon dipertimbangkan karena dapat menekan aktivitas.
TGF-P dan efektivitasnya pada CML. ~nterferon-amungkin\
bermanfaat menghilangkan nyeri tulang, trombositopenia.
dan sper~ektomi,tetapi efektivitas ini menurun dengan :
adanyaj7ulike symptoms berat dan memberatnya anemia,?
Vitamin D beserta analognya dapat menekan proliofera4,
magakariosit dan memperbaiki mielofibrosis yang
dihubungkan dengan rickets. Anagrelid dapat menurunkan
trombosit tetapi tidak memperbaiki kelainan klinis lainnya~.
Beberapa pasien dapat diberikan eritropoeitin bahkan lebifi
baik bila dikombinasikandengan interferon. Pasien dengaq
MMM berat dapat diberikan preparat antiangiogeni$
Talidomid, 20% kasus terjadi perbaikan dengaq
menurunnya simptom konstitusional, ukuran lien dad
perbaikan hitung darah. Efek samping serius dilaporka$
antara lain: leukositosis dan trornbositosis bera?
hematopoiesis ekstramedular perikardial, dan dapat terjadr,
pada dosis awal yang sangat rendah 50 mghari.
Beberapa peneliti memberikan kombinasi Talidomid 5%
mghari dengan prednison O,Smg/ks/hari, 95% memberik~
respon komplit dalam 3 bulan pengobatan.
Suramin dan imatinib dilaporkan pernah diberikan p a d
MMM, dengan hasil yang belum jelas.
Kuretase secara mekanik sejumlah jaringan fibrotik
sumsum tulang iliaka, diperkirakan dapat meningkatkaq
hematopoiesis dan memperbaiki anemia, walaupun hal ini
dengan prosedur komplek dan tidak selalu berhasil padd
semua pasien.
?i
HSCT analog setelah pemberian dosis tinggi busur?
fan, pernah dilakukan pada sejumlah MMM lanjut
refrakter terhadap terapi lain, walaupun dengan mortalit&
cukup tinggi (6 dari 12pasien), hampir semua pasien tetjaa
perbaikan simtom hipersplenisme dan separuh pasieri
terjadi perbaikan anemia dan trombositopenia.
$,
4'.
Dlagnosls Banding
Diagnosis MMM berdasarkan triad: fibrosis sumsua
tulang, hematopoiesis ekstramedular dan hematopoies$
klonal dengan tidak diketemukannya penyakit yank
mendasari. Tidak diketemukan tanda-tanda patognomonik
dan bukti hematopoiesis klonal secara tidak langsung bilh
kariotipe abnormal tidak ditemukan. Biopsi sumsum tulang
penting dilakukan untuk menentukan adanya fibrosis d@
membuktikan adanya hematopoiesis klonal dalam bentuv
panhiperplasia serta untuk menyingkirkan adanya proses
infiltrasi. Untuk diagnosis memakai Italian concensus
conference (Tabel 3), walaupun mungkin tidak berlak$
untuk fase awal MMM.
i:
4
Mieloflbrosis Akut
MMM kadang sukar dibedakan dengan mielofibrosis aka,
Lewis dan Szur(1983. sit Clark dan William, 2005)
melaporkan adanya pasien dengan: Fibrosis sumsuth
4
I;,
IY
;*y
$$:;,
.
if$!
,. .
$',:i
;
.,,
...
vs
'I!
!?!<:
,' ,
ip., >.
.,J.C
..
,@.
$.;,I
Bianco Paulo, et al. Bome marrow stromal stem cells: nature, biology and potential applications. Stem Cells. 200 1; 193: 180-92.
Clark DA, Willlam WL. Myelofibrosis. Wintrobe's clinical hematology. l lth edition. In: Richard Lee, Foerster. Lukens, Paraskevas.
Greer and Rodgers, editors. Baltimore Maryland: William &
Vilkins; 2005. p. 2273-83.
Heckner dan Freund. Atlas hematologi. Praktikum hematologi dengan
mikroskop. In: Alih bahasa Wanandi SI, Suwono WJ, editors.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 1999. p. 82-4.
Lunberg LG, et al. Bone marrow in polycythemia vera, chronic
myelocytic leukemia and myelofibrosis has an increased
vascularity. Amer J pathol. 2000;157:15-19.
Mesa AR, et al. A phase 2 trial of comb~nationlow-dose thalidomide
and prednison for the treatment of myelofibrosis with myeloid
metaplasia. Blood. 2003;101:7: 1534-5 1.
Papaiakovon VE, et al. Thalidomide in cancer medicine. Annals
Oncology. 2004;15: 1 15 1-60.
Spirak JL. Polycythemia Vera and other myeloproliferative
diseases. In: Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Longo DL, et
al, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih
Edition. New York: Mc Graw-hill; 2005. p. 626-31.
Tefferi A. The forgotten myeloproliferative disorder: myeloid
metaplasia. The Oncologist. 2003;8:3:223-3 1.
Vannocchi AM, e t al. Development of myelofibrosis in mice
genetically impaired for GATA- I expression (GATA- I low mice).
Blood. 2002: 100;1123-3.
Wieczorek AJ, et al. Autocrinelparacrine mechanisms in human
hematopoiesis. Stem Cells. 2001;19:2:99-101.
PENDAHULUAN
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan
gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid.
Bila tidak diobati, penyalut ini akan mengakibatkan kematian
secara cepat dalam waktu beberapa lninggu sampai bulan
sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960an pengobatan
LMA terutama bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun
yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara
cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat
disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan
LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih
baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok
sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti
anti biotik generasi baru dan transfusi komponen darah
untuk mengatasi efek samping pengobatan. Selain itu sejak
sekitar 2 dekade tahun yang lalu juga telah dikembangkan
teknik diagnostik leukemia
dengan
cara
immunophenotyping dan analisis sitogenetik yang
menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.
DIAGNOSIS
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokirnia.
Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun
yang lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru:
immunophenoqping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan
pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia,
gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris
pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri
dari 8 subtipe (MO sampai dengan M7, Tabel 2). Klasifikasi
ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American
British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi
diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting
untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia
tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA
tipe M 1, M2, M3, M4 dan M6. '
I.
1237
Subtipe
FAB
Nama Umum
(% kasus)
Mo
MI
M2
M3
M4
M4Eo
Leukemia mielomonositik
dengan eosinofil abnormal
(5-10%)
Leukemia monositik akut
(2-9%)
Eritroleukemia
(3-590)
Leukemia megakariositik Akut
(3-12%)
M5
M6
M7
Hasil Pengecatan
Myeloper Sudan
Esterase
Oksidase
Black
non-spesifik
+
+
Gen yang
terllbat
EV11
AMLI-ETO,
DEK-CAN
PML-RARa
PLZFRARa,
NPM
RARa
MLL,
DEC-KAN
EV11
CBFPMYHI1
+
+
+
Translokasi dan
penyusunan kembali
(% kasus)
11q23 (20%)
inv(3q26) &
t(3;3) (3%),
inv(16),t(16,16)
(80%)
11923 (20%)
t(8.16) (2%)
MLL,
+*
t(1.22) (5%)
tdk diketahui
sel positif terhadap a-naftilasetat dan glikoprotein trombosit llblllla atau antigen yang berkaitan dengan faktor Vlll
dan negatif terhadap naflilbutirat (Sumber : Referensi no. 13)
Sitogenetik
Awal
Kemoterapi
lnduksi
Favorable
Standar 7+3
Intermediate
Standar 7+3
- Unfavorable
Standar 7+3
'
Ami Ashariati
PENDAHULUAN
Sindrom dismielopoetik (SDM) atau myelodysplastic syndrome (MDS) primer dalah suatu sindrom yang di tandai
oleh displasi dari sistem hemopoetik (dysmyelopoesis,
dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis), baik tunggal
rnaupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan
diferensiasi. Yang sebabnya belum diketahui. Jika
penyebabnya diketahui disebut SDM sekunder, misalnya
defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat,
pengobatan sitostatik, dan sebagainya.
SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan
rerata umur 60-75 tahun; laki-laki sedikit lebih sering
daripada perempuan dan penyebabnya sampai masih tidak
diketahui.
SDM primer ini meliputi penyakit-penyakit yang
sebelumnya disebut sebagai preleukemia, smouldering
leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia
sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic
anemia. Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya
sitopeni, baik tunggal maupun kombinasi, yaitu keluhankeluhan anemi yang membangkang, perdarahan karena
trombopeni, dan adanya granulositopeni dengan segala
akibatnya.
Klasifikasi dan kriteria-kriteria SDM ini telah diajukan
oleh Bennet dan Vincent.
DIAGNOSIS
Diagnosis SDM dipertimbangkan untuk setiap pasien
dewasa yang disertai gejala-gejala sebagai berikut:
1. Anemi dadperdarahan-perdarahan dantfebris yang
tidak jelas sebabnya dan refrakter terhadap pengobatan.
2. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni
dari satu atau lebih dari sistem darah
- Adanya sel-sel mudahlas dalam jumlah sedikit
( ~ 3 0 %dengadtanpa
)
monositosis di darah tepi.
- Sumsung tulang dapat hipo, normo, atau
hiperselular dengan disertai displasi sistem
hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan
megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan
sebagainya).
- Namun gambaran itu tidak dapat dimasukkan dalam
diagnosis yang jelas dari penyakit-penyakit lain
seperti ITP, lekemi, anerni aplastik. Dan lain-lain.
Diagnosis SDM ditetapkan bila ada butir 1 ditambah
paling sediMt tiga dari butir 2.
Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu
&ngan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan
pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum tulang dapat
memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas
kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan
SDM primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum
tulang ditemukan pada 30-50% pasien SDM de now.
Berbagai kelainan sitogenetik pada SDM termasuk delesi,
trisome, monosomi clan anomali struktur ('hbell).
Delesi 5q
Monosomi 7
Trisomi 8
Kehilangan kromosom Y
Delesi 20q
3q rearangements
Berbagai abnormalitas kromosom 11
Berbagai abnormalitas kromosom 17p
Defek kromosom kompleks lain
Sumber: Fenaux P, Morel P, Lai JL (1996). Cytogenetic of
myelodysplastic syndromes. Semin Hematol; 33:127- 138.
Darah Tepi
Hb
Leukosit
Blast (%)
Trombosit
Sumsum Tulang
Eritrosit
Sideroblas (%)
Granulopoesis
Blast (%)
Trombopoesis
RA
RASB
RAEB
RAEBt
CMML
N atau
<I
N atau
N atau
cl
N atau
<5
6 3 0
<5
N atau
+++
+++
+++
+++
<I5
O.+
c5
O.+
>I5
O.+
<5
O.+
4 5
<! 5
+++
++++
5-20
20-30
5-20
+++
+++
+++
TATALAKSANA
Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien SDM,
tetapi sebagian besar tidak efektif di dalam mengubah
perjalanan penyakitnya. Karena itu pengobatan pasien SDM
bergantung pada usia, berat ringannya penyakit dan
progresivitas penyakitnya.Pasien dengan klasifikasi RA dan
RAEB pada umurnnya bersifat indolent sehingga tidak perlu
pengobatan spesifik, cukup suportif saja.
Cangkok sumsum tulang (BM Transphntation)
Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan
utama pada SDM temtama dengan usia c30 tahun, dan
mempakan terapi kuratif, tetapi masih mempakan pilihan
~ 5 dari
% pasien.
Kemoterapi
Pada fase awal dari SDM tidak dianjurkan untuk diberikan
kemoterapi, umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEBT, CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan ARA-C dosis
rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan
respons rate antara 50-75% dan respons ini tetap bertahan
2-14 bulan setelah pengobatan.-~osisARA-c yang
direkomendasi adalah 20 mg/m2hari secara drip atau 10
mg/m2 secara subkutan setiap 12jam selama 21 hari.
GM-CSFatau GCSF
Pada pasien SDM yang mengalami pansitopeni dapat
diberikan GM-CSF atau G-CSF untuk merangsang
diferensiasi dari hemutopoetic progenitor cells. GM-CSF
diberikan dengan dosis 30-500 mcglm2hari atau G-CSF
50-1600 mcglm2 (0.1-0.3 mcg/kgBBhari/subkutanselarna
7-14 hari.
Lain-lain
Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat
digunakan untuk pengobatan pasien SDM. Piridoksin
dosis 200 mghari selama 2 bulan kadang-kadang dapat
memberikan respons pada tipe RASB walaupun sangat
kecil. Danazol 600 mg/hari/oral selama 3 bulan dapat
meningkatkan trombosit terutama pada SDM tipe
trombopeni.
13-cis retinoic acid dengan dosis 1.0 mgkgBBharil
oral dapat memberikan response rate 21-33% setelah 3
minggu pengobatan.
++
<I5
PROGNOSIS
+++
Klasifikasi FA6
Klasifikasi WHO
Refractory anemia with
excess blasts-2 (RAEB-2)
Prediksi
Survival
Karakteristik
10-19% marrow blasts
10 bulan
213 cylopenia
Myelodysplasticsyndrome,
unclassified (MDS-U)
113 cylopenia
abnormal white or
megakaryocyte cells
< 5% marrow blasts
Not listed
anemia
deleted chromosome 5q
9 tahun,
8 bulan
6 bulan
Chronic
myelomonocylic
leukemia (CMML)
Myelodysplastic/
myeloproliferativediseases
(MDSIMPD)
absence of Philadelphia
chromosome
< 20% marrow and peripheral-blood blasts
dysplasia of one cell line
18 bulan
Refractory
anemia
Refractory anemia
5 tahun,
9 bulan
5 tahun,
9 bulan
2 tahun.
9 bulan
2 tahun,
8 bulan
1 tahun,
6 bulan
Refarctow Cvto~enia
with excess blakts
(WEB)
no peripheral-blood blasts
anemia
5.15% marrow red-cell
precursors with ringed
sideroblasts
GOOD
FA6 Type
(% of patients)
RA (28)
W R S (24)
RAEB (23)
W E B - T (9)
CMML (16)
Leukemic
Evolution (%)
12
8
44
60
14
Median
Survival
Survival
Range
50
51
11
5
11
18-64
14-76+
7-16
2.5-1 1
9-60+
Months
Months
Younger age
Normal or moderately reduced neutrophil and platelet counts
Low blasts counts in the bone marrow and n o blasts in the
blood
No Auer rods
Ringed sideroblasts
Normal karyotypes or mixed karyotypes withouts complex
chromosome abnormalities
In vitro bone marrow culture reveals nonleukemic growth
pattern
POOR
-
Advanced age
Severe neutropenia (<0.5x103/mm3) or thrombocytopenia
(<50~103/mm3)
High blasts count in B M or blasts in peripheral blood
Auer rods
Absence of ringed sideroblasts
DASAR-DASAR BIOLOGIS
LIMFOPROLIFERATIF
Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari
8 q e2
Manonlyaf f=ALL
Mqoaty at t=ALL
'
lmatur
Matur
Leukemia :
Indolent : Large granular
lymphocyte (LGL) leukemia
Agresif : NK-cell leukemia
NasaVnasal type NWT cell
lymphoma
Sel B nayve yang mengenali antigen melalui membranebound antibodi, terdapat pada senter germinal organ lirnfoid
sekunder: kelenjar limfe, limpa dan MALT (mucosaassociated lymphoid tissue).Genornik DNA sel B kemudian
mengalami 3 tipe modifikasi yaitu (Gambar 4):
Receptor editing. Proses pergantian rantai polypeptide
antibodi dengan rantai yang lain, biasanya terjadi pada
imunoglobulin rantai ringan.
Class switching. Beberapa sel B pada senter germinal
mengalami pergantian dari ekspresi IgM dan IgD menjadi
*ef yf?;.,
. .
. . . . . . . ;,.
-?+' =' -.
.
.
<. . . .
. . ~.
..
. , '
rn
s&nabz
. . .
..
-i: -
% I
F I
.. : :
I..
;>
'.<
.
e
,,:.,
. ,,,:.
.
. ' , . ..
c-.
gem
.,.,,
,..
,,
.
..
, / , .
Gen
Sel B
Sel induk
Sel pro-B
G e m line
G e m line
Sel pre-B
Sel B imatur
Mutasi
sornatlk
Protein Ig
Limfoma
Marker
CD34
CD19,CD79a,
BSAP,CD34,CDIO, TdT
CD19, C D ~ ~ CD79a.
R.
BSAP, CD34, CD10, TdT
IgM
(membrane)
B-LBUALL
B-CLL. MCL
Geminal
center (CB.
CC)
rnulai mutasi
somatik
lg (minimal atau
tidak ada)
CD19. CD20.
C D ~ ~ R , C D ; ~BSAP,
~,
CD10, BCL6
Sel B rnernori
lgHlL rea&ngement
rnutasi sornatik
IgM
MZL, B-CLL
Sel plasma
lgHlL rearrangement
mutasi sornatik
IgG>IgA>IgD
Plasmasitomal
mieloma
Keterangan :
CB
: centroblast
LPHL
CC
: centrocyks
DLBCL
lg
B-LBL
: irnunoglobulin
: 6-cell lymphoblasticlymphoma
cHL
MZL
B-CLL
BSAP
MCL
MUM-I
BL
: Burkilt lymphoma
TdT
: ~ermihaldeoxynucleotidyl
FL
BL
F L - - - - - - - - - - +DLBCL
-C3-
*4
Tlpe hlstologls
Tfanslokasl
Mekanisme
aktlvasi
proto-onkogen
Proto-
kasus
Onkogen
Fungsi protoonkogen
Limfoplasmasitik
t(9;14)(p13;q32)
50
PAX4
Deregulasi
transkripsional
Folikular
t(14;18)(q32;q21)
t(1;18)(pll;q21)
t(18;22)(q21 ;ql 1)
90
BCL-2
Deregulasi
transkripsional
Mantle cell
t(l1;14)(q13;q32)
70
MALT
t(l1;18)(q21;q21)
t(1;14)(p22;q32)
50
jarang
BCL-1 lcyclin
Dl
APl2lMLT
BCL-10
Diffuse large
8-cell
der(3)(q27)
35
BCL-6
Deregulasi
transkripsional
Protein fusi
deregulasi
transkripsional
Deregulasi
transkripsional
Burkiti
t(8;14)(q24;q32)
t(2;8)(pll ;q24
t(8;22)(q24:qll)
t(2;5)(p23;q35)
80
15
5
60
c-MYC
Deregulasi
transkripsional
Faktor transkripsi
regulasi proliferasi sel
NPMIALK
Protein fusi
Anaplasfic large
T-cell
Keterangan:
: Paired homeobox family-5
PAX-5
:8-cell leukemiallymphoma-2
BCL-2
BCL-1
: B-cell leukemia/lymphoma-1
: Apoptosis inhibitorkinase
AP121MLT
Gambaran Klinis
siapa yang terkena penyakit: pasien dengan populasi
sel normal yang banyak mempunyai kemungkinan
mengalami transformasi neoplasma. Limfoblastik
Represor
transkrlpsional pada
pembentukan senter
germinal
:8-cell leukemiallymphoma-6
: 8-cell leukemiallymphoma-10
: Nucleophosminlanaplastic lymphoma kinase
BCL-6
BCL-10
NPMIALK
Faktor transkripsi
regulasi proliferasi dan
diferensiasi sel B
Regulasi negatif
apoptosis
Patogenesis
Proses genetik yang terjadi selama diferensiasi sel
melibatkan rearrangement dan mutasi gen imunoglobulin.
Selama proses ini, dapat terjadi kelainan-kelainan genetik
translokasi atau mutasi gen imunoglobulin yang
mengakibatkan perkembangan neoplasma. Sebagian besar
translokasi kromosom pada neoplasma limfoid
memindahkan protoonkogen ke daerah promoter gen
reseptor antigen (gen imunogloblulin atau gen reseptor
sel T).
PENDAHULUAN
KELENJAR LlMFE
Gambar 2. Transforrnasi limfosit B dan T menurut konsep Lukes. Modifikasi dari Lukes RJ.
Boerhave Committee for Postgraduate Medical Edcuation. International Course on Malignant
Lymphomas, Noorwijkerhout, 1979, V-2.
/
Penulis
1. Rappaport
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Lukes
Lennert
Gerard Marchant
Bennet
Dorfman
WHO
Formulasi Praktis
Tahun
1966 dan
1976
1974
1974
1974
1974
1974
1976
1982
1993
1997
Nama Klasifikasi
Modified Rappaport
Lukes-Collins
Lennert
Kiel
BNLC*
Dorfrnan
WHO"
Formulasi Praktis 1
Working Formulation 1
WF
REAL
WHO 1 REAL
6-cell neoplasms
I. Precursor B-cell neoplasm: precursor B-acute
lyrnphoblast~cleukemiallymphoblastic lymphoma (8ALL, LBL)
II. Peripheral B-cell neoplasms
A. B-cell chronic lymphocytic leukemialsmall
lymphocytic lymphoma
B. B-cell prolymphocytic leukemia
C. Lymphoplasmacytic lymphomalimmunocytoma
D. Mantle cell lymphoma
E. Follicular lymphoma
F. Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT
type
G. Nodal marginal zone B-cell lymphoma &monocytoid
B-cells)
H. Splenic marginal zone lymphoma &villous
lymphocytes)
I. Hairy cell leukemia
J. Plasmacytomalplasma cell myeloma
K. Diffuse large B-cell lymphoma
L. Burkitt's lymphoma
T-cell and putative NK-cell neoplasms
I. Precursor T-cell neoplasm: precursor T-acute
lymphoblastic leukemiallymphoblastic lymphoma
(TALL, LBL)
II. Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms
A. T-cell chronic lymphocytic leukemialprolymphocytic
leukemia
B. T-cell granular lymphocytic leukemia
C. Mycosis fungoideslSezary syndrome
D. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise
characterized
E. Hepatosplenic gammaldelta lymphoma
F. Subcutaneus panniculitis-like T-cell lymphoma
G. ~n~iommunoblastic
T-cell lymphoma
H. Extranodal T-INK-cell lymphoma, nasal type
I. Enteropathy-type intestinal T -cell lymphoma
J. Adult T-cell lymphomafleukemia (HTLV I + )
K. Anaplastic large cell lymphoma, primary systemic
type
L. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneous
type
M. Aggressive NK-cell leukemia
PENDEKATAN DlAGNOSTlK
Anamnesis
Umum:
Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum
- Berat badan menumn 10%
gejala
dalam waktu 6 bulan
- Demam tinggi 38C 1 minggu
sistemik
tanpa sebab
- Keringat malam
Keluhan anemia
Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)
Penggunaan obat (Diphantoine)
Khusus:
Penyakit autoimun (SLE, Sjogren, Reuma)
Kelainan darah
Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis,
tuberkulosis lues, penyakit cakar kucing)
I+
WF
WF
T-cell CLUPLL
LGL
ATUL (chronic and smouldering types
Mywsis fungoides/Sezarysyndrome
A.E
A-E
A.E
Plasmacytomalrnyeloma
Hairy cell leukemia
A,F
Other
Other
A,B,E,F
F
G,H
G,H
I
J
J
E,F,G,H,J
E.F,G,H
E.F.G,H
E.G,H
H
I
Referensi : Rosenberg SA, Berard CW; Brown BW et al. National Cancer Institute Sponsored study of Classification of Non-Hodgkin's
Lymphomas. Cancer 1982;49(10):2112-35. Harris NL, Jaffe ES, Stein H et al. Revised European-American Classification of Lymphoid
neoplasms : a proposal from the International Lymphoma study group, Blood 1994 ;84(5):1361-92. Shipp MA, Mauch PM, Harris NL. Non
Hodgkin's Lymphoma . In DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer : Principles and Practice of Oncology, Srnedition.
Philadhelphia : Lippincott-Raven, 1997.pp 2165-220.
Pemeriksaan Fisik
Pembesaran KGB
Kelainanlpembesaran organ
Performace status: ECOG atau WHOlKarnofsky
Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Rutin
Hematologi:
- Darah perifer lengkap (DPL)
- Gambaran darah tepi (GDT)
Urinanalisis:
- Urinlengkap
Kirnia W:
- SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam
urat
- Alkali fosfatase
- Gula darah puasa dan 2 jam pp
- Elektrolit: Na, K, C1, Ca, P
Khusus
- GarnmaGT
- Cholinesterase (CHE)
- LDWfraksi
- Serum Protein Elektroforesis (SPE)
- lmuno Elektroforese (IEP)
- Tes Coombs
- B, Mikroglobulin
b. Biopsi
Biopsi KGB dilakukan hanya 1 kelenjar yang paling
representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat
kelenjar periferlsuperfisial yang representatif,maka
tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal.
Spesimen kelenjar diperiksa:
- Rutin
Histopatologi: REAL-WHO dan Working
Formulation
- Khusus
Imunoglobulin permukaan
Histolsitokimia
Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi
dan sito1ogi:FNAB dilakukan atas indikasi tertentu.
Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi.
c. Aspirasi sumsum tulang (BMP)dan biopsi sumsum
tulang dari 2 sisi spina iliaca dengan hasil spesimen
sepanjang 2 cm.
d. Radiologi
- Rutin:
- Toraks foto PA dan lateral
- CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah)
- Khusus:
- CT scan toraks
- USGAbdomen
- Limfografi, limfosintigrafi
e. Konsultasi THT: Bila cincin Waldeyer terkena, dilakukan
STADIUM PENYAKIT
Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan
sebelum pengobatan dan setiap lokasi jangkitan harus
didata dengan cermat, digambar secara skematik dan didata
tidak hanya jumlah namun juga ukurannya. Hal ini sangat
penting dalam menilai hasil pengobatan.
Stadium
Keterangan
II
111
IV
FAKTOR PROGNOSTIK
LNH dapat dibagi kedalarn 2 kelompok prognostik:
Indolent Lymphomu dan AgresifLymphoma. LNH Indolen
memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median
survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan
pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah
noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki
Umur
-< 60 tahun = 0
> 60 tahun = 1
TUMOR STAGE
ANN ARBOR
I atau II = 0
Ill atau 1V = 1
LDH serum
Normal = 0
Meningkat = 1
ECOG
PERFORMANCE
STATUS
= 0-=0
= I--
=1
< 1 tempat = 0
> Itempat = I
Skor Total
Kev scores
Low risk = 0.1
Intermediate = 2
high intermediate = 3
high risk = 4.5
LNH lndolen
Indolen, Stadium I dan Stadium II,Kontrol penyakitjangka
panjang atau perbaikan masa bebas penyakit ("diseasefree
survival ") secara bermakna dapat dicapai pada sejumlah
pasien LNH indolen stadium I atau stadium I1 dengan
menggunakan dosis radiasi 2500-4000 cGy pada lokasi yang
terlibat atau pada lapangan yang lebih luas yang mencakup
lokasi nodal yang berdekatan. (termasuk sistem KGB terkait
dengan ekstra nodal yang terlibat)
Standar pilihan terapi: 1). Iradiasi 2). Kemoterapi
,
I
!
Percentage
Of patients
5-Y
Complete
Response
Rate(%)
("4
Suwlval
87
67
55
73
51
43
26
83
69
46
32
35
27
22
16
44
70
50
49
40
22
32
32
14
92
78
57
46
86
66
53
58
. .
("4
LNH Agresif
Response Category
Physical Examinations
Lymph node
Bone Marrow
CR
Normal
Normal
Normal
Normal
Cru
Normal
Normal
Normal
Normal
Decrease in LiverISpleen
Enlarging IiverISpleen, new sites
Normal
Normal
Normal
> 50% decrease
> 50% decrease
New or increased
Normal
>75% decrease
Normal
2 50% decrease
2 50% decrease
New or increased
Indeterminate
Normal or indeterminate
Positive
Irrelevant
Irrelevant
Reappearence
PR
Relapse/Progression
WHO
Stadium
Umur
Premier1
Residif
Trial
W & S, chloorambucil,
fludarabine atau CVP
LNH limfoplasmasiter
makroglobulinemia
LNH ektranodal
Sel B zone Marginaljenis MALT
Lambung l dan HP t
Lambung l dan HP I IV
Eradikasi HP
RT, chloorambucil,CVP
W 8 S. RT, (chirurgie);
chloorambucil. CVP
Chloorambucil, CVP,
fludarabine
PIR
PIR
PIR
PIR
Splenectomi, chloorambucil
1/11
> 15
1111
18
> 65
> 18
'hanya bila CD 20 +
" bila residif Irefrakter pada berbagai pengobatan
S dalam waktu dekat
setelah 1 atau 2 protokol yang tanpa antrasiklin
W & S Wait and see
R
2
R of
refractair
PIR
HOVON 48"
(bila CWPR setelah 8x
CVP oral 1 bila tidak
90y - ibritumomab
tiuxetan (Zevalin)
HOVON 47 :
chloorambucil vs 2 x 2
Gy IF-RT
EORTC 209811 HOVON
39*" R-CHOP vs
CHOP, +I- rituximab
"maintenance"
Lihat LNH difus
IF-RT
W & S, chloorambucil, CVP.
RT
W 8 S, chloorambucil. CVP.
fludarabine
W 8 S, chloorambucil,CVP,
fludarabine, RT
CVP, chloorambticil,
fludarabine, RT. CHOP; p.m.
non-myeloablativeallo SCT*'
MCL (Mantle Cell lymphoma) agresif. Hyper CVAD alternating dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin
dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk regimen ini.
Pasien <65 tahun dipertimbangkandilakukan transplantasi
autologus atau alogenik setelah dua atau empat siklus
kemoterapi. Siklus regimen ini diulang setiap 21 hari.
Protokol Leiden khususnya untuk stadium 111 dan IV,
mengikuti "European Intergroup Trial" membandingkan
rnieloablatif radiokemoterapi diikuti dengan transplantasi
WHO
Umur
I
II
< 66
PIR
P
IIIIIV
< 66
Il-IV
>65
Il-IV
18-65
> 65
Mediastinal
LNH sel B besar
LNH mantel sel
Premier1
Stadium
Trial
HOVON 26 :
LDH > 1.5 x ULN) CHOP vs i-CHOP
HOVON 26 :
(LDH < 1.5 x ULN)
HOVON 46' :
(aa-IPI" 2 LI) CHOP - 14 +Irituximab
HOVON 44' :
DHAP-VIM-DHAP +I- rituximab,
diikuti SCT auto
II - IV
I IV
Il-IV
<66
P
R
P
2 66
HOVON 46"
(lihat LNH sel B sel besar)
R
* hanya apabila CD 20 +
"aa-IPI = age-adjusted IPI
$ dalam waktu dekat dibuka
Y ingat criteria inklusi pada penelitian P35
ULN = upper limit of normal
R-CHOP = CHOP + rituximab
8 X C H V ~ P I B+~auto SCT;
p.m. nyeloablatievepada usia
muda
8 x CHV~PIBV'
DHAP
WHO
Stadium
Trial
LNH lirnfoblastik
LNH Burkitt
I - IV
I - IV
ALL-4
ALL 3-95
T e r a ~Dalam
i
Trial
ALL-4
ALL 3-95
Regimen
Siklofosfamid 400 mgIm2 PO untuk 3 hari pada minggu
1,4,9,12,15dan 18
Doksorubisin 50mg/m2iv pada rninggu 1,4,9,12,15dan
18
Vinlaistin2mgIVminggu1,2,3,4,5,6,9,12,15,dan18
Prednison 40 mglm2 setiap hari selama 6 minggu
(tappering 08,
dilanjutkan selama 5 hari pada minggu
9,12,15,dan 18
Profilaksis CNS dengan radioterapi whole-brain (2400
cGy dalam 12 fraksi) dan metotreksat intratekal(l2 mg
setiap kali untuk 6 dosis) diberikan antara minggu 4
dan 9.
L-asparaginase 6000 Ulm2 (maximum 10.000 U) untuk 5
dosis pada awal peberian profilaksis CNS.
Terapi maintenance terdiri dari metotreksat (30 mglm2
PO setiap minggu) dan 6-merkaptopurin (75 mglm2 PO
setiap hari) dari minggu 23 sampai 52.
Difuse Small Cleaved Cell/Burkitt's Limfoma.Terapijenis
ini sama dengan limfoma agresif (sel besar difuse) stadium
lanjut ;mengunakan regimen kombinasi yang agresif. Pasien
dengan lirnfomajenis ini mempunyai risiko 20-30 % selama
perjalanan hidupnya untuk menyebar ke SSP; pemberian
metotreksat intratekal(4- 6 kali) direkomendasikan untuk
semua pasien. Beberapa pusat kesehatan
mempertimbangkan konsolidasi dengan transplantasi
sumsum tulang.
Adult Non-Hodgkin's Lymphoma (PDQ") Treatment- Health Professional Version. National Cancer Institute. U.S. National lnstitutes of Healt
Armitage J 0 , et al, Non Hogkin Lymphomas. Cancer, principal and
practice of oncology. Editor: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg
SA. 2001;2256-303.
Atmakusuma D. Aspek Selular dan Molekular Limfoma
NonHodgkhDivisi Hematologi Onkologi Medik Departemen
Mounier N. Brier J, Gisselbrecht C, et.al. Rituximab plus CHOP (RCHOP) overcomes bcl2-associated resistance to chemotherapy
in elderly patients with diffuse large B-cell lymphoma
(DLBDCL).Blood. I June 2003. Volume 101, number 11.
National Comprehensive Cancer Network. Clinical Practice
Guidelines in Oncology-v. 1.2004.
Non-Hodgkin's Lymphoma Version1.2004. National Comprehensive Cancer Network
PENYAKIT HODGKIN
Rachmat Sumantri
PENDAHULUAN
Penyalut Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular
yaitu limfoma malignum,yang terbagi dalam limfoma
malignum Hodgkin dan limfoma lalignum non Hodgkin.
Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis,
di mana pada limfoma Hodgkin ditemukan sel ReedSternberg.
Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas
Hodgkin pada tahun 1832,kemudian gambaran
histopatologis dilaporkan oleh Langerhans tahun
1872,disusuloleh laporan teipisah dari Sternberg dan Reed
yang menggambarkan suatu sel raksasa yang kemudian
diberi nama Sel Reed-Sternberg.
Analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed Sternberg
berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan struktur
pada imunoglobulin,sel ini juga mengandung suatu faktor
transkripsi inti sel (NFlcl3),kedua ha1 tersebut menyebabkan
gangguan apoptosis.
GEJALA KLlNlS
Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak
nyeri
Demam, tipe Pel-Ebstein
Hepatosplenomegali
Neuropati
Tanda-tanda obstruksi seperti edema ekstrimitas,
sindrom vena cava, kompresi medulla spinalis, disfungsi
hollow viscera.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan darah: anemi, eosinofilia, peningkatan laju
endap darah, padaflow cytometry dapat terdeteksi limfosit
abnormal atau lirnfositosis dalarn sirkulasi.
Pada perneriksaan faal hati terdapat gangguan faal hati
PENTAHAPAN(STAGING)
Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai
prognosis. Staging dilakukan menurut Cotswolds (1990)
yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Ann Arbor
(1971).
StadiumI keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau
struktur jaringan limfoid (limpa, timus, cincin Waldeyer)
atau keterlibatan 1 organ ekstralimfatik.
Stadium I1 Keterlibatan 22 regio kelenjar getah bening pada
sisi diafragma yang sama (kelenjar hilus bila terkena pada
kedua sisi termasuk stadium 11); keterlibatan lokal 1 organ
ekstranodal atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada
Jumlah regio anatomik yang
sisi diafragma yang sarna (m).
terlibat ditulis dengan angka (contoh 91,).
Stadium I11 Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada
kedua sisi diafragma (111), dapat disertai lien (IIIs), atau
n12
keterlibatai
kelenjar getah bening paraaotl,
Dengan
iliaka dan mesenterika.
Karakteristik
Limfoma
,odgkin
Ternpat asal
Nodal
Distribusi nodal
Sentripetal
(aksial)
Penyebaran
nodal
Keterlibatan
susunan saraf
pusat
Keterlibatan
hepar
Keterlibatan
surnsurn tulang
Keterlibatan
surnsurn tulang
mempengaruhi
buruknya
prognosis
Sembuh dengan
kemoterapi
Contiguous
Jarang
(el %)
Jarang
Jarang
Limfoma n o n Hodgkin
In termedia t l
Low grade
high grade
Ekstranodal
(10%)
Sentrifugal
Ekstranodal
(35%)
Sentrifugal
Noncontiguous Noncontiguous
Jarang
(< 1 %)
Sering
(> 50 %)
Sering (>50 %)
(< 10%)
Jarang
(~10%)
Jarang
Jarang
(c20 %)
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tldak
Ya
Klaslfikasi Rye:
Lymphocyte Predominant
Nodular sclerosis
Mixed cellularity
Lymphocyte depletion
and
Parker
Rye Conference
WHO classification
REAL classification
Paragranuloma
Lymphocytic or
histiocytic, nodular
Lymphocytic or
histiocytic, diffuse
Lymphocytepredominant
Nodular lymphocyte-predominant
classic HD
Lymphocyte -rich classic HD
Lymphocyte predominant,nodular HD
Lymphocyte-rich classic HD
Granuloma
Nodular sclerosis
Mixed cellurarity
Nodular sclerosis
Mixed cellularity
Nodular sclerosis
Mixed cellularity
Nodular sclerosis
Mixed cellularity
Sarcoma
Diffuse fibrosis
Reticular
Lymphocyte-depleted
Lymphocyte-depleted
Lymphocyte -depleted
Unclassifiable classic HD
Klasifikasi WHO:
Nodular lymphocyte predominance Hodgkin
Lymphoma (Nodular LPHL):Saat ini dikenal sebagai
indolent B-cell Non Hodgkin Lymphoma dan bukan
true Hodgkin Disease. Tipe ini mempunyai sel limfosit
dan histiosit, CD 20 positif tetapi tidak memberikan
gambaran sel Reed-Stenberg.
Classic Hodgkin Limphoma: Lymphocyte rich, Nodular sclerosis, Mixed cellurarity, Lymphocyte depleted.
Kelompok
Stadium
Rekomendasl
Stadium dini
(favorable)
CS I-IIA 16 tanpa
faktor risiko
Stadium dini
(unfavorable)
CS 1-11 N B + RF
Stadium lanjut
CS IIB +RF;CS
IIINB
CS IV N B
PROGNOSIS
Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi
masa bebas progresi penyakit FFR (Freedom From
Progression), yaitu : 1). Jenis Kelarnin, 2). Usia >45 tahun;
3). Stadium W,4). Hb < l o gr%;5). Leukosit > 15000/mm3;
6). Limfosit <600/mm3 atau <8 % leukosit; 7). Serum
alburnin <4 gr%
Regimen
Dosis
(mglm2)
Pemberian
Jadwal (hari)
IV
21
MOPP
- Mechloretamine
- Oncovin
- Procarbazine
- Prednisone
Siklus
(hari)
6
1,4
100
40
PO
PO.
1,8
13
1-14
1-14
- Procarbazine
- Prednisone
650
1,4
100
40
IV
IV
PO
PO
1,8
1,8
1-14
1-14
ABVD
- Adriamycin
- Bleomycin
- Vinblastine
- Dacarbazine
25
10
6
375
IV
IV
IV
IV
lY
COPP
- Cyclophosphamide
- Oncovin
Stanford V
- Mechlorethamine
- Adriamycin
- Vinblastine
- Vincristine
- Bleomycin
- Etoposide
- Prednisone
- G-CSF
Terapi
Relaps setelah
.rarlint~rani
--.- .- .* Nodal relaps CS I - II
tanpa gejala B,
Kemoterapi
F.
tanpa radioterapi
sebelumnya
Progresif prlmer
Relaps dini
Relaps !anjut
Radioterapi salvage
12 minggu
minggu 1,5,9
minggu 1,3,5.9,11
minggu 1,3,5,9,11
minggu 2,4,6,8,10,12
minggu 2,4,6,8,10,12
minggu 3,7,11
minggu 1-9, tappering
minggu 10 - 12
REFERENSI
Hodgkin's Disease ; National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice Guidelines in Oncology, Version 1, 2004
Diehl V, Mauch PV, Harris N L : Hodgkin's Disease in Vincent T
Devita Jr Eds. Cancer, Principles and Practice of Oncology,
Lippincot Williams & Wilkins, 6Ih Ed., 2001, pp 2339-87.
Stein RS and Morgan DS : Hodgkin's Disease in Wintrobe's
Clinical Hematology,, Lippincott Williams & Wilkins, 1 IthEd.,
2004, pp 2521-51.
Iman Supandiman, Rachmat Sumantri, Heri Fadjari, Pandji Irani
Fianza, Amaylia Oehadian : Pedoma~iDiagnosis dan Terapi
Hematolog - Onkologi Medik, Bandung, 2003.
PATOGENESISMOLEKULAR
Kelainan sitogenetik yang paling sering ditemukan pada
LLA dewasa adalal~t(9;22)/BCR-ABL(20-30%) dan t(4; 1I)/
ALL1-AF4 (6%). Kedua kelainan sitogenetik ini
berhuhungar~dengan prognosis yang buruk. Fusi gen
BCR-ABL merupakan hasil dari translokasi kromosom 9
dan 22 [t(9;22)(q34;qll)] yang dapat dideteksi hanya
dengan pulse-field gel electrophoresis atau reversetranscriptase polymerase chain reaction. ABL adalah
nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik
mentransfer molekul fosfat ke substrat protein, sehingga
terjadi aktivasijalur transduksi sinyal yang penting dalam
regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel.
Kelainan yang lain yaitu -7, +8, dan karyotipe
hipodiploid berhubungan dengan prognosis yang
buruk; sedangkan t(10; 14) dan karyotipe hiperdiploid
tinggi berhubungan dengan prognosis yang baik.
Mekanisme umum lain dari pembentukan kanker adalah
hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor yang
mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi
siklus sel, misalnya p16(INK4A) dan p15(INK4B).
Kejadian yang sering adalali delesi, mikrodelesi, dan
penyusunan kembali gen (gene rearrangement) yang
melibatkan p16(INK4A) dan p16(INK4B). Kelainan
ekspresi dari gen supresor tumor Rb dan p53 ternyata
lebih sering terjadi. Kelainan yang melibatkan dua atau
iebih gen-gen ini ditemukan pada sepertiga pasien LLA
dewasa.
KLASIFIKASI
Klasifikasi lmunologi
Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL)70%:commonALL (50%), nullALL, pre-BALL
TALL (25%)
B-ALL (5%)
Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas ada atau
tidak adanya berbagai antigen permukaan sel. Subtipe
imunologi yang paling sering ditemukan adalah common
ALL. Null cellALL berasal dari sel yang sangat primitif dan
lebih banyak pada dewasa. B-ALL merupakan penyakit yang
jarang, dengan morfologi L3 yang sering berperilaku sebagai
limfoma agresif (varian Burlutt).
GAMBARAN KLlNlS
(c)
Gambar 1. Morfologi sel blas LLA. (a) Tipe L1; (b) Tipe L2; (c)
Tipe L3
GAMBARANLABORATORILIM
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk
konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan
perencanaan terapi yang tepat, yaitu :
Untuk sel T: CD la, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7 ,CD8 dan
TdT
Untuk sel B: kappa atau lambda, CD 19,CD20, dan CD22
Pada Sekitar 1554% LLA dewasa didapatkan ekspresi
antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi
adalahCD13, CD15, danCD33.
Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid
dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini
jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk.
Sitogenetik
Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa
kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA
tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik (tabel
1).Translokasi t(8;14),t(2;8), dan t(8;22) hanya ditemukan
pada LLA sel B, dan kelainan kromosom ini menyebabkan
disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc
pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenetik dapat
ditemukan pada LLA atau LMA, misalnya kromosom
Philadelphia, t(9;22)(q34;ql I) yang khas untuk leukemia
mielositik kronik dapat juga ditemukan pada 4 % LMA
dewasa dan 20%-30% LLA dewasa.
Biologi Molekular
Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin
gagal, dan untuk mendeteksi t(12;21) yang tidak terdeteksi
dengan sitogenetik standar. Tehik ini juga hams dilakukan
untuk medeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk.
Pemeriksaan Lainnya
Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi
intravaskulardiseminatajarang terjadi. Kelainan metabolik
seperti hiperurikemia dapat terjadi terutarna pada pasien
dengan sel-sel leukemia yang cepat membelah dan tumor
burden yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada saat
diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal.Perlu atau
Kelainan
Prognosis
Perubahan nurnerik
Hiperdiploiditinggi (lebih dari 50 kromosom)
Hiperdiploidi(47-50)
Pseudodiploidi(46 dengan perubahan st~kturlnumerik
Hipodiploidi (kurang dari 46)
Kelainan struktur
Kromosom Philadelphia t(9;22)*
t (12;21)*.
t (1;19)
t ( 4 1 1)
t (8; 14)'"
Baik
Sedang
Sedang
Bu~k
Buruk
Baik
Baik
Bumk
Baik
-- HaNS dibedakan dari krisis blas limfoid dari leukemia mieloid kronik
...Terjadi
pada 30% kasus LLA anak.
Terdapat pada LLA sel B dengan morfologi L3
1269
LEUKEMIA L.IMFOBLASTIKAKVT
DIAGNOSIS BANDING
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pendekatan diagnosis L L A dewasa :
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratonum :
- Hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan
koagulasi, kadar fibrinogen, kimia darah, golongan
darah ABO dan Rh, penentuan HLA
Foto toraks atau computed tomography
Pungsi lumbal
1993
562
28
V,P,A,D,C,
AC, M,MP
FGTALL
1993
581
33
MRC-UKALL XA
MRCIECOG
1997
1999
618
920
> 15
V,P,DIR,C[
AD,AC]
V,P.A,D
V,P,D,A,C,
AC,MP
GMAL! 05!93
2001
1163
35
V,P,A,D,C,
AC,M,MP
GIMEMA 0288
2002
794
28
V,P,A,D,C,
[HDAC,Mi]
Total (% = we~ghfec!
mean)
V,
DX,AD,AC.C,T
G,VM
AD,AC,A
[AC,VP,D,TG]
HDM,A
[AC,VP,V,DX,D.
C,TG] SCT
V,DX,AD,AC,C,
TG,VM,AC,HD
M,A,C
[HDAC,Mi]
V,HDM,HDAC,
DX,VM
MP,M
75%
39% pd 7th
MP,M,V,C,P,AD
,AC
MP,M,V,P
MP,M,V,P
76%
82%
89%
30% pd
10th
28% pd 5th
MP,M
83%
MP,M,V,[AC,Mi,
VM,HDAC,HDM
,DX]
82%
29%pd9th
82%
31%
86%
41% pd 4th
85%
36% pd 3th
85%
36% pd 3th
91%
84%
38% pd 5th
49% pd 3th
82%
35% pd 5th
4638
1998
108
28
V,P,D,A,C
CALGB
1998
198
35
V,P,D,A,C
Sweden
1999
120
44
MDACC
Lombardra
2000
2001
204
121
39
35
HDAC,
C,D,V,BX
V,AD,DX,C
I,V.A,P,[C]
Netherlands
2001
193
33
Standar
HDM,
V,D,P,A,C,VM,A
C,MP,AC,V,A,M,
AD,DX,TG,P
AD,HDAC,V,BX,
C,D,VP SCT
HDM,HDAC,C,P
I,V,C,VM,HDAC,
HDM,DX SCT
HDAC, VP 16 +
allo/auto SCT
MP,M
[V,P,Mi,A,C,VM,
ACI
MP,M,V,P
Tidak
dilaporkan
MP,M,V,P
MP,M
944
86% 38%
Total (% = weighted
mean)
* median umur atau rentang
Singkatan: CR complete remission; LFS, leukemia free suwival; V, vinkrrstin; P, prednison; A, asparaginase; D, daunorubisin; C,
cyclophosphamide;
AC, cytarabine; M, methotrexate; MP, merca~topurine;DX, deksametason; AD, adriamisin; TG, tioguanin; VM, teniposide; R,
rubidazone; VP, etoposide; HDAC, high dose AC; HDM, high dose M; SCT, stem cell transplantation; Mi, mitoxantrone; EX,
betametason; I, idarubisin.
INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI
PADA PROSES INFLAMASI
Kusworini Handono, Handono Kalim, Meddy Setiawan
PENDAHULUAN
Banyak penelitian pada hewan coba dan manusia
memberikan bukti tentang adanya komunikasi antara
sistem imun dan susunan saraf pusat (SSP), dan
pentingnya peran komunikasi tersebut pada terjadinya
kerentanan terhadap penyakit keradangan maupun pada
gejala-gejala keradangan itu sendiri. Sistem imun dan SSP
merupakan bagian tubuh yang selalu menjadi benteng
menghadapi gangguan lingkungan yang mengancam
kelangsungan hidupnya. Kedua sistem tersebut dirancang
untuk mengenal adanya gangguan lingkungan dan
memberikan respons terhadap gangguan tersebut untuk
mengembalikan homeostasis. Masing-masing sistem
mengenal gangguan asing yang berbeda : kimiawi,
antigenik atau infeksi oleh sistem imun danpsikologis atau
fisik oleh SSP, tetapi mereka menggunakan banyak sistem
tranduksi yang sama untuk mencetuskan respons terhadap
gangguan yang ada.
Sistem tranduksi tersebut mungkin hormonal atau
mungkin juga neuronal. Dengan demikian sitokin-sitokin
sistem imun tak hanya mempengaruhi sel-sel imun yang
lain,tapi juga bekerja sebagai hormon untuk merangsang
SSP yang mengontrol respons stres. Sebaliknya, hormonhormon respons stres tak hanya mempengaruhi kelenjarkelenjar neuro endokrin,tapijuga menekan atau merubah
respons imun dan keradangan. Sistem imun juga dapat
memberikan sinyal pada SSP melaluijalur neuronal, seperti
saraf vagus, dan SSP dapat memberikan sinyal pada sistem
imun melalui jalur saraf perifer atau simpatik.
Berbagai tahap komunikasi antara sistem imun clan SSP
tersebut merupakan mekanisme fisiologik penting untuk
mengatur intensitas respons imun dan keradangan,
mengatur kerentanan dan ketahanan terhadap penyakit
Lingkungan
0k
dan an
L
Gambar 1. Beratnya penyakit keradangan merupakan hasil akhir
keseimbangan antara aktivitas respons imun dan respons neuro
endokrin dalam menghadapi gangguan dari lingkungan luar.
RESPONSNEUROENDOKRINPADAKERADANGAN
Immune
System
4-"'.
~ u m o i a li Neuronal
Hormon atau
Neurotransmiter
Kortisol
Menghambat
kerusakan
oksidatif,
phagositosis,
produksi
kollagenase,
presentasi antigen, COX-2, 11-1, IL-2, IL-6,
IL-12, INF y, TNF, NF-KB dsb.
DHEA
Menghambat produksi radikal oksigen, IL1, IL-6, TNF
Testosteron
Menghambat IL-6, aktivitas NK sel
Estrogen
Menstimulasi produksi immunoglobulin
(konsentrasi fisiologis), menghambat IL-1,
IL-6, TNF (konsentrasi farrnakologis)
CAMP
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, ekspresi HLA klas I and II,
IL-2, IL-12, INF y, TNF (tetapi
meningkatkan jalur Th2)
Norepinephrin(a2) Menghambat cAMP intraseluler
(meningkatkan of TNF)
Norepinephrin (P)
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, aktivitas NK sel, ekspresi
HLA klas II, IL-2, INF y, IL-12, TNF (tetapi
meningkatkan jalur Th 2)
Adenosin (Al)
Menghambat cAMP intraseluler
Adenosin (A2)
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, aktivitas NK sel, IL-8, IL-12,
INF y, TNF (tetapi meningkatkanjalur Th2)
Substansi P
Menstimulasi radikal oksigen,
phagositosis, kernotaksis monosit,
aktivitas NK sel, IL-1, IL-2, IL-4, IL-8, IL-10,
IL-12. TNF, produksi immunoglobulin,
prostaglandin E2
[NTERAKSINEUR0UlNNOENDOKRINOUX;I PADAPROSESINF
'
IgG
IL-4
11-2
lFb
~~
Macrophage
B lymphocyte
T lymphocyte/
Synovlal tissue
kadarnya, ha1 ini berhubungan dengan aktivitas antikeradangan yang maksimum hanya terjadi pada konsentrasi
fisiologis 1O4 M.
Sampai saat ini substansi P (Neurotransmiter afferen
sensoris) dipandang merupakan neurotransmiter
prokeradangan (Tabel 1). Sebagai contoh, substansi P
mampu menstimulasi IL- 1, IL-2, TNF dan Nuklear Factor
KB dari beberapa tipe sel. Hal ini menunjukkan bahwa
substansi P merupakan agen prokeradangan yang poten.
Peran agen prokeradangan ini pada artritis akut telah
dibuktikan.
Aktivasi aksis HPA dan aksis adrenergik secara
bersamaan telah dibuktikan mempun yai efek modulasi
respons imun yang lebih h a t dari pada efek masingmasing aksis tersebut secara terpisah.Misalnya, pada
pengobatan asma secara lokal atau sistemik,P-adrenergik
agonis dan glukokortikoid mempunyai efek sinergistik
dalam mengeliminasi obstruksi bronkus. Aktivasi yang
simultan aksis HPA melalui peningkatan kortisol dan aksis
adrenerglk melalui peningkatan norepineprin, mempunyai
efek tambahan dalam meningkatkaa cAMP intraselular
(Gambar 6), seperti yang ditunjukkan pada beberapa sel.
Kortisol akan membantu meningkatkan produksi
norepineprin dan epineprin dari saraf simpatisterminal dan
medulla adrenal, melalui sintesa enzim. Sehingga
peningkatan kadar kortisol dan norepineprin secara
bersamaan dengan konsentrasi lokal lo4 - 10" M
mempunyai efek anti-keradangan yang lebih besar dari
pada substansi tersebut berada dalam keadaan tunggal.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedua sistem antikeradangan yaitu aksis HPA dan aksis adrenergik hams
diaktivasi secara simultan untuk mendapatkan efek antikeradangan yang maksimal. Komunikasi aksis HPA dan
aksis adrenergik terlihat terganggu pada penyakit
keradangan kronik.
2441
Taraet
Teraai
Substitusi kelenjar
adrenal
Substitusi kelenjar gonad
Blokade substansi P
.d.ofmkl.m
'
i2
-1
2443
Umur
Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi
fiekuensi setiap penyakit terdapat pada kelompok umur
tertentu. Misalnya osteoartritis lebih sering ditemukan
pada pasien usia lanjut dibandingkan dengan usia muda.
Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih sering di
temukan pada wanita usia muda dibandingkan dengan
kelompok usia lainnya.
Jenis Kelamin
Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin
berbeda pada beberapa kelompok penyakit. Pada tibe1 2
dapat dilihat perbedaan tersebut.
Nyeri Sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien reumatik.
Pasien sebaiknya diminta menjelaskan lokasi nyeri serta
punctum maximumnya, karena mungkin sekali nyeri
tersebut menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan
karakteristikyang disebabkan oleh penekanan radiks saraf.
Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan
perubahan mekanis dengan nyeri yang disebabkan
inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang
setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari mempakan
Usia
Muda
(2-25 th)
Usia
pertengahan
(30-50 th)
Penyakit Still
+
+/Spondilitis ankilosis
++
+
Penyakit Reiter
++
+
Demam reumatik
++
+
Artritis pada kolitis ulseratif
+
++
Artritis septik
++
+
Gonokok
Stafilokok dan infeksi lain
+
++
+I++
Artritis gout
Lupus eritematosus sistemik
+++
++
Artritis reumatoid
++
++
+
++
Polimiositis
+
++
Skleroderma
SLE akibat obat
+
+
+
Penyakit paget
+
Osteoartritis
Polimialgia reumatika
+
Penyakit deposit kalsium
pirofosfat
+
+IOsteopenia
+
Mestastasis karsinoma atau
mieloma multipel
- : hampir tak pernah terjadi; +/- : sangat jarang;
+ : jarang; ++ : sering terjadi; +++ : sering terjadi
Artritis reurntoid
Lupus eritematosus sistemik
Spondilitis ankilosis
Penyakit Reiter
Artritis psoriatik
Artropati intestinal
Artropati reaktif
Artritis gout
Osteoartritis koksae
Osteoartritis lutut dan tangan
Usle
lanju(
(65+th)
+/+/-
+++
++
+
++
++
++
+++
++
+++
++
+++
+++
+++
Pria c wanita (1 : 3)
Pria c wanita
Pria > wanita
Pria > wanita
Pria c wanita
Pria = wanita
Pria = wanita
Pria > wanita
Pria = wanita
Pria wanita
Kaku Sendi
on.Keadaan ini
Gaya Berjalan
Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase, yaitu heel
strike phase, loading/stance phase, toe off phase dan
swingphase. Pada heel strikephase, lengan diayun diikuti
gerakan tungkai yang berlawanan yang terdiri dari fleksi
sendi koksae dan ekstensi sendi lutut. Pada loading/
stance phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur
melakukan rotasi ke depan bersamaan dengan akhir
gerakan tungkai pada heel strikephase. Pada toe offphase,
sendi koksae ekstensi dan turnit mulai terangkat dari lantai.
Pada swingphase sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi
talokruralis.
Gaya berjalan
Heel strike phase
Loading/stance phase
Toeoflphase
Swing phase.
rya berjalan yang abnormal :
Gaya berjalan antalgik,yaitu gaya berjalan pada pasien
artritis di mana pasien akan segera mengangkat tungkai
yang nyeri atau deformitas sementara pada tungkai
yang sehat akan lebih lama diletakkan di lantai; biasanya
akan diikuti oleh gerakan lengan yang asimetri.
Gaya berjalan Trendelenburg, disebabkan oleh abduksi
koksae yang tidak efektif sehingga panggul
kontralateral akan jatuh pada swing phase.
Waddle gait, yaitu gaya berjalan Trendelenburg
bilateral sehingga pasien akan berjalan dengan pantat
bergoyang.
Gaya berjalan histerikaltpsikogenik, tidak memiliki pola
tertentu.
Gaya berjalan paraparetik spastik, kedua tungkai
melakukan gerakan fleksi dan ekstensi secara kaku dan
jari-jari kaki mencengkeram h a t sebagai usaha agar
tidak jatuh.
Gaya berjalan paraparetik flaksid (high stepping
gait=steppage gait), yaitu gaya berjalan seprti ayam
jantan, tungkai diangkat vertikal terlalu tinggi karena
terdapat foot drop akibat kelemahan otot tibialis
anterior.
Gaya berjalan hemiparetik, tungkai yang parese akan
digerakkan ke samping dulu barn diayun ke depan
karena koksae dan lutut tidak dapat difleksikan.
Gaya berjalan ataktiklserebelar(broad basegait), kedua
tungkai dilangkahkan secara bergoyang goyang ke
depan dan ditapakkan secara ceroboh di atas lantai
secara berjauhan satu sarna lain.
Gaya berjalan parkinson (stopping,festinant gait), gerak
berjalan dilakukan perlahan, setengah diseret, tertatih-
2447
Gays Berjelan
1. Heel sfrike phaser, 2. Loadinglsfancaphaser, 3. Toe-offphase; ISwingphas
Sikaplpostur Badan
Perlu diperhatikanbagaimana cara pasien mengatur posisi
bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya
mempunyai tekanan intra-artikularyang tinggi, oleh karena
itu pasien akan berusaha menguranginya dengan mengatur
posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya dalam
posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal
dengan bantal. Pada sendi bahu (glenuhomeral) dengan
cara lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu
menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan.
Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka
pasien akan merasa sangat kesakitan karena terjadi
peningkatan tekanan intraartikular. Ditemukannya postur
badan yang membengkok ke depan disertai pergerakan
vertebra yang terbatas merupakan gambaran khas
spondilitis ankilosa.
Deformitas
Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan
diam, tetapi akan lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu
dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi
(misalnya disebabkan gangguanjaringan lunak) atau tidak
dapat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul sendi atau
kerusakan sendi). Berbagai deformitas di lutut dapat terjadi
antara lain genu varus, genu valgus, genu rekuvatum,
subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian
pula deformitas fleksi di siku. Pada jaringan tangan antara
lain boutonniere finger, swan neck yifirtger, ulnar
deviation, subluksasi sendi metalcarpal dan pergelangan
tangan. Pada ibu jari tangan ditemukan unstable-Zshaped
'
~erubahanKulit
Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau
penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik.
Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis
dan eritema nodosurn. Kemerahan disertai deskuamasipada
kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi
periartikular,yang sering pula merupakan tanda arttitis septik
atau artritis kristal.
Pergerakan
Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada
keadaan pasif dan aktif dan dibandingkan kiri dan kanan
Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak
sendi pada semua arah. Tenosinovitis atau lesi periartikular
hanya menyebabkan berkurangnya gerak sendi pa& satu
arah saja. Artropati akan memberikan gangguan yang sama
dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih luas
dibandingkan dengan gerakan aktif maka kemunghan ada
gangguan pula pada otot atau tendon. Nyeri gerak
merupakan tanda diagnostik yang bermakna, nyeri ringan
hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan
gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan
disebut sebagai stress pain. Bila didapatkan stress pain
pada semua arah gerak, maka maka keadaan tersebut
merupakan tanda khas untuk gangguan yang berasal dari
luar sendi (tenosinovitis). Nyeri yang dirasakan sama
kualitasnya pada semua arah gerak sendi, lebih
menunjukkan gangguan mekanik dari nyeri inflamasi.
Resisted active movement merupakan suatu cara
pemeriksaan untuk menemukan adanya gangguan
periartikular.Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara
pasien melawan gerakan yang dilakukan oleh tangan
pemeriksa, akibatnya terjadi kontraksi otot tanpa disertai
gerakan sendi. Bila timbul rasa nyeri maka ha1 tersebut
barasal dari otot, tendon, atau insersi tendon, misalnya
pada :
Tahanan pada aduksi sendi koksae yang mengakibatkan
timbulnya rasa nyeri pangkal paha merupakan tan&
tendinitis aduktor.
Tahanan pada aduksi glenohumeral yang
mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pada lengan atas
merupakan tanda gangguan otot suprasinatus dan lesi
pada tendon.
Tahanan pada ekstensi siku yang menyebabkan nyeri
pada epikondilus lateralis merupakan tanda tennis
elbow.
Sama halnya dengan di atas, pada passive stress test,
bila pasien mengkuti gerakan tangan pemeriksa akan timbul
rasa nyeri sebagai akibat regangan ligamen atau tendon,
misalnya uji Finkelstein pada tenosinovitis De Quervain
(passive stress otot abduktor polisis longus dan ekstensor
polisis brevis menimbulkan rasa nyeri).
Bengkak Sendi
Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan
lunak atau tulang. Cairan sendi yang terbentuk biasanya
akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang
resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk
yang khas pada tempat tersebut, misalnya :
Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan
medial dan kantung suprapatelar mengakibatkan
pembengkakan di atas dan sekitar patela yang berbentuk
seperti ladam kuda.
Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pa& sisi
posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamen
kolateral bagian lateral.
Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan
segitiga di antara klavikula dan otot deltoid di atas otot
pektoralis.
Pada efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi
pembengkakan pa& sisi anterior.
Krepitus
Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba
sepanjang gerakan struktur yang terserang. Krepitus halus
merupakan krepitus yang dapat di dengar dengan
menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang
di sekitarnya. Keadaan ini ditemukan pada radang sarung
2449
Perubahan Kuku
Perubahan kuku sering ditemukan pada penyakit reumatik,
antara lain:
Jari tabuh (clubbing finger) berhubungan dengan
osteoartropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis
fibrotik.
Thimble pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk
lubang) dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati
psoriatik dan penyakit Reiter kronik.
Serpihan berdarah (splinter haemorhages) pada
vaskulitis pembuluh darah kecil.
Lesi Membran Mukosa
Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau
artropati reaktif) atau dengan gejala (lupus eritematosus
sistemik, vaskulitis, sindrom Behcet). Perlu diperhatikan
adanya ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung,
telangiektasia.
Gangguan Mata
Gangguan mata meliputi :
Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid,
vaskulitis dan polikondritis.
Intis pada spondilitis ankilosis dan penyakit Reiter
kronik.
Irdosklitis pada arh-itisjuvenilkronik jenis pausiartikular.
Konjungtivitis pada penyakit Reuter akut dan sindrom
sika.
EVALUASI SEND1SATU PERSATU
Sendi Temporomandibular (temporomandibular
joint = TMJ)
TMJ terletak di anterior liang telinga, dibentuk oleh
kondilus mandibula dan fossa temporalis. Sendi ini dapat
di palpasi dengan meletakkanjari di anterior liang telinga
dan menyuruh pasien untuk membuka dan menutup mulut
dan menggerakan mandibula ke lateral kiri dan kanan
bergantian. Gerak vertikal TMJ dapat diukur dengan
mengukurjarak gigi seri atas dan bawah pada pada waktu
pasien membuka mulut secara maksimal, normal sekitar
3-6 cm. Berbagai artritis dapat mengenai TMJ, seperti
artritis kronik juvenilis yang dapat menyebabkan
pertumbuhan tulangmandibula terhenti dan
mengakibatkan mikrognatia. Pada artritis yang berat, dapat
dipalpasi dan diauskultasi bunyi krepitus atau clicking.
Sendi Sternoklavikular, Manubriosternal dan
Sternokostal
Sendi sternoklavikular dibentuk oleh ujung medial
klavikula dan kedua sisi batas atas sternum. Di keduanya
terdapat sendi sternokostal I. Sendi manubriosternal
BAHU
--
: ;.-.A
a---,*
*- .
BAHU
atduksii adduks!
10mm
a
mm 1
0
PERGELANGAN TANGAN
dwlasl radlwnler
6070
a
4
30
&
d,
B"
KOKSAE
Fleksi
(Tungkai
Hiprekstensi
lurus)
60 70 6o
50
40
Y)
20
20
10
-------
10
- --.
..
.~.
..
10
.0
.-,--.'
,
,
10
lW
"O,,
60 70
KOKSAE
50
40
10
50
-0
10
KOKSAE
M.
M QO
adukasi -adukasl
70
40
40
Y)
Em.
Y)
INT.
INT.
;
'
10
' Y )
10
20
Em.
R.
ekstensor koksae.
Pemeriksaan koksae dimulai dengan mengamati pasien
dalam keadaan berdiri di muka pemeriksa. Bila panggul
terlihat miring, maka munglun terdapat skoliosis, anatomic
leglength discrepancy atau kelainan koksae. Kontraktur
koksae akan ditandai oleh deformitas abduksi dan aduksi.
Pada kontraktur aduksi, pelvis akan miring ke atas pada
sisi yang sehat, dan kedua tungkai ekstensi. Pasien dengan
kelainan sendi koksae, akan memiliki 2 gaya berjalan yang
abnormal yaitu gaya berjalan antalgik akibat nyeri pada
koksae danlatau gaya berjalan Trendelenburg pada
kelemahan otot abduktor. Untuk menilai kelemahan otot
abduktor gluteus medius, dapat dilakukan tes
Trendelenburg,yaitu dengan menyuruh pasien berdiri pada
sisi tungkai yang sakit; pada keadaan normal, otot abduktor
akan menjaga agar pelvis tetap mendatar, bila pelvis pada
sisi yang sehat jatuh, maka dikatakan tes positif dan
terdapat kelemahan otot gluteus medius.
Pada posisi terlentang, kontraktur fleksi koksae dapat
dilihat dari adanya lordosis lumbal dan pelvis yang miring
sehingga tungkai tetap lurus pada meja pemeriksaan.
Untuk menilai adanya kontraktur fleksi, dapat dilakukan
tes Thomas, yaitu dengan memfleksikantungkai yang sehat
sehingga lordosis lumbal hilang, akibatnya tungkai yang
sakit akan ikut fleksi. Pada posisi terlentang, juga dapat
diukur leg-length discrepancy, yaitu pada posisi kedua
tungkai ekstensi. True leg-length discrepancy diukur dari
2453
Pergelangan Kaki
Pergelangan kaki terdiri dari 2 sendi, yaitu sendi tibiotalar
(true ankle joint) yang merupakan sendi engsel dengan
pergerakan dorsofleksi dan plantar-fleksi, sedangkan sendi
subtalar memunglunkan gerak inversi dan eversi dari kaki.
Maleoli tibia dan fibula memanjang ke bawah, menutupi
talus dari medial clan lateral dan memberikan kestabilan
sendi pergelangan kaki. Kapsul sendi pergelangan kaki
sangat h a t pada bagian posterior dan memungkinkan
untuk pergerakan dorso dan plantar-fleksi.
Pada bagian belakang sendi ini terdapat tendon achiles
yang merupakan tendon otot gastroknemius dan soleus
yang memanjang ke bawah dan berinsersi pada permukaan
posterior os kalkaneus. Radang pada tendon ini,
menyebabkan rasa nyeri bila banyak berjalan atau bila
EmEWMW
Fleksi ~lantar-dorsal
Kaki
Yang dimaksud dengan kaki adalah midfoot yang terdiri
dari 5 tulang-tulang tarsal selain talus dan kalkaneus dan
fore foot yang terdiri dari tulang-tulang metatarsal dan
jari-jari k&. Kaki mempunyai struktur melengkung ke
dorsal yang memungkinkan penyebaran berat badan ke
kalkaneus di posterior dan ke-2 tulang sesamoid pada
tulang metatarsal I dan kaput metatarsal 11-V di anterior.
Fungsi lengkung kaki adalah untuk menjaga fleksibilitas
kaki pada waktu bejalan dan berlari. Lengkung ini dapat
betambah akibat kelainan neurologik dan disebutpes cavus
atau berkurang dan disebut pes planus. Deformitas lain
pada kaki adalah hallux valgus, hammertoe deformity,
mallet toe dan cock-up toe. Hallux valgus adalah deviasi
medial metatarsal sehingga kaki menjadi lebar dan kadangkadang timbul bunion. Hammertoe deformity adalah
hiperekstensi sendi metatarsofalangeal(MTP) diikuti fleksi
sendi PIP. Deformitas fleksi sendi DIP manghasilkan
mallet toe, sedangkan fleksi sendi PIP dan DIP yang diikuti
ekstensi dan subluksasiglantar sendi MTP disebut
cock-up toe deformity.
Nyeri pada turnit, sering disebabkan oleh plantar, spur,
sedangkan peradangan pada MTP I, sering disebabkan
oleh artritis gout.
Gambar7. kaki
Vertebra
Vertebra hams diperiksa dalarn posisi duduk atau berbaring
telungkup, tetapi untuk menilai kesegarisan vertebra,
pemeriksaan harus dilakukan dalam posisi berdiri.
Kemiringan pelvis dan bahu mancurigakan ke arah kelainan
kurvatura vertebra atau leg-length discrepancy. Otot-otot
Blleteral SLR
--snemw
ANAMNESIS DAN-P
PISISPENYAKIT MUSKULQSKELETAL
2455
ARTROSENTESIS DAN
ANALISIS CAIRAN SENDI
Sumariyono
PENDAHULUAN
SlNOVlA
ARTROSENTESIS
lndikasi
Diagnostik
Membantu diagnosis artritis
Memberikan konfirmasi diagnosis klinis
Selama pengobatan artritis septik, artrosentesis
dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah
leukosit, pengecatan gram dan kultur cairan sendi.
Terapeutik
Artrosentesis saja
- Evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada
pseudogout akut dan crytal induced arthritis yang
lain.
- Evakuasi serial pada artritis septik untuk
mengurangi destruksi sendi.
Pemberian kortikosteroid intraartikular
- Mengontrol inflamasi steril pada sendi, bila obat
anti inflamasi non steroid telah gagal, kemungkman
akan gagal atau merupakan kontraindikasi.
- Mempersingkat periode nyeri pada artritis gout.
- Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat
- Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi.
Kontraindikasi
Diagnostik
Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi
Bakteriemi
Secara anatomis tidak bisa dilakukan
Pasien tidak kooperatif
Terapeutik
Kontraindikasi diagnostik
Instabilitas sendi
Nekrosis avaskular
Artritis septik
Jenis pemeriksaan
Nilai normal
Rata rata
PH
Jumlah leukosiffrnrn3
PMN
Limfosit
Monosit
7.3 - 7.43
13 -180
0 -25
0 -78
0 -71
7.38
63
7
24
48
0 -12
1.2- 3.0
1.8
Albumin (%)
56
Globulin (%)
37 -44
Sel sinovia
- 63
0.3
Hyaluronat gldl
~oninflamasi n f l a m a s i
(grup 11)
(grup 1)
Biasanya > 4
Biasanya > 4
Xantokrom
Xantokrom
atau putih
Transparan
Translusen
atau opak
Rendah
Tinggi
Pumlen
(Grup Ill)
Biasanya > 4
Putih
Sedang
sampai buruk
Sering
3.000 -50.000
Buruk
Bekuan spontan
Jumlah leukositlmm3
Sedang
sampai baik
Sering
< 3000
Polimorfonuklear (%)
< 25 %
> 70 %
Kriteria
Rutin
Perneriksaan makroskopis: warna, kejernihan, viskositas,
potensi terbentuknya bekuan, volume
Perneriksaan mikroskopis: jurnlah leukosit, hitung jenis
leukosit, pemeriksaan sediaan basah dengan mikroskop
polarisasi dan fase kontras
Khusus
Mikrobiologi: pengecatan khusus (silver, PAS, Ziehl
Nielsen), kultur bakteri, jamur, virus atau M tuberkulosis,
analisis antigen atau asarn nukleat rnikroba (PCR)
Serologi: kadar kornplernen hernolitik (CHSo), kadar
Komponen kornplernen (C3 dan C4), autoantibodi (RF. ANA,
Anti CCP)
Kimiawi: glukosa, protein total, pH, p02, asarn organik
(asarn laktat dan asam suksinat), LDH (lactate
dehydrogenase)
Keterangan :
ANA: antinuclear antibody; CCP :cyclic citrullinated peptide;
PAS : periodic acid Schiff, RF : rheumatoidfactor
60
40
Bekuan musin
Opak
Sangat
rendah
Sering
50.000300.000
> 90 %
BEKUAN
Cairan sinovia sedikit sekali kandungan protein
pembekuan seperti fibrinogen, protrombin, faktor V, faktor
VII dan tromboplastin jaringan. Sehingga cairan sinovia
normal tidak akan membeku. Tetapi pada kondisi inflamasi
"membran dialisat " sendi menjadi msak sehingga protein
dengan berat molekul yang lebih besar seperti proteinprotein pembekuan akan menerobos masuk ke cairan
sinovia, sehingga cairan sinovia pada penyakit sendi
inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknya
bekuan berkorelasi dengan derajad inflamasi sinovia.
VOLUME
PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS
Pemeriksaan makroskopis cairan sendi merupakan
pemeriksaan bedside. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
menentukan cairan sendi tersebut termasuk dalam
kelompok : 1) normal, 2) non inflamasi, 3) inflamasi, 4)
Normal
Inflamasi
Purulenlseptik Hemoragk
Kristal
Pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan
basah segera setelah aspirasi cairan sendi. Kristal
monosodium urat dapat diperiksa dengan mikroskop
cahaya biasa, tetapi untuk pemeriksaan yang lebih baik
memerlukan mikroskop polarisasi. Pada mikroskop
polarisasi ini terdapat dua polarizing plate. Pertama
disebut polarizer yang diletakkan antara sumber cahaya
dan gelas objek (bahan), kedua disebut analyzer yang
diletakkan antara gelas objek (bahan) dan observer dan
diletakkan pada posisi 90 derajad dari polarizel: Dengan
posisi demikian tidak ada cahaya yang ke mata observer,
PEMERIKSAAN MlKROBlOLOGl
EVEPIECE
BirsMngent Crystal
on mse background
ANALYZER
c o m ~ ~ k s m ~
SODIUM URATE
cmAL
r i 6 '
2461
REFERENSI
KESIMPULAN
Artrosentesi dan analisis cairan sendi m e r u ~ a k a n
pemeriksaan yang penting dibidang reumatologi baik
untuk tujuan diagnostik maupun terapeutik. Analisis
cairan sendi terdiri dari pemeriksaan makroskopis,
mikroskopis dan beberapa pemeriksaan khusus.
Berdasarkan pemeriksaan analisis cairan sendi, cairan
sendi abnormal dapat diielompokkan menjadi cairan sendi
non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik.
Manfaat utama analisis cairan sendi adalah identifikasi
infeksi dengan pengecatan gram dan biakan cairan sendi,
Fye KH. Arthrocentesis, synovial fluid analysis, and synovial biopsy. In: Klippel JH. Primer on the rheumatic diseases. 12Ih
edit. 2001 : 138-144.
Gatter RA, Schumacher HR. A practical handbook of joint fluid
analysis. 2" edit. 199 1.
Mikuls TR. Synovial fluid analysis. In : Koopman WJ and Moreland
LW. Arthritis and allied conditions. ISth edit. 2005 : 81-96.
Setiyohadi, sumaryono. Aspirasi cairan sendi I artrosentesis. In :
Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW . Prosedur tindakan di bidang
Ilmu Penyakit Dalam. 1999 : 227-233.m
Swan A, Amer H, Dieppe P. The value of synovial fluid assay in the
diagnosis of joint disease : a literature survey. Ann Rheum Dis
2002 ; 61: 493-498.
Normal atau
peningkatan tidak
signifikan ( < 1 mgldl )
Peningkatan
Sedang
( 1 - 10 mgldl )
Peningkatan
tinggi
( > 10 mgldl )
Kerja berat
Common cold
Kehamilan
Gingivitis
Stroke
Kejang
Anaina
lnfark miokard
Keganasan
Pankreatitis
lnfeksi mukosa
bronkitis, sistitis )
Penyakit reumatik
Serlng ada
Kadangkadangada
Demam reumatik,
artritis reumatoid,
infeksi bakteri akut,
hepatitis akut
Tuberkulosis
aktif,tumor ganas
stadlum lanjut,
leprosy, sirosis
aktif, luka bakar
luas, peritonitis
Sklerosis multipel,
sindroma Guillain
Barre, cacar air,
pasca bedah,
penggunaan alat
kontrasepsi intrauterin
FAKTOR REUMATOID
2465
Penvakit Rematik
Artritis Reumatoid. L u ~ u s
Eritematosus ~istemik.
Skleroderma, Mixed Connective
Tissue Disease, Sindrom
Sjogren's
Acquired immunodeficiency
syndrome, mononukleosis,
hepatitis, influenza dan setelah
vaksinasi
Trypanosomiasis, kala azar,
malaria, schistomiasis, filariasis
Tuberkulosis, leprosi, sifilis,
brucelosis, infektif endokarditis,
salmonelosis
Pasca radiasi atau kemoterapi,
PurPura
hipergammaglobulinemia,
kryoglobulinemia, penyakit hati
kronik, penyakit paru kronik
lnfeksi Viral
lnfeksi parasit
lnfeksi bakterialis kronik
Neoplasma
Hyperglobulinemic state
Faktor Reumatoid
Artritis
Reumatoid
Penyakit nonreumatik
Tinggi
Rendah
lengkap
tidak lengkap
terutama IgM
tidak jelas, tetapi
bukan pada
daerah sinovial.
Titer
Heterogenitas
- Reaksinyaterhadap
gammaglobulin
manusia dan hewan
- Klas imunoglobulin
- Lokasi produksi
++
lain dari autoantibodi dengan afinitas rendah dengan ciriciri unik yang membawakan sifat patogeniknya dalam
situasi khusus. Memang secara teoritis, hadirnya faktor
ini, justru menunjukkan salah satu kegagalan sistem imun
tubuh dalam menangani infiltrasi benda asing secara
tuntas.
Antibodi yang mula pertama dilepaskan ternyata tidak
mampu menetralkan benda asing yang masuk. Upaya
tubuh menyelesaikan masalah karena kegagalan
pengenalan diri, justru melahirkan antigen-antigen baru,
akibatnya timbul perkembangan baru, sebagai reaksi
terhadap kenyataan tersebut, dengan membentuk zat antiantibodi yang dikenal dengan sebutan FR.
KEMAKNAAN KLlNlK
2467
PEMERIKSAANKOMPLEMEN
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang
tidak spesifik.Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam
keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen,
kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai
mediatoryang aktif untuk menghancurkA antigen tersebut.
Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang
terdiri dari & 20 protein palasma dan bekerja secara berantai
(sevamplifying) seperti model kaskade pembekuan darah
dan fibrinolisis: Komplemen sudah ada dalam serum
neonatal, sebelum dibentuknya IgM. Dalam mobilitas
elektroforesis,termasuk kelompok alfa dan beta globulin.
Komplemen dihasilkan terutama oleh sel hati dan beredar
dalam darah sebagai bentuk yang tidak aktif (prekursor),
bersifat termolabil. Pengaktifan, berlangsung kelalui dua
jalur, yaitujalur klasik (imunologk)danjalur alternatif (nonimunologik). Kedua jalur berakhir dengan lisis membran
sel atau komplek Ag-Ab. Jalur klasik diprakarsai oleh :CIq,
Clr, Cls, C4 dan C2. Sedangkan jalur alternatifnya
dicetuskan oleh properdin, faktor B, faktor D dan ~ 3 .
Terminal penghancur kedua jalur tersebut ialah C5-9.
Aktivasi ini, masih diimbangi oleh beberapa protein
pengatur yaitu inhibitor C1, inaktivator C3b, protein
pengikat C4, dan faktor H. sebagai konsekuensi biologik
dari aktivitas membranolisis ini dilepaskan berbagai
subkomponen dari beberapa komponen yaitu:
Aktivitas kemotaktik oleh C3a, dan Anafilatoksin oleh
C3a clan C5a, yang melepaskan histamin dari basofil
ataupun mastosit dan seritinin dari platelet.
Aktivasi seperti kinin oleh C2 dan C4, yang bekerja
meningkatkan permebilitas vaskular dalam sisteh
arnplikasi humoral
Memacu fagositosis oleh C3b
Komplemen
clq
Clr
CIS
CI-INH
C4
Penyaklt
SLE, glomerulonefritis, poikilodema
kongenital
SLE, glomerulonefritis, lupus like
syndrome
SLE
SLE,lupus diskoid
SLE,rheumatoid
vasculitis,dermatomyositis.lgA
C2
syndrome,grave disease
SLE, discoid lupus, polymyositis, HenochSchonlein purpura,Hodgkins
disease,vasculitis,glomerulonefritis,hypog
C3
C5
C6
C7
C8
C9
ammaglobulinemia
Vasculitis, lupus like syndrome.
glornerulonefritis
SLE, infeksi Neisseria
infeksi Neisseria
SLE, rheumatoid arthritis, Raynauds
phenomenon, sclerodactyly, vasculltis,
infeksi Neisseria
SLE ,infeksi Neisseria
infeksi Neisseria
Fagositosis dapat terjadi terhadap kompleks AgAb-C3b, karena pemilikan reseptor C3b pada sel
neutrofil, makrofag, trombosit dan sel B. ha1 ini
memeperbesar bangunan ikatan kompleks tersebut .
sehingga lebih mempermudah pengenalan benda asing
tersebut yang akhimya mempercepat aksi pembersihan.
Dengan demikian C3b mempunyai efek ganda yaitu di
samping sebagai trigger dalam menggiring proses
penghancuran melalui jalur alternatif, juga sebagai
opsonin dalam memacu proses fagositosis. Konsentrasi
C3 dan C4, ditemukan meningkat dalam cairan saku gusi
dari gingiva yang meradang. Jadi komplemen mampu
menyingkirkan kuman setelah bergabung dengan antibodi.
Pada SLE, kadar C 1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah,
tetapi pada lupus kutaneus normal.Penurunan kadar
kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE
terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada
pasien dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen
terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.
REFERENSI
Breedveld F. New Insight in the pathogenesis of RA. J. Rheumatol
25; 1998: 3-7.
Cohen A S. Laboratory diagnostic procedures in the rheumatic
diseases. Gmne & Stratton, Inc. Sidney, Tokyo 1985.
Dunne J. V, Carson DA, Spiegelberg H, dkk. IgA Rheumatoid factor
in the sera and saliva of patient, with RA and Sjogren syndrom.
Ann. Rheum Dis. 38; 1979:161.
Edmonds J. Immunological Mechanism and Investigations, in
Rheumatic Disorders Med Int. 1985:896-900
Feltkamp TEW. Immunopathogenese van Rheumatoide arthritis.
Het Medischyaar 1981. Utrech : Scheltme & Holkema, 1980:
452-464.
Klein F, Bronsveld W, Norde W, dkk. A modified Latex Fixation Test
of the detection of Rheumatoid factors. J Clin Path 1979; 32: 90.
H H Chng. Laboratory test, in rheumatic diseases Singapore med J.
1991; 32: 272-275.
Klippel JH, Crofford LJ, Stone JH, Weyand CM in Primer on
Rheumatic Disease 12Ih ed,Atlanta,Arthritis Fondation 2001.
Kalim H, Handono K, Arsana PM ed in Basic Immuno Rheumatology, Malang, Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, 200
Maddison, P J. the use of the laboratory in diagnostic rheumatology.
Proc 4Ih Asean congress of rheumatology Singapore 1993:
117-122.
Monestier. M, Bellon B, Manheimer dkk, Rheumatoid factor Ann N
Y Acad. Sc 475; 1986: 107.
N.G. Suryadhana. dkk Membandingkan hasil lateks dan tes
hemaglutinasi dalam diagnosis penyakit reumatoid arthritis.
Kopapdi V, 1981: ha1 1675-1691.
Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Budd RC, Sergent JS in Kelleys
Textbook Of Rheumatology 6'h ed,Philadelphia,WB saunders
Company,2001.
Roitt 1. Essential Immunology. Oxford: Blackwell Science. 1997:
399-405
Rose NR. The use of autoantibodies. In. Peter JB, Shoenfeld Y, eds:
Autoantibodies. Elsevier Sciences B.V. 1996: xxvii-xxix
DAN KWWUMW
2471
PEMERIKSAAN PENCITRAAN
DALAM BIDANC REUMATOLOCI
Zuljasri Albar
PENDAHULUAN
Teknik pencitraan dapat membantu penegakan diagnosis,
memungkinkan penilaian aktivitasiberatnya penyakit,
distribusi penyakit, respons terhadap pengobatan secara
obyektif, menilai komplikasi dan kelainan ekstra-artikuler
serta meningkatkan pemahaman bam tentang proses
penyakit. Beberapa pemeriksaan pencitraan yang penting
dalam bidang reumatologi ialah foto polos, tomografi,
computerizedtomography (CT-scan), magnetic resonance
imaging (MRI), ultrasound, radionuclide imaging,
artrografi, pengukuran densitas tulang dan angiografi.
Sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang
keuntungan dan keterbatasan pemeriksaan di atas,
sehingga dapat diketahui pemeriksaan mana yang paling
tepat dan paling cost-effective. Di bawah ini akan
dibicarakan teknik pencitraan dasar dengan melihat aspek
spatial dan resolusi (yang menentukan struktur mana yang
dapat dilihat dengan baik), dosis radiasi terhadap pasien,
kemudahan didapat, tingkat keahlian yang diperlukan
untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan dan
pemakaian spesifik dalam menilai keluhan dan gejala
muskuloskeletal.
FOTO POLOS
Pemeriksaan foto polos mempakan titik tolak sebagian
besar pemeriksaan pencitraan penyakit-penyakit reumatik
walaupun mungkin setelah itu akan dilakukan pemeriksaan
MRI.Biayanya murah dan resolusi spatial tinggi, sehingga
detil trabekula dan erosi kecil tulang dapat dilihat dengan
baik. Jika diperlukan, resolusi dapat ditingkatkan dengan
teknik pembesaran. Resolusi kontrasnya memang tidak
sebaik CT-scan atau MRI. Keterbatasan ini terutama
COMPUTED TOMOGRAPHY
ARTROGRAFI
Pada artrografi diperlukan suntikan bahan kontras kedalam
sendi, diikuti oleh pemeriksaan radiologi. Pada artrografi
konvensional, ruang sendi diisi dengan bahan kontras
yang mengandung yodium dan kadang-kadarig udara.
Biaya pemeriksaan lebih mudah daripada CT-scan atau
MRI dan dapat dilakukanjika tersedia fluoroskopi. Tetapi
kenlungkinan masuknya bakteri kedalam sendi atau adanya
reaksi terhadap bahan kontras atau anestesi lokal hams
dipertimbangkan, meskipun komplikasi ini sangatjarang.
Salah satu alasan utama melakukan artrografi ialah
untuk memeriksa struktur dalam sendi seperti meniskus
sendi lutut yang tak dapat dilihat dengan pemeriksaan
radiologi konvensional. Sekarang struktur ini sudah dapat
dilihat secara non-invasif dengan MRI. Meskipun
demikian, masih ada ha1 tertentu yang memerlukan
artrografi.
Artrografi konvensional menggunakan bahan kontras
yang mengandung yodium, baik sendiri maupun
dikombinasikan dengan udara dapat dengan tepat
mendeteksi robekan total rotator cufl CT-scan dapat
ditambahkan pada artrogram udara kontras (artrografi CT),
memberikan hasil yang sangat baik untuk mempelajari
labrurn glenoidalis yang sebanding dengan atau mungkin
lebih baik daripada MRI.
Artrogram lutut dapat memastikan diagnosis kista
poplitea dan memungkinkan dilakukannya suntikan
steroid pada waktu yang sama. Teknik ini merupakan
pengganti yang tepat untuk mengevaluasi meniskus pada
pasien klaustrofobia atau pasien yang ukuran badannya
menyebabkan pemeriksaan MRI tidak mungkin dilakukan.
Artrografi pergelangan tangan sangat baik untuk
mengevaluasi integritas fibrokartilago trianguler, ligamen
antara os skafoid dan os lunatum serta ligamen
antara os lunatum dan os trikuetrum. Dalam keadaan ini
sebagian besar klinikus lebih menyukai artrografi daripada
MRI.
Artrografi MRI dilakukan dengan mengembangkan
sendi bahu memakai bahan kontras larutan encer
Gadolinium. Teknik ini telah dipelajari dengan mendalam
dan mungkin meningkatkan ketepatan diagnosis robekan
labrum glenoidalis dan rotator cufl
DENSITOMETRITULANG
Densitometri tulang digunakan terutama untuk
mengevaluasi osteoporosis. Dua teknik yang akurat dan
telah dipergunakan secara luas ialah dual-energy x-ray
absorptiometry (DEXA) dan quantitative computed
tomography (QCT).
DEXA menggunakan berkas sempit sinar-X yang
mengubah enersi. Sebuah reseptor yang sensitif
mendeteksi fraksi sinar-X yang melintasi tubuh, yang
menghasilkan profil jumlah radiasi yang didefleksikan oleh
tubuh. Karena karakteristik absorpsi tulang dan jaringan
lunak tidak sama pada tingkat enersi sinar x yang berbedabeda, jumlah radiasi yang diabsorpsi oleh tulang dapat
dihitung. Dari hasil ini, jumlah tulang pada jalur sinar x
pada setiap titik sepanjang penyidik dapat ditentukan.
DEXA relatif murah dan radiasinya rendah. Jadi
merupakan pilihan yang baik untuk pemeriksaan yang
hams diulang-ulang. Setiap bagian tubuh dapat diperiksa.
Telah dibuat nilai standar untuk vertebra lumbal dan bagian
proksimal femur, yang merupakan bagian yang paling
banyak dipelajari.
QCT menyidik beberapa vertebra lumbal bersama-sama
dengan sebuah fantom yang berisi materi yang
bone-equivalent dengan konsentrasi yang berbeda-beda.
Dari nilai konsentrasi materi dan pengaruhnya terhadap
pengurangan CT dibuat sebuah kurve standar, dan
kemudian densitas tulang pada setiap lokasi yang disidik
ditentukan dengan merujuk ke kurve standar. Biaya
pemeriksaannya sedang dan dosis radiasi cukup rendah,
meskipun tidak serendah DEXA. Keuntungan teknik ini
ialah dapat mengevaluasi bagian tengah vertebra karena
korteks dan bagian posterior vertebra tidak diukur. Bagian
trabekular lebih cepat terpengaruh dibandingkan dengan
korteks pada waktu terjadi kehilangan massa tulang.
Bambang Setiyohadi
@=I.
Klasifikasi
Normal
Osteopenia
Osteoporosis
Osteoporosis berat
T-score
-1 atau lebih besar
Antara -1 dan -2,5
-2,5 atau kurang
-2.5 atau kurang damfraktur fragilitas
T-score
Risiko
fraktur
Tindakan
> +1
Sangat
rendah
0 sld +1
Rendah
-1 sld 0
Rendah
-1 sld -2,5
Sedang
<-2,5
tanpa fraktur
Tinggi
<-2,5
dengan fraktur
Sangat
tinggi
BMD SERIAL
BMD serial dilakukan untuk menentukan bilamana terapi
osteoporosis dapat dimulai pada pasien-pasien dengan
risiko kehilangan massa tulang yang bermakna atau
terdapat indikasi untuk terapi osteoporosis.Selain itu BMD
Gambar
PELAPORAN BMD
Pelaporan hasil pemeriksaan BMD awal dan BMD ulangan
berbeda dan harus diperhatikan baik oleh operator, analis
yang mengevaluasi hasil BMD maupun dokter yang
membaca hasil BMD tersebut.
Pelaporan BMD awal harus meliputi data demografik
(umur,jenis kelamin, ras, tinggi badan, berat badan), dokter
yang meminta pemeriksaan BMD, dokter yang membaca
hasil pemeriksaan BMD, indikasi pemeriksaan, status
menopause pasien, alat BMD yang digunakin, hasil BMD
yang meliputi ROI, BMD areal dalam gr/cm2, T-score,
Z-score, I&teria diagnostik WHO, risiko-fiaktur, anjuran
evaluasi medik untuk mencari kemungkinan penyebab
osteoporosis sekunder, anjuran untuk BMD ulangan
berikutnya.
Pada pelaporan BMD ulangan (serial) harus
dicantumkan ROI yang sebelumnya dan berikutnya yang
dibandingkan, nilai LSC di Pusat BMD tersebut, pelaporan
adanya perubahan yang bemalcna atau tidak, baik dalam
g/cm2 maupun &lam%, dan anjuran untuk pemeriksaan
BMD berikutnya.
Selain itu, pada pelaporan BMD juga dapat
dicantumkan rekomendasi untuk menyingkirkan
kemungkinan etiologi osteoporosis sekunder, evaluasi
laboratorium, identifikasi faktor risiko fraktur dan
kehilangan massa tulang yang cepat, evaluasi radiolog&,
tindakan pencegahan umum dan anjuran terapi.
REFERENSI
NYERI
Bambang Setiyohadi, Sumariyono, Yoga I.
Kasjmir, Harry Isbagio, Handono Kalim
'rERMINOLOGI NYERI
Alodinia adalah nyeri yang dirasakan oleh pasien akibat
rangsang non-noksius yang pada orang normal,
tidakenimbulkan nyeri. Nyeri ini biasanya didapatkanpada
pasien dengan berbagai nyeri neuropatik, misalnya
neuralgia pasca herpetik, sindrom nyeri regional kronik
dan neuropati perifer lainnya.
Hiperpatia adalah nyeri yang berleblhan, yang ditirnbulkan
oleh rangsang berulang. Kulit pada area hiperpatia biasanya
tidak sensitif terhadap rangsang yang ringan, tetapi
memberikan respons yang berlebihan pada rangsang
multipel. Kadang-kadang, hiperpatia disebutjugadisestesi
sumasi.
Disestesi adalah adalah parestesi yang nyeri. Keadaan ini
dapat ditemukan pada neuropati perifer alkoholik, atau
neuropati diabetik di tungkai. Disestesi akibat kompresi
n e w s femoralis lateralis akan dirasakan pada sisi lateral
tungkai dan disebut meralgia parestetika.
Parestesi adalah rasa seperti tertusuk jarum atau titik-titik
yang dapat timbul spontan atau dicetuskan,misalnya ketika
saraf tungkai tertekan. Parestesi tidak selalu disertai nyeri;
bila disertai nyeri maka disebut disestesi.
Hipoestesia adalah turunnya sensitifitas terhadap
rangsang nyeri. Area hipoestesia dapat ditimbulkan dengan
infiltrasi anestesi lokal.
Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri pada rangsangan
nyeri yang normal. Secara konsep, analgesia merupakan
kebalikan dari alodinia.
(
Nyeri nosiseptifi
Nyeri somatik
Nyeri viseral
Nyeri
Nyeri neuropatik
Nyeri non-nosiseptif
Nyeri psikogenik
KLASlFlKASl NYERl
Nyeri nosiseptif, adalah nyeri yang timbul sebagai akibat
perangsangan pada nosiseptor (serabut a-delta dan
serabut-c) oleh rangsang mekanik, termal atau kemikal.
Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non
viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metastatik, nyeri
tulang, nyeri artritik.
Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ viseral,
biasanya akibat distensi organ yang berongga, misalnya
usus, kandung empedu, pankreas, jantung. Nyeri viseral
seringkali diikuti referred pain dan sensasi otonom, seperti
mual dan muntah.
Nyeri neuropatik, timbul akibat iritasi atau trauma pada
saraf. Nyeri seringkali persisten, walaupun penyebabnya
MEKANISMENYERl
Proses nyeri mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus
noxiuos sampai terjadinya pengalaman subyektif nyeri
adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bisa
dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu: transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi.
Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi
nociceptor oleh stimulus noxiuos pada jaringan, yang
kemudian akan mengakibatkan stimulasi nosiseptor dimana
disini stimulus noxious tersebut akan dirubah menjadi
postensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi
reseptor. Selanjutnya potensial aksi tersebut akan
ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang
berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi
adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu
dorsalis medula spinalis, pada kornu dorsalis ini neuron
aferen primer bersinap dengan neuron susunan sarap
pusat. Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik keatas
di medula spinalis menuju batang otak dan talamus.
Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara talamus
dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi
respons persepsi dan afektif yang berhubungan dengan
nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptifptif tidak selalu
menimbullcan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri
bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptifptif. Terdapat proses
modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri
tersebut, tempat modulasi sinyal yang paling diketahui
adalah pada kornu dorsalis medula spinalis. Proses terakhir
adalah persepsi, dimana pesan nyeri di relai menuju ke
otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak
menyenangkan.
Lower limb
---,
T~nk
Antemlateral
---
Type
Conduction
velocity
(mls)
Aa
Ap
AT
AS
B
C
60-120
50-70
'3570
530
530
<3
Neuron
diameter
Characteristics
~um)
12-22
4-12
4-12
1-5
1.54
< 1.5
Di Tingkat Otak
Terdapat beberapa nukleus pada talamus lateral yaitu
nukleus ventral posterior lateral, nukleus ventral
posterior medial, nukleus ventral posterior inferior dan
bagian posterior dari nucleus ventromedial; serta di daerah
medial talamus yaitu talamus centrolateral, bagian
ventrocaudal dari nukleus dorsomedial dan nukleus para
fasikular yang berperanan pada proses nyeri. Didaerah
kortex cerebri yang memiliki fungsi nosisepsi adalah
korteks somatosensor primer, somatosensor sekunder serta
daerah disekitarnya di parietal operculum, insula, anterior
cingulate cortex. dan korteks prefrontal.
MODULASI NOSISEP'TIF
Terdapat beberapa tempat modulasi nyeri, tetapi yang
paling banyak diketahui adalah pada komu dorsalis medula
spinalis. Eksitabilitas neuron-neuron di medula spinalis
tergantung dari keseimbangan dari input yang berasal dari
nosiseptor aferen primer, neuron intrinsik medula spinalis
dan descending system yang berasal dari supra spinal.
Kontrol SupraspinallDescendingControl
Kontrol nyeri supraspinal melalui dua jalur yang berasal
dari midbrain (periaqueductal gray matter dun locus
cemleus) dan medula oblongata(nuc1eus raphe magnus
dan nukleus reticularis giganto cellularis). Sistem modulasi
nyeri ini menuju medula spinalis melalui h i k u l u s dorsolateral. Neuron-neuron di rostroventral medula oblongata
membuat koneksi inhibisi pada komu dorsalis lamina I, I1
dan V. Sehingga stirnulasi neuron di rostroventral medula
oblongata akan menghambat neuron-neuron komu dorsalis neuron-neuron traktus spinotalamikus yang
memberikan respons stimulasi noxious. Serabut desenden
lain yang berasal dari medula oblongi\tabn pons juga
berakhir pada kornu dorsalis superfiiial dan menekan
aktivitas nosiseptif neuron kornu dorsalis.
Neurotransmiter utama yang berperanan pada descendingpain control ini adalah serotonin (5-hydroxytryptamine,
5 HT) dan norepineprin (noradrenalin). Neuron-neuron
serotoninergikdan noradrenergik turun melalui funikulus
dorsolateral dari batang otak menuju medula spinalis dan
berakhir pada kornu dorsalis, sangat berperanan pada
modulasi nyeri. Aktivasi Reseptor 2 adrenergik akan
mengakibatkan antinosisepsi. Sejumlah subtipe reseptor
serotoninergik telah diketahui di medula spinalis dan
berberanan dalam transmisi nyeri. Stimulasi elektrik pada
daerah periaqueductal dan nukleus raphe magnus akan
mengakibatkan analgesia melalui pelepasan serotonin dan
norepineprin endogen.
NYERl INFLAMASI
Pada proses inflamasi, misalnya pada artritis, proses nyeri
terjadi karena stimulus nosiseptor akibat pembebasan
NYERl PSI'KOGENIK
Sensitivitas Nyeri
Banyak dibuktikan bahwa pasien-pasien depresi memiliki
lebih banyak keluhan nyeri dari pada yang tanpa depresi.
Beberapa penelitian menujukkan angka kejadian nyeri lebih
tinggi pada pasien depresi dibandingpopulasi umum. Data
prevalensi depresi di antara pasien klinik nyeri bewariasi,
tergantung metode penilaian dan populasi yang dinilai
yaitu antara 10%- 100%. Sebaliknya keluhan nyeri
didapatkan pada 30-60% pada pasien depresi. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa pasien depresi memiliki
Lokasi Nyeri
Mintalah pada pasien untuk menjelaskan daerah mana
yang merupakan bagian paling nyeri atau sumber nyeri.
lntensitas Nyeri
Pada umunya dipakai rating scale dengan analogi visual
atau dikenal sebagai Visual Analogue Scale (VAS).
Mintalah pasien membuat rating terhadap rasa nyerinya
(0-10) baik yang dirasakan saat ini, kapan nyeri yang
paling buruk dirasakan atau yang paling ringan dan pada
tingkatan mana rasa nyeri masih dapat diterima.
Kualitas Nyeri
Gunakan terminologi yang dikemukakan oleh pasien itu
sendiri seperti nyeri tajam, seperti terbakar, seperti tertarik,
nyeri tersayat dan sebagainya.
Awitan Nyeri, Variasi Durasi dan Ritme
Perlu ditanyakan kapan mulai nyeri terjadi, variasi lamanya
kejadian nyeri itu sendiri serta adakah irama atau ritme
terjadinya maupun intensitas nyeri. Apakah nyeri tetap
berada pada lokasi yang diceritakan pasien? Apakah nyeri
menetap atau hilang timbul (breakhtrough pain)?
Cara Pasien Mengungkapan Rasa Nyeri
Perhatikan kata yang diungkapkan untuk menggambarkan
rasa nyeri yang berbeda dari satu pasien ke pasien lainnya
dan tergantung dari pengalaman sebelumnya. Beberapa
kata di bawah ini yang biasanya diungkapkan pasien
berkaitan dengan rasa nyeri, yaitu: aching, stabbing,
tendei; tiring, numb, dull, crampy, throbbing, gnawing,
burning, penetrating, miserable, radiating, deep,
shooting, sharp, exhausting, nagging, unbearable,
squeezing dan pressure.
Faktor Pemberat dan yang Meringankan Nyeri
Apa saja yang dapat memperberat rasa nyeri yang diderita
pasien dan faktor apa yang meringankan nyeri hendaklah
ditanyakan kepada pasien tersebut.
Pengaruh nyeri
Dampak nyeri yang perlu ditanyakan adalah seputar
kualitas hidup atau terhadap hal-ha1 yang lebih spesifik
seperti pengaruhnya terhadap pola tidur, selera makan,
enerji, aktivitas keseharian (activities of the daily living),
hubungan dengan sesama manusia (lebih mudah
tersinggung dan sebagainya) atau bahkan terhadap mood
(sering menangis, marah atau bahkan berupaya bunuh diri),
kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan atau pembicaraan
dan sebagainya.
PENGUKURAN NYERl
Kesulitan dalam mengukur rasa nyeri ini disebabkan oleh
tingkat subyektivitas yang tinggi dan tentunya memberikan
perbedaan secara individual. Di samping itu sebagaimana
dikemukakanpada kajian awal terhadap nyeri di atas, belurn
terdapat metoda yang baku baik klinis maupun
menggunakan alat atau pemeriksaan yang dapat diterapkan
pada semuajenis nyeri. Sebagaisalah satu contoh sulitnya
mengukur nyeri adalah ketidaktepatan apa yang
dikemukakan oleh pasien, misalnya kesulitan pasien
mendapatkan kata yang tepat dalam mendeskripsikanrasa
nyeri, kebingungan, kesulitan mengingat pengalaman, dan
penyangkalan terhadap intensitas nyeri.
Pengukuran nyeri seyogyanya dilakukan seobyektif
mungkin dan dapat menggunakan beberapa metoda
pengukuran dan terbanyak adalah dengan kwesioner serta
obsewasi pola perilaku terkait dengan rasa nyeri. Kategori
pengukuran nyeri beragam sekali namun yang termudah
pain
Mild
Moderate
Severe
possible
pain
Extreme
pain
No
Pain1
No
Pain1
Mild
Moderat
severe
Extreme
pain
Extreme
pain
No change
Extreme
pain
severe
No
Slight pain
Terapi Stimulasi
ENS (Trans Cutaneous Electrical Stimulation)
menggunakan bantal khusus yang. dihubungkan
dengan mesin kecil yang menghantarkan a h a n listrik
lemah ke perrnukaan kulit dari area nyeri .'.,.,. .
Akupuntur
.I
'
REFERENSI
Basbaum A. Anatomy and Physiology of Nociception. In: Kanner R
(ed). Pain Managemen secrets. 9Ih ed. Hanley & Belfus Inc.
Philadelphia, 1997:8- 12
Bellamy N. Musculoskeletal clinical metrology. London: Kluwer
Academic Publisher. 1993: 65-76 dan 117-134.
Beaulieu P, Rice ASC. Applied physiology of nociception. In :
Rowbotham DJ, Macintyre PE : Clinical pain management,
Acute pain. 2003 : 1-16.
Currie SR, Wang JL. Chronic back pain and major depression in
general Canadian population. Pain 2004 ; 107 54-60.
Handono K, Kusworini H. Penatalaksanaan nyeri yang rasional.
Kursus penatalaksanaan nyeri. Jakarta 2004 : 3-8.
IASP Task Force on Taxonomy. Merskey H, Bogduk N. Eds.
Classification o f chronic pain. Seattle: IASP Press. 1994:
209-2 14.
Meliala KRT. L. Terapi rasional nyeri, Tinjauan khusus nyeri
neuropatik. 2004.
Sullivan MD, Turk DC. Psychiatric illness, depression, and
psychogenic pain. In : Bonicas, Management o f pain. 3rd
edition . 2001 : 483-500.
Turk DC, Okifuji A. Pain terms and taxonomi of pain. In : Bonicas,
Management of pain. 3rd edition . 2001 :17-25
ARTRITIS REUMATOID
:[ Nyoman Suarjana
PENDAHULUAN
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang
ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif,
dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik
klasik AR adalah poliartritis simetrik yang terutama
mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain
lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organorgan diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru
dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya
komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal,
keganasan dan adanya komorbiditas. Menegakkan
diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat
menurunkan progresifitas penyakit. Metode terapi yang
dianut saat ini adalah pendekatanpiramid terbalik (reverse
pyramid), yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk
menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat
terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi,
deformitas dan disabilitas. Morbiditas dan mortilitas AR
berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi.
Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan
DMARD biologik, memberi harapan baru dalam
penatalaksanaan penderita AR.
Faktor genetik
Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat
interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap
kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi
penyakit sebesar 60 %. Hubungan gen HLA-DRB 1 dengan
kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun
beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR
sepertidaerah 18q21 dari gen TNFRSRl 1A yang mengkode
aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-KB).Gen
ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor
genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena
aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme
methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor
genetik.gJOPada kembar monosigot mempunyai angka
kesesuaian untuk berkembangnyaAR lebih dari 30% dan
Agen infeksi
Mycoplasma
Parvovirus B19
Retrovirus
Enteric bacteria
Mycobacteria
Epstein-Barr Virus
Bacterial cell walls
Mekanisme patogenik
lnfeksi sinovial langsung,
superantigen
lnfeksi sinovial langsung
lnfeksi sinovial langsung
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Aktifasi makrofag
FAKTOR RlSlKO
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan
terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, ada
riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua,
paparan salisilat dan merokok. Konsurnsi kopi lebih dari
tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated munglun
juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh
dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan
penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR
mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama
kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah
melahirkan.
PATOGENESIS
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi malcrofag
dan fibroblas sinovial setelah adanya faktor pencetus,
berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi
daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel,
yang selanjutnyaterjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah
pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuanbekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan
yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami
inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus
menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang.
(Gambar 1) Berbagai macarn sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.
(Gambar 2 dan 3).
Gambar 1. Destruksi
e-GIII
Mearophngs
~thlpolon
aothlntmn
PffmBtlo"
or rnrumnmm
gnator
lmrnlnr
oomclrx
*metion
and
CytoWnuz.
aotlYBtl0n
FlbroblnI.ts
a~mndrocvtea
Svnovial aelk,
wolnrrntmn
~IOPOSIID~
mwraobn
01 Pdha%slon
rnolaculra
Ae10am3
01 a*towrrrl
Wbolont
mtlgsnDraanlW
Od1
-.
Somt lnlury
-mulOtton
01
RIknmmatow
aalm
L r ~ e n l l l S
Tormetl~n:
dsatruatlon 01 bone. aartIlags; M r o s t s ; - l O l m ~
Peran sel T
Induksi respon sel T pa& artritis reumatoid di awali oleh
interaksi antara reseptor sel T dengan share epitope dari
major histocompatibility complex class ZZ(MHCI1-SE) dan
peptida pada antigen-presenting cell (APC) sinovium atau
sistemik. Molekul tambahan (accessory) yang
diekspresikan oleh APC antara lain ICAM-1 (intracellular adhesion molucle-1) (CD54), OX40L (CD252),
inducible costimulator (ICOS) ligand (CD275), B7-1
(CD80) dan B7-2 (CD86), berpartisipasi &lam aktivasi sel
T melalui ikatan dengan lymphocyte finction-associated
antigen &FA)-1 (CDl la/CD18),OX40 (CD134),
Peran sel B
Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui
secara pasti, meskipun sejumlah peneliti menduga ada
beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B.
Keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui
mekanisme sebagai berikut :
1. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal
kostimulator yang penting untuk clonal expansion dan
h g s i efektor dari sel T CD4+.
2. Sel B dalam membran sinovialAR juga memproduksi
sitokin proinflamasi seperti TNF-adan kemokin.
3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang
memproduksi faktor reumatoid (RF). AR dengan RF
positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit
artikular yang lebih agresif, mempunyai prevalensi
manifestasi ekstraartikular yang lebih tinggi dan angka
y_ang
Effector Phase
-- . .-- -. -- .-- - -Gambar 4. lnteraksi sel Th17 patogenik dalam synovial microenvironmentpada artritis reumatoid
-
--
Awitan (onset)
Kurang lebih 213 penderita AR, awitan terjadi secara
perlahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang
lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang
lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa
minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan
filminant berupa artritis poliartikular, sehingga diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15%
penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian
tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh
kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama
satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai
gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan,
anoreksia dan demam ringan.
Manifestasi artikular
Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri
dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga
peoderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa
sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi
(nyeri,bengkak, kemerahan dan teraba hangat) munglun
ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan
(flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin
tidak dijumpai pada AR yang kronik.
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu
adanya inflamasi pada membran sinovial yang
membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena
adalah persendian tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi
persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena.
Metacarpophalangeal(MCP)
Pergelangan tangan
Proximal interphalangeal (PIP)
Lutut
Metatarsophalangeal (MTP)
Pergelangan kaki (tibiotalar + subtalar)
Bahu
Midfoot (tarsus)
Panggul (Hip)
Siku
Acromioclavicular
Vertebra servikal
Temporomandibular
Sternoclavicular
Manifestasi Ekstraartikular
Walaupun a t i t i s merupakan manifestasi klinis utama,
Bentuk deformitas*
Keterangan
Deviasi ulna
Deformitas kunci piano (pianokey)
Deforrnitas Z-thumb
Arthritis mutilans
Hallux valgus
Sistern organ
Konstitusional
Kulit
Mata
Kardiovaskular
Paru-paru
Hematologi
Gastrointestinal
Neurologi
Ginjal
Metabolik
Manifestasi
Demam, anoreksia, kelelahan (fatigue),
kelemahan, limfadenopati
Nodul rematoid, accelerated
rheumatoid nodulosis, rheumatoid
vasculitis, pyoderma gangrenosum,
interstitial granulomatosus dermatitis
wHh arthritis, palisaded neutrophilic dan
granulomatosis dermatitis, rheumatoid
neutrophilic dermatitis, dan adult-onset
Still disease.
Sjogren syndrome (keratoconjunctivits
sicca), scleritis, episcleritis,
scleromalacia.
Pericarditis, efusi perikardial,
edokarditis, valvulitis.
Pleuritis, efusi pleura, interstitial
fibrosis, nodul reurnatoid pada paru,
Caplan's syndrome (infiltrat nodular
pada paru dengan pneumoconiosis).
Anemia penyakit kronik, trornbositosis,
eosinofilia, Felty syndrome ( AR
dengan neutropenia dan splenomegali).
Sjiigren syndrome (xerostomia).
amyloidosis, vaskulitis.
Entrapment neuropathy,
myelopathylmyositis.
Amyloidosis, renal tubular acidosis,
interstitial nephritis.
Osteoporosis.
Deformitas
Kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon dan
ligamenturn)menyebabkan terjadinya deformitas. Bentukbentuk deformitas yang bisa diternukan pada penderita
AR dirangkum dalam Tabel 4.
KOMPLlKASl
Dokter hams melakukan pemantauan terhadap adanya
komplikasi yang terjadi pada penderita AR. Komplikasi
yang bisa terjadi pada penderita AR dirangkum dalam
Tabel 5 dan Tabel 6.
Komplikasi
Keterangan
Anemia
Berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit; 75% penderita AR mengalami anemia karena
penyakit kronik dan 25% penderita tersebut memberikan respon terhadap terapi besi.
Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan; kejadian limfoma dan leukemia
2 -3 kali lebih sering terjadi pada penderita AR; peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid;
penurunan risiko terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan karena penggunaan OAINS.
113 penderita AR mungkin mengalami efusi perikardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan;
miokarditis bisa terjadi, baik dengan atau tanpa gejala; blok atnoventrikular jarang ditemukan.
Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas, hati-hati
bila melakukan intubasi endotrakeal; mungkin ditemukan hilangnya lordosis servikal dan
berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6, penyempitan celah sendi pada
foto sevikal lateral. Myelopati bisa terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada ekstremitas
atas dan parestesia.
Episkleritis jarang terjadi.
Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena, terhubungnya bursa dengan kulit.
Umumnya merupakan efek dari terapi AR.
Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal; deformitas boutonniere (fleksi PIP dan
hiperekstensi DIP); deformitas swan neck (kebalikan dari deformitas boutonniere); hiperekstensi
dari ibu jari; peningkatan risiko ruptur tendon
Beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain : frozen shoulder, kista popliteal, sindrom
terowongan karpal dan tarsal.
Nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan pembentukan lesi kavitas; Bisa ditemukan
inflamasi pada sendi cricoarytenoid dengan gejala suara serak dan nyeri pada laring; pleuritis
ditemukan pada 20% penderita; fibrosis interstitial bisa ditandai dengan adanya ronki pada
pemeriksaan fisik (selengkapnya lihat Tabel 6).
Ditemukan pada 20 -35% penderita AR, biasanya ditemukan pada permukaan ekstensor
ekstremitas atau daerah penekanan lainnya, tetapi bisa juga ditemukan pada daerah sklera, pita
suara, sakrum atau vertebra.
Bentuk kelainannya antara lain : arteritis distal, perikarditis, neuropati perifer, lesi kutaneus,
artentis organ viscera dan arteritis koroner; terjadi peningkatan risiko pada : penderita perempuan,
titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam DMARD;
berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya infark miokard.
Kanker
Komplikasi kardiak
Nodul reumatoid
Vaskulitis
Pleural disease
Pleural effusions, Pleural fibrosi
lnterstltial lung disease
Usual interstitial pneumonia, Nonspecific interstitial pneumonia, Organizing pneumonia, Lymphocytic interstitial
pneumonia. Diffuse alveolar damage, Acute eosinophilic pneumonia, Apical fibrobullous disease, Amyloid, Rheumatoid
nodules
Pulmonary vascular disease
Pulmonary hypertension, Vasculitis, Diffuse alveolar hemorrhage with capillaritis
Secondary pulmonary complications
Opportunistic infections
Pulmonary tuberculosis, Atypical mycobacterial infections, Nocardiosis, Aspergillosis. Pneumocystis jeroveci
pneumonia, Cytomegalovirus pneumonitis
Drug toxicity
Methotrexate, Gold, D-penicillamin, Sulfasalazin
Pemeriksaan penunjang
C-reactive protein (CRP)'
Laju endap darah (LED)'
Hernoglobinlhematokrit'
Jumlah lekosit'
Jurnlah trombosit'
Fungsi hati*
Faktor reumatoid (RF)'
MRI
Anticyclic citrullinated peptide
antibody (anti-CCP)
Anti-RA33
Antinuclear antibody (ANA)
Konsentrasi komplemen
lrnunoglobulin (lg)
Pemeriksaan cairan sendi
Fungsi ginjal
Urinalisis
(%I
RF titer > 20 Ulrnl
RF titer tinggi (2
50 Ulml)
Anti-CCP
Anti-RA33
55
45
(%)
89
96
("/.)
84
92
41
28
98
90
96
74
DIAGNOSIS BANDING
Ada
39
14
32
13
33
29
50
74
79
- Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 4 atau lebih dari kriteria di atas, kriteria 1 - 4 sudah berlangsung minimal selama 6 minggu
rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga
dekat menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP
atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau antiCCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit,
ada nodul reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya.
Sebanyak 30% penderitaAR dengan manifestasi penyakit
berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun
sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan
penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan
respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan
oleh Lindqvist dkk pada penderita AR yang mulai tahun
1980-an, rnemperlihatkan tidak adanya peningkatan angka
mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah
diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada
penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah
1,6.Tetapi hasil ini rnungkin akan rnenurun setelah
penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.
Durasi
WAS) kaku pagi hari
Durasi kelelahan
Adanya inflamasi sendi aktif pada pemeriksaan fisik
(jumlah nyeri tekan dan bengkak pada sendi)
- Keterbatasanfungsi
Evaluasi secara rutin terhadap aktivitas atau progresivitas
penyakit
Bukti progresivitas penyakit pada pemeriksaan fisik
(keterbatasan gerak, instabilkas, malalignment, danlatau
deformltas)
Penlngkatan LED atau CRP
Perburukan kerusakan radlologls pada eendl yang
terllbat
Parameter laln untuk menilai respon terapi
Physician's global assessment of disease activlty
Patlent's global assessment of dlsease act/v/ty
Penllaian status fungsional atau kualltas hldup
dengan menggunakan kuesioner standar
oenvakit
Remisi
Rendah
Sedang
Tinaai
< 2,6
-< 3,2
> 3,2 sld 5 5,l
> 5.1.
-< 2,3
< 2,7
> 2,7 sld < 4,l
> 4.1
Keterangan :
TERAPI FARMAKOLOGIK
Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi
obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk
mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau
intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin
digunakan seperti acetaminophen,opiat, diproqualone dan
lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik
untuk AR menggunakan pendekatan piramid yaitu :
pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai saat
diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau
penambahan terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan
gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse
pyramid) lebih disukai, yaitu pemberian DMARD sedini
mungkin untuk menghambat perburukan penyakit.
Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat
dari beberapa penelitian yaitu : 1. kerusakan sendi sudah
terjadi sejak awal penyakit; 2. DMARD memberikan
manfaat yang bermakna bila diberikan sedini mungkin; 3.
Manfaat DMARD bertambah bila diberikan secara
kombinasi; 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia
dan terbukti memberikan efek menguntungkan.
DMARD
Mekanisme kerja
Dosis
Waktu
Timbuinya
Efek Sarnping
NON BIOLOGIK
(Konvensional)
2 - 6 bulan
1-2bulan
Hidroksiklorokuin
(Plaquenil),
Klorokuin fosfat
Menghambat: sekresi
sitokin, enzim lisosomal
dan fungsi makrofag
Methotrexate
(MTX)
Inhibitor dihidrofolat
reduktase,
menghambat
kemotaksis, efek antiinflamasi melalui
induksi pelepasan ,
adenosin
7,5- 25 mg p.0, IM
Sulfasalazin
Menghambat : respon
sel B, angiogenesis
1 3 bulan
Azathioprine
(Imuran)
Menghambat sintesis
DNA
50-150 mg p.o.per
2 - 3 bulan
Leflunomide
(Arava)
Menghambat sintesis
pirimidin
4 -12minggu
Cyclosporine
Menghambat sintesis
IL-2 dan sitokin sel T
lainnya
2 - 4 bulan
per hari
250 mg p.0. per hari
hari
per hari
DMARD
Mekanlsme kerja
Dosls
Waktu
timbulnya
respons
~ f e sarnping
k
D-Penicillamine
(Cuprimine)
Menghambat fungsi
set T helper dan
angiogenesis
3 - 6 bulan
Garamemas
thiomalate
(Myochrysine)
Menghambat :
makrofag,
angiogenesis dan
protein kinase C
Menghambat
makrofag dan fungsi
PMN
25-50mg IM
setiap 2 - 4 minggu
6 - 8 minggu
4 - 6 bulan
Antibodi TNF
(human)
40 mg SC setiap 2
minggu
-4
Anakinra
(Kineret)
Antagonis reseptor
IL-1
100 - 150 mg SC
per hari
12-24
minggu
Etanercept
(Enbrel)
Reseptor TNF
terlarut (soluble)
lnfliximab
(Remicade)
~ntibodi
TNF
(chimeric)
Rituximab
(Rituxan. Mabthera)
Antibodi anti-set B
(CD20)
25 mg SC
2 kali per minggu
atau 50 mg SC per
minggu
3 mglkgBB IV (infus
pelan) pada minggu
ke- 0,2 dan 6
kemudian setiap 8
minggu
1000 mg setiap 2
minggu x 2 dosis
Abatacept
(Orencia)
10 mg/kgBB (500,
750 atau 1000 mg)
setiap 4 minggu
6 bulan'
Belimumab
Menghambat
aktivitas sel T
(costimulation
blockers)
humanized
monoclonal antibody
terhadap Blymphocyte
stimulator (BlyS)
1 mg, 4 mg atau 10
mg/kgBB IV pada
hari 0, 14,28
kemudian setiap 28
hari selama 24
minggu
24 minggu'
Tocilizumab
(Actemra TM)
Anti-IL-6 receptor
MAb
24 minggu'
Ocrelizumab
4 minggu*
lmatinib
(Gleevec)
Denosumab
Inhibitor protein
tirosin kinase
human monoclonal
lgG2 antibody
terhadap RANKL
human
anti-TNF-a antibody
4 mg atau 8
mg/kgBB infus
setiap 4 minggu
10 mg, 50 mg, 200
mg. 500 mg, dan
1000 mg infus pada
hari 1 dan 15
400 mg per hari
3 bulan*
60 mg atau 180mg
SC setiap 6 bulan
selama 1 tahun
1 mg; 5 mg atau 20
mg/kgBB infus
tunggal
300 mg, 700 mg
atau 1000 mg infus
pada hari 0 dan 14
6 bulan'
4 minggu*
24 minggu*
Auranofin
(Ridaura)
BlOLOGlK
Adalimumab
(Humira)
Certolizumab Pegol
(CDP870)
Ofatumumab (HuMaxCD20)
human monoclonal
anti-CDPO lgG1
antibody
Beberapa hari
bulan
Beberapa hari
- 12 minggu
Beberapa hari
- 4 bulan
3 bulan'
DMARD
Atacicept
Golimumab
Fontolizumab
Mekanisrne kerja
Dosis
Waktu
Timbulnya
respons
Efek sarnping
3 bulan'
16 minggu*
humanised anti-intefferon
gamma antibody
Keterangan :
'Waktu terpendek yang ditetapkan oleh peneliti untuk mengevaluasi respon terapi
IM = intramuscular; IV = intravenous; p.0. = per oral; SC = subcutan; EBV = Epstein-Barr Virus; MMPs = matrix
rnetalloproteinases; TB = tuberkulosis; PMN = polymorphonuclear; MAb =
Terapi Kornbinasi
Banyak penelitian memperlihatkan bahwa efikasi
terapi kombinasi lebih superior dibandingkan
dengan terapi tunggal, tanpa memperbesar toksisitas.
Regimen terapi kombinasi yang efektif dan aman digunakan
untuk penderita AR aktif yang tidak terkontrol adalah salah
satu dari kombinasi berikut : MTX + hidroksiklorokuin,
MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine, MTX +
sulfasalazine+ prednisolone, MTX + leflunomide, MTX +
infliximab,MTX + etanercept, MTX + adalimumab, MTX
+ anakinra, atau MTX +rituximab.
Penderita AR yang memberikan respons suboptimal
dengan terapi MTX saja, akan memberikan respons yang
lebih baik bila diberikan regimen terapi kombinasi.
Terapi kombinasi juga efektif dalam menghambat
progresivitas penyakit dan kemsakan radiografi, temtama
untuk regimen terapi kombinasi MTX + inhibitor TNF, tetapi
harganya jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan
regimen kombinasi MTX + hidroksiklorokuin atau
sulfasalazine.
REKOMENDASI KLlNlK
Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan oleh dokter dalam
penanganan penderita AR dalam praktek klinik sehari-hari
tampak dalam Tabel 14.
Jenis DMARD
Non biologik
Hidroksiklorokuinl
Klorokuinfosfat
Leflunomide
Methotrexate
Minocycline
Sulfasalazine
Blologlk
Semua aaen bioloaik
*CBC = complete blood counts
Perneriksaan
Kreatlnln
Hepatitis
serum
B dan C
CBC*
Transarnlnase
hat1
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Oftalrnologik
X
X
X
Rekomendasi klinik
Tingkat bukti
(evidence rating)
Penderita AR harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala dan
menghambat perburukan penyakit.
Penderita dengan inflamasi sendi persisten ( lebih dari 6 - 8 minggu) yang sudah
mendapat terapi analgetik atau OAlNS harus dirujuk ke insitusi rujukan reumatologi, lebih
baik sebelum 12 minggu.
Melakukan edukasi satu per satu untuk penderita AR setelah diagnosis ditegakkan.
OAlNS untuk meredakan gejala harus diberikan dengan dosis rendah dan harus
diturunkan setelah DMARD mencapai respons yang baik.
8
Gastroproteksi harus diberikan pada penderita usia > 65 tahun atau ada riwayat ulkus
peptikum.
lnjeksi kortikosteroid intra-artikular bermanfaat, tetapi tidak diberikan lebih dari 3 kali dalam
setahun.
Kortikosteroid dosis rendah efektif mengurangi gejala tetapi mempunyai risiko tinggi
terjadinya toksisitas, oleh kerena itu berikan dosis paling rendah dengan periode
pemberian yang pendek.
Kombinasi terapi lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal.
8
Efikasi terapi harus dimonitor, perubahan hemoglobin, LED dan CRP merupakan indikator
respon terapi dan penggunaan instrumen kriteria respon dari European League Against
Rheumatismbermanfaat untuk menilai perburukan penyakit.
Pendekatan secara multidisiplin bermanfaat, paling tidak dalam jangka pendek, oleh
karena itu penderita harus bisa mendapatkan perawatan profesional secara luas, yang
meliputi dokter pelayanan primer, ahli reumatologi, perawat khusus, ahli terapi fisik, ahli
occupational, ahli gizi, ahli perawatan kaki (podiatrists), ahli farmasi dan pekerja sosial.
Latihan bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas aerobik dan kekuatan otot tanpa
memperburuk aktivitas penyakit atau derajat nyeri.
-
--
REFERENSI
Buch M,Emery P. The aetiology and pathogenesis of rhaumatoid
arthritis. Hospital Farm 2002;9:5-10.
Cush JJ, Kavanaugh A, Stein CM. Rheumatology Diagnosis &
Therappeutics. 2Ih ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2005. p.323-333.
Smith HR. Rheumatoid arthritis. (dikutip tanggal 21 Oktober 2008).
Dapat diperoleh di URL : http://www.emedicine.com/med/
TOICZO24.HTM.
Rindfleisch JA, Muller D. Diagnosis and Management of
Rheumatoid arthritis. Am Fam Physician 2005;72:1037-47.
Silman AJ, Pearson JE. Epidemiology and genetics of rheumatoid
arhtritis. Arthritis Res 2002; 4 (suppl 3):S265-S272.
Mijiyawa M. Epidemiology and semiology of rheumatoid arthritis
in Third World countries. Rev Rhum Engl Ed 1995;62(2):121-6.
Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD.The epidemiology of rheumatoid arthritis in Indonesia. Br J Rheumatol
1993;32(7):537-40.
Albx Z . Perkembangan Pengobatan Penyakit Rematik. Kajian khusus
terhadap farmakoterapi artritis reumatoid masa kini dan
perkembangannya di masa depan. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007. 54 hal. Pidato Pengukuhan Guru
Besar.
Bowes J, Barton A. Recent advances in the genetics of RA susceptibility. Rheumatology 2008 47(4):399-402.
Turesson C, Matteson EL. Genetics of rheumatoid arthritis. Mayo
Clin Proc 2006;81(1):94-101.
Nelson JL, Hughes KA, Smith AG, Nisperos BB, Branchaud AM,
Hansen JA. Maternal-Fetal Disparity in HLA Class I1 Alloantigens and the Pregnancy-Induced Amelioration of Rheumatoid
Arthritis. N Engl J Med 1993;329:466-71.
guidelines/fulltext/48/index.html.
Avouac J, Gossec L, Dougados M. Diagnostic and predictive value of
anti-CCP (cyclic citrullinated protein) antibodies in rheumatoid arthritis: a systematic literature review. Ann Rheum Dis
2006; doi: 10.1 136/ard.2006.05 1391.
Nishimura K, Sugiyama D, Kogata Y, Tsuji G, Nakazawa T, Kawano
S, et al. Meta-analysis: Diagnostic Accuracy o f Anti-Cyclic
Citrullinated Peptide Antibody and Rheumatoid Factor for
Rheumatoid Arthritis. Ann Intern Med. 2007;146:797-808.
Liao KP, Batra KL, Chibnik L, Schur PH, Costenbader KH.
Anti-CCP revised criteria for the classification of rheumatoid
arthritis. Ann Rheutn Dis 2008: doi: 10.1 136lard. 2007.082339.
Amen FC, Edworthy SM, Bloch DA, McShane DJ, Fries JF, Cooper
NS, et al. The American Rheumatism Association 1987 revised
Cohen SB, Dore RK,Lane NE, Ory PA, Pete* CG, Sharp JT, et al.
Denosumab treatment effects on structural damage, bone mineral density, and bone turnover in rheumatoid arthritis: a twelvemonth, multicenter, randomized, double-blind, placebo-controlled, phase I1 clinical trial. Arthritis Rheum 2008;58(5):1299309.
Yazici Y. B-Cell-Targeted Therapies: Reports From the ACR 2007
Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : http://www. medscape. com /viewarticle/
567522.
Fox RI. Update on Novel and Emerging Therapies for RA: Report
From the ACR 2007 Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober
2008). Dapat diperoleh di URL : http://www.medscape.com/
viewarticle/567521.
Smolen J. The investigational compound tocilizumab (ActemraTM)
significantly reduces disease activity in patients with moderate
to severe rheumatoid arthritis (RA) who have an inadequate
response to methotrexate, researchers announced at the European League Against Rheumatism (EULAR) 2007 (dikutip
tanggal 17 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://
www.medicalnewstoday.com/ healthnews. php?newsid=74370.
Kelly J. Progress in RA with rituximab, belimumab, and 2 novel
approaches (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh
di URL : http://www.medscape.com/ viewarticle/538181.
EULAR 2007. Preliminary Results Show Potential Of Ofatumumab
In Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008).
Dapat diperoleh di URL : http://www.medicalnewstoday.com/
articled7443 7.php.
Novartis Pharma AG. A Study of Imatinib 400 Mg Once Daily in
Combination With Methotrexate in the Treatment of Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : htip://clinicaltrials.gov/ct2/show/
NCT00154336? term=imatinib & rank=30.
Tak PP. Thurlings RM, Rossier C, Nestorov I, Dimic A, Mircetic V,
et al. Atacicept in patients with rheumatoid arthritis: Results of
a multicenter, phase Ib, double-blind, placebo-controlled, doseescalating, single- and repeated-dose study. Arthritis Rheum
2008;58(1):6 1-72.
Centocor, Inc. A Study of the Safety and Efficacy of Golimumab
(CNTO 148) in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis
Previously Treated With Biologic Anti-TNFa Agent(s) (dikutip
tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://
clinicaltrials.gov/ct/show/~C~O0299546.
Kay J, Matteson EL, Dasgupta B, Nash P, Durez P, Hall S, et al.
~olimlimabin patients with active rheumatoid arthritis despite
treatment with methotrexate: A randomized, double-blind, placebo-cqntrdled, dose-ranging study. Arthritis Rheum
2008;58:964-75.
BioPharma, 'Inc. A Phase 2 Study to Evaluate the Safety, Tolerability, and Activity of Fontolizumab in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : http://clinicaltrials.gov/ct2/show/record/
~~~00281294:
Kremer JM, Westhovens R, Leon M, Giorgio ED, Alten R, Steinfeld
S, et al. Treatment of Rheumatoid Arthritis by Selective Inhibition of T-cell Activation with Fusion Protein CTLA4Ig. N
Engl J Med 2003;349:1907-15.
Weinblatt ME, Kremer JM, Bankhurst AD, Bulpitt KJ, Fleischmann
RM, Fox RI, et al. A Trial of etanercept, a recombinant tumor
necrosis factor receptor : Fc fusion protein, in patients with
rheumatoid arthritis receiving methotrexate. N Engl J Med
1999;340:253-9.
SINDROM SJOGREN
Yuliasih
PENDAHULUAN
Sindrom Sjogren (SS) adalah penyakit sistemik autoimun
yang mengenai kelenjar eksokrin dengan perkembangan
penyakit yang larnbat. Gejala kliniknya tidak terbatas hanya
pada gangguan sekresi kelenjar tetapi disertai pula dengan
gejala sistemik atau ekstraglanduler.Gejala awal biasanya
ditandai dengan mulut dan mata kering yang kadangkadang disertai pembesaran kelenjar parotis. Secara
histopatologi kelenjar eksokrin penuh dengan infiltrasi
limfosit yang mengganti epitel yang berfungsi untuk
sekresi kelenjar (exocrinopathy).Patogenesisnyadikaitkan
dengan adanya autoantibodi yaitu anti-Ro (SS-A) clan antiLa (SS-B).
Berdasarkan penyakit yang mendasari SS
dikelompokkan menjadi 2, primer bila tidak terkait dengan
penyakit autoimun yang lain, dan sekunder bila ada
penyakit autoimun yang mendasari misalnya SLE, RA,
skleroderma. SS pertama kali dilaporkan oleh Hadden,
Leber dan Mikulicz tahun 1800, kemudian Sjogren di
Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa SS terkait dengan
poliartritis dan penyakit sistemik lainnya. Pada tahun 1960
baru ditemukan adanya autoantibodi anti-Ro dan antiLa. Sinonim SS ini antara lain Mickulicz's d i s e ~ s e ,
Gougerot h syndrome, Sicca syndrome, dan autoimune
expcrinopathy
Artritis reumatoid
Lupus eritematosus sistemik
Skleroderma
Mixed connective tissue disease
Sirosis biliar primer
Miositis
Vaskulitis
Tiroiditis
Hepatitis kronik aktif
Mixed cryoglobulinemia
Mata
Menurunnya produksi air mata dapat merusak epitel
kornea maupun konjungtwa, bila kondisi ini berlanjut, maka
kornea maupun konjungtiva mendapat iritasi kronis, iritasi
kronik pada epitel kornea dan konjungtiva memberikan
gambaranklinik keratokonjungtivitisSicca.Gejalanyayaitu
pasien mengeluh rasa panas seperti terbakar, seolah-olah
di dalam kelopak mata seperti ada pasir atau benda asing,
gatal, mata merah dan fotosensitif. Pada pemeriksaan
didapatkan pelebaran pembuluh darah di daerah
konjungtiva, perikornea dan pembesaran kelenjar
lakrimalis.
GAMBARAN KLlNlK
Gambaran klinik sindrom Sjogren sangat luas, berupa
suatu eksokrinopati yang disertai gejala sistemik atau
ekstraglandular. Xerostomia dan xerotmkea merupakan
gambaran eksokrinopati pada mulut. Gambaran
eksokrinopati pada mata berupa mata kering atau
keratoatokunjungtivitis sicca akibat mata kering.
Manifestasi ekstraglandular dapat mengenai paruparu, ginjal, pembuluh darah maupun otot. Gejala
sistemik yang dijumpai pada SS, sama seperti penyakit
autoimun lainnya dapat berupa kelelahan demam, nyeri
otot, artritis. Poliartritis non erosif merupakan bentuk
artritis yang khas pada SS. Raynaud"~phenomena
merupakan gangguan vaskular yang sering ditemukan,
biasanya tanpa disertai teleektasis ataupun digital
ulserasi. Manifestasi ekstraglandular lainya tergantung
pada penyakit sistemik yang terkait misalnya AR, LES,
dan sklerosis sistemik. Meskipun sindrom Sjogren
tergolong penyakit autoimun yang jinak, sindrom ini
bisa berkembang menjadi suatu malignansi. Hal ini
diduga adanya transformasi sel B ke arah keganasan
Orofaringeal
Keluhan xerostomia meupakan eksokrinopatipada kelenjar
ludah yang menimbukan keluhan mulut kering karena
menurunnya produksi kelenjar saliva Akibat mulut kering
ini seringkalipasien mengeluh kesulitan menelan makanan
a. Kutaneus vaskulitis
Sjogren sindrom yang terkait dengan
pembuluh darah kecil
Kryoglobulinemia vaskulitis
Vaskulitis urtikaria
Vaskulitis leukoklastik
Sindrom Sjogren yang terkait dengan
pembuluh darah sedang
b. Manifestasi kutaneus yang lain
Fotosensitive cutaneus lesions
Erythema nodosum
Livedoretikularis
Trombositopenic purpura
Lichen planus
Vitiligo
Nodular vaskulitis
Kutaneus amyloidosis
Granuloma anuler
Granulomatus panikulitis
vaskulitis
vaskulitis
Artritis
Lima puluh persen didapatkan gejala artritis pada sindrom
Sjogren. Artritisnya mungkin muncul'lebih awal sebelum
gejala sindom sicca muncul. Artritis pada sindom Sjogren
tidak erosif. Atralgia, kaku sendi, sinovitis, poliartritis
kronis gejala lain yang munglun dijumpai. Pada beberapa
kasus ditemukan dengan Jaccoud b arthropathy
Manifestasi Hematologi
Gambaran hematologi tidak spe'sifik seperti pada penyakit
autoimun lainnya. Pada pemeriksaan rutin laboratorium
hanya didapatkan anemia ringan. Leukopenia hanya
didapatkan lo%, peningkatan LED tanpa disertai
peningkatan CRP khas pada SS primer,hipergammaglobulin
ditemukan hampir pada 80% .
DIAGNOSIS
Tes Schimer's
Tes ini digunakanuntuk evaluasi produksi kelenjar air mata.
Tes dilakukan dengan menggunakan kertas filer dengan
panjang 30 mrn, caranya kertas ditaruh kelopak mata bagian
bawah dibiarkan selama 5 menit. Setelah 5 menit kemudian
dilihat seberapa panjang pembasahan air mata pada kertas
filter, bila pembasahan kurang dari 5 mm dalam 5 menit
maka tes positif.
Diagnosis Banding
amiloidosis
diabetes melitus
sarkoidosis
infeksi virus
trauma
psikogenik
'
Sindrom mata kering bisa disebabkan oleh amyloidosis, inflamasi kronik blefaritis, konjungtivitis, pemfigoid,
sindrom Steven Johnson, hipovitaminosis A. Sedangkan
pembesaran kelenjar parotis ditemukan juga pada
akromegali, gonadal hipofungsi, penyakit metabolik,
pankreatitis kronik, diabetes melitus, sirosis hepatis, infeksi
virus
PENGELOLAAN
Prinsipnya hanyalah simtomatik menggantikan fungsi
kelenjar eksokrin dengan memberikan lubrikasi. Lubrikasi
pada mata kering dengan tetes mata buatan membantu
mengurangi gejala akibat sindrom mata kering, efek samping
pemberian air mata buatan adalah pandangan kabur .Untuk
mengurangi efek samping sumbatan drainage air mata
pengganti air mata bisa diberi lensa kontak, tetapi
sayangnya risiko infeksi sangat besar. Tetes mata yang
mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena
merangsang infeksi
Bila gaga1 dengan terapi tersebut dapat diberikan
sekretagogum yaitu stimulat muskarinik reseptor. Ada 2
jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu
golongan pilokaepin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg
4 kali sehari selam 12 minggu sedangkan cevimelin 30-15
mg diberikan 3 kali sehari
Pengobatan' xerostomia sangat sulit sampai saat ini
belum ada obat yang dapat untuk mengatasinya. Pada
umumnya terapi hanya ditujukan pada perawatan gigi,
kebersihan mulut, merangsang kelenjar liur, memberi sintetik
air liur. Sintetik yang ada di pasaran yaitu oral balance7,
karena tidak bertahan lama sangat baik kalau diberikan
malam hari. Cara lain untuk mengurangi xerostamia adalah
merangsang sekresi kelenjar liur dengan memberikan gula.
Nasihat lainnya adalah hindari makanan kering, merokok,
obat-obat kolinergik.
REFERENSI
Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 14 '*
edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia
2 0 0 5 . ~1736-73.
.
Brun JG, Madland TM, Gjesdal CB, Bertelsen LT. Sjogren syndrome
in an out-patient clinic:classification of patients according to
the preliminary European criteria and the proposed modified
Europian criteria.Rheumato1. 2002:4 1 ;301-4.
Bossini N, savoldi S, Franceschini F, Mombelloni S, Baronio M,
Cavazzana I, et al. Clinical'and morphological features of
kidney involvement in primary Sjogren syndrome.
Nephrol.Dial.Transplant.200 1; 16:2328-36.
Christoper LC, Elizabeth B, Roman GC. Treatment of myelopathy
in Sjogren syndrome with a combination of prednisone and
cyclophosphamide. Arch. Neurol. 2001;58:815-9.
Casals MR, Tzioufas AG,Font J. Primary Sjogren syndrome: new
clinical and therapeutic concepts. Ann. Rheum. Dis 2005:64:34754.
Kassan SS, Moutsopulos HM. Clinical manifestation and early diagnosis of Sjogren syndrome. Arch. Int. Med. 2004;164:1275-84
Kovacs L, Paprika D, Takaes R, Kardos A,Tamas T, Lengyel C, et
al. Cardiovascular autonomic dysfunction in primary Sjorgren
Syndrome.
Moutsopulos HM, Tzioufas AG. Sjogren syndrome. In :
Rheumatology.Klippel JH, Dieppe K PA,eds. 1" Edition
.Hongkong: Mosby -Year Book Europe Limited; Hongkong.
1994.p. 6.27.7.1-12
Moore PM, Richardson B. Neurology o f the vasculitides and
connective tissue diseases. J Neuro1.Neorosurg. Psychiatry.1998:65;10-22
Papiris SA, Maniati M, Constantopoulos SH, Roussos C, Moutsopulos
HM, Skopouli FN. Lung involment in primary Sjogren Syndrome is mainly related to the small airway disease.
Ann.Rheum.Dis. 1999 :58;61-4.
Price EJ, Venables PJW. Dry eyes and mouth syndrome- a subgroup
of patients presenting with sicca symptoms. Rheumatol.
2002;41: 416-25.
PENDAHULUAN
KLASlFlKASl
ARJ (AS)
~
Umur saat
onset
Lama sakit
Tanda artritis
Subtipe
setelah 6
bulan
4 6 tahun
<I6 tahun
> 6 bulan
Bengkak, efusi, nyeri
tekan ROM terbatas,
hangat pada perabaan
Pausiartikular 5 4
Poliartikular 2 5
Artritis sistemik
> 3 bulan
Pausiartrikular 5 4
Poliartikular 2 5
IgM RF +
IgM RF
Artritis Sistemik
Artrltis psorlatik
Entesitis
Lain-lain
Penyaklt
Krlterla
Eksklusl
Diskripsi
Artritis sistemik
Menyingkirkan infeksi
keganasan
Riwa~atkeluarga + ~soriatik,
spondilitis ankilosing (HLA 827).
Faktor rematoid + laki-laki HLA
B27+, munculnya artritis setelah
Btahun menderita artritis
slstemlk
Oligoartritis
Poliartritis RF
negatif
pada 6 bulan
Poliartritis
RF positif
artritis psoriatik
Entesitis terkait
artritis
ART.
Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan
sebukan sel radang kronik yang didominasi sel mononuklir,
hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast, dan
makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada
sinovium. Mediator-mediator tersebut antara lain IL-2,
IL-6, TNF- a, GM-CSF. Jelaslah bahwa sangat besar peran
sel T dalam meni~libulkankeradangan di sinovium.
Bagaimana sel T menjadi autoreaktif itu yang masih menjadi
pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel
T autoreaktif tak lepas dari peran HLA, ha1 ini dibuktikan
dengan dilakukan penghambatan gen TCR (TCRVI14+)
yang bertanggung jawab klonasi sel T. HLA yang
bertanggung jawab pada manifestasi klinik antara lain
HLADRB1*0801,DQA 1*0401,clan DQB 1*0402.
Sitokinjuga memegang peran dalam patogenesisARJ.
Berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, ada 2 tipe sel T. Sel
T tipe I lebih banyak melepaskan sitokin IL-2, IFNy dan
TNF P, sedangkan pada tipe 2 sitokin yang dilepaskan
IL-4, IL-5, IL-6, IL-1 0, dan IL-13. Secara klinis sitokin ini
mempengamhi keseimbangan respons selular dan humoral.
Pada artritis rematoid dewasa diketahui bahwa sel T tipe I
yang lebih dominan, temyata demikianjuga yang ditemukan
pada ARJ, kecuali padapausiarbikular,sel T tip2 yang dominan.
Kemokm diduga ikut berperan dalam patogenesis ARJ.
Kemokin merupakan faktor penentu migrasi subtipe sel T.
Beberapa reseptor kemokin bertangung jawab terhadap
klonasi sel T, yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCR8 yang
bertanggung jawab proliferasi sel T tipe 2, CXCR3 dan
CCR5 biasanya dominan pada ekspresi sel T tipe 1,
Acute diseases
Initiator
*
lnhibitoiy
lmmunelinflammatory
response
Chronic diseases
lnhibito$'y'
loop
Damagelapoptosis
Irnrnunelinflammatory
Autoamplifying
loop
OligoartritislPausi-Artrikular
Insidennya 35% dari ARJ, ditandai dengan artritisnya pada
1-4 sendi, tanpa gejala sistemik. Sebanyak 40-70%
mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak
perempuan dengan umur 1-3 tahun dan sering dengan
komplikasi uveitis kronik, unilateral atau bilateral. Dari
beberapa kasus merupakan kelompok artritis psoriatik atau
ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang adalah
lutut, pergelangan kaki, siku, danjari-jari tangan. Pada lakilaki lebih sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA
~ 2 positif.
7
Dikelompokkan 2 yaitu persisten dan eksten. Kelompok
persisten ditandai dengan artritis yang tidak bertambah
meskipun telah lebih 6 bulan, sedangkan kelompok eksten
artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka
mortalitasnya rendah dengan komplikasi yang tersering
kemakan artikular maupun periartrikular dan uveitis kronis.
Poliartritis
Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang
perempuan, gambaran artritisnya mirip artritis rematoid
dewasa, lebih banyak menyerang perempuan, umur sekitar
12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan,
RF bisa positif maupun negatif.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan darah
lengkap, urin lengkap, faal hati, faal ginjal, tes ANA, dan
faktor rematoid. Pada ARJ didapatkan kadar CRP
~RTRITIS
KRONISJUVENIL)
Diagnosis Banding
Infeksi: bakteri, virus, tuberkulosis
Post-infeksi streptokokus
Trauma
Kelainan hematologi: leukemia, hemofilia
Penyakit kolagen
PROGNOSIS
Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang
sangat banyak tergantung umur saat onset penyakit serta
tipe dari ARJ pada tipe sistemik artritis dengan demam
tinggi,' membutuhkan steroid dosis tinggi, dan
trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek, hanya
25% tipe poliartrikular remisi dalam 5 tahun dan 213 pasien
ARJ mengalami erosi sendi.
Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk:
Tipe sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama
Poliartritis
Perempuan
2523
PENGELOLAAN
Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi
nyeri. Banyak ha1 yang harus diperhatikan selain mengatasi
nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi
kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan
sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah
farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan,
nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien ARJ
pertumbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi
zat gizi yang kurang atau menurunnya nafsu makan akibat
sakit atau efek samping obat.
Mengontrol Nyeri
Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah.
Masalahnya sangat kompleks, karena pada urnumnya anakanakbelum dapat mengutarakan nyeri. Obat anti-inflamasi
non-steroid (OAINS) merupakan.antinyeri pada umumnya
yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak. Selain
untuk mengurangi nyeri OAINS juga dapat digunakan
mengontrol kaku sendi. Efek analgesik sangat cepat. Efek
samping yang sering dijumpai antara lain nyeri perut,
anoreksia, gangguan fungsi hati, ginjal, dan gastrointestinal. Nehtis interstitial merupakan efek samping pada ginjal
yang sering dijumpai, sehingga dianjurkan pemeriksaan
urinalisis setiap 3 bulan. Adanya peningkatan SGOT dan
SGPT maka dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara
teratur setiap 3-6 bulan sekali, dan para orang tua hams
tahu dan waspada terhadap efek-efek samping ini. Macam
OAINS yang sering digunakan pada anak-anak:
Aspirin 75-90 mgkg/hari. Dosis yang lebih tinggi dapat
ditoleransi pasien yang lebih dewasa. Pemberiannya 4
kali sehari setelah makan. Peningkatan kadar SGOT,
SGPT dapat terjadi pada beberapa anak.
Tolmetin 25 mgkg/hari, dibagi dalam 4 dosis.
Naproksen 15 mgkghari dibagi dalam 2 dosis.
Ibuprofen 35 mgkghari dibagi dalam 4 dosis.
Diklofenak 2-3 mgkghari terbagi dalam 2 d~sis.
Glukokortikoid
Baik untuk mengontrol gejala sistemik artritis,
perikarditis,dan demam. Dosis yang dipakai 0,5-2 mg/kgl
hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang
berat. Injeksi intra-artrikular bermanfaat artritis yang tidak
terlalu banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan
uveitis anterior biasanya diberikan topikal. Bila berat &pat
diberikan per oral dengan dosis 30 mg/kg/hari selama 3
hari berturut-turut. Pada kasus tertentu membutuhkan
imunosupresan.
Fisioterapi
Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya
antara lain untuk mengontrol nyeri, dengan cara
pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi, dan
TENS. Hidroterapi pemanasan dengan air pada suhu 96OF
sangat membantu mengurangi nyeri. Selain dapat
membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-
Pengelolaan Nutrisi
Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal
karena kerusakan pusat pertumbuhan tulang maupun
umun karena asupan nutrisi yang kurang dan menurunnya
produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan
inflamasi laonis mempunyai risiko untuk terjadi malnutrisi
oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan
menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat
berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan
juga mempengaruhi penuninan nafsu makan. Obat-obatan
yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS,
klorokuin. Penyebab lain penuninan nafsu makan adalah
adanya keradangan pada temporo mandibula.
Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, ha1
ini disebabkan karena kurangnya aktivitas, intake makanan
yang berlebihan atau akibat efek samping kortikosteroid.
Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin,
zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet.
Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka
diperlukan vitamin D. Dosis untuk anak umur 1- 10 tahun
adalah vitamin D 400IU dan kalsium 400 mg sedangkan
kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.
REFERENSI
Aggraval A, Bhadwaj A, Alam S,Misra R. Evidence for activation of
the alternate complement pathway in patients with juvenile
rheumatoid arthriti~.Rheumato2003;39:
189-92.
Carter BD, Kronenenberger WG, Edwards JF, Marshal GS, Schikler
KN, Causey DL. Psychological symptoms in chronic fatigue
and juvenile rheumatoid arthritis.Pediatric.1999;103:975-9.
Gottlieb BS, Keenan GF, Lu Theresa,Illowite NT. Discontinuation
o f methotrexate in juvenilew rheumatoid arthritis. Pediatric. 1997; 100;994-7.
Giannini EH, Ruperto N, Ravelli A, Lovell DJ, Felson DT,Martini
A. Prelimanary definition of improvement in juvenile arthritis.
Haskes PJ, Friedland 0,Uziel Y. New treatments for juvenile
idiopathic arthritis. IMAJ 2002;4:39-43.
ilowite NT. Current treatment of juvenile rheumatoid arthritis.
Pediatric.2002; 109-1 5.
Jarvis JN, Dozmorov I, Jiang K, Frank MB, Szodoray P, Alex P,et al.
Novel approaches to gene expression analysis o f active
polyarticular juvenile rheumatoid arthritis. Arthritis Res Ther.
2004;6: R15-R32
Kietz DA, Pepmueller PH, Moore TL. Therapeutic use of etanercept
in polyarticuler couse juvenile idiopathic arthritis over atwo
year period. Ann. Rheum.Dis. 2002; 61 : 171-3.
ARTRITISREUMATOIDJUVENIL (ARTIUTIS~DIOPATIK
JUVENWARTRITISKRONIS JUVENIL)
2525
SPONDILITIS ANKILOSA
Jeffrey A.Ongkowijaya
PENDAHULUAN
Spondilitis ankilosa merupakan prototipe dari
spondiloatropati seronegatif, yang terdiri atas artritis
psoriatik, artritis reaktif dan artritis enteropati . Berasal
dari bahasa Yunani ankylos yang berarti bengkok dan
spondylos yang berarti vertebra. Spondilitis ankilosa
merupakan inflamasi kronik yang melibatkan sendi-sendi
aksial dan perifer, entesitisdan bisa mempunyai manifestasi
ekstraarthlar.
GAMBARAN KLlNlS
PEMERIKSAAN FlSlK
Kelainan dini pada spondilitis ankilosa adalah nyeri pada
sendi sakroiliaka d m nyeri akibat spasme otot paraspinal
vertebra lumbalis. Tes SLR (straight leg-raising test)
yang sering dipakai untuk mendeteksi iritasi nervus
sciatic biasanya negatif. Untuk mendeteksi adanya
sakroilitis dapat dilakukan beberapa tes sepertipelvic rock
sign, kompresi lateral dari pelvis dan tes Gaenslen.
Gangguan pada vertebra biasanya timbul seiring
dengan perjalanan penyakit. Manifestasinya bempa
berkurangnya kurvatura lordosis dan restriksi pergerakan
pada semua bidang dari vertebra terutama lumbal.
Tes Schober berguna untuk mendeteksi keterbatasan
gerakan fleksi dari vertebra lumbal. Tes ini dilakukan
dengan memberi tanda pada prosesus spinosus
vertebra lumbal V (setinggi spina iliaka posterosuperior)
lalu beri tanda lagi 10 cm diatasnya. Pasien diminta
untuk membungkuk semaksimal mungkin tanpa
membengkokkan kaki. Pada orang normal jarak antara
kedua titik akan mencapai 15 cm. Gerakan fleksi ke lateral
juga berkurang dan rotasi spinal bisa merangsang nyeri.
Kelaingn yang mengenai vertebra torakalis akan
PEMERIKSAANPENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai gambaranyang
khas untuk pasien spondilitis ankilosa. HLA-B27 akan
didapatkan pada lebih dari 90% pasien dan akan mencapai
100%jika disertai dengan uveitis atau gangguan jantung.
Laju endap darah (LED) dan C-reactiveprotein (CRP) akan
meningkat tapi tidak berhubungan dengan aktivitas
penyakit. Bisa didapatkan anemia normokrom normositer
ringan dan trombositosis ringan. Kadar IgA serum juga
meningkat tapi belum diketahui hubungan dengan
spondilitis ankilosa.
Tes fungsi paru biasanya baru menunjukkan kelainan
jika vertebra torakalis sudah terlibat dimana akan terjadi
penurunan kapasitas vital paru dan peningkatan volume
residual pam.
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk mendeteksi
abnormalitas yang terjadi. Kelainan yang paling
mendukung adalah ditemukannya inflamasi pada
sendi sakroiliaka. Gambaran yang tampak adalah erosi
pada sisi iliaka temtama pada sepertiga bawah sendi
sakroiliaka. Seiring dengan perjalanan penyakit akan
terjadi pseudowidening dari sendi dan selanjutnya
akan mengalami fusi. Teknik yang lebih superior
adalah MRI dan CT yang bisa mendeteksi kelainan
lebih dini. Keunggulan MRI adalah bisa memvisualisasi
Grade
0
1
2
3
4
PenAaian
Normal
Mencurigakan
Sklerosis, sedikit erosi
Erosi berat, pelebaran celah sendi, sebagian ankilosis
Ankilosis kom
Kriterla
1.
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang hams dipikirkan sebagai diagnosis banding adalah spondylosis lumbalis, strain lumbal,
penyakit lain dalam kelompok spondiloartropati
seronegatif, diffuse idiopathic skeletal hyperostosis
(DISHIpenyakit Forestier) dan osteitis condensan iliaka.
~engawasan
Status Penyakit Spondilitis Ankilosa
Untuk mengawasi perkembangan spondilitis ankilosa,
beberapa parameter yang dapat dipakai adalah Bath AS
Disease Activity Index (BASDAI), Bath AS Punctional
Index (BASFI), Bath AS Patient Global Score (BAS-G),
Bath AS Metrology Index (BASMI), visual analog scale
(VAS) untuk menilai nyeri, pemeriksaan radiologis k t u k
menil'aikemsakan strukturaldan manifestasi ekstra artikular.
DIAGNOSIS
Seperti penyakit lain dengan etiologi yang belum
sepenuhnya jelas, diagnosis spondilitis ankilosa
bergantung pada kombinasi gambaran klinis, radiologis
dan hasil laboratorium. Kriteria klasifikasi untuk
spondilitis ankilosa yang banyak dipakai saat ini adalah
kriteria New York modifikasi 1984 (Tabel 3). Meskipun
demikian, keberatan utama pada kriteria ini adalah kurang
sensitif untuk mendeteksi pasien dengan penyakit yang
masih dini.
Penatalgksanaan
Modalitas penata1aksr)naanadalah program fisioterapi dan
modifrkasi gaya hidup, terapi farmakologis untuk nyeri dan
kekakuan serta deteksi dan penanganan yang tepat untuk
komplikasi artikular dan ekstra artikular. Sangat penting
bagi pasien untuk mendapatkan edukasi tentang perjalanan
penyakit dan berbagai modalitas penatalaksanaan yang
dianjurkan. Menghentikan merokok sangat dianjurkan pada
pasien spondilitis ankilosa.
Program fisioterapi bertujuan untuk mempertahankan
postur tubuh ysng tepat u ~ t u kberbagai aktivitas. Pasien
hams tidur pada kasur yang agak keras dengan bantal
tipis. Berjalan dan berenang merupakan cara yang cukup
baik untuk mempertahankan mobilitas sendi. Tujuannya
adalah untuk mempertahankan mobilitas spinal atau
setidaknya mencegah deformitas dan disabilitas spinal.
Terapi farrnakologis biasanya membutuhkan OAINS
untuk mengatasi nyeri dan kekakuan dengan
mempertimbangkan.risiko efek samping yang mungkin
terjadi. Sulfasalazip dapat mengatasi keluhan spinal
terutama pada tahap dini. Metotreksat, siklofosfamid dan
Steroid eyedrops
If symptoms persisx r 3 days
refer to opthalrnologin (or
if symptoms are severe or
recurrent)
icrjcctbn
Psorluk
1. Trea skin lesions with
local therapy
2. Conslder sulfuahrjm if
mild anhropathy
or
methotrerate if additional
-re
ythrltis
Treat as separate entity
~rea&n+gd
Cardiac dbsease
Usually mild. No specific
rreatment needed
Irritable hlp
Mildlmoderate,withou
severc radiographic change:
intra-anicular steroid
If sewre-rota1 hip
reflacement
Dactytldr
fnflltrate with steroid
Arth-thy
Imra-artlcutar steroid
ptWpks
1. Education
2 Exercise = keep fit
3. Stop smoking
4. Specik physiotherapy and hydrotherapy
5. NSAlD for rpinal d l s e a ~
6. ? Sulfardazinefor periphval joint disease
7. Self-help group ifavailable (e.6 NASS)
A c h l W tendlntds
lntratesional steroid
with Feat c a n to avoid
ruprure
PROGNOSIS
Perjalanan spondilitis ankilosa sangat bervariasi. ~ e b e r a ~ a
pasien mengalami progresi yang berat meski dengan terapi.
Sebagian mengalami ankilosis secara gradual dengan
DAFTAR PUSTAKA
Alvares I, Lopez de Castro. HLA-B27 and immunogenetics of
spndyloarthropathies. Curr Opin Rheumatol 2000; 12: 248
253
Aufdermaur M. Pathogenesis of square bodies in ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 1989;48:628-631
Barkham N, Kong KO, Tennant A, Fraser A, Hensor A et al. The
unmet need for anti-tumour necrosis factor (anti-TNF) therapy
in ankylosing spondy litis. Rheumatology 2005;44: 1277-1281
Brandt I, Listing I, Haibel H, Sorensen H et al. Long-term efficacy
and safety of etanercept after readministration in patients with
active ankylosing spondylitis. Rheumatology 2005;44:342-348
Brown MA. Breakthrough in genetics studies of ankylosing spondylitis. Rheumatology 2008;47;132-137
Ebringer A, Rashid T ,Wilson C, Ptaszynska T,Fielder M. Ankylosing
Spondylitis, HLA-B27 and Klebsiella - An Overview: Proposal
for early diagnosis and Treatment. Cum Rheumatol Rev 2006,
2: 55-68
Gadsby K, Deighton C. Characteristics and treatment responses of
.
'
ARTRITIS PSORIATIK
Zuljasrl Albar
GEJALA KLlNlS
Variasi gambaran klinis artritis psoariatika sangat luas. Dari
segi diagnosis dan pengobatan, penderita dapat dibagi
dalam tiga kelompok :
1. Monoartritis atau oligoartritis asimetris :30 % - 50 %.
2 Poliarhitis, sering simetris sehingga rnirip dengan artritis
reumatoid : 30 % - 50 %.
3. Terutama mengenai sendi aksial (spondilitis, sakroiliitis
dan atau artritis sendi panggul dan bahu yang
menyerupai spondilitis ankilosa) dengan atau tanpa
kelainan sendi perifer :5 %.
Terkenanya sendi DIP (prevalensi 25 %), artritis mutilans
(5 %), sakroiliitis (35 %)
dan spondilitis (30 %) dapat ditemukan pada setiap
kelompok ini. Perubahan gambaran klinis dari satu bentuk
ke bentuk lain tidak jarang tejadi sehingga menghasilkan
gambaran klinis yang heterogen.
Pada sekitar 70 % penderita, psoriasis timbul bertahuntahun sebelum artritis, atau timbul bersamaan dengan
artritis (+ 15 %). Walaupun onset artritis biasanya sarnarsamar, pada 113 kasus onsetnya akut. Jarang terdapat gejala
konstitusional. Pada sebagian kecil penderita dewasa
(+I5 %) - lebih sering pada anak-anak artritis timbul
sebelum terdapat perubahan pada kulit atau kuku (artritis
sine psoriasis). Kebanyakan penderita mempunyai riwayat
psoriasis atau gambaran klinis tertentu pada anggota
keluarga yang lain, sehingga dapat membantu diagnosis.
Kelainan sendi
Kelainan Kulit
Lesi psoriatik yang khas berupa plak kemerahan yang
berbatas tegas disertai sisik seperti perak yang tampak
jelas. Ditemukan pada permukaan ekstensor siku, lutut,
kulit kepala, telinga dan daerah presakral.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Ada beberapa kelainan radiologis yang khas untuk
penyakit ini. Perubahan tulang pada artritis psoriatik
merupakan gabungan antara erosi - yang membedakan
dengan spondilitis ankilosa - dan produksi tulang dengan
distribusi yang spesifik - yang membedakan dengan AR.
Gambaran yang khas ialah :
1. Pembengkakan jaringan lunak yang fusifom dengan
distribusi bilateral asimetris, mineralisasi yang normal;
2 Hilangnya celah sendi dengan atau tanpa ankilosis
sendi IP tangan dan kaki
3. Destruksi sendi IP dengan pelebaran celah sendi;
4. Proliferasi tulang pada pangkal falang distal dan
resorpsi ujung falang distal yang bersangkutan;
5. Erosi sendi dengan pengecilan falang proksimal
disertai proliferasi tulang falang distal (pencil-in-cup
deformity)
6. Flu& periostitis.
Kelainan radiologis ditemukan pada (dimulai dari yang
paling sering) tangan, kaki,
sendi sakroiliaka dan tulang belakang. Sakroiliitis
mungkin unilateral atau sirnetris pada fase awal, tetapi
dapat berlanjut menjadi fusi bilateral.
DIAGNOSIS BAN.DING
Artritis psoriatik perlu dibedakan terutama dari
spondiloartropati lain dan AR. Kelainan tulang belakang
tidak seberat pada spondilitis ankilosa dan timbul pada
usia yang lebih tua (> 30 tahun). Perbedaan lain ialah
kelainan psoriatik pada kulit atau kuku, riwayat psoriasis
PROGNOSIS
PENGOBATAN
Pembicaraan dalam ha1 ini dititlk beratkan pada pengobatan
kelainanlkeluhan sendi. Prinsip dasar penganganan
penderita AR atau spondilitis juga berlaku untuk artritis
psoriatik. Pengobatan bergantung kepada jenis penyakit
sendi (aksial atau perifer) dan beratnya kelainan sendi dan
kulit.
Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) efektif pada
sebagian besar penderita. Pada penderita yang responnya
terhadap OAINS tidak adekwat serta penderita dengan
penyakit poliartikuler,progresif dan erosif,
DMARD hendaknya diberikan sedini mungkin.
Metotreksat efektifbaik pada kelainan kulit maupun artritis
perifer pada penderita oligoartritis dan monoartritis.
Diberikan 7.5 mg - 25 mglminggu, disesuaikan dengan
respon dan toleransi penderita.
Sulfasalazin 2-3 g/hari bermanfaat pada artritis aksial dan
artritis perifer, tetapi tidak bermanfaat untuk kelainan kulit.
Kortikosteroid boleh digunakan dalam dosis rendah baik
dalam bentuk kombinasi dengan DMARD maupun sebagai
bridge therapy sambil menunggu DMARD berkerja.
Pengobatan kombinasi ini dipertimbangkan pada penderita
dengan penyakit yang agresif dan destruktif, yang tidak
memberikan respon adekwat terhadap 1 macam obat,
Flare yang hanya mengenai 1 atau 2 sendi dapat diatasi
secara baik dengan suntikan kortikosteroid lokal. Hams
REACTIVE ARTHRITIS
Rudi Hidayat
PENDAHULUAN
PATOGENESIS
gambaran :
1. Inflamasi akut arthritis, sakit pinggang inflamasi, atau
entesitis
2. Bukti adanya infeksi 4-8 minggu sebelumnya
Bukti adanya infeksi diperoleh dan hail tes laboratoriurn
seperti kultur dari feses, urin, atau swab urogenital, maupun
ditemukannya antibodi terhadap patogen. Pemeriksaan
laboratoriurnyang lain menunjukkan proses inflamasi yaitu
, peningkatan laju endap darah (LED) dan C-reactive
protein (CRP). Diagnosis semakin h a t dengan adanya
suseptibilitasgenetik HLA-B27, dan ha1 ini ditemukanpada
30-60% kasus. Jika dilakukan pemeriksaan analisa cairan
sinovial didapatkan gambaran inflamasi ringan sampaiberat,
sedangkan pada biopsi sinovialjuga menunjukkan adanya
reaksi inflamasi. Penunjang radiologis dapat diharapkan
gambaran entesitis atau sakroilitis dari pemeriksaan
ultrasonografi, foto polos, MRI atau CT scan.
Probabilitas penegakan diagnosis ReA dapat
diperkirakan berdasarkan gambaran klinis, radiologis
maupun laboratoris yang ditemukan:
30 - 50%
70 - 80%
>80%
TATA LAKSANA
. .
2537
REACTIVE ARTHRITIS
PROGNOSIS
I'ada umurnnya prognosis baik, dan sebagian besar sembuh
total setelah bebernpa bulan. Hanya beberapa kasus
rnenjadi kronik dan menetap lebih lama, atau terjadi
rekurensi dengan pencetus infeksi yang baru atau faktor
stress non-spesifik. Pada beberapa studi juga didapatkan
sekitar 20-70% kasus, pada follow-up selanjutnya
diketahui mengalami masalah di persendian termasuk
osteoartritis.
REFERENSI
lnman RD. Reactive and enteropathic arthritis. In : Klippel JH,
Stone JH, Croford LJ, White PH, editors. Primer o n the
rheumatic diseases. 13Ih ed. New York: Arthritis Foundation;
2008. p. 217-23.
Toivanen A. Reactive arthritis: clinical features and treatment.
In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblat ME, Weisman
MH, editors. Rheumatology. 3* ed. Edinburg 2003: Elsevier;
2003, p. 1233-40.
David TYY, Peng TF. Reiter's syndrome, undifferentiated
spondyloarthropathy, and reactive arthritis. In: Harris ED, Budd
RC, Firestein GS, Genovese MC. Sergent JS, Ruddy S, editors.
Kelley's textbook of rheumatology. 7" ed. Philadelphia: Elsevier;
2005. p. 1142-54.
El-Gabalawy HS, Lipsky PE. Reactive arthritis: etiology and
pathogenesis. In: In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS,
Weinblat ME, Weisman MH, editors. Rheumatology. 3'* ed.
Edinburg 2003: Elsevier; 2003. p. 1225-32.
Burmester GR, Dorner T, Sieper J. Spondyloarthritis and chronic
idiopathic arthropathies. In: Rose NR, M a ~ k a y , ~ ~ ! ~ e d i t o r s .
The autoimmune Diseases. 4Ih ed. Amsterdam: E'lsevler; 2006.
p. 437-41.
Sieper J, Fendler C, Laitho S, Sorensen H, Gripenberg LC, Hiepe F,
et al. No benefit of long-term ciprofloxacin treatment in
patients with reactive arthritis and undifferentiated
oligoarthritis: a three-month, multicenter, double-blind, randomized, placebo-controlled study. Arthritis Rheum
1999;42(7): 1386-96.
Laaslla K, Laasonen L, Repo ML. Antibiotic treatment and long
term prognosis of reactlve arthrltls. Ann Rheum Dis
2003;62:655-8.
OSTEOARTRITIS
Joewono Soeroso, Harry Isbagio, Handono Kalim, Rawan Broto, Riardi Pramudiyo
PENDAHULUAN
Osteoae(~(fis
(OA) merupakan penyakit sendi degeneratif
yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi.
Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering
terkena OA. Prevalensi OA lutut radiologis di
Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria,
dan 12.7% pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh
nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada
pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang
lebih berat nyeri dapat -dirasakanterus menerus sehingga
sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi
yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik-progresif,OA
mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan
1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita
cacat karena OA. Pada abad mendatang tantangan
terhadap dampak OA akan lebih besar karena semakin
banyaknya populasi yang berumur tua.
Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalnya
dengan pengendalian faktor-faktor risiko, latihan,
intervensi fisioterapi, dan terapi farmakologis, pada OA
fase lanjut sering diperlukan pembedahan. Untuk
mernbantu mengurangi keluhan nyeri pada OA, biasanya
digunakan analgetika atau obat anti-inflamasi non steroid
(OAMS). Karena keluhan nyeri pa& OA yang kronik dan
progresif, penggunaan OAINS biasanya berlangsung lama,
sehingga tidak jarang menimbulkan masalah. Di Amerika,
penggunaan OAINS menelurkan sekitar 100.000 pasien
tukak lambung dengan 10.000-15.000 kematian setiap
tahun. Atas dasar masalah-masalah tersebut di atas, para
ahli berusaha mencari terapi farmakologis yang dapat
memperlambat progresifitas kerusakan kartilago sendi,
bahkan kalau mungkin mencegah timbulnya kerusakan
kartilago. Beberapa obat telah dan sedang dilakukan uji
pada binatang maupun uji klinis pada manusia. Obat-obat
ETIOPATOGENESIS OSTEOARTRITIS
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi dua
yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer
disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak
diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit
sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA
sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan
endokrin, inflamasi, metabolik, perturnbuhan, herediter,
jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama.
Osteoartritis primer lebih sering ditemukan dibanding OA
sekunder (Woodhead, 1989;Sunarto, 1990;Rahardjo, 1994).
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari
suatu proses ketuaan yang tidak dapat dihindari. Para pakar
yang meneliti penyakit ini sekarang berpendapat bahwa
OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis
dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur
proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas
diketahui (Woodhead, 1989). Jejas mekanis dan kimiawi
pada sinovia sendi yang terjadi multifaktorial antara lain
karena faktor umur, sees mekanis atau penggunaan sendi
yang berlebihan, defek anatomik, obesitas, genetik,
humoral dan faktor kebudayaan (Moskowitz, 1990).Jejas
mekanis dan kimiawi ini diduga merupakan faktor penting
yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan
produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi
yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan
kondrosit dan nyeri (Ghosh, 1990: Pelletier, 1990).
Osteoartritisditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang
berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari
sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit sebagai
kompensasi perbaikan (repair) (Brandt, 1993).Osteoartritis
' Enzymes
Nitric oxide
Genetic
Chondroitin
+ Chondroitin
Chondroitin
IGF-I = insulin like gmwth fector
TGF-p transforming gmwth fector
cNOS
(NOS-I)
Lokasi
Stimuli
Lokalisasi
kromosom
Lokalisasi
enzim
Neuron
susunan
syaraf pusat
dan perifer,
platelet, sel b,
pankreas, sel
epitel
NMDA,
insulin,
trombin
Cnos
(NOS-Ill)
(iNOS atau
NOS-11)
Endotel,
neuron, miosit
jantung
Makrofag,
endotel,
kondrosit,
hepatosit,
sinoviosit, set
otot polos
Asetilkolin,
ADP, trombin,
shear stress,
Endotoksin,
Interferon g,
IL-I, TNF a
12 (rnanusia)
VEGF
7 (manusia)
Sitosol
Kaveolae
17 (manusia).
Il(tikus)
Sitosol
Pro-inflamasi
Vasodilatasi dan hiperpermeabilitas
Hypotensi dan kolaps vaskular pada sepsis
Efek sitotoksik
Aktivasi cyclo-oxygenase
Bereaksi dengan 0 2 membentuk peroksinitrit yang
toksik
lnhibisi sintesis NO pada artritis eksperimental
Stimulasi produksi TNFa pada sinoviosit
Kelainan Pertumbuhan
Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha (misalnya
penyakit Perthes dan dislokasi kongenital paha) telah
dikaitkan dengan timbulnya OA paha pada usia muda.
Mekanisme inijuga diduga berperan pa& lebih banyaknya
OA paha pada laki-laki dan ras tertentu.
Faktor-faktor Lain
Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat
meningkatkan risiko timbulnya OA. Hal ini mungkin
timbul karena tulang yang lebih padat (kern) talc membantu
mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang
rawan sendi. Akibatnya tulang rawan sendi menjadi
lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan
pada lebih tingginya OA pada orang gemuk dan pelari
(yang umumnya mempunyai tulang yang lebih padat) dan
kaitan negatif antara osteoporosis dan OA.
Merokok dilaporkan menjadi faktor yang melindungi
untuk timbulnya OA, meskipun mekanismenya belum
jelas.
Faktor-faktor untuk Timbulnya Keluhan
Bagaimana timbul rasa nyeri pada OA sampai sekarang
masih belum jelas. Demikian juga faktor-faktor apa
yang membedakan OA radiografik saja (asimtomatik)dan
OA simtomatik masih belum diketahui. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa wanita clan orang yang
gemuk cenderung lebih sering mempunyai keluhan
daripada orang-orang dengan perubahan yang lebih
ringan. Faktor-faktor lain yang diduga meningkatkan
timbulnya keluhan ialah hipertensi, merokok, kulit putih
dan psikologis yang tak baik.
Gangguan
Cedera
Ketidaksfabllan
Kelainan
metabolik
Ketuaan.
faktor-faktor intrinsik.
ekstrinsik
lama.
Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhankeluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang
secara perlahan-lahan.
Nyeri Sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama yang seringkali
membawa pasien ke dokter (meskipun mungkin sebelumnya sendi sudah kaku dan berubah bentuknya).
Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit
berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu
kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih
dibanding gerakan yang lain. Nyeri pada OA juga dapat
berupa penjalaran atau akibat radikulopati, misalnya pada
OA semikal dan lumbal. OA lumbal yang menimbulkan
stenosis spinal mungkin menimbulkan keluhan
nyeri di betis, yang biasa disebut dengan claudicatio
intermitten.
Hambatan Gerakan Sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan
pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.
Keluhanlketldakmarnpuan:
rlngadudak ada
Dekwrnpensata
Keluhan/keUdakrnarnpuan:
I(
Osteoflt
Osteoflt
Metabolsme
Kondrcslt
Jawaban Slnovlel
Reaksl kapsul
I1
Kaku Pagl
Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul
setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil
dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun
tidur.
Krepltasl
Rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada
sendi yang sakit.
PEMERIKSAAN FlSlS
Harnbatan Gerak
Perubahan ini seringkali sudah ada mekipun pada OA yang
inasih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat
dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya
bisa dogoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan
gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun
eksentris (salah satu arah gerakan saja).
Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut.
Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu
yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang
memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit,
krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini
mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang
sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif di
manipulasi.
Pernbengkakan Sendi yang Seringkali Asirnetris
Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi
pada sendi yang biasanya tak banyak (< 100 cc). Sebab
lain ialah karena adanya osteofit, yang dapat mengubah
permukaan sendi.
Tanda-tanda Peradangan
Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan,
gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna
kemerahan) mungkin dijumpai pada OA karena adanya
sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tak menonjol dan
timbul belakangan, seringkali dijumpai di lutut,
pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan
kaki.
Perubahan Bentuk (deformitas) Sendiyang permanen
Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang
lama, perubahan permukaan sendi, berbagai kecacatan dan
gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan
sendi.
PEMERIKSAANDlAGNOSTlK
Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis
dan radiografis.
Radiografis Sendi yang Terkena
Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang
terkena osteoartritis sudah cukup memberikan garnbaran
diagnostik yang lebih canggih.
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA
ialah :
Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris
(lebih berat pada bagian yang menanggung beban).
Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral.
Kista tulang
Osteofit pada pinggir sendi
Perubahan struktur anatomi sendi.
Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi di atas,
secara radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan sampai
berat (kriteria Kellgren dan Lawrence). Harus diingat bahwa
pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih
normal.
Pemeriksaan penginderaan dan radiografi sendi lain.
Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan
magnetik mungkin diperlukan pada beberapa
keadaan tertentu. Bila osteoartritis pada pasien
dicurigai berkaitan dengan penyakit metabolik atau
genetik seperti alkaptonuria, oochronosis, displasia
epifisis, hiperparatiroidisme, penyakit Paget atau
hemokromatosis (terutama pemeriksaan radiografi pada
tengkorak dan tulang belakang).
Radiografi sendi lain perlu dipertimbangkanjuga pada
pasien yang mempunyai keluhan banyak sendi
(osteoartritis generalisata).
Pasien-pasien yang dicurigai mempunyai penyakitpenyakit yang meskipun jarang tetapi berat
(osteonekrosis, neuropati Charcot, pigmented
sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih mendalam.
Untuk diagnosis pasti penyakit-penyakit tersebut
seringkali diperlukan pemeriksaan lain yang lebih
canggih seperti sidikan tulang, penginderaan dengan
resonansi magnetic (MRI), artroskopi dan artrografi.
Pemeriksaan lebih lanjut (khususnya MRI) dan
mielografi mungkinjuga diperlukan pada pasien dengan
----
-~
.,
.'
i,,.;:
Marker
Cartilage
Aggrecan
Core Protein epitopes
Core Protein epitopes
(cleavage site specificneoepitopes)
Keratan Sulfate epitopes
Chondroitin sulfate ratio
(846, 383, 7D4, etc.)
Chondroitin sulfate ratio 65145
Small proteoglicans
Cartilage matrix proteins
Cartilage oligometric matrix protein
Cartilage collagens
Type II collagen C-propeptide
Type II collagen a chain fragments
Matrix metalloproteinases and
inhibitors
Meniscus
Cartilage oligometric matrix protein
Small proteoglicans
Synovium
Hyaluronan
Matrix metalloproteinases and
inhibitors
Stromelvsin (MMP-3)
Interstitial collagenase (MMP-1)
Tissue inhibitors of metalloproteinases
Type Ill collagen N-propeptide
Bone
Bone sialoprotein
Osteocalcin
3-hidroxypyridinium crosslinks
Proses
Marker OA
pada serum
POTENSI PENGGUNAANMARKER
Kebutuhan pemakaian marker berbeda tergantung pada
kegunaannya yaitu untuk uji diagnostik, uji prognostik
atau uji evaluatif.
Uji diagnostik biasanya lebib diarahkan pada
kemampuan untuk nembedakan antara individu yang
PENGELOLAAN
Pengelolaan OA berdasarkan atas distribusinya (sendi
mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang
terkena. Pengelolaannya terdiri dari 3 ha1
Terapi non-farmakologis :
- Edukasi atau penerangan;
- Terapi fisik dan rehabilitasi;
- Penurunan berat badan.
Terapi farmakologis :
- Analgesik oral non-opiat;
- Analgesik topikal;
- OAINS (obat anti inflamasi non steroid);
- Chondroprotective;
- Steroid intra-artikuler
Terapi Bedah :
- Malaligment, deformitas lutut Valgus-Varus dsb;
- Arthroscopic debridement dan joint lavage;
- Osteotomi;
- Amoplasti sendi total.
TERAPI NON-FARMAKOLOGIS
Penerangan
Maksud dari penerangan adalah agar pasien mengetahui
sedikit seluk-beluk tentang penyakitnya, bagaimana
menjaganya agar penyakitnya tidak bertambah parah
serta persendiannya tetap dapat dipakai.
TERAPI BEDAH
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak
berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk
melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang
mengganggu aktivitas sehari-hari.
REFERENSI
Adnan HM. Diagnosis arthritis rheumatoid dan perbandingannya
arthritis-artritis lain. Kongres nasional I, Ikatan Reumatologi
Indonesia, Semarang tgl. 28,29,30 Juli 1983, hal. 43-57.
Altman R, Asch E, Bloch D. et al. Development of criteria for the
classifications of osteoarthritis. Classification of osteoarthritis
of the knee. Arthritis. Rheum. 1986;29 : 1039-44.
Bennet JC. Osteoarthritis. Controlling pain and stiffness; avoiding
degenerative changes; pinpointing low back pain. Modern
Medicine Nov 1981; 58-74.
Bland JH. Osteoarthritis. Pathology and clinical patern, in : Text
Boox of Rheumatology. Vol 11, Philadelphia, WB Saunders Coy,
1981 : 1471-90.
Bonomo I. Osteoarthritis. The management. In : Rheumatology,
1982; 7 : 64-9.
Brandt kd. Pathogenesis of Osteoarthritis. Text Boox of
Rheumatology. Vol 11, Philadelphia, WB Saunders Coy, 1981 :
1457-67.
Brandt KD. Management of osteoarthritis. In : Textboox of
rheumatology. Eds : Kelley WN, Harris DE, Ruddy S, Sledge CB.
Philadelphia : WB Saunders Company, 1997 : 1394-1403.
Clancy RM, Amin A, Abramson S. The role of nitric oxide in
inflammation and immunity. Arthritis Rheum. 1998; 41 :114 151.
Clancy RM, Rediske J, Nijher N, Abrarnson SB. Activation of stress
activated protein kinase in osteoarthritic cartilage: Evidence
.o~
for nitric oxide dependence at a c r ~ r h e u m a t o 1 o ~ v 1998.
Darmawan J, Wirawan S. Soenarto P, Soeharjo H. Prevalensi penyakit
reumatik di pedesaan di Jawa Tengah. Simposium Reumatologi.
Eds : Tanwir JM, Pramudiyo R, Tohamuslim A. Bandung :
Universitas Padjadjaran 1987 : 20-36.
Fife RS 1. A short history of Osteoarthritis. In : Moskowitz RW,
Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ. Eds. Osteoarthritis
diagnosis and medical /surgical management. 2ed ed. WB Saunders
Company, Philadelphia, Pennsylvania 19106, USA, pp: 11-14, 1992.
'
",
PENYEBAB HlPERURlSEMlA
Tlpe
1. Primer
Kelainan molekular yang belum jelas:
(99% dari gout primer)
- Underexcretion
(80-90% dari gout primer)
- Overproduction
(10-20% dari gout primer)
Kelainan ensim spesifik :
( < I% dari gout primer)
- Peningkatan aktivitas varian dari
enzim PRPP synthetase,
- Kekurangan 'sebagian' dari
enzim HPRT.
2. Sekunder
Peningkatan biosintesis de novo
- Kekurangan menyeluruh enzim
HPRT
Kelainan Metabolik
Keturunan
Belum jelas
Poligenik
Belum jelas
Poligenik
overproduction AU ,
peningkatan PP-ribosa-P
Overproduction AU, peningkatan
aktivitas biosintesis de novo karena
peningkatanjumlah PRPP ,pada
sindrom Kelley-Seegmiller
OverproductionAU, peningkatan
biosintesis de novo, pada sindrom
Lesch-Nyhan
Overproduction dan underexcretion
AU, pada glycogen storage disease
tipe I (Von Gierke)
Overproduction dan underexcretionAU
X-linked
Bukan keturunan
Autosomal recessive
Autosomal recessive
Tidak diketahui.
Keterangan
ATP : adenosine triphosphate; HPRT:
phoribosylpyrophosphatasesynthetase.
: enzim
Asidosis laktat
underexcretionH Hiperurisemia
1.
&IMSI~
mor~phosphafeG1P :glume I- phosphate. GBP: glucare 6
phospheleF6P: hudw 6 phosphate, IMPlnoslnemono phosphate
gl~nslomgedlseeseUpe l (van Glerke) kamnepenurunan ens1rrGE-R
Ill : glycogenslwege diseese tp Ill karena gmgwan debrandiing enzyme.
tipe V ksmna kekurangan enslm
V :glymgsnstoregedlsaase
myophosphwilsse. VII :giycogenslor6gedseese Upe VII karena kekurangan
PEMERIKSAANPENUNJANGLlNTUK MENENTllKAN
PENYEBABHlPERURlSEMlA
Secara umum penyebab hiperurisemia dapat ditentukan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan (Emrnerson, 1983; Kelley &
Wortmann, 1997).
Anamnesis terutama ditujukan untuk mendapatkan
faktor keturunan, dan kelainan atau penyakit lain sebagai
penyebab sekunder hiperurisemia. Apakah ada keluarga
yang menderita hiperurisemia atau gout. Untuk mencari
'
Emmerson,BT, 1983. Hyperuricaemia and Gout in Clinical Practice. Sydney: ADIS Health Science Press.
Gibson T, Watenvorth R, Hatfield P, Robinson G, Bremner K, 1984.
Hyperuricaemia, Gout and Kidney Function in New Zealand
Maori Men. British J of Rheumatology. 23:276-282.
Kamatami N, 1994. Genetic Enzyme Abnormalities and Gout. Asian
Med J. 37(2): 651-656.
Kelley WN, Wortmann RL, 1997. Gout and Hyperuricemia. In
Textbook of Rheumatology, Fifth Edition, Editor WN Kelley, S
Ruddy, ED Harris, CB Sledge, Philadelphia: WB Saunder Comp,
1314-1350.
Klemp P, Stanfield SA, Caste1 B, Robertson MC, 1996. Prevalence
hyperuricaemia and gout in New Zealand. Eight APLAR
Congress of Rheumatology, April 2 126.Melbourne.(Abstrak).
Leumann EP, Wegmann W, 1983. Familial nephropathy with
hyperuricaemia and gout. Nephron. 34(1): 51-57.
Massari PU, Hsu CH, Barnes RV, Fox IH, Gikas PW, Weller JM,
1980. Familial hyperuricemia dan renal disease. Arch Intern
Med. 140(5): 680-684.
Moro F, Ogg CS, Simmond HA, Cameron JS, Chantler C, McBride
MB, Duley JA, Davis PM, 1991. Familial juvenile gouty
nephropathy with renal urate hypoexcretion preceding renal
disease. Clin Nephrol. 35(6): 263-269.
Nuki G, 1998. Gout. Medicine International. l2(42) :54-59.
Puig JG. Miranda ME, Mateos FA, Picazo ML, Jimenez ML, Calvin
TS, Gil AA, 1993. Hereditary nephropathy associated with
hyperuricaemia and gout. Arch Intern Med. 153(3): 357365.(Abstrak).
Reiter L, Brown MA, Edmonds J, 1995. Familial hyperuricaemic
nephropathy. Am J K ~ d n e yDis.25(2):235-241.
Rosenthal AN, 1998. Crystal arthropathies. In: Oxford Textbook
o f Rheumatology, Second Ed.,Voll, Ed. PJ Madison, DA
Isenberg, P Woo, DN Glass. Oxford New York Tokyo; Oxford
University Press, 1555-1581.
Saeki A, Hosoya T. Okabe H, Saji M, Tabe A, Ichida K, Itoh K, Joh
K, Sakai 0 , 1995. New discovered familial juvenile gouty
nephropathy in a Japanese family. Nephron. 70(3): 356-366.
Schumacher Jr HR, 1992. Hiperuricaemia and Gout. In Rheumatology APLAR 1992, Proceding of the 7th APLAR Congress of
Rheumatology, 13th-18th September 1992, Bali, Indonesia,
Edit.: A.R.Nasution, J.Darmawan and Harry Isbagiao, New York,
Edinburgh, London, Merbourne and Tokyo: Churchill
Livingstone, 293-243.
Simmonds HA, 1994. Purine and pyrimidine disorder. In the
Inherited Metabolic Diseases,Second Edition, Edinburg: Churchill
Livingstone, 297-349.
Terkeltaub,R., 2001. Gout, Epidemiology, Pathology and
Pathogenesis. In Primer on the Rheumatic Diseases, Ed. 12,
Edit. J.H.Klippe1, Atlanta Georgia : Arthritis Foundation,
307-312.
WHO, 1992. Rheumatic diseases, Report of a WHO Scientific
Group,Geneva, 55-58.
Wilson JM, Young AB, Kelley WN, 1984. Hypoxathine-Guanine
Phosphoribosyltraferase deficiency. N Engl J Med,309(15):
900-9 10.
Wortmann RL, 2005. Disoder o f purine and pyrimidine
metabolisme.In: Harrison's Principle of Internal Medicine 16
th Ed., Vo1.2, Editor DL Kasper, AS Fauci, D L Longo, EB
Braunwald, AL Hauser, JL Lameson. MacGraw-Hill. New York,
2308-23 13.
PENDAHULUAN
Artritis pirai (gout) adalah penyakit yang sering ditemukan
dan tersebar di seluruh dunia. Artritis pirai merupakan
kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi
kristal 'monosodium urat pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraselular.
Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut,
akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi),
batu asam urat dan yang jarang adalah kegagalan ginjal
(gout nefropati). Gangguan metabolisme yang
mendasarkan gout adalah hipenuisemia yang didefinisikan
sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,O mVdl dan 6,O
mg/dl.
Kadar Sodium
(rng1100 ml)
Total Pasien
diperiksa
<6
6 - 6,9
7 - 7,9
Total
-.~
~
Artritis Gout
Yang Tirnbul
1281
970
162
No
11
27
28
Persen
0,9
23
17,3
2463
86
3.5
PATOLOGI GOUT
Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma
dikelilingi oleh butir kristal monosodiumurat (MSU). Reaksi
inflamasi disekeliling kristal terutama terdiri dari sel
mononuklear dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks
tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul fibrosa biasanya
prominen di sekeliling tofi. Kristal dalam tofi berbentuk
jarum (needle shape) dan seringmembentuk kelompok kecil
secara radier.
Komponen lain yang penting dalam tofi adalah
lipid glikosaminoglikandan plasma protein.' Pada artritis
gout akut cairan sendi juga mengandung krital
monosodium urat monohidrat pada 95% kasus.
ARMS
PIRAI (ARMS
2557
GOUT)
PATOGENESISARTRlTlS GOUT
Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan
perubahan kadar asam urat serum, meninggi ataupun
menurun. Pada kadar urat serum yang stabil, jarang
mendapat serangan. Pengobatan dini dengan alopurinol
yang menurunkan kadar urat serum dapat mempresipitasi
serangan gout akut. Pemakaian alkohol berat oleh pasien
gout dapat menimbulkan fluktuasi konsentrasi urat serum.
P e n m a n urat serum dapat mencetuskan pelepasan
kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi
(crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang
dengan hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan
pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya
tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian
gout, seperti juga pseudogout, dapat timbul pada keadaan
asirnptomatik.Pada penelitian penulis didapat 2 1% pasien
gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperatur, PH dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout akut.
Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih
rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat
menjelaskan mengapa kristal MSU diendapkan pada kedua
tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristal
MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan
juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada
daerah tersebut.
Penelitian Simkin didapatkan kecepatan difusi molekul
urat dari ruang sinovia kedalam plasma hanya setengah
kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam
cairan sendi seperti MTP- 1 menjadi seimbang dengan urat
dalam plasma pada siang hari selanjutnya bila cairan sendi
diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan kadar
urat lokal. Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya
awitan (onset) gout akut pada malam hari pada sendi yang
bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi urat
in vitro melalui pembentukan dari protonatedsolidphases.
Walaupun kelarutan sodium urat bertentangan terhadap
asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi, pada
p e n m a n pH dari 7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran pH
serta kapasitas bufSer pada sendi dengan gout, gaga1untuk
menentukan adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan pH secara akut tidak signifikan mempengaruhi
pembentukan kristal MSU sendi.
Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting
pada artritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan
reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari
kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari
proses inflamasi adalah:
Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab;
AKTIVASI KOMPLEMEN
Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui
jalur klasik dan jalur alternatif. Melalui jalur klasik, terjadi
aktivasi komplemen C 1 tanpa peran imunoglobulin. Pada
kadar MSU meninggi, aktivasi sistem komplemen melalui
jalur alternatifterjadi apabilajalur klasik terhambat.Aktivasi
C l q melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi kolikrein
dan berlanjut dengan mengaktifkan Hageman faktor
(Faktor XII) yang penting dalam reaksi kaskade koagulasi.
Ikatan partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses
opsonisasi. Proses opsonisasi partikel mempunyai
peranan penting agar partikel tersebut mudah dikenal, yang
kemudian difagositosis dan dihancurkan oleh netrofil,
monosit atau makrofog. Aktivasi komplemen C5 (C5a)
menyebabkan peningkatan aktivitas proses kemotaksis sel
neutrofil, vasodilatasi serta pengeluaran sitokin IL-1 dan
TNF. Aktivitas C3a dan C5a menyebabkan pembentukan
membrane attack complex (MAC). Membrane attack
complex merupakan komponen akhir proses aktivasi
komplemen yang berperan dalam ion channel yang
bersifat sitotoksik pada sel patogen maupun sel host. Hal
ini membuktikan bahwa melaluijalur aktivasi komplemen
cascade ", kristal urat menyebabkan proses peradangan
melalui mediator IL- 1 dan TNF serta sel radang neutrofil
dan makrofag.
"
'I
"
'
i
i
Endotel
Pernbuluh da&
IL-8
Neutral protease 1
Low
Molecular
Medjator
mllagenase
Proteoglicanase
(PQE,POR,NO)
1
i
i
'8,
; <;,
t t r c ~ ,
'
'
Kerusakanjantung
---
--
.- >--
~ a 4 b i i r ' l 'Mediator
.
Kirniawi pada Peradangan Akut
Keterangan :
Stimulasi dapat berupa produk bakteri (plisakarida bakteri, eksotoksin), mediator kimiawi yang
iritan antara lain kristal urat, radiasi dan molekul e n d o ~ nseperti kompleks imun dan fiagmen
komplemen. HEV = high endothelial vessel, MSU= mono sodium urate, NO = nitrit oksid, PGE
= prostaglandin E, POR = produk oksigen reaktif, TNF = tumor necrosisfactor, IL-I = interleukin
-1, IL-6 = interleukin - 6, IL-8 = interleukin - 8. (19,20)
STADIUM INTERKRITIKAL
DIAGNOSIS
PENATALAKSANAANARTRlTlS GOUT
PENDAHULUAN
Sampai dengan tahun 1960, penyebab radang sendi akibat
kristal monosodium urat (MSU crystal) dikenal dengan
artritis gout. Namun berkat kemajuan pemeriksaan analisis
cairan sendi, diketahui bahwa selain kristal MSU juga
ditemukan suatu kristal yang tidak sama dengan kristal
MSU menyebabkan suatu penyakit yang mempunyai
gejala-gejala keradangan sendi yang mirip dengan gout
(pseudogout), dikenal sebagai calcium pyrophosphate
dehidrogenase crystal (CPPD) dengan rumus kimia
Ca,P,O, 2H,O. Istilah pseudogout dipakai untuk
menggambarkan serangan radang akut yang mirip gout
dan sering tampak pada pasien-pasien dengan
penimbunan kristal CPPD.
Penimbunan kristal CPPD hanya ditemukan di sekitar
sendi dan ditandai dengan kalsifikasi rawan sendi,
meniskus, sinovium, danjaringan sekitar sendi. I d e n t i f h i
kristal CPPD dalam cairan sinovial atau jaringan sekitar
sendi penting untuk membedakan antara penyakit akibat
deposisi kristal CPPD dengan keradangan sendi akibat
penimbunan kristal dan penyakit degeneratif sendi lainnya.
Istilah chondrocalcinosis didasarkan atas ditemukannya
kristal kalsium pada pemeriksaan radiologis sebagai
radiolusen di sekitar sendi. Penimbunan kristal CPPD tidak
terbatas hanya pada rawan sendi, namun kristal CPPD
dapat tertimbun pada synovial lining, ligamentum-ligamentum, tendon-tendon otot, dan jarang pada jaringan
lunak periartikular seperti tofus pada artritis gout kronik.,
Beberapa kristal yang telah dikenal selain kristal MSU
dan CPPD adalah kelompok apatite like crystal yang
menyebabkan peradangan sendi yaitu basic calcium phosphate (BCP), meliputi carbonate subtituted apatite,
octacalcium phosphate, tricalcium phosphate
(whitlockite), dan dicalcium phosphate dihidrate (brushite) (Lihat tabel 1).Kristal ini merupakan bentuk kristal
PSEUDQGOUT
Pseudogout merupakan sinovitis mikrokristalinyang dipicu
oleh penimbunan kristal CPPD, dan dihubungkan dengan
kalsifikasi hialin serta fibrokartilago. Ditandai dengan
garnbaran radiologis berupa kalsifikasi rawan sendi di mana
sendi lutut dan sendi-sendi besar lainnya merupakan
predileksi untuk terkena radang.
Patogenesis
Penyebab dari pseudogout adalah timbunan kristal CPPD
di dalam struktur sendi. Penyebab penimbunan dari kristal
ini belum diketahui secara pasti. Kristal yang terbentuk
akan memicu proses fagositosis, selanjutnya akan
melepaskan enzim-enzim lisosom yang akan mengakibatkan
keradangan. Pembentukan kristal CPPD pada kartilago
disebabkan peningkatan kadar kalsium atau pirofosfat
inorganik (PPi) dari perubahan di dalam matriks yang
mencetuskan pembentukan kristal atau dari kombinasi
keduanya.
Episode akut serangan artritis pseudogout timbul
karena terjadinya pelepasan kristal CPPD dari deposit-deposit yang terdapat dalam fibrokartilagodan kartilago hialin
yang mekanismenya meliputi: kelarutan parsial dari kristal
atau perubahan matriks kartilago sekitarnya, keduanya
dapat mempercepat pelepasan kristal ke dalam ruang sendi.
Pada pasien dengan kristal CPPD, biasanya tidak terjadi
peningkatan kadar plasma PPi dan peningkatan ekskresi
melalui urin. Konsentrasi PPi cairan sinovial meningkat
pada beberapa sendi pasien dengan kristal CPPD.2
Sumber utama PPi secara biologis adalah berasal dari
pemecahan nukleotida trifosfat atau berhubungan dengan
senyawa seperti uridin difosfoglukose pada kartilago.
Tenembaun dalam penelitiannya mengatakan bahwa
KWSTALARTROPATI S E W N GOUT
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tidak ada yang spesifik, laju endap
darah meninggi selama fase akut, leukosit PMN sedikit
meninggi. Sekitar 20% pasien dengan timbunan kristal
CPPD ditemukan hiperurisemia dan 5% disertai kristal MSU.
Pemeriksaan cairan sinovium dengan menggunakan
mikroskop cahaya biasa dapat terlihat bentuk kristal seperti
kubus (Rhomboid), atau batang pendek bersifat
birefringece positif lemah. Pada keadaan lain dapat
berbentuk jarum seperti kristal MSU. Kedua bentuk kristal
ini bersifat birepingence pada pemeriksaan kristal dengan
menggunakan mikroskop polarisasi cahaya.
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis timbunan kristal CPPD dapat
memperlihatkan gambaran kondrokalsinosis berupa bintikbintik atau garis-garis radioopak yang sering ditemukan
di meniskus fibrokartilago sendi lutut. Dapat pula berupa
kalsifikasi pada sendi radio-ulner distal, simfisis
pubis, glenoid serta anulus fibrous diskus intervertebralis.
Pemeriksaan skrining dapat dilakukan dengan pemeriksaan
foto pada sendi lutut (dalam keadaan tanpa beban) dengan
posisi antero-posterior (AP), foto pelvis posisi AP untuk
melihat sekitar simfisis pubis dan panggul, dan posisi
postero-anterior dari pergelangan tangan.
Diagnosis
Pseudogout dicurigai bila didapatkan adanya serangan
radang sendi yang bersifat rekuren, episodik, ditandai
dengan sinovitis mikrostalin dan didukung dengan
penemuan pemeriksaan radiologis yang memperlihatkan
adanya kondrokalsinosis.
Kategori
Definit
: Harus memenuhi kriteria I atau Ila
Probable : Harus memenuhi kriteria Ila atau Ilb
Possible : Kriteria llla atau lllb seharusnya mengingatkan
klinisi kemungkinan penyakit dasar timbunan
CPPD
Kriteria
I. Ditemukan kristal CPPD secara definitif dari aspirat
cairan sendi, biopsi atau nekroskopi
II. a. ldentifikasi kristal monoklinik atau triklinik yang
memperlihatkan positif lemah, atau kurang jelas
refraksi ganda
(membias) dengan mikroskop biasa berpolarisator.
b. Adanya kalsifikasi fibrokartilago dan kartilago hialin
yang khas pada gambaran radiologis.
Ill. a. Artritis akut, terutama pada lutut atau sendi besar
lainnya, dengan atau tanpa bersamaan hiperurisemia.
b.Artritis kronik terutama pada lutut, pangkal paha,
pergelangan tangan, tangan, siku, sendi bahu dan
sendi metakarpofalangeal,
terutama
bila
disertai eksaserbasi akut; artritis kronik yang
menunjukkan gambaran tersebut membantu untuk
membedakan dengan OA.
- Letak OA yang tidak lazim, seperti sendi
pergelangan tangan, sendi metakarpofalangeal,
atau sendi bahu.
- Gambaran radiologis misalnya penyempitan celah
sendi radiokarpal, atau patelofemoral, terutama
bila terisolasi (patela yang membungkus femur).
- Pembentukan kista subkondral
- Degenerasi progeresif berat: kolaps tulang
subkondral (mikrofraktur), dan fragmentasi
dengan pembentukan badan-badan radiodens
intra artikular.
Pengobatan
Pada serangan akut sendi besar dapat dilakukan
aspirasi sekaligus dilanjutkan dengan pemberian steroid
intraartikular. Tindakan ini di samping bertujuan untuk
mengurangi tekanan intra artikular juga sebagai tindakan
diagnostik untuk pemeriksaan kristal.
Pemberian OAINS berupa fenilbutazon dosis 400-600
mg/hari untuk beberapa hari dapat bermanfaat, indometasin
dosis 75- 150 mghari atau dengan OAINS lainnya, dengan
tetap memperhatikan efek samping OAINS pada saluran
cerna dan pemberian pada usia lanjut.
Kolkisin efektif menghambat pelepasan faktor-faktor
kemotaktik seperti sel-sel neutrofil dan mononuklir dan
juga menghambat ikatan sel neutrofil dengan endotel.
Pemberian kolkisin intravena efektif untuk pengobatan
pseudogout, sedangkan kolkisin oral tidak sebaik pada
pengobatan gout dibanding pseudogout (primer), tapi
untuk pencegahan serangan dapat digunakan kolkisin oral.
REFERENSI
Finckh A, Linthoudt VD, Duvoisin B, Bovay P,Gerster JC.The
cervical spine in calcium pyrophosphate dihydrate deposition
disease. A prevalent case control study. J Rheumatol. 2004;3 1:
545-9
Gatter RA, Schumacher HR . Special studies for crystalline material.
In Joint fluid a n a l y ~ i s . 2 "edition,
~
Philade1phia:Lea &
Fabiger;1991 .p.78-84
Halversos PB., Ryan LM.: Arthritis asociated with calcium
containing crystal. In: Klippel JH.Primer on the rheumatic disease, 12Ih edition, At1anta:Arthritis foundation; 2001.p.298-306
Halverson PB. Basic calcium phosphate (apatite, octacalcium
phosphate, tricalcium phosphate) crystal deposition and calcinosis. In: Arthritis and allied conditions, 15th ed vol. 2, Koopman
WJ, Moreland LW. Philade1phiaL:Lippincot William & Wilkins;
2005.p.2397-416
Pons-Estel BA, Gimeniz C, Sacnon M, et al .Familial osteoarthritis
and Milwaukee shoulder associated with calcium pyrophosphate
and apatite crystal deposition. J Rheumatol. 2000;27 : 471-80
Rosenthal AK, Ryan LM : Calcium pyrophosphate crystal deposition disease, pseudogout, and articular chondrcalcinosis. In
Arthritis and allied conditions, 15th edition, Koopman WJ,
Moreland LW. Philade1phia:Lippincot William & Wilkins;
2005.p.2373-96
Reginato AJ, Reginato AM.Diseases association with deposition of
calcium pyrophosphate or hydroxyapatite. In Kelley textbook
of rheumatology. 6Ih edition, Ruddy S, Harris ED, Sledge CB.
Philade1phia:W.B. Saunders; 2001 .p. 1377-90
Soenarto.Krista1 artropati selain gout. Dalam: Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi ketiga jilid I, Editor: Noer S, Waspaji
S,Rachman AM, dkk. Jakarta:Balai Pustaka FKUI;1996.p.89-96
Tehupeiory ET, Faridin HP .Pseudogout. Dalam: Naskah lengkap
temu ilmiah reumatologi 2000, Bambang Setyohadi, Yoga I
Kasjmir, Siti Mahfudzohv editors, Jakarta, 6-8 Oktober 2000 :
49-52
LJUJ
FAKTOR GENETIK
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik
(25%) dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%);
peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE
dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan
prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan
dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis
SLE.
Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan
penyakit. Pada sebagian kecil pasien (< 5%), hanya
gen tunggal yang bertanggungjawab. Sebagai contoh
pasien dengan defisiensi homozigot dari komponen awal
komplemen mempunyai risiko terkena SLE atau penyakit
yang menyerupai lupus (lupus-like disease). Tetapi
pada sebagian besar pasien inemerlukan keterlibatan banyak
gen. Diperkirakan paling sedikit ada empat susceptibility
genes yang terlibat dalam perkembangan penyakit.
Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya
terhadap SLE pada manusia adalah gen dari Kompleks
Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi
menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan
polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen) kelas
11. Hubungan HLA DR2 dan DR3 dengan SLE pada
umumnya ditemukan pada etnik yang berbeda, dengan risiko
relatif terjadinya penyakit berkisar antara 2 sampai 5. Gen
HLA kelas I1 juga berhubungan dengan adanya antibodi
tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearmprotein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear
protein) clan anti-DNA. Gen HLA kelas 111, khususnya yang
mengkode komponen komplemen C2 dan C4, memberikan
risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Penderita dengan
homozygous C4A null alleles tanpa memandang latar
belakang etmk, mempunyai risiko tinggi berkembang menjadi
SLE. Selain itu SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi
Clq, Clrls dan C2. Penurunan aktivitas komplemen
meningkatkan kepekaan terhadap penyakit oleh karena
berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik
terhadap antigen diri sendiri (selfantigen) maupun antigen
asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan
dari sistem imun, maka autoimunitasmungkin terjadi.
Selain itu banyak gen non-MHC polimorfik yang
dilaporkan berhubungan dengan SLE, termasuk gen
yang mengkode mannose bindingprotein (MBP), TNFa, reseptor sel T, interleukin 6 (IL-6),CR1, imunoglobulin
Gm dam Km allotypes, FciiRIIIA dan heat shockprotein 70 (HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang
multipel (multiple chromosome regions) sebagai risiko
berkembangnya SLE, mendukung pendapat bahwa SLE
merupakan penyakit poligenik.
FAKTOR HORMONAL
SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang
LUPUSERITEMATOSUS SISTEMlK
Antigen
spesifik
.
Anti-dsDNA
Nukleosom
RO
La
Prevalensi
(%)
70-80
60-90
30-40
15-20
10-30
Reseptor NMDA
33-50
Fosfolipid
20-30
a-Actinin
20
Clq
40-50
NMDA = N-methyl-D-aspartate
Sm
Lain-lain
Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita LES
dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas
penyakitnya seperti rambur rontok, hilangnya nafsu makan,
pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala,
mual dan muntah
Manifestasi Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik
yang paling sering dijumpai pada penderita LES, lebih dari
90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi
(artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak
jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali dianggap
sebagai manifestasi Artritis reumatoid karena keterlibatan
sendi yang banyak dan simetris. Untuk ini perlu dibedakan
dengan Artritis reumatoid dimana pada umumnya LES tidak
menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang
berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Satu ha1
yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya
koinsidensi penyakit autoimun lain seperti Artritis
reumatoid, Polymyositis, Sklerodema atau manifestasi
klinis penyakit-penyakit tersebut merupakan bagian gejala
klinis LES.
Manifestasi Kulit
Ruam kulit merupakan manifestasi LES pada kulit yang
telah lama dikenal oleh para ahli. Sejak era Rogerius,
Paracelsus, Hebra sebelum abad 19 manifestasi kulit seperti
seborea kongestifa, herpes esthimones dan sebagainya
telah diperdebatkan sebagai suatu lesi kulit pada LES. Lesi
muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian LES dapat
berupa reaksi fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), subacute
cutaneous lupus erythematosus (SCLE), lupus profundus
/ paniculitis, alopecia, lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, teleangiectasia, fenomena
raynaud's atau vaskulitis atau bercak yang menonjol
benvama putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema
pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau
depigmentasi pada bibir.
Manifestasi Paru
Berbagai manifestasi kilinis pada paru-paru dapat terjadi
baik berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru,
atau shrinking lung syndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau
berlanjut menjadi kronik. Pada keadaan akut perlu
dibedakan dengan pneumonia bakterial dan apabila terjadi
keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas
bronkhoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak,
Manifestasi Kardiologis
Baik perikardium, miokardium, endokardium atau-pun
pembuluh darah oroner dapat terlibat pada penderita LES,
walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium.
Perikarditis hams dicurigai apabila dijumpai ada-nya
keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran
silhouette sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG,
Echokardiografi. Apabila dijumpai adanya aritmia atau
gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang
tidak jelas penyebabnya, maka kecu-rigaan adanya
miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada
penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina
pectoris, infark miokard atau gaga1 jantung kongestif.
Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES
usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta
penggunaan steroid jangka panjang.
Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi
merupakan komplikasi lain yang juga sering dijumpai pada
penderita LES. Vegetasi pada katub jantung merupakan
akumulasi dari kompleks imun, sel mononuklear, jaringan
nekrosis, jaringan parut, hematoxylin bodies, fibrin dan
trombus trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai
adalah bising jantung sistolik dan diastolik.
Manifestasi Renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% pen-derita yang
sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES . Rasio
wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10:1, dengan
puncak insidensi antara usia 20 - 30 tahun.
Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya
tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma
nefiotik. Pemeriksaan terhadap protein urin >500 mgl24
jam atau 3+ semi kwantitatif, adanya cetakan granuler,
hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta pyuria
(>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan
kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan
ginjal pada penderita LES. Akan tetapi melalui biopsi ginjal
akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai
keterlibatan ginjal ini. WHO membagi klasifikasi
keter-libatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi 6 klas.
Kajian yang masih kontroversil dan menarik untuk
dibahas adalah kaitan antara gambaran klinis, laboratorik,
Mesangial
IIA
Gejala
Hipertensi
Proteinuria gldl
Hematuria EriILPB
Piuria LILPB
Cetakan
LFG mllmin
CH50
C3
Anti-dsDNA
Kompleks imun
IIB
Focal
prolif.
111
Diffuse
prolif.
IV
Membranous
GG,SN
sering
1-20
Banyak
Banyak
Banyak
<60
<<
<<
SN
Late onset
3,5-20
>>
>>
Tubulointerstisial
lnfeksi
Druginduced
N
N
N
N
N
Late onset
Disuria
Late onset
+
+
Banyak
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
+
+
Keterangan:
~ri=~ritr;sit, LPB=luas pandang besar, L=leukosit, LFG=Laju filtrasi glomerulus, CHSO=komplemen hemolitik serum total
(dalam 50% hemolitik unit), C3=komplemen 3, N=Normal, +=jarang, sedikit, >=meningkat, <=menurun, >>=sangat
meningkat, <<=sangat menurun, GG=gagal ginjal, SN=sindroma nefrotik
2571
LUPUS E R I T E M A ~ U SSETEMU<
Kriteria
Batasan
Ruam malar
Ruam diskoid
Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat nasolabial.
Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLEi keratotik dan sumbatan folikular.
Pada SLEi lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari
anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa.
Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeli, bengkak dan efusi
Fotosensitifitas
Ulkus mulut
Artritis non-erosif
Pleuritis atau
perikarditis
Gangguan renal
Gangguan neurologi
Gangguan
hematologik
Pleuritis - riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh dokter
pemeriksa atau bukti efusi pleura.
atau
Perikarditis - bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial.
a. Proteinuria menetap 20.5 gram per hari atau >3+
atau
b. Cetakan selular- dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan.
a. Kejang - tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik.
misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbanganelektrolit.
atau
b. Psikosis - tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik,
misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit.
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau
Leukopenia - <4.000/mm3pada dua kali pemeriksaan
atau
c. Limfopenia - <1 .500/mm3pada dua kali pemeriksaan
atau
d. Trombositopenia- ~100.000/mm3
tanpa disebabkan oleh obat-obatan.
a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal
atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar
serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus
antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes positif
palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponemal.
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensiatau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan
penyakit tanpa keterlibatan obat.
b.
Gangguan
imunologikb
Antibodi antinuklear
positif (ANA)
Keterangan:
Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi
secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.
Manifestasi Hemik-limfatik
Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering
dijumpai pada penderita LES ini. Kelenjar getah bening
yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal,
dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran
bervariasi sarnpai 3-4,cm.
Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada
penderita LES adalah splenomegali yang iasanya disertai
oleh pembesaran hati.
Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan
dengan adanya lupus antikoagulan. Bahkan pernah
Diagnosis
Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran
klinik dan laboratorim American College ofRheumatology
(ACR), pada tahun 1982, mengajukan 1 1 kriteria untuk
klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka
diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah :
1. Ruammalar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitifitas
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 grl hari,
atau adalah silinder sel
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau
lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia
10. Kelainan imunologlk,yaitu sel LE positif atau anti DNA
posistif, atau anti Sm positif atau tes serologik untuk
sifilis yang positif palsu.
11. Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA)
positif
Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 (dua)
atau lebih keterlibatan organ sebagaimana tercantum di
bawah ini, yaitu:
1. jender wanita pada rentang usia reproduksi.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti
infeksi) dan penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal:artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash),
fotosensitivitas, SLEi membrana mukosa, alopesia,
fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindrorna nehtik
6. Gastrointestinal:mual, muntah, nyeri abdomen
7. Pam-paru:pleurky, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim
paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis,miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati,
splenomegali,hepatomegali)
LUPUS ERlTEMATOSUSSlSTElWC
TERAPI KONSERVATIF
2575
Jenis Obat
Dosis
Jenis toksisitas
Azatioprin
50-150 mg per
hari, dosis
terbagi 1-3,
tergantung berat
Mielosupresif,
hepatotoksik,
gangguan
limfoproliferatif
Siklofosfamid
Metotreksat
7.5 - 20 mg I
minggu, dosis
tunggal atau
terbagi 3. Dapat
diberikan pula
melalui injeksi.
Mielosupresif,
gangguan
limfoproliferatif,
keganasan,
imunosupresi.
sistitis hemoragik,
infertilitas
sekunder
Mielosupresif,
fibrosis hepatik,
sirosis, infiltrat
pulmonal dan
fibrosis.
Siklosporin A
2 . 5 5 mglkg BB,
atau sekitar 100
- 400 rng per
hari dalarn 2
dosis, tergantung
berat badan.
Mofetil
mikofenolat
2000 mglhari mg
dalam 2 dosis.
Pembengkakan,
nyeri gusi,
peningkatan
tekanan darah,
peningkatan
pertumbuhan
rambut, gangguan
fungsi ginjal, nafsu
rnakan rnenurun,
tremor.
Mual, diare,
leukopenia.
Pemantauan
Laboratorik
Gejala
Darah tepi lengkap
Darah tepi
lengkap,
mielosupresif
tiap 1-2 minggu dan
kreatinin, AST I
selanjutnya 1-3 bulan
ALT
interval. AST tiap
tahun dan pap smear
secara teratur.
Darah tepi
Darah tepi lengkap
Gejala
lengkap, hitung mielosupresif,
dan urin lengkap tiap
hematuria dan
bulan, sitologi urin
jenis leukosit,
infertilitas.
dan pap smear tiap
urin lengkap.
tahun seumur hidup.
Evaluasi Awal
Klinis
Darah tepi
lengkap, foto
toraks, serologi
hepatitis B dan
C pada pasien
risiko tinggi,
AST, fungsi
hati, kreatinin.
Darah tepi
lengkap,
kreatinin, urin
lengkap, LFT.
Gejala
.
mielosupresif,
sesak nafas,
mual dan
muntah, ulkus
mulut.
Gejala
hipersensitifitas
terhadap castor
oil (bila obat
diberikan injeksi),
tekanan darah,
fungsi hati dan
ginjal.
Darah tepi
lengkap, fese
lengkap.
Gejala
gastrointestinal
seperti mual,
muntah.
PENATALAKSANAANKEADAAN KHUSUS
Trombosis pada SLE
Trombosis seringkali merupakan manifestasi dari SLE dan
sering berhubungan dengan adanya antibodi
antifosfolipid.Dalam keadaan ini, antdcoagulan merupakan
obat pilihan untuk mengatasinya, misalnya warfarin, dan
mempertahankan nilai INR (International Normalization
Ratio) 3-33. Hal ini terutama sangat penting pada
,
dengan atau tanpa aspirin atau penggunaan heparin (warfarin bersifat teratogenikpada kehamilan trimester I). Semua
regimen ini meningkatkan angka keberhasilan kehamilan
secara bermakna. Selain itu pemantauan terhadap ibu dan
janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.
LllPUS NEONATAL
NEFRI'I'IS LUPUS
Penatalaksanaan umum :
1. Pada semua penderita yang diduga menderita nefritis
lupus harus dilakukan biopsi ginjal bila tidak ada kontra
indikasi, karena ha1 ini akan menentukan strategi
penatalaksanaan lebih lanjut.
2 Kurangi asupan gararn bila ada hipertensi, asupan lemak
bila ada dislipidemia dan asupan protein bila fungsi
ginjal mulai terganggb. Perhatikan asupan kalsium
untuk mencegah osteoporosis akibat steroid.
3. Berikan loop diuretics untuk mengtasi udem
4. Hindari penggunaan salisilat dan obat anti inflamasi
non-steroid.
5. Terapi agresif terhadap hipertensi
6. Hindari kehamilan, karena penderita nefiitis lupus yang
hamil akan benisiko tinggi untukmengalamigaga1ginjal.
7. Pada penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE
di kulit, dapat dipertimbangkan pemberian antimalaria
8. Pemantauan berkala aktifitaspenyakit dan fimgsi ginjal
yang meliputi tekanan darah, sedimen urin, kreatinin
serum, albumin serum, protein urin 24 jam, komplemen
C3 dan anti DNA.
REFERENSI
Silva C, Isenberg DA. Aetiology and pathology of systemic lupus
erythematosus. Hospt Pharm 2001 ;7: 1-7.
Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus.
J Clin Pathol 2003;56:481-490.
Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis o f systemic lupus
erythematosus. J Nether1 Med 2003;61(11):343-346.
Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S,
Stankovic A. The significance of cytokines in diagnosis of
autoimmune diseases. Jugoslov Med Biohem 2006;25:363-372.
Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al. Systemic lupus erythematosus: clinical and immunologic patterns of disease expression
in a cohort of 1,000 patients. The European Working Party on
Systemic Lupus Erythematosus. Medicine (Baltimore)
1993;72: 1 13-24.
Formiga F, Moga 1, Pac M, et al. Mild presentation of systemic
lupus erythematosus in elderly patients assessed by SLEDAI.
Lupus 1999;8:462-5.
.-
KEHAMILAN PADA
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Yuliasih
PENDAHULUAN
Dengan kemajuan pengetahuan di bidang pengobatan
five years survival rate pasien LES bisa mencapai 90%
sehingga kehamilan pada pasien LES tidak dapat
dihindarkan. Pasien LES diperbolehkan hamil tetapi
dengan syarat penyakitnya harus dalam fase tenang
dan hams mendapat pengawasan ketat.
Kehamilan pada LES perlu dibahas tersendiri, karena
merupakan kehamilan risiko tinggi. Diketahui bahwa
kehamilan normal memberikan beberapa perubahan
pada tubuh, yang mana perubahan-perubahan ini dapat
mencetuskan aktivitas penyakit LES, meningkatkan
risiko kehamilan pada pasien LES terutama dengan
gangguan fungsi jantung atau ginjal, serta adanya
autoantibodi-autoantibodi pada ibu yang mungkin dapat
menembus plasenta atau bahkan mempengaruhi
pertumbuhan plasenta. Dari laporan menyatakan bahwa
kehamilan dengan LESterdapat gangguan pertumbuhan
plasenta oleh berbagai sebab antara lain trombosis,
vaskulopati dan vaskulitis
Jadi jelaslah bahwa kehamilan pada LES bisa
berdampak buruk pada ibu, kehamilan maupun janinnya
sendiri. Risiko pada ibu antara lain memberatnya
penyakit lupus atau timbulnya kobaran, sedangkan pada
janin menimbulkan abortus, partus prematur, kematian
janin intra uterin, gangguan pertumbuhan serta
kongenital lupus.
Pengelolaan kehamilan dengan LES diperlukan
kerjasama antara spesialis penyakit dalam konsultan
reumatologi, spesialis kebidanan dan spesialis anak
perinatologi dengan harapan mendapatkan hasil
kehamilan yang baik.
perencanaan kehamilan
risiko obstetrik
segi pediatrik
pengelolaan
masa laktasi
jenis kontrasepsi
Kehamilan
Sistem hematologi
Anemia karena hemodilusi
Menurunnya masa hidup
trombosit
Peningkatan fibrinogen
Sistem endokrin
Meningkatnya kortisol
Meningkatnya estrogen
Ginjal
Menurunnya kliren
PERENCANAANKEHAMllAN
Sejumlahpenelitian menujukkan bahwa LES aktif bukanlah
waktu yang tepat untuk memulai kehamilan, karena
dilaporkan bahwa angka kekambuhan LES dengan
kehamilan sangat tinggi. Mengingat adanya beberapa
risiko kehamilan maka dianjurkan pasien LES yang
merencanakan kehamilan sebaiknya dipersiapkan sebaik
mungkin. Kehamilan baru dimulai bila penyakit dalam
kondisi tenang minimal 6 bulan. Beberapa data retrospektif
melaporkan data angka kekambuhannya berkisar 87%,
sedangkan pada kehamilan dengan lupus neliitis angka
kekambuhan berkisar 7,4%-63%. Bila ada lupus nefiitis saat
Preeklamsia
Pasien dengan LES mempunyai risiko tinggi terjadi
preeklamsia selama kehamilan. Insidennya lebih tinggi
dibanding bukan pasien LES, yaitu berkisar 5-38%.
Risiko eklamsia ini makin meningkat pada primigravida,
adanya riwayat hipertensi, preeklamsia, abortus
sebelumnya,obesitas, dan antibodi fosfolipid. Peningkatan
tromboksan A, plasental diduga berperan pada timbulnya
preeklamsia.
Membedakan preeklamsia dengan lupus nefiitis pada
kehamilan dengan LES cukup sulit, sebab keduanya dapat
menimbulkan hipertensi,proteinuria, edema dan faal ginjal
yang cepat memburuk. Ada beberapa patokan yang
membantu untuk membedakan kedua kondisi hi. Pada
proteinuria yang terkait dengan lupus nefritis biasanya
ditemukan tanda aktivitas penyakit LES pada organ lain,
misalnya ulkus di mulut, artritis, vaskulitis, ruam,
limfadenopati. Sedimen urin pada lupus neliitis lebih sering
menunjukkan gambaran sedimen yang aktif yaitu
didapatkan peningkatan leukosit, eritrosit dan torak
grander. Sifat proteinuria pada lupus nefritis biasanya
lebih cepat memburuk dibandingkan preeklamsia.
Pemeriksaan komplemen dan anti-dsDNA juga sangat
membantu. Pada preeklamsia kadar C3 dan C4 biasznya
SEGl PEDlATRlK
Kehamilan dengan LES mempunyai risiko tinggi terdapat
peningkatan insiden abortus, prematuritas, janin mati dan
IUGR, insidennya berkisar antara 6-35%. Faktor risikonya
antara lain hipertensi, lupus nefritis dan keberadaan
antibodi fosfolipid. Risiko abortus pada lupus dengan
kehamilan bervariasi antara 6-35%. Antifosfolipid
merupakan faktor prediktor terjadinya "eta1 wastages".
Keberadaan antibodi fospolipid yaitu IgG ACA dan LA
(lupus aritikoagulan) serta hipokomplemen (C3 yang
rendah) merupakan prediktor kuat terjadi kematian
janin.
Bagaimana mekanisme antibodi fosfolipid ini
dalam menimbulkan kematian janin atau abortus belurn
diketahui dengan pasti. Diduga antibodi fosfolipid
bereaksi terhadap b2GPI (beta 2 glikoprotein I), yang terikat
dengan trofoblas menekan produksi HCH (Human
chorionic gonadotropin) dan menimbulkan gangguan
2583
SISTEMIK
LES.
Ekokardiografijanin hams dilakukan pada kehamilan
16-24 minggu termasuk untuk mendeteksi kemungkinan
miokarditis dan regurgitasi. Jika pada ekokardiogram
serial kondisi klinis janin memburuk, misalnya
timbul dekompensasi jantung maka dapat diberikan
P-OwKEHAMllANDANPASCAPrinsip Umum
Ibu hamil dengan LES, jelas merupakan kehamilan dengan
risiko sangat tinggi. Sejak awal kehamilan harus dibuat
sistem yang dapat mengawasi perubahan aktivitas penyakit,
termasuk pelibatan suami dan keluarganya. Sejak diketahui
ada kehamilan maka secepat mungkin menentukan organ
yang terkena,aktivitas penyakit, pada trimester pertama harus
dievaluasi tiap bulan dan evaluasi ditingkatkan menginjak
trimester I1 dan 111, pengukuran tekanan darah,
perkembangan janin, jantung janin, NST= non-stress test.
Evaluasi kondisi muskuloskletal khususnya pelvis dan hip
untuk mengantisipasi kemungkman adanya komplikasijuga
sangat penting.
Pemeriksaan anti Ro dan anti La diperlukan untuk
memprediksi kemungkinan adanya neonatal lupus, selain
itu pemeriksaan antibodi antifosfolipiduntuk memprediksi
kemungkinan abortus, prematur atau IUGR. Pada paruh
pertama kehamilan evaluasi dilakukan tiap bulan, dilakukan
pemeriksaan fisik, mulai dari tanda-tanda vital, kobaran
seperti; panas, ruam, peningkatan tensi. Pemantauan
laboratorium juga dilakukan (Tabel 5). Jika terdapat tandatanda kobaran baik selarna hamil maupun postpartum hams
dilakukan terapi yang agresif. Bila ada lupus nefiitis dan
atau tanpa HT aspirin dosis rendah mulai pada minggu
ke- 10 untuk mencegah preeklamsia, IUGR danfetal loss
Pemantauan terhadap pertumbuhan janin dilakukan
melalui USG, ekokardiografi, dan non-stress test. Sectio
Caesaria harus dilakukan pada ibu dengan hipertensi
Anjuran
Pemeriksaan
Kunjungan pertama
Darah lengkap
Urin 24 jam pada nefritis lupus
Bun, serum kreatinin, kliren
kreatinin
Glukosa darah
0 Tes Coombs, C3 dan C4
VDRL, ACA dan APTT
8 Anti ds-DNA, anti SSA, anti
SSB, anti UlRNP
Darah lengkaplurinalisis
Kliren kreatinin.
Protein uria 24 jam komplemen
Anti ds-DNA
Antenatal fetal heart rate testing
(non-stress teso
Kunjungan perbulan
setiap trimester
Tiap minggu pada akhir
trimester
(ibu dengan APL+)
Pada minggu 18 dan 2
(ibu dengan antiRolLa+)
Fetal echocardiogram
MASA LAKTASI
Laktasi dan Aktivitas LES
Prolaktin mempunyai peran multipel pada sistem imun dan
bersifat imunostimulan. Pada kehamilan kadar
prolaktin meningkat pada trimester 2 atau 3 dan menetap
selama laktasi. Peningkatan ini disebabkan karena
adanya makroprolaktinemia yang persisten akibat adanya
antibodi antiprolaktin. Diduga peningkatan prolaktin
meningkatkan aktivitas LES dan berperan pada kobaran
postpartum. Sebaiknya pada ibu menyusui dilakukan
pemantauan yang lebih ketat untuk mengantisipasi
kobaran.
SINDROM VASKULITIS
Laniyati Hamijoyo
BENDAHULUAN
Vaskulitis adalah suatu proses inflamasi pada pembuluh
darah dan menyebabkan kerusakan struktur dinding
pembuluh darah. Kehilangan integritas dinding
pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan, dan
adanya gangguan pada lumen pembuluh darah
menimbulkan iskemik maupun nekrosis. Secara umum,
vaskulitis dapat mengenai berbagai ukuran, tipe maupun
lokasi pembuluh darah, dan berhubungan dengan suatu
kelainan yang spesifik. Vaskulitis dapat terjadi sebagai
suatu proses primer ataupun sekunder dari penyakit lain
(penyakit reumatik, keganasan atau infeksi dll.).
Pembahasan di sini lebih ditujukan kepada vaskulitis
primer.
Tipe vaskulitis
-
~embuluhdarahbesar:
Arteritis Takayasu
Hematuria (sediment sel eritrosit atau >5 sel darah merah per
lapang pandang kecil)
Kelainan pada foto toraks (nodul, kavitas atau infiltrat)
Ulkus mulut atau sekret hidung
Bukti histologi adanya keradangan granulomatosa
Sindrom ChurgStrauss
Asma
Eosinofilia > l o % pada hitung jenis lekosit
Mononeuropati (termasuk multipleks), polineuropati
lnfiltrat pada paru yang tidak menetap
Kelainan sinus paranasal
Bukti histologi adanya eosinofilia ekstravaskular pada dinding
pembuluh darah
Purpura HenochSchonlein
Vaskulitis
hipersensitivitas
Arteritis Takayasu
Sindrorn Churg-Strauss*)
Poliangiitis rnikroskopi')
Purpura Henoch-Sch6nlein
Vaskulitis hipersensitivitas
PATOFlSlOLOGl
Penyakit Kawasaki
Non-granulomatosus
Purpura Henoch-Schtinlein
1. Gejala-gejala konstitusional
2. Awitan yang subakut
3. Tanda dan gejala inflarnasi
4. Nyeri
5. Bukti adanva ~envakitrnultisistirn
DIAGNOSIS
Klaudikasio ekstrernitas
Tekanan darah asirnetrik
Tidak ada pulsasi
Bruit
Dilatasi aorta
Nodul kutaneus
Ulkus pada kulit
Livedo retikularis
Ganggren pada jari
Mononeuritis rnultipleks
Mikroaneurisrns
Purpura
Lesi vesikulobulous Urtikaria
Glornerulonefritis
Hemoragik alveolus
Granuloma kutaneus
nekrosis ekstravaskular Splinter hernoragik
Uveitislepiskleritislskleritis
Gambar I.
Daur hidup plasmodiumdanmekanisme invasi eritrosit.
(disalin dari: Miller LH . The pathogenic basis of Malaria. Nature
2002,415 : 673 - 679)
PATOGENESISDAN PATOLOGI
Setelah melalui jaringan hati f? falciparum melepaskan
18-24 merozoit ke dalam sirkulasi. Merozoit yang di
lepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang 1010s dari filtrasi
dan fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit.
Selanjutnyaparasit berkembang biak secara aseksual dalam
eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah
yang bertanggung jawab dalam patogenesa terjadinya
malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak
diteliti adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh
P falciparum.
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor
parasit dan faktor penjamu (host). Yang termasuk dalam
faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit
dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor
penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal,
genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. Parasit
dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2
stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium
matur pada 24 jam ke 11. Permukaan EP stadium cincin
akan menampilkan antigen RESA (Ring-erythrocyte
surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk
stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan
GEJALA KLlNlS
Manifestasi klinik malaria tergantung pada imunitas
penderita, tingginya transmissi infeksi malaria. Beratl
ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium
(l? Falciparum sering memberikan komplikasi), daerah asal
infeksi (pola resistensi terhadap pengobatan), umur (usia
lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi
genetik, keadaan kesehatan dan nutrisi, kemoprofilaktis
dan pengobatan sebelumnya. (Gambar 2)
~l
I
Faktor parasit :
- Resistensi obat
- Kecepatan
multiplikasi
- Cara invasi
- Sitoadherens
- Roseting,
Polimorfisme
antogenik
Variasi antigenic(PfEMP1)
- Toksin malaria
1-
- Imunitas
- Sitokin
- Akses mendapat
pengobatan
pminflamasi
Genetik
Umur
Kehamilal
- Faktor faktor
budaya dan
ekonomi
- ~tabjlitaspolitik
- Intensitas
transmisi nyamuk
1
Manifestasi klinik
Asimptomatik
Demam
(spesifik)
Malaria berat
Kematian
Plasmodium
Falsiparum
12 (9-14)
Vivax
Ovale
Malariae
13 (12-17) + I 2 bulan
17 (16-18)
28 (18-40)
---
TiT:r
24,36,
48
Relaps
Recrudensi
--
++
48
48
72
--
++
--
Manifestasi Klinik
6a
BANG PlROGENlTAS
SIMPTOM
KLlNlS
PARASmMlA
PATEN
PARASITEMIA
PATEN
Stadlurn jaringan hatl
Primer 8 Sekunder/
1. Mass lnkubsd
2. Mass Prepaten
DIAGNOSISMALARIA
Diagnosa malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat
dari penderita tentang asal penderita apakah dari daerah
endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah malaria,
riwayat pengobatan kuratip maupun preventip.
Pemeriksaan Tetes Darah Untuk Malaria
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan
adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan
diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatip tidak
mengenyampingkandiagnosa malaria. Pemeriksaan darah
tepi 3 kali dan hasil negatip maka diagnosa malaria dapat
dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh
tenaga laboratorik yang berpengalaman dalam
pemeriksaan parasit malaria. Pemeriksaan pada saat
penderita demam atau panas dapat meningkatkan
kemungkinan ditemukannya parasit. Pemeriksaan dengan
stimulasi adrenalin 1:1000 tidak jelas manfaatnya dan
sering membahayakan terutama penderita dengan
hipertensi. Pemeriksaan parasit malaria melalui aspirasi
sumsum tulang hanya untuk maksud akademis dan tidak
sebagai card diagnosa yang praktis. Adapun pemeriksaan
darah tepi dapat dilakukan melalui :
MALARIA
2821
Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) dengan gambaran karakteristik
berupa albuminuria, hipoalbumin, edema dan
hiperkolesterolemia, dapat terjadi pada penderita anakanak dengan infeksi plasmodium malariae. Gambaran
patologi dapat bervariasi berupa penebalan setempat dari
kapiler glomerulus, sklerosis sebagian, dan peningkatan
sel-sel mesangial. Gambaran klinik penderita umumnya
< 15 tahun, edema, proteinuria > 3 g/24 jam, serum albumin
< 3 g/dl, dan dijumpai asites. Hipertensi dan uremi dijumpai
pada penderita SN dewasa dan jarang pada anak-anak.
Komplikasi berupa infeksi, trombosis yang dapat
menyebabkan kematian. Pengobatan secara konservatif
dengan pemberian diuretika, diet, mengkontrol hipertensi
dan mencegah infeksi. Pemberian steroid hanya
bermanfaat pada lesi minimal dan biasanya mudah relaps.
Apabila
steroid tidak berhasil dapat dicoba dengan
siklofosfamid, azathioprin. Pemberian hanya obat antimalaria pada SN oleh karena malaria tidak menunjukkan
manfaat, akan tetapi penulis lain menyatakan perbaikan
yang dramatik. Akan tetapi Giles dalam penelitian di
Nigeria mengobati SN dengan anti malaria selarna 6 bulan
temyata tidak membawa hasil.
Burkitt's Limfoma (BL)
Pada daerah hiper atau holo-endemik malaria sering
dijumpai Burkttt's limfoma yaitu merupakan tumor limfosit
B. Terjadinya tumor ini belum diketahui, diduga gangguan
pada sel-sel penolong/supresi T dipengaruhi oleh
P falciparum sehingga sel limfosit T kurang menghambat
pembiakan virus Epstein Ban: BL sering dijumpai pada
usia 2 - 16 tahun dengan puncak pada usia 4 dan 9 tahun,
dan pria lebih sering dari wanita. Tumor dijumpai pada
rahang atau massa pada perut, ovarium, ginjal dan kelenjar
limfe mesenterial. Tumor dapat berkembang dengan cepat,
ukuran dapat menjadi dobbel dalam 3 hari dan pada gastro
intestinal dapat memberikan tanda-tanda obstruksi.
Pengobatan dengan sitostatika memberikan survival yang
panjang kira-kira 50%.
Respons
Keterangan
Kegagalan
Pengobatan Dini
(ETF= Early
Treatment Failure)
Tes In Wtro
Dengan menggunakan:tes standar kit yang didistribusi
oleh WHO di Manila. Medium yang sama digunakan pada
TRAGER'S kultur. Tes terdiri dari :
Nama
Obat
Artesunat
KemasanfrableV
C ~ D
Oral : 50 m i l
200mg
lnjeksl imliv : 60
mglamp
Artemeter
Suppositoria : 1001
200 mglsup
Oral : 40mgI 50mg
lnjeksi 80 mglamp
Artemisinin
Oral 250mg
Suppositoria:
100120013001
4001 500mglsupp
Dihidroarte
mlslnin
Artheether
Asam
artellnlk
Oral : 20/60/80 mg
Suppositoria : 80
mgl sup
lnjeksi i.m :
150mglamp
Dosis
Hari 1 : 2 mglkg BE, 2 x
sehari, hari II-V : dosis
tunggal
2,4 mglkg hari 1; 1,2
mglkgl hari minimal 3
hari Ibisa minum oral
1600 mgl 3 hari atau 5
mglkgl12 jam
4mglkg dibagi 2 dosis
hari I; 2rngIkgl hari untuk
6 hari
3,2 mglkg BE pada hari I;
1,6 mglkg selama 3
haril bisa minum oral
20mgIkg dibagi 2 dosis
hrl; l0mgIkg untuk 6
hari
2800mgl3 harl; yaitu 600
mg dan 400mg hari I
dan 2 x 400 mg , 2 hari
berikutnya
2mglkg BBIdosis 2 x
seharl hari I dan Ix
sehari 4 hari selanjutnya
p arteeher (artemotil) :
4,8 dan 1,6 rnglkg 6 jam
kemudian dan hari 1; 1,6
mglkg 4 harl selanjutnya
PENANGANAN PENDERITATANPAKOMPLlKASl
(MALARIA BIASA)
PENDAHULUAN
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan protozoa, genus plasmodium dan hidup intra sel, yang dapat
bersifat akut atau kronik. Transmisi berlangsung di lebih
dari 100 negara di benua Afrika, Asia Oceania, Amerika
Latin, Kepulauan Karibia dan Turki. Kira-kira 1,6 miliard
penduduk daerah ini berada selalu dalam risiko terkena
malaria. Tiap tahun ada 100 juta kasus dan meninggal 1
juta di daerah Sahara Afrika. Sebagian besar yang
meninggal adalah bayi dan anak-anak. P.malariae dan
Pfalcifarum terbanyak di negara ini.
Di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika
Serikat, Kanada, Jepang, Australia dan lain-lain, malaria
telah dapat diberantas. Hanya Plasmodium falcifarum
yang dapat menyebabkan malaria berat. Selain J?falcifarum
malaria berat dapat juga disebabkan J? Vivax dan P.
knowlesi. Malaria berat terutama malaria serebral yang
merupakan komplikasi terberat yang sering menyebabkan
kematian.
J? falciparum dan sering di sebut pernicious manyestations. Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala
sebelumnya, dan sering terjadi pada penderita yang tidak
imun seperti pada orang pendatang dan kehamilan.
Komplikasi terjadi 5- 10% pada seluruh penderita malaria
yang dirawat di RS dan 20% dari padanya merupakan kasus
yang fatal. Data di Minahasa insiden malaria berat ialah
6% dari kasus yang dirawat di RS dengan mortalitas
10-20%.
Penderita malaria. dengan komplikasi umumnya
digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO
u T m 0-
e'?tR$+Y1
. -
~~Too'~(aIs
FALBIFARUM
Seperti pada penyakit-penyakit infeksi lainnya faktorfaktor yang berperan dalam terjadinya malaria berat antara
lain : a). Faktor Parasit antara lain meliputi intensitas
transmisi, dan virulensi parasit. Densitas parasit dengan
semakin tingginya derajat parasitemia berhubungan
dengan semakin tingginya mortalitas, dernikian pula halnya
dengan virulensi parasit; b). Faktor host meliputi
endemisitas, genetik, umur, status nutrisi dan imunologi.
Pada daerah endemis malaria yang stabil, malaria berat
terutama terdapat pada anak kecil, sedangkan di daerah
endemisitasrendah, malaria berat terjadi tanpa memandang
usia.
GEJALA KLlNlS
Manifestasi malaria berat bervariasi, dari kelainan
kesadaran sampai gangguan organ-organ tertentu dan
gangguan metabolisme. Manifestasi ini dapat berbedabeda menurut katagori umur pada daerah tertentu
berdasarkan endemisitas setempat. Pada daerah
hipoendemik malaria serebral dapat terjadi dari usia anak
sampai dewasa.
Faktor predisposisi terjadinyamalaria berat : 1).An&anak usia balita; 2). Wanita hamil; 3). Penderita dengan
daya tahan tubuh yang rendah, misalnya penderita
penyakit keganasan, HIV, penderita dalam pengobatan
kortiko streroid; 4). Penduduk dari daerah endemis malaria
yang telah lama meninggalkan daerah tersebut dan kembali
ke daerah asalnya; 5). Orang yang belum pernah Itinggal
di daerah malaria. Gejala-gejalaklinis meliputi :
Malaria Serebral
Terjadi kira-kira 2% pada penderita non-imun, walaupun
demikian masih sering dijumpai pula didaerah endemik
seperti di Jepara (Jawa Tengah), Sulawesi Utara, Maluku,
dan Irian Jaya. Secara sporadikjuga ditemui pada beberapa
kota besar di Indonesia umumnya sebagai kasus import.
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan
memberikan mortalitas '20-50% dengan pengobatan .
Penelitian di Indonesia mortalitas berkisar 21,5%- 30,5%.
Gejala malaria serebral dapat ditandai dengan koma yang
tak bisa dibangunkan, bila dinilai dengan GCS (Glasgow
Coma Scale) ialah di bawah 7 atau equal dengan keadaan
klinis soporous. Sebagian penderita terjadi gangguan
kesadaran yang lebih ringan seperti apati, somnolen, de-
rasio urea urin: darah > 4:1, natrium urin < 20 mmoM
menunjukkan keadaan dehidrasi. Beberapa faktor risiko
yang mempermudah terjadmya GGA ialah hiperparasitemia,
hipotensi, ikterus, hemoglobinuri. Penanganan penderita
dengan kelainan fungsi ginjal di Minahasa memberikan
mortalitas 48%. Dialisis merupakan pilihan pengobatan
untuk menurunkan mortalitas. Seperti pada
hiperbilirubinemia, anuria dapat terus berlang negatif
Ditandai dengan tanda-tanda penurunan kesadaran
berupa apatis, disorientasi, somnolen, stupor, sopor, koma
yang dapat terjadi secara perlahan dalam beberapa hari
atau mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam, yang sering
kali disertai kejang. Gejala lainnya berupa gejala-gejala
upper motorneuron, tidak didapatkan gejala-gejala
neurologi yang fokal, kelumpuhan saraf kranial, kaku
kuduk, deserebrasi, deviasikonjuge, dan kadang-kadang
ditemukan perdarahan retina. Penilaian penurunan
kesadaran ini dievaluasi berdasarkan GCS (Glasgow Coma
Score). P e n m a n kesadaran ini selain karena kelainan
neurologis, tetapi juga dapat diperberat karena gangguan
metabolisme, seperti asidosis, hipoglikemi, yang berarti
gangguan ini dapat terjadi karena beberapa proses
patologis.
Kelainan Hati (Malaria Biliosa)
Jaundice atau ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria
falsiparum. Pada penelitian di Minahasa dari 836 penderita
malaria, hepatomegali 15,9%, hiperbilirubinemi 14,9% dan
peningkatan serum transarninase 5,7%. Pada malaria biliosa
(malaria dengan ikterus) dijumpai ikterus hemolitik 17,2%;
ikterus obstruktip intra-hepatal 11,4% dan tipe campuran
parenkimatosa, hemolitik dan obstruktip 78,6%,
peningkatan SGOTrata-rata 121rnUln-11dan SGPT 80,8 mu/
ml dengan ratio de Ritis 1,5. Peningkatan transaminase
biasanya ringan sampai sedang dan jarang melebihi 200
iu, ikterus yang berat sering dijumpai walaupun tanpa
diikuti kegagalan hati. Penelitian di Minahasa pada 109
penderita malaria berat, kadar bilirubin tertinggi ialah 36,4
mgldl, bilirubin normal (< 1,2 mgldl) dijumpai 28 penderita
(25%) mortalitasnya 1 1%, bilirubin 1,2 mg% - 2 mgldl
dijumpai pada 17 penderita (16%) mortalitasnya 17%,
bilirubin > 2 mgldl - 3mgldl pada 13penderita (12%) dengan
mortalitas 29% serta bilirubin > 3 mgldl dijumpai pada 5 1
penderita (46%) dan mortalitasnya 33%. Serum SGOT
bervariasi dari 6 -243 d l sedangkan SGPT bervariasi dari 4
- 154 d l . Alkali fosfatase bervariasi dari 5 534 u/l dan
gamma-GT bervariasi 4 - 603 d l . White (1996) memakai
batas bilirubin >2,5 mgldl, SGOTI SGPT > 3 x normal
menunjukkan prognosis yang jelek. Penderita malaria
dengan ikterus termasuk dalam kriteria malaria berat.
Hipoglikemia
Hipoglikemi dilaporkan sebagai keadaan terminal pada
binatang dengan malaria berat. Hal ini disebabkan karena
Kecenderungan Perdarahan
Perdarahan spontan berupa perdarahan p s i , epistaksis,
perdarahan di bawah kulit berupa petekie, purpura, hematoma dapat terjadi sebagai komplikasi malaria tropika.
Perdarahan ini dapat terjadi karena trombositopenia, atau
gangguan koagulasi intravaskular ataupun gangguan
koagulasi karena gangguan fungsi hati. Trombositopenia
disebabkan karena pengaruh sitokin. Gangguan koagulasi
Hipertriglisererniadan hipokolesterolemia
T-4 rendah, TSH basal normal (sick euthyroid
syndrome)
Tindakan umumlsuportif :
Apabila fasilitas tidaklkurang memungkinkan untuk
merawat penderita malaria berat maka persiapkan penderita
dirujuk ke rumah sakitlfasilitaspelayanan yang lebih tinggi,
yang memiliki fasilitas perawatan intensif. Tindakan
tersebut antara lain :
1. Pertahankan fungsi vital : sirkulasi, kesadaran,
kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi.
2. Hindarkan trauma : dekubitus,jatuh dari tempat tidur
3. Hati-hati komplikasidari tindakan kateterisasi, i n h s
yang dapat memberikan infeksi nosokomial dan
kelebihan cairan yang menyebabkan edema paru
4. Monitoring : temperatur, nadi, tensi, dan respirasi tiap
112 jam. Perhatikan timbulnya ikterus dan perdarahan,
ukuran dan reaksi pupil, kejang, tonus otot.
5. Baringkanl posisi tidur sesuai dengan kebutuhan
6. Pertahankan sirkulasi: bila hipotensi, lakukan posisi
Tredenlenburg's; perhatikan wama dan temperatur kulit
7. Cegah hiperpireksi: 1). tidak pemah memakai botol
panasl selimut listrik, 2). kompres airlair eslalkohol, 3).
kipas dengan kipas anginkertas 4). baju yang tipisl
terbuka, 5). cairan cukup
8. Pemberian cairan :
Pemberian cairan merupakan bagian yang penting
dalam penanganan malaria berat. Pemberian cairan
yang tidak adekuat (kurang) akan menyebabkan
ti&bulnya tubuler nekrosis ginjal akut. Sebaliknya
pemberian cairan yang berlebihan dapat
menyebabkan edema paru. Pada sebagian penderita
malaria berat sudah mengalami sakit beberapa hari
lamanya sehingga mungkin intake sudah kurang,
penderita juga sering muntah-muntah, dan bila
panas tinggi akan memperberat keadaan dehidrasi.
Ideal bila pemberian cairan dapat diperhitungkan
secara lebih tepat, dengan cara : 1). Maintenence
o
o
o
o
Penggbatqn Sir;llptomat.ik
o Pemberian aotipiretik 'untuk mencegah hipertermia :
pwwetamol15 mgkg bblx, beri setiap 4 jam clan lakukan
juga kompres hangat.
o Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 510 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mdmenit)
ulang 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan
diberikan lebih dari 100 md24 jam.
Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai altematif dapat
dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x (dewasa) diberikan 2 x
sehari.
Pemberian Obat Anti Malaria
Pemberian ' ,::>- apti
malaria(0AM) pada malaria berat
. ,
berbeda deftgqg.:&ari:ria'l3iasa karena pada malaria berat
diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan
bertahan cukup lama didarah untuk segera menurunkan
derajat parasitemianya. Oleh karenanya dipilih pemakaian
obat per parenteral (intravena, per infusl intra muskuler)
yang berefek cepat dan kurang menyebabkan terjadinya
resistensi.
at
Catatan :
Dosis loading (awall pemberian I) dapat diberikan dosis
20mglkg BB, asal dipastikan tidak mendapat kina1
mefloquin sebelumnya, dapat ditimbang BB nya(tidak
estimasi) dan tidak usia> 70 thn atau QT interval yang
panjang. Dosis ini sesuai rekomendasi WHO dan
memberikan bersihan parasit lebih cepat.
Bila penderita sadar setelah pemberian kina perinfus,
kina dilanjutkan per oral dengan dosis 3 x IOmglkgBB
1hari sampai hari ke 7.
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena,
karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat
tinggi sehingga menyebabkan toksisitas pada jantung
dan kematian.
Bila karena alasan kina tidak dapat diberikan melalui
infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama
pada paha bagian depan masing-masing 112 dosis pada
setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila
mungkin untuk pemakaian IM, kina diencerkan dengan
normal saline untuk mendapatkan konsenhasi 60- 100
mdd
sodium artesunate, kemudi& dilarutkan dalah 5 ml5% dextrose untuk siap diberikan intra-ve;;ouslintr~-r;)uscular
Dosis 2,4 mglkg BB pada hari pertama diberikan tiap 12 jam, kemudian dilanjutkan dosis 2,4 mglkg BB pada hari ke-2 - 71 24
jam. Tidak diperlukan penyesuaianl penurunan dosis pada gangguan fungsi ginjall hati; tidak menyebabkan hipo- glikemia dan
tidak menimbulkan aritmial hipotensi
Artemeter ( 1 flacon=80 mg) Dosis : 3,2 mg1kgBB i.m sebagai dosis loading dibagi 2 dosis (tiap 12 jam) hari pertama, diikuti
dengan 1,6 mgIkgBB1 24 jam selama 4 hari. Karena pemberian intramuskuler absorpsinya sering tidak menentu. Tidak
menimbulkan hipoglikemia
Kina HCL (1 Ampul = 220 mg) Dosis 10 mglkgBB Kina HCI dalam 500cc cairan 5% Dextrose (atau NaCl 0,9%) selama 6 jam8 jam, selanjutnya diberikan dengan dosls yang sama diberikan tiap 6-8 jam. Tergantung status kebutuhan cairan 1500 2000cc. Dosis loading 20 mglkg BB dipakai bila jelas TIDAK memakai kina 24 jam sebelumnya atau mefloquin, penderitanya
tidak usia lanjut dan tidak ada Q-Tc memanjang pada rekaman EKG. Kina HCL dapat juga diberikan intra muskuler yang dalam
pada paha.
Kinidin Gluconate Dosis 10 mglkg BB per infuse selama 2 jam dilanjutkan 0,02 mglkglmenit sampai parasit < 1 %, digantikan
oral 3 x 600 mg sampai negatif
Artesunate ( 50mgl100 m g l 400 m g )
Dosis 10mglkg BB diberikan dosis tunggal 400mg pada orang dewasa
Artemislnln
Dosis 10-40mglkgBB diberikan pada 0 jam, 4, 12,24.48, dan 72 jam.
Dihydroartemisinln 40 mg. 80 mg
Dosis dewasa 80 mg dan dilanjutkan 40mg pada jam 24 dan 48.
MALARIABERAT
Manifestasil Komplikasi
Koma (malaria serebral)
Hiperpireksia
Convulsilkejang
Hipoglikemia (GI darah < 40
mg%)
Anemia berat ( Hb < 5 gr%
atau PCV < 15% )
Edema Paru Akut, sesak
napas, resp > 35 x
r.
Gagal Ginjal Akut
Perdarahan spontanl
koagulopati
Asidosis Metabolik
Syok
Hiperparasitemia
Tindakan awal
Pertahankan oksigenasi, letakkan pada sisi tertentu, sampingkan penyebab lain dari koma
(hipoglikemi, strok, sepsis, diabetes koma, uremia, gangguan elektrolit), hindari obat tak
bermanfaat, intubasi bila perlu.
Turunkan suhu badan dengan kompress, fan, air condition, anti-piretika
Pertahankan oksigenasi, pemberian anti-kejang ivl per rektal diazepam, i.m. paraldehyde
Beri 50 ml dextrose 40% dan infus dextrose 10% smapai gula darah stabil, cari penyebab
hipoglikemia
Berikan transfusi darah darah segar, cari penyebab anemianya
Tidurkan 450, oksigenasi, berikan Furosemide 40 mg iv, perlambat cairan infus, intubasiventilation PEEP
Kesampingkan gagal gijal pre-renal, bila dehidrasi 3 koreksi; bila gagal ginjal renal segera
dialysis
Berikan vitamin K 10 mgl hari selama 3 hari; transfusi darah segar; pastikan bukan DIC
Kesampingkanl koreksi bila hipoglikemia, hipovolemia, septichaemia. Bila perlu dialisisl
hemofiltrasi
Pastikan tidakhipovolemia, cari tanda sepsis, berikan anti-biotika broad-spektum yang adequat
Segera anti malaria (artesunate), transfusi ganti (exchange transfusion)
kalium 2,O - 2,9 meqll diberikan KC1 per infus 50-75 meq.
Pemberian KC1 tidak melebihi 100 meqlhari dan tidak
diberikan i.v bolus. Hiponatremi dapat memberikan
penurunan kesadaran. Kebutuhan Natriuin dapat dihitung:
BB (kg) x 60% x Na. defisit (meqll). Satu liter NaCl0,9% =
154 meq; 1 g NaCl puyer = 17 meq. Asidosis (pH < 7,15)
merupakan komplikasi akhir dari malaria berat dan sering
bersama-sama dengan kegagalan fungsi ginjal.
Pengobatannya dengan pemberian bikarbonat. Kebutuhan
Bikarbonat (meq) = 113 B.B(kg) x defisit bikarbonat
dikonfersikan dalam jumlah ml 8,4% NaHC03. Bila
pemberian natrium dikuatirkan terjadinya edema paru,
dapat diberikan THAM (tris-hydroxymethyl-aminomethan)
atau pyruvate dehydrogenase activator dichloroacetate.
Dialisis merupakan pilihan terbaik.
Tindakan Terhadap Malaria Biliosa
Vitamin K dapat diberikan 10 mg/hari i.v selama 3 hari untuk
memperbaiki faktor koagulasi yang tergantung vitamin K.
Gangguan faktor koagulasi lebih sering dijumpai pada
penderita dengan ikterik yang berat. Hati-hati dengan
obat-obatan yang mengganggu fungsi hati seperti
parasetamol, tetrasiklin.
REFERENSI
Baird JK. Effectiveness of antimalarial drugs. New Eng J Med.
2005;352: 1565-77.
Barnes KI, Mwenechanya J, Tembo M et all : Efficacy of rectal
artesunate compared with parenteral quinine in initial treatment of moderately severe malaria in Afrika children and adults:
a radomised study. Lancet 2004 : 363 (9421) : 1598 - 605
Harijanto, PN : Management of Cerebral Malaria. Medical Progress
1999 : 23 -7.
Harijanto PN : Penanganan Malaria Berat. Penerbit Buku
Kedokteran ECG 2000 : 224 -236
Harijanto PN. Gejala klinik malaria berat. Da1am:Harijanto PN
(ed). Malaria: Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis,
dan Penanganan. Jakarta:EGC. 1999.p. 166-84.
Krudsood S, Wilairatana P, Vannaphan S, et all : Clinical experience
with intravenous quinine, intramuscular artemether and intravenous artesunate for the treatment of severe malaria in Thailand. SouthEast Asia J. Trop Med Public Health 2003: 34(1):
5 4 -61.
DIARE AKUT
ENA INFEKSI
Budi Setiawan
Jenis
E. coli
V. cholarae ogawa
Aerornonas sp
S. flexneri
Salmonella sp.
E. hystolitica
A. lumbriciodes
Rotavirus
Candida sp.
NAG vibrio
T. trichiura
P. shigelloides
B. horninis
Jumlah
Jumlah
YO
67
32
25
11
10
9
6
5
3
2
2
1
1
38.29
18,29
14,29
6,29
5,71
5,14
3,43
2,86
1,71
1,14
1 ,I4
0,57
0,57
175
100
Dindlna
- eDnel
.
Enlem loksln
Lumen
CI
HCO,
I DIRECTCEU D A M O E DEITH
Pompa naiiium
(sodium pump)
PUUNl
~hblDYUsl
w
d
"
,
Romrlnn
m l l a
9010111
BrUm
1
muuld-'
DyplmmFwa
LHlP
Penularan diare akut karena infeksi melalui transmisi fekaloral langsung dari penderita diare atau melalui makananl
minumaan yang terkontaminasi bakteri patogen yang
berasal dari tinja manusiakewan atau bahan muntahan
penderita. Penularan dapat juga berupa transmisi dari
manusia ke manusia melalui udara (droplets infection)
misalnya Rotavirus, atau melalui aktifitas seksual kontak
oral-genital atau oral-anal.
Diare akut karena infeksi bakteri yang mengandungl
memproduksi toksin akan menyebabkan diare sekretorik
(watery diarhhea) dengan gejala-gejala mual, muntah,
dengan atau tanpa demam yang umumnya ringan, disertai
atau tanpa nyerikejang perut, dengan feses lembeklcair.
Umumnya gejala diare sekretorik timbul dalam beberapa
jam setelah makadminuman y ang terkontaminasi.
Diare sekretorik (watery diarrhea) yang berlangsung
beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang
adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan
cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau
karena gangguan biokimiawi bempa asidosis metabolik
yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang akan
merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung,
lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun
serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini
disebabkan deplesi air yang isotonik.
Sedangkan kehilangan bikarbonas dan asam karbonas
berkurang yang mengakibatkan penurunan pH darah.
Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan
sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam
(pernafasan Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha badan
untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH darah dapat
kembali normal. Gangguan kardiovaskular pada tahap
hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi yang cepat (> 120/menit),tekanan
darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah
muka pucat ujung-ujung ektremitas dingin dan kadang
sianosis karena kehilangan kalium pada diare akut juga
dapat timbul aritmiajantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi
Sarana
Air
Makanan
Unggas
Sapi, Juice buah yg
tidak dipasteurisasi
Babi
Seafood & kerang
Keju, susu
Telur
Mayonnaise +
makanan & cream
Nasi goreng
Berrie segar
Sayuran atau buahbuahan kaleng
Kecamba h
Hewan ke manusia
Manusia ke manusia
(termasuk seksual
kontak)
Day care center
Bakteri Patogen
Vibrio cholerae, Norwalk agent,
Giardia, Cryptospordium
(termasuk makanan yg dicuci
dengan air tsb)
Salmonella, Campylobacter, dan
Shigella spp.
Enterohemorrhagic Escherichia
coli.
Cacing pita (Tapeworm).
V.cholerae non
01, V.parahaernolyticus;vibrio
spp, Salmonella Spp,
Aeromonas spp, Hepatitis
A,B,C.
Tapeworm dan anisakla.
Listeria spp.
Salmonella spp.
Staphylococcus dan Clostridium.
Bacillus cereus.
Cycklospora spp.
Clostridium.spp.
Enterohemorrhagic E.coli dan
Salmonella spp.
Salmonella,Campylobacter, Crypt
osporidium, Giardia spp.
Semua bakteri enterik, virus,
parasit.
Travelers Diarrhea
Sebagian besar travelers diarrhea bersifat watery
diarrhea. Penyebab travelers diarrhea paling sering
enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC), Shigella spp,
Campylobacter jejuni, Samonella spp, Plesiomonas
shigeloides, non cholerae vibrio, dan Aeromonas spp.
Watery diarrhea yang berat, dan segera disertai
dehidrasi yang berat patut dicurigai kemungkinan
disebabkan oleh K cholerae 0 1 atau 0 139.
Diare Karena Antibiotika
Kemungkinan terjadinya diare pada penderita yang
sedang mendapat pengobatan antibiotika berspektrum luas
sekitar 20%, tetapi hanya sekitar 30-50% yang dapat
diketahui penyebabnya yaitu Clostridium dzjficile yang
mengakibatkan kolitis pseudomembran. Gejala yang
ditimbulkan dapat berupa diare yang hebat yang dapat
mengakibatkan kematian.
Diare pada Perawatan Sehari-hari
Diare dapat terjadi pada perawatan sehari (day-care),
umumnya dapat terjadi dengan penularan bakteri dalarn
jumlah rendah misalnya Shigella, Giardia, Cryptosporidium, atau karena rotavirus, astrovirus,
adenovirus.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah
- Darah perifer lengkap.
- Ureum, kreatinin.
- Serum elektrolit :Na', K', C1-.
- Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda
gangguan keseimbangan asam basa (pernafasan
Kusmaull)
- Immunoassay : toksin bakteri (C.dzflcile), antigen
virus (rotavirus), antigen protozoa (Giardia,
E.histolytica)
Feses
- Feses lengkap (mikroskopis : peningkatan jumlah
,
Shigella, Campylobacter,
Cryptosporidium, Giardia spp.,
Virus,, Clostridium difficle.
C.difficile.
Giardia dan Cryptospondium spp.
E.coli,Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Giardia,
Cryptosporidium spp., Entamoeba
histolytica.
DIAGNOSIS
REFERENSI
Ahlquist David A, Camilleri M. Diarrhea & Costipation. Dalam
buku: Horrison's Principles of Internal Medicine. l 51h edition.
Braunwald, Fauci, Kasper et all (Editor). 2001, 241 - 50.
Cook G.C, Tropical Gastroenterological Problems. Dalam buku:
Manson's Tropical Diseases. 21" edition. Cook GC, Zumla A.
(Editor). London : WB Saunders Co Itd; 2003.p. 817-22.
Daldiyono. Diare. Buku ajar Gastro Enterologi Hepatologi,
Infonnatika, 1990 edisi 1: 21.
Hendarwanto. Diare akut karena infeksi. Dalam buku: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Sarwono WP (Editor),Jakarta: Balai Penerbit
U1; 2000.p.451 - 7.
Nelwan R.H.H dan Soemarsono. Pathogenesis dan Pathofisiologi
Diarre pada Orang Dewasa, Diare , Penaggulangan dan hasilhasilnya, editor Broto Warsito, Dirjen P3M Depkes RI,
1979,70.
Nelwan R.H.H dan Soemarsono. Penatalaksanaan diare pada orang
dewasa, Diare, penanggulangan dan hasil-hasilnya, editor Broto
Warsito, Dirjen P3M Depkes RI, 1979,70.
Pavia AT. Diarrhea and food borne Illness. Dalam buku: Infectious
Diseases. 2ndedition. Cohen J, Powderly W.G (Editor). London
: Mosby. Elsevier Ltd; 2004.p. 1445 - 591.
Pietzak M, Fasano A. Acute Infectious Diarrhea. Dalam buku: Conn's
Current Therapy 2003, Rakel R.E, Bope E.T (Editor). Philadelphia USA: Elsevier Science; 2003.p. 20-27.
Powel Don W: Approach to the patient with diarrhea. Dalam buku
: Textbook of Gastroenterology. 4Ih edition. Yamada T (Editor). Philadelphia . USA: Limphicot Williams & Wiekeins;
2003.p.844 - 893.
KOLERA
H. Soemarsono
PENDAHULUAN
Kolera adalah penyakit infeksi yang disebabkan Vibrio
cholerae dengan manifestasi diare disertai muntah yang
akut dan hebat akibat enterotoksinyang dihasilkan bakteri
tersebut. Bentuk manifestasi Minisnya yang h a s adalah
dehidrasi, berlanjut dengan renjatan hipovolemik dan
asidosis metabolik yang terjadi dalarn waktu sangat singkat
akibat diare sekretorik dan &pat berakhir dengan kematian
bila tidak ditanggulangi dengan adekuat. Kolera dapat
menyebar sebagai penyakit yang endemlk, epidemik, atau
pandemik. Meskipun sudah banyak penelitian berskala
besar dilakukan, namun kondisi penyalut ini tetap menjadi
suatu tantangan bagi dunia kedokteran modern.
Natrium
Kalium
124
I01
16
27
Klorida
Bikarbonat
90
92
48
32
Dewasa
Anak
DIAGNOSIS
Diagnosis kolera meliputi diagnosis klinis dan
bakteriologis. Tidak sukar untuk menegakkan diagnosis
kolera berat, terutama di daerah endemik. Kesulitan
menentukan diagnosis biasanya terjadi pada kasus ringan
dan sedang, terutama di luar endemik atau epidemik. Kolera
yang khas dan berat dapat dikenali dengan gejala diare
sering tanpa mulas diikuti dengan muntah tanpa didahului
rasa mual, cairan tinja serupa air cucian beras, suhu badan
tetap normal atau menurun, dan keadaan bertambah buruk
secara cepat karena pasien mengalami dehidrasi, renjatan
sirkulasi dan asidosis.
Bila gambaran klinis menunjukkan dugaan yang kuat
ke arah penyakit ini, pengobatan hams segera dimulai,
tanpa menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Diare
sekretorik lain dengan gambaran klinis mirip dengan kolera,
dapat disebabkan oleh enterotoxigenic Eschericia coli
(ETEC). Berbagai bakteri penyebab diare sekretorik dapat
dilihat pada Tabel 2.
Vibrio cholerae
Vibrio cholerae non 0 group 1
Escherichia coli
Clostridium perfringens
Bacillus cereus
Staphylococcus aureus
PENATALAKSANAAN
Dengan diketahuinya patogenesis dan patofisiologi
penyakit kolera, saat ini tidak ada masalah dalam
pengobatannya. Dasar pengobatan kolera adalah terapi
simtomatik dan kausal secara simultan. Tatalaksana
mencakup penggantian kehilangan cairan tubuh dengan
segera dan cermat, koreksi gangguan elektrolit dan
bikarbonat (baik kehilangan cairan melalui tinja, muntahan,
kemih, keringat, dan kehilangan insensibel), serta terapi
antimikrobial.
Rehidrasi dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu terapi
rehidrasi dan rumatan. Pada kedua tahap ini perlu
diperhitungkan kebutuhan harian akan cairan dan nutrisi,
terutama bila diare berlangsung lama dan pada pasien
pediatri. Pada dehidrasi berat yang disertai renjatan
hipovolemik, muntah yang tak terkontrol, atau pasien
dengan penyulit yang berat yang dapat mempengaruhi
keberhasilan pengobatan, terapi rehidrasi hams diberikan
secara infus intravena. Pada kasus sedang dan ringan,
rehidrasi dapat dilakukan secara per oral dengan cairan
rehidrasi oral atau oral rehydration solution (ORS).
Sedang tahap pemeliharaan dapat dilakukan sepenuhnya
dengan cairan rehidrasi oral, baik pada kasus dehidrasi
berat, sedang maupun ringan.
Untuk keperluan rumatan dapat diberikan cairan
dengan konsentrasi garam yang rendah seperti: air minum
biasa, atau susu yang diencerkan, dan air susu ibu terutama
untuk bayi dan anak-anak. Petunjuk terapi rehidrasi dan
pemeliharaan secara umum dapat dilihat masing-masing
pada Tabel 3 dan 4.
Derajat
dehidrasi
Macam
cairan
Ringan
ORS
Sedang
ORS
Berat
lntravena
Ringer
Laktat
Jumlah cairan
50 ml1kgBB
Maks. 750
mlljam
100 mllkgBB
Maks. 750
mlljam
110 mllkgBB
Jangka waktu
pemberian
3-4 jam
3 jam
3 jam pertama
guyur sampai
nadi teraba
kuat, sisanya
dibagi dalam 2
jam berikutnya
Jumlah Diare
Dlare rlngan
Tidak lebih dari
I x mencret setiap
2 jam atau lebih
lama, atau
kurang dari 5 ml
tinjal kgBBljam
Dlare sedang
Leblh dari I x
mencret setlap 2
jam atau lebih
dari 5 ml tinjal
kgBB1jam
Dlare berat
Dengan tanda
tanda dehidrasil
renjatan
Macam
Calran
Jumlah
Cairan
Cara
Pemberlan
ORS .
100 mllkg
BB/hari
sampai
diare
berhenti
Oral di
rumah
ORS
Ganti
kehliangan
volume tinja
dengan
volume
cairan. Bila
tak terukur
beri 10-15
mllkgbbljam
Oral di
rumahl
rumah
sakit
Beri
pengobatan
untuk
dehidrasi berat
(tabel31
Penilaian Klinis
Cara menentukan penilaian tingkat dehidrasi yang tepat
secara klinis sulit didapat karena pengaruh subyektivitas.
Secara klinis derajat dehidrasi dibagi menurut tingkatan
dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sesuai kehilangan
cairan 5%, 8% dan 10%dari berat badan. Kriteria ini praktis
penggunannya untuk pengobatan massal pada suatu
wabah dan dapat dilakukan oleh tenaga paramedik setelah
dilatih.
Skor Daldiyono
Modifikasi cara penilaian klinis dilakukan Daldiyono
dengan menilai derajat dehidrasi inisial berdasarkan
gambaran klinis yang diterjemahkan ke dalam nilai skor
(Tabel 5). Kemudian penjumlahan skor tersebut dibagi
dengan nilai skor maksimal yaitu 15.Defisit cairan dihitung
dengan mengkalikan hasil perhitungan tersebut dengan
defisit cairan pada dehidrasi berat yaitu 10% dari berat
badan. Secara matematis perhitungan tersebut dituangkan
dalam rumus empirik:
Defisit cairan (ml)= Skor/lS x berat badan (Kg) x 0,1 x 1000
Cara yang digunakan di rumah sakit ini lebih tepat dan bila
perlu dapat pula diusahakan pemakaiannya di suatu pusat
rehidrasi danuat pada suatu endemi.
Klinis
Skor
1
1
2
1
1
2
1
2
2
I
I
1
2
-1
-2
2848
TROPIKINFEKSI
Cairan camDuran:
1. a) 2 L ga;am isotonik
b) 1 L 1,3 % Bik. Nat.
2. a) 2 L garam isotonik
b)lL116Nalaktat
Cairan Tunggal:
1. 5:4:1
5 a NaCl
4 NaHC03
1 g KCllliter
2. Ringer laktat
Cairan Rehidrasi Oral:
175
I55
158
lo355
27
133
130
14
4
99
109
28
s9
48
1. WHO
2. Orqlit
3. Kristalit
4. P3M
5. Pediallt
Tetrasiklin 500 mg
per oral 4 kali
sehari selama 3
hari
Doksisiklin 300 mg
per oral dosis
tunggal
Anak
Tetrasiklin 12,5 mg
kg per oral 4 kali
sehari selama 3
hari +
Doksisiklin 6 mglkg
per oral dosis
tunggal
PENCEGAHAN
Imunisasi dengan vaksin komersial standar (cholera sec)
yan$mengandung 10milyar Vibrio mati per ml,mernberikan
proteksi 60-80% untuk masa 3-6bulan, Valcsin ini tidak
berpengaruh pada karier dalam pencegahan penularan
hingga vaksinasi kolera tidak lagi menjadi persyaratan
sertifikat kesehatan internasional. Imunisasi dengan
toksoid pada manusia tidak memberikan hasil lebih baik
daripada vaksin standar, sehingga pada saat ini perbaikan
higiene saja yang qemberikan perlindungan yang berarti
dalam mewegah kolera.
Alternatif
Siprofloksasin 1000 mg
per oral dosis tunggal
Eritromisin 250 mg per
oral 4 kali sehari selama
3 hari
trimetoprimsulfametoksasole
(5 mgl kg trimetroprim +
25 mglkg
sulfametoksasol) per
oral 2 kali sehari selama
3 hari
Furazolidon 100 mg
peroral 4 kali sehari
selama 3 hari
Eritromisin 10 mglkg per
oral 3 kali sehari selama
3,hari
Trimetoprimsulfametoksasol(5
mglkg trimetroprim + 25
mglkg sulfametoksasol)
per oral 2 kali sehari
selama 3 hari
Furazolidon 1,25 mglkg
per oral 4 kali sehari
selama 3 hari
'
REFERENSI
Arduino RC, W o n t HL. enteritis, Enterocolitis and Infectious Diarrhea Syndromes. In: Cohen's Infectious Disease. Hq1 35.1-39,
Bannister BA, Begg NT. Imported and Travel-assacigted Disgese,
In: Infectious ~ i & a s e2nd edition. Losd~n;Blwltwall 8ci$n~@,
2OOO.p.440-2.
'
'
PENDAHULUAN
Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, kolitis ameba)
adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh
parasit usus Entamoeba histoiytica. Penyakit ini tersebar
hampir di seluruh dunia terutama di negara sedang
berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini
disebabkan karena faktor kepadatan penduduk, higiene
individu, dan sanitasi lingkungan hidup serta kondisi
sosial ekonomi dan kultural yang menunjang.
Sekitar 90% infeksi asimtomatik, sementara sekitar 10%
lainnya menimbulkan berbagai sindrom klinis, mulai dari
disentri sampai abses hati atau organ lain.
Persamaan
1. Kedua spesies dibedakan lewat adanya infeksi kista
(cvste)
2. Kista dari kedua spesies tersebut secara morfologi sama
(identik)
3. Kedua s~esiesini menakolonisasi intestinal luar
Perbedaan
1. Hanya E. histolytica yang dapat mengakibatkan penyakit
2. Hanya infeksi E. histolytica yang menunjukkan serologi
ameba positif
3. Kedua spesies mempunyal perbedastlgekudnei mRNA.
4. Kedua spesies mempunyai perbedaan Bntigen
permukaan dengan masker isoantigen
5. SallSalNAC lectin dapat dipakai untuk membedakan
kedua spesies dalam stool ELISA.
6. E. dispar tidak mempunyai kapasitas mgnyebabkan
penyaklt infeksi.
c
ect
: chromatoid bodies
end
g
k
n
r.b.c
: endoplasma
: ectoplasma
: glycogen V ~ C U O ~ ~
: karyosoma
: nucleus/inti
: sel darah merah
(dikutip dari Textbook of Clinical Parasitology. 2nd ed., 1952, New York,
Appleton-Cenruy-Crogts).
PEMERIKSAANPENUNJANG
Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium
yang sangat penting. Pada disentri ameba biasanya tinja
berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk
pemeriksaan mikroskopik, perlu tinja yang masih baru
(segar). Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan berulangulang, minimal 3 kali seminggu, dan sebaiknya dilakukan
sebelum pasien mendapat pengobatan. Apabila
direncanakan akan dibuat foto kolon dengan barium
enema, pemeriksaan tinja harus dikerjakan sebelurnnya atau
immunosorbant assay (ELISA) merupakan uji yang paling sensitif. Juga up indirectfluorescent anti-body (IFA)
dan agar gel difjsionprecipitin. Sedang uji serologi yang
cepat hasilnya adalah latex aglutination test dan cellulosa
acetate dijiusion. Oleh karena antibodi yang terbentuk
lama sekali menghilang, maka nilai diagnostlknyadidaerah
endemis rendah.
DIAGNOSIS
Amebiasis intestinal kadang-kadang sukar dibedakan dari
irritable bowel syndrome (IBS), divertikulitis, enteritis
regional, dan hemoroid interna, sedang disentri ameba
sukar dibedakan dengan disentri basilar (shigellosis) atau
salmonelosis, kolitis ulserosa, dan skistosomiasis (terutarna
di daerah endemis). Pemeriksaan tinja sangat penting. Tinja
penderita amebiasis tidak banyak mengandung leukosit,
tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru
dapat ditegakkan apabila ditemukan ameba (trofozoit).
Akan tetapi dengan diketemukan ameba tersebut tidak
berarti menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit
lain, karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan
penyakit lain pada seorang pasien. Sering amebiasis
terdapat bersamaan dengan karsinoma usus besar. Oleh
karena itu bila pasien amebiasis yang telah mendapat
pengobatan spesifk masih tetap mengeluh perutnya sakit,
perlu dilakukan pemeriksaan lain misalnya endoskopi, foto
kolon dengan barium enema, atau biakan tinja.
Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses
piogenik, neoplasma dan kista hidatidosa. Ultrasonografi
dapat membedakannya dengan neoplasma, sedang
ditemukan echinococcus dapat membedakannya dengan
abses piogenik. Salah satu cara adalah dengan pungsi
abses.
Komplikasi Intestinal
Perdarahan usus. Terjadi apabila ameba mengadakan
invasi ke dinding usus besar dan merusak pembuluh darah.
Bila perdarahan hebat dapat berakibat fatal.
Perforasi usus. Terjadi apabila abses menembus lapisan
muskular dinding usus besar. Sering mengakibatkan peri-
PENGOBATAN
Ameba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dalam
dinding usus maupun di luar usus. Hampir semua obat
amebisid tidak dapat bekerja efaktif di semua tempat
tersebut, terutama bila diberikan obat tunggal. Oleh karena
itu sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan
hasil pengobatan.
Kedua obat tersebut termasuk halogenated hydroxyquinolin yang cukup efektif sebagai amebisid luminal.
Efektivitasnya60-70%. Efek samping yang terjadi biasanya
ringan, berupa mual, muntah, tetapi dapat juga berat,
berupa subacute myelooptic neuropathy (SMON). Efek
samping ini hanya terjadi apabila dosis dan jangka waktu
pemberian obat melebihi aturan pakai yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, obat ini tidak dianjurkan untuk
diberikan kepada penderita yang mengidap penyakit optic neuropathy. Juga sebaiknya tidak diberikan kepada
penderita yang mengidap penyakit kelenjar gondok,
karena obat ini dapat mengakibatkan pembesaran kelenjar
gondok.
I.
PROGNOSIS
Prognosis ditentukan oleh berat-ringannya penyakit,
diagnosis dan pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan
ameba terhadap obat yang diberdcan. Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama yang tanpa
komplikasi. Pada abses hati ameba kadang-kadang
diperlukan tindakan pungsi untuk mengeluarkan nanah.
Demikian pula dengan amebiasis yang disertai pe~yulit
ehsi pleura. Prognosis yang kurang baik adalah abses
otak ameba.
PENCEGAHAN
Makanan, minuman, dan keadaan lingkungan hidup yang
memenuhi syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan
penyakit yang sangat penting. Air minum sebaiknya
dimasak dulu, karena kista akan binasa bila air dipanaskan
50C selama 5 menit. Pemberian klor dalam jumlah yang
biasa digunakan dalam proses pembuatan air bersih,
ternyata tidak dapat membinasakan kista. Penting sekali
adanya jamban keluarga, isolasi, dan pengobatan carrier.
Carrier dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala
pekerjaan yang berhubungan dengan makanan. Sampai
saat ini belum ada vaksin khusus. Pemberian
kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi
daerah endemis tidak dianjurkan. Pengobatan massal
secara berkala dengan metronidazol dan dilosanid furoat
hanya dikerjakan dalam keadaan tertentu.
ASPEK KHUSUS
Oleh karena amebiasis erat hubungannya dengan
kebersihan individu dan lingkungan hidup maka higiene
dan sanitasi merupakan faktor yang penting. Air dari
persediaan air minum (PAM) perlu dimasak dulu sebelum
diminum karena kista ameba tahan terhadap kadar klor
standar yang ada didalamnya. Vaksinasi merupakan
pencegahan penyakit yang ideal bagi individu atau
masyarakat yang belum memiliki kekebalan terhadap amebiasis.
"
DISENTRI BASILER
Akmal Sya'roni
PENDAHULUAN
CARA INFEKSI
KELAINAN ANATOMIS
tetapi bisa juga subnormal. Nadi cepat halus, muntahmuntah. Nyeri otot dan kejang kadang-kadang ada.
Perkembangan selanjutnya berupa keluhan-keluhan yang
bertambah berat, keadaan umum memburuk, inkotinensia
urin dan alvi, gelisah, tapi kesadaran masih tetap baik,
kelainan-kelainan menjadi bertambah berat.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi
perifer, anuria, dan koma uremik. Angka kematian
bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan.
Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi, dan keadaan
darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini
selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi
memerlukan waktu penyembuhan yang lama,
penyembuhan yang cepat jarang terjadi.
GAMBARAN ENDOSKOPI
DIAGNOSIS BANDING
PROGNOSIS
PENGOBATAN
Arizona Department of Health Services. Shigellosis. Arizona Department of Health Services.com. August, 2004.
Centre for Disease Control and Prevention National Centre for
Infectious Diseases. Shigellosis. September, 2003.
Chambers HF. Infectious diseases: bacterial and chlamydial. In:
Tiemey LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current medical diagnostic and treatment. 43 th ed. USA: Mc Graw Hill;
2004.p.1363-64.
ICD-9 004; ICD-10 A03. Shigellosis (Bacillary Dysentery).527-531.
Keusch GT. Shigellosis. In: Isselbacher, Wilson, Braunwald et al,
editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16Ih ed.
USA: Mc Graw Hill; 2005.p. 902-6.
Kroser JA. Shigellosis. eMedicine.com. Inc. May 17, 2002.
Listing of disease related to water and environmental sanitation.
Bacillary Dysentery, Shigellosis. Controlling and Preventing
Disease.
Maryland Department of Health and Mental Hygiene- Epidemiology
and Disease Control Program. Shigellosis fact sheet. May, 2002.
Master PA, 0 Bryan TA, Zurlo J, Miller DQ. Trimethoprime
sulfamethoxazole revisited. Archieves of Internal Medicine.
2003;163: 402-10.
Nivogi SK. Shigellosis. The Journal of Microbiology. Vo1.43. No.2.
Apri1,2005: 133-143.
Smith.JF. Medical library. Shigellosis. May I I, 2005.http ://
www.cholibrary.org
Subekti D, Oyofo BA, Tjaniadi P et al. Shigella spp. Surveillance in
Indonesia: the Emergence or Re-emergence of S. dysenteriae.
Emerging Infectious Diseases. Vo1.7 No. I. January, 2001.
WHO. Weekly Epidemiological Record. September, 2004:355-356.
HIVIAIDS Dl INDONESIA
Zubairi Djoerban, Samsuridjal Djauzi
PENDAHULUAN
Masalah HIVIAIDS adalah masalah besar yang
mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia.
UNAIDS, Badan WHO yang mengurusi masalah AIDS,
memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia pada
Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak
ada negara yang terbebas dari HIVIAIDS. HIVIAIDS
menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan,
menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan
negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis
kemanusiaan. Dengan kata lain HIVIAIDS menyebabkan
krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS
memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan
layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang
terinfeksi HIV.
SWARAH
Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981.
Meskipun demikian, dari beberapa literatur sebelurnnya
ditemukan kasus yang cocok dengan definisi sumeilans
AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat.
Sampel jaringan potong beku dan serum dari seorang pria
TROPIK IN-I
'
HIV/AlDS Dl INDONESIA
TES HIV
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti
apakah seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karenc
pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah'
bertahun-tahun lamanya.
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar
~ u j u a nPemeriksaan
Keamqnan .,.
transfusi dan
transplantasi
Surveillance
Diagnosis
Prevalensi
infeksi HIV
Strategi
Pemeriksaan
Semua
prevalensi
>I0 %
Bergejala
infeksi HIV
/AIDS
Tanpa gejala
-<I0 %
>30 %
-c30 %
>I0 %
4 0%
-
W).
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk
keperluan diagnosis hams mendapatkan konseling pra
tes. Hal ini hams dilakukan agar ia dapat mendapat
infoimasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIVI
AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik
untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya
nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling
pra tes karena orang yang dites tidak akan diberitahu hasil
tesnya.
Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling
pasca tes, baik hasil tes positif maupun negatif. Jika
hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai
pengobatan untuk memperpanjangmasa tanpa gejala serta
cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif,
konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan
informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak
berisiko.
KRI'TERIA DIAGNOSIS
HIV/AlDS Dl INDONESIA
getah bening)
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIVa
Herpes sirnpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronkitis,
pneurnonitis, atau esofagitis
Histoplasrnosis, diserninata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esofagus
Kanker sewiks invasive
Koksidiodornikosis, diserninata atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptosporidiosis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Leukoensefalopati rnultifokal progresif
Lirnforna, Burkitt
Lirnforna, irnunoblastik
Lirnforna, primer pada otak
Mikobakteriurn aviurn kompleks atau M. kansasii, diserninata
atau ekstraparu
Mikobakteriurn tuberkulosis, paru atau ekstraparu
Mikobakteriurn, spesies lain atau spesies yang tidak dapat
teridentifikasi, diserninata atau ekstrapulrnoner
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekurenb
Sarkoma Kaposi
Septikernia Salmonella rekuren
Toksoplasrnosis otak
Wasting syndromeC
'Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggukerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan
oleh penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit
lain dilakukan pemeriksaan lumbal punksi dan pemeriksaan
pencitraan otak (CT Scan atau MRI)
b~erulang
lebih dari satu episode dalam 1 tahun
qerdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare
kronik (minimal 2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan
dernam lama (>30 hari, intermiten atau konstan), tanpa dapat
dijelaskan oleh penyakitlkondis~lain (mis. kanker, tuberkulosis.
enteritis spesifik) selain HIV
PENATALAKSANAAN
HIVIAIDS sampai saat ini memang belum dapat
disembuhkan secara total. Namun, data selama 8 tahun
terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV
(obat anti retroviral, disingkat obat ARV) bermanfaat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi
HIV. Orang dengan HIVIAIDS menjadi lebih sehat, dapat
bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui
pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya
kerentanan odha terhadap infeksi oportunistik.
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas
beberapa jenis, yaitu: a). pengobatan untuk menekan
replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), b).
pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan
kanker yang menyertai infeksi HIVJAIDS, seperti jamur,
tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi,
limfoma, kanker serviks, c). pengobatan suportif, yaitu
Dagang
Duviral
w:
Stavir
Zerit
Hiviral
3TC
Stavudin (d4T)
NsRTl
Lamivudin (3TC)
NsRTl
Viramune
Neviral
Nevirapin (NVP)
NNRTl
Tablet 200 mg
Retroyir
Adovi
Avlmid
Videx
NsRTl
Kapsul100 mg
Didanosin (ddl)
NsRTl
Efavirenz
(EFV,EFZ)
Nelfinavir (NFV)
NNRTI
Kapsul200 mg
Stocrin,
-:
2 mglkg, 2xlhari
1 x 200 mg selama 14 hari,
dilaniutkan
2 x 200 mg
2 x 300 mg, atau 2 x 250 mg
(dosis alternatif)
> 60 kq: 2 x 200 mg, atau 1 x
400 mg
< 60 kq: 2 x 125 mg, atau 1 x
250 mg
1 x 600 mg, malam
Nelvex
,
PI
Tablet 250 mg
2 x 1250 mg
Viracept
NsRTI= nucleoside reverse transcriptase inhlbitor, NNRTl = non-nucleosidereverse transcnptase inhibitor, PI = protease inhibrtor Diperbaharui
dari: (37)
Kolom A
lamivudin + zidovudin
lamivudln + dldanosin
lamivudln + stavudin
lamivudln + zldovudln
lamivudln + stavudin
lamivudin + didanosin
lamivudin + zidovudin
,,,-- . lamivudin
+ stavudin
,
lamivudin + didanosin
Kolom B
Evaflrenz*
Nevlrapln
Nelvinafir
WIV/AU)S Dl INDONESIA
Kondisi
Rekomendasi
lstilah
Definisi
Kegagalan
virologis
EVALUASI PENGOBATAN
Pemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah merupakan.
indikator yang dapat dipercaya untuk memantau beratnya
kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan memudahkan
kita untuk mengambil keputusan memberikan pengobatan
ARV. Jika tidak terdapat sarana pemeriksaan CD4, maka
jumlah CD4 dapat diperkirakan dari jumlah limfosit total
yang sudah dapat dikerjakan di banyak laboratorium pada
umumnya.
Sebelum tahun 1996, para klinisi mengobati,
menentukan prognosis dan menduga staging pasien,
berdasarkan gambaran klinik pasien dan jumlah limfosit
CD4. Sekarang ini sudah ada tambahan parameter baru
yaitu hitung virus HIV dalam darah (viral load) sehingga
upaya tersebut menjadi lebih tepat.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan
pemeriksaan viral load, kita dapat memperkirakan risiko
kecepatan perjalanan penyakit dan kematian akibat HIV.
Pemeriksaan viral load memudahkan untuk memantau
efektifitas obat ARV.
Sejak awal pengobatan ARV, masalah kegagalan terapi
ARV lini pertama menjadi ha1 yang banyak diteliti. Definisi
kegagalan terapi dapat dilihat pada Tabel 6.
Obat-obat golongan protease inhibitor (PIS) seperti
lopinavirl ritonavir, atazanavir, saquinavir, fosamprenavir,
dan darunavir memiliki barier genetik yang tinggi terhadap
resistensi. Obat golongan lain memiliki barier yang rendah.
Walau demikian, kebanyakan pasien yang mendapatkan
PIS- terkait HAART (highly active anti-retmviral therapy)
yang mengalami kegagalan virologis biasanya memiliki
strain virus HIV yang masih sensitif,kecuali bila digunakan
jangka panjang. Obat golongan lain biasanya menjadi
resisten dalam waktu yang lebih singkat ketika terdapat
kegagalan virologis.
Indikasi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi
adalah progresi penyakit secara klinis dimulai setelah > 6
bulan memakai ARV
lndikasi
Tidak
diindikasikan
'
REFERENSI
Borrow P, Lewicki H, Hahn BH, Shaw GM, Oldstone MB. Virusspecific CD8+ cytotoxic T-lymphocyte activity associated with
control o f viremia in primary human immunodeficiency virus
type 1 infection. J Virol 1994; 68:6103-10.
CDC. 1993 revised classification system for HIV infection and expanded surveillance case definition for AIDS among adolescents
and adults. MMWR 1992;41(no. RR-17).
Chakrabarti L, Isola P, Cumont M-C, et al. Early stages of simian
immunodeficiency virus infection in lymph nodes. Am J Pathol
1994; 144: 1226-34.
CD8(+) T cell depletion in simian immunodeficiency virusinfected macaques. J Exp Med 1999; 189:991-8.
ted
Sarcoma: Biology and ndvel theraKrown SE. ~ l ~ s - ~ e i aKaposi's
peutic strategies. Dalam: Perry MC, Chung M, Spahlinger M,
editor. Proceeding of 38th Annual Meeting of ASCO; 18- 21
May 2002; Orlando,FL.Alexandria:ASC0;2002.h. 249-59..
Komlsi Penanggulangan AIDS Nasional. Ancaman HIVIAIDS di
Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata.
Jakarta: Depkes RI; 2002.
Kovacs JA, Masur H. Prophylaxis against opportunistic infection
in patients with human immunodeficiency patients. N Eng J
Med 2Ob0;342(19): 1416-29.
Lederman MM, Valdez H. Immune restoration with antiretroviral
therapies. JAMA 2000;284(2):223-8.
Lathey JL, Hughes MD,Fiscus Sa, Pi T, Jacson B, Rasheed S et al.
Variability and Prognostic Values of Virologic and CD4 Cell
Measures in Human Immunodeficiency Virus Type1 - Infected
Patients with 200-500 CD4 cells/mm3 (ACTG 175). J Infect
Dis 1998; 177:6 17-24.
Lydia A. Hitung Limfosit Total sebagai Prediktor Hitung Limfosit
CD4 pada Pasien AIDS. Tesis Program Pendidikan Dokter
Spesialis 1 Ilmu Penyakit Dalam, FKUI. 1996
Internal error: Invalid file format. I In-line.WMF *]Gal~yRF, Witte
MH, Gottlieb AA, Elvin-Lewis M, Gottlieb MS, Witte CL,
Alexander SS, Cole WR, Drake WL Jr. Documentation of an
AIDS virus infection in the United States in 1968. JAMA. 1988
Oct 14;260(14):2085-7.
Montagnier L, Chermann JC, Barre-Sinoussi F, Klatzmann D, WainHobson S, Alizon M, et al.Lymphadenopathy associated virus
and its etiological role in AIDS. Princess Takamatsu Symp.
1984;15:3 19-31.
Monitoring the AIDS Pandemic (MAP). The Status and Trends of
HIVIAIDSISTI Epidemics in Asia and the Pacific. Washington
DC:;2001.
Mercader M, Nickoloff BJ, Foreman KE. Induction of Human Immunodeficiency Virus I Replication by Human Herpesvirus 8.
Arch Pathol Lab 2001;125:785-9.
Palella FJ,DelaneyKM, Moorman AC, Loveless MO,FuhrerJ, Satten
health/rtis/MTCT/mtct~consultation~october~2000/
GA,et al. Declining Morbidity and Mortality among Patients
consultation~documents/efficacy~of~arv~regimens/
with Advanced Human Immunodeficiency Virus Infection. N
efficacy~of~antiretroviral~regimens.en.html
Eng J Med 1998,38(13):853-60
Gotlieb MS. AIDS-Past and Future. N Engl J Med 2001;344(23):1788Pantaleo G, Graziosi C, Demarest JF, et al. Role of lymphoid organs
90.
in the pathogenesis of human immunodeficiency virus (HIV)
Goldie SJ, Kaplan JE, Losina E, Weinstein MC, Paltiel AD, Seage GR
infection. Immunol Rev 1994; 140: 105-30.
3rd, et al.Prophylaxis for human immunodeficiency virus-reReimann KA, Tenner-Racz K, Racz P, et al. lmmunopathogenic
lated Pneumocystis carinii pneumonia: using simulation modelevents in acute infection of Rhesus monkeys with simian iming to inform clinical guidelines. Arch Intern Med
munodeficiency virus of Macaques. J Virol 194;68:2362-70.
2002;162(8):921-8.
Sarngadharan MG, DeVico AL, Bmch L, Schupbach J, Gallo RC. HTLVGortmaker SL, Hughes M, Cervia J, Brady M, Johnson GM, Seage
111: the etiologic agent of AIDS. Princess Takamatsu Symp.
GR. Effect of Combination Therapy including Protease Inhibi1984; 15:30 1-8.
tors on Mortality among Children and Adolescents Infected
Subdit PMS & AlDS Ditjen PPM & PLP Depkes RI. Statistik Kasus
with HIV-I. N Engl J Med 2001; 345: 1522-28
HIVIAIDS di Indonesia: s.d Maret 2005. Majalah Support.
Huminer D, Rosenfeld JB, Pitlik SD. AIDS in the pre-AIDS em. Rev
Jakarta: Yayasan Pelita Ilmu.2005.
Infect Dis. 1987 Nov-Dec;9(6): 1102-8.
Suryamin M. Hitung limfosit total sebagai indikasi memulai terapi
Jones JL, Hanson DL, Dworkin MS, et al. Surveillance for AIDS
antirehoviral pada pasien HIVIAIDS. Tesis Program Pendidikan
Dokter Spesialis 1 Ilmu Penyakit Dalam, FKUI.2002.
defining opportunistic illnesses, 1992-1997. MMWR CDC
Surveil1 Summ 1999;48(SS-2): 1-22.
UNAIDS-WHO. Revised recommendations for the selection and
Jones JL,Hanson DL, Dworkin MS,et al. Incidence and trends in
use of HIV antibody tests. Weekly Epidemiological Report
Kaposi's sarcoma in the era of effective antiretroviral therapy.
1997;72:81-8.
J Acquir Immune Defic Syndr 2000;24:270-4.
O'Brien WA, Hartigan PA, Martin D, Esinhart J, Hill A, Benoit S et
Jin X, Bauer DE, Tuttleton SE, Lewin S, Gettie A, Blanchard J, Irwin
al. Changes in Plasma HIV-1 RNA and CD4+ Lymphocyte Counts
CE, Safrit JT, Mittler J, Weinberger L, Kostrikis LG, Zhang L,
and the Risk of Progression to AIDS, N Engl J
Perelson AS, Ho DD. Dramatic rise in plasma viremia after
Med1996;334:426-43.
INFEKSI JAMUR
Nasronudin
PENDAHULUAN
Infeksi jamur, dikenal sebagai mikosis semakin dikenal
sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien
yang rawat inap di rumah sakit terutama yang
imunokompromis. Indonesia sebagai negara berkembang
belum sepenuhnya berhasil membasmi penyakit
infeksi jamur, kini dihadapkan pada masalah baru dengan
hadirnya infeksi HIVJAIDS. Penyakit ini potensial
mendesak status imun penderita kearah imunokompromais
sehingga infeksi jamur dapat tumbuh kembang dengan
subur.
Infeksi jamur pada manusia dibagi menjadi infeksi
jamur endemik dan infeksi jamur oportunistik. Infeksi
jamur oportunistik tidak saja merupakan bagian dari
infeksi HIVIAIDS tetapi juga merupakan infeksi
oportunistik pada leukemia, tumor padat, limfoma maligna,
transplantasi organ. Beberapa keadaan dapat mendorong
individu terinfeksi jamur. Infeksi jamur umumnya akibat
paparan dari sumber lingkungan dan aktivasi flora jamur
endogen akibat penyakit yang melandasi maupun sebagai
akibat dari intewensi diagnostik dan terapi. Infeksi jamur
tidak hanya mengenai bagian tubuh luar saja, tetapi
juga menimbulkan penyakit sistemik yang mengancam
jiwa.
Akibat paparan jamur sangat tergantung dari derajat
dan jenis respons imun host. Respons imun selular
merupakan mediator utama perlawanan terhadap infeksi
jamur. Neutrofil dan fagosit mempunyai peran penting
dalam mengeliminer infeksi jamur.
Di masa lalu infeksijamur mash kurang diperhitungkan,
maka kini harus mendapatkan perhatian serius karena bukan
saja diagnosisnya yang sering terlewatkan, tetapi
potensi mendorong penderita ke kearah kematian semakin
tinggi.
TROPIK INFEKSI
Diagnosis
Ada 4 pendekatan diagnosis laboratoris pada infeksi jamur,
yaitu: 1). pemeriksaan mikroskopik langsung, 2). biakan,
3). DNA probe test, dan 4). pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dengan
bahan dari sputum, biopsi pam, kulit, kuku. Beberapa yang
dapat didiagnosis melalui pemeriksaan mlkroskopik adalah
: 1). sphemles pada C.immitis dan 2). kapsul Ciyptococcus neoformans dengan pengecatan India ink.
Pemeriksaan dengan DNA probe mampu mendiagnosis
lebih cepat. Dapat menentukan infeksi Cocciodiodes,
Histoplasma, Blastomyces, dan Ciyptococcus.
Kebanyakan diagnosis definitif ditegakkan memakai
berbagai pemeriksaan yang berbeda-beda dari satu dengan
daerah lain pada daerah endemik. Untuk menegakkan
diagnosis definitif dapat dilakukan biopsi, dilanjutkan
pemeriksaan histopatologi, serta biakan.
Pemeriksaan serologis temtama digunakan untuk
pemeriksaan histoplasmosis dan koksidioidomikosis.
ELISA terutama untuk menentukan antigen guna membantu
menentukan keterlibatan histoplasmosis pada pasien
AIDS.
Pada infeksi jarnur oportunistik, diagnosis invasif sering
mengalami kesulitan. Kandida sp. merupakan flora
normal, dapat tumbuh pada tempat yang kotor seperti
sputum. Penentuan antibodi, antigen dan metabolit
kandida umumnya kurang sensitif dan spesifik.
Pemeriksaan yang spesifik dan sensitif melalui pengukuran
aglutinasi latex terhadap kapsul polisakharida C.
Neofomzans.Pemeriksaan histopatologis dari jaringan oleh
intervensi infeksi jamur oportunistik penting dilakukan
untuk diagnostik, terutama pada individu dengan sakit
berat.
Terapi
Obat-obatan untuk terapi bakteri tidak mempengaruhi
penyakit jamur. Penisilin dan aminoglikosida dapat
menghambat pertumbuhan berbagai bakteri tetapi tidak
mempengaruhi pertumbuhann jamur. Hal tersebut
dimungkinkan akibat perbedaan struktur, misalnya pada
bakteri terdapat peptidoglikan dan 70s ribosom, tetapi tidak
dimiliki oleh jamur. Obat antifungal yang efektif adalah
amfoterisin B dan golongan azole karena adanya
ergosterol pada membran sel jamur tetapi tidak terdapat
pada bakteri maupun membran sel manusia. Antifimgal
lain, caspofungin (Candidas), dapat menghambat sintesis
beta glucan.
Terapi mutakhir anti jamur meliputi target ergosterol
membran seljarnur (polyenes, azoles, allylamines), glucans
pada dinding seljarnur (echinocandins), serta sintesis DNA
dan RNA jamur (flucytosine).
Amfoterisin B merupakan obat terpilih pada semua
infeksi jamur, tetapi terdapat keterbatasan yaitu pada
toksisitasnya. Efek toksik pada ginjal terjadi pada pasien
HISTOPLASMOSIS
Histoplasmosisdisebabkan oleh Histoplasma capsulatum.
Merupakanjamur dimorfik, sebagai mold di tanah terutama
Manifestasi Klinis
'
Diagnosis
Sampel dari biopsi jaringan atau aspirasi sumsum tulang,
sel jamur oval di dalam makrofag dapat terlihat pada
pemeriksaan mikroskop. Biakan memakai agar Sabouraud5
dapat terlihat hyphae dengan makronidia tuberkulae.
Antigen Histoplasma dapat ditentukan dengan radioimmunoassay atau DNA probe. Pada kondisi
irnunokompromais bila antibodi dalam urin tidak terdeteksi,
dapat dilakukan pemeriksaan antigen dalam urin. Kultur
dapat dilakukan melalui sampel yang diambil darijaringan,
lavas brokhoalveoler, cairan tubuh, sputum, dan darah.
Biakan darah merupakan langkah terbaik menggunakan
sistem lysis-centrifugation (isolator tube). Biopsi liver dan
sumsum tulang perlu dilakukan untuk membuat diagnosis
H.capsulatum dseminata.
Jika histoplasmosis pulmoner dicurigai, maka
pemeriksaan biakan dengan medium khusus dari sampel
pulmoner. Terhadap penderita serangan akut, biopsi
jaringan harus dikerjakan guna menentukan adanyajamur
oval, ukuran 2-4 mm. Biopsi hams segera disusul dengan
melakukan pengecatan dengan methenamine silver atau
pengecatan periodik acid- Schiff: Pada penderita
diseminata, sampel yang diambil dari susum tulang, liver,
kulit, dan lesi mukokutaneus dapat menunjukkan
beberapa organisme. Organisme juga dapat ditunjukkan
melalui pengecatan Wright 5 dari darah perifer penderita
infeksi diseminata. Bagi penderita histoplasmosis
pulmoner kronik atau mediastinitisgranulomatous,biopsi
paru atau nodus limfatikus dapat menunjukkan
organisme. Pemeriksaan serologi mempunyai peran
penting pada beberapa bentuk histoplasmosis. Complement-assay dapat dipergunakan untuk membedakan
miselial dan jamur. Pemeriksaan immunod~fision(ID)
lebih spesifik dari pada CF tes, tetapi CF tes lebih sensitif.
Titer antibodi CF sering memberikan hasil positif pada
titer rendah jamur setelah terinfeksi. Pemeriksaan
serologis merupakan sarana diagnostik penting guna
menentukan diagnosis histoplasmosis pulmoner akut.
Diagnosis ditegakkan bila ada kenaikan titer empat kali
lipat titer CF. Pemeriksaan serologis kurang definitif pada
pasien limpadenopati mediastinal dan hams selalu
dikonfirmasi dengan biopsi jaringan. Hasil positif palsu
CF terjadi pada limfoma, tuberkulosis, sarkoidosis, dan
infeksijamur lain.
Pemeriksaan enzim immunoassay ferhadap antigen
polisakarida H.capsulatum pada urin dan serum sangat
membantu penderita diseminata yang dilandasi AIDS.
Terapi
Itrakonazol merupakan obat terpilih bagi infeksi histoplasmosis ringan dan sedang, dan amfoterisin B bagi
infeksi berat. Flukonazol kurang aktif dan perlu
dipertimbangkan penggunaan sebagai lini kedua.
Ketokonazol dapat menjadi obat lini kedua karena
toksisitasnya yang tinggi daripada itrakonazol.
KOKSlDlOlDOMlKOSlS
Merupakan penyakit jamur sistemik disebabkan
Koksidioides Spp. Penyebab C. Immitis dan C. posadasii
merupakan fungi dimorfik yang diklasifikasikan sebagai
ascomisetes yang homolog gen ribosom. C. immitis
mempunyai dua bentuk, yang pada sebagian besar media
perbenihan tumbuh sebagai bentukjamur yang putih tetapi
pada jaringan tubuh pejamu atau pada keadaan khusus,
tumbuh berbentuk sferis tanpa tunas, yaitu bentuk
sperula. Setelah infeksi, arthrokonidium membesar,
berdiameter 75 mm,berubah menjadi sperula. Pa& kondisi
matur, sperula berdinding tebal, refraktil ganda, diameter
80 mm. Sperula terbungkus bersama endospora, bila
INFEKSIJAMUR
tubes) dalam serum atau dengan tebentuknya spora besarbesar berdinding tebal yang diriamakan klamidospora.
Identifikasi akhir semua spesiesjamur tersebut memerlukan
tes biokimiawi.
Patogenesis
Kandidiasis merupakan infeksi jamur sistemik yang paling
sering. Respons imun cell-mediated terutama sel CD4
penting dalam mengendalikan kandidiasis mukokutan.
Neutrofil penting terutama dalam resistensi terhadap
kandidiasis sistemik. Kandidiasis sistemik terjadi bila
kandida masuk ke dalam aliran darah terutama pada saat
ketahanan fagositik host menurun.
Faktor-faktor lokal atau sistemik dapat mempengaruhi
invasi Candida ke dalam jaringan tubuh. Usia mempakan
faktor penting mengingat kolonisasi neonatal sering kali
menyebabkan kandidiasis oral (oral thrush). Perempuan
dengan kehamilan trimester ketiga cenderung untuk
mengalami kandidiasis vulvoginal. Pasien diabetes
mellitus, keganasan hematologi, pasien yang mendapatkan
antibiotik spektrum luas atau kortikosteroid dosis tinggi
rentan terhadap kandidiasis. Kandidiasis oral sering
dijumpai kapan saja dalam perjalanan infeksi HIV. Dengan
terjadinya penurunan jumlah sel CD4, esofagitis Candida
juga sering ditemukan. Terganggunya keutuhan kulit atau
membran mukosa dapat memberikanjalan ke jaringan tubuh
yaiig lebih dalam. Contohnya adalah perforasi traktus
gastrointestinal oleh trauma, pembedahan serta ulserasi
peptikum; pemasangan kateter indwelling untuk
pemberiaan alimentasi intravena (enternal feeding),
dialisisperitoneal serta drainase traktus urinarius; luka
bakar yang berat; dan penyalahgunaan obat bius intravena.
Kandidemia merupakan penyebab urutan keenam sepsis
akibat penggunaan kateter intravena atau infus.
Spesies Cundida, kecuali C. glabrata tampak dalam
jaringan sebagai jamur maupun pseudohifa. Lesi viseral
ditandai oleh nekrosis dan respons inflamatorik neutrofilik.
Sel neutrofil membunuh sel jamur Candida serta merusak
segmen pseudohifa secara in vitro. Kandidiasis viseral
akan menimbulkan komplikasi neutropenia sehingga
menunjukkan peranan utama neutrofil dalam mekanisme
pertahanan pejamu terhadap jamur ini. Melalui sirkulasi,
kadida dapat menimbulkan berbagai infeksi pada ginjal,
hepar, menempel pada katup jantung buatan, meningitis,
arthritis, endophthalmitis.
ManifestasiKlinis
Kandidiasis kulit dan mukosa sering menyertai berbagagai
keadaan seperti penyakit AIDS, diabetes, kehamilan, usia
ekstrim, trauma. Kandidiasis oral (oral thrush) ditemukan
sebagai bercak berwarna putih yang konfluen dan melekat
pada mukosa oral serta faring, khususnya di dalam mulut
dan lidah. Lesi ini biasanya tanpa rasa nyeri tetapi
pembentukan fisura pada sudut mulut dapat menimbulkan
MFEKSl JAMUR
t ,
Diagnosis
Diagnosis laboratorik dapat dilakukan melalui pemeriksaan
spesimen, pemeriksaan mikroskopis, biakan, dan serologi.
Gambaran psedohifa pada sediaan apus, dikonfirmasi
Terapi
Kandidiasis oris dan kandidiasis mukokutan dapat diobati
dengan nystatin topikal, gentian violet, ketokonazol,
maupun flukonazol. Terapi kandidiasis kulit pada daerah
yang mengalami maserasi, memperlihatkan respons
terhadap upaya untuk mengurangi kelembaban kulit dan
iritasi dengan pemakaian preparat antifungus yang
dioleskan secara topikal dalam bahan dasar nonoklusif.
Serbuk nisatin atau krem yang mengandung preparat
siklopiroks atau azol cukup berkasiat. Klotrimazol,
mikonazol, ekonazol, ketonazol, sulkonazol, dan
oksikonazol tersedia dalam bentuk krem atau losion. Vulvovaginitis Candida memberikan respons yang lebih baik
terhadap golongan azol daripada terhadap preparat
supositorianistatin. Di antara formula vaginal klotrimazol,
mikazol, tikonazol, butakonazol, dam terkonazol hanya
terdapat sedikit perbedaan pada khasiatnya. Pengobatan
sistemik terhadap vulvovaginitis Candida dengan
menggunakan ketokonazol atau flukonazol lebih mudah
dilakukan daripada pengobatan topikal, tetapi potensi
preparat tersebut untuk menimbulkan efek merugikan yang
lebih besar. Preparat troches klotrimazol yang dapat
diberikan lima kali sehari lebih efektif untuk mengatasi
kandidiasis oral dan esophagus dibandingkan suspensi
nistatin. Ketokonazol dengan dosis 200 hingga 400 mg
per hari juga berkhasiat untuk esofagitis Candida tapi
banyak pasien yang kurang dapat menyerap obat tersebut
dengan baik karena mendapatkan preparat antagonis
reseptor H-2 atau karena menderita penyakit AIDS. Pada
pasien penyakit AIDS, flukonazol dengan dosis 100 hingga
200 mg per hari merupakan preparat yang paling efektif
untuk mengatasi kandidiasis oral dan asofagus.
Kalau gejala esophagus yang terjadi sangat menonjol
atau pada kandidiasis sistemik, pemberiaan amfoterisin B
intravena dengan dosis 0,3 mgkg BB per hari selama 5
hingga 10 hari dapat bermanfaat. Kandidiasis kandung
kemih akan memperlihatkan respons terhadap tindakan
irigasi dengan larutan amfoterisin B, 50 gImL, selama 5
hari. Jika tidak ada kateter kandung kemih, preparat oral
flukonazol dapat digunakan untuk mengendalikan
kandiduria. Ketokozanol dengan dosis dewasa 200 mg per
REFERENSI
Abbas AK, Lichtman AH . Effector Mechanisms of Cell-Mediated
Immunity. In: Cellular and Molecular Immunology. Fifth edition. International edition. China. 2005.p.298-317.
Bennett JE. Diagnosis and Treatment of Fungal Infections.
In: Harrison's Principles of Internal Medicine. Vol.1. 16 th
Edition. Editors: Kasper DL, Fauci AS, Longo D, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL. New York: McGraw-Hill Medical
Publishing Division. 2005.p. 1176-88.
Burik JV,Myerson D, Schreckhise RW, Bowden RA (1998). Panfungal
PCR Assay for Detection of Fungal Infection in Human Blood
TOKSOPLASMOSIS
Herdiman T. Pohan
PENDAHULUAN
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan
oleh parasit Toxoplasmagondii, yang dikenal sejak tahun
1908. Toksoplasma (Yunani: berbentuk seperti panah)
adalah sebuah genus tersendiri. Infeksi akut yang didapat
setelah lahir dapat bersifat asimtomatik,namun lebih sering
menghasilkan kista jaringan yang menetap kronik. Baik
toksoplasmosis akut maupun kronik menyebabkan gejala
klinis termasuk limfadenopati,ensefalitis, miokarditis, dan
pneumonitis. Toksoplasmosis kongenital adalah infeksi
pada bayi baru lahir yang berasal dari penularan lewat
plasenta pada ibu yang terinfeksi. Bayi tersebut biasanya
asimtomatik, namun manifestasi lanjumya bervariasi baik
gejala maupun tanda-tandanya, seperti korioretinitis, strabismus, epilepsi, dan retardasi psikomotor.
Toxoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali
ditemukan pada binatang mengerat, yaitu Ctenodactylus
gundi, di suatu laboratorium di Tunisia dan pada seekor
kelinci di suatu laboratorium di Brazil. Pada tahun 1973
parasit ini ditemukan pada neonatus dengan ensefalitis.
Walaupun transmisi intrauterin secara transplasental sudah
diketahui, tetapi baru pada tahun 1970 daur hidup parasit
ini menjadi jelas, ketika ditemukan daur seksualnya pada
kucing (Hutchison). Setelah dikembangkan tes serologi
yang sensitif oleh Sabin dan Feldman (1948), zat anti
T. Gondii ditemukan kosmopolit, terutama di daerah
dengan iklim panas dan lembab.
EPlDEMlOLOGl
Di Indonesia prevalensi zat anti I: gondii yang positif
pada manusia berkisar antara 2% dan 63%. Sedangkan
pada orang Eskimo prevalensinya 1% dan di El Salvador,
Amerika Tengah 90%. Prevalensi zat anti i7 gondii pada
PATOGENESIS
SSP
Jika SSP terlibat, dapat terjadi meningoensefalitis lokal
maupun difus dengan ciri khas nekrosis dan nodul
mikroglia. Ensefalitis nekrotikans pa& pasien tanpa AIDS
memiliki ciri khas lesi difus berukuran kecil denganperivascular cufJing pada daerah berdekatan. Pada pasien AIDS,
selain monosit, limfosit, dan sel plasma dapat pula
ditemukan leukosit PMN. Kista mengandung bradizoit
sering ditemukan bersebelahan dengan perbatasan
jaringan nekrotik.
TROPIK INFEKSI
Paru
Di antara pasien AIDS yang meninggal akibat
toksoplasmosis, sekitar 40-70% memiliki keterlibatan pada
jantung dan pprunya. Pneumonitis interstisial dapat terjadi
pada neonatus dan pasien imunokompromais. Tampak
penebalan dan edema septum alveolus yang terinfiltrasi
dengan sel monondcleus dan sel plasma. Inflamasi ini dapat
meluas ke dinding endotel. Takizoit dan kista yang
mengandung bradizoit ditemukan pada membran alveolus. Bronkopneumonia superimposed dapat disebabkan
oleh mikroba lain.
Jantung
Kista dan parasit yang mengalami agregasi di otot jantung
ditemukan pada pasien AIDS yang meninggal akibat
toksoplasmosis.Nekrosis fokal yang dikelilingi sel lnflamasi
berhubungan dengan terjadinya nekrosis' hialin dan
kekacauan struktur sel rniokardium. Perikarditis terjadi pada
beberapa pasien.
Lain-lain
Otot lurik, pankreas, lambung, dan ginjal pasien AIDS dapat
terlibat disertai nekrosis, invasi sel inflamasi, dan
ditemukannya takizoit pada pewarnaan rutin (jarang). Lesi
nekrosis besar dapat menyebabkan destruksi jaringan
secara langsung. Efek sekunder infeksi akut organ-organ
tersebut antara lain pankreatitis, miositis, dan
glomerulonefritis.
GAMBARAN KLlNlS
Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit
memasuki sel atau difagositosis. Sebagian parasit mati
setelah difagositosis,sebagian lain berkembang biak dalam
sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang selsel lain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan
limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen
ke seluruh badan mudah terjadi. Parasitemia berlangsung
selama beberapa minggu. T gondii dapat menyerang
semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah
merah (tidak berinti).
Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan
dapat ditemukan di berbagai alat dan jaringan, mungkin
untuk seurnur hidup. Kerusakan yang terjadi pada jaringan
tubuh, tergantung pada: 1). umur, pada bayi kerusakan
lebih berat daripada orang dewasa; 2). virulensi strain
Toksoplasma, 3). jumlah parasit, dan 4). organ yang
diserang.
Lesi pa& susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih
berat dan permanen, oleh karena jaringan ini tidak
mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Kelainan
pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang disertai
dengan kalsifikasi. Penyumbatan akuaduktus Sylvii oleh
SSP
Jika SSP terlibat, dapat terjadi meningoensefalitis lokal
maupun difus dengan ciri khas nekrosis dan nodul
mikroglia. Ensefalitis nekrotikans pada pasien tanpa AIDS
memiliki ciri khas lesi difus berukuran kecil denganperivascular cuffing pada daerah berdekatan. Pada pasien AIDS,
selain monosit, limfosit, dan sel plasma dapat pula
ditemukan leukosit PMN. Kista mengandung bradizoit
sering ditemukan bersebelahan dengan perbatasan
jaringan nekrotik.
Paru
Di antara pasien AIDS yang meninggal akibat
toksoplasmosis, sekitar 40-70% memiliki keterlibatan pada
jantung dan p w y a . Pneurnonitis interstisial dapat terjadi
pada neonatus dan pasien imunokompromais. Tampak
penebalan dan edema septum alveolus yang terinfiltrasi
dengan sel mononukleus clan sel plasma. Inflamasi ini dapat
meluas ke dinding endotel. Takizoit dan kista yang
mengandung bradizoit ditemukan pa4a membran alveolus. Bronkopneumonia superimposed dapat disebabkan
oleh mikroba lain.
Jantung
Kista dan parasit yang mengalami agregasi di otot jantung
ditemukan pada pasien AIDS yang meninggal akibat
toksoplasmosis. Nekrosis fokal yang dikelilingi sel inflarnasi
berhubungan dengan terjadinya nekrosis hialin dan
kekacauan struktur sel miokardium. Perikarditis terjadi pada
beberapa pasien.
Lain-lain
Otot lurik, pankreas, lambung, clan ginjal pasien AIDS dapat
terlibat disertai nekrosis, invasi sel inflamasi, dan
ditemukannyatakizoit pada pewarnaan rutin (jarang). Lesi
nekrosis besar dapat menyebabkan destruksi jaringan
secara langsung. Efek sekunder infeksi akut organ-organ
tersebut antara lain pankreatitis, miositis, dan
glomerulonefiitis.
GAMBARAN KLlNlS
Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit
memasuki sel atau difagositosis. Sebagian parasit mati
setelah difagositosis, sebagian lain berkembang biak dalam
sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang selsel lain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan
limfosit, makapenyebaran secara hematogen dan limfogen
ke seluruh badan mudah terjadi. Parasitemia berlangsung
selama beberapa minggu. T gondii dapat menyerang
semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah
merah (tidakberinti).
Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan
dapat ditemukan di berbagai alat dan jaringan, mungkin
untuk seumur hidup. Kemsakan yang terjadi pada jaringan
tubuh, tergantung pada: 1). umur, pada bayi kemsakan
lebih berat daripada orang dewasa; 2). virulensi strain
Toksoplasma, 3). jumlah parasit, dan 4). organ yang
diserang.
Lesi pa& susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih
berat dan permanen, oleh karena jaringan ini tidak
mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Kelainan
pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang disertai
dengan kalsifikasi. Penyumbatan akuaduktus Sylvii oleh
lnfeksi Kongenital
DIAGNOSIS
PENATALAKSANAAN
,.
korioretinitis.
Untuk memastikan terjadinya infeksi janin, diperlukan
pemeriksaan USG dan cairan amnion untuk pemeriksaan
PCR dan kultur I: gondii. Pengambilan darahjanin dengan
kordosentesis telah sering digunakan untuk mendeteksi
antibodi janin dan kultur I: gondii. Pengakhiran kehamilan
biasanya ditawarkan pada wanita dengan serokonversi
dalam 8 minggu pertama kehamilan dan mereka yang
mengalami infeksi dalam 22 minggu pertama jika infeksi
janin terbukti. Pendekatan yang lebih konservatif untuk
menganjurkan aborsi adalah hanya jika pada USG didapat
hidrosefalus, meski hanya kasus dalam presentasi kecil
mengalami gangguan neurologik pada saat lahir.
lnfeksi pada Pasien lmunokompromais
Pasien AIDS hams diterapi untuk toksoplasmosisnya,
karena pada pasien imunokompromais infeksi dapat
menjadi fatal bila tidak diobati. Regimen untuk pasien
dengan ensefalitis adalah pirimetamin (dosis awa1200 mg,
lanjutan 50-75 mghari) dan sulfadiazin (4-6 ghari dosis
terbagi 4) selama 4-6 minggu sampai tampak perbaikan
radiologik. Leucovorin (calcium folinate, 10-15 mghari)
diberikan untuk pencegahan toksisitas sumsum tulang
berkaitan dengan pirimetamin. Baik pirimetamin maupun
sulfadiazin melewati sawar darah-otak. Komplikasi obat
ini antara lain gangguan hematologik, kristaluria,
hematuria, batu ginjal radiolusen, dan nefrotoksisitas.
Pirimetamin dan sulfadiazin hanya aktif untuk takizoit,
sehingga pada pasien imunokompromais terapi awal hams
diberikan selama 4-6 minggu. Merekajuga hams mendapat
terapi supresif seumur hidup dengan pirimetamin (25-50
mglhari) dan sulfadiazin (2-4 ghari). Jika sulfadiazintidak
dapat ditoleransi, kombinasi pirimetamin (75 mghari) dan
klindamisin (450 mg 3 kali per hari) dapat digunakan.
Dapsone (diaminodiphenylsulfone) merupakan
alternatif efektif pengganti sulfadiazin karena memiliki
waktu paruh lebih lama dan berkurangnya toksisitas.
Spiramisin diberikan untuk mengurangi transmisi plasenta.
Klindamisin diabsorbsi baik oleh saluran cerna dan kadar
puncak dalam serum tercapai 1-2 jam setelah pemberian.
Kombinasi pirimetamin oral (25-75 mglhari) beserta
klindamisin intravena (1200-4800 mghari) terbukti efektif
untuk pasien AIDS dengan ensefalitistoksoplasmosis. Efek
samping klindamisin termasuk mual, muntah, netropenia,
ruam, dan kolitis pseudomembranosa.
Penelitian menunjukkan bahwa makrolid tunggal tidak
efektif, namun kombinasi pirimetamin dan klaritromisin
tampaknya efektif. Atovaquone (750 mg 3-4 kali per hari)
merupakan pilihan bagi mereka yang intoleransi obat lain.
Glukokortikoid dapat digunakan untuk terapi edema
intraserebral. Antikonvulsan kadang diperlukan untuk
mengatasi kejang, namun harus diperhatikan interaksi
potensial antara sulfadiazin dan fenitoin. Regimen
kotrimoksazol atau dapson beserta pirimetamin dengan
TROPIK llVFEKSl
REFERENSI
Toksoplasmosis dapat dicegah di tiga tingkatan yang
berbeda:
pencegahan infeksi primer
* pencegahan transmisi vertikal dalam penyakit kongenital
pencegahan penyakit pada individu yang imunokompromais
Untuk mencegah infeksi primer, pajanan parasit dapat
dikurangi dengan edukasi kesehatan. Faktor risiko utama
adalah makan daging belum matang Cjarang) dan hidup
bersama kucing. Kistajaringan dalam daging tidak infektif
lagi bila sudah dipanaskan sampai 66C atau diasap.
Setelah memegang daging mentah Cjagal, tukang masak),
sebaiknya tangan dicuci bersih dengan sabun. Makanan
hams ditutup rapat supaya tidak dijamah lalat atau lipas.
Sayur-mayur sebagai lalap hams dicuci bersih atau
dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya diberi makanan
matang dan dicegah berburu tikus dan burung.
Saat ini belum tersedia vaksin untuk mencegah
toksoplasmosis. Imunitas maternal akibat toksoplasmosis
yang diturunkan sebelum terjadi konsepsi melindungijanin
dari infeksi. Pasien imunokompromais yang mendapat
kotrimoksazol sebagai profilaksis untuk infeksi
pneumosistis juga terlindungi dari toksoplasmosis.
Serologi IgG untuk I: gondii hams dilakukan pasien
sebelum dilakukannya transplantasi organ. Transplantasi
organ padat dari donor seropositif ke resipien seronegatif
hams dihindari. Jika transplantasi seperti itu dilakukan,
maka resipien harus mendapat terapi anti I: gondii
setidaknya selama 2 bulan.
Individu dengan HIV dan yang memiliki seronegatif
hams dihindari dari pajanan dengan parasit. Skrining
maternal masih merupakan kontroversi. Skrining serologik
ditujukan untuk mendeteksi infeksi maternal akut. Namun,
kadang sulit untuk menentukan apakah benar terjadi infeksi
maternal akut dan janin. Saat diagnosis infeksi akut
ditegakkan pada wanita hamil, terapi anti T gondii dan
pemeriksaan lanjutan atas kemungkinan infeksi pada janin
diberikan, dan aborsi ditawarkan.
PROGNOSIS
Toksoplasma akut untuk pasien imunokompeten
mempunyai prognosis yang baik. Toksoplasmosis pada
bayi dan janin dapat berkembang menjadi retinokoroiditis.
Toksoplasmosis kronik asimtomatik dengan titer antibodi
yang persisten, umurnnya mempunyai prognosis yang baik
I
dan berhubungan erat dengan imunitas seseorang.
A. Guntur H.
1.
2.
3.
4.
yang disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor/TNF) dan interleukin 1 (IL-I), IL-6 dan IL-8 yang
merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat
tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang
mengalami sepsis.
ETlOLOGl SEPSIS
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-)
dengan prosentase 60 sampai 70% kasus, yang
menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel
irnun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator
\
inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap
sepsis adalah lipopolisakarida(LPS). LPS atau endotoksin
glikoprotein kompleks merupakan komponen utama
membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang
peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang
terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggungjawab
terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci,
Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positip
lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka
kejadian 20 sampai 40% dari keseluruhan kasus. Selain itu
jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau
protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat
menyebabkan sepsis, walaupun jarang.
Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari
semua kuman, pemberian i f i s substansi ini pada binatang
akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin.
Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi
trombosit.
Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam
b a n , misalnya a-hemolisin (S. A m ) , E. Coli haemolisin
@. Coli) dapat merusak integritasmembran sel imun secara
langsung.
Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting
adalah LPS endotoksin gram negatip dan dinyatakan
sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung
mengaktifkan sistem irnun seluler dan humoral, yang dapat
inenimbulkanperkembangan gejala septikemia. LPS sendiri
tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang
pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab
terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida,
SEPSIS
GEJALA KLlNlK
Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya
didahului oleh tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi
demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah,
malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak
khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak
Riwayat
Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari
kornunitas atau nosokomial dan apakah pasien
imunokompromis. Rincian yang hams diketahui meliputi
paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya
di tempat kerja, penggunaan alkohol, seizure, hilang
kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang
mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu.
Beberapa tan& terjadinya sepsis meliputi:
1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai
keganasan atau instrumentasi.
2. Hipotensi, Oliguria atau anuria.
3. Takipnea atau hiperpnea, Hipotermia tanpa penyebab
jelq.
4. Perdarahan.
Datq laboratorium
Uji lab~ratoriurnmeliputi Complete Blood Count (CBC)
dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi,
SEPSIS
5. TerM sqpalttif
Eli Lillywd Company mengurnumkanbahwa hail uji klinis
Phase 111 menunjukkan drotrecogin alfa (protein C
tera&i%an rekombinan, Zovant) menurunkan resiko relatif
kematian qkibat sepsis dengan disfungsi organ akut terkait
(dikenal sebagai sepsis berat) sebesar 19,4persen. Zovant
merupakan antikoagulan.
GLUKOSA KONTROL
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula
darah yang tidak mengalami dan yang mengalami
diabetes mellitus. Sebaiknya kadar gula darah
dipertahankan sampai dengan < 150mg 1 dL. Dengan
rnelakukan monitoring pada gula darah setiap 1-2jam dan
dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari.
Mencegah terjadinya stress ulcer dapat diberikan
profilaksis dengan menggunakan H, broker protonpan
inhibitor.
Apabila terjadi kesulitan pernafasan penderita
memerlukan ventilator dimana tersedia di ICU.
PENCEGAHAN
Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang
biasanya dihuni bakteri Gram-negatif
Gunakan trimetoprirn-sulfametoksazolsecaraprofilaktik
pada anak penderita leukemia
Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau
sulfamilon secara profilaktik pada pasien luka bakar.
Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring
posterior untuk mencegah pneumonia Gram-negatif
nosokomial
Sterilisasiflora aerobik lambung dengan polimiksin dan
gentamisin dengan vankomisin dan nistatin efektif
dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada pasien
neutropenia.
SEPSIS
PEMAKAIAN ANTIMIKROBA
SECARA RASIONAL DI KLINIK
R.H.H. Melwan
PENDAHULUAN
PARAMETER MlKROBlOLOGlS
Tiga ha1 yang perlu dikuasai dari segi milcrobiologis adalah
1. Pengertian kepekaan, 2. Relevansi hasil pemenksaan
laboratorium, 3. Bagaimana cara untuk membatasi dan
menghindari penyebaran galur-galur yang resisten.
Pengertian Kepekaan
Kadar hambat minimal merupakan konsentrasi terendah
obat antimikroba.yang dapat menghambat pertumbuhan
kuman setelah diinkubasi selama satu malam. Karena
metoda dilusi untuk menetapkan. ini agak rumit untuk
dikerjakan, yang lebih popular dan lebih mudah untuk
dilaksanakan adalah metoda difusi.
Lempeng (disc) antimikroba yang diletakkan di tengahtengah pembiakan kuman akan mengakibatkan
ketidaktumbuhankuman di sekitarnya dan tergantung zona
yang tampak sekitarnya yaknijarak antara pinggir lempeng
dan batas kuman yang tumbuh dan tidak tumbuh dapat
diinterpretasikan sebagai sensitif, indiferen atau
resisten.
Relevansi Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Situasi di mana pasien ternyata dapat disembuhkandengan
sebuah antibiotika tertentu walaupun laporan laboratorium
menunjukkan kuman tersebut sudah resisten terhadap
antibiotika yang digunakan dapat dijumpai diklinik d&
sebaliknya tidak asing juga keadaan di mana kuman yang
tidak resisten terhadap antibiotika yang dipakai tetapi
pasien tidak dapat disembuhkan dengan obat yang sudah
tepat tersebut. Inkonsisten seperti h i dapat mengakibatkan
polifannasi dan preskripsi irasional. Perlu selalu diingat
bahwa obat yang digunakan in vivo sangat dipengaruhi
faktor-faktor environmental. Kadang-kadang hanya
diperlukan analisis sederhana untuk dapat
menginterprestasi hasil yang inkonsisten tersebut dan
kadang-kadang baru dapat dijawab setelah proses
penelitian yang panjang.
TROPIK INFEKSI
PARAMETER FARMAKOLOGIS
Parameter ini dapat dibagi dalam farmakodinamik,
farmakokinetik, penggunaan kombinasi antimikroba dan
efek samping antimikroba.
Farmakodinamik Antimikroba
Ciri antibiotika yang ideal adalah bebas dari efek pada.
sistem atau organ pasien. Terjadinya depresi sistem
hemopoetik pada penggunaan kloramfenikol dan gangguan
vestibular pada kelompok obat aminoglikosid sebenarnya
sangat tidak ideal sehingga untung rugi pemakaian obat
ini perlu selalu diperhitungkan atau digunakan obat
alternatif lainnya yang tidak menyebabkan efek samping
tersebut.
Efek farmakodinamik pada kuman dapat berupa
pengrusakan terhadap sintesis dinding luar (kelompok
betalaktam) atau gangguan pada sintesis komponen
sitoplasma (kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosid
dan eritromisin) atau gangguan pada sintesis asam
nukleat (kuinolon dan rifampisin). Pengetahuan
mengenai mekanisme kerja akan dapat memperbaiki
pemilihan obat kombinasi yang tepat agar tercapai
sinergi atau potensiasi kerja terutama bilamana
kombinasi yang digunakan memiliki mekanisme kerja
yang berlainan. Tetapi segala sesuatu dengan sendirinya
harus melalui proses pengujian dalam klinik.
Farmakokinetik Antimikroba
Untuk antibiotika yang diberikan secara oral perlu
dipastikan agar absorpsi berlangsung dengan baik
sehingga konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan kuman dapat tercapai.
Pada infeksi-infeksi serius atau di mana terdapat
gangguan seperti mual dan muntah perlu diberikan terapi
parenteral. Selanjutnya perlu selalu diingat bahwa tempat
infeksi hams dapat dicapai oleh obat dalam konsentrasi
yang cukup untuk menghambat pertumbuhan dan
penyebaran kuman. Difusi obat dalam jaringanlorgan atau
sel-sel tertentu sangat menentukan dalam pemilihan
antimikroba. Beberapa antimikroba seperti misalnya
seftriakson mencapai konsentrasi berpuluh kali lebih tinggi
di empedu dibandingkan dengan konsentrasi dalam darah.
Selain itu juga selalu harus diingat cara ekskresi obat
sehingga dapat dicegah gangguan negatif dan akumulasi
obat dalam tubuh pasien.
Pada umumnya dianggap bahwa hanya bagian
antibiotika yang tidak terikat protein darah memberikan
efek antimikrobial. Tetapi sebenamya yang hams diingat
adalah bahwa keadaan ini berupa suatu ekuilibrium. Dalam
jaringan yang mengalami radang dapat terkumpul banyak
protein sehingga konsentrasi antibiotika yang aktif bekerja
pada tempat-tempat tersebut lebih besar.
Proses metabolisme antibiotika sangat bervariasi.
Melalui proses oksidasi, reduksi, hidrolisis atau konjungasi
dihasilkan senyawa-senyawa yang inaktif tetapi
kadang-kadang dapat terjadi produk yang toksik inisalnya
pada asetilisasi sulfonamid. Sebaliknya beberapa
antibiotika memiliki metabolit yang aktif seperti misalnya
metabolit sefotaksim sehingga mempakan suatu sifat yang
sangat menguntungkan pada penggunaannya.
Eliminasi antibiotika pada umumnya melalui ginjal,
beberapa jenis seperti seftriakson, sefoperason dan
rifampisin mengalami eliminasi terutama melalui empedu.
Konsentrasi intraluminal antimikroba tersebut dalam
saluran cerna dapat meningkat terutama bila diekskresi
secara utuh.
Kombinasi Antimikroba
Biasanya digunakan pada infeksi berat yang belum
diketahui dengan jelas kuman atau kuman-kuman
penyebabnya. Dalam ha1 ini pemberian kombinasi
antimikroba ditujukan untuk mencapai spektrum
antimikrobial yang seluas mungkin.
Selain itu kombinasi digunakan untuk mencapai efek
sinergistik dan juga untuk menghambat timbulnya
resistensi terhadap obat-obat antimikroba yang digunakan.
Efek Samping Antimikroba
Efek samping dapat berupa efek toksis, alergis atau
biologis. Efek samping seperti paralisis respiratorik dapat
terjadi setelah instilasi neomisin, gentamisin, tobramisin,
streptomisin atau amikin secara intraperitoneal atau intrapleural. Eritromisin estolat sering menyebabkan
kolestasisl hepatitis. Perlu juga diingat bahwa antimikroba
yang bekerja pada metabolisme kuman seperti rifampisin,
kotrimoksasol dan isoniasid potensial hemato dan
hepatotoksik. Yang dapat menekan hngsi sumsum tulang
adalah pemakaian kloramfenikol yang melampaui batas
keamanan dan menyebabkan anemia dan neutropenia.
Anemia aplastik secara eksplisit merupakan efek samping
yang dapat mengakibatkan kematian pasiem setelah
pemakaian kloramfenikol.
Efek samping alergi lainnya terutama disebabkan oleh
penggunaan penisilin dan sefalosporin. Yang paling jarang
adalah kejadian renjatan anafilaktik. Lebih sering timbul
r u m , urtikaria dan sebagainya. Pasien yang alergi terhadap
sulfonamid dapat mengalami sindrom Steven Johnson. Efek
samping biologis disebabkan karena pengaruh antibiotika
terhadap flora normal di kulit maupun di selaput-selaput
lendir tubuh. Biasanya terjadi pada penggunaan obat
antiinikroba berspektrum luas. Candida albicans dalam
hubungan ini dapat menyebabkan super infeksi seperti
stomatitis, esofagitis, pneumonia, vaginitis dan
sebagainya.
Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan
penyebaran dari jenis kuman Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis yang berat dan
yang memerlukan pengobatan intensif dapat juga
disebabkan oleh penggunaan antibiotika seperti
klindamisin, tetrasiklin dan obat antibiotika berspektrum
lebar lainnya.
POLA PEMBERIANANTlMlKROBA
Berdasarkan parameter yang telah diuraikan di atas,
kemoterapi antimikrobial dapat diberikan berdasarkan
beberapapola tertentu, antara lain: a).direktif, b). kallculatif,
c). interventif, d). omnispektrif dan e). profilaktif.
Pzlda terapi antimikroba direktif kuman penyebab
infeksi sudah diketahui dan kepekaan terhadap
antimikroba sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat
EFEK SAMPING
FARMAKOLOGI
ANTIMIKROBIAL
1
I
HOSPES
MlKROBlOLOGl
SlTUS
(EVIDENCE BASED)
-
---
PENUTUP
\
REFERENSI
Nelwan RHH.Usaha ke arah penggunaan antibiotika secara rasional
di Jakarta. Dalam : Naskah lengkap Lokakarya Nasional
Penggunaan Antibiotika Sacara Rasional 11, Surabaya, Januari
1992.
Simon C, Stlle W, Wilkens PJ. Antibiotic Therapy in Clinical Practice 24Ih Edition, Schattauen-Stutgart.1993
RESISTENSI ANTIBIOTIK
Usman Hadi
PENDAHULUAN
Resistensi antibiotika merupakan suatu masalah yang besar
yang berkembang diseluruh dunia. Kurnan-kuman resisten
yang muncul akibat penggunaan antibiotika yang
berlebihan, akan menimbulkan masalah yang serius dan
sulit diatasi. Saat ini kuman resisten antibiotika yang sudah
banyak dikenal dan menimbulkan banyak masalah di seluruh
dunia diantaranya adalah methicillin-resistance Staphylococcus aureus (MRSA) , vancomycin resistance enterococci, penicillin-resistance pneumococci, extendedspectrum betalactamme-producingKlebsiela pneumoniae
(ESBL), carbapenem-resisten Acinetobacter baumanni,
dan multi resisten lMycobacterium tuberculosis.
Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya kuman
resisten terhadap antibiotika, faktor yang paling penting
adalah faktor penggunaan antibiotika dan pengendalian
infeksi. Oleh karena itu penggunaan antibiotika secara
bijaksana merupakan ha1 yang sangat penting, di samping
penerapan pengendalian infeksi secara baik untuk
mencegah berkembangnya kuman-kuman resisten tersebut
ke masyarakat.
TERMlNOLOGl RESlSTENSl
Resistensi antibiotika dapat diklasifikasikan menjadi dua
kelompok yaitu: resistensi alami dan resistensi yang
didapat.
Resistensi alami merupakan sifat dari antibiotika
tersebut yang memang kurang atau tidak aktif terhadap
suatu kuman, contohnya Pseudomanas aeruginosa yang
tidak pernah sensitive terhadap khlorampenikol, juga
Streptococcus pneumoniae secara alami 25% resisten
terhadap antibiotika golongan makrolid (erythromycin,
clarithromycin, azithromycin).
'
Antibiotik
Target utama
sel
B-Lactams
(Penisillin dan
sefalosporin)
Dinding sel
Vancomycin
Dinding sel
Bacitracin
Dinding sel
Macrolides
(erythromycin)
Lincosamides
(clindamycin
Sintesa Protein
Sintesa Protein
Cars kerja
Penambahan pada
struktur dinding sel
(muramilpepta-pepti)
Merusak dinding sel
Tidak dijelaskan
Chloramphenicol
Sintesa Protein
Tetracycline
Sintesa Protein
Aminoglycosides
(gentamicin
sintesa protein
Mupirocin
Sintesa Protein
Quinupristinldatfopri
stin (Synercid)
Sintesa Protein
Linezolid
Sintesa Protein
Sulfonamides dan
trimethoprim
Metabolisme sel
Kompetisi hambatan
enzim pada sintesa
asam folat
Rifampin
Sintesa asam
nukleat
Metronldazole
Sintesa asam
nukleat
Tidak dijelaskan
Quinolones
(ciprofloxacin)
Sintesa DNA
Menghambat DNA
gymse (A subunit) dan
topoisomerase IV
Novobiocin
Sintesa DNA
Polymyxins
(polymixin B)
Membrane sel
Menghambat DNA
gyrase (6 subunit)
Menurunkan
permebialitas sel
Tidak dijelaskan
Tidak dijelaskan
coccusfaecium (VRE).
Untuk kuman MRSA, pengendalian infeksi merupakan
kunci utama untuk mencegah penyebaran MRSA tersebut.
Dari data di Belanda dan Denmark menunjukkan bahwa
pengendalian infeksi yang ketat dapat menekan
penyebaran kuman tersebut. Diduga bahwa kolonisasi
MRSA pada rongga hidung petugas kesehatan yang sehat
merupakan faktor utama dari MRSA.
Untuk Klebsiela pneumoniae penggunaan antibiotika
secara bijaksana merupakan kunci pengendalian resistensi
antibiotika pada kuman ini. Penggunaan golongan
sefalosporin spektrum luas yang berlebihan akan
memunculkan strain Enterobacteriaceae yang resisten
terutama K. pneumoniae yang resisten terhadap extendedspectrum cephalosporin.
Untuk VRE, pengendalian infeksi dan penggunaan
antibiotika secara bijaksana keduanya merupakan faktor
penting untuk mengendalikan kuman ini.
INFEKSI NOSOKOMIAL
Iskandar zulkarnain
PENDAHULUAN
,
,
Penularan dapat terjadi melalui cara silang (crossinfection) dari satu pasien kepada pasien lainnya atau
infeksi diri sendiri di mana kuman sudah ada pada pasien,
kemudian melalui suatu migrasi (gesekan) pindah tempat
dan di tempat yang baru menyebabkan infeksi (selfinfection atau auto infection).
Tidak hanya pasien rawat yang dapat tertular, tapi juga
seluruh personil rumah sakit yang berhubungan dengan
pasien, juga penunggu dan pengunjung pasien. Infeksi
ini dapat terbawa ke tengah keluarganya masing-masing.
Infeksi rumah sakit sering terjadi pada pasien berisiko
tinggi yaitu pasien dengan karakteristik usia tua,berbaring
lama, penggunaan obat imunosupresan dan steroid, daya
tahan tubuh yang menurun pada pasien luka bakar, pada
pasien yang dilakukan prosedur diagnostik invasif, infus
lama atau pemasangan kateter urin yang lama dan infeksi
nosokomial pa& luka operasi. Sebagai sumber penularan
dan cara penularan terutama melalui tangan, jarum suntik,
kateter intravena, kateter win, kain hatverban, cara keliru
dalam menangani luka, peralatan operasi yang
terkontarninasi,dan lain-lain
EPlDEMlOLOGl
2906