Вы находитесь на странице: 1из 4

Nama : Vidi Zahrotul Aisi

Nim :13.321.0124
Kelas :VI B

Mengenal Bipolar Disorder II


Lepaskan Obat Potensi Episode Ekstrem
12/08/14, 04:30 WIB
Tepat pada hari ulang tahun yang ke-25 pada Minggu (10/8), Marshanda membuat
pengakuan. Dalam acara Just Alvin, ibu satu anak itu menyebut dirinya didiagnosis menderita
bipolar disorder II. Namun, Caca, begitu biasa dia disapa, menyangkal. Terlepas dari polemik
tersebut, sebetulnya apakah bipolar disorder?
MENURUT psikiater yang bertugas di RSUD dr Soetomo dan pengajar di FK Unair dr
Nalini M. Agung SpKJ(K), bipolar disorder II tergolong dalam gangguan jiwa berat.
Penderita akan mengalami siklus mood yang sangat ekstrem. Dia kehilangan pemahaman
(insight) tentang gangguan yang dideritanya serta kaitan relasi terhadap dirinya sendiri
maupun dengan orang lain. Sebutan bipolar disorder merujuk pada mereka yang mengalami
episode perubahan mood secara ekstrem. Kalau ekstrem naik dia menjadi mania, kalau
ekstrem turun menjadi depresi, kata Nalini.
Gangguan bipolar disorder II berarti siklus mood-nya berubah-ubah dalam beberapa siklus
atau episode. Satu ketika menjadi hypomania atau mania, di waktu yang lain menjadi depresi.
Siklus ini datangnya tidak ada yang memperkirakan. Bisa dalam hitungan tahun, bulan,
minggu, atau jam, ujarnya.
Dalam siklus mood itu juga bisa terdapat episode normal. Di situlah seorang penderita bisa
menjalani kehidupan dengan baik dalam arti bisa menyadari apa yang dilakukannya. Menjaga
agar penderita tetap normal atau terkontrol, sedikitnya tiga hal wajib dilakukan secara
holistik.
Yaitu, rutin minum obat yang telah diresepkan psikiater, lalu menjalani psikoterapi.
Kemudian, terapi secara sosial-budaya dan lingkungan dalam hal ini keluarga, pasangan, atau
teman-teman harus mendukung pasien untuk menjalani hidup sehat dan normal. Lingkungan
yang tidak mampu menerima pasien sehingga sering menghujani dengan kritik atau
sebaliknya karena saking khawatirnya menjadi overprotektif malah memperburuk kondisi
pasien, jelas Nalini.
Ciri-ciri pasien bipolar disorder II yang berada dalam fase hypomaniamenuju mania itu
adalah merasakan gembira berlebihan, penuh semangat, banyak ide dan impian,
suka ngomong, tidak bisa tenang, dan susah tidur. Selain itu, pasien merasa diri hebat, paling
menarik, mengubah penampilan secara drastis, mendominasi, serta terjadi peningkatan nafsu
seksual.

Di fase ini pasien juga merasakan ada perubahan yang sangat cepat antara gembira dan
sedih. Dia juga menjadi gampang marah dan penuh permusuhan, tambah psikiater yang
mendalami subspesialisasi womens mental health dan menempuh pendidikan spesialisasi di
FK Unair Surabaya itu.
Ketika ada di episode depresi, yang terjadi adalah mood menurun. Mudah menangis,
kehilangan semangat, merasa tidak berguna, putus asa, pikiran tentang kematian, hingga pada
satu titik muncul dorongan untuk bunuh diri. Baik fase naik mania maupun fase turun
depresi, dua-duanya dilakukan pasien tanpa kesadaran diri (insight), kata Nalini.
Penderita bipolar disorder II harus mendapatkan penanganan yang tepat. Berada dalam
episode kambuh (relaps) membuat pasien membahayakan diri sendiri dan lingkungan.
Bergembira berlebihan, lalu kemudian nafsu seks meningkat, jika bertemu dengan pria
jahat kan kasihan jika sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Juga, boros berlebihan
serta mudah memberikan barang-barang berharganya sehingga mudah dimanipulasi orang
yang bermaksud tidak baik, ujar Nalini.
Nalini menegaskan, bipolar disorder II adalah gangguan (disorder). Bukan hanya karena ada
masalah psikologis, tapi ada gangguan atau ketidakseimbangan neurotransmitter dalam otak.
Khusus untuk perempuan, hati-hati ketika saat ada penurunan kadar hormon estrogen yang
drastis (pasca melahirkan, perimenopause), kemungkinan kambuh besar sekali. Untuk itu,
Nalini berharap pasien dengan derita itu dipandang tak jauh beda dengan pasien sakit fisik.
Selama ini kan stigmanya gangguan jiwa itu karena masalah kejiwaan saja. Padahal, ada
bagian dari tubuhnya yang juga bermasalah, ujar ibu dua anak tersebut.
Dengan latar belakang itulah, penderita harus minum obat secara kontinu. Sampai kapan?
Dalam jangka panjang. Ada yang harus seumur hidup, ada juga yang tidak. Bergantung
pemeriksaan dokter. Biasanya, sebelum berhenti minum obat, dosisnya dikurangi
sebagai maintenance saja. Saat itu pasien dan keluarganya juga diedukasi untuk mengenal
tanda-tanda kambuh. Sehingga begitu kondisi itu datang, segera mencari pertolongan, tutur
Nalini.
Jika ada pasien yang merasa baik-baik saja tanpa obat dan melepaskan diri dari obat itu tanpa
petunjuk dokter, Nalini menyebut kemungkinan kambuhnya akan besar. Satu sampai tiga
bulan mungkin dia bisa bertahan normal karena dalam tubuhnya masih ada sisa-sisa obat
yang dulu? Tapi, dalam tiga atau empat bulan kemudian atau lebih, pasien akan kambuh,
imbuh Nalini.
Salah Kaprah Jadi Salah Makna
Beberapa pekan terakhir, penggunaan istilah yang berkaitan dengan ilmu kejiwaan beredar di
masyarakat. Meski demikian, tidak semua benar menurut medis.

Gangguan jiwa misalnya. Menurut dr Danardi Sosrosumihardjo SpKJ(K), ketua umum


Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI),
istilah gangguan jiwa mengikuti penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III
(PPDGJ III). Dia menerangkan, gangguan jiwa adalah sekumpulan gejala atau perilaku yang
dapat ditemukan secara klinis yang menimbulkan penderitaan (distress) dan terganggunya
fungsi seseorang.
Orang yang mengalami gangguan jiwa disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Menurut Undang-Undang Kesehatan Jiwa, ODGJ adalah seseorang yang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan gejala
atau perubahan perilaku yang bermakna. Kondisi itu menimbulkan penderitaan dan hambatan
dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia.
Untuk menentukan seseorang memiliki waham (delusion) atau tidak, menurut Danardi,
psikiater harus melakukan serangkaian wawancara dan pemeriksaan yang saksama.
Psikiater tidak dapat menentukan ada tidaknya gangguan jiwa hanya dengan mendengar
atau melihat tayangan di media massa, lantas membuat kesimpulan, paparnya sebagaimana
dikutip dalam rilis yang dikirimkan secara tertulis.
Tidak jarang, ketika pasien gangguan jiwa memberontak, dilakukan pemasungan agar tidak
melukai diri sendiri dan orang lain. Menurut Danardi, pemasungan adalah segala bentuk
tindakan yang menghalangi setiap orang dengan gangguan jiwa dalam memperoleh hakhaknya sebagai warga negara. Hak-hak tersebut meliputi hak memperoleh pengobatan,
penghasilan, serta hak memperoleh kehidupan sosial, jelasnya.
Dia melanjutkan, pemasungan dilakukan dengan dua cara, pengikatan atau pengisolasian.
Pengikatan merupakan semua metode manual yang menggunakan materi atau alat mekanik
yang dipasang atau ditempelkan pada tubuh dan membuat penderita tidak dapat bergerak
dengan mudah.
Pengisolasian adalah tindakan mengurung sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa
dalam suatu ruangan yang secara fisik membatasi untuk keluar ruangan tersebut.
Saat pengidap gangguan jiwa disarankan untuk rawat inap di rumah sakit, hanya beberapa
orang yang berhak memberikan persetujuan. Menurut Danardi, persetujuan tindakan medis
dapat diberikan suami/istri, orang tua, anak, atau saudara sekandung yang paling sedikit
berusia 17 tahun. Juga, wali atau pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundangundangan.

Pemberian obat-obatan dengan suntik bertujuan untuk meredakan atau mengatasi gejala
waham, halusinasi, dan gaduh gelisah. Menurut Danardi, pemberian obat dengan suntikan
adalah bagian dari standar pelayanan kedokteran jiwa.
Dalam kondisi yang berpotensi membahayakan diri sendiri, orang lain, atau pasien tidak
kooperatif dalam pengobatan, psikiater dapat memberikan obat suntikan. Tujuannya
memperoleh efek cepat, kemudian melakukan perawatan secara rawat inap. Pemberian obat
dengan cara suntikan tidak mengakibatkan pasien menjadi gila dan berhalusinasi. Tapi,
sebaliknya, justru mengendalikan dan memperbaiki gejala gangguan jiwa secara cepat,
ungkap Danardi. (bri/cik/c10/c6/nda)

Вам также может понравиться